Hades bab 1 Alexandra Adornetto

14
H A D E S Alexandra Adornetto

description

Hades bab 1 Alexandra Adornetto

Transcript of Hades bab 1 Alexandra Adornetto

Page 1: Hades bab 1 Alexandra Adornetto

H A D E S

Alexandra Adornetto

Page 2: Hades bab 1 Alexandra Adornetto

2

Page 3: Hades bab 1 Alexandra Adornetto

3

Ketika bel terakhir berbunyi di Bryce Hamilton,

Xavier dan aku mengumpulkan barang-barang kami

dan berjalan ke luar ke halaman selatan. Ramalan cuaca

memperkirakan sore yang cerah, tetapi sekarang matahari

bertempur sengit dan langit tetap berwarna kelabu yang

murung. Sesekali sinar lemah matahari menerobos dan

jari-jari cahaya menari-nari di tanah, menghangatkan

tengkukku.

“Kau nanti datang untuk makan malam?” tanyaku

kepada Xavier sambil mengaitkan lenganku ke lengannya.

“Gabriel ingin mencoba membuat burrito.”

Xavier menoleh dan tertawa.

“Apanya yang lucu!”

“Aku hanya berpikir,” katanya. “Kok bisa di semua

lukisan, malaikat digambarkan menjaga singgasana di Surga

1

Anak-AnakBaik-Baik Saja

Page 4: Hades bab 1 Alexandra Adornetto

4

atau mengalahkan iblis? Aku ingin tahu kenapa mereka tidak

pernah diperlihatkan sedang di dapur membuat burrito.”

“Karena kami punya reputasi yang harus dijaga,”

kataku sambil menyikutnya. “Jadi, kau datang?”

“Tidak bisa.” Xavier menghela napas. “Aku sudah

berjanji kepada adikku aku akan di rumah dan mengukir

labu.”

“Aduuh. Aku terus saja lupa soal Halloween.”

“Kau harus berusaha menjiwai semangatnya,” ujar

Xavier. “Semua orang di sini menganggap serius perayaan

itu.”

Aku tahu dia tidak melebih-lebihkan—lentera labu

dan nisan gipsum sudah menghias halaman depan setiap

rumah di kota ini untuk menghormati Halloween.

“Aku tahu,” kataku. “Tapi seluruh ide ini membuatku

ngeri. Kenapa orang mau berdandan menjadi hantu dan

zombi? Seolah-olah mimpi terburuk semua orang menjelma.”

“Beth.” Xavier berhenti berjalan dan memegang

bahuku. “Ini perayaan, santai saja!”

Dia benar. Aku harus berhenti bersikap begitu waspada.

Sekarang sudah enam bulan berlalu sejak pengalaman

mengerikan dengan Jake Thorn dan keadaan tidak mungkin

lebih baik lagi. Kedamaian telah kembali ke Venus Cove

dan aku semakin lengket dengan tempat ini dibanding yang

sudah-sudah. Tersisip di pesisir Georgia yang indah, kota

kecil yang sepi di Sherbrooke County ini telah menjadi

rumahku. Dengan balkon-balkonnya yang cantik dan bagian

depan toko-tokonya yang penuh hiasan, Main Street begitu

Page 5: Hades bab 1 Alexandra Adornetto

5

eloknya hingga bisa saja dijadikan gambar pada kartu pos.

Sebenarnya, semuanya dari gedung bioskop sampai gedung

pengadilan tua, memancarkan pesona dan keanggunan

daerah Selatan dari sebuah zaman yang lama terlupakan.

Selama setahun terakhir ini pengaruh keluargaku telah

menyebar dan mengubah Venus Cove menjadi kota teladan.

Jumlah jemaat gereja berlipat tiga, misi-misi amal mempunyai

tenaga sukarela yang lebih banyak daripada yang bisa mereka

terima, dan laporan insiden kejahatan begitu sedikit dan

jarang sampai-sampai sheriff kami terpaksa mencari hal-hal

lain untuk mengisi waktunya. Sekarang ini perselisihan yang

terjadi hanya sepele, misalnya pengemudi yang meributkan

siapa yang lebih dulu melihat tempat parkir. Tetapi, memang

begitulah sifat manusia. Itu tidak bisa diubah dan bukan

tugas kami untuk mencoba mengubahnya.

Tetapi, perkembangan yang terbaik dari semuanya

adalah bahwa Xavier dan aku sekarang semakin dekat.

Aku menoleh mengamatinya. Dia tetap amat tampan

seperti sebelum-sebelumnya. Dasinya menggantung longgar

dan jaketnya disampirkan asal-asalan di satu pundak.

Aku bisa merasakan tubuhnya yang kencang sekali-sekali

bersentuhan dengan tubuhku saat kami berjalan bersisian,

langkah kaki kami jatuh bersamaan. Kadang mudah sekali

membayangkan kami sebagai satu kesatuan.

Sejak pertemuan yang brutal dengan Jake tahun lalu,

Xavier semakin rajin pergi ke sasana dan semakin giat

menekuni olahraga. Aku tahu itu dia lakukan agar dia

lebih siap melindungiku, tetapi tidak berarti aku tidak

Page 6: Hades bab 1 Alexandra Adornetto

6

bisa menikmati hasil sampingannya. Sekarang garis-garis

tubuhnya lebih nyata di dada dan perutnya yang rata. Dia

masih ramping dengan proporsi sempurna, tetapi aku bisa

melihat otot-otot di lengannya menonjol di bawah katun tipis

kemejanya. Aku mendongak menatap raut wajahnya yang

anggun: hidungnya yang lurus, tulang pipi tinggi, dan bibir

penuh. Dalam cahaya matahari, rambutnya yang berwarna

walnut tampak berseling emas, dan matanya yang berbentuk

buah badam seperti cairan biru jernih. Di jari manisnya

sekarang dia memakai hadiah yang kuberikan kepadanya

sesudah dia membantuku pulih dari serangan Jake. Hadiah

itu berupa cincin perak tebal dengan ukiran tiga lambang

iman: bintang sudut lima untuk mewakili bintang Bethlehem,

kuntum trefoil berdaun tiga untuk menghormati ketiga

pribadi dalam Trinitas; serta inisial IHS, singkatan dari

Ihesus, cara nama Kristus dieja pada Zaman Pertengahan.

Aku sudah meminta dibuatkan sebuah lagi yang persis sama

untukku dan aku senang membayangkan kedua cincin itu

adalah versi khusus kami untuk cincin janji. Orang lain

yang sudah menyaksikan sebanyak Xavier mungkin akan

kehilangan semua imannya pada Bapa Kami, tetapi Xavier

memiliki kekuatan pikiran dan jiwa. Dia sudah berkomitmen

kepada kami dan aku tahu tidak ada apa pun yang bisa

membujuknya untuk melanggar komitmen itu.

Jalan pikiranku terputus ketika kami berpapasan

dengan sekelompok teman Xavier dari tim polo air di

pelataran parkir. Aku kenal beberapa orang dari mereka

dan menangkap ujung akhir percakapan mereka.

Page 7: Hades bab 1 Alexandra Adornetto

7

“Aku sulit percaya Wilson tidur dengan Kay Bentley,”

seorang cowok bernama Lawson tertawa terkekeh. Matanya

masih muram akibat entah kesialan apa yang terjadi selama

akhir minggu. Dari pengalaman aku tahu masalahnya

mungkin menyangkut bir dan perusakan properti secara

sengaja.

“Matilah dia,” gumam seseorang. “Semua orang tahu

perjalanan cewek itu lebih panjang daripada perjalanan

mobil Chrysler tua ayahku.”

“Aku tidak peduli selama bukan di tempat tidurku.

Bisa-bisa aku harus membakar semuanya.”

“Jangan khawatir, pasti mereka melakukannya di luar

di halaman belakang.”

“Waktu itu aku mabuk sekali, aku tidak ingat apa-apa,”

kata Lawson mengumumkan.

“Aku ingat kau mencoba merayuku,” sahut seorang

cowok bernama Wesley dengan aksen genit. Dia memasang

wajah menyeringai.

“Terserahlah... waktu itu gelap. Kelakuanmu bisa saja

lebih buruk.”

“Tidak lucu,” geram Wesley. “Ada yang memasang

fotoku di Facebook. Aku harus bilang apa kepada Jess?”

“Bilang kepada Jess kau tidak sanggup menolak

tubuh Lawson yang berotot.” Xavier menepuk temannya

di punggung sambil melenggang lewat. “Dia benar-benar

kekar, hasil dari berjam-jam bermain PlayStation.”

Aku tertawa sementara Xavier membuka pintu mobil

Chevy Bel Air konvertibelnya yang berwarna biru langit.

Page 8: Hades bab 1 Alexandra Adornetto

8

Aku naik, meregang badan, dan menghirup bau jok kulit

yang akrab itu. Sekarang aku mencintai mobil ini hampir

seperti Xavier. Chevy ini sudah bersama kami sejak awal

sekali, sejak kencan pertama kami di Sweethearts Café

hingga bentrokan dengan Jake Thorn di pemakaman.

Walaupun tidak akan pernah kuakui, sekarang aku merasa

Chevy ini memiliki kepribadiannya sendiri. Xavier memutar

kunci di starter dan mobil meraung hidup. Keduanya seperti

bergerak serasi—seolah sudah saling mengerti.

“Jadi kau sudah punya kostum?”

“Untuk apa?” tanyaku bingung.

Xavier menggeleng-geleng. “Untuk Halloween. Cobalah

mengikuti perkembangan!”

“Belum,” aku mengaku. “Masih kupikirkan. Kau

sendiri?”

“Menurutmu bagaimana kalau Batman?” Xavier

bertanya sambil mengedipkan mata. “Aku selalu ingin

jadi superhero.”

“Kau hanya ingin berpura-pura mengemudikan

Batmobile.”

Xavier menyunggingkan senyum bersalah. “Sial! Kau

terlalu mengenalku.”

Ketika kami tiba di Byron Street nomor 15, Xavier

mencondongkan badan ke samping dan menempelkan

bibirnya pada bibirku. Kecupannya lembut dan manis.

Aku merasa dunia di luar meluruh sementara aku melebur

ke dalam dirinya. Kulitnya halus di bawah jemariku dan

aroma tubuhnya, yang segar dan bersih seperti udara

Page 9: Hades bab 1 Alexandra Adornetto

9

laut, menyelimutiku. Aroma itu berbaur dengan sesuatu

yang lebih kuat—seperti vanila dan cendana disatukan.

Aku menyimpan salah satu kaus Xavier, yang kusemprot

dengan kolonyenya banyak-banyak, di bawah bantalku agar

setiap malam aku bisa membayangkan dia ada bersamaku.

Lucu memang bagaimana kelakuan yang paling konyol

bisa terasa sangat wajar kalau kita sedang jatuh cinta.

Aku tahu ada orang-orang yang memutar bola mata

bila melihat Xavier dan aku, tetapi kalaupun itu mereka

lakukan, kami terlalu asyik dengan kehadiran satu sama

lain untuk memperhatikan.

Ketika mobil Xavier mulai menjauh dari trotoar, aku

tersentak kembali ke dunia nyata, seperti orang yang terjaga

dari tidur nyenyak.

“Aku akan menjemputmu besok pagi,” serunya dengan

senyum menawan. “Jam yang biasa.”

Aku berdiri memperhatikan di halaman depan rumahku

sampai Chevy itu akhirnya membelok di ujung jalan.

Byron masih menjadi tempat singgahku dan aku senang

sekali kembali ke sana. Segalanya akrab menenangkan, dari

undakan yang berderit di teras depan hingga kamar-kamar

yang luas dan sejuk di dalam. Tempat ini terasa seperti sebuah

kepompong yang aman, jauh dari gejolak dunia. Benar

jika dikatakan bahwa walaupun aku mencintai kehidupan

manusia, kehidupan itu kadang membuatku takut. Bumi

menghadapi banyak masalah—masalah yang hampir terlalu

besar dan rumit untuk dipahami sepenuhnya. Memikirkan

masalah-masalah itu membuat kepalaku berputar. Juga

Page 10: Hades bab 1 Alexandra Adornetto

10

membuatku merasa tidak berguna. Tetapi, Ivy dan Gabriel

sudah menyuruhku berhenti membuang-buang energiku dan

memusatkan perhatian pada misi kami. Sudah ada rencana

bahwa kami harus mendatangi kota-kota lain di sekitar

Venus Cove untuk mengusir kekuatan-kekuatan hitam yang

menetap di sana. Kami tidak menyangka mereka akan

menemukan kami sebelum kami sempat menemukan mereka.

Makan malam sudah dimasak saat aku tiba di rumah.

Kedua kakakku di luar di serambi panggung. Mereka asyik

dengan kegiatan masing-masing—Ivy tekun membaca buku

dan Gabriel serius berkonsentrasi, sedang menggubah lagu

dengan gitarnya. Jemarinya yang piawai menekan kord-kord

dengan lembut dan nada-nada itu seperti menjawab

perintah heningnya. Aku bergabung dengan mereka dan

berjongkok untuk menepuk anjingku, Phantom, yang sedang

lelap dengan kepala tertumpu di cakarnya yang besar dan

halus. Dia bergerak sedikit saat kusentuh, badannya yang

keperakan selicin biasanya. Dia menatapku dengan mata

sedihnya yang seperti sinar bulan, dan aku mengkhayalkan

ekspresinya ini berkata, Ke mana saja kau seharian?

Ivy berbaring semidatar di ranjang gantung, rambutnya

yang keemasan tergerai sampai ke pinggang. Rambut itu

tampak gemerlap dalam cahaya matahari terbenam. Kakak

perempuanku ini tidak terlalu tahu cara bersantai di ranjang

gantung. Dia tampak terlalu kaku dan mengingatkanku akan

makhluk mitologi yang entah bagaimana mendapati dirinya

begitu saja diempaskan ke sebuah dunia yang tidak masuk

akal baginya. Ivy memakai gaun muslin warna biru pastel dan

Page 11: Hades bab 1 Alexandra Adornetto

11

bahkan memasang payung berenda, untuk melindunginya

dari sinar matahari yang mulai redup. Tak diragukan lagi

dia menemukan payung itu di toko barang-barang tua dan

tidak mampu menahan diri untuk membeli.

“Dari mana kau dapat itu?” Aku tertawa. “Kukira

payung seperti itu sudah lama tidak mode lagi.”

“Yah, menurutku cantik,” kata Ivy sambil meletakkan

novel yang sedang dia baca. Aku mengintip sampulnya.

“Jane Eyre?” tanyaku ragu. “Kau tahu itu kisah cinta,

‘kan?”

“Aku tahu,” kata kakakku tersinggung.

“Kau mulai berubah menjadi aku!” godaku.

“Aku sangat ragu aku bisa seterlena dan sekonyol

kau,” jawab Ivy dengan nada apa adanya tetapi matanya

bercanda.

Gabriel berhenti memainkan gitarnya untuk menoleh

ke arah kami.

“Kurasa tidak ada yang bisa mengalahkan Bethany

dalam urusan itu,” kata Gabriel sambil tersenyum. Dia

meletakkan gitarnya dengan hati-hati lalu beranjak untuk

bersandar pada langkan, memandangi laut. Seperti biasa

Gabe berdiri sangat tegak, rambutnya yang pirang putih

diikat ke belakang membentuk ekor kuda. Matanya

yang kelabu baja serta raut wajahnya yang seperti diukir

membuatnya tampak seperti dirinya yang ksatria langit—

tetapi dia berpakaian seperti manusia dalam celana jins belel

dan kemeja longgar. Wajahnya terbuka dan ramah. Aku

senang melihat bahwa Gabriel lebih santai akhir-akhir ini.

Page 12: Hades bab 1 Alexandra Adornetto

12

Aku merasa seolah kedua kakakku tidak begitu kritis lagi

kepadaku, dan lebih menerima pilihan-pilihan yang kuambil.

“Kok bisa kau selalu sampai di rumah sebelum aku?”

keluhku. “Padahal aku naik mobil dan kau berjalan kaki.”

“Aku punya jalanku sendiri,” jawab abangku dengan

senyum berahasia. “Lagi pula, aku tidak perlu menepi

setiap dua menit untuk menunjukkan kasih sayangku.”

“Kami tidak menepi untuk menunjukkan kasih sayang!”

protesku.

Gabriel mengangkat satu alis. “Jadi bukan mobil Xavier

yang diparkir dua blok dari sekolah?”

“Mungkin benar.” Aku mengibaskan kepalaku dengan

gaya tak peduli, aku benci Gabe selalu benar. “Tapi setiap

dua menit itu agak berlebihan!”

Wajah Ivy yang berbentuk hati berseri ketika tawanya

pecah. “Oh, Bethany, tenanglah. Kami sekarang sudah

terbiasa dengan PDA.”

“Dari mana kau tahu istilah itu?” tanyaku penasaran.

Aku belum pernah mendengar Ivy memakai singkatan-

singkatan gaul. Bahasanya yang formal biasanya terdengar

sangat salah tempat di dunia modern ini.

“Aku ‘kan menghabiskan waktu dengan orang muda,

tahu tidak,” kata Ivy. “Aku berusaha gaya.”

Gabriel dan aku terbahak-bahak.

“Kalau begitu, pertama-tama, jangan mengatakan

gaya,” kataku memberi nasihat.

Page 13: Hades bab 1 Alexandra Adornetto

13

Ivy membungkuk untuk mengacak-acak rambutku

penuh sayang dan mengganti topik. “Kuharap kau tidak

punya rencana untuk akhir minggu ini.”

“Xavier boleh ikut?” tanyaku penuh semangat bahkan

sebelum Ivy sempat menjelaskan apa yang ada dalam

pikirannya dan Gabe. Xavier sudah lama menjadi bagian

tetap dalam hidupku. Bahkan di saat kami terpisah,

sepertinya tidak ada kegiatan atau pengalih apa pun yang

bisa mencegah pikiranku agar tidak kembali mengeluyur

kepadanya.

Gabriel jelas-jelas memutar bola mata. “Kalau memang

harus.”

“Tentu saja harus,” kataku sambil tersenyum lebar.

“Nah, apa rencananya?”

“Ada sebuah kota kecil bernama Black Ridge sekitar

30 kilometer dari sini,” jelas abangku. “Kami diberi tahu

mereka sedang mengalami semacam… gangguan.”

“Maksudmu gangguan iblis?”

“Well, tiga gadis hilang dalam sebulan terakhir dan

sebuah jembatan yang benar-benar kuat runtuh menimpa

lalu lintas yang lewat.”

Aku bergidik. “Kedengarannya seperti jenis masalah

kesukaan kita. Kapan kita berangkat?”

“Sabtu,” jawab Ivy. “Jadi, lebih baik kau beristirahat.”

*

Page 14: Hades bab 1 Alexandra Adornetto

14

Keesokan harinya Molly dan aku duduk bersama

teman-teman kami di pekarangan barat, yang

sekarang menjadi tempat kumpul baru kesukaan kami.

Molly sudah berubah sejak kehilangan sahabatnya tahun

sebelumnya. Waktu itu, kematian Taylah di tangan Jake

Thorn menjadi peringatan bagi keluargaku. Sebelumnya

kami tidak tahu sampai sejauh mana kekuatan Jake sampai

hari dia menggorok leher Taylah sebagai pesan kepada kami.

Sejak itu Molly menjauh dari lingkungan teman-teman

lamanya dan karena merasa harus setia, aku mengikutinya.

Aku tidak berkeberatan dengan peralihan ini. Aku tahu

Bryce Hamilton pasti sekarang penuh kenangan pedih bagi

Molly, dan aku ingin mendukungnya dengan segala cara

yang aku bisa. Lagi pula, kelompok baru kami kurang

lebih sama seperti yang lama. Mereka cewek-cewek yang

2

Terlalu Bergantung