Peritonitis

21

Click here to load reader

Transcript of Peritonitis

Page 1: Peritonitis

PERITONITIS

PENDAHULUAN

Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut yang

biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan

penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada perforasi, perdarahan

intraabdomen, infeksi, obstruksi dan strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang

mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.

Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat

penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus

gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus

abdomen. Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi

kecil-kecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan

adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya

peritonitis. Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan

akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Ketepatan

diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

PEMBAHASAN

ANATOMI DAN FISIOLOGI PERITONEUM

Peritoneum terdiri dari dua bagian yaitu peritoneum parietal yang melapisi dinding

rongga abdomen dan peritoneum visceral yang melapisi semua organ yang berada dalam rongga

abdomen. Ruang yang terdapat diantara dua lapisan ini disebut ruang peritoneal atau kantong

peritoneum. Pada laki-laki berupa kantong tertutup dan pada perempuan merupakan saluran telur

1

Page 2: Peritonitis

yang terbuka masuk ke dalam rongga peritoneum, di dalam peritoneum banyak terdapat lipatan

atau kantong. Lipatan besar (omentum mayor) banyak terdapat lemak yang terdapat di sebelah

depan lambung. Lipatan kecil (omentum minor) meliputi hati, kurvatura minor, dan lambung

berjalan ke atas dinding abdomen dan membentuk mesenterium usus halus. Fungsi peritonium :

1. Menutupi sebagian dari organ abdomen dan pelvis

2. Membentuk pembatas yang halus sehinggan organ yang ada dalam rongga peritoneum

tidak saling bergesekan

3. Menjaga kedudukan dan mempertahankan hubungan organ terhadap dinding posterior

abdomen

4. Tempat kelenjar limfe dan pembuluh darah yang membantu melindungi terhadap infeksi.

2

Page 3: Peritonitis

DEFINISI PERITONITIS

Peritonitis diartikan sebagai proses inflamasi atau proses peradangan peritoneum

termasuk sebagian atau seluruh organ di dalam rongga peritoneum.

Peritonitis sering disebabkan oleh infeksi peradangan lingkungan sekitarnya melalui

perforasi usus seperti rupture appendiks atau divertikulum karena awalnya peritonitis merupakan

lingkungan yang steril. Selain itu juga dapat diakibatkan oleh materi kimia yang iritan seperti

asam lambung dari perforasi ulkus atau empedu dari perforasi kantung empedu atau laserasi

hepar. Pada wanita sangat dimungkinkan peritonitis terlokalisasi pada rongga pelvis dari infeksi

tuba falopi atau rupturnya kista ovari. Kasus peritonitis akut yang tidak tertangani dapat

berakibat fatal.

Pasien dengan peritonitis dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan dan terbatas, atau

penyakit berat dan sistemik dengan syok sepsis. Infeksi peritonitis terbagi atas penyebab primer

(peritonitis spontan), sekunder (berkaitan dengan proses patologis pada organ viseral), atau

penyebab tersier (infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang adekuat). Infeksi pada

abdomen dikelompokkan menjadi peritonitis infeksi (umum) dan abses abdomen (lokal infeksi

peritonitis relatif sulit ditegakkan dan sangat bergantung dari penyakit yang mendasarinya.

3

Page 4: Peritonitis

ETIOLOGI

Bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) dan

peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi intra abdomen, tetapi biasanya terjadi pada

pasien yang asites terjadi kontaminasi hingga ke rongga peritoneal sehingga menjadi translokasi

bakteri munuju dinding perut atau pembuluh limfemesenterium, kadang terjadi penyebaran

hematogen jika terjadi bakterimia dan akibat  penyakit hati yang kronik. Semakin rendah kadar

protein cairan asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses. Ini terjadi karena

ikatan opsonisasi yang rendah antar molekul komponen asites pathogen yang paling sering menyebabkan

infeksi adalah bakteri gram negative E. Coli 40%, Klebsiella pneumoniae 7%, spesies Pseudomonas, Proteus dan

gram lainnya 20% dan bakteri gram positif yaitu Streptococcus pnemuminae 15%, jenis Streptococcus lain

15%, dan golongan Staphylococcus 3%, selain itu juga terdapat anaerob dan infeksi campur

bakteri.

4

Page 5: Peritonitis

Peritonitis sekunder yang paling sering terjadi disebabkan oleh perforasi atau nekrosis

(infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal terutama

disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas.

Peritonitis tersier terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah mendapatkan terapi

SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, bukan berasal dari kelainan organ, pada pasien

peritonisis tersier biasanya timbul abses atau flagmon dengan atau tanpa fistula. Selain itu juga

terdapat peritonitis TB, peritonitis steril atau kimiawi terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia,

misalnya cairan empedu, barium, dan substansi kimia lain atau proses inflamasi transmural dari

organ-organ dalam (misalnya penyakit Crohn).

KLASIFIKASI

Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Peritonitis bakterial primer. Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara

hematogen pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen.

Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus.

Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:

1.Spesifik : misalnya Tuberculosis

2.Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis an Tonsilitis. Faktor resiko yang berperan

pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intraabdomen, imunosupresi dan

splenektomi.

Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus

eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.

b. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa). Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi

akut atau perforasi tractusi gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme

tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat

memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat

5

Page 6: Peritonitis

memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi. Selain itu luas dan lama

kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis. Kuman dapat berasal dari:

- Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum peritoneal.

- Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan oleh bahan kimia,

perforasi usus sehingga feces keluar dari usus.

- Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya appendisitis.

c. Peritonitis tersier, misalnya:

- Peritonitis yang disebabkan oleh jamur

- Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan. Merupakan peritonitis yang

disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu, getah lambung, getah pankreas, dan

urine.

d. Peritonitis Bentuk lain dari peritonitis:

- Aseptik/steril peritonitis

- Granulomatous peritonitis

- Hiperlipidemik peritonitis

- Talkum peritonitis

PATOFISIOLOGI

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.

Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel

menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya

menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak

dapat mengakibatkan obstuksi usus. Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler

6

Page 7: Peritonitis

dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,

maka dapat menimbulkan kematian sel.

Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon

hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak

organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit

oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah

jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.

Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem.

Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi.

Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh

organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal

menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan

yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih

lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan

menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan

peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan

peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian

menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan

dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-

lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan

mengakibatkan obstruksi usus. Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat

menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan

peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana

yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau

parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi

iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan

karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.

Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S.

Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian

kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai

7

Page 8: Peritonitis

jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini

komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya

terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala,

batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan

umum yang merosot karena toksemia. Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan

peritonium yang mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis

generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut.

Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri

ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium

oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar ke seluruh perut

menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase

ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritonium

berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk

sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria. Pada apendisitis biasanya disebabkan

oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur

karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa

mengalami bendungan, makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding

apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan

menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan

obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark

dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga

menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general.

Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat

mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra

peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut,

mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia

onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya di

daerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala

peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala

karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24 jam timbul

gejala akut abdomen karena perangsangan peritonium.

8

Page 9: Peritonitis

MANIFESTASI KLINIK

Gejala peritonitis tergantung pada jenis dan penyebaran infeksinya. Biasanya penderita

muntah, demam tinggi dan merasakan nyeri tumpul di perutnya. Bisa terbentuk satu atau beberapa abses.

Infeksi dapat meninggalkan jaringan parut dalam bentuk pita jaringan (perlengketan, adhesi)

yang akhirnya bisa menyumbat usus. Bila peritonitis tidak diobati dengan seksama, komplikasi

bisa berkembang dengan cepat. Gerakan peristaltik usus akan menghilang dan cairan tertahan di

usus halus dan usus besar. Cairan juga akan merembes dari peredaran darah ke dalam rongga

peritoneum. Terjadi dehidrasi berat dan darah kehilangan elektrolit. Selanjutnya bisa terjadi

komplikasi utama, seperti kegagalan paru-paru, ginjal atau hati dan bekuan darah yang

menyebar.

DIAGNOSA

Diagnosis peritonitis biasanya ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen

(akut abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum viseral)

kemudian lama kelamaan menjadi jelas lokasiny a(peritoneum parietal). Pada keadaan peritonitis

akibat penyakit tertentu, misalnya perforasi lambung, duodenum, pankreatitis akut yang berat,

atau iskemia usus, nyeri abdomennya berlangsung luas di berbagai lokasi. 

Tanda-tanda peritonitis relatif sama dengan infeksi berat lainnya, yakni demam tinggi,

atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi, hingga menjadi hipotensi.

Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum di tempat tertentu sebagai

sumber infeksi.

Dinding perut akan terasa tegang, biasanya karena mekanisme antisipasi penderita secara

tidak sadar untuk menghindari palpasi yang menyakitkan, atau bisa juga memang tegang karena

iritasi peritoneum. Nyeri ini kadang samar dengan nyeri akibat apendisitis yang biasanya di

bagian kanan perut, atau kadang samar juga dengan nyeri akibat abses yang terlokalisasi dengan

baik.

9

Page 10: Peritonitis

Pada penderita wanita diperlukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri

akibat pelvic inflammatory disease, namun pemeriksaan ini jarang dilakukan pada keadaan

peritonitis yang akut.

Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa saja jadi positif palsu pada penderita dalam

keadaan imunosupresi, (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid, pascatransplantasi, atau

HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya trauma kranial, ensefalopati toksik, syok

sepsis, atau penggunaan analgesik), penderita dengan paraplegia, dan penderita geriatri.

Penderita tersebut sering merasakan nyeri yang hebat di perut meskipun tidak terdapat infeksi di

perutnya.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Test laboratorium:

Leukositosis, hematokrit meningkat, dan asidosis metabolik.

Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3

gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi

peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma

yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.

2. Pemeriksaan radiologik

Pemeriksaan foto polos abdomen sangat membantu menegakkan diagnosis.

Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :

1. Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior

( AP).

2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar horizontal

proyeksi AP.

3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal, proyeksi

AP.

Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup seluruh

abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film ukuran 35 x 43 cm.

10

Page 11: Peritonitis

Dapat terlihat: gambaran udara kabur dan tidak tersebar merata. Penebalan dinding usus-

usus. Perselubungan menyeluruh atau pun di bagian-bagian tertentu. Gambaran garis

permukaan cairan dalam usus (air-fluid levels) atau dalam rongga peritoneal

(intraperitoneal fluid level). Kalau terdapat perforasi akan terlihat udara bebas di bawah

diafragma. Gambaran foto seperti tersebut di atas menggambarkan proses pengumpulan

cairan intraabdomen seperti tersebut di dalam uraian patofisiologi.

PENATALAKSANAAN

Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan

secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan

penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab

radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan

nyeri.

Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting. Pengembalian volume

intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme

pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai

keadekuatan resusitasi.

Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik

berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya setelah hasil kultur

keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab.

Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis

yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi.

Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi. Insisi

yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh

abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas

tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung

pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi

peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi

viskus yang perforasi.

11

Page 12: Peritonitis

Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan

larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak

terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal

povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan

lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat

lain.

Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu

dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk

bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang

terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat

direseksi.

KOMPLIKASI

Dua komplikasi pasca operasi paling umum adalah eviserasi luka dan pembentukan

abses. Komplikasi pembedahan dengan laparotomi eksplorasi memang tidak sedikit. Secara

bedah dapat terjadi trauma di peritoneum, fistula enterokutan, kematian dimeja operasi, atau

peritonitis berulang jika pembersihan kuman tidak adekuat. Namun secara medis, penderita yang

mengalami pembedahan laparotomi eksplorasi membutuhkan narkose dan perawatan intensif yang

lebih lama. Perawatan inilah yang sering menimbulkan komplikasi, bisa berupa pneumonia

akibat pemasangan ventilator, sepsis, hingga kegagalan reanimasi dari status narkose penderita

pascaoperasi.

DIAGNOSA BANDING

Diagnosis banding dari peritonitis adalah apendisitis, pankreatitis, gastroenteritis,

kolesistitis, salpingitis, kehamilan ektopik terganggu, dll.

12

Page 13: Peritonitis

PROGNOSIS

Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada peritonitis

umum prognosisnya mematikan akibat organisme virulen.

KESIMPULAN

Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan pembungkus visera

dalam rongga perut. Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut

dan dinding perut sebelah dalam. Peritonitis yang terlokalisir hanya dalam rongga pelvis disebut

pelvioperitonitis. Penyebab peritonitis antara lain : penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi,

penyakit radang panggul pada wanita yang masih aktif melakukan kegiatan seksual, infeksi dari

rahim dan saluran telur, kelainan hati atau gagal jantung, peritonitis dapat terjadi setelah suatu

pembedahan, dialisa peritoneal (pengobatan gagal ginjal), iritasi tanpa infeksi. Patofisologi

peritonitis adalah reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri adalah keluarnya eksudat

fibrinosa. Terbentuk kantong-kantong nanah (abses) diantara perlekatan fibrinosa, yang

menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan

biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrinosa,

yang kelak dapat menyebabkan terjadinya obstruksi usus. Prinsip umum terapi pada peritonitis

adalah

a) Penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena. 

b) Terapi antibiotika memegang peranan yang sangat penting dalam pengobatan infeksinifas.

c) Terapi analgesik diberikan untuk mengatasi nyeri.

d) Tindakan bedah mencakup mengangkat materi terinfeksi dan memperbaiki penyebab.

13

Page 14: Peritonitis

Daftar Pustaka

Silvia A. Price. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta. EGC

Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah.. Jakarta. EGC

Subanada, Supadmi, Aryasa, dan Sudaryat. 2007. Kapita Selekta Gastroenterologi Anak. Jakarta:

CV Sagung Seto

Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2;

Media Aesculapius FKUI, Jakarta.

Peritonitis,http://www.medikastore.com/med/peritonitis_pyk.php?dktg=7&UID 200705

Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I, 1999. Radiologi Diagnostik. Jakarta. Gaya Baru

Schwartz, Shires, Spencer, Principles of Surgery, sixth edition,1989

Reksoprodjo, S. 2011. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta. FKUI

Kamus Saku Kedokteran Dorland Ed. 25. 1998. Jakarta. EGC

14