PEMAHAMAN TEMATIK TERHADAP HADITS-HADITS NABI · Web viewKajian Terhadap Hadits-Hadits Do’a...
Transcript of PEMAHAMAN TEMATIK TERHADAP HADITS-HADITS NABI · Web viewKajian Terhadap Hadits-Hadits Do’a...
PEMAHAMAN TEMATIK TERHADAP HADITS-HADITS NABIKajian Terhadap Hadits-Hadits Do’a Ruku’ Dan Sujud
Oleh : M. Nawawi
A. Pendahuluan
Ketentuan mengenai do’a yang dibaca ketika seorang Mushalli
sedang melakukan ruku’ atau sujud dalam shalat, diriwayatkan dalam
bentuk yang beragam, dan jumlahnya sangat banyak. Didalam Sunan an-
Nasa’i saja, tidak kurang dari lima belas riwayat. Belum lagi dalam kitab
sunan yang lain dan kitab shahih. Hal ini mengundang munculnya
berbagai macam pemikiran dan interpretasi dikalangan para ulama’.
Bacaan mana yang paling absah diantara sekian riwayat-riwayat tersebut,
yang dapat dipergunakan sebagai do’a yang dianggap paling sesuai dengan
sunnah Nabi.
Sebagian kalangan mencoba melakukan tarjih terhadap berbagai
riwayat, kemudian mengamalkan do’a/bacaan yang dianggapnya sebagai
paling rajih, dengan menyampingkan do’a/bacaan yang lain. Bahkan ada
sebagian orang berani menilai bahwa sebagian do’a yang terdapat dalam
riwayat kitab-kitab hadits tersebut sebagai bid’ah yang harus dijauhi.
Namun pada saat yang sama, terdapat pemikiran lain yang berbeda dengan
dua pemikiran terdahulu. Pemikiran ini mencoba memberikan pemahaman
yang adil terhadap berbagai riwayat, dan berusaha mengakomodir semua
riwayat yang secara harfiah, memang berbeda antara yang satu dengan
lainnya. Pemahaman yang terakhir ini lazim disebut sebagai pemahaman
tematik (maudhu’i). Tulisan ini disusun dengan tujuan ingin mencoba
memaparkan uraian tentang pemahaman tematik terhadap berbagai
riwayat mengenai do’a dalam ruku’ dan sujud, sebagaiamana disebutkan
dalam berbagai kitab hadits.
1
B. Berbagai Bentuk Do’a Dalam Ruku’ Dan Sujud
Sebagaiaman disebutkan dalam berbagai riwayat kitab hadits,
bentuk do’a tersebut sangat beragam. Diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Hadits riwayat Imam Muslim dari A’isyah RA.1
2. Hadits riwayat Imam Muslim dari A’isyah RA.2
3. Hadits riwayat Imam Muslim dari Mutharrif bin Abdillah bin al-
Syakhir.3
4. Hadits riwayat Imam Abu Dawud dari Uqbah bin ‘Amir.4
5. Hadits riwayat Abu Dawud dari Uqbah bin ‘Amir dengan redaksi yang
agak berbeda sebagai berikut.5
6. Hadits riwayat al-Nasa’i dari Auf bin Malik.6
2
7. Hadits riwayat an-Nasa’i dari Ali bin Abi Thalib.7
8. Hadits riwayat al-Nasa’i dan Abu Dawud.8
9. Hadits riwayat Imam Muslim dan Abu Dawud.9
10. Hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah.10
11. Hadits riwayat al-Nasa’i dari Ali bin Abi Thalib.11
12. Hadits riwayat al-Nasa’i dari Auf bin Malik.12
3
Secara lengkap hadits sebagaimana disebut di atas, selanjutnya dapat
dilihat pada lampiran makalah ini. Kemudian sebagai kelengkapan,
dicantumkan pula beberapa hadits pendukung sebagai syahid atas berbegai
riwayat mengenai do’a sebagaimana telah disebut pada nomor-nomor di
atas. Hal ini dimaksudkan sebagai petunjuk, bahwa do’a atau bacaan
dalam ruku’ dan sujud dengan berbegai bentuknya yang beragam sangat
populer dikalangan para ulama’.
C. Pemahaman Maudhu’i
Pemahaman maudhu’i, dibidang hadits, sebenarnya merupakan
istilah baru bila dibandingkan dengan pemahaman dibidang tafsir. Hal ini
bisa diperhatikan dari perkembangan buku-buku yang membahas
mengenai ilmu hadits. Sampai saat ini belum dijumpai tulisan yang secara
khusus membahas tentang methode pemahaman maudhu’i dibidang hadits.
Tidak seperti dalam tafsir. Dibidang ini sudah banyak ditemukan buku-
buku ilmu tefasir yang membahas methode tersebut, seperti buku al-
Bidayah fi Tafsir al-Maudhu’i yang disusun oleh Dr. Abd. Hayyi al-
Farmawi dan lain-lain. Jadi istilah ini (maudhu’i dibidang hadits)
merupakan pinjaman dari tafsir. Namun apabila kita perhatikan secara
seksama terhadap buku-buku ilmu hadits, akan kita jumpai bahwa para
ulama’ dahulu telah melakukan pemahaman sebagaimana model
pemahaman maudhu’i tersebut. Hanya saja istilah yang dipakainya tidak
menggunakan maudhu’i.
Salah satu contohnya adalah methode penyelesaian hadits-hadits
mukhtalif. Salah satu methode yang dipergunakan adalah “al-Jam’u wa al-
Taufiq” : methode kompromi. Metode ini berusaha mencari titik temu
kandungan makna masing-masing hadits yang mukhtalif tersebut dengan
4
maksud supaya diperoleh pemahaman yang tepat, sehingga masing-
masing hadits tersebut dapat diamalkan sesuai dengan tuntutannya.13
Imam al-Syafi’i dalam buku Ikhtilaf al-Hadits, misalnya telah
banyak melakukan upaya pemahaman melalui pendekatan al-Jam’u ketika
menghadapi hadits-hadits yang secara tekstual berbeda. Telah
diriwayatkan bahwa Nabi SAW. -menurut laporan Ibnu Abbas- melakukan
wudhu’ dengan membasuh sebanyak satu kali. Namun menurut laporan
Himran, mantan budak Utsman bin Affan, dinyatakan bahwa Nabi
membasuh sebanyak tiga kali. Menhadapi dua riwayat yang berbeda
tersebut Imam Syafi’i berusaha mengkompromikan kedua riwayat
tersebut. Kedua model yang dicontohkan Nabi tentang cara membasuh
anggota wudhu’ tersebut adalah merupakan sunnah Nabi. Satu kali
basuhan sebagaimana dicontohkan Nabi di atas merupakan batas minimal.
Sedangkan basuhan tiga kali merupakan bentuk kesempurnaan.14
Model pemahaman sebagaimana dilakukan al-Syafi’i di atas adalah
merupakan salah satu bentuk dari pemahaman maudhu’i. Hal ini bisa
dibandingkan dengan penjelasan Dr. Abd. Hayyi al-Farmawi dalam buku
al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy. Dikatakan bahwa salah satu macam
dari bentuk tafsir maudhu’iy adalah mempelajari ayat-ayat dengan cara
menghimpun yang serupa, kemudian mengkompromikan antara yang ‘Am
dengan yang Khas, antara yang Mutlaq dengan yang Muqayyad serta
mensingkronkan yang secara lahiriyah tampak kontradiktif, sehingga ayat-
ayat tersebut bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan.15
Memperhatikan pernyataan al-Farmawi di atas, maka pemahaman
hadits secara maudhu’iy adalah memahami suatu topik persoalan dengan
cara menghimpun hadits-hadits yang berkaitan (berbicara) dengan topik
tersebut, kemudian dikaitkan satu sama lain, sehingga pada akhirnya
5
diambil kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut menurut
pandangan yang ada pada hadits-hadits.16
D. Do’a Dan Bacaan Pada Ruku’ dan Sujud Dalam Konteks Pemaha man Maudhu’iy.
Sebelum sampai pada kesimpulan secara maudhu’iy terhadap
hadits-hadits yang menjelaskan mengenai bacaan/do’a dalam ruku’ dan
sujud, ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu penjelasan para ulama’
tentang hal tersebut.
Ibnu Rusd dalam kita Bidaya al-Mujtahid menjelaskan bahwa
jumhur ulama’ telah sepakat melarang membaca ayat al-Qur’an dalam
waktu ruku’ dan sujud. Ketentuan ini diambil berdasar keterangan riwayat
dari Nabi melalui Ibnu Abbas, sebagaiaman tersebut dalam hadits nomor
delapan di atas.17 Lebih lanjut as-Syaukani dalam Nailul Authar
menegaskan bahwa hukum membaca ayat dalam ruku’ dan sujud itu
haram. Namun diperselisihkan apakah perbuatan tersebut membatalkan
shalat atau tidak.18
Ruku’ dan sujud adalah suatu tahap peribadatan, dimana seorang
sedang dalam puncak ketundukan dan khusu’ dihadapan Tuhan, kata al-
Khaththabi. Oleh karena itu ia (ruku’ dan sujud) husus digunakan untuk
berdzikir dan mensucikan asma’ Allah.19
Maka atas dasar itulah, para ulama’ mamahami mengapa membaca
ayat al-Qur’an tidak diperkanankan pada saat melakukan ruku’ dan sujud.
Sebaliknya bacaan dzikir dan mengagungkan Tuhan dianjurkan. Bahkan
menurut Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan Dawud ad-Dhahiri
hukumnya wajib.20 Oleh karena itu apabila seorang sengaja
meninggalkannya, maka shalatnya dinyatakan batal. Hal ini didasarkan
6
hadits Nabi yang artinya “Shalatlah kamu semua sebagaimana engkau
melihat aku shalat”.
Persoalan yang menjadi perselisihan dikalangan para ulama’
adalah mengenai bacaan yang boleh dibaca dalam waktu ruku’ dan suju.
Sebagian besar para ulama’ berpendapat bahwa bacaan dzikir dan
pengagungan kepada Tuhan yang boleh dibaca adalah bersifat husus
sebagaimana yang dicontohkan Rasulallah SAW. Namun menurut
sebagian ulama’, bacaan itu tidak bersifat khusus, yang penting isinya
(intinya) memuji dan mengagungkan asma Allah.21
Hal lain lagi yang diperselisihkan adalah membaca do’a dalam
ruku’. Sebagian besar para ulama’ melarang membaca do’a dalam ruku’.
Tetapi sebagian lain memperbolehkannya. Demikian pula mereka juga
berselisih mengenai lafad (redaksi) doa’ yang boleh dibaca dalam sujud.
Apakah do’a itu sifatnya khusus, atau boleh berdo’a apa saja sesuai
dengan kepentingan yang sedang diperlukan mushalli (orang yang sedang
melaksanakan shalat).22
Untuk menjawab berbagai persoalan sebagaimana tergambar di
atas melalui pemahaman tematik (maudhu’iy), maka perlu pengkajian
yang komprehensip, tidak saja hanya memperhatikan keterangan hadits-
hadits yang terkait, tetapi perlu juga diperhatikan keterangan al-Qur’an.
Dijelaskan dalam hadits riwayat an-Nasa’i dan Abu Dawud
sebagaimana tersebut dalam nomor delapan di atas, bahwa Nabi SAW.
dilarang membaca ayat al-Qur’an disaat ruku’ dan sujud. Sebaliknya Ia
memerintahkan supaya ruku’ itu diisi dengan ucapan (bacaan) yang
sifatnya mengagungkan Tuhan. Sedangkan pada saat sujud, Nabi
memerintahkan supaya dipergunakan untuk berdo’a secara sungguh-
sungguh.
7
Berdasarkan riwayat di atas, maka disepakati bahwa ruku’ itu
merupakan tempat membaca tasbih.23 Lalu bagaimana hukumnya ?.
Apakah merupakan kewajiban, atau hanya sebagai anjuran.
Sebagaimana di jelaskan di atas, persoalan ini adalah ikhtilaf.
Namun bila kita perhatikan berbagai riwayat sebagaiaman tercantum
1
Catatan Akhir :
? Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, Shahih Muslim, Jilid I, (Bairut : Dar al-Fikr, 1992), hal. 222
2 Ibid, hal. 2233 Ibid,4 Abu Dawud Sulaiman bin Ats-Ats, Sunan Abu Dawud, Jilid I,
(Indonesia : Maktabah Dahlan, tth), hal. 230.5Ibid,
8
dalam poin B di atas, maka membaca tasbih dalam ruku’ adalah
merupakan sunnah Nabi yang selalu dikerjakannya. Maka atas dasar ini
membaca tasbih sebagai ungkapan pengagungan kepada Tuhan, disaat
seorang mushalli sedang ruku’, adalah perbuatan yang harus dicontoh
serta diikuti oleh segenap kaum muslimin. Lalu apakah tindakan
mencontoh Nabi itu sampai pada tingkatan wajib ?. Dalam hal ini penulis
cenderung membagi kedalam dua kategori.
6 Al-Hafid Jalaluddin al-Suyuthi, Syarah Sunan an-Nasa’i, (Kairo : Dar al-Hadits, 1978) Juz I, hal. 191
7Ibid, hal. 192 8 Ibid, hal, 189 dan 217, Bandingkan dengan Abu Dawud, Op Cit,
hal. 2329 Muslim bin al-Hajjaj, Op Cit, hal. 221. Bandingkan dengan Abu
Dawud, Ibid, hal. 23110 Muslim bin al-Hajjaj, Ibid, hal. 22111 Jalaluddin al-Syuyuthi, Syarah Muslim, Juz I, hal. 22112 Ibid, hal. 22313 Dr. Edi Safri, Imam al-Syafi’i : Methode Penyelesaian Hadits-
Hadits Mukhtalif, Desertasi Doktor, Tidak Diterbitkan, IAIN Jakarta, 1990, hal. 151
14 Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Ikhtilaf al-Hadits, Tahqiq Muhammad Abd. Aziz, (Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1986) hal. 41-42
15 Dr. Abd. Hayyi al-Farmawi, al-Bidayah fi Tafsir al-Maudhu’iy, (terjamahan), Jakarta : LSIK, 1994, hal. 46
16 Bandingkan dengan penjelasan Dr. Quraish Shihab dalam buku Membumikan al-Qur’an, tentang tafsir maudhu’iy pada halaman 114.
17 Muhammad bin Ahmad bin Rusdy al-Qurthubi, Bidayah al-Mujtahid, Juz I (Mesir : Musthafa al-Babi al-Halabi, 1960), hal. 128. Dalam buku ini al-Bukhori dinyatakan memperbolehkan membaca ayat al-Qur’an dalam ruku’ dan sujud.
18 Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Nailul Authar, Juz II, (Bairut : Dar al Kutub al-Ilmiah, tth), hal. 249
19 Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq, Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud, (Bairut : Dar al-Fikr, 1978) juz III, hal. 129.
20 Ibid, hal. 12321 Ibnu Rusydi, Bidayah al-Mujtahid, hal. 12822 Ibid, hal. 12923 Al-Hafid Ahmad bin Ali Hajar al-’Asqalaniy, Fath al-Bari bi
Syarhi Shahih al-Bukhariy, (Bairut : Dar al-Fikr, 1993) juz II, hal. 537
9
Bagi kaum muslimin yang terpelajar, atau sudah cukup lama
sebagai seorang muslim dan mempunyai kemampuan mempelajari agama
secara lebih baik, maka membaca tasbih dalam ruku’ adalah wajib
hukumnya. Oleh karena itu apabila sengaja meninggalkan, maka shalatnya
tidak sah. Ketentuan ini diambil berdasarkan perintah Nabi sebagaimana
tersebut pada nomor delapan dan nomor empat tersebut pada poin B di
atas :
Sebaliknya, bagi kaum muslimin yang masih awwam, atau secara
fisik dan psikologis tidak mempunyai kemampuan memperdalam ilmu
agama, maka baginya hanya merupakan anjuran (mustahab). Hal ini
didasarkan riwayat an-Nasa’i dari Rifa’ah bin Rafi’. Katanya “Ketika
kami sedang bersama Rasulallah, ada seorang masuk masjid kemudian
melakukan shalat. (pada saat itu Rasul selalu memperhatikan shalatnya,
tetapi orang tersebut tidak merasa). Beberapa saat kemudian ia
menyelesaikan shalatnya, lalu menghadap kepada Rasul dengan
mengucapkan salam. Sesudah menjawab salam orang tersebut, Rasul
memerintahkan supaya orang tersebut mengulangi shalatnya. Lalu orang
tersebut meminta kepada Nabi untuk mengajari bagaimana cara shalat
yang benar. Maka Nabi SAW bersabda :24
Selanjutnya, mengenai bentuk bacaan tasbih. Apakah sifatnya
khusus, artinya bacaan itu sudah ditentukan lafadz dan redaksinya atau
tidak ?. Dalam hal ini penulis cenderung berpendapat bahwa bacaan
24 Jalaluddin as-Syuyuthi, Sarah Sunan an-Nasa’i, juz I, hal. 193
10
tersebut bentunya tidak khusus dan tertentu. Yang penting inti dari bacaan
itu merupakan tasbih pengagungan kepada Tuhan. Hal ini diambil atas
dasar sebagai berikut :
Seperti tersebut pada hadits nomor 4 (empat), bahwa perintah Nabi
supaya dalam ruku’ dibaca adalah dilatar belakangi
perintah Allah maka dapat dipahami bahwa perintah itu
intinya supaya orang yang sedang ruku’ bertasbih kepada Tuhan Yang
Agung. Sementara itu asma (nama) Tuhan disebut dalam al-Qur’an
sebanyak 99 macam. Maka atas dasar pemikiran ini dapat dipahami
mengapa bacaan tasbih yang dipanjatkan oleh Nabi SAW. ketika sedang
ruku’ banyak macam dan bentuknya. Oleh karena itu bacaan yang mana
saja yang telah dicontohkan Nabi bisa dipakainya. Bahkan redaksi tasbih
yang agak berbeda dengan contoh dari Nabi-pun, (apabila intinya
merupakan pengagungan terhadap Asma Tuhan), maka sudah dianggap
memenuhi syarat. Itulah sebabnya mengapa Imam al-Hadi dan Ja’far al-
Shadiq membaca (……………………………) dalam waktu ruku’.25
Demikian pula dapat kita fahami mengapa Abu Dawud meriwayatkan
hadits (yang menurutnya hadits tersebut memperoleh tambahan yang
dianggap kurang dapat dipercaya) bahwa ucapan itu berbunyi dengan
tambahan (………………………………).26 Walaupun ada sebagian
ulama’ tidak suka memakainya, tetapi bila dipahami dalam konteks
pemahaman ini, bacaan ( ) tersebut, tidak
bisa dianggap menyimpang dari sunnah Nabi, sebab terdapat riwayat yang
menuturkan bahwa ucapan dan do’a yang berbunyi
(………………………………), sebagaimana tercantum pada nomor 1
(satu) di atas, dilatar belakangi oleh perintah al-Qur’an
yang terdapat dalam surat al_Asr.27
25 Al-Syaukani, Nailul Authar, juz II, hal. 245-246.26 Sulaiman bin Ats-Ats, Sunan Abu Dawud, ...., hal. 23027 Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fathul Bari, ..., hal. 560
11
Berdasarkan riwayat di atas, maka tambahan merupakan
implementasi dari perintah . Bahkan secara tekstual Nabi
sudah memberi contoh yang mencantumkan tahmid tersebut dalam do’a di
atas.
Atas dasar penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
bacaan dalam ruku’ yang sesuai dengan sunnah Nabi adalah berupa
“tasbih dan tahmid” terhadap Allah SWT. Sedangkan mengenai bentuknya
tidak bersifat khusus dan tertentu. Namun yang afdhal tentunya
mencontoh bacaan (tasbih dan tahmid) dari Rasul. Berbagai bentuk yang
telah dipraktikkan Rasulallah bisa dipilih secara mana suka sesuai dengan
situasi yang diperlukan oleh mushalli. Bahkan berbagai ragam bacaan
Rasul itu bisa digabung. Dalam konteks ini, Imam Syafi’i berkata : “Saya
senang memulai ruku’ dengan ucapan (
) sebanyak 3 kali, kemudian ditambah dengan ucapan (tasbih)
lainnya yang dicontohkan oleh Rasul, Sebagaimana saya riwayatkan”.28
Bagaimana dengan ucapan do’a dalam ruku’ ?. Dalam hal ini,
apabila do’a itu merupakan tambahan dari “tasbih dan tahmid” kepada
Tuhan, maka menurut penulis tidak dilarang. Sebab Rasulallah,
sebagaimana diriwayatkan pada hadits nomor 1 (satu) di atas telah
mencontohkan ucapan tasbih dan tahmid, yang juga mengandung do’a,
sebagai berikut :
hanya saja intensitas do’a disaat ruku’ tidak seperti ketika dalam keadaan
sujud. Perintah berdo’a ketika sedang sujud amat ditekankan, sebagaimana
dijelaskan dalam hadits Nabi yang terekam pada riwayat an-Nasa’i dan
Abu Dawud, serta Imam Muslim yang tertulis dalam pembahasan poin B
di atas (tepatnya pada hadits nomor 8 dan 9). Dalam hadist bersangkutan
Nabi SAW. menjelaskan bahwa disaat sedang sujud itulah seorang hamba
sedang berada pada posisi paling dekat dengan Tuhan. Oleh karena itu
28 Muhammad bin Idris as-Syafi’i, al-Um, juz I, (Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth), hal. 218
12
Nabi sangat menekankan supaya dipergunakan berdo’a memohon kepada
Tuhan sebanyak mungkin, dan Nabi sendiri telah memperaktikkannya
sebagai contoh untuk ummatnya.29
Yang menjadi persoalan dalam hal ini adalah mengenai lafadz dan
formatnya. Apakah do’a itu besifat husus atau tidak, dalam arti lafadz dan
isinya tertentu atau tidak.
Menurut riwayat al-A’masy, bentuk do’a disini adalah bersifat
khusus, yaitu sebagaimana dicontohkan dalam do’a-do’a Nabi SAW yang
telah dipraktikkan ketika sedangg sujud.30 Namun menurut pendapat yang
lebih kuat, do’a itu sifatnya umum. Artinya mushalli (dalam sujud) bisa
memohon apa saja sesuai dengan kepentingan (hajat)nya, baik bersifat
duniawi maupun ukhrowi. Do’a ini bisa berupa pemberian atau
perlindungan.31
Penulis sependapat dengan pemikiran yang kedua, dengan alasan
sebagai berikut :
1. Do’a yang dipergunakan oleh Nabi SAW banyak ragam dan
bentuknya. Hal ini memberi petunjuk bahwa do’a yang dimaksud tidak
hanya terikat dengan satu bentuk.
2. Sebagaimana dijelaskan di atas (pada hadits A’isyah yang tertera
dalam hadits nomor 1) bahwa do’a yang dipanjatkan Nabi SAW
merupakan hasil pemahaman (ta’wil) dari perintah berdo’a yang
terdapat dalam al-Qur’an. Dan sebagai kita maklumi bahwa al-Qur’an
tidak melarang ummat Islam untuk meminta kebaikan hidup di dunia.
29 Bandingan dengan al-Syaukani, Nailul Authar, ..., hal. 247-249. Lihat pula pada Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, ..., hal. 560
30 Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fathul Bari, ..., hal. 56031 Ibid, hal. 561. Bandingkan dengan Muhammad bin Isma’il al-
Shan’aniy, Subulus Salam, (Indonesia : Dahlan, tth), juz II hal. 178.
13
3. Abu Dawud dari A’isyah meriwayatkan hadits yang menjelaskan
bahwa Nabi berdo’a (dalam shalat) juga memohon agar diselamatkan
dari fitnah kehidupan di dunia.32
Persoalan lain yang diperdebatkan adalah apakah do’a itu harus
menggunakan bahasa (lafadz) al-Qur’an atau bisa dengan bahasa lainnya.
Dalam hal ini menurut Imam Malik dan Syafi’i bisa menggunakan bahasa
lainnya.33
E. Penutup
Dari penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ketika
sedang melakukan ruku’ dan sujud, seorang mushalli dilarang membaca
ayat-ayat al-Qur’an, sebab pada saat itu ia sedang berada dalam keadaan
menundukkan diri dengan husyu’ di hadapan Tuhan. Oleh karena itu ia
diharuskan memanjatkan puja dan puji serta do’a kehadirat Tuhan (Allah).
Adapun bentuk dan format pemujaan itu essensinya merupakan
pengagungan dan pensucian terhadap Tuhan. Sedangkan redaksinya tidak
harus terikat dengan satu bentuk tertentu, namun bisa menggunakan salah
satu dari Asma’ul Husnah yang jumlahnya 99 (sembilan puluh sembilan).
Sungguhpun demikian yang afdhal adalah menggunakan redaksi tasbih
dan tahmid yang telah digunakan Rasulallah. Dalam hal ini bisa memilih
32 Muhammad Syamsu al-Haq al-Adhim Abadiy, Aunul Ma’bud, ..., hal. 133-134.
33 Ibnu Rusydi, Bidayah al-Mujtahid, ..., hal. 129
14
salah satu dari berbagai bentuk yang telah dicontohkan, atau
menggabungkannya.
Kemudian berhubngan dengan do’a, bisa dipanjatkan baik ketika
ruku’ maupun sujud. Namun do’a dalam sujud intensitasnya lebih serius
dan maksimal dari pada ketika sedang ruku’. Hal ini terjadi karena dalam
sujud, seorang mushalli sedang berada dalam keadaan terdekat dengan
Tuhan. Itulah sebabnya Rasulallah sangat menekankan supaya ummatnya
memperbanyak do’a saat itu.
Isi do’a yang dipanjatkan bisa serupa apa saja yang positif, baik
menyangkut hajat duniawi maupun ukhrowi, sesuai dengan kepentingan
yang diharapkan.
Satu catatan yang perlu dikaji lebih mendalam adalah menganai
do’a yang dilafadzkan dengan menggunakan bahasa ajam (non Arab). Hal
ini perlu penulis sampaikan karena Imam Abu Hanifah melarangnya
dengan alasan bahwa yang demikian itu termasuk kalam (perkataan). Dan
pembicaraan (kalam) dalam shalat itu dilarang.
15