BAB II TINJAUAN UMUM HAK ATAS TANAH DAN TANAH … II.pdf · Secara etimologi menurut Kamus Besar...

37
39 BAB II TINJAUAN UMUM HAK ATAS TANAH DAN TANAH TERLANTAR 2.1. Pengertian Tanah dan Dasar Hukum Hak Atas Tanah Pada umumnya sebutan tanah selalu dikaitkan dengan hak atas tanah yang diberikan atau dimiliki oleh seseorang, agar dapat dinikmati manfaatnya, dan digunakan sesuai dengan peruntukkannya. Dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA menyebutkan tanah sebagai berikut : (1) Atas dasar menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. (2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (4) UUPA, tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Tanah diberikan kepada pemegang hak, dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA adalah untuk digunakan dan dimanfaatkan. Diberikan dan dimilikinya tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna jika penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja, untuk keperluan apapun pasti diperlukan juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya, air serta ruang yang ada di atasnya. Oleh karena itu dalam ayat (2) dinyatakan bahwa hak-hak atas tanah bukan hanya memberikan

Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM HAK ATAS TANAH DAN TANAH … II.pdf · Secara etimologi menurut Kamus Besar...

39

BAB II

TINJAUAN UMUM HAK ATAS TANAH DAN TANAH TERLANTAR

2.1. Pengertian Tanah dan Dasar Hukum Hak Atas Tanah

Pada umumnya sebutan tanah selalu dikaitkan dengan hak atas tanah yang

diberikan atau dimiliki oleh seseorang, agar dapat dinikmati manfaatnya, dan

digunakan sesuai dengan peruntukkannya. Dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA

menyebutkan tanah sebagai berikut :

(1) Atas dasar menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2

ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut

tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik

sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan

hukum.

(2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini memberi

wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian

pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar

diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan

penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan

peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (4) UUPA, tanah dalam pengertian

yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas

sebagian tertentu permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran

panjang dan lebar. Tanah diberikan kepada pemegang hak, dengan hak-hak yang

disediakan oleh UUPA adalah untuk digunakan dan dimanfaatkan.

Diberikan dan dimilikinya tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan

bermakna jika penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi

saja, untuk keperluan apapun pasti diperlukan juga penggunaan sebagian tubuh

bumi yang ada dibawahnya, air serta ruang yang ada di atasnya. Oleh karena itu

dalam ayat (2) dinyatakan bahwa hak-hak atas tanah bukan hanya memberikan

40

wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang

bersangkutan yang disebut tanah, tetapi juga tubuh bumi yang ada dibawahnya

dan air serta ruang yang ada diatasnya.

Dengan demikian, hak yang dimiliki terkait hak atas tanah adalah

tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi, tetapi wewenang

menggunakan yang bersumber pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga

penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada di bawah tanah dan air serta ruang

yang ada diatasnya. Sedalam berapa tubuh bumi itu boleh digunakan dan setinggi

berapa ruang yang ada diatasnya boleh digunakan, ditentukan oleh tujuan

penggunaannya, dalam batas-batas kewajaran, kemampuan pemegang haknya

serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Secara etimologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanah adalah :

1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali;

2. Keadaan bumi di suatu tempat;

3. Permukaan bumi yang diberi batas;

4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, cadas, napal

dan sebagainya).1

Berdasarkan pengertian etimologi di atas, dapat kita pahami bahwa tanah adalah

permukaan bumi dengan segala kandungan atau bahan yang ada didalamnya.

Secara geologis-agronomis Iman Sudiyat menjelaskan bahwa tanah adalah

lapisan lepas permukaan bumi yang paling atas yang dimanfaatkan untuk

menanami tumbuh-tumbuhan. Itulah sebabnya kemudian dikenal istilah tanah

1Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Balai Pustaka, Jakarta, h. 234.

41

garapan, tanah pekarangan, tanah pertanian, tanah perkebunan.2 Sedangkan yang

digunakan untuk mendirikan bangunan dinamakan tanah bangunan. Kedalaman

lapisan bumi (tanah) adalah sedalam irisan bajak, lapisan pembentukan humus dan

lapisan dalam. Secara yuridis dikatakan bahwa tanah dikualifikasi sebagai

permukaan bumi.3

I Gede Wiranata menjelaskan bahwa tanah mempunyai sifat :

1. Tanah adalah benda yang menyimpan kekayaan yang menguntungkan.

2. Tanah merupakan sarana tempat tinggal bagi persekutuan hukum dan

seluruh anggotanya sekaligus member penghidupan kepada pemiliknya.

3. Tanah merupakan kesatuan dimana nanti pemiliknya akan dikubur setelah

meninggal, sekaligus merupakan tempat leluhur persekutuan selama

beberapa generasi sebelumnya.4

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut maka pengertian tanah adalah permukaan

bumi (yuridis) yang menyimpan kekayaan untuk mencukupi kebutuhan hidup dan

kehidupan manusia perseorangan dan kelompok (ekonomi). Tanah sebagai tempat

tinggal atau kediaman, tempat mereka mengembangkan kehidupan keluarga

secara turun- temurun dan bersifat abadi.

Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan tanah diartikan dalam dua arti

yaitu :

1. An immovable and indestructible three-dimensional area consisting of a

portion of the earth’s surface, the space above and below the surface and

2Sodiki, Achmad, 1997, Pembaharuan Hukum Pertanahan Nasional Dalam Rangka

Penguatan Agenda Landreform, Arena Hukum, Jakarta, h. 19. 3Iman Sudiyat, 1982, Beberapa Masalah Penguasaan Tanah di Berbagai Masyarakat

Sedang Berkembang, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, h.11. 4I Gede Wiranata, 2004, Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya dari Masa ke Masa,

Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 224-225

42

everything growing on or permanently affixed to it. (area tiga dimensi

yang tidak dapat dipindahkan dan yang tidak dapat dihancurkan yang

terdiri atas bagian di atas permukaan tanah, ruang diatasnya dan bagian

yang berada di bawah permukaan tanah dan segala sesuatu yang tumbuh

diatasnya dan terikat secara permanen)

2. An estate or interest in real property (sebuah perumahan atau keuntungan

dari kepemilikan lahan dan bangunan).5

Sejalan dengan hal tersebut, Peter Butt yang dikutip dalam buku Ida

Nurlinda memberi pemahaman yang lebih luas terhadap pengertian tanah, yaitu

bahwa “land is not only the face of the earth, but everything under it or over it”6

(tanah tidak hanya berarti permukaan tanah, tetapi segala sesuatu di atas dan di

bawahnya). Sementara itu, National Land Code of Malaysia memberikan

pengertian yang luas terhadap tanah yaitu :

a. That surface of the earth and all substances forming that surface

(Permukaan dari bumi dan semua substansi yang membentuk permukaan

tersebut) ;

b. The earth below the surface and all substances there in (Bagian bawah

permukaan dan segala sesuatu di dalamnya) ;

c. All vegetation and other natural product, whether or not requiring the

periodical application of labour to their production and whether on or

below the surface (Semua vegetasi dan produk alami baik yang

memerlukan proses pengerjaan secara periodik maupun yang tidak, di atas

maupun di bawah permukaan tanah) ;

d. All things attached to the earth or permanently fastened to anything

attached to the earth, whether on or below the surface ; and (Segala

sesuatu yang melekat di bumi atau terikat secara permanen pada apapun

yang menempel di bumi, di atas maupun di bawah permukaan bumi; dan)

e. Land covered by water (Tanah yang tertutupi oleh air).7

Pasal 4 Land Titles Act Singapura 1993 juga mendefinisikan tanah secara luas,

yaitu sebagai berikut :

5Bryan A. Garner, 1999, Black’s Law Dictionary, seventh edition, USA : West

Publishing, Minnesota. Page. 67. 6Ida Nurlinda, 2009, Prinsip-Prinsip Pembaharuan Agraria Perspektif Hukum, Edisi I, PT.

Raja Grafindo Persada, h.36. 7Boedi Harsono, Op.cit., hal.21.

43

The surface of any defined parcel of the earcth, and all substances

thereunder, and so much of the column of air above the surface as is reasonably

necessary for the proprietor’s use and enjoyment, and includes any estate or

interest in land all vegetation growing thereon and structures affixed thereto or

any parcel of airspace or sub-terranean space held aparat from the surface of the

land as shown in an approved plan subject to any provisios to the contrary the

proprietorship of land includes natural rights to air, light, water and support and

the right of access to any highway on which the land abuts (Banyak kolom udara

di atas permukaan yang penting untuk keperluan dan kenyamanan pemilik dan

juga termasuk beberapa lahan atau semua tanaman yang dikembangbiakkan di

atas dan struktur yang disertakan bersamanya atau beberapa bagian berupa tempat

udara atau tempat subteranian dibuat terpisah dari permukaan tanah seperti yang

terlihat disebuah perencanaan yang sudah disetujui dimana mengacu pada

beberapa penyediaan terhadap perbedaan hubungan antar pemilik lahan termasuk

hak atas udara, cahaya, air dan hak untuk mengakses ke segala lahan yang

letaknya bersebelahan).8

Berdasarkan pemaparan di atas ada persamaan hakiki tentang pengertian

tanah dalam arti yuridis adalah permukaan bumi. Hal ini dapat diketahui dalam

Pasal 4 ayat (1) jo Pasal 1 ayat (4) UUPA yang menyebutkan :

- Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagaimana yang dimaksud dalam

Pasal 2 UUPA ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan

bumi yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh

orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain

serta badan-badan hukum.

- Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh

bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.

2.2. Hak Penguasaan Atas Tanah

Pengertian penguasaan dan menguasai dapat dipakai dalam arti fisik dan

dalam arti yuridis, juga beraspek perdata dan beraspek publik. Dalam arti fisik

secara nyata pemegang hak menguasai tanah. Penguasaan dalam arti yuridis

8Ibid

44

dilandasi oleh hak yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi

kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang

menjadi haknya. Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang memberikan

kewenangan untuk menguasai tanah haknya secara fisik, namun pada

kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain, misalnya tanah yang

dimiliki disewakan kepada pihak lain dan penyewa yang menguasainya secara

fisik, atau tanah tersebut dikuasai pihak lain tanpa hak. Dalam hal ini pemilik

tanah berdasarkan penguasaan yuridisnya berhak menuntut diserahkannya

kembali tanah itu secara fisik kepadanya. Pengertian penguasaan dan menguasai

tersebut di atas dipakai dalam aspek perdata.

Pengertian penguasaan dan menguasai dalam aspek publik tercermin

dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dinyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan

alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kemudian dalam Pasal 2 UUPA

menyatakan :

(1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal

sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa,

termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan

tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi seluruh rakyat.

(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi

wewenang untuk :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan

dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-

orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-

orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan

ruang angkasa.

(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada

ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran

rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam

45

masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil

dan makmur;

(4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat

dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat

hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan

kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah.

UUPA menetapkan tata jenjang/hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam

Hukum Tanah Nasional yaitu :

1. Hak Bangsa,

2. Hak menguasai dari Negara,

3. Hak ulayat masyarakat Hukum Adat,

4. Hak-hak perorangan/individual.

1. Hak Bangsa

Hak Bangsa diatur dalam Pasal 1 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UUPA

yang berbunyi :

(1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat

Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.

(2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai

karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa

Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

(3) Hubungan hukum antara bangsa Indonesia dan bumi, air dan ruang

angkasa termaksud dalam ayat 2 pasal ini adalah hubungan yang bersifat

abadi.

Hak Bangsa merupakan hak penguasaan tanah tertinggi dimana hak-hak

penguasaan atas tanah yang lain, secara langsung ataupun tidak langsung

46

bersumber padanya. Hak Bangsa mengandung dua unsur, yaitu unsur kepunyaan

dan unsur tugas kewenangan untuk mengatur dan memimpin penguasaan serta

penggunaan tanah bersama yang dimilikinya.

Hak Bangsa atas tanah bersama tersebut bukan hak pemilikan dalam

pengertian yuridis. Yang menjadi subjek Hak Bangsa adalah seluruh rakyat

Indonesia sepanjang masa yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia, yaitu generasi-

generasi terdahulu, sekarang dan generasi-generasi yang akan datang.

Tanah Hak Bangsa meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah negara

Republik Indonesia. Hak Bangsa merupakan hubungan hukum yang bersifat

abadi, artinya selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia

masih ada dan selama bumi, air dan ruang angkasa Indonesia masih ada pula,

dalam keadaan yang bagaimanapun, tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat

memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut.

2. Hak Menguasai Negara

Pengertian “dikuasai” negara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 33 ayat

(3) UUD NRI 1945, tidak dijelaskan secara rinci dalam penjelasan, baik

penjelasan umum maupun penjelasan pasal demi pasal UUD NRI 1945. Hal ini

memungkinkan hak menguasai negara itu ditafsirkan atas berbagai pemahaman,

tergantung dari sudut pandang dan kepentingan yang menafsirkan.

Mengacu pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 tersebut di

atas, berarti hak menguasai negara meliputi semua tanah, tanpa terkecuali.

47

Notonagoro menetapkan adanya tiga macam bentuk hubungan langsung antara

negara dengan bumi, air, dan ruang angkasa, yaitu sebagai berikut :9

1. Negara sebagai subjek, yang dipersamakan dengan perorangan, sehingga

dengan demikian hubungan antara negara dan tanah itu mempunyai sifat

privat-rechtelijk. Hak negara terhadap tanah sama dengan hak

perseorangan dengan tanah.

2. Negara sebagai subjek, diberi kedudukan tidak sebagai perorangan, tetapi

sebagai negara. Dengan demikian, negara sebagai badan kenegaraan,

sebagai badan yang publiek-rechtelijk. Dalam hal ini negara tidak

mempunyai kedudukan yang sama dengan perorangan.

3. Hubungan antara Negara langsung dengan tanah ini tidak sebagai subjek

perseorangan dan tidak dalam kedudukannya sebagai negara yang

memiliki akan tetapi sebagai negara yang menjadi personifikasi dari rakyat

seluruhnya sehingga dalam konsepsi ini negara tidak terlepas dari rakyat,

negara hanya menjadi pendiri, menjadi pendukung kesatuan dan persatuan

rakyat. Bentuk ini masih dapat diadakan dua macam bentuk, yaitu :

a. Memegang kekuasaan terhadap tanahnya atau

b. Hanya memegang kekuasaan terhadap pemakaiannya.

Mengacu pada pendapat Notonagoro di atas, maka bentuk hubungan

antara negara dengan bumi, air dan ruang angkasa yang sesuai dengan makna hak

menguasai negara adalah bentuk hubungan yang ketiga. Hubungan tersebut adalah

hubungan yang bersifat abadi, dalam arti bahwa selama bangsa Indonesia masih

ada dan selama bumi, air dan ruang angkasa itu masih ada, maka hubungan itu

tidak akan terputus oleh kekuasaan apapun.

Sejalan dengan pendapat Notonagoro, Iman Soetikno menyatakan bahwa

hak menguasai negara masuk kedalam bentuk hubungan negara sebagai

personifikasi seluruh rakyat, karena jika ditinjau dari sudut perikemanusiaan, hal

itu sesuai dengan sifat mahluk sosial. Dengan demikian negara mempunyai dua

hak yaitu :10

9Notonagoro, 1984, Politik Hukum Dan Pembangunan Agraria Di Indonesia, PT. Bina

Aksara, Jakarta, h. 101. 10

Iman Soetikno, Op.Cit., h. 20

48

1. Hak Communes, apabila Negara sebagai personifikasi yang memegang

kekuasaan atas tanah dan sebagainya.

2. Hak Imperium, apabila Negara memegang kekuasaan tentang pemakaian

tanah saja.

Kewenangan negara untuk menguasai tersebut, menurut Pasal 2 ayat (2)

UUPA memberi wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan Bangsa

Indonesia, untuk pada tingkatan tertinggi :

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan,

dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa;

2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang

dengan bumi, air, dan ruang angkasa;

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang

angkasa.

Atas dasar kewenangan tersebut mengatur kedalam tersebut, negara dapat

melakukan :

a. Membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan, dan

penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya untuk keperluan yang bersifat politis, ekonomis,

dan sosial ( Pasal 14 ayat (1) UUPA ), sedangkan pemerintah daerah juga

harus membuat perencanaannya sesuai dengan rencana pemerintah pusat (

Pasal 14 ayat (2) UUPA ).

b. Menentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang dapat

diberikan dan dipunyai oleh perorangan (baik sendiri maupun bersama-

sama) atau badan hukum (Pasal 4 UUPA). Hal ini berarti bahwa bagi

perorangan atau badan hukum tertentu dimungkinkan mempunyai hak

milik privat atas tanah.

c. Berusaha agar sebanyak mungkin orang mempunyai hubungan dengan

tanah, dengan menentukan luas maksimum tanah yang boleh dimiliki atau

dikuasai perorangan (Pasal 7 dan 17 UUPA), mengingat tiap-tiap Warga

49

Negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh

suatu hak atas tanah serta mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri

sendiri maupun keluarganya (Pasal 9 ayat (2) UUPA).

d. Menentukan bahwa setiap orang atau badan hukum yang mempunyai suatu

hak atas tanah, mengusahakan tanah itu sendiri dengan beberapa

perkecualian (Pasal 10 UUPA). Hal ini untuk menjaga jangan sampai ada

tanah absentee;

e. Berusaha agar tidak ada tanah terlantar dengan menegaskan bahwa semua

hak atas tanah berfungsi sosial, dan mencegah kerusakannya merupakan

kewajiban siapa saja yang mempunyai hak atas tanah (Pasal 6 dan

Pasal 15 UUPA).;

f. Mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-

perbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Misalnya hak

guna usaha, hak guna bangunan, sewa-menyewa, sebagaimana tersebut

dalam Pasal 16 UUPA.;

g. Mengatur pembukaan tanah, pemungutan hasil hutan (Pasal 46 UUPA)

dan penggunaan air dan ruang angkasa (Pasal 47 dan 48 UUPA).;

h. Mengatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air

dan ruang angkasa (Pasal 8 UUPA).;

i. Mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia, untuk

menjamin kepastian hukum (Pasal 19 UUPA).11

Sedangkan dalam hal kewenangan ke luar, negara dapat melakukan :

a. Menegaskan bahwa hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan

ruang angkasa dalam wilayah Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang

Maha Esa, dan karenanya bersifat abadi (Pasal 1 ayat (3) UUPA). Hal ini

berarti hubungan tersebut tidak dapat diputus oleh siapa pun.

b. Menegaskan bahwa orang asing (bukan WNI) tidak dapat mempunyai

hubungan penuh dan kuat dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan

alam yang terkandung di wilayah Indonesia. Hanya WNI yang dapat

mempunyai hubungan yang sepenuhnya dan terkuat di seluruh wilayah

Indonesia (Pasal 21 UUPA).12

11

Ibid., h. 51 12

Ibid., h. 52

50

Dalam kaitannya dengan kewenangan, negara bukanlah pemilik sumber

daya agraria yang ada dalam wilayah negara Republik Indonesia, melainkan

hanya sebagai “penguasa”. Kalaupun negara hendak dikatakan sebagai pemilik

maka harus dipahami dalam konteks hukum publik (Publiekrechtstelijk), bukan

sebagai pemilik (eigenaar) dalam pengertian yang bersifat keperdataan

(privaatrechtstelijk). Artinya, negara memiliki kewenangan secara yuridis formal

sebagai pengatur, perencana, pelaksana dan pengendali kegiatan-kegiatan

penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber daya

agraria lainnya.

Negara memperoleh kewenangan untuk menguasai bumi, air, dan ruang

angkasa karena tidak semua permasalahan atau urusan dapat diselesaikan sendiri

oleh masyarakat. Kewenangan negara untuk menyelesaikan kepentingan

masyarakatnya menurut Maria Sumardjono dibatasi oleh dua hal, sebagai berikut:

1. Pembatasan oleh Undang-Undang Dasar. Pada prinsipnya, hal-hal yang

diatur oleh negara tidak boleh berakibat terhadap pelanggaran hak-hak

dasar manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar.

2. Pembatasan yang bersifat substantif. Pembatasan ini berkaitan dengan

pertanyaan apakah peraturan yang dibuat itu relevan dengan tujuan negara

yang diatur dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA, yaitu semua aturan agraria

harus ditujukan pada sebesar-besar kemakmuran rakyat, sedangkan ruang

lingkup pengaturannya dibatasi Pasal 2 ayat (2) UUPA.13

13

Maria S.W. Soemardjono, 1998, Kewenangan Negara Untuk Mengatur Dalam Konsep

Penguasaan Tanah Oleh Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum

Universitas Gadjah Mada, 14 Februari, Yogyakarta,(Selanjutnya disebut Maria S.W. Soemardjono

II), h. 6-7.

51

Bagir Manan memaknai ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan

dua aspek kaidah yang terkandung di dalamnya yaitu kaidah “hak menguasai

negara” dan kaidah “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Kedua aspek kaidah ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, karena

keduanya merupakan satu kesatuan sistemik. “Hak menguasai negara merupakan

instrumen (bersifat instrumental), sedangkan “dipergunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat,” merupakan tujuan. Selanjutnya disebutkan wewenang

menguasai tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Dari pendapat tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa timbulnya

istilah “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” merupakan

konsekuensi logis dari adanya istilah “dikuasai negara”. Kewenangan untuk

menguasai sumber daya agraria yang dimiliki oleh negara hanyalah dalam rangka

mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat demi tercapainya kesejahteraan

sosial masyarakat Indonesia yang menjadi tujuan negara.14

Keterkaitan antara kaidah “hak menguasai negara” dengan “sebesar-besar

kemakmuran rakyat” akan menimbulkan kewajiban negara sebagai berikut :

a. Segala bentuk pemanfaatan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya, harus secara nyata dapat meningkatkan

kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

b. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam

dan di atas bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung

14

Bagir Manan, 2004, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cet. Ketiga, Pusat Studi

Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, h. 231.

52

di dalamnya, dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung

oleh rakyat.

c. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan

rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan akses terhadap

bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.

Ketiga aspek tersebut di atas harus menjadi arahan atau acuan dalam menentukan

dan mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan bumi, air, ruang angkasa dan

kekayaan alam yang terkandung didalamnya.

3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Dalam UUPA pengertian hak ulayat secara eksplisit tidak ditemukan.

Hanya saja dalam Pasal 3 UUPA menyatakan bahwa :

“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan

hak ulayat dan hak-hak serupa dengan itu dari masyarakat-masyarakat hukum

adat, sepanjang memurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa

sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas

persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan

peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.

Menurut Boedi Harsono, hak ulayat merupakan seperangkat wewenang dan

kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang

terletak dalam lingkungan wilayahnya, yang merupakan pendukung utama

penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.15

Secara teknis yuridis, Sumardjono mengatakan hak ulayat merupakan

hak yang melekat sebagai kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa

wewenang atau kekuasaan untuk mengurus dan mengatur tanah dan isinya,

15

Boedi Harsono, Op.Cit., h. 19

53

dengan daya laku baik ke dalam maupun ke luar masyarakat hukum adat itu.16

Dengan demikian hak ulayat merupakan hak yang spesifik dan khas, yang

keberadaannya tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan dari masyarakat hukum

adat itu sendiri. Meskipun hak ulayat merupakan hak suatu komunitas masyarakat

hukum adat, tetapi masyarakat hukum adat tetap membuka peluang akan adanya

pihak lain di luar komunitas tersebut untuk memanfaatkan hak ulayat tersebut,

dengan berbagai persyaratan. Hak ulayat suatu masyarakat hukum adat, berisi

wewenang untuk :

a. Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah (untuk pemukiman,

bercocok tanam), persediaan tanah (pembuatan pemukiman/persawahan

baru), dan pemeliharaan tanah;

b. Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah

(memberikan hak tertentu pada subjek tertentu);

c. Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dengan

perbuatan-perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah.17

Isi wewenang hak ulayat tersebut menyatakan bahwa hubungan antara masyarakat

hukum adat dengan tanah dan wilayahnya adalah hubungan menguasai, bukan

hubungan milik, sebagaimana halnya dalam konsep hubungan antara Negara

dengan tanah menurut Pasal 33 ayat ( 3 ) UUD 1945.

4. Hak-hak Individual Atas Tanah

Hak atas tanah sebagai individual yang memberi kewenangan untuk

memakai, dalam arti menguasai, menggunakan, dan/atau mengambil manfaat

tertentu dari suatu bidang tanah tertentu, yaitu berupa :

a. Hak-hak atas tanah

16

Maria S.W. Soemardjono I, Op. Cit., h. 26 17

Boedi Harsono, Op.Cit. h.286.

54

Dalam mendefinisikan mengenai hak atas tanah, mengingat bahwa semua

hak atas tanah itu adalah hak untuk memakai tanah, maka semuanya memang

dapat dicakup dalam pengertian dan dengan nama sebutan Hak Pakai. Tetapi

mengingat bahwa dalam masyarakat modern tanah bermacam-macam, maka

untuk memudahkan pengenalannya, Hak Pakai untuk keperluan yang

bermacam-macam itu masing-masing diberi nama sebutan yang berbeda,

yaitu:18

a. Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, yakni

sebagai berikut:

1) Hak Milik, yaitu hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat

dipunyai orang atas tanah.

2) Hak Guna Usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai

langsung oleh Negara dalam jangka waktu tertentu, guna perusahaan

pertanian, perikanan, atau peternakan.

3) Hak Guna Bangunan, yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai

bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan

jangka waktu tertentu.

4) Hak Pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil

dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang

lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam

keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang

memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang

bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah,

segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan

ketentuan UUPA.

b. Hak atas tanah wakaf, yang merupakan hak penguasaan atas suatu bidang

tanah tertentu bekas Hak Milik, yang oleh pemiliknya dipisahkan dari

harta kekayaannya dan melembagakannya selama-lamanya untuk

kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya, sesuai ajaran

agama islam. Perwakafan tanah Hak Milik diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, sebagai pelaksanaan Pasal 49 UUPA.

c. Hak Tanggungan adalah satu-satunya hak jaminan atas tanah dalam

Hukum Tanah Nasional yang merupakan hak penguasaan atas tanah yang

memberi kewenangan kepada kreditor tertentu untuk menjual lelang

bidang tanah tertentu yang dijadikan jaminan bagi pelunasan piutang

tertentu dalam hal debitor cedera janji dan mengambil pelunasan dari hasil

penjualan tersebut dengan Hak Mendahulu daripada kreditor yang lain.

18

Urip Santoso, Op.Cit., h. 87

55

Hak-hak perorangan atas tanah (yang meliputi hak-hak atas tanah dan hak jaminan

atas tanah) tersebut di atas, baik secara langsung maupun tidak langsung

bersumber pada Hak Bangsa Indonesia atas tanah. Karena semua tanah dalam

wilayah Republik Indonesia, baik yang berupa tanah hak (tanah tanah yang

dikuasai dengan sesuatu hak atas tanah) maupun tanah negara (tanah yang

langsung dikuasai negara) keseluruhannya diliputi oleh Hak Bangsa Indonesia

maupun Hak Menguasai Negara tanpa kecuali. Boedi Harsono berpendapat bahwa

hak menguasai sebagai Hak Bangsa Indonesia, tanah adalah kepunyaan bersama

rakyat Indonesia.19

Berdasarkan hierarki tersebut di atas dapat diketahui bahwa hak menguasai

negara itu merupakan perwujudan dari hak bangsa yang memberi wewenang

kepada negara untuk mengatur penggunaan, pengusahaan, dan peruntukan tanah,

yang implementasinya dapat diberikan kepada perorangan/individu atau badan

hukum berupa hak-hak atas tanah. Negara mempunyai kewenangan yang penuh

atas tanah negara dalam arti dapat mengatur peruntukan dan penggunaan tanah

negara yang bersangkutan dan oleh karenanya negara dapat pula memberikan

tanah-tanah tersebut kepada pihak lain dengan sesuatu hak atas tanah, yaitu hak-

hak atas tanah yang primer seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan.

19

Boedi Harsono, Op.Cit., h. 24

56

2.3. Pengertian Tanah Terlantar

2.3.1. Tanah Terlantar Menurut Pakar Hukum Agraria

Secara filosofi tanah terlantar sangat bertentangan dengan asas yang

menentukan bahwa tanah merupakan aset atau modal, bahkan tanah merupakan

sumber kehidupan manusia yang berfungsi untuk mensejahterakan kehidupan

manusia.20

Pemberian hak atas tanah haruslah digunakan sesuai dengan hak yang

diperoleh oleh pemegang hak, sehingga tidak dibenarkan tanah tersebut tidak

dikelola.

Beberapa pakar hukum agraria memberikan pengertian mengenai tanah

terlantar. Maria S.W. Sumardjono mengatakan tidak mudah menetapkan tanah

sebagai tanah terlantar, hal tersebut dikarenakan untuk menetapkan tanah sebagai

tanah terlantar harus melihat beberapa aspek sebagai berikut :21

1. Subjeknya apakah perorangan atau badan hukum;

2. Tanah pertanian atau bangunan;

3. Adanya kesengajaan dari subjek atau tidak;

4. Jangka waktu yang harus dilewati untuk dapat disebut sebagai tanah

terlantar.

Asas fungsi sosial hak atas tanah dalam Pasal 6 UUPA meliputi juga

kewajiban memeliharan tanah bagi setiap orang dan badan hukum pemegang hak

atas tanah. Pengertian pemeliharaan tanah secara a contrario berarti mencegah

penelantaran tanah.

20

Maria S.W. Sumardjono, 2009, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial Dan

Budaya, Kompas, Jakarta, (selanjutnya disebut Maria S.W. Sumardjono III), h. 9 21

Ibid, h.116

57

Menurut Boedi Harsono penelantaran tanah lebih mengarah kepada

terjadinya peristiwa hukum karena perbuatan manusia sehingga hak atas tanah

menjadi hapus. Boedi Harsono, memberikan contoh untuk perusahaan diberikan

HGU untuk perkebunan oleh pemerintah, namun hak atas tanah tersebut tidak

dipergunakan dengan baik, maka hal tersebut dapat dijadikan alasan untuk

membatalkan hak yang bersangkutan oleh pejabat yang berwenang.

AP. Parlindungan menyatakan tanah terlantar lebih menitikberatkan pada

hukum adat Indonesia yaitu tanah yang diberikan dasar penguasaan haknya telah

berubah bentuk fisiknya akibat ditelantarkan dalam waktu tertentu, sehingga

haknya gugur dan tanah tersebut kembali kepada penguasaan hak ulayat

masyarakat adat. Sedangkan menurut Achmad Sodiki pengertian tanah terlantar

meliputi bagaimana dan oleh siapa status tanah dinyatakan terlantar. Demikian

juga tanah yang jatuh ke tangan negara, yang berarti pemiliknya sama sekali

kehilangan hak atas tanah. Pengertian tanah ditelantarkan menurut Gouw Giok

Siong diartikan keadaan tanah yang tidak dipakai sesuai dengan keadaan, sifat,

dan tujuan pemberian haknya.

Dari pendapat para pakar hukum agraria di atas dapat disimpulkan bahwa

tanah terlantar merupakan keadaan dimana tanah yang diberikan hak

penguasaannya kepada seseorang ataupun badan hukum oleh negara, tidak

dipergunakan sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian haknya dalam

waktu tertentu sehingga tanahnya kembali dalam penguasaan negara.

58

2.3.2. Pengertian tanah terlantar menurut hukum adat

Tanah sangat penting untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan

moneter, baik secara individu maupun masyarakat dalam suatu persekutuan di

wilayah tertentu. Persekutuan hukum desa atau daerah bukan persekutuan hukum

belaka, tetapi merupakan suatu persekutuan usaha dengan tanah sebagai modal,

dimana semua anggota masyarakat pada prinsipnya mempunyai kewajiban untuk

mengolah tanah dengan baik.

Dalam hukum, melaksanakan kewajiban dengan benar oleh seseorang

pemegang hak atas tanah adalah merupakan perwujudan prestasi dari sebuah

hubungan hukum yang timbul. Apabila pelaksanaan kewajiban didapati tidak

sesuai dengan tujuan pemberian hak, sehingga tanah tidak terpelihara, tidak

terawat, bahkan tidak produktif, tanah itu dapat disebut tanah terlantar. Kalau

demikian keadaannya, maka tanah dikuasai kembali oleh persekutuan hukum, dan

kemudian hak pengelolaannya diberikan kepada pihak lain.

Konsep tanah terlantar menurut hukum adat dapat ditemukan dalam

pengertian-pengertian tanah terlantar menurut Hukum Adat. Berikut pengertian

tanah terlantar dalam beberapa wilayah Hukum Adat di Indonesia :22

1. Sulawesi Selatan (Bugis)

Dalam masyarakat Bugis, tanah terlantar disebut dengan istilah Tona

Kabu, Tona Kallanggelung Amo. Adapun kriteria tanah yang

dikategorikan sebagai tanah tersebut adalah tanah sawah yang ditinggalkan

selama 10 tahun atau lebih. Hal itu dilihat melalui indikasi-indikasi yaitu

pematang-pematangnya tidak kelihatan lagi, dan semua tanda-tandanya

sudah hilang secara keseluruhan.

22

Abdul Malik, 1983, Sejarah Adat Indonesia, Bina Cipta, Jakarta, hlm. 54.

59

2. Bengkulu

Dalam masyarakat Bengkulu, tanah terlantar disebut dengan Tanah Sakueh

Dajurawi. Adapun yang disebut sebagai Tanah Sakueh Dajurawi adalah

tanah ladang yang ditinggalkan sesudah menuai.

3. Jambi

Dalam masyarakat Jambi, tanah terlantar disebut dengan istilah Balukar

Toewo, yaitu tanah ladang yang ditinggalkan selama 3 tahun atau lebih.

4. Sumatera Utara

Dalam masyarakat Sumatera Utara, tanah terlantar disebut dengan istilah

Soppalan, yaitu tanah bekas yang ditinggalkan dan telah ditumbuhi alang-

alang, tanah bekas ladang yang belum lama ditinggalkan dan telah menjadi

semak, tanah yang sengaja ditelantarkan untuk penggembalaan ternak

masyarakat, dan tanah yang baru sekali dibuka kemudian terlantar.

5. Aceh

Di Aceh, apabila pada sebidang tanah sama sekali tidak ada aktivitas

pemanfaatan tanah itu selama 3 bulan, maka hak okupasi dan hilang tanah

kembali kepada Hak Ulayat.

6. Maluku

Di Maluku, tanah dinyatakan terlantar apabila dalam jangka waktu 10-15

tahun tidak dimanfaatkan dan tanah kembali menjadi Hak Pertuanan

(ulayat).

7. Kalimantan Selatan (Banjar)

Di Kalimantan Selatan, tanah bekas ladang yang ditinggalkan 2 musim

atau lebih akan kembali menjadi padang atau tanah tanpa pemilik.

Dari perbandingan pengertian tanah terlantar di atas, menunjukkan bahwa

terdapat banyak istilah yang digunakan dengan menunjukkan asal daerah di mana

mengenal adanya tanah terlantar. Berdasarkan karakter terlantarnya, menurut

Hukum Adat sebidang tanah dapat disebut sebagai tanah terlantar apabila:23

1. Tanah (sawah, tegalan, ladang) yang sudah pernah dibuka dengan ciri-ciri:

a. 1 (satu) kali panen;

b. belum lama dibuka kemudian ditinggalkan;

c. menjadi semak belukar;

d. batas-batas tanah garapannya tidak jelas lagi;

e. ditinggalkan selama 2 musim/10-15 tahun/3 tahun/beberapa waktu.

23

Ibid, h. 56

60

2. Ditinggalkan oleh pemilik atau penggarapnya.

3. Kembali kepada hak ulayatnya/masyarakat adat.

4. Tanah kembali tanpa pemilik.

Tanah terlantar menurut Hukum Adat dapat dirumuskan sebagai tanah

sawah atau ladang yang ditinggalkan oleh pemilik atau penggarapnya dalam

beberapa waktu tertentu (3 s.d. 15 tahun) sampai tanah sawah atau ladang itu

menjadi semak belukar, maka tanah tersebut kembali kepada Hak Ulayat atau

masyarakat adat. Jadi menurut Hukum Adat, tanah terlantar lebih mengarah pada

keadaan fisik tanah yang sudah tidak produktif dan tidak bertuan (karena

ditinggalkan oleh pemegang haknya), namun secara yuridis tidak jelas

kedudukannya karena tidak disebutkan siapa yang berwenang untuk menetapkan

suatu bidang tanah adalah terlantar. Melihat adanya konsekuensi berupa

kembalinya tanah kepada Hak Ulayat atau masyarakat adat, maka pada umumnya

dalam masyarakat Hukum Adat yang berhak menyatakan tanah terlantar adalah

ketua masyarakat adatnya. Sehingga kewenangan ada pada ketua masyarakat adat.

Di samping hal-hal tersebut di atas, dalam sistem hukum adat juga dikenal

suatu lembaga hukum adat yang disebut dengan lembaga rechtsverwerking.

Rechtsverwerking dalam ranah hukum perdata memiliki makna sebagai pelepasan

hak, yaitu hilangnya hak bukan karena lewatnya waktu, tetapi karena sikap atau

tindakan seseorang yang menunjukan bahwa ia sudah tidak akan mempergunakan

suatu haknya tersebut. Dalam hukum tanah adat, rechtsverwerking diartikan

sebagai prinsip bahwa dalam hal terdapat seseorang dalam sekian waktu tertentu

membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain

61

yang memperolehnya dengan itikad baik, maka hilanglah haknya untuk menuntut

kembali tanah tersebut. Ketentuan dalam UUPA yang menyatakan hapusnya hak

atas tanah karena ditelantarkan sejalan dengan lembaga ini.24

Lembaga rechtsverwerking dalam hukum adat ini juga digunakan untuk

mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah di

Indonesia. Dalam sistem publikasi negatif, walaupun suatu bidang tanah telah

terdaftar atas nama seseorang, jika ada pihak lain yang dapat membuktikan

sebaliknya (dapat membuktikan bahwa tanah tersebut sebelumnya adalah

kepunyaannya) maka sertipikat atas tanah yang didaftar tersebut dapat dibatalkan.

Dengan diterapkannya lembaga rechtsverwerking, maka walaupun

seseorang berhak atas suatu bidang tanah, jika telah ditelantarkan selama lebih

dari 20 tahun kemudian dikuasai juga dikelola dengan baik dan berdasarkan itikad

baik oleh orang lain, maka hak seseorang tersebut secara hukum telah hapus dan

beralih kepada orang lain yang menguasai dan mengelola dengan baik

berdasarkan itikad baik tersebut. Dan apabila orang tersebut mensertipikatkan

sebidang tanah tersebut dan dalam 5 (lima) tahun setelah disertipikatkan tidak ada

gugatan dari pihak manapun, maka hak atas sebidang tanah tersebut tidak dapat

diganggugugat lagi oleh siapa pun. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat

(2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.25

Lembaga rechtsverwerking digunakan dalam sistem hukum tanah di

Indonesia baik sebelum berlakunya UUPA maupun setelah berlakunya UUPA.

24

Arie S. Hutagalung, 2000, Penerapan Lembaga “Rechverwerking” Untuk Mengatasi

Kelemahan Sistem Publikasi Negatip Dalam Pendaftaran Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum

Indonesia, Jakarta, h. 82 25

Ibid. h. 90

62

Hal ini terbukti dari banyaknya kasus-kasus rechtsverwerking yang telah diputus

oleh Mahkamah Agung maupun Pengadilan Tinggi di Indonesia. Tanah terlantar

menurut yurisprudensi tidak lepas dari pendapat para hakim di Indonesia

berdasarkan kewenangannya memberikan keputusan atas peristiwa yang terjadi

dan masuk ke pengadilan. Pendapat hakim ini disimpulkan dalam pertimbangan-

pertimbangan yang diberikan dalam memutuskan hukumnya mengenai kasus

tanah terlantar.

Dalam keputusan pengadilan dalam berbagai kasus tanah yang terjadi,

untuk memberikan keputusan atas status tanah Hak Milik yang dibiarkan selama

kurun waktu tertentu tidak dikerjakan oleh pemegang haknya, sikap hakim dalam

mengambil keputusan banyak memilih untuk menggunakan lembaga

rechtsverweking yang dikenal dalam Hukum Adat yaitu dianggap telah

melepaskan haknya (rechtsverwerking). Contoh putusan mengenai

rechtverwerking :

1. Putusan Mahkamah Agung tanggal 24 Mei 1958 No. 329/K/Sip/1957.

Pelepasan hak (rechtsverwerking) terjadi apabila sebidang tanah yang

diperoleh secara merimba, selama 5 tahun berturut-turut dibiarkan saja

oleh yang berhak, maka hak atas tanah itu dianggap telah dilepaskan dan

tanah itu oleh Kepala Persekutuan Kampung dapat diberikan kepada orang

lain. Kalau yang berhak adalah orang yang belum dewasa yang

mempunyai ibu, maka ibunya itu tidak boleh membiarkan tanahnya tidak

dikerjakan.

63

2. Putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Januari 1957 No. 210/K/

Sip/1055.32 Gugatan dinyatakan tidak dapat diterima oleh karena para

penggugat dengan mendiamkan tanahnya sampai 25 tahun harus dianggap

menghilangkan haknya (rechtsverwerking). Mahkamah Agung

berpendapat bahwa pembeli sawah patut dilindungi oleh karena dapat

dianggap bahwa ia beritikad baik dalam membeli sawah itu dari seorang

ahli waris dari almarhum pemilik sawah.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung tersebut dapat dijelaskan bahwa

ada anggapan hukum telah terjadi pelepasan hak manakala dalam kurun waktu

tertentu secara berturut-turut (dalam kasus tersebut 5 tahun dan 25 tahun),

pemegang hak atas tanah membiarkan tanahnya tidak dikerjakan/diusahakan

sebagai tanah yang produktif. Perbuatan demikian itu tidak boleh dan akan

menyebabkan hak atas tanah berakhir.

Perbuatan membiarkan tanah tidak dikerjakan seperti pada kasus di atas

dapat dikategorikan ke dalam perbuatan menelantarkan tanah. Jadi, terhadap

kondisi tanah hak yang sama-sama tidak dipergunakan dalam kurun waktu

tertentu, hakim dapat menggunakan lembaga rechtsverwerking. Hal ini sekaligus

dipakai sebagai dasar bagi pejabat tata usaha negara membatalkan hak atas tanah

karena ditelantarkan. Tetapi tidak selalu berakhirnya hak atas tanah karena

ditelantarkan identik dengan pelepasan hak, karena pelepasan hak yang dimaksud

oleh UUPA adalah karena tidak terpenuhinya syarat subjektif untuk mendapatkan

hak atas tanah yaitu harus warga negara Indonesia dan badan hukum yang

64

didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (Pasal 30 ayat

(1) dan ayat (2) UUPA).

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tanah terlantar

menurut pendapat hakim merujuk pada ketentuan tanah terlantar menurut Hukum

Adat dengan ciri- ciri:

- Keadaan fisik tanah yang pernah dibuka, kemudian dibiarkan tidak terawat

oleh pemiliknya sehingga menjadi ditumbuhi alang-alang. Apalagi jika

didukung oleh kenyataan tanah tersebut dikelilingi oleh tanah- tanah yang

ditanami kepunyaan teman-teman pemegang hak.

- Untuk kasus orang yang mengerjakan tanah dengan tanpa izin pemilik

tanah bukan berarti hendak menimbulkan hak baru tetapi semata-mata agar

tanah tersebut produktif untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bersama-

sama keluarganya.

- Jika terjadi tanah terlantar, harus diikuti tindakan pemberdayaan agar

bermanfaat bagi masyarakat sehingga tidak ada lagi tanah terlantar.

2.3.3. Pengertian Tanah Terlantar Menurut Peraturan Perundang-undangan

A). Menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria (UUPA).

Ada perubahan paradigma dari Hukum Agraria kolonial yang berciri tanah

dikelola atau diusahakan untuk menghasilkan produk yang dapat diperdagangkan

dan mendapat untung sebanyak-banyaknya, ke Hukum Agraria Nasional yang

berciri pengelolaan sumber daya tanah untuk kesejahteraan rakyat. Alasan

filosofisnya ialah bahwa tanah itu adalah karunia Tuhan kepada umat manusia

65

(rakyat Indonesia) untuk diusahakan dikelola guna memenuhi kebutuhannya, agar

tercapai kesejahteraan atau kemakmuran bersama dengan berkeadilan. Jadi, ada

kewajiban dari individu atau masyarakat untuk mengerjakan atau mengusahakan

tanah sebaik-baiknya sesuai dengan apa yang telah ditentukan atau sesuai dengan

tujuannya (kemakmuran) itu.

Berdasarkan hakikat yang ada pada Hukum Agraria Nasional (UUPA)

tersebut, semua pihak, terutama para pemegang hak atas tanah, perlu mengerti dan

menjaga agar tidak terjadi tanah terlantar. Beberapa ketentuan dalam UUPA yang

berkaitan tanah terlantar adalah sebagai berikut:

1. Pasal 27 huruf a angka 3, menyatakan bahwa Hak Milik atas tanah hapus

bila tanahnya jatuh kepada Negara karena ditelantarkan. Kemudian dalam

penjelasannya dinyatakan bahwa tanah ditelantarkan kalau dengan sengaja

tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan

daripada haknya.

2. Pasal 34 huruf e, menyatakan bahwa Hak Guna Usaha hapus karena

ditelantarkan.

3. Pasal 40 huruf e, menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan hapus karena

ditelantarkan.

Ketentuan-ketentuan tersebut di atas menunjukkan bahwa setiap hak atas

tanah yang diberikan atau diperoleh dari negara (Hak Milik, Hak Guna Bangunan,

Hak Guna Usaha) hapus apabila ditelantarkan. Artinya, ada unsur kesengajaan

melakukan perbuatan tidak mempergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat

dan tujuan haknya.

66

Keberadaan Pasal-Pasal dalam UUPA mengenai tanah terlantar belum

dapat dilaksanakan sebelum adanya suatu peraturan operasional untuk

menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya, sehingga Pemerintah

mengeluarkan Peraturan pemerintah No. 11 Tahun 2010 yang menggantikan

Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan

Tanah Terlantar sebagai peraturan pelaksanaannya.

Sebelum adanya peraturan pemerintah tersebut terdapat beberapa

peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai tanah terlantar, antara lain

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 88 Tahun 1973 tentang Penguasaan

Tanah Perkebunan Terlantar dan/atau Ditelantarkan di Daerah Propinsi Jawa

Barat. Lahirnya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 88 Tahun 1973 sebagai

wujud kepedulian atas terlantarnya tanah Hak Guna Bangunan (perkebunan). Hal

itu dimaksudkan untuk segera mengatasi atau meniadakan kondisi lahan

perkebunan yang terlantar, dengan menindak pemegang haknya, berikut

pendayagunaan tanah terlantar tersebut sehingga lahan Hak Guna Bangunan

(perkebunan) memberi kesejahteraan kepada masyarakat sekitar lahan pada

khususnya dan masyarakat pada umumnya. Jadi, untuk dapat menyatakan suatu

perkebunan sebagai terlantar, adalah apabila diketahui bahwa pemegang hak atas

tanah, tidak mempergunakan atau mengerjakan yang ia peroleh sebagaimana

mestinya. Dengan demikian, berarti pemegang hak atas tanah tidak mengindahkan

kewajiban mengusahakan perkebunan secara baik dan mengabaikan fungsi sosial

atas tanah.

67

Selain keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut, terdapat pula Instruksi

Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1982 tentang Penertiban Tanah di Daerah

Perkotaan yang Dikuasai Oleh Badan Hukum atau Perorangan yang Tidak

Dimanfaatkan atau Ditelantarkan. Dalam instruksi tersebut tugas dibebankan

kepada seluruh gubernur dan bupati/wali kota seluruh Indonesia untuk

menertibkan semua tanah yang ada di daerah perkotaan yang dikuasai oleh badan-

badan hukum atau perorangan.

Adanya peraturan-peraturan tersebut dapat dilihat bahwa upaya untuk

melakukan penertiban terhadap tanah terlantar sudah pernah dilakukan.

Pelaksanaan ketentuan Perundang-undangan tidak hanya bersandar pada “hukum

apa adanya” (the law as it), tetapi harus merespon keadaan sosial atau “hukum

yang seharusnya” (the law as it ought to be). Hukum itu tidak hanya berkembang

dengan logika tertutup, tetapi harus dapat mengambil nilai-nilai baru dari

masyarakat dan dengan memperbarui peraturan sedemikian rupa hingga sesuai

dengan keadaan dewasa ini.26

Pemahaman mengenai tanah yang ditelantarkan menurut UUPA berangkat

dari pemberian hak-hak atas tanah kepada perorangan atau badan hukum, dimana

dengan pemberian tersebut maka kewenangan negara yang berasal dari Hak

menguasai negara dibatasi dan ini berarti bahwa setiap pemegang hak atas tanah

berwenang menggunakan tanahnya sesuai dengan kewenangan yang diberikan

kepadanya baik oleh ketentuan-ketentuan UUPA (Pasal 20 s.d. Pasal 45 UUPA)

maupun peraturan pelaksanaannya, kecuali kalau pemegang hak atas tanah yang

26

George Whitecross Paton, 1951, A Text-Book of Jurisprudence, Oxford at te Clarendon

Press, London, Page 8

68

bersangkutan tidak memenuhi kewajibannya (tanah yang bersangkutan

ditelantarkan) atau melanggar larangan (pembatasan) yang ditentukan (subjeknya

tidak memenuhi syarat), maka sebagai sanksinya hak atas tanahnya menjadi hapus

dan tanahnya menjadi tanah negara.

Selanjutnya, dalam UUPA tidak dikenal adanya tanah sebagai res nulius,

karena jika hak atas tanahnya hapus, maka tanah yang bersangkutan menjadi

tanah negara (tanah kosong). Hal itu artinya tanah tersebut dikuasai secara penuh

oleh negara dalam lingkup Hak Bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1) UUPA) dan

atas tanah tersebut dapat diberikan oleh negara kepada pihak-pihak yang

memerlukannya.

Konsepsi ini sangat berbeda dengan Hukum Tanah Barat yang pernah

berlaku di Indonesia sebelum 24 September 1960, dimana tanah Hak Eigendom

tidak mungkin hapus haknya (selama tidak terkena pencabutan hak atau

dihapuskan oleh negara seperti "Penghapusan Tanah Partikelir" dalam Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1958) sekalipun tidak diketahui lagi pemiliknya, namun

tanah Hak Eigendom tersebut tetap dikelola oleh Balai Harta Peninggalan sampai

jangka waktu tertentu (± 30 tahun). Adanya Balai Harta Peninggalan (Weeskamer)

adalah untuk mencegah terjadinya berlangsungnya res nulius, seperti diatur dalam

Pasal 520 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang intinya menyatakan bahwa

segala benda (yang bergerak atau tidak bergerak) yang tidak ada pemiliknya

menjadi milik negara. Ketentuan Pasal 520 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata tersebut sepanjang mengenai tanah hak tidak berlaku lagi sejak tanggal 24

September 1960.

69

B). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna

Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna

Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah dalam Konsideran huruf b

menyatakan bahwa :

“oleh karena itu pengakuan penguasaan pemilikan dan penggunaan tanah

perlu lebih diarahkan bagi semakin terjaminnya tertib di bidang hukum

pertanahan, administrasi pertanahan, penggunaan tanah, ataupun

pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup, sehingga adanya kepastian

hukum di bidang pertanahan pada umumnya dapat terwujud”.

Dari ketentuan tersebut, terlihat bahwa pemerintah ingin menegaskan kembali

bahwa penggunaan tanah berdasarkan pada Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan, dan Hak Pakai dalam rangka pembangunan nasional diarahkan untuk

terjaminnya atau terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. Oleh karena itu,

Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 secara rinci dan

jelas mengatur mengenai pemberian hak atas tanah (Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan, dan Hak Pakai), objek hak, serta jangka waktu dan lamanya suatu hak

diberikan oleh negara kepada subjek hak.

Apabila pemegang hak tidak melaksanakan kewajibannya, maka

berdasarkan ketentuan dalam Pasal 17 ayat (1) huruf e, Hak Guna Usaha hapus

karena ditelantarkan. Dalam penjelasannya dinyatakan sesuai dengan penjelasan

yang ada dalam UUPA. Demikian juga tentang hapusnya Hak Guna Bangunan

dalam Pasal 35 ayat (1) huruf e yang menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan

hapus karena ditelantarkan.

70

Dalam pemberian Hak Pakai, juga diikuti dengan ketentuan tentang

hapusnya Hak Pakai. Pasal 55 ayat (1) huruf e menyatakan bahwa Hak Pakai

hapus karena ditelantarkan. Meskipun khusus dalam hal Hak Pakai tidak terdapat

ketentuan hapusnya Hak Pakai dalam UUPA. Dari ketentuan-ketentuan yang telah

disebutkan tentang hapusnya hak atas tanah (Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan, Hak Pakai) dapat disimpulkan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 40

Tahun 1996 menggunakan istilah ditelantarkan. Pengertian ditelantarkan

mengikuti penjelasan dari UUPA tentang hapusnya Hak Milik, Hak Guna Usaha,

dan Hak Guna Bangunan, kecuali untuk Hak Pakai yang tidak diatur adanya tanah

ditelantarkan dalam UUPA.

C). Menurut PP Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan

Tanah Terlantar

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 dikeluarkan dengan

dilatarbelakangi oleh semakin banyaknya jumlah tanah terlantar di Indonesia dan

tidak ada upaya penertiban yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam konsideran

huruf b PP No. 36 tahun 1998 disebutkan bahwa dalam kenyataannya masih

terdapat bidang-bidang tanah yang dikuasai oleh perseorangan, badan hukum, atau

instansi yang tidak digunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan

haknya.

Dalam konsideran huruf c dinyatakan bahwa sesuai dengan ketentuan

dalam UUPA, hak atas tanah hapus dengan sendirinya apabila tanahnya

ditelantarkan. Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998

menyatakan bahwa tanah terlantar adalah tanah yang ditelantarkan oleh pemegang

71

hak atas tanah, pemegang Hak Pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh

dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengertian tanah terlantar juga didefinisikan dalam ketentuan yang

mengatur kriteria tanah terlantar yaitu dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor

36 Tahun 1998 yang menyatakan :

“Tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang tidak

dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka

penggunaannya tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan

tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut

tidak dipergunakan sesuai dengan peruntukannya menurut Rencana Tata

Ruang Wilayah yang berlaku pada waktu permulaan penggunaan atau

pembangunan fisik di atas tanah tersebut”.

Lebih lanjut pengertian tanah terlantar disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1)

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 yang mengatur mengenai Hak Guna

Usaha yang menyatakan bahwa tanah Hak Guna Usaha tidak dipergunakan sesuai

dengan keadannya atau sifat dan tujuan haknya, apabila tanah itu tidak diusahakan

sesuai dengan kriteria pengusahaan tanah pertanian yang baik sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Apabila diperhatikan, ternyata banyak istilah ataupun pengertian yang

diberikan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 untuk menyatakan

bahwa sebidang tanah adalah terlantar. Kalimat-kalimat yang dipilih dalam

menyatakan tanah terlantar dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998

dapat dikompilasi sebagai berikut:

72

a. Tanah yang tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan

tujuan haknya, bila tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai

peruntukannya menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku.

b. Tanah yang ditelantarkan oleh pemegang haknya.

c. Tanah yang tidak diusahakan sesuai dengan kriteria pengusahaan tanah

pertanian yang baik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

d. Tanah yang sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai

dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya.

D). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan

Pendayagunaan Tanah Terlantar.

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan

Pendayagunaan Tanah Terlantar merupakan peraturan yang menggantikan

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 yang dianggap memiliki banyak

kelemahan. Kelemahan dari PP Nomor 36 Tahun 1998 salah satunya yaitu tidak

mencantumkan dalam berapa tahun tanah dapat dikatakan telah ditelantarkan.27

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010

definisi tanah terlantar tidak diuraikan secara jelas. Hanya saja dalam penjelasan

Pasal 2 menyebutkan bahwa :

“Tanah yang sudah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak

Pakai, atau Hak Pengelolaan dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila

tanahnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak dimanfaatkan

sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya. Demikian pula tanah

yang ada dasar penguasaannya dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila

27

Perbandingan Antara PP No. 36 Tahun 1998 Dengan PP No. 11 Tahun 2010 Serta

Tantangan Yang Akan Dihadapi Dalam Pelaksanaan Penertiban dan Pendayagunaan Tanah

Terlantar, Diakses dari http://garasi.in/perbandingan-antara-pp-no-36-tahun-1998-dengan-pp-no-

11-tahun-2010-serta-tantangan-yang-akan-dihadapi-dalam-pelaksanaan-penertiban-dan-

pendayagunaan-tanah-terlantar.html pada tanggal 19 Januari 2015 pada pukul 09.00 wita

73

tanahnya tidak dimohon hak, tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau

tidak dimanfaatkan sesuai dengan persyaratan atau ketentuan yang

ditetapkan dalam izin lokasi, surat keputusan pemberian hak, surat

keputusan pelepasan kawasan hutan, dan/atau dalam izin/keputusan/surat

lainnya dari pejabat yang berwenang”.

Dari penjelasan Pasal 2 PP Nomor 11 Tahun 2010 tersebut dapat disimpulkan

bahwa tanah terlantar adalah tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan atau tanah yang ada dasar

penguasaannya yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak

dimanfaatkan, sesuai dengan keadaannya, sifat dan tujuan haknya.

E). Menurut Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 2010

tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar.

Dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.

4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar pengertian tanah

terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik,

Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak pakai, dan Hak Pengelolaan, atau

dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak

dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau

dasar penguasaannya.

2.4. Fungsi Sosial Hak Atas Tanah

Pemanfaatan tanah harus sesuai dengan kepentingan masyarakat banyak,

karena tanah mempunyai fungsi sosial. Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria

menyebutkan bahwa : “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Hal

tersebut menjelaskan bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang,

tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak

74

dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu

menimbulkan kerugian bagi masyarakat luas.

Tanah tidak hanya berfungsi bagi pemegang hak atas tanahnya saja tetapi

juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya, dengan konsekuensi bahwa penggunaan

hak atas sebidang tanah juga harus meperhatikan kepentingan masyarakat.

Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat daripada haknya

sehingga bermanfaat, baik bagi kesejahteraan dan kebahagian yang

mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Namun hal

tersebut bukan berarti kepentingan seseorang terdesak oleh kepentingan

masyarakat atau negara. Diantara dua kepentingan tersebut haruslah seimbang

sehingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok : kemakmuran, keadilan dan

kebahagiaan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Fungsi sosial hak atas tanah adalah salah satu dari 3 (tiga) kewajiban

dalam UUPA yang bersifat umum yang dibebankan pada setiap pemegang hak

atas tanah, yakni: (a) kewajiban menjalankan fungsi sosial hak atas tanah (Pasal

6); (b) kewajiban memelihara tanah (Pasal 52 ayat (1)); (c) kewajiban untuk

mengerjakan sendiri secara aktif tanah pertanian (Pasal 10).28

Berdasarkan fungsi

sosial hak atas tanah tersebut, maka hak atas tanah yang dimiliki oleh seseorang

ataupun badan hukum tidak hanya mempunyai fungsi bagi pemilik hak itu saja,

tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya. Sebagai konsekuensinya, dalam

mempergunakan tanah yang bersangkutan bukan hanya kepentingan yang berhak

28

Oloan Sitorus dan H. M. Zaki Sierrad, 2006, Hukum Agraria di Indonesia: Konsep

Dasar dan Implementasi, Cetakan Perdana, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, h.79

75

saja yang dipakai sebagai pedoman, tetapi juga harus diingat dan diperhatikan

kepentingan masyarakat.

Kepentingan umum harus diutamakan daripada kepentingan pribadi,

sesuai dengan asas-asas yang berlaku bagi penyelenggaraan berkehidupan

bersama dalam masyarakat. Walaupun demikian hak individu juga tidak boleh

diabaikan, karena hak individu atas tanah dihormati dan dilindungi oleh hukum.

Jika kepentingan umum menghendaki didesaknya kepentingan individu, hingga

mengalami kerugian maka kepadanya harus diberikan ganti kerugian.29

Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai tanah

untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaan tanahnya,

serta sifat dan tujuan pemberian haknya. Dalam penjelasan Pasal 27 UPPA

menyatakan jika kewajiban itu sengaja diabaikan maka hal tersebut dapat

mengakibatkan hapusnya atau batalnya hak yang bersangkutan. Artinya dalam hal

demikian tanah tersebut termasuk golongan yang ditelantarkan.

Dapat disimpulkan dalam pemanfaatan hak atas tanah untuk fungsi sosial,

wajib diusahakan adanya keseimbangan antara kepentingan yang mempunyai dan

kepentingan masyarakat. Untuk itu perlu adanya perencanaan, peruntukan dan

penggunaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 UUPA. Dengan

menggunakan tanah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan oleh Pemerintah

maka dapat dikatakan terpenuhinya fungsi sosial hak atas tanah tersebut.

29

Adrian Sutedi I, Op.Cit., h. 19