PERCERAIAN MENURUT PERSEPSI PSIKOLOGI DAN HUKUM …
Transcript of PERCERAIAN MENURUT PERSEPSI PSIKOLOGI DAN HUKUM …
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
124 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
PERCERAIAN MENURUT PERSEPSI PSIKOLOGI
DAN HUKUM ISLAM
Riami
Email: [email protected]
Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Probolinggo
Sumiati
Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Probolinggo
Yuliana W
Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Probolinggo
Rofiatul U.
Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Probolinggo
Abstrak
Pernikahan merupakan suatu perkara yang terpuji, dan tidak sepantasnya
dirusak oleh hal-hal yang tidak diiginkan. Setiap perkara yang mengarah
terhadap kemudhorotan dalam berumah tangga merupakan perkara yang
sangat di benci Allah, yaitu perceraian. Karena perceraian termasuk salah satu
perbuatan yang di halalkan akan tetapi sangat dibenci oleh Allah. Pada
hakekatnya, apa yang disyariatkan islam tidak diperkanankan adanya
perpisahan.Melainkan dianjurkan nabi Muhammad agar menjaga keutuhan,
keharmonisan dalam tempat tinggal, dan mampu menyelesaikan setiap
perseteruan yang terdapat dengan cara yang damai, sebagai akibat
menyebabkan suatu perceraian.Diantaranya faktor yang menyebabkan
perceraian yaitu meliputi faktor keturunan, faktor kejiwaan, faktor etika, faktor
keuangan,dan faktor lingkungan.
Kata Kunci: pernikahan, perceraian, faktor dan dampaknya
Abstract:
marriage is a commendable thing, and justifiable it is undermined by
incorrigible things. Any case that leads to marital uncertainty is god's great
hater, divorce. Because divorce was one of the deeds perpetuated but was
strongly hated by Allah. In essence, what Islam requires is not a farewell.
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
125
Rather, it was encouraged by the prophet muhammad to maintain unity,
harmony in the home, and be able to resolve every existing feud in a peaceful
way, as a result of causing a divorce. Among the factors that lead to divorce
are heredity, psychological factors, ethics, financial factors, and environmental
factors.
Keywords: marriege, divorce, factors and impact
PENDAHULUAN
Adapun fitrah manusia merupakan adanya keterkaitan antara satu
dengan yang lain. Mengingkari adanya hubungan tarik menarik berarti sama
halnya dengan mengingkari aturan alam yang telah ditetapkan Tuhan Yang
Maha Pencipta, sebagaimana di jelaskan pada al-Qur'an, banyak firman Allah
yang menjelaskan tentang pernikahan atau keturunan,menjadi tujuan
pernikahan.(Yayu Zakiah, 2018)
Kehidupan dalam pernikahan tidak akan selalu berjalan dengan lancar,
jika diantara kedua belah pihak sudah tidak ada keserasian ,bisa saja keputusan
terakhir yang di pilih oleh suami istri tersebut adalah perceraian.karena mereka
berfikir perceraian meSrupakan jalan akhir yang dapat memecahkan
permasalahan mereka, dapat saja menetapkan untuk melakukan perceraian
menjadi jalan terakhir yang mereka pilih.(Mestika Dewi, 2006)
Sebelum dilakukan pemutusan hubungan ini, umumnya telah terjadi
konflik permasalahan yang tidak terselesaikan, saling menyakiti di antara
mereka. Dalam pernikahan, suatu hubungan itu sangat penting yang
memperbolehkan antara laki-laki dan perempuan.Hubungan tersebut terjalin
jika diantara kedua belah pihak saling memahami dan saling menyayangi
,sebaliknya apabila terjadi ketidakcocokan dan tidak saling memahami maka
pernikahan tersebut tidak akan berjalan lancar bahkan akan terjadi sebuah
perceraian.
Keluarga termasuk lingkungan masyarakat pertama bagi anak yang
memberi dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari
keluarga. Salah satunya adalah menghormati orang yang lebih tua serta
membantu menyelesaikan berbagai masalah yang timbul. Orang tua
diharapkan dapat membantu anak dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungannya untuk mengatasi masalah secara realistis dan simpati. Oleh
karena itu, keluarga sebagai tempat untuk mengkondisikan pemberian nilai
positif pada anak. (Ria Syahria, 2017)
Keluarga merupakan suatu unit terkecil pada masyarakat, yang
menurut interaksi pernikahan dan interaksi darah. Keluarga merupakan tempat
pertama bagi anak-anak, lingkungan pertama yang memberi tempat tinggal
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
126 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
untuknya, tempat anak akan memperoleh rasa kondusif. Keluarga inti terdiri
dari orang tua dan anak yang merupakan kelompok utama yang terikat satu
sama lain lantaran interaksi keluarga ditandai oleh rasa kasih sayang, perasaan
yang mendalami saling mendukung dan kebersamaan dalam aktifitas
pengusaha..(Karlinawati Silalahi & Eko A. Meinarno, n.d.)
Kehidupan keluarga yang serasi merupakan suatu bentuk keluarga
yang didambakan bagi setiap orang yang membina keluarga, begitupun
sebaliknya setiap orang tidak ingin keluarga yang dibinanya tidak harmonis.
Keluarga tidak harmonis merupakan suatu konflik yang seringkali terjadi di
masyarakat.Banyak faktor yang menyebabkan permasalahan ini. Tidak
mampu dipungkiri, merupakan suatu impian tersendiri bagi setiap wanita agar
mencintai dan dicintai, kemudian mempunyai famili kecilnya sendiri. Akan
tetapi, banyak sekali pasangan yang sudah menikahdan menjalani bahtera
kehidupan yang baru yaitu kehidupan tempat tinggal tangga, dan tidak sedikit
juga yang mengalami kasus keluarga yang tidak harmonis sehingga
menyebabkan terjadinya perceraian.(http://www.sarjanaku.com. diambil
tanggal 16 Desember 2014, pukul 10.35 WITA, n.d.)
Perceraian menjadi suatu perkara yang halal namun sangat dibenci oleh Allah.
Sebagaimana Sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu
Daud, sebagai berikut:(Al-Iman al-Hafiz Abi Daud Sulaiman Ibn al-Asy’ats al-
Sajistani, Sunan Abi Daud, juz II, (Indonesia: Maktabah Dahlan,), h. 154-155.,
n.d.)
Dari hadist tersebut dapat diketahui bahwa talak merupakan suatu hal yang
mana di benci Allah jika dilakukan dengan alasan yang tidak dibenarkan oleh
Agama. Namun terkadang banyak sekali suami istri yang terpancing emosinya,
kadang kala hanya hal yang sepele, sehingga bisa mengancam keutuhan
keluarganya, yang mana pada akhirnya perceraian di- jadikan menjadi jalan
keluarnya.
Dengan ini untuk lebih memahami persoalan tersebut,Penulis ingin
menjelaskan lebih dalam tentang “Perceraian menurut persepsi psikologi
dan Hukum Islam”
MAKNA KELUARGA
Keluarga merupakan kesatuan terkecil dalam warga yang terdiri
berdasarkan ayah, ibu dan anak. Keluarga bisa menjadi pangkal kehidupan
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
127
seseorang, sumber perawatan menggunakan afeksi, taman pendidikan pertama,
terpenting dan terdekat yang sanggup dinikmati lantaran pengajaran mengenai
nilai- nilai kehidupan baik agama juga sosial budaya adalah hal-hal
fundamental yang mampu diperoleh di dalam sebuah keluarga. Ada kalanya
sebuah keluarga dihadapkan dalam sebuah permasalahan rumah tangga
dimana hal ini menganggu keseimbangan dan mencipta-kandisharmonisasi
dalam keluarga. apabila suami istri menjadi orang tua tidak bisa mengatasi
permasalahan rumah tangga yang terjadi maka akan mengakibatkan perkara
berkepanjangan sebagai akibatnya salah satu jalan keluar yang diambil untuk
keluar dari kasus rumah tangga tadi adalah dengan bercerai.(Tia
Ramadhani,Djunaedi, 2016)
Keluarga merupakan kesatuan sosial yang dibentuk oleh ikatan
pernikahan,yang mana unsur unsur dalam keluarga itu meliputi ayah, ibu, dan
anak.Sedangkan rasa kasih sayang ,cinta dalam ikatan pernikahan ,rasa aman
dan nyaman,serta tempat tinggal bagi anggota keluarga termasuk sifat sifat
keluarga.
Dalam keluarga hendaknya antara suami istri wajib terbuka ,tidak
diskomunikasi, saling menghargai, saling menerima baik kelebihan maupun
kekurangan yang ada pada individu pasangan,agar menghadapi suatu konflik
atau permasalahan bisa teratasi dengan baik dan tidak berakhir dengan
perceraian.
Santrock (2007) mengungkapkan bahwa keluarga merupakan suatu
sistem, sistem tersebut artinya suatu kesatuan yang dibentuk oleh bagian-
bagian yang saling berhubungan dan berinteraksi. Hubungan tidak pernah
hanya berlangsung satu arah, misalnya salah satu contoh penting dari interaksi
tersinkronisasi adalah saling tatap atau kontak mata antara ibu terhadap anak.
Hubungan dalam keluarga hendaknya terjalin kontak yang menyeluruh
yakni ada hubungan antara satu dengan yang lain,tidak monoton.Akan
tetapi,harus terjalin secara singkron antara orang tua dan anak.Oleh karena itu
orang tua menjadi peranan penting dalam membentuk suatu keluarga yang
sakinah,mawaddah warohmah.Selain itu keharmonisan dalam keluarga
tentunya yang di idamkan oleh pasangan suami istri adalah keturunan (anak).
Anak merupakan prioritas utama dalam keluarga.Selain saling menyayangi,
menginginkan keturunan yang baik dari seorang istri adalah menjadi impian
yang diidamkan.Karena itu istri dikatakan tidak berhasil menjadi ibu jika tidak
memiliki keturunan.Tidak memiliki keturunan juga bisa menjadi suatu konflik
masalah perpecahan dalam rumah tangga sehingga menimbulkan perceraian.
Mempunyai keluarga yang mini terdiri dari ibu, ayah, serta anak yang
penuh dengan kehangatan dan kebahagiaan merupakan virtual bagi setiap
pasangan individu yang membangun sebuah keluarga kecil. Keluarga yang
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
128 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
diharapkan oleh setiap pasangan individu pada umumnya merupakan keluarga
yang lengkap, serasi, bahagia, sejahtera, dan mempunyai keturunan. Memiliki
buah hati pada pasangan suami istri merupakan hal terpenting bagi
keberlangsungan keturunan dari sebuah keluarga. Keturunan atau anak yang
dimiliki oleh setiap pasangan diharapkan bisa menjadi anak yang sehat secara
fisik dan psikologis, tumbuh cerdas, aktif, tumbuh kembang berjalan dengan
normal sesuai dengan tahap perkembangannya.(Komang Diah Lopita Sari dan
I G.A.P. Wulan Budisetyani, 2016)
Secara umum di Indonesia keluarga yang berdasarkan ayah, ibu,dan
anak.Mereka terikat dalam sebuah pernikahan dan membentuk sebuah rumah
tangga.Pernikahan yang harmonis artinya pernikahan yang anggotanya selalu
merasa nyaman,saling mengasihi , menghormati hak dan kewajiban masing
masing dan saling mendukung , menerima setiap kekurangannya dan kelebihan
masing masing agar rumah tangga sakinah mawaddah dan warohmah.Sakinah
artinya damai dan tentram maksudnya keluarga yang didalamnya mengandung
ketenangan ,ketentraman,keamanan,dan kedamaian diantara anggota
keluarga.Mawaddah maksudnya suatu perasaan yang saling mengasihi, saling
terbuka ,saling jujur antara pasangan suami istri.Sedangkan warohmah artinya
saling menjaga ,melindungi dan memahami akan hak dan kewajiban suami
istri.Terkadang itu semua tidak mampu diwujudkan dengan baik karena
diantara suami istri saling mendurhakai.Diantaranya faktor psikologis dan
biologis seperti kurangnya rasa perhatian ,muncul rasa bosan,kurangnya
perhatian, kurangnya komunikasi.Sedangkan faktor ekonomi seperti
pemenuhan kebutuhan yang begitu banyak sehingga menyebabkan kondisi
ekonomi yang kekurangan dan memicu perselisihan yang artinya menuju
kepada perceraian.
HAKIKAT PERCERAIAN
Cerai atau talak berasal dari bahasa Arab yaitu “thalaq” yang artinya
cerai atau perceraian. Dalam istilah agama, talak artinya melepaskan ikatan
pernikahan. Perceraian tersebut ada bubarnya hubungan pernikahan, ada
pernikahan tentu ada perceraian. Oleh karena itu pernikahan adalah akhir
hayat bersama sebagai suami-istri dan perceraian merupakan akhir hayat
bersama suami-istri.(Ria Syahria, 2017).
Melepaskan ikatan pernikahan merupakan terputusnya hubungan
antara pihak suami dan istri.Dimana diantara ke dua belah pihak sudah tidak
mungkin ada kecocokan lagi baik komitmen dan realisasi antara
mereka,karena itu perceraian terjadi dalam suatu pernikahan.
Allah menetapkan hukum thalaq menjadi suatu cara menanggulangi
perselisihan suami-istri, di saat tidak ada lagi cara lain yang dapat
mengatasinya.menjatuhkan ucapan talak merupakan hak suami, dia bisa
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
129
menjatuhkannya jika dia mau. Oleh karena itu Hak diberikan kepada suami,
sebab dia menanggung biaya kebutuhan di rumah tangga, dia juga membayar
mahar ketika akad dan menafkahinya ketika dalam masa menunggu (iddah).
Tetapi menjatuhkan kata talak kepada istri tidak termasuk sikap yang mulia
dan sangat tidak disukai, hal itu termasuk kufur nikmat Allah. Sedangkan kufur
nikmat itu termasuk sikap tercela dan dilarang menurut pendapat Imam Abu
Hanifah dan Ahmad bin Hambal, menjatuhkan talak itu tidak halal, kecuali
dalam keadaan terpaksa (darurat).(Fuad Shalih, 2006)
Jika dalam suatu pernikahan atau dalam menjalin keluarga hanya
terdapat suatu permasalahan yang menimbulkan kemudhorotan dan sudah
tidak bisa dipertahankan kecuali dengan bercerai meskipun dalam islam
perceraian itu termasuk perbuatan yang dilarang dan tidak disukai Allah.
Suatu perkawinan mempunyai tujuan untuk menciptakan kehidupan
suami isteri yang serasi dalam rangka membentuk dan membina keluarga yang
sejahtera dan bahagia di sepanjang masa. Dalam relasi sebuah rumah tangga
antara suami isteri selalu mendambakan agar ikatan lahir batin yang
berdasarkan dengan akad perkawinan itu semakin kokoh terpateri sepanjang
hayat masih dikandung badan. Agama Islam telah mengatur sedemikian jelas
tentang hubungan suami isteri agar rumah tangganya penuh dengan
mawaddah wa rahmah.Akan tetapi kenyataan hidup membuktikan bahwa
menjaga kelestarian dan kesinambungan hidup bersama suami isteri itu
bukanlah suatu hal perkara yang mudah dilaksanakan, bahkan dalam banyak
hal kasih sayang dan kehidupan yang serasi antara suami isteri tidak bisa
diwujudkan.Adapun Faktor-faktor psikologi, biologis, ekonomi, perbedaan
kecenderungan, pandangan hidup, selalu muncul dalam kehidupan rumah
tangga bahkan bisa menimbulkan krisis (kesulitan ekonomi) rumah
tangga.Perceraian dalam istilah fiqh disebut dengan talak atau furqah, kata
talak artinya membuka ikatan, membatalkan perjanjian, sedangkah furqah
artinya bercerai, dalam istilah fiqh diartikan sebagai perceraian antara suami
dan istri.(Hadayati, 2016).
Menurut hukum Islam perceraian mempunyai arti;
a. Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi keterikatan dengan
ucapan tertentu
b. Melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri
c. Melepaskan ikatan akad perkawinan dengan ucapan talak atau yang sama
dengan ucapan talak.(Zahri Hamid, 1976)
Adapun perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 117
perceraian merupakan ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang
menjadi salah satu penyebab putusnya ikatan perkawinan.(Kompilasi Hukum
Islam, Pasal 117, n.d.)
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
130 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
Perceraian tersebut Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 J Undang
Undang Per kawinan.
Jadi Sebelum menjelaskan tentang perceraian dari KHI pasal 116, terlebih
dahulu akan dijelaskan pengertian perceraian menurut hukum Islam.
Perceraian dalam bahasa Arab disebut dengan istilah talaq, sedangkan talak
secara etimologi yaitu:
“Talak secara bahasa adalah melepaskan tali”.(Zainudin ibn Abdu al-Aziz al-
Malibari, Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-Aini, (Surabaya: Bengkulu Indah,
tt), h. 112., n.d.)
Dalam pengertian secara istilah umum, perceraian merupakan putusnya
interaksi atau ikatan perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan
(suami-isteri). Sedangkan pada syari’at Islam perceraian dianggap dengan
talak, yang mengandung arti divestasi atau pembebasan (divestasi suami
terhadap isterinya).
Dalam fikih Islam, perceraian atau talak artinya “bercerai lawan kata dari
berkumpul”.
Kemudian istilah ini kata talak dijadikan istilah oleh para ahli fikih yang berarti
perceraian antara suami- isteri.(Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam
Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 6., n.d.)
Sedangkan para ulama memberikanpengertian tentang perceraian (talak) yaitu:
1.Sayyid Sabiq berpendapat bahwa ;
Talak adalah melepaskan ikatan atau bubarnya hubungan perkawinan.(Sayyid
Sabiq, Fiqih Sunnnah, Jilid II, (Mesir: Dǎr al-Fikr, 1983), h. 2006. 8, n.d.)
2. Abdur Rahman al-Jaziri berpendapat bahwa ;
Talak secara istilah adalah melepaskan melepaskan status
pernikahan.(Abdurrahman Al-Jaziri, Al-fiqh ala Madzahahibil Arba’ah, Jilid
IV, (Mesir: Dar al-Fikr, 1989), h. 278., n.d.)
Talak dalam pengertian ini merupakan hilangnya ikatan atau membatasi gerak-
nya dengan kata-kata khusus, sedangkan makna adalah hilangnya ikatan
per- kawinan sehingga tidak halal lagi suami- istri bercampur.
3.al-Hamdani berpendapat bahwa ;
Bercerai adalah lepasnya ikatan dan berakhirnya hubungan perkawinan.(Al-
Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1998), h. 1., n.d.)
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
131
PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN
Adapun Faktor-Faktor Penyebab terjadinya perceraian antara suami
istri yaitu ;
a. Menurut George Levinger pada penelitiannya tahun 1966 (Ihromi, 2004:
153) menyusun 12 kategori yang menjadi alasan terjadinya perceraian
yaitu:
1. Lantaran pasangannya sering kali mengabaikan kewajiban terhadap
tempat tinggal dan anak, seperti jarang pulang ke tempat tinggal, tidak
terdapat kepastian waktu berada pada tempat tinggal, dan tidak adanya
kedekatan emosional dengan anak dan pasangan.
2. Masalah ekonomi (tidak cukupnya penghasilan yang diterima buat
menghidupi famili dan kebutuhan rumah tangga).
3. Adanya penyiksaan fisik terhadap pasangan.
4. Pasangannya tak jarang berteriak dan mengeluarkan kata-kata kasar dan
menyakitkan.
5. Tidak setia, seperti selingkuh dan tak jarang berzinah menggunakan
orang lain.
6.Ketidakcocokan dalam perkara hubungan seksual dengan pasangannya
seperti adanya keengganan atau acapkali menolak melakukan senggama,
dan tidak mampu memberikan kepuasan.
7.Sering mabuk.
8. Adanya keterlibatan/ campur tangan dan tekanan sosial berdasarkan
pihak kerabat pasangan.
9. Seringnya timbul kecurigaan, kecemburuan serta ketidakpercayaan dari
pasangannya.
10. Berkurangnya perasaan cinta sebagai akibatnya jarang berkomunikasi,
kurangnya perhatian dan kebersamaan di antara pasangan.
11. Adanya tuntutan yang di percaya terlalu berlebihan sehingga
pasangannya acapkali sebagai tidak sabar, tidak ada toleransi, dan
dirasakan terlalu menguasai.
12. Kategori lain-lain yang tidak termasuk 11 tipe keluhan di atas. (Widi Tri
Estuti, 2013)
b. Setiyanto (2005: 197) menjelaskan terdapat beberapa hal yang bisa
mengakibatkan perceraian, yaitu
(1) tidak terdapat kecocokan,
(2) adanya faktor orang ketiga,
(3) sudah tidak adanya komunikasi.
c. Sedangkan berdasarkan Dariyo(2008:167) menyebutkan terdapat beberapa
faktor yang menyebabkan terjadi perceraian suami-istri diantaranya menjadi
berikut:
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
132 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
1) Masalah keperawanan (Virginity)
Bagi seorang individu (laki-laki) yang menduga keperawanan sebagai
sesuatu yang krusial, kemungkinan kasus keperawanan akan mengganggu
proses bepergian kehidupan perkawinan, tetapi bagi pria yang nir
mempermasalahkan tentang keperawanan, kehidupan perkawinan akan bisa
dipertahankan menggunakan baik. Kenyataan pada sebagian akbar masyarakat
daerah Indonesia masih menjunjung tinggi dan menghargai keperawanan
seorang perempuan. Lantaran itu, faktor keperawanan dipercaya menjadi
sesuatu yang kudus bagi wanita yang akan memasuki pernikahan. Itulah
sebabnya, keperawanan sebagai faktor yang menghipnotis kehidupan
perkawinan seorang.
2) Ketidaksetiaan di antara pasangan hayati
Keberadaan orang ketiga (WIL/ PIL) memang akan mengganggu
kehidupan perkawinan (Soewondo, pada Munandar, 2001). Jika diantara
keduanya tidak ditemukan kata setuju buat menyelesaikan dan saling
memaafkan, akhirnya perceraianlah jalan terbaik buat mengakhiri hubungan
pernikahan itu.
3) Tekanan kebutuhan ekonomi keluarga
Sudah sewajarnya, seorang suami bertanggung jawab memenuhi
kebutuhan ekonomi keluarga. Itulah sebabnya, seorang istri berhak menuntut
supaya suami bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Bagi mereka yang
terkena PHK, hal itu dirasakan amat berat. Untuk menyelesaikan kasus itu,
kemungkinan seorang istri menuntut cerai menurut suaminya.
4) Tidak mempunyai keturunan
Kemungkinan karena tidak memiliki keturunan walaupun menjalin
interaksi pernikahan bertahun-tahun dan berupaya kemana-mana untuk
mengusahakannya, tetapi permanen saja gagal. Guna merampungkan perkara
keturunan ini, mereka sepakat mengakhiri pernikahan itu dengan bercerai
danmasing-masing memilih nasib sendiri.
5) Salah satu berdasarkan pasangan hayati meninggal dunia
Global Setelah meninggal dunia dari salah satu pasangan hidup, secara
otomatis keduanya bercerai. Apakah kematian tersebut ditimbulkan faktor
sengaja (bunuh diri) ataupun tidak sengaja (tewas dalam kecelakaan, mangkat
lantaran sakit, mangkat karenabencanaalam)tetap mensugesti terjadinya
perpisahan (perceraian) suami istri.
6) Perbedaan prinsip, ideologi atau kepercayaan
Setelah memasuki jenjang pernikahan dan kemudian mempunyai
keturunan,akhirnya mereka baru sadar adanya perbedaan disparitas itu.
Masalah mulai timbul mengenai penentuan anak wajib mengikuti genre agama
dari pihak siapa, apakah ikut ayah atau ibunya. Rupanya, hal itu tidak bisa
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
133
diselesaikan menggunakan baik sebagai akibatnya perceraianlah jalan terakhir
bagi mereka.
d. Menurut Dodi Ahmad Fauzi (Dodi Ahmad Fauzi, 2006: 4), ada beberapa
faktor-faktor penyebab perceraian antara lain merupakan sebagai berikut:
1)Ketidakharmonisan dalam tempat tinggal
Alasan tadi pada atas merupakan alasan yang paling kerap
dikemukakan oleh pasangan suami-istri yang akan bercerai.
Ketidakharmonisan mampu disebabkan sang aneka macam hal diantaranya,
krisis keuangan, krisis akhlak, dan adanya orang ketiga. Dengan kata lain,
istilah keharmonisan adalah terlalu umum sehingga memerlukan perincian
yang lebih mendetail.
2) Krisis moral dan akhlak
Selainketidakharmonisan pada tempat tinggal tangga, perceraian pula
tak jarang memperoleh landasan berupa krisis moral dan akhlak, yang dapat
dilalaikannya tanggung jawab baik sang suami ataupun istri, poligami yang
tidak sehat, penganiayaan, pelecehan dan keburukan sikap lainnya yang
dilakukan baik sang suami ataupun istri, misal mabuk, berzinah, terlibat tindak
kriminal, bahkanutang piutang.
3) Perzinahan
Di samping itu, kasus lain yang bisa mengakibatkan terjadinya
perceraian adalah perzinahan, yaitu hubungan seksual di luar nikah yang
dilakukan baik oleh suami juga istri.
4) Pernikahan tanpa cinta
Alasan lainnya yang kerap dikemukakan oleh suami dan istri, buat
mengakhiri sebuah perkawinan merupakan bahwa perkawinan mereka sudah
berlangsung tanpa dilandasi adanya cinta. Untuk mengatasi kesulitan dampak
sebuah pernikahan tanpa cinta, pasangan wajib merefleksi diri untuk tahu
kasus sebenarnya, pula wajib berupaya buat mencoba menciptakan kerjasama
pada menghasilkan keputusan yang terbaik.
5) Adanya kasus masalah pada perkawinan
Dalam sebuah perkawinan pasti tidak akan lepas menurut yang
namanya kasus. Masalah dalam perkawinan itu merupakan suatu hal yang
biasa, akan tetapi percekcokan yang berlarut-larut dan tidak bisa didamaikan
lagi secara otomatisakan disusul dengan pisah ranjang.
Dari beberapa faktor-faktor para ahli di atas, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa faktor-faktor penyebab perceraian diantaranya yaitu
adanya disparitas prinsip antara suami dan istri, kekerasan dalam tempat
tinggal, tekanan kebutuhan ekonomi, kematian, perselingkuhan, dan
ketidakharmonisan dalam rumah tangga.(Widi Tri Estuti, 2013)
TAHAP TAHAP PROSES PERCERAIAN
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
134 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
Paul Bahanon berpendapat (pada Turner &Helms, 1995; Dariyo, 2003;
Soesmaliyah Soewondo, 2001), seorang pakar psikologi famili menyampaikan
bahwa perceraian itu terjadi melalui sebuah proses. Perceraian yang dialami
oleh pasangan suami-istri terjadi melalui beberapa tahap. Oleh karena itu,
perceraian merupakan sebuah akhir dari proses yang diawali dengan peristiwa-
peristiwa tertentu yakni sinkron dengan kondisi hubungan pasangan suami-
istri, misalnya adanya perselingkuhan, apakah perselingkuhan dimulai oleh
pasangan laki- laki atau wanita, maka proses perceraian sedang terjadi, sebagai
akibatnya masing-masing pasangan siap buat berpisah antara satu dengan yang
lain (Satiadarma, 2001). Lebih lanjut, Paul Bahanon menyatakan bahwa
terdapat beberapa tahap pada proses perceraian.(Dariyo, 2004)
Adapun tahapan proses perceraian yang di kemukakan oleh Paul Bahanon
di antaranya yaitu:
1. Perceraian financial
Perpisahan antara pasangan suami- istri sangat krusial pada hal
keuangan (financial divorce), untuk memberi uang belanja keluarga pada
istrinya. Demikian juga, istri tidak mempunyai hak buat meminta jatah uang
belanja keluarga, kecuali masalah keuangan yang dipergunakan buat
memelihara anak- anaknya. Walaupun sudah bercerai, tetapi menjadi ayah, ia
tetap berkewajiban buat merawat, membiayai dan mendidik anak- anak.
Meskipun mereka sudah berstatus menjadi janda atau duda akibat
dampak dari perceraian, mereka permanen adalah orang tua biologis terhadap
anak-anak yang dilahirkan pada sebuah perkawinan yang sah menjadi anggota
keluarga. Adanya realita tadi membawa konsekuensi kewajiban yang melekat
secara alamiah bagi orangtua buat permanen memberikan biaya perawatan dan
proteksi terhadap anak-anak, sampai mereka telah berdikari atau menginjak
usia tertentu (misalnya usia 24 tahun, setelah lulus berdasarkan pendidikan
sarjana).
2. Perceraian koparental [coparetal divorce]
Setelah bercerai, masing-masing bekas pasangan suami-istri tidak lagi
memiliki kebersamaan dalam mendidik anak-anak mereka, lantaran mereka
sudah hidup terpisah dan sendiri , seperti sebelum menikah. Perceraian
koparental (coparental divorce) tidak mensugesti fungsi mereka menjadi
orangtua yang permanen wajib untuk berkewajiban buat mendidik, membina
dan memelihara anak-anak mereka. Mereka tetap berkewajiban buat mengajak
komunikasi dan memberi kasih- sayang pada anak-anak, walaupun tidak
secara utuh. Untuk melaksanakan tugas pengasuhan pasangan yang telah
bercerai, maka mereka akan melakukan perjanjian-perjanjian yang disepakati
bersama, agar anak-anak sahih benar merasakan kasih sayang dan perhatian
menurut orangtuanya.
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
135
Dalam kenyataan, banyak sekali orangtua yang merasa kecewa, terluka
dan depressif, akibatnya tidak sanggup melaksanakan tugas koparental secara
utuh dan berkesinambungan. Peristiwa perceraian selalu membayangi pikiran
dan perasaannya, sehingga sulit terlupakan, akibatnya komitmen koparental
terbengkelai sehingga mengakibatkan anak-anak semakin menjadi korban
penelantaran dari orang tua biologis (Satiadarma, dalam Gunarsa, 2004). Hal
ini sudah bisa ditebak akibatnya. Anak-anak pun semakin terluka, kecewa,
sedih dan sakit hati atas perlakuan demikian. Ibaratnya mereka sudah jatuh dari
tangga dan lalu tertimpa tangga lagi, sebagai akibatnya semakin parah
keadaannya. Jadi anak-anak tumbuh dan berkembang dalam suasana dan
situasi yang tidak menguntungkan,sehingga menjadi insan dewasa yang tidak
utuh dan mengalami keterbelahan jiwa (gangguan ekulibrium jiwa).
Keterbelahan jiwa (gangguan ekulibrium jiwa) merupakan gangguan
kejiwaan yang di alami oleh seseorang dalam suatu keluarga yang mengalami
perpisahan. Yang mana akibatnya adalah anak-anak yang akan merasakan
dampak psikisnya.
3. Perceraian Hukum
Perceraian secara resmi ditandai menggunakan sebuah keputusan
hukum melalui pengadilan (law divorce). Bagi mereka yang beragama muslim,
pengadilan agama akan mengeluarkan keputusan talak I, II dan III sebagai
landasan hukum perceraian antara pasangan suami-istri. Sedangkan pasangan
yang non-muslim;seperti Kristen Protestan, Katolik, Hindu maupun Budha),
pengadilan umum negara atau kantor catatan sipil berperan untuk memutuskan
dan mengesyahkan perceraian mereka. Dengan keluarnya keputusan resmi
tadi, maka masing- masing individu mantan pasangan suami- istri, mempunyai
hak yang sama untuk memilih masa depan hidupnya sendiri tanpa dipengaruhi
oleh pihak lain. Kini mereka memiliki status yang baru yaitu sebagai janda atau
duda.
Oleh karenanya, mereka berhak untuk menikah lagi dengan orang lain
yang dianggap cocok dengan dirinya. Mereka tidak perlu merasa takut
terhadap siapapun dalam mengambil keputusan tersebut, lantaran telah
bercerai resmi secara hukum. Dengan demikian, mereka tidak dipercaya
sebagai suatu perselingkuhan apabila berpacaran, bertunangan dan maupun
menikah dengan orang lain. Dengan kata lain mereka bebas bertindak dan
memilih pendamping pasangan hidup sesuai apa yang mereka inginkan.
4. Perceraian Komunitas
Menikah merupakan upaya untuk mengikatkan 2 (dua) komunitas
budaya, adat-kebiasaan, sistem sosial-kekerabatan juga kepribadian yang
berbeda supaya menjadi satu. Mereka bukan lagi menjadi dua orang individu
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
136 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
yang berbeda tetapi telah menganggap dirinya menjadi satu- kesatuan yang
utuh dalam keluarga. Apa yang mereka miliki akan menjadi milik bersama.
Tetapi ketika mereka telah resmi bercerai, maka masing-masing individu akan
kembali pada komunitas sebelumnya. Jadi mereka mengalami perpisahan
komunitas (community divorce). Mereka tidak lagi akan berkomunikasi,
berhubungan atau mengadakan kerja-sama dengan bekas pasangan hidupnya,
mertua, atau komunitas masyarakat sebelumnya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa perceraian komunitas keluarga juga
mempengaruhi relasi dengan komunitas tempat pekerjaan. Atasan maupun
teman- teman sekerja mempersepsikan hal-hal yang tidak baik terhadap
seseorang yang bercerai yaitu gagal dan tidak mampu mengurus keluarga,
tidak mampu membina rasa cinta dengan pasangan hidup dan tidak dapat
dipercaya untuk mengemban misi perkawinan. Akibatnya komunitas tempat
pekerjaan mengambil sikap atau menjaga jarak selama jangka saat eksklusif,
sampai kemudian terjadi pemahaman yang shahih terhadap konflik yang
mengakibatkan perceraian tersebut, sebagai akibatnya terjadi pemulihan
hubungan komunitas tempat pekerjaan.
5. Perceraian secara psiko-emosional
Sebelum bercerai secara resmi,adakalanya masing-masing individu
merasa jauh secara emosional dengan pasangan hidupnya (psycho-emotional
divorce), walaupun mungkin mereka masih tinggal dalam satu tempat tinggal.
Pertemuan secara fisik, tatap muka, berpapasan atau hidup serumah, bukan
tolok ukur menjadi tanda keutuhan hubungan suami-istri. Masing-masing
mungkin tidak bertegur-sapa, berkomunikasi, acuh tidak acuh, “cuek”, tidak
saling memperhatikan dan tidak memberi kasih-sayang. Kehidupan mereka
terasa hambar, kaku, tidak nyaman, dan tidak bahagia. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwasannya secara fisik berdekatan, akan tetapi mereka merasa
jauh dan tidak ada ikatan emosional menjadi pasangan suami-istri.
Ikatan emosional yang sudah terbentuk semenjak jatuh cinta dan
berkembang dan ketika masing-masing pasangan mengucapkan ikrar kesetiaan
dalam program ritual perkawinan, semenjak terjadi perceraian, maka ikatan
emosional tadi telah hancur dan masing-masing mencoba untuk merepress ke
dalam alam sadar. Seolah-olah mereka tidak pernah melakukan suatu
perkawinan yang resmi, atau menganggap sebagai sebuah mimpi, sehingga
pikiran dan perasaan mereka mencoba untuk meniadakan unsur keterangan
sejarah perkawinan yang pernah dialaminya
6. Perceraian secara fisik
Perpisahan secara fisik (physical divorce) merupakan suatu kondisi di
mana masing-masing individu tidak lagi tinggal dalam satu rumah dan telah
menjauhkan diri dari mantan pasangan hidupnya. Masing-masing tinggal pada
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
137
rumah atau tempat yang berbeda. Mereka benar-benar tidak bertemu secara
fisik dan tidak lagi berkomunikasi secara intensif. Dengan demikian, mereka
tidak memperoleh kesempatan untuk melakukan hubungan sexual lagi dengan
bekas pasangan hidupnya. Oleh karena itu, mereka wajib menahan diri untuk
tidak menyalurkan libido sexual dengan siapa pun. Perpisahan fisik terjadi
setelah mereka berpisah secara hukum melalui pengadilan.
Proses perpisahan secara fisik, diawali menggunakan suatu kondisi
psiko- emosional yang tidak seimbang pada diri masing-masing pasangan,
sehingga mensugesti seorang pasangan untuk tidak bertemu muka, tidak
berkomunikasi dan saling mendiamkan dengan partnernya.(Dariyo, 2004)
Dalam hal ini,setiap masing-masing pasangan mengetahui dan
menyadari kondisinya secara psikis akan hasratnya untuk tidak saling bertatap
muka dan tidak saling berkomunikasi.
PENGARUH ATAU DAMPAK PERCERAIAN
Dampak perceraian orang tua berdampak besar terhadap kemampuan
berbicara anak, karena pada saat anak kekurangan kasih sayang dan perhatian
dari yang seharusnya diberikan oleh kedua orang tuanya, maka anak biasanya
dengan sendirinya akan mencari dan mempelajari dari hal-hal yang
membuatnya merasa aman dan nyaman. Sehingga terkadang beberapa bahasa
yang digunakan oleh seorang anak yang orangtuanya bercerai cenderung kasar,
hal tersebut terjadi karena tidak adanya perhatian yang intens yang didapat
anak dari lingkungannya.(Siti Khodijah, 2018)
Anak menjadi faktor penunjang utama dalam
kehidupanberkeluarga,akibat dari perceraian orang tua anak menjadi korban
sehingga dapat menimbulkan rasa kurang aman dan nyaman baik dalam
bergaul dalam lingkungan keluarga,teman dan sekitarnya.mereka lebih
cenderung sendiri dan bertindak arogan.Oleh karena itu, mereka butuh
perhatian penuh dan kasih sayang dari kedua orang tuanya yang telah
bercerai.Adapun beberapa kemungkinan Pengaruh dan Dampak perceraian
orang tua terhadap anak yaitu:
1) Merasa tidak aman
Perasaan tidak aman (insecurity) ini menyangkut aspek financial dan
masa depan, dikarenakan seorang anak berpikir bahwa masa depannya akan
suram. Alasan ini mulai timbul karena sudah tidak adanya perhatian dari orang
tuanya, baik perhatian yang didapatkan secara materi maupun
immateri,sehingga tidak bisa dipungkiri ketika anak mulai mengalami masa
remaja mereka tidak akan lagi menghiraukan terhadap keluarga dan
lingkungannya. Biasanya anak akan cenderung introvert (menutup diri)
terhadap sosialnya sebab ia tidak lagi merasakan rasa aman saat berada di
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
138 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
lingkungan sosial dan menganggap lingkungannya adalah hal-hal yang
negative yang dapat mengancam kehidupannya.(Wasil Sarbini, 2014)
DianeS. Berry and Jane Hansen (1996:806) beranggapan bahwa
melibatkan anak dalam hal positif, bisa mempengaruhi dirinya dan lingkungan
sosialnya pada hal yg positif juga, namun berbeda saat anak melakukan hal
negative, anak tidak akan terpengaruh dalam aktifitas sosialnya, dan lebih
melakukan hal-hal yang berhubungan dengan dirinya.
2) Adanya rasa penolakan dari keluarga
Anak yang menjadi korban dari sebuah keluarga yang bercerai, akan
merasakan penolakan dari keluarga, penyebabnya adalah sikap orang tua yang
mulai berubah dikarenakan orang tuanya sudah memiliki pasangan yang baru.
Sehingga anak akan merasakan penolakan dan kehilangan orang tua aslinya.
Di sini pasikologi anak terganggu oleh tindakan orang tuanya yang bercarai.
Keceriannya sudah mulaihilang dan hanya kesedihan yang dirasakan.
Papalia Olds & Feldman (2008:41) menggambarkan, perceraian
bukanlah satu satunya kejadian melainkan runtutan dari proses yang dimulai
sebelum perpisahan fisik dan anak akan berpotensi mengalami pengalaman
stress dan menimbulkan efek psikologi yang buruk bagi anak.
3) Marah
Dengan adanya sebuah perceraian, emosi anak sering kali tidak
terkontrol dengan baik dan mereka marah yang tidak karuan, terkadang banyak
teman dekatnya yang menjadi sasaran amarahnya. Hal ini berdampak pada
psikologis anak yang memiliki sifat temperamen; lebih mudah marah karena
emosinya tidak terkontrol. Penyebabnya adalah anak sering melihat ayah dan
ibunya bertengkar, pada saat masa proses perceraian.
Amarah dan agresif adalah reaksi yang lazim dalam perceraian,
penyebabnya adalah orang tua marah di depan anaknya. Akibatnya, anak akan
menumpahkan amarahnya kepada orang lain, karena seorang anak akan
mengikuti tingkah laku orang tuanya. Bukan hanya jiwanya yang terganggu
tetapi perilakunya juga akan ikut berubah, ini akan mengakibatkan si anak suka
mengamuk dan tindakanya akan menjadi pendiam, agresif, tidak lagi ceria,
suka murung dan tidak suka bergaul dengan teman-temannya.
Menurut Papalia Olds & Feldman (2008:45) sifat marah pada anak
yang menjadi korban perceraian akan selalu terekam oleh pikiran bawah
sadarnya, disebabkankebiasaan orang tuanya yang sering bertengkar di
depannya, dan berakibat anak akan memiliki sifat temperamen yang tidak
mudah untuk dikendalikan.
4) Sedih
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
139
Anak akan merasakan rasa nyaman dengan orang tuanya yang
harmonis, namun sebaliknya,ia akan merasa tidak nyaman jika orang tuanya
berpisah, dan saat anak sudah menginjak masa remaja mereka akan merasakan
kehilangan kasih sayang sebuah keluarga. Anak yang orangtuanya bercerai
akan menampakkan gejala fisik dan stres akibat perceraian tersebut seperti
sulit tidur, kehilangan nafsu makan,hal tersebut terjadi karena kesedihan yang
yang dialaminya. Sebab fase anak yang berusia 6-17 tahun merupakan fase
belajar menyesuaikan diri dan lingkungan hidupnya. Namun, perceraian
orangtua tetap memberikan luka batin yang menyakitkan bagi anak. Sehingga
anak berpotensi menjadi anak yang ‘penyedih’ atas perceraian yang dilakukan
oleh orang tuanya.
Bird dan Melville (1994:65), orang tua yang bercerai mengakibatkan anak
akan merasa malu bahkan bersedih dengan perceraian orang tuanya, ia merasa
berbeda dari teman-temannya yang lain. Keadaan tersebut bisa merusak
konsep pribadi anak yang sering diikuti dengan depresi, marah, sedih yang
berkepanjangan, merasakan adanya penolakan, merasa rendah diri, tidak patuh
dan cenderung agresif terhadap sosialnya.
5) Kesepian
Seorang anak tentunya akan merasa kesepian dengan tidak adanya
belaian kasih sayang dari orang tuanya, anak sangat membutuhkan bimbingan
orang tuanyauntuk masa depannya. Misalnya, anak yang baru menempuh
pendidikan sekolah dasar, akan membutuhkan bimbingan orang tuanya dalam
mengerjakan tugas. Tetapi berbeda dengan mereka yang ditinggalkan kedua
orang tuanya yang bercerai, anak tersebut akan merasakan kesepian, meskipun
telah di asuh oleh saudaranya dari pihak ayah atau ibu, atau diasuh oleh salah
satu pihak: orang tuanya sebagai single parent.
Faktor-faktor yang menjadikan anak sebagai korban perceraian menurut
Papalia, Olds & Feldman (2008:54) antara lain:
I. Sikap dari pihak ayah/ibu yang tidak lagi menghiraukan perilaku
dan perkembangan anaknya, sebab mereka lebih mementingkan
egonya mencari pasangan hidup yang akan datang.
II. Tidak adanya perhatian yang didapatkan dari orang tua oleh
seorang anak, alasannya adalah mereka disibukkan dengan urusan
perceraian.
III. Orang tua Mulai mendiskreditkan anak dari hasil hubungan
sebelumnya, mereka berfikir untuk bisa mendapatkan pengganti
anak dengan pasangan yang baru
6) Menyalahkan diri sendiri
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
140 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
Menyalahkan diri sendiri merupakan gejala awal disorder personality,
dimana faktor tersebut telah dipengaruhi oleh rasa tidak aman, adanya
penolakan dari keluarga, mudah marah/temperamen, sedih yang
berkepanjangan dan merasa kesepian. Faktor tersebut berasal dari pola asuh
yang salah. Sebab dalam pola asuh ada tiga golongan yang menentukan
karakter anak, salah satunya adalah significant others yaitu orang tua dan
saudara adalah faktor utama dalam pola pengasuhan anak.(Wasil Sarbini,
2014)
Taylor(1998:64) anak yang menyalahkan dirinya sendiri akan
berakibat pada gangguan psikologinya, sebab menyalahkan diri sendiri (badly
image) merupakan awal mula gangguan psikologi yang berbahaya.Di antara
dampak negatif dari perceraian terhadap pendidikan dan perkembangan anak
antara lain:
1. Anak kurang perhatian, kasih sayang, dan tuntutan pendidikan dari orang
tua, kurangnya tuntutan pendidikan dari orangtua dikarenakan sibuk
dengan permasalahan mereka masing-masing
2. Kebutuhan fisik maupun psikis anak tidak terpenuhi, keinginan anak tidak
sesuai dengan apa yang di harapkan,
3.Mereka tidak dibiasakan disiplin dan mengontrol diri dengan baik, sehingga
anak tidak siap secara mental ataupun fisik menghadapi kehidupan
sosialnya.
4.Perceraian orang tua dapat mempengaruhi prestasi belajar anak, baik dalam
bidang studi agama maupun dalam bidang studi yang lain. Fungsi dasar
orang tua adalahbertanggung jawab terhadap pendidikannya anak dengan
serius.,bukan hanya sebatas memenuhi perlengkapan belajar anak ataupun
biaya yang dibutuhkan, melainkan bimbingan serta motivasi kepada anak,
supaya anak berprestasi dalam belajar. jika yang terjadi pada kedua orang
tua anak tersebut, maka perhatian terhadap pendidikan anak akan
terabaikan.
5.Apabila anak diasuh oleh ayah atau ibunya, kemudian ayah atau ibunya
menikah lagi dan disibukkan dengan keluarga barunya, maka anak bisa jadi
dalam hal pendidikan terabaikan, seperti seorang anak yang masih ingin
melanjutkan sekolah tidak dapat terpenuhi dikarenakan orang tuanya tidak
bisa membiayai,karena banyaknya biaya yang harus dikeluarkan untuk
keluarga barunya.
6.Menurut Sanchez kenakalan akan meningkat pada anak yang orang tuanya
bercerai, semakin banyaknya anak-anak yang mengalami gangguan
emosional dan mental, selain itu penyalahgunaan obat bius dan alkohol di
kalangan anak-anak belasan tahun, serta banyakknya angka kehamilan
diluar nikah.
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
141
7. Pengaruh terbentuknya kepribadian anak (Hadayati, 2016)
Perceraian dalam sebuah keluarga akan berdampak besar bagi kehidupan anak
secara umum. Rifa’i mengklasifikasikan dampak perceraian terhadap anak
menjadi tiga, antara lain:
a) Dampak psikologis yang membuat anak menyalahkan diri sendiri, tidak
percara diri, merasa tidak diinginkan orang tuanya serta tidak merasa aman
dan kesepian,
b) Dampak sosial yang membuat anak mengalamim perubahan perilaku yanng
cenderung ke arah negatif karena efek traumatis pasca perceraian, dan
c) Dampak pendidikan yang mencakup
d) Tidak terpenuhinya kebutuhan pendidikan, baik biaya maupun fasilitas
karena orang tua kurangnya perhatian yang serius terhadap pendidikan
anak;
a) Perceraian orang tuadapat mempengaruhi prestasi belajar anak yang
sebelumnya selalu mendapat kontrol dari orang tua sebelum terjadi konflik;
b) Anak menjadi stres akibat menanggung beban yang terlalu berat dari
perceraian orang tuanya sehingga bisa mengakibatkan putusnya
pendidikan.(Lihat Muhammad Rifa’i, Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Ar-
Ruzz Media, 2011), 67, 2011)
Cohen dan Wills (1985 dalam Bishop, 1994, h. 170)bahwasannya
dukungan sosial sebagai penolong, dan dukungan yang didapatkan seseorang
dari interaksinya dengan orang lain. Dukungan sosial muncul oleh adanya
persepsi bahwa ada orang-orang yang akan membantu jika terjadi suatu
keadaan atau peristiwa yang dapat memunculkan masalah, dan pertolongan
tersebut bisa meningkatkan perasaan positif serta mengangkat harga diri.
Sehingga mempengaruhi respon-respon dan perilaku individu dan
berpengaruh terhadap kesejahteraan perorangan secara umum.
Secara keseluruha dukungan sosial dapat mempengaruhi mental dan fisik
melalui emosi, kognisi, dan tingkah laku (S. Cohen, 1983 dalam Gottlieb,
2000).
Menurut Cohen dan Mc Kay; Wills (1984, dalam Sarafino, 1994, h.103)
perbedaan jenis dukungan sosial dibagi menjadi lima diantaranya;
(1) Dukungan Emosional. Mencakup ungkapan empati, peduli dan perhatian
terhadap orang di sekitarnya. Dukungan emosional ini memberikan rasa
aman, nyaman, danrasa dicintai oleh seseorang yang mendapatkannya.
(2) Dukungan Penghargaan. Terjadi melalui ungkapan positif untuk individu
tersebut, dengan memberikan dukungan atau persetujuan dan
perbandingan positif terhadap orang lain.
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
142 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
(3) Dukungan Instrumental. Mencakup bantuan langsung berupa jasa, waktu
dan uang.
(4) Dukungan informatif. Seperti memberi nasihat,beberapa saran, petunjuk,
informasi, dan umpan balik.
(5) Dukungan jaringan sosial. Memiliki rasa keanggotaan. Melalui jaringan
sosial, saling berbagi kebahagiaan dan kegiatan sosial.(Seffany Rulinda,
2016)
Beberapa Akibat Hukum Perceraian (Cerai Gugat)
Adanya penyebab Hukum perceraian antara lain:
1.Harta benda dalam perkawinan.
Di dalam pasal 35 UU No. 1 tahun 1974 disebutkan bahwa:
a. Harta benda diperoleh selama per- kawinan menjadi harta bersama.
b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagaimana hadiah atau warisan, adalah dibawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pada pasal 37 disebutkan, jika perkawinan putus karena perceraian, harta ber-
sama diatur menurut hukumnya masing- masing.
2.Kedudukan Anak
Berdasarkan ketentuan yang ada bahwa pemeliharaan anak, ditentukan
atas keturunan yang sah sebagai anak kandung.Sebagaimana pasal 42 Undang-
undang perkawinan, “anak yang sah adalah yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah”. Sedangkan anak yang dilahirkan
diluarpernikahan, hanya mempunyai hubungan pedata dengan ibunya dan
keluarga ibunya sesuai dengan pasal 43 ayat 1.
Pasal 156 KHI mengatur mengenai putusnya perkawinan sebagai akibat
perceraian (cerai gugat). Hal ini diungkapkan sebagai berikut:
1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadanah ibunya,
kecuali ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukanya diganti oleh:
a) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu.
b) Ayah
c) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah
d) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadanah
dari ayah atau ibunya.
3. Apabila pemegang hadanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani
dan rohani anak,meskipun biaya telah tercukupi, maka atas permintaan
kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadanah
kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadanah pula.
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
143
4. Semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan
dapat ngurus diri sendiri (21tahun).
5. Bila terjadi perselisihan mengenai hadanah dan nafkah anak, pengadilan
agama menganai putusannya berdasarkan undang-undang hak asuh anak.
6. Pengadilan dapat pula dengan mengikat kemampuan ayahnya menetapkan
jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak
turut padanya.(Azizah, 2012)
KESIMPULAN
Keluargaterdiri dari ayah, ibu dan anak. Keluarga bisa menjadi pangkal
kehidupan seseorang, sumber kasih sayang, taman pendidikan pertama, paling
penting dan dekat yang bisa dirasakan. Di dalam sebuah keluarga ada
pembelajaran tentang nilai- nilai kehidupan sosial budaya maupun agama,.
Keluarga merupakan kesatuan sosial yang dibentuk oleh ikatan
pernikahan.Interaksi dalam keluarga harus terjalin kontak yang menyeluruh
dengan adanya timbal balik antara satu dengan yang lain, dan harus terjalin
secara singkron.
Kehidupan didalam sebuah keluarga yang harmonis, merupakan suatu
bentuk keluarga yang diidamkan oleh setiap orang. Banyak pasangan yang
sudah berhasil menikah dan memiliki kehidupan yang harmonis, tidak sedikit
pula keluarga yang tidak harmonis sehingga terjadilah perceraian.Dalam
hukum islam Allah menghalalkan perceraian namun juga sangat dibenci oleh
Allah. Perceraian merupakan melepaskan ikatan pernikahan yang mana
terputusnya interaksi antara pihak suami dan istri.Dalam hukum Islam,
perceraian akan menghilangkan ikatan sebuah perkawinan dan melepaskan
ikatan akad perkawinan.Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 117
perceraian merupakan janji suami pada sidang Pengadilan dan menjadikan
putusnya sebuah ikatan perkawinan.Percraian itu sendiri terjadi karena di
dasari berbagai faktor diantaranya adalah adanya ketidakcocokan dalam
hubungan. Ada berbagai tahap dalam proses perceraian seperti, Perceraian
koparental, Perceraian Hukum, Perceraian financial, Perceraian Komunitas,
Perceraian secara psiko-emosional, dan Perceraian secara fisik.
Sedangkan dampak dari perceraian itu sendiri juga sangat banyak
terutama bagi sang anak.Akibat dari perceraian orang tua anak menjadi korban
baik secara fisik maupun psikis sehingga dapat menimbulkan rasa tidak aman
dan nyaman baik dalam bergaul dalam lingkungan keluarga, teman dan
sekitarnya. Adapun kemunngkinan dampak perceraian terhadap anak itu
sendiri adalah merasa tidak aman, penolakan yang dirasakan anak dari
keluarganya,menyalahkan diri sendiri,marah, sedih dan Kesepian.
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
144 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
REFERENSI
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-fiqh ala Madzahahibil Arba’ah, Jilid IV, (Mesir:
Dar al-Fikr, 1989), h. 278. (n.d.).
Al-Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1998), h. 1. (n.d.).
Al-Iman al-Hafiz Abi Daud Sulaiman Ibn al-Asy’ats al- Sajistani, Sunan Abi
Daud, juz II, (Indonesia: Maktabah Dahlan,), h. 154-155. (n.d.).
Azizah, L. (2012). Analisis Perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam. AL-
’ADALAH,10(4), 415–422.
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/adalah%0Ahttp://moraref.or.id
/record/view/53488
Dariyo, A. (2004). Memahami Psikologi Perceraian dalam Kehidupan
Keluarga. Jurnal Psikologi, 2(2), 94–100.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=62924&val=4564
Fuad Shalih. (2006). Fuad Shalih. (2006). Untukmu yang Akan Menikah dan
Telah Menikah. Jakarta. hlm. 424. 10.
Hadayati, R. (2016). Perceraian orang tua dan implikasinya terhadap
pendidikan anak dalam islam. Tarbiyah Islamiyah, 1(1), 77–87.
http://www.sarjanaku.com. diambil tanggal 16 Desember 2014, pukul 10.35
WITA,. (n.d.).
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1993), h. 6. (n.d.).
Karlinawati Silalahi & Eko A. Meinarno. (n.d.). Karlinawati Silalahi & Eko
A. Meinarno, Keluarga Indonesia. ( Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2010),.
Komang Diah Lopita Sari dan I G.A.P. Wulan Budisetyani. (2016). Konsep
Diri Pada Anak Dengan Orangtua Yang Bercerai. Jurnal Psikologi
Udayana, 3(2), 283–291. https://doi.org/10.24843/jpu.2016.v03.i02.p10
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 117. (n.d.).
Lihat Muhammad Rifa’i, Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Ar-Ruzz Media,
2011), 67. (2011).
Mestika Dewi. (2006). GAMBARAN PROSES MEMAAFKAN PADA
REMAJA YANG ORANG TUANYA BERCERAI. Psikologi, 4(1), 1–
13.
Ria Syahria. (2017). DAMPAK PERCERAIAN TERHADAP PERILAKU
ANAK. Hukum Dan Pranata Sosial Islam, 5(10), 787–810.
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnnah, Jilid II, (Mesir: Dǎr al-Fikr, 1983), h. 2006. 8.
(n.d.).
Seffany Rulinda. (2016). Studi mengenai Social Support pada Anak Usia 10-
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
145
12 Tahun Pasca Perceraian Orang Tua di SD M Bandung. Psikologi,
2(2), 410–416.
Siti Khodijah. (2018). Dampak Perceraian Orangtua Terhadap Kemampuan
Berbicara Pada Anak Usia 6 Tahun. Program Studi Pendidikan Anak
Usia Dini, 7(2).
Tia Ramadhani,Djunaedi, A. S. S. (2016). KESEJAHTERAAN
PSIKOLOGIS ( PSYCHOLOGICAL WELL- BEING ) SISWA YANG
ORANGTUANYA BERCERAI. Bimbingan Konseling, 5(1), 108–115.
Wasil Sarbini. (2014). KONDISI PSIKOLOGI ANAK DARI KELUARGA
YANG BERCERAI. Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasswa, 1–5.
Widi Tri Estuti. (2013). DAMPAK PERCERAIAN ORANG TUA TERHADAP
TINGKAT KEMATANGAN EMOSI ANAK KASUS PADA 3 SISWA
KELAS VIII SMP NEGERI 2 PEKUNCEN BANYUMAS.
YAYU ZAKIAH, M. S. (2018). Pengaruh perceraian orang tua terhadap
akhlak anak. Pendidikan Agama Islam, 5(2), 155–164.
Zahri Hamid. (1976). Zahri Hamid. Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam
dan Undang-undang Perkawinan Indonesia, (Yogyakarta: Bina Cipta,
1976), h.5.
Zainudin ibn Abdu al-Aziz al-Malibari, Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-
Aini, (Surabaya: Bengkulu Indah, tt), h. 112. (n.d.).