Makna Ikhlas Dalam Ibadah

download Makna Ikhlas Dalam Ibadah

of 7

Transcript of Makna Ikhlas Dalam Ibadah

Makna Ikhlas Dalam Ibadah

Nama:Aga Rohima N No.:02 Kelas:X.R.7

Makna Ikhlas Dalam IbadahSecara etimologis, ikhlas adalah membersihkan sesuatu hingga menjadi bersih. Secara istilah, ikhlas adalah usaha seseorang melakukan perbuatan semata-mata berharap ridha Allah swt. Menurut para ahli hakikat (tasawur), ikhlas merupakan syarat sah ibadah. Jika amal diumpamakan sebagai badan, maka ikhla adala hruh (jiwa) amal itu. Ibnul Qayyim menyatakan bahwa seseorang yang ikhlas dala melakukan perbuatan, tujuan, cita-cita dan amalannya semata hanya karena Allah swt, maka Ia (Allah) akan selalu menyertaina. Karena pentingnya ikhlas dalam beribadah dan beramal, dalam al-Quran, Allah menyebut kata-kata ikhlas berulang sebanyak 37 kali. Selain itu, kata-kata ikhlas s ternyata selalu dibgabungkan dengan dengan kata agama. ini menunjukkan bahwa dalam beragama (beribadah dan bermu`amalah) kita harus ikhlas dan berniat melakukannya anya karena Allah semata. Di antara ayat-ayat al-Quran yang menghubungkan keikhlasan dengan agama adalah : Katakanlah: Tuhanku menyuruhku menjalankan keadilan. Dan (katakanlah) luruskanlah mukamu (dirimu) di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama (ketaatan) kepada-Nya. Sebagaimana dia telah menciptakan kamu pada permulaanmu. (demikianl pulalah) kamu akan kembali kepada-Nya. Dalam ayat lain Allah berfirman: Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Quran) dengan (membawa) kebenaran , Jaka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama (ketaatan) kepada-Nya. Untuk mengetahui hakikat orang ikhlas (mukhlis), para ulama sepakata bahwa mereka mempunyai ciri-ciri antara lain bahwa ia sama sekali tidak mempunyai niat untk menjadi orang yang sum`ah(orang yang suka menari ketenaran), suka memuji ketimbang dipuji, tidak sombong, tidak ria (ingin dipandang orang). Ia selalu merendah, suka beramal. Orang ikhlas juga selalu berbuat wajar ketika menjadi pejabat atau pemimpin, selalu mencari kerdhaan Allah dan melakukan sesuatu hanya karena Allah. Selain itu orang ikhlas ju galselalu sabar dalam bekerja dan sabar dalam menghadapi cobaan. Merka merasa senang kaalu ada orang yang bergabung dengannya, senang melakukan amal yang bernafaat. Inilah beberapa ciri orang yang muklis, yang melakukan suatu ibadah atapun amal dengan ikhlas. AYAT-AYAT AL-QURAN TENTANG KEIKHLASAN DALAM BERIBADAH A. SURAH AL-ANAM : 162 163 1. Bacaan surah Al-Anam Ayat 162-163 Artinya : (162) Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (163) Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)". (QS. Al-Anam : 162 163) 2. Isi Kandungan

a. Ucapan penyerahan diri dengan penuh kerendahan serta kepasrahan dalam upaya mendapatkan keridaan Allah. b. Menyadari dan bersumpah tidak menyekutukan Allah c. Senantiasa melaksanakan perintah-perintah Allah sepanjang hidup dan meninggalkan larangan-Nya. B. SURAH AL-BAYYINAH : 5 1. Bacaan surah Al-Bayyinah Ayat 5 Artinya : Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus. (QS. Al-Bayyinah : 5) 2. Isi Kandungan Allah memerintahkan kepada makhlukNya khususnya manusia untuk menyembahNya, yaitu senantiasa ingat kepada Allah dalam keadaan apapun. Ketahuilah wahai saudaraku kaum muslimin semoga Allah memberikan hidayah kepadaku dan kepada kalian untuk berpegang teguh kepada Al-Kitab dan As-Sunnah, sesungguhnya Allah Taala tidak akan menerima suatu amalan apapun dari siapa pun kecuali setelah terpenuhinya dua syarat yang sangat mendasar dan prinsipil, yaitu: 1. Amalan tersebut harus dilandasi keikhlasan hanya kepada Allah, sehingga pelaku amalan tersebut sama sekali tidak mengharapkan dengan amalannya tersebut kecuali wajah Allah Taala. 2. Kaifiat pelaksanaan amalan tersebut harus sesuai dengan petunjuk Rasulullah -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam-. Dalil untuk kedua syarat ini disebutkan oleh Allah Taala dalam beberapa tempat dalam Al-Qur`an. Di antaranya: Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Rabbnya. (QS. Al-Kahfi : 110) Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata dalam Tafsirnya (3/109) menafsirkan ayat di atas, [Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh], Yaitu apa-apa yang sesuai dengan syariat Allah, [dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Rabbnya] yaitu yang hanya diinginkan wajah Allah dengannya tanpa ada sekutu bagi-Nya. Inilah dua rukun untuk amalan yang diterima, harus ikhlas hanya kepada Allah dan benar di atas syariat Rasulullah -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam-. Dan juga Firman Allah Taala: Dia lah yang menjadikan mati dan hidup, agar Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang paling baik amalannya. (QS. Al-Mulk : 2) Al-Fudhoil bin Iyadh -rahimahullah- sebagaimana dalam Majmu Al-Fatawa karya Ibnu Taimiah -rahimahullah- (18/250) berkata ketika menafsirkan firman Allah ["siapa di antara kalian yang paling baik amalannya], (Yaitu) Yang paling ikhlas dan yang paling benar. Karena sesungguhnya amalan, jika ada keikhlasannya akan tetapi belum benar, maka tidak akan diterima. Jika amalan itu benar akan tetapi tanpa disertai keikhlasan,

maka juga tidak diterima, sampai amalan tersebut ikhlas dan benar. Yang ikhlas adalah yang hanya (diperuntukkan) bagi Allah dan yang benar adalah yang berada di atas sunnah (Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-). Berikut uraian kedua syarat ini: Syarat Pertama: Pemurnian Keikhlasan Hanya Kepada Allah Ini adalah konsekuensi dari syahadat pertama yaitu persaksian bahwa tidak ada sembahan yang berhak untuk disembah dan diibadahi kecuali hanya Allah -Subhanahu wa Taalasemata serta meninggalkan dan berlepas diri dari berbagai macam bentuk kesyirikan dan penyembahan kepada selain Allah Taala. Ada banyak dalil yang menopang syarat ini, di antaranya: Allah Taala berfirman: Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Kitab (Al Quran) kepadamu dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). (QS. Az-Zumar : 2-3) Allah Taala berfirman: Katakanlah, Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. (QS. Az-Zumar : 11) Dan dalam firman-Nya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus. (QS. Al-Bayyinah : 5) Adapun dari As-Sunnah, maka Rasulullah -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- telah menegaskan dalam sabda beliau: Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niatnya masing-masing, dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan. Maka, barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena perempuan yang hendak dia nikahi, maka hijrahnya kepada sesuatu yang dia hijrah kepadanya. (HR. Al-Bukhari no. 54, 2392 dan Muslim no. 1907 dari sahabat Umar bin Al-Khaththab -radhiallahu anhu-) Kemudian, keikhlasan yang diinginkan di sini adalah mencakup dua perkara: 1. Lepas dari syirik ashgar (kecil) berupa riya` (ingin dilihat), sumah (ingin didengar), keinginan mendapatkan balasan duniawi dari amalannya, dan yang semisalnya dari bentuk-bentuk ketidakikhlasan. Karena semua niat-niat di atas menyebabkan amalan yang sedang dikerjakan sia-sia, tidak ada artinya dan tidak akan diterima oleh Allah Taala. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- bersabda bahwa Allah Taala berfirman dalam hadits Qudsy: Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan apapun yang dia memperserikatkan Saya bersama selain Saya dalam amalan tersebut, maka akan saya tinggalkan dia dan siapa yang dia perserikatkan bersama saya. (HR. Muslim no. 2985 dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu-) Kata dia bisa kembali kepada pelakunya dan bisa kembali kepada amalannya, Wallahu Alam. Lihat Fathul Majid hal. 447. Bahkan Allah Taala telah menegaskan:

Barangsiapa yang menghendaki (dengan ibadahnya) kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Hud : 15-16) 2. Lepas dari syirik akbar (besar), yaitu menjadikan sebahagian dari atau seluruh ibadah yang sedang dia amalkan untuk selain Allah -Subhanahu wa Taala-. Perkara kedua ini jauh lebih berbahaya, karena tidak hanya membuat ibadah yang sedang diamalkan sia-sia dan tidak diterima oleh Allah, bahkan membuat seluruh pahala ibadah yang telah diamalkan akan terhapus seluruhnya tanpa terkecuali. Allah Taala telah mengancam Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- dan seluruh Nabi sebelum beliau dalam firman-Nya: Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (Nabi-Nabi) yang sebelummu: Jika kamu berbuat kesyirikan, niscaya akan terhapuslah seluruh amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. (QS. Az-Zumar : 65) Dari syarat yang pertama ini, sebagian ulama ada yang menambahkan satu syarat lain diterimanya amalan, yaitu: Aqidah pelakunya haruslah aqidah yang benar, dalam artian dia tidak meyakini sebuah aqidah yang bisa mengkafirkan dirinya. Contoh: Ada seseorang yang shalat dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, hanya saja dia meyakini bahwa Allah Taala berada dimana-mana. Keyakinan dia ini adalah keyakinan yang kafir karena merendahkan Allah, yang karenanya shalatnya tidak akan diterima. Contoh lain: Seseorang yang mengerjakan haji dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, hanya saja dia meyakini bahwa ada makhluk yang mengetahui perkara ghaib. Maka hajinya pun tidak akan diterima karena dia telah meyakini keyakinan yang rusak lagi merupakan kekafiran. Karena tempat yang terbatas, insya Allah pembahasan syarat yang kedua akan kami sebutkan pada dua edisi mendatang, wallahu alam bishshawab.

Bagaimanakah Niat yang IkhlasSetelah hal-hal di atas kita pahami maka selanjutnya kita lanjutkan dengan mempelajari apa itu niat yang ikhlas dalam ibadah. An Nawawi Asy Syafii rohimahullah menukil dalam kitabnya At Tibyan perkataan ustadz Abu Qosim Al Qusairiy rohimahullah, beliau mengatakan, Ikhlas adalah engkau mentauhidkan/menuggalkan niatmu dalam ketaatan kepada Allah Subahanahu wa Taala yaitu engkau berniat mendekatkan diri kepada Allah dengan amal ketaatanmu tanpa mengharapkan dari mahluk suatu apapun dari hal tersebut berupa pujian dari manusia dan lain sebagainya[16]. Ibnul Qoyyim rohimahullah seorang ulama besar mengatakan,

Ikhlas adalah kesesuaian amalan bathin (hati) seorang hamba dengan dhohirnya/anggota badannya[17]. Sedangkan Abu Utsman Said bin Ismail rohimahullah mengatakan[18], Ikhlas yang benar/jujur adalah tidak menghiraukan perhatian mahluk karena terus menerus memperhatikan penglihatan Sang Kholiq (terhadap amalannyapent). Sedangkan ikhlas itu adalah engkau menginginkan atas amalan hatimu dan amalan badanmu keridhoan Allah dibarengi rasa takut akan murkaNya seakan-akan engkau melihatNya dan meyakini bahwa Allah melihatmu sehingga hilanglah riya dari hatimu[19]. Kemudian beliau melanjutkan, (setelah engkau menghadirkan niat yang ikhlas dalam hatimupent.) maka ingatlah nikmat-nikmat yang Allah anugerahkan kepadamu berupa amal yang ikhlas karena Dia-lah yang menganugerahkannya padamu apabila anda telah melakukan hal ini maka hilanglah dari dirimu sikap ujub (bangga dengan amal pent.). Bersikap perlahan-lahanlah dalam amal-amalmu sampai hilanglah dari dirimu sikap terburu-buru dalam hatimu karena Nabi shallallahu alaihi was sallam mengatakan, Sesungguhnya sikap perlahan-lahan tidak ada pada suatu hal kecuali akan menghiasnya dan tidaklah ia hilang dari sesuatu kecuali akan menjadikan hal tersebut buruk.[20] Barangsiapa yang telah mengumpulkan pada dirinya 4 hal di atas yaitu,

Tidak menghiraukan pandangan mahluk dan senantiasa muroqobah/sikap merasa dilihat Allah. Merasa takut terhadap murka Allah. Mengingat nikmat-nikmat yang Allah anugerahkan berupa taufiq untuk beramal dengan ikhlas Sikap perlahan-lahanlah dalam beramal

Maka ia akan menjadi orang yang ikhlas dalam amalnya insya Allah. Abu Hazim Salamah bin Dinar rohimahullah mengatakan, Sembunyikanlah amal kebaikanmu sebagaimana sebagaimana engkau menyembunyikan amal burukmu. Dzun Nun rohimahullah mengatakan, Tanda ikhlas ada tiga, tidak ada bedanya bagi seseorang antara ia dipuji atau dicela seseorang atas amalnya, tidak menghiraukan pandangan manusia atas amalnya dan mengharap pahala dari amal yang ia kerjakan di akhirat[21]. Demikianlah sebagian dari perkataan para ulama yang dapat mengantarkan kita kepada keikhlasan insya Allah Taala.

Ittiba kepada Nabi shollallahu alaihi was sallam dalam Beramal adalah Bukti Cinta pada Beliau Sudah barang tentu seorang muslim cinta pada Nabi Muhammad shallallahu alaihi was sallam nah bukti kalau kita cinta kepada Allah adalah ittiba/mengikuti beliau shallallahu alaihi was sallam terutama dalam beramal, sebagaimana firman Allah azza wa jalla, Katakanlah (Wahai Muhammad) jika mereka mencintai Allah maka iktutilah aku (Muhammad) maka Allah akan mencintai kalian.(QS. Al Imron [3] : 31). Maka diantara konsekwensi dari mencintai Allah dan mengimani kerosulan Rosulullah shallallahu alaihi was sallam adalah mengikuti syariat beliau yang tercakup di dalamnya ibadah. Bahkan mengikuti apa yang beliau perintahkan/syariatkan merupakan salah satu hak beliau yang teragung yang harus kita tunaikan[22]. Kesimpulan : 1. Allah sengaja menciptakan jin dan manusia aga mereka selau taat dan beribadah kepada-Nya. 2. Ibadah terdiri atas ibadah khusus seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan ibadah umum seperti melakukan suatu perbuatan yang mendatangkan kebaikan dan dilaksanakan dengan niat yang ikhlas karena Allah swt., seperti makan, minum, dan mencari nafkah. 3. Pekerjaan atau amal saleh apapun kalau dilakukan hanya karena Allah dan dikerjakan dengan ikhlas maka pekerjaan itu adalah ibadah.