BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

40
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional 2.1.1. Fisiografi Regional Menurut Pannekoek (1949) fisiografi Pulau Jawa dapat dibedakan menjadi tiga zona yang membujur dari barat sampai timur yaitu: 1. Zona Selatan/ Zona Plato, terdiri dari beberapa plato dengan kemiringan kearah selatan menuju Samudra Indonesia dan umumnya di bagian utara dipotong oleh gawir. Di beberapa tempat gawir tersebut hampir tidak terlihat lagi, untuk kemudian berganti menjadi dataran aluvial. 2. Zona Tengah/Zona Depresi Vulkanik, merupakan daerah depresi yang disusun oleh endapan vulkanik muda, hal ini disebabkan karena pada daerah tersebut banyak tumbuh Gunung Api Kuarter. 3. Zona Utara/Zona Lipatan, yang terdiri dari rangkaian pegunungan lipatan yang diselingi oleh beberapa gunungapi dan sering berbatasan dengan aluvial. Zona utara ini dibagi lagi menjadi dua sub - zona, yaitu : Perbukitan Kendeng dan Perbukitan Rembang. Kedua perbukitan ini dipisahkan oleh depresi yang memanjang dengan arah barat - timur, yang oleh van Bemmelen (1949) depresi ini disebut sebagai Zona Randublatung. Dipihak lain, van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Pulau Jawa menjadi beberapa zona fisiografi (Gambar 2.1.) yaitu sebagai berikut:

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Geologi Regional

2.1.1. Fisiografi Regional

Menurut Pannekoek (1949) fisiografi Pulau Jawa dapat dibedakan

menjadi tiga zona yang membujur dari barat sampai timur yaitu:

1. Zona Selatan/ Zona Plato, terdiri dari beberapa plato dengan kemiringan

kearah selatan menuju Samudra Indonesia dan umumnya di bagian utara

dipotong oleh gawir. Di beberapa tempat gawir tersebut hampir tidak

terlihat lagi, untuk kemudian berganti menjadi dataran aluvial.

2. Zona Tengah/Zona Depresi Vulkanik, merupakan daerah depresi yang

disusun oleh endapan vulkanik muda, hal ini disebabkan karena pada

daerah tersebut banyak tumbuh Gunung Api Kuarter.

3. Zona Utara/Zona Lipatan, yang terdiri dari rangkaian pegunungan lipatan

yang diselingi oleh beberapa gunungapi dan sering berbatasan dengan

aluvial. Zona utara ini dibagi lagi menjadi dua sub - zona, yaitu :

Perbukitan Kendeng dan Perbukitan Rembang. Kedua perbukitan ini

dipisahkan oleh depresi yang memanjang dengan arah barat - timur,

yang oleh van Bemmelen (1949) depresi ini disebut sebagai Zona

Randublatung.

Dipihak lain, van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Pulau Jawa

menjadi beberapa zona fisiografi (Gambar 2.1.) yaitu sebagai berikut:

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

1. Zona Gunung Api Kuarter;

2. Zona Dataran Aluvial Jawa Bagian Utara;

3. Zona Antiklinorium Rembang – Madura;

4. Zona Antiklinorium Bogor - Serayu Utara - Kendeng;

5. Zona Depresi Tengah – Randublatung;

6. Zona Kubah dan Perbukitan dalam Depresi Sentral;

7. Zona Pegunungan Selatan.

Dalam pembagian zona fisiografi ini, daerah penelitian berada pada zona

Pegunungan Selatan, Sub Zona Baturagung.

Gambar 2.1. Peta Fisiografi Daerah Jawa Tengah - Jawa Timur (modifikasi dari

van Bemmelen, 1949 dalam Hartono, 2010). Daerah Penelitian ditunjukkan

dengan titik berwarna merah.

2.1.2. Stratigrafi Regional

a. Formasi Wungkal-Gamping

Formasi Wungkal-Gamping Lokasi tipe formasi ini terletak di G.

Wungkal dan G. Gamping, keduanya di Perbukitan Jiwo. Satuan batuan Tersier

tertua di daerah Pegunungan Selatan ini di bagian bawah terdiri dari

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

perselingan antara batupasir dan batulanau serta lensa batugamping. Pada bagian

atas, satuan batuan ini berupa napal pasiran dan lensa batugamping. Formasi ini

tersebar di Perbukitan Jiwo, antara lain di G. Wungkal, Desa Sekarbolo,

Jiwo Barat, menpunyai ketebalan sekitar 120 meter (Bronto dan Hartono, 2001).

Di bagian bawah, Formasi Wungkal-Gamping mengandung fosil foraminifera

besar, yaitu Assilina sp., Nummulites javanus VERBEEK, Nummulites

bagelensis VERBEEK dan Discocyclina javana VERBEEK. Kelompok fosil

tersebut menunjukkan umur Eosen Tengah bagian bawah sampai tengah.

Sementara itu bagian atas formasi ini mengandung asosiasi fosil foraminifera

kecil yang menunjukkan umur Eosen Akhir. Jadi umur Formasi Wungkal-

Gamping ini adalah Eosen Tengah sampai dengan Eosen Akhir (Sumarso

dan Ismoyowati, 1975). Sebagian dari satuan batuan ini semula merupakan

endapan laut dangkal yang kaya akan fosil. Karena pengaruh gaya berat di

lereng bawah laut, formasi ini kemudian meluncur ke bawah dan diendapkan

kembali di laut dalam sehingga merupakanexotic faunal assemblage (Rahardjo,

1980). Formasi ini tersebar luas di Perbukitan Jiwo dan K. Oyo di utara G. Gede,

menindih secara tidak selaras batuan metamorf serta diterobos oleh Diorit

Pendul dan di atasnya, secara tidak selaras, ditutupi oleh batuan sedimen klastika

gunungapi (volcaniclastic sediments) yang dikelompokkan ke dalam Formasi

Kebo-Butak, Formasi Semilir, Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

b. Formasi Kebo – Butak

Formasi ini secara umum terdiri dari konglomerat, batupasir dan

batulempung yang menunjukkan kenampakkan pengendapan arus turbid

maupun pengendapan gaya berat yang lain. Di bagian bawah yang oleh Bothe

disebut sebagai Kebo beds, tersusun atas perselang – selingan antara batupasir,

batulanau dan batulempung yang khas menunjukkan struktur turbidit, dengan

perselingan batupasir konglomeratan yang mengandung klastika lempung. Di

bagian bawah ini diterobos oleh sill batuan beku.

Di bagian atas dari formasi ini disebut sebagai anggota Butak, tersusun

oleh perulangan batupasir konglomeratan yang bergradasi menjadi lempung

atau lanau, ketebalan dari formasi ini kurang lebih 800 m. urutan batuan yang

membentuk Kebo Butak ini ditafsirkan terbentuk pada lingkungan lower

submarine fan dengan beberapa interupsi pengendapan tipe mid fan (Raharjo,

1983), yang terbentuk pada akhir Oligosen (N2-N3) (Sumarso & Ismoyowati,

van Gorsel et al.,1987).

c. Formasi Semilir

Secara umum batu ini tersusun atas batupasir dan batulanau yang bersifat

ringan, tufan, kadang – kadang dijumpai selaan breksi vulkanik. Fragmen yang

membentuk breksi maupun batupasir pada umumnya berupa fragmen batuapung

yang bersifat asam. Di lapangan pada umumnya menunjukkan perlapisan yang

baik, struktur – struktur yang mencerminkan turbidit banyak dijumpai.

Langkanya kandungan fosil pada formasi ini menunjukkan bahwa

pengendapannya berlangsung secara cepat atau pengendapan tersebut terjadi

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

pada lingkungan yang sangat dalam, berada di bawah ambang kompensasi

karbonat (CCD), sehingga fosil gampingan sudah mengalami korosi sebelum

dapat mencapai dasar pengendapan. Umur dari formasi ini diduga adalah awal

dari Meiosen berdasar atas terdapatnya Globigerinoides primordius pada bagian

yang bersifat lempungan dari formasi ini di dekat Piyungan (van Gorsel,

Formasi Kebo – Butak. Tersingkap secara baik di wilayah tipenya yaitu di

tebing gawir Baturagung di bawah puncak Semilir.

d. Formasi Nglanggran

Berbeda dari formasi yang sebelumnya, Formasi Nglanggran ini

tercirikan oleh penyusun utama berupa breksi dengan penyusun material

vulkanik, tidak menunjukkan perlapisan yang baik dengan ketebalan yang cukup

besar. Bagian yang terkasar dari breksinya hamper seluruhnya tersusun oleh

bongkah – bongkah lava andesit dan juga bom andesit. Di antara massa breksi

tersebut ditemukan sisipan lava yang sebagian besar telah mengalami breksiasi.

Formasi ini ditafsirkan sebagai hasil pengendapan aliran rombakan yang

berasal dari gunung api bawah laut, dalam lingkungan laut dan proses

pengendapan berjalan cepat, yaitu hanya selama awal Miosen.Singkapan utama

dari Formasi ini ada di Gunung Nglanggran pada perbukitan Baturagung.

Kontaknya dengan Formasi Semilir di bawahnya berupa kontak tajam. Hal ini

berakibat bahwa Formasi Nglanggran sering di anggap tidak selaras di atas

Semilir, namun harus diperhatikan bahwa kontak tajam tersebut dapat terjadi

akibat berubahnya mekanisme pengendapan dari energi rendah atau sedang

menjadi energi kuat, tanpa harus melewati kurun waktu geologi yang lama,

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

hal yang sangat biasa dalam proses pengendapan akibat gaya berat. Van

Gorse (1987) menganggap bahwa pengendapan Nglanggran ini dapat

diibaratkan sebagai proses runtuhnya gunung api semacam Krakatau yang

ada di lingkungan laut.

Ke arah atas yaitu ke arah Formasi Sambipitu, Formasi Nglanggran,

berubah secara bergradasi, seperti yang terlihat di singkapan di Sungai Putat.

Lokasi yang diamati untuk EGR tahun 2002 berada pada sisi lain sungai Putat,

di mana kontak kedua formasi ini ditunjukkan oleh kontak struktural.

e. Formasi Sambipitu

Di atas Formasi Nglanggran kembali terdapat formasi batuan yang

menunjukkan ciri-ciri terbidit, yaitu Formasi Sambipitu. Formasi ini tersusun

terutama oleh batu pasir yang bergradasi menjadi batulanau ataubatulempung.

Di bagian bawah, batupasirnya masih menunjukkan sifat vulkanik sedang ke

arah atas sifat vulkanik ini berubah menjadi batupasir yang bersifat

gampingan. Pada batupasir gampingan ini sering dijumpai fragmen dari koral

dan foraminifera besar yang berasal dari lingkungan terumbu laut dangkal, yang

terseret masuk ke dalam lingkungan yang lebih dalam akibat pengaruh arus

turbid.

Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Sambipitu pada jalan raya

Yogyakarta-Patuk-Wonosari kilometer 27,8. Secara lateral, penyebaran formasi

ini sejajar di sebelah selatan Formasi Nglanggran, di kaki selatan Subzona

Baturagung, namun menyempit dan kemudian menghilang di sebelah timur.

Ketebalan Formasi Sambipitu ini mencapai 230 meter. Batuan penyusun formasi

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

ini di bagian bawah terdiri dari batupasir kasar, kemudian ke atas berangsur

menjadi batupasir halus yang berselang-seling dengan serpih, batulanau dan

batulempung. Pada bagian bawah kelompok batuan ini tidak mengandung bahan

karbonat. Namun di bagian atasnya, terutama batupasir, mengandung bahan

karbonat. Formasi Sambipitu mempunyai kedudukan menjemari dan selaras di

atas Formasi Nglanggran. Santoso (1986, dalam Bronto dan Hartono, 2001)

menentukan umur formasi ini mulai akhir Miosen Bawah sampai awal

Miosen Tengah. Kandungan fosil bentoniknya menunjukkan adanya

percampuran antara endapan lingkungan laut dangkal dan laut dalam. Dengan

hanya tersusun oleh batupasir tuf serta meningkatnya kandungan karbonat di

dalam Formasi Sambipitu ini diperkirakan sebagai fase penurunan dari kegiatan

gunungapi di Pegunungan Selatan pada waktu itu (Bronto dan Hartono, 2001).

Ke arah atas, Formasi Sambipitu berubah secara gradasional menjadi

Formasi Wonosari (Anggota Oyo) seperti yang terlihat pada singkapan di

sungai Widoro dekat Bundel. Formasi Sambipitu terbentuk selama jaman

Miosen.

f. Formasi Wonosari

Selaras di atas Formasi Sambipitu terdapat Formasi Oyo /Wonosari.

Formasi ini terdiri terutama dari batugamping dan napal. Penyebarannya meluas

hamper setengah bagian selatan dari pegunungan Selatan memanjang ke arah

timur, membelok ke arah utara di sebelah timur perbukitan panggung hingga

mencapai bagian barat dari daerah depresi Wonogiri / Baturetno.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

Bagian terbawah dari Formasi Oyo / Wonosari terutama terdiri dari

batugamping berlapis yang menunjukkan gejala turbidit karbonat yang

diendapkan pada kondisi laut yang lebih dalam, seperti yang terlihat pada

singkapan pada daerah dekat muara sungai Widoro masuk ke sungai Oyo di

Bunder. Di lapangan batugamping ini terlihatsebagai batugamping berlapis,

menunjukkan gradasi butir dan pada bagian yang halus banyak dijumpai fosil

jejak tipe burrow yang terdapat pada bidang permukaan perlapisan ataupun

memotong sejajar dengan pelapisan. Batugamping kelompok ini disebut sebagai

Anggota Oyo dari Formasi Wonosari (BOTHE, 1929) atau Formasi Oyo

(Rahardjo dkk, 1977 dalam Toha dkk, 1994).

Ke arah lebih muda, anggota Oyo ini bergradasi menjadi dua spesies

yang berbeda. Di daerah Wonosari, batugamping ini makin kearah selatan

semakin berubah menjadi batugamping terumbu yang berupa rudstone,

framestone, dan floatstone, bersifat lebih keras dan dinamakan sebagai

anggota Wonosari dari Formasi Oyo / Wonosari (BOTHE, 1929) atau Formasi

Wonosari (Rahardjo dkk, 1977 dalam TOHA dkk). Sedangkan di barat daya

kota Wonosari, batugamping terumbu ini berubah fasies menjadi batugamping

berlapis yang bergradasi menjadi napal, dan disebuit sebagai anggota KEPEK

dari Formasi Wonosari. Anggota KEPEK ini juga tersingkap pada bagian timur,

yaitu di daerah depresi Wonogiri / Baturetno, di bawah endapan kuarter seperti

yang terdapat di daerah Eromoko.Secara keseluruhan, Formasi Wonosari Ini

terbentuk selama Meiosen akhir.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

g. Endapan kuarter

Di atas seri batuan sediment Tersier seperti tersebut di depan terdapat

suatu kelompok sediment yang sudah agak mengeras hingga masih lepas.

Karena kelompok sedimen ini berada di atas bidang erosi, serta proses

pembentukannya masih berlanjut hingga saat ini, maka secara keseluruhan

sedimen ini disebut sebagai Endapan Kuarter. Penyebarannya meluas mulai dari

daerah timur laut Wonosari hingga daerah depresi Wonogiri – Baturetno.

Singkapan yang baik dari endapan kuarter ini terdapat di daerah Eromoko

sekitar waduk Gajah Mungkur, namun pada EGR ini tidak dilewati.

Secara stratigrafis endapan Kuarter di daerah Eromoko, Wonogiri

terletak tidak selaras di atas sedimen Tersier yang berupa batu gamping berlapis

dari Formasi Wonosari atau breksi polimik dari formasi Nglanggran. Ketebalan

tersingkap dari endapan Kuarter tersebut berkisar dari 10 meter hingga 14

meter. Umur endapan Kuarter tersebut diperkirakan Plistosen Bawah.

Stratigrafi endapan Kuarter di daerah Eromoko, Wonogiri secara vertical

tersusun dari perulangan antara tuff halus putih kekuningan dengan perulangan

gradasi batu pasir kasar ke batu pasir sedang dengan lensa-lensa konglomerat.

Batu pasir tersebut berstruktur silang-siur tipe palung, sedangkan lapisan tuf

terdapat di bagian bawah, tengah dan atas. Pada saat lapisan tuff terbentuk,

terjadi juga aktifitas sungai yang menghasilkan konglomerat.

Lensa konglomerat yang terdapat pada lapisan tuff mengandung fragmen

andesit, diorite dan batulempung yang berukuran 5 – 8 cm, sering menunjukkan

adanya struktur imbrikasi fragmen. Sumber material dari lensa konglomerat

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

tersebut diduga berasal dari hasil erosi batuan yang lebih tua dikarenakan

aktivitas sungai.

Gambar 2.2. Stratigrafi Pegunungan Selatan, Jawa Tengah (Surono, et al. 1992)

dan penarikan umur absolut menurut peneliti terdahulu.

2.1.3. Struktur Geologi Regional

Struktur geologi di daerah Pegunungan Selatan berupa perlapisan

homoklin, sesar, kekar dan lipatan. Perlapisan homoklin terdapat pada bentang

alam Sub Zona Pegunungan Baturagung mulai dari Formasi Kebo-butak di

sebelah utara hingga Formasi Sambipitu dan Formasi Oyo di sebelah selatan.

Perlapisan tersebut mempunyai jurus lebih kurang berarah barat - timur dan

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

miring ke selatan. Kemiringan perlapisan menurun secara berangsur dari sebelah

utara (200 - 350) menjadi 50-150 di sebelah selatan. Bahkan pada Sub Zona

Cekungan Wonosari, perlapisan batuan yang termasuk Formasi Oyo dan

Formasi Wonosari mempunyai kemiringan sangat kecil (<50) atau bahkan datar

sama sekali. Tidak kalah menariknya pada Formasi Semilir di sebelah barat,

antara Prambanan - Patuk, perlapsan batuan secara umum miring ke arah

baratdaya. Sementara itu, di sebelah timur, pada tanjakan Sambeng dan dusun

Jentir, perlapisan batuan miring ke timur. Perbedaan jurus dan kemiringan

batuan ni mungkin disebabkan oleh sesar blok (anthithetic fault blocks; van

Bemmelen, 199) atau sebab lain, misalnya updoming yang berpusat di

Perbukitan Jiwo, atau merupaan kemiringan asli (original dip) dari bentang alam

gunungapi dan lingkungan sedimentasi pada zaman Tersier.

Struktur sesar pada umumnya berupa sesar turun dengan pola

"anthithetic fault blocks" (van Bemmelen, 1949). Sesar utama berarah baratlaut-

tenggara dan setempat-setempat berarah timurlaut-baratdaya. Di kaki selatan

(Sambipitu) dan kaki Timur (Sambeng) Pegunungan Baturagung dijumpai sesar

geser mengiri. Sesar ini berarah hampir utara-selatan dan memotong lipatan

yang berarah timurlaut-baratdaya. Bronto dkk. (1998) menginterpretasikan

tanda-tanda sesar di sebelah selatan (K. Ngalang dan K. Putat) serta sebelah

timur (dusun Jentir, tanjakan Sambeng) sebagai bagian dari longsoran besar

(mega slumping) batuan gunungapi tipe Mt. St. Helens. Di sebelah barat, K.

Opak diduga dikontrol oleh sesar bawah permukaan yang berarah timurlaut -

baratdaya dimana blok barat relatif turun terhadap blok timur.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

Struktu lipatan banyak terdapat di sebelah utara G. Panggung, berupa

sinklin dan antiklin. Tinggian batuan gunungapi ini dengan tinggi G.

Gajahmungkur di sebelah timurlautnya di antarai oleh sinklin yang berarah

tenggara - baratlaut. Struktur sinlin juga dijumpai di sebelah selatan yaitu pada

Formasi Kepek dengan arah timurlaut - baratdaya.

2.1.4. Tektonik

Zona Pegunungan Selatan merupakan cekungan yang menunjang dengan

arah relatif barat – timur mulai dari Parangtritis di bagian barat sampai Ujung

Purwo di bagian Jawa Timur. Perkembangan tektoniknya tidak lepas dari

interaksi konvergen antara Lempeng Hindia – Australia dengan Lempeng Micro

Sunda. Mengutip dari pernyataan C.Prasetyadi (2007) secara lisan mengenai

Evolusi Tektonik Tersier Pulau Jawa, dijelaskan bahwa Pulau Jawa merupakan

salah satu pulau di Busur Sunda yang mempunyai sejarah geodinamik aktif,

yang jika dirunut perkembangannya dapat dikelompokkan menjadi beberapa

fase tektonik dimulai dari Kapur Akhir hingga sekarang yaitu :

1. Periode Kapur akhir – Paleosen.

2. Periode Eosen (Periode Ekstensional /Regangan) .

3. Periode Oligosen Tengah (Kompresional – Terbentuknya OAF) .

4. Periode Oligo-Miosen (Kompresional – Struktur Inversi ) .

5. Periode Miosen Tengah – Miosen Akhir.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

1. Periode Kapur Akhir – Paleosen

Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan Lempeng

Indo- Australia ke arah timurlaut meng-hasilkan subduksi dibawah Sunda

Microplate sepanjang suture Karangsambung-Meratus, dan diikuti oleh fase

regangan (rifting phase) selama Paleogen dengan pembentukan serangkaian

horst (tinggian) dan graben (rendahan). Aktivitas magmatik Kapur Akhir dapat

diikuti menerus dari Timurlaut Sumatra – Jawa Kalimantan Tenggara.

Pembentukan cekungan depan busur (fore arc basin) berkembang di daerah

selatan Jawa Barat dan Serayu Selatan di Jawa Tengah.

Mendekati Kapur Akhir – Paleosen, fragmen benua yang terpisah dari

Gondwana, mendekati zona subduksi Karangsambung-Meratus. Kehadiran

allochthonous micro-continents di wilayah Asia Tenggara telah dilaporkan oleh

banyak penulis (Metcalfe, 1996). Basement bersifat kontinental yang terletak di

sebelah timur zona subduksi Karangsambung Meratus dan yang mengalasi

Selat Makasar teridentifikasi di Sumur Rubah-1 (Conoco, 1977) berupa granit

pada kedalaman 5056 kaki, sementara didekatnya Sumur Taka Talu-1

menembus basement diorit. Docking (merapatnya) fragmen mikro-kontinen

pada bagian tepi timur Sundaland menyebabkan matinya zona subduksi Karang-

sambung-Meratus dan terangkatnya zona subduksi tersebut menghasilkan

Pegunungan Meratus

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

2. Periode Eosen (Periode Ekstensional /Regangan)

Antara 54 jtl – 45 jtl (Eosen), di wilayah Lautan Hindia terjadi

reorganisasi lempeng ditandai dengan berkurangnya secara mencolok kecepatan

pergerakan ke utara India. Aktifitas pemekaran di sepanjang Wharton Ridge

berhenti atau mati tidak lama setelah pembentukan anomali 19 (atau 45 jtl).

Berkurangnya secara mencolok gerak India ke utara dan matinya Wharton Ridge

ini diinterpretasikan sebagai pertanda kontak pertama Benua India dengan zona

subduksi di selatan Asia dan menyebabkan terjadinya tektonik regangan

(extension tectonics) di sebagian besar wilayah Asia Tenggara yang ditandai

dengan pembentukan cekungan-cekungan utama (Cekungan-cekungan: Natuna,

Sumatra, Sunda, Jawa Timur, Barito, dan Kutai) dan endapannya dikenal

sebagai endapan syn-rift. Pelamparan extension tectonics ini berasosiasi dengan

pergerakan sepanjang sesar regional yang telah ada sebelumnya dalam fragmen

mikrokontinen. Konfigurasi struktur basement mempengaruhi arah

cekungan syn-rift Paleogen di wilayah tepian tenggara Sundaland (Sumatra,

Jawa, dan Kalimantan Tenggara)

3. Periode Oligosen Tengah (Kompresional – Terbentuknya OAF)

Sebagian besar bagian atas sedimen Eosen Akhir memiliki kontak tidak

selaras dengan satuan batuan di atasnya yang berumur Oligosen. Di daerah

Karangsambung batuan Oligosen diwakili oleh Formasi Totoganyang kontaknya

dengan satuan batuan lebih tua menunjukkan ada yang selaras dan tidakselaras.

Di daerah Karangsambung Selatan batas antara Formasi Karangsambung dan

Formasi Totogan sulit ditentukan dan diperkirakan berangsur, sedangkan ke arah

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

utara Formasi Totogan ada yang langsung kontak secara tidak selaras dengan

batuan dasar Komplek Melange Luk Ulo. Di daerah Nanggulan kontak

ketidakselarasan terdapat diantara Anggota Seputih yang berumur Eosen Akhir

dengan satuan breksi volkanik Formasi Kaligesing yang berumur Oligosen

Tengah. Demikian pula di daerah Bayat, bagian atas Formasi Wungkal-Gamping

yang berumur Eosen Akhir, tandatanda ketidak selarasan ditunjukkan oleh

terdapatnya fragmen- fragmen batuan Eosen di sekuen bagian bawah Formasi

Kebobutak yang berumur Oligosen Akhir. Ketidakselarasan di Nanggulan dan

Bayat merupakan ketidakselarasan menyudut yang diakibatkan oleh deformasi

tektonik yang sama yang menyebabkan terdeformasinya Formasi

Karangsambung.

Akibat deformasi ini di daerah Cekungan Jawa Timur tidak jelas teramati

karena endapan Eosen Formasi Ngimbang disini pada umumnya selaras dengan

endapan Oligosen Formasi Kujung. Deformasi ini kemungkinan juga berkaitan

dengan pergerakan ke utara Benua Australia. Ketika Wharton Ridge masih aktif

Benua Australia bergerak ke utara sangat lambat. Setelah matinya pusat

pemekaran Wharton pada 45 jt, India dan Australia berada pada satu lempeng

tunggal dan bersama-sama bergerak ke utara. Pergerakan Australia ke utara

menjadi lebih cepat dibanding ketika Wharton Ridge masih aktif. Bertambahnya

kecepatan ini meningkatkan laju kecepatan penunjaman Lempeng Samudera

Hindia di Palung Jawa dan mendorong ke arah barat, sepanjang sesar mendatar

yang keberadaannya diperkirakan, Mikrokontinen Jawa Timur sehingga

terjadi efek kompresional di daerah Karangsambung yang mengakibatkan

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

terdeformasinya Formasi Karangsambung serta terlipatnya Formasi Nanggulan

dan Formasi Wungkal Gamping di Bayat. Meningkatnya laju pergerakan ke

utara Benua Australia diperkirakan berlangsung sampai Oligosen Tengah.

Peristiwa ini memicu aktifitas volkanisme yang kemungkinan berkaitan erat

dengan munculnya zona gunungapi utama di bagian selatan Jawa (OAF=Old

Andesite Formation) yang sekarang dikenal sebagai Zona Pegunungan Selatan.

Aktifitas volkanisme ini tidak menjangkau wilayah Jawa bagian utara dimana

pengendapan karbonat dan silisiklastik menerus di daerah ini.

4. Periode Oligo-Miosen (Kompresional – Struktur Inversi )

Pada Oligosen Akhir sampai Miosen Tengah pergerakan ke utara India

dan Australia berkurang secara mencolok karena terjadinya benturan keras (hard

collision) antara India dengan Benua Asia membentuk Pegunungan Himalaya.

Akibatnya laju penunjaman Lempeng Samudera Hindia di palung Sunda juga

berkurang secara drastis. Hard collision India menyebabkan efek maksimal

tektonik ekstrusi sehingga berkembang fase kompresi di wilayah Asia

Tenggara. Fase kompresi ini menginversi sebagian besar endapan syn-rift

Eosen. Di Cekungan Jawa Timur fase kompresi ini menginversi graben RMKS

menjadi zona Sesar RMKS. Di selatan Jawa, kegiatan volkanik Oligosen

menjadi tidak aktif dan mengalami pengangkatan. Pengangkatan ini ditandai

dengan pengen-dapan karbonat besar-besaran seperti Formasi Wonosari di Jawa

Tengah dan Formasi Punung di Jawa Timur. Sedangkan di bagian utara dengan

aktifnya inversi berkembang endapan syn-inversi formasi-formasi Neogen di

Zona Rembang dan Zona Kendeng. Selama periode ini, inversi cekungan terjadi

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

karena konvergensi Lempeng Indian menghasilkan rezim tektonik kompresi di

daerah “busur depan” Sumatra dan Jawa. Sebaliknya, busur belakang merupakan

subjek pergerakan strike-slip utara-selatan yang dominan sepanjang sesar-

sesar turun (horst dan graben) utara-selatan yang telah ada.

5. Periode Miosen Tengah – Miosen Akhir

Pengaktifan kembali sepanjang sesar tersebut menghasilkan mekanisme

transtension dan transpression yang berasosiasi dengan sedimentasi turbidit

dibagian yang mengalami penurunan. Namun demikian, di bagian paling

timur Jawa Timur, bagian basement dominan berarah timur-barat, sebagaimana

secara khusus dapat diamati dengan baik mengontrol Dalaman Kendeng dan

juga Dalaman Madura. Bagian basement berarah Timur – Barat merupakan

bagian dari fragmen benua yang mengalasi dan sebelumnya tertransport dari

selatan dan bertubrukan dengan Sundaland sepanjang Suture Meratus (NE-

SW struktur). Tektonik kompresi karena subduksi ke arah utara telah mengubah

sesar basement Barat – Timur menjadi pergerakan sesar mendatar, dalam

perioda yang tidak terlalu lama (Manur dan Barraclough, 1994). Kenaikan

muka air laut selama periode ini, menghasilkan pengendapan sedimen

klastik di daerah rendahan, dan sembulan karbonat (carbonate buildup)

pada tinggian yang membatasinya.

2.1.5. Vulkanisme

Daerah Pegunungan Selatan sangat terpengaruh oleh kegiatan

vulkanisme yang secara jelas dapat diamati sejak Kala Oligosen, yaitu

terbentuknya Formasi Kebo-Butak, hingga Formasi Oyo pada Miosen Tengah.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

Pada umur Mio-Pliosen tanda-tanda adanya volkanisme berupa sisipan tuff di

dalam batugamping hanya dijumpai di bagian timur (Formasi Punung). Dengan

adanya aliran lava bantal yang ditemuan di Watuadeg dan Bayat, dan lokasi

kedua itu lava bantal berselingan dengan napal maka hal itu menunjukkan

bahwa kegiatan gunungapi diiawali di dasar laut (submarine volcano). Pada saat

ituu diduga tahap kegiatan vulkanisme bersifat membangun (konstruksi) kerucut

gunungapi strato.

Setelah beristirahat beberapa lama, sementara magma mengalami

diferensiasi menjadi lebih asam dan gas gunungapi (unsur volatil) terkumpul di

bagian atas dapur magma gunungapi itu sehingga tekanannya semakin lama

semakin kuat, maka terjadilah tahap perusakan (destruksi) berupa letusan

pembentukan kaldera gunungapi. Hasil letuusan besar ini berupa tuff batuapung,

lapili batuapung, dan breksi batuapung yang dikelompokkan ke dalam Formasi

Semilir. Siklus gunungapi kembali berulang, setelah terjadi masa tengan pasca

letusan kaldera maka mulailah tahap konstruksi kerucut gunungapi strato yang

batuanya dikelompokkan ke dalam Formasi Nglanggeran. Pada kala itu sebagian

tubuh gunungapi diduga berada di atas muka air laut, sebagai daratan gunungapi

atau pulau gunungapi, namun kakinya berada di lingkungan laut. Hal itu

ditunjukkan oleh tidak adanya kandungan karbonat, batuan beku luar berlubang

sedang-kasar, serta sebagian teroksidasi kuat berwarna merah bata hingga

kecoklatan. Sementara itu kaki gunungapi yang berada dilaut dangkal dibuktikan

dengan adanya campuran fragmen koral secara setempat di dalam breksi

gunungapi. Kegiatan vulkanisme menurun terusu dari Formasi Sambipitu hingga

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

Formasi Oyo. Bahkan selama pengendapan Formasi Wonosari di bagian barat

Pegunungan Selatan ini tidak terpengaruh oleh kegiatan gunungapi. Dengan

demikian puncak kegiatan volkanisme terjadi pada Oligosen Akhir hingga

Miosen Tengah, atau selama lebih kurang 20 juta tahun (30-20 juta tahun yang

lalu).

2.2. Sistem Geothermal dan Hidrothermal

Sistem geothermal secara umum dapat dibagi menjadi 2 berdasarkan

sumber panasnya yaitu, magmatic dan amagmatic. Sumber panas yang berasal

dari magma (magmatic) terjadi dan berasosiasi dengan lempeng samudra dan

plate margin. Sistem geothermal yang terjadi di lempeng samudra terbentuk

akibat hot spot yang membentuk island arc dan rifting yang membentuk mid

oceanic ridges (MOR). Endapan mineral yang terbentuk pada sistem geothermal

ini berupa Volcanogenic Massive Sulphide. Sistem geothermal magmatic

selanjutnya adalah yang terjadi di plate margin yang terbentuk akibat subduksi

antara lempeng samudera dan lempeng benua, menghasilkan sistem geothermal

busur magmatik (magmatic arc). Endapan mineral yang terbentuk pada sistem

geothermal ini berupa Porphyry Cu-Au-Mo, Skarn, dan Intrusion Related Cu-

Au-Zn-Pb. Sistem geothermal magmatic juga dapat terjadi di lempeng benua

tepatnya pada belakang busur (back arc) dan continental rifting. Tipe endapan

mineral yang terbentuk pada sistem geothermal ini berupa Epithermal Au-Ag

dan Granitic Sn-W-Mo. Sistem geothermal yang tidak dipengaruhi oleh magma

(amagmatic) terjadi pada patahan (crustal faulting) di lempeng benua. Selain itu

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

sistem geothermal amagmatic juga dapat terbentuk akibat proses pembebanan

pada cekungan sedimentasi.

Bateman (1956), menyatakan bahwa fluida hidrotermal adalah suatu

cairan atau fluida yang panas (100o-500oC), yang bergerak ke atas membawa

senyawa-senyawa baik logam maupun non logam. Fluida ini merupakan larutan

sisa pembekuan magma yang kemudian dikenal dengan istilah air magmatik.

Selain itu ada juga fluida hidrothermal yang tidak berasal dari magma itu

sendiri, kemudian disebut air meteorik.

Tipe air meteorik dapat dibedakan menjadi 3 yaitu, air klorida (Cl), air

sulfat (SO4) dan air bikarbonat (HCO3). Tipe air ini dibedakan berdasarkan

kandungan relatif anion Cl, SO4 dan HCO3. Tipe air klorida merupakan fluida

panas Bumi yang berasal dari reservoir. Manifestasi tipe air klorida adalah

adanya kolam jernih dan endapan (sinter) silica. Mineral yang dapat terbentuk

dari hidrothermal air klorida berupa silica (kuarsa), adularia, albit, illite, chlorite,

epidote, pyrite. Tipe air sulfat terbentuk karena adanya oksidasi H2S menjadi

H2SO4. Manifestasi tipe air sulfat di permukaan berupa kolam lumpur. Mineral

yang dapat terbentuk dari hidrothermal air sulfat adalah alunite, kaolinite, opal,

pyrite dan sulfur. Tipe air bikarbonat merupakan air dengan ion HCO3 yang

dominan. Air ini akan menghasilkan endapan travertine di permukaan jika

mengandung Ca yang tinggi. Mineral yang dapat terbentuk dari hidrothermal air

bikarbonat adalah calcite, illite, smectite, chalcedony dan pyrite.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

Gambar 2.6. Sistem Geothermal dan Endapan Bijih Hidrothermal (Corbett &

Leach, 1998)

Gambar 2.7. Sistem Hidrothermal di Back Arc Rift (Corbett & Leach, 1998)

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

Gambar 2.8. Sistem Hidrothermal di Volcanic Arc (Corbett & Leach, 1998)

2.4. Alterasi Hidrothermal

Alterasi hidrotermal adalah pergantian mineralogi dan komposisi kimia

yang terjadi pada batuan ketika berinteraksi dengan fluida hidrotermal (White,

1996). Fluida hidrotermal membawa berbagai unsur yang dapat mengalami

pengendapan, diantaranya unsur Na, K, Ca, Cl sebagai komponen utama serta

unsur-unsur minor seperti Mg, B, S, Sr, CO2, H2S, NH4, Cu, Pb, Zn, Sn, Mo, Ag,

Au, dan lain sebagainya (Guilbert dan Park, 1986). Sedangkan, alterasi dapat

terjadi sebagai proses kesetimbangan antara mineral-mineral dalam batuan yang

berinteraksi dengan fluida hidrotermal.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

White (2006) mendeskripsikan faktor-faktor yang berpengaruh dalam

alterasi hidrotermal menjadi tiga faktor utama antara lain bagaimana batuan

berinteraksi dengan fluida hidrotermal, rasio perbandingan antara fluida dan

batuan, dan komposisi fluida hidrotermal. Sedangkan menurut Browne (1978)

dalam Corbett dan Leach (1998), suatu proses alterasi dipengaruhi oleh beberapa

faktor seperti :

1. Temperatur (termasuk temperatur fluida, kedalaman, dan tekanan)

2. Kimia fluida (pH)

3. Konsentrasi fluida dan komposisi fluida

4. Komposisi batuan induk

5. Kinetika dari reaksi yang terjadi

6. Lamanya proses interaksi

7. Permeabilitas batuan

White (1996) menjelaskan bahwa pengaruh alterasi hidrotermal terhadap

batuan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Pengaruh yang bekerja pada individual mineral secara selektif

Hal ini terjadi pada dua kondisi, yang pertama adalah dimana batuan

berinteraksi dengan fluida yang bersifat tidak reaktif sehingga hanya mineral

tertentu yang dapat berinteraksi dengan fluida hidrotermal. Kondisi kedua adalah

jumlah fluida hidrotermal yang mengalir berjumlah sedikit (rasio fluida

berbanding batuan rendah). Proses ini umumnya terjadi pada zona alterasi

propilitik.

2. Pengaruh sebatas pada urat dan sekitarnya

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

Proses ini hanya terlihat sebatas urat dan sekitarnya. Hal ini

dimungkinkan karena batuan yang bersifat tidak permeabel, atau jumlah fluida

yang sedikit.

3. Pengaruh pada keseluruhan batuan secara pervasive

Pengaruh ini terjadi disebabkan oleh banyaknya jalur rekahan atau

batuan memiliki permeabilitas tinggi, sehingga memungkinkan fluida untuk

mengubah seluruh komposisi batuan.

Salah satu contoh proses ubahan mineral primer menjadi mineral

sekunder (alterasi) akibat fluida hidrotermal seperti k-feldspar menjadi kaolin,

dapat dilihat dalam reaksi dibawah ini.

K2O.Al2O3.6SiO2 + CO2 + 2H2O = K2CO3 + 4SiO2 + Al2O3.2SiO2.2H2O

(K-feldspar) (soluble) (silika) (kaolin)

2.4.1. Klasifikasi Alterasi Hidrothermal

Terdapat berbagai macam pembagian jenis-jenis alterasi. Menurut Meyer

& Hemley (1967) dalam Guilbert (1986) membagi tipe alterasi hidrotermal

menjadi 5 jenis yaitu alterasi argilik lanjut, filik, argilik, propilitik dan potasik.

Sedangkan Meyer & Hemley (1967) dan Roy & Burt (1979) dalam

Evans (1993), membagi tipe alterasi hidrotermal yang ditemukan pada endapan

epitermal menjadi beberapa kelompok yang lebih mendetail, seperti berikut:

1. Alterasi argilik lanjut

Alterasi argilik lanjut terjadi akibat leaching yang sangat intensif karena

batuan dilalui oleh fluida hidrotermal yang sangat asam (pH <4). Alterasi ini

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

dicirikan oleh kehadiran mineral dickite, kaolinit, alunit, pirofilit dan kuarsa.

Serisit, dan pirit juga seringkali hadir. Alterasi argilik lanjut merupakan zona

dengan urat logam dasar atau endapan pipa yang berasosiasi dengan stock

batuan plutonik asam. Alterasi ini dapat dijumpai juga di lingkungan mata air

panas dan pada endapan logam dangkal (telescoped). Bijih yang sering dijumpai

yaitu kovelit, digenit, pirit dan enargit.

2. Alterasi filik / serisitisasi

Alterasi ini menyebabkan mineral feldspar dan mika pada granit

berubah menajdi serisit. Mineral penciri dalam alterasi ini adalah serisit dan

kuarsa. Pirit juga seringkali hadir sebagai sulfida yang berasosiasi dengan

alterasi ini. Kuarsa sekunder hadir sebagai hasil alterasi, sedangkan kuarsa

primer tidak terubah. Zona alterasi ini berada di bawah zona arglilik.

3. Alterasi argilik menengah / argilik

Awalnya dikenal sebagai alterasi argilik. Hemley & Jones (1964) yang

menamakan sedemikian rupa untuk membedakan dengan alterasi argilik lanjut.

Mineral penciri alterasi ini adalah kaolin dan montmorilonit sebagai hasil

alterasi dari plagioklas. Kedua mineral tersebut dapat ditemani dengan lempung

yang amorf. Zona alterasi argilik menengah dibagi menjadi zona yang dominan

mengandung montmorilonit yaitu di bagian pinggir dan yang dominan

mengandung kaolin yaitu di dekat zona alterasi serisitisasi. Sedangkan diluar

zona alterasi ini berupa zona alterasi propilitik sampai menuju yang paling luar

adalah batuan fresh. Alterasi ini terjadi pada kondisi asam (pH 4-6).

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

4. Alterasi propilitik

Alterasi propilitik merupakan alterasi yang kompleks yang dicirikan

oleh kehadiran klorit, epidot, albit, dan karbonat (kalsit, dolomit dan ankerit).

Serisit, pirit dan magnetit dapat hadir dalam jumlah minor, sedangkan zeolit dan

montmorilonit dapat juga hadir namun kelimpahannya sangat sedikit. Alterasi

ini terbentuk pada pH netral hingga alkalin.

5. Silisifikasi

Alterasi silisifikasi terjadi akibat meningkatnya proporsi kuarsa atau

silika kriptokristalin seperti silika cherthy atau silika opaline dalam batuan yang

teralterasi. Silika tersebut dapat berasal dari larutan hidrotermal seperti pada

cherthy limestone yang dapat berasosiasi dengan endapan timbal-seng-fluorit-

barit atau sebagai hasil sampingan dari alterasi pada feldspar atau mineral

lainnya selama proses leaching.

Untuk lebih memudahkan dalam mempelajari tipe alterasi beserta

mineral-mineral pencirinya Mayer dan Hemley (1967) membuat tabel klasifikasi

alterasi hidrotermal jenis aluminosilikat pada batuan vulkanik, sedimen dan

metamorf seperti Tabel 2.1. dibawah ini.

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

Tabel 2.1. Klasifikasi jenis alterasi jenis aluminosilikat pada batuan vulkanik,

sedimen dan metamorf (Meyer dan Hemley, 1967 dengan modifikasi)

Jenis

alterasi

Mineral-mineral

penciri alterasi

Mineral-

mineral

aksesoris

Suhu Kimia fluida

Argilik Smektit atau

perlapisan antara

smektit-illit

Sulfida,

zeolit,

kuarsa, kalsit

<200°

C

Kondisi pH

netral,

aCa+/aH+

moderat

Serisitik Serisit dan kuarsa Sulfida,

oksida,

kaolinit

(minor)

>220°

C

pH netral

tetapi

kandungan

aH+/aK

+

meningkat

Propiliti

k

Epidot Klorit, illit,

dan sulfida

250°

C

pH netral

kandungan

aCa+/zH+

relatif tinggi

Argilik

lanjut

(temper

atur

rendah)

Kaolinit, dan

alunit

Kalsedon,

kristobalit,

kuarsa dan

pirit

180°

C

Kondisi pH

asam

Argilik

lanjut

(temper

atur

tinggi)

Pirofilit, diaspor,

dan andalusit

Kuarsa,

sulfida,

enargit,

luzonit

250°

C -

320°

C

Kondisi pH

asam

2.4.2. Endapan Hidrothermal

Larutan hidrotermal adalah suatu cairan atau fluida yang panas,

kemudian bergerak naik ke atas dengan membawa komponen-komponen

mineral logam, fluida ini merupakan larutan sisa yang dihasilkan pada proses

pembekuan magma (Bateman,1981).

Alterasi hidrotermal mengakibatkan terjadinya penggantian mineral dari

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

kelompok mineral awal menjadi mineral kumpulan mineral baru yang relatif

lebih stabil pada kondisi hidrotermal. Kondisi hidrothermal tersebut meliputi

suhu, tekanan, dan komposisi larutan (Evans, 1993).

Proses hidrotermal mengahasilkan endapan hidrotermal. Endapan

hidrotermal adalah endapan yang terbentuk akibat pengendapan larutan

hidrotermal, yaitu cairan panas yang berasal dari kulit bumi yang kemudian

bergerak ke atas dengan membawa komponen mineral-mineral logam.

Evans (1993) membagi endapan hidrotermal berdasar kondisi

geologi dan temperaturnya menjadi 3 jenis yaitu :

a. Endapan Epitermal

Endapan epitermal adalah endapan yang terbentuk pada kedalaman

dangkal di bawah permukaan bumi. Kedalaman dari endapan ini <1km dan

mempunyai temperatur 50ºC - 200ºC dan tekanan <100atm. Ciri yang paling

utama dari endapan ini adalah melimpahnya mineral klorit.

b. Endapan Mesotermal

Endapan mesotermal adalah endapan yang terbentuk ada kedalaman

menengah.Kedalaman dari endapan ini berkisar antara 1km – 2km di bawah

permukaan bumi.Sedangkan temperatur dari endapan ini berkisar antara 200ºC -

300ºC. Mineral penciri utama dari endapan ini adalah serisit.

c. Endapan Hipotermal

Endapan hipotermal adalah endapan yang terbentuk pada kedalaman

yang berkisar antara 2km – 4km dari permukaan bumi. Endapan ini terbentuk

pada temperatur sekitar 400ºC. Mineral penciri utama dari endapan ini adalah

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

muskovit, kuarsa, dan topaz. Tipe endapan hidrotermal yang akan dibahas

lebih lanjut adalah tipe endapan epitermal.

Gambar 2.9. Tabel Mineralogi Alterasi Sistem Hidrotermal (Corbett & Leach

1998).

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

2.5. Endapan Epitermal

Berdasarkan karakteristik mineralisasi dan derajat sulfidasi nya, endapan

epitermal dibagi menjadi 2 yaitu endapan epitermal sulfidasi rendah dan

endapan epitermal sulfidasi tinggi. Endapan epitermal sulfidasi rendah terbentuk

pada kondisi reduksi dengan pH air netral (Barton dan Skinner, 1983).

Sedangkan endapan epitermal sulfidasi tinggi terbentuk pada kondisi asam dan

teroksidasi dengan ciri adanya pelarutan pada batuan induk (Ransome, 1907

dalam Hedenquist dkk, 2000).

Perbedaan tingkat sulfidasi dari endapan epitermal sangat dikontrol oleh

fluida hidrotermal yang dominan dari sistem tersebut. Berdasarkan studi isotop,

lingkungan endapan epitermal sulfidasi rendah sangat didominasi oleh pengaruh

air meteorik, walau beberapa sistem mengandung air dan gas yang reaktif (CO2,

SO2, HCl) yang berasal dari pembentukan magma (Hedenquist dan Lowenstern,

1994 dalam White dan Hedenquist, 1995). Fluida magmatik yang berasal dari

tempat yang dalam beraksi dengan batuan induk dalam waktu dan jarak yang

cukup panjang, sehingga dapat menetralkan pH dari fluida tersebut. Komponen

utama dalam sistem ini adalah CO2, H2S, dan NaCl yang bersifat netral (Gambar

3.2). Fluida ini yang kemudian boiling di kedalaman yang dangkal. Sedangkan

gas H2S yang terkondensasi dekat dengan permukaan menyebabkan munculnya

air asam sulfat yang bersifat asam dengan pH berkisar antara 2-3 (Giggenbach,

1992 dalam White dan Hedenquist, 1995).

Sedangkan pada sistem sulfidasi tinggi, karena sumber magmatik dekat

dengan permukaan, maka komponen fluida magmatik tidak berinterasksi banyak

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

dengan batuan sehingga bersifat asam dan teroksidasi. Komponen fluida yang

utama dalam sistem ini adalah H2SO4, H2S dan HCl yang semuanya bersifat

asam (pH 0-2) sehingga mampu melarutkan batuan disekitarnya; (Rye, 1993

dalam White dan Hedenquist, 1995).

Gambar 2.10. Lingkungan pembentukan endapan epitermal LS & HS (Corbett

& Leach, 1998)

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

Gambar 2.11. Derajat sulfidasi berdasarkan fluida (modifikasi dari White,

1995)

Pada umumnya daerah mineralisasi yang berhubungan dengan sistem

hidrotermal mempunyai hubungan spasial antara struktur mayor dengan proses

mineralisasi yang terjadi. Secara regional suatu sistem struktur di daerah

magmatic arcs akan terbentuk intrusi, baik yang mengisi daerah bukaan yang

ada maupun membentuk bukaan yang baru. Bukaan yang terjadi tergantung dari

arah subduksi suatu lempeng, ada yang bertipe orthogonal (tegak lurus) dan

oblique (menyudut). Bukaan dapat terjadi pada fase kompresi dan ekstensi

Corbett dan Leach (1998) membagi sistem bukaan urat yang didasarkan

pada tatanan tektonik dan level erosi pada suatu sistem hidrotermal menjadi

beberapa jenis, antara lain:

a. Tension Fracture / Vein, adalah bukaan di batuan induk yang terletak

di antara sesar strike – slip dan umumnya mempunyai orientasi yang tergantung

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

dengan gaya (stress) utama. Tension fracture ini merupakan pembawa

mineralisasi bijih, terutama urat emas-perak. Berdasarkan bentukannya dibagi

lagi menjadi 2, yaitu tension gash vein yang berbentuk sigmoid dan fissure vein

yang berbentuk celah memanjang (McClay, 1987 dalam Corbett dan Leach,

1998).

b. Jogs, adalah bukaan yang menghubungkan 2 sesar geser mendatar

yang berbeda arah yang membentuk pull-apart basin. Bukaan ini searah dengan

sesar turun pembentuk pull-apart basin. Jenis dari bukaan ini dibagi menjadi 2

berdasarkan bentukannya yaitu sigmoid (berbentuk sigmoid dan berkembang di

dekat permukaan) dan horsetails/splay (berkembang pada level porfiri pada

kedalaman yang cukup dalam).

c. Flexures, merupakan bukaan yang berbentuk bend dalam satu bidang

struktur.

d. Hanging (foot) wall splits, merupakan bukaan yang berada pada

bidang sesar, terutama pada sesar turun.

e. Domes, terjadi pada batuan basement yang menghasilkan rekahan-

rekahan yang sering diisi mineralisasi.

f. Ore shoots, umumnya merupakan perkembangan dari penambahan

lebar suatu urat atau terjadinya intersection antara urat-urat pembawa

mineralisasi. Bukaan tipe ini merupakan lokasi yang sangat kaya akan

mineralisasi bijih terutama emas pada endapan epitermal.

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

Gambar 2.12. Perbedaan sistem bukaan fase kompresi dan ekstensi pada

kondisi orthogonal convergence (Corbett dan Leach, 1998).

Hal yang paling penting dalam menentukan tipe endapan epitermal baik

sulfidasi tinggi maupun rendah salah satunya dengan melihat bentukan dari

tubuh endapan bijih tersebut (White dan Hedenquist, 1995). Endapan epitermal

sulfidasi rendah dan tinggi sering overlap karakteristiknya, namun banyak

perbedaan yang dapat dilihat untuk membedakan kedua sistem tersebut (Tabel

3.2). Kebanyakan endapan epitermal sulfidasi rendah dicirikan oleh tekstur

pengisian urat dengan batas yang jelas, dan adanya stockwork pada urat yang

kecil, sedangkan untuk epitermal sulfidasi tinggi lebih dicirikan oleh bijih yang

terdiseminasi dengan batuan samping yang mengalami pelarutan (White dan

Hedenquist, 1995).

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

Bentuk Endapan

Sulfidasi Rendah Sulfidasi tinggi

Dominan oleh urat-urat pengisi rekahan-

rekahan (open space veins)

Urat-urat hadir secara lokal

Struktur stockwok umum dijumpai Struktur stockwok jarang dijumpai

Disseminated ore umumnya minor Disseminated ore hadir secara

dominan

Mineral-mineral bijih pengganti

(replacements ore) minor

Mineral-mineral bijih pengganti

(replacements ore) umum dijumpai.

Tabel 2.2. Perbedaan bentuk endapan antara sulfidasi rendah dan

sulfidasi tinggi (White dan Hedenquist, 1995)

2.5.1. Endapan Epitermal Sulfidasi Rendah

Intrusi yang berada di busur magmatik menjadi sumber panas yang

menjadi penggerak dalam sirkulasi sistem hidrotermal yang komposisinya

merupakan air magmatik atau air meteorik (Hedenquist & Lowenstern, 1994).

Zat volatil dari magma yang berkembang dari pendinginan magma terbawa

sampai dasar dari sirkulasi hidrotermal tersebut (Giggenbach, 1991). Reaksi

batuan dan pencampuran fluida menyebabkan terjadinya pengurangan gas

seperti SO2, H2S dan HCL menjadi garam larut, utamanya NaCl (Giggenbach,

1992). Sulfida pada sulfidasi rendah terendapkan pada zona pengurangan gas ini,

dekat dengan pH netral (Barton & Skinner, 1979), dan sistem yang seperti ini

yang kemudian disebut sistem sulfidasi rendah (Hedenquist dkk, 1994).

Pada setting lempeng ketika intrusi berada pada batuan vulkanik yang

permeable fluida magmatik menyebar pada sistem hidrotermal, kemudian

menyebabkan terjadinya alterasi (Corbett & Leach, 1998). Pada sistem busur

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

magmatik dimana intrusi berada pada batuan impermeable seperti pluton yang

berumur lebih tua, batuan sedimen ataupun batuan metamorf, sirkulasi

hidrotermal melalui zona permeable dari host rock tersebut yang dapat terbentuk

akibat adanya struktur (contoh : dilational jogs), breksi (contoh : diatrem) atau

kontak geologi (contoh : rekahan pada dome).

Pada saat pendinginan magma (intrusi) tekanan pada reservoir menurun

sehingga air yang kaya CO2 dan asam sulfat yang dekat dengan permukaan

dapat turun sampai kedalaman 1,5 - 2km untuk mengaktikan sistem hidrotermal

(Reyes 1990a; Mitchell & Leach, 1991).

Gambar 2.13. Sistem Sulfidasi Rendah (Corbett & Leach, 1998)

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

Gambar 2.14. Pengaruh air terhadap mineralogi alterasi pada sistem sulfidasi

rendah (Corbettt & Leach, 1998)

Gambar 2.15. Model endapan epitermal sulfidasi rendah (Buchanan, 1981)

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

Gambar 2.16 Model endapan epitermal sulfidasi rendah (Hedenquist dkk, 2000)

2.5.2. Endapan Epitermal Sulfdasi Tinggi

Endapan epitermal sulfidasi tinggi terbentuk ketika fluida asam yang

didominasi dari reaktivasi gas magmatic bergerak secara vertikal dan lateral

mengikuti struktur dan batuan yang permeable (litologi yang poros atau

porositas sekunder) kemudian mengalami reaksi dengan host rock atau

pencampuran fluida (Corbett & Leach, 1998). Meskipun sering disebut sebagai

endapan epithermal, sulfidasi tinggi juga dapat terjadi pada lingkungan

mesothermal mendekati porifiri. Kedalaman dari pembentukan sulfidasi tinggi

ini dapat disimpulkan melalui alterasi mineralogi pada central silica zone

(mengindikasikan temperature dari fluida asam yang bergerak) dan peripheral

clay zone (mengindikasikan kondisi batuan induk). Zat volatil (H2O, CO2, SO2,

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf

HCl, HF) dari magma dapat langsung menuju permukaan melaluri rekahan

utama menjadi solfatara.

Gambar 2.17. Sistem Sulfidasi Tinggi (Corbett & Leach, 1998)

Gambar 2.18. Mineralogi alterasi pada sistem sulfidasi tinggi (Corbett & Leach,

1998).

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf