BAB IV KEKUATAN MENGIKAT DARI DOKTRIN -...
Transcript of BAB IV KEKUATAN MENGIKAT DARI DOKTRIN -...
61
BAB IV
KEKUATAN MENGIKAT DARI DOKTRIN
A. Otoritas Doktrin
Pada masa lalu doktrin memegang peranannya sendiri. Bahkan peranan
yuris di masa lalu sangat berperan penting bagi perkembangan hukum di
masanya mengingat maxim communis opinio doctorum. Bukan tidak
mungkin juga peranan yuris terdahulu melalui doktrin-doktrinnya membawa
pengaruh besar bagi dunia intelektual hukum sekarang ini. Menurut lintasan
sejarah, paling menonjol terlihat pada masa Kekaisaran Romawi. Bahkan
pada abad Pertengahan di Eropa sangat dipengaruhi oleh otoritas “communis
opinio doctorum”. Pembahasan mengenai hak asasi manusia (HAM) saat ini
juga tidak lepas dari peranan doktrin pada abad ke-18 sebagaimana
dilakukan oleh mazhab hukum alam (natural law). Lihat saja gambaran
singkat lintas sejarah pengaruh doktrin di masa lalu yang diungkapkan
Pattaro di bawah ini.
“The importance of legal doctrine varies in different countries and
historical periods. In Rome, Augustus granted to certain prominent
jurists the right to answer questions of law by authority of the
Emperor: Ius publicae respondendi ex auctoritate principis. The so-
called citation-statute of A.D. 426 accorded a binding force to the
books of Papinian, Paulus, Ulpian, Gaius, and Modestinus and
regulated in detail these jurists’ authority. Medieval Europe was under
the dominating influence of the legal communis opinio doctorum,
based on Roman sources and embraced by the majority of celebrated
62
legal writers, mostly French and Italian. In a monumental work, Lars
Björne summarizes the subsequent evolution as follows. In 18th-
century aristocratic society, the role of legal doctrine was confined to
description and to piecemeal, technical refinement of the law. In the
19th century, its role expanded to include innovative claims and
pioneering work, exerting a great influence on the law. In the 20th
century, its influence ebbed again. The democratic establishment of the
present time needs jurists as little as did the aristocratic establishment
of the 18th century. Moreover, human rights now overshadow the
normative work of legal doctrine, just as 18th-century natural law
did.”1
Namun ternyata, dalam perjalanan sejarah otoritas doktrin mengalami
penurunan terutama ketika pada sistem monarki yang tersentralisasi.
Sebagaimana diungkap catatan dari Peczenik, bahwa:
“The authority of doctrine underwent a decline in centralised
monarchies, more and more emphasising the role of legislation; e.g. a
draft of the Prussian Landrecht of 1794 thus prohibited writing any
comments to this code. Also some ideas of the division of power
preserved lawmaking as an exclusive domain of the lawmaker. Later,
however, one noticed that all laws need interpretation. In Germany,
one also needed the gemeines Recht, common to the plurality of small
centralised states. Doctrine thus made a comeback in the 19th century.
Great scholars, such as C. F. von Savigny, influenced the German
legal development of this period. The German Pandektenwissenschaft,
based on sophistication of Roman law, achieved a uniquely high level,
influenced the final codification of civil law (BGB of 1896) and was
highly influential even outside the boundaries of Germany.”2
1 Enrico Pattaro et.al., A Treatise of Legal Philosophy and General Jurisprudence
Vol.4, Op.cit, h.6.
2 Aleksander Peczenik, On Law and Reason, Op.Cit, h.296.
63
Lepas dari naik turunnya andil pada lintas sejarah, doktrin pada
dasarnya mempunyai posisi yang tinggi. Dalam praktek mungkin saja
doktrin seringkali tidak mengambil peran, tetapi otoritasnya melekat di
dalamnya. Peczenik melanjutkan dengan menunjukkan faktor yang bisa
meningkatkan kemungkinan posisi doktrin lebih tinggi.
1. The greater respect the decision-makers have for rational
reasoning, the greater is the role of doctrine.
2. The lower the speed of legislative change, the greater is the chance
that jurists have sufficient time to elaborate commentaries,
handbooks and other auxiliary means for statutory construction.
3. The more numerous statutory provisions, precedents,
pronouncements in travaux préparatoires and other sources of the
law are, the greater is the need of their systematisation and
interpretation in legal writing.
4. The lower the degree of fixity and coherence of other sources of the
law, the greater the need to look for help in the literature.3
Betapa doktrin itu dalam dirinya memiliki pengaruh dan peran yang
besar bagi dunia hukum pada umumnya dan bagi hakim dalam pengadilan
pada khususnya. Oleh sebab itu, doktrin pun tak bisa disangkal otoritasnya.
Seperti dikatakan Sheceira, doktrin merefleksikan legal scholar itu sendiri
dan tentu sebagai sumber dari artikulasi norma yang sejati. Nampak dari
kutipan berikut bahwasanya, “... the reflections of legal scholars can be, and
indeed in many jurisdictions are, a genuine source of the norms therein
articulated. Legal scholarship can and sometimes does itself serve to
3 Ibid, h.297.
64
establish law. It does not merely describe, criticize, or recommend changes
to law established elsewhere.”4 Harus pula diingat bahwa legal scholar
adalah notabene sebagai produsen dari doktrin. Doktrin merupakan sumber
hukum yang penting. Sehubungan dengan pentingnya doktrin sebagai
sumber hukum, oleh karena sebagai produsen, otoritas doktrin yang terletak
pada pembuat atau penulisnya. Pengakuan tersebut dikemukakan oleh
Peczenik,
“The doctrine constitutes also an important source of the law. In other
words, one pays attention to theses developed in legal writing not only
because of the quality of reasons there proffered but also due to the
authoritative position legal writers occupy. It is a well-known
phenomenon that a doctoral dissertation gains more authority as soon
as the author becomes a professor or law. This is, of course, a result of
the expectation of fixity of the law. When the law-givers and the courts
fail to make the law sufficiently fixed, one looks for other fixed sources
of the law.”5
Oleh sebab itu, tentunya doktrin pantas menjadi pedoman interpretasi
sebagai dasar intelektual bagi putusan pengadilan. Doktrin memperluas
kekuatan interpretasi dari pengadilan itu sendiri. Putusan pengadilan secara
normatif akan kurang relevan kecuali dibangun berdasarkan konstruksi
doktrinal. Sebagaimana Watt menjelaskan,
4 Fabio P.Shecaira, Legal Scholarship as a Source of Law, Op.Cit, 2013, h.viii.
5 Aleksander Peczenik, On Law and Reason, Op,Cit, h.296.
65
“Self-proclaimed, self-legitimising, ‘la doctrine’ thus used la
jurisprudence as a means to wield interpretative power. Mere judicial
statements lacked real normative relevance unless they were made to
fit within a doctrinal construction. In other words, law had come to be
seen as legal science (or at least, was perceived to correspond to a
certain prevailing idea of ‘science’); cases, dealing with mere facts,
were in need of the intermediation of ‘la doctrine’ before they could be
considered a ‘source’ of law – to be offered in turn to the courts as the
intellectual basis of their future decisions.”6
Doktrin sebagai sumber hukum yang otoritatif. Dalam arti doktrin
sebagai sumber hukum otoritatif perlu dipahami bukan berarti mengikat
(binding) tetapi dalam arti otoritas (authority). Sebelumnya telah
dikemukakan sebagaimana dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja
bahwa salah satu eksistensi doktrin yaitu sebagai sumber hukum tambahan.
Dikatakan sumber hukum tambahan oleh karena disandingkan dengan
sumber hukum mengikat lainnya (misalnya undang-undang ataupun putusan
pengadilan). Namun, harus diingat bahwa doktrin merupakan otoritas yang
setara dengan sumber hukum mengikat lainnya. Oleh karenanya, seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam hal makna dari doktrin itu sendiri,
lebih dari itu menurut Pattaro dalam kewibawaannya memiliki sifat otoritatif.
“... The answer is, because of the quality of argumentation it typically
produces. Legal doctrine delivers rational arguments; hence the
6 Horatia Muir Watt, The Epistemological Function of ‘la Doctrine’, disunting
oleh Mark Van Hoecke, Methodologies of Legal Research, Which Kind of Method for, What
Kind of discipline?, European Academy of Legal Theory Monograph Series, Hart
Publishing, Oxford and Portland, Oregon, 2011, h.127.
66
presumption that it should be regarded as authoritative. A more profound
answer is that it gains authority because pro tanto well in-formed, coherent,
and just. Thus, legal doctrine converts reason into authority.”7 Sangat
disayangkan ketika dalam menemukan suatu kaidah hanya terpaku pada satu
atau dua sumber hukum yang katanya “otoritatif”. Lagipula doktrin telah
menjadi sumber hukum penting sepanjang perjalanan sejarah. Doktrin lebih
dari sekedar sumber hukum, karena di dalamnya terkandung makna
sebenarnya apa itu hukum dan representasi dari hukum itu sendiri.
Klasifikasi-klasifikasi mengenai kekuatan dari setiap sumber hukum
menurut Penulis memiliki beban berdebat yang tak kunjung habis. Pada
intinya di antara semua sumber hukum itu harus dinilai mana yang paling
tepat digunakan sehingga cita-cita keadilan pun tercapai. Sama halnya
dengan pemikiran Pattaro mengenai pengklasifikasian sumber hukum yang
pembahasannya merupakan sebuah idealisasi. Kita dapat bekerja di luar
klasifikasi sumber hukum yang semakin kompleks.
“The classification discussed is an idealization. We can work out
increasingly complex classifications of the sources of law. Moreover,
only vague definitions of “must-sources,” “should-sources,” and
“may-sources” of law are universally acceptable. The precise
interpretation of these concepts varies from one legal order to another,
7 Enrico Pattaro et.al., A Treatise of Legal Philosophy and General
Jurisprudence, Vol.4: Scientia Juris, Legal Doctrine as Knowledge of Law and as Source of
Law, Op.Cit, h.17.
67
from one part of a legal order to another, and from one period to
another. Different people will suggest different precise interpretations
serving different purposes.
... If we assign priority to a less important legal source over a more
important one, we will have the burden of arguing this priority.”8
Perlu juga untuk diingat bahwa doktrin yaitu scientia juris
sebagaimana karakternya yang merupakan produk dari ilmu hukum itu
merupakan cerminan dari para yuris/ legal scholars. Ketika doktrin
merupakan karya atau dari para yuris tentu tidak perlu diragukan lagi. Tidak
perlu diragukan ialah dalam arti yuris yang sebenarnya tidak akan mungkin
menyimpang dari ilmu hukum yang notabene self-evident. Secara filosofi
doktrin itu self-evident. Oleh sebab itu, sudah tentu karena merupakan
produk ilmu hukum yang self-evident itu, doktrin otoritatif. Mengikat karena
itulah yang diharuskan hukum. Pendapat mengenai karakter filosofis dari
doktrin dikemukakan juga oleh Pattaro:
“What is more, self-reflection on the part of legal scholars often
results in a philosophical melange. Some philosophical positions are
suited for one fragment of juristic work; others are suited for another
fragment. Thus, the philosophical assumptions of legal doctrine are
often presented as descriptive and even as self-evident.”9
Oleh sebab itu, ketika doktrin digunakan hakim dikala ia membuat
suatu putusan itu sah-sah saja bahkan dibenarkan secara hukum. Suatu
8 Ibid, h.16.
9 Ibid, h.78.
68
pemahaman yang keliru ketika mengatakan kekuatan suatu sumber hukum
hanya dilihat dari sejauh mana sumber hukum itu memiliki kekuatan
mengikat (binding) atau daya eksekutorial (enforcable) seperti halnya
undang-undang ataupun putusan pengadilan. Akan tetapi sumber hukum juga
dapat dilihat dari sumber otoritas (authority) yang lain. Selain otoritas
(authority) yang mengikat ada pula yang tidak mengikat seperti dalam hal ini
doktrin. Seperti yang diungkapkan Peczenik,
“To be sure, one can imagine a legal system in which only one
category of the sources of the law exists. For example, it may consist
solely of binding statutes. But it would be unreasonable to forbid
lawyers to quote precedents or legal literature. Consequently, the
latter materials would sooner or later gain some authority, albeit they
are not binding.”10
Tidak bisa dibayangkan ketika dalam sebuah sistem hukum hanya
memiliki satu kategori sumber hukum yakni dalam hal ini yang mengikat
tanpa adanya otoritas yang lain. Masih oleh Peczenik, dikatakan,“some
sources of the law, though not binding, have a particular authority, not much
lesser than statutes. They are guiding the legal practice.”11 Doktrin sebagai
otoritas di samping otoritas mengikat lain, keberadaanya sangat penting dan
diperlukan. Selain memberi pengertian sebenarnya tentang apa itu hukum,
tetapi juga memberi bimbingan terhadap praktek hukum. Memang dalam
10 Peczenik, On Law and Reason, Op.Cit, h.262
11 Ibid, h.262.
69
batasan tertentu doktrin pada akhirnya agar memiliki daya eksekutorial harus
masuk dalam putusan pengadilan, akan tetapi dalam menilai harus dilihat
apakah doktrin sebagai otoritas (authority) memenuhi prinsip-prinsip
rasional, koherensi, moral, dan keadilan.
Doktrin diproduksi dari kualitas argumentasi yang mana produsennya
ialah para legal scholar itu sendiri sehingga menjadikannya otoritatif.
Dengan demikian, menurut Penulis pada dasarnya sumber otoritas doktrin
terletak pada kekuatan otak orang yang memproduksi atau yang
membuatnya. Berbeda dengan mandatory authority layaknya undang-undang
ataupun putusan pengadilan yang mana sumber otoritasnya adalah
kekuasaan. Seperti yang dikatakan Scholten, sebagaimana dikutip Titon,
Bahwa masyarakat mengikutinya dan menerimanya tanpa ragu-ragu.
Siapa yang tidak mempunyai bakat atau waktu untuk mengkajinya,
mengopernya (mengambil alihnya).12
Makna tersirat yang bisa diambil dari pendapat tersebut ialah hakim
dalam menangani suatu perkara seyogyanya memperhatikan serta
menggunakan doktrin sebagai pedoman interpretasi maupun sebagai sumber
hukum. Hakim tidak selalu memahami suatu hal dan tidak selalu mempunyai
waktu untuk mengkaji suatu hal. Oleh karenanya, hakim bisa meminjam
12 Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, Op.Cit, h.138.
Dalam bukunya Paul Scholten, Penuntun dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda,
h.130.
70
kekuatan otak dari para legal scholar melalui doktrin untuk membuat
putusan yang justifiable. Sebab, jika tidak, seperti Scholten melanjutkan:
“Siapa yang berusaha melepaskan diri daripadanya akan tersisih
sebagai orang yang berlagak pandai dan berlagak tahu, berdiri di luar
perkembangan jiwa-jiwa.”13
Ketika hakim berusaha mengabaikan doktrin untuk memutus maka
sebenarnya seperti dikatakan Scholten ia telah tersisih sebagai orang yang
berlagak pandai dan berlagak tahu. Ia telah mengabaikan kekuatan otak yang
menjadikan doktrin otoritatif, tanpa tahu barangkali kekuatan otaknya sendiri
(dalam hal ini knowledge) adalah sangat terbatas.
A. Doktrin sebagai Sumber Hukum Tambahan
Doktrin memiliki otoritasnya sendiri. Namun, sifatnya yang otoritatif
tersebut terbatas ketika disandingkan dengan sumber hukum mengikat
lainnya seperti undang-undang atau putusan pengadilan. Sifat doktrin
memang sekunder dilihat dari perannya yang bukan menetapkan hukum
secara langsung tetapi mengklarifikasi ketentuan hukum. Shecaira juga
mengatakan hal yang sama terkait keberadaan doktrin dalam kaitannya
dengan sumber hukum mengikat lain bahwa, “should be used and enforced
in a sense of 'should' that is fairly strong but not strong enough to count as
13 Ibid., h.139. Dalam bukunya Paul Scholten, Penuntun dalam Mempelajari
Hukum Perdata Belanda, h.131.
71
authoritative"—as is the case with mandatory sources.”14 Sebelum melihat
lebih dalam mengenai posisi doktrin dalam sumber hukum, ada baiknya
dilihat kategori-kategori sumber hukum menurut Peczenik yaitu konsep
sumber must-, should-, dan may-. Lebih lanjut ia menjelaskan dari konsep
tersebut sebagai berikut.
The following comments elucidate the complex meaning of “must”,
“should” and “may”.
1. The “must-sources” are more important than the “should-sources”
which are more important than the “may-sources”.
One way to make this hierarchy of importance precise is, what follows.
a. The more important sources are stronger reasons than the less
important ones.
b. Reasons strong enough to justify disregarding a less important
source may be weaker than those required to justify disregarding a
more important one.
c. If a more important source is incompatible with a less important
one, e.g. if a statute is incompatible with a view expressed in
legislative preparatory materials, the former has a prima facie
priority. One thus ought to apply the more important source, not the
less important one, unless sufficiently strong reasons support the
opposite conclusion.
d. Many cumulated weak reasons often take priority over fewer strong
ones.
e. Whoever wishes to reverse the priority order, has a burden of
reasoning.
14 Fabio P.Shecaira, Legal Scholarship as a Source of Law, Op.Cit, 2013, h.viii.
72
2. If one only considers judicial reasoning, one may add, what follows.
The courts have a strong duty to apply the “must-sources”. They have
a weak duty to apply the “should-sources”.This distinction is,
however, difficult to state precisely. One way is to point out that the
consequences of disregarding the “should-sources” are usually
milder.15
Kurang lebih ketika melihat penjelasan di atas, kategori-kategori
tersebut dirumuskan dengan konsep yang hirarkis. Sumber hukum yang
paling kuat menurut pengkategorian tersebut adalah must-sources. Must-
sources dikatakan adalah sumber hukum yang lebih penting dari should-
sources dan keduanya itu lebih penting dari may-sources. Namun dalam
hirarki yang dijelaskan ini dimungkinkan sumber hukum yang lebih ‘lemah’
bisa mengenyampingkan yang lebih ‘kuat’. Membalik urutan prioritas
tersebut memiliki beban penalaran. Pengadilan tentu memiliki kewajiban
yang kuat untuk menggunakan must-sources, karena must-sources
merupakan mandatory authority. Pengadilan dalam membuat putusan tidak
terikat dengan should-sources dan bisa mengabaikannya.
Doktrin atau scientia juris menurut Penulis berada pada kategori
should-souces. Doktrin dalam posisinya yang otoritatif tidak memiliki
kekuatan mengikat (binding) seperti halnya sumber hukum yang dikatakan
must-sources atau misalnya secara konkrit undang-undang. Doktrin tidak
memiliki kekuatan mengikat tetapi lebih ke sifatnya yang membimbing atau
15 Peczenik, On Law and Reason, Op.Cit, h.263.
73
menuntun (guiding). Tetapi doktrin tidak juga termasuk dalam may-sources
karena otoritasnya sebagai doktrin—scientia juris. Doktrin mungkin saja
termasuk dalam may-sources, tetapi dalam konteks doktrin yang lebih luas
bukan doktrin yang dimaksud dalam tulisan ini yaitu scientia juris. Oleh
karena itulah, ketika masuk dalam kategori should-sources, doktrin
merupakan sumber hukum tambahan. Tetapi harus diingat pula bahwa tidak
menutup kemungkinan sumber hukum yang lebih ‘penting’ dikesampingkan
oleh kategori di bawahnya. Dengan demikian scientia juris dalam posisi
mengikat (binding) hakim ketika memutus berada pada sumber hukum
tambahan.
B. Eksistensi Doktrin terhadap Hukum Positif
Hukum positif yang dimaksud di sini adalah produk dari badan atau
lembaga otoritatif pada waktu dan tempat tertentu (misalnya: undang-
undang). Hukum positif merupakan mandatory authority yang pada
hakekatnya mengikat. Di lain sisi, doktrin berada pada posisi otoritatif
(authoritative) yang membimbing (guiding), tetapi bukan mengikat
(binding). Lebih jelasnya, menurut Peczenik yang mana doktrin memainkan
peran di Swedia, “Some sources of the law, though not binding, have a
particular authority, not much lesser than statutes. They are guiding the
legal practice. Precedents, legislative preparatory materials and some other
74
sources play precisely this role in Sweden.”16 Bahasan kutipan inilah
bermaksud untuk menjelaskan posisi doktrin. Doktrin memiliki posisi yang
sekunder dalam sumber hukum tetapi memiliki pengaruh yang kuat terhadap
pengadilan. Lantas, seperti apa eksistensi bahkan pengaruh dari doktrin
terhadap hukum positif. Doktrin sebetulnya sudah mempunyai tempatnya
sendiri pada dunia hukum termasuk pada hukum positif. Doktrin memiliki
peran dalam membuat dan menciptakan hukum positif, termasuk misalnya
dalam proses legislasi. Pattaro mengemukakan:
In general, legal doctrine exerts a significant influence in creating law.
For example, in many countries legal researchers join legislative
committees. Moreover, in international relations, model law (a kind of
soft law) is often made by bodies of professors, sometimes having a
tenuous authorization (as from the U.N.) and recognized as
authoritative.17
Para legal scholar memberikan pengaruhnya pada pembuatan
pengaturan-pengaturan hukum tertentu. Di balik perannya yang penting bagi
perkembangan hukum, kaitannya dengan hukum positif doktrin sering
disalahgunakan. Seperti diungkap Pattaro ketika doktrin dalam proses
politik. Ia memberikan analogi ketika doktrin tidak digunakan sebagaimana
mestinya. Analoginya seperti orang mabuk yang menggunakan tiang lampu
16 Ibid, h.262
17 Enrico Pattaro et.al., A Treatise of Legal Philosophy and General Jurisprudence
Vol.4, Op.cit, h.7.
75
(lampu jalan). Orang mabuk menggunakan tiang lampu untuk bersandar
bukan dalam rangka untuk mendapatkan penerangan dari lampu.
“An important question in this context is whether legal experts exert a
real influence on political solutions or only on political rhetoric.
Politicians often use legal doctrine as a drunkard uses a lamppost: To
get support rather than to get light. But whatever intentions they have,
they need to be alert to the possibility of criticism from jurists and—
more important—from voters, who often demand consistency,
coherence, legal certainty, predictability, and, not least, justice and
objectivity.”18
Situasi demikian terjadi akibat kurang atau lemahnya pengembangan
teori-teori mengenai hukum yang mengarah pada communis opinio doctorum
sehingga berakibat dimanfaatkan oleh para politikus. Doktrin seharusnya
melalui para legal scholar supaya bisa reaktif ketika tekanan untuk suatu
perubahan bertentangan dengan ekspektasi moral. Seperti Pattaro
menambahkan,
“Legal doctrine can be used in the service of politics: Politicians
establish goals and values; legal scholars help convert these into draft
law. This is the only option when juristic theories are weakly
developed and do not lead to any extensive communis opinio doctorum.
This may also be justifiable in the face of strong social pressure for
change. But there is also a limit. If the pressure for change conflicts
too much with the moral expectations of the members of society, legal
doctrine should rather act in a reactionary manner, aiming to slow
down the pace of change.”19
18 Ibid.
19 Ibid., h.8.
76
Dalam proses legislasi, kita tahu bahwa peranan legal scholar itu
sangat penting dalam membangun suatu kerangka hukum. Tetapi, di sisi lain
hal tersebut dimanfaatkan para politikus untuk memasukkan kepentingan
tertentu. Akibatnya prinsip-prinsip hukum tertentu dianulir dengan
pengaturan-pengaturan yang mengarah pada diakomodirnya kepentingan
para politikus.
“On the other hand, politics is conducted within the frame of the law:
Politicians initiate legislation within the framework constructed by
legal scholars. Thus, legal doctrine may produce exceptions to
statutory rules. A more interesting phenomenon is that it may produce
“subsidiary” general norms (principles and rules) to which the
statutory rules are exceptions. For example, scholars of civil law have
developed such norms as the negligence principle and pacta sunt
servanda. They also have developed clusters of norms specific to such
general theories as the theory of adequate causation in torts and the
theory of assumptions in contracts (which see Chapter 2 below).
Particular legislation has introduced specific rules that may be
regarded as exceptions to such norms.”20
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa doktrin dalam
eksistensinya terhadap hukum positif hanya pada posisi otoritatif
(authoritative) yang memimbing (guiding) bukan mengikat (binding)
sebagaimana hukum positif itu sendiri. Akan tetapi, walaupun sebagai
mandatory authority hukum positif mengikat, tetapi sudah diintrodusir oleh
kepentingan-kepentingan politik yang notabene bukan hakekat dari peranan
20 Enrico Pattaro et.al., A Treatise of Legal Philosophy and General
Jurisprudence Vol.4, Op.Cit, h.8.
77
doktrin itu sendiri. Doktrin memiliki peranan yang lebih penting dari sekedar
menjadi perantara kepentingan politik. Sebagaimana awalnya dikemukakan
bahwa doktrin membantu praktek hukum termasuk di dalamnya ketika
pembuatan naskah akademik/legislative preparatory material atau bahkan
yang lebih penting pengaruhnya yang signifikan terhadap creating the law.