Bab II Hiperkes

14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KEBISINGAN Definisi sederhana dari kebisingan adalah suara yang tidak diinginkan (Kroemer dan Grandjean, 1997). Kebisingan sering didefinisikan sebagai bunyi yang tidak diinginkan atau mengganggu (National Safety Council,1975) atau kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan yang dapat mengakibatkan kerusakan pendengaran manusia (Advisory Standard for Noise, 1999). Pengertian bising menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 718/PER/X/1987 adalah terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki, mengganggu, dan atau membahayakan kesehatan. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. KEP 51/MEN/99 tentang Nilai Ambang Batas faktor fisika di tempat kerja adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat – alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Batas frekuansi bunyi yang dapat didengar oleh telinga manusia kira-kira dari 20 Hz sampai 20 kHz pada amplitudo umum dengan berbagai variasi dalam kurva responnya. Suara diatas 20 kHz disebut ultrasonic dan dibawah 20 Hz disebut infrasonic (Sjahrul M. Nasri, 1997). 1.1. Standar Nilai Ambang Batas Kebisingan

Transcript of Bab II Hiperkes

Page 1: Bab II Hiperkes

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KEBISINGAN

Definisi sederhana dari kebisingan adalah suara yang tidak diinginkan

(Kroemer dan Grandjean, 1997). Kebisingan sering didefinisikan sebagai bunyi yang

tidak diinginkan atau mengganggu (National Safety Council,1975) atau kebisingan

adalah bunyi yang tidak diinginkan yang dapat mengakibatkan kerusakan

pendengaran manusia (Advisory Standard for Noise, 1999).

Pengertian bising menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

718/PER/X/1987 adalah terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki, mengganggu, dan

atau membahayakan kesehatan. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja

RI No. KEP 51/MEN/99 tentang Nilai Ambang Batas faktor fisika di tempat kerja

adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat – alat proses

produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan

gangguan pendengaran. Batas frekuansi bunyi yang dapat didengar oleh telinga

manusia kira-kira dari 20 Hz sampai 20 kHz pada amplitudo umum dengan berbagai

variasi dalam kurva responnya. Suara diatas 20 kHz disebut ultrasonic dan dibawah

20 Hz disebut infrasonic (Sjahrul M. Nasri, 1997).

1.1. Standar Nilai Ambang Batas Kebisingan

Nilai ambang batas yang kemudian disingkat NAB, adalah standar

faktor tempat kerja yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan

penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaannya sehari-hari untuk

waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Tingkat pajanan

kebisingan maksimal selama 1 (satu) hari pada ruang proses dapat dilihat

pada tabel 1 sebagai berikut :

Tabel 1 : Intensitas Kebisingan di Ruang Kerja

No.Tingkat Kebisingan

(dBA)

Pemaparan

Harian

1. 85 8 jam

2. 88 4 jam

3. 91 2 jam

Page 2: Bab II Hiperkes

4. 94 1 jam

5. 97 30 menit

6. 100 15 menit

Sumber : KepMenKes No.405/Menkes/SK/XI/2002

1.2. Instrumen Pengukuran Kebisingan

Pengukuran kebisingan merupakan bagian dari Hearing Conservation

Program (HCP). Pengukuran kebisingan dalam HCP meliputi pengukuran

noise level (area) dan personal.

a. Sound Level Meter

SLM adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur tingkat

kebisingan, yang terdiri dri mikrofon,amplifer, dan beberapa alat lainnya.

Alat ini mengukur kebisingan antara 30 – 130 dB dan dari frekwensi 2 –

20.000 Hz (A. M. Sugeng Budiono, dkk, 2003).

b. Audiometri

Tes audiometri, bertujuan untuk mengetahui derajat keparahan

gangguan pendengaran atau derajat ketulian. dilakukan dalam ruang

kedap suara atau ruang dengan kebisingan kurang dari 40 dB. Derajat

ketulian dihitung dengan indeks Fletcher yaitu rata-rata ambang

pendengaran pada frekuensi 500, 1000, 2000 Hz. Hasil pemeriksaan

audiometri biasanya direkam dalam grafik yang disebut audigram.

Audiogram yang dihitung dengan dengan indeks Fletcher (Journal of the

Indonesia Public Health Association, 2001) :

Normal, jika ambang pendengaran pada pemeriksaan audiometri

berkisar antara 0 -25 dB.

Tuli ringan, jika ambang pendengaran pada pemeriksaan audiometri

berkisar antara 26 - 40 dB.

Tuli sedang, jika ambang pendengaran pada pemeriksaan audiometri

berkisar antara 41 - 60 dB.

Tuli berat, jika ambang pendengaran pada pemeriksaan audiometri

berkisar antara 61 - 90 dB.

Tuli sangat berat, jika ambang pendengaran pada pemeriksaan

audiometri > 90 dB.

Page 3: Bab II Hiperkes

B. SUHU DAN KELEMBABAN

Tubuh manusia akan selalu berusaha mempertahankan keadaan normal dengan

suatu sistem tubuh yang sempurna sehingga dapat menyesuaikan diri dengan

perubahan-perubahan yang terjadi diluar tubuh. Tetapi kemampuan untuk

menyesuaikan dirinya dengan temperatur luar adalah jika perubahan temperatur luar

tubuh tersebut tidak melebihi 20% untuk kondisi panas dan 35% untuk kondisi

dingin.

Menurut penyelidikan untuk berbagai tingkat temperatur akan memberikan

pengaruh yang berbeda-beda seperti berikut: (Wingjosoebroto, Sritomo, 1995, hal

85).

± 49oC : Temperatur yang dapat ditahan sekitar 1 jam. Jauh diatas tingkat

kemampuan fisik dan mental.

±30o C : Aktivitas mental dan daya tanggap mulai menurun dan cenderung untuk

membuat kesalahan dalam pekerjaan. Timbul kelelahan fisik.

±24o C : Kondisi optimum.

± 10o C : Kelakuan fisik yang extrem mulai muncul.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 405/Menkes/SK/XI/2002

tentang Persyaratan Dan Tata Cara Penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan Kerja

Industri mengenai Nilai Ambang Batas (NAB) suhu berkisar 18oC – 30oC dan

kelembaban berkisar 65 % - 95 %.Suhu udara yang tinggi akan mengurangi

efisiensi.

Yang dimaksud kelembaban disini merupakan banyaknya air yang terkandung

dalam udara. Keadaan dimana udara sangat panas dan kelembaban tinggi akan

menimbulkan pengurangan panas dari tubuh secara besar-besaran dan

mengakibatkan denyut jantung semakin cepat karena makin aktifnya peredaran

darah untuk memenuhi kebutuhan akan oksigen.

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi suhu tinggi dan kelembaban

rendah adalah dengan menambah ventilasi, dan penambahan blower (Depkes, 1993).

Selain itu salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengendalikan suhu yang

tinggi adalah dengan menambah exhaust fan pada ruangan. Exhaust fan berdiameter

8 inci untuk ruang 4 m2, 10 inci untuk ruang 8 m2, dan 12 inci untuk ruang hingga 12

m2 (Dinoyudha, 2009).

C. PENCAHAYAAN

Page 4: Bab II Hiperkes

Pencahayaan adalah jumlah penyinaran pada suatu bidang kerja yang

diperlukan untuk melaksanakan kegiatan secara efektif (Kepmenkes,

2002).Penerangan merupakan salah satu faktor keselamatan dalam lingkungan fisik

pekerja (Sutaryono, 2002).

Pencahayaan sangat mempengaruhi menusia untuk melihat obyek secara jelas,

cepat, tanpa menimbulkan kesalahan. Kemampuan mata untuk melihat obyek dengan

jelas ditentukan oleh ukuran obyek, derajat kontras, lumnisi (brightness), serta

lamanya waktu untuk melihat obyek tersebut. Pencahayaan yang kurang

mengakibatkan mata menjadi cepat lelah karena mata akan melihat dengan cara

membuka lebar-lebar. Hal ini dapat mengakibatkan lelahnya mental dan rusaknya

mata (Anonim, 2009).

a. Pengaruh Pencayahaan Terhadap Kelelahan Kerja

Pada umumnya pekerjaan memerlukan penerangan. Penerangan yang baik

dapat memberikan keuntungan pada tenaga kerja, yaitu peningkatan produksi,

memperbesar kesempatan dengan hasil kualitas yang meningkat, menurunkan

tingkat kecelakaan, memudahkan pengamatan dan pengawasan, mengurangi

ketegangan mata, dan mengurangi terjadinya kerusakan barang-barang yang

dikerjakan. Penerangan yang buruk dapat berakibat kelelahan mata,

memperpanjang waktu kerja, keluhan pegal didaerah mata dan sakit kepala

disekitar mata, kerusakan indra mata dan kelelahan mental. Timbulnya kelelahan

mata mengakibatkan berkurangnya daya dan efisiensi kerja, menimbulkan

kelelahan kerja serta meningkatkan kecelakaan kerja (Wardhani dkk., 2004).

b. Pengukuran Penerangan

Menurut Budiono (2003), pengukuran intensitas penerangan dilakukan

dengan menggunakan alat Lux Meter atau Ligh Meter. Alat ini bekerja

berdasarkan pengubahan energi cahaya menjadi energi listrik oleh photo electric

cell. Intensitas penerangan diukur dengan dua cara, yaitu:

1) Penerangan umum, diukur setiap meter persegi luas lantai, dengan tinggi

pengukuran kurang lebih 85 cm dari lantai.

2) Penerangan lokal, diukur ditempat atau meja kerja pada obyek yang dilihat

oleh tenaga kerja. Intensitas penerangan dinyatakan dalam Lux.

c. Cara Pengendalian Penerangan

Page 5: Bab II Hiperkes

Pengendalian penerangan tergantung dari kondisi yang ada, tetapi secara

umum pengendalian yang dipilih adalah yang paling efektif. Secara garis besar

langkah-langkah pengendalian masalah penerangan di tempat kerja, yaitu:

1) Modifikasi sistem penerangan yang sudah ada, seperti:

a) Menaikkan atau menurunkan letak lampu didasarkan pada objek kerja.

b) Merubah posisi lampu.

c) Menambah atau mengurangi jumlah lampu.

d) Mengganti jenis lampu yang lebih sesuai.

e) Mengganti tudung lampu.

f) Mengganti warna lampu yang digunakan.

2) Modifikasi pekerjaan, seperti:

a) Membawa pekerjaan lebih dekat ke mata, sehingga objek dapat dilihat

dengan jelas.

b) Merubah posisi kerja untuk menghindari bayang-bayang, pantulan,

sumber kesilauan dan kerusakan penglihatan.

3) Pemeliharaan dan pembersihan lampu

4) Penyediaan penerangan lokal (Anonim, 2007).

D. KELELAHAN KERJA

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian kelelahan yaitu

perihal (keadaan) lelah, kepenatan, kepayahan. Lelah pada setiap orang akan

memiliki arti tersendiri dan tentu saja subyektif sifatnya. Lelah pada umumnya

diartikan dengan menurunnya efisiensi dan berkurangnya ketahanan dalam bekerja.

Kadangkala istilah ini digunakan untuk menunjukan rasa payah dan letih yang

menunjukan menurunnya output dan menunjuk pada kondisi fisiologis kelelahan

sebagai akibat dari aktifitas yang terus-menerus. Dalam arti psikologis kelelahan

adalah keadaan mental dengan ciri-ciri menurunnya motivasi, menurunnya

kecermatan, dan kecepatan pemecahan persoalan (Soetomo,1981) dan

kesemuanya ini berakibat pada pengurangan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh

(Suma’mur, 1994).

a. Kelelahan kerja berdasarkan waktu terjadinya terbagi atas dua, yaitu :

1) Kelelahan akut yang disebabkan oleh kerja suatu organ atau seluruh tubuh

secara berlebihan dan akan hilang dengan istrahat atau dengan cara

menghilangkan gangguan-gangguannya.

Page 6: Bab II Hiperkes

2) Kelelahan kronis terjadi bila kelelahan yang dirasakan berlangsung setiap hari,

berkepanjangan dan bahkan kadang-kadang telah terjadi sebelum memulai

suatu pekerjaan atau kelelahan akibat akumulasi efek jangka panjang dan

sangat membahayakan kondisi pekerja dalam melaksanakan tugasnya karena

daya tahan tubuhnya sudah menurun (Sastrowinoto, 1985). Gejalahnya dapat

dikenali sebagai berikut :

a) Meningkatnya kejengkelan (tidak toleran, bersikap anti sosial).

b) Kecenderungan ke arah depresi (kebingungan yang tidak bermotif).

c) Kelemahan umum di dalam perjuangan dan kemauan dalam bekerja.

Suma’mur (2009:358), menyatakan penyebab kelelahan meliputi lima

faktor utama, diantaranya sebagai berikut :

a. Lingkungan tempat kerja seperti iklim, penerangan, kebisingan, getaran

dan lain-lain.

b. Keadaan monotoni

c. Intensitas dan beban kerja fisik maupun mental

d. Masalah kejiwaan seperti konflik, rasa kekhawatiran, tanggung jawab

e. Status gizi, penyakit dan perasaan rasa sakit ,

a. Pengukuran Kelelahan

Sampai saat ini belum ada ukuran yang mutlak dalam pengukuran

kelelahan, sejauh ini pengukuran kelelahan hanya mampu mengukur

beberapa indikator kelelahan saja (Budiono, 2003).

Menurut Muftia (2005), salah satu alat guna mengetahui tingkat

kelelahan adalah dengan alat reactiontimer(waktu reaksi), yaitu alat untuk

mengukur tingkat kelelahan berdasarkan kecepatan waktu reaksi seseorang

terhadap rangsang cahaya dan rangsang suara. Waktu reaksi yang diukur

dapat merupakan reaksi sederhana atas rangsang tunggal atau reaksi-reaksi

yang memerlukan koordinasi. Biasanya waktu reaksi adalah jangka waktu

dari pembuatan rangsang sampai kepada suatu saat kesadaran atau

dilaksanakannya kegiatan tertentu. proses penerimaan rangsangan terjadi

Page 7: Bab II Hiperkes

karena setiap rangsang yang datang dari luar tubuh akan melewati sistem

aktivitas, yang kemudian secara aktif menyiagakan korteks bereaksi. Dalam

hal ini sistem aktivasi retrikulasi befungsi sebagai distributor dan amplifier

sinyal-sinyal tersebut.

Alat reaction timer dapat mengukur tingkat kelelahan kerja, yang

hasilnya dapat diklasifikasikan menjadi 5 kriteria yang dapat dilihat pada

tabel 3 sebagai berikut :

Tabel 3 : Interpretasi Tingkat Kelelahan

Tingkat KelelahanWaktu

1 Menit 2 Menit 3 Menit

Prima 49-60 97-120 145-180

Normal 37-48 73-96 109-114

Sedang 25-36 49-72 73-108

Lelah 13-24 25-48 37-72

Sangat Lelah 0-12 0-24 0-32

Pada keadaan yang sehat, tenaga kerja akan lebih cepat merespon

rangsang yang diberi dan seseorang yang telah mengalami kelelahan akan lebih

lama merespon rangsang yang diberi.

E. SPIROMETRI

Pada individu normal terjadi perubahan (nilai) fungsi paru secara fisiologis

sesuai dengan perkembangan umur dan pertumbuhan parunya (lung growth). Mulai

dari fase anak sampai kira- kira umur 22-24 tahun terjadi pertumbuhan paru sehingga

pada waktu itu nilai fungsi paru semakin besar bersamaan dengan pertambahan umur.

Beberapa waktu nilai fungsi paru menetap (stasioner) kemudian menurun secara

gradual, biasanya pada usia 30 tahun mulai mengalami penurunan, selanjutnya nilai

fungsi paru mengalami penurunan rata-rata sekitar 20 ml tiap pertambahan satu tahun

usia seseorang (Yulaekah, 2007). Gangguan fungsi ventilasi paru menyebabkan

jumlah udara yang masuk ke dalam paru-paru akan berkurang dari normal. Gangguan

fungsi ventilasi paru yang utama adalah :

Page 8: Bab II Hiperkes

1) Restriksi, yaitu penyempitan saluran paru-paru yang diakibatkan oleh bahan yang

bersifat alergen seperti debu, spora jamur, dan sebagainya, yang mengganggu

saluran pernapasan.

2) Obstruksi, yaitu penurunan kapasitas fungsi paru yang diakibatkan oleh

penimbunan debu-debu sehingga menyebabkan penurunan kapasitas fungsi paru.

3) Kombinasi obstruksi dan restriksi (mixed), yaitu terjadi juga karena proses

patologi yang mengurangi volume paru, kapasitas vital dan aliran udara, yang

juga melibatkan saluran napas. Rendahnya FEVl/FVC (%) merupakan suatu

indikasi obstruktif saluran napas dan kecilnya volume paru merupakan suatu

restriktif (Yulaekah, 2007).

Prinsip spirometri adalah mengukur kecepatan perubahan volume udara di

paru-paru selama pernafasan yang dipaksakan atau disebut forced volume capacity

(FVC). Prosedur yang paling umum digunakan adalah subyek menarik nafas secara

maksimal dan menghembuskannya secepat dan selengkap mungkin Nilai FVC

dibandingkan terhadap nilai normal dan nilai prediksi berdasarkan usia, tinggi badan

dan jenis kelamin.

Sebelum dilakukan spirometri, terhadap pasien dilakukan anamnesa,

pengukuran tinggi badan dan berat badan. Pada spirometer terdapat nilai prediksi

untuk orang Asia berdasarkan umur dan tinggi badan. Bila nilai prediksi tidak sesuai

dengan standar Indonesia, maka dilakukan penyesuaian nilai prediksi menggunakan

standar Indonesia. Volume udara yang dihasilkan akan dibuat prosentase pencapaian

terhadap angka prediksi. Spirometri dapat dilakukan dalam bentuk social vital

capacity (SVC) atau forced vital capacity (FVC). Pada SCV, pasien diminta bernafas

secara normal 3 kali (mouthpiece sudah terpasang di mulut) sebelum menarik nafas

dalam-dalam dan dihembuskan secara maksimal. Pada FVC, pasien diminta menarik

nafas dalam-dalam sebelum mouth piece dimasukkan ke mulut dan dihembuskan

secara maksimal.

F. ANTROPOMETRI

Antropometri berasal dari kata antro yang berarti manusia dan metri berarti

ukuran. Secara definif antropometri dapat dinyatakan sebagai suatu studi yang

berkaitan dengan pengukuran dimensi tubuh manusia. Data antropometri akan

menentukan bentuk, ukuran dan dimensi yang tepat yang berkaitan dengan produk

Page 9: Bab II Hiperkes

yang dirancang dan manusia yang akan mengoperasikan / menggunakan produk

tersebut.

Ukuran tubuh / antropometri masing-masing orang berbeda – beda. Dalam

merancang suatu peralatan kerja perlu memperhatikan bermacam faktor antara lain:

Umur, jenis kelamin, suku / bangsa, posisi tubuh.

Ukuran – ukuran antropometri terpenting sebagai dasar ukuran -ukuran dan

penempatan alat – alat industri:

- Berdiri :

a. Tinggi badan berdiri

b. Tinggi bahu

c. Tinggi siku

d. Tinggi pinggul

e. Panjang lengan

- Duduk

a. Tinggi duduk

b. Panjang lengan atas

c. Panjang lengan bawah dan tangan

d. Jarak lekuk lutut – garis punggung

e. Jarak lekuk lutut – telapak kaki

Data-data diatas digunakan antara lain untuk menentukan ukuran kursi dan

meja kerja yang sesuai dengan antropometri tenaga kerja, sedangkan dari

pengukuran tubuh saat melakukan gerakan diperoleh data fungsional yang antara

lain berguna untuk menentukan luas area kerja yang memberikan kemudahan bagi

tenaga kerja dalam melakukan pekerjaan.

Keselarasan antara berbagai ukuran tubuh dan baginya dengan alat kerja

dalam hal ini ukuran meja dan kursi belajar siswa diharapkan tercapainya

optimalisasi dan efisiensi kerja secara maksimal, karena ukuran manusia tidak dapat

diubah, sehingga alat kerja dan ruangan kerja yang menyesuaikan bermacam ukuran

tubuh manusia. Dari ergonomi, sebelum membuat berbagai peralatan kerja

semestinya selalu diketahui mengenai antropometri tenaga kerja untuk

mempersiapkan dan merancang alat serta ruangan kerja yang ergonomis.