Dana Lapsus Bedah Saraf
-
Upload
ganda-kusuma-asari -
Category
Documents
-
view
136 -
download
1
Transcript of Dana Lapsus Bedah Saraf
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cedera kepala atau yang disebut
dengan trauma kapitis adalah ruda paksa
tumpul / tajam pada kepala atau wajah
yang berakibat disfungsi cerebral
sementara.Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini
diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan
kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah, disamping penanganan
pertama yang belum benar - benar , serta rujukan yang terlambat.
Di Indonesia kajadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah
sakit. Dari psien yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai cedera
kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang dan 10% sedang, dan 10 % termasuk
cedera kepala berat.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para
dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada
penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan
darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak
sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan
kesembuhan penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary
survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan
pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan kepala.
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang
memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara
konservatif. Pragnosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan
dilakukan secara tepat dan cepat. Adapun pembagian trauma kapitis adalah: Simple
head injury, Commutio cerebri, Contusion cerebri, Laceratio cerebri, Basis cranii
fracture.
Simple head injury dan Commutio cerebri sekarang digolongkan sebagai
cedera kepala ringan, sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri
digolongkan sebagai cedera kepala berat.
1
Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah
pernafasan, peredaran darah dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi,
anamnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus dilakukan secara
serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat pasien
tiba di Rumah Sakit.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana etiologi, klasifikasi, patogenesis, patologi kelainan dan
penatalaksanaan Cidera Kepala, Subdural Hemoragik, Intracerebral
Hemoragik dan Fraktur Basis Cranii ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui etiologi, klasifikasi, patogenesis, patologi kelainan dan
penatalaksanaan Cidera Kepala, Subdural Hemoragik, Intracerebral
Hemoragik dan Fraktur Basis Cranii.
1.4 Manfaat
1.4.1 Menambah wawasan mengenai penyakit bedah syaraf khususnya Cidera
Kepala, Subdural Hemoragik, Intracerebral Hemoragik dan Fraktur Basis
Cranii.
1.4.2 Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti
kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit bedah syaraf.
2
BAB II
STATUS PENDERITA
2.1 IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. A
Umur : 24 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
Alamat : Pagelaran
Status perkawinan : Belum menikah
Suku : Jawa
Tanggal MRS : Minggu, 05 Februari 2012
Tanggal periksa : Senin, 13 Februari 2012
No. Reg : 280359
2.2 ANAMNESA
1. Keluhan Utama : Tidak sadar setelah kecelakaan lalu lintas
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Kanjuruhan Kepanjen dengan keluhan tidak
sadar setelah mengalami kecelakaan lalu lintas pada malam minggu sekitar
pukul 21.00 WIB , sesaat setelah kejadian pasien dikatakan tidak sadar dan
tetep di tempat kejadian sampai keluarga datang, setelah keluarga datang
pasien dibawa ambulan menuju keRS Bokor, tetapi sampai disana pasien hanya
diberi perawatan luka dan oksigen sekitar setengah jam, lalu dikatakan oleh
dokter disana, bahwa lebih baik di rujuk dan akhirnya pasien di bawa ke IGD
RSUD Kanjuruhan Kepanjen, selain itu pasien mengalami luka lecet pada dahi
dan pipi kanan , luka memar pada kepala bagian kanan belakang, serta
perdarahan keluar dari liang telinga kanan dan muntah 3x berupa makanan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat trauma sebelumnya tidak ditemukan
Pasien tidak pernah menjalani operasi sebelumnya
Diabetes Mellitus disangkal
Hipertensi disangkal
Alergi disangkal
3
4. Riwayat Pengobatan :
Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat–obatan apapun sebelumnya.
5. Riwayat Penyakit Keluarga :
Trauma disangkal
Operasi disangkal
Diabetes Mellitus disangkal
Hipertensi disangkal
Asma disangkal
2.3 PEMERIKSAAN FISIK (05-02-2012)
1) Vital sign
Tensi : 110/80 mmHg
Suhu : 36 0 C
Nadi : 90 x/menit
R.R : 22 x/menit
2) Status Neurologik
Kesadaran : GCS 2.2.4
Reflek fisiologis : sde
Refleks Patologis : sde
3) Status Generalis
Kepala
• Bentuk mesocephal, rambut tidak mudah dicabut, terdapat laserasi pada
dahi dan pipi kanan, serta luka memar pada kepala bagian occipital
kanan
Mata
• Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), hematom palpebra (-/-),
subkonjungtiva bleeding (-).
Telinga
• Bentuk normotia, otorhoe (+) dextra, battle sign (+) dexra
Hidung
• Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-).
Mulut dan Tenggorokan
• Bibir atas luka (+), perdarahan (+).
Leher
4
• JVP tidak meningkat, trakea ditengah, pembesaran kelenjar tiroid (-),
kelenjar getah bening tidak teraba membesar, tidak teraba adanya
benjolan.
Thorax
Paru-paru
• Inspeksi : Simetris dalam keadaan statis dan dinamis, luka
dan benjolan tidak tampak.
• Palpasi : Stem fremitus paru kanan sama dengan paru kiri
• Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
• Auskultasi : Suara nafas vesikuler + / +, ronkhi - / -, wheezing
- / -
Jantung
• Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis
• Palpasi : Teraba ictus cordis di ICS V MCLS
• Perkusi : Redup
Batas atas : ICS III parasternal line sinistra
Batas kiri : ICS V MCLS
Batas kanan : ICS V midsternal line
• Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, Murmur -/-, Gallop -/-
Abdomen
• Inspeksi : datar, tidak tampak adanya kelainan
• Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium
(-)
• Perkusi : timpani
• Auskultasi : bising usus (+) normal
Kulit
• Warna sawo matang, turgor kulit baik.
Ekstremitas
• Ekstremitas superior et inferior tidak tampak kelainan
PENANGANAN IGD
Ivfd RL 20 tetes/menit
Inj Pantuprazol 1 x 1 gram
Inj Ceftriaxone 2 x 1 gram
PENANGANAN IGD (setelah konsul dr Yahya Sp.BS)
O2 10 liter/menit
RL:NS 2:2 21 tetes/menit
5
Cefotaxim 3 x 1gram
Piracetam 3 x 3 gram
Ranitidin 2 x 1 gram
Antrain 3 x 1 gram
Pasang DC
MRS ICU
Pro Op
PRIMARY SURVEY (13-02-2012)
A : Airway clear, snoring (-), gurgling (-), crowing (-), maxillofacial injury (-),
C-spine stabil
B : Spontan, RR : 18 x/i, retraksi iga (-), pernafasan cuping hidung (-),
hematopneumothorax (-)
C : Akral H/M/K, HR : 84 x/i, TD : 120/70 mmHg
D : GCS 14 (E4V4M6)
E : 36,2 0C
PEMERIKSAAN FISIK (13-02-2012)
B1 : Airway : Clear, RR : 18 x/i, SP : Vesikuler, ST : -, Bloody Rinorhoe (-),
Bloody Otorrhoe (-), sesak (-), asma (-), batuk (-), alergi (-).
B2 : Akral : H/M/K, TD : 120/70 mmHg, HR : 84 x/i, Reguler, T/V kuat/cukup,
Temp : 36,20 C
B3 : Sens : GCS 14 (E4V4M6), pupil isokor, d/s : 3 mm, RC +/+, Ptosis (-/-)
B4 : DC (-), warna : kuning jernih.
B5 : Abdomen soepel, peristaltik (+).
B6 : Oedem (-), luka kering dan bersih, tampak di jahit, dan di tutup dengan
kassa dan plester di kepala sebelah kiri.
6
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
CT-Scan Kepala tanggal 5 Februari 2012
KESAN
a) ICH
b) Subdural hemoragic fracture temporo parietal sinistra
c) Fracture basis cranii temporal dextra
7
Foto Polos Skull lateral tanggal 5 februari 2012
Foto Polos Thorax AP tanggal 5 februari 2012
Pemeriksaan Laboratorium (5-2-12)
Hb 15,5 g/dl
Hitung lekosit 17.400 sel/cmm
Hitung eritrosit 5,31 juta/cmm
Hitung trombosit 284.000sel/cmm
Hematokrit 44,3 %
PT 13,7 detik
APTT 25,1 detik
Glukosa darah sewaktu 141 mg/dl
8
Na 140 mmol/L
K 4,0 mmol/L
Cl 104 mmol/L
Pemeriksaan Laboratorium (6-2-12)
Hb 11,9 g/dl
Hitung lekosit 18.100 sel/cmm
Hitung eritrosit 4,03 juta/cmm
Hitung trombosit 263.000sel/cmm
Hematokrit 34,8 %
Pemeriksaan Laboratorium (10-2-12)
Hb 10 g/dl
Hitung lekosit 11.110 sel/cmm
Hitung eritrosit 3,38 juta/cmm
Hitung trombosit 300.000sel/cmm
Hematokrit 27,8 %
GDS 93 mg/dl
2.5 RESUME
Seorang ♂ berusia 24 tahun datang ke IGD RSUD Kanjuruhan Kepanjen dengan
keluhan tidak sadar setelah kecelakaan lalu lintas. Mengalami luka lecet pada dahi
dan pipi sebelah kanan, luka memar pada kepala bagian occipital kanan, keluar
darah dari telinga kanan, muntah (+) berisi makanan. Dari pemeriksaan fisik, pada
dahi dan pipi bagian kanan ditemukan luka lecet. GCS 224, T=110/80, S=36ºC,
RR=22 x/menit. Pemeriksaan penunjang CT scan dan Rontgen kepala polos tanggal
5 Februari 2012 memberi kesan: ICH, Subdural hemoragic fracture temporo parietal
sinistra dan Fracture basis cranii temporal dextra.
2.6 WORKING DIAGNOSA
Cedera Kepala Berat + Intra Cerebral hemoragik + Subdural Hemoragik Fracture
Temporo Parietal Sinistra + Fracture Basis Cranii Temporal dextra
2.7 DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Epidural Hemoragik
Subarachnoid Hemoragik
2.8 PLANNING DIAGNOSA
1. Lab DL, CT, BT, HBs Ag
2. CT Scan
2.9 PLANNING TERAPI
a. Non-operatif
9
1. Medikamentosa
O2 10 liter/menit
RL:NS 2:2 21 tetes/menit
Cefotaxim 3 x 1gram
Piracetam 3 x 3 gram
Ranitidin 2 x 1 gram
Antrain 3 x 1 gram
2. Non Medikamentosa
Head up 300
Tampon telinga kanan
Pasang DC
MRS ICU
b. Operatif
Trepanasi
Craniotomi SDH
Cranioplasty
Monitoring
No Tanggal S O A P1 6-2-2012 - • Pupil isokor,
• T: 120/80 mmHg• N: 84 x/menit• Suhu: 36,6 O C• RR: 21 x/menit
CKB + ICH + SDH FTP(S) + FBC T(D)
• O2 masker 4-6 liter/menit• RL:D5 2:2• Omeprazole 2x2 amp• Ketorolac 2x30 mg• Manitol 4x100c• Piracetam 3 x 3 gram• Ceftriaxone 2x2 gram
2 7-2-2012 Masuk ICU
GCS 2.2.4T: 110/70 mmHgN: 62 x/menitS: 36,5 O C
CKB + ICH + SDH FTP(S) + FBC T(D
• O2 masker 4-6 liter/menit• RL:D5 2:2• Omeprazole 2x2 amp• Ketorolac 2x30 mg• Manitol 4x100c• Piracetam 3 x 3 gram• Ceftriaxone 2x2 gram• Pasang NGT MLP 6x25
cc/6x50 cc
3 8-2-2012 - GCS 3.2.4T:110/80 mmHgN: 64 x/menitS: 36,6 O C
CKB + ICH + SDH FTP(S) + FBC T(D
• O2 masker 4-6 liter/menit• RL:D5 2:2• Omeprazole 2x2 amp• Ketorolac 2x30 mg• Manitol 4x100c• Piracetam 3 x 3 gram• Ceftriaxone 2x2 gram
10
• Pasang NGT MLP 6x100 cc
4 9-2-2012 - GCS 4.3.5T:120/60 mmhgN: 60 x/menitS: 36 O CRR: 20 x/menitProduksi urin minimal
CKB + ICH + SDH FTP(S) + FBC T(D
• O2 masker 4-6 liter/menit• RL:D5 2:2• Cairan dikurangi 500 c• Omeprazole 2x2 amp• Antrain 2x30 mg• Manitol 4x100c• Piracetam 3 x 3 gram• Ceftriaxone 2x2 gram• Pasang NGT MLP 6x150
cc
5 10-2-2012 - GCS 4.2.5T:120/70 mmhgN: 71 x/menitS: 36,3 O CRR: 19 x/menit
CKB + ICH + SDH FTP(S) + FBC T(D
• O2 masker 4-6 liter/menit• RL:D5 1:1• Omeprazole 2x2 amp• Antrain 2x30 mg• Manitol 4x100c (STOP)• Piracetam 3 x 3 gram• Ceftriaxone 2x2 gram• Pasang NGT MLP
6x200cc
6 11-2-2012 Keluar ICU Dipo
T:120/70 mmhgN: 82 x/menitS: 36,5 O CRR: 18 x/menit
CKB + ICH + SDH FTP(S) + FBC T(D
• O2 masker 4-6 liter/menit• RL:D5 1:1• Omeprazole 2x2 amp• Antrain 2x30 mg• Piracetam 3 x 3 gram• Ceftriaxone 2x2 gram• Pasang NGT MLP
6x200cc
7 12-2-2012 - T:120/70 mmhgN: 84 x/menitS: 37O CRR: 18 x/menit
CKB + ICH + SDH FTP(S) + FBC T(D
• O2 masker 4-6 liter/menit• RL:D5 1:1• Omeprazole 2x2 amp• Antrain 2x30 mg• Piracetam 3 x 3 gram• Ceftriaxone 2x2 gram• Pasang NGT MLP
6x200cc
8 13-12-2012 Kepala masih sakit, pusing, tidak enak makan
GCS 4.4.6T:120/80 mmhgN: 83 x/menitS: 36,8 O CRR: 19 x/menit
CKB + ICH + SDH FTP(S) + FBC T(D
• O2 masker 4-6 liter/menit• RL 500 cc/hari • Omeprazole 2x2 amp• Antrain 2x30 mg• Piracetam 3 x 3 gram• Ceftriaxone 2x2 gram• Diet bubur kasar sore
bebas• Aff kateter
11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 ANATOMI KEPALA
Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang
membungkusnya, tanpa perlindungan ini, otak yang lembut yang membuat kita
seperti adanya, akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain
itu, sekali neuron rusak, tidak dapat di perbaiki lagi.
Otak dilindungi oleh:
1) SCALP
SCALP/Kulit kepala terdiri atas 5 lapisan, 3 lapisan pertama saling melekat dan
bergerak sebagai satu unit.
SCALP terdiri dari:
Skin atau kulit
Tebal, berambut dan mengandung banyak kelenjar sebacea.
Connective Tissue atau jaringan penyambung
Merupakan jaringan lemak fibrosa yang menghubungkan kulit dengan
aponeurosis dari m. occipitofrontalis di bawahnya. Banyak mengandung
pembuluh darah besar terutama dari lima arteri utama yaitu cabang
supratrokhlear dan supraorbital dari arteri oftalmik di sebelah depan, dan
tiga cabang dari karotid eksternal-temporal superfisial, aurikuler posterior,
dan oksipital di sebelah posterior dan lateral. Pembuluh darah ini melekat
erat dengan septa fibrosa jaringan subkutis sehingga sukar berkontraksi atau
mengkerut. Apabila pembuluh ini robek, maka pembuluh ini sukar
mengadakan vasokonstriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah yang
bermakna pada penderita laserasi kulit kepala. Perdarahan sukar dijepit
dengan forcep arteri. Perdarahan diatasi dengan menekannya dengan jari
atau dengan menjahit laserasi.
Aponeurosis atau galea aponeurotika
Merupakan suatu jaringan fibrosa, padat, dapat digerakkan dengan bebas,
yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal, menghubungkan otot
frontalis dan otot occipitalis.
Spatium subaponeuroticum adalah ruang potensial dibawah aponeurosis
epicranial. Dibatasi di depan dan di belakang oleh origo m. Occipito
12
frontalis, dan meluas ke lateral sampai ke tempat perlekatan aponeurosis
pada fascia temporalis.
Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
Menghubungkan aponeurosis galea dengan periosteum cranium
(pericranium). Mengandung beberapa arteri kecil dan beberapa v.emmisaria
yang menghubungkan v.diploica tulang tengkorak dan sinus venosus
intrakranial. Pembuluh-pembuluh ini dapat membawa infeksi dari kulit
kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, sehingga pembersihan dan
debridement kulit kepala harus dilakukan secara seksama bila galea
terkoyak. Darah atau pus terkumpul di daerah ini dan tidak bisa mengalir ke
region occipital atau subtemporal karena adanya perlekatan
occipitofrontalis. Cairan bisa masuk ke orbita dan menyebabkan hematom
yang bisa jadi terbentuk dalam beberapa waktu setelah trauma kapitis berat
atau operasi kranium.
Pericranium
Merupakan periosteum yang menutupi permukaan luar tulang tengkorak.
Sutura diantara tulang-tulang tengkorak dan periousteum pada permukaan
luar tulang berlanjut dengan periousteum pada permukaan dalam tulang-
tulang tengkorak.
Gambar 1. Anatomi Kepala
2) Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari calvarium (kubah) dan basis cranii (bagian
terbawah). Pada kalvaria di regio temporal tipis, tetapi di daerah ini dilapisi
13
oleh otot temporalis. Basis cranii terbentuk tidak rata sehingga dapat melukai
bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselarasi.
Pada orang dewasa, tulang tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak
memungkinkan perluasan isi intracranial. Tulang tengkorak mempunyai 3
lapisan, yaitu:
a) Tabula interna ( lapisan tengkorak bagian dalam)
b) Diploe (rongga di antara tabula)
c) Tabula eksterna (lapisan tengkorak bagian luar)
Tabula interna mengandung alur-alur yang berisiskan arteria meningea anterior,
media, dan posterior. Apabila fraktur tulang tengkorak menyebabkan
terkoyaknya salah satu dari arteri-arteri ini, perdarahan arterial yang di
akibatkannya, yang tertimbun dalam ruang epidural, dapat menimbulkan akibat
yang fatal kecuali bila di temukan dan diobati dengan segera.
Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu fossa anterior yang
merupakan tempat lobus frontalis, fossa media yang merupakan tempat lobus
temporalis, fossa posterior yang merupakan tempat bagian bawah batang otak
dan cerebellum.
3) Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan,
yaitu:
1. Duramater
Duramater adalah selaput keras yang terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang
melekat erat pada pada permukaan dalam kranium. Duramater terdiri dari
dua lapisan, yaitu:
Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar, dibentuk oleh periosteum
yang membungkus dalam calvaria.
Lapisan meningeal sebelah dalam adalah suatu selaput fibrosa yang
kuat
yang berlanjut terus di foramen mágnum dengan duramater spinalis
yang membungkus medulla spinalis.
2. Arakhnoid
Arakhnoid adalah membran fibrosa halus, tipis, elastis, dan tembus
pandang. Di bawah lapisan ini terdapat ruang yang dikenal sebagai
subarakhnoid, yang merupakan tempat sirkulasi cairan LCS.
3. Piamater
Piamater adalah membran halus yang melekat erat pada permukaan
korteks cerebri, memiliki sangat banyak pembuluh darah halus, dan
14
merupakan satu-satunya lapisan meningeal yang masuk ke dalam semua
sulkus dan mem-bungkus semua girus.
3.2 C E D E R A K E P A L A
3.2.1 DEFINISI
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa
tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara.
Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia
produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalulintas.
Adapun pembagian trauma kapitis adalah:
Simple head injury
Commotio cerebri
Contusion cerebri
Laceratio cerebri
Basis cranii fracture
Simple head injury dan Commotio cerebri sekarang digolongkan sebagai
cedera kepala ringan. Sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri
digolongkan sebagai cedera kepala berat.
Pada penderita harus diperhatikan pernafasan, peredaran darah umum dan
kesadaran, sehingga tindakan resusitasi, anmnesa dan pemeriksaan fisik umum dan
neurologist harus dilakukan secara serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus
segera ditentukan pada saat pasien tiba di Rumah Sakit.
3.2.2 MEKANISME DAN PATOLOGI
Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan
langsung pada kepala. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan
atau tanpa fraktur tulang tengkorak.
Cedera fokal dapat menyebabkan memar otak, hematom epidural, subdural
dan intraserebral. Cedera difus dapat mengakibatkan gangguan fungsi saja, yaitu
gegar otak atau cedera struktural yang difus.
Dari tempat benturan, gelombang kejut disebar ke seluruh arah. Gelombang
ini mengubah tekanan jaringan dan bila tekanan cukup besar, akan terjadi kerusakan
jaringan otak di tempat benturan yang disebut “coup” atau ditempat yang
berseberangan dengan benturan (contra coup)
15
3.2.3 PATOFISIOLOGI
Gangguan metabolisme jaringan otak akan mengakibatkan oedem yang
dapat menyebabkan heniasi jaringan otak melalui foramen magnum, sehingga
jaringan otak tersebut dapat mengalami iskhemi, nekrosis, atau perdarahan dan
kemudian meninggal.
Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa.
Cedera kepala dapat menyebabkan gangguan suplai oksigen dan glukosa, yang
terjadi karena berkurangnya oksigenisasi darah akibat kegagalan fungsi paru atau
karena aliran darah ke otak yang menurun, misalnya akibat syok.
Karena itu, pada cedera kepala harus dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan
nafas yang adekuat dan hemodinamik tidak terganggu sehingga oksigenisasi cukup.
3.2.4 GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis ditentukan berdasarkan derajat cedera dan lokasinya.
Derajat cedera dapat dinilai menurut tingkat kesadarannya melalui system GCS,
yakni metode EMV (Eyes, Verbal, Movement).
1. Kemampuan membuka kelopak mata (E)
Secara spontan 4
Atas perintah 3
Rangsangan nyeri 2
Tidak bereaksi 1
2. Kemampuan komunikasi (V)
Orientasi baik 5
Jawaban kacau 4
Kata-kata tidak berarti 3
Mengerang 2
Tidak bersuara 1
3. Kemampuan motorik (M)
Kemampuan menurut perintah 6
Reaksi setempat 5
Menghindar 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi 2
16
Tidak bereaksi 1
3.2.5 PEMBAGIAN CEDERA KEPALA
1. Simple Head Injury
Diagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan:
Ada riwayat trauma kapitis
Tidak pingsan
Gejala sakit kepala dan pusing
Umumnya tidak memerlukan perawatan khusus, cukup diberi obat simptomatik dan
cukup istirahat.
2. Commotio Cerebri
Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang berlangsung
tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan
jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah
dan tampak pucat.
Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau
terangsangnya pusat-pusat dalam batang otak. Pada commotio cerebri mungkin
pula terdapat amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan sepanjang masa yang
terbatas sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia ini timbul akibat terhapusnya
rekaman kejadian di lobus temporalis. Pemeriksaan tambahan yang selalu dibuat
adalah foto tengkorak, EEG, pemeriksaan memori. Terapi simptomatis, perawatan
selama 3-5 hari untuk observasi kemungkinan terjadinya komplikasi dan mobilisasi
bertahap.
3. Contusio Cerebri
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam
jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata, meskipun neuron-
neuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang penting untuk terjadinya lesi
contusion ialah adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga menimbulkan
pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi
yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang
batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap
lintasan asendens retikularis difus. Akibat blockade itu, otak tidak mendapat input
aferen dan karena itu, kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung.
17
Timbulnya lesi contusio di daerah “coup” , “contrecoup”, dan
“intermediate”menimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa berupa refleks
babinsky yang positif dan kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran puli kembali, si
penderita biasanya menunjukkan “organic brain syndrome”.
Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang
beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh darah
cerebral terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah menjadi rendah
dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat
vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa timbul.
Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat letak lesi
dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek. Terapi dengan antiserebral
edem, anti perdarahan, simptomatik, neurotropik dan perawatan 7-10 hari.
4. Laceratio Cerebri
Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai dengan robekan
piamater. Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan subaraknoid
traumatika, subdural akut dan intercerebral. Laceratio dapat dibedakan atas
laceratio langsung dan tidak langsung.
Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan
oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed
terbuka. Sedangkan laceratio tidak langsung disebabkan oleh deformitas jaringan
yang hebat akibat kekuatan mekanis.
5. Fracture Basis Cranii
Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media dan fossa
posterior. Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana yang terkena.
Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala:
Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding
Epistaksis
Rhinorrhoe
Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala:
Hematom retroaurikuler, Ottorhoe
Perdarahan dari telinga
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan X-foto basis kranii. Komplikasi:
18
Gangguan pendengaran
Parese N.VII perifer
Meningitis purulenta akibat robeknya duramater
Fraktur basis kranii bisa disertai commotio ataupun contusio, jadi terapinya harus
disesuaikan. Pemberian antibiotik dosis tinggi untuk mencegah infeksi. Tindakan
operatif bila adanya liquorrhoe yang berlangsung lebih dari 6 hari.
Adapun pembagian cedera kepala lainnya:
Cedera Kepala Ringan (CKR) → termasuk didalamnya Laseratio dan
Commotio Cerebri
o Skor GCS 13-15
o Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10
menit
o Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
o Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan
pada pemeriksaan neurologist.
Cedera Kepala Sedang (CKS)
o Skor GCS 9-12
o Ada pingsan lebih dari 10 menit
o Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
o Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota
gerak.
Cedera Kepala Berat (CKB)
o Skor GCS <8
o Gejalnya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih berat
o Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
o Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang terlepas.
3.2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Yang dapat dilakukan pada pasien dengan trauma kapitis adalah:
1. CT-Scan
Untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek.
2. Lumbal Pungsi
19
Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6 jam
dari saat terjadinya trauma
3. EEG
Dapat digunakan untuk mencari lesi
4. Roentgen foto kepala
Untuk melihat ada tidaknya fraktur pada tulang tengkorak
3.2.7 DIAGNOSA
Berdasarkan : Ada tidaknya riwayat trauma kapitis
Gejala-gejala klinis : Interval lucid, peningkatan TIK, gejala laterlisasi,
Pemeriksaan penunjang.
3.2.8 KOMPLIKASI
Jangka pendek :
1. Hematom Epidural
o Letak : antara tulang tengkorak dan duramater
o Etiologi : pecahnya A. Meningea media atau cabang-cabangnya
o Gejala : setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri kepala
sebentar kemudian membaik dengan sendirinya tetapi beberapa jam kemudian
timbul gejala-gejala yang memperberat progresif seperti nyeri kepala, pusing,
kesadaran menurun, nadi melambat, tekanan darah meninggi, pupil pada sisi
perdarahan mula-mula sempit, lalu menjadi lebar, dan akhirnya tidak bereaksi
terhadap refleks cahaya. Ini adalah tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi
tentorial.
o Akut (minimal 24jam sampai dengan 3x24 jam)
o Interval lucid
o Peningkatan TIK
o Gejala lateralisasi → hemiparese
o Pada pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala didapati
hematoma subkutan
o Pemeriksaan neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil melebar. Pada
sisi kontralateral dari hematom, dapat dijumpai tanda-tanda kerusakan traktus
20
piramidalis, misal: hemiparesis, refleks tendon meninggi dan refleks patologik
positif.
o CT-Scan : ada bagian hiperdens yang bikonveks
o LCS : jernih
o Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan pengikatan
pembuluh darah.
2. Hematom subdural
o Letak : di bawah duramater
o Etiologi : pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging veins dan laserasi
piamater serta arachnoid dari kortex cerebri
o Gejala subakut : mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama
Kronis : 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma
o CT-Scan : setelah hari ke 3 diulang 2 minggu kemudian
Ada bagian hipodens yang berbentuk cresent.
Hiperdens yang berbentuk cresent di antara tabula interna dan parenkim otak
(bagian dalam mengikuti kontur otak dan bagian luar sesuai lengkung tulang
tengkorak). Isodens → terlihat dari midline yang bergeser
o Operasi sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak
(dekompresi) dengan melakukan evakuasi hematom. Penanganan subdural
hematom akut terdiri dari trepanasi-dekompresi.
3. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal, terbanyak
pada lobus temporalis. Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang
berupa hematom hanya berupa perdarahan kecil-kecil saja. Jika penderita
dengan perdarahan intraserebral luput dari kematian, perdarahannya akan
direorganisasi dengan pembentukan gliosis dan kavitasi. Keadaan ini bisa
menimbulkan manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak yang
terkena.
4. Oedema serebri
Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya,
mungkin hingga berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa commotio cerebri, hanya
lebih berat. Tekanan darah dapat naik, nadi mungkin melambat. Gejala-gejala
kerusakan jaringan otak juga tidak ada. Cairan otak pun normal, hanya
tekanannya dapat meninggi.
21
TIK meningkat
Cephalgia memberat
Kesadaran menurun
Jangka Panjang :
1. Gangguan neurologis
Dapat berupa : gangguan visus, strabismus, parese N.VII dan gangguan N.
VIII, disartria, disfagia, kadang ada hemiparese
2. Sindrom pasca trauma
Dapat berupa : palpitasi, hidrosis, cape, konsentrasi berkurang, libido
menurun, mudah tersinggung, sakit kepala, kesulitan belajar, mudah lupa,
gangguan tingkah laku, misalnya: menjadi kekanak-kanakan, penurunan
intelegensia, menarik diri, dan depresi.
3.2.9 TERAPI
CKR :
Perawatan selama 3-5 hari
Mobilisasi bertahap
Terapi simptomatik
Observasi tanda vital
CKS :
Perawatan selama 7-10 hari
Anti cerebral edem
Anti perdarahan
Simptomatik
Neurotropik
Operasi jika ada komplikasi
CKB :
Seperti pada CKS
Antibiotik dosis tinggi
Konsultasi bedah saraf
3.2.10 PROGNOSA
22
Skor GCS penting untuk menilai tingkat kesadaran dan berat ringannya
trauma kapitis.
3.3 SUBDURAL HEMATOMA
3.3.1 Insiden dan Epidemiologi
Hematoma subdural dapat terjadi pada semua umur. Biasanya terdapat pada
bayi akibat trauma yang keras pada neonatus dan komplikasi dari kelahiran dan
trauma pasca natal. Subdural hematoma akut terjadi pada pasien dengan trauma
kepala berat sekitar 5-25%. Angka kejadian dari sekitar 15,3 kasus per 100.000
orang/ tahun. Pada sebuah penelitian,umur rata-rata dari penderita trauma tanpa
subdural hematoma adalah 26 tahun, sedangkan umur rata-rata dari penderita
hematoma subdural akut adalah 41 tahun. Oleh karena itu, orang tua memiliki resiko
yang meningkat untuk menderita hematoma subdural akut setelah trauma kepala.
Hematoma subdural kronik biasanya terjadi pada orang usia lanjut yang
umurnya lebih dari 50 tahun. Sepertiga sampai setengah penderita hematoma
subdural kronik tidak memiliki riwayat trauma kepala. Kalaupun memiliki riwayat
trauma, biasanya merupakan trauma ringan. Laki-laki lebih banyak terkena
dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:1 kebanyakan pemeriksaan pada
saat ini menunjukkan terjadinya peningkatan insiden, dikarenakan semakin majunya
alat-alat radiologi.
3.3.2 Etiologi
Hematoma subdural disebabkan robekan vena-vena didaerah corteks cerebri
atau bridging vein oleh suatu trauma. Kebanyakan perdarahan subdural disebabkan
karena trauma kepala yang merusakkan vena-vena kecil didalam meninges. Pada
orang muda yang sehat, perdarahan biasanya dipicu oleh pengaruh yang jelas,
seperti kecelakaan pada kendaraan dengan kecepatan tinggi. Sebaliknya, orangtua
dapat mengalami perdarahan subdural akibat trauma kecil seperti jatuh dari kursi.
Subdural hematoma dapat terjadi pada bayi, akibat trauma yang keras pada neonatus
dan komplikasi dari kelahiran dan trauma pasca natal.
3.3.3 Klasifikasi
1) SDH akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma. Biasanya terjadi
pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan
23
lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda
vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya, tetapi melebar luas.
Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.
2) SDH sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma.
Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan
darah. Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di
sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau
hipodens. Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah
dan resorbsi dari hemoglobin.
3) SDH kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan
kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu
ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan
hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila
pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah.
Pada perdarahan subdural kronik, kita harus berhati hati karena hematoma ini
lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga
mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula
jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma, pada yang lebih baru, kapsula
masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula
melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini
mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi
duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat
menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini
dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan
menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan
kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma
akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian
besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50
tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens.
3.3.4 Patofisiologi
Meninges terdiri dari duramater, arachnoid dan piamater. Daerah yang
terdapat diantara arachnoiddan duramater (disebut daerah subdural), dimana tidak
24
seperti pada daerah epidural, tidak dibatasi oleh sutura kranialis. Jembatan-jembatan
vena (Bridging vein) melintasi daerah ini, berjalan dari permukaan kortikal menuju
sinus dural. Perdarahan pada vena-vena ini dapat terjadi sebagai akibat dari
mekanisme sobekan (dapat pula karena dorongan rotasional atau linier) disepanjang
permukaan subdural dan peregangan traumatik dari vena-vena, yang dapat terjadi
dengan cepat akibat dekompresi ventrikuler.
Karena permukaan subdural tidak dibatasi oleh sutura cranialis, darah dapat
menyebar keseluruh hemisfer dan masuk kedalam fisura hemisfer, hanya dibatasi
oleh refleksi dural. Kemampuan darah untuk menyebar relatif berakhir tak
terkendali dan memberikan gambaran yang meluas daripada bentuk bikonfeks pada
hampir semua epidural hematoma.
Mekanisme yang biasa menyebabkan munculnya hematoma subdural akut
adalah adanya benturan yang cepat dan kuat pada tengkorak.karena otak yang
dikelilingi cairan CSS dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan
terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma dapat merobek beberapa
vena halus pada tempat dimana mereka menembus duramater, dengan akibat terjadi
perdarahan didalam ruang subdural. Subdural hematoma akut biasanya ada
hubungannya dengan trauma yang jelas dan seringkali disertai dengan laserasi atau
kontusio otak.
Hematoma subdural kronik lebih kurang nyata gejalanya. Pasien yang
sering adalah lanjut usia dan peminum alkohol. Pada penderita yang demikian,
biasanya didapatkan adanya atrofi otak yang berakibat bertambah bebasnya
pergerakan otak didalam ruang tengkorak. Kebebasan bergerak ini berarti pula
kemungkinan ruptur dari bridging vein dan pada penderita-penderita ini dapat terjadi
secara perlahan-lahan oleh karena trauma ringan saja atau bahkan tidak diketahui
adanya trauma sebelumnya.
Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural.
Dalam 7-10 hari setelah perdarahan terjadi, darah dikelilingi oleh membran fibrosa.
Dengan adanya selisih tekanan osmotik yang mampu menarik cairan kedalam
hematoma, selanjutnya terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma.
Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut
dengan merobek membran atau pembuluh darah disekelilingnya. Oleh karena
hematoma subdural disebabkan perdarahan vena, maka meningginya tekanan
intrakranial terjadi secara lambat.
3.3.5 Gejala Klinis
25
Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala)
sampai penurunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak begitu
hebat seperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada effek massa atau lesi
lainnya.
Gejala yang timbul tidak khas dan merupakan manisfestasi dari peninggian
tekanan intrakranial seperti: sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema,
diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis
lainnya. Kadang kala yang riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga tumor otak.
3.3.6 Terapi
Tindakan terapi pada kasus kasus ini adalah kraniotomi evakuasi hematom
secepatnya dengan irigasi via burr-hole. Khusus pada penderita hematom subdural
kronis usia tua dimana biasanya mempunyai kapsul hematom yang tebal dan
jaringan otaknya sudah mengalami atrofi, biasanya lebih dianjurkan untuk
melakukan operasi kraniotomi (dibandingkan dengan burr-hole saja).
3.3.7 Komplikasi
Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa:
1. Hemiparese/hemiplegia.
2. Disfasia/afasia
3. Epilepsi.
4. Hidrosepalus.
5. Subdural empiema
3.4 PERDARAHAN INTRASEREBRAL
3.4.1 Definisi
Intraserebral atau intraparenkim hematoma adalah area perdarahan yang
homogen dan konfluen yang terdapat di dalam parenkim otak (sadewo dkk, 2011).
3.4.2 Etiologi
Intraserebral hematoma bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim
otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi
akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih
dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal.
3.4.3 Anatomi
1. Kulit kepala
26
Kulit kepala terdiri atas lima lapisan, yaitu:
a. Kulit (Skin)
b. Jaringan ikat penyambung (Connective tissue)
c. Galea aponeurotika (Aponeurosis)
d. Jaringan ikat longgar (Loose areolar tissue)
e. Pericranium
2. Cranium
Cranium merupakan tulang penyusun kepala. Terdapat dua bagian cranium,
yaitu neurocranium dan viscerocranium. Neurocranium terdiri atas calvaria dan
basis cranii. Bagian eksternal basis cranii terdiri atas arcus alveolaris os maxilla,
processus palatina os maxilla, os palatum, os sphenoidalis, vomer, temporal, dan
os occipital. Bagian internal basis cranii terdiri atas tiga fossa cranial, yaitu fossa
anterior, fossa media, dan fossa posterior. Fossa anterior terdiri atas os frontalis
pada bagian anterior dan lateral, os ethmoidalis pada bagian tengah, dan os
sphenoidalis pada bagian posterior. Bagian terbesar pada fossa anterior dibentuk
oleh orbital plates os frontalis, yang menyokong lobus frontal cerebri dan
membentuk atap orbita. Fossa media terdiri atas sella tursica yang terletak pada
permukaan atas corpus os sphenoidalis. Fossa posterior merupakan fossa cranii
yang terbesar dan terdalam. Di dalamnya terdapat cerebellum, pons, dan
medulla oblongata. Fossa posterior sebagian besar terdiri atas os occipital dan
sebagian kecil dibentuk oleh os sphenoidalis dan os temporalis. Pada fossa
posterior terdapat lekukan yang dilalui oleh sinus sigmoid dan sinus transversus.
Pada bagian tengah fossa posterior terdapat foramen magnum (Moore, 2002).
3. Meningen
Otak diliputi oleh tiga membran atau meninges, yaitu dura mater,
arachnoidea mater, dan pia mater. Paling luar, dura mater, mempunyai sifat
yang tebal dan kuat sehingga berfungsi untuk melindungi jaringan saraf yang
ada di bawahnya. Secara konvensional, dura mater digambarkan terdiri dari dua
lapis, yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Lapisan tersebut bersatu
dengan erat, kecuali pada garis-garis tertentu, tempat berpisah untuk membentuk
sinus venosus. Lapisan endosteal merupakan periosteum yang menutupi
permukaan dalam tengkorak. Lapisan endosteal melekat paling kuat pada
tulang-tulang di atas basis cranii. Lapisan meningeal adalah lapisan dura mater
yang sebenarnya, merupakan membran fibrosa yang kuat dan padat yang
meliputi otak (Snell, 2006).
Arachnoidea mater merupakan membran impermeabel yang lebih tipis dan
meliputi otak secara longitudinal. Arachnoidea mater dipisahkan dari dura mater
27
oleh ruang potensial yaitu ruang subdural yang terisi oleh selapis cairan.
Ruangan di antara arachnoidea dan pia mater yaitu spatium subarachnoideum
diisi oleh cairan serebrospinalis. Pia mater merupakan suatu membran vaskular
yang melekat dengan erat serta menyokong otak (Snell, 2006).
4. Batang otak
Batang otak dibentuk oleh medulla oblongata, pons, dan mesencephalon
serta menempati fossa cranii posterior di dalam tengkorak. Batang otak
mempunyai tiga fungsi utama, yaitu sebagai penyalur tractus ascendens dan
descendens yang menghubungkan medulla spinalis dengan berbagai pusat yang
lebih tinggi, pusat refleks penting yang mengatur control sistem respirasi dan
kardiovaskular serta berhubungan dengan kendali tingkat kesadaran, dan
mengandung nuclei saraf cranial III sampai XII (Snell, 2006).
5. Cerebellum
Cerebellum terletak di fossa cranii posterior dan di bagian superior ditutupi
oleh tentorium cerebelli. Cerebellum merupakan bagian terbesar
rhombencephalon dan terletak di posterior ventriculus quadratus, pons, dan
medulla oblongata. Cerebellum menerima informasi aferen yang berkaitan
dengan gerakan volunter dari cortex cerebri dan dari otot, tendon, dan sendi.
Cerebellum juga menerima informasi keseimbangan dari nervus vestibularis dan
mungkin juga informasi penglihatan dari tractus tectocerebellaris (Snell, 2006).
Gambar 2. Susunan struktur kepala
3.4.3 Patofisiologi
Patogenesis dari perdarahan intraserebral belum diketahui secara jelas tetapi
diduga disebabkan oleh deformasi dan pecahnya pembuluh darah intrinsik (tunggal
atau multipel) pada waktu cedera terjadi. Kerusakan dari beberapa pembuluh darah
28
kecil menyebabkan penggabungan dari banyak perdarahan yang kecil-kecil.
Hematoma yang besar berperan menjadi lesi desak ruang dan menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial dan menghasilkan herniasi transtentorial. (relily
and bullock, 2005)
Perdarahan intraserebral dapat berdiri sendiri atau sebagai bagian dari
komplek perdarahan intradural. Perdarahan intraserebral yang terisolasi lebih sering
muncul pada orang tua. Mekanisme perkembangan dari traumatik perdarahan
intraserebral adalah sama dengan perdarahan spontan intraserebral dimana arteri
atau arteriol pecah oleh kekuatan hantaman atau ruptur secara spontan,
menyebabkan darah di bawah tekanan arteri keluar ke parenkim otak. Perdarahan
berhenti ketika tekanan jaringan sekitar bekuan darah mencapai tekanan yang sama
dengan tekanan arteri yang pecah. Bekuan darah dapat tetap berada didalam
parenkim otak atau keluar ke dalam ventrikel, daerah subdural atau area
subarakhnoid. Terdapat Cincin dari daerah iskemia sekitar hematoma, dimana akan
menjadi daerah penumbra yang dimana secara fungsional tidak berfungsi tetapi
potensial sebagai jaringan yang dapat diperbaiki (relily and bullock, 2005)
Cedera kepala primer mencakup : fraktur tulang, cedera fokal dan cedera
otak difusa yang dimana masing-masing memiliki mekanisme etiologis dan
patofisiologi yang unik. Fraktur tulang kepala dapat disertai atau tanpa kerusakan
otak, namun biasanya jejas ini bukan penyebab utama timbulnya kecacatan
neurologis. Cedera otak pada umumnya merupakan akibat trauma langsung pada
vaskular atau saraf, atau sebagai akibat langsung dari adanya defek massa. Cedera
fokal merupakan akibat kerusakan setempat yang biasanya didapatkan pada kira-kira
setengah dari kasus cedera kepala berat. Kelainan ini mencakup kontusi kortikal,
hematoma subdural, epidural dan intraserebral yang secara makroskopis tampak
dengan mata telanjang sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas. Cedera otak
difusa secara prinsip berbeda dengan cedera fokal, dimana keadaan ini berkaitan
dengan disfungsi otak yang luas, serta biasanya tidak tampak secara makroskopis.
Mengingat kebanyakan melibatkan akson-akson, maka cedera ini juga dikenal
dengan nama cedera aksonal difusa. (satyanegara, 2010)
Hematoma intraserebral traumatika yang besar jarang dijumpai. Mengingat
bahwa keadaan ini kerap berkaitan dengan kontusi kortikal yang luas, maka
kebanyakan tampak sebagai suatu kontusi yang melibatkan disrupsi pembuluh darah
yang lebih luas dan lebih dalam. Hematoma yang lebih kecil biasanya tidak
berhubungan dengan kontusi, dan mungkin lebih banyak disebabkan oleh kumpulan
gelombang hantaman yang ditimbulkan oleh benturan atau cedera jaringan bagian
dalam akibat akselerasi (satyanegara, 2010)
29
Kerusakan otak sekunder paling sering disebabkan oleh hipoksia dan
hipotensi, hipoksia dapat timbul akibat dari adanya aspirasi, obstruksi jalan nafas,
atau cedera thoraks yang bersamaan dengan cedera kepala. Hipotensi pada penderita
cedera kepala biasanya hanya sementara yaitu sesaat setelah kontusi atau merupakan
tahap akhir dari kegagalan meduler yang berkaitan dengan herniasi serebral. Jarang
sekali akibat cedera kepalanya sendiri atau dengan kata lain adanya syok pada
penderita cedera kepala perlu diperiksa dengan cermat untuk mencari perdarahan
diluar kepala. Edema otak traumatika merupakan keadaan dan gejala patologis,
radiologis maupun gambaran intraoperatif yang sering dijumpai pada penderita
cedera kepala, dimana keadaan ini mempunyai peranan yang sangat bermakna pada
kejadian pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan tekanan intrakranial. Edema
serebral yang mencapai maksimal pada hari ketiga pasca cedera dapat menimbulkan
suatu defek massa yang bermakna (satyanegara, 2010)
3.4.4 Gejala
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lain penurunan kesadaran,
derajat penurunan kesadaran dipengaruhi oleh mekanisme dari energi trauma yang
dialami. Sedangkan gejala klinis dari cedera kepala difusa sebagai lanjutan dari
perdarahan intraserebral adalah sangat bervariasi bergantung pada luas cedera dan
lokasi. Yang paling ringan bisa berupa gangguan saraf kranial, kelumpuhan anggota
gerak, gangguan otonom, gejala peningkatan tekanan intrakranial hingga penderita
jatuh kondisi koma (sadewo dkk, 2011).
3.4.5 Pemeriksaan penunjang
1. Foto polos tengkorak (skull X-ray)
Mengingat hanya sedikit informasi yang didapat dari pemeriksaan ini yang dapat
mengubah alternatif pengobatan yang diberikan pada penderita cedera kepala,
maka pemeriksaan ini sudah mulai ditinggalkan dan digantikan dengan
pemeriksaan yang lebih canggih seperti CT-scan dan MRI. Informasi yang bisa
kita dapatkan dari pemeriksaan ini adalah
Fraktur tulang kepala, diharapkan dapat diperoleh informasi mengenai
lokasi dan tipe fraktur, baik bentuk linear, stelata atau depresi
Adanya benda asing
Pneumocephalus
Brain shift, kalau kebetulan ada kalsifikasi kelenjar pineal
2. CT-scan
Pemeriksaan ini merupakan metode diagnostik standar terpilih “gold standard”
untuk kasus cedera kepala mengingat selain prosedur ini tidak invasif juga
memiliki kehandalan yang tinggi, dalam hal ini dapat diperoleh informasi yang
30
lebih jelas tentang lokasi dan adanya perdarahan intrakranial, edema, udara,
benda asing intrakranial, serta pergeseran struktur dalam otak (satyanegara,
2010)
Pada CT-scan dengan perdarahan akut maka akan terlihat suatu area dengan
peningkatan atenuasi atau hiperdens (putih) dengan dikelilingi daerah hipodens
(gelap) yang edema. Ketika bekuan darah muncul seiring waktu, edema
meningkat lebih banyak dalam 4 hari dan bekuan darah menjadi area isodens
dalam beberapa minggu. Batas cairan dalam hematoma mengindikasikan
koagulapati dan pencairan dari bekuan darah, atau terkait pencairan jaringan
serebral yang ekstensif dan sebagai prognosis yang buruk (relily and bullock,
2005).
Impresi fraktur dianggap bermakna apabila tabula eksterna segmen yang
impresi (misalnya kontusio serebri atau intraserebral hematoma) masuk
dibawah tabula interna segmen tulang yang sehat (> 1 diploe) (sadewo dkk,
2011).
Indikasi operasi pada fraktur impresi adalah apabila fraktur impresi lebih dari
1 diploe atau terdapat lesi intrakranial dibawah segmen yang impresi (misalnya
kontusio serebri atau intraserebral hematoma) atau terdapat defisit neurologis
yang sesuai dengan daerah yang impresi (sadewo dkk, 2011).
3.4.6 Terapi
1. Terapi konservatif
Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah obat-obatan
golongan dexamethason (dengan dosis awal 10 mg kemudian dilanjutkan 4 mg
setiap 6 jam), mannitol 20% yang bertujuan untuk mengatasi edema serebri. tetapi
kedua jenis obat tersebut hingga saat ini masih kontroversial pendapat mana yang
terbaik untuk dipilih. Dan juga diberikan obat-obatan anti kejang seperti fenitoin
yang dimana dianjurkan diberikan sebagai terapi profilaksis sedini mungkin (dalam
24 jam pertama) untuk mencegah timbulnya fokus epiletogenik, untuk penggunaan
jangka panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin (satyanegara, 2010).
Pada fraktur impresi terbuka, tindakan pertama yang harus dilakukan oleh
dokter di ruang gawat darurat adalah segera membersihkan dan mencuci dengan
cairan NaCl 0,9% steril kemudian dilakukan penjahitan luka jika penemuan kasus
dilakukan dengan golden period. Hal ini bertujuan untuk mengurangi resiko infeksi
karena terdapat hubungan dunia luar dengan ruang intrakranial. Selanjutnya
31
dilakukan pemeriksaan penunjang dan segera dikonsulkan ke rumah sakit yang
memiliki pelayanan bedah saraf (sadewo dkk, 2010)
2. Terapi operatif
Kriteria paling sederhana yang dipakai sebagai indikasi tindakan operatif
adalah adanya lesi massa intrakranial dengan pergeseran garis tengah ≥ 5 mm. Kasus
kasus dengan lesi massa intrakranial yang mempunyai indikasi operasi, berkaitan
dengan predileksi lokasi khususnya di lobus frontal bagian inferior dan lobus,
biasanya insisi kulit, biasanya insisi kulit yang kerap dilakukan dalam tindakan
kraniotomi adalah berbentuk “tanda tanya”. Bila ada penurunan
kesadaran/perburukan klinis yang progresif, perlu dilakukan tindakan operasi
dekompresi berupa kraniektomi untuk mengurangi tekanan batang otak dan
kemungkinan terjadinya herniasi tentorial (satyanegara, 2010).
Tindakan operasi pada cedera kepala terbuka agak berbeda dengan cedera
kepala tertutup. Pada cedera kepala terbuka yang menjadi tujuan adalah debridemant
jaringan otak nekrotik, mengangkat fragmen tulang atau korpus alienum,
menghentikan perdarahan, evakuasi hematoma dan penutupan duramater dan kulit
yang kedap air. Pembukaan kranial disini cenderung terbatas : berupa insisi linear
huruf “S” atau flap berbentuk “U” dan dilanjutkan dengan kraniektomi atau
kraniotomi kecil (satyanegara, 2010)
3.5 FRAKTUR BASIS CRANII
3.5.1 Definisi
Suatu fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar
tulang tengkorak yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada
duramater. Fraktur basis cranii paling sering terjadi pada dua lokasi anatomi tertentu
yaitu regio temporal dan regio occipital condylar.
3.5.2 Gejala Klinis
Gambaran klinis dari fraktur basis cranii yaitu hemotimpanum, ekimosis
periorbita (racoon eyes), ekimosis retroauricular ( Battle’s sign), dan kebocoran
cairan serebrospinal (dapat diidentifikasi dari kandungan glukosanya) dari telinga
dan hidung. Parese nervus cranialis (nervus I, II, III, IV, VII dan VIII dalam
berbagai kombinasi) juga dapat terjadi.
32
- Fraktur pada Fossa Anterior
anosmia, epistaksis, Rhinorrhea, pendarahan subconjunctival, periorbital
hemorrage (mata rakun, gangguan penglihatan, gerakan mata diubah, ptosis,
hilangnya sensasi ke dahi, kornea
- Fraktur pada Fossa Media
Hilangnya sensasi pada wajah bagian bawah, otorrhea, tuli, tinnitus, facial
palsy, hemotympanium
33
- Fraktur pada Fossa Posterior
Echymosis belakang telinga (battle sign), gangguan refleks muntah,
catastrophic injuries dapat terjadi jika ada gangguan dari arteri karotid (suplai
darah ke korteks serebral media dan anterior) atau arteri vertebralis (suplai darah
ke batang otak dan korteks serebral posterior), atau jika batang otak terganggu
3.5.3 Mekanisme Fraktur Basis Cranii
34
Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada
daerah daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi
energy yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula; atau efek „remote‟
dari benturan pada kepala („gelombang tekanan‟ yang dipropagasi dari titik
benturan atau perubahan bentuk tengkorak).
Tipe dari BSF yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini
mengelilingi foramen magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal cord
lewat. Ring fracture komplit biasanya segera berakibat fatal akibat cedera batang
otak. Ring fracture in komplit lebih sering dijumpai (Hooper et al. 1994). Kematian
biasanya terjadi seketika karena cedera batang otak disertai dengan avulsi dan
laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar tengkorak.
Fraktur basis cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk
benturan dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban
inersia pada kepala (sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia,
misalnya, ketika dada pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat
mengalami benturan dengan sebuah objek misalnya pagar. Kepala kemudian secara
tiba tiba mengalami percepatan gerakan namun pada area medulla oblongata
mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia tersebut kemudian
meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi akibat ruda paksa pada
benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya
kompresi) atau ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah occiput
atau mandibula. Huelke et al. (1988) menyelidiki sebuah pandangan umum bahwa
fraktur basis cranii akibat hasil dari benturan area kubah kranial. Kasus benturan
pada area kubah non-kranial, yang disajikan dalam berbagai jenis kecelakaan
kendaraan bermotor, telah didokumentasikan. Para peneliti menemukan fraktur basis
cranii juga bisa disebabkan oleh benturan pada area wajah saja. Pada studi
eksperimen berdasarkan pengujian mayat, Gott et al.(1983) meneliti secara rinci
tengkorak dari 146 subjek yang telah mengalami benturan/ruda paksa pada area
kepala. 45 kasus skull fraktur diamati secara rinci. Terdapat 22 BSF pada grup ini.
Penyebab dari kasus tersebut disebabkan oleh ruda paksa pada area frontal (5 kasus),
daerah Temporo-parietal tengkorak (1 kasus), seluruh wajah (2 kasus) dan berbagai
jenis ruda paksa kepala lainnya (14 kasus).
35
fraktur campuran (compound) bila terdapat hubungan langsung dengan
lingkungan luar. Ini dapat disebabkan oleh laserasi pada fraktur atau suatu fraktur
basis cranii yang biasanya melalui sinus-sinus.
Pada dasarnya, suatu fraktur basiler adalah suatu fraktur linear pada basis
cranii. Biasanya disertai dengan robekan pada duramater dan terjadi pada pada
daerah-daerah tertentu dari basis cranii. Fraktur Temporal terjadi pada 75% dari
seluruh kasus fraktur basis cranii. Tiga subtipe dari fraktur temporal yaitu : tipe
longitudinal, transversal, dan tipe campuran (mixed).
- Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan pars
skuamosa os temporal, atap dari canalis auditorius eksterna, dan tegmen timpani.
Fraktur-fraktur ini dapat berjalan ke anterior dan ke posterior hingga cochlea dan
labyrinthine capsule, berakhir di fossa media dekat foramen spinosum atau pada
tulang mastoid secara berurut.
- Fraktur transversal mulai dari foramen magnum dan meluas ke cochlea dan
labyrinth, berakhir di fossa media.
- Fraktur campuran merupakan gabungan dari fraktur longitudinal dan fraktur
transversal. Masih ada sistem pengelompokan lain untuk fraktur os temporal yang
sedang diusulkan. Fraktur temporal dibagi menjadi fraktur petrous dan nonpetrous;
dimana fraktur nonpetrous termasuk didalamnya fraktur yang melibatkan tulang
mastoid. Fraktur-fraktur ini tidak dikaitkan dengan defisit dari nervus cranialis
3.5.4 Jenis Fraktur Basis Cranii
a. Fraktur Temporal, dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii. Terdapat
3 suptipe dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed. Tipe
transversal dari fraktur temporal dan type longitudinal fraktur temporal
ditunjukkan di bawah ini (lihat gambar 3)4.
Gambar 3. (A)Transverse temporal bone fracture and (B)Longitudinal
temporal bone fracture (courtesy of Adam Flanders, MD, Thomas Jefferson
University, Philadelphia, Pennsylvania)
36
A B
Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan
bagian squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus
externus dan tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu
bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir
pada fossa cranii media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells.
Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%).
Fraktur transversal dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui
cochlea dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed
memiliki unsur unsur dari kedua fraktur longitudinal dan transversal.
Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah diusulkan.
Sistem ini membagi fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous
fraktur, yang terakhir termasuk fraktur yang melibatkan mastoid air cells. Fraktur
tersebut tidak disertai dengan deficit nervus cranialis
b. Fraktur clivus, digambarkan sebagai akibat ruda paksa energi tinggi dalam
kecelakaan kendaraan bermotor. Longitudinal, transversal, dan tipe oblique telah
dideskripsikan dalam literatur. Fraktur longitudinal memiliki prognosis terburuk,
terutama bila melibatkan sistem vertebrobasilar. Defisit pada nervus cranial VI
dan VII biasanya dijumpai pada fraktur tipe ini.
c. Fraktur condylus occipital adalah akibat dari trauma tumpul bertenaga besar
dengan kompresi ke arah aksial, lengkungan ke lateral, atau cedera rotasi pada
ligamentum alar. Fraktur jenis ini dibagi menjadi tiga tipe berdasarkan
mekanisme cedera yang terjadi. Cara lain membagi fraktur ini menjadi fraktur
bergeser dan fraktur stabil misalnya dengan atau tanpa cedera ligamentum yakni :
- Fraktur tipe I, adalah fraktur sekunder akibat kompresi axial yang mengakibatkan
fraktur kominutif condylus occipital. Fraktur ini adalah suatu fraktur yang stabil.
37
- Fraktur tipe II merupakan akibat dari benturan langsung. Meskipun akan meluas
menjadi fraktur basioccipital, fraktur tipe II dikelompokkan sebagai fraktur stabil
karena masih utuhnya ligamentum alae dan membran tectorial.
- Fraktur tipe III adalah suatu fraktur akibat cedera avulsi sebagai akibat rotasi yang
dipaksakan dan lekukan lateral. Ini berpotensi menjadi suatu fraktur yang tidak
stabil.
3.5.5 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Sebagai tambahan pada suatu pemeriksaan neurologis lengkap, pemeriksaan
darah rutin, dan pemberian tetanus toxoid (yang sesuai seperti pada fraktur terbuka
tulang tengkorak), pemeriksaan yang paling menunjang untuk diagnosa satu fraktur
adalah pemeriksaan radiologi.
b. Pemeriksaan Radiologi
• Foto Rontgen: Sejak ditemukannya CT-scan, maka penggunaan foto Rontgen
cranium dianggap kurang optimal. Dengan pengecualian untuk kasus-kasus tertentu
seperti fraktur pada vertex yang mungkin lolos dari CT-can dan dapat dideteksi
dengan foto polos maka CT-scan dianggap lebih menguntungkan daripada foto
Rontgen kepala.
Di daerah pedalaman dimana CT-scan tidak tersedia, maka foto polos x-ray dapat
memberikan informasi yang bermanfaat. Diperlukan foto posisi AP, lateral,
Towne’s view dan tangensial terhadap bagian yang mengalami benturan untuk
menunjukkan suatu fraktur depresi. Foto polos cranium dapat menunjukkan adanya
fraktur, lesi osteolitik atau osteoblastik, atau pneumosefal. Foto polos tulang
belakang digunakan untuk menilai adanya fraktur, pembengkakan jaringan lunak,
deformitas tulang belakang, dan proses-proses osteolitik atau osteoblastik.
• CT scan : CT scan adalah kriteria modalitas standar untuk menunjang diagnosa
fraktur pada cranium. Potongan slice tipis pada bone windows hingga ketebalan 1-
1,5 mm, dengan rekonstruksi sagital berguna dalam menilai cedera yang terjadi. CT
scan Helical sangat membantu untuk penilaian fraktur condylar occipital, tetapi
biasanya rekonstruksi tiga dimensi tidak diperlukan.
38
• MRI (Magnetic Resonance Angiography) : bernilai sebagai pemeriksaan
penunjang tambahan terutama untuk kecurigaan adanya cedera ligamentum dan
vaskular. Cedera pada tulang jauh lebih baik diperiksa dengan menggunakan CT
scan. MRI memberikan pencitraan jaringan lunak yang lebih baik dibanding CT
scan.
c. Pemeriksaan Penunjang Lain
Perdarahan melalui telinga dan hidung pada kasus-kasus yang dicurigai adanya
kebocoran CSF, bila di dab dengan menggunakan kertas tissu akan menunjukkan
adanya suatu cincin jernih pada tissu yang telah basah diluar dari noda darah yang
kemudian disebut suatu “halo” atau “ring” sign. Suatu kebocoran CSF juga dapat
diketahui dengan menganalisa kadar glukosa dan mengukur tau-transferrin, suatu
polipeptida yang berperan dalam transport ion Fe.
3.5.6 Diagnosis
Diagnosa cedera kepala dibuat melalui suatu pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan diagnostik. Selama pemeriksaan, bisa didapatkan riwayat medis yang
lengkap dan mekanisme trauma. Trauma pada kepala dapat menyebabkan gangguan
neurologis dan mungkin memerlukan tindak lanjut medis yang lebih jauh. Alasan
kecurigaan adanya suatu fraktur cranium ataucedera penetrasi antara lain :
Keluar cairan jernih (CSF) dari hidung
Keluar darah atau cairan jernih dari telinga
Adanya luka memar di sekeliling mata tanpa adanya trauma pada mata (panda
eyes)
Adanya luka memar di belakang telinga (Battle’s sign)
Adanya ketulian unilateral yang baru terjadi
Luka yang signifikan pada kulit kepala atau tulang tengkorak.
3.5.7 Diagnosis Banding
Echimosis periorbita (racoon eyes) dapat disebabkan oleh trauma langsung
seperti kontusio fasial atau blow-out fracture dimana terjadi fraktur pada tulang-
tulang yang membentuk dasar orbita (arcus os zygomaticus, fraktur Le Fort tipe II
atau III, dan fraktur dinding medial atau sekeliling orbital).
Rhinorrhea dan otorrhea selain akibat fraktur basis cranii juga bisa diakibatkan oleh:
39
- Kongenital
- Ablasi tumor atau hidrosefalus
- Penyakit-penyakit kronis atau infeksi
- Tindakan bedah
3.5.8 Penatalaksanaan
A. Airway Pembersihan jalan nafas, pengawasan vertebra servikal hingga diyakini
tidak ada cedera
B. Breathing Penilaian ventilasi dan gerakan dada, gas darah arteri
C. Circulation Penilaian kemungkinan kehilangan darah, pengawasan secara rutin
tekanan darah pulsasi nadi, pemasangan IV line
D. Dysfunction of CNS Penilaian GCS (Glasgow Coma Scale) secara rutin
E. Exposure Identifikasi seluruh cedera, dari ujung kepala hingga ujung kaki, dari
depan dan belakang.
Setelah menyelesaikan resusitasi cardiovaskuler awal, dilakukan pemeriksaan
fisik menyeluruh pada pasien. Alat monitor tambahan dapat dipasang dan dilakukan
pemeriksaan laboratorium. Nasogastric tube dapat dipasang kecuali pada pasien
dengan kecurigaan cedera nasal dan basis cranii, sehingga lebih aman jika
digunakan orogastric tube. Evaluasi untuk cedera cranium dan otak adalah langkah
berikut yang paling penting. Cedera kulit kepala yang atau trauma kapitis yang
sudah jelas memerlukan pemeriksaan dan tindakan dari bagian bedah saraf. Tingkat
kesadaran dinilai berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS), fungsi pupil, dan
kelemahan ekstremitas.
Fraktur basis cranii sering terjadi pada pasien-pasien dengan trauma kapitis.
Fraktur ini menunjukkan adanya benturan yang kuat dan bisa tampak pada CT scan.
Jika tidak bergejala maka tidak diperlukan penanganan. Gejala dari fraktur basis
cranii seperti defisit neurologis (anosmia, paralisis fasialis) dan kebocoran CSF
(rhinorhea, otorrhea). Seringkali kebocoran CSF akan pulih dengan elevasi kepala
terhadap tempat tidur selama beberapa hari walaupun kadang memerlukan drain
lumbal atau tindakan bedah repair langsung. Belum ada bukti efektifitas antibiotik
mencegah meningitis pada pasien-pasien dengan kebocoran CSF. Neuropati cranial
traumatik umumnya ditindaki secara konservatif. Steroid dapat membantu pada
paralisis nervus fasialis.
40
Tindakan bedah tertunda dilakukan pada kasus frakur dengan inkongruensitas
tulang-tulang pendengaran akibat fraktur basis cranii longitudinal tulang temporal.
Mungkin diperlukan ossiculoplasty jika terjadi hilang pendengaran lebih dari 3
bulan apabila membran timpani tidak dapat sembuh sendiri. Indikasi lain adalah
kebocoran CSF persisten setelah mengalami fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan
deteksi yang tepat mengenai lokasi kebocoran sebelum dilakukan tindakan operasi.
3.5.9 Komplikasi
Resiko infeksi tidak tinggi, sekalipun tanpa antibiotik rutin, terutama pada
fraktur basis cranii dengan rhinorrhea. Paralisis otot-otot fasialis dan rantai tulang-
tulang pendengaran dapat menjadi komplikasi dari fraktur basis cranii. Fraktur
condyler tulang occipital adalah suatu cedera serius yang sangat jarang terjadi.
Sebagian besar pasien dengan fraktur condyler occipital terutama tipe III berada
dalam keadaan koma dan disertai dengan cedera vertebra servikal. Pasien-pasien ini
juga mungkin datang dengan gangguan-gangguan nervus cranialis dan hemiplegi
atau quadriplegi. Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugular adalah fraktur basis
cranii yang terkait dengan gangguan nervus IX, X, and XI. Pasien-pasien dengan
keluhan kesulitan phonation dan aspirasi dan paralisis otot-otot pita suara, pallatum
molle (curtain sign), konstriktor faringeal superior, sternocleidomastoideus, dan
trapezius.
Sindrom Collet-Sicard adalah fraktur condyler occipital yang juga
berdampak terhadap nervus IX, X, XI, dan XII. Meski demikian, paralisis facialis
yang muncul setelah 2-3 hari adalah gejala sekunder dari neurapraxia n.VII dan
responsif terhadap steroid dengan prognosis baik. Suatu onset paralisis facialis yang
komplit dan terjadi secara tiba-tiba akibat fraktur biasanya merupakan gejala dari
transection dari nervus dengan prognosis buruk.
Fraktur basis cranii juga dapat menimbulkan gangguan terhadap nervus-nervus
cranialis lain. Fraktur ujung tulang temporal petrosus dapat mengenai ganglion
Gasserian / trigeminal. Isolasi n.VI bukanlah suatu dampak langsung dari fraktur
namun akibat regangan pada nervus tersebut. Fraktur tulang sphenoid dapat
berdampak terhadap nervus III, IV, dan VI juga dapat mengenai a.caroticus interna,
dan berpotensi menyebabkan terjadinya pseudoaneurisma dan fistel
caroticocavernosus (mencapai struktur vena). Cedera caroticus dicurigai terjadi pada
kasus-kasus dimana fraktur melalui canal carotid, dalam hal ini direkomendasikan
untuk melakukan pemeriksaan CT-angiografi. 2
41
3.5.10 Prognosis
Walaupan fraktur pada cranium memiliki potensi resiko tinggi untuk cedera
nervus cranialis, pembuluh darah, dan cedera langsung pada otak, sebagian besar
jenis fraktur adalah jenis fraktur linear pada anak-anak dan tidak disertai dengan
hematom epidural. Sebagian besar fraktur, termasuk fraktur depresi tulang cranium
tidak memerlukan tindakan operasi.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pada pasien yang mengalami Cedera Kepala Berat perlu dilakukan
penanganan yang cepat dan tepat, baik dalam upaya untuk tindakan life saving dan
untuk mencegah terjadinya kecacatan fisik maupum mental, sehingga setelah semua
kegawatan telah diatasi perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yang tepat untuk
mendapatkan diagnosa pasti, sehingga terapi Operatif dan Non-operatif
(medikamentosa dan non-medikamentosa) yang diberikan dapat adekuat dan tepat.
42
DAFTAR PUSTAKA
1. Wedro B C, Stoppler MC. Head Injury Overview. on emedicine health. Available at
http://www.emedicinehealth.com/script/main/art.asp?articlekey=59402&page=1#overview
2. Thai T J G K. Helmet protection against basilar skull fracture. Biomechanical of basilar
skull fracture. On ATSB Research and analysis report road safety research grant report
2007-03. Australia 2007
3. Qureshi N H, Harsh G, Nosko M G, Talavera F, Wyler A R, Zamboni P. Skull fracture.
On emedicine health 2009. Available at http://emedicine.medscape.com/article/248108-
clinicalmanifestations last update 10 mei 2011
4. Qureshi N H, Harsh G, Nosko M G, Talavera F, Wyler A R, Zamboni P. Skull fracture.
On emedicine health 2009. Available at http://emedicine.medscape.com/article/248108-
threatment last update 10 mei 2o11
5. Anderson PA, Montesano PX. Morphology and treatment of occipital condyle fractures.
Spine (Phila Pa 1976). Jul 1988;13(7):731-6.
43
6. Tuli S, Tator CH, Fehlings MG, Mackay M. Occipital condyle fractures. Neurosurgery.
Aug 1997;41(2):368-76; discussion 376-7.
7. Rathore MH. Do prophylactic antibiotics prevent meningitis after basilar skull fracture
Pediatric Infect Dis J 1991;10:87–8.
8. Bachrudin, M. Dasar-Dasar Neurologi. 2008
9. www.lhsc.on.ca. Basal Skull Fracture.
Moore K.L., Agur A.M.R. 2002. Essential Clinical Anatomy. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
Reilly, Peter L And Bullock, Ross. 2005. Head Injury-Pathophysiology And Management.
Oxford University Press : New-York
Sadewo dkk. 2011. Sinopsis Ilmu Bedah Saraf. Penerbit FKUI : Jakarta
Satynegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf Edisi IV. PT Gramedia : Jakarta.
44