LAPKAS IPD (TB PERITONEAL).docx

18
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberkulosis Peritoneal 2.1.1. Definisi Tuberkulosis Peritoneal merupakan suatu peradangan peritoneum parietal atau visceral yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis peritoneal dapat mengenai seluruh peritoneum, alat-alat sistem gastrointestinal, mesenterium dan organ genitalia interna. Penyakit ini jarang berdiri sendiri dan biasanya merupakan kelanjutan proses tuberkulosis di tempat lain terutama dari tuberkulosis paru. Namun sering ditemukan bahwa pada waktu diagnosis ditegakkan, proses tuberkulosis di paru sudah tidak kelihatan lagi. Hal ini bisa terjadi karena proses tuberkulosis di paru mungkin sudah menyembuh terlebih dahulu sedangkan penyebaran masih berlangsung di tempat lain. 1 2.1.2. Epidemiologi Di negara yang sedang berkembang, tuberkulosis peritoneal masih sering dijumpai termasuk di Indonesia, sedangkan di negara Amerika dan Negara Barat lainnya walaupun sudah jarang ada, kecenderungan meningkat seiring meningkatnya jumlah penderita AIDS dan laju imigrasi yang tinggi. Karena perjalanan penyakitnya

Transcript of LAPKAS IPD (TB PERITONEAL).docx

Page 1: LAPKAS IPD (TB PERITONEAL).docx

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis Peritoneal

2.1.1. Definisi

Tuberkulosis Peritoneal merupakan suatu peradangan peritoneum parietal atau

visceral yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis

peritoneal dapat mengenai seluruh peritoneum, alat-alat sistem gastrointestinal,

mesenterium dan organ genitalia interna. Penyakit ini jarang berdiri sendiri dan

biasanya merupakan kelanjutan proses tuberkulosis di tempat lain terutama dari

tuberkulosis paru. Namun sering ditemukan bahwa pada waktu diagnosis

ditegakkan, proses tuberkulosis di paru sudah tidak kelihatan lagi. Hal ini bisa

terjadi karena proses tuberkulosis di paru mungkin sudah menyembuh terlebih

dahulu sedangkan penyebaran masih berlangsung di tempat lain.1

2.1.2. Epidemiologi

Di negara yang sedang berkembang, tuberkulosis peritoneal masih sering

dijumpai termasuk di Indonesia, sedangkan di negara Amerika dan Negara Barat

lainnya walaupun sudah jarang ada, kecenderungan meningkat seiring

meningkatnya jumlah penderita AIDS dan laju imigrasi yang tinggi. Karena

perjalanan penyakitnya yang berlangsung secara perlahan-lahan dan sering tanpa

keluhan atau gejala yang jelas maka sering tidak terdiagnosa atau terlambat

ditegakkan, sehingga meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian.

Tuberkulosis peritoneal dijumpai 2% dari seluruh TB paru dan 59,8% dari

tuberkulosis abdominal.1 Di Amerika Serikat penyakit ini adalah penyakit keenam

terbanyak diantara penyakit ekstra paru, sedangkan peneliti lain menemukan

hanya 5-20% dari penderita tuberkulosis peritoneal yang mempunyai TB paru

yang aktif.

Kasus TB peritoneal merupakan tantangan dalam hal diagnostik pada

perempuan diakibatkan gejala klinisnya yang tidak spesifik dan mirip dengan

tanda-tanda kanker ovarium.2

Page 2: LAPKAS IPD (TB PERITONEAL).docx

3

Insidensi tuberkulosis peritoneal lebih sering dijumpai pada wanita

dibanding pria dengan perbandingan 1,5:1 dan lebih sering pada dekade ke-3 dan

ke-4. Insidensi yang lebih tinggi pada wanita berhubungan dengan meningkatnya

faktor resiko pada wanita, yaitu kemungkinan penyebaran bakteri dari organ tuba

fallopii pada wanita ke organ yang ada di abdomen, salah satunya peritoneum.1

2.1.3. Etiologi dan Patogenesis

Kuman penyebab TB adalah Mycobacterium tuberkulosis. Basil ini tidak

berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari, dan sinar

ultraviolet. Basil ini sukar diwarnai, tetapi berbeda dengan basil lain, setelah

diwarnai tidak dapat dibersihkan lagi dari fuchsin atau metileenblauw oleh cairan

asam sehingga biasanya disebut basil tahan asam (BTA). Pewarnaan Ziehl

Neelsen biasanya digunakan untuk menampakkan basil ini.3

M. tuberkulosis umumnya ditularkan dari seseorang dengan infeksi TB

paru atau TB laringeal kepada orang lain melalui droplet nuclei, yang ter-

aerosolisasi oleh batuk, bersin atau berbicara. Ada sebanyak 3000 nuclei infeksius

per batukan. Droplet yang terkecil (<5-10mm dalam diameter) dapat bertahan

tersuspensi di udara selama beberapa jam dan mencapai aliran udara terminal

ketika terinhalasi. Resiko penularan dari pasien sumber infeksi ke penjamu

dihubungkan dengan konsentrasi potensial dari basil yang hidup terus di ruang

udara. Risiko penularan menjadi lebih besar pada ruangan yang kekurangan

volume udara, udara segar, dan cahaya alami atau cahaya ultraviolet.4

Selanjutnya, dikenal empat fase dalam perjalanan penyakitnya. Pertama

adalah fase TB primer. Setelah masuk ke paru, basil berkembang biak tanpa

menimbulkan reaksi pertahanan tubuh. Sarang pertama ini disebut afek primer.

Basil kemudian masuk ke kelenjar limfe di hilus paru dan menyebabkan

limfadenitis regionalis. Reaksi yang khas adalah terjadinya granuloma sel

epiteloid dan nekrosis pengejuan di lesi primer dan di kelenjar limfe hilus. Afek

primer dan limfadenitis regionalis ini disebut kompleks primer yang bisa

mengalami resolusi dan sembuh tanpa meninggalkan cacat, atau membentuk

fibrosis dan kalsifikasi.3

Page 3: LAPKAS IPD (TB PERITONEAL).docx

4

Sekalipun demikian, kompleks primer dapat mengalami komplikasi berupa

penyebaran milier melalui pembuluh darah dan penyebaran melalui bronkus.

Penyebaran milier menyebabkan TB di seluruh paru-paru, tulang, meningen, dan

lain-lain, sedangkan penyebaran bronkogen langsung ke bronkus dan bagian paru,

dan menyebabkan bronkopneumonia tuberkulosis. Penyebaran hematogen itu

bersamaan dengan perjalanan TB primer ke paru merupakan fase kedua. Infeksi

ini dapat berkembang terus, dapat juga mengalami resolusi dengan pembentukan

jaringan parut dan basil selanjutnya mengalami dormansi.3

Fase dengan kuman yang tidur/dorman ini yang disebut fase laten, fase

ketiga. Basil yang dorman ini bisa terdapat di tulang panjang, vertebra, tuba

fallopii, otak, kelenjar limfe hilus dan leher, serta di ginjal. Kuman ini bisa tetap

tidur selama bertahun-tahun, bahkan seumur hidup (infeksi laten), tetapi bisa

mengalami reaktivasi bila terjadi perubahan keseimbangan daya tahan tubuh,

misalnya pada tindakan bedah besar, atau pada infeksi HIV.3

Fase keempat, dapat terjadi didalam atau luar paru. Dalam perjalanan

selanjutnya, proses ini dapat sembuh tanpa cacat, sembuh dengan meninggalkan

fibrosis dan kalsifikasi, membentuk kavitas (kaverne), bahkan dapat menyebabkan

bronkiektasis melalui erosi bronkus.3

Bakteri penyebab TB merupakan bakteri yang bersifat aerob obligat.5 Hal

ini menjadi penyebab kecenderungan bakteri ini untuk berkembang pada organ-

organ tubuh yang sangat vaskular dengan tekanan oksigen yang tinggi. Contoh

organ tersebut antara lain tulang panjang, vertebra, tuba fallopii, otak, kelenjar

limfe hilus dan leher, serta di ginjal. Hal ini menjadi salah satu faktor risiko

mengapa insidensi TB peritoneal pada wanita cenderung lebih tinggi. Penyebaran

ke genitalia wanita melalui penyebaran hematogen dimulai dengan berhenti dan

berkembang biaknya kuman di tuba fallopii yang sangat vaskuler. Dari sini basil

bisa menyebar ke uterus (endometritis), atau ke peritoneum (peritonitis).3

Sementara itu, kekebalan terhadap TB sebagian besar diperantarai sel limfosit T

yang atas rangsangan basil TB dapat mengaktifkan makrofag untuk

menghancurkan basil dengan cara lisis (bakteriolisis)3.

Page 4: LAPKAS IPD (TB PERITONEAL).docx

5

Peritoneum dapat dikenai oleh tuberkulosis melalui beberapa cara, yaitu:

a. Melalui penyebaran hematogen terutama dari paru-paru;

b. Melalui dinding usus yang terinfeksi;

c. Dari kelenjar limfe mesenterium;

d. Melalui tuba falopi yang terinfeksi.

Pada kebanyakan kasus, tuberkulosis peritoneal terjadi bukan sebagai

akibat penyebaran perkontinuitatum melainkan sering karena reaktivasi proses

laten yang terjadi pada peritoneum yang diperoleh melalui penyebaran hematogen

dari proses primer terdahulu. Lesi tuberkulosis dapat mengalami supresi dan

menyembuh. Namun, infeksi masih dalam fase laten dan dapat menetap laten

selama hidup penderita. Infeksi laten tersebut dapat berkembang menjadi

tuberkulosis pada setiap saat jika organisme intraseluler tersebut mulai

bermutiplikasi secara cepat.1

2.1.4. Faktor Risiko

Secara umum, TB peritoneal merupakan klasifikasi dari tuberkulosis

abdominal. Faktor risiko terjadinya TB peritoneal mirip dengan faktor resiko

terjadinya tuberkulosis abdominal secara umum, yaitu penyakit hati alkoholik,

infeksi HIV/AIDS, usia lanjut, dan status sosioekonomi yang rendah.6

Tuberkulosis Peritoneal terjadi lebih kurang 42% dari seluruh tuberkulosis

abdominal. TB abdominal yang lain yaitu TB Intestinal (49%), TB Nodal (4%),

dan TB solid visceral (5%)7. TB Intestinal (TB Usus) biasanya mengenai dapat

mengenai usus halus, usus besar, dan region ileocaecal. TB intestinal terdiri dari 2

bentuk yaitu, bentuk ulseratif dan bentuk hiperplastik. Bentuk ulseratif ditandai

dengan pembentukan ulkus pada mukosa usus dan dapat ditemui adanya

perdarahan, perforasi, fistula, dan striktur. Bentuk hiperlpastik ditandai dengan

adanya perubahan lesi inflamasi yang ekstensif sehingga terjadi pembentukan

obstruksi dan massa. Bentuk ini menimbulkan munculnya keluhan yang

berhubungan dengan fisiologi sistem gastrointestinal sehingga dapat

membedakannya dengan TB peritoneal.8 TB Nodal/ Glandular lebih jarang terjadi.

TB ini umumnya mengenai mesenteric lymph node dan retroperitoneal lymph

Page 5: LAPKAS IPD (TB PERITONEAL).docx

6

node. Komplikasi yang dapat terjadi adalah pembentukan abses. TB solid visceral

mengenai organ-organ padat yang terdapat ginjal misalnya ginjal, hati, limpa dan

pankreas.

TB peritoneal sendiri dapat diklasifikasikan menjadi bentuk yang akut dan

kronik. Pada kasus akut, TB peritoneal dapat menyebabkan peritonitis

tuberkulosis dengan gejala-gejala akut abdomen dan bila dilakukan eksplorasi

laparotomi dapat ditemukan adanya cairan asites, penebalan omentum, dan

tuberkel yang tersebar. Sedangkan pada kasus kronik, pasien lebih menunjukkan

gejala-gejala klinis antara lain; nyeri abdomen kronis, asites, penurunan berat

badan, muntah, diare, demam, dan dapat ditemukan massa.9

2.1.5. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis

Pada umumnya keluhan dan gejala timbul perlahan-lahan dan berlangsung

progresif sampai berbulan-bulan dengan gejala yang tidak khas sehingga sering

penderita tidak menyadari keadaan ini. Nyeri abdomen merupakan gejala yang

paling umum dan sering disertai dengan distensi abdomen. Lokalisasi nyeri

abdomen tidak jelas. Nyeri umumnya disebabkan oleh inflamasi tuberkulosis di

peritoneum dan mesenterium. Lebih jarang lagi, nyeri dapat merupakan

manifestasi dari obstruksi intestinal subakut, sebagai hasil dari usus yang

susunannya tidak anatomis disebabkan oleh adhesi dari mesenterium dan

omentum. Susunan usus yang tidak teratur dapat dirasakan sebagai massa yang

teraba pada pemeriksaan abdomen. Gejala-gejala abdominal seperti muntah, diare,

dan konstipasi jarang dikeluhkan pasien.10 Nyeri tekan pada saat palpasi sering

ditemui pada TB peritoneal dan terjadi hampir pada 48% kasus dan hal ini dapat

membantu membedakannya dari spontaneous bacterial peritonitis. Rebound

tenderness jarang ditemui pada pasien karena adanya cairan asites mencegah

perlekatan peritoneum parietal dan visceral.10

Asites merupakan gejala predominan dan manifestasinya tampak pada

73% pasien. Cairan asites biasanya berwarna kekuningan. Pada TB peritoneal,

cairan asites merupakan eksudat, cairan yang secara efektif disekresikan oleh

jaringan yang inflamasi maupun akibat malignansi10. Reaksi awal peritoneum

Page 6: LAPKAS IPD (TB PERITONEAL).docx

7

terhadap invasi bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Abses terbentuk

diantara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan

sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila

infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa yang kelak

dapat mengakibatkan obstruksi usus. Peradangan menimbulkan akumulasi cairan

karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika deficit cairan tidak

dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel.

Pelepasan mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon

hiperinflamatorius, sehingga membawa perkembangan selanjutnya dari kegagalan

banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi

cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardia

awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi

hipovolemia. Organ-organ di dalam kavum termasuk dinding abdomen

mengalami edema. Edema disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler

organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan di dalam rongga peritoneum

dan lumen-lumen usus serta edema seluruh organ intraperitoneal dan edema

dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.

Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada,

serta muntah. Terjebaknya cairan dalam kavum peritoneum dan lumen usus, lebih

lanjut meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat usaha pernafasan penuh

menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Tabel 2.1 menunjukkan suatu

hasil studi systematic review yang berasal dari 35 studi yang berbeda.11

Tabel 2.1 Data Kumulatif Manifestasi Klinis TB Peritoneal dari 35 Studi

Page 7: LAPKAS IPD (TB PERITONEAL).docx

8

Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo

lama keluhan berkisar dari 2 minggu s/d 2 tahun dengan rata-rata lebih dari 16

minggu.Keluhan terjadi secara perlahan-lahan sampai berbulan-bulan disertai

nyeri perut, pembengkakan perut, disusul tidak nafsu makan, batuk dan

demam.Gejala yang lebih rinci dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2.2 Pemeriksaan Jasmani pada 30 orang Penderita Tuberkulosis Peritoneal di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta tahun 1975-19791

Gejala Persentase

Pembengkakan perut dan nyeri Asites Hepatomegali Ronchi pada paru (kanan) Pleura effusi Splenomegali Tumor Intra abdomen Limfadenopati Terlibatnya paru & Pleura

51%43%43%33%27%20%13%13%63% (atas dasar foto torax)

2.1.5. Pemeriksaan dan Diagnosis

2.1.5.1. Pemeriksaan Laborarium

Pemeriksaan darah tepi sering dijumpai adanya anemia penyakit

kronis,leukositosis ringan ataupun leukopenia, trombositosis, gangguan faal hati

dan sering dijumpai laju endap darah (LED) yang meningkat, sedangkan pada

pemeriksaan tes tuberkulin hasilnya sering negatif.1

Pada pemeriksaan analisa cairan asites, umumnya memperlihatkan eksudat

dengan protein >3 gr/dl jumlah sel diatas 100-3000 sel/ml. Biasanya lebih dari

90% adalah limfosit. LDH biasanya meningkat. Cairan asites yang purulen dapat

ditemukan, begitu juga cairan asites yang bercampur darah (serosanguinous).

Pemeriksaan basil tahan asam (BTA) didapati hasilnya kurang dari 5 % yang

positif dan dengankultur cairan ditemukan kurang dari 20% hasilnya positif.

Beberapa peneliti yang mendapatkan hampir 66% kultur BTA-nya yang positif

Page 8: LAPKAS IPD (TB PERITONEAL).docx

9

dan akan lebih meningkat lagi sampai 83% bila menggunakan kultur cairan asites

yang telah disentrifugasi dengan jumlah cairan lebih dari 1 liter. Dan hasil kultur

cairan asites ini dapat diperoleh dalam waktu 4-8 minggu.1

Perbandingan serum asites albumin (SAAG) pada Tuberkulosis Peritoneal

ditemukan rasionya < 1,1 gr/dl namun hal ini juga bisa dijumpai pada keadaan

keganasan, sindroma nefrotik, penyakit pankreas, kandung empedu atau jaringan

ikat.12

Perbandingan glukosa cairan asites dengan darah pada Tuberkulosis

Peritoneal <0,96 sedangkan pada asites dengan penyebab lain rasionya >0,96.

Penurunan PH cairan asites dan peningkatan kadar laktat dapat dijumpai pada

Tuberkulosis Peritoneal dan dijumpai perbedaan yang signifikan dengan cairan

asites pada sirosis hati yang steril, namun pemeriksaan PH dan kadar laktat cairan

asites ini kurang spesifik dan belum merupakan suatu kepastian karena hal ini

juga dijumpai pada kasus asites oleh karena keganasan atau spontaneous bacterial

peritonitis.1

Pemeriksaan cairan asites lain yang sangat membantu, cepat, dan

noninvasif adalah pemeriksaan ADA (Adenosin Deminase Actifity), Interferon

Gamma (IFN-ϒ) dan PCR. Dengan kadar ADA > 33 u/l mempunyai sensitifitas

100%. Spesifitas 95%, dan dengan Cctt off > 33 u/l mengurangi false positive dari

sirosis hati atau malignansi. Pada sirosis hati konsentrasi ADA lebih rendah

secara signifikan dari Tuberkulosis Peritoneal (14 ± 10,6 u/l). Pemeriksaan INF-ϒ

lebih baik walaupun nilainya adalah sama dengan pemeriksaan ADA. Sedangkan

pada pemeriksaan PCR, hasilnya lebih rendah lagi dibanding kedua pemeriksaan

tersebut.12

Pemeriksaan lain adalah pemeriksaan CA-125. CA-125 (Cancer Antigen

125) termasuk tumor associated glycoprotein dan terdapat pada permukaan sel.

CA-125 merupakan antigen yang terkait karsinoma ovarium, antigen ini tidak

ditemukan pada ovarium orang dewasa normal, namun CA-125 ini dilaporkan,

juga meningkat pada keadaan benigna dan maligna, dimana kira-kira 80%

meningkat pada wanita dengan keganasan ovarium, 26% pada trimester pertama

kehamilan, menstruasi, endometriosis, myoma uteri daan salpingitis, juga kanker

Page 9: LAPKAS IPD (TB PERITONEAL).docx

10

primer ginekologi yang lain sepeerti endometrium, tuba falopi, endoserviks,

pankreas, ginjal, kolon juga pada kondisi yang bukan keganasan seperti gagal

ginjal kronik, penyakit autoimum, pankreas, sirosis hati, peradangan peritoneum,

perikardium dan pleura.1

2.1.5.2. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan foto toraks dapat membantu, dengan pemeriksaan sinar

tembus pada sistem pencernaan sehingga dapat diketahui jika didapat kelainan

usus kecil atau usus besar.

Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat dilihat adanya cairan dalam

rongga peritoneum yang bebas atau terfiksasi (dalam bentuk kantong-kantong).

Menurut Rama & Walter B, gambaran sonografi tuberkulosis yang sering

dijumpaiantara lain cairan yang bebas atau terlokalisasi dalam rongga abdomen,

abses dalam rongga abdomen, masa didaerah ileosaecal dan pembesaran kelenjar

limfe retroperitoneal, adanya penebalan mesenterium, perlengketan lumen usus

dan penebalan omentum, mungkin bisa dilihat dan harus diperiksa dengan

seksama. Mizzunoe dkk berhasil menggunakan USG sebagai alat bantu biopsi

secara tertutup dalam menegakkan diagnosa Tuberkulosis Peritoneal.

Pemeriksaan CT Scan untuk Tuberkulosis Peritoneal tidak ada ditemui

suatu gambaran yang khas, namun secara umum ditemui adanya gambaran

peritoneum yang berpasir dan untuk pembuktiannya perlu dijumpai bersamaan

dengan adanya gejala klinik dari Tuberkulosis Peritoneal.

Peritonoskopi/laparoskopi merupakan cara yang relatif aman, mudah dan

terbaik untuk mendiagnosa Tuberkulosis Peritoneal terutama bila ada cairan asites

dan sangat berguna untuk mendapat diagnosa pasien-pasien muda dengan simtom

sakit perut yang tak jelas penyebabnya, dan cara ini dapat mendiagnosa

tuberkulosis peritoneal 85% sampai 95% dan dengan biopsi yang terarah dapat

dilakukan pemeriksaan histologi dan bisa menemukan adanya gambaran

granuloma sebesar 85% hingga 90% dari seluruh kasus dan bila dilakukan kultur

bisa ditemui BTA hampir 75%.

Gambaran yang dapat dilihat pada Tuberkulosis Peritoneal , yaitu:

Page 10: LAPKAS IPD (TB PERITONEAL).docx

11

a. Tuberkel kecil ataupun besar dengan ukuran yang bervariasi yang dijumpai

tersebar luas pada dinding peritoneum dan usus dan dapat pula dijumpai

permukaan hati atau alat lain tuberkel dapat bergabung dan merupakan

sebagai nodul.

b. Perlengketan yang dapat bervariasi dari yang sederhana sampai hebat (luas)

diantara alat-alat didalam rongga peritoneum. Sering keadaan ini merubah

letak anatomi yang normal. Permukaan hati dapat melengket pada dinding

peritoneum dan sulit untuk dikenali. Perlengketan diantara usus mesenterium

dan peritoneum dapat sangat ekstensif.

c. Peritoneum sering mengalami perubahan dengan permukaan yang sangat

kasar yang kadang-kadang berubah gambarannya menyerupai nodul.

d. Cairan asites sering dujumpai berwarna kuning jernih, kadang-kadang cairan

tidak jernih lagi tetapi menjadi keruh, cairan yang hemoragis juga dapat

dijumpai.

Biopsi dapat ditujukan pada tuberkel-tuberkel secara terarah atau pada

jaringan lain yang tersangka mengalami kelainan dengan menggunakan alat biopsi

khusus, sekaligus dapat mengeluarkan cairan.

Pemeriksaan yang dahulu pernah dikerjakan adalah laparotomi.

Laparotomi merupakan tindakan diagnosis yang sering dilakukan, namun saat ini

banyak penulis menganggap pembedahan hanya dilakukan jika dengan cara yang

lebih sederhana jika diagnose tidak dapat ditegakkan atau jika dijumpai indikasi

yang mendesak seperti obstruksi usus, perforasi, dan atau adanya cairan asites

yang bernanah.

2.1.6. Terapi

Pengobatan yang diberikan sama dengan pengobatan tuberkulosis paru.

Obat-obat seperti streptomisin, INH, etambutol, rifampicin dan pirazinamid

memberikan hasil yang baik, dan perbaikan akan terlihat setelah 2 bulan

pengobatan dan lamanya pengobatan biasanya mencapai 9-18 bulan atau lebih.

Page 11: LAPKAS IPD (TB PERITONEAL).docx

12

Kortikosteroid dapat mengurangi perlengketan peradangan dan

mengurangi terjadinya asites, dan juga terbukti dapat mengurangi angka kesakitan

dan kematian. Namun pemberian kortikosteroid ini harus dicegah pada daerah

endemis dimana terjadi resistensi terhadap Mycobacterium tuberculosis.

Peneliti yang mengadakan penelitian secara retrospektif terhadap 35

pasien dengan Tuberkulosis Peritoneal mendapatkan bahwa pemberian

kortikosteroid sebagai obat tambahan terbukti dapat mengurangi insidensi sakit

perut dan sumbatan pada usus.