Hukum Koperasi Simpan Pinjam di Tinjau Dalam Syariat Islam (TULISAN 2)
-
Upload
agung-saputra -
Category
Documents
-
view
325 -
download
1
description
Transcript of Hukum Koperasi Simpan Pinjam di Tinjau Dalam Syariat Islam (TULISAN 2)
NAMA : AGUNG DWI SAPUTRANPM : 10212348 KELAS : 2EA22
TUGAS TULISAN 2
Hukum Koperasi Simpan Pinjam di Tinjau Dalam Syariat Islam
Koperasi simpan pinjam adalah koperasi yang khusus bertujuan melayani atau mewajibkan
anggotanya untuk menabung, di samping dapat memberikan pinjaman kepada anggotanya.
Sebagian kalangan mendefinisikan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) adalah sebuah koperasi
yang modalnya diperoleh dari simpanan pokok dan simpanan wajib para anggota koperasi.
Kemudian modal yang telah terkumpul tersebut dipinjamkan kepada para anggota koperasi
dan terkadang juga dipinjamkan kepada orang lain yang bukan anggota koperasi yang
memerlukan pinjaman uang, baik untuk keperluan konsumtif maupun modal usaha. Kepada
setiap peminjam, koperasi simpan pinjam menarik uang administrasi setiap bulan sejumlah
sekian prosen dari uang pinjaman.
Pada akhir tahun, keuntungan yang diperoleh koperasi simpan pinjam yang berasal dari uang
administrasi tersebut yang disebut Sisa Hasil Usaha (SHU) dibagikan kepada anggota
koperasi. Adapun jumlah keuntungan yang diterima oleh masing-masing anggota koperasi
diperhitungkan menurut intensitas anggota yang meminjam uang dari Koperasi. Artinya,
anggota yang paling sering meminjamkan uang dari Koperasi tersebut akan mendapat bagian
paling banyak dari SHU, dan tidak diperhitungkan dari jumlah simpanannya, karena pada
umumnya jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib dari masing-masing anggota adalah
sama.(www.kosipa.com)
Hukum KOperasi Simpan Pinjam
Dalam menyimpulkan hukum koperasi, tidak lepas dari praktik akad atau transaksi yang
dijalankan dalam badan usaha tersebut. Dengan demikian, jika model transaksi yang
dijalankan melanggar prinsip-prinsip muamalah islami, bisa dipastikan hukumnya haram.
Jika dilihat dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa koperasi simpan pinjam
hukumnya haram. Adapun alasannya sebagai berikut:
Pertama: Dari sisi nama, koperasi simpan pinjam didirikan dengan tujuan orang bisa
menyimpan dan meminjam uang di koperasi tersebut. Sehingga tidak tepat dan tidak boleh,
jika kemudian koperasi tersebut mengambil keuntungan dari aktifitas pinjam meminjam.
Kedua: Pinjam meminjam di dalam Islam merupakan akad tabarru’ yang bertujuan untuk
saling tolong menolong bukan sebagai sarana untuk mencari keuntungan.
Ketiga: Di dalam koperasi simpan pinjam terdapat unsur riba yang diharamkan dalam Islam,
karena koperasi ini menarik dari setiap peminjam uang administrasi setiap bulan sejumlah
sekian persen dari uang pinjaman.
Uang administrasi yang dibolehkan adalah uang yang memang dipakai untuk kepentingan
administrasi bukan untuk mencari keuntungan, sehingga besarnya harus disesuaikan dengan
biaya administrasi seperti surat-menyurat, arsip dan sarana-sarana lain yang dibutuhkan di
dalam pencatatan hutang.
Keempat: Uang administrasi tidak boleh ditentukan berdasarkan besarnya jumlah pinjaman,
apalagi ditarik setiap bulan. Ini sama dengan bunga dari pinjaman alias riba. Walaupun
diganti namanya dengan uang administrasi, tetapi pada hakekatnya adalah bunga dari
pinjaman.
Beberapa Pandangan Yang Salah
Pertama: Ada sebagian kalangan yang ingin menghindari praktek riba dengan cara menjual
formulir pinjaman yang harganya disesuaikan dengan jumlah uang yang akan dipinjam.
Umpamanya, untuk pinjaman uang sebesar Rp. 100.000 formulirnya berwarna putih dengan
harga Rp. 5.000 Untuk pinjaman uang sebesar Rp. 500.000 formulirnya berwarna merah
dengan harga Rp. 25.000 Untuk pinjaman sebesar Rp. 1.000.000 formulirnya berwarna
kuning dengan harga Rp 50.000.
Kalau ingin terhindar dari riba, maka harga formulirnya harus disamakan, dan harganya tidak
boleh disesuaikan dengan besar kecilnya jumlah uang pinjaman. Karena fungsi dari kertas
formulir sekedar untuk memberikan keterangan tentang data-data peminjam, jadi tidak ada
alasan untuk menaikan harganya dari harga selembar kertas.
Kedua: Sebagian orang mengatakan bahwa penjualan formulir dengan harga sesuai dengan
besar kecilnya pinjaman sama dengan penjualan prangko yang harganya disesuaikan dengan
jenis prangko, sehingga hukumnya halal.
Dalam hal ini tidak sama antara keduanya, karena dalam penjualan perangko, tidak ada unsur
pinjam meminjam, tetapi yang ada adalah akad jual beli barang, dan harga barang tersebut
disesuaikan dengan kwalitas dan manfaat barang. Jika kwalitas dan manfaatnya lebih banyak,
maka harganya lebih mahal, sebaliknya jika kwalitas dan manfaatnya lebih sedikit, maka
harganya lebih murah. Begitu juga dengan prangko, jika dipakai untuk mengirim surat yang
lebih cepat dan jarak tempuhnya lebih jauh, tentunya harga prangkonya lebih mahal,
sebaliknya jika surat yang dikirim tidak kilat dan jarak tempuhnya dekat, maka harganya
tentunya lebih murah. Seperti itu juga harga tiket bis, kereta, maupun pesawat. Dan semuanya
itu adalah boleh dan halal.
Adapun formulir yang harganya berbeda-beda berdasarkan jumlah pinjaman, pada
hakekatnya koperasi hanya ingin mencari untung mengambil manfaat lewat hutang, dan ini
diharamkan dalam Islam, sebagaimana sabda Rasulullah shallahu ‘alahi wassalam:
�ا ِر�َب َف�ُه�َو� �َف�َع�ًة َم�ْن َج�َّر� َق�َّر�ٍض� �ُّل� ُك
“Setiap hutang yang mengambil manfaat (komersil )adalah riba” (HR. Baihaqi)
Ketiga: Sebagian kalangan mengatakan bahwa koperasi simpan pinjam hukumnya boleh,
karena pada dasarnya dalam mu’amalah adalah boleh selama tidak ada dalil yang
melarangnya. Sedangkan bunga dari pinjaman anggota bukan untuk mencari keuntungan,
tetapi akan dikembalikan kepada anggota koperasi itu juga.
Bahwa dalam koperasi simpan pinjam terdapat unsur riba yang diharamkan dalam Islam.
Adapun bunga pinjaman yang dibebankan kepada setiap peminjam akan kembali juga kepada
anggota koperasi adalah tidak benar. Sebagai contoh, jika anggota meminjam uang sebesar
Rp. 1.000.000, maka dia harus mengembalikan kepada koperasi tersebut sejumlah uang yang
dipinjam ditambah 5 % nya, yaitu sebesar Rp. 1.050.000 Dari tambahan 5 % tersebut, yang
kembali kepada anggota tersebut hanya sekitar 3 % nya saja, sedangkan yang 2 % nya akan
masuk kas koperasi. Ini menunjukan bahwa secara nyata bahwa koperasi simpan pinjam tetap
mengambil keuntungan dari aktifitas pinjam meminjam dan ini diharamkan dalam Islam,
karena termasuk riba.
Cara Yang Sesuai Syariat
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan agar koperasi simpan pinjam sesuai syariat dan
terhindar dari riba, diantaranya adalah:
Cara Pertama: Koperasi membeli barang-barang dari uang yang terkumpul dari anggota dan
menjual barang-barang tersebut kepada para anggota atau kepada masyarakat umum.
Keuntungan dari hasil penjualan dibagi kepada para anggota berdasarkan jumlah uang yang
ditabung ke koperasi tersebut.
Cara Kedua: Koperasi ini juga bisa meminjamkan uang kepada anggota yang membutuhkan
untuk keperluan konsumtif, tanpa dipungut bunga sedikitpun. Tetapi jika anggota
memerlukan uang untuk keperluan usaha, maka koperasi bisa menerapkan system bagi hasil
sesuai kesepakatan bersama. Tetapi akad ini tidak dinamakan pinjaman, tetapi disebut dengan
mudharabah.
HUKUM ASURANSI MENURUT ISLAM
Definisi asuransi adalah sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi (muammin)
untuk memberikan kepada nasabah/klien-nya (muamman) sejumlah harta sebagai
konsekuensi dari pada akad itu, baik itu berbentuk imbalan, Gaji atau ganti rugi barang dalam
bentuk apapun ketika terjadibencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya
sebagaimana tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi) yang dibayarkan
secara rutin dan berkala atau secara kontan dari klien/nasabah tersebut (muamman) kepada
perusahaan asuransi (muammin) di saat hidupnya.
Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa asuransi merupakan salah satu cara
pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil dari
iuran premi seluruh peserta asuransi. Beberapa istilah asuransi yang digunakan antara lain:
A. Tertanggung, yaitu anda atau badan hukum yang memiliki atau berkepentingan atas harta
benda
B. Penanggung, dalam hal ini Perusahaan Asuransi, merupakan pihak yang menerima premi
asuransi dari Tertanggung dan menanggung risiko atas kerugian/musibah yang menimpa
harta benda yang diasuransikan
ASURANSI KONVENSIONAL
A. Ciri-ciri Asuransi konvensional Ada beberapa ciri yang dimiliki asuransi konvensional,
diantaranya adalah:
Akad asurab si konvensianal adalah akad mulzim (perjanjian yang wajib
dilaksanakan) bagi kedua balah pihak, pihak penanggung dan pihak tertanggung.
Kedua kewajiban ini adalah keawajiban tertanggung menbayar primi-premi asuransi
dan kewajiban penanggung membayar uang asuransi jika terjadi perietiwa yang
diasuransikan.
Akad asuransi ini adalah akad mu’awadhah, yaitu akad yang didalamnya kedua orang
yang berakad dapat mengambil pengganti dari apa yang telah diberikannya.
Akad asuransi ini adalah akad gharar karena masing-masing dari kedua belah pihak
penanggung dan tertanggung pada eaktu melangsungkan akad tidak mengetahui
jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil.
Akad asuransi ini adalah akad idz’an (penundukan) pihak yang kuat adalah perusahan
asuransi karena dialah yang menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki
tertanggung,
B. Asuransi dalam Sudut Pandang Hukum Islam Mengingat masalah asuransi ini sudah
memasyarakat di Indonesia dan diperkirakan ummat Islam banyak terlibat di dalamnya, maka
permasalahan tersebut perlu juga ditinjau dari sudut pandang agama Islam.
Di kalangan ummat Islam ada anggapan bahwa asuransi itu tidak Islami. Orang yang
melakukan asuransi sama halnya dengan orang yang mengingkari rahmat Allah. Allah-lah
yang menentukan segala-segalanya dan memberikan rezeki kepada makhluk-Nya,
sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun dibumi mealinkan Allah-lah yang memberi
rezekinya.” (Q. S. Hud: 6)
“……dan siapa (pula) yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi?
Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)?……” (Q. S. An-Naml: 64)
“Dan kami telah menjadikan untukmu dibumi keperluan-keprluan hidup, dan (kami
menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki
kepadanya.” (Q. S. Al-Hijr: 20)
Dari ketiga ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah sebenarnya telah menyiapkan segala-
galanya untuk keperluan semua makhluk-Nya, termasuk manusia sebagai khalifah di muka
bumi. Allah telah menyiapkan bahan mentah, bukan bahan matang. Manusia masih perlu
mengolahnya, mencarinya dan mengikhtiarkannya.
Melibatkan diri ke dalam asuransi ini, adalah merupakan salah satu ikhtiar untuk
mengahadapi masa depan dan masa tua. Namun karena masalah asuransi ini tidak dijelaskan
secara tegas dalam nash, maka masalahnya dipandang sebagai masalah ijtihadi, yaitu masalah
yang mungkin masih diperdebatkan dan tentunya perbedaan pendapat sukar dihindari.
Ada beberapa pandangan atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari fiqh Islam. Yang
paling mengemuka perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:
1.Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya
Temasuk asuransi jiwa Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii
(mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth‘i (mufti Mesir”). Alasan-
alasan yang mereka kemukakan ialah:
Asuransi sama dengan judi
Asuransi mengandung ungur-unsur tidak pasti.
Asuransi mengandung unsur riba/renten.
Asurnsi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa
melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau di
kurangi.
Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba.
Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.
Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului
takdir Allah.
II. Asuransi konvensional diperbolehkan
Pendapat kedau ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru
besar Hukum Islam pada fakultas Syari‘ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa (guru
besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab
al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha). Mereka beralasan:
Tidak ada nash (al-Qur‘an dan Sunnah) yang melarang asuransi.
Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
Saling menguntungkan kedua belah pihak.
Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang
terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan
pembangunan.
Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil)
Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta‘awuniyah).
Asuransi di analogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti taspen.
III. Asuransi yang bersifat sosial di perbolehkan dan yang bersifat komersial
diharamkan
Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (guru besar Hukum
Islam pada Universitas Cairo).
Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat
komersial (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang
bersifat sosial (boleh).
Alasan golongan yang mengatakan asuransi syubhat adalah karena tidak ada dalil yang tegas
haram atau tidak haramnya asuransi itu.
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa masalah asuransi yang berkembang dalam
masyarakat pada saat ini, masih ada yang mempertanyakan dan mengundang keragu-raguan,
sehingga sukar untuk menentukan, yang mana yang paling dekat kepada ketentuan hukum
yang benar.
Sekiranya ada jalan lain yang dapat ditempuh, tentu jalan itulah yang pantas dilalui. Jalan
alternatif baru yang ditawarkan, adalah asuransi menurut ketentuan agama Islam.
Dalam keadaan begini, sebaiknya berpegang kepada sabda Nabi Muhammad SAW:
“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kamu (berpeganglah) kepada hal-hal yang tidak
meragukan kamu.” (HR. Ahmad)
Asuransi syariah
A. Prinsip-prinsip dasar asuransi syariah
Suatu asuransi diperbolehkan secara syar’i, jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan
aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-
ketentuan sebagai berikut:
Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama ), tolong menolong,
saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT
berfirman,” Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan
jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
Asuransi syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah.
Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram
hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut
syariat.
Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus
disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari
uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat
memerlukan.
Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan
supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia
diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh
jamaah.
Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.
B. Ciri-ciri asuransi syari’ah Asuransi syariah memiliki beberapa ciri, diantaranya
adalah Sbb:
Akad asuransi syari’ah adalah bersifat tabarru’, sumbangan yang diberikan tidak
boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru’, maka andil yang dibayarkan akan
berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad
berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika
lebih maka kelebihan itu adalah kentungan hasil mudhorobah bukan riba.
Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi
kedua belah pihak. Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak
bertujuan untuk mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan
tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh jama’ah (seluruh peserta asuransi
atau pengurus yang ditunjuk bersama).
Dalam asuransi syari’ah tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan dan
aturan-aturan diambil menurut izin jama’ah seperti dalam asuransi takaful.
Akad asuransi syari’ah bersih dari gharar dan riba.
Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.
C. Manfaat asuransi syariah. Berikut ini beberapa manfaat yang dapat dipetik dalam
menggunakan asuransi syariah, yaitu:
Tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa sepenanggungan di antara anggota.
Implementasi dari anjuran Rasulullah SAW agar umat Islam salimg tolong menolong.
Jauh dari bentuk-bentuk muamalat yang dilarang syariat.
Secara umum dapat memberikan perlindungan-perlindungan dari resiko kerugian
yang diderita satu pihak.
Juga meningkatkan efesiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan
pengamanan dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan
banyak tenaga, waktu, dan biaya.
Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya
tertentu, dan tidak perlu mengganti/ membayar sendiri kerugian yang timbul yang
jumlahnya tidak tertentu dan tidak pasti.
Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar pada pihak asuransi akan
dikembalikan saat terjadi peristiwa atau berhentinya akad.
Menutup Loss of corning power seseorang atau badan usaha pada saat ia tidak dapat
berfungsi(bekerja).
Perbandingan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional.
A. Persamaan antara asuransi konvensional dan asuransi syari’ah. Jika diamati dengan
seksama, ditemukan titik-titik kesamaan antara asuransi konvensional dengan asuransi
syariah, diantaranya sbb:
Akad kedua asuransi ini berdasarkan keridloan dari masing- masing pihak.Kedua-
duanya memberikan jaminan keamanan bagi para anggota Kedua asuransi ini
memiliki akad yang bersifad mustamir (terus)
Kedua-duanya berjalan sesuai dengan kesepakatan masing-masing pihak.
B. Perbedaan antara asuransi konvensional dan asuransi syariah. Dibandingkan
asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa
hal.
Keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah merupakan
suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta
kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam
asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.
Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Yaitu nasabah yang
satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad
asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan perusahaan).
Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan
berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharobah). Sedangkan pada asuransi
konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan
hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi
konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang memiliki
otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru
(dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-
menolong bila ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi
konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan
perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi
konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim,
nasabah tak memperoleh apa-apa.
SUMBER
http://lailamaharani.blogspot.com/2012/01/koperasi-simpan-pinjam.html http://kospin-sejahterea.blogspot.com/2013/01/hukum-koperasi-simpan-pinjam-di-
tinjau.html