Diskripsi Sistem Surveilans

48
Diskripsi Sistem Surveilans 1. Pengertian Menurut WHO (2004), surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data secara sistemik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan. Berdasarkan definisi diatas dapat diketahui bahwa surveilans adalah suatu kegiatan pengamatan penyakit yang dilakukan secara terus menerus dan sistematis terhadap kejadian dan distribusi penyakit serta faktor- faktor yang mempengaruhinya pada masyarakat sehingga dapat dilakukan penanggulangan untuk dapat mengambil tindakan efektif. Surveilans kesehatan masyarakat adalah proses pengumpulan data kesehatan yang mencakup tidak saja pengumpulan informasi secara sistematik, tetapi juga melibatkan analisis, interpretasi, penyebaran, dan penggunaan informasi kesehatan. Hasil surveilans dan pengumpulan serta analisis data digunakan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang status kesehatan populasi guna merencanakan, menerapkan, mendeskripsikan, dan mengevaluasi program kesehatan masyarakat untuk mengendalikan dan mencegah kejadian yang merugikan kesehatan. Dengan demikian, agar data dapat berguna, data harus akurat, tepat waktu, dan tersedia dalam bentuk yang dapat digunakan (Timmreck, 2005). 2. Tujuan Surveilans Secara umum surveilans bertujuan untuk pencegahan dan pengendalian penyakit dalam masyarakat sebagai upaya deteksi dini terhadap kemungkinan terjadinya kejadian luar biasa (KLB), memperoleh informasi yang diperlukan bagi perencanaan dalam hal pencegahan, penanggulangan maupun pemberantasannya pada berbagai tingkat administrasi (Depkes RI, 2004a).

Transcript of Diskripsi Sistem Surveilans

Diskripsi Sistem Surveilans

1.     Pengertian

Menurut WHO (2004), surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis

dan interpretasi data secara sistemik dan terus menerus serta penyebaran informasi

kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan. Berdasarkan definisi

diatas dapat diketahui bahwa surveilans adalah suatu kegiatan pengamatan penyakit yang

dilakukan secara terus menerus dan sistematis terhadap kejadian dan distribusi penyakit

serta faktor-faktor yang mempengaruhinya pada masyarakat sehingga dapat dilakukan

penanggulangan untuk dapat mengambil tindakan efektif.

Surveilans kesehatan masyarakat adalah proses pengumpulan data kesehatan yang

mencakup tidak saja pengumpulan informasi secara sistematik, tetapi juga melibatkan

analisis, interpretasi, penyebaran, dan penggunaan informasi kesehatan. Hasil surveilans

dan pengumpulan serta analisis data digunakan untuk mendapatkan pemahaman yang

lebih baik tentang status kesehatan populasi guna merencanakan, menerapkan,

mendeskripsikan, dan mengevaluasi program kesehatan masyarakat untuk

mengendalikan dan mencegah kejadian yang merugikan kesehatan. Dengan demikian,

agar data dapat berguna, data harus akurat, tepat waktu, dan tersedia dalam bentuk yang

dapat digunakan (Timmreck, 2005).

2.    Tujuan Surveilans

Secara umum surveilans bertujuan untuk pencegahan dan pengendalian penyakit dalam

masyarakat sebagai upaya deteksi dini terhadap kemungkinan terjadinya kejadian luar

biasa (KLB), memperoleh informasi yang diperlukan bagi perencanaan dalam hal

pencegahan, penanggulangan maupun pemberantasannya pada berbagai tingkat

administrasi (Depkes RI, 2004a).

3.    Komponen Surveilans

Komponen-komponen kegiatan surveilans menurut Depkes. RI, (2004b) seperti dibawah

ini:

1)    Pengumpulan data, data yang dikumpulkan adalah data epidemiologi yang jelas, tepat dan

ada hubungannya dengan penyakit yang bersangkutan. Tujuan dari pengumpulan data

epidemiologi adalah: untuk menentukan kelompok populasi yang mempunyai resiko

terbesar terhadap serangan penyakit; untuk menentukan reservoir dari infeksi; untuk

menentukan jenis dari penyebab penyakit dan karakteristiknya; untuk memastikan

keadaan yang dapat menyebabkan berlangsungnya transmisi penyakit; untuk mencatat

penyakit secara keseluruhan; untuk memastikan sifat dasar suatu wabah, sumbernya,

cara penularannya dan seberapa jauh penyebarannya.

2)   Kompilasi, analisis dan interpretasi data. Data yang terkumpul selanjutnya dikompilasi,

dianalisis berdasarkan orang, tempat dan waktu. Analisa dapat berupa teks tabel, grafik

dan spot map sehingga mudah dibaca dan merupakan informasi yang akurat. Dari hasil

analisis dan interpretasi selanjutnya dibuat saran bagaimana menentukan tindakan dalam

menghadapi masalah yang baru.

3)   Penyebaran hasil analisis dan hasil interpretasi data. Hasil analisis dan interpretasi data

digunakan untuk unit-unit kesehatan setempat guna menentukan tindak lanjut dan

disebarluaskan ke unit terkait antara lain berupa laporan kepada  atasan atau kepada

lintas sektor yang terkait sebagai informasi lebih lanjut.

Komponen-komponen dalam pelaksanaan sistem surveilans (WHO,1999) adalah sebagai

berikut :

a.     Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan komponen yang sangat penting karena kualitas

informasi yang diperoleh sangat ditentukan oleh kualitas data yang dikumpulkan.

Data yang dikumpulkan harus jelas, tepat dan ada hubungannya dengan penyakit

yang bersangkutan. Oleh karena itu untuk dapat menjalankan surveilans yang baik

pengumpulan data harus dilaksanakan secara teratur dan terus-menerus.

Tujuan pengumpulan data :

1).   Menentukan kelompok atau golongan populasi yang mempunyai resiko terbesar

terkena penyakit seperti jenis kelamin, umur, suku, pekerjaan dan lain-lain.

2).    Menentukan jenis agent atau penyebab penyakit dan karakteristiknya.

3).    Menentukan  reservoir infeksinya

4).    Memastikan keadaan yang menyebabkan kelangsungan transmisi penyakit.

5).    Mencatat kejadian penyakit, terutama pada kejadian luar biasa.

Sumber data yang dikumpulkan barlainan untuk tiap jenis penyakit. Sumber data sistem

surveilans terdiri dari 10 elemen yaitu:

1).    Pencatatan kematian

2).   Laporan penyakit, merupakan elemen yang terpenting dalam surveilans. Data yang

diperlukan : nama penderita, umur, jenis kelamin, alamat, diagnosis dan tanggal mulai

sakit.

3).    Laporan kejadian luar biasa atau wabah.

4).    Hasil pemeriksaan laboratorium.

5).    Penyelidikan peristiwa penyakit menular.

6).    Penyidikan kejadian luar biasa atau wabah.

7).    Survey : memerlukan tenaga, biaya dan fasilitas.

8).    Penyelidikan tentang distribusi vektor dan reservoir penyakit pada hewan.

9).    Data penggunaan obat-obatan, serum dan vaksin.

10). Data kependudukan dan lingkungan.

b.     Pengolahan, analisa dan interpretasi data

Data yang terkumpul segera diolah, dianalisa dan sekaligus diinterpretasikan berdasarkan

waktu, tempat dan orang, kemudian disajikan dalam bentuk teks, tabel, spot map dan lain-

lain agar bisa menjawab masalah-masalah yang ada, sehingga segera dilakukan tindakan

yang cepat dan tepat.

Berdasarkan hasil analisa dan interpretasi data, dibuat tanggapan dan saran-saran

dalam menentukan tindakan pemecahan masalah yang ada.

c.     Penyebarluasan Informasi dan umpan balik.

Hasil analisa dan interpretasi data selain terutama dipakai sendiri oleh unit

kesehatan setempat untuk keperluan penentuan tindak lanjut, juga untuk

disebarkluaskan dengan jalan dilaporkan kepada atasan sehagai infomasi lebih

lanjut, dikirimkan sebagai umpan balik (feed back) kepada unit kesehatan pemberi

laporan.

Umpan balik atau pengiriman informasi kembali kepada sumber-sumber data

(pelapor) mengenai arti data yang telah diberikan dan kegunaannya setelah diolah,

merupakan suatu tindakan yang penting, selain tindakan follow up.

4.      Aktifitas Inti Surveilans

Aktivitas surveilans kesehatan masyarakat meliputi delapan aktivitas inti (McNabb. et al.,

2002), yaitu:

1)   Pendeteksian kasus (case detection): proses mengidentifikasi peristiwa atau keadaan

kesehatan. Unit sumber data menyediakan data yang diperlukan dalam penyelenggaraan

surveilans epidemiologi termasuk rumah sakit, puskesmas,  laboratorium, unit penelitian,

unit program-sektor dan unit statistik lainnya.

2)    Pencatatan kasus (registration): proses pencatatan kasus hasil identifikasi peristiwa atau

keadaan kesehatan.

3)    Konfirmasi (confirmation): evaluasi dari ukuran-ukuran epidemiologi sampai pada hasil

percobaan laboratorium.

4)    Pelaporan (reporting): data, informasi dan rekomendasi sebagai hasil kegiatan surveilans

epidemiologi disampaikan kepada pihak-pihak yang dapat melakukan tindakan

penanggulangan penyakit atau upaya  peningkatan program kesehatan, pusat penelitian

dan pusat kajian serta pertukaran data dalam jejaring surveilans epidemiologi.

Pengumpulan data kasus pasien dari tingkat yang lebih rendah dilaporkan kepada fasilitas

kesehatan yang lebih tinggi seperti lingkup daerah atau nasional.

5)    Analisis data (data analysis): analisis terhadap data-data dan angka-angka dan

menentukan indikator terhadap tindakan.

6)    Respon segera/ kesiapsiagaan wabah (epidemic preparedness) kesiapsiagaan dalam

menghadapi wabah/kejadian luar biasa.

7)    Respon terencana (response and control): sistem pengawasan kesehatan masyarakat

hanya dapat digunakan jika data yang ada bisa digunakan dalam peringatan dini dan

munculnya masalah dalam kesehatan masyarakat.

8)    Umpan balik (feedback): berfungsi penting dari semua sistem pengawasan, alur pesan

dan informasi kembali ke tingkat yang lebih rendah dari tingkat yang lebih tinggi.

5.    Kegunaan Surveilans Epidemiologi.

Surveilans epidemiologi mempunyai beberapa kegunaan (Depkes RI, 1997) yaitu:

a.     Mengidentifikasi adanya kejadian luar biasa, epidemi dan untuk memastikan tindakan

pengendalian secara berhasil guna yang dapat dilaksanakan.

b.     Memantau pelaksanaan dan daya guna program pengendalian khusus dengan

memperbandingkan besarnya masalah sebelum dan sesudah pelaksanaan program.

c.     Membantu menetapkan masalah kesehatan prioritas sasaran program pada tahap

perencanaan program.

d.     Mengidentifikasi kelompok resiko tinggi menurut umur, pekerjaan, tempat tinggal dimana

masalah kesehatan sering terjadi dan variasi terjadinya dari waktu ke waktu, menambah

pemahaman mengenai vektor penyakit, reservoir binatang dan cara serta dinamika

penularan penyakit menular.

6.    Syarat-syarat sistem surveilans yang baik.

Syarat-syarat sistem surveilans yang baik hendaknya memenuhi karakteristik sebagai

berikut (Romaguera, 2000) :

a.     Kesederhanaan (Simplicity)

Kesederhanaan sistem surveilans menyangkut struktur dan pengorganisasian

sistem. Besar dan jenis informasi yang diperlukan untuk menunjang diagnosis, sumber

pelapor, cara pengiriman data, organisasi yang menerima laporan, kebutuhan pelatihan

staf, pengolahan dan analisa data perlu dirancang agar tidak membutuhkan sumber daya

yang terlalu besar dan prosedur yang terlalu rumit.

b.     Fleksibilitas (Flexibility).

Sistem surveilans yang fleksibel dapat menyesuaikan diri dalam mengatasi

perubahan-perubahan informasi yang dibutuhkan atau kondisi operasional tanpa

memerlukan peningkatan yang berarti akan kebutuhan biaya, waktu dan tenaga.

c.     Dapat diterima (Acceptability).

Penerimaan terhadap sistem surveilans tercermin dari tingkat partisipasi individu,

organisasi dan lembaga kesehatan. lnteraksi sistem dengan mereka yang terlibat,

temasuk pasien atau kasus yang terdeteksi dan petugas yang melakukan diagnosis dan

pelaporan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan sistem tesebut. Beberapa indikator

penerimaan terhadap sistem surveilans adalah jumlah proporsi para pelapor, kelengkapan

pengisian formulir pelaporan dan ketepatan waktu pelaporan. Tingkat partisipasi dalam

sistem surveilans dipengaruhi oleh pentingnya kejadian kesehatan yang dipantau,

pengakuan atas kontribusi mereka yang terlibat dalam sistem, tanggapan sistem terhadap

saran atau komentar, beban sumber daya yang tersedia, adanya peraturan dan

perundangan yang dijalankan dengan tepat.

d.     Sensitivitas (Sensitivity).

Sensitivitas suatu surveilans dapat dinilai dari kemampuan mendeteksi kejadian

kasus-kasus penyakit atau kondisi kesehatan yang dipantau dan kemampuan

mengidentifikasi adanya KLB.

Faktor-faktor yang berpengaruh adalah :

1).    Proporsi penderita yang berobat ke pelayanan kesehatan

2).    Kemampuan mendiagmosa secara benar dan kemungkinan kasus yang terdiagnosa akan

dilaporkan

3).    Keakuratan data yang dilaporkan

e.     Nilai Prediktif Positif (Positive predictive value)

Nilai Prediktif Positif adalah proporsi dari yang diidentifikasi sebagai kasus, yang

kenyataannya memang menderita penyakit atau kondisi sasaran surveilans. Nilai Prediktif

Positif menggambarkan sensitivitas dan spesifisitas serta prevalensi/ insidensi penyakit

atau masalah kesehatan di masyarakat.

f.      Representatif (Representative).

Sistem surveilans yang representatif mampu mendeskripsikan secara akurat

distribusi kejadian penyakit menurut karakteristik orang, waktu dan tempat. Kualitas data

merupakan karakteristik sistem surveilans yang representatif. Data surveilans tidak

sekedar pemecahan kasus-kasus tetapi juga diskripsi atau ciri-ciri demografik dan

infomasi mengenai faktor resiko yang penting.

g.     Tepat Waktu.

Ketepatan waktu suatu sistem surveilans dipengaruhi oleh ketepatan dan

kecepatan mulai dari proses pengumpulan data, pengolahan analisis dan interpretasi data

serta penyebarluasan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Pelaporan

penyakit-penyakit tertentu perlu dilakukan dengan tepat dan cepat agar dapat dikendalikan

secara efektif atau tidak meluas sehingga membahayakan masyarakat. Ketepatan waktu

dalam sistem surveilans dapat dinilai berdasarakan ketersediaan infomasi untuk

pengendalian penyakit baik yang sifatnya segera maupun untuk perencanaan program

dalam jangka panjang. Tekhnologi komputer dapat sebagai faktor pendukung sistem

surveilans dalam ketepatan waktu penyediaan informasi.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan R.I., 1997 “Pedekatan Epidemiologi dan Dasar-dasar Surveilans”, Pusdiklat : Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2004b) Kepmenkes tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan Penyakit Menular dan Tidak Menular Terpadu

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2004a) Kepmenkes tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan dan Penyakit.

McNabb, S.J., Chungong, S., Ryan, M., Wuhib, T., Nsubuga, P., Alemu, W., Kulis, V.C. & Rodier G. (2002) Conceptual Framework of Public Health Survellance and Action and Its Application in Health Sector Reform. BMC Public Health, Januari 29 2002, 2:2 Available from: http://www.biomedcentral.com/1471-2458/2/2, [Diakses tanggal 23 Juli 2009].

Romaguera, A. Raul., German, R.Robert & Klaucke N. Douglas, 2000 Evaluating Public Health Surveillance in : Teutsch, M. Steven and Churchill, E. R. ed. Principles and Practice of Public Health Surveillance: New york : Oxford university  press pp. 176 – 193.

Timmreck, C.T. (2005) Epidemiologi: Suatu Pengantar, Edisi 2, terjemahan oleh Munaya Fauziah, dkk. Jakarta: EGC.

WHO, 1999, WHO Recommended Surveillance Standards, The united Kingdom of Great Britain.WHO. (2004) WHO comprehensive assessment of the National Disease surveilans in Indonesia.

Washington DC

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TERKAIT PELAYANAN KESEHATAN DI LAHAN PRAKTIK

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TERKAIT PELAYANAN KESEHATAN DI LAHAN PRAKTIK 

disampaikan dalam seminar pencegahan infeksi nosokomial di Poltekkes Kemenkes RI Padang Minggu, 14 April 2013

A.     Pendahuluan

”Health-care Associated Infections (HAIs)” merupakan komplikasi yang paling sering terjadi di pelayanan kesehatan. HAIs selama ini dikenal sebagai Infeksi Nosokomial atau disebut juga sebagai Infeksi di rumah sakit ”Hospital-Acquired Infections” merupakan persoalan serius karena dapat menjadi penyebab langsung maupun tidak langsung kematian pasien. Kalaupun tak berakibat kematian, pasien dirawat lebih lama sehingga pasien harus membayar biaya rumah sakit yang lebih banyak.

HAIs adalah penyakit infeksi yang pertama muncul (penyakit infeksi yang tidak berasal dari pasien itu sendiri) dalam waktu antara 48 jam dan empat hari setelah pasien masuk rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan lainnya, atau dalam waktu 30 hari setelah pasien keluar dari rumah sakit. Dalam hal ini termasuk infeksi yang didapat dari rumah sakit tetapi muncul setelah pulang dan infeksi akibat kerja terhadap pekerja di fasilitas pelayanan kesehatan.

Angka kejadian terus meningkat mencapai sekitar 9% (variasi3-21%) atau lebih dari 1,4 juta pasien rawat inap di rumah sakit seluruh dunia.Kondisi  ini menunjukkan penurunan mutu pelayanan kesehatan. Tak dipungkiri lagi untuk masa yang akan datang dapat timbul tuntutan hukum bagi sarana pelayanan kesehatan, sehingga kejadian infeksi di pelayanan kesehatan harus menjadi perhatian bagi Rumah Sakit.

Pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan penunggu pasien merupakan kelompok yang berisiko mendapat HAIs. Infeksi ini dapat terjadi melalui penularan dari pasien kepada petugas, dari pasien ke pasien lain, dari pasien kepada pengunjung atau keluarga maupun dari petugas kepada pasien. Dengan demikian akan menyebabkan peningkatan angka morbiditas, mortalitas, peningkatan lama hari rawat dan peningkatan biaya rumah sakit.

Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) sangat Penting untuk melindungi pasien, petugas juga pengunjung dan keluarga dari resiko tertularnya infeksi karena dirawat, bertugas juga berkunjung ke suatu rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Keberhasilan program PPI perlu keterlibatan lintas profesional: Klinisi, Perawat, Laboratorium, Kesehatan Lingkungan, Farmasi, Gizi, IPSRS, Sanitasi & Housekeeping, dan lain-lain sehingga perlu wadah berupa Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.

Beberapa rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan merupakan lahan praktik bagi  mahasiswa/siswa serta peserta magang dan pelatihan yang berasal dari berbagai jenjang pendidikan dan institusi yang berbeda-beda. Tak diragukan lagi bahwa semua mahasiswa/siswa dan peserta magang/pelatihan mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam penularan infeksi dan akan beresiko mendapatkan HAIs. Oleh karena itu penting bagi mahasiswa/siswa, peserta

magang/pelatihan, termasuk juga karyawan baru memahami proses terjadinya infeksi, mikroorganisme yang sering menimbulkan infeksi, serta bagaimana pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit. Sebab bila sampai terjadi infeksi nosokomial akan cukup sulit mengatasinya, pada umumnya kuman sudah resisten terhadap banyak antibiotika. Sehingga semua mahasiswa/siswa, peserta magang/pelatihan yang akan mengadakan praktik di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, termasuk juga karyawan baru yang akan bertugas harus diberikan Layanan Orientasi dan Informasi (LOI) tentang Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.

B.      Rantai Penularan Infeksi

Pengetahuan tentang rantai penularan infeksi sangat penting karena apabila satu mata rantai dihilangkan atau dirusak, maka infeksi dapat dicegah atau dihentikan. Komponen yang diperlukan sehingga terjadi penularan adalah:

1. Agen infeksi  (infectious agent) adalah Mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi.  Pada manusia dapat berupa bakteri , virus, ricketsia, jamur dan parasit. Dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu: patogenitas, virulensi, dan jumlah (dosis, atau load)

2. Reservoir atau tempat dimana agen infeksi dapat hidup, tumbuh, berkembang biak dan siap ditularkan kepada orang. Reservoir yang paling umumadalah manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, tanah, air dan bahan-bahan organik lainnya. Pada manusia: permukaan kulit, selaput lendir saluran nafas atas, usus dan vagina

3. Port of exit ( Pintu keluar) adalah jalan darimana agen infeksi meninggalkan reservoir. Pintu keluar meliputi : saluran pernafasan, saluran pencernaan, saluran kemih dan kelamin, kulit dan membrana mukosa, transplasenta dan darah serta cairan tubuh lain.

4. Transmisi (cara penularan) adalah mekanisme bagaimana transport agen infeksi  dari reservoir ke penderita (yang suseptibel). Ada beberapa cara penularan yaitu :

a. Kontak (contact transmission):

1)      Direct/Langsung:   kontak badan ke badan transfer kuman penyebab secara fisik pada saat pemeriksaan fisik, memandikan pasen

2)      Indirect/Tidak langsung (paling sering !!!): kontak melalui objek (benda/alat) perantara: melalui instrumen, jarum, kasa, tangan yang tidak dicuci

b. Droplet : partikel droplet > 5 μm melalui batuk, bersin, bicara, jarak sebar pendek, tdk bertahan lama di udara, “deposit” pada mukosa konjungtiva, hidung, mulut contoh : Difteria, Pertussis, Mycoplasma, Haemophillus influenza type b (Hib),  Virus Influenza, mumps, rubella              c. Airborne : partikel kecil ukuran <  5 μm, bertahan lama di udara, jarak penyebaran jauh, dapat terinhalasi, contoh: Mycobacterium tuberculosis,                    virus campak, Varisela (cacar air), spora jamur

d. Melalui Vehikulum : Bahan yang dapat berperan dalam mempertahankan kehidupan kuman penyebab sampai masuk (tertelan atau terokulasi) pada pejamu yang rentan. Contoh: air, darah, serum, plasma, tinja, makanan

e. Melalui Vektor : Artropoda (umumnya serangga) atau binatang lain yang dapat menularkan kuman penyebab  cara menggigit pejamu yang rentan atau menimbun kuman penyebab pada kulit pejamu atau makanan. Contoh: nyamuk, lalat, pinjal/kutu, binatang pengerat

5. Port of entry (Pintu masuk) adalah Tempat dimana agen infeksi memasuki pejamu (yang suseptibel). Pintu masuk bisa melalui:  saluran pernafasan, saluran pencernaan, saluran kemih dan kelamin, selaput lendir, serta kulit yang tidak utuh (luka).

6. Pejamu rentan (suseptibel) adalah  orang yang tidak memiliki daya tahan tubuh yang cukup untuk melawan agen infeksi serta mencegah infeksi atau penyakit. Faktor yang mempengaruhi: umur, status gizi, status imunisasi, penyakit kronis, luka bakar yang luas, trauma atau pembedahan, pengobatan  imunosupresan. Sedangkan faktor lain yang mungkin berpengaruh adalah jenis kelamin, ras atau etnis tertentu, status ekonomi, gaya hidup, pekerjaan dan herediter.

C.      Pencegahan dan Pengendalian Infeksi

Proses terjadinya infeksi bergantung kepada interaksi antara suseptibilitas penjamu, agen infeksi (pathogenesis, virulensi dan dosis) serta cara penularan. Identifikasi factor resiko pada penjamu dan pengendalian terhadap infeksi tertentu dapat mengurangi insiden terjadinya infeksi (HAIs), baik pada pasien ataupun pada petugas kesehatan.

Strategi pencegahan dan pengendalian infeksi terdiri dari:

1. Peningkatan daya tahan penjamu, dapat  pemberian imunisasi aktif (contoh vaksinasi hepatitis B), atau pemberian imunisasi pasif (imunoglobulin). Promosi kesehatan secara umum termasuk nutrisi yang adekuat akan meningkatkan daya tahan tubuh.

2. Inaktivasi agen penyebab infeksi, dapat dilakukan  metode fisik maupun kimiawi. Contoh metode fisik adalah pemanasan (pasteurisasi atau sterilisasi) dan memasak makanan seperlunya. Metode kimiawi termasuk klorinasi air, disinfeksi.

3. Memutus mata rantai penularan. Merupakan hal yang paling mudah untuk mencegah penularan penyakit infeksi, tetapi hasilnya bergantung kepeda ketaatan petugas dalam melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan.

Tindakan pencegahan ini telah disusun dalam suatu “Isolation Precautions” (Kewaspadaan Isolasi) yang terdiri dari 2 pilar/tingkatan, yaitu “Standard Precautions” (Kewaspadaan Standar) dan “Transmission based Precautions” (Kewaspadaan berdasarkan cara penularan)

4. Tindakan pencegahan paska pajanan (“Post Exposure Prophylaxis”/PEP) terhadap petugas kesehatan. Berkaitan  pencegahan agen infeksi yang ditularkan melalui darah atau cairan tubuh lainnya, yang sering terjadi karena luka tusuk jarum bekas pakai atau pajanan lainnya. Penyakit yang perlu mendapatkan perhatian adalah hepatitis B, Hepatitis C, dan HIV.

D.     Kewaspadaan Isolasi

Mikroba penyebab HAIs dapat ditransmisikan oleh pasien terinfeksi/kolonisasi kepada pasien lain dan petugas. Bila kewaspadaan isolasi diterapkan  benar dapat menurunkan risiko transmisi dari pasien infeksi/kolonisasi. Tujuan kewaspadaan isolasi adalah menurunkan transmisi mikroba infeksius diantara  petugas dan pasien. Kewaspadaan Isolasi harus diterapkan kewaspadaan isolasi sesuai gejala klinis,sementara menunggu hasil laboratorium keluar.

Kewaspadaan Isolasi merupakan kombinasi dari :

Standard Precautions /Kewaspadaan Standar

gabungan dari:

Universal Precautions/Kewaspadaan Universal Body Substance Isolation/Isolasi substansi/cairan tubuh

berlaku untuk semua pasien, kemungkinan atau terbukti infeksi, setiap waktu di semua unit pelayanan kesehatan

Transmission-based precautions/ Kewaspadaan berbasis transmisi

dipakai bila rute transmisi tidak dapat diputus sempurna hanya  Standard precautions.

1970 Tehnik isolasi untuk penggunaan di RS, edisi 1.

Memperkenalkan 7 katagori kewaspadaan isolasi  kartu berwarna: Strict, Respiratory, Protective, Enteric, Wound and Skin,Discharge, and Blood

1983 CDC Pedoman Kewaspadaan Isolasi RS

Membagi menjadi 2 golongan sistim Isolasi; katagori spesifik dan penyakit spesifik

1985 Universal Precautions  (UP)

Berkembang dari epidemi HIV/AIDS

Ditujukan aplikasi kewaspadaan terhadap Darah dan Cairan Tubuh pada pasien pengidap infeksi

Tidak diterapkan terhadap feses,ingus,sputum,keringat,air mata,urin,muntahan

1987 Body Substance Isolation (BSI)

Menghindari kontak terhadap semua cairan tubuh dan  yang potensial infeksius kecuali keringat

1996 Pedoman Kewaspadaan Isolasi dalam Rumah Sakit

Dibuat oleh The Healthcare Infection Control Practices Advisory

Committee (HICPAC), CDC

Menggabungkan materi inti dari  UP and BSI  dalam Kewaspadaan  Standard untuk diterapkan terhadap semua pasien pada setiap waktu

2007 Pedoman Kewaspadaan Isolasi; Pencegahan Transmisi penyebab infeksi pada Sarana Kesehatan.

Dibuat oleh HICPAC, CDC.

tambahan :

HAIs Hyangiene respirasi/Etika batuk, Praktek menyuntik yang aman Pencegahan infeksi unt prosedur Lumbal

pungsi

Sejarah Kewaspadaan Isolasi

Kewaspadaan Standar

Kewaspadaan standar diberlakukan terhadap semua pasien, tidak tergantung terinfeksi/kolonisasi. Kewaspadaan standar disusun untuk mencegah kontaminasi silang sebelum diagnosis diketahui dan beberapa merupakan praktek rutin, meliputi:

1. Kebersihan tangan/Handhygiene

2. Alat Pelindung Diri (APD) : sarung tangan, masker, goggle (kaca mata pelindung), face shield (pelindungwajah), gaun

3. Peralatan perawatan pasien4. Pengendalian lingkungan5. Pemrosesan peralatan pasien dan penatalaksanaan linen6. Kesehatan karyawan / Perlindungan petugas kesehatan7. Penempatan pasien8. Hyangiene respirasi/Etika batuk9. Praktek menyuntik yang aman10. Praktek pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal pungsi

Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi

Tujuan untuk memutus rantai penularan mikroba penyebab infeksi. Diterapkan pada pasien  gejala/dicurigai terinfeksi atau kolonisasi kuman penyebab infeksi menular yang dapat ditransmisikan lewat udatra, droplet, kontak  kulit atau permukaan terkontaminasi.

3 Jenis kewaspadaan berdasarkan transmisi:

–   kewaspadaan transmisi kontak

–   kewaspadaan transmisi droplet

–   kewaspadaan transmisi airborne

Kewaspadaan berdasarkan transmisi dapat dilaksanakan secara terpisah ataupun kombinasi karena suatu infeksi dapat ditransmisikan lebih dari satu cara.

1. Kewaspadaan transmisi Kontak

a)      Penempatan pasien :

Kamar tersendiri atau kohorting (Penelitian tidak terbukti kamar tersendiri mencegah HAIs) Kohorting (management MDRo )

b)      APD petugas:

Sarung tangan bersih non steril, ganti setelah kontak  bahan infeksius, lepaskan sarung tangan sebelum keluar dari kamar pasien dan cuci tangan menggunakan antiseptik

Gaun, lepaskan gaun sebelum meninggalkan ruangan

c)      Transport pasien

Batasi kontak saat transportasi pasien

2. Kewaspadaan transmisi droplet

a)      Penempatan pasien :

Kamar tersendiri atau kohorting, beri jarak antar pasien >1m Pengelolaan udara khusus tidak diperlukan, pintu boleh terbuka

b)      APD petugas:

Masker Bedah/Prosedur, dipakai saat memasuki ruang rawat pasien

c)      Transport pasien

Batasi transportasi pasien, pasangkan masker pada pasien saat transportasi Terapkan hyangiene respirasi dan etika batuk

3. Kewaspadaan transmisi udara/airborne

a)      Penempatan pasien :

Di ruangan  tekanan negatif Pertukaran udara > 6-12 x/jam,aliran udara yang terkontrol Jangan gunakan AC sentral, bila mungkin AC + filter HEPA Pintu harus selalu tertutup rapat. kohorting Seharusnya kamar terpisah, terbukti mencegah transmisi, atau kohorting  jarak >1 m Perawatan tekanan negatif sulit, tidak membuktikan lebih efektif mencegah penyebaran Ventilasi  airlock à ventilated anteroom terutama pada varicella (lebih mahal) Terpisah  jendela terbuka (TBC ), tak ada orang yang lalu lalang

b)      APD petugas:

Minimal gunakan Masker Bedah/Prosedur Masker respirator (N95) saat petugas bekerja pada radius <1m dari pasien, Gaun Goggle Sarung tangan

(bila melakukan tindakan yang mungkin menimbulkan aerosol)

c)      Transport pasien

Batasi transportasi pasien, Pasien harus pakai masker saat keluar ruangan Terapkan hyangiene respirasi dan etika batuk

Catatan :

Kohorting adalah menempatkan pasien terinfeksi atau kolonisasi  patogen yang sama di ruang yang sama, pasien lain tanpa patogen yang sama dilarang masuk.

Peraturan Untuk Kewaspadaan Isolasi

Harus dihindarkan transfer mikroba pathogen antar pasien dan petugas saat perawatan pasien rawat inap, perlu diterapkan hal-hal berikut :

1. Kewaspadaan terhadap semua darah dan cairan tubuh ekskresi dan sekresi dari seluruh pasien

2. Dekontaminasi tangan sebelum dan sesudah kontak diantara pasien satu  lainnya3. Cuci tangan setelah menyentuh bahan infeksius (darah dan cairan tubuh)

4. Gunakan teknik tanpa menyentuh bila memungkinkan terhadap bahan infeksius5. Pakai sarung tangan saat atau kemungkinan kontak  darah dan cairan tubuh serta barang

yang terkontaminasi, disinfeksi tangan segera setelah melepas sarung tangan. Ganti sarung tangan antara pasien.

6. Penanganan limbah feses, urine, dan sekresi pasien lain di buang ke lubang pembuangan yang telah disediakan, bersihkan dan disinfeksi bedpan, urinal dan obtainer/container pasien lainnya.

7. Tangani bahan infeksius sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO)8. Pastikan peralatan, barang fasilitas dan linen pasien yang infeksius telah dibersihkan dan

didisinfeksi  benar.

E.      Kebersihan Tangan

 

Tangan merupakan media transmisi patogen tersering di RS. Menjaga kebersihan tangan dengan baik dan benar dapat mencegah penularan mikroorganisme dan menurunkan frekuensi infeksi nosokomial. Kepatuhan terhadap kebersihan tangan merupakan pilar pengendalian infeksi. Teknik yang digunakan adalah teknik cuci tangan 6 langkah. Dapat memakai antiseptik, dan air mengalir atau handrub berbasis alkohol.

Kebersihan tangan merupakan prosedur terpenting untuk mencegah transmisi penyebab infeksi (orang ke orang;objek ke orang). Banyak penelitian menunjukkan bahwa cuci tangan menunjang penurunan insiden MRSA, VRE di ICU.

 

Kapan Mencuci Tangan?

Segera setelah tiba di rumah sakit Sebelum masuk dan meninggalkan ruangan pasien Sebelum dan sesudah kontak  pasien atau benda yang terkontaminasi cairan tubuh pasien Diantara kontak pasien satu dengan yang lain Sebelum dan sesudah melakukan tindakan pada pasien Sesudah ke kamar kecil Sesudah kontak  darah atau cairan tubuh lainnya Bila tangan kotor Sebelum meninggalkan rumah sakit Segera setelah melepaskan sarung tangan Segera setelah membersihkan sekresi hidung Sebelum dan setelah menyiapkan dan mengkonsumsi makanan

Alternatif Kebersihan Tangan

Handrub berbasis alkohol 70%:

–        Pada tempat dimana akses wastafel dan air bersih terbatas

–        Tidak mahal, mudah didapat dan mudah dijangkau

–        Dapat dibuat sendiri (gliserin 2 ml  100 ml alkohol 70 %)

Jika tangan terlihat kotor, mencuci tangan  air bersih mengalir dan sabun harus dilakukan Handrub antiseptik tidak menghilangkan kotoran atau zat organik, sehingga jika tangan

kotor harus mencuci tangan  sabun dan air mengalir Setiap 5 kali aplikasi Handrub harus mencuci tangan  sabun dan air mengalir Mencuci tangan sabun biasa dan air bersih mengalir sama efektifnya  mencuci tangan  sabun

antimikroba (Pereira, Lee dan Wade 1997. Sabun biasa mengurangi terjadinya iritasi kulit

Enam langkah kebersihan tangan :

Langkah 1    :         Gosokkan kedua telapak tangan

Langkah 2    :         Gosok punggung tangan kiri dengan telapak tangan kanan, dan lakukan sebaliknya

Langkah 3    :         Gosokkan kedua telapak tangan dengan jari-jari tangan saling menyilang

Langkah 4    :         Gosok ruas-ruas jari tangan kiri dengan ibu jari tangan kanan dan lakukan sebaliknya

Langkah 5    :         Gosok Ibu Jari tangan kiri dengan telapak tangan kanan secara memutar, dan lakukan sebaliknya

Langkah 6    :         Gosokkan semua ujung-ujung jari tangan kanan di atas telapak tangan kiri, dan lakukan sebaliknya

F.       Penutup

Memutus mata rantai penularan merupakan hal yang paling mudah untuk mencegah penularan penyakit infeksi, tetapi harus didukung dengan kepatuhan dan ketaatan dalam melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan dalam Standar Prosedur Operasional. Adapun cara memutus mata rantai penularan infeksi tersebut adalah dengan penerapan “Isolation Precautions” (Kewaspadaan Isolasi) yang terdiri dari 2 pilar/tingkatan, yaitu “Standard Precautions” (Kewaspadaan Standar) dan “Transmission based Precautions” (Kewaspadaan berdasarkan cara penularan).

Promosi secara umum termasuk nutrisi yang adekuat akan dapat meningkatkan daya tahan tubuh. Selanjutnya perlu perlindungan bagi petugas minimal dengan imunisasi Hepatitis B, dan diulang tiap 5 tahun paska imunisasi.

Kewaspadaan yang konstan dalam penanganan benda tajam harus dilaksanakan sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (SPO). Luka tertusuk Jarum merupakan bahaya yang sangat nyata dan membutuhkan program manajemen paska pajanan (“Post Exposure Prophylaxis”/PEP) terhadap petugas kesehatan berkaitan pencegahan agen infeksi yang ditularkan melalui darah atau cairan tubuh lainnya, yang sering terjadi karena luka tusuk jarum bekas pakai atau pajanan lainnya.

PENGENDALIAN INFEKSI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Dalam Kamus Keperawatan disebutkan bahwa infeksi adalah invasi dan multiplikasi

mikroorganisme dalam jaringan tubuh, khususnya yang menimbulkan cedera seluler setempat

akibat metabolisme kompetitif, toksin, replikasi intraseluler atau reaksi antigen-antibodi.

Munculnya infeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan dalam rantai infeksi.

Adanya patogen tidak berarti bahwa infeksi akan terjadi.

Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat pasien dari rumah sakit pada saat pasien

menjalani proses asuhan keperawatan. Infeksi nosokomial pada umumnya terjadi pada pasien yang

dirawat di ruang seperti ruang perawatan anak, perawatan penyakit dalam, perawatan intensif, dan

perawatan isolasi (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial menurut Brooker (2008) adalah infeksi yang

didapat dari rumah sakit yang terjadi pada pasien yang dirawat selama 72 jam dan pasien tersebut

tidak menunjukkan tanda dan gejala infeksi pada saat masuk rumah sakit.

1.2  Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:

1.      Definisi Pengendalian Infeksi

2.      Cara penularan mikroorganisme

3.      Faktor yang mempengaruhi proses infeksi

4.      Infeksi nosokomial

5.      Sterilisasi dan desinfeksi

6.      Pencegahan infeksi

7.      Masalah- masalah pada pengendalian infeksi

8.      Proses keperawatan dengan  masalah pengendalian  infeksi

BAB II

PEMBAHASAN

2.1  Definisi Pengendalian Infeksi

 Infeksi adalah invasi tubuh oleh patogen atau mikroorganisme yang mampu menyebabkan sakit

(Potter & Perry, 2005).

Dalam Kamus Keperawatan disebutkan bahwa infeksi adalah invasi dan multiplikasi

mikroorganisme dalam jaringan tubuh, khususnya yang menimbulkan cedera seluler setempat

akibat metabolisme kompetitif, toksin, replikasi intraseluler atau reaksi antigen-antibodi.

Munculnya infeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan dalam rantai infeksi.

Adanya patogen tidak berarti bahwa infeksi akan terjadi.

Menurut Utama 2006, Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh

yang disertai suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik. Infeksi yang muncul selama seseorang

tersebut dirawat di rumah sakit dan mulai menunjukkan suatu gejala selama seseorang itu dirawat

atau setelah selesai dirawat disebut infeksi nosokomial. Secara umum, pasien yang masuk rumah

sakit dan menunjukkan tanda infeksi yang kurang dari 72 jam menunjukkan bahwa masa inkubasi

penyakit telah terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit, dan infeksi yang baru menunjukkan gejala

setelah 72 jam pasien berada dirumah sakit baru disebut infeksi nosokomial.

Infeksi nosokomial ini dapat berasal dari dalam tubuh penderita maupun luar tubuh. Infeksi

endogen disebabkan oleh mikroorganisme yang semula memang sudah ada didalam tubuh dan

berpindah ke tempat baru yang kita sebut dengan self infection atau auto infection, sementara

infeksi eksogen (cross infection) disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari rumah sakit

dan dari satu pasien ke pasien lainnya.

2.2      Rantai Infeksi

Menurut Perry Potter, 2005 proses terjadinya infeksi seperti rantai yang saling terkait antar

berbagai faktor yang mempengaruhi, Proses tersebut melibatkan beberapa unsur diantaranya:

1.      Reservoir 

Merupakan habitat pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme dapat berupa manusia,

binatang, tumbuhan, maupun tanah.

2.      Jalan Masuk

Merupakan jalan masuknya mikroorganisme ketempat penampungan dari berbagai kuman,

seperti saluran pencernaan, pernapasan, pencernaan, kulit dan lain-lain.

3.      Inang (host)

Merupakan tempat berkembangnya suatu mikroorganisme yang dapat didukung oleh ketahanan

kuman.

4.      Jalan Keluar

Merupakan tempat keluarnya mikroorganisme dari reservoir, seperti sistem pernapasan, sistem

pencernaan, alat kelamin dan lain-lain.

5.      Jalur Penyebaran

Merupakan jalur yang dapat menyebarkan berbagai kuman mikroorganisme ke berbagai tempat,

seperti air, makanan, udara dan lain-lain.

2.3      Cara Penularan Mikroorganisme

Proses penyebaran mikroorganisme kedalam tubuh, baik pada manusia maupun hewan dapat

melalui berbagai cara di antaranya :

1.      Kontak Tubuh

Kuman masuk ke dalam tubuh melalui proses penyebaran secara langsung maupun tidak

langsung. Penyebaran secara langsung melalui sentuhan dengan kulit, sedangkan secara tidak

langsung dapat melalui benda yang terkontaminasi kuman.

2.      Makanan dan Minuman

Terjadinya penyebaran dapat melalui makanan dan minuman yang telah terkontaminasi, seperti

pada penyakit tifus abdominalis penyakit infeksi cacing, dan lain-lain.

3.      Serangga

Contoh proses penyebaran kuman melalui serangga adalah penyebaran penyakit malaria oleh

plasmodium pada nyamuk aedes dan beberapa penyakit saluran pencernaan yang dapat ditularkan 

melalui lalat.

4.      Udara

Proses penyebaran kuman melalui udara dapat dijumpai pada penyebaran penyakit sistem

pernapasan (penyebaran kuman tuberkolosis) atau sejenisnya.

2.4      Faktor Yang Mempengaruhi  Proses Infeksi

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses infeksi adalah:

1.      Sumber Penyakit

      Sumber penyakit dapat mempengaruhi apakah infeksi berjalan dengan cepat atau lambat.

2.      Kuman Penyebab

      Kuman penyebab dapat menentukan jumah mikroorganisme, kemampuan mikroorganisme

masuk kedalam tubuh dan virulensinya.

3.      Cara Membebaskan Sumber Dari Kuman      

      Cara membebaskan kuman dapat menentukan apakah proses infeksi cepat teratasi atau

diperlambat, seperti tingkat keasaman (pH), suhu, penyinaran (cahaya) dan lain-lain.

4.      Cara Penularan

      Cara penularan seperti kontak langsung melalui makanan atau udara dapat menyebabkan

penyebaran kuman kedalam tubuh.

5.      Cara Masuknya Kuman

      Proses penyebaran kuman berbeda tergantung dari sifatnya. Kuman dapat masuk melalui

saluran pernapasan, saluran pencernaan, kulit dan lain-lain.

6.      Daya Tahan Tubuh

Daya tahan tubh yang baik dapat memperlambat proses infeksi atau mempercepat proses

penyembuhan. Demikian pula sebaliknya, daya tahan tubuh yang buruk dapat memperburuk proses

infeksi.

Selain faktor- faktor diatas, terdapat faktor lain seperti status gizi atau nutrisi, tingkat stress pada

tubuh, faktor usia, dan kebiasaan yang tidak sehat.

2.5 Infeksi Nosokomial

      Kata nosokomial berasal dari kata dalam bahasa yunani Nosokomien yang artinya rumah sakit

atau tempat perawatan. Kata itu sendiri berasal dari Norus artinya penyakit, komeion berarti

merawat. Nosokomial diartikan segala sesuatu yang berasal atau berhubungan dengan rumah sakit

atau tempat perawatan.

      Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi dirumah sakit atau dalam sistem pelayanan

kesehatan yang berasal dari proses penyebaran di sumber pelayanan kesehatan, baik melalui pasien,

petugas kesehatan, pengunjung, maupun sumber lainnya.

      Penyebab Infeksi Nosokomial akan menjadi kuman yang berada di lingkungan Rumah Sakit

atau oleh kuman yang sudah dibawa oleh pasien sendiri, yaitu kuman Endogen. Dari batasan ini

dapat disimpulkaan bahwa kejadian Infeksi Nosokomial adalah Infeksi yang secara potensial dapat

dicegah atau sebaliknya dapat juga merupakan infeksi yang tidak dapat dicegah.

      Infeksi yang terjadi dirumah sakit atau dalam sistem pelayanan kesehatan yang berasal dari

proses penyebaran disumber pelayanan kesehatan, baik melalui :

1.      Pasien

        Pasien merupakan unsur pertama yang dapat menyebarkan infeksi kepada pasien lainnya,

petugas kesehatan, pengunjung, atau benda dan alat kesehatan yang lainnya.

2.      Petugas kesehatan

Petugas kesehatan dapat menyebarkan infeksi melalui kontak langsung yang dapat menularkan

berbagai kuman ke tempat lain.

3.      Pengunjung

Pengunjung dapat menyebarkan infeksi yang didapat dari luar ke dalam lingkungan rumah sakit,

atau sebaliknya yang dapat dari dalam rumah sakit keluar rumah sakit.

4.      Sumber Lainnya

      Yang dimaksud disini adalah lingkungan rumah sakit yang meliputi lingkungan umum atau

kondisi kebersihan rumah sakit atau alat yang ada dirumah sakit yang dibawa oleh pengunjung atau

petugas kesehatan kepada pasien dan sebaliknya.

      Dan pada umumnya infeksi Nosokomial yang mendapat perhatian hanyalah infeksi yang terjadi

pada penderita yang sedang dirawat dirumah sakit. Infeksi yang tidak diketahui masa inkubasinya

yang timbul pada penderita yang dirawat inap, harus dianggap sebagai infeksi nosokomial sampai

dapat dibuktikan secara klinis ataupun epidemiologis bahwa infeksi dapat dibuktikan secara klinis

ataupun epidiomiologis bahwa infeksi tersebut berasal dari masyarakat.

                  Infeksi nosokomial dapat secara eksogen atau endogen. Infeksi eksogen didapat dari

mikroorganisme eksternal terhadap individu, yang bukan merupakan flora normal, contohnya

adalah organisme salmonella dan clostridium tetani. Infeksi endogen dapat terjadi bila sebagian

flora normal klien berubah dan terjadi pertumbuhan yang berlebihan. Contohnya adalah infeksi

yang disebabkan enterokokus, ragi, dan steptokokus. Bila organisme dalam jumlah cukup yang

normalnya ditemukan dalam salah satu rongga atau lapisan tubuh dipindahkan kebagian tubuh lain,

terjadi infeksi endogen. Misalnya penularan dari enterokokus, normalnya ditemukan dalam feses,

dari tangan kekulit sering mengakibatkan infeksi luka. Jumlah mikroorganisme yang diperlukan

untuk menyebabkan infeksi nosokomial bergantung pada virulensi organisme, kerentanan hospes

dan daerah yang diinfeksi.

      Jumlah tenaga pelayanan kesehatan yang kontak langsung dengan pasien, jenis dan jumlah

prosedur invasif terapi resiko yang diterima dan lama perawatan mempengaruhi resiko terinfeksi.

Tempat utama untuk infeksi nosokomial piratorius, dan pembuluh darah.

      Infeksi nosokomial meningkatkan biaya perawatan kesehatan secara signifikan, lamanya masa

rawat diinstitusi layanan kesehatan, meningkatnya ketidakmampuan, peningkatan biaya antibodi

dan masa penyembuhan yang memanjang yang menambah pengeluaran klien, juga institusi layanan

kesehatan dan badan pemberian dana (misalnya medicare). Seringkali biaya untuk infeksi

nosokomial tidak diganti, oleh sebab itu pencegahan memiliki pengaruh finansial yang

menguntungkan dan merupakan bagian penting dalam penatalaksanaan perawatan.

Terjadinya infeksi nosokomial adalah karena beberapa factor-faktor :

1.      Agen penyakit

      Macam-macam agen penyakit dapat berupa kuman, virus, jamur, parasit atau rickettsia. Dan

macam-macam agen penyakit ini ditentukan pula oleh patogenitasnya, virulensinya, daya invasifnya

dan dosis infeksinya.

2.      Reservoir/sumber

      Semua kuman ada reseviornya/sumbernya seperti virus, reseviornya adalah manusia, kuman

positif gram manusia, tetapi kuman negatif dapat manusia dapat juga alam seperti Pseudomonas.

Apabila reseviornya manusia, maka dapat berasal dari traktus respiratorius, traktus digestivus,

traktus urogenitalis, kulit (variola) atau darah (hepatitis B).Kuman itu akan ada diudara pada debu

seperti Salmonella, pada droplet seperti Mycrobacterium atau pada kulit yang lepas.

3.      Lingkungan

      Keadaan udara sangat mempengaruhi seperti kelembapan udara, suhu dan pergerakan udara atau

tekanan udara.

4.      Penularan

      Penularan adalah perjalanan kuman patogen dari sumber ke hospes. Ada 4 jalan yang dapat

ditempuh:

a.       Kontak langsung (perawat)

b.      Alat (endoskop)

c.       Udara

d.      Vektor (lalat)

5.      Hospes 

Tergantung port d'entree (tempat masuknya penyakit)

a.       Melalui kulit seperti Leptospira atau Staphylococcus.

b.      Melalui traktus digestivus seperti Eschericha coli, Shigella, Salmonela.

c.       Melalui traktus respiratoris bagian atas partikel =5µ. Apakah melalui traktus respiratorius bagian

bawah partikel =5µ.

d.      Melalui traktus urinarius seperti Klebsiel la pneumoniae.

2.6 Sterilisasi Dan Desinfeksi

Sterilisasi       

Sterilisasi merupakan upaya pembunuhan atau pengahncuran semua bentuk kehidupan

mikroba yang dilakukan dirumah sakit melalui proses fisik maupun kimiawi. Strelisisasi juga dapat

dikatakan sebagai tindakan untuk membunuh kuman pathogen atau apatogen beserta spora yang

terdapat pada alat perawatan atau kedokteran dengan cara merembus, menggunakan panas tinggi,

atau bahan kimia. Sterilisasai adalah tahap awal yang penting dari proses pengujian mikrobiologi.

Ada 5 metode umum sterilisasi yaitu :

         Sterilisasi uap (panas lembap)

         Sterilisasi panas kering

         Sterilisasi dengan penyaringan

         Sterilisasi gas

         Sterilisasi dengan radiasi

A.    Sterilisasi Uap

Sterilisasi uap dilakukan dengan autoklaf menggunakan uap air dalam tekanan sebagai

pensterilnya. Bila ada kelembapan (uap air) bakteri akan terkoagulasi dan dirusak pada temperature

yang lebih rendah dibandingkan bila tidak ada kelembapan. Mekanisme penghancuran bakteri oleh

uap air panas adalah karena terjadinya denaturasi dan koagulasi beberapa protein esensial dari

organism tersebut :

Prinsip cara kerja autoklaf

Seperti yang telah dijelaskan sebagian pada bab pengenalan alat, autoklaf adalah alat untuk

mensterilkan berbagai macam alat & bahan yang menggunakan tekanan 15 psi (2 atm) dan suhu

1210 C. Untuk cara kerja penggunaan autoklaf telah disampaikan di depan. Suhu dan tekanan tinggi

yang diberikan kepada alat dan media yang disterilisasi memberikan kekuatan yang lebih besar

untuk membunuh sel dibanding dengan udara panas. Biasanya untuk mesterilkan media digunakan

suhu 121o C dan tekanan 15 lb/in2 (SI = 103,4 Kpa) selama 15 menit. Alasan digunakan suhu 121o

C atau 249,8o F adalah karena air mendidih pada suhu tersebut jika digunakan tekanan 15 psi.

Untuk tekanan 0 psi pada ketinggian di permukaan laut (sea level) air mendidih pada suhu 100o C,

sedangkan untuk autoklaf yang diletakkan di ketinggian sama, menggunakan tekanan 15 psi maka

air akan memdididh pada suhu 121o C. Ingat kejadian ini hanya berlaku untuk sea level, jika

dilaboratorium terletak pada ketinggian tertentu, maka pengaturan tekanan perlu disetting ulang.

Misalnya autoklaf diletakkan pada ketinggian 2700 kaki dpl, maka tekanan dinaikkan menjadi 20

psi supaya tercapai suhu 121o C untuk mendidihkan air. Semua bentuk kehidupan akan mati jika

dididihkan pada suhu 121o C dan tekanan 15 psi selama 15 menit.

Pada saat sumber panas dinyalakan, air dalam autoklaf lama kelamaan akan mendidih dan uap

air yang terbentuk mendesak udara yang mengisi autoklaf. Setelah semua udara dalam autoklaf

diganti dengan uap air, katup uap/udara ditutup sehingga tekanan udara dalam autoklaf naik. Pada

saat tercapai tekanan dan suhu yang sesuai, maka proses sterilisasi dimulai dantimer mulai

menghitung waktu mundur. Setelah proses sterilisasi selesai, sumber panas dimatikan dan tekanan

dibiarkan turun perlahan hingga mencapai 0 psi. Autoklaf tidak boleh dibuka sebelum tekanan

mencapai 0 psi.

Untuk mendeteksi bahwa autoklaf bekerja dengan sempurna dapat digunakan mikroba

pengguji yang bersifat termofilik dan memiliki endospora yaitu Bacillus stearothermophillus,

lazimnya mikroba ini tersedia secara komersial dalam bentuk spore strip. Kertas spore strip ini

dimasukkan dalam autoklaf dan disterilkan. Setelah proses sterilisai lalu ditumbuhkan pada media.

Jika media tetap bening maka menunjukkan autoklaf telah bekerja dengan baik.

B.     Sterilisasi Panas Kering

Sterilisasi panas kering biasanya dilakukan dengan menggunakan oven pensteril karena

panas kering kurang efektif untuk membunuh mikroba dibandingkan dengan uap air panas maka

metode ini memerlukan temperature yang lebih tinggi dan waktu yang lebih panjang. Sterilisasi

panas kering biasanya ditetapkan pada temperature 160-1700C dengan waktu 1-2 jam.

Sterilisasi panas kering umumnya digunakan untuk senyawa-senyawa yang tidak efektif untuk

disterilkan dengan uap air panas, karena sifatnya yang tidak dapat ditembus atau tidak tahan dengan

uap air.Senyawa-senyawa tersebut meliputi minyak lemak, gliserin (berbagai jenis minyak), dan

serbuk yang tidak stabil dengan uap air.Metode ini juga efektif untuk mensterilkan alat-alat gelas

dan bedah.

Karena suhunya sterilisasi yang tinggi sterilisasi panas kering tidak dapat digunakan untuk alat-

alat gelas yang membutuhkan keakuratan (contoh:alat ukur) dan penutup karet atau plastik.

C.    Sterilisasi dengan penyaringan

Sterilisasi dengan penyaringan dilakukan untuk mensterilisasi cairan yang mudah rusak jika

terkena panas atu mudah menguap (volatile). Cairan yang disterilisasi dilewatkan ke suatu saringan

(ditekan dengan gaya sentrifugasi atau pompa vakum) yang berpori dengan diameter yang cukup

kecil untuk menyaring bakteri. Virus tidak akan tersaring dengan metode ini.

D.    Sterilisasi gas

Sterilisasi gas digunakan dalam pemaparan gas atau uap untuk membunuh mikroorganisme

dan sporanya. Meskipun gas dengan cepat berpenetrasi ke dalam pori dan serbuk padat. Sterilisasi

adalah fenomena permukaan dan mikroorganisme yang terkristal akan dibunuh. Sterilisasi gas

biasanya digunakan untuk bahan yang tidak bisa difiltrasi, tidak tahan panas dan tidak tahan radiasi

atau cahaya.

E.     Sterilisasi dengan radiasi

Radiasi sinar gama atau partikel elektron dapat digunakan untuk mensterilkan jaringan yang

telah diawetkan maupun jaringan segar. Untuk jaringan yang dikeringkan secara liofilisasi,

sterilisasi radiasi dilakukan pada temperatur kamar (proses dingin) dan tidak mengubah struktur

jaringan, tidak meninggalkan residu dan sangat efektif untuk membunuh mikroba dan virus sampai

batas tertentu. Sterilisasi jaringan beku dilakukan pada suhu -40o Celsius. Teknologi ini sangat

aman untuk diaplikasikan pada jaringan biologi.

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada sterilisasi, di antaranya:

1.      Sterilisator (alat untuk mensteril) harus siap pakai, bersih dan masih berfungsi.

2.      Peralatan yang akan disterilisasi harus dibungkus dan diberi label yang jelas dengan menyebutkan

jenis peralatan, jumlah, tanggal pelaksanaan steril.

3.      Penataan alat harus berprinsip semua bagian dapat steril.

4.      Tidak boleh menambah peralatan dalam sterilisator sebelum waktu mensteril selesai.

5.      Memindahkan alat steril ke dalam tempatnya dengan korentang steril.

6.      Saat mendinginkan alat steril tidak boleh membuka pembungkusnya, bila terbuka harus dilakukan

sterilisasi ulang.

Desinfeksi

Desinfeksi adalah proses pembuangan semua mikroorganisme patogen pada objek yang

tidak hidup dengan pengecualian pada endospora bakteri. Desinfeksi juga dikatakan suatu tindakan

yang dilakukan untuk membunuh kuman patogen dan apatogen tetapi tidak dengan membunuh

spora yang terdapat pada alat perawatan ataupun kedokteran. Desinfeksi dilakukan dengan

menggunakan bahan desinfektan melalui cara mencuci, mengoles, merendam dan menjcmur dengan

tujuan mencegah terjadinya infeksi, dan mengondisikan alat dalam keadaan siap pakai.

Kemampuan desinfeksi ditentukan oleh waktu sebelum pembersihan objek, kandungan rat

organik, tipe dan tingkat kontaminasi mikroba, konsentrasi dan waktu pemaparan, kealamian objek,

suhu, dan derajat keasaman (pH).

Disinfektan yang tidak berbahaya bagi permukaan tubuh dapat digunakan dan bahan ini

dinamakan antiseptik. Antiseptik adalah zat yang dapat menghambat atau menghancurkan

mikroorganisme pada jaringan hidup, sedang desinfeksi digunakan pada benda mati. Desinfektan

dapat pula digunakan sebagai antiseptik atau sebaliknya tergantung dari toksisitasnya.

Desinfektan akan membantu mencegah infeksi terhadap pasien yang berasal dari peralatan

maupun dari staf medis yang ada di RS dan juga membantu mencegah tertularnya tenaga medis

oleh penyakit pasien. Disinfektan dapat membunuh mikroorganisme patogen pada benda mati.

Kriteria desinfeksi yang ideal:

1.      Bekerja dengan cepat untuk menginaktivasi mikroorganisme pada suhu kamar

2.      Aktivitasnya tidak dipengaruhi oleh bahan organik, pH, temperatur dan kelembaban

3.      Tidak toksik pada hewan dan manusia

4.      Tidak bersifat korosif

5.      Tidak berwarna dan meninggalkan noda

6.      Tidak berbau/ baunya disenangi

7.      Bersifat biodegradable/ mudah diurai

8.      Larutan stabil

9.      Mudah digunakan dan ekonomis

10.  Aktivitas berspektrum luas

Tujuan dari sterilisasi dan desinfeksi adalah:

Mencegah terjadinya infeksi

Mencegah makanan menjadi rusak

Mencegah kontaminasi mikroorganisme dalam industry

Mencegah kontaminasi terhadap bahan- bahan yg dipakai dalam melakukan biakan murni.

Hasil proses desinfeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor:

         Beban organik (beban biologis) yang dijumpai pada benda.

         Tipe dan tingkat kontaminasi mikroba.

         Pembersihan/dekontaminasi benda sbelumnya.

         Konsentrasi desinfektan dan waktu pajanan.

         Struktur fisik benda.

         Suhu dan PH dari proses desinfeksi

Terdapat 3 tingkat desinfeksi:

  Desinfeksi tingkat tinggi

           Membunuh semua organisme dengan perkecualian spora bakteri.

  Desinfeksi tingkat sedang

           Membunuh bakteri kebanyakan jamur kecuali spora bakteri.

  Desinfeksi tingkat rendah

Membunuh kebanyakan bakteri beberapa virus dan beberapa jamur tetapi tidak dapat

membunuh mikroorganisme yang resisten seperti basil tuberkel dan spora bakteri.

2.7 Pencegahan Infeksi

Prinsip Pencegahan infeksi

1.      Beberapa definisi dalam pencegahan infeksi, antara lain adalah:

a)      Antiseptik

Antiseptik adalah usaha mencegah infeksi dengan cara membunuh atau menghambat

pertumbuhan mikroorganisme pada kulit atau jaringan tubuh lainnya.

b)      Aseptik

Aseptik adalah semua usaha yang dilakukan dalam mencegah masuknya mikroorganisme ke

dalam tubuh yang mungkin akan menyebabkan infeksi. Tujuannya adalah mengurangi atau

menghilangkan jumlah mikroorganisme, baik pada permukaan benda hidup maupun benda mati

agar alat-alat kesehatan dapat digunakan dengan aman.

c)      Dekontaminasi

Dekontaminasi adalah tindakan yang dilakukan untuk memastikan bahwa petugas kesehatan

dapat menangani secara aman benda-benda (peralatan medis, sarung tangan, meja pemeriksaan)

yang terkontaminasi darah dan cairan tubuh. Cara memastikannya adalah segera melakukan

dekontaminasi terhadap benda - benda tersebut setelah terpapar/terkontaminasi darah atau cairan

tubuh

d)     Desinfeksi

Tindakan yang tindakan menghilangkan sebagian besar mikroorganisme penyebab penyakit dari

benda mati.

e)      Desinfeksi Tingkat Tinggi (DTT)

Suatu proses yang menghilangkan mikroorganisme kecuali beberapa endospora bakteri pada

benda mati dengan merebus, mengukus, atau penggunaan desinfektan kimia.

f)       Mencuci dan membilas

Suatu proses yang secara fisik menghilangkan semua debu, kotoran, darah, dan bagian tubuh

lain yang tampak pada objek mati dan membuang sejumlah besar mikro organisme untuk

mengurangi resiko bagi mereka yang menyentuh kulit atau menangani benda tersebut (proses ini

terdiri dari pencucian dengan sabun atau deterjen dan air, pembilasan dengan air bersih dan

pengeringan secara seksama).

g)      Sterilisasi

Sterilisasi adalah tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan semua mikroorganisme

(bakteri, virus, jamur, parasit), termasuk endospora bakteri pada benda-benda mati atau instrument.

2.      Prinsip-prinsip pencegahan infeksi yang efektif berdasarkan:

a.       Setiap orang (ibu, bayi baru lahir, penolong persalinan) harus dianggap dapat menularkan penyakit

karena infeksi yang terjadi bersifat asimptomatik (tanpa gejala).

b.      Setiap orang harus dianggap beresiko terkena infeksi.

c.       Permukaan tempat pemeriksaan, peralatan dan benda-benda lain yang akan dan telah bersentuhan

dengan kulit tak utuh, selaput mukosa, atau darah harus dianggap terkontaminasi sehingga setelah

selesai digunakan harus dilakukan proses pencegahan infeksi secara benar.

d.      Jika tidak diketahui apakah permukaan, peralatan atau benda lainnya telah diproses dengan benar,

harus dianggap telah terkontaminasi.

e.       Resiko infeksi tidak bisa dihilangkan secara total tetapi dapat dikurangi hingga sekecil mungkin

dengan menerapkan tindakan-tindakan pencegahan infeksi yang benar dan konsisten.

3.      Tindakan-tindakan pencegahan infeksi meliputi :

a.       Pencucian tangan.

b.      Penggunaan sarung tangan.

c.       Penggunaan cairan antiseptic untuk membersihkan luka pada kulit.

d.      Pemrosesan alat bekas pakai (dekontaminasi, cuci dan bilas, desinfeksi tingkat tinggi atau

sterilisasi).

e.       Pembuangan sampah.

Daya tahan Hospes (manusia)

Seseorang terkena infeksi bergantung pada kerentanan terhadap agen infeksius. Kerentanan

bergantung pada derajat ketahanan tubuh individu terhadap patogen. Meskipun seseorang secara

konstan kontak dengan mikroorganisme dalam jumlah yang besar, infeksi tidak akan terjadi sampai

individu rentan terhadap kekuatan dan jumlah mikroorganisme tersebut. Beberapa faktor yang

mempengaruhi kerentanan tubuh terhadap kuman yaitu usia, keturunan, stress (fisik dan emosional),

status nutrisi, terapi medis, pemberian obat dan penyakit penyerta.

Faktor yang berpengaruh pada kejadian infeksi klien:

• Jumlah tenaga kesehatan yang kontak langsung dengan pasien

• Jenis dan jumlah prosedur invasive

• Terapi yang diterima

• Lamanya perawatan Penyebab infeksi nosokomial meliputi:

Traktus urinarius:

   Pemasangan kateter urine

   Sistem drainase terbuka

   Kateter dan selang tdk tersambung

   Obstruksi pada drainase urine

   Tehnik mencuci tangan tidak tepat

Traktus respiratorius:

1.      Peralatan terapi pernafasan yang terkontaminasi

2.      Tidak tepat penggunaan tehnik aseptif saat suction

3.      Pembuangan sekresi mukosa yg kurang tepat

4.      Tehnik mencuci tangan tidak tepat

Luka bedah/traumatik:

1.      Persiapan kulit yg tdk tepat sblm pembedahan

2.      Tehnik mencuci tangan tidak tepat

3.      Tidak memperhatikan tehnik aseptif selama perawatan luka

4.      Menggunakan larutan antiseptik yg terkontaminasi

Aliran darah:

1.      Kontaminasi cairan intravena saat penggantian

2.      Memasukkan obat tambahan dalam cairan intravena

3.      Perawatan area insersi yg kurang tepat

4.      Jarum kateter yg terkontaminasi

5.      Tehnik mencuci tangan tidak tepat

Asepsis berarti tidak adanya patogen penyebab penyakit. Teknik aseptik adalah usaha yang

dilakukan untuk mempertahankan klien sedapat mungkin bebas dari mikroorganisme. Asepsis

terdiri dari asepsis medis dan asepsis bedah.Asepsis medis dimaksudkan untuk mencegah

penyebaran mikroorganisme. Contoh tindakan: mencuci tangan, mengganti linen, menggunakan

cangkir untuk obat. Obyek dinyatakan terkontaminasi jika mengandung/diduga mengandung

patogen.Asepsis bedah, disebut juga tehnik steril, merupakan prosedur untuk membunuh

mikroorganisme.Sterilisasi membunuh semua mikroorganisme dan spora, tehnik ini digunakan

untuk tindakan invasif. Obyek terkontaminasi jika tersentuh oleh benda tidak steril. Prinsip-prinsip

asepsis bedah adalah sebagai berikut:

1.      Segala alat yang digunakan harus steril

2.      Alat yang steril akan tidak steril jika tersentuh

3.      Alat yang steril harus ada pada area steril

4.      Alat yang steril akan tidak steril jika terpapar udara dalam waktu lama

5.      Alat yang steril dapat terkontaminasi oleh alat yang tidak steril

6.      Kulit tidak dapat disterilkan

2.8  Proses keperawatan pada masalah pengendalian infeksi

1.     Pengkajian keperawatan

Merupakan tindakan mengkaji ada atau tidaknya faktor yang mempengaruhi atau menyebabkan

infeksi, seperti penurunan daya tahan tubuh, status nutrisi, usia, stress, dan lain-lain.pengkajian

selanjutnya adalah memeriksa ada atau tidaknya tanda klinik infeksi (seperti pembengkakan,

kemerahan, panas, nyeri pada daerah lokalisasi infeksi) dan tanda sistemik (seperti demam, malaise,

anoreksia, sakit kepala, muntah, atau diare).

2.     Diagnosis keperawatan

Hal yang perlu diperhatikan adalah risiko terjadinya infeksi yang berhubungan dengan proses

penyebaran teman.

3.     Perencanaan keperawatan

Tujuan:

         Mencegah terjadi infeksi atau penyebaran kuman

Rencana tindakan:

         Melakukan tindakan untuk menghambat penyebaran kuman, seperti mencuci tanagan, memakai

masker, memakai sarung tangan, sterilisasi, dan desinfeksi.

4.     Pelaksanaan (tindakan) keperawatan

A.    Cara mencuci tangan

      Mencuci kedua tangan merupakan prosedur awal yang dilakukan perawat dalam memberikan

tindakan keperawatan yang bertujuan membersihkan tangan dari segala kotoran, mencegah

terjadinya infeksi silaang melalui tangan, dan mempersiapkan bedah atau tindakan pembedahan

a.      Teknik mencuci biasa

Alat dan bahan:

1.      Air bersih 

2.      Handuk

3.      Sabun

4.      Sikat lunak

Prosedur kerja :

1.      Lepaskan segala benda yang melekat pada daerah tangan, seperti cincin atau jam tangan

2.      Basahi jari tangan, lengan, hingga siku dengan air, kemudian sabuni dan sikat bila perlu

3.      Bilas dengan air bersih yang mengalir dan keringkan dengan handuk atau lap kering

b.      Teknik mencuci dengan disinfektan

Alat dan bahan :

1.   Air bersih

2.   Larutan disinfektan lisol / savlon

3.   Handuk / lap kering

      Prosedur kerja

1.      lepaskan segala benda yang melekat pada daerah tangan, seperti cincin atau jam tangan

2.      basahi jari tangan, lengan, hingga siku dengan air, kemudian gosokan larutan disinfektan dan sikat

bila perlu

3.      bilas dengan air bersih yang mengalir dan keringkan dengan handuk atau lap kering

c.       Teknik mencuci steril

      Alat dan bahan :

1.   air mengalir

2.   sikat steril dalam tempat

3.   alcohol 70 %

4.   sabun

Prosedur kerja

1.   lepaskan segala benda yang melekat pada daerah tangan, seperti cincin atau jam tangan

2.   basahi jari tangan, lengan, hingga siku dengan air, kemudian tuang sabun   (2-5 ml) ke tangan dan

gosokan tangan serta lengan sampai 5cm di atas siku, kenudian sikat ujung jari, tangan, lengan, dan

kuku sebanyak kurang lebih 15 kali gosokan, sedangkan telapak tangan 10 kali gosongkan bingga

siku.

3.   Bilas dengan air bersih yang mengalir

4.   Setelah selesai tangan tetap di arahkan ke atas

5.   Gunakan sarung tangan steril

B.     Cara menggunakan sarung tangan

         Sarung tangan digunakan dalam melakukan prosedur tindakan keperawatan dengan tujuan

mencegah terjadinya penularan kuman dan mengurangi risiko tertularnya penyakit.

      Alat dan bahan:

1.      Sarung tangan

2.      Bedak/ talk

      Prosedur kerja

1.      Cuci tangan secara menyeluruh

2.      Bila sarung tangan belum dibedaki, ambil sebungkus bedak, dan tuangkan sedikit.

3.      Pegang tepi sarung tangan dan masukan jari- jari tangan, pastikan ibu jari dan jari- jari lain tepat

pada posisinya.

4.      Ulangi pada tangan kiri

5.      Setelah terpasang, cukupkan kedua tangan.

C.    Cara menggunakan masker

           Tindakan pengamanan dengan menutup hidung dan mulut menggunakan masker bertujuan

mencegah atau mengurangi transmisi droplet mikroorganisme saat merawat pasien.

      Alat dan bahan:

1.      Masker

      Prosedur kerja:

A.    Tentukan tepi atas dan bawah bagian masker

B.     Pegang kedua tali masker.

C.     Ikatan pertama, bagian atas berada pada kepala, sedangkan ikatan kedua berada pada bagian

belakang leher.

D.    Cara desinfeksi

a.      Cara desinfeksi dengan Mencuci

            Prosedur kerja

1.   Cucilah tangan dengan sabun kemudian bersihkan, kemudian siram atau membasahi dengan alcohol

70%.

2.   Cucilah luka dengan H202, betadine, atau larutan lainnya.

3.   Cuculah kulit atau jaringan tubuh yang akan dioperasi dengan yodium tinktur 3%, kemudian

dengan alcohol.

4.   Cucilah vulva dengan larutan sublimat atau larutan sejenisnya.

b.      Cara desinfeksi dengan mengoleskan

            Prosedur kerja:

      Oleskan luka dengan merkurokrom atau bekas luka jahitan menggunakan alcohol menggunakan

alcohol atau betadine.

c.       Cara desinfeksi dengan merendam

            Prosedur kerja:

1.   Rendamlah tangan dengan larutan lisol 0,5%

2.   Rendamlah peralatan dengan larutan lisol 3-5% selama 2 jam.

3.   Rendamlah alat tenun dengan lisol 3-5% kurang lebih 24 jam

d.      Cara desinfeksi dengan menjemur

            Prosedur kerja

         Jemurlah kasur, tempat tidur, urinal, pispot, dan lain- lain; masing- masing permukaan selama 2

jam.

5.      Cara membuat larutan desinfeksi

a.       Sabun

Alat bahan

1.   Sabun padat/ cream/ cair

2.   Gelas ukuran

3.   Timbangan

4.   Sendok makan

5.   Alat pengocok

6.   Air panas/ hangat dalam tempatnya

7.   Baskom

      Prosedur kerja

1.      Masukkan 4 gram sabun padat/ cream kedalam 1 liter air panas/ hangat kemudian diaduk sampe

larut

2.      Masukkan 3 cc sabun cair kedalam 1 liter air panas/ hangat, kemudian diaduk sampe larut

Larutan ini dapat digunakan untuk mencuci tangan atau peralatan medis

b.      Lisol dan Kreolin

Alat/Bahan:

1.   Larutan lisol/ kreolin

2.   Gelas ukuran

3.   Baskom berisi air

      Prosedur kerja      

1.   Masukkan larutan Larutan lisol/ kreolin 0,5% sebanyak 5 cc ke dalam air 1 liter air.

Larutan ini dapat digunakan untuk mencuci tangan.

2.   Masukkan larutan Larutan lisol/ kreolin 2% sebanyak 20 cc atau larutan Larutan lisol/ kreolin

sebanyak 3% sebanyak 3 cc ke dalam 1 liter air. Larutan ini dapat digunakan untuk merendam

peralatan medis.

c.       Savlon

Alat/Bahan:

1.   Savlon

2.   Gelas ukuran

3.   Baskom berisi air secukupnya

Prosedur kerja

1.      Masukkan larutan savlon 0,5% sebanyak 5 cc ke dalam 1 liter air.

2.      Masukkan larutan savlon 1% sebanyak 10 cc ke dalam 1 liter air.

6.      Cara sterilisasi

Beberapa alat yang perlu disterilisasi:

1.      Peralatan logam (pinset, gunting, speculum, dan lain- lain)

2.      Peralatan kaca (semprit, tabung kimia, dan lain- lain )

3.      Peralatan karet (kateter, sarung tangan, pipa lambung, drain dan lain- lain)

4.      Peralatan ebonite (kanule rectum, kanule trakea, dan lain- lain)

5.      Peralatan email (bengkok, baskom, dan lain- lain)

6.      Peralatan porselin (mangkok, cangkir, piring, dan lain- lain)

7.      Peralatan plastic (selang infuse, dan lain- lain)

8.      Peralatan tenunan (kain kasa, tampon, doek baju, sprei, dan lain- lain)

5.     Evaluasi keperawatan

Evaluasi terhadap masalah risiko infeksi ()penyebaran kuman) secara umum dilakukan untuk

menilai ada atau tidaknya tanda infeksi nosokomial seperti penyebaran kuman ke pasien atau orang

lain

BAB III

PENUTUP

1.1  Kesimpulan

     

      Infeksi yang muncul selama seseorang tersebut dirawat di rumah sakit dan mulai menunjukkan

suatu gejala selama seseorang itu dirawat atau setelah selesai dirawat disebut infeksi nosokomial.

Infeksi nosokomial banyak terjadi di seluruh dunia dengan kejadian terbanyak di negara miskin dan

negara yang sedang berkembang karena penyakit-penyakit infeksi masih menjadi penyebab utama.

      Faktor Penyebab perkembangan infeksi nosokomial yaitu Agen infeksi, Respon dan toleransi

tubuh pasien, Infeksi melalui kontak langsung dan tidak langsung, Resistensi antibiotika dan Faktor

alat

1.2  Saran

1.      Diharapkan kepada penentu kebijakan dalam hal ini rumah sakit agar memfasilitasi alat yang

dibutuhkan dalam mencegah infeksi nosokomial di rumah sakit dan mengurangi beban kerja

perawat agar dapat melakukan upaya pencegahan infeksi nosokomial dengan baik.

2.      Diharapkan kepada perawat pelaksana agar berupaya dengan baik dalam mencegah infeksi

nosokomial di rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA

Alimul, Aziz. 2012.Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Aplikasi konsep dan proses keperawatan.

Jakarta: EGC

Tarwanto. 2011. Kebutuhan Dasar Manusi dan Proses keperawatan. Jakarta: Salemba Medika