BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biji Mahoni - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/19218/3/1392061007-3-BAB...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biji Mahoni - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/19218/3/1392061007-3-BAB...
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biji Mahoni
Tanaman mahoni (Swietenia mahagoni) merupakan salah satu tanaman
yang dianjurkan dalam pengembangan HTI (Hutan Tanaman Industri). Mahoni
dalam klasifikasinya termasuk famili Meliaceae. Mahoni dapat ditemukan tumbuh
liar di hutan jati dan tempat-tempat lain yang dekat dengan pantai atau ditanam
ditepi jalan sebagai pohon pelindung (Qodri et al., 2014), bentuk pohon dan biji
mahoni dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Klasifikasi dari tanaman mahoni adalah (Plantamor, 2012):
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Devisi : Spermatophyta (Menghasilkan Biji)
Devisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua/ dikotil)
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Sapindales
Famili : Meliaceae
Genus : Swietenia
Species : Swietenia mahagoni (L.) Jacq.
7
A B
Gambar 2.1
Tanaman Mahoni (A) Pohon mahoni (B) Biji mahoni (Adminboro, 2014)
Pada tahun 70-an, mahoni banyak dicari orang sebagai obat. Orang-orang
mengonsumsi biji mahoni hanya dengan menelan bijinya setelah membuang
bagian yang pipih. Penelitian Genus Swietenia (mahoni) sekarang ini semakin
berkembang. Dadang dan Ohsawa (2000) melaporkan ekstrak biji Swietenia
mahagoni pada konsentrasi 5% dapat memberi penghambatan makan 100% larva
P. xylostella. Menurut Prijono (1998) ekstrak biji mahoni pada konsentrasi 0.25%
dapat menyebabkan kematian larva C. pavonana 10.4% (Siregar et al., 2006).
Kandungan kimia mahoni dipengaruhi oleh iklim dan cuaca serta habitat
masing-masing mahoni. Biji mahagoni afrika Khaya segenalensis yang diekstraksi
dengan etanol, dan dipartisi dengan etil asetat mengandung senyawa
tetranortriterpenoid. Ekstrak biji S. macrophylla mengandung triterpenoid yaitu
swietenin dan swietenolida tiglat, serta flavonoid dan tanin. Esktrak etanol dari
biji Swietenia sp mengandung alkaloid, terpenoid, dan flavonoid (Sianturi, 2001).
8
Biji mahoni memiliki efek farmakologis antipiretik, antijamur,
menurunkan tekanan darah tinggi (hipertensi), kencing manis (diabetes mellitus),
kurang nafsu makan, demam, masuk angin, dan rematik. Hasil penelitian yang
sering dipublikasi adalah ekstrak biji mahoni untuk menurunkan kadar glukosa
darah pada tikus Wistar. Kabar yang terbaru bahwa ekstrak biji mahoni termasuk
salah satu obat tradisional yang dapat menghambat pertumbuhan HIV AIDS
dalam laboratorium. Penelitian ekstrak mahoni sebagai antibiotik juga telah
dilaporkan, bahkan penelitinya menganjurkan agar diteliti lebih jauh, karena
potensial untuk digunakan sebagai antibiotik baru terutama untuk bakteri yang
resistan terhadap antibiotik yang ada (Rasyad, 2012).
2.2 Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol yang terbesar di alam.
Senyawa flavonoid ditemukan dalam tumbuhan tingkat tinggi, tetapi tidak dalam
mikroorganisme. Dalam tumbuhan flavonoid memiliki fungsi pengatur dalam
proses fotosintesis, kerja antimikroba, dan antivirus. Berbagai jenis senyawa,
kandungan dan aktivitas antioksidatif flavonoid sebagai salah satu kelompok
antioksidan alami yang terdapat pada sereal, sayur-sayuran biji-biji buah, telah
banyak dipublikasikan. Flavonoid berperan sebagai antioksidan dengan cara
mendonasikan atom hidrogennya atau melalui kemampuannya mengkelat logam,
berada dalam bentuk glukosida (mengandung rantai samping glukosa). Flavon,
flavonol, dan antosianidin adalah jenis yang banyak ditemukan di alam sehingga
sering disebut sebagai flavonoid utama. Banyaknya senyawa flavonoid ini
9
disebabkan oleh berbagai tingkat hidroksilasi, alkoksilasi atau glikosilasi dari
struktur tersebut (Redha, 2010).
Umumnya flavonoid larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol,
aseton, dan air. Adanya gula yang terikat pada flavonoid cenderung menyebabkan
flavonoid lebih mudah larut dalam air (Markham, 1998). Flavonoid dapat
memberikan warna yang khas terhadap pereaksi pendeteksi flavonoid, seperti :
NaOH 10 %, asam sulfat pekat, bubuk magnesium-asam klorida pekat, dan
natrium amalgam-asam klorida pekat (Harborne, 1987).
Senyawa flavonoid tersusun atas 15 atom karbon pada inti dasarnya
dengan konfigurasi C6-C3-C6 yaitu dua cincin aromatik dan dihubungkan oleh
atom karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga (Indradewi,
2011). Struktur dasar flavonoid dapat dilihat pada Gambar 2.2.
A C
B
Gambar 2.2
Struktur dasar flavonoid (Robinson, 1991)
Berdasarkan struktur dasarnya maka dapat dikenal beberapa golongan
flavonoid diantaranya: khalkon, auron, flavanon, isoflavon, flavon,
10
dihidroflavonol, flavonol, antosianidin, katekin, (flavan 3-ol), dan
proantosiainidin yang tertera pada Gambar 2.3.
O
O
5
6
7
8
4
2
3
6'
5'
4'
3'
2'
O
O
OH
O
O
OH
Flavon Dihdroflavonon Flavonol
O
5
6
7
8
4
2
3
6'
5'
4'
3'
2'
6'
5'
4'
3'
6
5
4
3
O
2
2'
O
5
6
7
8
4
2
3
6'
5'
4'
3'
2'
OH
OH
Antosianidin Khalkon Flavan 3,4-diol
O
5
6
7
8
4
2
3
6'
5'
4'
3'
2'
OH
O
CH
O
4
5
7
6
2'
3'
4'
5'
6'
Katekin Auron
O
5
6
7
8
4
2
3
6'
5'
4'
3'
2'
O
O
5
6
7
8
4
2
3
6'
5'
4'
3'
2'
OH
n
O
5
6
7
8
4
2
3
6'
5'
4'
3'
2'
O
Isoflavon Proantosianidin Flavanon
Gambar 2.3
Struktur dasar beberapa golongan senyawa flavonoid (Indradewi, 2011)
11
2.3 Hewan Uji
Hewan Uji yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tikus putih berjenis
Rattus novergicus galur Wistar (Gambar 2.4) dikembangkan di Institut Wistar
pada tahun 1906 untuk digunakan dalam biologi dan penelitian medis.
Gambar 2.4
Tikus Wistar (Dokterternak, 2010)
Tikus putih atau dikenal tikus Wistar merupakan tikus yang paling sering
digunakan sebagai hewan uji dalam laboratorium. Keunggulan tikus putih
dibandingkan tikus lainnya yaitu penanganan dan pemeliharaannya yang mudah
karena tubuhya kecil, bersih, dan kemampuan reproduksi tinggi (Pribadi, 2008).
Selama bertahun-tahun, tikus telah digunakan dalam banyak eksperimen,
yang telah menambah pemahaman kita tentang genetika, penyakit, pengaruh obat-
obatan, dan topik lain dalam kesehatan dan kedokteran. Laboratorium tikus juga
terbukti berharga dalam studi psikologis belajar dan proses mental lainnya.
Pentingnya sejarah spesies ini untuk riset ilmiah tercermin dengan jumlah literatur
tentang itu, sekitar 50% lebih dari itu pada tikus. Konversi usia manusia ke tikus
adalah usia 10 tahun pada manusia sama dengan 1 bulan pada tikus wistar
12
(Umami, 2012). Konversi dosis pada manusia dengan berat badan 70 kg ke tikus
wistar dengan berat badan 200 gram adalah 0,018 (Indrapraja, 2009).
2.4 Etanol
Konsumsi etanol adalah merupakan bagian dari kehidupan masyarakat
yang dapat mengakibatkan masalah sosial. Etanol dapat mengubah respon
terhadap obat yang diberikan bersamaan. Hal ini terjadi karena adanya interaksi
antara etanol dan obat. Mekanisme interaksi farmakokinetik meliputi: absorbsi,
distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Etanol yang dikonsumsi diabsorbsi di usus
halus sebesar 80%. Kecepatan absorbsi tergantung pada jumlah dan konsentrasi
etanol dalam minuman yang mengisi lambung dan usus. Etanol dalam lambung
yang kosong kadarnya dalam darah terdeteksi pada 30-90 menit setelah
mengkonsumsi (Gugule et al., 2013).
Distribusi etanol berjalan cepat, dalam jaringan mendekati kadar di dalam
darah. Volume distribusi dari etanol mendekati volume cairan tubuh total (0,5-0,7
L/kg). Sekitar 90-98% etanol yang diabsorbsi dalam tubuh akan mengalami
oksidasi. Metabolisme etanol terjadi di dalam hati. Etanol yang masuk ke dalam
tubuh akan cepat diabsorpsi dalam lambung dan usus halus. Etanol diabsorpsi
langsung secara difusi dan akan didistribusikan secara bebas dalam jaringan dan
cairan tubuh. Volume distribusi etanol berkisar antara 0,58-0,70 L/kg berat badan.
Kadar etanol dalam otak dicapai setelah absorpsi sempurna dalam darah. Faktor-
faktor yang mempengaruhi absorpsi etanol adalah volume, pengenceran,
kecepatan pencernaan, dan makanan yang ada di dalam lambung. Di dalam hati,
etanol akan dioksidasi oleh alkohol dehidrogenase menjadi asetaldehid.
13
Alkohol
dehidrogenase Aldehid
dehidrogenase
Asetaldehid akan dioksidasi oleh aldehid dehidrogenase menjadi asam asetat atau
asetil ko-enzim A. Asam asetat yang dihasilkan dari oksidasi asetaldehid akan
masuk ke dalam siklus kreb, sehingga terbentuk karbon dioksida dan air.
Asetaldehid merupakan metabolit pertama dari etanol yang pada pasien alkoholis
terjadi proses metabolisme yang lambat sehingga mengakibatkan toksisitas
jaringan dan ketergantungan etanol (Wardjowinoto, 1998). Skema metabolisme
etanol dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5
Metabolisme Etanol (Wardjowinoto, 1998)
2.5 Radikal Bebas
Radikal bebas adalah suatu senyawa atau molekul yang mengandung satu
atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya. Molekul ini dapat
bereaksi dengan molekul lain yang akan menimbulkan reaksi rantai yang sangat
dekstruktif. Pengertian radikal bebas dan oksidan sering dianggap sama karena
keduanya memiliki kemiripan sifat, serta memiliki aktivitas yang sama dan
memberikan akibat yang hampir sama, meskipun melalui proses yang berbeda
(Hardianty, 2011).
2.5.1 Struktur radikal bebas
Atom terdiri atas inti (proton dan neutron) dan elektron. Jumlah proton
(bermuatan positif) dalam inti menentukan jumlah dari elektron (bermuatan
negatif) yang mengelilingi atom tersebut. Elektron mengelilingi suatu atom dalam
Etanol
Asetaldehida
Asam Asetat
14
satu lapisan bahkan lebih. Jika satu lapisan penuh, elektron akan mengisi lapisan
kedua. Lapisan kedua akan penuh jika telah memiliki 8 elektron, dan begitu
seterusnya. Atom sering kali melengkapi lapisan luarnya dengan cara membagi
elektron-elektron bersama atom yang lain. Dengan membagi elektron, atom-atom
tersebut bergabung bersama dan mencapai kondisi stabilitas maksimum untuk
membentuk molekul. Oleh karena radikal bebas sangat reaktif, maka mempunyai
spesifitas kimia yang rendah, sehingga dapat bereaksi dengan berbagai
molekul lain, seperti protein, lemak, karbohidrat, dan DNA (Arief, 2012).
2.5.2 Sifat-sifat radikal bebas
Radikal bebas memiliki reaktifitas tinggi, karena adanya satu atau lebih
elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya yang menyebabkan senyawa
tersebut sangat reaktif mencari pasangan dengan cara menyerang atau menarik
elektron molekul yang berada di sekitarnya. Hal ini mengakibatkan terbentuknya
senyawa radikal baru, dengan kata lain radikal bebas dapat mengubah suatu
molekul atau senyawa menjadi suatu radikal bebas baru, dan seterusnya sehingga
akan terjadi reaksi rantai. Sifat radikal bebas yang mirip dengan oksidan terletak
pada kecenderungannya untuk menarik elektron (Hardianty, 2011).
2.5.3 Tahap pembentukan radikal bebas
Tahap pembentukan Radikal Bebas terjadi melalui 3 tahap, yaitu;
1. Tahap Inisiasi, yaitu tahap pembentukan awal radikal bebas, dan menjadikan
senyawa yang non radikal menjadi radikal bebas. Contohnya:
Fe++
+ H2O2 Fe+++
+ OH-
+ •OH
15
2. Tahap propagasi, yaitu tahap pemanjangan rantai radikal, radikal bebas
diperluas sehingga membentuk beberapa radikal bebas yang baru.
Contohnya:
R2-H + R1• R2 • + R1-H
R3-H + R2 • R3 • + R2-H
Keterangan: R= rantai alkil
3. Tahap terminasi, yaitu tahap pembentukan non radikal dari radikal bebas,
bereaksinya senyawa radikal dengan radikal yang lain sehingga propagansinya
menjadi rendah. Contohnya:
R1 • + R1 • R1-R1
R2 • + R2 • R2-R2
R3 • + R3• R3-R3 (Hardianty, 2011).
Radikal bebas dapat terjadi melalui proses fisiologis normal dalam tubuh
atau karena pengaruh spesies eksogen. Spesies eksogen tersebut dapat berbentuk
senyawa yang muncul secara alami dalam biosfer (misalnya ozon, NO2, etanol,
atau tetradecanoyl phorbol acetate / TPA), senyawa kimia industri (seperti karbon
tetraklorida). Radikal yang sering muncul dalam proses biologis adalah
superoksida (O2-1
) yang selanjutnya mengalami dismutasi menjadi hidrogen
peroksida (H2O2) atau mengalami protonasi menjadi radikal hidroperoksil.
Pembentukan hidrogen peroksida, menjadi sarana untuk mendeteksi adanya
proses yang melibatkan superoksida di dalam tubuh. Radikal superoksida dapat
ditemukan di semua sel yang mengalami metabolisme aerobik (Sholihah dan
Widodo, 2008).
16
Radikal bebas, yang sering disebut Reactive Oxygen Species, dapat
dibentuk melalui jalur enzimatis ataupun metabolik. Senyawa oksigen reaktif juga
dapat diproduksi oleh sel dalam kondisi stres ataupun tidak stres. Pada kondisi
tidak stres, terdapat keseimbangan antara proses pembentukan dan pemusnahan
senyawa oksigen reaktif. Sementara pada kondisi stres oksidatif, pembentukan
senyawa oksigen reaktif lebih tinggi dibandingkan dengan pemusnahannya yang
mengakibatkan sistem pertahanan tubuh terpacu untuk bekerja lebih keras untuk
memusnahkan senyawa oksigen reaktif. Salah satu sistem pertahanan tubuh itu
adalah sistem antioksidan enzimatis dan non enzimatis, yang bekerja menekan
senyawa oksigen reaktif yang berlebihan. Sebagai akibatnya adalah gangguan
metabolik yang mengakibatkan stres oksidatif (Hardianty, 2011).
2.6 Stres Oksidatif
Stres oksidatif adalah suatu keadaan tingkat Reactive oxygen species yang
toksik melebihi pertahanan antioksidan. Keadaan ini mengakibatkan kelebihan
radikal bebas, yang akan bereaksi dengan lemak, protein, asam nukleat seluler,
sehingga terjadi kerusakan lokal dan disfungsi organ tertentu (Arief, 2012).
Stres oksidatif pada susunan saraf pusat sangat mematikan, sebab otak
manusia terutama memakai metabolisme oksidatif. Meskipun berat otak hanya 2%
dari berat tubuh, otak menggunakan sekitar 50% dari seluruh oksigen tubuh.
Faktor stress oksidatif lain yang sangat berbahaya pada otak dengan adanya
kandungan PUFA (polyunsaturated fatty acid) yang tinggi, hampir 50% dari
struktur jaringan otak. Jaringan otak mengandung asam askorbat 100 kali lipat
dibanding di pembuluh darah perifer, tetapi mempunyai katalase, gluthation
17
peroksidase lebih rendah daripada jaringan lain yang juga meningkatkan risiko
terjadinya stres oksidatif. Radikal bebas merusak sel dan bereaksi dengan
makromolekuler sel melalui proses peroksidasi lipid, oksidasi DNA dan protein
(Siswonoto, 2008).
2.7 Senyawa 8-hidroksi-2’-deoksiguanosin (8-OHdG)
Senyawa 8-OHdG merupakan salah satu penanda stres oksidatif yang
merupakan hasil oksidasi basa guanin oleh ROS. 8-OHdG dapat dideteksi pada
sampel jaringan tubuh dan darah manusia. 8-OHdG dapat terdeteksi pada sampel
urin dikarenakan hasil dari nukleotida dan basa merupakan senyawa yang larut air
dan dieksresikan pada urin. Senyawa 8-OHdG dalam urin dijadikan biomarker
penting stres oksidatif dalam sel. Faktanya tingkat 8-OHdG dalam urin sering kali
digunakan dalam mengukur kerusakan oksidatif pada DNA. Struktur 8-Hidroksi-
2’-deoksiguanosin dan struktur 2’-deoksiguanosin dapat dilihat pada Gambar 2.6
(Nakajima et al., 2012).
NH
N
N
O
NH2N
O
HOH
HH
HH
HO
OH
Gambar 2.6
Struktur 8-Hidroksi-2’-deoksiguanosin (Nakajima et al., 2012).
18
2.8 Isolasi Komponen Aktif Tanaman
Isolasi senyawa bioaktif yang berasal dari tumbuhan memegang peranan
yang sangat penting di dalam pencarian tumbuhan yang mempunyai aktivitas
biologi tertentu berkaitan dengan usaha untuk mengisolasi senyawa bioaktif.
Tahapan yang harus dilakukan adalah penyiapan sampel, ekstraksi, dan
pemisahan.
2.8.1 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan senyawa kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia
yang diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang
tidak dapat larut. Senywa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat
digolongkan ke dalam minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Dengan
diketahuinya senyawa aktif yang terkandung dalam simplisia akan mempermudah
pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat. Hasil yang diperoleh dari
ekstraksi disebut ekstrak. Ekstrak bisa dalam bentuk sediaan kering, kental, dan
cair (Raja, 2008).
2.8.2 Pemisahan dan pemurnian
Pemisahan dan pemurnian komponen atau senyawa kimia yang terdapat
dalam bahan tumbuhan umumnya dilakukan dengan teknik kromatografi. Teknik
kromatografi dipergunakan dalam pemisahan dan pemurnian suatu bahan alam.
Untuk pemisahan dan pemurnian umumnya menggunakan 2 jenis kromatografi
yaitu kromatografi lapis tipis dan kromatografi kolom. Sebelum dilakukan
19
pemurnian, terlebih dahulu dilakukan pemisahan awal dengan menggunakan
metode partisi (Indradewi, 2011).
2.8.2.1 Partisi
Metode partisi bertujuan untuk memisahkan senyawa-senyawa kimia
dalam ekstrak kasar berdasarkan kepolarannya. Awalnya partisi dimulai dengan
pelarut non polar seperti n-heksan untuk menarik senyawa-senyawa non polar.
Selanjutnya digunakan pelarut semi polar seperti kloroform, etil asetat atau aseton
untuk menarik senyawa-senyawa semi polar. Terakhir digunakan pelarut polar
seperti metanol atau n-butanol untuk menarik senyawa polar.
Dalam metode partisi digunakan teknik yang umum digunakan yaitu
dengan corong pemisah dengan menggunakan dua pelarut yang tidak saling
tercampur. Untuk pemisahan senyawa yang berwarna, partisi dihentikan bila
ekstrak terakhir sudah tidak berwarna sedangkan untuk senyawa yang tidak
berwarna, dihentikan setelah 3 sampai 4 kali penggantian pelarut (Indradewi,
2011).
2.9 Karakterisasi
Karakterisasi suatu senyawa hasil isolasi dilakukan dengan cara kualitatif
dan kuantitatif. Dengan cara kualitatif, dilakukan dengan uji fitokimia untuk
mengetahui golongan senyawa dengan menggunakan pereaksi. Sedangkan dengan
uji kuantitatif, dilakukan dengan alat spektrofotometer UV-Visible untuk
mengukur nilai absrobansi dari sampel dan standar yang dapat digunakan untuk
menghitung kadar total flavonoid pada sampel.
20
2.9.1 Uji fitokimia flavonoid
Metode identifikasi ini dilakukan berdasarkan pada metode penapisan
fitokimia (phytochemical screening) terhadap golongan senyawa kimia tertentu
seperti flavonoid degan menggunakan pereaksi warna atau secara kualitatif
(Indradewi, 2011). Uji senyawa flavonoid dapat dilakukan dengan menggunakan
pereaksi pendeteksi senyawa flavonoid, antara lain pereaksi NaOH 10%, pereaksi
H2SO4, dan pereaksi Mg-HCl pekat.
2.9.2 Spektrofotometer ultraviolet
Spektrofotometri UV-Vis merupakan salah satu teknik analisis
spektroskopi yang memakai sumber radiasi eleltromagnetik ultraviolet dekat (190-
380) dan sinar tampak (380 - 780) dengan memakai instrumen spektrofotometer.
Radiasi ultraviolet diabsorpsi oleh molekul organik aromatik, molekul yang
mengandung elektron- terkonyugasi dan atau atom yang mengandung elektron,
menyebabkan transisi elektron di orbital terluarnya dari tingkat energi elektron
tingkat dasar ke tingkat energi elektron tereksitasi lebih tinggi. Besarnya serapan
radiasi tersebut sebanding dengan banyaknya molekul analit yang mengabsorpsi
sehingga dapat digunakan untuk analisis kuantitatif (Williams dan Fleming,
2008).
2.10 Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Teknik ELISA pertama kali diperkenalkan pada tahun 1972 oleh Engval
dan Perlman. Teknik ini dapat digunakan untuk mendeteksi zat antibodi atau
antigen. Prinsip dari uji ELISA adalah reaksi kompleks antigen-antibodi dengan
21
melibatkan peran enzim konjugasi anti spesien imunoglobulin dan substrat
sebagai indikator dalam reaksi (Racmawati et al., 2004).
ELISA kit untuk penanda kerusakan DNA teroksidasi adalah
pengembangan immunoassay berdasarkan enzim kompetitif untuk mendeteksi dan
kuantisasi 8-OHdG dalam urin, serum, dan sel atau jaringan sampel DNA secara
cepat. Sejumlah sampel 8-OHdG ditentukan dengan membandingkan absorbansi
sampel dengan kurva standar. ELISA kit 8-OHdG memiliki batas deteksi antara
100 pg/mL hingga 20 ng/mL. Setiap kit terdapat reagen untuk analisis hingga 96
well termasuk kurva standar dan sampel (Cell Biolabs, Inc). Prinsipnya, sejumlah
sampel yang mengandung 8-OHdG atau standar pertama kali ditambahkan pada
8-OHdG/BSA konjugat yang sebelumnya telah ada dalam microplate. Kemudian
setelah dilakukan inkubasi awal, antibodi 8-OHdG monoklonal ditambahkan,
selanjutnya ditambahkan HRP sebagai antibodi kedua. Senyawa 8-OHdG yang
terdapat dalam sampel ditentukan dengan membandingkannya dengan kurva
standar 8-OHdG (Cell Biolabs, Inc).