Induksi Keragaman Somaklon ke Arah Ketenggangan terhadap ... · yang tinggi berpengaruh terhadap...
Transcript of Induksi Keragaman Somaklon ke Arah Ketenggangan terhadap ... · yang tinggi berpengaruh terhadap...
11. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kemasaman 'bnah dan Keracunan Aluminium
'Emah masam berkembang pada horizon-horizon yang kadar ketersediaan
basanya pada larutan tanah akibat pelapukan mineral primer atau sumber lain lebih
sedikit dibandingkan dengan tingkat pencuciannya (Van Wambeke, 1979; Clark,
1982). Ditegaskan oleh Soepardi (1978) bahwa kemasaman tanah merupakan hasil
akhir dari curah hujan yang tinggi yang diikuti dengan intensitas hancuran yang
tinggi juga. Dalam ha1 ini, selama proses hancuran berlangsung basa-basa dari
mineral primer dibebaskan dan tercuci keluar dari profil tanah oleh air hujan yang
mengikutiny a.
Kussow (1971) menyatakan bahwa sumber kemasaman tanah bergantung
pada pHnya. Pada tanah yang mempunyai pH kurang dari 5.5, aluminium dalam
berbagai bentuk merupakan sumber utarna dari kemasaman. Pada tanah yang amat
masam (pH kurang dari 4.5) sejumlah ion ~ l ~ + menempati tempat pertukaran,
sedangkan pada pH antara 4.5 sampai 5.5 aluminium berada dalam bentuk hidroksi
monomerik atau menjadi bentuk kompleks dengan bahan organik.
Kemasaman tanah dapat mengubah populasi dan aktivitas jasad mikro yang
berperan dalarn transformasi N, S clan P dalam tanah, sehingga secara tidak langsung
akan mempengaruhi ketersediaan unsur-unsur tersebut bagi tanaman. Disamping itu
tanah masam biasanya mempusyai kapasitas tukar basa yang rendah tetapi kapasitas
pencuciannya tinggi. Kemasaman tanah meningkatkan ketersediaan unsur-unsur Mn
dan Al. Unsur-unsur ini dapat merupakan racun bagi tanaman (Soepardi, 1978).
Sementara itu Sanchez (1976) menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman yang buruk
pada tanah rnasam berkaitan dengan kejenuhan A1 yang tinggi. Adapun pH saja
tidak berpengaruh bagi pertumbuhan tanaman, kecuali bila kurang dari 4.2. Dalam
ha1 ini, ketidaksuburan tanah masam mencakup keracunan aluminium, kekahatan P,
Ca, Mg dan keracunan Mn.
Gejda keracunan aluminium tampak pada keadaan perakaran dan bagian atas
tanaman (tajuk) yang merana. Reid (1976) menyatakan bahwa pada tanaman serea-
lia, gejala keracunan aluminium adalah : akar lambat memanjang, menebal dan tidak
bercabang secara normal, ujung akar rusak dan berwarna coklat serta akar adventif
tumbuh selama tajuk masih hidup. Sunarto (1984) yang menguji daya ketenggangan
galur kedelai terhadap keracunan aluminium, mendapatkan bahwa kemasaman tanah
yang tinggi berpengaruh terhadap bobot kering tajuk dan panjang akar, namun tidak
berpengaruh terhadap bobot kering akar. Adapun Samad (1980) yang bekerja pada
tanaman padi gogo, mendapatkan bahwa jumlah anakan dan bobot kering tajuk
terganggu oleh kemasaman tanah yang tinggi, sedangkan bobot akar dan nisbah
tajuk-akar tidak terganggu.
2.2. Keragaman dan Seleksi Tanaman ke arah Ketenggangan terhadap Keracunan Aluminium
Devine (1982) menyatakan bahwa salah satu prasyarat untuk melakukan
perbaikan genetik adalah tersedianya keragaman genetik untuk ciri yang dikehen-
daki. Keragaman itu dapat berasal dari varietas budidaya, spesies liar atau dari
spesies lain yang berdekatan.
Adanya keragaman genetik untuk karakter ketenggangan terhadap keracunan
aluminium dan pH rendah pada berbagai tanaman telah ditemukan sejak lama.
WrigM clan Ferrari (1976) menemukan adanya perkdaan tanggap tanaman terha-
dap kefarutan ion aluminium tinggi dan kondisi pH tanah rendah pada tanaman serea-
lia seperti : barley, gandum, rye, triticale, padi, jagung, sorghum, millet dan oats
serta tanaman legurn seperti : kedelai dan alfalfa.
Upaya untuk menyaring atau menyeleksi jenis-jenis tanaman tenggang Al dan
pH rendah tersebut dari alam sudah dilakukan oleh banyak peneliti. Demikian pula
upaya untuk mengetahui pola pewarisannya secara genetik sudah dipelajari. Foy et
al. (1965) menguji daya ketenggangan 227 varietas gandum terhadap keracunan A1
dan mendapatkan tanggap yang beragam antar varietas. Diduga ketenggangan
tanaman gandum tersebut terhadap keracunan A1 dikendalikan oleh satu atau dua gen
utama (major gene) dan beberapa gen peubah (modifier gene) yang pola pewarisan-
nya tidak sederhana (Kerridge dan Kronstad, 1968) . Van Essen dan Dantuma
(1962) mendapatkan sebanyak 61 varietas tanaman barley yang tenggang terhadap
kondisi pH tanah rendah dari 670 varietas yang diseleksi.
Pada tanaman jagung Lutz et al. (1971) menguji sejumlah galur inbred
(inbred line) dan hibrida silang tunggal pada tanah sangat masam (pH =. 3.9).
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tinggi tanaman dan produktivitasnya
sangat beragam diantara galur-galur yang diuji. Berdasarkan hasil studi Gorsline
et al. (1964 dan 1968) ditegaskan bahwa perbedaan tanggap tanaman tersebut
bersifat genetik dan dikendalikan oleh paling sedikit dua gen utama dan satu atau
lebih gen pendamping (minor gene). Dengan demikian, potensi genetik di alam
untuk menyeleksi tanaman-tanaman yang tenggang terhadap keracunan A1 relatif
tersedia cukup besar, walaupun seringkali terkait dengan tingkat kemampuan
produksi dan kualitas hasil yang kurang memuaskan, sehingga diperlukan suatu
strategi pemuliaan yang mampu mematahkan kaitan gen tersebut serta mendorong
rekombinasi baru yang menguntungkan (Hallauer, 1981).
2.3. Mekanisme Serapan Al oleh Tanaman dan Ketenggangan Tanaman terhadap Keracunan Aluminium
Menurut Sanchez (1976) tanaman yang tenggang terhadap aluminium biasa-
nya memiliki kriteria sebagai berikut: (1) akar sanggup untuk tumbuh terus dan
ujungnya tidak rusak, (2) A1 sedikit yang ditranslokasikan ke bagian atas tanaman
karena sebagian besar ditahan di akar, (3) ditambahkan oleh peneliti lain bahwa ta-
naman mempunyai berbagai cara untuk menetralisir pengaruh racun A1 setelah dise-
rap tanaman (Fitter dan Hay, 1981).
Aluminium hanya dapat disetap oleh akar dalam bcntuk ian, Dal81il h@l in1
terbentuknya ion A1 sangat bergantung pada keadaan pH tanah (McLcnn, 1978).
Ion A1 hanya dapat terbentuk pada pH rendah dimana terdapat kelebiha~ ion H+,
sedangkan pada kondisi basa aluminium akan mengendap sebagai Al(OH) + +. Kesetimbangan yang terjadi dapat dilukiskan sebagai berikut :
Al+** + H20 Al(OH)++ + H+
Wagatsuma et al. (1987) menyatakan bahwa urutan dart keterngg&ngan
terhadap A1 diantara spesies-spesies tanaman pada umumnya sejalan dengan perbe-
daan ketenggangan dari plasmalemma sel akar terhadap A1 , semakin kuat plama-
lemma sel akan semakin tenggang tanaman tersebut terhadap Al, Sebaliknya,
semakin lemah plasmalemmanya lnaka tanaman akan semakin peka terhadap ke-
racunan Al. Dalam ha1 ini, plasmalemma dari set akar berfungsi sebagai penghalang
(barrier) terhadap penembusan pasif dari A1 lce dalam sitoplasma scthingga fungai
serta struktur sitoplasma secara metabolik dapat terpelihara.
Tempat ikatan utama dari A1 di dalam akar adalah senyawa pektat, asarn
malat dan asam transakonitat pada dinding wl (Suhsyda darl Ilnrrg, 1986), terutama
pada sel-sel epidern~je, aklotwlcrn~is dan endodertnis. Pada akar utuh kebanyakan Al
yang diserap dilokalisir di apoplasma dan plasmalemma, Bila plasmal&rnma ruw, maka A1 yang diserap akan terus masuk ke zsitoplnsma dari sel-sel akar dafl dilkat
oleh berbagai organel sel di dalaln sitoplasma, sehingga ujung akar akan tt~sbk
karena sejumlah besar dari A1 diakumulasikan di dalam sitoplasma ujun$ skar
(Gambar 1).
Mekanisme fisiologi dan biokimia yarig tepat pada tingkat seluler tantang
keracunan A1 atau ketenggangannya masih sukar dipahami, walaupun data tentang
pengaruh racun dari logam tersebut cukup banyak tersedia (Foy et al., 1978 dan
Haug, 1984). Dalam ha1 ini, mekanisme tersebut dapat berbeda antar species dan
varietas serta dikendalikan oleh gen yang berbeda,
Beberapa teorl mekanisme ketenggangan tanaman terhadap keracunan A1 dan
pH rendah secara fisiologi yang berkembang sa~t~pai wit ini sedikitnya ada 2 maam
yaitu:
(1) Tanaman mempunyai kemampuan untuk mengubah pH di daerah perakaran
dengan cara melringkatkan pH larutan hara sehingga kelarutan dan uksisitas A1
berkurang (Foy el al., 19671 MugwDra el al., 1976; Matrumoto ot al,, 19761
Foy dan Flemrning, 1978). Diduga kelrlampuan mengubah pH @rrebut b(3rh~.
bungan dengan mekanisme penyerapan anion dan kation oleh akat tanaman,
(2) Pembentukan komplek A1 dengan senyawa organik (asam sitrat) dm agsW fmctl
sehingga pengaruh racun dari A1 dapat dinetralkan (Madner, 1986).
Berdasarkan akurnulasi A1 di dalam tajuk, tanaman yang tenggang terhadap
A1 dapat dibagi sedikitnya ke dalarn 3 kelompok (Blum, 1988) yaitu:
(1) Kadar A1 dalam tajuk tidak nyata berbeda dengan tanaman yang peka, tetapi
akar tanaman yang tenggang A1 sering mengandung kadar A1 lebih rendah dad*
pada mmnan Yang peka.
(2) Ketenggangan terhadap A1 ditunjukkan dengan kadar A1 dalam tajuk yang lebih
rendah.
(3) Ketenggangan terhadap A1 secara langsung ditunjukkan oleh akumula~l A1 dalam
tajuk.
2.4. Seleksi In-vitro pada 'bnaman
Seleksi in-vitro untuk mendapatkan sel-sel tanaman yang tenggang tethadap
garam clan beberapa logam berat telah banyak dilakukan sejak beberapa tahun terak.
hir pada tanaman pertanian penting, Adapun seleksi untuk mendapatkan gel-sel
tanaman yang tenggang terhadap aluminium baru dilakukan pada tomat dan kentang
(Stavarek dan Rains, 1984), wortel (Ojima dan Ohira, 1982) serta sorghum
(Smith et al., 1983).
Kultur kalus dari dua kultivar tomat pada media yang meng8rlduog alunrinl-
um juga diuji oleh Meredith (1978). Kesimpulan yang diperoleh m~negukan biahws
kultur sel dapat digunakan untuk menyeleksi varietas yang berbeda ketenggmgan-
nya terhadap aluminium. Namun demikian, dari kultur kalus yang tengang terse-
but belum berhasil diregenerasikan menjadi tanaman utuh. DemiMan pula dengan
Ojima dan Ohira (1982), kalus wortel yang tenggang terhadap keracunan alumi-
nium sudah diperoleh namun upaya untuk menumbuhkannya menjadi tanaman
lengkap masih belum berhasil, Baru empat tahun kemudian (1986) etelah kottrpo-
sisi media regenerasi untuk menumbuhkan kalus wortel tenggang keracunidh A1
tersebut ditemukan, tanaman wortel tenggang A1 hasil regenerad diperoleh. Nrdmun
demikian evaluasi daya ketenggangannya terhadap kerolcunan A1 di iapang belum
dilakukan.
Melalui teknik kultut in-vltro ini terdapat dua ha1 yang berbetla kepentlng-
annya bagi pemuliaan tanaman, yaitu mcmpertahankan kestabilan genotipa dan me-
rangsang terbentukn ya kemgrrman genetik , Kestabilan genotipa dapat clicapai dengw
mendorong sesingkat mungkin fase pertumbu han talc berdiferensiasi (fase ltalus dm
sel bebas), sedangkan keragaman genetik dapat dicapai pada fase tak berdiferensiasi
yang relatif panjang. Sejumlah mutan diduga dapat terbentuk pada fase kalus dan
sel bebas, dan dari sini dapat diseleksi turunan yang sangat berguna bagi pemuliaan
tanaman (Wattimena dan Mattjik, 1991).
2.5. Induksi Kalus dan Regenerasi pada 'hnaxnan Jagung
Kultur jaringan jagung yang dilakukan dengan menggunakan kultur endo-
sperma pada awalnya ditujukan untuk penelitian-penelitian biokimia. Media yanlp
digunakan dikembangkan oleh Straus (1960). Dalam hal ini, induksi pembentukarl
kalus sudah berhasil diperoleh dengan menggunakan eksplan potongan tunas, embrio
mu& dan bunga muda (Green et al., 1974). Akan tetapi usaha untuk meregene-
rasikan kalus tersebut membentuk planlet masih mengalami kegagalan. Baru pada
tahun berikutnya, Green dan Phillips (1975) berhasil meregenerasikan tanaman
dari kultur kalus dengan menggunakan embrio muda yang ditumbuhkan dalam
media yang diberi hormon 2,4-D. Selanjutnya, Vasll et al. (1984) juga berhasil
mendapatkan kalus embriogenik melalui kultur suspensi sel dengan subkultur
(pemindahan kalus ke dalam media baru) yang dilakukan berulang-ulang. Dari
hail peneli tian tersebut disimpulkan bahwa frekuensi pembentukan kalus embrioge-
nik dipengaruhi juga oletr tipe eksplan dan tingkat perkembangan tanaman yang
digunakan sebagai sumber eksplan. Stadia embrio dan macam genatipa jagung yang
digunakan j uga berpengaru h terhadap kemampuan regenerasi tanaman tersebu t.
Beberapa genotipa tidak mempunyai daya regenerasi untuk metnbentuk planlet.
Sebaliknya, beberapa lainnya mempunyai kemampuan beregenerasi. Oleh Duncan
et al. (1985) ditegaskan bahwa pada kultur jaringan jagung terdapat potensi genetik
yang berbeda untuk tumbuh dan beregenerasi menjadi tanaman. Kemampuan rege-
nerasi untuk membentuk tanaman relatif sukar dicapai dan terbatas pada beberapa
genotipa saja (Rapela, 1985).
Green dan Phillips (1975) menunjukkan bahwa embrio jagung yang di-
ambil 18 hari sesudah polinasi mempunyai kemampuan regenerasi yang paling ting-
gi, sedangkan pengambilan embrio lewat dari 18 hari menyebabkan kemampuan
regenerasinya menurun. Adapun hasil studi yang dilakukan di Indonesia pada
beberapa genotipa jagung menunjukkan bahwa saat pengambilan embrio yang
terbaik pada saat 10 hari sesudah polinasi (Sutjahjo, 1991).
Tomes (1985) menjelaskan bahwa terdapat 2 macam kalus yang dapat terben-
tuk dalam kultur in-vitro suatu tanaman, yaitu: (a) kalus embriogenik dan (b) kalus
non-embriogenik, Kalus embriogenik (kalus G) adalah kalus yang rnempunyai po-
tensi untuk beregenerasi menjadi tanaman, baik melalui organogenesis (langsung
rnembentuk organ) maupun embriogenesis (melalui pembentukan embrio somatik).
Adapun kalus non-embriogenik adalah kalus yang sedikit atau tidak mempunyai
kemampuan untuk beregenerasi membentu k tanaman, Oleh Green et al, (1983),
kalus E dibedakan lagi menjadi 2 macam yaitu: (a) kalus E tipe I dengan ciri-ciri;
kompak, tidak tembus cahaya, pertumbuhannya relatif lambat dan strukturnya
komplek, (b) kalus E tipe II dengan ciri-ciri; friabel (remah), kurang kompak per-
tumbuhannya cept dengan bentuk embriosomatik lebih jelas pada permukaan kalus
(berupa nodul), kalus berwarna putih sampai kuning. Oleh Vasil (1982) embrioge-
nesis somatik disebut juga sebagai struktur bipolar, yaitu suatu struktur bulat yang
terbentuk pada permukaan kalus E sebagai hasil dari aktivitas perturnbuhan sel-sel
rneristematik pada skutelurn sampai koleoriza. Pada sejumlah tanaman struktur
demikian di yalcini sebagai lintasan utama (principal pathway) un tu k terjadin ya re-
generasi tanaman.
2.6. Keragaman Sornaklon
Istilah keragaman somaklon pertama kali dikemukakan oleh Larkin dan
Scowcroft (1981) yang didefinisikan sebagai keraganlan genetik dari tanaman yang
dihasilkan melalui kultur sel, baik sel somatik lnaupun sel gamet. Oleh Sonduhl y t
al. (1984) istilah tersebut diartikan sebagai kultur sel yang bsrasal sel somatik
saja, seperti sel daun, sel akar dan batang, sedangkan kultur yang berasal dari sel
gamet disebut gametoklonal. Adapun tanaman yang diperoleh dari peristiwa
somaklonal disebut somaklon dan dari gametoklonal disebut gametoklon (Evans dnn
Sharp, 1986). Istilah kaliklon (Skirvln dan Janick, 1976) berlaku bagi tmaman
yang berasal dari kalus, sedangkan protoklon bagi tanaman yang berasal dari proto-
plas (Shepard et al,, 1980). Namun demikian pada saat ini pengertian keragaman
somaklon dari Larkin dan Scowcroft (1981) yang dipakai termasuk di dalamnya :
gametoklon , kaliklon dan protoklon.
Adanya keragaman somaklon pertama kali dilaporkan pada tanaman tebu
oleh Heinz dan Mee (1969; 1971) yang meliputi keragaman dari kandungan sukrosa
dan resistensi terhadap beberapa penyakit seperti: virus Fiji, downy mildew, eyespot
dan Colmicolous smut. Sejak saat itu penelitian terus dilakukan pada tanaman perta-
nian penting lainnya seperti padi (Oono, 1978; Sun et al., 1983) , Lolium spp.
(Ahloowalia, 1975; 1983), gandum (Larkin et al., 1984) dan jagung (Gangenbach
et al., 1977; Gangenbach et al., 1981).
Dokumentasi oleh Evans et al. (1986) mencatat sebanyak 22 jenis tanaman
pertanian penting telah diteliti tanggapnya secara in-vitro dan terbukti dapat menghab
silkan keragaman somaklon yang mewaris (inherited) pada berbagai karakter seperti
tinggi tanaman, jumlah daun, letak daun, ketahanan terhadap FZtsarr'um sp., besar
dan warna bunga, kegenjahan serta komponen produksi dan lain-lain.
Tujuan seleksi pada tanaman somaklon yrng beragam terutama untuk
memperbaiki sifat lemah dari suatu kultivat yang telah beradaptasi, sepertl untuk
meningkatkan ketahanan terhadap penyakit, kekeringan, termasuk ketenggangan ter-
hadap keracunan aluminium.
2.6.1.
Keragaman somaklon pada dasarnya terjadi akibat peristiwa mutasi, yaitu
suatu perubahan karakter yang diwariskan disebabkan oleh berubahnya struktur
pembawa sifat menurun (inherited trait) baik pada tingkat DNA atau gen yang
disebut juga mutasi kecil atau mutasi titik, maupun pada tingkat khromosom yang
disebut juga mutasi besar. Oleh karena itu, mekanisme kejadiannya hampir sama
dengan efek mutagenesis konvensional (radiasi), yakni bersifat acak dan keragaman
yang dihasilkannya dapat bermanfaat atau kurang bermanfaat, bahkan mungkin
fnerugikan. Namun demikian keragaman somaklon relatif lebih mudah dideteksi
dan lebih cepat diperoleh daripada mutagenesis konvensional (Ahloowalia, 1986;
Novak et al., 1986 dan 1988). Evans dan Sharp (1983) mendapatkan 1 mutan dari
setiap 20-25 tanaman tomat hasil regenerasi in-vitro. Dalam ha1 ini, keragaman
genetik yang terjadi dapat berasal dari eksplan atau dari perubahan getletik yang
te rjadi selama dalam kultur media (Wattimena, 1988a). Dengan demikian perubah-
an genetik tersebut bukan disebabkan oleh peristiwa segregasi maupun rekombinasi
gen seperti biasa te jadi akibat proses persilangan (crossing).
Keragaman genetik pada eksplan disebabkan oleh adanya sel-sel bermutan da-
ri jaringan tertentu. Adapun keragaman genetik yang terjadi di dalan~ kultur
media dapat disebabkan olch adan ya peristi wa eruiornitosis, eruioreduplikmi, perm- bahan struktur khromosom (duplikasi, inversi dan translokasi), pindah silang
sornatik maupun poliploidi (Scowcroft dan Larkin, 1981; Evans dan Sharp, 1986;
Ahloowalia, 1986; Suzukl, 1981).
2.6.2. M e m m h i Ke-
Beberapa faktor penting yang berpengaruh terhadap terjadinya keragaman
somaklon adalah: (a) genotipa (homozigot atau heterozigot), @) jenis eksplan (daun,
batang, akar dan umbi), (c) komposisi media (zat pengatur tumbuh) dan (d) lamarlya
fase kalus di dalam kultur in-vitro.
(1) GenotiDa Genotipa merupakan faktor penting di dalam menimbulkan keragaman soma-
klon, karena genotipa dapat mempengaruhi besarnya frekuensi regenerasi dan fre-
kuensi somaklon yang terjadi. Gunn dan Shepard (1981) mendapatkan jumlah ta-
naman regenerasi yang berbeda dari 2 kultivar kentang yang dikulturkan pada kon-
disi yang sama.
Dari banyak literatur diketahui bahwa tanaman dari genotipa yang berbeda
mempunyai frekuensi somaklon yang berbeda pula. Shepard et al. (1980) mencatat
te rjadinya frekuensi keragaman genotipa yang tinggi dari kultivar kentang Russet
Burbank. Akan tetapi Wenzel et al. (1979) hanya mendapatkan keragaman yang sa-
ngat kecil di antara 200 tanaman regenerasi hasil kultur protoplas yang berasal dati 5
Mon kentang diploid.
Sun et al. (1983) membandingkan besarnya frekuensi poliploid tanaman re-
generasi in-vitro dari 18 varietas padi. Adanya multiploid ditemukan pada varietas
indica, sedangkan pada varietas japonica tidak ditemukan. Demikian pula frekuensi
mutan yang mengalami defisiensi khlorofil beragam sangat nyata di antara 2 varietas
padi tersebut.
(2) S S W
Sumber eksplan merupakan faktor yang sangat penting dalam medtnbulkan
keragaman sornaklon. Pada tanaman geranium, keragaman hanya berhasil diperoleh
dari eksplan potongan petiol, sedangkan dari eksplan potongan batang tidak berhasil,
Demikian pula pada tanaman tebu, frekuensi dan spektrum somaklon yang terjadi
berasal dari sumber eksplan yang berbeda.
Pada tanaman kentang, adanya keragaman somaklon pertama kali ditemukan
pada kultur protoplas. Akan tetapi pada saat ini, keragaman somaklon dapat juga
diperoleh melalui kultur langsung dari eksplan daun maupun petiol. Dalam hd ini
menurut Roest dan Bokelman (1980), eksplan yang berasal dari daun atau bagian
daun memberikan keragaman genetik lebih besar daripada eksplan dad bagian
tanaman lainnya.
(3) Lamanva dalam Kultur Sel
Adanya keragaman dalam jumlah khromosom akibat kultur sel sudah dilapor-
kan oleh para peneliti. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya keragaman
tersebut adalah:
(a) Adanya khromosom cacat (mosaik) pada tanaman yang digunakan untuk
inisiasi kultur.
(b) Terjadinya fragmen tasi i n ti yang berasosiasi dengan pembelahan pertama
dari sel pada saat inisiasi kdus (Cionini et al., 1978).
(c) Endoreduplikasi atau endomitosis yang terjadi selama inisiasi kultur
(Dl Amato, 1978).
(d) Terjadinya ketidaknormalan proses mitosis yang dihasilkan oleh sel-sel
aneuploid.
Telah diyakini secara luas bahwa masa kultur in-vitro yang lama dapat me-
nyebabkan jumlah khromosom beragam. Korelasi antara lamanya kultur in-uitr~ dan
akumulasi perubahan khromosom pertama kali ditemukan pada Baucus carota
(Smith dan Street, 1974), dimana kultur sel berisi banyak sel-sel abnormal dan
dapat beregenerasi menjadi tanaman. Selanjutnya Evans st al. (1984) mencatat
adanya tanaman poliploid dan aneuploid yang diregenerasikan secara in-vitro pada
ban yak tanaman seperti: geranium, ornamental Nicotiane, tembakau, tomat, alfalfa
dan lain-lain. Dalam hal ini ditambahkan bahwa aneuploid lebih sexing berasal dari
tanaman poliploid atau hibrida seperti N. tubacum (Sacristan dan Melchers, 1969)
dan hibrida Saccharuni (IIeinz dan Mee, 1971).
Reberapa peneliti menyatakan bahwa keragaman somaklon semakin mening-
kat dengan makin lamanya masa inkubasi eksplan dalam kultur. Barbier dan
Dulieu (1983) yang menggunakan penanda genetik dari sumber eksplan yang digu-
nakan telah menunjukkan bahwa kebanyakan perubahan-perubahan genetik terjadi
pada periode mitosis prtama dalam kultur dan beberapa perubahan genetik mening-
kat sejalan dengar1 larnanya dalam kultur, Demikian pula dengan menggunakan
protoplas dari tanaman donor heterozigot I d n dan Scowcroft (1983) menu~~jukkan
bahwa dengan memperpanjang periode kultur dua kali lipat frekuensi perubahan
genetik meningkat dari 1.4 % menjadi 6 %. Fukui (1983) memonitor terjadinya
mutasi ganda (multiple mutation) pada tanaman regenerasi asal kultur kalus dari
padi. Ia dapat menguraikan tentang urutan tejadinya mutasi, yang terjadi tidak
bersamaan selama dalam kultur dari galur kalus tunggal. Evans et 01. (1982)
menambahkan bahwa hibrida somatik merupakan sumber keragaman yang besar
daripada hibrida seksual. Beberapa keragaman unik telah dideteksi antara Won-klon
hibrida somatik (Evans et al., 1983).
(4) Kondisi Kultu~
Telah diketahui sejak lama bahwa komposisi zat pengatur tumbuh dari media
kultur dapat mempengaruhi frekuensi perubahan kariotipa dalam kultur sel (Baylks,
1975). Zat pengatur tumbuh 2,443 paling sering diyakini sebagai yang bertanggung
jawab terhadap te rjadinya keragarnan khromosom (Singh et al., 1975). Konsentrasi
yang tinggi dari 2,4-D erat kaitannya dengan keragaman dari tanaman-tanaman
regenerasi Hordewn (Deambrogio dan Dale, 1980). Demikian pula, penggunaan
2,4-D dan NAA dalam media kultur kentang juga meningkatkan frekuensi tanaman
abnormal (Shepard, 1981). Dalam ha1 ini, terdapat hubungan yang erat antara
keberadaan zat pengatur tumbuh dengan lamanya periode kultur.
Peningkatan keragaman tanaman somaklon dapat juga dilakukan dengan pem-
berian mutagen pada eksplan, baik secara fisik (sinar X , sinar gamma) maupun
secara kimia (EMS, DEMS, dan NMU) (Ancora dan Sonuino, 1987). Ceulemans
et al. (1986) menyatakan bahwa penggabungan teknik mutagen dengan teknik soma-
klon mungkin memberikan harapan lebih besar untuk memperoleh keragaman ta-
naman yang besar. Pada tanaman kentang pemberian mutagen pada eksplan relatif
lebih baik daripada kalus, karena pemberian mutagen pada eksplan akan memberikan
mutan utuh (solid mutan), sedangkan pemberian mutagen pada kalus menghasilkan
mutan parsial (chimeric mutant) (Roest, 1977). Dalam ha1 ini, mutan yang mem-
punyai nilai dalam perbaikan tanaman adalah mutan utuh.
2.7. Bentuk-bentuk Keragaman Somaklon pada Beberapa Bnaman
Bentuk-bentuk perubahan sifat secara genetik yang diperoleh meialui feno-
mena somaklon yang telah diteliti sampai sejauh ini dapat dibagi ke dalam beberapa
kelompok sebagai berikut (Ahloowalia, 1986) :
(a) Albino, defisiensi klorofil dan bentuk-bentuk cacat: Bentuk-bentuk keragaman
somaklon seperti ini ban yak ditemukan pada Avena sativa L., padi, Loliwn spp.,
Festuca ruba , gandum , barley dan jagung.
(b) Perubahan karakter kuantitatif seperti produksi biji, tinggi tanaman, ketahanan
terhadap penyakit, fertilitas polen dan kandungan protein telah dilaporkan pada
beberapa tanaman yang meliputi :
- perubahan vigor pada Lolium spp.
- tanaman kerdil pada tebu
- pembentukan malai (tasseling) yang lebih awal pada jagung
- peningkatan kandungan protein pada padi
- perubahan jumlah tongkol, warna biji pada jagung
- perubahan kandungan gula pada tebu
- ukuran dan bentuk umbi pada kentang
(c) Ketahanan terhadap penyakit dan herbisida pada alfalfa , tembakau, tomat, ja-
gung, padi, kentang dan tebu.
(d) Keragaman lainnya meliputi ketahanan terhadap cekaman lingkungan dan zat
antibiotik.
2.8. Teknik Mendapatkan Keragaman Somaklon
Terdapat tiga cara memperoleh keragaman somaklon yaitu meliputi : (1) kul-
tur kalus, (2) kultur suspensi (sel tunggal), (3) kultur protoplasma.
2.8.1. Kultur Kalus
Dalam kultur kalus, eksplan tidak langsung diregenerasikan menjadi tunas
adventif atau embrio somatik, akan tetapi diinduksi dulu membentuk kalus untuk be-
berapa lama. Selanjutnya kalus diinduksi untuk membentuk embrio somatik, scsu-
dah itu dirangsang untuk membentuk tunas dan akar menjadi planlet. Dalam hal ini
bahan tanaman yang membentuk kalus akan menghasilkan sejumlah keragaman ge-
netik. Secara skematis tahapan kultur kalus (regenerasi tidak langsung) tersebut
adalah :
Eksplan ---- b kalus---- b e. somatik ---- b tunas adventif --- b tanamau.
Pada cara ini pemilihan eksplan dan media memegang peranan penting,
Pemilihan eksplan selain untuk mendapatkan keragaman genetik juga penting di
dalam proses morfogenesis. Komposisi media penting untuk menginduksi kalus,
tunas atau embrio somatik. Teknik mendapatkan tanaman melalui kultur kalus relatif
lebih mudah dibandingkan dengan cara in-vitro lainnya. Oleh karena itu, cara inilah
yang ditempuh di dalam penelitian ini.
2.8.2. Kultur Suspensi (Sel Tun@
Kultur sel tunggal pada dasarnya merupakan modifikasi dari kultur kalus.
Dalam ha1 ini kalus embriogenik yang dihasilkan diagregasi menjadi sel tunggal
untuk selanjutnya dikulturkan kembali di dalam kultur cair untuk diinduksi kembali
menjadi kalus dan planlet.
Prosedur seleksi melalui kultur suspensi dimulai dari penanaman dan pemilih-
an eksplan, induksi kalus, isolasi sel, penebaran sel, induksi kalus kembali, induksi
tunas adventif, induksi akar dan pemindahan lapang.
Genotipa dan umur tanaman sebagai sumber eksplan sangat menentukan
proses-proses selanjutnya. Demikian juga faktor media sangat menentukan keberha-
silan kultur. Kultur sel ini telah dicobakan pada tanaman tebu, kentang, tembakau,
padi, jagung , barley, kol, pelargonium dan chrysanthemum (Scowcroft dan Larkin,
2.8.3. Kultur Proto~las
Protoplas adalah sel yang telah dihilangkan dindingnya secara enzimatik atau
disebut juga sebagai sel telanjang.
Di dalam kultur protoplas yang penting bahwa harus dapat diisolasi protoplas
yang utuh dan protoplas tersebut harus dapat membentuk dinding sel, selanjutnya
membelah membentuk kalus kemudian meregenerasi menjadi plantlet. Kalus yang
berasal dari protoplas disebut protoplas kalus (Wattimena et al., 1988).
Kultur protoplas merupakan salah satu cara untuk memperbaiki sifat-sifat
lemah dari kultivar yang ada, seperti: ketahanan terhadap penyakit, ketenggangan
terhadap stres dan sifat-sifat morfologis tertentu. Cara ini telah dilakukan pada
beberapa jenis tanaman seperti: kentang, petunia, dan tomat.
Tanaman hasil regenerasi dari protaplas seringkali mengalami perubahan
morfologi, jumlah khromosom maupun fertilitasnya. Pada tembakau perubahan
terjadi pada warna dan bentuk daun, sedangkan pada kentang perubahan te jadi pada
bentuk umbi, kematangan umbi, warna daun, bulu-bulu pada daun, respon terhadap
lamanya penyinaran, ketahanan terhadap Phyptophtora infestan dm Alternuria sofani
(Reish, 1983).
2.9. Keragaman Somaklon pada Jagung
Penelitian tentang adanya keragaman somaklon pada tanaman jagung sudah
banyak dilakukan oleh peneliti di luar negeri. Sejak Green dan Phillips (1975)
berhasil meregenerasikan tanaman jagung asal kultur in-vitro dengan menggunakan
eksplan embrio muda (immature embryo), maka penelitian tentang kultur in-vitro ja-
gung pada berbagai genotipa dilakukan semakin intensif di berbagai negara. Namun
demikian selama lebih dari satu dekade kebanyakan arah penelitian baru dititik
beratkan pada studi regenerasi tanaman melalui induksi embriogenesis somatik
(Green, 1982; Armstrong dan Green, 1985; Lu et af., 1982: Vasil et al., 1984;
Novak et al., 1983). Hasil yang diperoleh pada umumnya menyimpulkan bahwa
regenerasi pada jagung dapat diinduksi hanya terbatas pada genotipa-genotipa terten-
tu saja (Fahey et al., 1986), dan tanaman yang diperoleh pada umumnya mengalami
penyimpangan fenotipa yang frekuensinya cukup besar (Novak et al., 1983).
Untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya penyimpangan fenotipa tersebut,
Edallo et al. (1981) mencoba meneliti kemungkinan terjadinya perubahan khromo-
som pada sel-sel tersebut. Dari dua galur (inbred) jagung yang digunakan, yaitu
W64A dan S65 ditemukan adanya keragaman jumlah khromosom yang relatif cukup
besar (non diploid) di antara sel-sel tanaman hasil regenerasi yang diamati, masing-
masing frekuensinya 8% pada galur W64A dan 15.5 % pada galur S65. Dari popula-
si tanaman mutan tersebut 45 96 diantaranya adalah tetraploid. Disamping itu dite-
mukan juga sel-sel tanaman dengan jumlah khromosom antara 31-39 (aneuploid).
Hal tersebut diduga akibat terjadinya proses eliminasi khromosom oleh kultur in-
vitro. Diungkapkan juga diantara tanaman somaklon hasil regenerasi tersebut ada
yang mewaris secara sederhana pada generasi kedua (%). Adapun jenis ragam somakion yang diperoleh dari satu macam eksplan (em-
brio) dapat beragam antara 2-9 macam. Namun demikian, kebanyakan tanaman
somaklon yang diperoleh mempunyai penampalcan morfologi yang kurang mengun-
tungkan seperti: pertumbuhan yang abnormal, endosperma tidak sempurna, albino
serta tanamannya kerdil. Hasil yang hampir sama ditemukan juga oleh Novak et al.
(1986) yang mengkombinasikan kultur in-vitro jagung dengan perlakuan radiasi sinar
gamma pada eksplannya.
Adapun bentuk tanaman somaklon jagung yang mengalaini perubahan
menguntungkan dan diwariskan ditemukan pada karakter saat pembentukan malai
(tasseling) menjadi lebih awal (Brook Housen et al., 1984).
Beberapa faktor kendala yang patut dipertimbangkan dalam memanfaatkan
fenomena keragaman somaklonal adalah :
(1) Munculnya bentuk-bentuk perubahan sifat yang tidak diinginkan
(2) Adanya efek sinergistik dari suatu karakter yang terkait (linkage) dengan karak-
ter lain .
(3) Seringkali ekspresi gen suatu karakter tidak stabil akibat adanya aktivasi dari
transposable-gene, yaitu perpindahan elemen genetik dalam utusan DNA dari
satu lokus ke lokus lain dalam satu genom.
(4) Bentuk keragaman somaklon yang terjadi tidak dapat diprediksi dan diduga
sepenuhnya bersifat acak. Oleh karena itu pada kondisi lingkungan yang sama
belum tentu dihasilkan bentuk keragaman yang sama pula (De Klerk, 1990).