Diskriminasi Pendidikan di Sekolah

4
See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/288670614 Diskriminasi Pendidikan di Sekolah Article · October 2015 CITATIONS 0 READS 199 1 author: Some of the authors of this publication are also working on these related projects: The Problems of Implementing Scientific Approach Faced by Civics and Citizenship Education Teacher at SMP Negeri 1 Grujugan View project International Perspective of Civics and Citizenship Education View project Manik Sukoco Universitas Negeri Yogyakarta 22 PUBLICATIONS 0 CITATIONS SEE PROFILE All content following this page was uploaded by Manik Sukoco on 29 December 2015. The user has requested enhancement of the downloaded file.

Transcript of Diskriminasi Pendidikan di Sekolah

Page 1: Diskriminasi Pendidikan di Sekolah

Seediscussions,stats,andauthorprofilesforthispublicationat:https://www.researchgate.net/publication/288670614

DiskriminasiPendidikandiSekolah

Article·October2015

CITATIONS

0

READS

199

1author:

Someoftheauthorsofthispublicationarealsoworkingontheserelatedprojects:

TheProblemsofImplementingScientificApproachFacedbyCivicsandCitizenshipEducationTeacherat

SMPNegeri1GrujuganViewproject

InternationalPerspectiveofCivicsandCitizenshipEducationViewproject

ManikSukoco

UniversitasNegeriYogyakarta

22PUBLICATIONS0CITATIONS

SEEPROFILE

AllcontentfollowingthispagewasuploadedbyManikSukocoon29December2015.

Theuserhasrequestedenhancementofthedownloadedfile.

Page 2: Diskriminasi Pendidikan di Sekolah

Diskriminasi Pendidikan di Sekolah

Manik Sukoco*

*Prodi PPKn Program Pasccasarjana UNY dan Kolumnis Majalah Inside Indonesia,

E-mail: [email protected]

Sampai sejauh ini, sistem persekolahan kita berhasil mendidik anak-anak yang pandai menjadi

lebih pandai, tetapi gagal mendidik anak yang belum pandai dan lamban untuk menjadi pandai.

Sekolah cenderung memilih anak yang memiliki potensi akademik dan finansial yang baik. Di

sisi lain, anak yang memiliki potensi akademik dan finansial yang kurang beruntung cenderung

terpinggirkan.

Persekolahan kita masih diskriminatif. Tak ubahnya seperti sistem pendidikan kolonial yang

diskriminatif dan memihak elite. Pada zaman kolonial, sekolah hanya untuk kalangan

bangsawan, ningrat, dan elite. Sebaliknya, orang-orang kecil (kawulo alit) termarginalkan.

Pada saat itu, rakyat jelata hanya diberi kesempatan sekolah ongko loro (sekolah kelas dua).

Perkembangan berikutnya, rakyat jelata diberi kesempatan masuk sekolah rakyat (SR) selama

enam tahun, sekarang disebut sekolah dasar (SD). SR awalnya digratiskan pemerintah.

Hak Konstitusional

Apakah setelah 70 tahun merdeka sudah terjadi pergeseran ke arah yang lebih bermakna dalam

mencerdaskan kehidupan bangsa? Bagaimana nasib anak-anak yang kurang beruntung dari sisi

potensi akademik dan finansial untuk mendapatkan layanan pendidikan? Sudahkah harapan yang

diinginkan melalui UUD dalam Pasal 31 bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat

pendidikan terpenuhi?

Kalau kita cermati, sistem seleksi pendidikan termasuk pendidikan dasar menggambarkan betapa

diskriminatifnya sistem persekolahan kita saat ini. Sekolah cenderung memilih anak yang

memiliki potensi akademik dan finansialnya yang baik. Tetapi bagaimana nasib anak-anak yang

potensi akademiknya dan finansialnya kurang? Padahal, sesuai dengan konstitusi mereka juga

warga negara Indonesia yang berhak mendapatkan pendidikan.

Memang ada program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, ada SMP terbuka, ada

dana BOS, dan sederetan regulasi lain yang mendukung ke arah tiap-tiap warga negara untuk

mendapatkan pendidikan. Namun, realitas di lapangan untuk mewujudkan amanah konstitusi

tentang pendidikan masih sangat sulit. Ataukah sekolah memang ditakdirkan untuk diskriminatif

dan hanya milik kelompok elite?

Penerimaan siswa baru (PSB) untuk pendidikan dasar selama ini menggunakan sistem seleksi.

Dampaknya yang muncul tidak ubahnya seperti pendidikan kolonial selalu saja diskriminatif.

PSB akan lebih bermakna kalau diposisikan sebagai fungsi penempatan, dan bukan fungsi

selektif karena setiap anak harus bersekolah. Oleh sebab itu, pemerintah wajib menata dan

Page 3: Diskriminasi Pendidikan di Sekolah

menempatkan peserta didik berdasarkan karakteristik mereka. Sekolah bukan hanya memilih

anak-anak yang pandai.

Akibat sistem seleksi masuk SD melalui berbagai aspek dan teknik, satu di antaranya melalui

kemampuan baca tulis, anak dari taman kanak-kanak (TK) yang belum bisa membaca dan

menulis tidak diterima. Oleh sebab itu, banyak TK yang mulai bergeser fungsinya dengan

memberikan pelajaran membaca menulis. Sedang anak-anak TK dari segi perkembangan

kognitifnya baru mencapai berpikir praoperasional (Piaget) dan belum mencapai taraf berpikir

operasional formal.

Efeknya, anak-anak TK sudah diajak berpikir operasional dan harus mengikuti kaidah-kaidah

formal. Anak menjadi kehilangan masa indah kanak-kanaknya. Maka wajar banyak kita saksikan

orang tua yang perilakunya masih seperti kanak-kanak. Wajar pula alm. K.H. Abdurrahman

Wahid (Gus Dur) menyebut anggota DPR seperti taman kanak-kanak. Jangan-jangan mereka ini

kehilangan masa kanak-kanaknya karena disuguhi pelajaran di luar kewajaran, seperti les.

Sekolah yang Baik

Di sisi lain, penilaian terhadap kinerja sekolah sering tidak objektif karena hanya mengamati

lulusannya. Kecenderungan sekolah yang menghasilkan lulusan dengan prestasi baik, kalau

ditelusuri sebagian besar mereka berasal dari sekolah yang row input-nya memang baik. Hasil

proses kinerja sekolah sebenarnya merupakan perbandingan antara input dan output. Begitu pula

sekolah yang output-nya kurang baik pada umumnya row input-nya kurang baik.

Kontribusinya sekolah yang lulusannya baik meningkatkan minat peserta didik berlomba masuk

sekolah tersebut. Akibat adanya persaingan masuk, sekolah yang baik output-nya menjadi

semakin baik, dan proses ini berlangsung terus sehingga lulusannya menjadi lebih baik.

Benarkah baiknya prestasi yang dicapai lulusan sekolah berkat kinerjanya sekolah dan guru?

Sebenarnya penilaian terhadap kinerja sekolah selama ini sering kurang realistik. Anak yang

berpotensi bila didukung sarana yang baik di sekolah yang baik, jika prestasinya baik adalah

suatu hal yang seharusnya. Jangan-jangan tidak perlu terlalu banyak sentuhan guru pun hasilnya

sudah baik.

Hal yang sebaliknya sekolah yang lulusannya kurang baik, dijauhi dari pendaftar dan berdampak

persaingan untuk memasuki sekolah tersebut menjadi longgar. Tugas guru terhadap sekolah yang

seperti ini menjadi berat karena dari sisi potensi peserta didik kurang menguntungkan. Daya

dukung orang tua menjadi rendah dan perhatian pemerintah terhadap sekolah seperti ini biasanya

juga berkurang.

Kalau anak yang berpotensi baik mendapat fasilitas di sekolah yang baik, pertanyaannya kenapa

anak yang potensinya akademiknya tidak sesuai dengan kriteria tidak mendapat fasilitas yang

lebih baik, atau setidaknya sama dengan sekolah yang baik?

Page 4: Diskriminasi Pendidikan di Sekolah

Sekolah semestinya tidak diskriminatif agar potensi anak dapat terangkat. Sehingga sekolah

mampu mendidik anak yang pandai menjadi lebih pandai dan mengangkat peserta didik yang

kurang pandai menjadi pandai.

View publication statsView publication stats