BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf
-
Upload
alji-neue-regime -
Category
Documents
-
view
47 -
download
11
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEMINAR GEOLOGI.pdf
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Geologi Regional
2.1.1. Fisiografi Regional
Menurut Pannekoek (1949) fisiografi Pulau Jawa dapat dibedakan
menjadi tiga zona yang membujur dari barat sampai timur yaitu:
1. Zona Selatan/ Zona Plato, terdiri dari beberapa plato dengan kemiringan
kearah selatan menuju Samudra Indonesia dan umumnya di bagian utara
dipotong oleh gawir. Di beberapa tempat gawir tersebut hampir tidak
terlihat lagi, untuk kemudian berganti menjadi dataran aluvial.
2. Zona Tengah/Zona Depresi Vulkanik, merupakan daerah depresi yang
disusun oleh endapan vulkanik muda, hal ini disebabkan karena pada
daerah tersebut banyak tumbuh Gunung Api Kuarter.
3. Zona Utara/Zona Lipatan, yang terdiri dari rangkaian pegunungan lipatan
yang diselingi oleh beberapa gunungapi dan sering berbatasan dengan
aluvial. Zona utara ini dibagi lagi menjadi dua sub - zona, yaitu :
Perbukitan Kendeng dan Perbukitan Rembang. Kedua perbukitan ini
dipisahkan oleh depresi yang memanjang dengan arah barat - timur,
yang oleh van Bemmelen (1949) depresi ini disebut sebagai Zona
Randublatung.
Dipihak lain, van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Pulau Jawa
menjadi beberapa zona fisiografi (Gambar 2.1.) yaitu sebagai berikut:
1. Zona Gunung Api Kuarter;
2. Zona Dataran Aluvial Jawa Bagian Utara;
3. Zona Antiklinorium Rembang – Madura;
4. Zona Antiklinorium Bogor - Serayu Utara - Kendeng;
5. Zona Depresi Tengah – Randublatung;
6. Zona Kubah dan Perbukitan dalam Depresi Sentral;
7. Zona Pegunungan Selatan.
Dalam pembagian zona fisiografi ini, daerah penelitian berada pada zona
Pegunungan Selatan, Sub Zona Baturagung.
Gambar 2.1. Peta Fisiografi Daerah Jawa Tengah - Jawa Timur (modifikasi dari
van Bemmelen, 1949 dalam Hartono, 2010). Daerah Penelitian ditunjukkan
dengan titik berwarna merah.
2.1.2. Stratigrafi Regional
a. Formasi Wungkal-Gamping
Formasi Wungkal-Gamping Lokasi tipe formasi ini terletak di G.
Wungkal dan G. Gamping, keduanya di Perbukitan Jiwo. Satuan batuan Tersier
tertua di daerah Pegunungan Selatan ini di bagian bawah terdiri dari
perselingan antara batupasir dan batulanau serta lensa batugamping. Pada bagian
atas, satuan batuan ini berupa napal pasiran dan lensa batugamping. Formasi ini
tersebar di Perbukitan Jiwo, antara lain di G. Wungkal, Desa Sekarbolo,
Jiwo Barat, menpunyai ketebalan sekitar 120 meter (Bronto dan Hartono, 2001).
Di bagian bawah, Formasi Wungkal-Gamping mengandung fosil foraminifera
besar, yaitu Assilina sp., Nummulites javanus VERBEEK, Nummulites
bagelensis VERBEEK dan Discocyclina javana VERBEEK. Kelompok fosil
tersebut menunjukkan umur Eosen Tengah bagian bawah sampai tengah.
Sementara itu bagian atas formasi ini mengandung asosiasi fosil foraminifera
kecil yang menunjukkan umur Eosen Akhir. Jadi umur Formasi Wungkal-
Gamping ini adalah Eosen Tengah sampai dengan Eosen Akhir (Sumarso
dan Ismoyowati, 1975). Sebagian dari satuan batuan ini semula merupakan
endapan laut dangkal yang kaya akan fosil. Karena pengaruh gaya berat di
lereng bawah laut, formasi ini kemudian meluncur ke bawah dan diendapkan
kembali di laut dalam sehingga merupakanexotic faunal assemblage (Rahardjo,
1980). Formasi ini tersebar luas di Perbukitan Jiwo dan K. Oyo di utara G. Gede,
menindih secara tidak selaras batuan metamorf serta diterobos oleh Diorit
Pendul dan di atasnya, secara tidak selaras, ditutupi oleh batuan sedimen klastika
gunungapi (volcaniclastic sediments) yang dikelompokkan ke dalam Formasi
Kebo-Butak, Formasi Semilir, Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu.
b. Formasi Kebo – Butak
Formasi ini secara umum terdiri dari konglomerat, batupasir dan
batulempung yang menunjukkan kenampakkan pengendapan arus turbid
maupun pengendapan gaya berat yang lain. Di bagian bawah yang oleh Bothe
disebut sebagai Kebo beds, tersusun atas perselang – selingan antara batupasir,
batulanau dan batulempung yang khas menunjukkan struktur turbidit, dengan
perselingan batupasir konglomeratan yang mengandung klastika lempung. Di
bagian bawah ini diterobos oleh sill batuan beku.
Di bagian atas dari formasi ini disebut sebagai anggota Butak, tersusun
oleh perulangan batupasir konglomeratan yang bergradasi menjadi lempung
atau lanau, ketebalan dari formasi ini kurang lebih 800 m. urutan batuan yang
membentuk Kebo Butak ini ditafsirkan terbentuk pada lingkungan lower
submarine fan dengan beberapa interupsi pengendapan tipe mid fan (Raharjo,
1983), yang terbentuk pada akhir Oligosen (N2-N3) (Sumarso & Ismoyowati,
van Gorsel et al.,1987).
c. Formasi Semilir
Secara umum batu ini tersusun atas batupasir dan batulanau yang bersifat
ringan, tufan, kadang – kadang dijumpai selaan breksi vulkanik. Fragmen yang
membentuk breksi maupun batupasir pada umumnya berupa fragmen batuapung
yang bersifat asam. Di lapangan pada umumnya menunjukkan perlapisan yang
baik, struktur – struktur yang mencerminkan turbidit banyak dijumpai.
Langkanya kandungan fosil pada formasi ini menunjukkan bahwa
pengendapannya berlangsung secara cepat atau pengendapan tersebut terjadi
pada lingkungan yang sangat dalam, berada di bawah ambang kompensasi
karbonat (CCD), sehingga fosil gampingan sudah mengalami korosi sebelum
dapat mencapai dasar pengendapan. Umur dari formasi ini diduga adalah awal
dari Meiosen berdasar atas terdapatnya Globigerinoides primordius pada bagian
yang bersifat lempungan dari formasi ini di dekat Piyungan (van Gorsel,
Formasi Kebo – Butak. Tersingkap secara baik di wilayah tipenya yaitu di
tebing gawir Baturagung di bawah puncak Semilir.
d. Formasi Nglanggran
Berbeda dari formasi yang sebelumnya, Formasi Nglanggran ini
tercirikan oleh penyusun utama berupa breksi dengan penyusun material
vulkanik, tidak menunjukkan perlapisan yang baik dengan ketebalan yang cukup
besar. Bagian yang terkasar dari breksinya hamper seluruhnya tersusun oleh
bongkah – bongkah lava andesit dan juga bom andesit. Di antara massa breksi
tersebut ditemukan sisipan lava yang sebagian besar telah mengalami breksiasi.
Formasi ini ditafsirkan sebagai hasil pengendapan aliran rombakan yang
berasal dari gunung api bawah laut, dalam lingkungan laut dan proses
pengendapan berjalan cepat, yaitu hanya selama awal Miosen.Singkapan utama
dari Formasi ini ada di Gunung Nglanggran pada perbukitan Baturagung.
Kontaknya dengan Formasi Semilir di bawahnya berupa kontak tajam. Hal ini
berakibat bahwa Formasi Nglanggran sering di anggap tidak selaras di atas
Semilir, namun harus diperhatikan bahwa kontak tajam tersebut dapat terjadi
akibat berubahnya mekanisme pengendapan dari energi rendah atau sedang
menjadi energi kuat, tanpa harus melewati kurun waktu geologi yang lama,
hal yang sangat biasa dalam proses pengendapan akibat gaya berat. Van
Gorse (1987) menganggap bahwa pengendapan Nglanggran ini dapat
diibaratkan sebagai proses runtuhnya gunung api semacam Krakatau yang
ada di lingkungan laut.
Ke arah atas yaitu ke arah Formasi Sambipitu, Formasi Nglanggran,
berubah secara bergradasi, seperti yang terlihat di singkapan di Sungai Putat.
Lokasi yang diamati untuk EGR tahun 2002 berada pada sisi lain sungai Putat,
di mana kontak kedua formasi ini ditunjukkan oleh kontak struktural.
e. Formasi Sambipitu
Di atas Formasi Nglanggran kembali terdapat formasi batuan yang
menunjukkan ciri-ciri terbidit, yaitu Formasi Sambipitu. Formasi ini tersusun
terutama oleh batu pasir yang bergradasi menjadi batulanau ataubatulempung.
Di bagian bawah, batupasirnya masih menunjukkan sifat vulkanik sedang ke
arah atas sifat vulkanik ini berubah menjadi batupasir yang bersifat
gampingan. Pada batupasir gampingan ini sering dijumpai fragmen dari koral
dan foraminifera besar yang berasal dari lingkungan terumbu laut dangkal, yang
terseret masuk ke dalam lingkungan yang lebih dalam akibat pengaruh arus
turbid.
Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Sambipitu pada jalan raya
Yogyakarta-Patuk-Wonosari kilometer 27,8. Secara lateral, penyebaran formasi
ini sejajar di sebelah selatan Formasi Nglanggran, di kaki selatan Subzona
Baturagung, namun menyempit dan kemudian menghilang di sebelah timur.
Ketebalan Formasi Sambipitu ini mencapai 230 meter. Batuan penyusun formasi
ini di bagian bawah terdiri dari batupasir kasar, kemudian ke atas berangsur
menjadi batupasir halus yang berselang-seling dengan serpih, batulanau dan
batulempung. Pada bagian bawah kelompok batuan ini tidak mengandung bahan
karbonat. Namun di bagian atasnya, terutama batupasir, mengandung bahan
karbonat. Formasi Sambipitu mempunyai kedudukan menjemari dan selaras di
atas Formasi Nglanggran. Santoso (1986, dalam Bronto dan Hartono, 2001)
menentukan umur formasi ini mulai akhir Miosen Bawah sampai awal
Miosen Tengah. Kandungan fosil bentoniknya menunjukkan adanya
percampuran antara endapan lingkungan laut dangkal dan laut dalam. Dengan
hanya tersusun oleh batupasir tuf serta meningkatnya kandungan karbonat di
dalam Formasi Sambipitu ini diperkirakan sebagai fase penurunan dari kegiatan
gunungapi di Pegunungan Selatan pada waktu itu (Bronto dan Hartono, 2001).
Ke arah atas, Formasi Sambipitu berubah secara gradasional menjadi
Formasi Wonosari (Anggota Oyo) seperti yang terlihat pada singkapan di
sungai Widoro dekat Bundel. Formasi Sambipitu terbentuk selama jaman
Miosen.
f. Formasi Wonosari
Selaras di atas Formasi Sambipitu terdapat Formasi Oyo /Wonosari.
Formasi ini terdiri terutama dari batugamping dan napal. Penyebarannya meluas
hamper setengah bagian selatan dari pegunungan Selatan memanjang ke arah
timur, membelok ke arah utara di sebelah timur perbukitan panggung hingga
mencapai bagian barat dari daerah depresi Wonogiri / Baturetno.
Bagian terbawah dari Formasi Oyo / Wonosari terutama terdiri dari
batugamping berlapis yang menunjukkan gejala turbidit karbonat yang
diendapkan pada kondisi laut yang lebih dalam, seperti yang terlihat pada
singkapan pada daerah dekat muara sungai Widoro masuk ke sungai Oyo di
Bunder. Di lapangan batugamping ini terlihatsebagai batugamping berlapis,
menunjukkan gradasi butir dan pada bagian yang halus banyak dijumpai fosil
jejak tipe burrow yang terdapat pada bidang permukaan perlapisan ataupun
memotong sejajar dengan pelapisan. Batugamping kelompok ini disebut sebagai
Anggota Oyo dari Formasi Wonosari (BOTHE, 1929) atau Formasi Oyo
(Rahardjo dkk, 1977 dalam Toha dkk, 1994).
Ke arah lebih muda, anggota Oyo ini bergradasi menjadi dua spesies
yang berbeda. Di daerah Wonosari, batugamping ini makin kearah selatan
semakin berubah menjadi batugamping terumbu yang berupa rudstone,
framestone, dan floatstone, bersifat lebih keras dan dinamakan sebagai
anggota Wonosari dari Formasi Oyo / Wonosari (BOTHE, 1929) atau Formasi
Wonosari (Rahardjo dkk, 1977 dalam TOHA dkk). Sedangkan di barat daya
kota Wonosari, batugamping terumbu ini berubah fasies menjadi batugamping
berlapis yang bergradasi menjadi napal, dan disebuit sebagai anggota KEPEK
dari Formasi Wonosari. Anggota KEPEK ini juga tersingkap pada bagian timur,
yaitu di daerah depresi Wonogiri / Baturetno, di bawah endapan kuarter seperti
yang terdapat di daerah Eromoko.Secara keseluruhan, Formasi Wonosari Ini
terbentuk selama Meiosen akhir.
g. Endapan kuarter
Di atas seri batuan sediment Tersier seperti tersebut di depan terdapat
suatu kelompok sediment yang sudah agak mengeras hingga masih lepas.
Karena kelompok sedimen ini berada di atas bidang erosi, serta proses
pembentukannya masih berlanjut hingga saat ini, maka secara keseluruhan
sedimen ini disebut sebagai Endapan Kuarter. Penyebarannya meluas mulai dari
daerah timur laut Wonosari hingga daerah depresi Wonogiri – Baturetno.
Singkapan yang baik dari endapan kuarter ini terdapat di daerah Eromoko
sekitar waduk Gajah Mungkur, namun pada EGR ini tidak dilewati.
Secara stratigrafis endapan Kuarter di daerah Eromoko, Wonogiri
terletak tidak selaras di atas sedimen Tersier yang berupa batu gamping berlapis
dari Formasi Wonosari atau breksi polimik dari formasi Nglanggran. Ketebalan
tersingkap dari endapan Kuarter tersebut berkisar dari 10 meter hingga 14
meter. Umur endapan Kuarter tersebut diperkirakan Plistosen Bawah.
Stratigrafi endapan Kuarter di daerah Eromoko, Wonogiri secara vertical
tersusun dari perulangan antara tuff halus putih kekuningan dengan perulangan
gradasi batu pasir kasar ke batu pasir sedang dengan lensa-lensa konglomerat.
Batu pasir tersebut berstruktur silang-siur tipe palung, sedangkan lapisan tuf
terdapat di bagian bawah, tengah dan atas. Pada saat lapisan tuff terbentuk,
terjadi juga aktifitas sungai yang menghasilkan konglomerat.
Lensa konglomerat yang terdapat pada lapisan tuff mengandung fragmen
andesit, diorite dan batulempung yang berukuran 5 – 8 cm, sering menunjukkan
adanya struktur imbrikasi fragmen. Sumber material dari lensa konglomerat
tersebut diduga berasal dari hasil erosi batuan yang lebih tua dikarenakan
aktivitas sungai.
Gambar 2.2. Stratigrafi Pegunungan Selatan, Jawa Tengah (Surono, et al. 1992)
dan penarikan umur absolut menurut peneliti terdahulu.
2.1.3. Struktur Geologi Regional
Struktur geologi di daerah Pegunungan Selatan berupa perlapisan
homoklin, sesar, kekar dan lipatan. Perlapisan homoklin terdapat pada bentang
alam Sub Zona Pegunungan Baturagung mulai dari Formasi Kebo-butak di
sebelah utara hingga Formasi Sambipitu dan Formasi Oyo di sebelah selatan.
Perlapisan tersebut mempunyai jurus lebih kurang berarah barat - timur dan
miring ke selatan. Kemiringan perlapisan menurun secara berangsur dari sebelah
utara (200 - 350) menjadi 50-150 di sebelah selatan. Bahkan pada Sub Zona
Cekungan Wonosari, perlapisan batuan yang termasuk Formasi Oyo dan
Formasi Wonosari mempunyai kemiringan sangat kecil (<50) atau bahkan datar
sama sekali. Tidak kalah menariknya pada Formasi Semilir di sebelah barat,
antara Prambanan - Patuk, perlapsan batuan secara umum miring ke arah
baratdaya. Sementara itu, di sebelah timur, pada tanjakan Sambeng dan dusun
Jentir, perlapisan batuan miring ke timur. Perbedaan jurus dan kemiringan
batuan ni mungkin disebabkan oleh sesar blok (anthithetic fault blocks; van
Bemmelen, 199) atau sebab lain, misalnya updoming yang berpusat di
Perbukitan Jiwo, atau merupaan kemiringan asli (original dip) dari bentang alam
gunungapi dan lingkungan sedimentasi pada zaman Tersier.
Struktur sesar pada umumnya berupa sesar turun dengan pola
"anthithetic fault blocks" (van Bemmelen, 1949). Sesar utama berarah baratlaut-
tenggara dan setempat-setempat berarah timurlaut-baratdaya. Di kaki selatan
(Sambipitu) dan kaki Timur (Sambeng) Pegunungan Baturagung dijumpai sesar
geser mengiri. Sesar ini berarah hampir utara-selatan dan memotong lipatan
yang berarah timurlaut-baratdaya. Bronto dkk. (1998) menginterpretasikan
tanda-tanda sesar di sebelah selatan (K. Ngalang dan K. Putat) serta sebelah
timur (dusun Jentir, tanjakan Sambeng) sebagai bagian dari longsoran besar
(mega slumping) batuan gunungapi tipe Mt. St. Helens. Di sebelah barat, K.
Opak diduga dikontrol oleh sesar bawah permukaan yang berarah timurlaut -
baratdaya dimana blok barat relatif turun terhadap blok timur.
Struktu lipatan banyak terdapat di sebelah utara G. Panggung, berupa
sinklin dan antiklin. Tinggian batuan gunungapi ini dengan tinggi G.
Gajahmungkur di sebelah timurlautnya di antarai oleh sinklin yang berarah
tenggara - baratlaut. Struktur sinlin juga dijumpai di sebelah selatan yaitu pada
Formasi Kepek dengan arah timurlaut - baratdaya.
2.1.4. Tektonik
Zona Pegunungan Selatan merupakan cekungan yang menunjang dengan
arah relatif barat – timur mulai dari Parangtritis di bagian barat sampai Ujung
Purwo di bagian Jawa Timur. Perkembangan tektoniknya tidak lepas dari
interaksi konvergen antara Lempeng Hindia – Australia dengan Lempeng Micro
Sunda. Mengutip dari pernyataan C.Prasetyadi (2007) secara lisan mengenai
Evolusi Tektonik Tersier Pulau Jawa, dijelaskan bahwa Pulau Jawa merupakan
salah satu pulau di Busur Sunda yang mempunyai sejarah geodinamik aktif,
yang jika dirunut perkembangannya dapat dikelompokkan menjadi beberapa
fase tektonik dimulai dari Kapur Akhir hingga sekarang yaitu :
1. Periode Kapur akhir – Paleosen.
2. Periode Eosen (Periode Ekstensional /Regangan) .
3. Periode Oligosen Tengah (Kompresional – Terbentuknya OAF) .
4. Periode Oligo-Miosen (Kompresional – Struktur Inversi ) .
5. Periode Miosen Tengah – Miosen Akhir.
1. Periode Kapur Akhir – Paleosen
Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan Lempeng
Indo- Australia ke arah timurlaut meng-hasilkan subduksi dibawah Sunda
Microplate sepanjang suture Karangsambung-Meratus, dan diikuti oleh fase
regangan (rifting phase) selama Paleogen dengan pembentukan serangkaian
horst (tinggian) dan graben (rendahan). Aktivitas magmatik Kapur Akhir dapat
diikuti menerus dari Timurlaut Sumatra – Jawa Kalimantan Tenggara.
Pembentukan cekungan depan busur (fore arc basin) berkembang di daerah
selatan Jawa Barat dan Serayu Selatan di Jawa Tengah.
Mendekati Kapur Akhir – Paleosen, fragmen benua yang terpisah dari
Gondwana, mendekati zona subduksi Karangsambung-Meratus. Kehadiran
allochthonous micro-continents di wilayah Asia Tenggara telah dilaporkan oleh
banyak penulis (Metcalfe, 1996). Basement bersifat kontinental yang terletak di
sebelah timur zona subduksi Karangsambung Meratus dan yang mengalasi
Selat Makasar teridentifikasi di Sumur Rubah-1 (Conoco, 1977) berupa granit
pada kedalaman 5056 kaki, sementara didekatnya Sumur Taka Talu-1
menembus basement diorit. Docking (merapatnya) fragmen mikro-kontinen
pada bagian tepi timur Sundaland menyebabkan matinya zona subduksi Karang-
sambung-Meratus dan terangkatnya zona subduksi tersebut menghasilkan
Pegunungan Meratus
2. Periode Eosen (Periode Ekstensional /Regangan)
Antara 54 jtl – 45 jtl (Eosen), di wilayah Lautan Hindia terjadi
reorganisasi lempeng ditandai dengan berkurangnya secara mencolok kecepatan
pergerakan ke utara India. Aktifitas pemekaran di sepanjang Wharton Ridge
berhenti atau mati tidak lama setelah pembentukan anomali 19 (atau 45 jtl).
Berkurangnya secara mencolok gerak India ke utara dan matinya Wharton Ridge
ini diinterpretasikan sebagai pertanda kontak pertama Benua India dengan zona
subduksi di selatan Asia dan menyebabkan terjadinya tektonik regangan
(extension tectonics) di sebagian besar wilayah Asia Tenggara yang ditandai
dengan pembentukan cekungan-cekungan utama (Cekungan-cekungan: Natuna,
Sumatra, Sunda, Jawa Timur, Barito, dan Kutai) dan endapannya dikenal
sebagai endapan syn-rift. Pelamparan extension tectonics ini berasosiasi dengan
pergerakan sepanjang sesar regional yang telah ada sebelumnya dalam fragmen
mikrokontinen. Konfigurasi struktur basement mempengaruhi arah
cekungan syn-rift Paleogen di wilayah tepian tenggara Sundaland (Sumatra,
Jawa, dan Kalimantan Tenggara)
3. Periode Oligosen Tengah (Kompresional – Terbentuknya OAF)
Sebagian besar bagian atas sedimen Eosen Akhir memiliki kontak tidak
selaras dengan satuan batuan di atasnya yang berumur Oligosen. Di daerah
Karangsambung batuan Oligosen diwakili oleh Formasi Totoganyang kontaknya
dengan satuan batuan lebih tua menunjukkan ada yang selaras dan tidakselaras.
Di daerah Karangsambung Selatan batas antara Formasi Karangsambung dan
Formasi Totogan sulit ditentukan dan diperkirakan berangsur, sedangkan ke arah
utara Formasi Totogan ada yang langsung kontak secara tidak selaras dengan
batuan dasar Komplek Melange Luk Ulo. Di daerah Nanggulan kontak
ketidakselarasan terdapat diantara Anggota Seputih yang berumur Eosen Akhir
dengan satuan breksi volkanik Formasi Kaligesing yang berumur Oligosen
Tengah. Demikian pula di daerah Bayat, bagian atas Formasi Wungkal-Gamping
yang berumur Eosen Akhir, tandatanda ketidak selarasan ditunjukkan oleh
terdapatnya fragmen- fragmen batuan Eosen di sekuen bagian bawah Formasi
Kebobutak yang berumur Oligosen Akhir. Ketidakselarasan di Nanggulan dan
Bayat merupakan ketidakselarasan menyudut yang diakibatkan oleh deformasi
tektonik yang sama yang menyebabkan terdeformasinya Formasi
Karangsambung.
Akibat deformasi ini di daerah Cekungan Jawa Timur tidak jelas teramati
karena endapan Eosen Formasi Ngimbang disini pada umumnya selaras dengan
endapan Oligosen Formasi Kujung. Deformasi ini kemungkinan juga berkaitan
dengan pergerakan ke utara Benua Australia. Ketika Wharton Ridge masih aktif
Benua Australia bergerak ke utara sangat lambat. Setelah matinya pusat
pemekaran Wharton pada 45 jt, India dan Australia berada pada satu lempeng
tunggal dan bersama-sama bergerak ke utara. Pergerakan Australia ke utara
menjadi lebih cepat dibanding ketika Wharton Ridge masih aktif. Bertambahnya
kecepatan ini meningkatkan laju kecepatan penunjaman Lempeng Samudera
Hindia di Palung Jawa dan mendorong ke arah barat, sepanjang sesar mendatar
yang keberadaannya diperkirakan, Mikrokontinen Jawa Timur sehingga
terjadi efek kompresional di daerah Karangsambung yang mengakibatkan
terdeformasinya Formasi Karangsambung serta terlipatnya Formasi Nanggulan
dan Formasi Wungkal Gamping di Bayat. Meningkatnya laju pergerakan ke
utara Benua Australia diperkirakan berlangsung sampai Oligosen Tengah.
Peristiwa ini memicu aktifitas volkanisme yang kemungkinan berkaitan erat
dengan munculnya zona gunungapi utama di bagian selatan Jawa (OAF=Old
Andesite Formation) yang sekarang dikenal sebagai Zona Pegunungan Selatan.
Aktifitas volkanisme ini tidak menjangkau wilayah Jawa bagian utara dimana
pengendapan karbonat dan silisiklastik menerus di daerah ini.
4. Periode Oligo-Miosen (Kompresional – Struktur Inversi )
Pada Oligosen Akhir sampai Miosen Tengah pergerakan ke utara India
dan Australia berkurang secara mencolok karena terjadinya benturan keras (hard
collision) antara India dengan Benua Asia membentuk Pegunungan Himalaya.
Akibatnya laju penunjaman Lempeng Samudera Hindia di palung Sunda juga
berkurang secara drastis. Hard collision India menyebabkan efek maksimal
tektonik ekstrusi sehingga berkembang fase kompresi di wilayah Asia
Tenggara. Fase kompresi ini menginversi sebagian besar endapan syn-rift
Eosen. Di Cekungan Jawa Timur fase kompresi ini menginversi graben RMKS
menjadi zona Sesar RMKS. Di selatan Jawa, kegiatan volkanik Oligosen
menjadi tidak aktif dan mengalami pengangkatan. Pengangkatan ini ditandai
dengan pengen-dapan karbonat besar-besaran seperti Formasi Wonosari di Jawa
Tengah dan Formasi Punung di Jawa Timur. Sedangkan di bagian utara dengan
aktifnya inversi berkembang endapan syn-inversi formasi-formasi Neogen di
Zona Rembang dan Zona Kendeng. Selama periode ini, inversi cekungan terjadi
karena konvergensi Lempeng Indian menghasilkan rezim tektonik kompresi di
daerah “busur depan” Sumatra dan Jawa. Sebaliknya, busur belakang merupakan
subjek pergerakan strike-slip utara-selatan yang dominan sepanjang sesar-
sesar turun (horst dan graben) utara-selatan yang telah ada.
5. Periode Miosen Tengah – Miosen Akhir
Pengaktifan kembali sepanjang sesar tersebut menghasilkan mekanisme
transtension dan transpression yang berasosiasi dengan sedimentasi turbidit
dibagian yang mengalami penurunan. Namun demikian, di bagian paling
timur Jawa Timur, bagian basement dominan berarah timur-barat, sebagaimana
secara khusus dapat diamati dengan baik mengontrol Dalaman Kendeng dan
juga Dalaman Madura. Bagian basement berarah Timur – Barat merupakan
bagian dari fragmen benua yang mengalasi dan sebelumnya tertransport dari
selatan dan bertubrukan dengan Sundaland sepanjang Suture Meratus (NE-
SW struktur). Tektonik kompresi karena subduksi ke arah utara telah mengubah
sesar basement Barat – Timur menjadi pergerakan sesar mendatar, dalam
perioda yang tidak terlalu lama (Manur dan Barraclough, 1994). Kenaikan
muka air laut selama periode ini, menghasilkan pengendapan sedimen
klastik di daerah rendahan, dan sembulan karbonat (carbonate buildup)
pada tinggian yang membatasinya.
2.1.5. Vulkanisme
Daerah Pegunungan Selatan sangat terpengaruh oleh kegiatan
vulkanisme yang secara jelas dapat diamati sejak Kala Oligosen, yaitu
terbentuknya Formasi Kebo-Butak, hingga Formasi Oyo pada Miosen Tengah.
Pada umur Mio-Pliosen tanda-tanda adanya volkanisme berupa sisipan tuff di
dalam batugamping hanya dijumpai di bagian timur (Formasi Punung). Dengan
adanya aliran lava bantal yang ditemuan di Watuadeg dan Bayat, dan lokasi
kedua itu lava bantal berselingan dengan napal maka hal itu menunjukkan
bahwa kegiatan gunungapi diiawali di dasar laut (submarine volcano). Pada saat
ituu diduga tahap kegiatan vulkanisme bersifat membangun (konstruksi) kerucut
gunungapi strato.
Setelah beristirahat beberapa lama, sementara magma mengalami
diferensiasi menjadi lebih asam dan gas gunungapi (unsur volatil) terkumpul di
bagian atas dapur magma gunungapi itu sehingga tekanannya semakin lama
semakin kuat, maka terjadilah tahap perusakan (destruksi) berupa letusan
pembentukan kaldera gunungapi. Hasil letuusan besar ini berupa tuff batuapung,
lapili batuapung, dan breksi batuapung yang dikelompokkan ke dalam Formasi
Semilir. Siklus gunungapi kembali berulang, setelah terjadi masa tengan pasca
letusan kaldera maka mulailah tahap konstruksi kerucut gunungapi strato yang
batuanya dikelompokkan ke dalam Formasi Nglanggeran. Pada kala itu sebagian
tubuh gunungapi diduga berada di atas muka air laut, sebagai daratan gunungapi
atau pulau gunungapi, namun kakinya berada di lingkungan laut. Hal itu
ditunjukkan oleh tidak adanya kandungan karbonat, batuan beku luar berlubang
sedang-kasar, serta sebagian teroksidasi kuat berwarna merah bata hingga
kecoklatan. Sementara itu kaki gunungapi yang berada dilaut dangkal dibuktikan
dengan adanya campuran fragmen koral secara setempat di dalam breksi
gunungapi. Kegiatan vulkanisme menurun terusu dari Formasi Sambipitu hingga
Formasi Oyo. Bahkan selama pengendapan Formasi Wonosari di bagian barat
Pegunungan Selatan ini tidak terpengaruh oleh kegiatan gunungapi. Dengan
demikian puncak kegiatan volkanisme terjadi pada Oligosen Akhir hingga
Miosen Tengah, atau selama lebih kurang 20 juta tahun (30-20 juta tahun yang
lalu).
2.2. Sistem Geothermal dan Hidrothermal
Sistem geothermal secara umum dapat dibagi menjadi 2 berdasarkan
sumber panasnya yaitu, magmatic dan amagmatic. Sumber panas yang berasal
dari magma (magmatic) terjadi dan berasosiasi dengan lempeng samudra dan
plate margin. Sistem geothermal yang terjadi di lempeng samudra terbentuk
akibat hot spot yang membentuk island arc dan rifting yang membentuk mid
oceanic ridges (MOR). Endapan mineral yang terbentuk pada sistem geothermal
ini berupa Volcanogenic Massive Sulphide. Sistem geothermal magmatic
selanjutnya adalah yang terjadi di plate margin yang terbentuk akibat subduksi
antara lempeng samudera dan lempeng benua, menghasilkan sistem geothermal
busur magmatik (magmatic arc). Endapan mineral yang terbentuk pada sistem
geothermal ini berupa Porphyry Cu-Au-Mo, Skarn, dan Intrusion Related Cu-
Au-Zn-Pb. Sistem geothermal magmatic juga dapat terjadi di lempeng benua
tepatnya pada belakang busur (back arc) dan continental rifting. Tipe endapan
mineral yang terbentuk pada sistem geothermal ini berupa Epithermal Au-Ag
dan Granitic Sn-W-Mo. Sistem geothermal yang tidak dipengaruhi oleh magma
(amagmatic) terjadi pada patahan (crustal faulting) di lempeng benua. Selain itu
sistem geothermal amagmatic juga dapat terbentuk akibat proses pembebanan
pada cekungan sedimentasi.
Bateman (1956), menyatakan bahwa fluida hidrotermal adalah suatu
cairan atau fluida yang panas (100o-500oC), yang bergerak ke atas membawa
senyawa-senyawa baik logam maupun non logam. Fluida ini merupakan larutan
sisa pembekuan magma yang kemudian dikenal dengan istilah air magmatik.
Selain itu ada juga fluida hidrothermal yang tidak berasal dari magma itu
sendiri, kemudian disebut air meteorik.
Tipe air meteorik dapat dibedakan menjadi 3 yaitu, air klorida (Cl), air
sulfat (SO4) dan air bikarbonat (HCO3). Tipe air ini dibedakan berdasarkan
kandungan relatif anion Cl, SO4 dan HCO3. Tipe air klorida merupakan fluida
panas Bumi yang berasal dari reservoir. Manifestasi tipe air klorida adalah
adanya kolam jernih dan endapan (sinter) silica. Mineral yang dapat terbentuk
dari hidrothermal air klorida berupa silica (kuarsa), adularia, albit, illite, chlorite,
epidote, pyrite. Tipe air sulfat terbentuk karena adanya oksidasi H2S menjadi
H2SO4. Manifestasi tipe air sulfat di permukaan berupa kolam lumpur. Mineral
yang dapat terbentuk dari hidrothermal air sulfat adalah alunite, kaolinite, opal,
pyrite dan sulfur. Tipe air bikarbonat merupakan air dengan ion HCO3 yang
dominan. Air ini akan menghasilkan endapan travertine di permukaan jika
mengandung Ca yang tinggi. Mineral yang dapat terbentuk dari hidrothermal air
bikarbonat adalah calcite, illite, smectite, chalcedony dan pyrite.
Gambar 2.6. Sistem Geothermal dan Endapan Bijih Hidrothermal (Corbett &
Leach, 1998)
Gambar 2.7. Sistem Hidrothermal di Back Arc Rift (Corbett & Leach, 1998)
Gambar 2.8. Sistem Hidrothermal di Volcanic Arc (Corbett & Leach, 1998)
2.4. Alterasi Hidrothermal
Alterasi hidrotermal adalah pergantian mineralogi dan komposisi kimia
yang terjadi pada batuan ketika berinteraksi dengan fluida hidrotermal (White,
1996). Fluida hidrotermal membawa berbagai unsur yang dapat mengalami
pengendapan, diantaranya unsur Na, K, Ca, Cl sebagai komponen utama serta
unsur-unsur minor seperti Mg, B, S, Sr, CO2, H2S, NH4, Cu, Pb, Zn, Sn, Mo, Ag,
Au, dan lain sebagainya (Guilbert dan Park, 1986). Sedangkan, alterasi dapat
terjadi sebagai proses kesetimbangan antara mineral-mineral dalam batuan yang
berinteraksi dengan fluida hidrotermal.
White (2006) mendeskripsikan faktor-faktor yang berpengaruh dalam
alterasi hidrotermal menjadi tiga faktor utama antara lain bagaimana batuan
berinteraksi dengan fluida hidrotermal, rasio perbandingan antara fluida dan
batuan, dan komposisi fluida hidrotermal. Sedangkan menurut Browne (1978)
dalam Corbett dan Leach (1998), suatu proses alterasi dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti :
1. Temperatur (termasuk temperatur fluida, kedalaman, dan tekanan)
2. Kimia fluida (pH)
3. Konsentrasi fluida dan komposisi fluida
4. Komposisi batuan induk
5. Kinetika dari reaksi yang terjadi
6. Lamanya proses interaksi
7. Permeabilitas batuan
White (1996) menjelaskan bahwa pengaruh alterasi hidrotermal terhadap
batuan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Pengaruh yang bekerja pada individual mineral secara selektif
Hal ini terjadi pada dua kondisi, yang pertama adalah dimana batuan
berinteraksi dengan fluida yang bersifat tidak reaktif sehingga hanya mineral
tertentu yang dapat berinteraksi dengan fluida hidrotermal. Kondisi kedua adalah
jumlah fluida hidrotermal yang mengalir berjumlah sedikit (rasio fluida
berbanding batuan rendah). Proses ini umumnya terjadi pada zona alterasi
propilitik.
2. Pengaruh sebatas pada urat dan sekitarnya
Proses ini hanya terlihat sebatas urat dan sekitarnya. Hal ini
dimungkinkan karena batuan yang bersifat tidak permeabel, atau jumlah fluida
yang sedikit.
3. Pengaruh pada keseluruhan batuan secara pervasive
Pengaruh ini terjadi disebabkan oleh banyaknya jalur rekahan atau
batuan memiliki permeabilitas tinggi, sehingga memungkinkan fluida untuk
mengubah seluruh komposisi batuan.
Salah satu contoh proses ubahan mineral primer menjadi mineral
sekunder (alterasi) akibat fluida hidrotermal seperti k-feldspar menjadi kaolin,
dapat dilihat dalam reaksi dibawah ini.
K2O.Al2O3.6SiO2 + CO2 + 2H2O = K2CO3 + 4SiO2 + Al2O3.2SiO2.2H2O
(K-feldspar) (soluble) (silika) (kaolin)
2.4.1. Klasifikasi Alterasi Hidrothermal
Terdapat berbagai macam pembagian jenis-jenis alterasi. Menurut Meyer
& Hemley (1967) dalam Guilbert (1986) membagi tipe alterasi hidrotermal
menjadi 5 jenis yaitu alterasi argilik lanjut, filik, argilik, propilitik dan potasik.
Sedangkan Meyer & Hemley (1967) dan Roy & Burt (1979) dalam
Evans (1993), membagi tipe alterasi hidrotermal yang ditemukan pada endapan
epitermal menjadi beberapa kelompok yang lebih mendetail, seperti berikut:
1. Alterasi argilik lanjut
Alterasi argilik lanjut terjadi akibat leaching yang sangat intensif karena
batuan dilalui oleh fluida hidrotermal yang sangat asam (pH <4). Alterasi ini
dicirikan oleh kehadiran mineral dickite, kaolinit, alunit, pirofilit dan kuarsa.
Serisit, dan pirit juga seringkali hadir. Alterasi argilik lanjut merupakan zona
dengan urat logam dasar atau endapan pipa yang berasosiasi dengan stock
batuan plutonik asam. Alterasi ini dapat dijumpai juga di lingkungan mata air
panas dan pada endapan logam dangkal (telescoped). Bijih yang sering dijumpai
yaitu kovelit, digenit, pirit dan enargit.
2. Alterasi filik / serisitisasi
Alterasi ini menyebabkan mineral feldspar dan mika pada granit
berubah menajdi serisit. Mineral penciri dalam alterasi ini adalah serisit dan
kuarsa. Pirit juga seringkali hadir sebagai sulfida yang berasosiasi dengan
alterasi ini. Kuarsa sekunder hadir sebagai hasil alterasi, sedangkan kuarsa
primer tidak terubah. Zona alterasi ini berada di bawah zona arglilik.
3. Alterasi argilik menengah / argilik
Awalnya dikenal sebagai alterasi argilik. Hemley & Jones (1964) yang
menamakan sedemikian rupa untuk membedakan dengan alterasi argilik lanjut.
Mineral penciri alterasi ini adalah kaolin dan montmorilonit sebagai hasil
alterasi dari plagioklas. Kedua mineral tersebut dapat ditemani dengan lempung
yang amorf. Zona alterasi argilik menengah dibagi menjadi zona yang dominan
mengandung montmorilonit yaitu di bagian pinggir dan yang dominan
mengandung kaolin yaitu di dekat zona alterasi serisitisasi. Sedangkan diluar
zona alterasi ini berupa zona alterasi propilitik sampai menuju yang paling luar
adalah batuan fresh. Alterasi ini terjadi pada kondisi asam (pH 4-6).
4. Alterasi propilitik
Alterasi propilitik merupakan alterasi yang kompleks yang dicirikan
oleh kehadiran klorit, epidot, albit, dan karbonat (kalsit, dolomit dan ankerit).
Serisit, pirit dan magnetit dapat hadir dalam jumlah minor, sedangkan zeolit dan
montmorilonit dapat juga hadir namun kelimpahannya sangat sedikit. Alterasi
ini terbentuk pada pH netral hingga alkalin.
5. Silisifikasi
Alterasi silisifikasi terjadi akibat meningkatnya proporsi kuarsa atau
silika kriptokristalin seperti silika cherthy atau silika opaline dalam batuan yang
teralterasi. Silika tersebut dapat berasal dari larutan hidrotermal seperti pada
cherthy limestone yang dapat berasosiasi dengan endapan timbal-seng-fluorit-
barit atau sebagai hasil sampingan dari alterasi pada feldspar atau mineral
lainnya selama proses leaching.
Untuk lebih memudahkan dalam mempelajari tipe alterasi beserta
mineral-mineral pencirinya Mayer dan Hemley (1967) membuat tabel klasifikasi
alterasi hidrotermal jenis aluminosilikat pada batuan vulkanik, sedimen dan
metamorf seperti Tabel 2.1. dibawah ini.
Tabel 2.1. Klasifikasi jenis alterasi jenis aluminosilikat pada batuan vulkanik,
sedimen dan metamorf (Meyer dan Hemley, 1967 dengan modifikasi)
Jenis
alterasi
Mineral-mineral
penciri alterasi
Mineral-
mineral
aksesoris
Suhu Kimia fluida
Argilik Smektit atau
perlapisan antara
smektit-illit
Sulfida,
zeolit,
kuarsa, kalsit
<200°
C
Kondisi pH
netral,
aCa+/aH+
moderat
Serisitik Serisit dan kuarsa Sulfida,
oksida,
kaolinit
(minor)
>220°
C
pH netral
tetapi
kandungan
aH+/aK
+
meningkat
Propiliti
k
Epidot Klorit, illit,
dan sulfida
250°
C
pH netral
kandungan
aCa+/zH+
relatif tinggi
Argilik
lanjut
(temper
atur
rendah)
Kaolinit, dan
alunit
Kalsedon,
kristobalit,
kuarsa dan
pirit
180°
C
Kondisi pH
asam
Argilik
lanjut
(temper
atur
tinggi)
Pirofilit, diaspor,
dan andalusit
Kuarsa,
sulfida,
enargit,
luzonit
250°
C -
320°
C
Kondisi pH
asam
2.4.2. Endapan Hidrothermal
Larutan hidrotermal adalah suatu cairan atau fluida yang panas,
kemudian bergerak naik ke atas dengan membawa komponen-komponen
mineral logam, fluida ini merupakan larutan sisa yang dihasilkan pada proses
pembekuan magma (Bateman,1981).
Alterasi hidrotermal mengakibatkan terjadinya penggantian mineral dari
kelompok mineral awal menjadi mineral kumpulan mineral baru yang relatif
lebih stabil pada kondisi hidrotermal. Kondisi hidrothermal tersebut meliputi
suhu, tekanan, dan komposisi larutan (Evans, 1993).
Proses hidrotermal mengahasilkan endapan hidrotermal. Endapan
hidrotermal adalah endapan yang terbentuk akibat pengendapan larutan
hidrotermal, yaitu cairan panas yang berasal dari kulit bumi yang kemudian
bergerak ke atas dengan membawa komponen mineral-mineral logam.
Evans (1993) membagi endapan hidrotermal berdasar kondisi
geologi dan temperaturnya menjadi 3 jenis yaitu :
a. Endapan Epitermal
Endapan epitermal adalah endapan yang terbentuk pada kedalaman
dangkal di bawah permukaan bumi. Kedalaman dari endapan ini <1km dan
mempunyai temperatur 50ºC - 200ºC dan tekanan <100atm. Ciri yang paling
utama dari endapan ini adalah melimpahnya mineral klorit.
b. Endapan Mesotermal
Endapan mesotermal adalah endapan yang terbentuk ada kedalaman
menengah.Kedalaman dari endapan ini berkisar antara 1km – 2km di bawah
permukaan bumi.Sedangkan temperatur dari endapan ini berkisar antara 200ºC -
300ºC. Mineral penciri utama dari endapan ini adalah serisit.
c. Endapan Hipotermal
Endapan hipotermal adalah endapan yang terbentuk pada kedalaman
yang berkisar antara 2km – 4km dari permukaan bumi. Endapan ini terbentuk
pada temperatur sekitar 400ºC. Mineral penciri utama dari endapan ini adalah
muskovit, kuarsa, dan topaz. Tipe endapan hidrotermal yang akan dibahas
lebih lanjut adalah tipe endapan epitermal.
Gambar 2.9. Tabel Mineralogi Alterasi Sistem Hidrotermal (Corbett & Leach
1998).
2.5. Endapan Epitermal
Berdasarkan karakteristik mineralisasi dan derajat sulfidasi nya, endapan
epitermal dibagi menjadi 2 yaitu endapan epitermal sulfidasi rendah dan
endapan epitermal sulfidasi tinggi. Endapan epitermal sulfidasi rendah terbentuk
pada kondisi reduksi dengan pH air netral (Barton dan Skinner, 1983).
Sedangkan endapan epitermal sulfidasi tinggi terbentuk pada kondisi asam dan
teroksidasi dengan ciri adanya pelarutan pada batuan induk (Ransome, 1907
dalam Hedenquist dkk, 2000).
Perbedaan tingkat sulfidasi dari endapan epitermal sangat dikontrol oleh
fluida hidrotermal yang dominan dari sistem tersebut. Berdasarkan studi isotop,
lingkungan endapan epitermal sulfidasi rendah sangat didominasi oleh pengaruh
air meteorik, walau beberapa sistem mengandung air dan gas yang reaktif (CO2,
SO2, HCl) yang berasal dari pembentukan magma (Hedenquist dan Lowenstern,
1994 dalam White dan Hedenquist, 1995). Fluida magmatik yang berasal dari
tempat yang dalam beraksi dengan batuan induk dalam waktu dan jarak yang
cukup panjang, sehingga dapat menetralkan pH dari fluida tersebut. Komponen
utama dalam sistem ini adalah CO2, H2S, dan NaCl yang bersifat netral (Gambar
3.2). Fluida ini yang kemudian boiling di kedalaman yang dangkal. Sedangkan
gas H2S yang terkondensasi dekat dengan permukaan menyebabkan munculnya
air asam sulfat yang bersifat asam dengan pH berkisar antara 2-3 (Giggenbach,
1992 dalam White dan Hedenquist, 1995).
Sedangkan pada sistem sulfidasi tinggi, karena sumber magmatik dekat
dengan permukaan, maka komponen fluida magmatik tidak berinterasksi banyak
dengan batuan sehingga bersifat asam dan teroksidasi. Komponen fluida yang
utama dalam sistem ini adalah H2SO4, H2S dan HCl yang semuanya bersifat
asam (pH 0-2) sehingga mampu melarutkan batuan disekitarnya; (Rye, 1993
dalam White dan Hedenquist, 1995).
Gambar 2.10. Lingkungan pembentukan endapan epitermal LS & HS (Corbett
& Leach, 1998)
Gambar 2.11. Derajat sulfidasi berdasarkan fluida (modifikasi dari White,
1995)
Pada umumnya daerah mineralisasi yang berhubungan dengan sistem
hidrotermal mempunyai hubungan spasial antara struktur mayor dengan proses
mineralisasi yang terjadi. Secara regional suatu sistem struktur di daerah
magmatic arcs akan terbentuk intrusi, baik yang mengisi daerah bukaan yang
ada maupun membentuk bukaan yang baru. Bukaan yang terjadi tergantung dari
arah subduksi suatu lempeng, ada yang bertipe orthogonal (tegak lurus) dan
oblique (menyudut). Bukaan dapat terjadi pada fase kompresi dan ekstensi
Corbett dan Leach (1998) membagi sistem bukaan urat yang didasarkan
pada tatanan tektonik dan level erosi pada suatu sistem hidrotermal menjadi
beberapa jenis, antara lain:
a. Tension Fracture / Vein, adalah bukaan di batuan induk yang terletak
di antara sesar strike – slip dan umumnya mempunyai orientasi yang tergantung
dengan gaya (stress) utama. Tension fracture ini merupakan pembawa
mineralisasi bijih, terutama urat emas-perak. Berdasarkan bentukannya dibagi
lagi menjadi 2, yaitu tension gash vein yang berbentuk sigmoid dan fissure vein
yang berbentuk celah memanjang (McClay, 1987 dalam Corbett dan Leach,
1998).
b. Jogs, adalah bukaan yang menghubungkan 2 sesar geser mendatar
yang berbeda arah yang membentuk pull-apart basin. Bukaan ini searah dengan
sesar turun pembentuk pull-apart basin. Jenis dari bukaan ini dibagi menjadi 2
berdasarkan bentukannya yaitu sigmoid (berbentuk sigmoid dan berkembang di
dekat permukaan) dan horsetails/splay (berkembang pada level porfiri pada
kedalaman yang cukup dalam).
c. Flexures, merupakan bukaan yang berbentuk bend dalam satu bidang
struktur.
d. Hanging (foot) wall splits, merupakan bukaan yang berada pada
bidang sesar, terutama pada sesar turun.
e. Domes, terjadi pada batuan basement yang menghasilkan rekahan-
rekahan yang sering diisi mineralisasi.
f. Ore shoots, umumnya merupakan perkembangan dari penambahan
lebar suatu urat atau terjadinya intersection antara urat-urat pembawa
mineralisasi. Bukaan tipe ini merupakan lokasi yang sangat kaya akan
mineralisasi bijih terutama emas pada endapan epitermal.
Gambar 2.12. Perbedaan sistem bukaan fase kompresi dan ekstensi pada
kondisi orthogonal convergence (Corbett dan Leach, 1998).
Hal yang paling penting dalam menentukan tipe endapan epitermal baik
sulfidasi tinggi maupun rendah salah satunya dengan melihat bentukan dari
tubuh endapan bijih tersebut (White dan Hedenquist, 1995). Endapan epitermal
sulfidasi rendah dan tinggi sering overlap karakteristiknya, namun banyak
perbedaan yang dapat dilihat untuk membedakan kedua sistem tersebut (Tabel
3.2). Kebanyakan endapan epitermal sulfidasi rendah dicirikan oleh tekstur
pengisian urat dengan batas yang jelas, dan adanya stockwork pada urat yang
kecil, sedangkan untuk epitermal sulfidasi tinggi lebih dicirikan oleh bijih yang
terdiseminasi dengan batuan samping yang mengalami pelarutan (White dan
Hedenquist, 1995).
Bentuk Endapan
Sulfidasi Rendah Sulfidasi tinggi
Dominan oleh urat-urat pengisi rekahan-
rekahan (open space veins)
Urat-urat hadir secara lokal
Struktur stockwok umum dijumpai Struktur stockwok jarang dijumpai
Disseminated ore umumnya minor Disseminated ore hadir secara
dominan
Mineral-mineral bijih pengganti
(replacements ore) minor
Mineral-mineral bijih pengganti
(replacements ore) umum dijumpai.
Tabel 2.2. Perbedaan bentuk endapan antara sulfidasi rendah dan
sulfidasi tinggi (White dan Hedenquist, 1995)
2.5.1. Endapan Epitermal Sulfidasi Rendah
Intrusi yang berada di busur magmatik menjadi sumber panas yang
menjadi penggerak dalam sirkulasi sistem hidrotermal yang komposisinya
merupakan air magmatik atau air meteorik (Hedenquist & Lowenstern, 1994).
Zat volatil dari magma yang berkembang dari pendinginan magma terbawa
sampai dasar dari sirkulasi hidrotermal tersebut (Giggenbach, 1991). Reaksi
batuan dan pencampuran fluida menyebabkan terjadinya pengurangan gas
seperti SO2, H2S dan HCL menjadi garam larut, utamanya NaCl (Giggenbach,
1992). Sulfida pada sulfidasi rendah terendapkan pada zona pengurangan gas ini,
dekat dengan pH netral (Barton & Skinner, 1979), dan sistem yang seperti ini
yang kemudian disebut sistem sulfidasi rendah (Hedenquist dkk, 1994).
Pada setting lempeng ketika intrusi berada pada batuan vulkanik yang
permeable fluida magmatik menyebar pada sistem hidrotermal, kemudian
menyebabkan terjadinya alterasi (Corbett & Leach, 1998). Pada sistem busur
magmatik dimana intrusi berada pada batuan impermeable seperti pluton yang
berumur lebih tua, batuan sedimen ataupun batuan metamorf, sirkulasi
hidrotermal melalui zona permeable dari host rock tersebut yang dapat terbentuk
akibat adanya struktur (contoh : dilational jogs), breksi (contoh : diatrem) atau
kontak geologi (contoh : rekahan pada dome).
Pada saat pendinginan magma (intrusi) tekanan pada reservoir menurun
sehingga air yang kaya CO2 dan asam sulfat yang dekat dengan permukaan
dapat turun sampai kedalaman 1,5 - 2km untuk mengaktikan sistem hidrotermal
(Reyes 1990a; Mitchell & Leach, 1991).
Gambar 2.13. Sistem Sulfidasi Rendah (Corbett & Leach, 1998)
Gambar 2.14. Pengaruh air terhadap mineralogi alterasi pada sistem sulfidasi
rendah (Corbettt & Leach, 1998)
Gambar 2.15. Model endapan epitermal sulfidasi rendah (Buchanan, 1981)
Gambar 2.16 Model endapan epitermal sulfidasi rendah (Hedenquist dkk, 2000)
2.5.2. Endapan Epitermal Sulfdasi Tinggi
Endapan epitermal sulfidasi tinggi terbentuk ketika fluida asam yang
didominasi dari reaktivasi gas magmatic bergerak secara vertikal dan lateral
mengikuti struktur dan batuan yang permeable (litologi yang poros atau
porositas sekunder) kemudian mengalami reaksi dengan host rock atau
pencampuran fluida (Corbett & Leach, 1998). Meskipun sering disebut sebagai
endapan epithermal, sulfidasi tinggi juga dapat terjadi pada lingkungan
mesothermal mendekati porifiri. Kedalaman dari pembentukan sulfidasi tinggi
ini dapat disimpulkan melalui alterasi mineralogi pada central silica zone
(mengindikasikan temperature dari fluida asam yang bergerak) dan peripheral
clay zone (mengindikasikan kondisi batuan induk). Zat volatil (H2O, CO2, SO2,
HCl, HF) dari magma dapat langsung menuju permukaan melaluri rekahan
utama menjadi solfatara.
Gambar 2.17. Sistem Sulfidasi Tinggi (Corbett & Leach, 1998)
Gambar 2.18. Mineralogi alterasi pada sistem sulfidasi tinggi (Corbett & Leach,
1998).