Case Anestesi GA

download Case Anestesi GA

of 28

description

medical

Transcript of Case Anestesi GA

CASE REPORT

GENERAL ANESTESI PADA KURETASE

Disusun Oleh :

Kinanti Rizky Chairunisa110.2011.138Ovienanda Kristi P110.2011.205Pembimbing :

Dr. Tati M, Sp.AnRUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA CILEGONDESEMBER 2015KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmatnya serta karunianya, sehingga syukur Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus dengan judul Kuretase dengan General Anastesi . Presentasi kasus ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik bagian anestesiologi di RSUD Cilegon. Penulis sangat sadar bahwa tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, penulis tidak akan dapat menyelesaikan presentasi kasus ini.

Penghargaan dan terima kasih yang tulus penulis tujukan kepada:1. Kedua orang tua penulis, yang akan selalu menjadi sumber inspirasi penulis, yang tidak pernah berhenti memberikan dukungannya baik dalam moral maupun materiil.2. dr. Tati M, Sp.An, selaku pembimbing yang dengan segala kesibukan dan aktifitasnya, masih meluangkan waktunya untuk membimbing penulis.3. Teman-teman dan semua pihak yang telah turut membantu dalam pembuatan referat ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.Tak lupa penulis memohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam penulisan presentasi kasus ini karena terbatasnya pengetahuan yang dimiliki. Masukan kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis hargai guna kesempurnan referat ini. Semoga tugas presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Cilegon, Desember 2015DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2DAFTAR ISI 3BAB I PENDAHULUAN 4

BAB II LAPORAN KASUS 5BAB II LAPORAN ANASTESI 10 BAB IIIANALISA KASUS 13

BAB IIITINJAUAN PUSTAKA 17

DAFTAR PUSTAKA BAB I

PENDAHULUAN

Setiap pasien yang akan menjalani tindakan invasif, seperti tindakan bedah akan menjalani prosedur anestesi. Anestesi sendiri secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.

Terdapat beberapa tipe anestesi, yang pertama anestesi total, yaitu hilangnya kesadaran secara total, anestesi lokal, yaitu hilangnya rasa pada daerah tertentu yang diinginkan (pada sebagian kecil daerah tubuh), anestesi regional yaitu hilangnya rasa pada bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal atau saraf yang berhubungan dengannya.BAB IILAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

Identitas Pasien

Nama

: Ny. SUsia

: 25 tahunJenis kelamin

: PerempuanAlamat

: Kulo GabusAgama

: IslamStatus Pernikahan

: MenikahPendidikan Terakhir: SMP

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Ruang Perawatan

: R. Edelweis

Tanggal Masuk RS

: 16 Desember 2015II. ANAMNESIS

Keluhan Utama: Keluar darah dari jalan lahir sejak hari mingguAnamnesa Khusus:Pasien datang ke PONEK IGD RSUD cilegon tanggal 16 Desember 2015 dengan keluhan keluar darah dari jalan lahir sejak hari minggu, atau 4 hari sebelum masuk rs. Pagi pada tanggal 15 desember 2015 os kontrol ke poli kandungan hasil usg : janin tunggal hidup 29 minggu, preskep, plasenta di fundus, air ketuban cukup tbj : 1300gr. Os mengaku ini kehamilan ke 2, dan belum pernah keguguran .Pada tanggal 21 Desember 2015 bayi lahir spontan, jenis kelamin laki-laki dengan bb/tb 1300/34. Os mengaku selama kehamilan tidak memiliki penyulit, atau keluhan sakit. riwayat haid pertama kali usia 14 tahun, haid dirasakan teratur setiap bulannya.

Riwayat penyakit dahulu:1) Riwayat asma disangkal

2) Riwayat alergi obat disangkal

3) Riwayat operasi sebelumnya disangkal

4) Riwayat Hipertensi disangkal

5) Riwayat Diabetes Mielitus disangkal6) Riwayat Hepatitis disangkal7) Riwayat Tuberkulosis disangkal

Riwayat penyakit keluargaRiwayat asma, alergi, Hipertensi, Diabetes mielitus, disangkal. Riwayat Kebiasaan dan Pengobatan :

Pasien mengaku tidak memiliki kebiasaan merokok ataupun minum-minuman beralkohol. Pasien juga menyangkal memakai gigi palsu, adanya gigi goyang maupun gigi tunggal.Riwayat Tindakan Operatif

Pasien mengaku pernah melakukan operasi sebelumnya.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan pada 22 Desember 2015GCS:E4V5M6 Keadaan umum : tampak sakit ringan

Kesadaran : compos mentis

TB/ BB: 145/45kgVital Sign:Tekanan darah: 100/80 mmHg

Nadi: 80 x/menit

Suhu: 36,4(C

Pernafasan:22 x/menit

Status Generalisa. Kulit:Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit cukup, capilary refill kurang dari 2 detik dan teraba hangat.

b. Kepala:Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma, distribusi merata dan rambut tidak mudah dicabut. Tonsil T1-T1, kripte tidak melebar, detritus (-).

c. Mata:Konjungtiva tidak anemis dan sklera tidak ikterik

d. Pemeriksaan Leher

1) Inspeksi

:Tidak terdapat jejas

2) Palpasi

:Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid. Tidak teraba pembesaran limfonodi submandibula.

i. Pemeriksaan Thorax

1) Jantung

a) Inspeksi: Tampak ictus cordis 3 cm dibawah papila mamae sinistra

b) Palpasi : Ictus cordis teraba kuatc) Perkusi :

i. Batas atas kiri

:SIC II LPS sinsitra

ii. Batas atas kanan

:SIC II LPS dextra

iii. Batas bawah kiri

:SIC V LMC sinistra

iv. Batas bawah kanan :SIC IV LPS dextra

d) Auskultasi : S1 S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan murmur.2) Paru

a) Inspeksi:Dinding dada simetris pada saat statis dan dinamis serta tidak ditemukan retraksi dan ketertinggalan gerak.b) Palpasi:Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri dan tidak terdapat ketertinggalan gerak.c) Perkusi:Sonor kedua lapang parud) Auskultasi:Tidak terdengar suara rhonkhi pada kedua paru. Tidak terdengar suara wheezing j. Pemeriksaan Abdomen

a) Inspeksi:Perut membuncit, simetris, tidak terdapat jejas dan massa

b) Auskultasi:Terdengar suara bising usus dalam batas normal.c) Perkusi:Timpanid) Palpasi:Supel, tidak terdapat nyeri tekan dan nyeri lepas. Hepar dan lien tidak teraba.k.Pemeriksaan Ekstremitas : Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis

Turgor kulit cukup, akral hangatIV. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium Pemeriksaan16 Desember 2015Nilai normal

Hematologi

Hemoglobin10,414-18 g/dL

Leukosit109505000-10000/(L

Hematokrit30,940-48%

Trombosit210000150000-450000/(L

Masa Pembekuan115-15 menit

Masa Perdarahan31-6 menit

Gol. DarahA Rh(+)

Kimia Klinik

GDS76 200 mg/dL

Seroimmunologi

HbsAg

Anti-HIVNegatifNon ReaktifNegatifNon Reaktif

USG : Kesan Retensi sisa plasenta

V. KESAN ANESTESI

Pasien seorang perempuan 25 tahun. P2A0 dengan retensi sisa plasenta. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik ataupun gangguan organic lainnya dan tidak didapati adanya komplikasi pada keluhan yang dirasakan sehingga dapat dikategorikan pasien memiliki status fisik ASA I.VI. PENATALAKSANAANPenatalaksanaan yaitu :

a. Intravena fluid drip (IVFD) RL 20 tpm

b. Pro Kuretasec. Informed Consent Operasid. Konsul ke Bagian Anestesi

e. Informed Consent Pembiusan

Dilakukan operasi dengan general anestesi dengan status ASA IVII. KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka ;

Diagnosis pre operatif: G2A0 dengan retensi sisa plasentaStatus operatif : ASA I (Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik ataupun gangguan organic lainnya dan tidak didapati adanya komplikasi pada keluhan yang dirasakan )

Jenis Operasi

: Kuretase

Jenis Anestesi

: Generaal Anestesi BAB IIILAPORAN ANESTESIA. 1.Preoperatif

Informed Consent (+)

Puasa (+) kurang lebih 6-8 jam

Tidak terdapat gigi goyang dan pemakaian gigi palsu

IV line terpasang dengan infus RL 500 cc, mengalir lancar

Keadaan umum tampak sakit ringan Kesadaran Compos Mentis

Tanda Vital:

TD: 100/80 mmHg

RR: 22 x/menit

Nadi: 80x/menit

Suhu: 36,4C

B. Premedikasi Anestesi

Sebelum dilakukan tindakan anestesi diberikan Ondansentron 4 mg secara bolus Intravena.

C. Tindakan Anestesi

Tanggal 22 Desember 2015 jam 11:20, Ny. R, 20 tahun tiba di ruang operasi dengan terpasang infus RL 20 tpm. Dilakukan pemasangan dan pemeriksaan vital sign dengan hasil TD 125/80 mmHg; Nadi 100x/menit, dan SpO2 99%. Pukul 11:25. Diberikan premedikasi dengan injeksi Ondancentron 4 mg secara intravena. Setelah diberikan premedikasi dilakukan induksi dengan injeksi Fentanyl 125 g, propofol 80 mg intavena. Bersamaan dengan itu, pasien dioksigenisasi dengan canul oksigen yang telah terpasang pada mesin anestesi yang mengalirkan oksigen dari mesin ke jalan napas sebanyak 2 liter per menit.

Setelah pasien terinduksi dengan tanda reflek bulu mata menghilang, merupakan tanda operasi dapat dimulai.D. Pemantauan Selama Tindakan Anestesi

Melakukan pemantauan keadaan pasien terhadap tindakan anestesi. Yang dipantau adalah fungsi kardiovaskular dan fungsi respirasi, serta cairan.

-Kardiovaskular: pemantauan terhadap tekanan darah dan frekuensi nadi setiap 5 menit.

-Respirasi: inspeksi pernapasan spontan kepada pasien dan saturasi oksigen

-Cairan : monitoring input cairan infus.

Lampiran Monitoring Tindakan Operasi: lima menit I

:125/80 mmHg, nadi 100x/mnt, SpO2 99% lima menit II

: 90/60 mmHg, nadi 90x/mnt, SpO2 99% lima menit III

: 90/65 mmHg, nadi 75x/mnt, SpO2 99% lima menit IV

:100/75 mmHg, nadi 80x/mnt, SpO2 99%Laporan Anestesi

1. Diagnosis Pra Bedah:P2A0 dengan Retensi Sisa Plasenta

2. Diagnosis Pasca Bedah: P2A03. Penatalaksanaan Preoperasi : Infus RL 500cc

4. Penatalaksanaan Anestesi

a. Jenis pembedahan

: Kuretase b. Jenis Anestesi

: General Anestesi

c. Teknik Anestesi

: TIVAd. Mulai Anestesi

: pukul 11.25WIB

e. Mulai Operasi

: pukul 10.30WIB

f. Premedikasi

: Ondansentron 4 mg IV

g. Medikasi

: Propofolh. Medikasi tambahan

: Methylergometrin 0,2mg, oxyticin 10 IU, pronalgess supp (ketoprofen 100mg)

i. Respirasi

: Oksigen 2liter per menitj. Cairan durante operasi : RL 500 cc

k. Pemantauan tekanan darah dan HR

l. Selesai operasi

: Pukul 11.40 WIB

5. Post Operatif

a. Pasien masuk ke dalam ruang pemulihan (Recovery Room) kemudian dibawa kembali ke ruang rawat inap.

b. Observasi tanda-tanda vital dalam batas normal :

Keadaan umum : tampak sakit ringan

Kesadaran : compos mentis TD : 100/60 mmHg

Nadi : 85x/m

Saturasi oksigen : 99%

Penilaian pemulihan kesadaran : dengan menggunakan skor Bromage.

Respirasi rate 22x/menit. Perdarahan selama operasi 10 cc. Pasien tidak tampak hipoksia, sesak napas maupun hipovolemik. Pembedahan dilakukan selama 20 menit. Intake IVFD RL500 cc.

Setelah operasi selesai. pasien diberikan oxytocin 10 iu dan methyl ergometrin 0,2 mg serta pronalges supp 100mg. Pasien dipindahkan ke ruang pemulihan (recovery room), dilakukan pemantauan keadaan umum, tingkat kesadaran, dan vital sign hingga stabil. Pulse oximetry dimonitor hingga pasien sadar penuh sampai pemulihan anestesi maksimal. Setelah berada di recovery room dilakukan penilaian aldrete score, hingga nilai > 8, maka pasien dapat dipindahkan ke ruang perawatan (bangsal).BAB IVANALISIS KASUS

Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka pasien dapt diklasifikasikan ke dalam ASA I, yaitu pasien normal dan hanya menderita penyakit yang akan dioperasi tanpa penyakit sistemik lainnya. Persiapan yang dilakukan sebelum operasi yaitu memastikan pasien dalam keadaan baik, memasang infus, dan pasien dalam keadaan puasa selama 6-8 jam sebelum operasi untuk meminimalkan risiko aspirasi isi lambung ke jalan nafas selama anestesi.

Menjelang operasi pasien dalam keadaan tampak sakit ringan dan kesadaran compos mentis. Jenis anestesi yang akan dilakukan yaitu general anestesi dengan teknik TIVA. Dari anamnesa diketahui bahwa pasien belum pernah menjalankan operasi apapun. Pasien direncanakan untuk operasi extirpasi elektif.

Sebelum operasi dimulai, pasien dipersiapkan terlebih dahulu yaitu memastikan infus berjalan lancar, ini dimaksudkan karena pada saat operasi sebagian besar obat-obatan diberikan melalui jalur intravena, kemudian pemasangan alat-alat tanda vital seperti tensi, alat saturasi yang bertujuan untuk melihat tekanan darah pasien karena beberapa obat anestesi dapat mempengaruhi perubahan tekanan darah. Alat saturasi bertujuan untuk memantau suplai oksigen. Kemudian memastikan pasien dalam keadaan tenang dan kooperatif.

Pasien diberikan obat premedikasi yaitu Ondansetron 4 mg secara bolus IV, yang bertujuan agar pasien tidak mual dan muntah karena obat-obat anestesi dapat merangsang muntah pada pasien. Ondansetron adalah suatu antagonis reseptor Serotonin 5 Hydroxytriptamine (5HT3) selektif. 5HT3 merupakan zat yang akan dilepaskan jika terdapat toksin dalam saluran cerna, berikatan dengan reseptornya dan akan merangsang saraf vagus menyampaikan rengsangan ke CTZ (Chemoreseptor Trigger Zone) dan pusat muntah dan kemudian terjadi mual muntah.

Kemudian dilakukan anestesi general kepada pasien dengan menggunakan Fentanyl, Propofol. Fentanyl sebagai analgesik adalah analgesik narkotika yang poten, bisa digunakan sebagai tambahan untuk general anestesi maupun sebagai awalan anestesi. Fentanil memiliki kerja cepat dan efek durasi kerja kurang lebih 30 menit setelah dosis tunggal IV 125 g. Fentanyl bergantung dari dosis dan kecepatan pemberian, bisa menyebabkan rigiditas otot, euforia, miosis, dan bradikardi. Profopol bekerja sebagai sedasi atau hipnotik. Dosis induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disertai efek analgesik. Pada pemberian dosis induksi (2 mg/kgBB) pemulihan berlangsung cepat.

Ada berbagai teknik anestesi untuk melakukan extirapasi fibroadenoma mamma. Teknik anestesi yang dianjurkan adalah pemasangan LMA, karena dinilai lebih aman dan lebih tidak invasive dibanding dengan pemasangan Endotracheal Tube (ET). Dipilih manajemen jalan nafas dengan LMA karena pertimbangan lama operasi yang tidak begitu lama, karena LMA tidak dapat digunakan pada pasien yang membutuhkan bantuan ventilasi dalam jangka waktu lama. LMA sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk airway management. LMA bukanlah suatu penggantian ET, ketika pemakaian ET menjadi suatu indikasi.Pada kasus ini digunakan maintenance N2O dan O2 dengan perbandingan 50:50 (N20 2 liter per menit : O2 2 liter per menit) serta isofluran vol 2 %.Berdasarkan kepustakaan disebutkan bahwa anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan dapat mengembalikan kesadaran dengan segera setelah pemberian dihentikan serta mempunyai batas keamanan yang cukup besar dan efek samping minimal. Hal ini tidak dapat dicapai bila diberikan secara tunggal. Oleh karena itu perlu anestesi dalam bentuk kombinasi. Umumnya obat anestesi umum diberikan secara intravena dan inhalasi. Selama anestesi berlangsung, pasien diberikan Tramadol 100 mg secara bolus IV. Tramadol adalah analgesik kuat yang bekerja pada reseptor opiat. Tramadol mengikat secara stereospesifik pada reseptor di sistem saraf pusat sehingga menghentikan sensasi nyeri dan respon terhadap nyeri. Di samping itu juga menghambat pelepasan neurotransmiter dari saraf aferen yang bersifat sensitif terhadap rangsang, akibat impuls nyeri terhambat.

Ekstubasi dilakukan sesaat sebelum pasien sadar. Namun sebelum LMA dilepas dilakukan pembersihan jalan napas dari lendir dengan menggunakan suction sampai bersih supaya pernapasan lancar, kemudian balon LMA dikempeskan selanjutnya baru dilepaskan. Setelah ekstubasi dipasang guedel dan pasien tetap diberikan O2 selama kurang lebih 5-10 menit.

Terapi cairan durante operasi pada pasien ini dipilih menggunakan Ringer Laktat yang merupakan cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan.

Setelah operasi selesai, pemantauan dilanjutkan di RR (Recovery Room). Tampak kondisi pasien stabil, sadar penuh, tanda-tanda vital dalam batas normal, tidak tampak adanya tanda syok, dan dilakukan penilaian aldrete score, hingga nilai > 8, maka pasien dapat dipindahkan ke ruang perawatan (bangsal).

Apakah penggunaan LMA pada pasien operasi fibroadenoma mamma sudah tepat?Untuk menjamin jalan nafas pasien selama tidak sadar, maka dilakukan pemasangan LMA, karena dinilai lebih aman dan lebih tidak invasive dibanding dengan pemasangan Endotracheal Tube (ET). Dipilih manajemen jalan nafas dengan LMA karena pertimbangan lama operasi yang tidak begitu lama, karena LMA tidak dapat digunakan pada pasien yang membutuhkan bantuan ventilasi dalam jangka waktu lama. LMA sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk airway management. LMA bukanlah suatu penggantian ET, ketika pemakaian ET menjadi suatu indikasi.Keuntungan penggunaan LMA diabanding ET adalah kurang invasif, mudah penggunaanya, minimal trauma pada gigi dan laring, efek laringospasme dan bronkospasme minimal, dan tidak membutuhkan agen relaksasi otot untuk pemasangannya.

Laringeal mask airway ( LMA ) adalah alat supra glotis airway, didesain untuk memberikan dan menjamin tertutupnya bagian dalam laring untuk ventilasi spontan dan memungkinkan ventilasi kendali pada mode level (< 15 cm H2O) tekanan positif. Alat ini tersedia dalam 7 ukuran untuk neonatus, infant, anak kecil, anak besar, kecil, normal dan besar.

Indikasi: a. Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk airway management. LMA bukanlah suatu penggantian ET, ketika pemakaian ET menjadi suatu indikasi.

b. Pada penatalaksanaan dificult airway yang diketahui atau yang tidak diperkirakan.

c. Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak sadarkan diri.

Kontraindikasi:

a. Pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung ( penggunaan pada emergency adalah pengecualian ).

b. Pasien-pasien dengan penurunan compliance sistem pernafasan, karena seal yang bertekanan rendah pada cuff LMA akan mengalami kebocoran pada tekanan inspirasi tinggi dan akan terjadi pengembangan lambung. Tekanainspirasi puncak harus dijaga kurang dari 20 cm H2O untuk meminimalisir kebocoron cuff dan pengembangan lambung.

c. Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka waktu lama.

d. Pasien-pasien dengan reflex jalan nafas atas yang intack karena insersi dapat memicu terjadinya laryngospasme.Efek Samping :

Efek samping yang paling sering ditemukan adalah nyeri tenggorok, dengan insidensi 10 % dan sering berhubungan dengan over inflasi cuff LMA. Efek samping yang utama adalah aspirasi.

Komplikasi Pemakaian LMA

Clasic LMA tidak menyediakan perlindungan terhadap aspirasi paru karena regurgitasi isi lambung dan juga tidak bijaksana untuk menggunakan cLMA pada pasien-pasien yang punya resiko meningkatnya regurgitasi, seperti : pasien yang tidak puasa, emergensi, pada hernia hiatus simtomatik atau refluks gastro-esofageal dan pada pasien obese.

Insidensi nyeri tenggorokan dengan menggunakan LMA sekitar 28 %13 dimana insidensi ini mirip dengan kisaran yang pernah dilaporkan yaitu antara 21,4 % - 30 % ( Wakeling et al ), 28,5 % dan sampai 42 % Clasic LMA mempunyai insidensi kejadian batuk dan komplikasi jalan nafas yang lebih kecil dibandingkan dengan ET. Namun clasic LMA mempunyai kerugian. LMA jenis ini hanya menyediakan sekat tekanan rendah ( rata-rata 18 20 cmH2O ) sehingga jika dilakukan ventilasi kendali pada paru, akan menimbulkan masalah. Peningkatan tekanan pada jalan nafas akan berhubungan dengan meningkatnya kebocoran gas dan inflasi lambung. Lebih lanjut lagi, clasic LMA tidak memberikan perlindungan pada kasus regurgitasi isi lambung. Proseal LMA berhubungan dengan kurangnya stimulasi respirasi dibandingkan ET selama situasi emergensi pembiusan.

ProSeal LMA juga mempunyai keuntungan dibandingkan clasic LMA selama ventilasi kendali ; sekat pada ProSeal LMA meningkat sampai dengan 50 % dibandingkan clasic LMA sehingga memperbaiki ventilasi dengan mengurangi kebocoran dari jalan nafas. Sebagai tambahan drain tube pada ProSeal LMA akan meminimalisir inflasi lambung dan dapat menjadi rute untuk regurgitasi isi lambung jika hal ini terjadi.

Setelah operasi selesai, pasien Oxytocin 10 IU dalam ringer laktat, Methyl Erometrin secara bolus dan pronalgess (ketoprofen 100mg) yang merupakan analgetik golongan NSID diberikan secara suppositoria utnuk mengurangi rasa nyeri asca operasi. Kondisi pasien stabil dan pemantauan dilanjutkan di ruangan RR (Recovery Room) sampai pasien dibawa kembali ke ruangan.

BAB V

TINJAUAN PUSTAKA1. Definisi Anestesi Umum (General Anesthesia)

Anestesi umum adalah suatu keadaan meniadakan nyeri secara sentral yang dihasilkan ketikapasien diberikan obat-obatan untuk amnesia, analgesia, kelumpuhan otot, dan sedasi. Padapasienyang dilakukan anestesi dapat dianggap berada dalam keadaan ketidaksadaran yang terkontrol dan reversibel. Anestesi memungkinkan pasien untuk mentolerir tindakan pembedahan yangdapatmenimbulkanrasasakittaktertahankan,yangberpotensimenyebabkanperubahan fisologistubuhyangekstrim,danmenghasilkankenanganyangtidakmenyenangkan. Rees dan Gray membagi anestesi menjadi 3 (tiga) komponen yaitu :

1. Hipnotika : pasien kehilangan kesadaran

2. Anestesia : pasien bebas nyeri

3. Relaksasi : pasien mengalami kelumpuhan otot rangka

TIVA (Total Intravena Anestesi) adalah teknik anestesi umum dengan hanya menggunakan obat-obat anestesi yang dimasukkan lewat jalur intravena tanpa penggunaan anestesi inhalasi termasuk N2O. TIVA digunakan untuk mencapai 4 komponen penting dalam anestesi yang menurut Woodbridge (1957) yaitu blok mental, refleks, sensoris dan motorik.

2. Pembagian Anestesi/General AnastesiTeknik anestesi umum :

a) Anestesi umum intravena

b) Anestesi umum inhalasi

c) Anestesi imbang.

2.1. Anestesi Umum IntravenaTeknik anestesi intravena merupakan suatu teknik pembiusan dengan memasukkan obat langsung ke dalam pembuluh darah secara parenteral, obat-obat tersebut digunakan untuk premedikasi seperti diazepam dan analgetik narkotik. Induksi anestesi seperti misalnya tiopenton yang juga digunakan sebagai pemeliharaan dan juga sebagai tambahan pada tindakan analgesia regional. Dalam perkembangan selanjutnya terdapat beberapa jenis obat obat anestesi dan yang digunakan di Indonesia hanya beberapa jenis obat saja seperti, Tiopenton, Diazepam , Dehidrobenzoperidol, Fentanil, Ketamin dan Propofol.

Cara Pemberian:

1.Sebagai obat tunggal:

Induksi anestesi

Operasi singkat: cabut gigi

2.Suntikan berulang :

Sesuai kebutuhan : kuretase

3.Diteteskan lewat infus :

Menambah kekuatan anestesi

Obat-obat anestetik intravena:

Ketamin HCl : hipnotik dan analgetik

Tiopenton

: hipnotik

Propofol

: hipnotik

Diazepam

: sedatif dan menurunkan tonus otot

Deidrobenzperidol : sedatif

Midazolam

: sedatif

Petidin

: analgetik dan sedatif

Morfin

: analgetik dan sedatif

Fentanil/sufentanil : analgetik dan sedativeIndikasi Anestesi Intravena:1. Obat induksi anesthesia umum

2. Obat tunggal untuk anestesi pembedahan singkat

3. Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat

4. Obat tambahan anestesi regional

5. Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP (SSP sedasi)

Beberapa variasi anestesia intravena:

1. Anestesia intravena klasik

Pemakaian kombinasi obat ketamin hidroklorida dengan sedatif contoh: diazepam, midazolam atau dehidro benzperidol. Komponen trias anestesi yang dipenuhi dengan teknik ini adalah : hipnotik dan anestesia.

Indikasi :

Pada operasi kecil dan sedang yang tidak memerlukan relaksasi lapangan operasi yang optimal dan berlangsung singkat, dengan perkecualian operasi didaerah jalan nafas dan intraokuler.Kontraindikasi:

1) Pasien yang rentan terhadap obat-obat simpatomimetik, misalnya: penderita diabetes melitus, hipertensi, tirotoksikosis dan paeokromo sitoma

2) Pasien yang menderita hipertensi intrakranial

3) Pasien penderita glaukoma

4) Operasi intra okuler.2. Anestesi intravena total

Pemakaian kombinasi obat anestetika intravena yang berkhasiat hipnotik, analgetik dan relaksasi otot secara berimbang. Komponen trias anestesia yang dipenuhi adalah hipnotik, analgesia dan relaksasi otot.Indikasi :

Operasi-operasi yang memerlukan relaksasi lapangan operasi optimal

Kontraindikasi :

Tidak ada kontra indikasi absolut. Pemilihan obat disesuaikan dengan penyakit yang diderita pasien.

3. Anestesia-analgesia neurolept

Pemakaian kombinasi obat beuroleptik dengan analgetik opiat secara intravena. Komponen trias anastesia yang dipenuhinya adalah sedasi atau hipnotik ringan dan analgesia ringan. Kombinasi lazim adalah dehidrobenzperidol dengan fentanil. Jika tidak terdapat fentanil dapat digantikan dengan petidin atau morfin.

Indikasi: 1) Tindakan diagnostik endoskopi seperti laringoskopi, bronkoskopi, esofaguskopi, rektos-kopi

2) Sebagai suplemen tindakan anestesi lokalKontraindikasi :

1) Penderita parkinson, karena pada pemberian dehidrobenzperidol akan menyebabkan peningkatan gejala parkinson

2) Penderita penyakit paru obstruktif

Bayi dan anak-anak sebagai kontraindikasi relatif.

3. Keuntungan General Anestesi (TIVA)Kelebihan TIVA:

1.Kombinasi obat-obat intravena secara terpisah dapat di titrasi dalam dosis yang lebih akurat sesuai yang dibutuhkan.

2. Tidak menganggu jalan nafas dan pernafasan pasien terutama pada operasi sekitar jalan nafas atau paru-paru.

3. Anestesi yang mudah dan tidak memerlukan alat-alat atau mesin yang khusus. D. Kerugian General Regional

E. Persiapan General Regional

OBAT-OBATAN

1. Ondansentron

Ondansentron merupakan antagonis 5HT3 yang dapat ditemukan pada reseptor yang memediasi pusat muntah di otak (area post arema) dan juga lambung. Ondansentron digunakan sebagai profilaksis anti mual dan muntah dianjurkan sebelum induksi dan pascabedah terutama pada pasien dengan riwayat mual muntah. Dosis yang direkomendasikan pada ondansentron adalah 4 mg.

2. Fentanyl Fentanyl, sulfentanil, alfentanil merupakan opioid yang lebih banyak digunakan dibanding morfin karena menimbulkan analgesia anestesia lebih kuat dengan depresi napas yang lebih ringan. Opioid telah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri selama ratusan tahun. Obat opium didapat dari ekstrak biji buah poppy papaverum somniferum, dan kata opium berasal dari bahasa yunani yang berarti getah. Opium mengandung lebih dari 20 alkaloid opioids. Morphine, meperidine, fentanyl, sufentanil, alfentanil, and remifentanil merupakan golongan opioid yang sering digunakan dalam general anestesi, dan efek utamanya adalah analgetik. Dalam dosis yang besar opioid kadang digunakan dalam operasi kardiak. Opioid berbeda dalam potensi, farmakokinetik dan efek samping. Fentanyl yang lama kerjanya sekitar 30 menit segera didistribusi, tetapi pada pemberian berulang atau dosis besar akan terjadi akumulasi. Dengan dosis besar (50-100mg/ kgBB), fentanyl menimbulkan analgesia dan hilang kesadaran yang lebih kuat daripada morfin, tetapi amnesianya tidak lengkap, instabilitas tekanan darah, dan depresi napas lebih singkat. Oleh karena itu fentanyl lebih disukai daripada morfin, khususnya untuk dikombinasikan dengan anestesi inhalasi. Mekanisme kerja

Opioid berikatan pada reseptor spesifik yang terletak pada system saraf pusat dan jaringan lain. Empat tipe mayor reseptor opioid yaitu , ,,,. Walaupun opioid menimbulkan sedikit efek sedasi, opioid lebih efektif sebagai analgesia. Farmakodinamik dari spesifik opioid tergantung ikatannya dengan reseptor, afinitas ikatan dan apakah reseptornya aktif. Aktivasi reseptor opiat menghambat presinaptik dan respon postsinaptik terhadap neurotransmitter ekstatori (seperti asetilkolin) dari neuron nosiseptif.

Farmakokinetik

Absorbsi

Cepat dan komplit terjadi setelah injeksi morfin dan meperedin intramuskuler, dengan puncak level plasma setelah 20-60 menit. Fentanil sitrat transmukosal oral merupakan metode efektif menghasilkan analgesia dan sedasi dengan onset cepat (10 menit) analgesia dan sedasi pada anak-anak (15-20 g/Kg) dan dewasa (200-800 g).

Distribusi

Waktu paruh opioid umumnya cepat (5-20 menit). Kelarutan lemak yang rendah dan morfin memperlambat laju melewati sawar darah otak, sehingga onset kerja lambat dan durasi kerja juga Iebih panjang. Sebaliknya fentanil dan sufentanil onsetnya cepat dan durasi singkat setelah injeksi bolus.

Metabolisme

Metabolisme sangat tergantung pada biotransformasinya di hepar, aliran darah hepar. Produk akhir berupa bentuk yang tidak aktif.

Ekskresi

Eliminasi terutama oleh metabolisme hati, kurang lebih 10% melewati bilier dan tergantung pada aliran darah hepar. 5 10% opioid diekskresikan lewat urine dalam bentuk metabolit aktif, remifentanil dimetabolisme oleh sirkulasi darah dan otot polos esterase.

Farmakodinamik

Sistem kardiovaskuler

System kardiovaskuler tidak mengalami perubahan baik kontraktilitas otot jantung maupun tonus otot pembuluh darah.Tahanan pembuluh darah biasanya akan menurun karena terjadi penurunan aliran simpatis medulla, tahanan sistemik juga menurun hebat pada pemberian meperidin atau morfin karena adanya pelepasan histamin.

Sistem pernafasan

Dapat meyebabkan penekanan pusat nafas, ditandai dengan penurunan frekuensi nafas, dengan jumlah volume tidal yang menurun .PaCO2 meningkat dan respon terhadap CO2 tumpul sehingga kurve respon CO2 menurun dan bergeser ke kanan, selain itu juga mampu menimbulkan depresi pusat nafas akibat depresi pusat nafas atau kelenturan otot nafas, opioid juga bisa merangsang refleks batuk pada dosis tertentu.

Sistem gastrointestinal

Opioid menyebabkan penurunan peristaltik sehingga pengosongan lambung juga terhambat.

Endokrin

Fentanil mampu menekan respon sistem hormonal dan metabolik akibat stress anesthesia dan pembedahan, sehingga kadar hormon katabolik dalam darah relatif stabil.

Dosis dan pemberian

Premedikasi petidin diberikan I.M dengan dosis 1 mg/kgbb atau intravena 0,5 mg/Kgbb, sedangakan morfin sepersepuluh dari petidin dan fentanil seperseratus dari petidin.

3. Propofol ( 2,6 diisopropylphenol )Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia intravena dan lebih dikenal dengan nama dagang Diprivan. Pertama kali digunakan dalam praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat induksi. Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia umum, pada pasien dewasa dan pasien anak anak usia lebih dari 3 tahun. Mengandung lecitin, glycerol dan minyak soybean, sedangkan pertumbuhan kuman dihambat oleh adanya asam etilendiamintetraasetat atau sulfat, hal tersebut sangat tergantung pada pabrik pembuat obatnya. Obat ini dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1 % (1 ml = 10 mg) dan pH 7-8 Mekanisme kerja

Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang diketahui, tapi diperkirakan efek primernya berlangsung di reseptor GABA A (Gamma Amino Butired Acid). Farmakokinetik

Digunakan secara intravena dan bersifat lipofilik dimana 98% terikat protein plasma, eliminasi dari obat ini terjadi di hepar menjadi suatu metabolit tidak aktif, waktu paruh propofol diperkirakan berkisar antara 2 24 jam. Namun dalam kenyataanya di klinis jauh lebih pendek karena propofol didistribusikan secara cepat ke jaringan tepi. Dosis induksi cepat menyebabkan sedasi ( rata rata 30 45 detik ) dan kecepatan untuk pulih juga relatif singkat. Satu ampul 20ml mengandung propofol 10mg/ml. Popofol bersifat hipnotik murni tanpa disertai efek analgetik ataupun relaksasi otot.

Farmakodinamik

Pada sistem saraf pusat

Dosis induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek analgetik, pada pemberian dosis induksi (2mg/kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat. Dapat menyebabkan perubahan mood tapi tidaksehebat thiopental. Dapat menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan intraokular sebanyak 35%.

Cp50- respon terhadap perintah hilang (verbal ) = 2.3 - 3.5 mcg/ml

Pemeliharaan

: 1.5-6 mcg/ml

Pasien bangun

: < 1.6 mcg/ml

Pasien terorientasi: < 1.2 mcg/ml

Pada sistem kardiovaskuler

Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi pada jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turun sekali disertai dengan peningkatan denyut nadi. Ini diakibatkan Propofol mempunyai efek mengurangi pembebasan katekolamin dan menurunkan resistensi vaskularisasi sistemik sebanyak 30%. Pengaruh pada jantung tergantung dari :

Pernafasan spontan mengurangi depresi jantung berbanding nafas kendali

Pemberian drip lewat infus mengurangi depresi jantung berbanding pemberian secara bolus

Umur makin tua usia pasien makin meningkat efek depresi jantung

Pada sistem pernafasan

Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal, dalam beberapa kasus dapat menyebabkan henti nafas kebanyakan muncul pada pemberian diprivan. Secara lebih detail konsentrasi yang menimbulkan efek terhadap sistem pernafasan adalah seperti berikut:

Pada 25%-40% kasus Propofol dapat menimbulkan apnoe setelah diberikan dosis induksi yang bisa berlangsung lebih dari 30 saat.

Pemberian 2,4 mg/kg:

1. Memperlambat frekuensi pernafasan selama 2 menit

2. Volume tidal (VT) menurun selama 4 menit

Pemberian 100 g/kg/min:

1. Respons CO2 sedikit menurun

2. VTberkurang 40% ,frekuensi pernafasan meningkat 20%

Pemberian 200 g/kg/min:

1. Hanya sedikit mendepresi VT

2. paCO2menurunDosis dan penggunaan

a) Induksi : 2,0 sampai 2.5 mg/kg IV.

b) Sedasi : 25 to 75 g/kg/min dengan I.V infus

c) Dosis pemeliharaan pada anastesi umum : 100 - 150 g/kg/min IV (titrate to effect).

d) Turunkan dosis pada orang tua atau gangguan hemodinamik atau apabila digabung penggunaanya dengan obat anastesi yang lain.

e) Dapat dilarutkan dengan Dextrosa 5 % untuk mendapatkan konsentrasi yang minimal 0,2%

f) Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari bakteri.

Efek Samping

Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50% sampai 75%. Nyeri ini bisa muncul akibat iritasi pembuluh darah vena, nyeri pada pemberian propofol dapat dihilangkan dengan menggunakan lidokain (0,5 mg/kg) dan jika mungkin dapat diberikan 1 sampai 2 menit dengan pemasangan torniquet pada bagian proksimal tempat suntikan, berikan secara I.V melaui vena yang besar. Gejala mual dan muntah juga sering sekali ditemui pada pasien setelah operasi menggunakan propofol. Propofol merupakan emulsi lemak sehingga pemberiannya harus hati hati pada pasien dengan gangguan metabolisme lemak seperti hiperlipidemia dan pankreatitis. Pada sesetengah kasus dapat menyebabkan kejang mioklonik(thiopental < propofol < etomidate atau methohexital). Phlebitis juga pernah dilaporkan terjadi setelah pemberian induksi propofol tapi kasusnya sangat jarang. Terdapat juga kasus terjadinya nekrosis jaringan pada ekstravasasi subkutan pada anak-anak akibat pemberian propofol.

4. Tramadol Salah satu derivate sintetik opioid adalah tramadol. Opioid menghasilkan efek melalui interaksinya dengan reseptor opioid di susunan saraf pusat dan saluran gastrointestinal. Opioid menghasilnkan hiperpolarisasi sel saraf, inhibisi pelepasan saraf dan inhibisi prasinap dan pelepasan meutransmitter. Opioid mempunyai efek klinis yaitu:Analgesia

Pada manusia pemberian opioid akan menghasilkan efek analgesia, rasa mengantuk, perubahan mood dan mental. Opiod menghilangkan nyeri dengan meningkatkan ambang nyeri pada tingkat medulla spinalis dan yang paling penting dengan mengubah presepsi nyeri di otak. Efek analgesia yang timbul tidak berhubungan dengan hilangnya kesadaran. Roses menghilangkan nyeri oleh opioid adalah selektif, tidak mempengaruhi kekuatan sensoriknya. Pasien masih merasakan nyeri namun perasaan yang ditimbulkan lebih nyaman. Nyeri nosiseptif lebih berespon terhadap efek analgesia dari opioid dibandingkan nyeri neuropati. Respirasi

Opioid menyebabkan depresi pernapasan dengan cara menurunkan sensitivitas neuron pusat pernapasan terhadap CO2. Depresi nafas terjadi setelah mencapai kadar tertentu dan akan meningkat dengan peningkatan dosis.

Emesis

Opioid menstimulasi secara langsung chemoreceptor trigger zone (CTZ) pada area postrema yang menyebabkan muntah.

Kardiovaskular

Opioid tidak terlalu mempengaruhi tekanan darah kecuali pada dosis yang sangat tinggi.dalam hal ini dapat terjadi hipotensi dan bradikardia. Tekanan serebrospinal dapat meningkat karena vasodilatasi pembuluh serebal akibat depresi pernafasan dan retensi CO2.

Dosis yang diberikan untuk tatalaksana nyeri sedang sampai berat pasca operasi dengan cara drip infuse 100 mg dilanjutkan 50 mg setiap 10-20 menit, bila perlu sampai 250 mg pada satu jam pertama. Dosis maintenance 50-100 mg setiap 4-6 jam. Dosis maximal adalah 600 mg per hari.5. Oxytocin

6. Methyl ergometrin

7. Pronalges supp

BAB VI

KESIMPULAN

Pasien merupakan pasien bedah dengan diagnosa P2A0 dengan Retensi sisa plasenta. Dari anemnesis pasien tidak ada keluhan dan tidak memiliki penyakit sistemik seperti hipertensi, diabetes mellitus, asma. Pasien juga tidak memakai gigi palsu dan tidak mempunyai gigi goyang. Pasien tidak demam maupun batuk. Dari pemeriksaan fisik maupun penunjang tidak terdapat kelainan pada pasien. Berdasarkan American Society of anesthesiologist digolongankan dalam ASA 1.

Sebelum operasi pasien dipuasakan dahulu kurang lebih selama 6-8 jam dan diberikan premedikasi berupa Ondansetron 4 mg dan dilakukan General Anestesi dengan teknik TIVA. Kemudian dimasukkan obat Propofol 80 mg. Selama operasi berlangsung diberikan terapi cairan kurang lebih satu dua botol Ringer laktat 500mg. Saat operasi diberikan oxyticin 10 IU, pronalgess supp (ketoprofen 100mg).DAFTAR PUSTAKAGwinnut, Carl L. 2010. Anestesia Klinis Edisi 3. Jakarta : EGC.Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi: Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.2