KAJIAN PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN SOP DAUN … · KAJIAN PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN SOP DAUN...
-
Upload
truonghanh -
Category
Documents
-
view
278 -
download
2
Transcript of KAJIAN PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN SOP DAUN … · KAJIAN PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN SOP DAUN...
KAJIAN PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN
SOP DAUN TORBANGUN (Coleus amboinicus Lour)
SEBAGAI MAKANAN TAMBAHAN PELANCAR PRODUKSI
AIR SUSU IBU (ASI)
Oleh:
NUR FAIZAH FITRIAH
F 34103053
2007
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Nur Faizah Fitriah (F34103053). Packaging and Storage Study of Torbangun (Coleus amboinicus Lour) Leaf Sop as a Additive Food to Stimulate Breast Milk Production. Supervised by Dr. Ir Endang Warsiki, MT dan Drh. M. Rizal M. Damanik M.Rep. Sc. P.hD.
SUMMARY Indonesia has many types of plant, especially leaf, which is believed to
stimulate the breast milk production (laktagogum). Among them are katuk (Souropus androgynus), papaya and Torbangun (Coleus amboinicus Lour). Torbangun is originating from North Sumatera. Since years ago, Batak people believed that Torbangun could stimulate the breast milk production or even could used to recover for mother’s health status after give a birth. Torbangun is consumed as soup. The soup is produced from leaf, spices, and coconut milk. As modern life, the soup is now very prospective to be marketed. However, as a commercial product, the soup need to be improved in quality and practicability. The content of coconut milk in this in the leaf soup makes the product become susceptible against rancidity and microbiological damage. It is therefore, the study should be conducted corcerning on packaging and storage of Torbangun leaf soup.
The main objective of this study is to improve the quality and to pro long shelf life of the Torbangun leaf soup. To achieve the objective mention, the study is proposed to apply many package types and storage conditions. The specific objective of the study are (i) to get the best package type, (ii) to recognize the most suitable storage condition, (iii) to obtain the quality reduction of Torbangun leaf soup during storage period, and (iv) to obtain the shelflife from this product.
There are three types of packaging used in this study. They are glass, LDPE plastic, and microwavable plastic (CPET). It is also three temperatures used i.e. cold storage temperature (3-5oC), refrigerator temperature (12-15 oC) and normal temperature (27-30oC). Torbangun leaf soup is stored for 8 days duration for cold storage and 2 days for normal storage based from preliminary research result. The primary research is done twice. Along the storage, soup is analyzed its quality including rancidity test (Thiobarbituric Acid Value), microbiology test (Total Plate Count), acidity level (pH), and Titrated Acid Total (TAT).
The preliminary study resulted that Torbangun leaf soup has 84,43235% water , 7,6683% carbohydrate, 3,83975% protein, 3,1591 % fat, and 0.90055% ash content. This result is used to know the characteristic of Torbangun leaf soup treatment. Moreover, the soup rancidity during storage with many package types can be observed by the Thiobarbituric Acid value test (TBA). The kind analysis against TBA value shows that TBA value of Torbangun leaf soup is obviously influenced by temperature factor at 95% significant level at the 2nd day. The TBA value is more equally increased with the increase of storage temperature. At 3-5oC and 12-15oC, TBA value tends to be lower than normal temperature. However, this TBA test does not really affect the package factor used at the 95% significant level.
The result of kind examination for TPC parameter shows that the factor giving real effect at the 5 % level against TPC value is the package factor at the 3rd, 4th, 7th, and 8th day . The high of TPC value is shown by the LDPE, then is followed microwavable plastic (CPET). While, the glass shows the lowest TPC in this product. Generally, TPC value is also influenced by temperature along the storage. With a rise of the temperature, microorganism will increase in number. At normal temperature storage, it is seen that microbe is rapidly increased in all kind of package. At the 3rd day, TPC value is also influenced by the interaction between package factor and temperature storage at the 95% significant level.
The calculation of TAT value can be used to know the acidity level or acid content from the product. The longer the storage, the higher the TAT value. In normal temperature TAT value tends to increase dramatically at the two days storage. After the third (3rd) day, the lower TAT average value is shown by product which stored in temperature of 3-5oC. The rare of increasing TAT is faster in normal temperature (27-30oC) than cold temperature (3-5oC and 12-15oC). While, based on kind examination analysis, the package factor give obvious difference (interaction value <0.05) at the 6th day storage.
Another quality factor is pH. The parameter value will become the important factor for a food product if it is connected with product quality. The result shows that pH product is influenced by package factor at the 5 % level on the 5th, 6th, 7th, and 8th day storage. If the storage is longer, the pH value will tend to decrease. The highest value of pH will be obtained in the product which storage in the highest temperature. Significantly, pH value is influenced by the package factor at the 5 % level on the 1st, 2nd and 5th day storage. At the 1st day storage, the interaction between the temperature storage and package factor is influence the pH factor. It means, the longer period of storage, the product will tends to be acid.
The best type of packaging and temperature of storage is determined by weighting technique. In this technique, all factor influenced the decision are gave a weight. The weighting factor are price, packaging, product display, distribution, and practicability. The higher rank obtained from this technique, the best package for the product. The technique resulted that the CPET is the best packaging to package the Torbangun leaf soup. The other alternatives are glass as the second best, and LDPE as the third best. The combination of the best type of packaging and the optimal temperature will minimize the damage of this product. The best combination for this Torbangun leaf soup is CPET package on the cold storage (3-5oC).
KAJIAN PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN
SOP DAUN TORBANGUN (Coleus amboinicus Lour)
SEBAGAI MAKANAN TAMBAHAN PELANCAR PRODUKSI
AIR SUSU IBU (ASI)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
NUR FAIZAH FITRIAH
F 34103053
2007
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KAJIAN PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN
SOP DAUN TORBANGUN (Coleus amboinicus Lour)
SEBAGAI MAKANAN TAMBAHAN
PELANCAR PRODUKSI AIR SUSU IBU (ASI)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh: NUR FAIZAH FITRIAH
F34103053
Tanggal Lulus Bogor, 27 April 2007
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Ir. Endang Warsiki, MT, Ph. D Drh.M.Rizal M.Damanik, M.Rep.Sc, Ph.D
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis dilahirkan di Purwokerto pada tanggal 19 Juni 1985
dengan nama lengkap Nur Faizah Fitriah. Penulis adalah anak
keempat dari empat bersaudara dari keluarga Bapak H.A. Gani
Ibrahim dan Ibu Udji Prihati. Penulis mengawali jenjang
pendidikannya di TK Aisyiyah XI Purwokerto pada tahun
1989-1991 dan menempuh pendidikan dasar di SDN
Purwokerto Selatan 02 pada tahun 1991-1997, dilanjutkan ke jenjang sekolah
lanjutan di SLTPN 1 Purwokerto pada tahun 1997-2000 serta SMUN 2
Purwokerto pada tahun 2000-2003.
Penulis lulus seleksi masuk IPB pada tahun 2003 melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar di Departemen Teknologi Industri
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian - Institut Pertanian Bogor (Fateta - IPB),
dengan nomor induk F34103053. Di bangku perkuliahan, penulis aktif mengikuti
berbagai kegiatan akademik dan non akademik, diantaranya menjadi asisten
praktikum mata kuliah Pengemasan dan Penyimpanan I, serta aktif dalam
kepengurusan Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) periode
2004-2005. Dalam periode kepengurusan tersebut, penulis aktif dalam berbagai
kepanitian serta menjabat sebagai staff Biro Minat dan Bakat, Departemen Human
Resources Development (HRD). Penulis melakukan Praktek Lapang dengan topik
“Studi Mengenai Aspek Pengemasan dan Penyimpanan Produk di PT. Sweet
Candy Indonesia (Studi Kasus Penggunaan Kemasan Varnish-Non Varnish pada
Dragee)” pada tahun 2006. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian
dengan tema “Kajian Pengemasan dan Penyimpanan Sop daun Torbangun sebagai
Makanan Tambahan Pelancar Produksi Air Susu Ibu” di bawah bimbingan Dr.Ir.
Endang Warsiki, MT dan Drh. M Rizal M. Damanik M. Rep.Sc. PhD.
Nur Faizah Fitriah (F34103053) Kajian Pengemasan Sop Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) Sebagai Makanan Tambahan Pelancar Produksi Air Susu Ibu (ASI). Di bawah bimbingan Dr. Ir Endang Warsiki, MT dan Drh. M. Rizal M. Damanik M.Rep. Sc. P.hD.
RINGKASAN
Kaum ibu di Indonesia mengenal beberapa jenis tanaman yang dipercaya dapat menambah produksi ASI (laktagogum) seperti daun katuk dan daun pepaya. Torbangun (Coleus amboinicus Lour) merupakan salah satu tanaman obat yang dipercaya masyarakat suku Batak untuk menambah produksi Air Susu Ibu (ASI) serta memulihkan tenaga pasca melahirkan. Sop daun Torbangun umumnya dikonsumsi dalam bentuk sop bersantan. Produk ini sangat prospektif untuk dipasarkan, namun kandungan santan pada sop daun Torbangun menjadikan produk ini rentan terhadap kerusakan seperti ketengikan dan kerusakan mikrobiologis. Oleh karena itu, dibutuhkan kajian mengenai teknik pengemasan dan penyimpanan bagi produk sop daun Torbangun.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan berbagai jenis kemasan dan kondisi penyimpanan untuk memperpanjang umur simpan sop daun Torbangun. Tujuan khusus penelitian adalah untuk memperoleh jenis kemasan terbaik untuk sop daun Torbangun, mengetahui kondisi penyimpanan yang paling sesuai untuk sop daun Torbangun serta mengetahui penurunan mutu sop daun Torbangun selama penyimpanan. Selain itu dari penelitian ini dapat diketahui umur simpan produk tanpa penambahan bahan pengawet.
Penelitian ini terdiri dari 2 tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan, dilakukan penentuan umur simpan sop daun Torbangun dan analisa proksimat awal untuk mengetahui karakteristik produk. Perlakuan dalam penelitian ini adalah jenis pengemasan dan suhu serta lama penyimpanan. Kemasan yang digunakan terdiri dari gelas, plastik LDPE dan plastik microwavable (CPET) dengan suhu penyimpanan dingin (3-5oC dan 12-15oC) dan suhu ruang (27-30oC). Sop daun Torbangun disimpan selama 8 hari untuk penyimpanan suhu dingin dan 2 hari untuk penyimpanan suhu ruang berdasarkan hasil dari penelitian pendahuluan. Penelitian utama dilakukan sebanyak 2 kali ulangan. Analisis mutu yang dilakukan meliputi pengujian ketengikan (Bilangan Thiobarbituric Acid), uji mikrobiologi (Total Plate Count), derajat keasaman (pH) dan Total Asam Tertitrasi (TAT).
Sebelum penyimpanan, dilakukan analisa untuk mengetahui perubahan yang terjadi selama penyimpanan. Hasil analisa proksimat menunjukkan bahwa sop daun Torbangun memiliki kadar lemak yang cukup tinggi yaitu memiliki kadar air sebesar 84,43235 %, kadar karbohidrat sebesar 7,6683%, kadar protein sebesar 3,83975%, kadar lemak sebesar 3,1591, dan kadar abu sebesar 0,90055%.
Nilai ketengikan sop selama penyimpanan dengan berbagai jenis kemasan dapat dilihat melalui pengujian bilangan Thiobarbituric Acid (TBA). Hasil analisis ragam terhadap bilangan TBA menunjukkan bahwa bilangan TBA sop daun Torbangun dipengaruhi secara nyata oleh faktor suhu pada taraf 5 % pada hari kedua. Penyimpanan pada suhu 3-5oC tidak berbeda nyata dengan suhu 12-15oC. Nilai bilangan TBA pada kedua suhu ini cenderung lebih rendah
dibandingkan suhu yang lebih tinggi yaitu pada suhu 27-30oC. Semakin lama disimpan, nilai rata-rata TBA cenderung semakin meningkat. Uji bilangan TBA ini tidak berpengaruh nyata untuk faktor kemasan yang digunakan pada taraf 5%.
Berdasarkan hasil analisis ragam, faktor kemasan memberikan pengaruh nyata pada taraf 5 % terhadap nilai TPC di hari ketiga, keempat, ketujuh dan kedelapan. Nilai TPC yang tinggi ditunjukkan oleh kemasan LDPE, kemudian diikuti oleh kemasan microwavable plastic (CPET) dan kemudian kemasan gelas. Faktor suhu juga memberikan pengaruh yang nyata untuk taraf 5 % pada penyimpanan di hari pertama, kedua, ketiga, keempat, ketujuh, dan kedelapan. Peningkatan suhu akan meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme. Pada penyimpanan suhu kamar terlihat pertumbuhan mikroba yang sangat pesat pada semua jenis kemasan. Pada hari ketiga, interaksi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan juga memberikan pengaruh yang nyata pada taraf 5%.
Nilai pH menjadi faktor penting untuk suatu produk makanan bila dihubungkan dengan kualitas produk. Nilai pH produk tersebut dipengaruhi oleh faktor kemasan untuk taraf 5 % pada penyimpanan di hari kelima, keenam, ketujuh dan kedelapan. Hasil analisis ragam juga menunjukkan bahwa di hari pertama, kedua dan kelima, nilai pH dipengaruhi oleh faktor suhu pada taraf 5 %. pH yang semakin asam dihasilkan oleh suhu yang semakin tinggi. Pada hari pertama, interaksi antara suhu dan jenis kemasan juga mempengaruhi nilai pH produk pada taraf 5 %.
Perhitungan nilai TAT dapat digunakan untuk mengetahui tingkat keasaman atau kandungan asam suatu produk. Semakin lama penyimpanan, nilai TAT semakin meningkat, dan suhu ruang cenderung menunjukkan nilai TAT yang meningkat secara drastis pada penyimpanan selama 2 hari. Setelah hari ketiga, rata-rata nilai TAT yang lebih rendah ditunjukkan oleh produk yang disimpan pada suhu 3-5oC. Pada suhu ruang, nilai TAT cenderung meningkat dengan cepat dibandingkan pada suhu dingin (3-5oC dan 12-15oC). Berdasarkan hasil analisis ragam, faktor kemasan memberikan perbedaan yang nyata pada penyimpanan di hari keenam untuk taraf 5 %.
Pengambilan keputusan untuk mendapatkan alternatif kemasan terbaik dilakukan dengan metode pembobotan. Metode ini melibatkan faktor harga, kemudahan dalam proses pengemasan, tampilan produk setelah dikemas, kemudahan dalam proses distribusi, serta kepraktisan konsumen. Berdasarkan pembobotan dari faktor-faktor tersebut, kemasan CPET menunjukkan bobot tertinggi, sehingga kemasan ini merupakan kemasan terbaik bagi produk. Alternatif kemasan yang lain yaitu kemasan gelas yang menunjukkan bobot menengah dan kemasan LDPE yang memiliki bobot terendah.
Kombinasi antara kemasan yang baik dan suhu optimal dapat meminimalisasi tingkat kerusakan produk. Kombinasi antara kemasan dan kondisi penyimpanan terbaik untuk sop daun Torbangun ini adalah kemasan CPET pada suhu penyimpanan dingin 3-5˚C. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai umur simpan produk ini dengan mempertimbangkan penggunaan bahan pengawet atau antioksidan, serta perhitungan tingkat migrasi kemasan terhadap produk. Selain itu, perlu dikaji penggunaan kemasan berwarna untuk mengurangi tingkat oksidasi lemak pada produk.
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Skripsi yang berjudul Kajian Pengemasan Sop Daun Torbangun Sebagai Pelancar
Air Susu Ibu (ASI). Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Ibu Dr. Ir. Endang Warsiki, MT dan Drh. M. Rizal M. Damanik
M.Rep.Sc. Ph.D selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan dorongan, arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat
bagi penulis.
2. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA sebagai dosen penguji yang banyak memberikan
kritik dan saran yang membangun kepada penulis.
3. Ibu Evy Damayanti, yang telah memberikan kesempatan dan banyak
masukan kepada penulis.
4. Kedua orangtua tercinta, serta kakak dan keponakan-keponakan tersayang
atas dukungan moril dan materiil.
5. Mas Sugeng Supriadi, atas segala bantuan, dorongan, dukungan, kasih
sayang dan perhatian yang diberikan kepada penulis.
6. Keluarga baruku, Bapak Soenaryo sekeluarga, terimakasih atas dukungan,
perhatian, dan dorongan semangatnya sehingga semuanya dapat berjalan
sesuai rencana.
7. Devinanda Pricy DR C29, Veny dan Viranda Talitha, kalian sahabat-
sahabat terbaik yang pernah kumiliki.
8. Pak Mashudi, Pak Sugiardi, Bu Ega, Bu Rini, Pak Gun, Pak Edi dan
seluruh laboran di laboratorium Teknologi Industri Pertanian, atas
bantuannya selama penulis melakukan penelitian
9. Mas Deny Best, Tim Torbangun GM (Kak Deny, Devi, Betsy), Mas Adi,
Imam, Yuvi, Caycay, Adit, Fardian, Jeng Wid, Dita, Furi, Farah, tanpa
bantuan dan dorongan dari kalian, skripsi ini tidak akan sampai di meja
sidang.
iv
10. Rekan-rekan seperjuangan selama penelitian, Kosi, Marsu, Dika, Yandra,
Mas Anto, Mas Tarwin, Mbak Vivi, Mbak Kurmey, Kak Dojay, Mbak
MU, Mbak Evi, Kak Arban atas segala bantuan dan kebersamaan yang
menyenangkan.
11. Derry Dardanella dan Windi Rismawati, rekan satu bimbingan yang selalu
memberikan semangat dan dukungan selama penulis menyelesaikan
skripsi ini.
12. Rekan-rekan TIN40 atas dorongan semangat, persahabatan indah dan
persaudaraan yang manis dalam meniti langkah selama studi.
13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas segala
bantuan dan dukungannya sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian
hingga tersusunnya skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Akhirnya,
penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.
Bogor, April 2007
Penulis
v
DAFTAR ISI
Hal
Kata Pengantar................................................................................................ iii
Daftar Tabel.................................................................................................... vii
Daftar Gambar................................................................................................. viii
Daftar Lampiran.............................................................................................. ix
I. PENDAHULUAN………………………………………........................ 1
Latar Belakang………………………………………………............ 1
Tujuan………………………………………………………………. 2
II. TINJAUAN PUSTAKA………………...……………………………... 3
2.1 Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour)………………………. 3
2.1.1. Deskripsi botani……………………………………………… 3
2.1.2. Komposisi zat gizi daun torbangun.......................................... 4
2.1.3. Pemanfaatan daun torbangun………………………………… 5
2.2. Santan…………………...................................................................... 6
2.3. Pengemasan …………...………................................………………. 6
2.3.1. Kemasan gelas........................................................................... 8
2.3.2. Kemasan plastik......................................................................... 10
2.4. Kerusakan Selama Penyimpanan......................................................... 13
2.4.1. Kerusakan bahan pangan........................................................... 13
2.4.2. Uji kerusakan pangan................................................................ 17
2.5. Penyimpanan........................................................................................ 19
2.5.1. Kondisi penyimpanan................................................................ 19
2.5.2. Umur simpan.............................................................................. 21
III. METODOLOGI………………......…………………………………... 23
3.1. Bahan dan Alat …………………………………………..................... 23
3.2. Metode Penelitian.........……………………………………………… 23
3.2.1. Penelitian pendahuluan............................................................... 23
3.2.2. Penelitian utama ……………………………………..........…... 25
3.3. Analisa Mutu......................................................................................... 26
vi
3.4. Pengolahan dan Analisis Data……………………………………...... 27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................... 28
4.1. Analisa mutu............................................................................................ 29
4.1.1. Uji Ketengikan (Bilangan Thiobarbituric Acid)................................ 29
4.1.2. Uji Mikrobiologi (TPC)..................................................................... 33
4.1.3. Derajat asam (pH).............................................................................. 38
4.1.4. Total Asam Tertitrasi (TAT)…………………………………......... 41
4.2. Pemilihan Jenis Kemasan Terbaik........................................................... 43
VI. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... 47
6.1. Kesimpulan.............................................................................................. 47
6.2. Saran........................................................................................................ 48
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
49
LAMPIRAN.................................................................................................. 53
vii
DAFTAR TABEL
Hal Tabel 1. Komposisi zat gizi daun Torbangun dan Katu.................................. 5
Tabel 2. Perbandingan sifat-sifat utama bahan kemasan................................ 8
Tabel 3. Perbandingan sifat bahan kemasan microwavable............................ 13
Tabel 4. Hasil analisa proksimat produk sop daun Torbangun....................... 28
Tabel 5. Pembobotan faktor mutu produk (TBA, TAT, TPC dan pH)........... 46
Tabel 6. Total pembobotan untuk faktor mutu produk (TAT, TBA, TPC,
pH).....................................................................................................
46
Tabel 7. Total pembobotan untuk pemilihan kemasan terbaik bagi produk
sop daun Torbangun...................................................................
47
viii
DAFTAR GAMBAR
Hal Gambar 1. Coleus amboinicus Lour................................................................. 3
Gambar 2. Sop dalam kemasan........................................................................ 11
Gambar 3. Reaksi pembentukan malonaldehida.............................................. 18
Gambar 4. Diagram alir pembuatan sop daun Torbangun............................... 24
Gambar 5. Diagram alir penelitian pendahuluan............................................. 25
Gambar 6. Diagram alir penelitian utama........................................................ 26
Gambar 7. Grafik uji bilangan TBA (mg/kg malonaldehide).......................... 30
Gambar 8. Grafik pengaruh suhu terhadap nilai bilangan TBA...................... 31
Gambar 9. Grafik hasil uji mikrobiologi (Total Plate Count)……………….. 34
Gambar 10. Grafik interaksi jenis kemasan dan suhu terhadap nilai TPC....... 35
Gambar 11. Grafik hasil uji derajat keasaman (pH)......................................... 39
Gambar 12. Grafik interaksi jenis kemasan dan suhu terhadap nilai pH......... 40
Gambar 13. Grafik hasil uji Total Asam Tertitrasi (ml NaOH 0,1N/100gr).... 42
Gambar 14. Grafik pengaruh jenis kemasan terhadap nilai TAT.................... 43
Gambar 15. Diagram alir langkah pembobotan faktor perlindungan mutu
produk...........................................................................................
45
ix
DAFTAR LAMPIRAN Hal Lampiran 1. Sketsa wadah gelas dan dimensinya......................................... 53
Lampiran 2.a.Prosedur Analisa Total Asam Tertitrasi.................................... 54
Lampiran 2.b.Prosedur Analisa pH................................................................. 54
Lampiran 2.c.Prosedur Analisa Total Plate Count.......................................... 54
Lampiran 2.d.Analisa Thiobarbituric Acid (TBA)......................................... 55
Lampiran 3.a.Data hasil uji pH kemasan gelas pada tiga suhu penyimpanan 56
Lampiran 3.b.Data hasil uji pH kemasan LDPE pada tiga suhu
penyimpanan……………………………………………….....
56
Lampiran 3.c.Data hasil uji pH kemasan Microwavable plastic pada tiga
suhu penyimpanan.....................................................................
56
Lampiran 4.a.Data hasil uji mikrobiologi (TPC) kemasan gelas pada tiga
suhu penyimpanan.....................................................................
57
Lampiran 4.b.Data hasil uji mikrobiologi (TPC) kemasan LDPE pada tiga
suhu penyimpanan.....................................................................
57
Lampiran 4.c.Data hasil uji mikrobiologi (TPC) kemasan microwavable
plastic pada tiga suhu penyimpanan..........................................
58
Lampiran 5.a.Data hasil uji TBA kemasan gelas pada tiga suhu
penyimpanan.............................................................................
59
Lampiran 5.b.Data hasil uji TBA kemasan LDPE pada tiga suhu
penyimpanan.............................................................................
60
Lampiran 5.c.Data hasil uji TBA kemasan Microwavable pada tiga suhu
penyimpanan………………………………………………….
61
Lampiran 6.a.Data hasil uji TAT kemasan gelas pada tiga suhu
penyimpanan.............................................................................
62
Lampiran 6.b.Data hasil uji TAT kemasan LDPE pada tiga suhu
penyimpanan.............................................................................
63
Lampiran 6.c.Data hasil uji TAT kemasan Microwavable pada tiga suhu
penyimpanan.............................................................................
64
Lampiran 7. Analisis ragam parameter pH hari ke-1……………………….. 65
x
Lampiran 8. Uji Lanjut Duncan parameter pH pada hari ke-1 (faktor
suhu).......……...........................................................................
65
Lampiran 9. Analisis ragam parameter pH hari ke-2……………………….. 65
Lampiran 10. Uji Lanjut Duncan parameter pH pada hari ke-2 (faktor suhu) 65
Lampiran 11. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-3........................... 66
Lampiran 12. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-4........................... 66
Lampiran 13. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-5........................... 66
Lampiran 14. Uji Lanjut Duncan parameter pH pada hari ke-5 (faktor
kemasan)………………………………………………………
67
Lampiran 15. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-6........................... 67
Lampiran 16. Uji Lanjut Duncan parameter pH pada hari ke-6 (faktor
kemasan)....................................................................................
67
Lampiran 17. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-7........................... 67
Lampiran 18. Uji Lanjut Duncan parameter pH pada hari ke-7 (faktor
kemasan)....................................................................................
68
Lampiran 19. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-8........................... 68
Lampiran 20. Uji Lanjut Duncan parameter pH pada hari ke-8 (faktor
kemasan)....................................................................................
68
Lampiran 21. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-1......................... 69
Lampiran 22. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-1 (faktor
suhu)…………………………………………………………..
69
Lampiran 23. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-2......................... 69
Lampiran 24. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-2 (faktor
suhu)…………………………………………………………..
70
Lampiran 25. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-3......................... 70
Lampiran 26. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-3 (faktor
suhu)…………………………………………………………..
70
Lampiran 27. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-3 (faktor
kemasan)………………………………………………………
71
Lampiran 28. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-4......................... 71
Lampiran 29. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-4 (faktor
kemasan)....................................................................................
71
xi
Lampiran 30. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-5......................... 72
Lampiran 31. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-6......................... 72
Lampiran 32. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-7......................... 73
Lampiran 33. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-7 (faktor
kemasan)....................................................................................
73
Lampiran 34. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-7......................... 73
Lampiran 35. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-8 (faktor
kemasan)....................................................................................
74
Lampiran 36. Analisis ragam parameter TAT pada hari ke-2........................ 74
Lampiran 37. Analisis ragam parameter TAT pada hari ke-4........................ 74
Lampiran 38. Analisis ragam parameter TAT pada hari ke-6........................ 75
Lampiran 39. Uji Lanjut Duncan parameter TAT pada hari ke-6 (faktor
kemasan)....................................................................................
75
Lampiran 40. Analisis ragam parameter TAT pada hari ke-8........................ 75
Lampiran 41. Analisis ragam parameter TBA pada hari ke-2........................ 75
Lampiran 42. Uji Lanjut Duncan parameter TBA pada hari ke-2 (faktor
suhu)…………………………………………………………..
76
Lampiran 43. Analisis ragam parameter TBA pada hari ke-4........................ 76
Lampiran 44. Analisis ragam parameter TBA pada hari ke-6........................ 76
Lampiran 45. Analisis ragam parameter TBA pada hari ke-8........................ 76
Lampiran 46. Data uji visual produk sop daun Torbangun pada suhu 27-
30oC...........................................................................................
77
Lampiran 47. Data uji visual produk sop daun Torbangun pada suhu 10-
12oC...........................................................................................
78
Lampiran 48. Data uji visual produk sop daun Torbangun pada suhu 3-5oC. 79
Lampiran 49. Gambar sop daun Torbangun dalam kemasan gelas………… 80
Lampiran 50. Gambar sop daun Torbangun dalam kemasan LDPE............... 80
Lampiran 51. Gambar sop daun Torbangun dalam kemasan CPET………... 80
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kaum ibu di Indonesia mengenal berbagai macam tanaman yang dipercaya
mampu meningkatkan produksi ASI, atau yang disebut pula laktagogum, seperti
daun katu dan daun pepaya. Torbangun (Coleus amboinicus Lour) adalah salah
satu jenis tanaman obat yang banyak dikonsumsi oleh wanita suku Batak di
Propinsi Sumatera Utara yang sedang menyusui. Wanita Batak memiliki tradisi
dan kepercayaaan bahwa mengkonsumsi daun tanaman ini selama periode
menyusui akan meningkatkan produksi air susu mereka. Tradisi ini telah berjalan
sejak ratusan tahun yang lalu dan sampai sekarang masih terus dipraktekkan
(Damanik et al., 2001).
Silitonga (1993) telah membuktikan bahwa daun Torbangun berpengaruh
terhadap peningkatan produksi air susu induk tikus dan pertambahan pertumbuhan
anaknya. Damanik (2005) telah membuktikan hal yang sama pada manusia (ibu
menyusui). Dalam penelitiannya, Damanik (2005) menyatakan bahwa konsumsi
daun Torbangun berpengaruh nyata terhadap peningkatan kadar beberapa mineral
seperti zat besi, kalium, seng dan magnesium dalam ASI serta mengakibatkan
peningkatan berat badan bayi secara nyata.
Daun Torbangun umumnya dikonsumsi dalam bentuk sayur sop. Resep
sayur daun Torbangun yang umum dikenal oleh masyarakat suku Batak adalah
sayur dibuat dengan menggunakan santan, dimana dalam proses pengolahan
makanan tersebut terjadi perubahan-perubahan fisik maupun kimiawi yang
dikehendaki maupun yang tidak dikehendaki. Kandungan santan yang terdapat
pada produk tersebut menjadikan sop daun Torbangun berlemak yang rentan
terhadap proses oksidasi dan ketengikan. Hal ini mengakibatkan sop tidak stabil
dan mengalami penurunan mutu. Oleh karena itu, produk perlu dikemas. Jenis
kemasan yang dapat digunakan untuk makanan berlemak adalah wadah gelas,
kertas, plastik dan kaleng (Ketaren, 1986). Pemilihan jenis kemasan yang tepat
dan kondisi penyimpanan yang sesuai akan memperpanjang masa simpan sop dan
nilai gizi bahan dapat dipertahankan.
2
Kemasan merupakan wadah yang digunakan untuk tempat bahan atau
produk yang dikemas. Kemasan dapat memberikan perlindungan sesuai dengan
tujuannya. Kemasan dapat membantu mencegah atau mengurangi kerusakan,
melindungi bahan terkemas dari pencemaran serta gangguan fisik seperti gesekan,
benturan dan getaran. Dari segi promosi, kemasan berfungsi sebagai perangsang
atau daya tarik pembeli. Apabila diproses dan dikemas dengan tepat, bahan
pangan olahan seperti sop daun Torbangun akan stabil untuk jangka waktu yang
lebih lama.
Penentuan umur simpan ini dibatasi oleh perubahan fisika dan kimiawi yang
diakibatkan oleh interaksi antara pangan, kemasan dan kondisi penyimpanan.
Penurunan mutu dan interaksi yang tidak menguntungkan perlu diminimalisasi.
Sebagai makanan olahan baru yang berprospek untuk dipasarkan, diperlukan
kajian yang menyeluruh tentang penerapan pengemasan terhadap perubahan mutu
produk. Penelitian ini dirancang untuk mendapatkan bahan kemasan dan kondisi
penyimpanan yang memberikan umur simpan sop daun Torbangun terlama
dengan mutu terbaik.
1.2. Tujuan
Tujuan umum dari diadakannya penelitian ini adalah untuk mengkaji
penerapan berbagai jenis kemasan dan kondisi penyimpanan untuk
memperpanjang umur simpan sop daun Torbangun. Tujuan khusus penelitian
adalah sebagai berikut :
(i) memperoleh jenis kemasan terbaik untuk sop daun Torbangun
(ii) mengetahui kondisi penyimpanan yang paling sesuai untuk sop daun
Torbangun
(iii) mengetahui penurunan mutu sop daun Torbangun selama penyimpanan
(iv) mengetahui umur simpan sop daun Torbangun tanpa bahan pengawet
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour)
Daun Torbangun masuk ke dalam bangsa solanases, suku labiatae, dan
marga coleus. Daun ini mempunyai nama yang berbeda pada beberapa daerah,
yaitu Ajeran atau Ajiran (Sunda), daun Kucing (Jawa), Torbangun (Batak), Sukan
(Melayu), daun Kambing (Madura), Iwak (Bali), dan Kunu etu (Timor)
(Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). Nama latin tumbuhan ini adalah Coleus
aromaticus Lour atau Plectranthus amboinicus Lour (Gambar 1). Klasifikasi daun
Torbangun adalah sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Solanales
Suku : Labiatae
Marga : Coleus
Jenis : Coleus amboinicus Lour.
Gambar 1. Coleus amboinicus Lour
2.1.1. Deskripsi botani
Torbangun merupakan terna sekuler tahunan atau agak menyerupai semak.
Tanaman ini tidak berumbi, percabangan agak berbentuk galah, berbulu halus
pada saat muda, lokos jika tua. Daun tanaman ini berhadapan, tunggal, tebal,
4
berdaging, bundar telur melebar, agak bundar atau berbentuk seperti jantung,
dengan luas 5-7 x 4-6 cm2. Permukaan daun atas berbulu halus tersebar dan pada
bagian pertulangannya daun berambut panjang, tepi daun beringgit kasat sampai
bergigi kecuali pada bagian pangkal. Panjang tangkai daun 2-45 cm dan berbulu
halus. Rangkaian bunga terdiri atas 10-20 bunga yang tersusun rapat dalam suatu
gelungan menyerupai bulir, panjang rakis 10-20 cm, berdaging dan berbulu halus.
Daun pelindung bulat telur, melebar, panjang 3-4 cm dengan ujung meruncing.
Daun kelopak berbentuk lonceng, panjang 2-4 mm, berbulu panjang dan
berkelenjar, berukuran tidak sama, bergigi 5; gigi atas bundar telur melebar,
tumpul; gigi lateral dan bawah meruncing. Daun mahkota biru, melengkung,
panjang 8-12 mm, panjang tabung 3-4 mm, menyerupai terompet, labium atas
pendek, tegak, berbulu sangat halus, labium bawah panjang, cekung. Tangkai sari
bersatu di bagian bawah membentuk tabung, mengelilingi putik. Berbiji satu
coklat pucat, permukaannya licin, agak bulat, pipih 0,7 x 0,5 mm2 (Siagian dan
Rahayu, 2000).
2.1.2. Komposisi zat gizi daun torbangun
Daun Torbangun berpotensi sebagai bahan pangan sumber zat besi,
provitamin A (karoten), dan kalsium. Dalam 100 gram bahan, daun Torbangun
mengandung kalsium sebesar 279 mg, besi sebesar 13,6 mg, dan karoten total
sebesar 13288 mkg. Nilai ketiga jenis zat gizi ini lebih besar bila dibandingkan
dengan daun katu (Sauropus androgynus). Daun katu juga merupakan jenis
tanaman yang daunnya digunakan sebagai pelancar produksi Air Susu Ibu (ASI).
Daun katu hanya mengandung kalsium sebesar 233 mg, besi sebesar 3,5 mg, dan
karoten total sebesar 10020 mkg. (Mahmud, et al., 1995). Komposisi zat gizi daun
Torbangun dan katu selengkapnya disajikan pada Tabel 1.
Daun Torbangun mengandung saponin, flavonoida dan polifenol, disamping
minyak atsiri. Kandungan zat aktif dalam tanaman ini antara lain barbatusin,
barbatusol (pada daun), koleol, forskolin (pada umbi-akar), dan phytosterol.
Khasiat forskolin bahkan bisa sebagai tonikum jantung, merangsang ereksi, dan
aktivator enzim adenilat-siklase. Sementara itu, phutosterol bersifat steroid.
5
Tabel 1. Komposisi zat gizi daun Torbangun dan Katu
Zat Gizi Komposisi
Torbangun Katu
Energi (kal) 27,0 59,0
Protein (g) 1,3 6,4
Lemak (g) 0,6 1,0
Karbohidrat (g) 4,0 9,9
Serat (g) 1,0 1,5
Abu (g) 1,6 1,7
Kalsium (mg) 279,0 233,0
Fosfor (mg) 40,0 98,0
Besi (mg) 13,6 3,5
Karotin total (mkg) 13288,0 10020,0
Vitamin A 0,0 0,0
Vitamin B1 0,16 0,0
Vitamin C 5,1 164,0
Air 92,5 81,0
BDD 66,0 42,0
Sumber : Mahmud, et al. (1995)
2.1.3. Pemanfaatan daun torbangun
Dari hasil penelitian diketahui bahwa tanaman Torbangun di Batak
Simalungun dan Toba digunakan sebagai bahan pangan untuk pemulihan tenaga
dan untuk memperbanyak Air Susu Ibu (ASI), sebagai bahan obat tradisional
untuk penyembuhan berbagai jenis penyakit seperti sariawan, demam, sakit
kepala, influenza, dan rheumatik (Damanik et al., 2001; Siagian dan Rahayu,
2000). Berdasarkan penelitian Silitonga (1993), selain meningkatkan produksi air
susu induk tikus, ternyata konsumsi daun Torbangun dapat berakibat pada
peningkatan bobot badan anak tikus. Hasil penelitian Damanik (2005)
menyebutkan bahwa konsumsi daun Torbangun pada ibu menyusui dapat
meningkatkan total volume ASI dan kandungan beberapa mineral dalam ASI
seperti besi, kalium, seng, dan magnesium secara signifikan jika dibandingkan
6
dengan kelompok kontrol yang mengkonsumsi tablet Fenugreek maupun kapsul
Moloco+B12.
2.2. Santan
Salah satu komponen yang terdapat dalam sop daun Torbangun ini adalah
santan. Santan adalah emulsi dari lemak, protein dan karbohidrat dalam air
(Somaatmaja, et.al., 1973). Santan merupakan produk pangan yang mengandung
kadar air, protein, dan lemak yang cukup tinggi sehingga mudah ditumbuhi oleh
mikroorganisme pembusuk dan menjadi mudah rusak. Sementara itu, upaya
pembuatan santan awet dilakukan dengan proses pemanasan suhu sterilisasi yang
dapat menimbulkan beberapa kerusakan mutu produk. Kerusakan tersebut antara
lain pecahnya emulsi santan, timbulnya aroma tengik, dan perubahan warna
menjadi lebih gelap (agak coklat).
Santan merupakan salah satu produk pangan berlemak tinggi. Menurut
Ketaren (1986), kerusakan bahan pangan berlemak yang sering terjadi adalah
kerusakan lemak pada proses pengolahan maupun saat penyimpanan. Kerusakan
lemak yang utama adalah ketengikan, yaitu terjadinya perubahan bau dan flavor.
Winarno (1986) menyatakan kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau
dan rasa tengik yang disebabkan oleh auto oksidasi radikal asam lemak tak jenuh
dalam lemak. Auto oksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas
yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat mempercepat reaksi. Ketaren
(1986) menyatakan bahwa ketengikan juga dapat terjadi akibat hidrolisa lemak
yang kemudian menghasilkan komponen zat berbau tengik yang mengandung
asam lemak jenuh rantai pendek.
2.3. Pengemasan
Pengemasan bertujuan untuk mencegah kebusukan, memudahkan dalam
transportasi, penyimpanan, pengawasan mutu dan membuat produk menjadi lebih
menarik (Zaitsev, et al., 1969). Jenis kemasan yang dapat digunakan untuk
makanan berlemak adalah wadah gelas, kertas, plastik dan kaleng (Ketaren,
1986). Beberapa persyaratan untuk kemasan makanan yang perlu
dipertimbangkan adalah sebagai berikut : permeabilitas terhadap udara, tidak
7
dapat menyebabkan penyimpangan warna produk, tidak bereaksi sehingga tidak
merusak bahan maupun cita rasanya, tidak mudah teroksidasi atau bocor, tahan
panas, mudah dikerjakan dan harganya murah (Winarno dan Jenie, 1983).
Kemasan adalah wadah yang berfungsi sebagai pelindung produk, yang
telah dilengkapi dengan tulisan, label dan keterangan-keterangan sebagai sarana
informasi, komunikasi dan promosi serta sarana yang memberikan kemudahan
bagi produsen dan konsumen (Reksohadinoto, 1991). Menurut Undang-Undang
(UU) Nomor 7 tahun 1996 (7/1996) tentang Pangan, bab Ketentuan Umum Pasal
1 no.10, disebutkan bahwa kemasan pangan adalah bahan yang digunakan untuk
mewadahi atau membungkus pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan
pangan maupun tidak.
Kerusakan yang terjadi dalam bahan pangan dapat terjadi secara spontan
dan hal ini sering disebabkan oleh pengaruh keadaan dari luar. Pengemasan juga
digunakan untuk membatasi antara bahan pangan dengan keadaan sekelilingnya
untuk menunda proses kerusakan dalam jangka waktu tertentu (Buckle et al.,
1987). Menurut Syarief dan Irawati (1983), pengemasan pada umumnya bertujuan
untuk menghindari kerusakan yang disebabkan oleh mikroba, fisik, kimia,
biokimia, perpindahan uap air dan gas, sinar UV dan perubahan suhu.
Pengemasan sebagai bagian integral dari proses produksi dan pengawetan
bahan pangan dapat juga mempengaruhi mutu produk antara lain perubahan fisik
dan kimia karena migrasi zat-zat kimia dari bahan kemasan. Selain itu juga
perubahan aroma, warna, dan tekstur yang dipengaruhi uap air dan oksigen
(Syarief et al., 1989). Secara khusus, untuk jenis makanan berminyak keterlibatan
uap air akan menyebabkan proses hidrolisa pada minyak menjadi asam lemak
bebas dan gliserol yang akan menimbulkan ketengikan produk. Sedangkan adanya
gas (oksigen) menyebabkan terjadinya proses oksidasi minyak/lemak, sehingga
terbentuk peroksida dan hidroperoksida. Tahap selanjutnya adalah terurainya
asam-asam lemak disertai konversi hidroperoksida menjadi aldehida dan keton
serta asam-asam lemak bebas. Ketengikan disebabkan oleh aldehida dan bukan
oleh peroksida. Tabel 2 menunjukkan perbandingan sifat-sifat dari bahan
kemasan.
8
Tabel 2. Perbandingan sifat-sifat utama bahan kemasan
Jenis material
Densitas (gm/cc)
Kekuatan (1000 kg/cm2)
Kekakuan (1000 kg/cm2)
UTL* (oC)
Transmisi Cahaya/warna
Plastik 0.88-1.7 0.07-1.0 0.7-42 80-250 Transparan-Opaque
Steel 7.80 1.40-3.5 1800 400 Opaque
Alumunium 2.70 0.70-2.1 700 260 Opaque
Yertas 0.70-1.2 0.07-0.7 7.0-32 160 Translucent-Opaque
Gelas 2.50 0.14-1.4 700 400 Transparan-Opaque
*UTL = Upper use temperature limit (limit suhu maksimal) Sumber : Brown, 1992
Peterson (1969) menyatakan bahwa kondisi vakum dalam kemasan dapat
dibuat dengan cara pemindahan mekanis udara dari produk. Teknik ini dapat
dilakukan dengan tiga cara, yaitu menggunakan alat vaccum sealer, menyapu uap
air keluar dari headspace dengan penyemprotan steam serta secara manual.
Teknik manual adalah pengisian produk ke dalam kemasan dengan suhu awal
yang tinggi dan segera dikelim pada headspace tertentu. Kondisi vakum/hampa
udara terbentuk karena sewaktu pemanasan molekul-molekul produk berkontraksi
melepas molekul udara dan pada proses pendinginan terjadi pemindahan molekul
udara dalam headspace dengan uap air yang segera mengalami kondensasi.
Semakin tinggi suhu produk yang diisikan dalam kemasan, semakin tinggi
kondisi vakum yang terbentuk. Semakin besar headspace dalam kemasan maka
kondisi vakum kemasan akan menurun. Oleh karena itu dilakukan pengisian
produk pada suhu awal yang optimum dengan headspace minimum untuk
menghasilkan kondisi vakum secara manual dengan baik (Peterson, 1969).
2.3.1. Kemasan Gelas
Gelas merupakan salah satu bentuk kemasan tertua yang banyak digunakan
sebagai pengemas produk pangan. Sebagai bahan kemasan, gelas mempunyai
berbagai sifat yang menguntungkan, seperti sifatnya yang kedap terhadap gas
sehingga bahan kemasan gelas cocok untuk mengemas minuman karbonat, barier
yang baik terhadap benda padat, cair dan gas yang dapat berfungsi sebagai
pelindung terhadap kontaminasi bau dan cita rasa, serta mempunyai sifat tidak
9
bereaksi (inert) sehingga produk dalam kemasan gelas dapat lebih awet dan tidak
mengalami perubahan cita rasa. Selain memiliki berbagai sifat yang
menguntungkan, kemasan gelas juga mempunyai beberapa kelemahan, seperti
sifatnya yang mudah pecah dan sifatnya yang kurang baik bagi produk- produk
yang peka terhadap penyinaran (ultraviolet).
Permeabilitas gas suatu kemasan merupakan kemampuan gas tersebut untuk
melewatkan suatu gas misalnya oksigen, karbondioksida dan nitrogen. Oksigen
merupakan faktor pemicu terjadinya reaksi oksidasi karena oksigen akan bereaksi
dengan lipid tidak jenuh pada bahan pangan berlemak yang ada dalam kemasan.
Reaksi oksidasi tersebut akan menyebabkan terjadinya ketengikan yang akan
mempengaruhi umur simpan bahan pangan. Menurut Syarief et al.,(1989)
kemasan gelas kedap terhadap semua gas. Jenis penutup pada kemasan gelas yang
dipakai adalah plastik HDPE yang memiliki permeabilitas gas oksigen sebesar 11
{(cm3/cm2/mm/dt/cmHg) × 1010}
Faktor yang cukup menentukan dalam pengemasan botol adalah adanya
ruang udara. Ruang kosong (head space) harus disediakan pada saat setiap botol
diisikan dengan suatu bahan. Ruang udara ini diberikan untuk mengantisipasi
terjadinya pemuaian bahan akibat peningkatan suhu karena proses sterilisasi.
Ukuran dari head space ini diusahakan tidak terlalu besar atau kecil. Bila terlalu
besar maka dapat mengakibatkan akumulasi udara pada ujung botol dan bila
terlalu kecil maka tutup dan ujung botol dapat pecah (Winarno dan Laksmi,
1974). Besarnya head space yang digunakan tergantung dari bahan yang dikemas.
Pada umumnya berkisar antara 3%-5%. Namun untuk produk-produk yang
menghasilkan gas seperti peroksida dan hipoklorit digunakan head space sebesar
10% (Adcock, 1997).
Kemasan gelas dapat digunakan untuk jenis bahan berasam rendah ataupun
berasam tinggi, sehingga cocok digunakan untuk mengemas sayuran. Perbedaan
suhu di dalam dan di luar kemasan tidak boleh lebih dari 27oC. Oleh karena itu,
proses pengemasan terhadap kemasan ini harus dilakukan secara perlahan-lahan
untuk menghindari keretakan (Syarief et al., 1989). Gambar dan dimensi gelas
dapat dilihat pada Lampiran 1. Proses penutupan merupakan bagian yang cukup
penting dalam penggunaan gelas jar. Penutupan yang rapat dapat dihasilkan
10
karena konstruksi leher botol memiliki ulir dan pengunci yang dapat menahan
tutup secara kuat, sedangkan tutup botol memiliki bibir pengunci yang cocok
dengan leher botol tersebut (Adcock, 1997).
2.3.2. Kemasan Plastik
Plastik adalah senyawa polimer dari turunan-turunan monomer hidrokarbon
yang membentuk molekul-molekul dengan rantai panjang dari reaksi polimerisasi
adisi atau polimerisasi kondensasi. Sifat-sifat plastik sangat tergantung jumlah
molekul dan susunan atom molekul. Plastik dalam bentuk produk akhir terdiri dari
polimer murni dan unsur-unsur lain seperti bahan pengisi (filler), pigmen,
stabilisator, dan bahan pelunak (Harper, 1975). Penggunaan plastik sebagai bahan
kemasan makanan cukup menarik karena sifat-sifatnya yang menguntungkan,
seperti luwes, mudah dibentuk, mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap produk,
tidak korosif seperti wadah logam, serta mudah dalam penanganannya. Di dalam
perdagangan, dikenal plastik untuk kemasan pangan (food grade) dan kemasan
untuk bukan pangan (non-food grade) (Syarief, 1988).
Penggunaan plastik sebagai bahan pengemas mempunyai keunggulan
dibandingkan dengan bahan kemasan lainnya karena sifatnya yang ringan,
transparan, kuat, termoplastik dan permeabilitasnya terhadap uap air, CO2, dan
O2. Permeabilitas terhadap uap air dan udara tersebut menyebabkan peran plastik
dalam memodifikasi ruang kemas selama penyimpanan. Sifat terpenting bahan
kemasan yang digunakan meliputi permeabilitas gas dan uap air, bentuk dan
permukaannya. Permeabilitas uap air dan gas, serta luas permukaan kemasan
mempengaruhi produk yang disimpan. Jumlah gas yang baik dan luas permukaan
yang kecil menyebabkan masa simpan produk lebih lama (Winarno, 1987).
Penggunaan plastik sebagai bahan kemasan dapat berupa kemas bentuk
(fleksibel) atau sebagai bahan kemas baku. Makanan padat umumnya memiliki
umur simpan pendek atau makanan yang tidak memiliki perlindungan yang hebat
dibungkus dengan kemas bentuk. Akan tetapi, makanan cair dan makanan padat
yang memerlukan perlindungan yang kuat perlu dikemas dengan wadah kaku
dalam bentuk botol, jerigen, kotak atau bentuk lainnya (Syarief et al., 1989).
11
Beberapa contoh pengemasan sop yang bisa ditemukan di pasaran
diantaranya terlihat pada gambar 2.
Gambar 2. Sop dalam kemasan
Polietilena (PE) merupakan salah satu jenis plastik yang dibuat dengan
proses polimerisasi adisi dari gas etilen yang diperoleh dari hasil samping industri
arang dan minyak. Polietilena merupakan jenis plastik yang paling banyak
digunakan dalam industri karena sifat-sifatnya yang mudah dibentuk, tahan
terhadap berbagai bahan kimia, penampakannya jernih dan mudah digunakan
sebagai laminasi (Syarief et al., 1989). Polietilena dapat dibedakan dari polimer
lain berdasarkan karakteristik berat molekul dan titik leleh. Polietilena adalah
polimer kristalin, maka hanya dapat larut pada suhu tinggi. Kristalinitas
polietilena merupakan fungsi dari jumlah cabang dalam polimer tersebut. Bila
jumlah cabang banyak, maka struktur ketidakteraturan besar, sehingga
kristalinitasnya rendah (Harimurti dan Basri, 1992).
PE diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yaitu High Density Poliethylene
(HDPE), Low Density Poliethylene (LDPE) dan Linear Low Density Poliethylene
(LLDPE). Plastik LDPE baik terhadap daya rentang, kekuatan retak, ketahanan
putus, dan mampu mempertahankan kestabilannya hingga di bawah suhu -60oC.
12
Jenis plastik ini memiliki ketahanan yang baik terhadap air dan uap air, namun
kurang terhadap gas (Robertson, 1993). Briston dan Katan (1974) menyatakan
titik leleh dari plastik LDPE yaitu 85-87oC. Menurut Harrington et al., (1991)
kemasan yang dibuat dari LDPE memiliki ciri khas lembut, fleksibel dan mudah
direntangkan, jernih, penahan uap air yang baik namun bukan penahan oksigen
yang baik, tidak menyebabkan aroma atau bau terhadap makanan, serta mudah di-
seal. LDPE juga bersifat lentur, resisten terhadap suhu rendah, tahan asam, basa
dan alkohol, kedap air, daya rentang tinggi tanpa sobek, transparan, dan daya
tembus LDPE terhadap O2 sebesar 30.9 {(cm3/cm2/mm/dt/cmHg) × 1010} dan
H2O sebesar 876 {(cm3/cm2/mm/dt/cmHg) × 1010} (Buckle et al., 1987).
Polietilena dengan kepadatan tinggi (suhu dan tekanan rendah) (HDPE)
memberikan perlindungan yang baik terhadap air dan meningkatkan stabilitas
terhadap panas. Daya tembus HDPE terhadap O2 sebesar 10,5
{(cm3/cm2/mm/dt/cmHg) × 1010} dan H2O sebesar 30,5 {(cm3/cm2/mm/dt/cmHg)
× 1010} (Buckle et al.,1987). Plastik jenis ini memiliki lebih banyak rantai antar
molekulnya, sehingga mempunyai densitas yang lebih tinggi sehingga lebih kaku.
Kemasan ini mempunyai daya tembus terhadap oksigen yang rendah dan tahan
terhadap asam (Hine, 1987). Titik leleh plastik jenis ini yaitu 120-130oC (Briston
dan Katan, 1974). Menurut Robertson (1993), HDPE lebih tahan terhadap zat
kimia dibandingkan dengan LDPE dan memiliki ketahanan yang baik terhadap
minyak dan lemak. Menurut Buckle et al., (1987), sifat-sifat daya tembus oksigen
dipengaruhi oleh suhu lingkungan, ketebalan plastik, orientasi dan komposisi
plastik kondisi atmosfer (RH) dan faktor lainnya.
Jenis plastik lain yang digunakan dalam pengemasan sop daun Torbagun ini
adalah Crystallized Polyethylene Terephthalat (CPET). CPET merupakan plastik
dengan ketahanan panas yang baik, yaitu berkisar antara 200-225oC. Plastik ini
kuat, kaku, namun bersifat rapuh, sehingga harus ditambahkan bahan aditif
tertentu. CPET memiliki sifat penghalang yang hampir sama dengan PET, yaitu
sifat penahan yang baik terhadap oksigen dan uap air, serta baik untuk produk
berlemak. Plastik CPET ini dapat digunakan untuk produk yang akan dikemas
dengan teknik hot filling atau teknik pengemasan biasa. Sifat fisik CPET jika
dibandingkan dengan bahan lain tersaji dalam Tabel 3.
13
Tabel 3. Perbandingan sifat bahan kemasan microwavable
Material Temperatur maksimum
(oC)
Ketahanan terhadap Kemampuan keliman panas
(heat seal)
Dual ovenability Oksigen Uap
air Lemak
CPET 220 +++ ++ +++ ++ √ PP 110 + +++ +++ +++ - PS 80 +++ ++ +++ + - LDPE 75 + +++ ++ +++ - Keterangan : +++ : Baik - : Ya ++ : Sedang √ : Tidak + : Buruk
Sumber : Anantheswaran, 2001
2.4. Kerusakan Selama Penyimpanan
2.4.1. Kerusakan bahan pangan
Selama penyimpanan dan distribusi, bahan pangan dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan di sekelilingnya. Faktor-faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban,
oksigen dan cahaya dapat menimbulkan reaksi yang dapat menimbulkan
kerusakan pada bahan pangan. Akibat dari reaksi tersebut, bahan pangan akan
sampai pada suatu titik, dimana konsumen akan menolak bahan pangan tersebut
atau bahan pangan tersebut akan membahayakan orang yang mengkonsumsinya.
Menurut Desrosier (1988), faktor yang mempengaruhi stabilitas
penyimpanan bahan pangan diantaranya jenis dan kualitas bahan baku yang
digunakan, metode dan keefektifan pengolahan, jenis dan keadaan pengemasan,
perlakuan mekanis yang dilakukan terhadap produk yang dikemas selama
distribusi dan penyimpanan, dan pengaruh yang ditimbulkan oleh suhu dan
kelembaban penyimpanan. Oleh karena itu diperlukan pemilihan jenis dan kondisi
pengolahan yang sesuai, pengemasan dan penyimpanan yang tepat sehingga dapat
benar-benar melindungi dan mempertahankan kualitas yang dikehendaki.
Syarief dan Halid (1992) menyatakan bahwa penyimpangan bahan pangan
secara konvensional ada dua macam, yaitu penyusutan kualitatif dan penyusutan
kuantitatif. Penyusutan kuantitatif yaitu kehilangan jumlah atau bobot akibat
penanganan yang tidak memadai dan adanya gangguan biologis (proses respirasi,
serangga, tikus). Penyusutan kualitatif adalah kerusakan akibat perubahan biologi
(mikroba, respirasi), terjadi perubahan fisik (suhu, kelembaban), perubahan kimia
14
(reaksi pencoklatan, ketengikan dan penurunan nilai gizi). Bahan pangan yang
telah mengalami penyusutan kualitatif artinya bahan tersebut mengalami
penurunan mutu hingga menjadi tidak layak dikonsumsi manusia. Bahan pangan
disebut rusak apabila bahan pangan telah kadaluarsa, yaitu telah melampaui masa
simpan optimumnya dan pada umumnya makanan tersebut menurun mutu gizinya
meskipun penampakannya masih bagus.
Kerusakan pada bahan pangan seperti sop daun torbangun ini dapat
disebabkan terjadinya perubahan kimia, fisik dan mikrobiologi. Perubahan fisik
dapat disebabkan oleh adanya kesalahan penanganan dari bahan pangan selama
pemanenan, produksi dan distribusi. Perubahan kimia dapat disebabkan oleh aksi
enzim, reaksi oksidasi, terutama oksidasi lipid yang menyebabkan perubahan
flavour bahan pangan berlemak dan reaksi pencoklatan non enzimatis yang
menyebabkan perubahan pada penampakan. Perubahan ini melibatkan faktor
internal berupa komponen dalam bahan makanan itu sendiri dan faktor eksternal
yaitu lingkungan. Pada umumnya perubahan kimia terjadi selama proses produksi
dan penyimpanan (Singh, 1994).
Oksidasi merupakan masalah utama pada lemak atau bahan pangan
berlemak. Oksidasi dapat menyebabkan perubahan pada flavour, aroma, warna
dan kadang-kadang tekstur atau kekentalan suatu produk. Faktor-faktor yang
mempengaruhi oksidasi bahan pangan meliputi (i) suhu, (ii) cahaya, (iii) oksigen,
(iv) logam berat, (v) pigmen, (vi) derajat ketidakjenuhan komponen lemak
(Hanas, 1994).
Menurut Ketaren (1986), kecepatan oksidasi lemak yang dibiarkan di udara
akan bertambah dengan kenaikan suhu dan berkurang dengan penurunan suhu.
Selanjutnya dijelaskan bahwa cahaya dapat mempercepat reaksi oksidasi, cahaya
berpengaruh terhadap akselerator pada oksidasi konstituen tidak jenuh dalam
lemak. Asam lemak pada umumnya bersifat semakin reaktif terhadap oksigen
dengan bertambahnya jumlah ikatan rangkap pada rantai molekul, sehingga
semakin tinggi derajat ketidakjenuhannya maka semakin mudah asam lemak
tersebut teroksidasi. Derajat ketidakjenuhan lemak ditunjukkan dengan banyaknya
ikatan rangkap pada rantai molekul asam lemaknya (Ketaren, 1986).
15
Reaksi oksidasi merupakan suatu rantai reaksi radikal bebas. Mekanisme
dari reaksi tersebut terdiri dari tiga tahap yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi.
Inisiasi merupakan reaksi pembentukan radikal bebas, propagasi merupakan
reaksi perubahan radikal bebas menjadi radikal yang lain. Terminasi merupakan
reaksi yang melibatkan kombinasi dua radikal untuk membentuk produk yang
lebih stabil (Gordon, 1990). Mekanisme dari tahapan reaksi oksidasi di atas dapat
dijelaskan oleh Hamilton (1983) sebagai berikut:
Inisiasi RH + O2 katalis R* + *OOH (reaksi 1)
RH katalis R* + *H (reaksi 2)
Propagasi R* + O2 ROO* (reaksi 3)
ROO* + RH ROOH + R* (reaksi 4)
Terminasi R* + R* R-R (reaksi 5)
ROO* + R* ROOR (reaksi 6)
RH merupakan lipid tidak jenuh, R* merupakan radikal lipid dan ROO*
merupakan radikal peroksida. Pada tahap inisiasi, radikal lipid diperoleh melalui
(reaksi 1 dan 2) dengan keberadaan katalis. Katalis yang dimaksud dapat berupa
panas, cahaya, atau radiasi energi tinggi, ion logam atau zat protein seperti
hematin. Pada tahap propagasi di atas, yaitu pada reaksi 4, dihasilkan
hidroperoksida (ROOH). Hidroperoksida merupakan senyawa yang tidak berbau,
tetapi bersifat labil sehingga dapat terpecah menjadi senyawa yang lebih kecil
yang dapat menyebabkan bau tengik. Senyawa yang dihasilkan dari
hidroperoksida ini antara lain aldehida, alkohol dan hidrokarbon (Hamilton 1983).
Bakteri yang terdapat dalam bahan pangan mempunyai ukuran yang sangat
kecil, yaitu sebagian besar mempunyai ukuran panjang sel satu sampai beberapa
mikron (1 mikron = 1/1000 mm). Khamir mempunyai ukuran panjang sel 20
mikron. Kapang berukuran lebih besar dan lebih kompleks. Kapang tumbuh
seperti buku rambut yang disebut mycelia dan pada ujungnya berbentuk seperti
buah yang disebut conidia dan mengandung spora kapang. Menurut Singh (1994),
faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba antara lain suhu, air, gas
seperti oksigen dan karbondioksida, dan pH. Menurut Muchtadi (1989), bakteri,
kamir dan kapang senang akan keadaan hangat dan lembab. Suhu pertumbuhan
untuk setiap bakteri berbeda-beda. Kapang dan khamir mempunyai suhu optimum
16
untuk pertumbuhannya pada suhu 25-30oC atau suhu kamar. Beberapa bakteri dan
semua kapang membutuhkan oksigen untuk tumbuh (Muchtadi, 1989). Connel
(1975) menyatakan, bahwa batas maksimum jumlah mikroba dalam produk
olahan pangan untuk konsumsi manusia sebesar 107 sampai 108 koloni per gram
produk.
Pembusukan oleh mikroba timbul akibat adanya absorpsi atau kontaminasi.
Absorpsi tersebut dapat diminisasi dengan penyimpanan dingin, transportasi yang
baik, pengemasan yang hati-hati dan sterilisasi (Hamilton, 1983). Menurut
Muchtadi (1989) untuk menghilangkan atau mengurangi aktivitas biologis yang
tidak diinginkan dalam bahan pangan, seperti aktivitas enzim dan mikrobiologis,
dapat digunakan pengolahan dalam suhu tinggi. Salah satu pengolahan suhu tinggi
yang dapat digunakan adalah sterilisasi.
Proses hidrolisa pada lemak atau minyak umumnya disebabkan oleh
aktivitas enzim lipase dan mikroba, yang dapat dipercepat dengan kondisi
kelembaban tinggi, kadar air, serta temperatur yang tinggi selama pengolahan
(Djatmiko dan Widjaja, 1973). Mikroba yang menghasilkan enzim lipase dapat
menghidrolisa lemak menjadi gliserol dan asam lemak (Frazier dan Westhoff,
1979). Menurut Eskin et al., (1971), hidrolisa lemak oleh enzim lipase beberapa
mikroba akan menghasilkan metil keton dan beberapa senyawa asam lemak yang
mudah menguap. Hidrolisa lemak oleh mikroba dapat berlangsung dalam suasana
aerobik atau anaerobik (Ketaren dan Djatmiko, 1976). Menurut Frazier dan
Westhoff (1979), bakteri yang mampu menghidrolisa lemak adalah spesies dari
Pseudomonas, Micrococcus, Bacillus, Serratia, Achromobacter dan Proteus.
Kapang yang mampu menghidrolisa lemak adalah spesies dari Geotrichum,
Penicillium, Aspergillus, Cladosporium dan Monilia. Disamping itu terdapat juga
beberapa khamir yaitu khamir oksidatif.
Pemecahan protein, peptida atau asam amino secara anaerobik oleh mikroba
dapat menghasilkan senyawa-senyawa yang menimbulkan bau busuk, yaitu
hidrogen sulfida, metil sulfida, etil sulfida, mercaptan, amonia, amine, indole,
skatole, dan asam lemak. Perubahan mikrobiologi disebabkan oleh pertumbuhan
mikroba pada bahan pangan. Pertumbuhan mikroba tersebut akan menyebabkan
timbulnya pembusukan yang akan mengakibatkan munculnya karakteristik
17
sensori yang tidak diinginkan dan pada beberapa kasus dapat menyebabkan bahan
pangan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi (Singh, 1994). Selanjutnya
dijelaskan oleh Muchtadi (1989), kerusakan sensori yang diakibatkan oleh
mikroba dapat berupa pelunakan, terjadinya asam, terbentuknya gas, lendir, busa
dan lain-lain. Mikroba yang dapat menyebabkan kerusakan pada bahan pangan
antara lain bakteri, kapang dan khamir.
2.4.2. Uji kerusakan pangan
Uji yang dilakukan sebagai parameter kerusakan pangan dalam penelitian
ini adalah uji ketengikan (bilangan TBA), uji mikrobiologis (TPC), pengukuran
derajat asam (pH), dan Total Asam Tertitrasi (TAT). Menurut Ketaren (1989), uji
ketengikan minyak secara kualitatif dan kuantitatif dilakukan dengan mendeteksi
senyawa-senyawa yang menimbulkan bau tengik dalam minyak misalnya
aldehida, keton dan peroksida yang dapat menguap. Macam-macam uji
ketengikan antara lain Uji Kreis, Issoglio, Schiff, Lea dan Uji Thiobarbituric Acid
(TBA).
Uji Thiobarbituric Acid (TBA) didasarkan atas terbentuknya pigmen
berwarna merah sebagai hasil dari reaksi kondensasi antara dua molekul TBA
dengan salah satu molekul malonaldehida. Lemak yang tengik mengandung
aldehida dan kebanyakan sebagai malonaldehida. Persenyawaan maloneldehida
secara teoritis dapat dihasilkan oleh pembentukan di-peroksida pada gugus
pentadiena yang disusul dengan pemutusan rantai molekul atau dengan cara
oksidasi lebih lanjut 2-enol yang dihasilkan dari penguraian monohidro peroksida.
Nawar (1985) menjelaskan bahwa malonaldehida terbentuk dari penguraian
senyawa peroksida yang mempunyai lebih dari dua ikatan rangkap (Gambar 3).
Malonaldehida bila direaksikan dengan Thiobarbiturat akan membentuk kompleks
warna merah. Intensitas warna merah sesuai dengan jumlah malonaldehida yang
ada dan absorbansinya dapat ditentukan dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 528 nm (Tarladgis et al., 1960).
18
C – C – C = C – C – C – C = C – C – C – O O* C – C – *C – C – C – C – C = C – C – C – O O C – C – C – C – C – C – C = C – C – C – O* O* C – C – C C – C – C C = C – C – C – Propana O O
Malonaldehida
Gambar 3. Reaksi pembentukan malonaldehida
Menurut Ketaren (1986), kelebihan dari uji TBA dibandingkan dengan
metode yang lainnya adalah uji ini dapat digunakan langsung untuk menguji
lemak dalam suatu bahan tanpa harus mengekstraksi fraksi lemaknya terlebih
dahulu. Kelemahan dari uji TBA ini adalah adanya kemungkinan beberapa
persenyawaan selain hasil oksidasi lemak berupa asam akan tersuling bersama uap
dan selanjutnya terhadap destilat dilakukan uji TBA. Telah diketahui pula bahwa
asam Thiobarbituric bersifat tidak stabil dan mengalami dekomposisi di bawah
kondisi pengujian (yaitu dengan adanya pemanasan dan asam keras), terutama
karena adanya peroksida. Hasil degradasi tersebut mempunyai warna yang sama
(diabsorpsi dengan panjang gelombang yang sama) dengan kompleks TBA-
malonaldehida.
Nilai pH dapat digunakan untuk menentukan produk bersifat asam, netral
atau basa (Soeparno, 1994). Nilai pH merupakan minus logaritma dari konsentrasi
ion H+ yang dinyatakan dalam satuan mol/liter. Konsentrasi ion H+ ditentukan
oleh molekul-molekul yang dapat melepaskan maupun yang dapat mengikat ion
ke dalam larutan. Nilai pH berkaitan dengan umur simpan produk karena
mempengaruhi penilaian organoleptik dan kandungan mikroorganisme produk.
Menurut Fardiaz (1989), nilai pH medium sangat mempengaruhi jasad renik yang
dapat tumbuh. Perubahan nilai pH yang signifikan dapat merubah rasa dari suatu
19
produk makanan. Intensitas rasa dalam makanan dapat dipengaruhi oleh beberapa
parameter, yaitu aroma, pH, dan tekstur makanan (Belitz et al., 1999).
Menurut Ketaren (1986), ketengikan terbentuk oleh aldehida, dan bukan
oleh peroksida. Menurut Djatmiko dan Widjaja (1973), kerusakan karena proses
hidrolisa dapat terjadi pada bahan pangan berlemak yang mengandung asam
lemak jenuh dalam jumlah cukup besar, dalam hal ini kelapa mengandung asam
laurat yang cukup banyak. Bau tengik disebabkan oleh asam lemak bebas yang
terbentuk dalam proses hidrolisa.
Total asam tertitrasi berbeda dengan nilai pH. Total asam tertitrasi
menunjukkan potensi asam suatu produk (kandungan ion hidrogen), sedangkan
pH menunjukkan konsentrasi hidrogen bebas suatu bahan pangan (Egan et al.,
1981). Nilai TAT selalu berbanding terbalik dengan nilai pH. (Eackles et al.,
1957).
Hasil pemecahan suatu komponen kimia yang terdapat di dalam substrat
berbeda-beda tergantung spesies mikrobanya. Fardiaz (1989) menjelaskan bahwa
hasil pemecahan karbohidrat oleh mikroba dapat berupa asam-asam organik (asam
laktat, asetat, butirat, atau propionat), produk-produk netral (aseton, butil alkohol,
atau etil alkohol) dan bermacam-macam gas (metana, hidrogen, karbondioksida).
Pemecahan komponen protein menjadi peptida dan asam-asam amino dapat
menghasilkan produk-produk sampingan seperti NH3, indol, dan H2O, sedangkan
hasil pemecahan lemak oleh mikroba berupa gliserol dan asam lemak. Adanya
hasil pemecahan komponen-komponen kimia tersebut dapat mempengaruhi
keasaman suatu produk.
2.5. Penyimpanan
2.5.1. Kondisi Penyimpanan
Metode-metode untuk pengawetan pangan menurut Syarief et al.,(1989)
adalah pendinginan dan refrigerasi, pembekuan, pengawetan kimia dan
pemanasan. Penggunaan suhu rendah dapat dilakukan untuk menghambat atau
mencegah reaksi-reaksi kimia enzimatis atau mikrobiologi. Pendinginan dapat
menghambat reaksi metabolisme. Oleh karena itu, menurut Winarno et al.,
20
(1983), penyimpanan bahan pangan pada suhu rendah dapat memperpanjang masa
hidup dari jaringan di dalam bahan pangan tersebut.
Penggunaan suhu rendah dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu
penyimpanan sejuk, pendinginan dan penyimpanan beku. Penyimpanan sejuk
biasanya dilakukan pada suhu sedikit di bawah suhu kamar dan tidak lebih rendah
dari 15oC (Winarno et al., 1983). Pendinginan refrigerasi adalah penyimpanan
produk pangan pada suhu 0oC sampai dengan 10oC (Syarief et al., 1989). Menurut
Fardiaz (1982), pendinginan dapat memperpanjang umur simpan suatu makanan
karena selama pendinginan pertumbuhan dapat dicegah atau diperlambat.
Tujuan penyimpanan dingin atau pendinginan adalah mencegah kerusakan
tanpa mengakibatkan perubahan yang tidak diinginkan. Penyimpanan dingin ini
dapat mempertahankan komoditas dalam kondisi yang dapat diterima dan dapat
dikonsumsi selama mungkin oleh konsumen. Penyimpanan dingin dapat
mencegah pertumbuhan mikroorganisme termofilik dan mesofilik. Beberapa jenis
mikroorganisme psikrofilik dapat menyebabkan pembusukan, tetapi jenis ini tidak
bersifat patogen (Fellows, 1990). Penyimpanan dingin mempunyai pengaruh yang
kecil terhadap cita rasa, warna, tekstur, nilai gizi, serta bentuk dan penampakan
bahan pangan, namun perlu mengikuti prosedur standar dengan lama
penyimpanan tertentu (Daulay, 1998). Potter (1973) menyatakan bahwa suhu
pendinginan yang biasa diterapkan berkisar antara -2.22oC sampai dengan
+15.56oC dan pada lemari pendingin rumah tangga bersuhu antara 4.44oC sampai
dengan 7.22oC.
Proses pendinginan (refrigerasi) adalah produksi pengusahaan dan
pemeliharaan tingkat suhu dari suatu bahan atau ruangan pada tingkat yang lebih
rendah daripada suhu lingkungan atau atmosfer sekitarnya dengan cara penarikan
atau penyerapan panas dari bahan atau ruangan tersebut (Ilyas, 1993). Sedangkan
menurut Winarno (1997), pendinginan adalah penyimpanan bahan pangan di atas
suhu pembekuan yaitu sekitar 2-10oC. Fellows (1990) mendefinisikan
pendinginan sebagai unit operasi dengan suhu penyimpanan suatu bahan pangan
diturunkan. Proses ini bertujuan untuk mengurangi kerusakan biokimia, fisik, dan
mikrobiologi. Selain itu, penggunaan suhu dingin untuk penyimpanan juga
bertujuan untuk memperpanjang umur simpan produk segar maupun olahan.
21
Umur simpan produk olahan yang disimpan pada suhu dingin ditentukan oleh tipe
makanan, tingkat kerusakan mikroba atau aktivitas enzim akibat proses
pengolahan, kontrol sanitasi selama proses pengolahan dan pengemasan, barrier
pada kemasan, dan suhu selama distribusi dan penyimpanan (Fellows, 1990).
Pendinginan dapat menghambat atau memperlambat pertumbuhan mikroba
karena mikroorganisme mempunyai suhu maksimal dan minimal sebagai batas
suhu untuk pertumbuhannya. Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan
mikroorganisme disebabkan suhu mempengaruhi aktivitas enzim yang
mengkatalisasi reaksi-reaksi biokimia dalam sel mikroorganisme. Di bawah suhu
optimum, keaktifan enzim dalam sel menurun dengan semakin rendahnya suhu,
akibatnya pertumbuhan sel juga terhambat. Pada suhu pembekuan, semua
keaktifan metabolisme juga akan terhenti. Enzim terhenti juga karena semua sel
kekurangan cairan di sekelilingnya yang digunakan untuk menyerap zat makanan
dan mengeluarkan sisa metabolisme yang mengakibatkan pertumbuhan sel
terhenti sama sekali (Fardiaz, 1982). Pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh
berbagai faktor lingkungan diantaranya adalah suhu, pH, aktivitas air, adanya
oksigen dan tersedianya zat makanan. Oleh karena itu, kecepatan pertumbuhan
mikroba dapat diubah dengan mengubah faktor lingkungan tersebut. Semakin
rendah suhu yang digunakan dalam penyimpanan maka semakin lambat pula
reaksi kimia, aktivitas enzim dan pertumbuhan mikroba (Frazier dan Westhoff,
1979)
2.5.2. Umur simpan
Umur simpan menurut Robertson (1991) dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu
(1) karakterisasi produk (sifat fisik, sifat kimia, sifat mikrobiologi), (2)
lingkungan (suhu, kelembaban), dan (3) bahan pengemas atau sistem pengemasan.
Menurut Syarief et al., (1989), secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi
umur simpan bahan pangan yang dikemas adalah sebagai berikut :
a. Keadaan alamiah atau sifat bahan pangan dan mekanisme berlangsungnya
perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan
terjadinya perubahan-perubahan kimia dan fisik
b. Ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume
22
c. Kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat
bertahan selama distribusi dan sebelum digunakan
d. Ketahanan keseluruhan kemasan terhadap keluar masuknya air, gas, dan
bau termasuk dari perekatan, penutupan dan bagian-bagian yang terlipat
Menurut Ellis (1994), penentuan umur simpan suatu produk dapat dilakukan
dengan mengamati produk tersebut selama penyimpanan sampai terjadi perubahan
yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Syarief dan Halid (1991)
menyatakan bahwa penurunan mutu makanan sangat menentukan umur simpan
suatu produk. Untuk menganalisis mutu makanan diperlukan beberapa
pengamatan terhadap parameter-parameter yang dapat diukur secara kuantitatif
dalam bentuk pengukuran kimiawi, uji organoleptik, uji kadar vitamin C, skor uji
citarasa, tekstur, warna, total mikroba dan sebagainya. Menurut Desrosier (1988),
untuk menetapkan daya simpan suatu bahan pangan diperlukan data yang
berkenaan dengan perubahan warna, bau, cita rasa, tekstur, zat gizi, kadar air,
keapekan, ketengikan, dan seluruh perubahan yang mempengaruhi tingkat
penerimaan produk oleh konsumen.
23
III. METODOLOGI
3.1. Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan sop daun Torbangun
diantaranya adalah daun torbangun, bumbu-bumbu berupa bawang merah,
bawang putih, kemiri, sereh, garam, jahe, kunyit, lada, jeruk nipis dan santan.
Bahan kimia yang digunakan untuk analisa mutu yaitu aquades, NaOH 0,1 M,
indikator phenolphtalein, pereaksi TBA, NaCl, asam asetat glacial, kloroform,
Kalium Iodida jenuh, natrium thiosulfat 0.01 N, HCl 4M, batu didih, pencegah
buih, indikator kanji dan Plate Count Agar.
Kemasan yang digunakan adalah kemasan plastik microwavable, kemasan
plastik LDPE yang dibeli di toko Aneka Plastik di Pasar Anyar, cable tie, botol jar
yang dibeli dari toko kimia Panca Pratama Darmaga. Plastik segel LDPE dan
shrinkable heat juga digunakan pada penelitian ini.
Alat-alat yang digunakan untuk produksi sop daun Torbangun dalam
kemasan yaitu mesin sealer. Sedangkan untuk analisa mutu sop digunakan
autoklaf, biuret, pipet, pH meter, gelas piala, blender, pemanas air, labu destilasi,
cawan petri, labu erlenmeyer, tabung pengenceran, dan spektrofotometer.
3.2. Metode Penelitian
3.2.1. Penelitian Pendahuluan
Pada penelitian pendahuluan dilakukan penentuan umur simpan sop daun
Torbangun dalam kemasan. Sop daun Torbangun yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sop yang dibuat tanpa bahan pengawet ataupun antioksidan
tambahan. Tahapan pertama dalam penelitian pendahuluan ini adalah pemilihan
dan pemasakan daun Torbangun yang akan dimasak untuk kemudian dikemas.
Daun Torbangun terlebih dahulu disortir, dipilih yang kondisinya tidak
menunjukkan kerusakan fisik, selanjutnya daun diremas-remas hingga
mengeluarkan cairan berwarna kehitaman. Cairan ini perlu dibuang karena diduga
dapat menyebabkan rasa sop yang pahit Daun siap dimasak dengan penambahan
berbagai bumbu yang telah dihaluskan. Diagram alir pembuatan sop daun
Torbangun disajikan dalam Gambar 4.
24
Daun Torbangun Santan + Air + Bumbu
Diremas-remas
Direbus hingga mendidih
Dimasak hingga santan mendidih
Remasan daun Torbangun
Gambar 4. Diagram alir pembuatan sop daun Torbangun
Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan sop daun torbangun yaitu
daun torbangun segar sebanyak 250 gram, santan kelapa 575 ml serta bumbu-
bumbu. Adapun bumbu-bumbu yang dipergunakan yaitu bawang merah 15 gram
(2 siung besar), bawang putih 10 gram (2 siung kecil), kemiri 6 gram (2 butir
besar), kunyit seujung jari kelingking, jahe secukupnya, lengkuas secukupnya
(seujung jari kelingking), merica 4 butir, sereh 1 tangkai, jeruk nipis 2 sendok
makan, garam ½ sendok makan (secukupnya). Total formula yang dihasilkan dari
resep tersebut adalah ± 725 gram.
Sop yang telah masak kemudian dimasukkan ke dalam kemasan yang telah
disterilisasi dengan teknik hot filling secara aseptis. Seluruh sop yang telah
dikemas tersebut kemudian disimpan pada tiga suhu yaitu pada suhu 3-5oC, 10-
12oC, dan 27-30oC. Tahapan selanjutnya adalah uji mutu secara visual (warna,
bau, kapang/khamir,busa/lendir, dan perubahan fisik kemasan) serta rasa hingga
sop dinilai tidak layak lagi untuk dikonsumsi. Diagram alir penelitian
pendahuluan disajikan pada Gambar 5. Analisa proksimat awal untuk sup daun
Torbangun dilakukan untuk mengakarakterisasi mutu awal.
Cairan kehitaman
25
Gambar 5. Diagram alir penelitian pendahuluan
3.2.2. Penelitian Utama
Pada penelitian ini dilakukan penentuan kemasan sop daun Torbangun
terbaik. Kemasan yang diujicobakan adalah plastik microwavable, plastik Low
Density Polyethylene (LDPE) tahan santan dan kemasan gelas. Pada kemasan
plastik microwavable, sop yang telah dimasukkan dengan teknik hot filling secara
aseptis, kemudian diseal dengan plastik segel menggunakan mesin sealer.
Kemasan sop berikutnya adalah plastik LDPE tahan santan sebanyak dua lapis.
Lapisan pertama adalah lapisan primer yang kontak langsung dengan produk dan
ditutup dengan seal panas, lapisan kedua adalah plastik LDPE dengan seal berupa
cable tie. Lapisan sekunder diberikan untuk menyempurnakan sifat dari lapisan
primer. Secara skematis, alur penelitian utama selengkapnya dapat dilihat pada
Gambar 6 berikut ini.
Daun Torbangun
Pemasakan
Pengemasan
Plastik microwavable
Gelas + plastik shrink
LDPE seal+ LDPE tight
Penyimpanan
Penentuan umur simpan sup melalui uji visual
3-5oC 27-30oC 10-12oC 3-5oC 10-12oC 27-30oC 3-5oC 10-12oC 27-30oC
Analisis proksimat
26
Gambar 6. Diagram alir penelitian utama
Bahan kemasan yang ketiga yaitu kemasan gelas yang bertutup ulir plastik
HDPE (High Density Polyethylene). Kemasan gelas tersebut disegel
menggunakan plastik shrink yang menutupi seluruh bagian kemasan. Sop daun
Torbangun yang telah dikemas tersebut kemudian disimpan pada suhu ruang (27-
30oC) dan suhu dingin (10-12oC dan 3-5oC). Penentuan kemasan terbaik
dilakukan melalui analisa mutu dan uji visual selama umur simpannya
(berdasarkan hasil penelitian pendahuluan).
3.3. Analisa Mutu
Analisa mutu yang dilakukan pada penelitian utama meliputi Total Asam
Tertitrasi (TAT), Uji mikrobiologis (Total Plate Count), Uji derajat keasaman
(pH), dan Uji ketengikan (Thiobarbituric Acid). Prosedur analisa mutu tersebut
disajikan pada Lampiran 2.
Daun Torbangun
Pemasakan
Pengemasan
Plastik microwavable
Gelas + plastik shrink
LDPE seal+ LDPE tight
Penyimpanan
Penentuan kemasan terbaik
3-5oC 27-30oC 10-12oC 3-5oC 10-12oC 27-30oC 3-5oC 10-12oC 27-30oC
27
3.4. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh pada penelitian ini diolah menggunakan Microsoft
Excell serta dianalisis menggunakan SPSS 11.0 for Windows. Penelitian ini
dirancang dengan pendekatan rancangan acak lengkap (RAL) 2 faktorial.
Model Umum Rancangan Percobaan
Rancangan Acak Lengkap 2 faktor:
Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + ε ijk
Dimana :
Yijk = Nilai hasil pengukuran akibat perlakuan jenis kemasan ke-i, dan
perlakuan suhu penyimpanan ke-j, dengan ulangan sebanyak- k
µ = Nilai tengah umum
Ai = Pengaruh faktor jenis kemasan dengan taraf i (i=1 untuk gelas, 2
untuk plastik LDPE dan 3 untuk CPET)
Bj = Pengaruh faktor suhu penyimpanan dengan taraf j (j=1 untuk suhu
3-5oC, 2 untuk suhu 10-12oC, dan 3 untuk suhu 27-30oC)
(AB)ij = Interaksi kemasan ke-i dan suhu penyimpanan ke-j
ε ijkl = Pengaruh galat percobaan dari perlakuan jensi kemasan ke-i, dan
suhu penyimpanan ke-j pada ulangan ke–k (k=1,2)
28
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dengan semakin meningkatnya aktivitas dan kesibukan khususnya bagi
masyarakat perkotaan menyebabkan kebutuhan akan produk-produk pangan yang
praktis dan siap dikonsumsi semakin meningkat pula. Beraneka ragam produk
pangan praktis dan instan tersedia di pasaran. Sop daun Torbangun selama ini
dikenal masyarakat Batak sebagai makanan fungsional pelancar produksi Air
Susu Ibu (ASI). Sop ini bergizi tinggi dan sangat berpotensi untuk
dikomersialkan. Kajian mendalam mengenai metode pengemasan optimal
merupakan hal yang mendasar apabila produk ini akan dikomersialkan. Kajian ini
meliputi jenis kemasan dengan perlindungan terbaik dan kondisi penyimpanan
yang sesuai. Kemasan juga akan memperpanjang umur simpan dan
mempermudah pendistribusian produk di pasar.
Penelitian utama bertujuan untuk mendapatkan kombinasi perlakuan terbaik
antara jenis pengemasan dan suhu penyimpanan sop daun Torbangun. Penelitian
ini terdiri dari perlakuan jenis pengemasan dan suhu penyimpanan. Kemasan
yang digunakan terdiri dari gelas, plastik LDPE dan plastik microwavable (CPET)
dengan suhu penyimpanan dingin (3-5oC dan 10-12oC) dan suhu ruang (27-30oC).
Sop daun Torbangun yang dibuat dengan formulasi yang sudah distandarisasi ini
kemudian disimpan selama 8 hari untuk penyimpanan suhu dingin dan 3 hari
untuk penyimpanan suhu ruang berdasarkan hasil dari penelitian pendahuluan
(Lampiran 46-48). Penelitian utama ini dilakukan sebanyak 2 kali ulangan.
Sebelum penyimpanan, dilakukan analisa untuk mengetahui perubahan yang
terjadi selama penyimpanan. Hasil analisa awal tersebut terlihat pada tabel 4
berikut.
Sampel
Analisis Proksimat
Kadar
Air (%)
Kadar
Abu (%)
Protein
(%)
Kadar
Lemak (%)
Karbohidrat
(%)
Sop daun
Torbangun
84,43235
0,90055 3,83975 3,1591 7,6683
Tabel 4. Hasil analisa proksimat produk sop daun Torbangun.
29
4.1. Analisa Mutu
Perubahan fisik, kimia dan mikrobiologi, diamati untuk melihat pengaruh
perlakuan jenis kemasan dan suhu penyimpanan terhadap perubahan mutu produk.
Analisis mutu yang dilakukan meliputi pengujian ketengikan (Bilangan
Thiobarbituric Acid), uji mikrobiologi (Total Plate Count), derajat keasaman (pH)
dan Total Asam Tertitrasi (TAT). Hasil analisa mutu tersebut diuji secara statistik
untuk mengetahui sejauh mana perlakukan yang diberikan memberikan pengaruh
nyata terhadap sampel. Perubahan mutu masing-masing uji dan hasil sidik ragam
secara statistik lebih lanjut dijelaskan pada sub bab berikut ini.
4.1.1. Uji Ketengikan (Bilangan Thiobarbituric Acid)
Pada penelitian ini, sop daun Torbangun dibuat dengan menambahkan
santan, seperti yang biasa dilakukan oleh masyarakat Batak. Santan merupakan
produk pangan yang mengandung air, protein dan lemak yang cukup tinggi.
Komponen tersebut merupakan media tumbuh yang baik bagi mikroorganisme
pembusuk. Kandungan lemak dalam produk ini juga menyebabkan produk rentan
terhadap proses oksidasi, sehingga santan dalam sop menjadi rusak dan tengik.
Proses ketengikan ini perlu dihindari jika sop ditujukan untuk disimpan dalam
jangka waktu lama. Ketengikan merupakan salah satu kerusakan lemak yang
menyebabkan bahan pangan berlemak mempunyai bau dan rasa yang tidak enak.
Kerusakan ini dapat menurunkan mutu dan nilai gizi bahan pangan berlemak.
Nilai ketengikan sop selama penyimpanan dengan berbagai jenis kemasan
dapat dilihat melalui pengujian bilangan Thiobarbituric Acid (TBA). Bilangan
TBA merupakan petunjuk terjadinya degradasi sekunder terhadap senyawa lemak
yang membentuk senyawa aldehida. Rincian data hasil uji bilangan TBA ini
disajikan pada Lampiran 5a, 5b, dan 5c. Dari data tersebut terlihat bahwa produk
yang dikemas dengan gelas menunjukkan nilai TBA antara 0,27585 mg/kg
malonaldehide dan 0,4597 mg/kg malonaldehide untuk suhu 3-5oC, 0,27585
mg/kg malonaldehide hingga 0,43000 mg/kg malonaldehide untuk suhu 10-12oC
serta antara 0,27585 mg/kg malonaldehide dan 0,38955 mg/kg malonaldehide
untuk suhu 27-30oC.
30
Nilai TBA sop daun Torbangun yang dikemas dalam kemasan LDPE suhu
3-5oC yaitu berkisar antara 0,27585 mg/kg malonaldehide dan 0,4637 mg/kg
malonaldehide, suhu 10-12oC yang bernilai 0,27585 mg/kg malonaldehide hingga
0,4621 mg/kg malonaldehide, sedangkan suhu 27-30oC memiliki kisaran nilai
TBA 0,27585 mg/kg malonaldehide hingga 0,41935 mg/kg malonaldehide.
Kemasan yang ketiga yaitu microwavable plastik (CPET) untuk suhu 3-5oC
memiliki kisaran nilai TBA sebesar 0,27585 mg/kg malonaldehide hingga 0,4161
mg/kg malonaldehide, sedangkan untuk suhu 10-12˚C nilai TBA yang terukur
sebesar 0,27585 mg/kg malonaldehide hingga 0,4235 mg/kg malonaldehide, dan
pada suhu 27-30oC sebesar 0,27585 mg/kg malonaldehide hingga 0,3535 mg/kg
malonaldehide. Data tersebut secara lengkap disajikan dalam bentuk grafik pada
Gambar 7.
0.25
0.30
0.35
0.40
0.45
0.50
0 2 4 6 8
Lama penyimpanan (hari)
Bila
ngan
TB
A (m
g/kg
mal
onal
dehi
de)
A1B1A1B2A1B3A2B1A2B2A2B3A3B1A3B2A3B3
Keterangan : A1 : Kemasan Gelas B1 : suhu 3-5oC
A2 : Kemasan LDPE B2 : suhu 10-12oC
A3 : Kemasan Microwavable Plastic B3 : suhu 27-30oC
Gambar 7. Grafik hasil uji bilangan TBA (mg/kg malonaldehide)
Dari Gambar 7 terlihat terlihat peningkatan nilai bilangan TBA pada setiap
kemasan dan suhu selama waktu penyimpanan. Hasil analisis ragam terhadap
bilangan TBA yang terdapat pada Lampiran 41-45 menunjukkan bahwa bilangan
31
TBA sop daun Torbangun dipengaruhi secara nyata oleh faktor suhu pada taraf
5% pada hari kedua.
Nilai TBA semakin meningkat dengan meningkatnya suhu penyimpanan.
Kecenderungan yang sama juga diperoleh dari penelitian Anggraeni (2002), untuk
produk cendol dalam kemasan. Peningkatan nilai bilangan TBA ini dapat
digunakan sebagai salah satu parameter mutu untuk menentukan suhu
penyimpanan terbaik produk sop daun Torbangun. Suhu merupakan salah satu
faktor yang berpengaruh terhadap stabilitas bahan pangan selama penyimpanan.
Berdasarkan uji lanjut Duncan yang dilakukan, penyimpanan pada suhu 3-5oC
tidak berbeda nyata dengan suhu 12-15oC. Nilai bilangan TBA pada kedua suhu
ini cenderung lebih rendah dibandingkan suhu yang lebih tinggi yaitu pada shu
27-30oC. Penyimpanan pada suhu yang rendah dapat menekan laju peningkatan
nilai TBA produk.
0.325
0.335
0.345
0.355
0.365
3-5˚C 10-12˚C 27-30˚C
Suhu penyimpanan
TBA
(mg/
kg m
alon
alde
hide
)
Gambar 8. Grafik pengaruh suhu terhadap nilai bilangan TBA
Kecepatan oksidasi lemak yang dibiarkan di udara akan bertambah dengan
kenaikan suhu dan berkurang dengan penurunan suhu (Ketaren, 1986). Kondisi
penyimpanan dingin akan memperlambat ketengikan dikarenakan proses oksidasi
di dalam produk yang terhambat. Reaksi oksidasi tersebut akan menyebabkan
terjadinya ketengikan yang akan mempengaruhi umur simpan bahan pangan.
Selain itu, penggunaan suhu rendah dapat dilakukan untuk menghambat atau
mencegah reaksi-reaksi kimia enzimatis atau mikrobiologi (Fardiaz, 1982).
32
Dari Gambar 7 terlihat bahwa semakin lama disimpan, nilai rata-rata TBA
cenderung semakin meningkat. Peningkatan bilangan TBA selama penyimpanan
disebabkan karena terjadi kerusakan lemak yang menyebabkan timbulnya bau dan
rasa tengik akibat reaksi oksidasi antara asam lemak tidak jenuh yang terdapat
dalam produk dengan udara (Winarno, 1984). Beberapa penelitian lain yang
memperoleh hasil serupa seperti Ariyanti (2003) untuk produk abon ayam
kampung dengan penambahan kunyit serta Hartati (2001) untuk produk bumbu
masak siap pakai. Nilai bilangan TBA tergantung pada beberapa faktor,
diantaranya jumlah lipid, kondisi penyimpanan, dan komponen lain yang ada
bersama lipid seperti logam berat, logam porfirin, dan enzim-enzim lipoksidase
(Winarno, 1986).
Nilai TBA pada sup daun Torbangun ini tergolong cukup rendah. Menurut
Theime yang dikutip oleh Ketaren (1986) rendahnya bilangan TBA berkaitan
dengan kandungan asam lemak tidak jenuh suatu produk. Sop daun Torbangun
dibuat dengan santan kelapa yang memiliki asam lemak tak jenuh sekitar 6,5-
11,8%. Selain dikarenakan rendahnya kandungan asam lemak tak jenuh,
rendahnya nilai TBA berarti kemasan efektif melindungi produk terhadap
pengaruh lingkungan khususnya udara sehingga reaksi oksidasi terhambat dan
produk tidak mudah tengik.
Nilai TBA yang rendah dapat mengindikasikan bahwa off flavour atau
degradasi sekunder belum terjadi. Namun, ketengikan produk bisa saja
diakibatkan oleh reaksi hidrolisis lemak. Kandungan air yang tinggi pada produk
dapat menyebabkan reaksi hidrolisis pada lemak santan menghasilkan asam-asam
lemak jenuh dan tidak jenuh. Kerusakan hidrolitik ini banyak terjadi pada bahan
pangan yang banyak mengandung asam lemak jenuh rantai pendek, salah satu
diantaranya lemak kelapa yang banyak mengandung asam laurat, dan akan
meninmbulkan ketengikan (Fox, 1983). Degradasi asam lemak tidak jenuh akan
mengakibatkan terbentuknya aldehida.
Berdasarkan analisis ragam, uji bilangan TBA ini tidak berpengaruh nyata
untuk faktor kemasan yang digunakan pada setiap hari pengamatan. Nilai
interaksi dari faktor tersebut >0,05.
33
4.1.2. Uji Mikrobiologi (TPC)
Sop daun Torbangun yang salah satu komposisinya adalah santan,
merupakan produk dengan zat gizi yang dapat digunakan oleh mikroba sebagai
substrat pertumbuhannya. Komposisi santan kelapa sangat lengkap, karena selain
mengandung lemak, santan juga memiliki kadar karbohidrat dan protein yang
cukup tinggi sebagai media tumbuh mikroba. Sop daun Torbangun yang
digunakan dalam penelitian ini tidak menggunakan bahan pengawet tambahan,
melainkan hanya bumbu yang berfungsi sebagai antioksidan alami.
Tidak adanya bahan pengawet menyebabkan produk semakin rentan
terhadap kerusakan selama penyimpanan yang diakibatkan oleh mikroorganisme.
Penerapan teknik kemasan yang baik dengan suhu yang sesuai diharapkan dapat
mengurangi pertumbuhan mikroorganisme sehingga umur simpan produk dapat
diperpanjang. Pada penelitian ini jumlah mikroorganisme yang tumbuh selama
penyimpanan produk diuji dengan metoda TPC. Metoda ini hanya menghitung
jumlah total koloni tanpa melihat jenis mikroba yang terdapat dalam produk
tersebut.
Nilai TPC yang relatif tinggi terlihat pada kondisi suhu ruang selama 3
hari penyimpanan, yaitu pada kemasan gelas berkisar antara 51 × 101 koloni/g
produk sampai 43 × 106 koloni/g produk, kemasan LDPE sebesar 51 × 101
koloni/g produk hingga 81 × 106 koloni/g produk dan kemasan microwavable
sebesar 51 × 101 koloni/g produk hingga 58 × 106 koloni/g produk. Pada kondisi
suhu penyimpanan 10-12oC, nilai TPC berkisar antara 51 × 101 koloni/g produk
hingga 44 × 106 koloni/g produk untuk kemasan gelas, 51 × 101 koloni/g produk
hingga 79 × 106 koloni/g produk untuk kemasan LDPE, dan sebesar 51 × 101
koloni/g produk hingga 67 × 106 koloni/g produk untuk kemasan microwavable
plastic (CPET). Sementara itu, kondisi pada suhu dingin yaitu pada suhu 3-5oC
cenderung menghasilkan nilai TPC lebih kecil yang berkisar antara 51 × 101 dan
31 × 106 untuk kemasan gelas, 51 × 101 hingga 52 × 106 untuk kemasan LDPE,
dan antara 51 × 101 dan 53 × 106 untuk kemasan microwavable plastic (CPET).
Nilai TPC sop daun Torbangun ditunjukkan pada Gambar 9 dengan rincian data
terlampir (Lampiran 4a, 4b, dan 4c).
34
0102030405060708090
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Lama penyimpanan (hari)
Jum
lah
kolo
ni/g
pro
duk
(106 )
A1B1A1B2A1B3A4B1A4B2A4B3A3B1A3B2A3B3
Keterangan : A1 : Kemasan Gelas B1 : suhu 3-5oC
A2 : Kemasan LDPE B2 : suhu 10-12oC
A3 : Kemasan Microwavable Plastic B3 : suhu 27-30oC
Gambar 9. Grafik hasil uji mikrobiologi (Total Plate Count)
Dari grafik di atas, dapat terlihat bahwa pada penyimpanan dingin, setelah
hari kelima, pertumbuhan mikroba meningkat dengan cepat, sehingga diduga
bahwa selama penyimpanan 5 hari tersebut merupakan fase adaptasi bagi
mikroba, sedangkan pada penyimpanan setelah hari kelima merupakan fase
eksponensial. Hasil analisis ragam (Lampiran 21-35) menujukkan bahwa faktor
kemasan memberikan pengaruh nyata pada taraf 5% terhadap nilai TPC di hari
ketiga, keempat, ketujuh dan kedelapan. Dari grafik di atas juga terlihat bahwa
dengan meningkatnya suhu maka pertumbuhan mikroorganisme semakin
meningkat. Selain jenis kemasan, faktor suhu juga memberikan pengaruh yang
nyata untuk taraf 5% pada penyimpanan di hari pertama, kedua, ketiga, keempat,
ketujuh, dan kedelapan. Selain itu pada hari ketiga, interaksi antara jenis kemasan
dan suhu penyimpanan juga memberikan pengaruh yang nyata pada taraf 5%.
Semakin lama penyimpanan, pertumbuhan mikroba cenderung terus
berlangsung sehingga menyebabkan nilai TPC yang meningkat. Perubahan yang
timbul pada sop daun Torbangun karena kerusakan akibat mikroorganisme jika
dilihat dari penampakan fisiknya adalah terjadi pembentukan lendir dan
perubahan aroma serta pelunakan daun Torbangun di dalam sop. Pembentukan
35
lendir menandakan bahwa adanya pertumbuhan bakteri dan diikuti dengan
timbulnya bau asam (Hoseney, 1998). Pertumbuhan mikroba tersebut akan
menyebabkan timbulnya pembusukan yang akan mengakibatkan munculnya
karakteristik sensori yang tidak diinginkan dan pada beberapa kasus dapat
menyebabkan bahan pangan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi (Singh, 1994).
Selanjutnya dijelaskan oleh Muchtadi (1989), kerusakan sensori yang diakibatkan
oleh mikroba dapat berupa pelunakan, terjadinya asam, terbentuknya gas, lendir,
busa dan lain-lain.
Mikroba yang dapat menyebabkan kerusakan pada bahan pangan antara lain
bakteri, kapang dan khamir. Menurut Muchtadi (1989), bakteri, kapang dan
khamir menyukai keadaan hangat dan lembab. Suhu pertumbuhan untuk setiap
bakteri berbeda-beda. Kapang dan khamir mempunyai suhu optimum untuk
pertumbuhannya pada suhu 25-30oC atau suhu kamar. Hal ini terlihat jelas pada
data uji TPC yang diperoleh. Pada penyimpanan suhu kamar terlihat
pertumbuhan mikroba yang sangat pesat pada semua jenis kemasan. Gambar 10
menyajikan grafik interaksi antara suhu dan jenis kemasan yang digunakan.
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3-5˚C 12-15˚C 27-30˚C
Suhu penyimpanan
Jum
lah
kolo
ni (1
07 )
gelasLDPECPET
Gambar 10. Grafik interaksi jenis kemasan dan suhu terhadap nilai TPC
Selama penyimpanan dingin, pertumbuhan mikroba terhambat. Mikroba
yang dapat tumbuh pada suhu ini adalah dari kelompok psikrofilik yang memiliki
suhu pertumbuhan optimum 10oC ataupun kelompok psikotrofik yang memiliki
36
suhu pertumbuhan optimum 25oC (Buckle et al., 1987). Menurut Frazier dan
Westhoff (1967), bahan pangan yang disimpan pada suhu refrigerator dengan
suhu sekitar 10oC (50oF) dapat mencegah pertumbuhan bakteri patogen dan
memperlambat pertumbuhan bakteri pembusuk.
Menurut Singh (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
mikroba antara lain suhu, air, gas seperti oksigen dan karbondioksida, dan pH.
Beberapa bakteri dan semua kapang membutuhkan oksigen untuk tumbuh
(Muchtadi, 1989). Pertumbuhan mikroba akibat absorpsi dan kontaminasi dari
lingkungan dapat ditekan oleh penyimpanan pada suhu dingin. Penanganan
produk selama pengolahan juga turut mempengaruhi mutu produk. Menurut
Muchtadi (1989) untuk menghilangkan atau mengurangi aktivitas biologis yang
tidak diinginkan dalam bahan pangan, seperti aktivitas enzim dan mikrobiologis,
dapat digunakan pengolahan dalam suhu tinggi. Usaha meminimalkan
pertumbuhan mikroorganisme pada suatu produk juga dapat dilakukan dengan
penerapan higienitas pada seluruh proses pengolahan dan pengemasan. Produk
diolah dengan suhu tinggi, kemasan disterilisasi sebelum digunakan dan
pengemasan produk dilakukan dengan teknik hot filling.
Pada produk sop daun Torbangun ini, nilai TPC juga dipengaruhi oleh
faktor jenis kemasan yang digunakan. Pada prinsipnya kemasan yang baik
merupakan kemasan yang dapat mencegah atau meminimalisir kontak antara
produk dengan pengaruh lingkungan terutama udara dan uap air. Nilai TPC yang
tinggi ditunjukkan oleh kemasan LDPE, kemudian diikuti oleh kemasan
microwavable plastic (CPET). Sementara itu, kemasan gelas menunjukkan nilai
TPC yang lebih kecil. Kecenderungan nilai TPC yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kemasan lain dikarenakan LDPE merupakan plastik yang memiliki sifat
penahan uap air dan penahan oksigen yang lebih buruk dibandingkan kemasan
gelas dan CPET. Kemudahan keluar masuknya oksigen dan uap air dalam
kemasan akan menyebabkan kemudahan mikroba mengiluminasi produk.
Selain itu, semakin tinggi permeabilitas suatu bahan kemasan, semakin
mudah udara keluar dan masuk melalui pori kemasan dan kondisi ini semakin
menguntungkan bagi pertumbuhan mikroorganisme aerob. Dari hasil uji TPC
dapat disimpulkan bahwa suhu kamar dengan kemasan LDPE bukan kombinasi
37
perlakuan yang baik untuk penyimpanan produk sop daun Torbangun. Meskipun
demikian plastik LDPE banyak digunakan sebagai bahan pengemas dikarenakan
kemudahannya untuk dikelim panas. Untuk memperbaiki sifat tersebut, maka
dalam penelitian ini digunakan plastik LDPE sebanyak dua lapis. Lapisan pertama
dikelim menggunakan panas, dan lapisan kedua ditutup menggunakan cable tie
(Lampiran 50). Walaupun perlakuan 2 lapisan LDPE tersebut telah diberikan
untuk menekan pertumbuhan mikroorganisme, namun kemampuan plastik ini
untuk memberikan perlindungan maksimal produk terhadap pengaruh lingkungan
belum dapat menandingi kedua jenis kemasan lainnya.
Kemasan lain yaitu plastik microwavable (CPET) terlihat mampu
memberikan perlindungan yang cukup baik terhadap produk, namun tidak sebaik
perlindungan yang diberikan oleh kemasan gelas. Kemasan CPET ini merupakan
plastik dengan sifat penahan yang baik terhadap oksigen dan uap air, serta baik
untuk produk berlemak. Masuknya uap air dan oksigen ke dalam kemasan CPET
diduga berasal dari plastik segel, karena dalam penelitian ini, CPET digunakan
sebagai wadah dan LDPE digunakan sebagai penutup (segel).
Kemasan gelas memberikan hasil terbaik dalam perlindungan produk. Hal
ini terlihat dari rendahnya pertumbuhan mikroba akibat sifat penghalangnya yang
baik dibandingkan dengan kemasan lain yang digunakan dalam penelitian ini,
sehingga faktor-faktor yang diperlukan oleh mikroba untuk tumbuh tidak tersedia
dalam jumlah yang cukup. Gelas merupakan kemasan dengan sifat permeabilitas
yang sangat baik terhadap gas dan uap air. Sifat ini juga didukung oleh tutup ulir
kemasan gelas yang terbuat dari plastik HDPE ;yang merupakan jenis plastik
dengan sifat perlindungan oksigen yang baik; ditambah dengan segel berupa
plastik shrinkable heat (plastik yang dapat menyusut akibat perlakuan panas) yang
terbuat dari plastik PET.
Dari data uji TPC, mikroorganisme telah terdeteksi di awal penyimpanan
atau pada hari ke nol. Jumlah mikroba awal yang cukup besar ini diduga karena
adanya mikroba yang mengkontaminasi sebelum proses pengolahan dan
pengemasan, baik berasal dari udara, kemasan maupun peralatan dan adanya
mikroba yang tahan terhadap proses pengolahan yang menggunakan panas
38
(mikroba termofilik). Menurut Frozier (1989) contoh bakteri termofilik adalah
Bacillus, Clostridium thermosaccharolyticum atau Lactobacillus thermophillus.
4.1.3. Derajat Asam (pH)
Nilai pH menjadi faktor penting untuk suatu produk makanan bila
dihubungkan dengan kualitas produk. Nilai pH ini dapat digunakan sebagai
parameter penentu kemasan dan kondisi penyimpanan terbaik. Perubahan nilai pH
yang signifikan dapat merubah rasa dari suatu produk makanan. Kemasan
memberikan perlindungan terhadap produk dari pengaruh lingkungan yang tidak
menguntungkan. Produk sop daun Torbangun ini merupakan produk berlemak
yang rentan terhadap proses oksidasi yang dapat menimbulkan ketengikan. Selain
itu, produk ini juga rentan terhadap pertumbuhan mikroorganisme yang dapat
meningkatkan keasaman produk. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu kemasan yang
dapat mengurangi atau mencegah masuknya oksigen.
Hasil analisis ragam (Lampiran 7-20) menunjukkan nilai pH pada produk
tersebut dipengaruhi oleh faktor kemasan untuk taraf 5% pada penyimpanan di
hari kelima, keenam, ketujuh dan kedelapan. Hasil analisis ragam juga
menunjukkan bahwa di hari pertama, kedua dan kelima, nilai pH dipengaruhi oleh
faktor suhu pada taraf 5%. pH yang semakin asam dihasilkan oleh suhu yang
semakin tinggi. Pada hari pertama, interaksi antara suhu dan jenis kemasan juga
mempengaruhi nilai pH produk pada taraf 5%.
Gambar 11 menunjukkan hasil pengukuran nilai pH pada semua jenis
kemasan dan suhu selama penyimpanan. Berdasarkan data hasil percobaan
kondisi suhu rendah cenderung dapat mempertahankan nilai pH yang ditunjukkan
dengan nilai pH yang relatif tinggi yaitu berkisar antara 6,35 dan 5,36 untuk
kemasan gelas, 6,35 hingga 5,11 dan untuk kemasan LDPE antara 6,35 dan 5,16.
Penyimpanan pada suhu 10-12oC menunjukkan hasil yang cenderung lebih asam
dibandingkan penyimpanan di suhu yang lebih rendah, yaitu dengan nilai pH
berkisar antara 6,35 dan 5,31 untuk kemasan gelas, 6,35 hingga 5,16 untuk
kemasan LDPE, dan 6,35 hingga 5,09 untuk kemasan microwavable plastic
(CPET). Nilai pH pada penyimpanan suhu ruang (27-30oC) cenderung
menghasilkan nilai pH yang lebih kecil (kondisi produk lebih asam). Produk yang
39
dikemas dengan kemasan gelas pada suhu ini menunjukkan kisaran nilai antara
6,35 dan 5,09, kemasan LDPE sebesar 6,35 hingga 5,04 dan kemasan CPET
antara 6,35 hingga 5,09. Data hasil uji pH tersebut secara rinci disajikan pada
Lampiran 2, 3 dan 4.
5.0
5.5
6.0
6.5
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Lama Penyimpanan (hari)
Nila
i pH
A1B1A1B2A1B3A2B1A2B2A2B3A3B1A3B2A3B3
Keterangan : A1 : Kemasan Gelas B1 : suhu 3-5oC
A2 : Kemasan LDPE B2 : suhu 10-12oC
A3 : Kemasan Microwavable Plastic B3 : suhu 27-30oC
Gambar 11. Grafik hasil uji derajat keasaman (pH)
Semakin lama penyimpanan, produk cenderung bersifat semakin asam.
Setelah hari keempat, terlihat bahwa nilai pH yang rendah ditunjukkan oleh
kemasan LDPE, kemudian diikuti oleh kemasan microwavable (CPET) dan
kemasan gelas. Asam secara alami terdapat dalam setiap makanan. Asam yang
ada pada makanan dapat diproduksi dari aksi mikroorganisme, penambahan asam
ke dalam makanan atau adanya reaksi kimia yang terjadi pada makanan tersebut
yang menghasilkan asam (Gould, 1983). Dalam penelitian ini kenaikan pH produk
diduga karena aksi mikroorganisme bukan karena penambahan asam dari luar.
40
5.6
5.7
5.8
5.9
6.0
6.1
3-5˚C 12-15˚C 27-30˚C
Suhu penyimpanan
nila
i pH gelas
LDPECPET
Gambar 12. Grafik interaksi jenis kemasan dan suhu terhadap nilai pH
Dari gambar di atas terlihat produk dengan kemasan LDPE mempunyai nilai
pH yang lebih rendah dibandingkan dengan produk yang kemasan gelas atau
CPET. Rendahnya nilai pH ini dikarenakan LDPE memiliki permeabilitas yang
tinggi sehingga mudah terjadi penyerapan uap air dan O2 yang dapat mempercepat
laju pertumbuhan mikroorganisme. Menurunnya nilai pH selama penyimpanan
diduga disebabkan oleh naiknya kadar asam lemak bebas hasil hidrolisa lemak
oleh enzim lipase mikroba (Fardiaz, 1989) Semakin tinggi kadar asam lemak
bebas maka semakin tinggi bilangan asam sehingga pH semakin rendah.
Menurunnya nilai pH juga dapat disebabkan oleh terjadinya degradasi protein
yang menghasilkan asam amino, juga oleh adanya senyawa asam yang terbentuk
dari perubahan senyawa karbohidrat dalam bahan. Selain itu, penurunan nilai pH
disebabkan adanya mikroba yang aktif mendegradasi pati menjadi senyawa-
senyawa yang lebih sederhana seperti gula yang selanjutnya difermentasi menjadi
asam (Fardiaz, 1989).
Nilai pH merupakan faktor penting yang harus diketahui oleh produk
pangan olahan seperti sop daun torbangun ini. Nilai pH yang turun diduga akibat
aktivitas bakteri yang terdapat dalam sop daun Torbangun ini. Nilai ketengikan
berkaitan dengan nilai pH dan total asam tertitrasi. Ketengikan terjadi karena
terbentuknya hidroperoksida sebagai hasil penguraian radikal bebas asam lemak
tidak jenuh yang terbentuk dari hasil oksidasi ataupun hidrolisis lemak. Hasil
41
penguraian asam lemak bebas lainnya adalah terbentuknya ion H+ yang
berpengaruh terhadap nilai pH. Kecenderungan turunnya nilai pH sampel selama
penyimpanan sejalan dengan semakin tingginya total asam tertitrasi.
Pengaruh kemasan terhadap pH disebabkan oleh karakteristik kemasan
berupa permeabilitas kemasan terhadap oksigen. Kemasan yang memiliki tingkat
permeabilitas oksigen yang lebih rendah yaitu kemasan gelas dapat menghambat
masuknya oksigen sehingga dapat mengurangi laju oksidasi. Selain itu, apabila
ketersediaan oksigen bebas pada kemasan lebih sedikit, maka aktivitas
mikroorganisme sejalan dengan pertumbuhan mikroorganisme yang lebih rendah.
4.1.4. Total asam Tertitrasi (TAT)
Nilai Total Asam Tertitrasi (TAT) dalam penelitian ini digunakan sebagai
salah satu parameter untuk menentukan kondisi pengemasan dan jenis
pengemasan terbaik untuk produk sop daun Torbangun. Perhitungan nilai TAT
dapat digunakan untuk mengetahui tingkat keasaman atau kandungan asam suatu
produk. Total asam yang terukur adalah jumlah hidrogen total (dalam bentuk
terdisosiasi maupun tidak terdisosiasi). Nilai TAT ini selalu berbanding terbalik
dengan nilai pH, semakin tinggi pH maka semakin rendah nilai TAT.
Data hasil percobaan pada Lampiran 6a, 6b dan 6c menunjukkan bahwa
produk yang disimpan dalam kemasan gelas pada suhu 3-5oC memiliki nilai TAT
sebesar 2,31935 ml NaOH 0,1 N/100 g hingga 4,06970 ml NaOH 0,1 N/100 g,
untuk suhu 10-12oC sebesar 2,31935 ml NaOH 0,1 N/100 g hingga 4,6354 ml
NaOH 0,1 N/100 g. Pada suhu ruang, nilai TAT yang terukur hingga
penyimpanan di hari kedua bernilai 2,31935 ml NaOH 0,1 N/100 g dan 4,3625 ml
NaOH 0,1 N/100 g.
Kemasan berikutnya yaitu kemasan LDPE menunjukkan nilai TAT yang
cenderung lebih besar, yaitu 2,31935 ml NaOH 0,1 N/100 g hingga 5,270085 ml
NaOH 0,1 N/100 g pada suhu 3-5oC, untuk suhu 10-12oC sebesar 2,31935 ml
NaOH 0,1 N/100 g hingga 4,80225 ml NaOH 0,1 N/100 g, dan untuk suhu ruang
sebesar 2,31935 ml NaOH 0,1 N/100 g hingga 4,2218 ml NaOH 0,1 N/100 g.
Kemasan yang ketiga yaitu kemasan plastik microwavable memberikan nilai
sebesar 2,31935 ml NaOH 0,1 N/100 g hingga 4,85385 ml NaOH 0,1 N/100 g
42
pada suhu 3-5oC, 2,31935 ml NaOH 0,1 N/100 g hingga 4,82685 ml NaOH 0,1
N/100 g untuk suhu 10-12oC dan 2,31935 ml NaOH 0,1 N/100 g hingga 4,3324
ml NaOH 0,1 N/100 g untuk suhu 27-30oC. Gambar 16 menyajikan data
pengukuran nilai TAT secara lengkap dalam bentuk grafik.
2.0
3.0
4.0
5.0
0 2 4 6 8
Lama penyimpanan (hari)
nila
i TAT
A1B1A2B2A2B3A2B1A2B2A2B3A3B1A3B2A3B3
Keterangan : A1 : Kemasan Gelas B1 : suhu 3-5oC
A2 : Kemasan LDPE B2 : suhu 10-12oC
A3 : Kemasan Microwavable Plastic B3 : suhu 27-30oC
Gambar 13. Grafik hasil uji Total Asam Tertitrasi (ml NaOH 0,1N/100gr)
Semakin lama penyimpanan, nilai TAT semakin meningkat, dan suhu ruang
cenderung menunjukkan nilai TAT yang meningkat secara drastis pada
penyimpanan selama 2 hari (Gambar 16). Setelah hari ketiga, rata-rata nilai TAT
yang lebih rendah ditunjukkan oleh produk yang disimpan pada suhu 3-5oC.
Pada suhu ruang, nilai TAT cenderung meningkat dengan cepat
dibandingkan pada suhu dingin. Selain dikarenakan oleh aktivitas mikroba,
kecenderungan peningkatan total asam tertitrasi selama penyimpanan disebabkan
oleh peningkatan asam lemak bebas yang dihasilkan dari proses hidrolisis lemak
oleh panas. Biasanya peningkatan keasaman ini juga disertai dengan penurunan
nilai pH (terlihat pada Gambar 14), karena pelepasan ion hidrogen asam lemak.
Sementara itu berdasarkan analisis ragam, faktor kemasan memberikan perbedaan
yang nyata (nilai interaksi <0,05) pada penyimpanan di hari keenam. Sama seperti
43
uji yang lain, kemasan gelas tetap menunjukkan perlindungan terbaik terhadap
produk, diikuti oleh kemasan CPET dan kemasan LDPE. Gambar 17 menyajikan
grafik pengaruh faktor jenis kemasan terhadap nilai TAT.
3.00
3.05
3.10
3.15
gelas LDPE CPET
Jenis kemasan
TAT
(ml N
aOH
0,1
N/1
00 g
)
Gambar 14. Grafik pengaruh faktor jenis kemasan terhadap nilai TAT
Dalam sup daun Torbangun diduga terdapat mikroba yang aktif
mendegradasi pati menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana seperti gula
yang selanjutnya difermentasi menjadi asam. Adanya pemecahan senyawa-
senyawa kimia oleh mikroorganisme seperti karbohidrat, lemak dan protein akan
mempengaruhi tingkat keasaman suatu produk. Nilai TAT meningkat selama
penyimpanan akibat kandungan asam (baik terurai maupun tidak terurai) yang
meningkat. Hal ini terbukti dari data yang diperoleh, bahwa nilai TAT yang
didapatkan pada penelitian ini sejalan dengan nilai TPC yang terukur. Semakin
tinggi nilai TPC maka nilai TAT produk cenderung semakin tinggi.
4.2. Pemilihan Jenis Kemasan Terbaik
Sop daun Torbangun merupakan produk yang memiliki potensi untuk
dipasarkan secara komersial. Pemilihan kemasan terbaik untuk produk yang
ditujukan untuk kepentingan komersial tidak hanya dapat didasarkan atas
kemampuannya melindungi mutu produk, tetapi juga harus mempertimbangkan
faktor-faktor lain. Faktor-faktor tersebut diantaranya harga, kemudahan dalam
proses pengemasan, tampilan produk setelah dikemas, kemudahan dalam proses
44
distribusi, dan kepraktisan konsumen. Kemasan yang dianggap sebagai kemasan
terbaik adalah kemasan yang memiliki harga yang relatif murah, mudah dalam
proses pengemasan, memiliki tampilan yang menarik, mudah untuk
didistribusikan, dan praktis untuk dikonsumsi oleh konsumen.
Pengambilan keputusan penentuan kemasan terbaik digunakan teknik
pembobotan. Teknik ini dicapai dengan memberikan bobot pada masing-masing
bahan kemasan untuk masing-masing faktor penentu. Adapun untuk faktor mutu,
langkah-langkah pemberian bobot adalah sebagai berikut:
(i) Lakukan uji lanjut Duncan terhadap nilai mutu yang meliputi TAT, TBA,
pH dan TPC dengan tingkat kepercayaan 95%.
(ii) Berikan pembobotan di masing-masing hari berdasarkan uji lanjut Duncan
pada poin (i) tersebut. Ada 3 kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu:
1. Ketiga jenis kemasan tidak berbeda nyata, sehingga untuk masing-
masing uji tersebut, setiap kemasan diberikan poin yang sama yaitu 1.
2. Ketiga jenis kemasan berbeda nyata, sehingga untuk uji TPC, TAT dan
TBA, kemasan yang memiliki nilai tertinggi diberi poin 0, lalu kemasan
yang memiliki kadar menengah akan diberi poin 1 dan kemasan yang
memiliki nilai terendah akan diberi poin 2. Untuk uji pH, kemasan yang
memiliki nilai tertinggi diberi poin 2, kadar menengah diberi poin 1 dan
kemasan yang memiliki nilai terendah diberi poin 0.
3. Jika ada kelompok kemasan yang terdiri dari jenis kemasan yang tidak
berbeda nyata, dan kemasan lainnya berbeda nyata, maka pemberian
poin akan tergantung dari nilai kadar kelompok kemasan tersebut. Untuk
uji TPC, TAT dan TBA, kemasan yang memiliki nilai tertinggi diberi
poin 0, lalu kemasan yang memiliki kadar menengah akan diberi poin 1
dan kemasan yang memiliki nilai terendah akan diberi poin 2. Untuk uji
pH, kemasan yang memiliki nilai tertinggi diberi poin 2, kadar
menengah diberi poin 1 dan kemasan yang memiliki nilai terendah diberi
poin 0. Sedangkan untuk kemasan yang berbeda nyata (bukan bagian
dari kelompok kemasan tersebut), akan diberi poin tinggi untuk kemasan
yang memberikan hasil terbaik dan poin yang rendah apabila kemasan
tersebut menunjukkan hasil yang buruk.
45
Langkah-langkah penentuan faktor mutu tersebut tersaji pada Gambar 15.
Gambar 15. Diagram alir langkah pembobotan faktor perlindungan mutu produk.
Berdasarkan langkah-langkah di atas, maka didapatkan hasil pembobotan
untuk masing-masing parameter mutu pada setiap titik pengamatan (hari). Hasil
pembobotan tersebut disajikan pada Tabel 5.
Nilai mutu (TBA, TAT, TPC dan pH) untuk kemasan gelas, LDPE, dan CPET
Uji lanjut Duncan antar kemasan
Tidak berbeda nyata antar ketiga jenis
kemasan
Berbeda nyata antar ketiga jenis kemasan
2 jenis kemasan tidak berbeda nyata,
kemasan lain berbeda nyata
Beri bobot 1 untuk semua
jenis kemasan
Lihat nilai TAT, TPC dan TBA
Lihat nilai pH
Beri bobot 2 untuk nilai terendah,
bobot 1 untuk nilai menengah, dan
bobot 0 untuk nilai terendah
Beri bobot 0 untuk nilai terendah,
bobot 1 untuk nilai menengah, dan
bobot 2 untuk nilai terendah
Kelompok kemasan yang tidak berbeda
nyata
kemasan yang
berbeda nyata
Lihat nilai TAT, TPC dan
TBA
Lihat nilai pH
Beri bobot 2 untuk nilai terendah,
bobot 1 untuk nilai menengah, dan
bobot 0 untuk nilai terendah
Beri bobot 0 untuk nilai terendah,
bobot 1 untuk nilai menengah, dan
bobot 2 untuk nilai terendah
Lihat nilai TAT, TPC dan
TBA
Lihat nilai pH
Beri bobot 2 untuk nilai terendah,
bobot 1 untuk nilai tertinggi
Beri bobot 0 untuk nilai terendah,
bobot 1 untuk nilai terendah
Bandingkan
46
Tabel 5. Pembobotan faktor mutu produk (TBA, TAT, TPC, dan pH)
Parameter mutu
Jenis kemasan
Hari pengamatan Total bobot 1 2 3 4 5 6 7 8
TBA Gelas - 1 - 1 - 1 - 1 4 LDPE - 1 - 1 - 1 - 1 4 CPET - 1 - 1 - 1 - 1 4
TAT Gelas - 1 - 1 - 2 - 1 5 LDPE - 1 - 1 - 0 - 1 3 CPET - 1 - 1 - 1 - 1 4
TPC Gelas 1 1 2 2 1 1 2 2 12 LDPE 1 1 1 1 1 1 1 1 8 CPET 1 1 2 1 1 1 0 2 9
pH Gelas 1 1 1 1 2 2 2 2 12 LDPE 1 1 1 1 0 0 1 1 6 CPET 1 1 1 1 1 1 1 1 8
Tabel 6 menunjukkan total pembobotan dari faktor mutu produk untuk
masing-masing jenis kemasan. Dari pembobotan tersebut, nampak bahwa
kemasan gelas mendominasi perolehan nilai. Hal ini dikarenakan kemasan ini
memiliki sifat yang sangat baik untuk melindungi mutu produk. Kemasan gelas
merupakan kemasan yang memilki permeabilitas yang sangat rendah terhadap gas
maupun uap air. Plastik CPET menduduki peringkat kedua dalam
mempertahankan mutu produk dan kemasan LDPE mendapatkan poin terendah.
Tabel 6. Total pembobotan untuk faktor mutu produk (TAT, TBA, pH, TPC)
Parameter mutu Jenis kemasan
Gelas LDPE CPET
pH 12 6 8
TPC 12 8 9
TAT 5 3 4
TBA 4 4 4
Total bobot 33 21 25
Pembobotan untuk faktor tampilan produk dan kepraktisan konsumen,
didapatkan melalui kuisioner dengan 30 responden. Jenis kemasan yang memiliki
tampilan paling menarik berdasarkan hasil kuisioner tersebut diberi bobot 2, nilai
menengah diberi bobot 1, dan terkecil diberi nilai 0. Untuk faktor kemudahan
47
distribusi, dilakukan pembobotan dengan bantuan 5 orang pakar di bidang
pengemasan. Pembobotan untuk faktor harga dan kemudahan mengemas
didasarkan pada hasil pengamatan selama penelitian ini dilakukan. Keseluruhan
pembobotan yang didapatkan untuk produk sop daun Torbangun ini disajikan
dalam Tabel 7.
Tabel 7. Total pembobotan untuk pemilihan kemasan terbaik bagi produk sop daun Torbangun
Faktor Jenis kemasan
Gelas LDPE CPET
Tampilan produk 2 0 1
Kemudahan distribusi 0 1 2
Kemudahan mengemas 1 0 2
Kepraktisan konsumen 0 2 1
Perlindungan mutu produk 2 0 1
Harga 1 2 1
Total bobot 6 5 8
Dari tabel di atas, terlihat bahwa kemasan CPET menunjukkan bobot
tertinggi dibandingkan dengan jenis kemasan lain, sehingga CPET merupakan
alternatif kemasan terbaik untuk produk sop daun Torbangun yang digunakan
untuk kepentingan komersial. Kemasan kedua terpilih adalah kemasan gelas.
Walaupun kemasan ini memberikan perlindungan terbaik terhadap produk, namun
kini mulai ditinggalkan karena sifatnya yang mudah pecah sehingga kurang
praktis dalam penggunaannya. LDPE merupakan kemasan terbaik terakhir,
dimana kemasan ini memiliki harga yang relatif lebih murah, namun kemasan ini
kurang baik dalam pemberian perlindungan terhadap produk. Tampilan kemasan
ini juga kurang menarik dibandingkan dengan kemasan lain.
48
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Sop daun Torbangun bersantan tanpa penambahan bahan pengawet setelah
dikemas memiliki umur simpan selama 2 hari untuk penyimpanan pada suhu
ruang (27-30oC). Pada penyimpanan suhu dingin (3-5oC dan 10-12oC), produk ini
dapat bertahan hingga 8 hari. Selama penyimpanan, terjadi penurunan mutu
produk yang dapat ditekan dengan menggunakan bahan pengemas yang tepat dan
suhu penyimpanan yang sesuai. Penurunan mutu yang terjadi yaitu ketengikan,
meningkatnya kadar asam produk, serta adanya pertumbuhan mikroba.
Nilai bilangan TBA pada setiap kemasan dan suhu cenderung meningkat
selama waktu penyimpanan. Hasil analisis ragam terhadap bilangan TBA
menunjukkan bahwa bilangan TBA sop daun Torbangun dipengaruhi secara nyata
oleh faktor suhu pada taraf 5% pada hari kedua. Penyimpanan pada suhu 3-5oC
tidak berbeda nyata dengan suhu 12-15oC. Nilai bilangan TBA pada kedua suhu
ini cenderung lebih rendah dibandingkan suhu yang lebih tinggi yaitu pada suhu
27-30oC. Semakin lama disimpan, nilai rata-rata TBA cenderung semakin
meningkat.
Produk ini sangat rentan terhadap kerusakan akibat mikroorganisme.
Berdasarkan hasil analisis ragam, faktor kemasan memberikan pengaruh nyata
pada taraf 5% terhadap nilai TPC di hari ketiga, keempat, ketujuh dan kedelapan.
Nilai TPC yang tinggi ditunjukkan oleh kemasan LDPE, kemudian diikuti oleh
kemasan microwavable plastic (CPET) dan kemudian kemasan gelas. Faktor suhu
juga memberikan pengaruh yang nyata untuk taraf 5% pada penyimpanan di hari
pertama, kedua, ketiga, keempat, ketujuh, dan kedelapan. Peningkatan suhu akan
meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme. Pada penyimpanan suhu kamar
terlihat pertumbuhan mikroba yang sangat pesat pada semua jenis kemasan. Pada
hari ketiga, interaksi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan juga
memberikan pengaruh yang nyata pada taraf 5%.
Tingkat keasaman produk dapat dilihat dari uji pH dan TAT. Nilai TAT
meningkat dan berbanding terbalik dengan nilai pH. Semakin lama penyimpanan,
nilai pH cenderung semakin mengecil, dan pH yang semakin asam dihasilkan oleh
49
suhu yang semakin tinggi. Nilai pH produk tersebut dipengaruhi oleh faktor
kemasan untuk taraf 5% pada penyimpanan di hari kelima, keenam, ketujuh dan
kedelapan. Hasil analisis ragam juga menunjukkan bahwa di hari pertama, kedua
dan kelima, nilai pH dipengaruhi oleh faktor suhu pada taraf 5%. pH yang
semakin asam dihasilkan oleh suhu yang semakin tinggi. Pada hari pertama,
interaksi antara suhu dan jenis kemasan juga mempengaruhi nilai pH produk pada
taraf 5%. Semakin lama disimpan nilai TAT semakin meningkat, dan suhu ruang
cenderung menunjukkan nilai TAT yang meningkat secara drastis pada
penyimpanan selama 2 hari. Faktor kemasan memberikan perbedaan yang nyata
pada penyimpanan di hari keenam.
Pengambilan keputusan untuk mendapatkan alternatif kemasan terbaik
dilakukan dengan metode pembobotan. Metode ini melibatkan faktor harga,
kemudahan dalam proses pengemasan, tampilan produk setelah dikemas,
kemudahan dalam proses distribusi, serta kepraktisan konsumen. Berdasarkan
pembobotan dari faktor-faktor tersebut, kemasan CPET menunjukkan bobot
tertinggi, sehingga kemasan ini merupakan kemasan terbaik bagi produk.
Alternatif kemasan yang lain yaitu kemasan gelas yang menunjukkan bobot
menengah dan kemasan LDPE yang memiliki bobot terendah.
5.2. Saran
Perlu dilakukan studi lanjut mengenai penentuan umur simpan produk sup
daun Torbangun dengan mempertimbangkan penggunaan bahan pengawet
makanan yang dapat mempertahankan mutu selama penyimpanan, serta
perhitungan jumlah migrasi bahan kemasan ke dalam produk. Selain itu, perlu
dikaji penggunaan kemasan berwarna (tidak transparan) untuk mengurangi tingkat
oksidasi lemak pada produk.
50
DAFTAR PUSTAKA
Adcock, E.P. 1997. Closures and Dispensing Devices for Glass and Plastic Containers In F.A. Paine. The Packing Media. Blackie and Son, London.
Anggraeni, Dian. 2002. Mempelajari Daya Tahan Simpan Cendol pada
Penyimpanan Suhu Kamar dan Suhu Refrigerator. Skripsi. Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian.IPB. Bogor.
Apriyantono, A.D. Fardiaz, N.L.Puspitasari, Sedarnawai, dan S. Budiyanto.1989.
Analisa Pangan. Petunjuk Laboratorium. PAU Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.
Ariyanti, N.D. 2003. Sifat Fisik, Kimia, Mikrobiologi dan Organoleptik Abon
Ayam Kampung dengan Penambahan Kunyit Selama Penyimpanan. Skripsi. IPT. Fakultas Peternakan. IPB, Bogor.
Belitz, H.D, W. Grosch. 1987. Food Chemistry. Berlin: Springer-Verlag. Briston, John H., dan Leonard L.Katan.1974. Plastic in Contact with Food. The
Anchor Press Ltd., Great Britain. Brown, W.E. 1992. Plastic in Food Packaging : Properties, Design and
Fabrication. Marcell Dekker, Inc., New York. Buckle, K.A., R.A, Edwards, G.H.Fleet dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan.
Terjemahan. UI-Press.Jakarta. Dahle, L.K., E.G. Hill dan R.T. Holman.1962.Arch.Biochem. Biophys.98.253 Damanik R, Z. Daulay, S. Saragih, R. Premier, N.Wattanapenpaiboon & ML.
Wahlqvist. Consumption of Bangun-Bangun Leaves (Coleus amboinicus Lour) to Increase Breast Milk Production Among Bataknese Women in North Sumatera Island, Indonesia. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition 2001;10(4): S67
Damanik R. Effect of Consumption Torbangun Soup (Coleus amboinicus Lour)
on Micronutrient Intake of the Bataknese Lactating women. Media Gizi & Keluarga Vol 29(1) Juli 2005: 68-73.
Damanik R. Fatty Acid Intake of the Bataknese Lactating Women Consuming the
Torbangun Soup (Coleus amboinicus Lour). Media Gizi & Keluarga Vol 29(1) Juli 2005: 74-80.
Daulay, D. 1998. Pendinginan dan Pembekuan dalam Pengawetan Pangan.
Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Desrosier, N. W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. UI Press, Jakarta.
51
Djatmiko,B., dan A.P. Widjaja. 1973. Minyak dan Lemak. Departemen Teknologi
Hasil Pertanian, Fatemeta. IPB. Bogor. Eackles, C.H., W.B. Combs dan H. Macy. 1957. Milk and Milk Products. Mc
Graw Hill Publishing Co.Ltd. New Delhi. Egan, H., R.S. Kirk, dan R. Sawyer.1981. Pearson’s Chemical Analysis of Foods.
Churchill Livingstone. London. Ellis, M.J. 1994. The Methodology of Shelf Life Determination. Di dalam Man
C.M.D. dan A.A. Jones (eds.). Shelf Life Evaluation of Foods. Blackie Academic and Professional, London.
Fardiaz, S.1989. Mikrobiologi Pangan. Penuntun Praktek Laboratorium. Jurusan
Ilmu dan Teknologi Pangan. Fateta, IPB. Bogor. Frazier, W.C. dan D. Westhoff. 1978. Food Microbiology Third Edition. Mc.
Graw-Hill Book Company, New York. Fellows, P. 1992. Food Processing Technology: Principles and Practice. Ellis
Horwood Ltd., England. Gordon, M.H. 1990. The Mechanism of Antioxidant Action in vitro. Di dalam
Hudson, B.J.F. (ed). Food Antioxidant. Elsevier Applied Science.London. Hamilton, R. J.1983. The Chemistry of Rancidity in Foods. Di dalam Allen, J.C.
dan R.J. Hamilton (eds). Rancidity in Foods. Applied Science Publisher. London dan New York.
Harrington, James P., dan Wilmer A. Jenkins.1991. Packaging Foods with
Plastic. Technomic Publishing Co.,Inc., Lancaster. USA. Hine, D.J. 1987. Modern Processing, Packaging and Distribution System for
Foods. Blackie Academic and Professional. London. Hoseney, R.C.1998. Principles Cereal Science and Technology. Second Edition.
American Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul, Minnesota, USA Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press,
Jakarta. Mahmud, Mien, K., Slamet, DS., Apriyantono, R.R., Hermana. 1990. Komposisi
Zat Gizi Pangan Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Bina Gizi Masyarakat dan Pusat Penelitian & Pengembangan Gizi: Jakarta.
52
Muchtadi, T.R. 1989. Petunjuk Laboratorium Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Nawar, W.W. 1985. Lipids. Di dalam : Fennema, O.R (ed). Food Chemistry.
Marcell Dekker, Inc., New York. Peterson, G.T. 1969. Methods of Producing Vacum in Cans. di dalam Laboratory
Manual for Food Canners & Processors Vol.2. AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut.
Potter, N.N.1973. Food Science. The Avi Publishing Company Inc. Westport.
Connecticut. Reksohadinoto, S. 1991. Peranan Kemasan di dalam Memperpanjang Daya
Tahan Produk. Hyatt Regency : Surabaya. Robertson, Gordon, L. 1991. Predicting the Shelf Life of Packaging Foods.
Journal Asean Food 6 : 43-51. Robertson, Gordon, L. 1993. Food Packaging : Principles and Practice. Marcell
Dekker, Inc., New York. Siagian, M.H. dan M. Rahayu.2000. Laporan Penelitian Etnobotani Plecantrus
amboinicus Lour Spreng di daerah Batak Toba, Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Makalah disajikan pada Kongres Nasional Obat Tradisional Indonesia, Surabaya.
Silitonga, M.1993. Efek Laktogagum Daun Jinten (Coleus amboinicus, L) pada
Tikus Laktasi. Tesis. Program Studi Biologi. Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Singh, R.P. 1994. Scientific Principles of Shelf Life Evaluation. Di dalam Man
C.M.D. dan A.A. Jones (eds.). Shelf Life Evaluation of Foods. Blackie Academic and Professional, London.
Somaatmadja. D., Atih S.H. dan Adjuk Mardjuki. 1974. Pengolahan Kelapa III
Pengawetan Santan Kelapa. Balai Penelitian Kimia Bogor. Syarief, R., dan H. Halid .1992. Teknologi Penyimpanan Pangan. Ancor, Jakarta. Syarief, Rizal, S. Santausa dan S. Isyana. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan.
Laboratorium Rekayasa Bioproses Pangan. PAU IPB : Bogor. Syarief, R., dan A. Irawati.1983. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian.
MSP, Jakarta.
53
Tarladgis, B.G., Watts,B.M., Younathan, M.T., dan L.R. Dugan, Jr.1990. A Distillation Method for the Quantitative determination of Malonaldehide in Rancid Foods. Journal of American Oil Chamistry Society.37. 44-48
Winarno, F.G. 1986. Kimia Pangan. Penerbit Gramedia. Jakarta. Winarno, F.G dan B.S.L. Jennie. 1983. Kerusakan Bahan Pangan dan Cara
Pencegahannya. Ghalia Indonesia, Yakarta. Zaitsev, V., I. Kizevetter, L.Lagunov, T. Makarova, L. Minder and V.
Podsevalov. 1969. Fish Curing and Processing. Mir Publisher. Moscow. Uni Sovyet.
LAMPIRAN
54
Lampiran 1. Sketsa wadah gelas dan dimensinya
55
Lampiran 2.a. Prosedur Analisa Total Asam Tertitrasi (AOAC, 1984)
Total asam ditentukan dengan cara titrasi. Bahan ditentukan sebanyak 10
gram. Setelah itu dimasukkan ke dalam labu ukur 250 ml, kemudian ditepatkan
sampai tanda tera dengan menambah air suling. Selanjutnya dilakukan
penyaringan dengan kapas dan filtrat yang diperoleh sebanyak 25 ml dan dititrasi
dengan larutan NaOH 0,01 M dengan indikator phenolphtalein sampai terbentuk
warna merah muda pada akhir titrasi.
100
10064)100/(×
××××=
YPNNaOHmlggasamTotal
Keterangan : N : Normalitas NaOH yang telah distandarisasi
Y : Bobot sampel
P : Faktor pengenceran
64 : ekuivalensi asam sitrat
Lampiran 2.b. Prosedur Analisa pH (AOAC, 1984)
Sebelum digunakan untuk mengukur pH, terlebih dahulu pH meter
dikalibrasi dengan menggunakan larutan buffer pH 4 atau 7. Setelah pH meter
dikalibrasi, sampel diukur. Elektrode dibilas dengan menggunakan aquades dan
dikeringkan dengan kertas tissue. Elektroda dicelupkan pada larutan sampel.
Elektrode dibiarkan tercelup beberapa saat sampai diperoleh pembacaan yang
stabil dan catat pH sampel.
Lampiran 2.c. Prosedur Analisa Total Plate Count (Fardiaz, 1987)
Pembuatan media agar dilakukan dengan mencampurkan 23 g Nutrient agar
ke dalam 1 liter aquades dalam gelas piala. Larutan yang terbentuk dipanaskan
sambil diaduk sampai mendidih sehingga semua agar terlarut. Sterilisasi
dilakukan terhadap larutan agar beserta peralatan yang lain yang akan digunakan
seperti pipet, blender, dan larutan agar dalam autoklaf selama 15 menit. Larutan
agar disimpan dalam pemanas air suhu 45oC. Pembuatan larutan pengencer
dengan pencampuran 8,5 g NaCl ke dalam 1000 ml aquades. Larutan pengencer
kemudian didestilasi.
56
Pembuatan larutan sampel dengan mencampurkan 1 g bahan (campuran sop
daun Torbangun) dan dihancurkan bersama larutan pengencer sebanyak 9 ml
sampai larutan menjadi homogen. Pengenceran dilakukan dengan mengambil 1 ml
larutan sampel yang sudah homogen dengan pipet steril sehingga terbentuk
pengenceran 10-1 kemudian larutan tersebut dikocok sampai homogen.
Pengenceran dilakukan menurut kebutuhan penelitian. Pemipetan dilakukan dari
masing-masing tabung pengenceran sebanyak 1 ml larutan sampel dan
dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo dengan menggunakan pipet
steril. Media agar ditambahkan ke dalam setiap cawan petri sebanyak 20 ml dan
digoyangkan sampai dengan merata (metode tuang). Cawan petri (agar yang
sudah membeku) diinkubasi dalam inkubator bersuhu 30oC selama 48 jam.
Lampiran 2.d. Analisa Thiobarbituric Acid (TBA) (Apriyantono et al., 1989)
Bahan ditimbang sebanyak 10 gram dengan teliti lalu dimasukkan ke dalam
waring blender, ditambahkan 50 ml aquades dan dihancurkan selama 2 menit.
Sampel dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu destilasi sambil dicuci
dengan 47.5 ml aquades. Ditambahkan ± 2.5 ml HCl 4M sampai pH menjadi 1.5.
Kemudian, ditambahkan batu didih dan pencegah buih (anti foaming agent)
secukupnya dan dipasangkan labu destilasi pada alat destilasi.
Destilasi dijalankan dengan pemanasan tinggi sehingga diperoleh 50 ml
destilat selama 10 menit pemanasan. Destilat yang diperoleh diaduk merata,
kemudian 5 ml destilat dipipet ke dalam tabung reaksi bertutup. Ditambahkan 5
ml pereaksi TBA, ditutup dan dicampur merata lalu dipanaskan selama 35 menit
dalam air mendidih. Dibuat blanko dengan menggunakan 5 ml aquades dan 5 ml
pereaksi, lakukan seperti pada penetapan sampel.
Tabung reaksi didinginkan dengan pendingin selama ± 10 menit, kemudian
diukur absorbansinya (D) pada panjang gelombang 528 nm dengan larutan blanko
sebagai titik nol. Digunakan sampel sel berdiameter 1 cm. Bilangan TBA dihitung
dan dinyatakan dalam mg malanoldehid per kg sampel. Bilangan TBA = 7.8 D.
57
Lampiran 3a. Data hasil uji pH kemasan gelas pada tiga suhu penyimpanan
Hari ke-
Nilai pH kemasan gelas Suhu 3-5˚C Suhu 10-12˚C Suhu 27-30˚C I II I II I II
0 6,30 6,35 6,30 6,35 6,30 6,35 1 6,32 6,32 6,28 6,30 5,51 5,42 2 6,26 6,31 6,25 6,29 5,12 5,09 3 6,24 6,33 6,27 6,25 4 6,26 6,28 6,20 6,22 5 6,12 6,24 5,94 5,84 6 5,81 5,88 5,82 5,74 7 5,67 5,75 5,42 5,56 8 5,40 5,36 5,31 5,42
Lampiran 3b. Data hasil uji pH kemasan LDPE pada tiga suhu penyimpanan
Hari ke-
Nilai pH kemasan LDPE Suhu 3-5˚C Suhu 10-12˚C Suhu 27-30˚C I II I II I II
0 6,30 6,35 6,30 6,35 6,30 6,35 1 6,35 6,32 6,27 6,30 5,62 5,55 2 6,31 6,28 6,21 6,31 5,17 5,04 3 6,29 6,23 6,21 6,20 4 6,02 6,20 6,19 6,23 5 5,84 5,71 5,69 5,72 6 5,66 5,59 5,45 5,61 7 5,24 5,21 5,31 5,20 8 5,19 5,11 5,22 5,16
Lampiran 3c. Data hasil uji pH kemasan Microwavable plastic pada tiga suhu penyimpanan
Hari ke-
Nilai pH kemasan Microwavable plastic Suhu 3-5˚C Suhu 10-12˚C Suhu 27-30˚C I II I II I II
0 6,30 6,35 6,30 6,35 6,30 6,35 1 6,34 6,35 6,28 6,32 5,49 5,40 2 6,31 6,34 6,19 6,29 5,42 5,09 3 6,29 6,21 6,29 6,22 4 6,11 6,17 6,32 6,19 5 5,98 5,88 5,84 5,92 6 5,79 5,66 5,77 5,69 7 5,37 5,32 5,28 5,33 8 5,26 5,16 5,22 5,09
58
Lampiran 4a. Data hasil uji mikrobiologi (TPC) kemasan gelas pada tiga suhu penyimpanan
Hari ke-
Jumlah koloni kemasan gelas Suhu 3-5˚C Suhu 10-12˚C Suhu 27-30˚C
I II I II I II 0 73 × 101 51 × 101 73 ×101 51 × 101 73 × 101 51 × 101 1 23 × 102 61 × 102 51 × 102 47 × 102 90 × 103 35 × 103 2 1.2 × 103 39 × 103 1.4 × 104 67 × 103 2.3 ×106 1.1 × 107 3 38 × 105 28 × 104 1.7 × 106 31 × 104 43 × 106 37 × 107 4 1.7 × 106 51 × 104 41 × 105 34 × 105 5 41 × 105 39 × 105 39 × 105 78 × 105 6 43 × 105 71 × 105 81 × 105 2.2 × 107 7 1.4 × 107 25 × 106 39 × 106 27 × 106 8 29 × 106 31 × 106 44 × 106 42 × 106
Lampiran 4b. Data hasil uji mikrobiologi (TPC) kemasan LDPE pada tiga suhu penyimpanan
Hari ke-
Jumlah koloni kemasan LDPE Suhu 3-5˚C Suhu 10-12˚C Suhu 27-30˚C
I II I II I II 0 73 × 101 51 × 101 73 × 101 51 × 101 73 × 101 51 × 101 1 29 × 102 54 × 102 1.1 × 104 71 × 102 1.7 × 105 56 × 104 2 26 × 103 32 × 103 67 × 103 72 × 103 72 × 105 29 × 106 3 42 × 104 57 × 104 84 × 104 1.3 × 106 81 × 106 76 × 106 4 25 × 105 43 × 105 49 × 105 51 × 105 5 52 × 105 66 × 105 53 × 105 68 × 105 6 91 × 105 1.1 × 107 1.8 × 107 2.1 × 107 7 33 × 106 31 × 106 49 × 106 69 × 106 8 49 × 106 52 × 106 71 × 106 79 × 106
59
Lampiran 4c. Data hasil uji mikrobiologi (TPC) kemasan microwavable plastic pada tiga suhu penyimpanan
Hari ke-
Jumlah koloni kemasan Microwavable plastic (koloni/gram produk) Suhu 3-5˚C Suhu 10-12˚C Suhu 27-30˚C I II I II I II
0 73 × 101 51 × 101 73 × 101 5 × 101 73 ×101 51 × 101 1 32 × 102 41 × 102 90 × 102 52 × 102 1.5 × 105 47 × 103 2 1.7 × 104 34 × 103 31 × 103 53 × 103 1.2 × 107 58 × 106 3 37 × 104 39 × 104 62 × 104 1.1 × 106 31 × 106 53 × 106 4 38 × 105 41 × 105 47 × 105 43 × 105 5 45 × 105 49 × 105 51 × 105 72 × 105 6 84 × 105 89 × 105 28 × 106 24 × 106 7 29 × 106 39 × 106 44 × 106 57 × 106 8 36 × 106 53 × 106 59 × 106 67 × 106
60
Lampiran 5a. Data hasil uji TBA kemasan gelas pada tiga suhu penyimpanan
Hari ke-
Bilangan TBA kemasan Gelas (mg/kg malonaldehide) Suhu 3-5˚C
I II 1 2 x 1 2 x
0 0,3073 0,3110 0,30915 0,2487 0,3030 0,27585 2 0,3697 0,2760 0,32285 0,3108 0,3416 0,32620 4 0,3701 0,3744 0,37225 0,3512 0,3343 0,34275 6 0,4363 0,4150 0,42565 0,3522 0,3326 0,34240 8 0,3885 0,4537 0,42110 0,4824 0,4371 0,45975
Hari ke-
Bilangan TBA kemasan Gelas (mg/kg malonaldehide) Suhu 10-12˚C
I II 1 2 x 1 2 x
0 0,3073 0,3110 0,30915 0,2487 0,3030 0,27585 2 0,3318 0,3342 0,33300 0,3197 0,3008 0,31025 4 0,3678 0,3594 0,36360 0,3137 0,3264 0,32005 6 0,3697 0,4020 0,38585 0,4215 0,4250 0,42325 8 0,4309 0,3825 0,40670 0,4110 0,4490 0,43000
Hari ke-
Bilangan TBA kemasan Gelas (mg/kg malonaldehide) Suhu 27-30˚C
I II 1 2 x 1 2 x
0 0,3073 0,3110 0,30915 0,2487 0,3030 0,27585 2 0,3519 0,3310 0,34145 0,3764 0,4027 0,38955 4 - - - - - - 6 - - - - - - 8 - - - - - -
61
Lampiran 5b. Data hasil uji TBA kemasan LDPE pada tiga suhu penyimpanan
Hari ke-
Bilangan TBA Kemasan LDPE (mg/kg malonaldehide) Suhu 3-5˚C
I II 1 2 x 1 2 x
0 0,3073 0,3110 0,30915 0,2487 0,3030 0,27585 2 0,2426 0,3716 0,30710 0,2982 0,2572 0,27770 4 0,4057 0,3921 0,39890 0,3329 0,3036 0,31825 6 0,4579 0,4144 0,43615 0,4494 0,4072 0,42830 8 0,4776 0,4498 0,46370 0,4228 0,4080 0,41540
Hari ke-
Bilangan TBA Kemasan LDPE (mg/kg malonaldehide) Suhu 10-12˚C
I II 1 2 x 1 2 x
0 0,3073 0,3110 0,30915 0,2487 0,3030 0,27585 2 0,2822 0,3246 0,30340 0,3223 0,3328 0,32755 4 0,3203 0,3317 0,32600 0,3259 0,3703 0,34810 6 0,4583 0,4634 0,46085 0,4738 0,4342 0,45400 8 0,4222 0,4716 0,44690 0,4838 0,4404 0,46210
Hari ke-
Bilangan TBA Kemasan LDPE (mg/kg malonaldehide) Suhu 27-30˚C
I II 1 2 x 1 2 x
0 0,3073 0,3110 0,30915 0,2487 0,3030 0,27585 2 0,3149 0,3963 0,35560 0,4371 0,4016 0,41935 4 - - - - - - 6 - - - - - - 8 - - - - - -
62
Lampiran 5c. Data hasil uji TBA kemasan Microwavable pada tiga suhu penyimpanan
Hari ke-
Bilangan TBA Kemasan Microwavable (mg/kg malonaldehide)
Suhu 3-5˚C I II
1 2 x 1 2 x 0 0,3073 0,3110 0,30915 0,2487 0,3030 0,27585 2 0,3604 0,3033 0,33185 0,2719 0,2717 0,27180 4 0,3936 0,3792 0,38640 0,3077 0,3133 0,31050 6 0,4087 0,3885 0,39860 0,4315 0,4738 0,45265 8 0,3938 0,4289 0,41135 0,4128 0,4194 0,41610
Hari ke-
Bilangan TBA Kemasan Microwavable (mg/kg malonaldehide) Suhu 10-12˚C
I II 1 2 x 1 2 x
0 0,3073 0,3110 0,30915 0,2487 0,3030 0,27585 2 0,3117 0,3026 0,30715 0,3020 0,2893 0,29565 4 0,3343 0,3657 0,35000 0,3675 0,3537 0,36060 6 0,3905 0,3837 0,38710 0,4024 0,3940 0,39820 8 0,4276 0,4140 0,42080 0,4309 0,4161 0,42350
Hari ke-
Bilangan TBA Kemasan Microwavable (mg/kg malonaldehide) Suhu 27-30˚C
I II 1 2 x 1 2 x
0 0,3073 0,3110 0,30915 0,2487 0,3030 0,27585 2 0,3237 0,3700 0,34685 0,3476 0,3594 0,35350 4 - - - - - - 6 - - - - - - 8 - - - - - -
63
Lampiran 6a. Data hasil uji TAT kemasan gelas pada tiga suhu penyimpanan
Hari ke-
Nilai TAT Kemasan Gelas (ml NaOH 0,1 N/100 g) Suhu 3-5˚C
I II 1 2 x 1 2 x
0 2,3300 2,3087 2,31935 2,4275 2,3575 2,39250 2 2,7844 2,5725 2,67845 2,4307 2,4247 2,42770 4 2,7708 2,4851 2,62795 2,3462 2,4976 2,42190 6 3,0836 3,1130 3,09830 3,1511 3,1422 3,14665 8 4,0237 4,1157 4,06970 4,0209 3,9157 3,96830
Hari ke-
Nilai TAT Kemasan Gelas (ml NaOH 0,1 N/100 g) Suhu 10-12˚C
I II 1 2 x 1 2 x
0 2,3300 2,3087 2,31935 2,4275 2,3575 2,39250 2 2,4527 2,4960 2,47435 2,6148 2,7481 2,68145 4 2,5723 2,5790 2,57565 2,5518 2,5486 2,55020 6 3,1921 3,0859 3,13900 3,4531 3,3859 3,41950 8 4,6003 4,6705 4,63540 3,8368 3,7997 3,81825
Hari ke-
Nilai TAT Kemasan Gelas (ml NaOH 0,1 N/100 g) Suhu 27-30˚C
I II 1 2 x 1 2 x
0 2,3300 2,3087 2,31935 2,4275 2,3575 2,39250 2 4,2563 4,4687 4,36250 4,0196 4,1671 4,09335 4 - - - - - - 6 - - - - - - 8 - - - - - -
64
Lampiran 6b. Data hasil uji TAT kemasan LDPE pada tiga suhu penyimpanan
Hari ke-
Nilai TAT Kemasan LDPE (ml NaOH 0,1 N/100 g) Suhu 3-5˚C
I II 1 2 x 1 2 x
0 2,3300 2,3087 2,31935 2,4275 2,3575 2,39250 2 2,4661 2,4034 2,43475 2,4539 2,6318 2,54285 4 2,5285 2,3497 2,43910 2,6805 2,5583 2,61940 6 3,4610 3,3674 3,41420 3,6695 3,5901 3,62980 8 5,5059 5,0343 5,27009 4,2846 4,2340 4,25930
Hari ke-
Nilai TAT Kemasan LDPE (ml NaOH 0,1 N/100 g) Suhu 10-12˚C
I II 1 2 x 1 2 x
0 2,3300 2,3087 2,31935 2,4275 2,3575 2,39250 2 2,5198 2,4320 2,47590 2,3695 2,3301 2,34980 4 2,5504 2,4872 2,51880 2,5466 2,4189 2,48275 6 3,5820 3,5545 3,56825 3,5315 3,5348 3,53315 8 4,7099 4,8946 4,80225 4,0469 4,1073 4,07710
Hari ke-
Nilai TAT Kemasan LDPE (ml NaOH 0,1 N/100 g) Suhu 27-30˚C
I II 1 2 x 1 2 x
0 2,3300 2,3087 2,31935 2,4275 2,3575 2,3925 2 4,1499 4,2937 4,22180 4,1192 4,2794 4,1993 4 - - - - - - 6 - - - - - - 8 - - - - - -
65
Lampiran 6c. Data hasil uji TAT kemasan Microwavable pada tiga suhu penyimpanan
Hari ke-
Nilai TAT Kemasan Microwavable (ml NaOH 0,1 N/100 g) Suhu 3-5˚C
I II 1 2 x 1 2 x
0 2,3300 2,3087 2,31935 2,4275 2,3575 2,39250 2 2,4814 2,4210 2,45120 2,4004 2,4537 2,42705 4 2,5546 2,5046 2,52960 2,6995 2,6744 2,68695 6 3,3603 3,2674 3,31385 3,5053 3,4865 3,49590 8 4,8353 4,8724 4,85385 3,9861 4,0366 4,01135
Hari ke-
Nilai TAT Kemasan Microwavable (ml NaOH 0,1 N/100 g) Suhu 10-12˚C
I II 1 2 x 1 2 x
0 2,3300 2,3087 2,31935 2,4275 2,3575 2,3925 2 2,3921 2,4968 2,44445 2,3746 2,4606 2,4176 4 2,5620 2,4210 2,49150 2,5604 2,6288 2,5946 6 3,1477 3,3962 3,27195 3,4335 3,3601 3,3968 8 4,8635 4,7902 4,82685 4,5581 4,4393 4,4987
Hari ke-
Nilai TAT Kemasan Microwavable (ml NaOH 0,1 N/100 g) Suhu 27-30˚C
I II 1 2 x 1 2 x
0 2,3300 2,3087 2,31935 2,4275 2,3575 2,39250 2 4,4165 4,2483 4,33240 3,7894 3,7389 3,76415 4 - - - - - - 6 - - - - - - 8 - - - - -
66
Lampiran 7. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-1
Source Type II Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 2.727(a) 8 .341 245.455 .000 Intercept 656.427 1 656.427 472627.60
0 .000
suhu 2.700 2 1.350 972.100 .000 kemasan .006 2 .003 2.284 .158 suhu * kemasan .021 4 .005 3.718 .047 Error .013 9 .001 Total 659.167 18 Corrected Total 2.740 17
Lampiran 8. Uji Lanjut Duncan parameter pH pada hari ke-1 (faktor suhu)
suhu N
Subset
1 2 27-30 6 5.4916667 12-15 6 6.29166673-5 6 6.3333333Sig. 1.000 .085
Lampiran 9. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-2
Source Type II Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 3.497(a) 8 .437 31.648 .000 Intercept 642.492 1 642.492 46519.918 .000 suhu 3.349 2 1.674 121.239 .000 kemasan .047 2 .023 1.701 .236 suhu * kemasan .101 4 .025 1.826 .208 Error .124 9 .014 Total 646.113 18 Corrected Total 3.621 17
Lampiran 10. Uji Lanjut Duncan parameter pH pada hari ke-2 (faktor suhu)
Suhu N
Subset
1 2 27-30 6 5.3650000 12-15 6 6.25666673-5 6 6.3016667Sig. 1.000 .524
67
Lampiran 11. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-3
Source Type II Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .007(a) 5 .001 .702 .643 Intercept 469.125 1 469.125 239553.23
0 .000
suhu .002 1 .002 .957 .366 kemasan .003 2 .002 .817 .486 suhu * kemasan .002 2 .001 .460 .652 Error .012 6 .002 Total 469.144 12 Corrected Total .019 11
Lampiran 12. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-4
Source Type II Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .040(a) 5 .008 1.720 .263 Intercept 461.156 1 461.156 100070.02
0 .000
suhu .008 1 .008 1.738 .236 kemasan .013 2 .006 1.391 .319 suhu * kemasan .019 2 .009 2.042 .211 Error .028 6 .005 Total 461.223 12 Corrected Total .067 11
Lampiran 13. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-5
Source Type II Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .266(a) 5 .053 10.909 .006 Intercept 416.777 1 416.777 85346.730 .000 suhu .056 1 .056 11.474 .015 kemasan .175 2 .087 17.904 .003 suhu * kemasan .035 2 .018 3.631 .093 Error .029 6 .005 Total 417.072 12 Corrected Total .296 11
68
Lampiran 14. Uji Lanjut Duncan parameter pH pada hari ke-5 (faktor kemasan)
kemasan N Subset 1 2 3 LDPE 4 5.740000
0
microwavable 4 5.9050000
gelas 4 6.0350000
Sig. 1.000 1.000 1.000
Lampiran 15. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-6
Source Type II Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .179(a) 5 .036 6.265 .022 Intercept 393.193 1 393.193 68680.001 .000 suhu .001 1 .001 .118 .743 kemasan .168 2 .084 14.696 .005 suhu * kemasan .010 2 .005 .908 .452 Error .034 6 .006 Total 393.407 12 Corrected Total .214 11
Lampiran 16. Uji Lanjut Duncan parameter pH pada hari ke-6 (faktor kemasan)
kemasan N
Subset
1 2 3 LDPE 4 5.5775000 microwaveable 4 5.7275000 gelas 4 5.8675000Sig. 1.000 1.000 1.000
Lampiran 17. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-7
Source Type II Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .334(a) 5 .067 18.227 .001 Intercept 348.410 1 348.410 95020.809 .000 suhu .018 1 .018 4.809 .071 kemasan .283 2 .142 38.627 .000 suhu * kemasan .033 2 .017 4.536 .063 Error .022 6 .004 Total 348.766 12 Corrected Total .356 11
69
Lampiran 18. Uji Lanjut Duncan parameter pH pada hari ke-7 (faktor kemasan)
kemasan N
Subset
1 2 LDPE 4 5.2400000 microwaveable 4 5.3250000 gelas 4 5.6000000Sig. .094 1.000
Lampiran 19. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-8 Dependent Variable: pH
Source Type II Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .108(a) 5 .022 5.116 .036 Intercept 329.701 1 329.701 78189.921 .000 suhu .000 1 .000 .071 .799 kemasan .103 2 .052 12.215 .008 suhu * kemasan .005 2 .002 .540 .609 Error .025 6 .004 Total 329.834 12 Corrected Total .133 11
Lampiran 20 . Uji Lanjut Duncan parameter pH pada hari ke-8 (faktor kemasan)
kemasan N
Subset
1 2 LDPE 4 5.1700000 microwaveable 4 5.1825000 gelas 4 5.3725000Sig. .795 1.000
70
Lampiran 21. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-1
Source Type II Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 224794989444.445(a) 8 28099373680.
556 3.051 .058
Intercept 69260216805.556 1 69260216805.
556 7.519 .023
suhu 115560500277.778 2 57780250138.
889 6.273 .020
kemasan 37358866944.445 2 18679433472.
223 2.028 .187
suhu * kemasan 71875622222.223 4 17968905555.
556 1.951 .186
Error 82899746250.000 9 9211082916.6
67
Total 376954952500.000 18
Corrected Total 307694735694.445 17
a R Squared = .731 (Adjusted R Squared = .491)
Lampiran 22 . Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-1 (faktor suhu)
suhu N
Subset
1 2 3-5 6 4000.0000
000
12-15 6 6758.3333333
27-30 6 175333.3333334
Sig. .961 1.000
Lampiran 23. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-2
Source Type II Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 2349475729444444.000(a) 8 29368446618
0555.500 1.928 .174
Intercept 788528090680553.000 1 78852809068
0553.000 5.178 .049
suhu 1559770584694443.000 2 77988529234
7221.000 5.121 .033
kemasan 262920207527778.000 2 13146010376
3889.000 .863 .454
suhu * kemasan 526784937222223.000 4 13169623430
5555.800 .865 .521
Error 1370586959125000.000 9 15228743990
2777.800
Total 4508590779250000.000 18
Corrected Total 3720062688569444.000 17
71
Lampiran 24 . Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-2 (faktor suhu)
suhu N
Subset
1 2 3-5 6 26666.666
6667
12-15 6 46083.3333333
27-30 6 19783333.3333334
Sig. .998 1.000
Lampiran 25. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-3
Source Type II Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 13078350744444440.000(a
)8 16347938430
55555.000 53.885 .000
Intercept 5979075755555540.000 1 59790757555
55540.000 197.078 .000
suhu 11198996011111100.000 2 55994980055
55550.000 184.567 .000
kemasan 645641477777776.000 2 32282073888
8888.200 10.641 .004
suhu * kemasan 1233713255555553.000 4 30842831388
8888.200 10.166 .002
Error 273047100000000.000 9 30338566666
666.670
Total 19330473600000000.000 18
Corrected Total 13351397844444440.000 17
Lampiran 26. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-3 (faktor suhu)
kemasan N
Subset
1 2 gelas 6 13695000.
0000000
microwaveable 6 14293333.3333334
LDPE 6 26688333.3333334
Sig. .855 1.000
72
Lampiran 27. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-3 (faktor kemasan)
kemasan N
Subset
1 2 gelas 6 13695000.
0000000
microwaveable 6 14293333.3333334
LDPE 6 26688333.3333334
Sig. .855 1.000
Lampiran 28. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-4
Source Type II Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 17789666666666.660(a) 5 35579333333
33.334 7.313 .016
Intercept 154513633333333.400 1 15451363333
3333.400 317.570 .000
suhu 7114800000000.010 1 71148000000
00.010 14.623 .009
kemasan 8093016666666.660 2 40465083333
33.333 8.317 .019
suhu * kemasan 2581849999999.998 2 12909249999
99.999 2.653 .149
Error 2919300000000.000 6 48655000000
0.000
Total 175222600000000.000 12
Corrected Total 20708966666666.660 11
Lampiran 29. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-4 (faktor kemasan)
kemasan N
Subset
1 2 gelas 4 2427500.0
000000
microwaveable 4 4137500.0000000
LDPE 4 4200000.0000000
Sig. 1.000 .903
73
Lampiran 30. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-5
Source Type II Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 6816666666666.660(a) 5 13633333333
33.333 .827 .573
Intercept 328653333333333.400 1 32865333333
3333.400 199.385 .000
suhu 1613333333333.332 1 16133333333
33.332 .979 .361
kemasan 3331666666666.678 2 16658333333
33.339 1.011 .419
suhu * kemasan 1871666666666.664 2 93583333333
3.332 .568 .595
Error 9890000000000.000 6 16483333333
33.334
Total 345360000000000.000 12
Corrected Total 16706666666666.660 11
Lampiran 31. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-6
Source Type II Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 311271041666666.700(a) 5 62254208333
333.300 1.270 .385
Intercept 1990475208333335.000 1 19904752083
33335.000 40.599 .001
suhu 270275208333333.500 1 27027520833
3333.500 5.513 .057
kemasan 40940416666666.690 2 20470208333
333.340 .418 .676
suhu * kemasan 55416666666.688 2 27708333333.
344 .001 .999
Error 294166250000000.000 6 49027708333
333.300
Total 2595912500000000.000 12
Corrected Total 605437291666666.000 11
74
Lampiran 32. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-7
Source Type II Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 1678416666666666.000(a) 5 33568333333
3333.200 4.635 .044
Intercept 15624083333333330.000 1 15624083333
333330.000 215.753 .000
suhu 690083333333333.000 1 69008333333
3333.000 9.529 .021
kemasan 742166666666666.000 2 37108333333
3333.400 5.124 .050
suhu * kemasan 246166666666666.000 2 12308333333
3333.000 1.700 .260
Error 434500000000000.000 6 72416666666
666.600
Total 17737000000000000.000 12
Corrected Total 2112916666666666.000 11
Lampiran 33. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-7 (faktor kemasan)
kemasan N
Subset
1 2 gelas 4 26250000.
0000000
microwaveable 4 36500000.0000000
36500000.0000000
LDPE 4 45500000.0000000
Sig. .139 .185
Lampiran 34. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-7
Source Type II Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 2205937500000000.000(a) 5 44118750000
0000.000 9.124 .009
Intercept 28959187500000010.000 1 28959187500
000010.000 598.897 .000
suhu 667520833333333.000 1 66752083333
3333.000 13.805 .010
kemasan 1384125000000001.000 2 69206250000
0000.000 14.312 .005
suhu * kemasan 154291666666667.000 2 77145833333
333.500 1.595 .278
Error 290125000000000.000 6 48354166666
666.600
Total 31455250000000000.000 12
Corrected Total 2496062500000000.000 11
75
Lampiran 35. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-8 (faktor kemasan)
kemasan N
Subset
1 2 gelas 4 36500000.
0000000
microwaveable 4 48125000.0000000
LDPE 4 62750000.0000000
Sig. .056 1.000
Lampiran 36. Analisis ragam parameter TAT pada hari ke-2
Source Type II Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .007(a) 5 .001 .840 .567 Intercept 9.916 1 9.916 5676.549 .000 suhu .000 1 .000 .113 .748 kemasan .006 2 .003 1.790 .246 suhu * kemasan .001 2 .000 .252 .785 Error .010 6 .002 Total 9.934 12 Corrected Total .018 11
Lampiran 37. Analisis ragam parameter TAT pada hari ke-4
Source Type II Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .002(a) 5 .000 .294 .900 Intercept 10.460 1 10.460 7236.586 .000 suhu .000 1 .000 .093 .771 kemasan .001 2 .001 .391 .692 suhu * kemasan .001 2 .000 .297 .753 Error .009 6 .001 Total 10.471 12 Corrected Total .011 11
76
Lampiran 38. Analisis ragam parameter TAT pada hari ke-6
Source Type II Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .023(a) 5 .005 3.507 .079 Intercept 17.666 1 17.666 13523.894 .000 suhu .000 1 .000 .330 .587 kemasan .020 2 .010 7.689 .022 suhu * kemasan .002 2 .001 .914 .450 Error .008 6 .001 Total 17.697 12 Corrected Total .031 11
Lampiran 39. Uji Lanjut Duncan parameter TAT pada hari ke-6 (faktor kemasan)
kemasan N
Subset
1 2 gelas 4 1.1626476 microwaveable 4 1.2144804 1.2144804LDPE 4 1.2628465Sig. .089 .107
Lampiran 40. Analisis ragam parameter TAT pada hari ke-8
Source
Type II Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .038(a) 5 .008 .602 .703 Intercept 26.368 1 26.368 2085.912 .000 suhu .000 1 .000 .027 .875 kemasan .028 2 .014 1.120 .386 suhu * kemasan .009 2 .005 .372 .704 Error .076 6 .013 Total 26.481 12 Corrected Total .114 11
Lampiran 41. Analisis ragam parameter TBA pada hari ke-2
Source Type II Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .017(a) 8 .002 3.076 .057 Intercept 1.948 1 1.948 2888.463 .000 suhu .014 2 .007 10.135 .005 kemasan .001 2 .001 .893 .443 suhu * kemasan .002 4 .000 .639 .648 Error .006 9 .001 Total 1.970 18 Corrected Total .023 17
77
Lampiran 42. Uji Lanjut Duncan parameter TBA pada hari ke-2 (faktor suhu)
suhu N
Subset
1 2 3-5 6 .3062500 12-15 6 .3128333 27-30 6 .3677167Sig. .671 1.000
Lampiran 43. Analisis ragam parameter TBA pada hari ke-4
Source Type II Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .001(a) 5 .000 .121 .982 Intercept 1.468 1 1.468 1126.996 .000 suhu .000 1 .000 .236 .645 kemasan 3.31E-005 2 1.65E-005 .013 .987 suhu * kemasan .000 2 .000 .172 .846 Error .008 6 .001 Total 1.477 12 Corrected Total .009 11
Lampiran 44. Analisis ragam parameter TBA pada hari ke-6
Source Type II Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .008(a) 5 .002 1.576 .296 Intercept 2.078 1 2.078 2171.138 .000 suhu 5.42E-005 1 5.42E-005 .057 .820 kemasan .005 2 .003 2.820 .137 suhu * kemasan .002 2 .001 1.092 .394 Error .006 6 .001 Total 2.091 12 Corrected Total .013 11
Lampiran 45. Analisis ragam parameter TBA pada hari ke-8
Source Type II Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .002(a) 5 .000 1.295 .376 Intercept 2.234 1 2.234 5788.900 .000 suhu 5.63E-007 1 5.63E-007 .001 .971 kemasan .002 2 .001 2.226 .189 suhu * kemasan .001 2 .000 1.012 .418 Error .002 6 .000 Total 2.239 12 Corrected Total .005 11
78
Lampiran 46. Data uji visual produk sop daun Torbangun pada suhu 27-30oC
Lama Penyimpanan
Jenis Kemasan
Parameter mutu
Warna Bau Buih/busa Kapang/khamir Keadaan kemasan
Hari-1 Gelas Normal Normal - - Normal Kaleng Normal Normal - - Normal PP Normal Normal - - Normal PET Normal Normal - - Normal
Hari-2 Gelas Santan pecah Normal - - Normal
Kaleng Santan pecah
Agak tengik - - Normal
PP Normal Normal - - Agak menggembung
PET Santan pecah
Agak tengik + - Normal
Hari-3 Gelas daun naik ke atas Tengik + - Normal
Kaleng daun naik ke atas Tengik - +
Agak menggembung
PP daun naik ke atas Tengik - + Menggembung
PET daun naik ke atas Tengik + + Menggembung
Hari-4 Produk dianggap sudah tidak layak
79
Lampiran 47. Data uji visual produk sop daun Torbangun pada suhu 10-12oC
Lama Penyimpanan
Jenis Kemasan
Parameter mutu
Warna Bau Buih/busa Kapang/khamir Keadaan kemasan
Hari-1 Gelas Normal Normal - - Normal Kaleng Normal Normal - - Normal PP Normal Normal - - Normal PET Normal Normal - - Normal Hari-2 Gelas Normal Normal - - Normal Kaleng Normal Normal - - Normal PP Normal Normal - - Normal PET Normal Normal - - Normal Hari-3 Gelas Normal Normal - - Normal Kaleng Normal Normal - - Normal PP Normal Normal - - Normal PET Normal Normal - - Normal Hari-4 Gelas Normal Normal - - Normal Kaleng Normal Normal - - Normal PP Normal Normal - - Normal PET Normal Normal - - Normal Hari-5 Gelas Normal Normal - - Normal
Kaleng
Kecoklatan di bagian atas Normal + - Normal
PP Normal Normal - - Normal PET Normal Normal - - Normal Hari-6 Gelas Normal Normal - - Normal Kaleng Normal Normal + - Normal PP Normal Agak tengik - - Normal PET kecoklatan Agak tengik - - Normal Hari-7 Gelas Normal Agak tengik - - Normal Kaleng Normal Tengik - + Normal PP Normal Normal - - Normal
PET Normal Agak tengik - - Agak menggembung
Hari-8 Gelas Santan pecah Agak tengik - - Normal
Kaleng Santan pecah Agak tengik - +
Agak menggembung
PP Normal tengik - + Agak menggembung
PET Santan pecah tengik + - Normal
Produk sudah dinggap tidak layak
80
Lampiran 48. Data uji visual produk sop daun Torbangun pada suhu 3-5oC
Lama Penyimpanan
Jenis Kemasan
Parameter mutu
Warna Bau Buih/busa Kapang/khamir Keadaan kemasan
Hari-1 Gelas Normal Normal - - Normal Kaleng Normal Normal - - Normal PP Normal Normal - - Normal PET Normal Normal - - Normal Hari-2 Gelas Normal Normal - - Normal Kaleng Normal Normal - - Normal PP Normal Normal - - Normal PET Normal Normal - - Normal Hari-3 Gelas Normal Normal - - Normal Kaleng Normal Normal - - Normal PP Normal Normal - - Normal PET Normal Normal - - Normal Hari-4 Gelas Normal Normal - - Normal Kaleng Normal Normal - - Normal PP Normal Normal - - Normal PET Normal Normal - - Normal Hari-5 Gelas Normal Normal - - Normal Kaleng Normal Normal + - Normal PP Normal Normal - - Normal PET Kecoklatan Normal - - Normal Hari-6 Gelas Normal Normal - - Normal Kaleng Normal Normal + - Normal PP Normal Normal - - Normal
PET Normal Agak tengik - - Normal
Hari-7 Gelas Normal Normal - - Normal
Kaleng Normal Agak tengik - + Normal
PP Normal Normal - - Normal
PET Normal Agak tengik - - Normal
Hari-8 Gelas Santan pecah
Agak tengik - - Normal
Kaleng Santan pecah
Agak tengik - + Normal
PP Normal Agak tengik - + Normal
PET Santan pecah
Agak tengik + - Normal
Produk sudah dinggap tidak layak
81
Lampiran 49. Gambar sop daun Torbangun dalam kemasan gelas
Lampiran 50. Gambar sop daun Torbangun dalam kemasan LDPE
Lampiran 51. Gambar kemasan CPET
82