BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · 1.1.3 Formulasi Pestisida Pada umumnya...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · 1.1.3 Formulasi Pestisida Pada umumnya...
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pestisida
2.1.1 Sejarah Pestisida
Pada dasarnya pestisida sudah lama digunakan oleh nenek moyang kita zaman
dahulu. Tepatnya sekitar 4.500 tahun yang lalu atau 2.500 SM, dimana asap sulfur
digunakan untuk mengendalikan tungau di Sumeria (Zulkarnain, 2010). Kemudian
pada tahun 1960, digunakannya ekstrak daun tembakau sebagai insektisida. Pada tahun
1900, senyawa untuk memberantas gulma dan serangga secara organik pertama kali
dibuat. Pada tanun 1883, Millardet menemukan bubur Bordeaux yang merupakan
campuran kapur dengan terusi sebagai bahan pembasmi jasad pengganggu mikro.
Selain itu pada abad ke-19, ditemukannya dua jenis pestisida alami dimana piretrum
yang diekstrak dari chrysanthemum dan retenon yang diekstrak dari akar tuba Derris
eliptica (Sastroutomo, 1992).
Pada tahun 1874, Othmar Zeidler telah mensintesis DDT (Dichloro Diphenyl
Trichloroethane) untuk pertama kalinya. Namun, fungsi DDT sebagai pestisida
khususnya untuk membunuh serangga baru ditemukan oleh seorang ahli kimia yang
berasal dari Swiss, Paul Hermann Muller pada tahun 1939. Berkat penemuan tersebut,
Paul mendapatkan nobel dalam bidang Physiology atau Medicini pada tahun 1948.
Kemudian pada tahun 1940an pestisida sintetik mulai diproduksi dalam jumlah besar
dan diaplikasikan secara luas (Weir, 1998 dalam Zulkarnain, 2010).
Setelah berakhirnya perang dunia kedua, banyak senyawa pestisida oganik
yang dibuat untuk berbagai macam kebutuhan. Senyawa hidrokarbon berklorin juga
9
mulai dihasilkan. Sampai saat ini, telah terdapat hampir 1000 jenis bahan aktif
pestisida yang telah dibuat dengan 4000 jenis nama dagang beredar di seluruh dunia.
(Sastroutomo, 1992). Penggunaan pestisida juga mengalami peningkatan setiap
tahunnya. Sampai saat ini sekitar 2,5 juta ton pestisida digunakan setiap tahunnya.
Dimana 75% negara yang menggunakan pestisida adalah negara-negara yang sedang
berkembang (Sudarmo, 1987 dama Zulkarnain, 2010).
Di Indonesia, kebutuhan pestisida meningkat dari tahun ketahun. Hal ini
terlihat dari semakin banyaknya bahan aktif yang beredar dipasaran. Pada tahun 1982,
terdapat 286 jenis nama dagang yang beredar di pasaran dengan 41 perusahaan
terdaftar. Jumlahnya meningkat pada tahun 1989 yaitu menjadi 570 nama dagang
dengan 65 perusahaan terdaftar. Selain itu, jumlah bahan aktif yang terdaftar juga
mengalami peningkatan mulai dari 199 bahan aktif yang terdaftar pada tahun 1982
meningkat menjadi 273 bahan aktif yang terdaftar pada tahun 1989 (Sastroutomo,
1992).
2.1.2 Pengertian Pestisida
Pestisida (Inggris : Pesticide) berasal dari kata pest yang berarti organisme
pengganggu tanaman (hama) dan cide yang berarti mematikan atau racun. Jadi
pestisida adalah racun yang digunakan untuk membunuh hama. Menurut USEPA
(United States Environmental Protection Agency), pestisida merupakan zat atau
campuran yang digunakan unuk mencegah, memusnahkan, menolak, atau memusuhi
hama dalam bentuk hewan, tanaman dan mikroorganisme pengganggu (Soemirat,
2003 dalam Zulkanain, 2010). Berdasarkan SK Menteri Pertanian RI NO.
24/Permentan/SR.140/4/2011 tentang syarat dan tatacara pendaftaran pestisida
menyatakan pestisida merupakan semua zat kimia dan bahan lain serta zat renik dan
virus yang dipergunakan untuk:
10
1. Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit yang merusak tanaman,
bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian;
2. Memberantas rerumputan;
3. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan;
4. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman
tidak termasuk pupuk;
5. Memeberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan piaraan dan
ternak;
6. Memberantas atau mencegah hama-hama air;
7. Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam
rumah tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan; dan/atau
8. Memberantas atau mencegah biatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit
pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada
tanaman, tanah atau air.
Sampai saat ini diperkirakan terdapat lebih dari 80.000-100.000 hama dan
penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus, bakteri, organisme yang menyerupai
mikoplasma, riketsia, jamur patogen, gang-gang, dan tumbuhan parasit tingkat tinggi.
Diperkirakan terdapat 30.000 jenis gulma yang tersebar secara merata dengan 1.800
jenis gulma yang dapat menurunkan hasil panen secara serius, terdapat 3.000 jenis
nematoda yang menyerang tanaman dengan 1.000 jenis nematoda yang dapat
menimbulkan kerusakan, dan terdapat lebih dari 800.000 serangga dengan 10.000 jenis
serangga dapat menyebabkan kerusakan berat pada tanaman (Sastroutomo, 1992).
Pestisida secara luas digunakan untuk memberantas hama dan penyakit dalam bidang
pertanian. Selain itu pestisida juga digunakan dirumah tangga untuk membasmi
nyamuk, lalat, kepinding, kecoa dan berbagai serangga pengganggu lainnya. Meskipun
11
pengunaan pestisida sangat menguntungkan, penggunaannya yang berlebihan dan
terus-menerus dapat menimbulkan efek yang bersifat negatif baik pada penggunanya,
hewan-hewan ataupun lingkungan sekitar.
1.1.3 Formulasi Pestisida
Pada umumnya pestisida yang diperdagangkan bukanlah merupakan bentuk
murni dari pestisida tersebut melainkan diproses terlebih dahulu oleh pabrik sebelum
dapat digunakan atau diedarkan secara luas. Pembuatan pestisida akan memproses
senyawa-senyawa murni dengan cara mencampurkan bahan pengemulsi, bahan
pelarut, atau bahan pembasah tertentu. Proses inilah yang disebut dengan formulasi.
Suatu jenis pestisida dapat diperoleh dalam beberapa bentuk formulasi yang berbeda,
berikut adalah beberapa jenis formulasi pestisida yang umum digunakan dan
diperdagangkan (Sastroutomo, 1992):
1. Emulsi Pekat (Emulsifiable Concentrate)
Bahan ini merupakan formulasi cairan yang bahan aktifnya dapat larut dalam
pelarut yang tidak larut dalam air seperti minyak. Oleh karena itu, jika formulasi
ini dicampurkan dengan air maka akan membentuk emulsi pekat. Sehingga untuk
mengurangi emulsi, maka dicampurkan zat penahan emulsi. Selain
ditambahkannya zat penahan emulsi, pencampuran dosis yang sesuai dapat
mengurangi terjadinya emulsi. Kestabilan emulsi sangat dipengaruhi oleh pH air
dan kondisi penyimpanan.
Formulasi emulsi pekat dapat diperoleh dalam dua jenis yaitu cairan dengan
kepekatan rendah (1-10% bahan aktif) dan cairan dengan kepekatan tinggi (10-
80% bahan aktif). Cairan dengan tingkat kepekatan yang rendah dapat digunakan
untuk mengendalikan serangga yang terbang atau merayap. Sedangkan cairan
12
dengan tingkat kepekatan yang tinggi dapat digunakan pada sayur-sayuran atau
hewan ternak.
2. Serbuk Basah (Wettable Powders)
Serbuk basah merupakan formulasi pestisida yang kering dengan kandungan
bahan aktif yang cukup tinggi. Apabila formulasi ini dicampurkan dengan air,
maka akan terbentuk dua lapisan yang terpisah dimana bagian serbuknya akan
berada di bagian atas. Untuk menghindarai hal ini, formulasi dicampurkan dengan
bahan pembasah (wetting agent), karena tanpa adanya bahan ini serbuk tidak akan
dapat bercampur dengan air. Pada umumnya, formulasi serbuk basah mengandung
50-75% tanah liat atu bedak sehingga formulasi ini dapat cepat tenggelam ketika
dicampur air dan mengendap di bagian bawah tangki penyemprot. Sehingga
apabila akan digunakan harus diaduk terlebih dahulu.
Pestisida dalam formulasi ini sering digunakan untuk mengendalikan jenis
jasad pengganggu. Jika dibandingkan dengan formulasi emulsi pekat, serbuk basah
memeiliki harga yang relatif murah, mudah disimpan dan diangkut, serta lebih
amna bagai pemaikai. Namun, formulasi ini dapat dengan cepat terhidup/terhisap
oleh pemakai sehingga dianjurkan pemakai untuk menggunakan penutup hidung
atau alat keselamatan lainnya.
3. Serbuk Larut Air (Water Soluble Powders)
Sama halnya dengan formulasi serbuk basah, formulasi ini merupakan
formulasi kering. Perbedaannya adalah formulasi ini dapat membentuk larutan jika
dicampur dengan air. Formulasi ini biasanya mengandung 50% bahan aktif.
Biasanya diperlukan bahan pembasah atau bahan perata jika digunakan untuk
menyemprot tanaman yang mempunyai permukaan batang atau daun yang licin
dan berbulu.
13
4. Suspensi
Terdapat jenis-jenis pestisida yang dapat terlarut dalam air atau pelarutan
minyak. Selain itu ada beberapa jenis pestisisda yang hanya larut pada jenis-jenis
pelarut orgaik yang sulit untuk diperoleh sehingga formulasinya mahal dan sulit
diperdagangkan. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka bahan murninya harus
dicampur terlebih dahulu dengan serbuk tertentu dan sedikit air sehingga terbentuk
campuran pestisida dengan serbuk halus yang basah. Campuran ini dapat
bercampur dengan rata jika larutan dalam air sebelum disemprotkan. Komposisi
inilah yang dikelan dengan suspensi.
5. Debu
Debu merupakan formulasi pestisida yang paling sederhana untuk dipakai,
debu merupakan formulasi kering yang mengandung konsentrasi bahan aktif yang
sangat rendah yaitu berkisar 1-10%. Bahan murninya dicampurkan dengan bahan
liat kemudian dihancurkan menjadi halus seperti debu. Formulasi ini biasanya
digunakan dalam bentuk kering tanpa perlu dicampur dengan air atau zat pelarut
lainnya. Pestisida jenis ini sangat mudah utuk digunakan dikawasan yang sempit.
Debu pestisida mudah melekat pada daun yang basah, oleh karena itu sering
digunakan pada waktu masih pagi.
Dikarenkana ukurannya yang sangat kecil, sehingga formulasi ini bisa dengan
mudah diterbangkan oleh angin ke tempat lain yang bukan sasarannya. Hal inilah
yang menyebabkan formulasi ini tidak tepat digunakan di daerah yang terbuka dan
luas.
6. Butiran (Granules)
Formulasi ini menyerupai debu tetapi dengan ukuran yang besar dan dapat
digunakan langsung tanpa cairan atau dicampur dengan bahan pelarut. Bahan aktif
14
dari formulasi ini pada mulanya berbentuk cair tetapi setelah dicampur dengan
butiran, bahan aktifnya akan menyerap atau melekat pada butiran. Jumlah bahan
aktif yang terdapat pada formulasi ini biasanya berkisar antara 2-45%.
Bentuk butiran biasanya digunakan ke tanah untuk membasmi jasad-jasad
pengganggu yang terdapat di permukaan atau di dalam tanah. Dapat juga
digunakan dengan menaburkannya ke seluruh tanaman. Terdapat beberapa jenis
insektisida dan herbisida yang berbentuk butiran.
7. Aerosol
Penyemprotan nyamuk, penyemprotan wangi-wangian, penyemprot rambut
dan lain sebagainya merupakan beberapa contoh aerosol yang sering kita gunakan.
Insektisida semprot telah banyak dikembangkan sejak Perang Dunia II. Jenis
insektisida tersebut hanya efektif terhadap serangga yang terbang atau merayap
dengan pengaruh residu yang sangat rendah. Bahan aktifnya mudah larut dan
menguap dengan ukuran butiran kurang dari 10µm sehingga mudah terhisap
manusia pada saat bernafas, oleh karena itu pada waktu melakukan penyemprotan
sebaiknya nafas ditahan.
8. Umpan
Umpan merupakan makanan atau bahan-bahan tertentu yang telah dicampur
dengan racun. Bahan ini menjadi daya penarik jasad pengganggu sasaran. Umpan
dapat digunakan di rumah, kantor, kebun ataupun sawah dan bisa digunakan pada
tikus, lalat, burung ataupun siput.
Pestisida dengan formulasi ini sangat mudah untuk digunakan karena kita
hanya perlu meletakkannya di tempat-tempat tertentu yang strategis. Jumlah bahan
aktif racun di dalam umpan sangat rendah sehingga tidak menimbulkan pengaruh
apa-apa terhadap lingkungan.
15
9. Gas
Fumigan merupakan formulasi dalam bentuk gas atau cairan yang mudah
menguap. Gas ini dapat menyerap dikulit. Fumigan sering digunakan untuk
mengendalikan hama-hama gudang, hama-hama, dan jamur patogen yang berada
di dalam tanah.
Fumigan dapat memberikan pengaruh yang total terhadap segala jenis jasad
pengganggu termasuk biji-biji gulma di dalam tanah. Gas-gas yang digunakan
dalam fumigasi dangat beracun terhadap manusia.
2.1.4 Klasifikasi Pestisida
Pestisida dapat dibedakan berdasarkan target sasarannya, cara kerja dan
struktur kimia.
A. Berdasarkan kegunaan dan asal katanya, menurut Sastrotomo (1992) pestisida
dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Akarisida
Akarisida atau yang sering kita kenal dengan mitisida berasal dari kata
akari yang berarti kutu atau tungau, mengandung senyawa kimia beracun
yang digunakan untuk membunuh kutu, tungau, atau laba-laba.
2. Algisida
Algisida berasal dari kata alga yang berarti ganggang, mengandung
senyawa kimia yang biasanya digunakan untuk membunuh ganggang.
3. Avisida
Avisida berasal dari kata avis yang berarti burung. Senyawa avisida
biasanya digunakan untuk membunuh atau mengenyahkan burung.
16
4. Bakterisida
Bakterisida berasal dari kata bacterium yang berarti jasat renik.
Bakterisida mengandung senyawa kimia beracun yang dapat digunakan
untuk membunuh bakteri.
5. Fungisida
Fungisida berasal dari kata fungus yang berarti jamur yang
mengandung senyawa kimia beracun dan bisa digunakan ntuk membunuh
atau mencegah jamur.
6. Herbisida
Herbisida berasal dari kata herba yang memiliki arti tumbuhan
semusim. Herbisida mengandung senyawa beracun yang dapat
dimanfaatkan untuk membunuh tumbuhan pengganggu yang sering disebut
dengan gulma.
7. Isektisida
Insektisida berasal dari kata insectum yang memiliki arti hewan
berkuku. Insektisida merupakan suatu bahan yang mengandung senyawa
kimia beracun yang dapat membunuh segala jenis serangga.
8. Larvisida
Larvasida berasal dari kata lar yang berarti topeng atau hantu.
Larvasida merupakan suatu senyawa kimia yang biasanya digunakan untuk
membunuh larva.
9. Moluskisida
Moluskisida berasal dari kata molluscus yang berarti tulang kerang
lunak atau berkulit tipis. Moluskisida merupakan senyawa kimia yang
17
dapat digunakan untuk membunuh bekicot, kerang atau hewan bertulang
lunak lainnya.
10. Nematisida
Nematisida berasal dari kata nematode yang memiliki arti benang.
Nematisida merupakan racun yang dapat digunakan untuk mengendalikan
hewan dengan jenis nematode seperti cacing.
11. Ovisida
Ovisida berasal dari kata ovum yang berarti telur. Ovisida merupakan
racun yang dapat digunakan untuk membunuh telur.
12. Piscisida
Piscisida berasal dari kata piscis yang memiliki arti ikan. Piscisida
merupakan bahan senyawa kimia beracun yang digunakan untuk
mengandalikan ikan mujair yang biasanya menjadi hama di dalam tambak
atau kolam.
13. Predisida
Predisida berasal dari kata praeda yang berarti predator. Predisida
sendiri merupakan senyawa kimia beracun yang biasanya digunakan untuk
membuhun hewan predator atau pemangsa seperti ular.
14. Rodentisida
Rodentisida berasal dari kata roden yang berarti hewan penggerat.
Rodentisida merupakan racun kimia yang dapat digunakan untuk
membunuh hewan-hewan pengegerat seperti tikus.
18
15. Silvisida
Silvisida berasal dari kata silva yang berarti hutan. Silvisida adalah
bahan racun kimia yang biasanya digunakan untuk membunuh pohon liar
yang terdapat di hutan.
16. Termitisida
Termitisida berasal dari kata termes yang memiliki arti acing perusak
kayu. Termitisida merupakan senyawa kimia berbahaya yang biasanya
digunakan untuk membunuh rayap.
17. Atraktans
Antraktans merupakan suatu senyawa kimia yang dapat digunakan
untuk memikat serangga.
18. Khemosterilan
Khemosterilan merupakan senyawa kimia yang digunakan untuk
membuat serangga, burung atau hewan pengerat lainnya menjadi mandul.
19. Defolian
Defolian adalah senyawa kimia yang digunakan sebagai peluruh daun.
20. Desikan
Desikan adalah senyawa kimia yang dapt digunakan untuk
mempercepat pengeringan pada tumbuhan.
21. Feromon
Sama halnya seperti atraktans, feromon juga merupakan senyawa yang
dapat digunakan untuk memikat serangga atau hewan vertebrata.
22. Repelan
Repelan merupakan senyawa kimia yang digunakan untuk
mengenyahkan serangga, kutu, tungau, anjing dan lainnya.
19
B. Jika dilihat dari cara kerjanya, pestisida dapat digolongkan menjadi berikut
(Djojosumarto, 2000):
1. Insektisida
Menurut cara kerja atau gerakannya pada tanaman setelah digunakan,
insektisida secara kasar dapat dibedakan menjadi:
a. Insektisida Sistemik
Insektisida sistemik diserap oleh organ-organ tanaman baik melalui
akar, batang ataupun daun. Kemudian insektisida sistemik tersebut akan
mengikuti gerakan cairan tanaman dan ditransportasikan ke tanaman-
tanaman lainnya baik ke atas ataupun ke bawah, termasuk juga ke tunas
yang baru tumbuh. Contoh insektisida sismetik adalah Furatiokarb,
Fosfamidon, Isolan, Karbofuran, dan Monokrotofos.
b. Insektisida Nonsistemik
Insektisida nonsistemik setelah digunakan pada tanaman maka tidak
akan diserap oleh jaringan tanaman, namun hanya menempel pada bagian
luar tanaman saja. Sebagian besar insektisida yang dijual dipasaran
Indonesia adalah insektisida nonsistemik. Contohnya adalah Dioksikarb,
Diazinon, Diklorvos, Profenofos, dan Quinalfos.
c. Insektisida Sistemik Lokal
Insektisida sistemik lokal merupakan kelompok insektisida yan dapat
diserap oleh tanaman umumnya bagian daun, namun tidak dapat disalurkan
ke bagian tanaman lainnya. Insektisida yang berdaya kerja translaminar
atau insektisida yang mempunyai daya penetrasi ke dalam jaringan
merupakan kategori dari insektisida sistemik lokal. Contohnya adalah
Dimetan, Furatiokarb, Pyrolan, dan Profenofos.
20
Menurut cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga sasaran dapat
dibedakan menjadi tiga kelompok sebagai berikut:
a. Racun lambung (Racun Perut, Stomach Poison)
Racun lambung merupakan insektisida yang dapat membunuh serangga
yang menjadi sasaran apabila insektisida tersebut masuk ke dalam organ
pencernaan serangga dan diserap oleh dinding saluran pencernaan.
Kemudian insektisida tersebut akan dibawa oleh cairan tubuh serangga
menuju susunan saraf serangga. Insektisida yang sering disebut sebagai
racun perut adalah Bacillus thuringiensis.
b. Racun Kontak
Racun kontak adalah insektisida yang masuk ke dalam tubuh serangga
lewat kulit. Serangga hama dapat mati apabila bersinggungan langsung
dengan insektisida tersebut. Beberapa racun kontak juga dapat berperan
sebagai racun perut. Beberapa insektisida yang memiliki sifat yang kuat
terhadap racun kontak antara lain Diklorfos dan Pirimifos metil.
c. Racun Pernafasan
Racun pernafasan adalah insektisida yang bekerja lewat saluran
pernafasan. Serangga hama akan mati apabila menghirup insektisida dalam
jumlah yang cukup. Sebagian besar racun pernafasan berupa gas, atau
apabila wujud asalnya padat atau cair yang dapat berubah atau
menghasilkan gas apabila diaplikasikan sebagai fumigansi (gas) seperti
Bromide dan Alumunium fosfida. Terdapat juga insektisida berupa racun
kontak ataupun racun perut yang memiliki efek sebagai fumigansi seperti
Diafentiuron.
21
2. Fungisida
Pestisida yang digunakan untuk membunuh jamur menurut efeknya
terhadap jamur dapat dibedakan menjadi dua macam. Yang pertama adalah
senyawa yang memiliki efek fungistatik, yaitu senyawa yang hanya mampu
menghentikan perkembangan jamur, namun jamur dapat berkembang lagi
apabila senyawa fungistatik tersebut telah hilang. Kedua adalah senyawa yang
memiliki efek fungitoksik atau efek fungisida, yaitu senyawa mampu
membunuh jamur, dan jamur tidak akan berkembang lagi meskipun senyawa
tersebut telah hilang, kecuali terjadi infeksi jamur yang baru.
Berdasarkan cara kerjanya di dalam tubuh tanaman sasaran yang
diaplikasikan, fungisida dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a. Fungisida Nonsistemik (Fungisida kontak, Fungisida Residual Protektif)
Sama halnya seperti insektisida, fungisida nonsistemik tidak dapat
diserap oleh tanaman. Fungisida nonsistemik hanya membentuk lapisan
penghalang di permukaan tanaman, umumnya daun yang merupakan
tempat disemprotkannya fungisida. Fungisida nonsistemik berfungsi untuk
mencegah terjadinya infeksi yang disebabkan oleh jamur dengan cara
menghambat perkecambahan spora atau miselia jamur yang menempel di
permukaan daun tanaman. Oleh karena itu, fungisida nonsistemik
berfungsi sebagai protektan dan hanya efektif bila digunakan sebelun
tanaman terinfeksi oleh penyakit. Dikarenakan fungsinya sebagai
protektan, fungisida nonsistemik harus sering diaplikasikan agar tanaman
dapat terlindungi dari infeksi yang baru. Contoh fungisida nonsitemik
adalah Kaptan, Maneb, Zineb, Mankoneb, Ziram, Kaptafol, dan Probineb.
22
b. Fungisida Sistemik
Fungsida sistemik diabsorsi oleh organ-organ tanaman dan
ditranslokasikan ke bagian tanaman lainnya lewat aliran cairan tanaman.
Bisa didistribusikan ke atas yaitu dari akar menuju daun, bisa juga
didistribusikan ke bawah yaitu dari daun menuju akar. Contoh fungisida
sistemik adalah Benomil, Difenokonazol, Karbendazim, Matalaksil,
Propikonazol, dan Triadimefon.
Fungisida sistemik memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan
fungisida nonsitemik, adapun kelebihannya adalah sebagai berikut:
Fungisida sistemik mampu menghambat infeksi jamur yang sudah
masuk ke dalam jaringan tanaman. Sehingga fungisida ini dapat
diaplikasikan sebagai protektif, kuratif dan juga eradikatif.
Dikarenakan fungisida sistemik diserap oleh tanaman dan
didistribusikan ke seluruh bagian tanaman, maka efektivitasnya relatif
tidak terlalu tergantung pada coverange semprotan.
Fungisida yang diserap oleh tanaman tidak akan hilang apabila terjadi
hujan, sehingga tidak perlu terlalu sering diaplikasikan.
c. Fungisida Sistemik Lokal
Fungisida sistemik lokal akan diabsorsikan oleh jaringan tanaman,
namun tidak ditranlokasikan ke bagian tanaan yang lainnya. Adapun
contohnya adalah Simoksanil.
Berdasarkan banyaknya lokasi aktivitas fungisida dalam sistem biologi
jamur, fungisida dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu :
23
a. Multiside Inhibitor
Multiside inhibitor adalah fungisida yang bekerja untuk mengambat
beberapa proses metabolisme jamur. Sifatnya yang multiside inhibitor
(bekerja dibanyak tempat), membuat fungisida tersebut tidak mudah atau
kurang menimbulkan masalah resistensi jamur. Fungisida yang bersifat
multiside inhibitor umumnya berspektrum pengendalian yang lebih luas
daripada fungisida yang bersifat monoside inhibitor. Contoh dari multiside
inhibitor adalah Maneb, Mankozeb, Zineb, Probineb, Ziram, dan Thiram.
b. Monoside Inhibitor
Monodise inhibitor disebut juga sebagai side specific, yaitu fungisida
yang bekerja dengan menghambat salah satu proses metabolisme jamur,
misalnya hanya menghambat sistesis protein saja. Dikarenkana sifatnya
yang hanya bekerja disatu tempat saja, fungisida monoside inhibitor
umumnya berspektrum sempit dan mudah menimbulkan resistensi. Contoh
dari monoside inhibitor adalah Metalaksil, Oksadisil, dan Benalaksil.
3. Herbisida
Secara tradisional, herbisida dapat dibagi menjadi tiga kelompok sebagai
berikut :
a. Herbisida yang aktif untuk mengendalikan gulma dari kelompok rumput,
misalnya Alaklor, Butaklor, dan Ametrin.
b. Herbisida yang aktif untuk mengendalikan gulma berdaun lebar dan pakis,
misalnya 2,4-D, MCPA.
c. Herbisida yang aktif untuk semua kelompok gulma yang disebut sebagai
herbisida nonselektif. Herbisida jenis ini mampu membunuh semua
24
tumbuhan hijau termasuk tanaman pokok, misalnya Glifosat, Glufosinat,
dan Paraquat.
Herbisida juga dapat dikelompokkan berdasarkan bidang sasarannya yaitu
sebagai berikut :
a. Herbisida Tanah (Soil Acting Herbicides), yaitu herbisida yang aktif di
tanah dan bekerja dengan menghambat perkecambahan gulma. Contoh
herbisida tanah adalah herbisida kelompok urea (Diuron, Linuron,
Metabromuron), triazin (Atrazine, Ametrin), karbamat (Asulam,
Tiobenkarb), kloroasetanilida (Alaklor, Butaklor, Metalaklor, Pretilaklor),
dan urasil (Bromasil). Herbisida tanah pada umumnya memiliki sifat yang
sistemik.
b. Herbisida yang aktif pada gulma yang sudah tumbuh. Herbisida jenis ini
dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
Herbisida kontak, yaitu herbisida yang membunuh jaringan tanaman
gulma yang terkena langsung oleh herbisida tersebut. Herbisida ini
tidak ditranslokasikan di dalam jaringan gulma bagian lainnya.
Sehingga, herbisida ini umumnya hanya mengendalikan gulma yang
berada di atas tanah. Contohnya adalah Propanil, Paraquat, dan Diquat.
Herbisida yang ditranslokasikan keseluruh bagian gulma (sistemik).
Atau disebut juga dengan translocated herbicides. Karena sifatnya
yang sitematik, sehingga herbisida ini mampu membunuh jaringan
gulma yang ada dibawah tanah. Contohnya adalah 2,4-D, dan Glifosat.
25
Selain kedua kelompok utama tersebut, terdapat pula herbisida tanah
yang aktif terhadap gulma yang baru tumbuh, misalnya beberapa
herbisida dari jenis urea dan triazim.
C. Berdasarkan struktur kimianya, pestisida dapat dibagi sebagai berikut (Depkes
RI, 2000):
1. Senyawa Golongan Organoklorin
Organiklorin merupakan senyawa insektisida yang mengandung atom
karbon, klor, dan hidrogen, dan terkadang oksigen. Senyawa ini sering juga
disebut sebagai hidorokarbon khlorinat. Senyawa organoklorin tergolong
memiliki toksisitas yang relatif rendah namun mampu bertahan lama dalam
lingkungan. Racun yang terdapat dalam senyawa ini bersifat menggaggu
susunan syaraf pusat dan larut dalam lemak. Pada umumnya pestisida
golongan ini berbentuk padat dan menggunakan air atau pelarut organik
sebagai pelarut. Larutan pestisida organoklorin tahan terhadap pengaruh
udara, cahaya, panas, dan karbondioksida. Pestisida jenis ini tidak dapat
rusak oleh asam kuat, namun bisa rusak dengan basa dimana pestisida jenis
ini akan menjadi tidak stabil dan mengalami deklorinase.
Senyawa organoklorin masuk ke dalam tubuh melalui udara, saluran
pencernaan, dan absorpsi melalui kulit. Bila digunakan dalam bentuk
serbuk, absorpsi melalui kulit tidak akan terlalu berbahaya, namun apabila
digunakan sebagai larutan dalam minyak atau pelarut organik, maka
toksisitasnya akan meningkat. Senyawa ini memiliki kemampuan untuk
menembus membran sel dengan cukup kuat, dan tersimpan di dalam
jaringan lemak tubuh. Karena bersifat lipotropik, senyawa ini tersimpan di
26
dalam sel-sel yang banyak mengandung lemak, seperti pada susunan saraf
pusat, hati, ginjal, dan otot jantung. Di dalam organ-organ ini, senyawa
organoklorin dapat merusak fungsi dari sistem enzim dan menghambat
aktivitas bikokimia sel.
Salah satu jenis organoklorin yang paling dikenal adalah Dikloro
Difenil Trichloroethane atau DDT. Ditemukan tahun 1874 oleh Zeidler
seorang sarjana kimia yang berasal dari Jerman. Sejak 1 Januari 1973,
penggunaan DDT dilarang dan diberhentikan oleh Badan Proteksi
Lingkungan di Amerika. Hal tersebut dikarenakan DDT dapat
membahayakan kehidupan dan lingkungan karena meninggalkan residu
yang terlalu lama dan dapat terakumulasi dalam jaringan melalui rantai
makanan.
Tanda-tanda keracunan senyawa organoklorin pada dosis rendah yaitu
pusing-pusing, mual, sakit kepala, serta tidak dapat berkonsentrasi secara
sempurna. Sedangkan tanda-tanda keracunan senyawa organoklorin pada
dosis yang tinggi dapat menyebabkan kejang-kejang, muntah, dan dapat
terjadi gangguan pada pernafasan.
2. Senyawa Golongan Organofosfat
Senyawa organosfosfat merupakan senyawa yang paling banyak
memiliki anggota dan terdiri dari beberapa kelompok. Senyawa ini pertama
kali ditemukan oleh Dr. Gerhard Shrader yang bersal dari Jerman. Senyawa
organosfosfat tidak stabil sehingga dari segi lingkungan senyawa ini lebih
baik dari pada organoklorin. Namun, senyawa organofosfat memiliki sifat
lebih toksik terhadap hewan-hewan bertulang belakang jika dibandingkan
dengan senyawa organoklorin. Senyawa organosfosfat dapat
27
mempengaruhi sistem saraf dan mempunyai cara kerja menghambat enzim
cholinesterase.
Berdasarkan rantai karbon yang dimiliki, insektisida organosfosfat
dapat diklasifikasikan kedalam beberapa kelompok (Sastroutomo, 1992) :
a. Turunan Alifatik, golongan ini merupakan senyawa organosfosfat yang
memiliki rangkaian karbon yang lurus dan pendek. Sifat racun yang
terdapat dalam turunan ini berbeda satu sama lainnya dan pada
umumnya memiliki daya larut dalam air yang tinggi. Contoh dari
turunan alifatik adalah Asefat, Dikhlorvos, Disulfoton, Malation, Etion,
Metamidofos, Monokrotofos, dan Naled.
b. Turunan Fenil, golongan ini mengandung benzene dengan satu rantai
hidrogennya diganti oleh atom lain. Turunan fenil biasanya lebih stabil
dibandingkan dengan turunan alifatik, namun residu yang dimilikinya
dapat bertahan lebih lama. Turunan fenil dapat ditandai dengan adanya
cincin fenil pada rantai struktur molekulnya. Contoh dari turunan fenil
adalah Paration-etil, Paration-metil, Izofenfos, dan Profenofos.
c. Turunan heterosiklik, senyawa heterosiklik merupakan senyawa yang
memiliki struktur cincin yang memiliki atom-atom bebeda. Dalam
senyawa ini, satu atau lebih atom karbon digantikan baik dengan
oksigen, nitrogen atau sulfur sementara cincinnya dapat memiliki tiga,
lima atau enam atom. Pada umumnya senyawa ini memiliki aktifitas
yang lebih lama jika dibandingkan dengan turunan alifatik atau fenil.
Dikarenakan strukturnya yang komplek sehingga bahan-bahan hasil
metabolismenya lebih banyak dan sulit untuk diidentifikasi di
28
laboratorium. Contyoh dari turunan heterosiklik adalah Azinfos-metil,
Fention, Klorfirifos, dan Metidation.
Sifat umum dari senyawa organofosfat adalah :
o Efektif terhadap serangga yang resisten terhadap chorinatet
hydrocarbon atau organoklorin.
o Tidak menimbulkan kontaminasi terhadap lingkungan untuk jangka
waktu yang lama karena degradasinya berlangsung dengan cepat atau
tingkat persistensi rendah.
o Lebih toksik terhadap hewan-hewan bertulang belakang dan manusia,
jika dibandingkan dengan organoklorin.
o Menimbulkan resistensi terhadap berbagai macam serangga.
o Mempunyai cara kerja menghambat fungsi enzim cholinesterase.
o Kurang mempunyai efek yang lama terhadap organisme non target.
o Merupakan racun yang tidak selektif (selain menyerang organisme
target juga menyerang organisme non target).
Gejala yang ditimbulkan akibat keracunan pestisida golongan
organofosfat terhadap fungsi enzim cholinesterase, timbul gerakan otot-
otot tertentu, penglihatan kabur, mata berair, mulut berbusa, banyak
berkeringat, air liur banyak keluar, mual, pusing, kejang-kejang, muntah-
muntah, detak jantung menjadi cepat, mencret, sesak nafas, otot tidak bisa
digerakkan dan akhirnya pingsan. Apabila tidak segera ditangani maka
dapat menyebabkan kematian.
3. Senyawa Golongan Karbamat
Insekisida golongan karbamat sangat banyak digunakan, sama seperti
juga insektisida dari golongan organosfosfat. Sifat-sifat dari senyawa
29
golongan ini tidak banyak berbeda dengan senyawa golongan
organosfosfat baik dari segi aktivitas maupun daya racunnya. Kedua jenis
golongan ni juga memiliki residu yang tidak dapat bertahan lama di alam.
Senyawa karbamat merupakan turunan dari asam karbamik HO-CO-
NH2. Seperti halnya pada senyawa golongan organosfosfat, senyawa
golongan karbamat juga menghambat kerja enzim cholinesterase.
Insektisida golongan karbamat pertama kali ditemukan oleh Ciba Geigy
yang berasal dari Swiss pada tahun 1951. Contoh dari pestisida golongan
karbamat adalah Baygon, Bayrusil, Karbaril, Karbofuran, dan Tiodikarb.
Dalam beberapa kasus yang terjadi, senyawa golongan karbamat
umunya berabsorpsi melalui kulit, udara dan dalam jumlah kecil melalui
oral. Gejala keracunan yang ditimbulkan hampir sama dengan gejala
keracunan pada senyawa jenis organosfosfat hanya saja berlangsung lebih
singkat karena cepat terurai dalam tubuh. Selain itu efek dari keracunan
karbamat biasanya reversible (dapat pulih) dan durasinya singkat.
4. Senyawa Golongan Dinitrofenol
Senyawa dari golongan ini merupakan fenol dengan dua gugus nitro
(NO2) yang terikat pada dua atom karbonnya. Senyawa dengan golongan
ini memiliki spectrum yang luas sehingga bisa digunakan sebagai
insektisida, fungisida dan herbisida. Pestisida golongan ini berperan dalam
memacu proses pernafasan sehingga menghasilkan energi yang berlebihan
dari yang diperlukan. Akibatnya dapat menimbulkan proses kerusakan
jaringan di dalam tubuh. Contoh dari pestisida ini adalah Morocidho 40EC.
30
5. Piretroid
Pertama kali digunakan sebagai insektisida didaerah Asia pada tahun
1800. Secara alamiah piretroid diperoleh dari ekstrak Bungan
chrysanthemum. Senyawa aktifnya adalah piretrin I dan II cinerin I dan II,
dan jasmolin I dan II, yang merupakan ester dari tiga alkohol, pyrethrolone,
cinerolone, dan jasmolone, dengan asam chrysanthemic dan pyrethric.
Karena sifat toksiknya terhadap mamalia yang sangat rendah dibanding
pestisida jenis lain, piretroid banyak digunakan sebagai bahan aktif dari
produk insektisida yang ada di pasaran.
Pada umumnya piretroid mengalami metabolisme pada mamalia
melalui proses hidrolisis, oksidasi dan konjugasi. Tidak ada kecenderungan
terjadinya akumulasi pada jaringan akibat pajanan terhadap piretroid.
Piretroid bersifat racun terhadap jaringan saraf, yakni dengan cara
mempengaruhi permeabilitas membran terhadap ion, sehingga
mengganggu impuls saraf. Contoh dari pestisida golongan pyretroid adalah
Deltametrin, Permetrin, Fenvalerate, Difetrin, Sipermetrin, Fluvalinate,
Siflutrin, Fenpropatrin, Tralometrin, Sihalometrin, Flusitrinate, Alletrin,
dan Bioresmetrin.
6. Fumigan
Fumigan adalah senyawa atau campuran yang menghailkan gas, uap
atau asap untuk membunuh serangga, cacing, bakteri ataupun tikus.
Fumigan biasanya memiliki berat molekul yang kecil, mudah menguap,
dan dapat berubah menjadi gas pada suhu di atas 40ºF. Biasanya lebih berat
dari udara dan mengandung satu ataupun lebih unsur halogen (Cl, Br, dan
F). Hampir semua senyawa ini mampu menembus jaringan kulit serangga
31
dan juga bahan-bahan lainnya. Fumigan digolongkan sebagai narkotik.
Cara kerja fumigan lebih banyak secara fisikal daripada kimiawi. Fumigan
merupakan senyawa yang larut dalam lemak dan memiliki pengaruh yang
tidak dapat dikembalikan lagi. Fumigan dapat menyebabkan narcosis,
tidur, dan tidak sadar kemudian mematikan. Contoh pestisida golongan
fumigant adalah Chlorofikrin, Ethylendibromide, Naftalene,
Metylbromide, Formaldehide, dan Fostin.
7. Petroleum
Pestisida jenis ini terbuat dari minyak bumi seperti minyak tanah.
Minyak tanah ini secara alami dapat berfungsi sebagai herbisida. Contoh
pestisida golongan petroleum adalah minyak tanah.
8. Antibiotik
Senyawa antibiotik juga bisa digunakan sebagai pestisida. Hal tersebut
dikarenakan senyawa antibiotik berfungsi sebagai pembunuh mahluk hidup
yang ada disekitarnya. Senyawa antibiotik ini biasanya dimanfaatkan
sebagai bakterisida dan fungisida. Contoh pestisida golongan antibiotik
adalah Penicillin, Tetrasiklin, dan Khlorampenikol.
2.1.5 Resiko Penggunaan Pestisida
Pestisida merupakan senyawa kimia yang memiliki sifat toksik (beracun).
Dikarenakan memiliki sifat yang beracun, maka penggunaan pestisida selalu
mengandung resiko baik bagi pengguna maupun bagi lingkungan. Adapun beberapa
risiko penggunaan pestisida khususnya dalam bidang pertanian adalah sebagai berikut:
1. Risiko bagi Keselamatan Pengguna
Risiko bagi keselamatan pengguna merupakan kontaminasi pesisida secara
langsung, yang dapat menyebabkan keracunan. Keracunan sendiri dapat dibedakan
32
menjadi 3 yaitu keracunan akut ringan, keracunan akut berat dan keracunan kronis.
Keracunan yang bersifat akut ringan dapat menimbulkan gejala seperti sakit
kepala, pusing, mual, muntah dan lainnya. Beberapa pestisida dapat menimbulkan
iritasi pada kulit bahkan dapat menyebakan kebutaan. Keracunan pestisida akut
berat dapat menyebabkan penderita tidak sadarkan diri, kejang-kejang, bahkan
sampai meninggal dunia.
Keracunan pestisida kronis lebih sulit untuk dideteksi karena orang yang
mengalaminya cenderung tidak sadar, namun dalam jangka yang cukup panjang
dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Beberapa gangguan kesehatan yang
sering dihubungkan dengan penggunaan pestisida diantaranya iritasi mata dan
kulit, kanker, cacat pada bayi, serta gangguan saraf, hati, ginjal dan pernafasan.
2. Risiko bagi Konsumen
Risiko yang dialami oleh konsumen cenderung dikarenakan oleh keracunan
residu (sisa-sisa) pestisida yang terdapat dalam produk pertanian. Risiko bagi
konsumen dapat berupa keracunan langsung karena mengkonsumsi produk
pertanian yang tercemar pestisida atau lewat rantai makanan. Konsumen
cenderung dapat mengalami keracunan kronik, dikarenakan dampak dari
karacunan tidak dapat langsung dirasakan namun dalam jangka waktu yang
panjang dapat menimbulkan gangguan kesehatan.
3. Risiko bagi Lingkungan
Risiko penggunaan pestisida dilingkungan dapat digolongkan menjadi dua
kelompok sebagai berikut:
a. Bagi lingkungan umum, gangguan pestisida dapat menyebabkan beberapa hal
sebagai berikut:
33
Terbunuhnya organisme non-target akibat terpapar oleh pestisida secara
langsung.
Terbunuhnya organisme non-target dikarenakan pestisida merasuki rantai
makanan.
Terjadinya pencemaran lingkungan seperti air, udara dan tanah.
Menumpuknya pestisida dalam jaringan tubuh organisme melalui rantai
makanan (bioakumulasi).
Menimbulkan efek negatif terhadap manusia secara tidak langsung melalui
rantai makanan.
b. Bagi lingkungan pertanian, penggunaan pestisida dapat menyebabkan
beberapa hal sebagai berikut:
Menurunnya kepekaan hama, penyebab penyakit, dan gulma terhadap
pestisida tertentu yang berpuncak pada kekebalan (resistensi) hama,
penyakit dan gulma terhadap pestisida
Dapat terjadinya resurjensi hama, yaitu fenomena meningkatnya serangan
hama tertenu sesudah diberikan perlakuan insektisida.
Timbulnya hama yang biasanya tidak penting atau timbulnya ledakan hama
sekunder.
Terbunuhnya musuh alami hama.
Perubahan flora, misalnya penggunaan herbisida secara terus menerus
untuk mengendalikan gulma daun lebar akan merangsang perkembangan
gulma daun sempit.
Dapat meracuni tanaman apabila salah menggunakannya.
4. Dampak Bagi Sosial Ekonomi
Pengunaan pestisida juga bisa mempengaruhi social ekomoni, seperti misalnya :
34
Penggunaan pestisida yang tidak terkendali dapat menyebabkan biasa produksi
menjadi lebih tinggi
Timbulnya hambatan perdangan diakibatkan residu pestisida pada bahan
makanan ekspor lebih tinggi
Timbulnya biaya social yaitu biaya pengobatan dan hilangnya hari kerja yang
diakibatkan oleh keracunan pestisida.
2.1.6 Toksisitas dan Keracunan Pestisida
Terdapat perbedaan yang nyata antara toksisitas dengan bahaya keracunan
pestisida. Toksisitas merupakan daya racun yang dimiliki oleh senyawa pestisida,
dengan kata lain, seberapa kuat daya racunnya terhadap jenis hewan pada konsidi
percobaan yang dilakukan di laboratorium. Sedangkan bahaya keracunan merupakan
bahaya atau risiko keracunan dari seseorang pada wkatu sejenis pestisida sedang
digunakan.
A. Toksisitas Pestisida
Toksisitas pestisida atau daya racun pestisida terhadap organisme tertentu
biasanya dinyataan dalam nilai LD 50 (Lethal Dose). LD 50 menunjukkan
banyaknya racun persatuan berat organisme yang dapat membunuh 50% dari
populasi jenis binatang yang digunakan untuk pengujian, biasanya dinyatakan
sebagai berat bahan racun dalam milligram, perkilogram berat satu ekor binatang
uji. Jadi semakin besar daya racunnya semakin besar dosis pemakainnya. Pelabelan
pestisida biasanya memuat kata-kata simbol yang tertulis dengan huruf tebal dan
besar yang berfungsi sebagai pemberi informasi. Adapun kategori-kategori yang
terdapat dalam pelabelan pestisida adalah sebagai berikut:
35
1. Kategori I
Kata–kata kuncinya ialah “Berbahaya Racun” dengan simbol tengkorak
dengan gambar tulang bersilang dimuat pada label bagi semua jenis pestisida
yang sangat beracun. Semua jenis pestisida yang tergolong dalam jenis ini
mempunyai LD50 yang aktif dengan kisaran antara 0-50 mg per kg berat
badan.
2. Kategori II
Kata-kata kuncinya adalah “Awas Beracun” digunakan untuk senyawa
pestisida yang mempunyai kelas toksisitas pertengahan, dengan daya racun LD
50 oral yang akut mempunyai kisaran antara 50-500 mg per kg berat badan.
3. Kategori III
Kata-kata kuncinya adalah “Hati-Hati” yang termasuk dalam kategori ini
ialah semua pestisida yang daya racunnya rendah dengan LD 50 akut melalui
mulut berkisar antara 500-5000 mg per kg berat badan
B. Keracunan Pestisida
Terdapat empat macam pekerjaan yang dapat menimbulkan terjadinya
kontaminasi dalam peggunaan pestisida, yaitu :
1. membawa, menyimpan, dan memindahkan konsentrat pestisida (produk
pestisida yang belum diencerkan)
2. Mencampur pestisida sebelum diaplikasikan atau disemprot
3. Mengaplikasikan atau menyemprot pestisida
4. Mencuci alat-alat aplikasi sesudah aplikasi selesai
Dari keempat pekerjaan tersebut, yang paling sering menimbulkan terjadinya
kontaminasi adalah pekerjaan mengaplikasikan terutama pada saat melakukan
36
penyemprotan pestisida. Namun, yang paling berbahaya adalah pekerjaan
mencampur pestisida. Hal tersebut dikarenakan pada saat mencampur pestisida,
kita bekerja dengan konsentrat (pestisida dedngan kadar tinggi), sedangkan pada
saat melakukan penyemprotan, kita bekerja dengan pestisida yang sudah
diencerkan.
Pestisida sendiri dapat masuk kedalam tubuh manusia atau hewan melalui
beberapa cara berikut ini (Depkes RI, 2011):
1. Kontaminasi melalui Kulit (Dermal Contamination)
Pestisida yang menempel dipermukaan kulit dapat meresap kedalam tubuh
serta dapat menimbulkan keracunan. Terjadinya kontaminasi pestisida melalui
kulit merupakan salah satu kontaminasi yang paling sering terjadi. Jenis
pekerjaan yang dapat menimbulkan resiko tinggi akan terjadinya kontaminasi
melalui kulit adalah pada saat penyemprotan dan aplikasi lainnya, termasuk
juga pemaparan langsung oleh droplet drift pestisida atau secara tidak
langsung mengusap wajah dengan tangan, lengan baju, atau sarung tangan
yang terkontaminasi pestisida.
Tingkat bahaya kontaminasi pestisida melalui kulit dapat dipengaruhi
beberapa faktor sebagai berikut:
Toksisitas dermal (dermal LD50) Pestisida yang bersangkutan, berarti
semakin rendah angka LD50 maka akan semakin berbahaya.
Konsentrasi pestisida yang menempel pada kulit, semakin pekat pestisida
yang menempel maka akan semakin berbahaya.
Formulasi pestisida, misalnya, formulasi EC dan ULV akan lebih mudah
diserap kulit daripada formulasi butiran.
37
Jenis atau bagian kulit yang terpapar, pada bagian mata biasanya mudah
sekali meresapkan pestisida. Kulit punggung pada tangan juga lebih mudah
meresapkan pestisida jika dibaningkan dengan kulit telapak tangan.
Luas kulit yang terpapar, dimana semakin lama kulit terpapar, maka akan
semakin besar resikonya.
Lamanya kulit terpapar, dimana semakin lama kulit terpapar, maka akan
semakin besar resikonya.
Kondisi fisik seseorang, semakin lemah kondisi fisik seseorang, maka akan
semakin tinggi resiko mengalami keracunan pestisida.
2. Terhisap melalui Saluran Pernafasan (Inhalation)
Gas dan partikel semprotan yang sangat halus sepeti kabut asap dan fogging
dapat masuk ke dalam paru-paru, sedangkan partikel yang lebih besar akan
menempel pada selaput lendir hidung atau kerongkongan. Bahaya menghirup
pestisida lewat saluran pernafasan juga dipengaruhi oleh LD50 pestisida yang
terhisap, ukuran partikel, dan bentuk fisik pestisida.
Pestisida yang berbentuk gas akan lebih mudah masuk ke dalam paru-paru
dan sangat berbahaya. Partikel atau droplet yang berukurang kurang dari 10
mikron dapat mencapai paru-paru, namun droplet yang berukuran lebih dari 50
mikron tidak dapat mencapai paru-paru tetapi dapat menimbulkan gangguan
pada selaput lendir hidung dan kerongkongan.
Adapun pekerjaan yang dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi
pestisida melalui saluran pernafasan adalah kegiatan menimbang ataupun
mencampur pestisida di ruangan tertutup atau ruangan yang memiliki ventilasi
buruk, kegiatan mengaplikasikan pestisida terutama yang berbentuk gas atau
38
yang menimbulkan gas. Adapun gas beracun yang terhisap dapat ditentukan
oleh:
Konsentrasi gas di dalam ruangan atau di udara.
Lamanya pemaparan.
Kondisi fisik pengguna pestisida.
3. Masuk ke dalam Saluran Pencernaan melalui Mulut (Oral)
Terjadinya keracunan pestisida melalui mulut (oral) sebenarnya jarang
terjadi jika dibandingkan dengan kontaminasi pada kulit. Keracunan pestisida
melalui mulut (oral) biasanya dapat terjadi akibat:
Adanya keinginan bunuh diri dengan cara meminum/memakan pestisida.
Melakukan kegiatan makan, minum, ataupun merokok pada saat sedang
bekerja dengan pestisida.
Drift pestisida terbawa oleh angin sehingga masuk ke dalam mulut.
Makanan dan minuman yang terkontaminasi pestisida, seperti adanya
bahan makanan yang diangkut atau disimpan berdekatan dengan pestisida
yang bocor atau menyimpan makanan dalam bekas wadah atau kemasan
pestisida.
Besar resikonya keracunan pestisida melalui mulut (oral) dapat
dipengaruhi oleh beberapa factor sebagai berikut:
LD50 (oral) dari bahan aktif dan LD50 Produk.
Kuantitas bahan aktif yang tertelan.
Formulasi Pestisida, misalnya tambahan zat lain (solvent, carrier) yang
bersifat racun, atau meningkatkan daya racun.
Kondisi fisik yang bersangkutan.
39
Berdasarkan tingkat bahaya pestisida yang dilakukan oleh WHO, dapat dibagi
menjadi berikut :
Tabel 2.1. Tingkat Bahaya Pestisida oleh WHO
Kelas
LD50 Untuk Tikus (mg/KgBB)
Oral Dermal
padat Cair Padat Cair
IA Sangat berbahaya <50 <20 <10 <10
IB Berbahaya 5-50 20-200 10-100 40-400
II Cukup berbahaya 50-500 200-2000 100-1000 400-4000
III Agak berbahaya >500 >2000 >1000 >4000
Menurut Quijano (1999), tipe keracunan pestisida dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu:
a. Keracunan Akut
Keracunan akut merupakan keracunan yang terjadi atau dapat dirasakan
langsung setelah seseorang melakukan kontak dengan pestisida. Keracunan
akut kebanyakan ditimbulkan oleh bahan-bahan racun yang larut air dan dapat
menimbulkan gejala keracunan tidak lama setelah racun terserap ke dalam
tubuh jasad hidup. Keracunan akut biasanya terjadi karena dosis pestisida yang
digunakan terlalu banyak sehingga tubuh terpapr zat kimia secara berlebihan.
Walaupun semua keracunan akut dapat menyebabkan gejala sakit atau
kematian hanya dalam waktu beberapa saat setelah masuk ke dalam tubuh,
namun sifatnya yang sangat mudah dirombak oleh suhu yang tinggi, pencucian
oleh air hujan dan sungai serta faktor-faktor fisik dan biologis lainnya
40
menyebabkan racun ini tidak memegang peranan penting dalam pencemaran
lingkungan. Keracunan akut dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
Efek Lokal
Efek lokal dapat terjadi jika efek hanya mempengaruhi bagian tubuh
yang mengalami kontak dengan pestisida. Misalnya pestisida mengenai
kulit, maka kulit akan mengalami iritasi, kemerahan, dan bisa menjadi
kering.
Efek Sistemik
Efek Sistemik dapat terjadi apabila pestisida masuk ke dalam tubuh dan
mempengaruhi sistem dalam tubuh. Kemudian pestisida akan di bawa oleh
darah menuju seluruh bagian tubuh dan dapat mempengaruhi mata,
jantung, paru-paru, ginjal, hati, lambung, otot, safat, dan otak.
b. Keracunan Kronis
Keracunan kronis menimbulkan gejala keracunan setelah waktu yang
relatif lama karena kemampuannya menumpuk (akumulasi) dalam lemak yang
terkandung dalam tubuh. Keracunan kronis juga dapat mencemari lingkungan
(air, tanah) dengan cara meninggalkan residu yang sangat sulit untuk dirombak
atau dirubah menjadi zat yang tidak beracun, karena kuatnya ikatan kimianya.
Efek kronis bisa muncul karena tubuh terpapar pestisida dalam dosis yang
sedikit namun dalam jangka waktu yang lama. Efek-efek jangka panjang ini
dapat muncul setelah berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun setelah
terkena pestisida. Pestisida memberikan dampak kronis pada sistem syaraf,
hati, perut, sistem kekebalan tubuh, keseimbangan hormon, kanker
41
Setiap golongan pestisida memiliki gejala keracunan yang berbeda-beda
dikarenakan bahan aktif yang dikantung setiap golongan berbeda-beda. Adapun
gejala-gejala keracunan bebrapa golongan pestisida adalah sebagai berikut:
1. Golongan Organosfosfat
Gejala keracunannya adalah timbul gerakan otot-otot tertentu, penglihatan
kabur, mata berair, mulut berbusa, banyak berkeringat, air liur banyak keluar,
mual, pusing, kejang-kejang, muntah-muntah, detak jantung menjadi cepat,
mencret, sesak nafas, otot tidak bisa digerakkan dan akhirnya pingsan. Apabila
tidak segera ditangani maka dapat menyebabkan kematian. Organofosfat
menghambat kerja enzim cholineterase, enzim ini secara normal
menghidrolisis achethilcholin menjadi asam asetat dan cholin. Pada saat enzim
dihambat, mengakibatkan jumlah achethilcholin meningkat dan terakumulasi
Keadaan tersebut akan menyebabkan gangguan sistem syaraf yang berupa
aktifitas kholinergik secara terus menerus akibat asetilkolin yang tidak
dihidrolisis.
2. Golongan Karbamat
Cara kerja senyawa golongan ini menyerupai golongan organosfosfat.
Dikarenakan senyawa karbamat cepat terurai maka pengaruhnya terhadap
enzim cholinesterase menjadi tidak beraturan. Senyawa golongan ini dapat
masuk melalui kulit, mulut, dan juga saluran pernafasan. Gejala keracunan
yang ditimbulkan oleh senyawa ini juga tidak berbeda dengan senyawa
golongan organofosfat.
3. Golongan Organoklorin
Tanda-tanda keracunan senyawa organoklorin pada dosis rendah yaitu
pusing-pusing, mual, sakit kepala, serta tidak dapat berkonsentrasi secara
42
sempurna. Sedangkan tanda-tanda keracunan senyawa organoklorin pada dosis
yang tinggi dapat menyebabkan kejang-kejang, muntah, dan dapat terjadi
gangguan pada pernafasan.
4. Golongan Bipiridilium
Setelah 1-3 jam pestisida masuk dalam tubuh baru timbul sakit perut, mual,
muntah-muntah, dan diare. Senyawa ini dapat menyebabkan kerusakan pada
ginjal, hati, dan paru-paru. Jika secara tidak sengaja terminum dosis yang
tinggi, maka dapat menyebabkan kejang-kejang dan meninggal.
5. Golongan Arsen
Golongan arsen dapat menyebabkan keracunan apabila terhisap. Daya
kerjanya ialah meracuni sel-sel serta mempengaruhi fungsi enzim tertentu dan
memperlambat fungsi tubuh. Gejala keracunan arsen pada tingkat akut akan
menimbulkan rasa nyeri pada perut, muntah, dan diare, sementara keracunan
semi akut ditandai dengan sakit kepala dan banyak keluar air ludah.
6. Golongan Antikoagulan
Gejala yang ditimbulkan apabila keracunan pestisida golongan
antikoagulan ialah nyeri punggung, lambung dan usus, muntah-muntah,
perdarahan hidung dan gusi, kulit berbintik-bintik merah, kerusakan ginjal.
2.1.7 Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Keracunan
1. Faktor dalam tubuh (Internal) antara lain :
a. Umur
Umur merupakan fenomena alam, semakin lama seseorang hidup maka
umurpun akan bertambah. Seiring dengan bertambahnya umur maka fungsi
metabolisme tubuh juga akan mengalami menurun. Semakin bertambah
umur maka rata-rata aktivitas cholinesterase darah semakin rendah, sehingga
43
akan mempermudah terjadinya keracunan pestisida. Umur juga berkaitan
dengan kekebalan tubuh dalam mengatasi tingkat toksisitas suatu zat,
semakin bertambahnya umur seseorang maka efektifitas sistem kekebalan di
dalam tubuh akan semakin berkurang.
b. Status gizi
Buruknya keadaan gizi seseorang dapat mengakibatkan turunnya daya
tahan tubuh dan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi. Enzim
cholinesterase terbentuk dari protein, dengan kondisi gizi yang buruk,
mengakibatkan protein yang ada dalam tubuh sangat terbatas sehingga
pembentukan enzim cholinesterase akan terganggu. Sehingga orang yang
memiliki tingkat status gizi baik cenderung memiliki kadar rata-rata
cholinesterase lebih besar.
c. Status Kesehatan
Achethilcholin berperan sebagai neurotransmiter pada ganglion
simpatis maupun parasimpatis, dimana achethilcholin akan berikatan dengan
reseptor kolinergik nikotinik. Inhibisi cholinesterase pada ganglion simpatis
akan meningkatkan rangsangan simpatis dengan manifestasi klinis midriasis,
dan peningkatan heart rate. Meningkatnya detak jantung akan
mengakibatkan peningkatan curah jantung. Curah Jantung yang meningkat
ini bersama sama dengan tekanan perifer akan mempengaruhi peningkatan
tekanan darah.
d. Jenis kelamin
Kadar cholin bebas dalam plasma darah laki-laki normal rata-rata
4,4ug/ml. Jenis kelamin sangat mempengaruhi aktivitas enzim
cholinesterase, jenis kelamin laki-laki memiliki aktivitas enzim
44
cholinesterase lebih rendah dibandingkan jenis kelamin perempuan,
meskipun demikian tidak dianjurkan perempuan menyemprot dengan
menggunakan pestisida, karena pada saat kehamilan kadar rata-rata
cholinesterase cenderung turun.
e. Tingkat pendidikan
Pendidikan formal yang diperoleh seseorang akan memberikan tambahan
pengetahuan bagi individu tersebut, dengan tingkat pendidikan yang lebih
tinggi diharapkan pengetahuan tentang pestisida dan bahayanya juga lebih
baik jika dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang rendah, sehingga
dalam pengelolaan pestisida, tingkat pendidikan tinggi akan lebih baik.
2. Faktor di luar tubuh (eksternal)
a. Dosis
Semua jenis pestisida merupakan racun, penggunaan dosis yang semakin
besar maka semakin besar terjadinya keracunan pestisida. Karena bila dosis
penggunaan pestisida bertambah, maka efek dari pestisida juga akan
bertambah. Peenggunaan dosis yang tidak sesuai mempunyai risiko 4 kali
untuk terjadi keracunan dibandingkan penyemprotan yang dilakukan sesuai
dengan dosis aturan (Afriyanto, 2008).
b. Lama kerja
Semakin lama bekerja sebagai petani maka semakin sering kontak
dengan pestisida sehingga risiko terjadinya keracunan pestisida semakin
tinggi. Penurunan aktivitas cholinesterase dalam plasma darah karena
keracunan pestisida akan berlangsung mulai seseorang terpapar hingga 2
minggu setelah melakukan penyemprotan.
45
c. Jenis Pestisida
Penggunaan jenis pestisida dapat mengakibatkan dikarenakan, konsumen
menggunakan pestisida yang mempunyai sifat anti cholinesterase
mengakibatkan pengikatan cholinesterase sehingga meningkatkan.
d. Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD)
Pestisida masuk ke dalam tubuh dapat melalui berbagai cara, antara lain
melalui pernafasan atau penetrasi kulit. Oleh karena itu cara-cara yang paling
baik untuk mencegah terjadinya keracunan adalah memberikan perlindungan
pada bagian-bagian tersebut. Peralatan untuk melindungi bagian tubuh dari
pemaparan pestisida pada saat melakukan penyemprotan disebut alat
pelindung diri, atau biasa juga disebut alat proteksi. Adapun jenis-jenis alat
pelindung diri adalah alat pelindung kepala, alat pelindung mata, alat
pelindung pernafasan, pakaian pelindung, alat pelindung untuk tangan, dan
alat pelindung kaki.
2.2 Enzim Cholinesterase
2.2.1 Pengertian Enzim Cholinesterase
Cholinesterase adalah suatu enzim yang terdapat pada cairan seluller, yang
fungsinya menghentikan aksi dari pada achethilcholin dengan jalan menghidrolisa
menjadi cholin dan asam asetat. Achethilcholin (AchE) adalah penghantar saraf yang
berada pada seluruh sistem saraf pusat (SSP), saraf otonom (simpatik dan
parasimpatik), dan sistem saraf somatik. Achethilcholin berperan sebagai jembatan
penyeberangan bagi mengalirnya getaran syaraf. Melalui sistem syaraf inilah organ-
organ di dalam tubuh menerima informasi untuk mempergiat atau mengurangi
efektifitas sel. Pada sistem syaraf, stimulan yang diterima dijalankan melalui serabut-
46
serabut syaraf (akson) dalam betuk impuls. Setelah masuk dalam tubuh, pestisida
golongan organofosfat dan karbamat akan mengikat enzim cholinesterase, sehingga
cholinesterase menjadi tidak aktif dan terjadi akumulasi achethilcholin. Keadaan
tersebut akan menyebabkan gangguan sistem syaraf yang berupa aktifitas kholinergik
secara terus menerus akibat achethilcholin yang tidak dihidrolisis. Gangguan ini
selanjutnya dikenal sebagai tanda-tanda atau gejala keracunan hal ini tidak hanya
terjadi pada ujung syaraf tetapi juga dalam serabut syaraf.
Gambar 2.1. Aktivitas Enzim Cholinesterase
Aktivitas cholinesterase dalam darah seseorang dinyatakan dalam persentase
dari aktivitas cholinesterase dalam darah normal. Standar dari aktivitas cholinesterase
dalam darah adalah sebagai berikut (Depkes RI, 1992):
1. 75% - 100% (Normal)
Pada tahap ini seseorang masih dianggap normal dan tidak perlu ada
tindakan apa-apa. Namun perlu diuji ulang dalam waktu dekat.
2. 50% - 75% (Keracunan Ringan)
Pada tahap ini seseorang sudah dianggap keracunan ringan. Jika
penderita dalam keadaan lemah, disarankan untuk beristirahat dan tidak
melakukan kontak dengan pestisida selama 2 minggu. Kemudian perlu diuji
ulang sampai kadar cholinesterasenya normal.
47
3. 25% - 50% (Keracunan Sedang)
Pada tahap ini seseorang dianggap mengalami keracunan sedang (over
exposure yang sangat serius). Penderita harus beristirahat dan tidak boleh
melakukan kontak dengan pestisida. Penderita perlu melakukan pengujian
ulang untuk mengukur aktivitas enzim cholinesterasenya. Jika aktivitas enzim
cholinesterasenya masih belum membaik maka perlu dilakukan tindakan
medis.
4. 0% - 25% (Keracunan Berat)
Pada tahap ini seseorang dianggap mengalami keracunan berat (over
exposure yang sangat serius dan berbahaya). Perlu dilakukan pengujian ulang
dan jauhkan dari semua pekerjaan yang berhubungan dengan pestisida. Selain
itu penderita juga perlu memeriksakan diri ke dokter untuk segera diambil
tindakan medis.
Tabel 2.2. Aktivitas Enzim Cholinesterase
Aktivitas Enzim Cholinesterase (%) Kategori
>75 – 100 Normal
>50 – 75 Keracunan Ringan
>25 – 50 Keracunan Sedang
0 - 25 Keracunan Berat
2.2.2 Mekanisme Kerja Organosfosfat dan Karbamat dalam Tubuh
Pestisida golongan organosfosfat merupakan jenis pestisida yang sering
digunakan, terutama pada petani sayuran. Selain itu, jenis pestisida organosfosfat juga
merupakan pestisida yang paling beracun jika dibandingkan dengan pestisida
golongan lainnya. Apabila pestisida golongan ini masuk ke dalam tubuh maka akan
48
menghambat aksi pseudocholinesterase dalam plasma dan enzim cholinesterase
dalam sel darah merah. Cholinesterase merupakan enzim yang berfungsi untuk
menghidrolisis acetylcholine menjadi asam asetat dan choline. Reaksi antara
organofosfat dan cholinesterase disebut fosforilase dengan menghasilkan senyawa
“Phosphorylated Cholinesterase” pengikatan antara organofosfat dan cholinesterase
bersifat irreversible. Hal ini merupakan sebab-sebab mengapa organofosfat sangat
berbahaya.
Oleh karena phosphorylated, enzim ini tidak mampu lagi menghidrolisir
asethilcholin, mengakibatkan achethilcholin tetap dapat kesempatan tinggal dan
tertimbun pada tempat-tempat reseptor, selain itu achethilcholin akan meningkat dan
berikatan dengan reseptor dan nikotinik pada sistem saraf pusat dan perifer. Hal ini
mengakibatkan impuls saraf mengalir terus menerus menyebabkan suatu twitching
yaitu bergeraknya serat-serat otot secara sadar dengan gerakan halus maupun kasar,
mengeluarkan air mata, pernafasan terhambat dan lemah yang akhirnya mengarah
pada kelumpuhan, tumor pada saat otot-otot sistem pernafasan tidak berfungsi yang
menyebabkan terjadinya kematian (Depkes RI, 1992).
Gejala keracunan yang ditimbulkan oleh organofosfat adalah munculnya
gerakan otot-otot tertentu, penglihatan kabur, mata berair, mulut berbusa, banyak
berkeringat, air liur banyak keluar, mual, pusing, kejang-kejang, muntah-muntah,
detak jantung menjadi cepat, mencret, sesak nafas, otot tidak bisa digerakkan dan
akhirnya pingsan. Organofosfat dapat terurai di lingkungan dalam waktu ± 2 minggu.
Pestisida yang termasuk ke dalam golongan organofosfat antara lain
Azinophosmethyl, Chloryfos, Demeton Methyl, Dichlorovos, Dimethoat, Disulfoton,
Ethion, Palathion, Malathion, Parathion, Diazinon, dan Chlorpyrifos.
49
Pestisida golongan karbamat memiliki sifat yang sama dengan golongan
organofosfat yaitu sebagai penghambat kerja enzim cholinesterase. Reaksi pengikat
antara enzim cholinesterase dangan karbamat disebut dengan karbamilasi. Hal ini
menimbulkan akumulasi dari achethilcholin pada sambungan cholinergic
neuroeffector dan pada sambungan skeletal muscle myoncural dan di dalam autonomic
ganglion. Jika pada golongan organofosfat hambatan tersebut bersifat irreversible
(tidak dapat dipulihkan), pada karbamat hambatan tersebut bersifat reversible (dapat
dipulihkan). Pestisida dari golongan karbamat relatif mudah diurai di lingkungan
(tidak persisten) dan tidak terakumulasi oleh jaringan lemak hewan.
Gejala keracunan yang ditimbulkan oleh pestisida golongan ini hampir sama dengan
golongan organosfosfat hanya saja berlangsung lebih singkat karena cepat terurai
dalam tubuh. Selain itu efek dari keracunan karbamat biasanya reversible (dapat pulih)
dan durasinya singkat. Selain itu golongan karbamat juga memiliki residu yang tidak
dapat betahan lama di alam. Contoh dari pestisida golongan karbamat adalah Baygon,
Bayrusil, Karbaril, Karbofuran, dan Tiodikarb.