BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan ZnO Secara Umum...

22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan ZnO Secara Umum 2.1.1. Struktur Kristal Pada umumnya ZnO membentuk struktur kristal heksagonal wurtzite (Kai, 2008; Jagadish dan Pearton, 2006; Palomino, 2006; Dengyuan, 2005; Karpina et al., 2004). Struktur ini dapat digambarkan sebagai kombinasi bergantian subkisi hexagonal-close-packed (hcp), dimana tiap subkisi terdiri dari satu jenis atom (misal atom Zn) bergantian dengan atom jenis lain (atom O) sepanjang sumbu c. Tiap satu subkisi meliputi empat atom per unit sel, setiap atom Zn dikelilingi oleh empat atom O dan sebaliknya. Gambar 2.1 memperlihatkan struktur kristal wurtzite ZnO dimana atom O digambarkan sebagai bola putih besar dan atom Zn digambarkan sebagai bola hitam yang lebih kecil dan garis hitam menggambarkan unit sel. Parameter kisi ZnO untuk struktur wurtzite pada temperatur 300 K adalah a = 3,2495 Å dan c = 5,2069 Å (Dengyuan, 2005). Gambar 2.1. Struktur heksagonal wurtzite ZnO - 7 -

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan ZnO Secara Umum...

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan ZnO Secara Umum

2.1.1. Struktur Kristal

Pada umumnya ZnO membentuk struktur kristal heksagonal wurtzite

(Kai, 2008; Jagadish dan Pearton, 2006; Palomino, 2006; Dengyuan, 2005;

Karpina et al., 2004). Struktur ini dapat digambarkan sebagai kombinasi

bergantian subkisi hexagonal-close-packed (hcp), dimana tiap subkisi terdiri dari

satu jenis atom (misal atom Zn) bergantian dengan atom jenis lain (atom O)

sepanjang sumbu c. Tiap satu subkisi meliputi empat atom per unit sel, setiap

atom Zn dikelilingi oleh empat atom O dan sebaliknya. Gambar 2.1

memperlihatkan struktur kristal wurtzite ZnO dimana atom O digambarkan

sebagai bola putih besar dan atom Zn digambarkan sebagai bola hitam yang lebih

kecil dan garis hitam menggambarkan unit sel. Parameter kisi ZnO untuk struktur

wurtzite pada temperatur 300 K adalah a = 3,2495 Å dan c = 5,2069 Å

(Dengyuan, 2005).

Gambar 2.1. Struktur heksagonal wurtzite ZnO

- 7 -

Selain struktur kristal wurtzite, ZnO juga dilaporkan dapat memiliki

struktur kristal kubik zincblende dan rocksalt (Jagadish dan Pearton, 2006;

Dengyuan, 2005). Gambar 2.2 memperlihatkan struktur rocksalt (kiri) dan

zincblende (kanan) ZnO. Struktur kristal zinckblende ZnO stabil hanya jika

ditumbuhkan pada struktur kubik dan konstanta kisi ZnO untuk struktur rocksalt

adalah a = 4,280 Å (Dengyuan, 2005).

Gambar 2.2. Struktur rocksalt dan zincblende ZnO

2.1.2. Sifat Optik

Seng oksida adalah semikonduktor dengan celah pita energi langsung

(direct band gap). Nilai celah pita energi untuk ZnO monokristal adalah antara

3,1-3,3 eV pada temperatur ruangan dan 3,44 eV pada temperatur 4 K dan untuk

film ZnO polikristal adalah antara 3,28 – 3,30 eV (Dengyuan, 2005). Karena

memiliki celah pita energi yang lebar maka ZnO transparan terhadap sinar tampak

(400-700 nm). Indeks bias ZnO dalam bentuk film adalah sekitar 1,93-2,0 dan

untuk material ukuran besar (bulk) adalah ~2,0. Nilai beberapa parameter fisis

ZnO diperlihatkan pada tabel 2.1 (Dengyuan, 2005).

- 8 -

Tabel 2.1. Parameter fisis ZnO

Parameter fisis dasar ZnO Fase stabil pada 300 K Wurtzite Space group C63mc Parameter kisi pada 300 K (nm) ao: 0,32495

co: 0,52069 ao/co: 1,602

Massa jenis (g cm-3) 5,606 Konduktivitas termal pada 300 K (W/cm·K) 0,6, 1-1,2 Ekspansi termal linear (/oC) ao: 6,5 x 10-6

co: 3,0 x 10-6

Titik leleh (oC) 1975 Indeks bias 2,008

2,029

2.1.3. Sifat Listrik

Film ZnO murni tanpa didoping adalah semikonduktor tipe-n yang

disebabkan oleh cacat alamiah (native defect) yaitu Zn interstisial dan O vakansi

(Schmidt et al., 2007; Jagadish dan Pearton, 2006; Dengyuan, 2005). Pada ZnO,

Zn interstisial merupakan donor dangkal (shallow donor) dan tingkat donornya

terletak sekitar 0,025-0,03 eV dibawah pita konduksi. Oleh karena itu, konduksi

ZnO dapat dintulis

en nμσ = , (2.1)

dengan n konsentrasi, μn mobilitas, dan e muatan elektron. Massa efektif elektron

dalam pita konduksi adalah 0,28 m0 dan massa efektif hole pada pita valensi

adalah 1,8 m0 dimana m0 adalah massa diam elektron. Resistivitas ZnO murni

tanpa didoping adalah 1025 Ω·cm (Karvina, 2004). Nilai beberapa parameter listrik

ZnO diperlihatkan pada tabel 2.2 (Dengyuan, 2005).

- 9 -

Tabel 2.2. Parameter listrik ZnO

Parameter listrik ZnO Massa efektif elektron dalam pita konduksi, *

em 0,28 m0

Massa efektif hole dalam pita valensi, *hm 1,8 m0

Afinitas elektron (eV) 4,35 Tingkat donor (Ec – Ed) (eV) 0,03 Mobilitas elektron pada 300 K (cm2/V-s) 200 Mobilitas hole pada 300 K (cm2/V-s) 180

2.1.4. Pengaruh Pendopingan Al terhadap Sifat Listrik Film ZnO

Pendopingan merupakan suatu cara untuk merubah sifat-sifat listrik

semikonduktor. Ketika semikonduktor didoping dengan impuritas maka

semikonduktor menjadi ekstrinsik. Salah satu tujuan dilakukan pendopingan

adalah untuk meningkatkan konduksi semikonduktor. Berdasarkan jenis pembawa

muatan mayoritas dan minoritasnya, semikonduktor ekstrinsik dibedakan menjadi

semikonduktor tipe-n dan tipe-p. Secara alamiah, ZnO tanpa doping adalah

semikonduktor tipe-n. Konduksi ZnO tipe-n dapat ditingkatkan dengan dua

metode pendopingan yaitu: (i) menciptakan donor intrinsik seperti Zn interstisial

dan (ii) menggunakan dopan ekstrinsik (Dengyuan, 2005). Film yang didoping

dengan metode pertama memiliki sifat listrik yang tidak stabil dikarenakan film

yang kekurangan oksigen mengalami reoksidasi. Selain itu, donor dalam film ZnO

yang didoping secara intrinsik masih diperdebatkan. Doping ekstrinsik pada ZnO

diperoleh dengan cara substitusi kation atau anion. Kelebihan pendopingan secara

ekstrinsik adalah sifat listrik dan optik film relatif stabil.

Tipikal dopan yang banyak digunakan untuk meningkatkan konduktivitas

film ZnO adalah atom-atom trivalen ( atom yang memiliki tiga elektron valensi)

- 10 -

seperti unsur-unsur golongan III A (Al, In, Ga) melalui substitusi kation.

Alumunium adalah salah satu dopan yang paling cukup banyak digunakan karena

menghasilkan film ZnO dengan konduktivitas tertinggi. Peningkatan

konduktivitas yang ditimbulkan doping alumunium disebabkan oleh peningkatan

konsentrasi muatan pembawa bebas karena alumunium memiliki satu elektron

valensi lebih banyak dari pada seng (Gonzáles et al., 1998).

Gambar 2.3 memperlihatkan struktur kristal ZnO dengan doping atom

Alumunium. Pada ZnO yang didoping Al, sebuah kisi yang seharusnya ditempati

atom Zn digantikan oleh atom Al (atom donor). Hal itu berdasarkan pada beda

keelektronegatifan antara Al (1,61) dan Zn (1,65) sangat kecil dan jari-jari ionik

Al (0,530 Å) lebih kecil dibanding jari-jari ionik Zn (0,600 Å).

Gambar 2.3. Struktur kristal ZnO dengan doping alumunium

ZnO juga merupakan semikonduktor yang asimetris dalam pendopingan

yaitu mudah dibuat menjadi semikonduktor tipe-n tetapi sukar dibuat menjadi

- 11 -

semikonduktor tipe-p. Sulitnya ZnO memiliki konduksi tipe-p disebabkan oleh

dua sebab yaitu: (1) impuritas yang menghasilkan akseptor dangkal

(shallow acceptor) pada satu titik kisi dapat berlaku sebagai donor ketika berada

pada titik kisi yang lain atau ketika berada pada interstisial dan (2) akseptor

memiliki kecendrungan untuk berpasangan dengan Zn interstisial membentuk

complex yang secara kelistrikan tidak aktif (Dengyuan, 2005).

Diantara dopan tipe-p unsur golongan VA adalah yang dianggap paling

menjanjikan dan yang dianggap akseptor yang terbaik adalah nitrogen (N) karena

nitrogen memiliki ukuran ion yang hampir sama dengan oksigen

(Jagadish dan Pearton, 2006). Akan tetapi, doping tunggal dengan nitrogen

memiliki solubilitas yang rendah dan jumlah hole yang dihasilkan diragukan dapat

mengimbangi jumlah elektron bebas sehingga diperoleh ZnO tipe-p

(Dengyuan, 2005).

2.1.5. Pengaruh Pendopingan Al terhadap Sifat Optik film ZnO

Selai memiliki pengaruh terhadap sifat listrik oksida konduktif transparan,

pendopingan juga memiliki pengaruh terhadap sifat optiknya. Sebelumnya telah

dijelaskan bahwa pendopingan dapat meningkatkan konsentrasi muatan pembawa

bebas dalam semikonduktor. Pada ZnO muatan pembawa bebas tersebut adalah

elektron. Peningkatan konsentrasi elektron juga dapat memperbesar lebar celah

pita energi semikonduktor. Itu dikarenakan banyak tingkat keadaan terendah pada

pita konduksi ditempati oleh elektron eksitasi dari tingkat keadaan donor dangkal,

sehingga sesuai dengan prinsip larangan Pauli tidak terjadi absorpsi cahaya untuk

bereksitasi ke tingkat keadaan ini. Efek pelebaran celah pita energi ini disebut

- 12 -

efek Burstein-Moss dan untuk semikonduktor tipe-n besarnya dinyatakan oleh

persamaan (Dengyuan, 2005):

( )

∗∗∗

+≡

hevc

vcBM

mmm

nem

E

111

32

3/222

πh

, (2.2)

dimana n konsentrasi elektron bebas, massa efektif reduksi, massa efektif

elektron, massa efektif hole dan e adalah muatan elektron.

∗vcm ∗

em

∗hm

Ketika kerapatan donor melewati harga tertentu maka lebar celah pita

energi juga akan mengalami penyempitan yang signifikan. Penyempitan ini

dikarenakan efek banyak-partikel (many-particle efect) seperti pertukaran energi

yang berkaitan dengan interaksi elektron-elektron dan elektron-impuritas. Besar

penyempitan celah pita energi akibat efek banyak-partikel memenuhi persamaan

(Dengyuan, 2005):

( ) ( ) 2/13/132

neEs

EX ππε

−=Δ , (2.3)

dimana εs adalah konstanta dielektrik semikonduktor. Dengan demikian lebar

celah pita energi semikonduktor Eg yang didoping merupakan gabungan antara

lebar celah pita energi Eg0, pelebaran celah pita energi BMEΔ dan penyempitan

celah pita energi EXEΔ

EXBMgg EEEE Δ−Δ+= 0 . (2.4)

Selain itu, Berdasarkan teori Drude antara resistivitas dan reflektansi oksida

konduktif transparan pada panjang gelombang inframerah memenuhi hubungan

(Dengyuan, 2005):

- 13 -

tcR

s

s

ρρρε

=−= 0041

, (2.5)

dimana R adalah reflektansi infra merah, ε0 adalah permitivitas ruang hampa, c0

adalah kecepatan cahaya di ruang hampa, ρ dan t adalah resistivitas dan ketebalan

film oksida konduktif transparan. Dengan demikian, film dengan resistivitas yang

lebih rendah memiliki reflektansi yang lebih tinggi dan transmitansi yang lebih

rendah pada daerah panjang gelombang inframerah dibandingkan dengan film

dengan resistivitas lebih tinggi.

2.2. Screen Printing

2.2.1. Pasta

Secara umum, komposisi pasta yang digunakan pada proses screen

printing terdiri dari serbuk aktif, binder, frit, dan pelarut (Overstraeten dan

Mertens; 1986). Serbuk aktif merupakan elemen fungsional yang setelah proses

firing akan menentukan sifat-sifat film yang terbentuk. Pada pembuatan film ZnO

yang merupakan serbuk aktif adalah serbuk ZnO. Binder atau organic binder

berfungsi menjaga serbuk aktif dalam pasta tidak mengendap. Etil selulosa biasa

digunakan sebagai binder pada pembuatan pasta ZnO. Frit berfungsi

menimbulkan pelekatan (adhesion) partikel serbuk aktif pada substrat. Pelarut

berfungsi untuk mengatur kekentalan pasta selama proses screen printing. Pelarut

dan binder akan terbakar dan menguap pada proses pengeringan (drying) atau

pembakaran (firing).

- 14 -

2.2.2. Proses Printing

Tahapan proses printing dibagi menjadi tiga tahap. Gambar 2.4.a

memperlihatkan posisi awal dari pasta, squeegee dan substrat. Gambar 2.4.b

memperlihatkan gerakan dari squeegee. Pada tahap ini, squeegee mendorong

pasta melalui lubang-lubang pada screen ke atas substrat dengan tekanan yang

terdefinisi baik dan dapat diatur. Gambar 2.4.c menunjukan gerakan akhir dari

squeegee.

Gambar 2.4. Proses screen printing

Parameter-parameter paling penting dalam proses printing adalah jarak

snap-off, kecepatan dan tekanan squeegee. Jarak snap-off adalah jarak antara

substrat dengan screen. Jarak sanp-off tidak boleh terlalu besar atau terlalu kecil

dan bergantung pada tensi screen. Kecepatan dan tekanan squeegee menentukan

- 15 -

banyaknya material yang tercetak pada substrat. Akan tetapi, banyaknya pasta

yang tercetak pada substrat tidak hanya bergantung pada kecepatan dan tegangan

squeegee tetapi juga bergantung pada ketebalan screen yang digunakan.

Gambar 2.5 memperlihatkan penampang melintang dari screen. Screen

yang digunakan pada proses screen printing dibentuk dari kawat-kawat

stainless steel (yang disebut mesh). Mesh ini ditutupi dengan suatu emulsi

photosensitive yang dapat dibangun menurut pola tertentu. Melalui lubang-lubang

pada pola, pasta akan dicetakkan. Perbedaan screen dikarakterisasi oleh luasnya,

jumlah kawat per inci (disebut meshnumber), orientasi kawat terhadap frame dan

ketebalan emulsi. Banyaknya kawat per inci menentukan kehalusan mesh.

Gambar 2.5. Penampang melintang screen

2.2.3. Proses Drying dan Firing

Setelah proses screen printing lapisan pasta pada substrat dikeringkan

pada temperatur 120-150 oC untuk menguapkan pelarut. Proses pengeringan

(drying) dapat dilakukan menggunakan hot-plate, pemanas listrik dan pemanas

inframerah. Pengeringan menggunakan hot-plate memiliki kekurangan tidak

kontinu atau otomatis. Pengeringan menggunakan pemanas listrik memiliki

- 16 -

kekurangan karena permukaan lapisan lebih dulu mengering yang membuat

penguapan pelarut di bagian dalam lapisan menjadi sulit. Pengeringan dengan

pemanas inframerah adalah yang terbaik. Pengeringan dengan pemanas

inframerah adalah suatu proses kontinu menggunakan sebuah sabuk (belt) yang

bergerak melewati sebuah tungku pemanas inframerah. Dengan memilih panjang

gelombang yang tepat radiasi akan menembus ke dalam material sedemikian

sehingga pelarut dalam setiap lapisan pasta dapat menguap di dalam tungu.

Setelah proses pengeringan, proses selanjutnya adalah proses firing. Proses

firing berlangsung di dalam tungku ban berjalan. Profil temperatur dalam tungku

ban berjalan dapat di bagi kedalam tiga fase seperti diperlihatkan pada gambar 2.6

(Overstraeten dan Mertens, 1986).

Gambar 2.6. Profil temperatur dalam belt furnace (skala relatif)

Fase kenaikan temperatur (a). Pada temperatur ini binder akan terbakar

dan terlepas dari pasta. Fase suhu puncak (b), Proses sintering atau firing

berlangsung. Lama dan tinggi temperatur firing bergantung pada jenis pasta yang

digunakan. Pada fase ini, atom-atom serbuk aktif akan bertumbukan akibat energi

termal dan akibatnya partikel-partikel serbuk aktif akan saling bergabung dan

- 17 -

membentuk butir yang lebih besar. Beberapa waktu kemudian proses densifikasi

terjadi akibat adanya pertumbuhan butir. Fase terakhir adalah fase penurunan

temperatur (c). Proses penurunan temperatur harus berlangsung sedemikian rupa

sehingga tidak terjadi ketegangan pada substrat.

2.3. Pengaruh Temperatur Firing terhadap Sifat Listrik dan Optik ZnO:Al

Oksida konduktif transparan adalah semikonduktor oksida dengan

karakteristik resistivitas listrik yang rendah dan transparansi yang tinggi pada

radiasi visible. Agar dapat memiliki aplikasi yang luas film oksida konduktif

transparan harus memenuhi persyaratan transmitansi optik yang tinggi dalam

interval panjang gelombang dari 350-800 nm dan memiliki hambatan listrik yang

rendah. Sebagai oksida konduktif transparan ZnO memiliki transparansi dan tidak

memiliki masalah dalam hal transmitansi cahaya, tetapi dalam hal konduksi

listrik, ZnO memiliki resistivitas yang besar dan oleh karenanya masih belum

digunakan secara komersial.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, konduktivitas film ZnO dapat

ditingkatkan dengan cara meningkatkan konsentrasi pembawa melalui pemberian

doping. Akan tetapi, peningkatan konsentrasi pembawa memiliki efek langsung

terhadap sifat optik film yaitu: (i) peningkatan konsentrasi elektron

mempengaruhi absorpsi film karena peningkatan konsentrasi elektron

mempengaruhi lebar celah pita energi akibat efek Burstein-Moss dan efek banyak-

partikel dan (ii) penurunan resistivitas akan meningkatkan reflektansi dan

menurunkan transmitansi film pada daerah panjang gelombang inframerah.

- 18 -

Cara lain meningkatkan konduktivitas film ZnO:Al adalah dengan

memperbesar ukuran butir. Dalam semikonduktor polikristalin, jika

2/120 )/(

2

nekTL

LL

rD

D

εε=

≥, (2.6)

dimana L adalah ukuran butir, εr adalah konstanta dielektrik material, ε0 adalah

permitivitas ruang hampa dan k adalah konstanta Boltzmann maka pada daerah-

daerah batas butirnya terdapat barier potensial (back-to-back Schottky barrier)

(Seung et al., 2007). Gambar 2.7 memperlihatkan diagram pita energi dari barier

potensial dan tiga mekanisme transport yang dapat terjadi pada batas butir.

Gambar 2.7. Diagram pita energi dan transisi pembawa pada batas butir

Tiga mekanisme transport yang dapat rejadi pada batas butir adalah:

(i) emisi termionik, (ii) emisi medan termionik dan (iii) emisi medan. Emisi

termionik merupakan tipikal mekanisme hamburan pada batas butir untuk film

semikonduktor polikristalin. Berdasarkan statistik Maxwell-Boltzmann, konduksi

yang dibatasi oleh emisi termionik atas barier potensial Schottky dinyatakan oleh

(Seung et al., 2007):

)/exp()2( 2/12 kTVkTmnLe Be −= −∗πσ (2.7)

- 19 -

dimana VB adalah tinggi barier pada batas butir dan n konsentrasi pembawa.

Dengan demikian, ukuran butir (L) sangat mempengaruhi konduksi listrik (σ).

Dan untuk film ZnO:Al yang dibuat dengan teknik screen printing, ukuran butir

sangat ditentukan oleh penentuan temperatur firing (Ismail et al., 2001).

B

2.4. Teknik Karakterisasi

2.4.1. X-Ray Difraction (XRD)

X-Ray difraction atau difraksi sinar-X adalah alat diagnosa yang ampuh

dan tidak merusak untuk menganalisa fase kristalin suatu sampel dan menentukan

sifat struktural dari fase tersebut seperti orientasi dominan dan ukuran kristal.

Prinsip dasar dari XRD adalah difraksi sinar-X oleh atom-atom kristal.

Ketika sebuah sinar-X monokromatik menumbuk atom seperti diperlihatkan pada

gambar 2.8, dua proses hamburan terjadi (Cullity, 1978). Elektron-elektron yang

terikat kuat akan mengalami osilasi dan memancarkan sinar-X dengan panjang

gelombang yang sama dengan panjang gelombang sinar-X datang.

Elektron-elektron yang terikat tidak terlalu kuat akan menghamburkan sebagian

dari sinar-X yang datang dan dalam prosesnya sedikit menaikan panjang

gelombang sinar-X yang dihamburkan. Hamburan yang pertama disebut

hamburan koheren dan hamburan kedua disebut hamburan inkoheren; keduanya

terjadi secara simultan dan di segala arah.

- 20 -

Gambar 2.8. Hamburan sinar-X oleh atom

Jika atom tersebut merupakan bagian dari kumpulan atom yang tersusun

dalam ruang secara teratur dan periodik seperti dalam sebuah kristal, sebuah

fenomena lain terjadi. Radiasi hamburan koheren dari semua atom saling

menguatkan pada arah tertentu dan saling meniadakan pada semua arah yang lain,

yang menghasilkan sinar difraksi.

Gambar 2.9 memperlihatkan seksi sebuah kristal, atom-atomya tersusun

pada bidang bidang paralel A, B, C, ..., yang tegak lurus pada bidang gambar dan

terpisah sejauh d. Sinar-X yang benar-benar paralel, benar-benar monokromatik

dengan panjang gelombang λ menumbuk kristal ini dengan sudut θB, dimana θB B

diukur antara sinar datang dan bidang kristal. Sinar yang terhambur oleh semua

atom pada semua bidang yang memiliki fase yang sama akan saling menguatkan

satu sama lain (interferensi konstruktif) membentuk sinar difraksi. Pada semua

arah yang lain dalam ruang sinar terhambur tidak sefase dan saling meniadakan

satu sama lain (interferensi destruktif). Sinar difraksi lebih kuat dibanding dengan

jumlah seluruh sinar terhambur pada arah yang sama, karena penguatan yang

- 21 -

terjadi, tetapi sangat lemah dibanding dengan sinar datang karena atom-atom

kristal menghamburkan hanya sebagian kecil energi sinar-X yang datang.

Gambar 2.9. Difraksi sinar-X oleh kristal

Sinar-sinar terhambur misal sinar 1’ dan 2’ akan memiliki fase yang sama

jika beda lintasannya sama dengan seluruh jumlah n panjang gelombang, atau jika

(Cullity, 1978)

Bdn θλ sin2= , (2.8)

dimana n disebut orde refleksi. Hubungan ini pertama kali dirumuskan oleh

W. L. Bragg dan dikenal sebagai hukum Bragg. Hukum Bragg menyatakan syarat

yang harus dipenuhi jika suatu difraksi terjadi.

Skema difraktometer sinar-X diperlihatkan pada gambar 2.10. Sinar X dari

sumber dibuat divergen, dan ketika mengenai sampel sinar tersebut dihamburkan

ke segala arah. Untuk difraksi yang teramati, maka sudut datang yaitu sudut yang

dibentuk oleh sinar-X datang dengan permukaan sampel akan sama dengan sudut

- 22 -

pantul yaitu sudut yang dibentuk oleh sinar pantul (sinar difraksi) dengan

permukaan sampel dan akan memenuhi hukum Bragg. Sinar yang dipantulkan

akan dideteksi dan intensitasnya diukur oleh detektor sebagai fungsi dari 2θ.

Untuk pergerakan sumber sinar-X sebesar θ maka detektor bergerak sebesar 2θ.

Gambar 2.10. Skema difraktometer sinar-X

2.4.2. Scanning Electron Microscopy (SEM)

SEM adalah salah satu jenis mikroskop elektron yang menggunakan

berkas elektron untuk menggambar profil permukaan benda (Abdullah, 2008).

Prinsip kerja SEM adalah menembak permukaan benda dengan berkas elektron

berenergi tinggi seperti digambarkan pada gambar 2.11. Berkas elekton dari

filamen panas dipercepat pada potensial tinggi V. Elektron menumbuk permukaan

benda dengan energi kinetik K = eV. Permukaan benda yang dikenai berkas akan

memantulkan kembali berkas tersebut atau menghasilkan elektron sekunder ke

- 23 -

segala arah. Tetapi ada satu arah dimana berkas dipantulkan dengan intensitas

tertinggi. Detektor mendeteksi elektron yang dipantulkan dan menentukan lokasi

berkas yang dipantulkan dengan intensitas tertinggi. Arah tersebut memberi

informasi profil permukaan benda.

Gambar 2.11. Berkas elektron berenergi tinggi mengenai permukaan material

Pada saat dilakukan pengamatan, lokasi permukaan benda yang ditembak

dengan berkas elektron dipindai ke seluruh area daerah pengamatan. Berdasarkan

arah pantulan berkas pada berbagai titik pengamatan maka profil permukaan

benda dapat dibangun menggunakan program pengolahan gambar yang ada dalam

komputer.

SEM memiliki resolusi yang sangat tinggi panjang gelombang de Broglie

yang dimiliki elektron sangat pendek (Abdullah dan Khairurrijal, 2008). Panjang

gelombang de Broglie elektron adalah λ = h/p, dengan h konstanta Planck dan

p adalah momentum elektron. Momentum elektron dapat ditentukan dari energi

kinetik melalui hubungan K = p2/2m, dengan K energi kinetik elektron dan m

massa elektron. Makin kecil panjang gelombang yang digunakan maka makin

- 24 -

tinggi resolusi mikroskop. Umumnya tegangan yang digunakan pada SEM adalah

puluhan kilovolt. Misalkan SEM dioperasikan pada tegangan 20 kV maka panjang

gelombang de Broglie elektronnya sekitar 9 x 10-12 m.

2.4.3. Four-Poin Probe

Menurut sifat konduktivitasnya material zat padat dikelompokan menjadi

tiga kelompok yaitu: isolator, konduktor, dan semikonduktor (Sze, 1985). Isolator

adalah material yang memiliki konduktivitas yang rendah, dalam orde 10-18

sampai 10-8 (Ω·cm)-1; konduktor adalah material yang memiliki konduktivitas

yang tinggi, dalam orde 104 sampai 106 (Ω·cm)-1; dan semikonduktor adalah

material yang memiliki konduktivitas diantara isolator dan konduktor.

Konduktivitas zat padat berbanding terbalik dengan resistivitas, ρσ 1= .

Metode untuk mengukur resistivitas semikonduktor adalah metode empat-titik

( four-point probe). Suatu jajaran empat-probe diletakan diatas bahan yang akan

diukur resistivitasnya seperti diperlihatkan pada gambar 2.12 (Rio, 1999).

Kemudian sumber tegangan dipasang pada dua probe terluar untuk menghasilkan

arus I. Sebuah voltmeter dihubungkan pada kedua probe yang ditengah yang

masing-masing berjarak S untuk mengukur tegangan jatuh V. Dengan susunan ini

resistivitas sampel dapat dihitung dengan rumus:

IVS ⋅= πρ 4 . (2.9)

- 25 -

Gambar 2.12. Skema rangkaian four-point probe

2.4.4. Spektroskopi UV-Vis

Jika material disinari dengan gelombang elektromagnetik maka jika energi

foton lebih besar atau sama dengan lebar celah pita energi semikonduktor maka

foton akan diserap oleh elektron dalam material dan energi tersebut digunakan

untuk loncat ke tingkat energi yang lebih tinggi. Jika energi foton yang diberikan

lebih kecil dari lebar celah pita energi maka foton tidak akan diserap oleh elektron

dalam bahan dan radiasi yang diberikan pada material akan ditransmisikan

melewati material (Abdullah dan Khairurrijal, 2008).

Lebar celah pita energi semikonduktor umumnya lebih dari 1 eV, energi

sebesar ini bersesuaian dengan panjang gelombang dari cahaya tampak ke

ultraviolet. Oleh sebab itu, pada umumnya semikonduktor menyerap

(mengabsorpsi) panjang gelombang ultraviolet hingga sinar tampak (UV-Vis).

Penyerapan foton oleh semikonduktor akan menyebabkan penurunan

intensitas radiasi gelombang elektromagnetik. Misalkan gelombang

elektromagnetik dengan frekuensi ω dan intensitas Io(ω) dilewatkan pada

semikonduktor, maka sebagian energi gelombang akan diabsorpsi oleh sampel

- 26 -

dan sebagian lagi akan ditransmisikan dengan intensitas (Abdullah dan

Khairurrijal, 2008):

( ) ( )[ zII o ]ωσωω −= exp)( (2.10)

dimana σ(ω) adalah koefisien absorpsi yang bergantung pada frekuensi foton dan

ketebalan sampel z.

Prinsip dasar dari spektroskopi ultraviolet-visibel atau spektrofotometri

ultraviolet-visibel adalah proses absorpsi dan transmitansi gelombang oleh

material. Panjang gelombang yang digunakan dalam spektroskopi UV-Vis adalah

near-ultraviolet [185-400 nm], visibel [400-700 nm] dan near-infrared [700-1800

nm] (Chun, 2006).

Gambar 2.13 memperlihatkan skema spektroskopi UV-Vis. Sampel yang

ingin diketahui informasi absorbsinya ditempatkan dalam spektrofotometer.

Sampel yang digunakan dapat berupa zat padat, zat cair dan gas. Lalu panjang

gelombang atau rentang panjang gelombang tertentu ditransmisikan melewati

sampel. Spektrofotometer mengukur berapa banyak cahaya yang diserap oleh

sampel. Dari informasi fraksi gelombang yang ditransmisikan yaitu I/I0 yang

biasanya dinyatakan sebagai persen transmitansi (%T) absorbansi sampel

ditentukan untuk panjang gelombang tersebut atau sebagai fungsi dari rentang

panjang gelombang.

Ada dua jenis spektrometer yaitu single beam dan split beam

(Chun, 2006). Keduanya terdiri dari sebuah sumber cahaya, monokromator,

detektor, penguat sinyal (signal amplification) dan perekam. Pada spektrometer

jenis single-beam, cahaya hanya melewati sampel sedangkan pada spektrometer

- 27 -

jenis split beam, cahaya melewati sebuah beam chopper yang mengatur sinar

secara berurutan melalui sampel atau referensi beberapa kali per detik.

Gambar 2.13. Skema spektrometer UV-Vis

- 28 -