BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · 1.1.3 Formulasi Pestisida Pada umumnya...

42
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pestisida 2.1.1 Sejarah Pestisida Pada dasarnya pestisida sudah lama digunakan oleh nenek moyang kita zaman dahulu. Tepatnya sekitar 4.500 tahun yang lalu atau 2.500 SM, dimana asap sulfur digunakan untuk mengendalikan tungau di Sumeria (Zulkarnain, 2010). Kemudian pada tahun 1960, digunakannya ekstrak daun tembakau sebagai insektisida. Pada tahun 1900, senyawa untuk memberantas gulma dan serangga secara organik pertama kali dibuat. Pada tanun 1883, Millardet menemukan bubur Bordeaux yang merupakan campuran kapur dengan terusi sebagai bahan pembasmi jasad pengganggu mikro. Selain itu pada abad ke-19, ditemukannya dua jenis pestisida alami dimana piretrum yang diekstrak dari chrysanthemum dan retenon yang diekstrak dari akar tuba Derris eliptica (Sastroutomo, 1992). Pada tahun 1874, Othmar Zeidler telah mensintesis DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane) untuk pertama kalinya. Namun, fungsi DDT sebagai pestisida khususnya untuk membunuh serangga baru ditemukan oleh seorang ahli kimia yang berasal dari Swiss, Paul Hermann Muller pada tahun 1939. Berkat penemuan tersebut, Paul mendapatkan nobel dalam bidang Physiology atau Medicini pada tahun 1948. Kemudian pada tahun 1940an pestisida sintetik mulai diproduksi dalam jumlah besar dan diaplikasikan secara luas (Weir, 1998 dalam Zulkarnain, 2010). Setelah berakhirnya perang dunia kedua, banyak senyawa pestisida oganik yang dibuat untuk berbagai macam kebutuhan. Senyawa hidrokarbon berklorin juga

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · 1.1.3 Formulasi Pestisida Pada umumnya...

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pestisida

2.1.1 Sejarah Pestisida

Pada dasarnya pestisida sudah lama digunakan oleh nenek moyang kita zaman

dahulu. Tepatnya sekitar 4.500 tahun yang lalu atau 2.500 SM, dimana asap sulfur

digunakan untuk mengendalikan tungau di Sumeria (Zulkarnain, 2010). Kemudian

pada tahun 1960, digunakannya ekstrak daun tembakau sebagai insektisida. Pada tahun

1900, senyawa untuk memberantas gulma dan serangga secara organik pertama kali

dibuat. Pada tanun 1883, Millardet menemukan bubur Bordeaux yang merupakan

campuran kapur dengan terusi sebagai bahan pembasmi jasad pengganggu mikro.

Selain itu pada abad ke-19, ditemukannya dua jenis pestisida alami dimana piretrum

yang diekstrak dari chrysanthemum dan retenon yang diekstrak dari akar tuba Derris

eliptica (Sastroutomo, 1992).

Pada tahun 1874, Othmar Zeidler telah mensintesis DDT (Dichloro Diphenyl

Trichloroethane) untuk pertama kalinya. Namun, fungsi DDT sebagai pestisida

khususnya untuk membunuh serangga baru ditemukan oleh seorang ahli kimia yang

berasal dari Swiss, Paul Hermann Muller pada tahun 1939. Berkat penemuan tersebut,

Paul mendapatkan nobel dalam bidang Physiology atau Medicini pada tahun 1948.

Kemudian pada tahun 1940an pestisida sintetik mulai diproduksi dalam jumlah besar

dan diaplikasikan secara luas (Weir, 1998 dalam Zulkarnain, 2010).

Setelah berakhirnya perang dunia kedua, banyak senyawa pestisida oganik

yang dibuat untuk berbagai macam kebutuhan. Senyawa hidrokarbon berklorin juga

9

mulai dihasilkan. Sampai saat ini, telah terdapat hampir 1000 jenis bahan aktif

pestisida yang telah dibuat dengan 4000 jenis nama dagang beredar di seluruh dunia.

(Sastroutomo, 1992). Penggunaan pestisida juga mengalami peningkatan setiap

tahunnya. Sampai saat ini sekitar 2,5 juta ton pestisida digunakan setiap tahunnya.

Dimana 75% negara yang menggunakan pestisida adalah negara-negara yang sedang

berkembang (Sudarmo, 1987 dama Zulkarnain, 2010).

Di Indonesia, kebutuhan pestisida meningkat dari tahun ketahun. Hal ini

terlihat dari semakin banyaknya bahan aktif yang beredar dipasaran. Pada tahun 1982,

terdapat 286 jenis nama dagang yang beredar di pasaran dengan 41 perusahaan

terdaftar. Jumlahnya meningkat pada tahun 1989 yaitu menjadi 570 nama dagang

dengan 65 perusahaan terdaftar. Selain itu, jumlah bahan aktif yang terdaftar juga

mengalami peningkatan mulai dari 199 bahan aktif yang terdaftar pada tahun 1982

meningkat menjadi 273 bahan aktif yang terdaftar pada tahun 1989 (Sastroutomo,

1992).

2.1.2 Pengertian Pestisida

Pestisida (Inggris : Pesticide) berasal dari kata pest yang berarti organisme

pengganggu tanaman (hama) dan cide yang berarti mematikan atau racun. Jadi

pestisida adalah racun yang digunakan untuk membunuh hama. Menurut USEPA

(United States Environmental Protection Agency), pestisida merupakan zat atau

campuran yang digunakan unuk mencegah, memusnahkan, menolak, atau memusuhi

hama dalam bentuk hewan, tanaman dan mikroorganisme pengganggu (Soemirat,

2003 dalam Zulkanain, 2010). Berdasarkan SK Menteri Pertanian RI NO.

24/Permentan/SR.140/4/2011 tentang syarat dan tatacara pendaftaran pestisida

menyatakan pestisida merupakan semua zat kimia dan bahan lain serta zat renik dan

virus yang dipergunakan untuk:

10

1. Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit yang merusak tanaman,

bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian;

2. Memberantas rerumputan;

3. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan;

4. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman

tidak termasuk pupuk;

5. Memeberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan piaraan dan

ternak;

6. Memberantas atau mencegah hama-hama air;

7. Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam

rumah tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan; dan/atau

8. Memberantas atau mencegah biatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit

pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada

tanaman, tanah atau air.

Sampai saat ini diperkirakan terdapat lebih dari 80.000-100.000 hama dan

penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus, bakteri, organisme yang menyerupai

mikoplasma, riketsia, jamur patogen, gang-gang, dan tumbuhan parasit tingkat tinggi.

Diperkirakan terdapat 30.000 jenis gulma yang tersebar secara merata dengan 1.800

jenis gulma yang dapat menurunkan hasil panen secara serius, terdapat 3.000 jenis

nematoda yang menyerang tanaman dengan 1.000 jenis nematoda yang dapat

menimbulkan kerusakan, dan terdapat lebih dari 800.000 serangga dengan 10.000 jenis

serangga dapat menyebabkan kerusakan berat pada tanaman (Sastroutomo, 1992).

Pestisida secara luas digunakan untuk memberantas hama dan penyakit dalam bidang

pertanian. Selain itu pestisida juga digunakan dirumah tangga untuk membasmi

nyamuk, lalat, kepinding, kecoa dan berbagai serangga pengganggu lainnya. Meskipun

11

pengunaan pestisida sangat menguntungkan, penggunaannya yang berlebihan dan

terus-menerus dapat menimbulkan efek yang bersifat negatif baik pada penggunanya,

hewan-hewan ataupun lingkungan sekitar.

1.1.3 Formulasi Pestisida

Pada umumnya pestisida yang diperdagangkan bukanlah merupakan bentuk

murni dari pestisida tersebut melainkan diproses terlebih dahulu oleh pabrik sebelum

dapat digunakan atau diedarkan secara luas. Pembuatan pestisida akan memproses

senyawa-senyawa murni dengan cara mencampurkan bahan pengemulsi, bahan

pelarut, atau bahan pembasah tertentu. Proses inilah yang disebut dengan formulasi.

Suatu jenis pestisida dapat diperoleh dalam beberapa bentuk formulasi yang berbeda,

berikut adalah beberapa jenis formulasi pestisida yang umum digunakan dan

diperdagangkan (Sastroutomo, 1992):

1. Emulsi Pekat (Emulsifiable Concentrate)

Bahan ini merupakan formulasi cairan yang bahan aktifnya dapat larut dalam

pelarut yang tidak larut dalam air seperti minyak. Oleh karena itu, jika formulasi

ini dicampurkan dengan air maka akan membentuk emulsi pekat. Sehingga untuk

mengurangi emulsi, maka dicampurkan zat penahan emulsi. Selain

ditambahkannya zat penahan emulsi, pencampuran dosis yang sesuai dapat

mengurangi terjadinya emulsi. Kestabilan emulsi sangat dipengaruhi oleh pH air

dan kondisi penyimpanan.

Formulasi emulsi pekat dapat diperoleh dalam dua jenis yaitu cairan dengan

kepekatan rendah (1-10% bahan aktif) dan cairan dengan kepekatan tinggi (10-

80% bahan aktif). Cairan dengan tingkat kepekatan yang rendah dapat digunakan

untuk mengendalikan serangga yang terbang atau merayap. Sedangkan cairan

12

dengan tingkat kepekatan yang tinggi dapat digunakan pada sayur-sayuran atau

hewan ternak.

2. Serbuk Basah (Wettable Powders)

Serbuk basah merupakan formulasi pestisida yang kering dengan kandungan

bahan aktif yang cukup tinggi. Apabila formulasi ini dicampurkan dengan air,

maka akan terbentuk dua lapisan yang terpisah dimana bagian serbuknya akan

berada di bagian atas. Untuk menghindarai hal ini, formulasi dicampurkan dengan

bahan pembasah (wetting agent), karena tanpa adanya bahan ini serbuk tidak akan

dapat bercampur dengan air. Pada umumnya, formulasi serbuk basah mengandung

50-75% tanah liat atu bedak sehingga formulasi ini dapat cepat tenggelam ketika

dicampur air dan mengendap di bagian bawah tangki penyemprot. Sehingga

apabila akan digunakan harus diaduk terlebih dahulu.

Pestisida dalam formulasi ini sering digunakan untuk mengendalikan jenis

jasad pengganggu. Jika dibandingkan dengan formulasi emulsi pekat, serbuk basah

memeiliki harga yang relatif murah, mudah disimpan dan diangkut, serta lebih

amna bagai pemaikai. Namun, formulasi ini dapat dengan cepat terhidup/terhisap

oleh pemakai sehingga dianjurkan pemakai untuk menggunakan penutup hidung

atau alat keselamatan lainnya.

3. Serbuk Larut Air (Water Soluble Powders)

Sama halnya dengan formulasi serbuk basah, formulasi ini merupakan

formulasi kering. Perbedaannya adalah formulasi ini dapat membentuk larutan jika

dicampur dengan air. Formulasi ini biasanya mengandung 50% bahan aktif.

Biasanya diperlukan bahan pembasah atau bahan perata jika digunakan untuk

menyemprot tanaman yang mempunyai permukaan batang atau daun yang licin

dan berbulu.

13

4. Suspensi

Terdapat jenis-jenis pestisida yang dapat terlarut dalam air atau pelarutan

minyak. Selain itu ada beberapa jenis pestisisda yang hanya larut pada jenis-jenis

pelarut orgaik yang sulit untuk diperoleh sehingga formulasinya mahal dan sulit

diperdagangkan. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka bahan murninya harus

dicampur terlebih dahulu dengan serbuk tertentu dan sedikit air sehingga terbentuk

campuran pestisida dengan serbuk halus yang basah. Campuran ini dapat

bercampur dengan rata jika larutan dalam air sebelum disemprotkan. Komposisi

inilah yang dikelan dengan suspensi.

5. Debu

Debu merupakan formulasi pestisida yang paling sederhana untuk dipakai,

debu merupakan formulasi kering yang mengandung konsentrasi bahan aktif yang

sangat rendah yaitu berkisar 1-10%. Bahan murninya dicampurkan dengan bahan

liat kemudian dihancurkan menjadi halus seperti debu. Formulasi ini biasanya

digunakan dalam bentuk kering tanpa perlu dicampur dengan air atau zat pelarut

lainnya. Pestisida jenis ini sangat mudah utuk digunakan dikawasan yang sempit.

Debu pestisida mudah melekat pada daun yang basah, oleh karena itu sering

digunakan pada waktu masih pagi.

Dikarenkana ukurannya yang sangat kecil, sehingga formulasi ini bisa dengan

mudah diterbangkan oleh angin ke tempat lain yang bukan sasarannya. Hal inilah

yang menyebabkan formulasi ini tidak tepat digunakan di daerah yang terbuka dan

luas.

6. Butiran (Granules)

Formulasi ini menyerupai debu tetapi dengan ukuran yang besar dan dapat

digunakan langsung tanpa cairan atau dicampur dengan bahan pelarut. Bahan aktif

14

dari formulasi ini pada mulanya berbentuk cair tetapi setelah dicampur dengan

butiran, bahan aktifnya akan menyerap atau melekat pada butiran. Jumlah bahan

aktif yang terdapat pada formulasi ini biasanya berkisar antara 2-45%.

Bentuk butiran biasanya digunakan ke tanah untuk membasmi jasad-jasad

pengganggu yang terdapat di permukaan atau di dalam tanah. Dapat juga

digunakan dengan menaburkannya ke seluruh tanaman. Terdapat beberapa jenis

insektisida dan herbisida yang berbentuk butiran.

7. Aerosol

Penyemprotan nyamuk, penyemprotan wangi-wangian, penyemprot rambut

dan lain sebagainya merupakan beberapa contoh aerosol yang sering kita gunakan.

Insektisida semprot telah banyak dikembangkan sejak Perang Dunia II. Jenis

insektisida tersebut hanya efektif terhadap serangga yang terbang atau merayap

dengan pengaruh residu yang sangat rendah. Bahan aktifnya mudah larut dan

menguap dengan ukuran butiran kurang dari 10µm sehingga mudah terhisap

manusia pada saat bernafas, oleh karena itu pada waktu melakukan penyemprotan

sebaiknya nafas ditahan.

8. Umpan

Umpan merupakan makanan atau bahan-bahan tertentu yang telah dicampur

dengan racun. Bahan ini menjadi daya penarik jasad pengganggu sasaran. Umpan

dapat digunakan di rumah, kantor, kebun ataupun sawah dan bisa digunakan pada

tikus, lalat, burung ataupun siput.

Pestisida dengan formulasi ini sangat mudah untuk digunakan karena kita

hanya perlu meletakkannya di tempat-tempat tertentu yang strategis. Jumlah bahan

aktif racun di dalam umpan sangat rendah sehingga tidak menimbulkan pengaruh

apa-apa terhadap lingkungan.

15

9. Gas

Fumigan merupakan formulasi dalam bentuk gas atau cairan yang mudah

menguap. Gas ini dapat menyerap dikulit. Fumigan sering digunakan untuk

mengendalikan hama-hama gudang, hama-hama, dan jamur patogen yang berada

di dalam tanah.

Fumigan dapat memberikan pengaruh yang total terhadap segala jenis jasad

pengganggu termasuk biji-biji gulma di dalam tanah. Gas-gas yang digunakan

dalam fumigasi dangat beracun terhadap manusia.

2.1.4 Klasifikasi Pestisida

Pestisida dapat dibedakan berdasarkan target sasarannya, cara kerja dan

struktur kimia.

A. Berdasarkan kegunaan dan asal katanya, menurut Sastrotomo (1992) pestisida

dapat diklasifikasikan menjadi:

1. Akarisida

Akarisida atau yang sering kita kenal dengan mitisida berasal dari kata

akari yang berarti kutu atau tungau, mengandung senyawa kimia beracun

yang digunakan untuk membunuh kutu, tungau, atau laba-laba.

2. Algisida

Algisida berasal dari kata alga yang berarti ganggang, mengandung

senyawa kimia yang biasanya digunakan untuk membunuh ganggang.

3. Avisida

Avisida berasal dari kata avis yang berarti burung. Senyawa avisida

biasanya digunakan untuk membunuh atau mengenyahkan burung.

16

4. Bakterisida

Bakterisida berasal dari kata bacterium yang berarti jasat renik.

Bakterisida mengandung senyawa kimia beracun yang dapat digunakan

untuk membunuh bakteri.

5. Fungisida

Fungisida berasal dari kata fungus yang berarti jamur yang

mengandung senyawa kimia beracun dan bisa digunakan ntuk membunuh

atau mencegah jamur.

6. Herbisida

Herbisida berasal dari kata herba yang memiliki arti tumbuhan

semusim. Herbisida mengandung senyawa beracun yang dapat

dimanfaatkan untuk membunuh tumbuhan pengganggu yang sering disebut

dengan gulma.

7. Isektisida

Insektisida berasal dari kata insectum yang memiliki arti hewan

berkuku. Insektisida merupakan suatu bahan yang mengandung senyawa

kimia beracun yang dapat membunuh segala jenis serangga.

8. Larvisida

Larvasida berasal dari kata lar yang berarti topeng atau hantu.

Larvasida merupakan suatu senyawa kimia yang biasanya digunakan untuk

membunuh larva.

9. Moluskisida

Moluskisida berasal dari kata molluscus yang berarti tulang kerang

lunak atau berkulit tipis. Moluskisida merupakan senyawa kimia yang

17

dapat digunakan untuk membunuh bekicot, kerang atau hewan bertulang

lunak lainnya.

10. Nematisida

Nematisida berasal dari kata nematode yang memiliki arti benang.

Nematisida merupakan racun yang dapat digunakan untuk mengendalikan

hewan dengan jenis nematode seperti cacing.

11. Ovisida

Ovisida berasal dari kata ovum yang berarti telur. Ovisida merupakan

racun yang dapat digunakan untuk membunuh telur.

12. Piscisida

Piscisida berasal dari kata piscis yang memiliki arti ikan. Piscisida

merupakan bahan senyawa kimia beracun yang digunakan untuk

mengandalikan ikan mujair yang biasanya menjadi hama di dalam tambak

atau kolam.

13. Predisida

Predisida berasal dari kata praeda yang berarti predator. Predisida

sendiri merupakan senyawa kimia beracun yang biasanya digunakan untuk

membuhun hewan predator atau pemangsa seperti ular.

14. Rodentisida

Rodentisida berasal dari kata roden yang berarti hewan penggerat.

Rodentisida merupakan racun kimia yang dapat digunakan untuk

membunuh hewan-hewan pengegerat seperti tikus.

18

15. Silvisida

Silvisida berasal dari kata silva yang berarti hutan. Silvisida adalah

bahan racun kimia yang biasanya digunakan untuk membunuh pohon liar

yang terdapat di hutan.

16. Termitisida

Termitisida berasal dari kata termes yang memiliki arti acing perusak

kayu. Termitisida merupakan senyawa kimia berbahaya yang biasanya

digunakan untuk membunuh rayap.

17. Atraktans

Antraktans merupakan suatu senyawa kimia yang dapat digunakan

untuk memikat serangga.

18. Khemosterilan

Khemosterilan merupakan senyawa kimia yang digunakan untuk

membuat serangga, burung atau hewan pengerat lainnya menjadi mandul.

19. Defolian

Defolian adalah senyawa kimia yang digunakan sebagai peluruh daun.

20. Desikan

Desikan adalah senyawa kimia yang dapt digunakan untuk

mempercepat pengeringan pada tumbuhan.

21. Feromon

Sama halnya seperti atraktans, feromon juga merupakan senyawa yang

dapat digunakan untuk memikat serangga atau hewan vertebrata.

22. Repelan

Repelan merupakan senyawa kimia yang digunakan untuk

mengenyahkan serangga, kutu, tungau, anjing dan lainnya.

19

B. Jika dilihat dari cara kerjanya, pestisida dapat digolongkan menjadi berikut

(Djojosumarto, 2000):

1. Insektisida

Menurut cara kerja atau gerakannya pada tanaman setelah digunakan,

insektisida secara kasar dapat dibedakan menjadi:

a. Insektisida Sistemik

Insektisida sistemik diserap oleh organ-organ tanaman baik melalui

akar, batang ataupun daun. Kemudian insektisida sistemik tersebut akan

mengikuti gerakan cairan tanaman dan ditransportasikan ke tanaman-

tanaman lainnya baik ke atas ataupun ke bawah, termasuk juga ke tunas

yang baru tumbuh. Contoh insektisida sismetik adalah Furatiokarb,

Fosfamidon, Isolan, Karbofuran, dan Monokrotofos.

b. Insektisida Nonsistemik

Insektisida nonsistemik setelah digunakan pada tanaman maka tidak

akan diserap oleh jaringan tanaman, namun hanya menempel pada bagian

luar tanaman saja. Sebagian besar insektisida yang dijual dipasaran

Indonesia adalah insektisida nonsistemik. Contohnya adalah Dioksikarb,

Diazinon, Diklorvos, Profenofos, dan Quinalfos.

c. Insektisida Sistemik Lokal

Insektisida sistemik lokal merupakan kelompok insektisida yan dapat

diserap oleh tanaman umumnya bagian daun, namun tidak dapat disalurkan

ke bagian tanaman lainnya. Insektisida yang berdaya kerja translaminar

atau insektisida yang mempunyai daya penetrasi ke dalam jaringan

merupakan kategori dari insektisida sistemik lokal. Contohnya adalah

Dimetan, Furatiokarb, Pyrolan, dan Profenofos.

20

Menurut cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga sasaran dapat

dibedakan menjadi tiga kelompok sebagai berikut:

a. Racun lambung (Racun Perut, Stomach Poison)

Racun lambung merupakan insektisida yang dapat membunuh serangga

yang menjadi sasaran apabila insektisida tersebut masuk ke dalam organ

pencernaan serangga dan diserap oleh dinding saluran pencernaan.

Kemudian insektisida tersebut akan dibawa oleh cairan tubuh serangga

menuju susunan saraf serangga. Insektisida yang sering disebut sebagai

racun perut adalah Bacillus thuringiensis.

b. Racun Kontak

Racun kontak adalah insektisida yang masuk ke dalam tubuh serangga

lewat kulit. Serangga hama dapat mati apabila bersinggungan langsung

dengan insektisida tersebut. Beberapa racun kontak juga dapat berperan

sebagai racun perut. Beberapa insektisida yang memiliki sifat yang kuat

terhadap racun kontak antara lain Diklorfos dan Pirimifos metil.

c. Racun Pernafasan

Racun pernafasan adalah insektisida yang bekerja lewat saluran

pernafasan. Serangga hama akan mati apabila menghirup insektisida dalam

jumlah yang cukup. Sebagian besar racun pernafasan berupa gas, atau

apabila wujud asalnya padat atau cair yang dapat berubah atau

menghasilkan gas apabila diaplikasikan sebagai fumigansi (gas) seperti

Bromide dan Alumunium fosfida. Terdapat juga insektisida berupa racun

kontak ataupun racun perut yang memiliki efek sebagai fumigansi seperti

Diafentiuron.

21

2. Fungisida

Pestisida yang digunakan untuk membunuh jamur menurut efeknya

terhadap jamur dapat dibedakan menjadi dua macam. Yang pertama adalah

senyawa yang memiliki efek fungistatik, yaitu senyawa yang hanya mampu

menghentikan perkembangan jamur, namun jamur dapat berkembang lagi

apabila senyawa fungistatik tersebut telah hilang. Kedua adalah senyawa yang

memiliki efek fungitoksik atau efek fungisida, yaitu senyawa mampu

membunuh jamur, dan jamur tidak akan berkembang lagi meskipun senyawa

tersebut telah hilang, kecuali terjadi infeksi jamur yang baru.

Berdasarkan cara kerjanya di dalam tubuh tanaman sasaran yang

diaplikasikan, fungisida dapat dikelompokkan sebagai berikut :

a. Fungisida Nonsistemik (Fungisida kontak, Fungisida Residual Protektif)

Sama halnya seperti insektisida, fungisida nonsistemik tidak dapat

diserap oleh tanaman. Fungisida nonsistemik hanya membentuk lapisan

penghalang di permukaan tanaman, umumnya daun yang merupakan

tempat disemprotkannya fungisida. Fungisida nonsistemik berfungsi untuk

mencegah terjadinya infeksi yang disebabkan oleh jamur dengan cara

menghambat perkecambahan spora atau miselia jamur yang menempel di

permukaan daun tanaman. Oleh karena itu, fungisida nonsistemik

berfungsi sebagai protektan dan hanya efektif bila digunakan sebelun

tanaman terinfeksi oleh penyakit. Dikarenakan fungsinya sebagai

protektan, fungisida nonsistemik harus sering diaplikasikan agar tanaman

dapat terlindungi dari infeksi yang baru. Contoh fungisida nonsitemik

adalah Kaptan, Maneb, Zineb, Mankoneb, Ziram, Kaptafol, dan Probineb.

22

b. Fungisida Sistemik

Fungsida sistemik diabsorsi oleh organ-organ tanaman dan

ditranslokasikan ke bagian tanaman lainnya lewat aliran cairan tanaman.

Bisa didistribusikan ke atas yaitu dari akar menuju daun, bisa juga

didistribusikan ke bawah yaitu dari daun menuju akar. Contoh fungisida

sistemik adalah Benomil, Difenokonazol, Karbendazim, Matalaksil,

Propikonazol, dan Triadimefon.

Fungisida sistemik memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan

fungisida nonsitemik, adapun kelebihannya adalah sebagai berikut:

Fungisida sistemik mampu menghambat infeksi jamur yang sudah

masuk ke dalam jaringan tanaman. Sehingga fungisida ini dapat

diaplikasikan sebagai protektif, kuratif dan juga eradikatif.

Dikarenakan fungisida sistemik diserap oleh tanaman dan

didistribusikan ke seluruh bagian tanaman, maka efektivitasnya relatif

tidak terlalu tergantung pada coverange semprotan.

Fungisida yang diserap oleh tanaman tidak akan hilang apabila terjadi

hujan, sehingga tidak perlu terlalu sering diaplikasikan.

c. Fungisida Sistemik Lokal

Fungisida sistemik lokal akan diabsorsikan oleh jaringan tanaman,

namun tidak ditranlokasikan ke bagian tanaan yang lainnya. Adapun

contohnya adalah Simoksanil.

Berdasarkan banyaknya lokasi aktivitas fungisida dalam sistem biologi

jamur, fungisida dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu :

23

a. Multiside Inhibitor

Multiside inhibitor adalah fungisida yang bekerja untuk mengambat

beberapa proses metabolisme jamur. Sifatnya yang multiside inhibitor

(bekerja dibanyak tempat), membuat fungisida tersebut tidak mudah atau

kurang menimbulkan masalah resistensi jamur. Fungisida yang bersifat

multiside inhibitor umumnya berspektrum pengendalian yang lebih luas

daripada fungisida yang bersifat monoside inhibitor. Contoh dari multiside

inhibitor adalah Maneb, Mankozeb, Zineb, Probineb, Ziram, dan Thiram.

b. Monoside Inhibitor

Monodise inhibitor disebut juga sebagai side specific, yaitu fungisida

yang bekerja dengan menghambat salah satu proses metabolisme jamur,

misalnya hanya menghambat sistesis protein saja. Dikarenkana sifatnya

yang hanya bekerja disatu tempat saja, fungisida monoside inhibitor

umumnya berspektrum sempit dan mudah menimbulkan resistensi. Contoh

dari monoside inhibitor adalah Metalaksil, Oksadisil, dan Benalaksil.

3. Herbisida

Secara tradisional, herbisida dapat dibagi menjadi tiga kelompok sebagai

berikut :

a. Herbisida yang aktif untuk mengendalikan gulma dari kelompok rumput,

misalnya Alaklor, Butaklor, dan Ametrin.

b. Herbisida yang aktif untuk mengendalikan gulma berdaun lebar dan pakis,

misalnya 2,4-D, MCPA.

c. Herbisida yang aktif untuk semua kelompok gulma yang disebut sebagai

herbisida nonselektif. Herbisida jenis ini mampu membunuh semua

24

tumbuhan hijau termasuk tanaman pokok, misalnya Glifosat, Glufosinat,

dan Paraquat.

Herbisida juga dapat dikelompokkan berdasarkan bidang sasarannya yaitu

sebagai berikut :

a. Herbisida Tanah (Soil Acting Herbicides), yaitu herbisida yang aktif di

tanah dan bekerja dengan menghambat perkecambahan gulma. Contoh

herbisida tanah adalah herbisida kelompok urea (Diuron, Linuron,

Metabromuron), triazin (Atrazine, Ametrin), karbamat (Asulam,

Tiobenkarb), kloroasetanilida (Alaklor, Butaklor, Metalaklor, Pretilaklor),

dan urasil (Bromasil). Herbisida tanah pada umumnya memiliki sifat yang

sistemik.

b. Herbisida yang aktif pada gulma yang sudah tumbuh. Herbisida jenis ini

dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

Herbisida kontak, yaitu herbisida yang membunuh jaringan tanaman

gulma yang terkena langsung oleh herbisida tersebut. Herbisida ini

tidak ditranslokasikan di dalam jaringan gulma bagian lainnya.

Sehingga, herbisida ini umumnya hanya mengendalikan gulma yang

berada di atas tanah. Contohnya adalah Propanil, Paraquat, dan Diquat.

Herbisida yang ditranslokasikan keseluruh bagian gulma (sistemik).

Atau disebut juga dengan translocated herbicides. Karena sifatnya

yang sitematik, sehingga herbisida ini mampu membunuh jaringan

gulma yang ada dibawah tanah. Contohnya adalah 2,4-D, dan Glifosat.

25

Selain kedua kelompok utama tersebut, terdapat pula herbisida tanah

yang aktif terhadap gulma yang baru tumbuh, misalnya beberapa

herbisida dari jenis urea dan triazim.

C. Berdasarkan struktur kimianya, pestisida dapat dibagi sebagai berikut (Depkes

RI, 2000):

1. Senyawa Golongan Organoklorin

Organiklorin merupakan senyawa insektisida yang mengandung atom

karbon, klor, dan hidrogen, dan terkadang oksigen. Senyawa ini sering juga

disebut sebagai hidorokarbon khlorinat. Senyawa organoklorin tergolong

memiliki toksisitas yang relatif rendah namun mampu bertahan lama dalam

lingkungan. Racun yang terdapat dalam senyawa ini bersifat menggaggu

susunan syaraf pusat dan larut dalam lemak. Pada umumnya pestisida

golongan ini berbentuk padat dan menggunakan air atau pelarut organik

sebagai pelarut. Larutan pestisida organoklorin tahan terhadap pengaruh

udara, cahaya, panas, dan karbondioksida. Pestisida jenis ini tidak dapat

rusak oleh asam kuat, namun bisa rusak dengan basa dimana pestisida jenis

ini akan menjadi tidak stabil dan mengalami deklorinase.

Senyawa organoklorin masuk ke dalam tubuh melalui udara, saluran

pencernaan, dan absorpsi melalui kulit. Bila digunakan dalam bentuk

serbuk, absorpsi melalui kulit tidak akan terlalu berbahaya, namun apabila

digunakan sebagai larutan dalam minyak atau pelarut organik, maka

toksisitasnya akan meningkat. Senyawa ini memiliki kemampuan untuk

menembus membran sel dengan cukup kuat, dan tersimpan di dalam

jaringan lemak tubuh. Karena bersifat lipotropik, senyawa ini tersimpan di

26

dalam sel-sel yang banyak mengandung lemak, seperti pada susunan saraf

pusat, hati, ginjal, dan otot jantung. Di dalam organ-organ ini, senyawa

organoklorin dapat merusak fungsi dari sistem enzim dan menghambat

aktivitas bikokimia sel.

Salah satu jenis organoklorin yang paling dikenal adalah Dikloro

Difenil Trichloroethane atau DDT. Ditemukan tahun 1874 oleh Zeidler

seorang sarjana kimia yang berasal dari Jerman. Sejak 1 Januari 1973,

penggunaan DDT dilarang dan diberhentikan oleh Badan Proteksi

Lingkungan di Amerika. Hal tersebut dikarenakan DDT dapat

membahayakan kehidupan dan lingkungan karena meninggalkan residu

yang terlalu lama dan dapat terakumulasi dalam jaringan melalui rantai

makanan.

Tanda-tanda keracunan senyawa organoklorin pada dosis rendah yaitu

pusing-pusing, mual, sakit kepala, serta tidak dapat berkonsentrasi secara

sempurna. Sedangkan tanda-tanda keracunan senyawa organoklorin pada

dosis yang tinggi dapat menyebabkan kejang-kejang, muntah, dan dapat

terjadi gangguan pada pernafasan.

2. Senyawa Golongan Organofosfat

Senyawa organosfosfat merupakan senyawa yang paling banyak

memiliki anggota dan terdiri dari beberapa kelompok. Senyawa ini pertama

kali ditemukan oleh Dr. Gerhard Shrader yang bersal dari Jerman. Senyawa

organosfosfat tidak stabil sehingga dari segi lingkungan senyawa ini lebih

baik dari pada organoklorin. Namun, senyawa organofosfat memiliki sifat

lebih toksik terhadap hewan-hewan bertulang belakang jika dibandingkan

dengan senyawa organoklorin. Senyawa organosfosfat dapat

27

mempengaruhi sistem saraf dan mempunyai cara kerja menghambat enzim

cholinesterase.

Berdasarkan rantai karbon yang dimiliki, insektisida organosfosfat

dapat diklasifikasikan kedalam beberapa kelompok (Sastroutomo, 1992) :

a. Turunan Alifatik, golongan ini merupakan senyawa organosfosfat yang

memiliki rangkaian karbon yang lurus dan pendek. Sifat racun yang

terdapat dalam turunan ini berbeda satu sama lainnya dan pada

umumnya memiliki daya larut dalam air yang tinggi. Contoh dari

turunan alifatik adalah Asefat, Dikhlorvos, Disulfoton, Malation, Etion,

Metamidofos, Monokrotofos, dan Naled.

b. Turunan Fenil, golongan ini mengandung benzene dengan satu rantai

hidrogennya diganti oleh atom lain. Turunan fenil biasanya lebih stabil

dibandingkan dengan turunan alifatik, namun residu yang dimilikinya

dapat bertahan lebih lama. Turunan fenil dapat ditandai dengan adanya

cincin fenil pada rantai struktur molekulnya. Contoh dari turunan fenil

adalah Paration-etil, Paration-metil, Izofenfos, dan Profenofos.

c. Turunan heterosiklik, senyawa heterosiklik merupakan senyawa yang

memiliki struktur cincin yang memiliki atom-atom bebeda. Dalam

senyawa ini, satu atau lebih atom karbon digantikan baik dengan

oksigen, nitrogen atau sulfur sementara cincinnya dapat memiliki tiga,

lima atau enam atom. Pada umumnya senyawa ini memiliki aktifitas

yang lebih lama jika dibandingkan dengan turunan alifatik atau fenil.

Dikarenakan strukturnya yang komplek sehingga bahan-bahan hasil

metabolismenya lebih banyak dan sulit untuk diidentifikasi di

28

laboratorium. Contyoh dari turunan heterosiklik adalah Azinfos-metil,

Fention, Klorfirifos, dan Metidation.

Sifat umum dari senyawa organofosfat adalah :

o Efektif terhadap serangga yang resisten terhadap chorinatet

hydrocarbon atau organoklorin.

o Tidak menimbulkan kontaminasi terhadap lingkungan untuk jangka

waktu yang lama karena degradasinya berlangsung dengan cepat atau

tingkat persistensi rendah.

o Lebih toksik terhadap hewan-hewan bertulang belakang dan manusia,

jika dibandingkan dengan organoklorin.

o Menimbulkan resistensi terhadap berbagai macam serangga.

o Mempunyai cara kerja menghambat fungsi enzim cholinesterase.

o Kurang mempunyai efek yang lama terhadap organisme non target.

o Merupakan racun yang tidak selektif (selain menyerang organisme

target juga menyerang organisme non target).

Gejala yang ditimbulkan akibat keracunan pestisida golongan

organofosfat terhadap fungsi enzim cholinesterase, timbul gerakan otot-

otot tertentu, penglihatan kabur, mata berair, mulut berbusa, banyak

berkeringat, air liur banyak keluar, mual, pusing, kejang-kejang, muntah-

muntah, detak jantung menjadi cepat, mencret, sesak nafas, otot tidak bisa

digerakkan dan akhirnya pingsan. Apabila tidak segera ditangani maka

dapat menyebabkan kematian.

3. Senyawa Golongan Karbamat

Insekisida golongan karbamat sangat banyak digunakan, sama seperti

juga insektisida dari golongan organosfosfat. Sifat-sifat dari senyawa

29

golongan ini tidak banyak berbeda dengan senyawa golongan

organosfosfat baik dari segi aktivitas maupun daya racunnya. Kedua jenis

golongan ni juga memiliki residu yang tidak dapat bertahan lama di alam.

Senyawa karbamat merupakan turunan dari asam karbamik HO-CO-

NH2. Seperti halnya pada senyawa golongan organosfosfat, senyawa

golongan karbamat juga menghambat kerja enzim cholinesterase.

Insektisida golongan karbamat pertama kali ditemukan oleh Ciba Geigy

yang berasal dari Swiss pada tahun 1951. Contoh dari pestisida golongan

karbamat adalah Baygon, Bayrusil, Karbaril, Karbofuran, dan Tiodikarb.

Dalam beberapa kasus yang terjadi, senyawa golongan karbamat

umunya berabsorpsi melalui kulit, udara dan dalam jumlah kecil melalui

oral. Gejala keracunan yang ditimbulkan hampir sama dengan gejala

keracunan pada senyawa jenis organosfosfat hanya saja berlangsung lebih

singkat karena cepat terurai dalam tubuh. Selain itu efek dari keracunan

karbamat biasanya reversible (dapat pulih) dan durasinya singkat.

4. Senyawa Golongan Dinitrofenol

Senyawa dari golongan ini merupakan fenol dengan dua gugus nitro

(NO2) yang terikat pada dua atom karbonnya. Senyawa dengan golongan

ini memiliki spectrum yang luas sehingga bisa digunakan sebagai

insektisida, fungisida dan herbisida. Pestisida golongan ini berperan dalam

memacu proses pernafasan sehingga menghasilkan energi yang berlebihan

dari yang diperlukan. Akibatnya dapat menimbulkan proses kerusakan

jaringan di dalam tubuh. Contoh dari pestisida ini adalah Morocidho 40EC.

30

5. Piretroid

Pertama kali digunakan sebagai insektisida didaerah Asia pada tahun

1800. Secara alamiah piretroid diperoleh dari ekstrak Bungan

chrysanthemum. Senyawa aktifnya adalah piretrin I dan II cinerin I dan II,

dan jasmolin I dan II, yang merupakan ester dari tiga alkohol, pyrethrolone,

cinerolone, dan jasmolone, dengan asam chrysanthemic dan pyrethric.

Karena sifat toksiknya terhadap mamalia yang sangat rendah dibanding

pestisida jenis lain, piretroid banyak digunakan sebagai bahan aktif dari

produk insektisida yang ada di pasaran.

Pada umumnya piretroid mengalami metabolisme pada mamalia

melalui proses hidrolisis, oksidasi dan konjugasi. Tidak ada kecenderungan

terjadinya akumulasi pada jaringan akibat pajanan terhadap piretroid.

Piretroid bersifat racun terhadap jaringan saraf, yakni dengan cara

mempengaruhi permeabilitas membran terhadap ion, sehingga

mengganggu impuls saraf. Contoh dari pestisida golongan pyretroid adalah

Deltametrin, Permetrin, Fenvalerate, Difetrin, Sipermetrin, Fluvalinate,

Siflutrin, Fenpropatrin, Tralometrin, Sihalometrin, Flusitrinate, Alletrin,

dan Bioresmetrin.

6. Fumigan

Fumigan adalah senyawa atau campuran yang menghailkan gas, uap

atau asap untuk membunuh serangga, cacing, bakteri ataupun tikus.

Fumigan biasanya memiliki berat molekul yang kecil, mudah menguap,

dan dapat berubah menjadi gas pada suhu di atas 40ºF. Biasanya lebih berat

dari udara dan mengandung satu ataupun lebih unsur halogen (Cl, Br, dan

F). Hampir semua senyawa ini mampu menembus jaringan kulit serangga

31

dan juga bahan-bahan lainnya. Fumigan digolongkan sebagai narkotik.

Cara kerja fumigan lebih banyak secara fisikal daripada kimiawi. Fumigan

merupakan senyawa yang larut dalam lemak dan memiliki pengaruh yang

tidak dapat dikembalikan lagi. Fumigan dapat menyebabkan narcosis,

tidur, dan tidak sadar kemudian mematikan. Contoh pestisida golongan

fumigant adalah Chlorofikrin, Ethylendibromide, Naftalene,

Metylbromide, Formaldehide, dan Fostin.

7. Petroleum

Pestisida jenis ini terbuat dari minyak bumi seperti minyak tanah.

Minyak tanah ini secara alami dapat berfungsi sebagai herbisida. Contoh

pestisida golongan petroleum adalah minyak tanah.

8. Antibiotik

Senyawa antibiotik juga bisa digunakan sebagai pestisida. Hal tersebut

dikarenakan senyawa antibiotik berfungsi sebagai pembunuh mahluk hidup

yang ada disekitarnya. Senyawa antibiotik ini biasanya dimanfaatkan

sebagai bakterisida dan fungisida. Contoh pestisida golongan antibiotik

adalah Penicillin, Tetrasiklin, dan Khlorampenikol.

2.1.5 Resiko Penggunaan Pestisida

Pestisida merupakan senyawa kimia yang memiliki sifat toksik (beracun).

Dikarenakan memiliki sifat yang beracun, maka penggunaan pestisida selalu

mengandung resiko baik bagi pengguna maupun bagi lingkungan. Adapun beberapa

risiko penggunaan pestisida khususnya dalam bidang pertanian adalah sebagai berikut:

1. Risiko bagi Keselamatan Pengguna

Risiko bagi keselamatan pengguna merupakan kontaminasi pesisida secara

langsung, yang dapat menyebabkan keracunan. Keracunan sendiri dapat dibedakan

32

menjadi 3 yaitu keracunan akut ringan, keracunan akut berat dan keracunan kronis.

Keracunan yang bersifat akut ringan dapat menimbulkan gejala seperti sakit

kepala, pusing, mual, muntah dan lainnya. Beberapa pestisida dapat menimbulkan

iritasi pada kulit bahkan dapat menyebakan kebutaan. Keracunan pestisida akut

berat dapat menyebabkan penderita tidak sadarkan diri, kejang-kejang, bahkan

sampai meninggal dunia.

Keracunan pestisida kronis lebih sulit untuk dideteksi karena orang yang

mengalaminya cenderung tidak sadar, namun dalam jangka yang cukup panjang

dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Beberapa gangguan kesehatan yang

sering dihubungkan dengan penggunaan pestisida diantaranya iritasi mata dan

kulit, kanker, cacat pada bayi, serta gangguan saraf, hati, ginjal dan pernafasan.

2. Risiko bagi Konsumen

Risiko yang dialami oleh konsumen cenderung dikarenakan oleh keracunan

residu (sisa-sisa) pestisida yang terdapat dalam produk pertanian. Risiko bagi

konsumen dapat berupa keracunan langsung karena mengkonsumsi produk

pertanian yang tercemar pestisida atau lewat rantai makanan. Konsumen

cenderung dapat mengalami keracunan kronik, dikarenakan dampak dari

karacunan tidak dapat langsung dirasakan namun dalam jangka waktu yang

panjang dapat menimbulkan gangguan kesehatan.

3. Risiko bagi Lingkungan

Risiko penggunaan pestisida dilingkungan dapat digolongkan menjadi dua

kelompok sebagai berikut:

a. Bagi lingkungan umum, gangguan pestisida dapat menyebabkan beberapa hal

sebagai berikut:

33

Terbunuhnya organisme non-target akibat terpapar oleh pestisida secara

langsung.

Terbunuhnya organisme non-target dikarenakan pestisida merasuki rantai

makanan.

Terjadinya pencemaran lingkungan seperti air, udara dan tanah.

Menumpuknya pestisida dalam jaringan tubuh organisme melalui rantai

makanan (bioakumulasi).

Menimbulkan efek negatif terhadap manusia secara tidak langsung melalui

rantai makanan.

b. Bagi lingkungan pertanian, penggunaan pestisida dapat menyebabkan

beberapa hal sebagai berikut:

Menurunnya kepekaan hama, penyebab penyakit, dan gulma terhadap

pestisida tertentu yang berpuncak pada kekebalan (resistensi) hama,

penyakit dan gulma terhadap pestisida

Dapat terjadinya resurjensi hama, yaitu fenomena meningkatnya serangan

hama tertenu sesudah diberikan perlakuan insektisida.

Timbulnya hama yang biasanya tidak penting atau timbulnya ledakan hama

sekunder.

Terbunuhnya musuh alami hama.

Perubahan flora, misalnya penggunaan herbisida secara terus menerus

untuk mengendalikan gulma daun lebar akan merangsang perkembangan

gulma daun sempit.

Dapat meracuni tanaman apabila salah menggunakannya.

4. Dampak Bagi Sosial Ekonomi

Pengunaan pestisida juga bisa mempengaruhi social ekomoni, seperti misalnya :

34

Penggunaan pestisida yang tidak terkendali dapat menyebabkan biasa produksi

menjadi lebih tinggi

Timbulnya hambatan perdangan diakibatkan residu pestisida pada bahan

makanan ekspor lebih tinggi

Timbulnya biaya social yaitu biaya pengobatan dan hilangnya hari kerja yang

diakibatkan oleh keracunan pestisida.

2.1.6 Toksisitas dan Keracunan Pestisida

Terdapat perbedaan yang nyata antara toksisitas dengan bahaya keracunan

pestisida. Toksisitas merupakan daya racun yang dimiliki oleh senyawa pestisida,

dengan kata lain, seberapa kuat daya racunnya terhadap jenis hewan pada konsidi

percobaan yang dilakukan di laboratorium. Sedangkan bahaya keracunan merupakan

bahaya atau risiko keracunan dari seseorang pada wkatu sejenis pestisida sedang

digunakan.

A. Toksisitas Pestisida

Toksisitas pestisida atau daya racun pestisida terhadap organisme tertentu

biasanya dinyataan dalam nilai LD 50 (Lethal Dose). LD 50 menunjukkan

banyaknya racun persatuan berat organisme yang dapat membunuh 50% dari

populasi jenis binatang yang digunakan untuk pengujian, biasanya dinyatakan

sebagai berat bahan racun dalam milligram, perkilogram berat satu ekor binatang

uji. Jadi semakin besar daya racunnya semakin besar dosis pemakainnya. Pelabelan

pestisida biasanya memuat kata-kata simbol yang tertulis dengan huruf tebal dan

besar yang berfungsi sebagai pemberi informasi. Adapun kategori-kategori yang

terdapat dalam pelabelan pestisida adalah sebagai berikut:

35

1. Kategori I

Kata–kata kuncinya ialah “Berbahaya Racun” dengan simbol tengkorak

dengan gambar tulang bersilang dimuat pada label bagi semua jenis pestisida

yang sangat beracun. Semua jenis pestisida yang tergolong dalam jenis ini

mempunyai LD50 yang aktif dengan kisaran antara 0-50 mg per kg berat

badan.

2. Kategori II

Kata-kata kuncinya adalah “Awas Beracun” digunakan untuk senyawa

pestisida yang mempunyai kelas toksisitas pertengahan, dengan daya racun LD

50 oral yang akut mempunyai kisaran antara 50-500 mg per kg berat badan.

3. Kategori III

Kata-kata kuncinya adalah “Hati-Hati” yang termasuk dalam kategori ini

ialah semua pestisida yang daya racunnya rendah dengan LD 50 akut melalui

mulut berkisar antara 500-5000 mg per kg berat badan

B. Keracunan Pestisida

Terdapat empat macam pekerjaan yang dapat menimbulkan terjadinya

kontaminasi dalam peggunaan pestisida, yaitu :

1. membawa, menyimpan, dan memindahkan konsentrat pestisida (produk

pestisida yang belum diencerkan)

2. Mencampur pestisida sebelum diaplikasikan atau disemprot

3. Mengaplikasikan atau menyemprot pestisida

4. Mencuci alat-alat aplikasi sesudah aplikasi selesai

Dari keempat pekerjaan tersebut, yang paling sering menimbulkan terjadinya

kontaminasi adalah pekerjaan mengaplikasikan terutama pada saat melakukan

36

penyemprotan pestisida. Namun, yang paling berbahaya adalah pekerjaan

mencampur pestisida. Hal tersebut dikarenakan pada saat mencampur pestisida,

kita bekerja dengan konsentrat (pestisida dedngan kadar tinggi), sedangkan pada

saat melakukan penyemprotan, kita bekerja dengan pestisida yang sudah

diencerkan.

Pestisida sendiri dapat masuk kedalam tubuh manusia atau hewan melalui

beberapa cara berikut ini (Depkes RI, 2011):

1. Kontaminasi melalui Kulit (Dermal Contamination)

Pestisida yang menempel dipermukaan kulit dapat meresap kedalam tubuh

serta dapat menimbulkan keracunan. Terjadinya kontaminasi pestisida melalui

kulit merupakan salah satu kontaminasi yang paling sering terjadi. Jenis

pekerjaan yang dapat menimbulkan resiko tinggi akan terjadinya kontaminasi

melalui kulit adalah pada saat penyemprotan dan aplikasi lainnya, termasuk

juga pemaparan langsung oleh droplet drift pestisida atau secara tidak

langsung mengusap wajah dengan tangan, lengan baju, atau sarung tangan

yang terkontaminasi pestisida.

Tingkat bahaya kontaminasi pestisida melalui kulit dapat dipengaruhi

beberapa faktor sebagai berikut:

Toksisitas dermal (dermal LD50) Pestisida yang bersangkutan, berarti

semakin rendah angka LD50 maka akan semakin berbahaya.

Konsentrasi pestisida yang menempel pada kulit, semakin pekat pestisida

yang menempel maka akan semakin berbahaya.

Formulasi pestisida, misalnya, formulasi EC dan ULV akan lebih mudah

diserap kulit daripada formulasi butiran.

37

Jenis atau bagian kulit yang terpapar, pada bagian mata biasanya mudah

sekali meresapkan pestisida. Kulit punggung pada tangan juga lebih mudah

meresapkan pestisida jika dibaningkan dengan kulit telapak tangan.

Luas kulit yang terpapar, dimana semakin lama kulit terpapar, maka akan

semakin besar resikonya.

Lamanya kulit terpapar, dimana semakin lama kulit terpapar, maka akan

semakin besar resikonya.

Kondisi fisik seseorang, semakin lemah kondisi fisik seseorang, maka akan

semakin tinggi resiko mengalami keracunan pestisida.

2. Terhisap melalui Saluran Pernafasan (Inhalation)

Gas dan partikel semprotan yang sangat halus sepeti kabut asap dan fogging

dapat masuk ke dalam paru-paru, sedangkan partikel yang lebih besar akan

menempel pada selaput lendir hidung atau kerongkongan. Bahaya menghirup

pestisida lewat saluran pernafasan juga dipengaruhi oleh LD50 pestisida yang

terhisap, ukuran partikel, dan bentuk fisik pestisida.

Pestisida yang berbentuk gas akan lebih mudah masuk ke dalam paru-paru

dan sangat berbahaya. Partikel atau droplet yang berukurang kurang dari 10

mikron dapat mencapai paru-paru, namun droplet yang berukuran lebih dari 50

mikron tidak dapat mencapai paru-paru tetapi dapat menimbulkan gangguan

pada selaput lendir hidung dan kerongkongan.

Adapun pekerjaan yang dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi

pestisida melalui saluran pernafasan adalah kegiatan menimbang ataupun

mencampur pestisida di ruangan tertutup atau ruangan yang memiliki ventilasi

buruk, kegiatan mengaplikasikan pestisida terutama yang berbentuk gas atau

38

yang menimbulkan gas. Adapun gas beracun yang terhisap dapat ditentukan

oleh:

Konsentrasi gas di dalam ruangan atau di udara.

Lamanya pemaparan.

Kondisi fisik pengguna pestisida.

3. Masuk ke dalam Saluran Pencernaan melalui Mulut (Oral)

Terjadinya keracunan pestisida melalui mulut (oral) sebenarnya jarang

terjadi jika dibandingkan dengan kontaminasi pada kulit. Keracunan pestisida

melalui mulut (oral) biasanya dapat terjadi akibat:

Adanya keinginan bunuh diri dengan cara meminum/memakan pestisida.

Melakukan kegiatan makan, minum, ataupun merokok pada saat sedang

bekerja dengan pestisida.

Drift pestisida terbawa oleh angin sehingga masuk ke dalam mulut.

Makanan dan minuman yang terkontaminasi pestisida, seperti adanya

bahan makanan yang diangkut atau disimpan berdekatan dengan pestisida

yang bocor atau menyimpan makanan dalam bekas wadah atau kemasan

pestisida.

Besar resikonya keracunan pestisida melalui mulut (oral) dapat

dipengaruhi oleh beberapa factor sebagai berikut:

LD50 (oral) dari bahan aktif dan LD50 Produk.

Kuantitas bahan aktif yang tertelan.

Formulasi Pestisida, misalnya tambahan zat lain (solvent, carrier) yang

bersifat racun, atau meningkatkan daya racun.

Kondisi fisik yang bersangkutan.

39

Berdasarkan tingkat bahaya pestisida yang dilakukan oleh WHO, dapat dibagi

menjadi berikut :

Tabel 2.1. Tingkat Bahaya Pestisida oleh WHO

Kelas

LD50 Untuk Tikus (mg/KgBB)

Oral Dermal

padat Cair Padat Cair

IA Sangat berbahaya <50 <20 <10 <10

IB Berbahaya 5-50 20-200 10-100 40-400

II Cukup berbahaya 50-500 200-2000 100-1000 400-4000

III Agak berbahaya >500 >2000 >1000 >4000

Menurut Quijano (1999), tipe keracunan pestisida dapat dibedakan menjadi

dua, yaitu:

a. Keracunan Akut

Keracunan akut merupakan keracunan yang terjadi atau dapat dirasakan

langsung setelah seseorang melakukan kontak dengan pestisida. Keracunan

akut kebanyakan ditimbulkan oleh bahan-bahan racun yang larut air dan dapat

menimbulkan gejala keracunan tidak lama setelah racun terserap ke dalam

tubuh jasad hidup. Keracunan akut biasanya terjadi karena dosis pestisida yang

digunakan terlalu banyak sehingga tubuh terpapr zat kimia secara berlebihan.

Walaupun semua keracunan akut dapat menyebabkan gejala sakit atau

kematian hanya dalam waktu beberapa saat setelah masuk ke dalam tubuh,

namun sifatnya yang sangat mudah dirombak oleh suhu yang tinggi, pencucian

oleh air hujan dan sungai serta faktor-faktor fisik dan biologis lainnya

40

menyebabkan racun ini tidak memegang peranan penting dalam pencemaran

lingkungan. Keracunan akut dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

Efek Lokal

Efek lokal dapat terjadi jika efek hanya mempengaruhi bagian tubuh

yang mengalami kontak dengan pestisida. Misalnya pestisida mengenai

kulit, maka kulit akan mengalami iritasi, kemerahan, dan bisa menjadi

kering.

Efek Sistemik

Efek Sistemik dapat terjadi apabila pestisida masuk ke dalam tubuh dan

mempengaruhi sistem dalam tubuh. Kemudian pestisida akan di bawa oleh

darah menuju seluruh bagian tubuh dan dapat mempengaruhi mata,

jantung, paru-paru, ginjal, hati, lambung, otot, safat, dan otak.

b. Keracunan Kronis

Keracunan kronis menimbulkan gejala keracunan setelah waktu yang

relatif lama karena kemampuannya menumpuk (akumulasi) dalam lemak yang

terkandung dalam tubuh. Keracunan kronis juga dapat mencemari lingkungan

(air, tanah) dengan cara meninggalkan residu yang sangat sulit untuk dirombak

atau dirubah menjadi zat yang tidak beracun, karena kuatnya ikatan kimianya.

Efek kronis bisa muncul karena tubuh terpapar pestisida dalam dosis yang

sedikit namun dalam jangka waktu yang lama. Efek-efek jangka panjang ini

dapat muncul setelah berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun setelah

terkena pestisida. Pestisida memberikan dampak kronis pada sistem syaraf,

hati, perut, sistem kekebalan tubuh, keseimbangan hormon, kanker

41

Setiap golongan pestisida memiliki gejala keracunan yang berbeda-beda

dikarenakan bahan aktif yang dikantung setiap golongan berbeda-beda. Adapun

gejala-gejala keracunan bebrapa golongan pestisida adalah sebagai berikut:

1. Golongan Organosfosfat

Gejala keracunannya adalah timbul gerakan otot-otot tertentu, penglihatan

kabur, mata berair, mulut berbusa, banyak berkeringat, air liur banyak keluar,

mual, pusing, kejang-kejang, muntah-muntah, detak jantung menjadi cepat,

mencret, sesak nafas, otot tidak bisa digerakkan dan akhirnya pingsan. Apabila

tidak segera ditangani maka dapat menyebabkan kematian. Organofosfat

menghambat kerja enzim cholineterase, enzim ini secara normal

menghidrolisis achethilcholin menjadi asam asetat dan cholin. Pada saat enzim

dihambat, mengakibatkan jumlah achethilcholin meningkat dan terakumulasi

Keadaan tersebut akan menyebabkan gangguan sistem syaraf yang berupa

aktifitas kholinergik secara terus menerus akibat asetilkolin yang tidak

dihidrolisis.

2. Golongan Karbamat

Cara kerja senyawa golongan ini menyerupai golongan organosfosfat.

Dikarenakan senyawa karbamat cepat terurai maka pengaruhnya terhadap

enzim cholinesterase menjadi tidak beraturan. Senyawa golongan ini dapat

masuk melalui kulit, mulut, dan juga saluran pernafasan. Gejala keracunan

yang ditimbulkan oleh senyawa ini juga tidak berbeda dengan senyawa

golongan organofosfat.

3. Golongan Organoklorin

Tanda-tanda keracunan senyawa organoklorin pada dosis rendah yaitu

pusing-pusing, mual, sakit kepala, serta tidak dapat berkonsentrasi secara

42

sempurna. Sedangkan tanda-tanda keracunan senyawa organoklorin pada dosis

yang tinggi dapat menyebabkan kejang-kejang, muntah, dan dapat terjadi

gangguan pada pernafasan.

4. Golongan Bipiridilium

Setelah 1-3 jam pestisida masuk dalam tubuh baru timbul sakit perut, mual,

muntah-muntah, dan diare. Senyawa ini dapat menyebabkan kerusakan pada

ginjal, hati, dan paru-paru. Jika secara tidak sengaja terminum dosis yang

tinggi, maka dapat menyebabkan kejang-kejang dan meninggal.

5. Golongan Arsen

Golongan arsen dapat menyebabkan keracunan apabila terhisap. Daya

kerjanya ialah meracuni sel-sel serta mempengaruhi fungsi enzim tertentu dan

memperlambat fungsi tubuh. Gejala keracunan arsen pada tingkat akut akan

menimbulkan rasa nyeri pada perut, muntah, dan diare, sementara keracunan

semi akut ditandai dengan sakit kepala dan banyak keluar air ludah.

6. Golongan Antikoagulan

Gejala yang ditimbulkan apabila keracunan pestisida golongan

antikoagulan ialah nyeri punggung, lambung dan usus, muntah-muntah,

perdarahan hidung dan gusi, kulit berbintik-bintik merah, kerusakan ginjal.

2.1.7 Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Keracunan

1. Faktor dalam tubuh (Internal) antara lain :

a. Umur

Umur merupakan fenomena alam, semakin lama seseorang hidup maka

umurpun akan bertambah. Seiring dengan bertambahnya umur maka fungsi

metabolisme tubuh juga akan mengalami menurun. Semakin bertambah

umur maka rata-rata aktivitas cholinesterase darah semakin rendah, sehingga

43

akan mempermudah terjadinya keracunan pestisida. Umur juga berkaitan

dengan kekebalan tubuh dalam mengatasi tingkat toksisitas suatu zat,

semakin bertambahnya umur seseorang maka efektifitas sistem kekebalan di

dalam tubuh akan semakin berkurang.

b. Status gizi

Buruknya keadaan gizi seseorang dapat mengakibatkan turunnya daya

tahan tubuh dan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi. Enzim

cholinesterase terbentuk dari protein, dengan kondisi gizi yang buruk,

mengakibatkan protein yang ada dalam tubuh sangat terbatas sehingga

pembentukan enzim cholinesterase akan terganggu. Sehingga orang yang

memiliki tingkat status gizi baik cenderung memiliki kadar rata-rata

cholinesterase lebih besar.

c. Status Kesehatan

Achethilcholin berperan sebagai neurotransmiter pada ganglion

simpatis maupun parasimpatis, dimana achethilcholin akan berikatan dengan

reseptor kolinergik nikotinik. Inhibisi cholinesterase pada ganglion simpatis

akan meningkatkan rangsangan simpatis dengan manifestasi klinis midriasis,

dan peningkatan heart rate. Meningkatnya detak jantung akan

mengakibatkan peningkatan curah jantung. Curah Jantung yang meningkat

ini bersama sama dengan tekanan perifer akan mempengaruhi peningkatan

tekanan darah.

d. Jenis kelamin

Kadar cholin bebas dalam plasma darah laki-laki normal rata-rata

4,4ug/ml. Jenis kelamin sangat mempengaruhi aktivitas enzim

cholinesterase, jenis kelamin laki-laki memiliki aktivitas enzim

44

cholinesterase lebih rendah dibandingkan jenis kelamin perempuan,

meskipun demikian tidak dianjurkan perempuan menyemprot dengan

menggunakan pestisida, karena pada saat kehamilan kadar rata-rata

cholinesterase cenderung turun.

e. Tingkat pendidikan

Pendidikan formal yang diperoleh seseorang akan memberikan tambahan

pengetahuan bagi individu tersebut, dengan tingkat pendidikan yang lebih

tinggi diharapkan pengetahuan tentang pestisida dan bahayanya juga lebih

baik jika dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang rendah, sehingga

dalam pengelolaan pestisida, tingkat pendidikan tinggi akan lebih baik.

2. Faktor di luar tubuh (eksternal)

a. Dosis

Semua jenis pestisida merupakan racun, penggunaan dosis yang semakin

besar maka semakin besar terjadinya keracunan pestisida. Karena bila dosis

penggunaan pestisida bertambah, maka efek dari pestisida juga akan

bertambah. Peenggunaan dosis yang tidak sesuai mempunyai risiko 4 kali

untuk terjadi keracunan dibandingkan penyemprotan yang dilakukan sesuai

dengan dosis aturan (Afriyanto, 2008).

b. Lama kerja

Semakin lama bekerja sebagai petani maka semakin sering kontak

dengan pestisida sehingga risiko terjadinya keracunan pestisida semakin

tinggi. Penurunan aktivitas cholinesterase dalam plasma darah karena

keracunan pestisida akan berlangsung mulai seseorang terpapar hingga 2

minggu setelah melakukan penyemprotan.

45

c. Jenis Pestisida

Penggunaan jenis pestisida dapat mengakibatkan dikarenakan, konsumen

menggunakan pestisida yang mempunyai sifat anti cholinesterase

mengakibatkan pengikatan cholinesterase sehingga meningkatkan.

d. Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD)

Pestisida masuk ke dalam tubuh dapat melalui berbagai cara, antara lain

melalui pernafasan atau penetrasi kulit. Oleh karena itu cara-cara yang paling

baik untuk mencegah terjadinya keracunan adalah memberikan perlindungan

pada bagian-bagian tersebut. Peralatan untuk melindungi bagian tubuh dari

pemaparan pestisida pada saat melakukan penyemprotan disebut alat

pelindung diri, atau biasa juga disebut alat proteksi. Adapun jenis-jenis alat

pelindung diri adalah alat pelindung kepala, alat pelindung mata, alat

pelindung pernafasan, pakaian pelindung, alat pelindung untuk tangan, dan

alat pelindung kaki.

2.2 Enzim Cholinesterase

2.2.1 Pengertian Enzim Cholinesterase

Cholinesterase adalah suatu enzim yang terdapat pada cairan seluller, yang

fungsinya menghentikan aksi dari pada achethilcholin dengan jalan menghidrolisa

menjadi cholin dan asam asetat. Achethilcholin (AchE) adalah penghantar saraf yang

berada pada seluruh sistem saraf pusat (SSP), saraf otonom (simpatik dan

parasimpatik), dan sistem saraf somatik. Achethilcholin berperan sebagai jembatan

penyeberangan bagi mengalirnya getaran syaraf. Melalui sistem syaraf inilah organ-

organ di dalam tubuh menerima informasi untuk mempergiat atau mengurangi

efektifitas sel. Pada sistem syaraf, stimulan yang diterima dijalankan melalui serabut-

46

serabut syaraf (akson) dalam betuk impuls. Setelah masuk dalam tubuh, pestisida

golongan organofosfat dan karbamat akan mengikat enzim cholinesterase, sehingga

cholinesterase menjadi tidak aktif dan terjadi akumulasi achethilcholin. Keadaan

tersebut akan menyebabkan gangguan sistem syaraf yang berupa aktifitas kholinergik

secara terus menerus akibat achethilcholin yang tidak dihidrolisis. Gangguan ini

selanjutnya dikenal sebagai tanda-tanda atau gejala keracunan hal ini tidak hanya

terjadi pada ujung syaraf tetapi juga dalam serabut syaraf.

Gambar 2.1. Aktivitas Enzim Cholinesterase

Aktivitas cholinesterase dalam darah seseorang dinyatakan dalam persentase

dari aktivitas cholinesterase dalam darah normal. Standar dari aktivitas cholinesterase

dalam darah adalah sebagai berikut (Depkes RI, 1992):

1. 75% - 100% (Normal)

Pada tahap ini seseorang masih dianggap normal dan tidak perlu ada

tindakan apa-apa. Namun perlu diuji ulang dalam waktu dekat.

2. 50% - 75% (Keracunan Ringan)

Pada tahap ini seseorang sudah dianggap keracunan ringan. Jika

penderita dalam keadaan lemah, disarankan untuk beristirahat dan tidak

melakukan kontak dengan pestisida selama 2 minggu. Kemudian perlu diuji

ulang sampai kadar cholinesterasenya normal.

47

3. 25% - 50% (Keracunan Sedang)

Pada tahap ini seseorang dianggap mengalami keracunan sedang (over

exposure yang sangat serius). Penderita harus beristirahat dan tidak boleh

melakukan kontak dengan pestisida. Penderita perlu melakukan pengujian

ulang untuk mengukur aktivitas enzim cholinesterasenya. Jika aktivitas enzim

cholinesterasenya masih belum membaik maka perlu dilakukan tindakan

medis.

4. 0% - 25% (Keracunan Berat)

Pada tahap ini seseorang dianggap mengalami keracunan berat (over

exposure yang sangat serius dan berbahaya). Perlu dilakukan pengujian ulang

dan jauhkan dari semua pekerjaan yang berhubungan dengan pestisida. Selain

itu penderita juga perlu memeriksakan diri ke dokter untuk segera diambil

tindakan medis.

Tabel 2.2. Aktivitas Enzim Cholinesterase

Aktivitas Enzim Cholinesterase (%) Kategori

>75 – 100 Normal

>50 – 75 Keracunan Ringan

>25 – 50 Keracunan Sedang

0 - 25 Keracunan Berat

2.2.2 Mekanisme Kerja Organosfosfat dan Karbamat dalam Tubuh

Pestisida golongan organosfosfat merupakan jenis pestisida yang sering

digunakan, terutama pada petani sayuran. Selain itu, jenis pestisida organosfosfat juga

merupakan pestisida yang paling beracun jika dibandingkan dengan pestisida

golongan lainnya. Apabila pestisida golongan ini masuk ke dalam tubuh maka akan

48

menghambat aksi pseudocholinesterase dalam plasma dan enzim cholinesterase

dalam sel darah merah. Cholinesterase merupakan enzim yang berfungsi untuk

menghidrolisis acetylcholine menjadi asam asetat dan choline. Reaksi antara

organofosfat dan cholinesterase disebut fosforilase dengan menghasilkan senyawa

“Phosphorylated Cholinesterase” pengikatan antara organofosfat dan cholinesterase

bersifat irreversible. Hal ini merupakan sebab-sebab mengapa organofosfat sangat

berbahaya.

Oleh karena phosphorylated, enzim ini tidak mampu lagi menghidrolisir

asethilcholin, mengakibatkan achethilcholin tetap dapat kesempatan tinggal dan

tertimbun pada tempat-tempat reseptor, selain itu achethilcholin akan meningkat dan

berikatan dengan reseptor dan nikotinik pada sistem saraf pusat dan perifer. Hal ini

mengakibatkan impuls saraf mengalir terus menerus menyebabkan suatu twitching

yaitu bergeraknya serat-serat otot secara sadar dengan gerakan halus maupun kasar,

mengeluarkan air mata, pernafasan terhambat dan lemah yang akhirnya mengarah

pada kelumpuhan, tumor pada saat otot-otot sistem pernafasan tidak berfungsi yang

menyebabkan terjadinya kematian (Depkes RI, 1992).

Gejala keracunan yang ditimbulkan oleh organofosfat adalah munculnya

gerakan otot-otot tertentu, penglihatan kabur, mata berair, mulut berbusa, banyak

berkeringat, air liur banyak keluar, mual, pusing, kejang-kejang, muntah-muntah,

detak jantung menjadi cepat, mencret, sesak nafas, otot tidak bisa digerakkan dan

akhirnya pingsan. Organofosfat dapat terurai di lingkungan dalam waktu ± 2 minggu.

Pestisida yang termasuk ke dalam golongan organofosfat antara lain

Azinophosmethyl, Chloryfos, Demeton Methyl, Dichlorovos, Dimethoat, Disulfoton,

Ethion, Palathion, Malathion, Parathion, Diazinon, dan Chlorpyrifos.

49

Pestisida golongan karbamat memiliki sifat yang sama dengan golongan

organofosfat yaitu sebagai penghambat kerja enzim cholinesterase. Reaksi pengikat

antara enzim cholinesterase dangan karbamat disebut dengan karbamilasi. Hal ini

menimbulkan akumulasi dari achethilcholin pada sambungan cholinergic

neuroeffector dan pada sambungan skeletal muscle myoncural dan di dalam autonomic

ganglion. Jika pada golongan organofosfat hambatan tersebut bersifat irreversible

(tidak dapat dipulihkan), pada karbamat hambatan tersebut bersifat reversible (dapat

dipulihkan). Pestisida dari golongan karbamat relatif mudah diurai di lingkungan

(tidak persisten) dan tidak terakumulasi oleh jaringan lemak hewan.

Gejala keracunan yang ditimbulkan oleh pestisida golongan ini hampir sama dengan

golongan organosfosfat hanya saja berlangsung lebih singkat karena cepat terurai

dalam tubuh. Selain itu efek dari keracunan karbamat biasanya reversible (dapat pulih)

dan durasinya singkat. Selain itu golongan karbamat juga memiliki residu yang tidak

dapat betahan lama di alam. Contoh dari pestisida golongan karbamat adalah Baygon,

Bayrusil, Karbaril, Karbofuran, dan Tiodikarb.