BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Mekanisme Koping
Mekanisme penanggulangan (mekanisme koping) ialah merupakan suatu mekanisme
yang dapat memodifikasi stres sedimikian rupa, sehingga kemungkinan proses adaptasi
dapat dipermudah. Koping sebagai suatu cara yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan dan respon terhadap situsi
yang mengancam (Kelliat, 1998).
Bila mekanisme penanggulangan ini berhasil, maka individu dapat beradaptasi dan
tidak menimbulkan gangguan kesehatan, tetapi bila gagal dalam beradaptasi, maka akan
timbul gangguan kesehatan yang dapat berupa gangguan fisik, psikologis maupun
perilaku.
Dewe (1989), mengidentifikasikan enam kategori penanggulangan stres strategi
pemecahan masalah, mencoba untuk melepaskan dan meletakkan sesutu dalam perspektif
sebenarnya, menjaga masalah pada diri sendiri, melibatkan diri sendiri dalam tugas dan
bekerja keras dalam tugas, menerima pekerjaan dan tugas apa adanya serta mencoba agar
yang dikerjakan tidak menjadi kegiatan yang menyedihkan, dan strategi pasif seperti
distraksi.
Pendekatan individu dalam menanggulangi stres secara umum menurut
Abraham dan Shanley (1997), yaitu koping berfokus pada emosi dan koping berfokus
pada masalah. Koping berfokus pada emosi memfokuskan perasaan yang berhubungan
dengan stres digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stres. Pengaturan ini
9
melalui perilaku individu, seperti makan berlebihan. Bila individu tidak mampu
mengubah kondisi stres, individu akan cenderung untuk mengatur emosinya seperti
mengingkari masalah atau secara terus- menerus melihat pada suatu alternatif. Sedangkan
koping berfokus pada masalah adalah untuk mengurangi stresor individu akan mengatasi
dengan mempelajari cara- cara atau ketrampilan- ketrampilan yang baru. Individu akan
menggunakan strategi ini bila dirinya yakin akan dapat mengubah situasi. Dalam hal ini
untuk mengurangi tuntutan yang dirasakan untuk menimbulkan kemampuan ada empat
pendekatan utama yang digunakan yaitu menggunakan waktu yang lebih efektif,
berupaya untuk mengubah tuntutan- tuntutan tugas atau sumber- sumber yang tersedia,
mengubah persepsi seseorang mengenai apa yang dicapai, dan mengubah tugas dan
pekerjaan (Abraham dan Shanley, 1997).
Menurut Taylor (1991), contoh koping yang termasuk dalam pemecahan masalah
secara rinci adalah konfrontasi, mencari dukungan sosial. Sedangkan strategi koping
yang memfokuskan pada pengaturan emosi antara lain: kontrol diri, membuat jarak,
penilaian kembali secara positif (positive reappraisal), menerima tanggung jawab dan
menghindar (avoidence (Smet, 1994).
Ada beberapa faktor yang dapat digunakan sejauh mana individu menilai situasi
sebagai penuh stres menurut Departemen tenaga kerja RI (1999), yaitu:
1. Kepribadian individu
Ada beberapa tipe kepribadian yang merupakan faktor predisposisi dalam
menentukan respon tubuh terhadap stres, yaitu:
a. Kepribadian tipe A, yang bercirikan agresif, tidak sabaran, rasa bersaing yang
tinggi diketahui mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya stres dibandingkan
10
dengan kepribadian tipe B yanng bercirikan lebih sabar dan menganggap orang
lain sebagai rekan kerja..
b. Kepribadian introvet, yaitu individu bereaksi lebih negative akan menderita stres
lebih besar dibandingkan mereka yang berkepribadian ekstrovert bila menghadapi
stres.
c. Kepribadian yang flexibel, orang yang lebih terbuka terhadap pengaruh orang
lain, sehingga mudah mendapatkan beban yang berlebihan akan mengalami
ketegangan lebih besar dibanding mereka yang berkepribadian rigid.
2. Kecakapan seseorang dalam menyelesaikan masalah.
3. Dukungan sosial, seperti teman atau anggota keluarga.
4. Usia, dengan bertambahnya usia pengalaman akan bertambah, pengetahuan lebih baik
dan rasa tanggung jawab yang lebih besar akan dapat menutupi kekurangan dalam
beradaptasi.
Berdasarkan faktor- faktor diatas seorang calon tenaga profesional seperti
mahasiswa profesi dalam mengatasi stres yang muncul setiap harinya, penting untuk
mengelola stres tersebut dengan diawali pengenalan dan kewaspadaan tentang stres
sehingga nantinya individu menganggap bahwa kondisi stres merupakan bagian dari
tantangan (Sunaryo, 2004).
B. Penggolongan Mekanisme Koping
Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya menurut Stuart dan Sunden
(1995) dibagi menjadi dua yaitu mekanisme koping adaptif dan mekanisme koping tidak
adaptif. Mekanisme koping adaptif adalah mekanisme koping yang mendukung fungsi
11
integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara
dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan
seimbang dan aktivitas konstruktif. Sedangkan mekanisme koping maldatif adalah
mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan,
menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan.
Koping dapat dikaji melalui berbagai aspek, salah satunya adalah aspek psikososial
yang menurut Lazarus dan Folkman (1985); Stuart dan Sundeen (1995); Townsend
(1996); Herawati (1999); dan Keliat (1999) berupa:
1. Reaksi Orientasi Tugas
Berorientasi terhadap tindakan untuk memenuhi tuntutan dari situasi stress secara
realistis, dapat berupa konstruktif atau destruktif, misalnya perilaku menyerang
(agresif) biasanya untuk menghilangkan atau mengatasi rintangan untuk memuaskan
kebutuhan, perilaku menarik diri digunakan untuk menghilangkan sumber-sumber
ancaman baik secara fisik atau psikologis, dan perilaku kompromi digunakan untuk
merubah cara melakukan, merubah tujuan atau memuaskan aspek kebutuhan pribadi
seseorang.
2. Mekanisme pertahanan ego
Mekanisme pertahanan ego yang sering disebut sebagai mekanisme pertahanan
mental umumnya dilakukan melalui kegiatan kompensasi dimana seseorang
memperbaiki penurunan citra diri dengan secara tegas menonjolkan keistimewaan /
kelebihan yang dimilikinya; penyangkalan (denial) yaitu menyatakan
ketidaksetujuan terhadap realitas dengan mengingkari realitas tersebut. Mekanisme
pertahanan ini adalah paling sederhana dan primitive; pemindahan (displacement)
12
yaitu pengalihan emosi yang semula ditujukan pada seseorang/benda lain yang
biasanya netral atau lebih sedikit mengancam dirinya. Mekanisme pertahanan ego
lainnya adalah disosiasi merupakan pemisahan suatu kelompok proses mental atau
perilaku dari kesadaran atau identitasnya; identifikasi (identification) proses dimana
seseorang untuk menjadi seseorang yang ia kagumi berupaya dengan
mengambil/menirukan pikiran-pikiran, perilaku dan selera orang tersebut (Lazarus dan
Folkman 1985; Stuart dan Sundeen, 1995; Townsend 1996; Herawati 1999; dan
Keliat, 1999).
Mekanisme pertahanan ego lainnya yang dapat dilakukan adalah
intelektualisasi (intelectualization) yaitu penggunaan logika dan alasan yang
berlebihan untuk menghindari pengalaman yang mengganggu perasaannya; introjeksi
(Introjection) adalah suatu jenis identifikasi yang kuat dimana seseorang mengambil
dan melebur nilai-nilai dan kualitas seseorang atau suatu kelompok ke dalam struktur
egonya sendiri, merupakan hati nurani; isolasi merupakan proses pemisahan unsur
emosional dari suatu pikiran yang mengganggu dapat bersifat sementara atau
berjangka lama. Sementara itu proyeksi adalah pengalihan buah pikiran atau impuls
pada diri sendiri kepada orang lain terutama keinginan, perasaan emosional dan
motivasi yang tidak dapat ditoleransi (Lazarus dan Folkman 1985; Stuart dan
Sundeen, 1995; Townsend 1996; Herawati 1999; dan Keliat, 1999).
Rasionalisasi sebagai bentuk mekanisme lain dalam pertahanan ego adalah
mengemukakan penjelasan yang tampak logis dan dapat diterima masyarakat untuk
menghalalkan/membenarkan impuls, perasaan, perilaku, dan motif yang tidak dapat
diterima; reaksi formasi merupakan pengembangan sikap dan pola perilaku yang ia
13
sadari, yang bertentangan dengan apa yang sebenarnya dirasakan atau ingin dilakukan;
regresi adalah kemunduran akibat stres terhadap perilaku dan merupakan ciri khas
dari suatu taraf perkembangan yang lebih dini (Lazarus dan Folkman 1985; Stuart dan
Sundeen, 1995; Townsend 1996; Herawati 1999; dan Keliat, 1999).
Represi merupakan pengesampingan secara tidak sadar tentang pikiran, impuls
atau ingatan yang menyakitkan atau bertentangan, dari kesadaran seseorang;
merupakan pertahanan ego yang primer yang cenderung diperkuat oleh mekanisme
lain; pemisahan (splitting) adalah sikap mengelompokkan orang / keadaan hanya
sebagai semuanya baik atau semuanya buruk; kegagalan untuk memadukan nilai-nilai
positif dan negatif di dalam diri sendiri; sublimasi merupakan penerimaan suatu
sasaran pengganti yang mulia artinya dimata masyarakat untuk suatu dorongan yang
mengalami halangan dalam penyalurannya secara normal; supresi adalah suatu proses
yang digolongkan sebagai mekanisme pertahanan tetapi sebetulnya merupakan analog
represi yang disadari; pengesampingan yang disengaja tentang suatu bahan dari
kesadaran seseorang; kadang-kadang dapat mengarah pada represi; dan undoing
merupakan tindakan / perilaku atau komunikasi yang menghapuskan sebagian dari
tindakan/ perilaku atau komunikasi sebelumnya; merupakan mekanisme pertahanan
primitif (Lazarus dan Folkman 1985; Stuart dan Sundeen, 1995; Townsend 1996;
Herawati 1999; dan Keliat, 1999).
C. Adaptasi (Mekanisme Penyesuaian Diri)
Ada beberapa pengertian tentang mekanisme penyesuaian diri. Gerungan (1996)
menyebutkan bahwa ”Penyesuaian diri” adalah mengubah diri sesuai dengan keadaan
14
lingkungan tetapi juga mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan (keinginan diri).
Sementara Hardjana (1987) mendifinisikan penyesuaian diri sebagai usaha atau perilaku
yang tujuannya mengatasi kesulitan dan hambatan. Definisi lain tentang adaptasi atau
penyesuaian diri adalah pertahanan yang didapat sejak lahir atau diperoleh karena belajar
dari pengalaman untuk mengatasi stress. Adaptasi adalah proses dimana dimensi
fisiologis dan psikososial berubah dalam berespon terhadap stress. Karena banyak
stressor tidak dapat dihindari, promosi kesehatan sering difokuskan pada adaptasi
individu, keluarga atau komunitas terhadap stress.
Ada beberapa bentuk adaptasi. Adaptasi fisiologis memungkinkan homeostasis
fisiologis. Namun demikian mungkin terjadi proses yang serupa dalam dimensi
psikososial dan dimensi lainnya. Suatu proses adaptif terjadi ketika stimulus dari
lingkungan internal dan eksternal menyebabkan penyimpangan keseimbangan organisme.
Adaptasi adalah suatu upaya untuk mempertahankan fungsi yang optimal. Adaptasi
melibatkan refleks, mekanisme otomatis untuk perlindungan, mekanisme koping dan
idealnya dapat mengarah pada penyesuaian atau penguasaan situasi (Selye, 1976;
Monsen, Floyd dan Brookman, 1992).
Adaptasi merupakan hasil akhir dari upaya koping seseorang. Beradaptasi berarti
mendapatkan persepsi, perilaku dan lingkungan yang berubah sehingga tercapai
keseimbangan. Kemampuan adaptasi berbeda pada setiap orang. Pengalaman akan
mempengaruhi individu dalam beradapyasi dengan stressor yang dihadapi.
Respon fisiologis terhadap stres menurut Selye (1956) yaitu :
a. Local Adaptation Syndrom (LAS), dimana tubuh menghasilkan banyak respons
setempat terhadap stress. Respon setempat ini termasuk pembekuan darah dan
15
penyembuhan luka, akomodasi mata terhadap cahaya, dan umumnya responnya
berjangka pendek.
b. General Adaptation Syndrom (GAS) melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan
dari tubuh dan pikiran untuk menghadapi stressor. Reaksi psikologis “fight or flight”
dan reaksi fisiologis. Tanda fisik : curah jantung meningkat, peredaran darah cepat,
darah di perifer dan gastrointestinal mengalir ke kepala dan ekstremitas. Banyak organ
tubuh terpengaruh, gejala stress memengaruhi denyut nadi, ketegangan otot dan daya
tahan tubuh menurun
c. Fase Resistance (Melawan), dimana individu mencoba berbagai macam mekanisme
penanggulangan psikologis dan pemecahan masalah serta mengatur strategi. Tubuh
berusaha menyeimbangkan kondisi fisiologis sebelumnya kepada keadaan normal dan
tubuh mencoba mengatasi faktor-faktor penyebab stress. Bila teratasi à gejala stress
menurun àtau normal
d. Fase Exhaustion (Kelelahan), merupakan fase perpanjangan stress yang belum dapat
tertanggulangi pada fase sebelumnya. Energi penyesuaian terkuras. Timbul gejala
penyesuaian diri terhadap lingkungan seperti sakit kepala, gangguan mental, penyakit
arteri koroner, dll. Bila usaha melawan tidak dapat lagi diusahakan, maka kelelahan
dapat mengakibatkan kematian.
D. Stres
1. Pengertian
Stres adalah sebagai suatu hubungan yang khas antar individu dan lingkungan
yang dinilai oleh individu tersebut sebagai suatu hal yang mengancam atau
16
melampaui kemampuannya untuk mengatasimya sehingga membahayakan
kesejahteraannya (Lazarus dan Folkman, 1984). Stres menurut Maramis (1999)
adalah segala masalah atau tuntutan penyesuaian diri, dan karena itu, stres dapat
mengganggu keseimbangan kita. Sementara itu menurut Kelliat (1998), stres adalah
realitas kehidupan setiap hari yang tidak dapat dihindari,disebabkan oleh perubahan
yang memerlukan penyesuaian. Hardjana (1994) mengartikan stres sebagai keadaan
atau kondisi yang tercipta bila transaksi seseorang yang mengalami stres dan hal yang
dianggap mendatangkan stres membuat orang yanng bersangkutan melihat
ketidaksesuaian antara keadaan atau kondisi dan sistem sumberdaya biologis,
psikologis dan sosial yang ada padanya.
Stres tidak terlepas darimana datangnya dan apa saja sumbernya. Sumber stres
atau yang disebut stresor adalah suatu keadaan, situasi objek atau individu yang dapat
menimbulkan stres Stres yang berasal dari dalam diri disebut internal sources dan
yang berasal dari luar disebut eksternal sources (Potter dan Perry, 1999).
Menurut Spielberger (2001), bahwa stres adalah tuntutan-tuntutan eksternal
yang mengenai seseorang, misalnya obyek-obyek dalam lingkungan atau suatu
stimulus yang secara obyektif adalah berbahaya. Stres juga biasa diartikan sebagai
tekanan, ketegangan atau gangguan yang tidak menyenangkan yang berasal dari luar
diri seseorang.
Stress merupakan keadaan dimana seseorang merasa tidak mampu atau lambat
dalam berespon menghadapi stresor, yang akan mengakibatkan perubahan pada
dirinya baik secara fisik maupun psikologis.
17
2. Gejala stres
Cooper dan Straw (1995) mengemukakan gejala stres Fisik, perilaku, dan
dalam bentuk watak. Bentuk gejala fisik oleh Cooper dan Straw (1995) ditandai
dengan adanya kerongkongan kering, tangan lembab, merasa panas, otot-otot tegang,
pencemaan terganggu, sembelit, letih yang tidak beralasan, sakit kepala, salah urat
dan gelisah. Sementara dalam bentuk perilaku umumnya ditandai dengan perasaan
bingung, cemas dan sedih, jengkel, salah paham, tidak berdaya, tidak mampu berbuat
apa-apa, gelisah, gagal, kehilangan semangat, sulit konsentrasi, sulit berfikir jemih,
sulit membuat kcputusan, hilangnya kreatifitas, hilangnya gairah dalam penampilan
dan hilangnya minat terhadap orang lain. Dalam bentuk gejala watak dan kebribadian
biasanya tanda yang dapat dilihat adalah sikap hati-hati menjadi cermat yang
berlebihan, cemas menjadi lekas panik, kurang percaya diri menjadi rawan, dan
penjengkel menjadi meledak-ledak (Cooper dan Straw, 1995).
Tidak berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Cooper dan Straw (1995)
adalah pendapat Braham dalam Handoyo (2001:68), dimana gejala stres dapat
dibedakan atas gejala fisik, emosional, intelektual, dan gejala interpersonal. Gejala
fisik ditandai dengan adanya sulit tidur atau tidur lidak teratur, sakit kepala, sulit
buang air besar, adanya gangguan pencemaan, radang usus, kuiit gatal-gatal,
punggung terasa sakit, urat-urat pada bahu dan !eher terasa tegang, keringat
berlebihan, berubah selera makan, tekanan darah tinggi atau serangan jantung, dan
kehilangan energi. Sementara gejala stres yang bersifat emosional ditandai dengan
marah-marah, mudah tersinggung dan terlalu sensitif, gelisah dan cemas, suasana hati
mudah berubah-ubah, sedih, mudah menangis dan depresi, gugup, agresif terhadap
18
orang lain dan mudah bermusuhan serta mudah menyerang, dan kelesuan mental.
Braham sebagaimana dikutip oleh Handoyo (2001) menambahkan bahwa gejala stres
yang bersifat intelektual umumnya ditandai dengan mudah lupa, kacau pikirannya,
daya ingat menurun, sulit untuk berkonsentrasi, suka melamun berlebihan, dan
pikiran hanya dipenuhi satu pikiran saja. Sedangkan tanda stres yang bersifat
interpersonal adalah acuh dan mendiamkan orang lain, kepercayaan pada orang lain
menurun, mudah mengingkari janji pada orang lain, senang mencari kesalahan orang
lain atau menyerang dengan kata-kata, menutup din secara berlebihan, dan mudah
menyalahkan orang lain (Braham dalam Handoyo, 2001).
3. Faktor-faktor Penyebab Stres
Terdapat dua faktor penyebab atau sumber munculnya stres atau stres kerja, yaitu
faktor lingkungan kerja dan faktor personal (Dwiyanti, 2001). Faktor lingkungan
kerja dapat berupa kondisi fisik, manajemen kantor maupun hubungan sosial di
lingkungan pekerjaan. Sedang faktor personal bisa berupa tipe kepribadian, perisliwa
/ pengalaman pribadi maupun kondisi sosial-ekonomi keluarga di mana pribadi
berada dan mengembangkan diri, maka faktor pribadi ditempatkan sebagai sumber
atau penyebab munculnya stres.
Secara umum faktor yang menyebabkan terjadinya stres oleh Dwiyanti (2001)
adalah akibat tidak adanya dukungan sosial, tidak adanya kesempatan berpartisipasi
dalam pembuatan keputusan, kondisi lingkungan kerja, manajemen yang tidak sehat,
tipe kepribadian, dan pengalaman pribadi.
19
Penyebab stres yang pertama menurut Dwiyanti (2001) yaitu tidak adanya
dukungan sosial diartikan bahwa stres akan cenderung muncul pada para individu
yang tidak mendapat dukungan dari lingkungan sosial mereka. Dukungan sosial bisa
berupa dukungan dari lingkungan pekerjaan maupun lingkungan keluarga. Banyak
kasus menunjukkan bahwa, individu yang mengalami stres kerja adalah mereka yang
tidak mendapat dukungan (khususnya moril) dari keluarga, seperti orang tua, mertua,
anak, teman dan semacamnya. Begitu juga ketika seseorang tidak memperoleh
dukungan dari rekan sejawatnya akan cenderung lebih mudah terkena stres. Hal ini
disebabkan oleh tidak adanya dukungan social yang menyebabkan ketidaknyamanan
menjalankan pekerjaan dan tugasnya.
Tidak adanya kesempatan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan sebagai
penyebab stres yang kedua menurut Dwiyanti (2001) berkaitan dengan hak dan
kewenangan seseorang dalam menjalankan tugas dan pekerjaannya. Banyak orang
mengalami stres kerja ketika mereka tidak dapat memutuskan persoalan yang menjadi
tanggung jawab dan kewcnangannya. Stres juga bisa terjadi ketika seorang tidak
dilibatkan dalam pembuatan keputusan yang menyangkut dirinya. Kondisi
lingkungan kerja juga dapat memicu terjadinya stres. Kondisi fisik ini bisa berupa
suhu yang terlalu panas, terlalu dingin, terlalu sesak, kurang cahaya, dan
semacamnya. Ruangan yang terlalu panas menyebabkan ketidaknyamanan seseorang
dalam menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu dingin (Margiati,
1999)
20
Manajemen yang tidak sehat diidentifikasi juga dapat mengakibatkan seseorang
mengalami stres. Banyak orang yang stres dalam pekerjaan ketika gaya
kepemimpinan para manajernya cenderung neurotis, yakni seorang pemimpin yang
sangat sensitif, tidak percaya orang lain (khususnya bawahan), perfeksionis, terlalu
mendramatisir suasana hati atau peristiwa sehingga mempengaruhi pembuatan
keputusan di tempat kerja. Situasi kerja atasan selalu mencurigai bawahan,
membesarkan peristiwa/kejadian yang semestinya sepele dan semacamnya, seseorang
akan tidak leluasa menjalankan pekerjaannya, yang pada akhirnya akan menimbulkan
stres (http://lensakomunika.com).
Tipe kepribadian seseorang dapat juga memicu terjadinya stres. Seseorang dengan
kepribadian tipe A cenderung mengalami sires dibanding kepribadian tipe B.
Beberapa ciri kepribadian tipe A ini adalah sering merasa diburu-buru dalam
menjalankan pekerjaannya, tidak sabaran, konsentrasi pada lebih dari satu pekerjaan
pada waktu yang sama, cenderung tidak puas terhadap hidup (apa yang diraihnya),
cenderung berkompetisi dengan orang lain meskipun dalam situasi atau peristiwa
yang non kompetitif. Dengan begitu, bagi pihak perusahaan akan selalu mengalami
dilema kctika mengambil pegawai dengan kepribadian tipe A. Sebab, di satu sisi akan
memperoleh hasil yang bagus dan pekerjaan mereka, namun di sisi lain perusahaan
akan mendapatkan pegawai yang mendapat resiko serangan/sakit jantung
(http://lensakomunika.com).
21
Peristiwa / pengalaman pribadi dianggap dapat juga memicu terjadinya stres.
Stres kerja sering disebabkan pengalaman pribadi yang menyakitkan, kematian
pasangan, perceraian, sekolah, anak sakit atau gagal sekolah, kehamilan tidak
diinginkan, peristiwa traumatis atau menghadapi masalah (pelanggaran) hukum.
Banyak kasus menunjukkan bahwa tingkat stres paling tinggi terjadi pada seseorang
yang ditinggal mati pasangannya, sementara yang paling rendah disebabkan oleh
perpindahan tempat tinggal. Disamping itu, ketidakmampuan memenuhi kebutuhan
sehari-hari, kesepian, perasaan tidak aman,juga termasuk kategori ini. (Baron &
Greenberg dalam Margiati, 1999).
Davis dan Newstrom dalam Margiati (1999) stres kerja disebabkan tugas yang
terlalu banyak, terbatasnya waktu, kurang mendapatkan tanggungjawab, ambiguitas
peran, perbedaan nilai, frustasi, perubahan tipe pekerjaan, dan perubahan atau
konflik peran. Adanya tugas yang terlalu banyak memang tidak selalu menjadi
penyebab stres, namun akan menjadi sumber stres bila banyaknya tugas tidak
sebanding dengan kemampuan baik fisik maupun keahlian dan waktu yang tersedia
bagi individu. Sementara terbatasnya waktu dalam mengerjakan pekerjaan mampu
memicu terjadinya stres karena bila seseorang yang biasanya mempunyai
kemampuan menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya. Kemampuan
bcrkaitan dengan keahlian, pcngalaman, dan waktu yang dimiliki. Dalam kondisi
tertentu, pihak atasan seringkali memberikan tugas dengan waktu yang lerbatas.
Akibatnya, individu dikejar waktu untuk menyelesaikan tugas sesuai waktu yang
ditetapkan atasan .Kurang mendapat tanggungjawab yang memadai dapat
menyebabkan terjadinya stres pada seseorang terutama jika hal ini menyangkut
22
dengan hak dan kewajiban. Sementara itu ambiguitas peran menjadi penyebab stres
bila seseorang agar menghasilkan performan yang baik, perlu mengetahui tujuan dari
pekerjaan, apa yang diharapkan untuk dikerjakan dan tanggungjawab dari pekerjaan
mereka. Saat tidak ada kepastian tentang definisi kerja dan apa yang diharapkan dari
pekerjaannya akan timbul ambiguitas peran .
Perbedaan nilai sebagai penyebab stres karena umumnya situasi ini biasanya
terjadi pada individu yang mempunyai prinsip yang berkaitan dengan profesi yang
digeluti maupun prinsip kemanusiaan yang dijunjung tinggi (altruisme). Kondisi
frustasi seseorang juga mampu memunculkan stres, dalam arti bila dalam lingkungan
kerja, perasaan frustrasi memang bisa disebabkan banyak faktor. Faktor yang diduga
berkaitan dengan frustrasi adalah, ketidakjelasan tugas dan wewenang serta
penilaian/evaluasi staf.. Perubahan tipe pekerjaan, khususnya jika hal terscbul tidak
umum juga mampu memicu terjadinya stres terutama situasi ini bisa timbul akibat
tugas atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahlian. Konflik peran juga mampu
menimbulkan stres pada seseorang. Terdapat dua tipe umum konflik peran yaitu (a)
konflik peran intersender, dimana individu berhadapan dengan harapan organisasi
terhadapnya yang tidak konsisten dan tidak sesuai; (b) konflik peran intrasender,
konflik peran ini kebanyakan terjadi pada yang menduduki jabatan di dua struktur.
Akibatnya, jika masing-masing struktur memprioritaskan pekerjaan yang tidak sama,
akan berdampak pada individu yang berada pada posisi dibawahnya, terutama jika
mereka harus memilih salah satu alternatif.
23
Sumber stres yang menyebabkan seseorang tidak berfungsi optimal atau
yang menyebabkan seseorang jatuh sakit, tidak saja datang dari satu macam
pemicu tetapi dari beberapa pemicu stres. Sebagian besar dari waktu
manusia ditempat mereka bekerja. Lingkungan pekerjaan mempunyai pengaruh yang
besar terhadap kesehatan seseorang yang bekerja. Pemicu stres dipekerjaan berperan
besar terhadap kurang berfungsinya atau jatuh sakitnya seseorang yang bekerja.
Menurut Munandar (2001) faktor-faktor yang dapat menimbulkan stres dalam
pekerjaan adalah:
1. faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan seperti tuntutan fisik misalnya faktor
kebisingan, dan faktor tugas mencakup kerja malam, beban kerja, dan resiko dan
bahaya.
2. faktor struktur dan iklim kelompok adalah terpusat pada sejauh mana individu
dapat berperan serta pada support sosial. Kurangnya peran serta atau partisipasi dalam
pengambilan keputusan berhubungan dengan suasana hati dan perilaku negatif.
Peningkatan peluang untuk berperan serta menghasilkan peningkatan produktivitas,
dan peningkatan taraf dari kesehatan mental dan fisik.
3. Faktor ciri-ciri individu sebagai faktor lainnya yang dapat memicu terjadinya
stres artinya stres ditentukan pula oleh individunya sendiri, sejauh mana ia melihat
situasinya sebagai kondisi stres. Reaksi-reaksi psikologis, fisiologis, dan dalam
bentuk perilaku terhadap stres adalah hasil dari interaksi situasi dengan individunya,
mcncakup ciri-ciri kepribadian yang khusus dan pola-pola perilaku yang didasarkan
pada sikap, kebutuhan, nilai-nilai, pengalaman masa lalu, keadaan kehidupan dan
kecakapan (antara lain inteligensi, pendidikan, pelatihan, pembelajaran). Faktor-
24
faktor dalam diri individu berfungsi sebagai faktor pengaruh antara rangsang dari
lingkungan yang merupakan pembangkit stres potensial dengan individu. Faktor
pengubah ini yang menentukan bagaimana individu bereaksi terhadap pembangkit
stres potensial (Davis dan Newstrom dalam Margiati, 1999).
4. Tahapan Stres
Seseorang yang stres akan mengalami beberapa tahapan stres. Menurut Amberg
(1979), sebagaimana dikemukakan oleh Dadang Hawari (2001) bahwa tahapan stres
adalah sebagai berikut:
a. Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai perasaan nafsu bekerja
yang besar dan berlebihan, mampu menyelesaikan pekerjaan tanpa
memperhitungkan tenaga yang dimiliki, dan penglihatan menjadi tajam.
b. Stres tahap kedua, yaitu stres yang disertai keluhan, seperti bangun pagi tidak
segar atau letih, cepat lelah pada saat menjelang sore, mudah lelah sesudah
makan, tidak dapat rileks, lambung dan perut tidak nyaman (bowel discomfort),
jantung berdebar, otot tengkuk dan punggung tegang. Hal tersebut karena
cadangan tenaga tidak memadai.
c. Stres tahap ketiga, yaitu tahapan stres dengan keluhan seperti defekasi tidak
teratur, otot semakin tegang, emosional, insomnia, mudah terjaga dan susah
tertidur lagi (middle insomnia), bangun terlalu pagi dan sulit tidur lagi (late
insomnia), koordinasi tubuh terganggu, akan jatuh pingsan.
d. Stres tahap keempat,, yaitu tahapan stres dngan keluhan, seperti tidak mampu
bekerja sepanjang hari, aktivitas pekerjaan terasa sulit dan menjenuhkan, respon
tidak adekuat, kegiatan rutin terganggu, gangguan pola tidur, sering menolak
25
ajakan, konsebtrasi dan daya ingat menurun, serta timbul ketakutan dan
kecemasan.
e. Stres tahap kelima, yaitu tahapan stres yang ditandai dengan kelelahan fisik dan
mental (physical and psychological exhaustion), ketidakmampuan menyelesaikan
pekerjaan yang sederhana dan ringan, gangguan pencernaan berat, meningkatnya
rasa takut dan cemas, bingung dan panik.
f. Stres tahap keenam (paling berat), yaitu tahapan stres dengan tanda- tanda, seperti
jantung berdebar keras, sesak napas, badan gemetar, dingin dan banyak keluar
keringat, lemah, serta pingsan.
Sementara menurut Holmes & Rehe (1976) dan Wiebe & Williams
(1992), tahapan stres dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Stres ringan
Adalah stresor yang dihadapi seseorang secara teratur, kemacetan lalu lintas,
kritikan dari orang lain. Situasi ini biasanya berlangsung beberapa menit atau jam.
b. Stres sedang
Berlangsung lebih lama dari beberapa jam sampai beberapa hari, seperti
perselisihan dengan teman.
c. Stres berat
Adalah situasi kronis yang dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa
tahun, seperti perselisihan perkawanan terus menerus, penyakit fisik jangka
panjang.
26
Berdasarkan tahapan stress diatas, maka harus dipahami pula tentang bagaimana
cara mengatasi stress.
5. Cara Mengatasi Stres
Menurut Agus Hardjana (1994) ada 2 cara mengatasi stres yaitu:
a. Mengatasi secara negatif, seperti lari ke tempat- tempat hiburan (bioskop,
diskotik), minum- minuman keras, makan banyak, minum obat penenang,gelisah,
kacau pikiran, menghisap rokok berlebihan dan acuh tak acuh, menyalahkan
peristiwa dan menyimpan dendam.
b. Mengatasi stres secara positif
2) Tindakan langsung (direct action), berbuat yang nyata secara khusus dan
langsung, seperti meminta nasehat, mempelajari ilmu atau kecakapan baru
3) Mencari informasi dengan pengetahuan yang membuat stres sehingga dapat
mengetahui dan memahami situasi stres yang dialami.
4) Berpaling pada orang lain. Misal orang tua, saudara, sahabat.
5) Menerima dengan pasrah, yaitu berusaha menerima peristiwa atau keadaan
apa adanya, karena dengan cara apapun kita tidak dapat mengubah sumber
penyebab stressnya, kita hanya bisa melepaskan emosi dan mengurangi
ketegangan seperti menangis, berteriak atau melucu, bisa juga melakukan
tindakan meloncat- loncat, memukul- mukul meja atau berjalan keluar rumah
untuk menghirup udara segar
6) Proses interpsikis yaitu dengan memanfaatkan strategi kognitif atau usaha
pemahaman untuk menilai kembali situasi stres yang dialami, berupa strategi
27
merumuskan kembali secara kognitif bentuk lain dari proses intrapsikis adalah
apa yang disebut oleh Sigmund Frued yaitu mekanisme pertahanan (defence
mechanisme), denial (penyangkalan), penekanan (suppresi).
E. Program Pendidikan Ners
Hasil Lokakarya Nasional dalam bidang keperawatan tahun 1983 telah menghasilkan
kesepakatan nasional secara konseptul yang mengakui keperawatan di Indonesia sebagai
profesi, mencakup pengertian, pelayanan keperawatan sebagai profesional dan
pendidikan keperawatan sebagai pendidikan profesi (profesional education). Sesuai
dengan hakikatnya sebagai pendidikan profesi, maka kurikulum pendidikan tinggi
keperawatan disusun berdasarkan pada kerangka konsep pendidikan yang kokoh, yang
mencakup: penguasaan IPTEK keperawatan, menyelesaikan masalah secara ilmiah, sikap
tingkah laku dan kemampuan profesional, belajar mandiri serta belajar dimasyarakat.
AIPNI dan PPNI (2006) telah menyepakati Standar Kompetensi Ners dan penetapan
kurikulum inti. Kurikulum inti yang disepakati dan berlaku secara Nasional adalah 60%
(87 SKS) dari 144 SKS untuk program akademik dan 25 SKS untuk program profesi.
Program alih jenjang (dari D-III ke Ners) untuk akademik antara 60- 70 SKS dan profesi
25 SKS.
Program pendidikan Ners menghasilkan Sarjana keperawatan dan profesional (Ners=
First Professional Degree) dengan sikap, tingkah laku, dan kemampuan profesional, serta
akuntabel untuk melaksanakan asuhan / praktik keperawatan dasar secara mandiri.
Program pendidikan Ners memiliki landasan keilmuan yang kokoh dan landasan
28
keprofesian yang mantap sesuai dengan sifatnya sebagai pendidikan profesi (Nursalam,
2008).
Program pendidikan tahap profesi di Indonesia dikenal dengan pengajaran klinik dan
lapangan, yang bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
menerapkan ilmu yang dipelajari di kelas (pada tahap akademik) ke praktik
klinik.Pengalaman belajar klinik (PBK) dan pengalaman belajar lapangan (PBK) adalah
suatu proses transformasi mahasiswa menjadi seorang perawat profesional yang memberi
kesempatan mahasiswa untuk beradaptasi dengan perannya sebagai perawat profesional
dalam melaksanakan praktik keperawatan profesional disituasi nyata pada pelayanan
kesehatan klinik atau komunitas dengan melaksanakan asuhan keperawatan dengan
benar, menerapkan pendekatan proses keperawatan, menampilkan sikap profesional dan
menerapkan ketrampilan profesional (Nursalam, 2008).
Metode pembelajaran klinik / lapangan menurut Nursalam (2008) yang digunakan
adalah eksprensial, konferensi, observasi, ronde keperawatn dan bed side teaching.
1. Metode Eksprensial
Kegunaan dari metode ini adalah:
a. Membantu menganalisis situasi klinik melalui proses identifikasi masalah.
b. Menentukan tindakan yang akan diambil.
c. Mengimplementasikan pengetahuan kedalam masalah klinik.
d. Menekankan hubungan antara pengalaman belajar yang lalu dengan pengalaman
terhadap masa lalu.
e. Berasal dari kognitif yang dipadukan dengan teori proses informasi dan teori
pengambilan keputusan.
29
f. Kegiatan pada metode ini meliputi: situasi penyelesaian masalah, membantu
peserta didik meningkatkan sikap profesional dan mampu menerapkan konseptual
keperawatan dalam kurikulum berdasarkan masalah aktual. Peserta didik
melakukan pengujian data, mengidentifikasi alternatif tindakan, penentuan
prioritas tindakan, pembuatan keputusan.
2. Konferensi
a. Dirancang melalui diskusi kelompok
b. Memberi kesempatan mengemukakan pendapat dalam menyelesaikan masalah.
c. Menerima umpan balik dari kelompok atau pengajar.
d. Memberi kesempatan terjadinya peer review, diskusi kepedulian, isu, dan
penyelesaian masalah oleh disiplin ilmu lain.
e. Berinteraksi dan menggunakan orang lain sebagai nara sumber
f. Meningkatkan kemampuan memformulasikan ide.
3. Observasi
Manfaat metode ini adalah mendapatkan pengalaman/ contoh nyata dan
mengembangkan perilaku baru untuk pembelajaran masa mendatang. Untuk kegiatannya
meliputi: observasi lapangan, demonstrasi dan ronde keperawatan.
4. Ronde keperawatan
Karakteristik metode ini adalah: klien dilibatkan langsung, klien merupakan fokus
kegiatan peserta didik, peserta didik dan pembimbing melakukan diskusi, pembimbing
memfasilitasi kreativitas peserta didik serta pembimbing klinik membantu
mengembangkan kemampuan peserta didik untuk meningkatkan kemampuan dalam
mengatasi masalah.
30
5. bed side teaching
Merupakan metode mengajar peserta didik yang dilakukan disamping tempat tidur
klien, meliputi kegiatan mempelajari kondisi klien dan asuhan keperawatan yang
dibutuhkan oleh klien.
Menurut Buku Panduan Praktek Profesi UNIMUS 2009 Program Studi SI
Keperawatan Program A, adalah Progran profesi ners reguler diikuti oleh mahasiswa
yang berasal dari SMA yang telah menyelesaikan program akademik dipendidikan
keperawatan. Program ners adalah program yang harus ditempuh setelah mahasiswa
menyelesaikan program akademik. Pada program profesi pembelajarannya lebih
ditekankan pada pelaksanaan praktek klinik baik di tatanan klinik maupun komunitas
Pembelajaran klinik merupakan wadah untuk mahasiswa dalam mengaplikasikan
asuhan keperawatan terhadap klien, sesuai dengan ilmu yang diperoleh dikelas dan
memodifikasi kondisi situasional dilapangan dan menganalisa kritis sehingga
mendapatkan perpaduan yang sempurna dalam memberikan asuhan keperawatan pada
klien di rumah sakit sesuai sumber daya sarana dan prasarana.
Tujuan dari pembelajaran profesi adalah mahasiswa mendapatkan pengalaman yang
nyata dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap klien sehat dan sakit sesuai
tujuan, mengaplikasikan bentuk asuhan keperawatan dengan critical thinking yang sesuai
dengan sumber daya, sarana dan prasarana yang ada dilahan praktek sesuai dengan tujuan
mata ajar, dan mengaplikasikan tampilan sosok dan sikap perawat profesional.
Mahasiswa yang diperkenankan mengikuti program profesi adalah mahasiswa
semester IX Program Studi Sarjana Keperawatan FIKKES UNIMUS yang telah
31
menyelesaikan program sarjana (S.Kep) yang telah menempuh beban studi selama tiga
semester dan telah menyelesaikan SKS sarjana keperawatan.
Pelaksanaan program studi ditempuh selama 1 tahun dengan total SKS kelas regular
sebesar 27 SKS. Mahasiswa tetap dinas meskipun libur nasional dan melakukan praktek
selama 7- 8 jam setiap hari, serta pengaturan shif putaran dinas diatur oleh Clinical
Intructure atau pihak yang berwenang sesuai aturan yang berlaku dilahan praktek
Adapun mata ajar yang terpadu dalam wadah program profesi adalah Ketrampilan
Dasar Profesi dengan beban 2 SKS, Keperawatan Medical Bedah dengan beban 5 SKS,
Keperawatan Anak dengan beban 3 SKS, Keperawatan Maternitas dengan beban 3 SKS,
Keperawatan jiwa dengan beban 3 SKS, Keperawatan gerontik dengan beban 2 SKS,
Keperawatan gawat darurat dengan beban 3 SKS, Keperawatan keluarga dengan beban 2
SKS, Keperawatan Komunitas dengan beban 2 SKS, dan Management Keperawatan
dengan beban 2 SKS.
Proses evaluasi yang wajib dilalui oleh mahasiswa program profesi adalah melalui
penilaian Presensi (5%), PANUM (5%), Ujian Stage (50%), Laporan dan seminar
kelompok (20%), dan Laporan Individu (20%).
Ketentuan Umum bagi mahasiswa program profesi kelas regular adalah mahasiswa
wajib mengikuti Kepanitriaan Umum sesuai jadwal yang telah ditetapkan, mahasiswa
wajib mengikuti ujian kepanitriaan umum dengan metode ujian OSCA, presensi
mahasiswa wajib hadir 100%, dengan ketentuan bila absent tanpa keterangan wajib
mengganti 2x jam yang ditinggalkan. Bila ijin mengganti sesuai dengan hari yang
ditinggalkan, mahasiswa wajib mengikuti penugasan mata ajar profesi terkait, dengan
mendapatkan sanksi bila tidak menyelesaikan. Sanksi sesuai dengan mata ajar terkait,
32
Seragam mahasiswa menggunakan seragam sesuai surat edaran resmi dari akademi,
yaitu: seragam klinik / RS putih-putih dengan sepatu putih, seragam
dikomunitas/lapangan atas putih bawah coklat sepatu hitam. Mengenakan atribut lengkap
nama dan kartu tanda praktikan yang dikeluarkan resmi sesuai lahan praktek
D. Kerangka Teori
Gambar 1. Kerangka teori penelitian
Sumber : Dwiyanti (2001); Departemen Tenaga Kerja RI (1999); Stuart dan Sunden (1995)
E. Kerangka Konsep
Mekanisme koping: 1. Mecari dukungan 2. Distraksi 3. Menerima 4. Menjaga masalah
sendiri
Faktor- factor yang mempengaruhi mekanisme koping:
1. Kepribadian individu 2. Kecakapan individu 3. Dukungan sosial 4. Umur
Adaftif Maladaftif
Factor penyebab stress: - Lingkungan kerja - Kondisi personal
Stres
33
Berdasarkan uraian pada tinjauan teori maka dapatdisusun kerangka konsep sebagai
berikut:
Variabel independen Variabel dependen
Diagram 2. Kerangka konsep penelitian
F. Variabel Penelitian
Variabel bebas (independent variable) dalam penelitian ini adalah tingkat stres pada
mahasiswa program Ners, dan variabel terikat (dependent variable) adalah mekanisme
koping.
G. Hipotesis Penelitian
Ada hubungan antara tingkat stres dengan mekanisme koping mahasiswa progeam Ners
Regular FIKKES UNIMUS.
Tingkat Stres Mahasiswa Program
Ners
MEKANISME KOPIMG