Merekonstruksi Globalisasi: Ekonomi Islam dalam Menghadapi Perdagangan & Pasar Bebas

16
 MEREKONSTRUKSI GLOBALISASI: EKONOMI ISLAM DALAM MENGHADAPI PERDAGANGAN DAN PASAR BEBAS 1  Oleh: Khairunnisa Musari 2  1. PENGANTAR Pemerintah memastikan Indonesia sangat siap menghadapi era perdagangan bebas Asia Tenggara dalam kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Kesiapan itu ditunjukkan melalui pembentuan Komite Ekonomi ASEAN yang melibatkan pemerintah dan dunia usaha. Adapun pilar pembentukan Komite Ekonomi ASEAN meliputi bidang politik, keamanan, ekonomi, dan budaya. Meski belakangan Indonesia masih mengalami defisit neraca perdagangan, namun pemerintah menegaskan tak akan mundur dari komitmen perdagangan bebas di kawasan regional ini. Sebelumnya, tahun 2010, Indonesia pun telah memasuki kesepakatan perdagangan  bebas antar negara ASEAN dan China (CAFTA). Seperti halnya ketika menghadapi CAFTA, sejumlah pihak pun banyak yang menyatakan ketidaksiapan Indonesia menghadapi MEA. Hal ini juga mengingat salah satu dampak CAFTA yang sangat dirasakan dunia usaha saat ini adalah serbuan produk-produk China ke negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. Hal ini membuat produk lokal sulit untuk meningkatkan pangsa pasarnya, bahkan di pasar lokal. Terkait dengan keberadaan ekonomi Islam dalam menyikapi era perdagangan bebas atau pasar bebas, maka terdapat beberapa hal yang perlu dipahami bersama mengenai perbedaan fundamental dalam perspektif umum dan ekonomi Islam terhadap globalisasi yang merupakan hulu dari lahirnya perdagangan bebas atau pasar bebas tersebut. 1.1 Globalisasi dalam Perspektif Umum? 3  "... fundamentalisme pasar telah menjadi demikian kuatnya sehingga kekuatan politik mana pun  yang berani menentangnya akan dicap sebagai sentimental, tidak logis, dan naif.... Pendek kata, apabila kekuatan pasar dibiarkan bebas secara penuh, meskipun di bidang murni ekonomi dan keuangan murni, maka kekuatan pasar ini akan menghasilkan kekacauan dan pada akhirnya menuju  pada hancurnya tatanan kapitalisme global...." (George Soros, 1998). Globalisasi adalah sunnatullah. Globalisasi yang berwujud pasar-bebas dapat menjadi peluang, tetapi bisa juga menjadi ancaman. Itu semua tergantung pada bagaimana sebuah negara melaksanakan tata kelola perpolitikan dan perekonomiannya. Namun demikian, 1  Makalah ini disampaikan dalam Kajian Ekonomi Syariah ‚Peran Ekonomi Syariah & Pemerintah dalam Menghadapi Pasar Bebasyang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan (Himajur) Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam (IAI) Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, pada 16 April 2014. 2  Peneliti Divisi Syariah Risk Management International (RMI) dan Tamkin Institute. 3  Tulisan ini dapat dilihat juga pada artikel pribadi yang dimuat di Harian Surabaya Post, 24 April 2009,  berjudul Globalisasi untuk Nasionalisme dan Harian Seputar Indonesia, 11 April 2008, berjudul Akhir Laissez- Faire Keempat?. 

description

Makalah ini disampaikan dalam Kajian Ekonomi Syariah “Peran Ekonomi Syariah & Pemerintah dalam Menghadapi Pasar Bebas” yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan (Himajur) Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam (IAI) Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, pada 16 April 2014.

Transcript of Merekonstruksi Globalisasi: Ekonomi Islam dalam Menghadapi Perdagangan & Pasar Bebas

  • MEREKONSTRUKSI GLOBALISASI:

    EKONOMI ISLAM DALAM

    MENGHADAPI PERDAGANGAN DAN PASAR BEBAS1

    Oleh: Khairunnisa Musari2

    1. PENGANTAR

    Pemerintah memastikan Indonesia sangat siap menghadapi era perdagangan bebas

    Asia Tenggara dalam kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Kesiapan itu

    ditunjukkan melalui pembentuan Komite Ekonomi ASEAN yang melibatkan pemerintah

    dan dunia usaha. Adapun pilar pembentukan Komite Ekonomi ASEAN meliputi bidang

    politik, keamanan, ekonomi, dan budaya. Meski belakangan Indonesia masih mengalami

    defisit neraca perdagangan, namun pemerintah menegaskan tak akan mundur dari

    komitmen perdagangan bebas di kawasan regional ini.

    Sebelumnya, tahun 2010, Indonesia pun telah memasuki kesepakatan perdagangan

    bebas antar negara ASEAN dan China (CAFTA). Seperti halnya ketika menghadapi CAFTA,

    sejumlah pihak pun banyak yang menyatakan ketidaksiapan Indonesia menghadapi MEA.

    Hal ini juga mengingat salah satu dampak CAFTA yang sangat dirasakan dunia usaha saat

    ini adalah serbuan produk-produk China ke negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia.

    Hal ini membuat produk lokal sulit untuk meningkatkan pangsa pasarnya, bahkan di pasar

    lokal.

    Terkait dengan keberadaan ekonomi Islam dalam menyikapi era perdagangan bebas

    atau pasar bebas, maka terdapat beberapa hal yang perlu dipahami bersama mengenai

    perbedaan fundamental dalam perspektif umum dan ekonomi Islam terhadap globalisasi

    yang merupakan hulu dari lahirnya perdagangan bebas atau pasar bebas tersebut.

    1.1 Globalisasi dalam Perspektif Umum?3

    "... fundamentalisme pasar telah menjadi demikian kuatnya sehingga kekuatan politik mana pun

    yang berani menentangnya akan dicap sebagai sentimental, tidak logis, dan naif.... Pendek kata,

    apabila kekuatan pasar dibiarkan bebas secara penuh, meskipun di bidang murni ekonomi dan

    keuangan murni, maka kekuatan pasar ini akan menghasilkan kekacauan dan pada akhirnya menuju

    pada hancurnya tatanan kapitalisme global...." (George Soros, 1998).

    Globalisasi adalah sunnatullah. Globalisasi yang berwujud pasar-bebas dapat menjadi

    peluang, tetapi bisa juga menjadi ancaman. Itu semua tergantung pada bagaimana sebuah

    negara melaksanakan tata kelola perpolitikan dan perekonomiannya. Namun demikian,

    1 Makalah ini disampaikan dalam Kajian Ekonomi Syariah Peran Ekonomi Syariah & Pemerintah dalam

    Menghadapi Pasar Bebas yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan (Himajur) Ekonomi

    Syariah, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam (IAI) Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, pada 16 April 2014.

    2 Peneliti Divisi Syariah Risk Management International (RMI) dan Tamkin Institute.

    3 Tulisan ini dapat dilihat juga pada artikel pribadi yang dimuat di Harian Surabaya Post, 24 April 2009,

    berjudul Globalisasi untuk Nasionalisme dan Harian Seputar Indonesia, 11 April 2008, berjudul Akhir Laissez-

    Faire Keempat?.

  • 2

    realitas menunjukkan berbagai ketimpangan dunia saat ini sebagian besar adalah buah dari

    globalisasi sebagaimana yang berlangsung saat ini.

    Dalam Republik Pasar Bebas (2006), Susan George mengatakan bahwa globalisasi saat

    ini merupakan buah pemikiran dari kaum neoliberal. Kaum neoliberal melahirkan ide-ide

    globalisasi yang kemudian diwujudkan dengan hal-hal seperti liberalisasi dan privatisasi.

    Pemikiran-pemikiran ini lahir dari kebijakan Inggris-Amerika Serikat (AS) pada masa

    pemerintahan Margareth Thatcher-Ronald Reagen pada 1980-an. Pemikiran ini dicetuskan

    oleh Milton Friedman, penasihat ekonomi Presiden AS Ronald Reagen, dan Frederick High,

    penasihat ekonomi Perdana Menteri (PM) Inggris Margaret Thatcher. Friedman adalah

    murid Friederich von Hayek dari Universitas Chicago yang merupakan embrio

    neoliberalisme. Paham neoliberalisme nyatanya banyak mengalami kegagalan. Liberalisme

    dengan senjata pamungkasnya free-market dan free-trade telah melahirkan banyak

    ketimpangan struktur ekonomi pada lapisan masyarakat dunia.

    Lebih jauh, menurut Swasono (2005a), paham neoliberalisme sesungguhnya

    merupakan anak dari paham neoklasikal yang diusung oleh Adam Smith. Dalam paham

    neoklasikal, pasar dinyatakan sebagai mekanisme permintaan dan penawaran yang

    diasumsikan mampu melakukan self-regulating dan self-correcting melalui an invisible-hand.

    Namun, pasar sejatinya juga mengandung market failures yang tidak cukup mampu

    melayani kepentingan masyarakat. Hal ini tercermin salah satunya dengan micro-macro rifts,

    di mana banyak terjadi ketidaksesuaian ilmu ekonomi mikro dan makro dalam

    menstransformasikan kepentingan individu ke arah kepentingan publik. Akibatnya,

    efisiensi ekonomi yang dikembangkan berdasar tataran mikro tidak sejalan, bahkan kerap

    bertentangan dengan efisiensi ekonomi pada tataran makro.

    Di Indonesia, Swasono (2005a) menilai pengajaran ilmu ekonomi masih sangat

    tergantung dengan pemikiran neoklasikal. Pelajaran ilmu ekonomi sepenuhnya

    mengajarkan neoklasikal dan memperkenalkan akhlak homo economicus yang juga telah

    melepaskan hubungan dalam konteks Indonesia dengan kekhususannya. Pemikiran ini

    bertitik tolak dari paham self-interest, yaitu maksimisasi gain dan minimisasi sacrifice sesuai

    perilaku homo-economicus. Pemikiran neoklasikal menyandarkan diri pada paham

    kompetitivisme yang sangat kuat sehingga membentuk pola pikir self-fulfilling presumption

    secara berkepanjangan. Hasilnya, sebagaimana yang kita lihat saat ini, paham

    kompetitivisme mendorong semangat bertarung, sehingga menimbulkan restless society

    ataupun stressful society.

    Tahun 2008, pasca kasus subprime mortgage di AS yang diikuti dengan berbagai

    kejatuhan industri sektor keuangan, miliuner George Soros mengatakan bahwa krisis

    keuangan saat itu adalah yang terburuk sejak depresi besar tahun 1929. Krisis yang terjadi

    saat itu sedang menuju titik nadir. Soros mengatakan, akar krisis kekacauan di sektor

    keuangan, tertanam sejak dekade 1980-an. Saat itu, Ronald Reagen dan Margaret Thatcher

    mendamba laissez-faire, yaitu madzhab yang menjunjung pasar liberal atas dasar keyakinan

    bahwa pasar akan melakukan koreksi sendiri atas kesalahan. Dikatakan Soros, Reagen dan

    Thatcher juga melandaskan ekonomi pada pasar bebas yang disertai pinjaman, yang secara

    akumulatif menumpuk hingga sekarang.

    Kritik terhadap madzhab berulang kali terjadi. Diceritakan Swasono (2005b), setelah

    the end of laissez-faire yang pertama, yaitu dengan munculnya Keynes sebagai reformis

    (1926), kemudian muncul kembali Bator, Baran, Dob, Lange, Singer, dan Robinson yang

  • 3

    mengakhiri laissez-faire kedua (1957). The end of laissez-faire ketiga muncul kembali dengan

    hadirnya Kuttner (1991) dan tokoh-tokoh lain seperti Sen, Etzioni, Heilbroner, Thurow, dan

    Stiglitz4.

    4 Tentang Stiglitz, Indonesia, dan ekonomi Islam dapat dilihat juga pada artikel pribadi yang dimuat di

    Harian Surabaya Post, Ouvre, 7 Juni 2009, berjudul Stiglitz, Indonesia, dan Ekonomi Syariah. Selain sebagai

    pemenang Nobel, Stiglitz dikenal juga sebagai ekonom kontroversial. Stiglitz kerap membela kepentingan

    negara-negara dunia ketiga. Ia terkenal dengan kritiknya terhadap globalisasi, fundamentalisme ekonomi pasar,

    dan sejumlah lembaga internasional. Stiglitz dengan berani mengatakan Dana Moneter Internasional (IMF) dan

    Bank Dunia telah menjadi alat bagi kepentingan AS untuk menekan negara-negara dunia ketiga melalui

    cengkeraman kapitalisme ekonomi.

    Pandangan Stiglitz dalam setiap publikasinya menjadi penting karena ia pernah menjadi bagian penting

    dari perancang dan pemegang kebijakan AS. Stiglitz memotret kebijakan AS dalam mengelola agenda

    globalisasi. Buku-bukunya membuka mata dunia tentang bagaimana resep kebijakan IMF dan Bank Dunia yang

    berpengaruh besar pada ekonomi negara-negara berkembang ternyata tidak selalu benar. Hampir di semua

    bukunya, Stiglitz mengulas tentang keterpurukan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Stiglitz

    berpendapat, terpuruknya perekonomian di negara-negara berkembang banyak diakibatkan kepatuhan yang

    sangat kepada resep kebijakan Washington Consensus. Untuk mengurai lebih dalam mengenai Washington

    Consensus, Stiglitz menulis Washington Consensus: Arah Menuju Jurang Kemiskinan (2002). Washington Consensus

    menyatakan, kinerja perekonomian yang baik membutuhkan perdagangan bebas, stabilitas makro, dan

    penerapan kebijakan harga yang tepat. Sesungguhnya, butir-butir Washington Consensus tidak dapat begitu saja

    diterapkan dalam kebijakan ekonomi suatu negara. Adanya sejumlah negara yang mencapai keberhasilan

    pembangunan tanpa mengikuti sepenuhnya rekomendasi Washington Consensus merupakan fakta yang tidak

    dapat diabaikan.

    Diskusi Stiglitz tentang Indonesia lebih rinci terdapat dalam Globalization and Its Discontents (2002).

    Perhatiannya yang besar pada Indonesia tentu bukan sekedar karena kecintaannya pada Bali, tetapi karena

    keprihatinannya pada Indonesia. Diungkapnya, penderitaan Indonesia lebih besar daripada banyak negara lain.

    Akibat mengikuti kebijakan Washington Consensus, pemulihan ekonomi Indonesia paling lambat di Asia Timur.

    Meski kemudian ekonomi Indonesia tumbuh, tetapi tetap lebih rendah daripada yang seharusnya dapat dicapai.

    Bahkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih rendah daripada negara-negara yang menolak kebijakan IMF.

    Untuk kasus Indonesia, Stiglitz mengingatkan bahwa kekuatan pasar bebas sering merugikan sebagian besar

    masyarakat lemah. Pemerintah hendaknya melakukan upaya nyata untuk melindungi rakyatnya. Stiglitz

    menekankan peran pemerintah ini juga sebagai kritik atas Washington Consensus yang diadopsi pemerintah

    Indonesia. Ia mengingatkan, AS yang sangat mendukung globalisasi dan pasar bebas ternyata tetap memberi

    proteksi atas sejumlah sektor pertanian dan industrinya. Oleh karena itu, selayaknya negara-negara berkembang

    juga memberlakukan beberapa proteksi atas produknya.

    Dalam The Roaring Nineties yang diterjemahkan di Indonesia menjadi Dekade Keserakahan: Era 90-an dan

    Awal Petaka Ekonomi Dunia (2006), Stiglitz mengangkat dampak buruk kebijakan liberalisasi pasar yang menjadi

    konsekuensi sistem globalisasi, khususnya di negara-negara miskin dan berkembang. Buku ini membongkar

    kemunafikan dan standar ganda kebijakan ekonomi AS yang didesakkan ke negara-negara berkembang dalam

    paket liberalisasi pasar perdagangan. Dalam buku ini, Stiglitz menegaskan pula keprihatinannya terhadap

    korupsi dan kolusi yang menjamur di negara-negara miskin dan berkembang akibat tingginya ketimpangan

    sosial.

    Dalam Making Globalizaton Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang lebih Baik (2006), Stiglitz

    mengulas berbagai problem serius yang diidap globalisasi yang mengakibatkan banyak ketimpangan. Stiglits

    menjadikan buku ini sebagai peta dalam mewujudkan globalisasi yang bermanfaat bagi semua bangsa-bangsa di

    dunia. Ia mengemukakan cara-cara baru yang radikal untuk mengatasi utang negara berkembang. Ia

    menyarankan reformasi sistem cadangan devisa global untuk mengatasi ketidakstabilan keuangan internasional.

    Ia membahas perdagangan, paten, pengelolaan sumber daya, pemanasan global, demokratisasi, hingga argumen

    tentang pentingnya reformasi lembaga-lembaga dunia.

    Dalam The Three Trillion Dollar War (2008), Stiglitz bersama Linda J. Bilmes mengulas hitungan rinci biaya

    ekonomi dan manusia yang dikeluarkan AS untuk Perang Irak. Dengan jargon ekonomi tentang opportunity cost,

    biaya yang dikeluarkan AS untuk membiayai perang akan sangat berarti dalam mengatasi berbagai persoalan

    pelik terkait kemiskinan, pengangguran, dan peningkatan kesejahteraan di AS sendiri dan berbagai negara di

  • 4

    Kini, seiring dengan sejumlah kegagalan neoliberalisme dalam menghadirkan sistem

    perekonomian dunia yang berkeadilan dan beradab, tampaknya mulai ada tanda-tanda the

    end of laissez-faire keempat. Setelah teori mekanisme desain yang memikirkan bagaimana

    pemerintah mengelola kekayaan untuk memberi kemakmuran bagi rakyat telah mengantar

    Hurwicz, Maskin, dan Myerson meraih Nobel Ekonomi 2007, sejumlah pihak mulai

    merenungkan kebenaran dampak laissez-faire.

    1.2 Pasar Bebas dan Ketimpangan

    Menurut Ackerman (1998), ketimpangan kesejahteraan di dalam dan antar negara

    tumbuh dengan cepat dan menjadi isu yang signifikan. Ketimpangan sangat terkait dengan

    political economy. Menurutnya, analisis ketimpangan berawal dari tradisi political economy --

    sebuah disiplin yang berakar dari Adam Smith5. Pada awalnya, political economy

    merefleksikan sebuah kepedulian terhadap isu-isu politik dan ekonomi serta institusi-

    instistusi yang terkait dengannya. Namun, dalam perkembangannya, istilah political economy

    menjadi cenderung dikaitkan dengan madhzab-madhzab. Ackerman menggunakan istilah

    political economy yang dinilainya sudah tidak populer ini karena ingin menekankan betapa

    dekatnya hubungan political dan economy dalam menghadirkan ketimpangan.

    Susan George (2006) juga menekankan hal senada. Menurutnya, ketimpangan ini

    nyata mengingat jumlah masyarakat miskin di dunia jelas lebih banyak dibandingkan

    jumlah masyarakat kaya. Timpangnya ekonomi dunia ditunjukkan oleh hasil studi United

    Nations Development Programme (UNDP), yaitu: (1) Satu % dari orang-orang terkaya di

    dunia, pendapatannya sama dengan 57 % orang miskin di dunia. (2) Sepuluh % dari

    penduduk terkaya di AS memiliki pendapatan yang sama besarnya dengan 43 % penduduk

    termiskin dunia. Atau dengan kata lain, pendapatan dari 25 juta penduduk terkaya di AS

    sama dengan pendapatan dua miliar penduduk bumi. (3) Pendapatan dari 5 % orang-orang

    terkaya di dunia adalah sebesar 114 kali pendapatan 5 % penduduk termiskin dunia. Di AS,

    lapisan bawah (10%) juga mencapai titik nadir. Pada 1997, lapisan puncak (1%) memiliki

    pendapatan 65 kali lebih besar daripada lapisan miskin, dan 10 tahun kemudian lapisan

    puncak (1%) memiliki pendapatan 115 kali lebih besar dari jumlah penduduk miskin AS.

    Hal ini tentu menjadi bagi hampir setiap negara di belahan bumi. Mengapa ini terjadi?

    Diyakini karena adanya pembenaran teoritis dan ideologis yang dikemas secara rapi oleh

    para pendukung neoliberal atas redistribusi kekayaan kearah yang paling baik. Pendapatan

    yang meningkat bagi kaum kaya dan keuntungan yang lebih tinggi terhadap modal akan

    menimbulkan investasi lebih besar, serta alokasi sumber daya, akibatnya akan lebih banyak

    tersedia pekerjaan dan kesejahteraan bagi setiap orang. Dengan demikian, uang dari orang

    kaya dianggap memiliki multiplier effect yang lebih besar dari pada uang orang miskin.

    Namun dalam kenyataannya, orang-orang yang berada pada puncak skala rata-rata sudah

    memiliki sebagian besar barang yang mereka butuhkan. Sehingga mereka hanya akan

    belahan dunia. Meski AS tampak baik-baik saja, namun sesungguhnya dampak yang dirasakan masyarakat

    sangat besar. Jika saja AS dapat memanfaatkan dana yang ada untuk menciptakan kedamaian dunia, maka hal

    itu akan jauh lebih berarti.

    5 Ide-ide Adam Smith menjadi pencetus lahirnya Institut Adam Smith di Inggris yang merupakan salah

    satu aktor intelektual dalam penciptaan ideologi neoliberal yang melahirkan legitimasi atas privatisasi,

    liberalisasi, globalisasi, dan pasar-bebas. Mitra strategisnya adalah lembaga keuangan dan moneter dunia yang

    turut serta dalam penyebaran ideologi tersebut. Ideologi ini mengubah banyak status kepemilikan pabrik, badan

    usaha, dan perusahaan di dunia, dari kepemilikan negara menjadi kepemilikan individu. Banyak aset dan

    perekonomian negara yang tersentralisasi pada segelintir individu atau perusahaan tertentu.

  • 5

    memberikan kontribusi yang relatif lebih sedikit bagi perekonomian lokal atau nasional.

    Sementara bagian terbesar kekayaan mereka langsung menuju ke pasar keuangan, yang

    kebanyakan ditempatkan dalam instrumen keuangan yang benar-benar spekulatif.

    Kritik terhadap ketimpangan juga dinyatakan Hurrel dan Wood (1999). Menurut

    mereka, ketimpangan telah lama menjadi bagian penting politik dunia. Liberalisasi

    perekonomian memperjelas jurang kaya dan miskin di negara-negara berkembang. Untuk

    suatu kelompok negara, globalisasi meruntuhkan persatuan dan ketahanan negara. Saat ini,

    globalisasi telah membawa tantangan baru yang membuat kita perlu memikirkan ulang

    topik ketimpangan.

    2. EKONOMI ISLAM MENGHADAPI PASAR BEBAS

    Setelah sejumlah akademisi Barat, mantan praktisi World Bank dan International

    Monetary Fund (IMF), konsultan yang menjadi economic hit man6, serta pemenang Nobel

    Ekonomi meneriakkan keadilan global dan mengecam perilaku predatori dan eksploitatori

    dari negara-negara maju, barulah ekonom mainstream berkenan merenungkan dampak

    globalisasi dan pasar-bebas bagi kedaulatan rakyat. Hal ini menunjukkan, mulai munculnya

    paradigma baru dalam ekonomi dunia bahwa setiap negara, bahkan negara maju sekalipun,

    perlu mewaspadai ancaman globalisasi dan pasar-bebas. Hanya dengan kemandirian yang

    mampu memberikan pondasi perekonomian yang kokoh agar tegar menghadapi badai

    krisis ekonomi dunia yang merupakan efek domino dari globalisasi dan pasar-bebas.

    Jika disimak, terdapat perbedaan mendasar terkait dengan pemahaman globalisasi

    dan pasar bebas antara perspektif umum dengan ekonomi Islam. Islam tidak memisahkan

    agama dengan kegiatan ekonomi. Menurut Chapra (2000), ilmu ekonomi sebagai ilmu moral

    menyentuh pula nilai-nilai agama. Dalam ekonomi Islam, segala usaha harus diarahkan

    pada realisasi dan tujuan-tujuan kemanusiaan. Paradigma inilah yang harus digunakan

    dalam mendefinisikan efficiency dan equity yang ada dalam ilmu ekonomi.

    6 Economic hit man adalah julukan John Perkins yang menguak tabir rahasia rekayasa politik ekonomi

    serta strategi korporatokrasi melalui buku Confessions of an Economic Hit Man (San Francisco: Berrett-Koehler

    Publishers, Inc., 2004) dan The Secret History of The American Empire (edisi Bahasa Indonesia dalam Pengakuan

    Bandit Ekonomi, Kelanjutan Kisah Petualangannya di Indonesia dan Negara Dunia Ketiga (Jakarta: Ufuk Press,

    2007)).

    Kedua buku ini menceritakan pengalaman penulis pada tahun 1970-1980-an yang bekerja sebagai

    konsultan ekonomi di bawah pengawasan National Security Agency (NSA), salah satu lembaga keamanan dan

    intelijen terkemuka di Amerika Serikat (AS). Sebagai konsultan, Perkins memiliki posisi yang tidak sekadar

    menggolkan kesepakatan bisnis negara-negara berkembang atau dunia ketiga dengan AS, tapi juga membangun

    kerajaan imperium AS di dunia. Perkins berusaha menciptakan situasi, dimana semakin banyak sumber

    penghasilan mengalir ke AS atau ke perusahaan-perusahaan milik AS.

    Perkins menceritakan, imperium AS dibangun bukan melalui persaingan yang sehat dan jujur, tapi

    dengan cara-cara yang kotor. Mereka melakukannya melalui manipulasi ekonomi, kecurangan, penipuan, seks,

    merayu orang untuk mengikuti kemauan AS. Tugas utama Perkins adalah membuat kesepakatan untuk

    memberi pinjaman ke negara lain, jauh lebih besar dari yang negara itu sanggup bayar. Diakui Perkins, ia

    pernah menjalankan kebijakan ini di sejumlah negara dunia, termasuk Indonesia.

    Dalam buku tersebut, Perkins menceritakan bagaimana AS memeras negara sampai tak bisa

    membayarnya. Dengan alasan itu, barulah AS akan mendesak negara bersangkutan untuk menyerahkan sumber

    kekayaan alamnya, seperti minyak, gas, kayu, tembaga dan lainnya ke AS. Jika negara itu menolak, Perkins

    menyatakan bahwa mereka bisa dibunuh.

  • 6

    2.1 Globalisasi dalam Perspektif Ekonomi Islam

    Dalam ekonomi Islam, globalisasi yang berwujud pasar bebas sesungguhnya sudah

    sejak lama terjadi. Sejarah membuktikan bahwa praktek globalisasi dan pasar-bebas sudah

    terjadi sejak lampau dan bukan baru terjadi hari ini. Dari proses itulah kita bisa

    menyaksikan bagaimana Islam menyebar ke berbagai belahan dunia.

    Jika kita membaca kisah Rasulullah SAW, perdagangan merupakan pekerjaan yang

    digeluti Rasulullah sejak kecil. Bahkan kesaksian tanda-tanda kenabian Beliau oleh seorang

    Pendeta juga terjadi kala Rasulullah sedang melakukan perjalanan berdagang. Dari sini, kita

    bisa melihat bahwa praktek globalisasi dan pasar-bebas sudah terjadi bahkan sebelum

    Rasulullah diangkat menjadi Nabi. Setelah Rasulullah diangkat menjadi Nabi, barulah nilai-

    nilai etik-religius dari Islam masuk ke dalam ranah perdagangan dan bidang lainnya.

    Dalam konteks kekinian, praktek globalisasi dan pasar-bebas di masa lampau berbeda

    dengan praktek globalisasi dan pasar-bebas saat ini. Globalisasi dan pasar-bebas di masa

    lampau tercipta karena mekanisme alamiah penawaran dan permintaan. Sedangkan

    paradigma globalisasi dan pasar-bebas sebagaimana yang kita pahami saat ini adalah buah

    dari pemikiran kaum Neoklasikal untuk melegitimasi berbagai kepentingannya. Paham

    globalisasi dan pasar-bebas dalam konteks kekinian sesungguhnya dicipta sebagai

    pembenaran terhadap kebijakan politik dan ekonomi dari paham mereka yang kerap tidak

    berkeadilan.

    Di masa lalu, di antara banyak suku di Arab, terdapat suku Quraisy yang memiliki

    kemampuan dagang cukup tinggi. Karena suku ini juga dikenal memiliki otoritas sebagai

    penjaga Kabah, menurut Perwataatmadja & Byarwati (2008), posisi ini membuat suku

    Quraisy sangat leluasa dan aman untuk melakukan perjalanan dagang ke seluruh kawasan

    Arab. Hampir seluruh suku dalam rute perdagangan menuju Syria, Yaman, dan Bahrain

    menghormati dan menghargai kafilah-kafilah Quraisy. Kebiasaan kaum Quraisy melakukan

    perjalanan dagang pada musim dingin dan panas digambarkan dalam firman Allah:

    Karena kebiasaan orang-orang Quraisy yaitu kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan

    panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik Rumah ini (Kabah) yang telah memberi

    makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan (QS.

    Quraisy [106]: 1-4).

    Tidak bisa dipungkiri, sebagai kaum yang memiliki hubungan dagang lintas negara,

    kaum Quraisy mempunyai pengetahuan dagang yang sangat baik. Hal ini kian didukung

    oleh keberadaan mereka sebagai penjaga Kabah yang menyebabkan sejumlah negara

    seperti Syria, Irak, Yaman, dan Ethiopia memberi izin dan jaminan keamanan berdagang.

    Usaha perdagangan dilakukan dalam berbagai bentuk. Aneka jenis organisasi usaha pun

  • 7

    telah mereka dirikan. Sistem upah dan syirkah dalam berbagai tipe juga telah dijalankan

    antara pemilik modal dengan pelaku dagang, termasuk pula dengan kerjasama jenis

    mudharabah.

    Sebagaimana yang telah diceritakan sebelumnya, perdagangan antar negara di

    Semenanjung Arab telah berlangsung sejak lama, bahkan sebelum kelahiran Nabi

    Muhammad SAW. Karena kondisi geografi yang tidak memungkinkan bagi penduduk

    setempat untuk bertani, mereka kemudian menjadikan perdagangan sebagai mata

    pencaharian utama.

    Awal abad ke-6M menjadi tonggak awal dimulainya peran wilayah Semenanjung

    Arab bagian tengah sebagai sentra perdagangan lintas benua. Bermula dari adanya

    ketegangan antara penguasa Byzantium dengan penguasa Persia. Teluk Persia yang

    sebelumnya adalah jalur perdagangan barat-timur menjadi berkurang tingkat

    keamanannya. Alhasil, para pedagang dari timur lebih memilih jalur baru yaitu pelabuhan

    di pesisir selatan Semenanjung Arab. Lalu dilanjutkan dengan jalur barat menembus

    wilayah Semenanjung Arab bagian tengah guna menuju wilayah utara, yaitu negeri Syam.

    Demikian pula dengan jalur perdagangan dari barat yang berpindah melewati Syam, Arab

    bagian tengah, lalu pelabuhan pesisir selatan Semenanjung Arab. Terakhir, melalui

    perjalanan laut tanpa melewati Teluk Persia.

    Perubahan jalur perdagangan ini menyebabkan sejumlah wilayah di Semenanjung

    Arab bagian tengah, seperti Mekkah dan Madinah, menjadi ramai. Jika sebelumnya jalur ini

    hanya diramaikan oleh lalu lintas komoditas perdangan lokal Semenanjung Arab, wilayah

    ini kemudian berkembang menjadi jalur utama perdagangan dari wilayah timur dan barat.

    Wilayah timur banyak didominasi oleh pedagang yang berasal dari India dan Cina.

    Sedangkan wilayah barat didominasi oleh pedagang yang berasal dari Afrika dan Eropa.

    Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perdagangan merupakan pekerjaan

    yang digeluti Nabi Muhammad SAW sejak kecil bersama dengan pamannya, Abi Thalib.

    Bahkan kesaksian tanda-tanda kenabian yang dituturkan oleh seorang Pendeta juga terjadi

    kala Nabi Muhammad SAW sedang melakukan perjalanan berdagang. Dari sini kita bisa

    melihat bahwa praktek globalisasi dan pasar-bebas sudah terjadi bahkan sebelum

    Rasulullah SAW diangkat menjadi Nabi.

    Tabel 1 menunjukkan sejumlah pasar di Semenanjung Arab pra-Islam yang selain

    menjadi pusat perdagangan, juga menjadi pusat sastra dan kegiatan spiritual.

    NAMA PASAR KOTA/

    NEGARA

    KETERANGAN

    1. Pasar Ukazh7 Al-Athdia8, antara Mekkah

    Masyarakat Arab biasa berkumpul di pasar ini untuk saling

    membanggakan diri. Pasar ini berlangsung 20 hari dari tanggal 1

    7 Suyanto (2008a) menjelaskan, pasar Ukazh adalah pasar kuno yang paling terkenal di Semenanjung

    Arabia. Pasar tersebut tercatat untuk pertama kalinya pada tahun 500 Sebelum Masehi (SM). Pasar ini dikenal

    dalam hal kemegahan, hubungan dagang, manifestasi syair, kesukuan, dan selalu dikunjungi oleh suku Quraisy,

    Hawazin, Ghatafan, Aslam, Ahabish, Adl, ad-Dish, al-Haya dan al-Mustaliq.

    TABEL 1

    PASAR-PASAR TERKENAL

    DI SEMENANJUNG ARAB PRA-ISLAM

  • 8

    dan Thaif sampai 20 Dzul Qadah. Pasar ini merupakan pusat perdagangan

    paling besar di Jazirah Arab selain juga menjadi pusat sastra dan

    tempat bagi orang-orang yang membawa misi perbaikan.

    2. Pasar Majinnah Mekkah Setelah pasar Ukazh selesai, orang-orang mengunjungi pasar ini.

    Mereka tinggal selama 10 hari sejak akhir Dzul Qadah sampai

    melihat hilal bulan Dzulhijjah. Pasar ini milik kabilah Kinanah.

    3. Pasar Dzu Al-

    Majaz

    Mina, antara

    Mekkah dan

    Arafah

    Pasar ini menempati satu peringkat di bawah pasar Ukazh yang

    memiliki peran penting di Jazirah Arab. Pasar ini berlangsung sejak

    hilal bulan Dzulhijjah dan dikunjungi oleh orang-orang yang

    menunaikan ibadah haji dari seluruh negeri Arab. Orang-orang

    meninggalkan pasar Majinnah menuju pasar ini dan bermukim

    sampai hari ke-8 bulan Dzul Hijjah yang merupakan hari

    Tarwiyah9.

    4. Pasar Daumatul

    Jandal

    Al-Jauf. Pasar ini menjadi pertemuan jalan penting perdagangan antara

    Irak, Syam, dan Jazirah Arab. Musim pasar ini berlangsung dari

    awal hingga pertengahan bulan Rabiul Awwal.

    5. Pasar al-

    Musyaqqar

    Kota Hajir di

    Bahrain.

    Pasar ini berlangsung pada bulan Jumadats Tsaniah.

    6. Pasar Hajar Bahrain Pasar ini menjual buah kurma dan hanya dilangsungkan pada

    bulan Rabiul Akhir.

    7. Pasar Oman

    (Dibba)

    Oman Pasar ini banyak dikunjungi oleh bangsa Arab selepas dari aktivitas

    pasar Hajar. Mereka bermukim di sana sampai akhir Jumadal Ula.

    Di pasar ini pula terjalin kerja sama antara pedagang dari India,

    Indus (Sindh), Persia, dan Ethiopia dengan para pedagang Arab.

    8. Pasar Hubasyah Tihamah Pasar ini termasuk pasar Tihamah kuo dan bukan pasar haji. Pasar

    ini diadakan pada bulan Rajab. Dalam sebuah riwayat disebutkan

    bahwa Rasulullah pernah sekali masuk ke pasar tersebut dengan

    membawa dagangan Siti Khadidjah.

    9. Pasar Shuhar Oman Pasar ini merupakan kota paling ramai yang terletak di atas laut.

    Pasar ini diadakan di bulan Rajab.

    10. Pesar Asy-Syihr Antara Aden

    dan Oman

    Pasar ini berada di tepi pantai selatan antara Aden dan Oman.

    Pasar ini merupakan tujuan para pedagang laut dan darat. Pasar ini

    diadakan pada pertengahan bulan Syaban.

    11. Pasar Aden Aden Masyarakat Aden mengunjungi pasar ini setelah pasar Asy-Syihr

    selesai. Pasar ini diadakan pada 10 hari pertama bulan Ramadhan.

    12. Pasar Sanaa Sanaa Pasar ini berlangsung dari pertengahan sampai akhir bulan

    Ramadhan.

    13. Pasar

    Hadramaut

    Shihr dan

    Rabiyah

    Pasar ini diadakan pada pertengahan bulan Dzul Qadah.

    Terkadang pasar ini diadakan pada hari yang sama dengan pasar

    Ukazh. Oleh karena itu, sebagian masyarakat Arab ada yang

    berangkat ke pasar ini dan sebagian lainnya ke pasar Ukazh.

    14. Pasar Hijr Yamamah Pasar ini diadakan sepanjang bulan Muharram.

    15. Pasar Mirbad Bashrah Pasar ini adalah pasar paling terkenal di Arab setelah kedatangan

    Islam. Mirbad berarti kandang unta.

    8 Suyanto (2008a) juga menjelaskan, penentuan kota Al-Athdia sebagai lokasi yang tepat dari Pasar Ukazh

    dilakukan oleh Raja Faisal bin Abdul Aziz. Raja Faizal meminta para ahli dan ilmuwan untuk mengidentifikasi

    lokasi dari Ukazh dengan mencari kembali catatan kuno dan dokumen sejarah. Setelah 1300 tahun, pasar

    tersebut dioperasikan kembali dan diresmikan oleh Gubernur Mekah, Pangeran Khalid Al-Faisal, putra Raja

    Faisal. Pasar tersebut berlangsung selama 7 hari dengan menjual bermacam-macam barang dan bahan, baik

    tradisional maupun modern. Di tempat tersebut juga terdapat tulisan syair Arab kuno dalam emas dan

    diperuntukkan bagi pengunjung untuk melihatnya.

    9 Dinamakan Tarwiyah karena mereka meminum air sampai kenyang dan mengisi bejana mereka untuk

    bekal melanjutkan perjalanan mereka ke Arafah karena di Arafah tidak ada air.

    Sumber: Al-Maghluts (2008a; 2008b), dimodifikasi.

  • 9

    Demikianlah, dapat kita lihat bahwa sejarah membuktikan praktek globalisasi dan

    perdagangan bebas sudah terjadi sejak lampau dan bukan baru terjadi hari ini. Dari praktek

    itulah, bangsa Arab yang menempati Semenanjung Arab bagian tengah pada masa pra-

    Islam membangun kesejahteraan bangsanya. Dan dari praktek itulah, kaum Quraisy

    menjadi kaum yang ternama. Kaum Quraisy dihormati selain karena sebagai penjaga

    Kabah, juga karena kemampuannya menjaga stabilitas keamanan kota. Hal ini

    menyebabkan para pedagang dari negara lain menyukai Mekkah sebagai kota

    perdagangan.

    Perdagangan memang identik sebagai ikon kaum Quraisy. Kaum Quraisy dikenal jeli

    menangkap peluang pasar produk antar negara. Pada musim dingin, mereka pergi ke

    Yaman dengan membeli produk berupa kain sutera, barang pecah-belah, rempah, dan

    bahan kapur barus untuk kemudian dikirim ke Syiria pada musim panas. Demikian pula

    sebaliknya, ketika musim panas, mereka mengambil barang dagangan gandum dan buah-

    buahan dari Syiria yang kemudian dijual pada musim dingin di Yaman. Kemampuan dan

    kejelian menangkap pasar inilah yang menunjukkan kemampuan kaum Quraisy dalam

    melakukan ekspor impor produk-produk lintas negara.

    Suyanto (2008b) menjelaskan, produk-produk yang banyak diimpor bangsa Arab

    sebelum Islam diantaranya adalah bahan makanan, minyak zaitun, padi-padian, anggur,

    pakaian, dan senjata dari Syiria dan Irak. Dari Persia, banyak diimpor produk dari besi,

    sutra, musk, abergris, dan perhiasan. Dari Yaman dan Oman, banyak diimpor kemenyan,

    gaharu, ud, pakaian, myrrh, dan parfum. Sedangkan dari Etiopia, banak diimpor gading,

    emas, dan budak. Sementara itu, produk-produk yang banyak dihasilkan bangsa Arab

    untuk kemudian diekspor adalah produk-produk pertanian dan industri. Suyanto (2008b)

    menceritakan, di bidang pertanian, yang banyak dihasilkan adalah padi-padian berupa

    gandum, barley, sorghum, alfalfa. Lalu juga sayur-sayuran, pohon jeruk, dan buah-buahan

    seperti anggur, zaitun, kurma, dan delima. Di bidang industri, banyak bermunculan

    industri perhiasan, industri pandai besi, industri pembuatan dan penyamakan kulit,

    industri tekstil dan tenun, serta industri parfum.

    Tidak bisa dipungkiri, sejarah menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi menjadi

    alasan utama terjadinya perdagangan internasional. Pada masa pra-Islam, komoditi yang

    diperdagangkan saat itu selain berbagai kebutuhan pokok, diantaranya juga adalah patung-

    patung berhala yang menjadi sesembahan bagi masyarakat jahiliah yang menganut paham

    paganisme. Hal ini pulalah yang menjadi salah satu alasan mengapa hadirnya Islam yang

    mengajak menyembah Allah SWT mengalami penolakan. Sebab, hal tersebut dipandang

    sebagai ancaman bagi kelanggengan usaha mereka. Dalam konteks ini, pasar-pasar

    memegang posisi kunci sebagai pusat perdagangan, pusat sastra, dan pusat kesalehan

    spiritual.

    2.2 Ekonomi Islam, New Intitutional Economics?10

    Ketika krisis keuangan global melanda dunia, salah satu pemikiran yang mengemuka

    di kalangan para ekonom adalah apakah penerapan sistem ekonomi Islam merupakan

    10 Dikutip dari artikel pribadi yang ditulis bersama Rifki Ismal, Mahasiswa S3 Islamic Banking and Finance,

    Durham University, UK, (saat ini menjadi Peneliti Senior Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia) dan

    dimuat di Harian Republika, 24 Januari 2009.

  • 10

    solusi bagi masalah ini dan apakah ekonomi Islam akan menjadi paradigma baru yang

    menggantikan sistem ekonomi kapitalis. Bagi sejumlah ekonom, krisis global yang tengah

    terjadi saat ini merupakan pembuktian lemahnya sistem ekonomi kapitalis sekaligus

    menjadi momentum kebangkitan ekonomi Islam. Fenomena ini jika dikaji dengan

    pendekatan konsep new institutional economics (NIE), maka pandangan tersebut mendekati

    kebenaran.

    4 Elemen NIE

    Secara teoretis, NIE adalah suatu konsep yang memaparkan kriteria atau syarat untuk

    membangun suatu paradigma sistem ekonomi baru yang setidaknya terdiri dari empat

    elemen.

    Elemen pertama, budaya adalah cara berpikir, perasaan, kecenderungan, dan perilaku

    individu atau kelompok masyarakat. Budaya antara lain dipengaruhi oleh pengetahuan,

    kondisi sosial politik, dan komunikasi. Jika ingin menghadirkan suatu paradigma baru,

    maka diperlukan penyesuaian (perubahan) budaya.

    Elemen kedua, institusi adalah keberadaan peraturan atau regulasi, dukungan

    pemerintah, dan sistem peradilan. Elemen ini mencakup ada tidaknya institusi publik di

    tingkat eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dikaitkan dengan pengembangan ekonomi Islam

    di tanah air, kehadiran undang-undang (UU) Perbankan Syariah pada April 2008 lalu

    merupakan pengukuhan terhadap pilar institusi dalam ekonomi syariah. Hal ini kian

    menguat dengan berkembangnya lembaga pendukung lain seperti sistem peradilan untuk

    perbankan syariah, sistem pendidikan yang mengajarkan ekonomi/perbankan syariah,

    legalisasi UU Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN), cetak biru pengembangan perbankan

    syariah, peraturan Bapepam untuk perusahaan pembiayaan syariah, dan lainnya.

    Elemen ketiga, organisasi adalah suatu alat yang diciptakan individu/sekelompok

    masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam hal ini, Indonesia boleh dikatakan telah

    berhasil mengembangkan bank syariah, asuransi syariah, sukuk, dan perusahaan

    pembiayaan syariah dengan baik. Rata-rata pertumbuhan aset, simpanan, dan pembiayaan

    bank syariah lebih dari 50 persen sepanjang 2000-2008. Hal ini sekaligus menjadi salah satu

    bukti empirik selain jumlah bank syariah, asuransi syariah, dan lembaga syariah lainnya

    yang terus bertambah setiap tahun. Beberapa perguruan tinggi ternama pun telah membuka

    jurusan/fakultas ekonomi/perbankan syariah untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di

    bidang ini yang setiap tahun semakin bertambah.

    Elemen keempat, pasar adalah keberadaan tempat/media untuk melakukan transaksi,

    termasuk unsur-unsur penunjangnya seperti teknologi, infrastruktur, dan instrumen pasar

    keuangan. Dalam konteks ini, ekonomi syariah di Indonesia masih dalam tahap

    pengembangan karena pasar uang syariah di Indonesia masih sangat terbatas. Selain itu,

    ketergantungan perbankan syariah kepada pasar uang syariah masih minim karena aktifitas

    pembiayaan yang cukup tinggi dengan tingkat pembiayaan bermasalah (non performing

    financing) yang rendah dan penarikan dana oleh deposan yang masih terkendali. Namun

    demikian, tuntutan pengembangan pasar keuangan syariah ke depan merupakan suatu

    keharusan seiring dengan semakin berkembangnya industri ini.

  • 11

    Menuju Paradigma Ekonomi Baru

    Untuk menjawab apakah ekonomi syariah di Indonesia akan menjadi paradigma baru

    atau minimal alternatif bagi ekonomi konvensional, maka pendekatan NIE menunjukkan

    arah yang demikian.

    Kondisi Indonesia saat ini menyiratkan penerimaan masyarakat yang cenderung

    meningkat meski pengaruh sistem ekonomi konvensional masih dominan. Tentu saja untuk

    membangun elemen budaya, khususnya menciptakan masyarakat yang sharia-based,

    merupakan suatu pekerjaan rumah tersendiri.

    Namun demikian, dengan semakin maraknya negara-negara di Eropa melakukan

    restrukturisasi perbankan dan keuangan syariah, hal ini sejatinya semakin menguatkan

    kiprah dan penerimaan masyarakat internasional terhadap institusi ekonomi syariah.

    Beberapa negara tetangga seperti Singapura, Thailand, Malaysia, bahkan yang

    berpenduduk muslim minoritas seperti China, Jepang, Korea, dan Inggris telah dengan

    cepat mempersiapkan elemen institusi untuk mendukung penciptaan sistem perbankan dan

    keuangan syariah.

    Dalam hal organisasi, pengembangan ekonomi syariah, utamanya bank syariah, juga

    menunjukkan kinerja yang semakin baik. Berbagai pembenahan telah dilakukan, khususnya

    yang terkait dengan manajemen risiko, peningkatan kualitas pelayanan, dan pemenuhan

    kebutuhan sumber daya insani. Semua ini dimaksudkan untuk mengimbangi pertambahan

    institusi perbankan dan keuangan syariah baru.

    Terakhir, perlahan namun pasti, pasar dari industri syariah terus menunjukkan

    peningkatan seiring kebutuhan transaksi berbasis syariah yang semakin tinggi. Kondisi ini

    semakin kondusif dengan kesadaran otoritas pasar keuangan, regulator perbankan, dan

    pelaku pasar yang semakin baik. Hal ini tercermin dengan semakin intensifnya koordinasi

    masing-masing pihak yang kian memacu perkembangan pasar industri perbankan dan

    keuangan syariah di tanah air.

    Secara keseluruhan, ekonomi syariah sebagai sebuah paradigma baru berdasarkan

    konsep NIE telah meletakkan pondasinya di Indonesia. Harus diakui, terlalu dini jika kita

    meminta pengambil kebijakan menerapkan sistem ekonomi ini. Banyak sekali kendala dan

    pekerjaan rumah yang masih harus kita siapkan. Berapa lama proses tersebut berlangsung,

    tentunya berpulang kepada usaha kita bersama. Pada saatnya nanti, tanpa harus memaksa,

    ekonomi syariah akan menjadi pilihan jika para pelaku di dalamnya dapat membuktikan

    kebaikan dari sistem ini.

    2.3 Merekonstruksi Politik Ekonomi

    Sebagaimana diuraikan sebelumnya, menurut Ackerman (1998), ketimpangan

    kesejahteraan sangat terkait dengan politik ekonomi (political economy). Jika disimak, politik

    ekonomi mengacu pada interaksi antara aspek politik dan ekonomi, yaitu bagaimana

    pengaruh aspek politik terhadap kebijakan ekonomi suatu negara. Secara sederhana, politik

    ekonomi dapat diterjemahkan sebagai hubungan antara kekuasaan dalam pengambilan

    keputusan ekonomi. Dalam hal ini, pemerintah dimungkinkan memiliki sejumlah cara

    untuk mempengaruhi secara langsung kegiatan ekonomi masyarakat.

  • 12

    Menghadapi komitmen perdagangan bebas atau pasar bebas sebagaimana yang

    dimaknai dan digaungkan oleh kelompok masyarakat ekonomi mainstream, maka

    dibutuhkan rekonstruksi politik ekonomi jika pelaku ekonomi Islam ingin

    memenangkannya. Merunut berbagai persoalan yang dihadapi Indonesia, hal ini ini tidak

    jauh berbeda dengan berbagai persoalan yang dihadapi oleh negara Islam lainnya yang

    notabene kebanyakan adalah negara berkembang atau bahkan negara miskin. Kompleksnya

    persoalan ekonomi di negara muslim tercermin dari lemahnya bargaining power terhadap

    produk nonmuslim yang ditunjukkan oleh rendahnya nilai ekspor negara-negara muslim

    terhadap negara muslim ataupun nonmuslim. Tingginya ketergantungan negara muslim

    terhadap negara nonmuslim juga ditunjukkan dengan besarnya utang. Rendahnya

    kepedulian pemerintah terhadap ekonomi rakyat kecil, terlihat dari besarnya ketimpangan

    pendapatan di antara rakyat yang kaya dan miskin. Situasi ini tentu bukanlah praktek

    sistem ekonomi Islam. Sebab, sistem ekonomi Islam pasti mengarahkan perbaikan

    kehidupan negara di berbagai aspek kehidupan.

    Besarnya kekuasaan pemerintahan negara muslim terkadang menjadikan potensi

    ekonomi yang bersentuhan dengan kepentingan rakyat kurang bisa diolah dengan optimal.

    Coba saja kita lihat negara-negara muslim di kawasan kaya mineral yang kerap

    memanfaatkan kekayaannya bukan untuk mendukung terjadinya akselerasi ekonomi di

    berbagai sektor ataupun melakukan distribusi pendapatan pada negara muslim yang

    miskin, namun justru banyak digunakan untuk mempertinggi sektor konsumsi. Padahal,

    negara-negara muslim di kawasan Afrika dan Asia yang memiliki banyak sumber daya

    alam (SDA) yang belum mampu terolah secara optimal akibat minimnya modal dan

    teknologi serta rendahnya kemampuan untuk melakukan inovasi di bidang pertanian,

    perkebunan, kehutanan dan perikanan sehingga mempengaruhi rendahnya pemasukan

    negara di sektorsektor tersebut.

    Tidak bisa dipungkiri, rendahnya kemampuan negara muslim dalam mengelola

    sumber daya ekonomi juga banyak disebabkan karakter pemerintahan yang kaku dan lebih

    berorientasi pada bidang politik. Bidang politik lazim menjadi pijakan bagi negara muslim

    untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan di negara tersebut. Hal inilah yang menjadikan

    rendahnya kemampuan rakyat dalam mengelola sumber ekonomi yang ada. Iklim

    demokratisasi yang kurang mendukung ini akhirnya menimbulkan kerawanan ekonomi,

    sosial, dan hukum. Sen (2001) berpendapat, persoalan kekurangan pangan, pendidikan, dan

    kesehatan seharusnya tidak terdapat pada negara-negara yang memiliki SDA yang

    melimpah. Hal ini terjadi karena tidak lain sistem pemerintahan yang kurang demokratis.

    Kebanyakan fenomena yang terekam di negara muslim lebih menunjukkan kondisi

    negara berkembang pada umumnya yang memiliki pengaruh politik lebih besar dibanding

    pengaruh ekonomi. Engineer (2000) menyatakan, konsep keterbukaan dalam syariah

    sebenarnya memfasilitasi realisasi pertumbuhan ekonomi tanpa menafikkan persoalan

    politik. Namun kenyataan menunjukkan politik selalu mendominasi ekonomi.

    Menurut Metwally (1995), prinsip dasar dalam kegiatan perdagangan yang diajarkan

    Nabi Muhammad SAW adalah menghindari price intervention. Perubahan harga harus

    terjadi karena mekanisme pasar yang wajar. Pasar harus sarat moralitas dengan mengusung

    persaingan yang sehat (fair play), kejujuran (honesty), keterbukaan (transparancy), dan

    keadilan (justice). Jika nilai-nilai ini telah ditegakkan, maka tidak ada alasan untuk menolak

    harga pasar.

  • 13

    Dengan demikian, perdagangan bebas atau pasar-bebas yang gencar diperjuangkan

    oleh masyarakat ekonomi mainstream dapat menjadi peluang, tetapi bisa juga menjadi

    ancaman bagi Indonesia. Itu semua tergantung pada bagaimana pemerintah dan

    masyarakat melaksanakan tata kelola perpolitikan dan perekonomiannya. Merujuk pada

    reformasi kebijakan fiskal dan moneter yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, maka

    setidaknya beberapa hal mendasar yang perlu ditekankan kepada pemerintah adalah

    sebagai berikut.

    2.3.1 Kebijakan Fiskal

    Nilai-nilai yang diusung Nabi Muhammad SAW dalam kebijakan fiskal meliputi

    diantaranya: Pertama, distribusi kekayaan. Allah menciptakan kekayaan alam untuk

    digunakan bagi kesejahteraan umat manusia. Manfaat yang diperoleh dari sumber daya-

    sumber daya tidak boleh dikuasai segelintir orang atau kelompok. Keuntungan finansial

    yang diperoleh dari sumber daya-sumber daya dapat menjadi sumber penerimaan negara.

    Negara berkewajiban untuk mendistribusikan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat

    melalui keuntungan yang diperoleh dari sumber daya-sumber daya tersebut. Dalam QS Al-

    Hasyr: 7 diterangkan,

    Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda)

    yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-

    anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan

    beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka

    terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.

    Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.

    Kedua, kejujuran dalam mengelola keuangan negara. Diriwayatkan dari Al Hasan

    yang mengatakan: Ubaidilah bin Ziyad menjenguk Maql bin Yasar Al-Mazani ketika ia

    sakit menjelang ajalnya. Maqil mengatakan: Sesungguhnya aku ingin menyampaikan

    kepadamu sebuah hadits yang aku dengar dari Rasulullah SAW. Ya Rasulullah! Tolonglah

    aku! Maka aku akan menjawab bahwa aku tidak mempunyai kekuasaan apapun untukmu,

    karena aku telah menyampaikannya padamu. Seandainya aku masih mempunyai sisa

    hidup, aku tidak akan menceritakan padamu. Aku mendengar Rasulullah bersabda: Tidak

    seorang hamba pun yang ditakdirkan Allah memegang kekuasaan atas rakyat, yang meninggal pada

    hari ia meninggal, sedangkan ia bertindak curang pada rakyatnya, kecuali Allah akan

    mengharamkannya masuk surga.

    Ketiga, rasionalitas penggunaan kekayaan negara. Diriwayatkan dari Abu Al-Walid

    yang mengatakan: Aku mendengar Khulah binti Qais, istri Hamzah bin Abdul Muthalib,

  • 14

    mengatakan Aku mendengar Rasulullah bersabda: Harta ini sungguh hijau dan manis. Siapa

    yang mendapatkannya dengan cara yang sah, ia mendapat keberkahan di dalamnya. Tapi banyak

    orang yang menghambur-hamburkan harta Allah dan Rasul-Nya dengan sesuka hati mereka. Orang-

    orang ini tidak akan mendapat apapun pada hari kiamat selain api neraka. Dalam hal ini, peran

    pemerintah sebagai pembeli besar menjadi dasar yang rasional dan konsisten bagi Nabi

    Muhammad SAW untuk mengatur belanja negara. Belanja negara disesuaikan dengan

    seberapa besar penerimaan yang diperoleh. Jika terjadi penurunan penerimaan, Nabi

    Muhammad SAW melakukan realokasi sesuai dengan prioritas-prioritas yang ada dengan

    mengurangi pengeluaran pada bidang-bidang tertentu. Ini dimaksudkan untuk menjaga

    atau mengkompromikan pengeluaran agar tidak melampaui sumber daya-sumber daya

    yang tersedia dan memperburuk ketidakseimbangan makroekonomi dan eksternal. Dalam

    perspektif Islam, efektivitas dan efisiensi merupakan dasar dalam pengambilan keputusan

    belanja pemerintah. Islam mengajarkan untuk membelanjakan harta sesuai kaidah-kaidah

    syariah dengan memperhatikan skala prioritas.

    2.3.2 Kebijakan Moneter

    Terdapat 3 hal yang diperintahkan Nabi Muhammad SAW dalam bidang

    moneterisasi. Pertama, larangan melakukan ihtinaz. Ihtinaz adalah kegiatan menimbun mata

    uang dan berbagai bentuk harta kekayaan lainnya seperti emas dan perak. Ada juga yang

    menyebut kegiatan ini dengan kanz. Dampak dari kegiatan ini adalah berkurangnya

    persediaan uang di pasar sehingga permintaan uang akan meningkat karena perputaran

    uang menurun. Dengan adanya larangan ini diharapkan nilai uang lebih stabil dan daya

    beli masyarakat dapat dipertahankan.

    Kedua, melarang segala bentuk riba. Secara bertahap, Nabi Muhammad SAW

    menghapus riba dari kegiatan ekonomi. Bagi pemilik modal, tidak ada jalan lain lagi untuk

    memperoleh keuntungan selain melalui kerjasama. Larangan ini menimbulkan begitu

    banyak perubahan. Ditambah lagi dengan adanya sejumlah kebijakan nonmoneter yang

    ditetapkan Nabi Muhammad SAW menyebabkan motivasi yang semakin besar untuk

    meningkatkan partisipasi dalam bekerja sama. Perubahan ini secara keseluruhan

    meningkatkan permintaan akan investasi dan menciptakan koordinasi dan keseimbangan

    antara perputaran uang dan produksi barang.

    Ketiga, larangan melakukan transaksi kali bi kali. Yaitu, transaksi tidak tunai yang

    tidak mensyaratkan adanya barang atau pertukaran uang dan barang selang beberapa

    waktu setelah kontrak ditandatangani. Kegiatan ini dilarang karena dapat menimbulkan

    tindak spekulasi. Larangan ini dengan sendirinya akan mencegah terjadinya penyimpangan

    penggunaan dana untuk hal-hal selain produksi barang dan jasa.

    3. KESIMPULAN

    Globalisasi sejatinya bukan dimaknai dengan terbukanya pasar tanpa batas sehingga

    seluruh komoditi ekonomi bebas dimasuki asing. Globalisasi seharusnya dipahami sebagai

    kebebasan untuk melakukan pertukaran kepentingan ekonomi yang saling

    menguntungkan. Jika terdapat praktek transaksi ekonomi yang merugikan, salah satu pihak

    seyogyanya diberi kebebasan untuk melindungi kepentingan domestiknya.

    Untuk bisa melindungi kepentingan domestik, pembangunan ekonomi Indonesia

    hendaknya melakukan pemihakan. Untuk itulah dibutuhkan rekonstruksi politik ekonomi

  • 15

    (political economy). Terlebih dalam perspektif ekonomi Islam, maka kebijakan ekonomi

    mainstream perlu disikapi dengan kehati-hatian karena terdapat perbedaan mendasar secara

    filosofi dalam memaknai globalisasi, perdagangan bebas, dan pasar bebas. Untuk itu,

    komitmen perdagangan bebas yang dilakukan pemerintah Indonesia seharusnya

    mengusung pula reformasi kebijakan fiskal dan moneter yang sejalan dengan nilai-nilai

    Islam.

    Ke depan, pembangunan perekonomian rakyat mempunyai peran sebagai sebuah

    strategi pembangunan. Membangun fundamental ekonomi dalam negeri adalah sebuah

    keharusan. Hanya dengan demikian, perekonomian Indonesia lebih mampu mandiri, tidak

    rapuh, dan tidak tergantung pada perekonomian luar negeri. Dengan dasar pemihakan dan

    peran strategi tersebut, arah kebijakan ekonomi nasional harus ditujukan kepada sektor-

    sektor yang sarat dengan kepentingan rakyat, terkait dengan potensi dan kapasitas rakyat,

    serta sesuai dengan tersedianya sumber daya manusia (SDM) dan SDA nasional. Sektor

    yang menjadi pilihan strategis hendaknya dipilih yang berbasis SDM dan SDA dalam negeri

    (domestic resource-based), bertitik sentral pada rakyat (people-centered), dan mengutamakan

    kepentingan rakyat (putting people first). Hal ini secara prinsip sejalan pula dengan nilai-nilai

    yang diusung oleh ekonomi konstutisi maupun ekonomi Islam.

    ==============================

    Daftar Pustaka

    Ackerman, Frank, et al., 1998. The Political Economy of Inequality. Washington DC:

    Island Press.

    Al-Maghluts, Sami bin Abdullah, 2008a. Atlas Perjalanan Hidup Nabi Muhammad.

    Cetakan 1. Jakarta: Almahira. November.

    Al-Maghluts, Sami bin Abdullah, 2008b. Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul. Terjemahan

    dari Athlas Trkh al-Anbiy wa ar-Rusul. Cetakan 1. Jakarta: Almahira. Desember.

    Chapra, M. Umer, 2000. The Future of Economics: An Islamic Perspective. Islamic

    Economics Series: 21. United Kingdom: The Islamic Foundation.

    Engineer, Asghar Ali, 2000. Devolusi Negara Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

    George, Susan, 2006. Republik Pasar Bebas: Menjual kekuasaan Negara, Demokrasi dan Civil

    Society kepada Kapitalisme Global. Jakarta: INFID.

    Hurrel, Andrew & Ngaire Woods, 1999. Inequality, Globalization, and World Politics.

    New York: Oxford University Press.

    Ismal, Rifki & Khairunnisa Musari, 2009. New Istitutonal Economics?. Harian Republika,

    24 Januari.

    Metwally, MM., 1995. Teori dan Model Ekonomi Islam. Jakarta: PT Bangkit Daya Insana.

    Musari, Khairunnisa, 2008. Akhir Laissez-Faire Keempat?. Harian Seputar Indonesia, 11

    April.

  • 16

    Musari, Khairunnisa, 2009. Globalisasi untuk Nasionalisme. Harian Surabaya Post, 24

    April.

    Musari, Khairunnisa, 2009. Antara Stiglitz, Indonesia, dan Ekonomi Syariah. Harian

    Surabaya Post, Ouvre, 7 Juni.

    Musari, Khairunnisa, 2010. Lalu Lintas Ekonomi Negara-Negara Islam: Dulu & Kini. Mata

    Kuliah Penunjang Disertasi (MKPD) Lalu Lintas Modal & Pendapatan Antar Negara Islam

    (OKI). Program Doktoral Ilmu Ekonomi Islam Universitas Airlangga.

    Perwataatmadja, Karnaen A. & Anis Byarwati, 2008. Jejak Rekam Ekonomi Islam.

    Cetakan Pertama. Jakarta: Cicero Publishing. Februari.

    Sen, Amartya, 2001. Masih Adakah Harapan Bagi Kaum Miskin. Jakarta: Mizan.

    Swasono, Sri-Edi, 2005a. Ekspose Ekonomika Mewaspadai Globalisme dan Pasar Bebas. Edisi

    Baru. Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Pancasila-UGM.

    Swasono, Sri-Edi, 2005b. Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial: Dari Klasikal dan

    Neoklasikal sampai ke The End of Laissez-Faire. Jakarta: Perkumpulan Prakasa. April.

    Stiglitz, Joseph E., 2006. Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia

    yang Lebih Adil. Bandung: Mizan.

    Suyanto, M., n.a. Ekonomi Kesejahteraan Syariah. Diakses dari http://msuyanto.com pada

    1 Juni 2010.

    Suyanto, M., 2008a. Pasar Ukazh. Diakses dari http://journal.amikom.ac.id/

    index.php/Koma/article/view/1572 pada 10 Mei 2010.

    Suyanto, M., 2008b. Muhammad Business Strategy & Ethics. Yogyakarta: Penerbit ANDI.

    Oktober.

    Suyanto, M., 2009. Globalisasi Ekonomi dan Ekonomi Syariah serta Perannya dalam

    Perekonomian Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada STMIK Amikom Yogyakarta.

    24 Januari.

    Ulfa Jamilatul Farida, 2012. Telaah Kritis Pemikiran Ekonomi Islam terhadap Mekanisme

    Pasar dalam Konteks Ekonomi Islam Kekinian. Jurnal Ekonomi Islam LA RIBA, Volume VI, No.

    2, Desember.