BAB II ISI + PENUTUP
-
Upload
dwi-pratiwi -
Category
Documents
-
view
236 -
download
7
description
Transcript of BAB II ISI + PENUTUP
BAB II
ISI
A. Pengertian dari BHD
Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support, disingkat BLS) adalah suatu
tindakan penanganan yang dilakukan dengan sesegera mungkin dan bertujuan
untuk menghentikan proses yang menuju kematian.
Bantuan hidup dasar merupakan tindakan untuk mempertahankan jalan
nafas dan membantu pernafasan dan sirkulasi tanpa menggunakan alat selain alat
bantu nafas sederhana. Kombinasi nafas bantuan dan kompresi dada disebut
resusitasi jantung paru (RJP).
Bantuan hidup dasar ini adalah usaha yang dilakukan untuk menjaga jalan
nafas (airway) tetap terbuka, menunjang pernafasan dan sirkulasi dan tanpa
menggunakan alat-alat bantu. Usaha ini harus dimulai dengan mengenali secara
tepat keadaan tanda henti jantung atau henti nafas dan segera memberikan bantuan
sirkulasi dan ventilasi.
Menurut AHA Guidelines tahun 2005, tindakan BLS ini dapat disingkat
dengan teknik ABC yaitu airway atau membebaskan jalan nafas, breathing atau
memberikan nafas buatan, dan circulation atau pijat jantung pada posisi shock.
Namun pada tahun 2010 tindakan BLS diubah menjadi CAB (circulation,
breathing, airway), kemudian dilanjutkan dengan terapi elektrik, dan setelah itu
ALS (Advanced Life Support).
B. Tujuan dari BHD
Tujuan Bantuan Hidup Dasar ini adalah memberikan bantuan dengan cepat
mempertahankan pasok oksigen ke otak, jantung dan alat-alat vital lainnya sambil
menunggu pengobatan lanjutan. Pengalaman menunjukkan bahwa resusitasi
jantung paru akan berhasil terutama pada keadaan 'henti jantung' yang disaksikan
(witnessed) dimana resusitasi segera dilakukan oleh orang yang berada di sekitar
korban.
5
Untuk memberikan hal ini kita juga perlu untuk mengenali akan tanda-
tanda henti jantung dan juga henti nafas. Berikut adalah ciri tanda kriteria henti
jantung (cardiac arrest) :
1. Kesadaran hilang (dalam 15 detik setelah henti jantung).
2. Tak teraba denyut arteri besar (femoralis dan karotis pada orang dewasa
atau brakialis pada bayi).
3. Henti nafas atau mengap-megap (gasping).
4. Terlihat seperti mati (death like appearance)
5. Warna kulit pucat sampai kelabu.
6. Pupil dilatasi (setelah 45 detik). {Sunatrio DR, Resusitasi Jantung Paru,
Editor Muchtaruddin Mansyur, IDI, Jakarta, hal : 193.}
Setelah kita mengenali akan beberapa tanda dari henti jantung, maka kita juga
perlu mengetahui akan penyebab seseorang mengalami henti jantung dan juga
henti nafas.Penyebab henti jantung bisa dikarenakan beberapa faktor seperti
halnya :
1. Infark miokard akut, dengan komplikasi fibrilasi ventrikel, cardiac
standstill, aritmia lain, renjatan dan edema paru.
2. Emboli paru, karena adanya penyumbatan aliran darah paru.
3. Aneurisma disekans, karena kehilangan darah intravaskular.
4. Hipoksia, asidosis, karena adanya gagal jantung atau kegagalan paru berat,
tenggelam, aspirasi, penyumbatan trakea, pneumothoraks, kelebihan
dosis obat, kelainan gangguan susunan saraf pusat.
5. Gagal ginjal, karena adanya hyperkalemia.
6
Obstruksi Jalan Nafas
1. Obstruksi total Berawal dari obstruksi parsial yang kemudian menjadi
total.
- Membebaskan sumbatan karena benda asing pada orang dewasa :
a. Lakukan Hemlich Manuver
b. Penderita Obesitas & Wanita hamil dengan chest thrust
c. Hubungi SPGDT
d. Lakukan Abdominal thrust
e. Bila benda terkihat lakukan dengan sapuan jari
- Pada anak / bayi :
a. Jika sumbatan ringan. biarkan penderita membersihkan jalan
napasnya sendiri dengan batuk
b. Jika sumbatan berat, lakukan Hemlich manuver. pada bayi,
lakukan back follow diikuti chest trust berulang sampai benda
keluar
c. Jika penderita tidak sadar lakukan RJP. Perhatikan sebelum
melakukan ventilasi apakah terdapat benda atau tidak pada mulut
penderita.
2. Obstruksi Parsial : Pertolongan untuk obstruksi parsial biasanya dilakukan
dengan pemasangan alat di Rumah Sakit.
C. Konsep AHA 2010
American Heart Association (AHA) baru-baru ini telah mempublikasikan
pedoman cardio pulmonary resuscitation dan perawatan darurat kardiovaskular
2010. Seperti kita ketahui, para ilmuan dan praktisi kesehatan terus mengeavaluasi
CPR atau yang lebih kita kenal dengan RJP ini dan mempublikasikannya setiap 5
tahun.
Evaluasi dilakukan secara menyeluruh mencakup urutan dan prioritas
langkah-langkah CPR dan disesuaikan dengan kemajuan ilmiah saat ini unutk
7
mengidentifikasi faktor yang mempunyai dampak terbesar pada kelangsungan
hidup. Atas dasar kekuatan bukti yang tersedia, mereka mengembangkan
rekomendasi untuk mendukung intervensi yang hasilnya menunjukkan paling
menjanjikan.
Rekomendasi di 2010 Pedoman mengkonfirmassi keamanan dan efektifitas
dari banyak pendekatan, mengakui ketidakefektifan orang lain fan
memperkenalkan perawatan baru berbasis evaluasi bukti intensif dan konsesnsus
para ahli. Kehadiran rekomendasi baru ini tidak untuk menunjukkan bahwa
pedomansebelumnya tidak aman atau tidak efektif.
Setelah mengevaluasi berbagai penelitian yang telah dipublikasi selama lima
tahun terakhir AHA mengeluarkan Panduan Resusitasi Jantung Paru (RJP) 2010.
Fokus utama RJP 2010 ini adalah kualitas kompresi dada.
Berikut ini adalah beberapa perbedaan antara Panduan RJP 2005 dengan RJP
2010 :
1. Bukan ABC lagi tapi CAB
Sebelumnya dalam pedoman pertolongan pertama, kita mengenal ABC :
airway, breathing dan chest compressions, yaitu buka jalan nafas, bantuan
pernafasan, dan kompresi dada. Saat ini kompresi dada didahulukan, baru
setelah itu kita bisa fokus pada airway dan breathing. Pengecualian satu-
satunya adalah hanya untuk bayi baru lahir. Namun untuk RJP bayi, RJP
anak, atau RJP dewasa, harus menerima kompresi dada sebelum kita
berpikir memberikan bantuan jalan nafas.
2. Tidak ada lagi look, listen dan feel
Kunci utama menyelamatkan seseorang dengan henti jantung adalah
dengan bertindak, bukan menilai. Telepon ambulans segera saat kita
melihat korban tidak sadar dan tidak bernafas dengan baik. Percayalah
pada nyali anda, jika anda mencoba menilai korban bernafas atau tidak
dengan mendekatkan pipi anda pada mulut korban, itu boleh-boleh saja.
8
Tapi tetap saja sang korban tidak bernafaas dan tindakan look feel listen
ini hanya akna menghabiskan waktu
3. Kompresi dada lebih dalam lagi
Seberapa dalam anda harus menekan dada telah berubah pada RJP 2010
ini. Sebelumnya adalah 1 ½ sampai 2 inchi (4-5 cm), namun sekarang
AHA merekomendasikan untuk menekann setidaknya 2 inchi (5 cm) pada
dada.
4. Kompresi dada lebih cepat lagi
AHA mengganti redaksi kalimat disini. Sebelumnya tertulis: tekanan dada
sekitar 100 kompresi per menit. Sekarang AHA merekomndasikan kita
untuk menekan dada minimal 100 kompresi per menit. Pada kecepatan ini,
30 kompresi membutuhkan waktu 18 detik.
5. Hands only CPR
Ada perbedaan teknik dari yang tahun 2005, namun AHA mendorong RJP
seperti ini pada 2008. AHA masih menginginkan agar penolong yang tidak
terlatih melakukan Hands only CPR pada korban dewasa yang pingsan di
depan mereka. Pertanyaan besarnya adalah: apa yang harus dilakukan
penolong tidak terlatih pada korban yang tidak pingsan di depan mereka
dan korban yang bukan dewasa/ AHA memang tidak memberikan jawaban
tentang hal ini namun ada saran sederhana disini: berikan hands only CPR
karena berbuat sesuatu lebih baik daripda tidak berbuat sama sekali.
6. Kenali henti jantung mendadak
RJP adalah satu-satunya tata laksana untuk henti jantung mendadak dan
AHA meminta kita waspada dan melakukan RJP saat itu terjadi.
7. Jangan berhenti menekan
Setiap penghentian menekan dada berarti menghentikan darah ke otak
yang mengakibatkan kematian jaringan otak jika aliran darah berhenti
9
terlalu lama. Membutuhkan beberapa kompresi dada untuk mengalirkan
darah kembali. AHA menghendaki kita untuk terus menekan selama kita
bisa. Terus tekan hingga alat defibrilator otomatis datang dan siap untuk
menilai keadaan jantung. Jika sudah tiba waktunya untuk pernafasan dari
mulut ke mulut, lakukan segera dan segera kembali pada menekan dada.
Tanggal 18 obtober 2010 lalu AHA (American Hearth Association)
mengumumkan perubahan prosedur CPR (Cardio Pulmonary Resuscitation) atau
dalam bahasa Indonesia disebut RJP (Resusitasi Jantung Paru) yang berbeda dari
prosedur sebelumnya yang sudah dipakai dalam 40 tahun terakhir. Perubahan
tersebut ada dalam sistematikanya, yaitu sebelumnya menggunakan A-B-C
(Airway-Breathing-Circulation) sekarang menjadi C-A-B (Circulation – Airway –
Breathing). Namun perubahan yang ditetapkan AHA tersebut hanya berlaku pada
orang dewasa, anak, dan bayi. Perubahan tersebut tidak berlaku pada neonatus.
Perubahan tersebut menurut AHA adalah mendahulukan pemberian kompresi
dada dari pada membuka jalan napas dan memberikan napas buatan pada
penderita henti jantung. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa teknik
kompresi dada lebih diperlukan untuk mensirkulasikan sesegera mungkin oksigen
keseluruh tubuh terutama organ-organ vital seperti otak, paru, jantung dan lain-
lain.
Menurut penelitian AHA, beberapa menit setelah penderita mengalami henti
jantung masih terdapat oksigen pada paru-paru dan sirkulai darah. Oleh karena itu
memulai kompresi dada lebih dahulu diharapkan akan memompa darah yang
mengandung oksigen ke otak dan jantung sesegera mungkin. Kompresi dada
dilakukan pada tahap awal selama 30 detik sebelum melakukan pembukaan jalan
napas (Airway) dan pemberian napar buatan (bretahing) seperti prosedur yang
lama.
AHA selalu mengadakan review “guidelines” CPR setiap 5 tahun sekali.
Perubahan dan review terakhir dilakukan pada tahun 2005 dimana terjadi
perubahan perbandingan kompresi dari 15 : 2 menjadi 30 : 2. Dengan perubahan
10
ini AHA merekomendasikan agar segera mensosialisasikan perubahan ini kepada
petugas medis, instruktur pelatihan, petugas p3k dan masayarakat umum.
1. Pengertian Resusitasi Jantung Paru (RJP)
Resusitasi jantung paru adalah suatu tindakan gawat darurat akibat kegagalan
sirkulasi dan pernafasan untuk dikembalikan ke fungsi optimal guna
mencegah kematian biologis. Resusitasi jantung paru (RJP), atau juga dikenal
dengan cardio pulmoner resusitation (RJP), atau juga dikenal dengan cardio
pulmoner resusitation (CPR), merupakan gabungan antara pijat jantung dan
pernafasan buatan. Teknik ini diberikan pada korban yang mengalami henti
jantung dan nafas, tetapi masih hidup. Kompikasi dari teknik ini adalah
pendarahan hebat. Jika korban mengalami pendarahan hebat, maka
pelaksanaan RJP akan memperbanyak darah keluar sehingga kemungkinan
korban meninggal dunia lebih besar. Namun, jika korban tidak segera diberi
RJP, korban juga akan meninggal dunia. RJP harus segera dilakukan dalam 4-
6 menit setelah ditemukan telah terjadi henti nafas dan henti jantung untuk
mencegah kerusakan sel-sel otak dan lain-lain. Jika penderita ditemukan
bernafas namun tidak sadar maka posisikan dalam keadaan mentap agar jalan
nafas tetap bebas dan sekret dapat keluar dengan sendirinya.
Mati Klinik RJP Mati Biologik
(Reversibel) 4-6 menit (Ireversibel)
Keterangan :
a. Mati Klinis
Tidak ditemukan adanya pernapasan dan denyut nadi, bersifat reversibel,
penderita punya kesempatan waktu 4-6 menit untuk dilakukan resusitasi
tanpa kerusakan otak.
b. Mati Biologis
Biasanya terjadi dalam waktu 8-10 menit dari henti jantung, dimulai
dengan kematian sel otak, bersifat irreversibel (kecuali berada di suhu
11
yang ekstrim dingin, pernah dilaporkan resusitasi selama 1 jam/lebih dan
berhasil).
Catatan :
Pada korban yang sudah tidak ada refleks mata dan kerusakan batang otak
tidak perlu dilakukan RJP.
2. Indikasi Melakukan RJP
a. Henti Napas (Apneu)
Dapat disebabkan oleh sumbatan jalan napas atau akibat depresi
pernapasan baik di sentral maupun perifer. Berkurangnya oksigen di
dalam tubuh akan emberikan suatu keadaan yang disebut hipoksia.
Frekuensi napas akan lebih cepat dari pada keadaan normal. Bila
perlangsungannya lama akan memberikan kelelahan pada otot-otot
pernapasan. Kelelahan otot-otot pernapasan akan mengakibatkan
terjadinya penumpukan sisa-sisa pembakaran berupa gas CO2, kemudian
mempengaruhi SSP dengan menekan pusat napas. Keadaan inilah yang
dikenal sebagai henti napas.
b. Henti Jantung (Cardiac Arrest)
Otot jantung juga membutuhkan oksigen untuk berkontraksi agar darah
dapat dipompa keluar dari jantung ke seluruh tubuh. Dengan berhentinya
napas, maka oksigen akan tidak ada sama sekali di dalam tubuh sehingga
jantung tidak dapat berkontraksi dan akibatnya henti jantung (cardiac
arrest).
3. Indikasi Basic Life Support
a. Henti Napas
Penyebab : tenggelam, stroke, obstruksi jalan napas akibat benda asing,
menghirup asap, keracunan obat, tersengat listrik, tercekik, trauma dan
lain-lain. Tanda-tanda : dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran
udara pernafasan dari pasien. Pada awal henti nafas oksigen masih di
dalam darah untuk beberapa menit dan jantung masih dapat
mensirkulasikan darah ke otak dan organ vital lainnya, jika pada keadaan
12
inidiberikan bantuan nafas, maka akan sangat bermanfaat sehingga
pasien dapat tetap hidup dan mencegah henti jantung.
b. Henti jantung
Pada saat terjadi henti jantung, secara langsung akan terjadi henti sirkulasi.
Henti sirkulasi ini akan dengan cepat menyebabkan otak dan organ vital
kekurangan oksigen.
Langkah-langkah Basic Life Support
1. D (Danger)
2. R (Respon)
3. S (Shout For Help) Menurut AHA 2010
4. C (Circulation)
5. A (Airway)
6. B (Breathing)
Langkah- Langkah BLS menurut AHA 2010
13
a. D (Danger)
Memperhatikan keamanan dan menghindari bahaya.
a. Amankan diri sendiri : pastikan keamanan penolong
b. Amankan lingkungan : pastikan kemananan lingkungan sekitar
c. Amankan korban : pastikan keamanan pasien
Jika kita melihat pasien/korban yang tergeletak tampak tidak, pertama
kali yang kita harus lakukan adalah memastikan bahwa lingkungan di
sekitar korban yang tergeletak itu aman. Jika belum aman (misalnya
korban tergeletak di tengah jalan raya atau di dalam gedung terbakar),
maka korban harus dievakuasi/dipindah terlebih dahulu ke tempat yang
aman dan memungkinkan mendapatkan pertolongan
b. R (Respon Pasien)
Penentuan tingkat kesadaran dilakukan dengan menggoyangkan
korban. Bila korban menjawab, maka ABC dalam keadaan baik. Dan bila
tidak ada respon, maka perlu ditindaki segera.
Nilai respon pasien apakah pasien benar-benar tidak sadar atau hanya
tidur saja. Mengecek kesadarannya dengan cara memanggil-manggil nama
pasien, menepuk atau menggoyang bahu pasien, misalnya “Pak-pak
bangun !” atau “Bapak baik-baik saja?” Jika masih belum sadar atau
bangun juga bisa diberi rangsang nyeri seperti menekan pangkal kuku jari.
Jika pasien sadar, tanyakan mengapa ia terbaring di tempat ini. Jika pasien
sadar, terlihat kesakitan atau terluka segera cari bantuan dan kemudian
kembali sesegera mungkin untuk menilai kondisi pasien. Pada Advance
Cardiac Life Support 2010, langsung dicek juga pernapasan, apakah
bernapas normal atau gasping saja atau sama sekali tidak bernapas.
c. S (Should For Help)
Bila petugas hanya seorang diri, jangan memulai RJP sebelum
memanggil bantuan. Aktifkan EMS (Emergency Medical Service). Untuk
wilayah Indonesia sebagian besar menggunakan kode 118 atau aktifkan
PSC (Public Safety and Community). Posisikan korban, korban harus
dalam keadaan terlentang pada dasar yang keras (lantai, long spine board).
14
Bila dalam keadaan telungkup, korban dibalikkan. Bila dalam keadaan
trauma, pembalikan dilakukan dengan “Log Roll”. Posisi penolong,
korban di lantai, penolong berlutut di sisi kanan korban.
Misalnya ‘Tolong ada pasien tidak sadar di ruang A, ”tolong panggil
petugas emergensi ” atau ”Tolong ambil alat-alat emergensi ada pasien
tidak sadar di ruang A”. Jika di lapangan : ”Tolong ada pasien tidak sadar
di pantai tolong panggil ambulan atau 118 ”. Jika yang menemukan korban
tidak sadar lebih dari satu orang, maka satu orang mengaktifkan sistem
emergensi sedangkan lainnya menilai kondisi pasien. Dalam menolong
pasien tidak sadar, kita tidak mungkin bekerja sendiri jadi harus meminta
bantuan orang lain. Dalam meminta bantuan, penolong harus
menginformasikan kepada petugas gawat darurat mengenai lokasi
kejadian, penyebabnya, jumlah dan kondisi korban dan jenis pertolongan
yang akan diberikan.
d. C (Circulation)
a) Pada orang dewasa tidak ada denyut nadi karotis
b) Pada bayi dan anak kecil tidak ada denyut nadi brachialis
c) Tidak ada tanda-tanda sirkulasi
d) Bila ada pulsasi dan korban bernapas, napas buatan dapat dihentikan.
Tetapi bila pulsasi dan korban tidak bernapas, napas buatan diteruskan.
Dan bila tidak ada pulsasi, dilakukan RJP.
e) Kaji nadi carotis < 10 detik
1) (+) Napas buatan tanpa kompresi 8-10x/menit
2) (-) Napas buatan + Kompresi (30 : 2)
3) Sirkulasi (-) : teruskan kompresi + ventilasi (5 siklus)
4) Sirkulasi (+) & Napas (-) : napas buatan 8-10 x/menit
5) Sirkulasi (+) & Napas (+) : posisi sisi mantap jaga jalan napas
Misalnya lakukan perabaan nadi segera dalam waktu 10 detik. bisa
dilakukan mengecek nadi arteri karotis. Nadi carotis dapat diraba dengan
menggunakan 2 atau 3 jari menempel pada daerah kira-kira 2 cm dari garis
tengah leher atau jakun pada sisi yang paling dekat dengan pemeriksa.
15
Waktu yang tersedia untuk mengukur nadi carotis sekitar 5 – 10 detik. Jika
nadi tidak teraba segera lakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP) dengan
perbandingan kompresi dada (pijat jantung luar) 30 dan ventilasi (nafas
buatan) 2 tiupan. Kecepatan kompresi dada sedikitnya 100 kali/menit.
Kompresi dada merupakan tindakan yang berirama berupa penekanan
telapak tangan pada tulang sternum sepertiga bagian bawah dengan tujuan
memompa jantung dari luar sehingga aliran darah terbentuk dan dapat
mengalirkan oksigen ke otak dan jaringan tubuh. Usahakan mengurangi
penghentian kompresi dada selama RJP.
e. A (Airway)
Gunakan manuver chin lift untuk membuka jalan nafas korban yang
tidak mengalami cedera kepala dan leher. Jika diperkirakan ada trauma
leher maka gunakan tehnik jaw thrust. Untuk lebih jelas lihat
kembali pengelolaan jalan nafas.Periksa pernafasan dengan menggunakan
tehnik LLF (Look, Listen, Feel) dengan tetap mempertahankan terbukanya
jalan nafas selama 10 detik. Teknik LLF dapat dilihat di pengelolaan jalan
nafas
f. B (Breathing)
Jika masih tidak ada pernafasan maka segera beri nafas buatan dua
kali pernafasan dengan tetap menjamin terbukanya jalan nafas. Bisa
dengan mulut ke mulut/hidung atau dengan menggunakan sungkup muka.
Satu kali pernafasan selama satu detik sampai dada tampak mengembang.
Jika dada tidak mengembang kemungkinan pemberian nafas buatan tidak
adekuat atau jalan nafas tersumbat.
Jika tersedia alat defibrilator dengan AED (Automatic Emergency
Defibrilator), maka kita dapat menyiapkannya untuk pemeriksaan heart rate dan
irama jantung dan jika ada indikasi melakukan defibrilasi.
Jika nadi teraba, nafas buatan diteruskan dengan kecepatan 8-10 kali/menit
atau satu kali pernafasan diberikan setiap 6-8 detik disertai pemberian oksigen dan
16
pemasangan infus. Jika perlu pemasangan ETT dan ventilator.
Pemantauan/monitoring terus dilakukan. Pemeriksaan denyut nadi dilakukan
setiap 2 menit sampai pasien stabil. Pasien dirawat di ruang Intensif Care Unit
(ICU). Penyebab henti nafas harus dicari dengan melakukan anamnesis pada
keluarga penderita dan pemeriksaan fisik
Pikirkan penyebabnya hipotensi/syok, edema paru, infark myokard dan aritmia.
Aritmia bisa berupa aritmia yang sangat cepat seperti Supra Ventrikel Takikardi (SVT),
atrial flutter, atrial fibrilasi, ventrikel takikardi. Aritmia sangat lambat bisa berupa AV
blok derajat II dan derajat III. Koreksi penyebab atau konsul ke dokter ahli.
1. Cara melakukan RJP
a. Penderita harus berbaring terlentang di atas alas yang keras. Posisi
penolong berlutut di sisi korban sejajar dengan dada penderita.
b. Penolong meletakkan bagian yang keras telapak tangan pertama penolong
di atas tulang sternum di tengah dada di antara kedua puting susu penderita
(2-3 jari di atas prosesus Xihoideus) dan letakkan telapak tangan kedua di
atas telapak tangan pertama sehingga telapak tangan saling menumpuk.
Kedua lutut penolong merapat, lutut menempel bahu korban, kedua lengan
tegak lurus, pijatan dengan cara menjatuhkan berat badan penolong ke
sternum.
c. Tekan tulang sternum sedalam 4-5 cm (sekurangnya 2 inci) kemudian
biarkan dada kembali normal (relaksasi). Waktu kompresi dan relaksasi
dada diusahakan sama. Jika ada dua penolong, penolong pertama sedang
melakukan kompresi maka penolong kedua sambil menunggu pemberian
ventilasi sebaiknya meraba arteri karotis untuk mengetahui apakah
kompresi yang dilakukan sudah efektif. Jika nadi teraba berarti kompresi
efektif.
17
d. Setelah 30 kali kompresi dihentikan diteruskan dengan pemberian ventilasi
2 kali (1 siklus = 30 kali kompres dan 2 kali ventilasi). Setiap 5 siklus
dilakukan monitoring denyut nadi dan pergantian posisi penolong jika
penolong lebih dari satu orang.
e. Jika terpasang ETT maka tidak menggunakan siklus 30 : 2 lagi. Kompresi
dilakukan dengan kecepatan sekurangnya 100 kali/menit tanpa berhenti
dan ventilasi dilakukan 8-10 kali/menit. Setiap 2 menit dilakukan
pergantian posisi untuk mencegah kelelahan.
1. RJP pada anak
a. Letakkan penderita pada posisi terlentang di atas alas yang keras
b. Pijat jantung dengan menggunakan satu tangan dengan bertumpu pada
telapak tangan di atas tulang dada, di tengah sternum.
c. Penekanan tulang dada dilakukan sampai turun ± 3-4 cm (2 inches) dengan
frekuensi sekurangnya 100 kali/menit.
2. RJP pada bayi
a. Letakkan penderita pada posisi terlentang di atas alas yang keras
b. Untuk pijat jantung gunakan penekanan dua atau tiga jari. Bisa
menggunakan ibu jari tangan kanan dan kiri menekan dada dengan kedua
tangan melingkari punggung dan dada bayi. Bisa juga dengan
menggunakan jari telunjuk, jari tengah dan atau jari manis langsung
menekan dada. kedalaman pijatan (1,5 inches)
c. Tekan tulang dada sampai turun kira-kira sepertiga diameter anterior-
posterior rongga dada bayi dengan frekuensi minimal 100 kali/menit.
3. RJP pada situasi khusus
a. Tenggelam
18
Tenggelam merupakan penyebab kematian yang dapat dicegah.
Keberhasilan menolong korban tenggelam tergantung dari lama dan
beratnya derajat hipoksia. Penolong harus melakukan RJP terutama
memberikan bantuan nafas, secepat mungkin setelah korban dikeluarkan
dari air. Setelah melakukan RJP selama 5 siklus barulah seorang penolong
mengaktifkan system emergensi. Manuver yang dilakukan untuk
menghilangkan sumbatan jalan nafas tidak direkomendasikan karena bisa
menyebabkan trauma, muntah dan aspirasi serta memperlambat RJP.
b. Hipotermi
Pada pasien tidak sadar oleh karena hipotermi, penolong harus menilai
pernafasan untuk mengetahui ada tidaknya henti nafas dan menilai denyut
nadi unuk menilai ada tidaknya henti jantung atau adanya bradikardi
selama 30-45 detik karena frekuensi jantung dan pernafasan sangat lambat
tergantung derajat hipotermi.
Jika korban tidak bernafas, segera beri pernafasan buatan. Jika nadi
tidak ada segera lakukan kompresi dada. Jangan menunggu suhu tubuh
menjadi hangat. Untuk mencegah hilangnya panas tubuh korban, lepaskan
pakaian basah, beri selimut hangat jika mungkin beri oksigen hangat.
c. Sumbatan jalan nafas oleh benda asing.
Lihat di pengeloaan jalan nafas
4. Posisi sisi mantap (recovery position)
Posisi ini digunakan untuk korban yang tidak sadar yang telah bernafas
normal dan sirkulasi aman. Posisi ini dibuat untuk menjaga jalan nafas tetap
terbuka dan mengurangi risiko sumbatan jalan nafas dan aspirasi. Caranya
korban diletakkan miring pada salah satu sisi tubuh dengan tangan yang
dibawah berada di depan badan.
19
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Tanggal 18 obtober 2010 lalu AHA (American Hearth Association)
mengumumkan perubahan prosedur CPR (Cardio Pulmonary Resuscitation)
atau dalam bahasa Indonesia disebut RJP (Resusitasi Jantung Paru) yang
berbeda dari prosedur sebelumnya yang sudah dipakai dalam 40 tahun
terakhir. Perubahan tersebut ada dalam sistematikanya, yaitu sebelumnya
menggunakan A-B-C (Airway-Breathing-Circulation) sekarang menjadi C-A-
B (Circulation – Airway – Breathing). Namun perubahan yang ditetapkan
AHA tersebut hanya berlaku pada orang dewasa, anak, dan bayi. Perubahan
tersebut tidak berlaku pada neonatus.
Perubahan tersebut menurut AHA adalah mendahulukan pemberian
kompresi dada dari pada membuka jalan napas dan memberikan napas buatan
pada penderita henti jantung. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa
teknik kompresi dada lebih diperlukan untuk mensirkulasikan sesegera
mungkin oksigen keseluruh tubuh terutama organ-organ vital seperti otak,
paru, jantung dan lain-lain.
Menurut penelitian AHA, beberapa menit setelah penderita mengalami
henti jantung masih terdapat oksigen pada paru-paru dan sirkulai darah. Oleh
karena itu memulai kompresi dada lebih dahulu diharapkan akan memompa
darah yang mengandung oksigen ke otak dan jantung sesegera mungkin.
Kompresi dada dilakukan pada tahap awal selama 30 detik sebelum
melakukan pembukaan jalan napas (Airway) dan pemberian napar buatan
(bretahing) seperti prosedur yang lama.
20
AHA selalu mengadakan review “guidelines” CPR setiap 5 tahun sekali.
Perubahan dan review terakhir dilakukan pada tahun 2005 dimana terjadi
perubahan perbandingan kompresi dari 15 : 2 menjadi 30 : 2. Dengan
perubahan ini AHA merekomendasikan agar segera mensosialisasikan
perubahan ini kepada petugas medis, instruktur pelatihan, petugas p3k dan
masayarakat umum.
B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan sehubungan dengan paparan materi di
atas adalah sebagai berikut.
1. Mahasiswa diharapkan untuk tidak melupakan paparan mengenai Bantuan
Hidup dasar (BHD) yang meliputi : Definisi, tujuan BHD serta konsep
AHA 2010 mengingat materi ini sangat berperan bagi mahasiswa dalam
menjalankan profesinya nanti untuk memberikan asuhan keperawatan
secara profesional.
2. Kepada pihak perawat diharapkan untuk mengetahui dan memahami
tentang Bantuan Hidup dasar (BHD) yang meliputi : Definisi, tujuan BHD
serta konsep AHA 2010 agar bisa melakukan per-tolongan secara
maksimal apabila terdapat orang dengan henti nafas (secara nyata atau riil)
maupun mempersiapkan diri sebaik mungkin terhadap kemungkinan yang
akan terjadi pada saat dibutuhkan bantuan.
21
DAFTAR PUSTAKA
Andrew H, Travers. Thomas D, Rea. Bentley J, Bobrow et al. CPR Overview: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2010;122;S676-S684
Diana M, Cave. Raul J, Gazmuri. Charles W, Otto et al. CPR Techniques and Devices: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2010;122;S720-S728
Hazinski MF, Field JM. 2010 American heart association guidelines for cardiopulmonary rescucitation and emergency cardiovascular care science. AHA: 2010. www.circ.ahajournals.org. Downloaded at October 19th 2010
Robert A, Berg. Robin, Hemphill. Benjamin S, Abella. Tom et al. Adult Basic Life Support: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2010;122;S685-S705
Rosdiana. 2012. Makalah Kdpk Bantuan Hidup Dasar. https://rosdianamasruroh580.wordpress.com/2012/12/07/makalah-kdpk-bantuan-hidup-dasar/ (Diakses tanggal 2 September 2015)
Anonim. 2010.Bantuan Hidup Dasar. http://pertolonganpertama-pertolonganpertama.blogspot.co.id/2011/01/bantuan-hidup-dasar.html (Diakses tanggal 2 September 2015)
22