Esai Karbonat _Nisa 14637

download Esai Karbonat _Nisa 14637

of 9

description

Just For Education

Transcript of Esai Karbonat _Nisa 14637

DIAGENESIS BATUAN KARBONAT Nurul Nur Annisa, 14637Telah kita ketahui sebelumnya bahwa batuan karbonat adalah salah satu batuan sedimen yang unik, karena selain bisa berasal dari hasil gabungan material material karbonat juga dapat berasal dari makhluk hidup yang mengandung CaCO3,seperti koral dan echinodermata. Suatu batuan dapat disebut batuan karbonat hanya jika tersusun > 50 % oleh mineral karbonat. Bagaimana dengan sisa penyusunnya? Itulah yang menjadikan batuan karbonat ini sungguh bervariasi dan menarik untuk dipelajari. Umumnya mereka sangat rentan terhadap perubahan karena konstituennya sendiri ( unsur penyusunnya ) sangat reaktif dan tidak stabil, contohnya adalah aragonit yang mudah berubah menjadi kalsit dalam lingkungan berair. Oleh karena itu, tempat diagenesa itu sangat berhubungan erat dengan konstituen dan komposisi mineral penyusun batuan karbonat, karena untuk masing masing lingkungan pengendapan terdapat material material endapan yang berbeda.

Gambar 1 . Lingkungan pengendapan batuan karbonat (Sam Boggs, Jr.,2009)Proses diagenesis memegang peranan penting pada pembentukan batuan karbonat.Terdapat 3 regim utama diagenesis yaitu: Regim lantai samudera dan permukaan laut dangkal, regim meteorik, dan regim permukaan laut dalam ( James and Choquette , 1983). Regim laut dangkal merupakan lingkungan yang sangat dekat dengan daratan sehingga sering menerima presipitasi air hujan, contohnya adalah air laut dengan kadar salinitas normal. Regim meteorik adalah lingkungan yang dicirikan dengan kehadiran air jernih dimana air hujan dapat meresap dengan baik dan biasanya tidak menyimpan air tanah. Dan yang ketiga adalah regim permukaan laut dalam yang pada umumnya sudah jenuh dengan karbonat (terdapat zona CCD atau Carbonate Compensation Depth ) sehingga jarang yang diendapkan disini. Namun, secara umum diagenesis batuan karbonat ini paling sering terjadi di laut dangkal yang mudah mengalami presipitasi dan kadar garamnya lumayan tinggi. Setelah kita mengetahui lingkungan diagenesa secara umum, nah bagaimana dengan proses diagenesanya itu sendiri? Ini merupakan pertanyaan yang bagus. Proses diagenesa pada batuan karbonat ini sedikit unik karena berbeda dengan proses pembentukan pada batuan sedimen yang lain. Terdapat beberapa proses pada saat pembentukannya, yaitu Dissolution ( pelarutan ), Cementation ( sementasi ), Dolomitization ( dolomitisasi ), Microbial activity ( aktivitas mikrobial ), dan yang terakhir adalah kompaksi, yang terdiri atas Mechanical compaction ( kompaksi secara mekanik ) dan Chemical compaction ( kompaksi secara kimiawi ). Tahap awal dari proses diagenesis karbonat adalah Dissolution. Pada umumnya batuan karbonat akan mengalami dissolution atau pelarutan pada kedalaman 300 kaki di bawah permukaan tanah atau laut dimana mereka akan terlindungi oleh lapisan tipis material atau konstituennya. Selain itu juga akan mudah larut ketika kondisi di sekitarnya memiliki kadar garam yang tinggi dan kondisi lingkungannya menjadi asam. Di lingkungan laut dalam, CaCO3 juga mudah sekali larut karena adanya perubahan tekanan dan suhu yang rendah serta tekanan yang tinggi, tempat ini dinamakan zona lisoklin laut dalam, atau CCD ( Carbonate Compensation Depth ), yaitu batas kelarutan karbonat dimana di bawah permukaan tersebut semua material yang mengandung karbonat akan menghablur dan hilang. Sementara itu, pada lingkungan Burial ( bawah permukaan tanah dengan tekanan yang tinggi dan hampir sama dengan zona metamorfisme rendah namun sedikit lebih dangkal , serta suhunya tidak melebihi 1500C ) terjadi ketika sirkulasi air tanah di sekitar formasi batuan karbonat yang tertimbun dapat melarutkan mineral karbonat yang ada sebelumnya ( pada fase eogenesis mesogenesis ). Pada tahap mesogenesis , burial juga ditandai dengan adanya senyawa baru pada air tanah, karena kandungan CO2 yang semakin tinggi sehingga menyebabkan terjadinya Partial pressure yaitu tekanan parsial pada senyawa di sekitar sehingga sangat berpotensi melarutkan karbonat dan terbentuklah konstituen baru. Akibat dari proses pelarutan oleh air ini ( dissolution ) antara lain adalah : komposisi air akan mengandung karbonat ( CaCO3), air yang menerobos karbonat akan membawa material baru / asing dari batuan lain, dan proses pelarutan yang akan bergantung pada variabel kontrol kelarutan seperti tekanan dan suhu. ( Raymond, 2002 ). Berikut salah satu gambar lingkungan tempat terjadinya pelarutan.

Gambar 2. Regim diagenesa Burial (Moore, C.H., 1997)Tahap kedua pada proses diagenesa batuan karbonat adalah cementation ( sementasi ) yaitu penyemenan atau proses pengikatan antara material penyusun batuan antara yang satu dengan lainnya yang membuat mineral semen (karbonat) terpresipitasi. Dimana presipitasi yang dimaksud disini adalah proses pemisahan konstituen - konstituen mineral dari suatu larutan oleh adanya penguapan mineral seperti halite atau anhidrit (Kamus Geologi, 2012). Umumnya dalam proses penyemenan ini memerlukan larutan kimia seperti karbonat, silikat, oksida besi , dan hidroksida.Dalam batuan karbonat sendiri semen ini dinamakan dengan Sparite dimana ukurannya lebih besar micrite. Adanya sparite ini menandakan bahwa proses pengendapan terjadi pada energi tinggi ( agitated-water condition ) dan arus serta gelombang yang relatif kuat. Sekarang bagaimana dengan proses penyemenan itu sendiri? Penyemenan ( cementation ) dapat terjadi ketika lingkungan di sekitarnya mendukung, yaitu yang meliputi adanya rongga atau pori dalam batuan , suplai CaCO3 yang cukup selama proses penyemenan ( bisa didapat dari hasil pelarutan, serta adanya material penyusun semen itu sendiri seperti aragonit dan ooid. Pada regim meteorik ( meteoric regim ) semennya didominasi oleh kalsit yang berupa pendant (berbentuk anting anting ) dan meniscus (cekung cembung) . Pada zona freatik (jenuh dengan air ) semennya bisa berupa isopahcous, blocky, dan syntaial rim yang terbentuk secara presipitasi optis dimana kristal kalsit mengeliingi kristal tunggal dari echinodermata, sehingga semen juga akan mengalami overgrowth pada butiran lain. Pada lingkungan pengendapan deep burial ( bawah permukaan ), sementasi dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain peningkatan suhu, penurunan tekanan parsial CO2 dan air pori. Selain itu, suplai Ca CO3 juga mutlak diperlukan , yang bisa didapat dari hasil pelarutan butiran (dissolution). Untuk tekstur semen yang dihasilkan pada lingkungan burial ini antara lain adalah tekstur bladed prismatic, mosaic, dan drussy cement. Ukuran semen semen tersebut pada umunya kasar karena terjadinya rekristalisasi sempurna pada tekanan dan temperatur yang tinggi lingkungan burial. Pada modern seafloor (lingkungan pengendapan laut modern ) , sementasi terjadi karena adanya proses presipitasi dari mineral karbonat pengisi semen. Beberapa semen yang umum dijumpai pada lingkungan ini adalah aragonit (bisa dalam bentuk needle like atau menjarum ), Mg- kalsit , isopachous rinds ( terbentuk pada kondisi subaqueous , jenuh air ) .

Gambar 3. Pola tekstur kristal semen pada lingkungan pengendapan karbonat ( http://thekoist.wordpress.com , 2012)Setelah tahap dissolution (pelarutan) dan cementation (sementasi) yang menyebabkan terjadinya perubahan volume dan porositas material penyusun karbonat di atas, kini tahap yang ketiga dalam diagenesis karbonat adalah Dolomitization . Namun sebelumnya alangkah baiknya jika kita mengetahui pembentukan dolomit itu sendiri. Dolomit terbentuk dalam 3 cara, yaitu (1) oleh dolomitization atau biasa disebut dolomitisasi yang merupakan proses penggantian / replacement dari CaCO3 oleh CaMg(CO3)2., (2) oleh dolomite cementation (sementasi dolomit) yang merupakan presipitasi dolomit dari larutan yang bersifat encer seperti air dalam ruangan atau pori pori sedimen baik primer maupun sekunder, dan (3) oleh presipitasi larutan H2O yang nantinya akan membentuk endapan sedimen atau yang lebih dikenal dengan dolomit primer. Nah, dari ketiga cara pembentukan dolomit tersebut, cara pertama adalah yang akan berperan dalam diagenesis batuan karbonat ini yang pada umumnya nanti hasilnya disebut dengan dolomit sekunder yang merupakan hasil dari proses replacement/ dolomitisasi. Proses dolomitisasi sekunder ini hanya dapat berlangsung pada 4 lingkungan berikut, yaitu (1) Reflux dolomitization yang terjadi pada lingkungan dengan kadar garam yang sangat tinggi ( hypersaline) , (2) mixing zone ( zona percampuran antara air tawar dan air laut ) , (3) near - surface burial depth ( dolomitisasi air laut lingkungan burial dekat permukaan ) , dan (4) burial dolomitization at intermediete-deep depths ( dolomitisasi pada lingkungan burial intermediet). Meskipun demikian, perlu juga diketahui bahwa proses dolomitisasi ini sebenarnya bukanlah satu-satunya proses replacement pada diagenesa batuan karbonat, karena ada replacement lain seperti yang terjadi antara mineral karbonat dan mineral non-karbonat. Contohnya adalah : kuarsa mikrokristalin, pirit (sulfida besi), hematit (oksida besi), apatit ( kalsium fosfat), dan anhidrit (kalsium fosfat). Berbeda dengan dolomitisasi (replacement yang umum dijumpai pada diagenesa batuan karbonat), untuk proses replacement dapat dijumpai di semua lingkungan diagenesis, baik pada lingkungan shallow burial ( lingkungan burial laut dangkal), subsurface deep burial (lingkungan burial dekat permukaan), lingkungan meteorik), dan deep burial ( lingkungan burial dalam). Contohnya adalah replacement karbonat dengan kuarsa mikrokristalin (chert) yang terjadi pada lingkungan meteorik dan deep burial.

Gambar 4. Faktor yang mempengaruhi dolomitisasi (Folk, Robert L.,1974).

Gambar 5. Lingkungan terbentuknya Dolomit (Sam Boggs, 2006)Tahap ke-4 dalam diagenesis batuan karbonat adalah Microbial activity ,yaitu aktivitas mikroba yang dipengaruhi oleh faktor tumbuh seperti nutrisi , karbon , nitrat atau sulfat. Nah, hubungan aktivitas mikroba dengan proses diagenesis disini sangat erat kaitannya dengan proses mikritisasi / micritization (berkurangnya jumlah butiran karbonat karena sebagian terubah menjadi mikrit/ penyusun batuan karbonat yang berbutir sangat halus). Organisme disini berperan sebagai penghancur dan pemecah kerangka butiran (skeletal grains) ataupun material karbonat lainnya. Degradasi organik ini akan menyebabkan terbentuknya sedimen dengan ukuran yang lebih halus . Mengapa aktivitas tersebut membentuk butiran yang lebih halus? Jawabannya tidak lain adalah karena adanya proses boring ( gerekan/ pemboran ) oleh organisme. Beberapa organisme yang dapat melakukan boring antara lain endolithic (boring) algae, yang pada akhirnya menghasilkan microborings (hasil gerekan/ bekas bor dalam ukuran mikro yang dihasilkan oleh mikroba). Microborings umumnya dihasilkan oleh organisme endolithic seperti jamur, bakteri, dan ganggang hijau, hijau-biru, maupun merah. Sementara itu macroborings (bekas gerekan/ bor dalam jumlah makro) umumnya dihasilkan oleh organisme yang berukuran lebih besar seperti bunga karang, mollusca, cacing, echinoid, dan crustaceans (udang, kepiting,dsb). Pemboran yang dilakukan oleh organisme seperti ganggang, jamur, dan bakteri inilah yang memegang peranan penting dalam proses mikritisasi, karena aktivitas organisme tersebut dapat merubah / memodifikasi material kerangka dan butiran karbonat menjadi butiran butiran halus yang disebut dengan proses mikritisasi yang menghasilkan pisoid sekunder berbentuk amorf dan tidak teratur. Jika diamati, ternyata pada mikrit dapat ditemukan envelopes atau selubung luar, nah hal ini salah satunya juga disebabkan oleh pengaruh organisme epilithic (organisme yang hidup menempel pada batuan atau material berbatu), selain disebabkan oleh microboring organism, partial dissolution, dan recrystallization. Selain yang dijelaskan di atas, perlu diketahui juga kalau sebenarnya microbial activity itu juga merupakan faktor terbentuknya Peloid yaitu butiran karbonat yang berbentuk bulat, ellipsoid, atau runcing, tersusun oleh micrite, tapi tidak mempunyai struktur dalam (Tucker,1991). Peloid ini dihasilkan dari penghancuran ooid atau fragmen fragmen cangkang yang bundar oleh aktivitas boring organism seperti algae atau ganggang.

Gambar 6. Proses Mikritisasi ( Sam Boggs Jr., 2009 )Tahap selanjutnya pada diagenesa karbonat setelah keempat tahap di atas adalah compaction (kompaksi) yaitu proses pemadatan butiran/ mineral penyusun batuan antara satu dengan lainnya sehingga nantinya akan terjadi kontak antar butiran. Kompaksi disebabkan oleh adanya pembebanan sedimen di atasnya sehingga menyebabkan berkurangnya porositas sampai 50 % pada kedalaman sekitar 100 meter dan penipisan dari bed / perlapisan batuan. Proses kompaksi ini umumnya dapat mengurangi porositas sampai 10%, contoh dari 80% menjadi 70% pada sedimen yang banyak terdiri atas butiran seperti foraminifera oozes , sementara itu pada sedimen yang kaya akan lempung , porositas bisa berkurang sampai 40% (dari 80% menjadi 40%). Selain itu kompaksi juga dapat menyebabkan penipisan terhadap sedimen karena volumenya benar-benar dimampatkan sehingga menjadi sangat masif dan beratnya pun bertambah. Nah, pada proses diagenesa batuan karbonat ini sendiri kompaksi itu dibedakan menjadi 2, yaitu mechanical compaction ( kompaksi secara fisika ) dan chemical compaction (kompaksi secara kimia). Pada proses kompaksi secara mekanik/fisika ditandai oleh adanya efek-efek berikut, yaitu : (1) adanya penekanan dan deformasi terhadap material organik yang menghasilkan wispy atau lapisan tipis pada butiran rigid yang bentuknya seperti stylolite, (2) penghalusan terhadap sedimen yang telah terisi sehingga terbentuklah struktur ellipsoid, (3) penggepengan terhadap pellet atau butiran lain, (4) pergiliran kerangka atau butiran lain ke dalam pack atau bungkus yang lebih padat, (5) penghancuran kerangka, ooids, atau butir lain dan peretakan dari selubung mikrit (pada karbonat yang tersusun atas butiran/ grain supported ), (6) hilangnya pellet pada sedimen yang tidak terlitifikasi pada saat sementasi tahap awal, (7) penipisan antar lamina, (8) menghasilkan struktur swirling (seperti pusaran angin), (9) perubahan dari lumpur gamping (grain-poor) atau wackestone (mud-supported) menjadi packstone (grain-supported yang mengandung banyak butiran). Pada mechanical compaction ini, hilangnya porositas sampai beberapa persen, penipisan bed (perlapisan), dan efek efek lain yang disebutkan di atas itu semua berhubungan dengan derajat sementasi tahap awal pada sedimen. Jika kompaksinya terjadi di lingkungan dimana sementasi terjadi pada lingkungan meteorik, maka efek dari kompaksi ini bersifat sedang karena sedimen sudah tersementasi dengan baik. Dan pada umumnya jika kita pelajari lebih lanjut, mechanical compaction dan dewatering (proses penurunan kadar air/ pengeringan pada sedimen ) juga akan menyebabkan perubahan porositas secara signifikan pada sedimen karbonat yang banyak mengandung lumpur (mud-dominated sediments) serta penambahan densitas meskipun sebenarnya porositasnya telah banyak berkurang pada tahap awal sementasi.

Gambar 7. Diagram eksperimen Shinn dan Robin (1983), menunjukkan hubungan antara kedalaman dan porositas antara grainstone, shelf muds, dan pelagic oozes yang dipengaruhi oleh faktor mechanical compaction dan dewatering ( Moore, C.H., 1997 ).

Gambar 8. Butiran yang mengalami mechanical compaction (Moore, C.H., 1997)Kompaksi yang kedua adalah chemical compaction (kompaksi secara kimiawi). Kompaksi ini terjadi pada kedalaman burian yaitu sekitar 200-1500 meter. Beberapa faktor yang mempengaruhi kompaksi secara kimiawi antara lain kedalaman burial/ tekanan tektonik, mineralogi karbonat, kehadiran material yang tak larut dalam air (insoluble) seperti mineral lempung, komposisi dari pori-pori air, kehadiran hidrokarbon yang bersifat cair, dan peningkatan tekanan pori-pori sedimen karbonat (Choquette and James, 1987; Feazel and Schatzinger, 1985; Moore,2001,p.305). Pada faktor mineralogi karbonat, pada umunya karbonat yang tersusun oleh unsur mineral metastabil seperti aragonit, lebih rentan terhadap proses kompaksi kimiawi jika dibandingkan dengan karbonat yang tersusun oleh mineral yang sudah stabil seperti dolomit atau kalsit. Hal ini disebabkan karena pada mineral metastabil kedudukan mineral dan rantai ikatan kimia nya agak mudah lepas sehingga dapat dengan mudah tekompaksi secara kimia. Pada faktor kehadiran insoluble maksudnya adalah kehadiran mineral yang bersifat tak larut dalam air ini juga cukup berperan dalam pembentukan batuan karbonat seperti lempung atau material insoluble lain yang berbutir halus, selain itu perlu diketahui juga kalau stylolites (memiliki bentuk bergelombang beragam, umumnya tegak lurus terhadap arah tegasan utama) tak akan muncul jika dalam karbonat tak mengandung mineral insoluble. Sementara itu utnuk faktor kehadiran hidrokarbon yang bersifat cair dan peningkatan tekanan pori pori sedimen karbonat, sebenarnya hanya akan memperlambat proses kompaksi kimiawi yang terjadi karena keduanya bersifat menahan efek dari proses kompaksi kimiawi itu sendiri. Nah, sekarang apa efek dari kompaksi secara kimiawi itu sendiri? Efek yang terlihat nyata adalah pressure solution (tekanan larutan) adalah kehadiran stylolith dan kelim larutan, yang tentunya efek tersebut disertai dengan hilangnya porositas dan berkurangnya jumlah volume pada batuan. Sekarang marilah kita mengupas lebih jauh mengenai stylolith. Stylolith adalah bentuk permukaan akibat kompresi pelarutan atau pressure solution yang memiliki bentuk seperti jahitan pada luka dan bergerigi dan umumnya dilapisi oleh mineral insoluble seperti lempung atau material organik lain di sekitarnya. Berikut adalah gambar dari kenampakan dari berbagai jenis pressure solution akibat kompaksi secara kimiawi.

Gambar 9. Fitur dari beberapa tipe Pressure solution (Sam Boggs Jr., 2009) Gambar 10. Contoh kenampakan Stylolith (Sam Boggs Jr., 2009)Begitulah tahapan tahapan terbentuknya batuan karbonat, cukup panjang dan sedikit berbeda dengan batuan sedimen lainnya. Namun disini yang perlu digaris bawahi adalah produk penting diagenesa batuan karbonat adalah terbentuknya formasi batuan dolomit (dolostone) yang merupakan hasil dari ubahan batugamping (limestone).5 | Page