Hades bab 1 Alexandra Adornetto
-
Upload
ufuk-fiction -
Category
Documents
-
view
225 -
download
2
description
Transcript of Hades bab 1 Alexandra Adornetto
H A D E S
Alexandra Adornetto
2
3
Ketika bel terakhir berbunyi di Bryce Hamilton,
Xavier dan aku mengumpulkan barang-barang kami
dan berjalan ke luar ke halaman selatan. Ramalan cuaca
memperkirakan sore yang cerah, tetapi sekarang matahari
bertempur sengit dan langit tetap berwarna kelabu yang
murung. Sesekali sinar lemah matahari menerobos dan
jari-jari cahaya menari-nari di tanah, menghangatkan
tengkukku.
“Kau nanti datang untuk makan malam?” tanyaku
kepada Xavier sambil mengaitkan lenganku ke lengannya.
“Gabriel ingin mencoba membuat burrito.”
Xavier menoleh dan tertawa.
“Apanya yang lucu!”
“Aku hanya berpikir,” katanya. “Kok bisa di semua
lukisan, malaikat digambarkan menjaga singgasana di Surga
1
Anak-AnakBaik-Baik Saja
4
atau mengalahkan iblis? Aku ingin tahu kenapa mereka tidak
pernah diperlihatkan sedang di dapur membuat burrito.”
“Karena kami punya reputasi yang harus dijaga,”
kataku sambil menyikutnya. “Jadi, kau datang?”
“Tidak bisa.” Xavier menghela napas. “Aku sudah
berjanji kepada adikku aku akan di rumah dan mengukir
labu.”
“Aduuh. Aku terus saja lupa soal Halloween.”
“Kau harus berusaha menjiwai semangatnya,” ujar
Xavier. “Semua orang di sini menganggap serius perayaan
itu.”
Aku tahu dia tidak melebih-lebihkan—lentera labu
dan nisan gipsum sudah menghias halaman depan setiap
rumah di kota ini untuk menghormati Halloween.
“Aku tahu,” kataku. “Tapi seluruh ide ini membuatku
ngeri. Kenapa orang mau berdandan menjadi hantu dan
zombi? Seolah-olah mimpi terburuk semua orang menjelma.”
“Beth.” Xavier berhenti berjalan dan memegang
bahuku. “Ini perayaan, santai saja!”
Dia benar. Aku harus berhenti bersikap begitu waspada.
Sekarang sudah enam bulan berlalu sejak pengalaman
mengerikan dengan Jake Thorn dan keadaan tidak mungkin
lebih baik lagi. Kedamaian telah kembali ke Venus Cove
dan aku semakin lengket dengan tempat ini dibanding yang
sudah-sudah. Tersisip di pesisir Georgia yang indah, kota
kecil yang sepi di Sherbrooke County ini telah menjadi
rumahku. Dengan balkon-balkonnya yang cantik dan bagian
depan toko-tokonya yang penuh hiasan, Main Street begitu
5
eloknya hingga bisa saja dijadikan gambar pada kartu pos.
Sebenarnya, semuanya dari gedung bioskop sampai gedung
pengadilan tua, memancarkan pesona dan keanggunan
daerah Selatan dari sebuah zaman yang lama terlupakan.
Selama setahun terakhir ini pengaruh keluargaku telah
menyebar dan mengubah Venus Cove menjadi kota teladan.
Jumlah jemaat gereja berlipat tiga, misi-misi amal mempunyai
tenaga sukarela yang lebih banyak daripada yang bisa mereka
terima, dan laporan insiden kejahatan begitu sedikit dan
jarang sampai-sampai sheriff kami terpaksa mencari hal-hal
lain untuk mengisi waktunya. Sekarang ini perselisihan yang
terjadi hanya sepele, misalnya pengemudi yang meributkan
siapa yang lebih dulu melihat tempat parkir. Tetapi, memang
begitulah sifat manusia. Itu tidak bisa diubah dan bukan
tugas kami untuk mencoba mengubahnya.
Tetapi, perkembangan yang terbaik dari semuanya
adalah bahwa Xavier dan aku sekarang semakin dekat.
Aku menoleh mengamatinya. Dia tetap amat tampan
seperti sebelum-sebelumnya. Dasinya menggantung longgar
dan jaketnya disampirkan asal-asalan di satu pundak.
Aku bisa merasakan tubuhnya yang kencang sekali-sekali
bersentuhan dengan tubuhku saat kami berjalan bersisian,
langkah kaki kami jatuh bersamaan. Kadang mudah sekali
membayangkan kami sebagai satu kesatuan.
Sejak pertemuan yang brutal dengan Jake tahun lalu,
Xavier semakin rajin pergi ke sasana dan semakin giat
menekuni olahraga. Aku tahu itu dia lakukan agar dia
lebih siap melindungiku, tetapi tidak berarti aku tidak
6
bisa menikmati hasil sampingannya. Sekarang garis-garis
tubuhnya lebih nyata di dada dan perutnya yang rata. Dia
masih ramping dengan proporsi sempurna, tetapi aku bisa
melihat otot-otot di lengannya menonjol di bawah katun tipis
kemejanya. Aku mendongak menatap raut wajahnya yang
anggun: hidungnya yang lurus, tulang pipi tinggi, dan bibir
penuh. Dalam cahaya matahari, rambutnya yang berwarna
walnut tampak berseling emas, dan matanya yang berbentuk
buah badam seperti cairan biru jernih. Di jari manisnya
sekarang dia memakai hadiah yang kuberikan kepadanya
sesudah dia membantuku pulih dari serangan Jake. Hadiah
itu berupa cincin perak tebal dengan ukiran tiga lambang
iman: bintang sudut lima untuk mewakili bintang Bethlehem,
kuntum trefoil berdaun tiga untuk menghormati ketiga
pribadi dalam Trinitas; serta inisial IHS, singkatan dari
Ihesus, cara nama Kristus dieja pada Zaman Pertengahan.
Aku sudah meminta dibuatkan sebuah lagi yang persis sama
untukku dan aku senang membayangkan kedua cincin itu
adalah versi khusus kami untuk cincin janji. Orang lain
yang sudah menyaksikan sebanyak Xavier mungkin akan
kehilangan semua imannya pada Bapa Kami, tetapi Xavier
memiliki kekuatan pikiran dan jiwa. Dia sudah berkomitmen
kepada kami dan aku tahu tidak ada apa pun yang bisa
membujuknya untuk melanggar komitmen itu.
Jalan pikiranku terputus ketika kami berpapasan
dengan sekelompok teman Xavier dari tim polo air di
pelataran parkir. Aku kenal beberapa orang dari mereka
dan menangkap ujung akhir percakapan mereka.
7
“Aku sulit percaya Wilson tidur dengan Kay Bentley,”
seorang cowok bernama Lawson tertawa terkekeh. Matanya
masih muram akibat entah kesialan apa yang terjadi selama
akhir minggu. Dari pengalaman aku tahu masalahnya
mungkin menyangkut bir dan perusakan properti secara
sengaja.
“Matilah dia,” gumam seseorang. “Semua orang tahu
perjalanan cewek itu lebih panjang daripada perjalanan
mobil Chrysler tua ayahku.”
“Aku tidak peduli selama bukan di tempat tidurku.
Bisa-bisa aku harus membakar semuanya.”
“Jangan khawatir, pasti mereka melakukannya di luar
di halaman belakang.”
“Waktu itu aku mabuk sekali, aku tidak ingat apa-apa,”
kata Lawson mengumumkan.
“Aku ingat kau mencoba merayuku,” sahut seorang
cowok bernama Wesley dengan aksen genit. Dia memasang
wajah menyeringai.
“Terserahlah... waktu itu gelap. Kelakuanmu bisa saja
lebih buruk.”
“Tidak lucu,” geram Wesley. “Ada yang memasang
fotoku di Facebook. Aku harus bilang apa kepada Jess?”
“Bilang kepada Jess kau tidak sanggup menolak
tubuh Lawson yang berotot.” Xavier menepuk temannya
di punggung sambil melenggang lewat. “Dia benar-benar
kekar, hasil dari berjam-jam bermain PlayStation.”
Aku tertawa sementara Xavier membuka pintu mobil
Chevy Bel Air konvertibelnya yang berwarna biru langit.
8
Aku naik, meregang badan, dan menghirup bau jok kulit
yang akrab itu. Sekarang aku mencintai mobil ini hampir
seperti Xavier. Chevy ini sudah bersama kami sejak awal
sekali, sejak kencan pertama kami di Sweethearts Café
hingga bentrokan dengan Jake Thorn di pemakaman.
Walaupun tidak akan pernah kuakui, sekarang aku merasa
Chevy ini memiliki kepribadiannya sendiri. Xavier memutar
kunci di starter dan mobil meraung hidup. Keduanya seperti
bergerak serasi—seolah sudah saling mengerti.
“Jadi kau sudah punya kostum?”
“Untuk apa?” tanyaku bingung.
Xavier menggeleng-geleng. “Untuk Halloween. Cobalah
mengikuti perkembangan!”
“Belum,” aku mengaku. “Masih kupikirkan. Kau
sendiri?”
“Menurutmu bagaimana kalau Batman?” Xavier
bertanya sambil mengedipkan mata. “Aku selalu ingin
jadi superhero.”
“Kau hanya ingin berpura-pura mengemudikan
Batmobile.”
Xavier menyunggingkan senyum bersalah. “Sial! Kau
terlalu mengenalku.”
Ketika kami tiba di Byron Street nomor 15, Xavier
mencondongkan badan ke samping dan menempelkan
bibirnya pada bibirku. Kecupannya lembut dan manis.
Aku merasa dunia di luar meluruh sementara aku melebur
ke dalam dirinya. Kulitnya halus di bawah jemariku dan
aroma tubuhnya, yang segar dan bersih seperti udara
9
laut, menyelimutiku. Aroma itu berbaur dengan sesuatu
yang lebih kuat—seperti vanila dan cendana disatukan.
Aku menyimpan salah satu kaus Xavier, yang kusemprot
dengan kolonyenya banyak-banyak, di bawah bantalku agar
setiap malam aku bisa membayangkan dia ada bersamaku.
Lucu memang bagaimana kelakuan yang paling konyol
bisa terasa sangat wajar kalau kita sedang jatuh cinta.
Aku tahu ada orang-orang yang memutar bola mata
bila melihat Xavier dan aku, tetapi kalaupun itu mereka
lakukan, kami terlalu asyik dengan kehadiran satu sama
lain untuk memperhatikan.
Ketika mobil Xavier mulai menjauh dari trotoar, aku
tersentak kembali ke dunia nyata, seperti orang yang terjaga
dari tidur nyenyak.
“Aku akan menjemputmu besok pagi,” serunya dengan
senyum menawan. “Jam yang biasa.”
Aku berdiri memperhatikan di halaman depan rumahku
sampai Chevy itu akhirnya membelok di ujung jalan.
Byron masih menjadi tempat singgahku dan aku senang
sekali kembali ke sana. Segalanya akrab menenangkan, dari
undakan yang berderit di teras depan hingga kamar-kamar
yang luas dan sejuk di dalam. Tempat ini terasa seperti sebuah
kepompong yang aman, jauh dari gejolak dunia. Benar
jika dikatakan bahwa walaupun aku mencintai kehidupan
manusia, kehidupan itu kadang membuatku takut. Bumi
menghadapi banyak masalah—masalah yang hampir terlalu
besar dan rumit untuk dipahami sepenuhnya. Memikirkan
masalah-masalah itu membuat kepalaku berputar. Juga
10
membuatku merasa tidak berguna. Tetapi, Ivy dan Gabriel
sudah menyuruhku berhenti membuang-buang energiku dan
memusatkan perhatian pada misi kami. Sudah ada rencana
bahwa kami harus mendatangi kota-kota lain di sekitar
Venus Cove untuk mengusir kekuatan-kekuatan hitam yang
menetap di sana. Kami tidak menyangka mereka akan
menemukan kami sebelum kami sempat menemukan mereka.
Makan malam sudah dimasak saat aku tiba di rumah.
Kedua kakakku di luar di serambi panggung. Mereka asyik
dengan kegiatan masing-masing—Ivy tekun membaca buku
dan Gabriel serius berkonsentrasi, sedang menggubah lagu
dengan gitarnya. Jemarinya yang piawai menekan kord-kord
dengan lembut dan nada-nada itu seperti menjawab
perintah heningnya. Aku bergabung dengan mereka dan
berjongkok untuk menepuk anjingku, Phantom, yang sedang
lelap dengan kepala tertumpu di cakarnya yang besar dan
halus. Dia bergerak sedikit saat kusentuh, badannya yang
keperakan selicin biasanya. Dia menatapku dengan mata
sedihnya yang seperti sinar bulan, dan aku mengkhayalkan
ekspresinya ini berkata, Ke mana saja kau seharian?
Ivy berbaring semidatar di ranjang gantung, rambutnya
yang keemasan tergerai sampai ke pinggang. Rambut itu
tampak gemerlap dalam cahaya matahari terbenam. Kakak
perempuanku ini tidak terlalu tahu cara bersantai di ranjang
gantung. Dia tampak terlalu kaku dan mengingatkanku akan
makhluk mitologi yang entah bagaimana mendapati dirinya
begitu saja diempaskan ke sebuah dunia yang tidak masuk
akal baginya. Ivy memakai gaun muslin warna biru pastel dan
11
bahkan memasang payung berenda, untuk melindunginya
dari sinar matahari yang mulai redup. Tak diragukan lagi
dia menemukan payung itu di toko barang-barang tua dan
tidak mampu menahan diri untuk membeli.
“Dari mana kau dapat itu?” Aku tertawa. “Kukira
payung seperti itu sudah lama tidak mode lagi.”
“Yah, menurutku cantik,” kata Ivy sambil meletakkan
novel yang sedang dia baca. Aku mengintip sampulnya.
“Jane Eyre?” tanyaku ragu. “Kau tahu itu kisah cinta,
‘kan?”
“Aku tahu,” kata kakakku tersinggung.
“Kau mulai berubah menjadi aku!” godaku.
“Aku sangat ragu aku bisa seterlena dan sekonyol
kau,” jawab Ivy dengan nada apa adanya tetapi matanya
bercanda.
Gabriel berhenti memainkan gitarnya untuk menoleh
ke arah kami.
“Kurasa tidak ada yang bisa mengalahkan Bethany
dalam urusan itu,” kata Gabriel sambil tersenyum. Dia
meletakkan gitarnya dengan hati-hati lalu beranjak untuk
bersandar pada langkan, memandangi laut. Seperti biasa
Gabe berdiri sangat tegak, rambutnya yang pirang putih
diikat ke belakang membentuk ekor kuda. Matanya
yang kelabu baja serta raut wajahnya yang seperti diukir
membuatnya tampak seperti dirinya yang ksatria langit—
tetapi dia berpakaian seperti manusia dalam celana jins belel
dan kemeja longgar. Wajahnya terbuka dan ramah. Aku
senang melihat bahwa Gabriel lebih santai akhir-akhir ini.
12
Aku merasa seolah kedua kakakku tidak begitu kritis lagi
kepadaku, dan lebih menerima pilihan-pilihan yang kuambil.
“Kok bisa kau selalu sampai di rumah sebelum aku?”
keluhku. “Padahal aku naik mobil dan kau berjalan kaki.”
“Aku punya jalanku sendiri,” jawab abangku dengan
senyum berahasia. “Lagi pula, aku tidak perlu menepi
setiap dua menit untuk menunjukkan kasih sayangku.”
“Kami tidak menepi untuk menunjukkan kasih sayang!”
protesku.
Gabriel mengangkat satu alis. “Jadi bukan mobil Xavier
yang diparkir dua blok dari sekolah?”
“Mungkin benar.” Aku mengibaskan kepalaku dengan
gaya tak peduli, aku benci Gabe selalu benar. “Tapi setiap
dua menit itu agak berlebihan!”
Wajah Ivy yang berbentuk hati berseri ketika tawanya
pecah. “Oh, Bethany, tenanglah. Kami sekarang sudah
terbiasa dengan PDA.”
“Dari mana kau tahu istilah itu?” tanyaku penasaran.
Aku belum pernah mendengar Ivy memakai singkatan-
singkatan gaul. Bahasanya yang formal biasanya terdengar
sangat salah tempat di dunia modern ini.
“Aku ‘kan menghabiskan waktu dengan orang muda,
tahu tidak,” kata Ivy. “Aku berusaha gaya.”
Gabriel dan aku terbahak-bahak.
“Kalau begitu, pertama-tama, jangan mengatakan
gaya,” kataku memberi nasihat.
13
Ivy membungkuk untuk mengacak-acak rambutku
penuh sayang dan mengganti topik. “Kuharap kau tidak
punya rencana untuk akhir minggu ini.”
“Xavier boleh ikut?” tanyaku penuh semangat bahkan
sebelum Ivy sempat menjelaskan apa yang ada dalam
pikirannya dan Gabe. Xavier sudah lama menjadi bagian
tetap dalam hidupku. Bahkan di saat kami terpisah,
sepertinya tidak ada kegiatan atau pengalih apa pun yang
bisa mencegah pikiranku agar tidak kembali mengeluyur
kepadanya.
Gabriel jelas-jelas memutar bola mata. “Kalau memang
harus.”
“Tentu saja harus,” kataku sambil tersenyum lebar.
“Nah, apa rencananya?”
“Ada sebuah kota kecil bernama Black Ridge sekitar
30 kilometer dari sini,” jelas abangku. “Kami diberi tahu
mereka sedang mengalami semacam… gangguan.”
“Maksudmu gangguan iblis?”
“Well, tiga gadis hilang dalam sebulan terakhir dan
sebuah jembatan yang benar-benar kuat runtuh menimpa
lalu lintas yang lewat.”
Aku bergidik. “Kedengarannya seperti jenis masalah
kesukaan kita. Kapan kita berangkat?”
“Sabtu,” jawab Ivy. “Jadi, lebih baik kau beristirahat.”
*
14
Keesokan harinya Molly dan aku duduk bersama
teman-teman kami di pekarangan barat, yang
sekarang menjadi tempat kumpul baru kesukaan kami.
Molly sudah berubah sejak kehilangan sahabatnya tahun
sebelumnya. Waktu itu, kematian Taylah di tangan Jake
Thorn menjadi peringatan bagi keluargaku. Sebelumnya
kami tidak tahu sampai sejauh mana kekuatan Jake sampai
hari dia menggorok leher Taylah sebagai pesan kepada kami.
Sejak itu Molly menjauh dari lingkungan teman-teman
lamanya dan karena merasa harus setia, aku mengikutinya.
Aku tidak berkeberatan dengan peralihan ini. Aku tahu
Bryce Hamilton pasti sekarang penuh kenangan pedih bagi
Molly, dan aku ingin mendukungnya dengan segala cara
yang aku bisa. Lagi pula, kelompok baru kami kurang
lebih sama seperti yang lama. Mereka cewek-cewek yang
2
Terlalu Bergantung