Peristiwa Sebelum Penggubalan Piagam Madinah
-
Upload
atri-apriyani -
Category
Documents
-
view
340 -
download
0
Transcript of Peristiwa Sebelum Penggubalan Piagam Madinah
PERISTIWA SEBELUM PENGGUBALAN PIAGAM MADINAH 1. PERJANJIAN AQABAH PERTAMA:
12 orang penduduk Madinah ke Makkah bertemu Rasulullah SAW, berjanji meninggalkan perkara syirik, mencuri, berzina, membunuh anak, tidak menipu serta taat perintah Rasulullah SAW.
2. PENERIMAAN MASYARAKAT YATHRIB TERHADAP AGAMA ISLAM:
Mus’ab bin Umair diutus ke Yathrib mengajar al-Quran oleh Rasulullah SAW. Dakwah Mus’ab diterima baik penduduk Aus dan Khazraj. Akhirnya ramai yang memeluk Islam.
3. PERJANJIAN AQABAH KEDUA:
Tahun berikutnya, Mus’ab membawa 73 orang lelaki dan 2 orang wanita Madinah. Mereka berbai’ah akan memelihara dan mempertahankan Rasulullah SAW, berikrar taat
setia ketika susah dan senang, tidak berpecah dan bercakap benar di mana sahaja.
KANDUNGAN PIAGAM MADINAH
Terdapat 10 Bahagian dan mengandungi 47 fasal. 23 fasal mengenal peraturan sesama Islam dan 24 fasal tentang orang Yahudi. Antara kandungannya ialah:
1. Mengakui Nabi Muhammad SAW, ketua Negara Madinah. 2. Mengakui Ansar dan Muhajirin sebagai umat yang bertanggungjawab terhadap agama,
rasul dan masyarakat Islam. 3. Setiap kaum bebas beragama dan mengamalkan cara hidup masing-masing. 4. Orang Islam dan Yahudi bertanggungjawab terhadap keselamatan Negara daripada
serangan musuh. 5. Orang Yahudi dibenarkan hidup dengan cara mereka serta menghormati orang Islam
tetapi tidak dibenarkan melindungi orang Musyrikin Quraisy. 6. Setiap masyarakat bertanggungjawab menjaga keselamatan dan mengekalkan perpaduan
di Madinah. 7. Setiap individu tidak boleh menyakiti dan memusuhi individu atau kaum lain. Hendaklah
tolong-menolong demi pembangunan, ekonomi, dan keselamatan. 8. Setiap kaum perlu merujuk Rasulullah SAW (ketua negara) jika berlaku perbalahan. 9. Mana-mana pihak dilarang berhubungan dengan pihak luar terutama Musyrikin Mekah
dan sekutu mereka. 10. Piagam ini mempunyai kuasa melindungi pihak yang mempersetujuinya dan hak
mengambil tindakan pada sesiapa yang melanggarnya.
Piagam Madinah Sebagai Konstitusi Negara Islam Pertama
Piagam Madinah (Madinah Charter/Al-Ahd bi Al-Madinat/Ash-Shahifah) sering dianggap
sebagai dasar dari pembentukan negara Islam pertama di Madinah. Dan Nabi Muhammad
dipercayai sebagai peletak dasar negara itu.
Memang, tidak semua sepakat tentang konklusi ini. Ada sebagian kalangan justru tidak
memandang Piagam Madinah sebagai dokumen politik. Dan lebih jauh, mereka pun tidak
memandang Nabi Muhammad sebagai figure politik, karena menurut mereka, Islam memang
tidak berbicara soal politik, termasuk berbicara tentang konsep negara. Pendapat semacam ini
salah satunya digagas oleh Ali Abdur Raziq melalui bukunya yang kontroversial “al-Islam wa al-
Ushul al-Hukmi: Bahstun Fi al-Khilafati wa al-Hukumati fi al-Islam”. Dalam bukunya tersebut
dia menyimpulkan beberapa hal penting, di antaranya bahwa Nabi tidak membangun negara
dalam otoritas spiritualnya. Pendapat ini kemudian diadopsi oleh kalangan Islam Liberal dan
kaum sekularis lainnya di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Hanya saja, pendapat demikian banyak mendapat tentangan dari mayoritas umat, khususnya
kalangan ulama dan cendikiawan muslim. Bahkan para peneliti dari dunia Barat pun tak sedikit
yang berpendapat, bahwa Islam adalah agama (ruhiyah) dan politik (siyasiyah/siyasah), dan
bahwa Muhammad adalah figure politik. Salah satu buktinya adalah keberadaan Piagam
Madinah yang klausul-klausulnya sarat dengan statemen dan kebijakan politik.
Di antara yang berpendapat demikian adalah Muhammad Husain Haikal yang menyebut, bahwa
kehadiran Muhammad di Madinah merupakan fase politik dimana beliau telah meletakkan dasar
kesatuan politik dengan Islam sebagai landasannya. Begitupun beliau menyebut Piagam
Madinah sebagai sebuah dokumen politik. Senada dengan itu, Ismail R Al-Faruqi dan Lois
Lamya Al-Faruqi menyebut bahwa Muhammad adalah pemimpin negara dan pemakluman
Piagam Madinah yang mereka sebut sebagai konstitusi pertama dalam sejarah manusia ini
sebagai awal berdirinya negara Islam pertama. Bahkan Dalam Al-Watsâ’iq as-Siyâsiyyah li
al-’Ahdi an-Nabawi wa al-Khilâfah ar-Rasyîdah (Dokumen Politik era Nabi dan Khilafah
Rasyidah) yang ditulis oleh Muhammad Hamidullah dan dalam kitab Fiqh as-Sîrah karya Dr.
Said Ramadhan al-Buthi piagam tersebut jelas-jelas dinyatakan sebagai konstitusi negara.
Adapun sarjana Barat yang mengakui Piagam Madinah sebagai dokumen politik diantaranya
H.R. Gibb dan Montgomery Watt. H.R. Gibb dalam komentarnya menyatakan bahwa isi Piagam
Madinah pada prinsipnya telah meletakkan dasar-dasar sosial politik bagi masyarakat Madinah
yang juga berfungsi sebagai undang-undang, dan merupakan hasil pemikiran serta inisiatif
Muhammad sendiri. Sementara itu, Montgomery Watt lebih tepat lagi menyatakan: bahwa
Piagam Madinah tidak lain adalah suatu konstitusi yang menggambarkan bahwa warga Madinah
saat itu bisa dianggap telah membentuk satu kesatuan politik dan satu persekutuan yang diikat
oleh perjanjian yang luhur diantara para warganya.
Piagam Madinah Sebagai Dasar Kesatuan Politik
Sebagaimana diketahui, ketika Rasul saw mendirikan negara Madinah, masyarakat madinah
terdiri dari beberapa kelompok. Pertama, kelompok kaum muslim dari kalangan kaum muhajirin
dan anshar, dan ini adalah kelompok mayoritas. Kedua, kelompok musyrik yang berasal dari
kabilah-kabilah yang ada di Madinah. Mereka sudah terwarnai oleh opini Islam dan tidak lagi
nampak sebagai masyarakat tersendiri. Ketiga, kelompok Yahudi dari berbagai kabilah yang
tinggal di wilayah Kota Madinah, termasuk Yahuni Bani Qainuqa, dan kelompok yahudi yang
tinggal di luar kota madinah yaitu Yahudi Bani Nadhir dan Bani Quraidzah. Kelompok Yahudi
ini merupakan komunitas yang terpisah dengan komunitas kaum muslim, pemikiran dan
perasaan mereka berbeda dengan kaum muslim. Begitu pula metode pemecahan masalah
diantara mereka. Sehingga mereka merupakan kelompok masyarakat tersendiri yang terpisah
dari masyarakat Madinah.
Yahudi sejak lama telah mengintimidasi masyarakat Madinah. Oleh karenanya mereka
merupakan masalah yang mungkin muncul paling awal ketika negara Madinah baru berdiri.
Masalah ini memerlukan solusi. Maka segera setelah Rasulullah Saw hijrah dan melakukan
peleburan dan penyatuan seluruh kaum Muslimin hingga kondisinya stabil dan kokoh, baik
melalui strategi muakho (mempersaudarakan kaum Muslim dengan persaudaraan yang kuat dan
berimplikasi pada aspek mu’amalah, harta dan urusan mereka) maupun pembangunan mesjid
yang berpengaruh pada pembinaan ruhiyah mereka, pada tahun 622 M Rasulullah saw menyusun
teks perjanjian yang mengatur interaksi antar kaum muslim dan sesama warga negara, hak dan
kewajiban warga negara dan hubungan luar negeri. Piagam ini juga secara khusus mengatur dan
membatasi secara tegas posisi kaum Muslim dan kaum Yahudi, mengatur interaksi di antara
mereka dan merumuskan kewajiban-kewajiban yang harus mereka pikul dengan kebijakan
khusus. Dengan kata lain, sebagaimana disebutkan oleh Jaih Mubarak , Piagam Madinah telah
menjadi dasar persatuan penduduk Yatstrib yang terdiri atas Muhajirin, Anshar dan Yahudi.
Dengan piagam inilah, kewibawaan negara Islam dan supremasi hukumnya bisa tegak. Dan ini
merupakan modal awal bagi negara yang baru berdiri untuk menjaga stabilitas dalam negerinya
dan fokus pada upaya membangun berbagai aspek yang menjadi jalan bagi terealisasinya
pengaturan berbagai urusan umat, baik di dalam maupun di luar negeri. Melaui Piagam Madinah,
semua warga Madinah saat itu meskipun mereka berasal dari berbagai suku (plural/heterogen)
dipersatukan sebagai satu komunitas (ummah). Hubungan antara sesama warga yang muslim dan
yang non muslim didasarkan atas prinsip-prinsip bertetangga yang baik, saling membantu dalam
menghadapi agresi dari luar dan menghormati kebebasan beragama. Melalui perjanjian ini pula
seluruh warganegara (baik muslim maupun non muslim), maupun negara bertetangga yang
terikat dengan perjanjian terjamin hak dan kewajiban politiknya secara adil dan merata.
Dari semua penjelasan di atas, jelas, bahwa persyaratan sebuah negara, walaupun masih
sederhana, telah terpenuhi di Madinah, yakni ada wilayah, pemerintahan, negara, rakyat,
kedaulatan dan ada konstitusi. Hal ini sekaligus menampik pendapat-pendapat yang menolak
adanya hubungan antara agama Islam dengan politik kenegaraan.
Klausul Politik Dalam Piagam Madinah
Teks Piagam Madinah dapat kita rujuk dalam buku-buku sirah dan tarikh karya para ulama
terdahulu. Piagam ini secara lengkap diriwayatkan oleh Ibn Hisyam (w. 213 H) dan Ibn Ishaq (w.
151 H), dua penulis muslim yang mempunyai nama besar dalam bidangnya. Menurut penelitian
Ahmad Ibrahim al-Syarif, tidak ada periwayat lain sebelumnya selain kedua penulis di atas yang
meriwayatkan dan menuliskannya secara sistematis dan lengkap. Meskipun demikian, tidak
diragukan lagi kebenaran dan keotentikan piagam tersebut, mengingat gaya bahasa dan
penyusunan redaksi yang digunakan dalam Piagam Madinah ini setaraf dan sejajar dengan gaya
bahasa yang dipergunakan pada masanya. Demikian pula kandungan dan semangat piagam
tersebut sesuai dengan kondisi sosiologis dan historis zaman itu. Keotentikan Piagam Madinah
ini diakui pula oleh William Montgomery Watt, yang menyatakan bahwa dokumen piagam
tersebut, yang secara umum diakui keotentikannya, tidak mungkin dipalsukan dan ditulis pada
masa Umayyah dan Abbasiyah yang dalam kandungannya memasukkan orang non muslim ke
dalam kesatuan ummah.
Menurut Muhammad Hamidullah yang telah melakukan penelitian terhadap beberapa karya tulis
yang memuat Piagam Madinah, bahwa ada sebanyak 294 penulis dari berbagai bahasa. Yang
terbanyak adalah dalam bahasa Arab, kemudian bahasa-bahasa Eropa. Hal ini menunjukkan
betapa antusiasnya mereka dalam mengkaji dan melakukan studi terhadap piagam peninggalan
Nabi.
Dalam teks aslinya, Piagam Madinah ini semula tidak terdapat pasal-pasal. Pemberian pasal-
pasal sebanyak 47 itu baru kemudian dilakukan oleh A.J. Winsick dalam karyanya Mohammed
en de joden te Madina, tahun 1928 M yang ditulis untuk mencapai gelar doktornya dalam sastra
semit. Melalui karyanya itu, Winsick mempunyai andil besar dalam memasyarakatkan Piagam
Madinah ke kalangan sarjana Barat yang menekuni studi Islam. Sedangkan pemberian bab-bab
dari 47 pasal itu dilakukan oleh Zainal Abidin Ahmad yang membaginya menjadi 10 bab.
Berikut petikan lengkap terjemahan Piagam Madinah yang terdiri dari 47 pasal:
I. PREAMBULE
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ini adalah piagam dari
Muhammad, Rasulullah SAW, di kalangan mukminin dan muslimin (yang berasal) dari Quraisy
dan Yatsrib (Madinah), dan yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama
mereka.
II. PEMBENTUKAN UMAT
Pasal 1: Sesungguhnya mereka satu umat, lain dari (komunitas) manusia lain.
Pasal 2: Kaum Muhajirin (pendatang) dari Quraisy sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-
membahu membayar diat di antara mereka dan mereka membayar tebusan tawanan dengan cara
yang baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 3: Banu ‘Awf, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di
antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil
di antara mukminin.
Pasal 4: Banu Sa’idah, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di
antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang
baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 5: Banu al-Hars, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di
antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang
baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 6: Banu Jusyam, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di
antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang
baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 7: Banu al-Najjar, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di
antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang
baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 8: Banu ‘Amr Ibn ‘Awf, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar
diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara
yang baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 9: Banu al-Nabit, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di
antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang
baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 10: Banu al-’Aws, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di
antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang
baik dan adil di antara mukminin.
III. PERSATUAN SEAGAMA
Pasal 11: Sesungguhnya mukminin tidak boleh membiarkan orang yang berat menanggung utang
di antara mereka, tetapi membantunya dengan baik dalam pembayaran tebusan atau diat.
Pasal 12: Seorang mukmin tidak dibolehkan membuat persekutuan dengan sekutu mukmin
lainnya, tanpa persetujuan dari padanya.
Pasal 13: Orang-orang mukmin yang takwa harus menentang orang yang di antara mereka
mencari atau menuntut sesuatu secara zalim, jahat, melakukan permusuhan atau kerusakan di
kalangan mukminin. Kekuatan mereka bersatu dalam menentangnya, sekalipun ia anak dari salah
seorang di antara mereka.
Pasal 14: Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran (membunuh)
orang kafir. Tidak boleh pula orang mukmin membantu orang kafir untuk (membunuh) orang
beriman.
Pasal 15: Jaminan Allah satu. Jaminan (perlindungan) diberikan oleh mereka yang dekat.
Sesungguhnya mukminin itu saling membantu, tidak tergantung pada golongan lain.
IV. PERSATUAN SEGENAP WARGA NEGARA
Pasal 16: Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan
santunan, sepanjang (mukminin) tidak terzalimi dan ditentang (olehnya).
Pasal 17: Perdamaian mukminin adalah satu. Seorang mukmin tidak boleh membuat perdamaian
tanpa ikut serta mukmin lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Allah Allah, kecuali atas
dasar kesamaan dan keadilan di antara mereka.
Pasal 18: Setiap pasukan yang berperang bersama kita harus bahu-membahu satu sama lain.
Pasal 19: Orang-orang mukmin itu membalas pembunuh mukmin lainnya dalam peperangan di
jalan Allah. Orang-orang beriman dan bertakwa berada pada petunjuk yang terbaik dan lurus.
Pasal 20: Orang musyrik (Yatsrib) dilarang melindungi harta dan jiwa orang (musyrik) Quraisy,
dan tidak boleh bercampur tangan melawan orang beriman.
Pasal 21: Barang siapa yang membunuh orang beriman dan cukup bukti atas perbuatannya, harus
dihukum bunuh, kecuali wali si terbunuh rela (menerima diat). Segenap orang beriman harus
bersatu dalam menghukumnya.
Pasal 22: Tidak dibenarkan bagi orang mukmin yang mengakui piagam ini, percaya pada Allah
dan Hari Akhir, untuk membantu pembunuh dan memberi tempat kediaman kepadanya. Siapa
yang memberi bantuan atau menyediakan tempat tinggal bagi pelanggar itu, akan mendapat
kutukan dan kemurkaan Allah di hari kiamat, dan tidak diterima daripadanya penyesalan dan
tebusan.
Pasal 23: Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah
‘azza wa jalla dan (keputusan) Muhammad SAW.
V. GOLONGAN MINORITAS
Pasal 24: Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.
Pasal 25: Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi
agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi
sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan
merusak diri dan keluarganya.
Pasal 26: Kaum Yahudi Banu Najjar diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 27: Kaum Yahudi Banu Hars diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 28: Kaum Yahudi Banu Sa’idah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 29: Kaum Yahudi Banu Jusyam diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 30: Kaum Yahudi Banu al-’Aws diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 31: Kaum Yahudi Banu Sa’labah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf, kecuali
orang zalim atau khianat. Hukumannya hanya menimpa diri dan keluarganya.
Pasal 32: Suku Jafnah dari Sa’labah (diperlakukan) sama seperti mereka (Banu Sa’labah).
Pasal 33: Banu Syutaybah (diperlakukan) sama seperti Yahudi Banu ‘Awf. Sesungguhnya
kebaikan (kesetiaan) itu lain dari kejahatan (khianat).
Pasal 34: Sekutu-sekutu Sa’labah (diperlakukan) sama seperti mereka (Banu Sa’labah).
Pasal 35: Kerabat Yahudi (di luar kota Madinah) sama seperti mereka (Yahudi).
VI. TUGAS WARGA NEGARA
Pasal 36: Tidak seorang pun dibenarkan (untuk perang), kecuali seizin Muhammad SAW. Ia
tidak boleh dihalangi (menuntut pembalasan) luka (yang dibuat orang lain). Siapa berbuat jahat
(membunuh), maka balasan kejahatan itu akan menimpa diri dan keluarganya, kecuali ia
teraniaya. Sesungguhnya Allah sangat membenarkan (ketentuan) ini.
Pasal 37: Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya, dan bagi kaum muslimin ada kewajiban biaya.
Mereka (Yahudi dan muslimin) bantu-membantu dalam menghadapi musuh Piagam ini. Mereka
saling memberi saran dan nasihat. Memenuhi janji lawan dari khianat. Seseorang tidak
menanggung hukuman akibat (kesalahan) sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak yang
teraniaya.
Pasal 38: Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.
VII. MELINDUNGI NEGARA
Pasal 39: Sesungguhnya Yatsrib itu tanahnya “haram” (suci) bagi warga Piagam ini.
Pasal 40: Orang yang mendapat jaminan (diperlakukan) seperti diri penjamin, sepanjang tidak
bertindak merugikan dan tidak khianat.
Pasal 41: Tidak boleh jaminan diberikan, kecuali seizin ahlinya.
VIII. PIMPINAN NEGARA
Pasal 42: Bila terjadi suatu peristiwa atau perselisihan di antara pendukung Piagam ini, yang
dikhawatirkan menimbulkan bahaya, diserahkan penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah
‘azza wa jalla, dan (keputusan) Muhammad SAW. Sesungguhnya Allah paling memelihara dan
memandang baik isi Piagam ini.
Pasal 43: Sungguh tidak ada perlindungan bagi Quraisy (Mekkah) dan juga bagi pendukung
mereka.
Pasal 44: Mereka (pendukung Piagam) bahu-membahu dalam menghadapi penyerang kota
Yatsrib.
IX. POLITIK PERDAMAIAN
Pasal 45: Apabila mereka (pendukung piagam) diajak berdamai dan mereka (pihak lawan)
memenuhi perdamaian serta melaksanakan perdamaian itu, maka perdamaian itu harus dipatuhi.
Jika mereka diajak berdamai seperti itu, kaum mukminin wajib memenuhi ajakan dan
melaksanakan perdamaian itu, kecuali terhadap orang yang menyerang agama. Setiap orang
wajib melaksanakan (kewajiban) masing-masing sesuai tugasnya.
Pasal 46: Kaum yahudi al-’Aws, sekutu dan diri mereka memiliki hak dan kewajiban seperti
kelompok lain pendukung Piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan penuh dari semua
pendukung Piagam ini. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu berbeda dari kejahatan
(pengkhianatan). Setiap orang bwertanggungjawab atas perbuatannya. Sesungguhnya Allah
paling membenarkan dan memandang baik isi Piagam ini.
X. PENUTUP
Pasal 47: Sesungguhnya Piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar
(bepergian) aman, dan orang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat.
Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan takwa. Dan Muhammad Rasulullah SAW.
Jika disimpulkan, secara garis besar Piagam Madinah ini mengatur :
Pertama, interaksi antar kaum mukmin (klausul no. 1-15 dan 17-24)
Kedua, Interaksi kaum mukmin (muslim) dengan warga negara non muslim (Yahudi) yang
tunduk kepada hukum Islam sebagai seorang kafir dzimmi. Antara lain :
• “dan bahwa orang-orang Yahudi yang mengikuti langkah kami, maka mereka memperoleh
perlindungan dan hak yang sama, mereka tidak akan dimusuhi dan tidak pula dianiaya”(klausul
16);
• “dan bahwa orang Yahudi akan mendapat pembagian harta bersama kaum mukmin selama
mereka ikut berperang (bersama kaum mukmin)” (klausul 25)
Ketiga, hukum yang diterapkan adalah hukum Islam, dimana jika terjadi perselisihan maka solusi
dan hukumnya dikembalikan kepada hukum Islam. “dan bahwa kalian, apapun yang kalian
berselisih tentang sesuatu maka tempat kembalinya adalah kepada Muhammad saw”.(klausul 24)
Keempat, interaksi kaum muslim dengan komunitas yahudi yang ikut menandatangani Piagam
Madinah (Yahudi Bani ‘Awf, Bani an-Najjâr, al-Hârits, Sâ’adah, al-Aws, Tsa’labah, Jusyam,
Jufnah Buthn min Tsa’labah, Bani asy-Syatîbah, Sekutu Tsa’labah dan teman-teman dekat
mereka). Diantaranya :
• Kedekatan dan Kekerabatan Yahudi berlaku antar mereka (klausul 35, 36)
• “Tidak seorangpun dari mereka boleh keluar (dari Madinah) kecuali dengan izin Muhammad
saw” (Klausul 37)
• Mereka tidak boleh bekerja sama dengan dan atau memberi bantuan kepada kafir Quraisy
(klausul 45-47)
• Kota Madinah harus menjadi kota suci (harus dijaga) oleh semua orang yang menandatangai
Piagam Madinah, (kalusul 41-43).
• “Bahwa peristiwa atau perselisihan yang terjadi diantara orang-orang yang menandatangai
piagam ini, yang dikhawatirkan menimbulkan kerusakan, maka tempat kembalinya kepada Allah
‘Ajja wa Jalla dan kepada Muhammad Rasulullah saw, dan bahwa Allah menjaga dan berbuat
baik kepada orang-orang yang menandatangani piagam ini.” (Klausul no. 44)
Dalam piagam ini belum disebutkan Yahudi Bani Qainuqa’, Bani Nadhir dan Bani Quraidzah.
Hal itu karena pada awalnya mereka menolak menandatangani perjanjian Piagam Madinah itu.
Namun tidak lama kemudian mereka ikut menyetujui dan menandatanganinya, dan dibuat
perjanjian khusus dengan mereka semisal perjanjian Piagam Madinah ini.
Penutup
Dari paparan singkat ini, jelas bahwa dari sisi komposisi masyarakat Madinah yang diakui dalam
Piagam Madinah itu memang terdiri dari beberapa kelompok komunitas (plural). Namun semua
kelompok itu tunduk kepada sistem dan hukum Islam . Dalam masalah mu’amalah dan uqubat,
orang-orang musyrik dan komunitas Yahudi, semuanya tunduk kepada sistem dan hukum Islam,
sebagaimana juga warga negara Muslim. Setiap persengketaan terkait masalah-masalah
mu’amalah dan uqubat yang terjadi di antara mereka, baik yang seagama maupun antar agama,
seluruhnya dikembalikan pada hukum-hukum Islam (Lihat klausus 42). Sementara dalam
masalah aqidah, ibadah dan ahwal asy-syakhsiyah, mereka dibiarkan dengan keyakinan masing-
masing dan tidak dipaksa untuk memeluk Islam.
Seluruh warga negara, Muslim maupun Non Muslim berkedudukan sama di hadapan hukum,
memiliki hak dan kewajiban yang sama dan adil tanpa ada diskriminasi. Mereka juga
berkewajiban menjaga stabilitas negara secara bersama-sama, tidak bebas membentuk kelompok
atau bekerjasama/berkonspirasi dengan komunitas lain, tanpa perkenan dari Rasul saw sebagai
kepala negara. Merekapun tidak boleh keluar dari Madinah tanpa ijin Rasulullah saw. Menurut
piagam Madinah itu, kekuasaan ada ditangan Rasul dan kaum muslim. Karena komunitas kaum
musyrik dan komunitas kaum Yahudi justru tunduk kepada Rasulullah saw sebagai kepala
Negara Islam Madinah.[SNA]
Proses Terbentuknya Madinah
Sejarah
Kota Madinah pada masa sebelum perkembangan Islam dikenal dengan nama
Yathsrib. Dikenal sebagai pusat perdagangan. Kemudian ketika Nabi Muhammad
SAW hijrah dari Mekkah kota ini diganti namanya menjadi Madinah sebagai pusat
perkembangan Islam sampai beliau wafat dan dimakamkan di sana. Selanjutnya
kota ini menjadi pusat penerus Nabi Muhammad yang dikenal dengan pusat
khalifah. Terdapat tiga Khalifah yang memerintah dari kota ini yakni Abu Bakar,
Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan. Pada masa Ali bin Abi Thalib pemerintahan
dipindahkan ke Kufah di Irak karena terjadi gejolak politik akibat terbunuhnya
khalifah Utsman oleh kaum pemberontak. Selanjutnya ketika kekuasaan beralih
kepada bani Umayyah, maka pemerintahan dipindahkan ke Damaskus dan ketika
pemerintahan berpindah kepada bani Abassiyah, pemerintahan dipindahkan ke
kota Baghdad. Pada masa Nabi Muhammad SAW, penduduk kota Madinah adalah
orang yang beragama Islam dan orang Yahudi yang dilindungi keberadaannya.
Namun karena penghianatan yang dilakukan terhadap penduduk Madinah ketika
perang Ahzab, maka kaum Yahudi diusir keluar Madinah.
Kini Madinah bersama kota suci Mekkah dibawah pelayanan pemerintah kerajaan
Arab Saudi yang merupakan pelayan kedua kota suci
Masyarakat Madinah Sebelum dan Sesudah Islam Datang
Nabi saw. dan para sahabatnya banyak melakukan perubahan strategi dalam
mendakwahkan Islam setelah bermukim di Madinah. Jika di Mekah Nabi saw. dan
para sahabat banyak mendapatkan hambatan dari para penduduk asli Mekah maka
tidak demikian halnya di Madinah yang ternyata para penduduknya justru banyak
mendukung perjuangan Nabi saw. dan para sahabatnya. Di sinilah babak baru Islam
dimulai dan hari demi hari Islam terus berkembang hingga mencapai
perkembangan yang luar biasa. Di Madinahlah Nabi saw. dan para sahabat berhasil
membentuk masyarakat muslim dan negara Islam yang menjadi bagian dari
negara-negara yang eksis di mata dunia saat itu. Tentu saja perjuangan yang taktis
dan hebat dari Nabi saw. dan para sahabatnya seperti itu perlu diteladani, terutama
oleh umat Islam, dalam membangun tatanan masyarakat modern yangkompleks.
Miniatur negara Madinah pada waktu itu mewakili bentuk negara modern pada
saatnya. Karena itu, prinsip-prinsip dasar yang dibangun Nabi saw. dan para
sahabatnya patut untuk diaplikasikan di era sekarang ini.
Nabi Muhammad saw. ke Madinah, di samping karena tidak memungkinkannya Nabi
saw. untuk tetap di Mekah, karena para pengikut Nabi saw. yang berada di Madinah
sangat menanti-nantikan agar Nabi saw. segera berpindah ke sana untuk
membangun pusat dakwah Islam. Kedatangan Nabi Muhammad saw. ke Madinah
tidaklah seorang diri, tetapi diikuti oleh para sahabatnya dari Mekah dan yang
disebut Muhajirin (orang-orang yang hijrah). Orang-orang Madinah yang sudah
menjadi muslim (Ansar) sangat senang menerima kehadiran nabi saw. dan kaum
Muhajirin.
Setibanya di Madinah, Nabi Muhammad saw. Segera membangun masjid. Masjid
inilah yang kemudian dijadikan Nabi saw. sebagai pusat kegiatan dakwah Islamnya.
Di masjid ini Nabi saw. dan para sahabatnya melakukan ibadah, melakukan
pertemuan, melakukan kegiatan belajar mengajar, mengadili suatu perkara,
bermusyawarah, dan lain sebagainya. kedatangan Nabi saw. ke Madinah juga
menandai dimulainya kehidupan politik umat Islam dalam bentuk tatanan
masyarakat dan negara, yaitu negara Madinah. Di madinah ini lahir masyarakat
Islam yang bebas dan merdeka di bawah kepemimpinan Nabi saw.
Di zaman sekarang ini masyarakat yang dibangun Nabi saw. di Madinah itu dikenal
dengan sebutan masyarakat madani. Masyarakat madani (al-mujtama’ al -madaniy)
dapat dipahami sebagai masarakat yang beradab, masyarakat sipil, dan
masyarakat yang tinggal di suatu kota yang penuh dengan kompleksitas dan
pluralitas. Masyarakat Madinah adalah masyarakat plural yang terdiri atas berbagai
suku, golongan, dan agama. Islam datang ke Madinah dengan bangunan konsep
ketatanegaraan yang mengikat aneka ragam suku, konflik, dan perpecahan. Negara
Madinah dibangun di atas dasar ideologi yang mampu menyatukan jazirah Arab di
bawah bendera Islam. Ini adalah babak baru dalam sejarah politik di Jazirah Arab.
Islam membawa perubahan radikal dalam kehidupan individual dan sosial madinah
karena kemampuannya memengaruhi kualitas seluruh aspek kehidupan. Prinsip-
prinsip dasar politik dalam membangun negara Madinah ini kemudian diabadikan
dalam bentuk piagam yang sekarang disebut Piagam Madinah.
1. Prinsip-prinsip Masyarakat Madani
Menurut al-Umari (1995), ada beberapa prinsip dasar yang dapat diidentifikasi
dalam pembentukan masyarakat madani, di antaranya adalah 1) adanaya sistem
muakhkhah (persaudaraan), 2) ikatan iman, 3) ikatan cinta, 4) persamaan si kaya
dan si miskin, dan 5) toleransi umat beragama.
Pertama, sistem muakhkhah. Muakhkhah berarti persaudaraan. Islam memandang
orang-orang muslim sebagai saudara (Q.S al-Hujurat (49):10). Membangun suatu
hubungan persaudaraan yang akrab dan tolong-menolong dalam kebaikan adalah
kewajiban bagi setiap muslim. Sistem persaudaraan ini dibangun Nabi saw. sejak
beliau masih berdomisili di Mekah atas dasar kesetiaan terhadap kebenaran dan
saling menolong. Setelah nabi saw. di Madinah, sistem ini terus dimantapkan
sebagai modal untuk membangun negara yang kuat. Persaudaraan antara kaum
Muhajirin (pendatang dari Mekah) dan Ansar (penduduk asli Madinah) segera dijalin
oleh nabi saw. Sistem Muakhkhah ini dirumuskan dalam perundang-undangan
resmi. Perundang-undangan ini menghasilkan hak-hak khusus di antara kedua
belah pihak (Muhajirin dan Ansar) yang menjadi saudara, sampai-sampai ada yang
saling mewarisi meskipun tidak ada hubungan kekerabatan.
Kedua, ikatan iman. Islam menjadikan ikatan iman sebagai dasar paling kuat yang
dapat mengikat masyarakat dalam keharmonisan, meskipun tetap membolehkan,
bahkan mendorong bentuk-bentuk ikatan lain, seperti kekeluargaan sepanjang
tidak bertentangan dengan prinsip agama. Masyarakat Madinah dibangun oleh Nabi
saw. di atas keimanan dan keteguhan terhadap Islam yang mengakui persaudaraan
dan perlindungan sebagai suatu yang datang dari Allah, Rasul-Nya dan kaum
muslimin semuanya.
Ketiga, ikatan cinta. Nabi saw. membangun masyarakat Madinah atas dasar cinta
dan tolong-menolong. Hubungan antara sesama mukmin berpijak atas dasar saling
menghormati. Orang kaya tidak memandang rendah orang miskin, tidak juga
pemimpin terhadap rakyatnya, atau yang kuat terhadap yang lemah. Fondasi cinta
ini dapat diperkukuh dengan saling memberikan hadiah dan kenang-kenangan.
Dengan cinta inilah masyarakat Madinah dapat membangun masyarakat yang kuat.
Keempat, persamaan si kaya dan si miskin. Dalam masyarakat Madinah si kaya dan
si miskin mulai berjuang bersama atas dasar persamaan Islam dan mencegah
munculnya kesenjangan kelas dalam masyarakat.
Kelima, toleransi umat beragama. Toleransi yang dilaksanakan pada masyarakat
Madinah antara sesama agama (Islam), seperti yang dilakukan antara kaum
Muhajirin dan kaum Ansar, dan adakalanya antara kaum muslimin dengan kaum
Yahudi yang berbeda agama. Toleransi ini diikat oleh aturan-aturan yang kemudian
terdokumentasi dalam Piagam Madinah.
Itulah lima prinsip dasar yang dibuat oleh Nabi saw. untuk mengatur masyarakat
Madinah yang tertuang dalam suatu piagam yang kemudian dikenal dengan nama
Piagam Madinah. Masyarakat pendukung piagam ini memperlihatkan karakter
masyarakat majemuk, baik ditinjau dari segi etnis, budaya, dan agama. Di
dalamnya terdapat etnis Arab Muslim, Yahudi, dan Arab Non Muslim.
2. Hal-hal yang Dapat Diteladani
Bangsa dan negara kita, Indonesia, sekarang ini sedang gencarnya mewujudkan
masyarakat madani di Indonesia. Sudah menjadi kewajiban kita bersama, selaku
warga negara Indonesia, untuk berperan serta dalam usaha bersama bangsa kita
mewujudkan masyarakat madani (civil society) di negara kita tercinta, Republik
Indonesia. Terbentuknya masyarakat madani di negara kita merupakan bagian
mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yakni mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Nabi saw. membangun masyarakat Madinah yang berperadaban memakan waktu
yang cukup lama, yakni sepuluh tahun. Beliau membangun masyarakat yang adil,
terbuka, dan demokratis dengan landasan takwa kepada Allah swt. Dan taat kepada
ajaran-Nya.
Setelah Nabi saw. wafat, masyarakat madani warisan Nabi saw. hanya berlangsung
selama tiga puluh tahun masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Sesudah itu,
sistem sosial masyarakat madani digantikan dengan sistem lain yang lebih banyak
diilhami oleh semangat kesukuan Arab pra-Islam, yang kemudian dikukuhkan
dengan sistem dinasti keturunan. Sistem ini bahkan masih dipraktikkan di beberapa
negara Islam sekarang ini.
Dalam rangka menegakkan masyarakat madani, Nabi saw. Tidak pernah
membedakan antara ”orang atas”,”orang bawah”, atau keluarga sendiri. Nabi saw.
Bersabda bahwa hancurnya bangsa-bangsa di masa lalu adalah karena jika ”orang
atas” yang melakukan kejahatan dibiarkan, tetapi jika ”orang bawah”
melakukannya pasti dihukum. Oleh karena itu, Nabi saw. Menegaskan, jika Fatimah,
putri kesayangannya, melakukan kejahatan maka beliau akan menghukumnya
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Masyarakat madani tidak akan terwujud jika hukum tidak ditegakkan dengan adil,
yang dimulai dengan ketulusan pribadi. Masyarakat berperadaban memerlukan
pribadi-pribadi yang dengan tulus mengingatkan jiwanya kepada wawasan keadilan.
Jika kita perhatikan apa yang terjadi dalam kenyataan sehari-hari, jelas sekali
bahwa nilai-nilai kemasyarakatan yang terbaik sebagian besar dapat terwujud
hanya dalam tatanan hidup yang kolektif yang memberi peluang kepada adanya
pengawasan sosial. Tegaknya hukum dan keadilan mutlak memerlukan suatu
bentuk interaksi sosial yang memberi peluang bagi adanya pengawasan itu.
Pengawasan sosial memberi peluang bagi adanya pengawasan itu. Pengawasan
sosial adalah koneksuensi langsung dari iktikad baik yang diwujudkan dalam
tindakan kebaikan. Selanjutnya, pengawasan sosial tidak mungkin terselenggara
dalam suatu tatanan sosial yang tertutup.
Amal saleh atau kegiatan demi kebaikan dengan sendirinya berdimensi
kemanusiaan, karena berlangsung dalam suatu kerangka ubungan sosial dan
menyangkut orang banyak. Dengan demikian, masyarakat Madani akan terwujud
hanya jika terdapat cukup semangat keterbukaan dalam masyarakat. Keterbukaan
adalah konsekuensi dari perikemanusiaan, suatu pandangan yang melihat sesama
manusia secara positif dan optimis. Ajaran kemanusaiaan yang suci itu membawa
konsekuensi bahwa kita harus melihat sesama manusia secara optimis dan positif,
dengan menerapkan prasangka baik (husnuzan), kecuali untuk keperluan
kewaspadaan seperlunya dalam keadaan tertentu. Tali persaudaraan sesama
manusia akan terbina antara lain jika dalam masyarakat tidak terlalu banyak
prasangka buruk (suuzan) akibat pandangan yang pesimis dan negatif kepada
manusia.
Bangsa Indonesia memiliki semua perlengkapan yang diperlukan untuk
menegakkan masyarakat madani. Kita semua berharap bahwa masyarakat madani
akan segera terwujud dan tumbuh semakin kuat di negara kita dalam waktu dekat.
Berbagai kemajuan yang dicapai bangsa kita sejak zaman order baru yang disusul
orde reformasi dalam berbagai bidang cukup beralasan kita berpengharapan seperti
itu. Namun, juga harus diwaspadai, bahwa belum semua masyarakat kita, baik elit
maupun rakyat, memiliki ”itikad baik” untuk mewujudkan masyarakat madani ini
dalam kehidupan bangsa kita.
Kita patut bersyukur kepada Allah swt. atas berkah dan rahmat-Nya kepada bangsa
Indonesia, sehingga kita masih terus dapat mengisi kemerdekaan ini dengan
semangat untuk menuju ke arah masyarakat yang berperadaban (masyarakat
madani). Dengan dukungan mayoritas umat Islam, seharusnya masyarakat madani
akan cepat dapat diwujudkan di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Oleh karena
itu, para penyelenggara negara ini hendaknya memahami prinsip-prinsip
masyarakat madani sehingga dapat menerapkan prinsip-prinsip tersebut dalam
kehidupan bermasyarakat.
Pancasila yang merupakan dasar negara kita, sila-silanya sebenarnya tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip yang ada dalam Piagam Madinah, bahkan
hampir semuanya sesuai. Oleh karena itu, ketika bangsa kita sekarang
mencanangkan terwujudnya masyarakat madani di Indonesia bukanlah suatu yang
aneh. Dengan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dengan murni dan konsekuen,
sebenarnya akan terwujud masyarakat madani di Indonesia yang bercirikan
Indonesia, tanpa harus menanggalkan nilai-nilai Indonesia yang sudah ada sejak
nenek moyang kita.
Itulah salah satu bentuk keteladanan yang dapat diambil dari bentuk masyarakat
yang dibangun Nabi saw. dan pasa sahabatnya di Madinah yang disebut
masyarakat madani. Tentu masih banyak keteladanan lainyang dapat diambil dari
bentuk-bentuk lain selain dari bentuk masyarakat madani, terutama dari Nabi
Muhammad saw., misalnya keteladanan dalam bernegara, berdagang, berkeluarga,
berperang, dan lain sebagainya.
Pembentukan Negara Islam Madinah
Jelaskan Langkah-langkah Yang Diambil Oleh Nabi Muhammad s.a.w. Ke Arah Pembentukan Negara Islam di Madinah.
A.Pengenalan :
Negara kota Madinah terletak kira-kira 320 km ke utara Mekah. Masyarakatnya terdiri daripada suku-suku Arab terutamanya Aus dan Khazraj serta orang-orang Yahudi. Sebelum agama Islam tersebar ke Madinah suku-suku Arab sentiasa berselisih faham sesama mereka. Golongan Yahudi memandang rendah orang-orang Arab, memonopolikan kegiatan ekonomi, hidup mewah dan menguasai pentadbiran. Dari segi agama dan kepercayaan kaum Yahudi memelihara kesucian agama Yahudi dan orang-orang Arab menyembah berhala seperti orang Quraisy di Mekah. Namun begitu orang Arab Madinah lebih mengerti tentang ketuhanan dan kenabian berbanding dengan orang Arab Mekah oleh kerana mereka lebih terdedah kepada agama Yahudi. Jadi, pemikiran mereka lebih terbuka kepada usaha dakwah Nabi Muhammad saw dan lebih bersedia memeluk agama Islam yang dibawanya.
Hijrah dari Mekah ke Madinah oleh Nabi Muhammad s.a.w. merupakan titik permulaan negara Islam di Madinah. Walaupun sebelum ketibaan Nabi Muhammad s.a.w. ke Madinah agama Islam tersebar di Madinah menerusi orang-orang Muslim (kaum Ansar) yang menyertai dalam Perjanjian Aqabah I dan Aqabah II.
Latarbelakang Nabi Muhammad Sebelum Hijrah. Konsep negara.
B. Isi :
1. Pembinaan Masjid :
Peristiwa hijrah telah menyebabkan penyebaran agama Islam semakin meluas terutamanya dengan terbinanya Masjid Quba dan Masjid Madinah yang menjadi tempat ibadat dan penyebaran agama Islam. Kaum Ansar di Madinah menyambut Muhajirin dari Mekah dan buat pertama kali, kegiatan dakwah dapat dilakukan secara terbuka. Kaum Ansar banyak berkorban untuk mengembangkan agama Islam.
Setelah tiba ke Madinah Nabi Muhammad s.a.w. telah membina masjid-masjid yang bukan sahaja menjadi tempat ibadat dan penyebaran agama Islam tetapi juga digunakan untuk menyebarkan pendidikan dan ilmu pengetahuan Islam
2. Pembentukan Ummah :
Nabi Muhammad adalah seorang negarawan. Sebagai langkah pertama terhadap penyatuan masyarakat Islam di Madinah, Nabi Muhammad s.a.w. mempersaudarakan kaum Ansar dengan kaum Muhajirin :
i. Muahahjirin dengan Muhajirin.
ii. Ansar dengan Ansar.
iii. Muhajirin dengan Ansar
Semangat Asabiyah telah digantikan dengan semangat ummah mengikut akidah Islam. Hubungan persaudaraan mengatasi masalah perbezaan dari segi sosial dan ekonomi. Kedua-dua golongan bergaul dan bekerjasama untuk kebaikan agama Islam dan negara.
3. Mewujudkan Piagam Madinah :
Baginda seterusnya mewujudkan sebuah piagam untuk dijadikan panduan untuk membentukkan sebuah negara Islam yang berdaulat. Piagam Madinah bukan sahaja membentukkan persaudaraan antara Ansar dan Muhajirin tetapi juga perpaduan antara orang Islam dengan orang bukan Islam terutamanya orang Yahudi. Kaum Yahudi diberikan kebebasan mengamalkan ibadat mengikut agama mereka selama mereka mematuhi undang-undang Islam dan peraturan yang diterima umum. Orang Islam dan bukan Islam dapat hidup secara aman damai dan bebas menjalankan aktiviti masing-masing. Keselamatan penduduk Madinah terjamin dan mereka bertanggungjawab mempertahankan negara Madinah daripada serangan musuh. Penduduk Madinah juga mengiktirafkan Nabi Muhammad s.a.w. sebagai pemimpin agama dan ketua negara. Dengan pengiktirafan itu Nabi telah menjadi pemimpin yang berwibawa dalam urusan pentadbiran dan pemerintahan negara Islam Madinah.
4. Mengasaskan Pentadbiran Negara Melalui Cara Musyawarah :
Baginda berjaya mengasaskan sistem musyawarah dalam segala hal-hal politik. Dalam hubungan dengan kaum Yahudi semasa Perang Badar, Nabi Muhammad s.a.w. tidak menunjukkan permusuhannya terhadap kaum Yahudi tetapi terus mengadakan perundingannya dengan mereka. Hanya setelah perundingan gagal barulah mereka disingkirkan secara terhormat dari Madinah. Baginda juga menjalankan musyawarah semasa mewujudkan persaudaraan antara Ansar dan Muhajirin serta antara Aus dan Khazraj. Konsep musyawarah terbayang dalam hubungan politik antarabangsa.
5. Mewujudkan Tentera Islam di Madinah :
Baginda juga adalah seorang pemimpin tentera Islam yang menyertai beberapa ekspedisi ketenteraan untuk mempertahankan kesucian agama Islam daripada ancaman dan serangan musuh. Dalam mempertahankan kedaulatan negara Islam Madinah. Baginda merupakan seorang panglima tentera dan ahli strategi dalam bidang ketenteraan.
6. Mengadakan Hubungan Luar :
Baginda adalah seorang diplomat yang mengambil inisiatif untuk menghantar perwakilan ke luar seperti Mesir, Byzantine, dan Parsi.
7. Menyusun semula struktur ekonomi Madinah :
Penyatuan masyarakat yang berlaku telah mewujudkan semangat saling membantu sehingga meliputi segenap bidang.Golongan Muhajirin bergiat dalam bidang pertanian. Nabi menggalakkan umat Islam bergiat dalam bidang perniagaan.Umat Islam menguasai semula kawasan subur dan oasis daripada penguasaan orang Yahudi dengan cara membelinya semula.
C. Kesimpulan :
Pembentukan Negara Islam Madinah berasaskan kepada wahyu dan perundangan. Negara Islam Madinah menjadi sebuah negara yang adil, aman dan makmur.