Edisi 13 tubuh islam perlu istirahat
-
Upload
santri-gus-dur -
Category
Documents
-
view
225 -
download
4
description
Transcript of Edisi 13 tubuh islam perlu istirahat
Assalamu'a la ikum warahmatul lahi
wabarakatuh.
aya menulis ini dalam perjalanan
S dari Bandung menuju Cirebon
untuk memenuhi undangan Mbah
Din menghadiri Haul Buntet Pesantren,
Sabtu 4 April 2015. Pun saya menulis ini
setelah sehari sebelumnya bercakap-cakap
via pesan pendek dengan Prof K.H.
Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCI
Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand. Ia
paparkan kesedihannya tentang keadaan
umat Islam hari-hari ini. Semakin banyak
yang menggugat: Islam tapi tidak Islami.
Islam seakan-akan kehilangan ruh
rahmatan lil 'alamin.
Siapa bilang Islam kehilangan
ruh? Ruh tidak melenyap, tidak pula
menguap. Ruh beda dengan tubuh yang
memang bisa letih, terluka, sakit, menua,
dan mati. Raga mengalami dikunyah-
kunyah oleh bumi hingga remuk
dagingnya dan tinggal tulang-belulang
belaka di tanah kubur. Tidak demikian
halnya dengan ruh. Ia memang bukan
baru, bukan pula terbarukan. Ruh itu
siratan keabadian Cahaya Maha Cahaya
yang tak lekang.
Yang menghilang itu tubuh. Dan,
jika dalam hal ini adalah Islam, maka yang
Buletin SANTRI Edisi 13Jum’at, 15 Mei 2015 1Buletin SANTRI Edisi 13
Jum’at, 15 Mei 20154
Jawaban: Waalaikumsalam. Dalam QS. Al-Syura: 11 diterangkan bahwa tidak ada suatu
perkara yang menyamai Allah. Allah juga tidak bisa dikategorikan kepada jenis
mudzakkar (maskulin) maupun muannats (feminin). Dalam bahasa Arab, Allah memang
sering ditunjuk dengan kata "anta" yang artinya Engkau laki-laki, bukan "anti" yang
artinya engkau perempuan. Demikian pula kata ganti/dhamir bagi Allah adalah "huwa"
yang artinya Dia laki-laki, bukan "hiya" yang artinya Dia perempuan. Mengapa demikian?
Jawabannya adalah karena bahasa Arab sangatlah terbatas sedangkan Allah Maha Tak
Terbatas. Bahasa Arab yang terbatas tidak mampu mendeskripsikan sifat Allah secara
menyeluruh. Selain itu, aturan mudzakar dan muannats dalam bahasa Arab tidaklah kaku
dan saklek. Buktinya ada banyak kata benda yang tidak menunjukkan mudzakar maupun
muannats, seperti kata "jabal" (gunung), hajar (batu), dan khasyab (kayu). Dalam bahasa
Arab banyak al-muhayid, yakni kata-kata yang tidak menunjukkan mudzakar maupun
muannats. Dalam bahasa Inggris juga dikenal istilah "neuter" yakni kata yang tidak
menunjukkan maskulin maupun feminin. Namun belakangan ini ada sejumlah aktivis
gender yang mempertanyakan ulang kesan bias gender dalam bahasa Arab yang
menyebut Allah dengan kata mudzakar dan bukan muannats. Diantaranya adalah
seorang aktivis gender bernama Nawal Sa'dawi.
Pertanyaan: Assalamualaikum. Nyuwun sewu ustadz bade tangklet. saya pernah
ditanya murid saya, Di dalam do'a, sering kali kita memanggil Tuhan dengan "Anta".
Sedangkan didalam Surat al-Ikhlas, Tuhan menyebutnya dengan "Huwa". Apakah jenis
kelamin Tuhan itu cowok ustadz? Mksh atas pencerahannya.
Aan, Ta'mir mushola Nurul Iman. 23 th.
Apakah Tuhan Laki-Laki?
Edisi 13/2015
Tubuh Islam Perlu IstirahatOleh: Candra Malik*
menghilang adalah tubuh Islam. Tapi,
menghilang pun sesungguhnya bukan
pilihan diksi yang tepat. Jika yang
dimaksud adalah hilang kontak, nah, iya.
Tidak usah terlalu muluk, dalam hal saling
berpapasan saja kini semakin jarang
ditemukan sesama Muslim yang saling
sapa—apalagi saling menebar ucapan
“Assalamu'alaikum.” Lewat ya lewat saja.
Bahkan tidak pakai permisi. Kita punya
masalah besar dalam berkomunikasi
sesama Muslim.
Orang Islam zaman sekarang
sibuk mengurusi amalan. Banyak pula
yang mengurusi ramalan. Sampai-sampai
lupa merawat tradisi kebaikan yang paling
sederhana: uluk-salam. Padahal, segala
sesuatu itu diatur sedemikian rupa agar
harmonis dan dinamis. Ya, memang amal
yang kelak pertama ditanyakan, dan amal
yang pertama ditanyakan itu adalah
shalat. Tapi, saya meyakini bahwa ibarat
membaca buku, amal bukan bab pertama
buku hidup.
Sebelum amal, yang lebih awal
adalah ilmu. Sebelum ilmu, yang lebih
awal lagi adalah adab atau tatakrama.
Sebelum adab atau tatakrama, yang lebih
awal lagi—bahkan yang paling awal dan
menjadi dasar bagi adab, ilmu, dan
amal—ialah akhlak. Dan, tugas utama dari
kerasulan Nabi Muhammad SAW adalah
menyempurnakan akhlak mulia. Perilaku
adab, perbuatan ilmu, dan tindakan amal
didasari lelaku akhlak.
J i k a t e k n o l o g i i b a r a t
persenyawaan antara ilmu dan amal, layak
diakui bahwa teknologi memang maju,
tapi peradaban ternyata mundur. Jika
kesederhanaan adalah pencapaian
tertinggi manusia, kini yang terjadi adalah
p e n y e d e r h a n a a n . P a d a h a l ,
penyederhanaan berbeda jauh dengan
kesederhanaan. Kesederhanaan itu
alamiah, penyederhanaan itu ilmiah.
Semakin ke sini sekarang harus
semakin ilmiah. Tanpa dalil seolah-olah
manusia tidak bisa hidup dan bergerak.
Padahal, akhlak tidak membutuhkan dalil.
Akhlak membutuhkan keterlibatan jiwa
raga sepenuhnya, seutuhnya, dan
seluruhnya, dalam berserah. Rendah diri
di hadapan Allah dan rendah hati di
hadapan sesama makhluk Allah. Dan,
kesederhanaan diri serta hati itulah
prestasi terbesar Muhammad SAW.
Ia diangkat ke derajat yang
setinggi-tingginya tinggi, bahkan yang
lebih tinggi dari yang paling tinggi, justru
karena berhasil merendahkan dirinya
serendah-rendahnya rendah kepada Allah
SWT dan merendahkan hatinya pun
sedemikian rupa kepada makhluk Allah.
Jelas-jelas ditunjukkan dalam Q.S. Al Isra':
1 bahwa Allah SWT memperjalankan
Muhammad SAW dalam Isra' Mi'raj bukan
dalam kedudukannya sebagai Nabi, Rasul,
atau Pemimpin Umat, melainkan dalam
kedudukannya sebagai Hamba Allah.
Kenyataan ini sesungguhnya
sangat terang memerlihatkan betapa
Allah Maha Baik dan setiap diri kita
memiliki kesempatan yang sama
diperjalankan oleh Allah Yang Maha Suci.
Hanya saja, persoalannya adalah mana
mau kita menghamba? Mana mau kita
menjadi hamba? Kita lebih suka menjadi
tuhan. Bermain sebagai tuhan. Mengadili
Buletin SANTRI Edisi 13Jum’at, 15 Mei 2015
Buletin SANTRI Edisi 13Jum’at, 15 Mei 2015
dan menghukum sesama makhluk
dengan mengatasnamakan Tuhan.
Memilih siapa masuk surga, memilah
siapa masuk neraka—padahal ini di dunia.
Klasik, memang, mengatakan
bahwa perbedaan pendapat adalah
rahmat yang sepatutnya kita syukuri.
Faktanya, perselisihan terjadi di
mana-mana, sampai-sampai
menemukan ayat-ayat
y a n g b e r a r o m a
kekerasan menjadi
jauh lebih mudah
dibanding mencari
ayat-ayat tentang
k e l e m b u t a n .
Seolah-olah lembut
itu lemah. Perang,
d a l a m a r t i
sesungguhnya yakni adu
fisik sampai mengakibatkan
korban jiwa, seperti api yang menyala
lagi, menyala lagi. Tak lama padam, bara
tersambar angin dan menyala lagi.
Membakar amarah kita.
Dakwah itu mengajak, perang itu
memaksa. Dakwah itu menjadi kawan,
perang itu menjadi lawan. Sehebat-hebat
kita, wilayah gerak kita adalah pada
proses. Allah yang menentukan hasilnya.
Kita yang berdakwah, Allah yang memberi
hidayah. Jadi, hidayah bukanlah prestasi
kita. Allah memberi petunjuk kepada
siapa pun yang Dia Kehendaki dan tak ada
yang mampu menyesatkannya setelah
datang petunjuk itu, selain Allah. Allah
memberi kesesatan kepada siapa pun
yang Dia Kehendaki dan tak ada yang
mampu memberi petunjuk setelah
datang kesesatan itu, selain Allah.
Tubuh Islam sedang sakit. Luka
dalam dan luka luar. Anggota tubuh saling
mengingkari satu sama lain seolah berasal
tidak dari asal-muasal yang sama. Kita
perlu istirahat sejenak. Take a bed-
rest. Mengingat Allah dalam
posisi berbaring dulu saja.
Dalam posisi berdiri,
t e r n y a t a k i t a s u k a
m e n u d i n g - n u d i n g
saudara sendiri. Dalam
posisi duduk, ternyata
kita suka menggebrak
m e j a . P e r a n g p u n
mengenal gencatan senjata,
diplomasi, dan perdamaian.
Mari hentikan perang dan mulai
damai. Mulai lagi tradisi kebaikan Islam
yang bijak bestari: uluk-salam.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh.
Bandung-Cirebon, 4 April 2015
*Penulis adalah pengarang buku Makrifat
Cinta
“sampai-sampai menemukan
ayat-ayat yang beraroma
kekerasan menjadi jauh lebih
mudah dibanding mencari ayat-
ayat tentang kelembutan.”
Donasi buletin SANTRI
dapat dikirim melalui:
Bank BRI SyariahNo. Rekening 102 040 1617
a/n Sarjoko
menghilang adalah tubuh Islam. Tapi,
menghilang pun sesungguhnya bukan
pilihan diksi yang tepat. Jika yang
dimaksud adalah hilang kontak, nah, iya.
Tidak usah terlalu muluk, dalam hal saling
berpapasan saja kini semakin jarang
ditemukan sesama Muslim yang saling
sapa—apalagi saling menebar ucapan
“Assalamu'alaikum.” Lewat ya lewat saja.
Bahkan tidak pakai permisi. Kita punya
masalah besar dalam berkomunikasi
sesama Muslim.
Orang Islam zaman sekarang
sibuk mengurusi amalan. Banyak pula
yang mengurusi ramalan. Sampai-sampai
lupa merawat tradisi kebaikan yang paling
sederhana: uluk-salam. Padahal, segala
sesuatu itu diatur sedemikian rupa agar
harmonis dan dinamis. Ya, memang amal
yang kelak pertama ditanyakan, dan amal
yang pertama ditanyakan itu adalah
shalat. Tapi, saya meyakini bahwa ibarat
membaca buku, amal bukan bab pertama
buku hidup.
Sebelum amal, yang lebih awal
adalah ilmu. Sebelum ilmu, yang lebih
awal lagi adalah adab atau tatakrama.
Sebelum adab atau tatakrama, yang lebih
awal lagi—bahkan yang paling awal dan
menjadi dasar bagi adab, ilmu, dan
amal—ialah akhlak. Dan, tugas utama dari
kerasulan Nabi Muhammad SAW adalah
menyempurnakan akhlak mulia. Perilaku
adab, perbuatan ilmu, dan tindakan amal
didasari lelaku akhlak.
J i k a t e k n o l o g i i b a r a t
persenyawaan antara ilmu dan amal, layak
diakui bahwa teknologi memang maju,
tapi peradaban ternyata mundur. Jika
kesederhanaan adalah pencapaian
tertinggi manusia, kini yang terjadi adalah
p e n y e d e r h a n a a n . P a d a h a l ,
penyederhanaan berbeda jauh dengan
kesederhanaan. Kesederhanaan itu
alamiah, penyederhanaan itu ilmiah.
Semakin ke sini sekarang harus
semakin ilmiah. Tanpa dalil seolah-olah
manusia tidak bisa hidup dan bergerak.
Padahal, akhlak tidak membutuhkan dalil.
Akhlak membutuhkan keterlibatan jiwa
raga sepenuhnya, seutuhnya, dan
seluruhnya, dalam berserah. Rendah diri
di hadapan Allah dan rendah hati di
hadapan sesama makhluk Allah. Dan,
kesederhanaan diri serta hati itulah
prestasi terbesar Muhammad SAW.
Ia diangkat ke derajat yang
setinggi-tingginya tinggi, bahkan yang
lebih tinggi dari yang paling tinggi, justru
karena berhasil merendahkan dirinya
serendah-rendahnya rendah kepada Allah
SWT dan merendahkan hatinya pun
sedemikian rupa kepada makhluk Allah.
Jelas-jelas ditunjukkan dalam Q.S. Al Isra':
1 bahwa Allah SWT memperjalankan
Muhammad SAW dalam Isra' Mi'raj bukan
dalam kedudukannya sebagai Nabi, Rasul,
atau Pemimpin Umat, melainkan dalam
kedudukannya sebagai Hamba Allah.
Kenyataan ini sesungguhnya
sangat terang memerlihatkan betapa
Allah Maha Baik dan setiap diri kita
memiliki kesempatan yang sama
diperjalankan oleh Allah Yang Maha Suci.
Hanya saja, persoalannya adalah mana
mau kita menghamba? Mana mau kita
menjadi hamba? Kita lebih suka menjadi
tuhan. Bermain sebagai tuhan. Mengadili
Buletin SANTRI Edisi 13Jum’at, 15 Mei 2015
Buletin SANTRI Edisi 13Jum’at, 15 Mei 2015
dan menghukum sesama makhluk
dengan mengatasnamakan Tuhan.
Memilih siapa masuk surga, memilah
siapa masuk neraka—padahal ini di dunia.
Klasik, memang, mengatakan
bahwa perbedaan pendapat adalah
rahmat yang sepatutnya kita syukuri.
Faktanya, perselisihan terjadi di
mana-mana, sampai-sampai
menemukan ayat-ayat
y a n g b e r a r o m a
kekerasan menjadi
jauh lebih mudah
dibanding mencari
ayat-ayat tentang
k e l e m b u t a n .
Seolah-olah lembut
itu lemah. Perang,
d a l a m a r t i
sesungguhnya yakni adu
fisik sampai mengakibatkan
korban jiwa, seperti api yang menyala
lagi, menyala lagi. Tak lama padam, bara
tersambar angin dan menyala lagi.
Membakar amarah kita.
Dakwah itu mengajak, perang itu
memaksa. Dakwah itu menjadi kawan,
perang itu menjadi lawan. Sehebat-hebat
kita, wilayah gerak kita adalah pada
proses. Allah yang menentukan hasilnya.
Kita yang berdakwah, Allah yang memberi
hidayah. Jadi, hidayah bukanlah prestasi
kita. Allah memberi petunjuk kepada
siapa pun yang Dia Kehendaki dan tak ada
yang mampu menyesatkannya setelah
datang petunjuk itu, selain Allah. Allah
memberi kesesatan kepada siapa pun
yang Dia Kehendaki dan tak ada yang
mampu memberi petunjuk setelah
datang kesesatan itu, selain Allah.
Tubuh Islam sedang sakit. Luka
dalam dan luka luar. Anggota tubuh saling
mengingkari satu sama lain seolah berasal
tidak dari asal-muasal yang sama. Kita
perlu istirahat sejenak. Take a bed-
rest. Mengingat Allah dalam
posisi berbaring dulu saja.
Dalam posisi berdiri,
t e r n y a t a k i t a s u k a
m e n u d i n g - n u d i n g
saudara sendiri. Dalam
posisi duduk, ternyata
kita suka menggebrak
m e j a . P e r a n g p u n
mengenal gencatan senjata,
diplomasi, dan perdamaian.
Mari hentikan perang dan mulai
damai. Mulai lagi tradisi kebaikan Islam
yang bijak bestari: uluk-salam.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh.
Bandung-Cirebon, 4 April 2015
*Penulis adalah pengarang buku Makrifat
Cinta
“sampai-sampai menemukan
ayat-ayat yang beraroma
kekerasan menjadi jauh lebih
mudah dibanding mencari ayat-
ayat tentang kelembutan.”
Donasi buletin SANTRI
dapat dikirim melalui:
Bank BRI SyariahNo. Rekening 102 040 1617
a/n Sarjoko
Assalamu'a la ikum warahmatul lahi
wabarakatuh.
aya menulis ini dalam perjalanan
S dari Bandung menuju Cirebon
untuk memenuhi undangan Mbah
Din menghadiri Haul Buntet Pesantren,
Sabtu 4 April 2015. Pun saya menulis ini
setelah sehari sebelumnya bercakap-cakap
via pesan pendek dengan Prof K.H.
Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCI
Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand. Ia
paparkan kesedihannya tentang keadaan
umat Islam hari-hari ini. Semakin banyak
yang menggugat: Islam tapi tidak Islami.
Islam seakan-akan kehilangan ruh
rahmatan lil 'alamin.
Siapa bilang Islam kehilangan
ruh? Ruh tidak melenyap, tidak pula
menguap. Ruh beda dengan tubuh yang
memang bisa letih, terluka, sakit, menua,
dan mati. Raga mengalami dikunyah-
kunyah oleh bumi hingga remuk
dagingnya dan tinggal tulang-belulang
belaka di tanah kubur. Tidak demikian
halnya dengan ruh. Ia memang bukan
baru, bukan pula terbarukan. Ruh itu
siratan keabadian Cahaya Maha Cahaya
yang tak lekang.
Yang menghilang itu tubuh. Dan,
jika dalam hal ini adalah Islam, maka yang
Buletin SANTRI Edisi 13Jum’at, 15 Mei 2015 1Buletin SANTRI Edisi 13
Jum’at, 15 Mei 20154
Jawaban: Waalaikumsalam. Dalam QS. Al-Syura: 11 diterangkan bahwa tidak ada suatu
perkara yang menyamai Allah. Allah juga tidak bisa dikategorikan kepada jenis
mudzakkar (maskulin) maupun muannats (feminin). Dalam bahasa Arab, Allah memang
sering ditunjuk dengan kata "anta" yang artinya Engkau laki-laki, bukan "anti" yang
artinya engkau perempuan. Demikian pula kata ganti/dhamir bagi Allah adalah "huwa"
yang artinya Dia laki-laki, bukan "hiya" yang artinya Dia perempuan. Mengapa demikian?
Jawabannya adalah karena bahasa Arab sangatlah terbatas sedangkan Allah Maha Tak
Terbatas. Bahasa Arab yang terbatas tidak mampu mendeskripsikan sifat Allah secara
menyeluruh. Selain itu, aturan mudzakar dan muannats dalam bahasa Arab tidaklah kaku
dan saklek. Buktinya ada banyak kata benda yang tidak menunjukkan mudzakar maupun
muannats, seperti kata "jabal" (gunung), hajar (batu), dan khasyab (kayu). Dalam bahasa
Arab banyak al-muhayid, yakni kata-kata yang tidak menunjukkan mudzakar maupun
muannats. Dalam bahasa Inggris juga dikenal istilah "neuter" yakni kata yang tidak
menunjukkan maskulin maupun feminin. Namun belakangan ini ada sejumlah aktivis
gender yang mempertanyakan ulang kesan bias gender dalam bahasa Arab yang
menyebut Allah dengan kata mudzakar dan bukan muannats. Diantaranya adalah
seorang aktivis gender bernama Nawal Sa'dawi.
Pertanyaan: Assalamualaikum. Nyuwun sewu ustadz bade tangklet. saya pernah
ditanya murid saya, Di dalam do'a, sering kali kita memanggil Tuhan dengan "Anta".
Sedangkan didalam Surat al-Ikhlas, Tuhan menyebutnya dengan "Huwa". Apakah jenis
kelamin Tuhan itu cowok ustadz? Mksh atas pencerahannya.
Aan, Ta'mir mushola Nurul Iman. 23 th.
Apakah Tuhan Laki-Laki?
Edisi 13/2015
Tubuh Islam Perlu IstirahatOleh: Candra Malik*