PERSEPSI PRAKTISI PERBANKAN SYARIAH TERHADAP …
Transcript of PERSEPSI PRAKTISI PERBANKAN SYARIAH TERHADAP …
PERSEPSI PRAKTISI PERBANKAN SYARIAH TERHADAP PILIHAN
PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA BASYARNAS DAN PERADILAN
AGAMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi Islam (SEI) Oleh :
Muhamad Dani
NIM : 103046128232
Di Bawah Bimbingan
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422
PROGRAM STUDI MUAMALAH (EKONOMI ISLAM) KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
1429 H/2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul PERSEPSI PRAKTISI PERBANKAN
SYARIAH TERHADAP PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA
ANTARA BASYARNAS DAN PERADILAN AGAMA telah diajukan
dalam siding munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 12 Juni
2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Islam (SEI) pada Program
Studi Muamalah Konsentrasi Perbankan Syariah.
Jakarta, 12 Juni 2008
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH,
MA, MM
NIP: 150210422
PANITIA UJIAN
Ketua : Euis Amalia, M.Ag
(………………...)
NIP: 150289284
Sekretaris : Ah. Azharuddin Latief, M.Ag
(………………...)
NIP: 150318308
Pembimbing : Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM
(………………...)
NIP: 150210422
Penguji I : Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA
(………………...)
NIP: 150222824
Penguji II : Jaenal Aripin, M.Ag (………………...)
NIP: 150289202
ABSTRAK
Pengadilan sebagai the first and last resort dalam penyelesaian sengketa ternyata
masih dipandang oleh sebagian kalangan hanya menghasilkan kesepakatan yang
bersifat adversarial, belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung
menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya
yang mahal, tidak responsive, menimbulkan antagonisme di antara pihak yang
bersengketa, serta banyak terjadi pelanggaran dalam pelaksanaannya. Hal ini
dipandang kurang menguntungkan dalam duniai bisnis sehingga dibutuhkan institusi
baru yang dipandang lebih efisien dan efektif.
Sebagai solusinya, kemudian berkembanglah model penyelesaian sengketa non
litigasi, yang dianggap lebih bisa mengakomodir kelemahan-kelemahan model litigasi
dan memberikan jalan keluar yang lebih baik. Proses diluar litigasi dipandang lebih
menghasilkan kesepakatan yang win-win solution, menjamin kerahasiaan sengketa
para pihak, menghindari keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan
administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan, dan
tetap menjaga hubungan baik.
Tidak dipungkiri, selain alasan-alasan di atas, dasar pemikiran lahirnya model
penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi seperti BAMUI yang pada akhirnya
menjelma menjadi BASYARNAS, saat itu memang belum ada lembaga hukum yang
mempunyai kewenangan absolut karena Peradilan umum tidak menggunakan perdata
Islam (fikih muamalah) dalam hukum formil maupun materiilnya, sedangkan
Peradilan Agama saat itu sebagaimana Pasal 49 ayat (1) UU No. 7/1989,
kewenangannya masih terbatas mengenai perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,
wakaf dan shadaqah. Sehingga lahirnya model BASYARNAS saat itu seakan-akan
sebagai payung hukum alternatif. Sedangkan saat ini kewenangan Peradilan Agama
sudah diperluas melalui UU No. 3 Tahun 2006 diantaranya adalah kewenangan
mutlak mengadili perkara-perkara ekonomi syariah included perbankan syariah, tentu
saja hal ini memberikan pandangan dan sikap yang berbeda dalam penyelesaian
sengketa perbankan syariah dibandingkan sebelum adanya undang-undang tersebut.
KATA PENGANTAR
الرّحيم الرّحمن االله بسم
Puji syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan
kenikmatan berupa Ilmu kepada kita sebagai hamba-Nya, sehingga
dengan ilmu itu kita bisa membedakan kebaikan dan keburukan di
atas bumi ini. Dan patutlah kalimat Alhamdulillahi Rabbi Al-‘Alamin
yang pertama kali terucap oleh penulis karena penulis telah dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta Salam semoga senantiasa
dicurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, para
sahabatnya serta para pengikutnya dan mudah-mudahan kita
termasuk di dalamnya.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan
hambatan yang penulis jumpai, namun syukur Alhamdulillah
berkat rahmat dan inayah-Nya, kesungguhan, kerja keras dan kerja
cerdas disertai dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik
langsung maupun tidak langsung, segala kesulitan dapat diatasi
dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat
diselesaikan.
Oleh sebab itu, sudah sepantasnya-lah pada kesempatan kali
ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma,
SH, MA, MM, juga sebagai dosen pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam meyelesaikan skripsi
ini.
2. Ketua Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam), Euis Amalia, M.Ag.
3. Sekretaris Program Studi Muamalah (Ekonomi Islam), Ah. Azharuddin Latif,
M.Ag.
4. Kepala unit perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas kepada penulis untuk
mengadakan studi kepustakaan sehingga selesainya skripsi ini.
5. Ayahanda H. Muhammad Tair dan Ibunda Hj. Isah Tair yang senantiasa
memberikan motivasi, arahan, do’a dan kasih sayang yang tiada henti-
hentinya, kakanda Sumiyati Saad, Suro Suryadi Tair, Suhandi Tair, Sinah
Abdul Rasyid dan Nasih Ahmad Ramadhan yang selalu mensuport penulis
dalam berbagai hal terutama bantuan moril maupun materiil.
6. Teman-teman diskusi Perbankan Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Angkatan 2003 terutama sahabat Farhan Mustafa,
Rahmat Wiar Budi, Wahyudi Musa, Ifdhal Yuri Hendri, A. Rifa’i Fauzi,
Ahmad Zaki, Andri Herdiansyah, Saidih, Inayatulloh dan Ahmad Rifa’i.
Mudah-mudahan jalinan persahabatan kita tak terhenti sampai di sini dan bisa
terjalin sampai kapan pun dan di manapun kita berada.
7. Kakanda Muhammad Dana, SHI sebagai inspirator penulis dalam ber-
organisasi, Khoerudin el-Ridho, SHI, Muhammad Yusuf Daulay,
Andreansyah Syafi’i, Dede Yusifa, Muhammad Ridwan, Asep Saipul Bahri
dan Taufik Akbar sebagai sahabat pertama yang membantu penulis dalam
berbagai permasalahan terutama dalam berorganisasi, dan banyak lagi yang
lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.
8. Secara khusus, penulis haturkan terima kasih sebesar-
besarnya kepada keluarga besar Bapak Sukmadi, S.Ag
terutama adinda Ria Syukriawati, yang telah memberikan
motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini,
terima kasih atas segala bantuanya, Semoga Allah membalas
kebaikannya.
Semoga amal baik semua dibalas oleh Allah SWT dengan
balasan yang berlipat ganda. Amin.
Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan
manfaat, bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.
Jakarta, 16 Mei
2008
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
.................................................................................................
DAFTAR ISI
................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .........................................................................
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................................
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..........................................................
D. Kajian Pustaka…………………………………………………………
E. Kerangka Konsep……………………………………………………..
F. Metode Penelitian……………………………………………………..
G. Sistematika Penulisan ............................................................................
BAB II TINJAUAN TEORETIS
A. Pengertian Persepsi.................................................................................
B. Pengertian Arbitrase Islam ……………………………………...…….
C. Pengertian Peradilan Agama………………………………… ………..
D. Bank Syariah…………………………………………………………...
BAB III BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL DAN PERADILAN
AGAMA SEBAGAI LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA
MUAMALAT
A. Badan Arbitrase Syariah Nasional…………..........................................
B. Dasar Hukum dan Wewenang Badan Arbitrase Syariah Nasional.........
C. Peradilan Agama……………….. ..........................................................
D. Dasar hukum dan Wewenang Peradilan Agama di Indonesia…………
E. Analisa tentang Dasar Hukum BASYARNAS dan Peradilan Agama di
Indonesia……………………………………………………….............
BAB IV PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA
BASYARNAS DAN PERADILAN AGAMA PERSEPSI PRAKTISI
PERBANKAN SYARIAH
A. Sengketa Bank Syariah………………………………………………….
B. Persepsi Praktisi………………………………………………………....
C. Sikap Praktisi....………………………………………………………….
D. Pengaruh Persepsi Atas Sikap Praktisi Perbankan Syariah Terhadap Pilihan
Penyelesaian Sengketa Muamalah……………………………....
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………………..
B. Saran-saran ……………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………….
LAMPIRAN………………………………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia dalam kehidupannya senantiasa hidup bersama dan
saling berdampingan antara satu dengan yang lainnya, hubungan
yang terjadi atas sesama manusia tersebut akan menciptakan
saling memahami antara mereka, sehingga terbentuk sebuah
kehidupan yang dinamis. Manusia dalam memenuhi kebutuhannya
akan saling mempunyai ketergantungan satu sama lain, sehingga
tak ada seorang pun yang mampu mencukupi kebutuhannya
sendiri.
Ketika satu individu, kelompok, atau komunitas manusia
dalam memenuhi kebutuhannya berupa satu benda yang
bersamaan dengan kebutuhan individu atau kelompok manusia
lainnya, tentunya akan menimbulkan suatu pertentangan atau
bentrokan. Hal semacam inilah yang menjadi salah satu penyebab
dibutuhkannya sebuah aturan tentang hal-hal pola interaksi satu
sama lain. Sebuah komunitas atau kelompok sosial yang tidak
mempunyai hukum yang jelas akan menjadi masyarakat yang tidak
teratur dan cenderung berlakunya hukum rimba yaitu yang kuat
akan selalu menang dan menindas, dan yang lemah akan kalah dan
terhina. Karena itu perlu adanya hukum untuk menegakan keadilan
sesuai dengan aturan-aturan yang mereka buat tersebut
berdasarkan standar kemanusiaan.
Dari satu sisi, hukum adalah ketentuan-ketentuan yang
timbul dari dan dalam pergaulan hidup manusia, serta timbulnya
berdasarkan rasa kesadaran manusia itu sendiri, sebagai gejala-
gejala sosial yang merupakan hasil dari pengukuran baik tentang
tingkah laku manusia di dalam pergaulan hidupnya1. Hukum
sebagai norma mempunyai ciri kekhususan, hendak melindungi,
mengatur dan memberikan keseimbangan dalam menjaga
kepentingan umum.
Setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk
memperoleh kesepakatan dalam proses perkara atau untuk
menyelesaikan sengketa dan konflik. Cara yang dipakai pada suatu
sengketa tertentu jelas memiliki konsekuensi, baik bagi para pihak
yang bersengketa maupun masyarakat melebihi penyelesaian
sengketa tersebut. Mengingat konsekuensi tersebut, maka sangat
diperlukan untuk menyalurkan sengketa-sengketa tertentu kepada
1 Abdul Djamali, Pengantar Hukum Indonesia Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2001, Hal 21 Cet. Ke VII
1
suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang paling tepat bagi
mereka.2
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) adalah cikal bakal Basyarnas.
Lembaga ini didirikan berdasarkan SK No Kep-392/MUI/V/1992, bersamaan dengan
pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1992. Tujuannya untuk menangani
sengketa antara nasabah dan bank syariah pertama tersebut. Pada tahun 2003,
beberapa bank atau Unit Usaha Syariah (UUS) lahir sehingga BAMUI dirubah
menjadi Basyarnas. Perubahan tersebut berdasarkan SK MUI No Kep-09/MUI
XII/2003 tertanggal 24 Desember 2003. “Basyarnas ini satu-satunya badan hukum
yang otonom milik MUI,” tandas Ahmad Jauhari, sekretaris Basyarnas.3
Badan Arbitrase Syariah Nasional, sejak awal berdirinya
(2003) hingga sekarang, baru dua sengketa perbankan syariah
yang berhasil dituntaskan Basyarnas. Tiga sengketa lainnya sempat
didaftarkan tetapi akhirnya tidak diproses lantaran tidak memenuhi
persyaratan. BAMUI dari 1993 hingga 2003 menyelesaikan 12
sengketa perbankan syariah. Dengan demikian, Basyarnas plus
BAMUI baru menyelesaikan 12 sengketa perbankan syariah
Pada bulan Maret tahun 2006, telah diterbitkan Undang-
undang yang memberikan kewenangan bagi Peradilan Agama (PA)
2 Felix O, Soebagjo (ed), Arbitrase Di Indonesia, Jakarta: Pt. Ghalia Indonesia, 1995, Hal 18 3 www. Hukumonline, Mengurai Benang Kusut Badan Arbitrase Syariah Nasional, 3 januari
2007
untuk mengurusi persoalan sengketa yang terjadi pada lembaga
keuangan syariah. Peradilan Agama memiliki wewenang untuk
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang
ekonomi syariah. Kewenangan yang dimiliki pada seluruh lembaga
keuangan syariah, yaitu meliputi perbankan syariah, lembaga
keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa
dana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka
menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah,
pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan
bisnis syariah.
Sebelum kewenangan ini diberikan kepada Peradilan Agama,
selama ini bila terjadi sengketa syariah akan diputuskan melalui
BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional), yang merupakan
bentukan dari Majlis Ulama Indonesia (MUI). Pembentukan
Basyarnas sebelumnya bernama BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia), bersamaan dengan berdirinya Bank Muamalat
Indonesia (BMI) pada tahun 1992. Seiring dengan bermunculannya
bank syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS), maka BAMUI diganti
nama dengan BASYARNAS.
Pada awalnya, pembentukan dari BAMUI hanya
diperuntukkan bagi bank syariah dan nasabahnya, bila terjadi
sengketa. Berkembangnya lembaga keuangan dan bisnis syariah,
menjadikan Basyarnas memiliki wilayah kerja yang lebih luas.
Basyarnas tidak hanya mengurusi permasalahan yang terjadi di
perbankan syariah saja, tapi juga bisa mengurusi permasalahan
yang terjadi pada lembaga keuangan dan bisnis syariah lainnya.
Yang menjadi permasalahan adalah, dengan diterbitkannya
Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Di
sini antara Peradilan Agama dan Basyarnas memiliki wilayah kerja
yang sama dan mengurusi persoalan yang sama, yaitu
menyelesaikan sengketa yang terjadi antara lembaga keuangan
dan bisnis syariah dengan para nasabahnya.4
Permasalahan yang muncul, lembaga mana yang lebih
berwenang untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Memang
lembaga Peradilan Agama lebih mempunyai wewenang untuk
menyelesaikan bila terjadinya sengketa. Karena lembaga Peradilan
Agama lebih mempunyai kekuatan hukum yang harus dipatuhi
4 www.Hukumonline.com, pkes, Basyarnas Tidak Terpengaruh UU No. 3/2006, 21 maret
2007
sebagai lembaga bentukan dari pemerintah, hal inipun secara jelas
telah disebutkan dalam Undang-undang No. 3 tahun 2006. Namun
BASYARNAS lembaga hukum non-litigasi hasil bentukan dari MUI
dengan tujuan sebagai tempat penyelesaian sengketa yang terjadi
dibidang muamalat dengan didukung fatwa-fatwa MUI sebagai
rujukan hukumnya.
Mungkin kendala yang terjadi adalah tingkat kepercayaan dari
pihak yang akan menyelesaikan sengketa. Wewenang badan
arbitrase dan Peradilan Agama untuk mengurusi persoalan ekonomi
syariah relatif masih baru. Hal ini pun berkaitan dengan kompetensi
dari para hakim agama yang belum memahami ekonomi syariah
secara keseluruhan.
Berkenaan dengan lembaga keuangan dan bisnis syariah,
para hakim tidak hanya dituntut untuk tahu dan paham tentang
hukum-hukum syariahnya saja. Akan tetapi, harus pula mengetahui
sisi praktek dan sistem operasional dari setiap lembaga keuangan
dan bisnis syariah, begitupun tentang pengetahuan dari prinsip-
prinsip ekonomi syariah. Di samping itu pula, tidak bisa diabaikan
fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN-MUI. Karena selama
ini, prinsip operasional dari lembaga keuangan dan bisnis syariah
merujuk dari fatwa-fatwa tersebut.
Keberadaan Basyarnas dapat dijadikan sebagai mitra dalam
penyelesaian masalah yang berkembang. Dapat dijadikan
pertimbangan, independensi dari Basyarnas menjadi positif, karena
dapat menjadi lembaga alternatif dalam penyelesaikan sengketa.
Sangat dimungkinkan, bahwa salah satu diantara pihak yang
bersengketa tidak menyepakati proses penyelesaian sengketa
dilakukan di Peradilan Agama. Hingga proses penyelasaian
sengketa disepakati malaui proses arbitrase.
Persepsi dalam arti sempit berarti pandangan, pengamatan,
dan tanggapan. Sedangkan praktisi disini berarti pelaksana5.
Sehingga persepsi praktisi Perbankan Syariah adalah pandangan,
pengamatan atau tanggapan praktisi Perbankan Syariah melalui
panca inderanya.
Berangkat dari pandangan inilah kemudian penulis tertarik
untuk membahas masalah PERSEPSI PRAKTISI PERBANKAN
SYARIAH TERHADAP PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA
ANTARA BASYARNAS DAN PERADILAN AGAMA. Disamping itu
5 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta.
2005
penulis juga termotivasi oleh beberapa faktor, yaitu sebagai
berikut:
1. Hukum islam senantiasa dituntut untuk dapat memberikan
respon terhadap permasalahan yang muncul. Karenanya
upaya pengkajian secara mendalam terhadap semangat
syariat islam perlu terus dikembangkan dan sebagai basis
kontektualitasnya adalah tujuan syariat itu sendiri yaitu
kemaslahatan umat dan agar hukum islam menjadi kontribusi
bagi perkembangan hukum nasional.
2. Perkembangan ekonomi islam, perlu mendapat perhatian dan
dukungan dari berbagai pihak, demikian pula kelengkapan
perangkat hukum bagi penyelesaian kasus-kasus
perselisihan/persengketaannya.
3. Langkanya penulisan masalah pilihan penyelesaian sengketa
dan kajian-kajian dalam masalah ini harus dikembangkan,
karenanya penulisan ini kiranya dapat menambah khazanah
keilmuan.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pembahasan pada penelitian ini akan berkisar terhadap
fenomena sengketa yang terjadi di Perbankan Syariah, dan pilihan
penyelesaian sengketa para praktisi Perbankan Syariah.
Sesuai dengan pokok permasalahan tersebut, penulis
merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana persepsi praktisi Perbankan Syariah terhadap
pilihan penyelesaian sengketa antara BASYARNAS dan
Peradilan Agama?
2. Bagaimana sikap praktisi Perbankan Syariah terhadap adanya
dua lembaga penyelesaian sengketa muamalat?
3. Bagaimana pengaruh persepsi atas sikap praktisi perbankan
syariah terhadap pilihan penyelesaian sengketa muamalah?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan
a. Untuk mengetahui persepsi para praktisi Perbankan
Syariah tentang pilihan penyelesaian sengketa antara
BASYARNAS dan Peradilan Agama
b. Untuk mengetahui sikap para praktisi Perbankan Syariah
terhadap adanya dua lembaga yang memiliki wewenang
menyelesaikan sengketa muamalah
c. Untuk mengetahui pengaruh persepse atas sikap praktisi
perbankan syariah terhadap pilihan penyelesaian sengketa
muamalah
2. Kegunaan
a. Kepentingan teoritis sebagai sumber ilmu syariah
umumnya, khususnya dibidang hukum sebagai sumber
hukum guna penyelesaian sengketa di bidang muamalat
b. Kepentingan praktis, guna perkembangan dan
terwujudnya praktik ekonomi islam umumnya, khususnya
kepada para pihak yang terlibat dalam kegiatan ekonomi
islam dapat memanfaatkan lembaga Arbitrase Islam dan
Peradilan Agama sebagai lembaga penyelesaian sengketa
D. Kajian Pustaka
Agar penulisan penelitian ini lebih terarah dan tidak
mengulang penelitian-penelitian terdahulu, penulis mengkaji
penelitian-penelitian yang telah ada yang berhubungan dengan
penelitian ini di antaranya:
Skripsi Arbitrase dalam Hukum Positif, Hukum Adat, dan
Hukum Islam “Sebuah Analisa Perbandingan”, yang disusun oleh
Mukhtar Sedayu Siregar, 2006. Hanya menjelaskan secara umum
tentang Arbitrase dan menganalisa sistem arbitarase dalam hukum
positif, hukum adat, dan hukum islam.
Begitupun dengan skripsi Eksistensi Arbitrase Islam dalam
Kancah Hukum Nasional, Studi Komparatif tentang BAMUI dan
BANI: Suatu Tinjauan Perbandingan Yuridis, Karakteristik, serta
Prosedur Beracara. Yang disusun oleh Umma Barokah, 2003. Hanya
memaparkan tentang Arbitrase dari segi yuridis, karakteristik dan
prosedur beracara antara BANI dengan BAMUI.
Sama halnya dengan skripsi Peranan BASYARNAS Terhadap
Penyelesaian Sengketa Bank Syariah, yang disusun oleh Ayatulloh,
2005. Hanya memaparkan tentang Arbitrase kususnya BASYARNAS
sebagai lembaga penyelesaian sengketa, sengketa-sengketa yang
terjadi di Bank Syariah, dan prosedur penyelesaian sengketa Bank
Syaiah di BASYARNAS.
Sedangkan dalam penulisan penelitian ini akan dibahas
mengenai dampak yang terjadi dari adanya dua lembaga yang
memiliki wewenang menyelesaikan persengketaan muamalat
terhadap perbankan syariah, persepsi para praktisi dan sikap para
praktisi terhadap adanya pilihan penyelesaian sengketa muamalat
antara BASYARNAS dan Peradilan Agama.
E. Kerangka Konsep
Mencermati pasal 49 UU No. 3 tahun 2006. Di situ
dipaparkan, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang
ekonomi Islam. Adapun yang dimaksud dengan ekonomi syariah
adalah kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah.
Meliputi bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi
syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah
dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas
syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun
lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah.
UU No. 3 Tahun 2006 diterbitkan pada 20 Maret lalu. Tiga
hari kemudian, DSN-MUI meluncurkan empat fatwa. Keempatnya
adalah fatwa mengenai akad mudharabah musytarakah,
mudharabah pada asuransi syariah, wakalah bil ujrah pada asuransi
dan reasuransi syariah, serta tabarru’ (hibah) pada asuransi dan
reasuransi syariah. Anehnya, DSN-MUI tetap menyatakan
penyelesaian sengketa mengenai keempat akad tadi dilakukan oleh
Basyarnas meski UU No. 3 Tahun 2006 nyata-nyata menyebutkan
hal ini menjadi wewenang pengadilan agama. Menjadi pertanyaan:
apakah DSN-MUI tak mengetahui adanya UU Peradilan Agama yang
baru itu? Secara logika, tidak mungkin. Satu hal yang jelas, seluruh
fatwa DSN-MUI yang berjumlah 52 itu secara telak bertentangan
dengan pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 dalam hal penyelesaian
sengketa di bidang ekonomi syariah. “Seluruh ketentuan
(mengenai sengketa dalam ekenomi syariah) dalam fatwa DSN-MUI
itu harus dirubah.” Demikian gugatan yang disampaikan Sekjen
Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) Agustiono dalam seminar ekonomi
syariah yang diselenggarakan Mahkamah Agung (MA), Senin
(20/11).6
6www.hukumonline.com, Ada Apa dengan Badan Arbitrase Syariah Nasional, Senin, 21
November 2006
Namun, keberadaan Basyarnas tak bisa begitu saja difungsikan. Harus
digarisbawahi, penyelesaian lewat Basyarnas bisa dilakukan apabila dalam akad
dibuat klausula mengenai penyelesaian sengketa melalui Arbriter. Hal ini mengacu
pada ketentuan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
Karena itu, DSN-MUI tidak cermat ketika menyatakan sengketa di bidang
ekonomi syariah harus diselesaikan melalui Basyarnas. Sangat mungkin, di antara
pihak-pihak yang meneken akad ada yang tidak sepakat menyelesaikan sengketa yang
timbul melalui Basyarnas. Bisa jadi, karena mereka masih mempertanyakan
kapabilitas Basyarnas atau karena pertimbangan lain.
F. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
Pada umumnya salah satu syarat yang haus ditemui bagi
suatu karya ilmiah adalah upaya sistematis dan objektif untuk
mempelajari suatu masalah dan menemukan prinsip-prinsip umum.
Selain itu, penelitian itu juga berarti upaya mengumpulkan
informasi yang bertujuan untuk menambah pengetahuan. Manusia
tumbuh dan berkembang berdasarkan kajian-kajian sehingga
terdapat penemuan-penemuan, sehingga ia siap merevisi
pengetahuan-pengetahuan masa lalu melalui penemuan-penemuan
baru.7
Metode penelitian dapat dikatakan sebagai suatu penyelidikan
secara analisa dan sempurna. karena dengan adanya penelitian,
karya ilmiah dapat dibuktikan bahwa data-data yang diperoleh
adalah objektif.
Krilik dan miller memberikan pengertian kualitatif sebagai
penelitian tergantung pada pengamatan sesuai dengan
kemampuannya yang berhubungan langsung dengan objek
penelitian dalam bahasa dan peristilihan sendiri. Adapun sumber
utama penelitian kualitatif adalah objek dilapangan, selain itu juga
data tambahan berupa dokumen, file dan penelitian kepustakaan
lainnya.
a. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian kepustakaan
(library reseach).Penelitian kepustakaan yaitu mencari data-data yang diperoleh dari
literatur-literatur dan referensi yang berhubugan dengan judul skripsi diatas.
Referensi diambil dari al-Qur’an dan Hadist, juga kitab-kitab fiqih klasik dan
7 Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Jakarta, PT. Remaja
Rusdakarya,1995. Hal 55
kontemporer yang berkaitan dengan materi penelitian, kemudian Buku-buku yang
berkaitan dengan Arbitrase khususnya arbitrase islam (BASYARNAS), Peradilan
Agama, Perbankan Syariah dan dari bahan-bahan lain seperti karya tulis skripsi,
makalah, majalah, koran serta bahan-bahan lainnya yang dapat mendukung judul
skripsi di atas.
b. Pendekatan Penelitian
Dalam Penyusunan Penelitian, peneliti menggunakan
pendekatan deskriptif-kualitatif-normatif yaitu pemecahan masalah
dengan cara mengumpulkan informasi dan data sebanyak-
banyaknya dengan jalan mengklasifikasikannya serta
menganalisisnya.
c. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data terdiri dari dua sumber yakni :
1. Sumber Primer, yaitu berupa wawancara, dokumen-dokumen,
buku-buku yang menyangkut dengan Arbitrase khususnya
arbitrase islam, Peradilan Agama, Perbankan Syariah.
2. Sumber Sekunder, yakni memberikan penjelasan dan
menguatkan data primer yang mencakup Karya Tulis berupa,
makalah, koran, majalah, dan lain-lain dengan mengambil
materi yang relevan dengan pembahasan skripsi ini.
d. Teknik Pengolahan Data
Dalam penelitian yang menggunakan metode library
research ini, dalam pengolahaan data digunakan metode kualitatif,
yakni dengan cara pengumpulan data sebanyak-banyaknya
kemudian diolah menjadi satu-kesatuan data mendeskripsikan
permasalahan yang akan dibahas dengan mengambil materi-materi
yang relevan dengan permasalahan lalu dikomparasikan.
e. Teknik Analisis Data
Metode analisis data dalam skripsi ini adalah kualitatif-
normatif yakni pengumpulan data dari berbagai dokumen-dokumen
yang berkaitan dengan Arbitrase, Peradilan Agama dan Perbankan
Syariah di Indonesia.
Selain itu, dalam penulisan skripsi ini, penulis juga
menggunakan metode analisis Induktif, yaitu dengan cara
menganalisa data yang bertitik tolak dari data yang bersifat khusus
kemudian ditarik pada kesimpulan umum.
f. Teknik Penulisan Laporan
Adapun sifat dan bentuk laporan dalam skripsi ini adalah
deskriptif-analitis.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada Buku
Pedoman Penulisan Skripsi Tahun 2007 yang diterbitkan oleh
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini disusun secara sistematis menjadi lima
bab. Tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub bab dengan rincian sebagai
berikut:
Bab I Pendahuluan. Dalam bab ini dibahas latar belakang
permasalahan, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
kegunaan penelitian, kajian pustaka, kerangka konsep, metode
penelitian dan tekhnik penulisan serta sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Teoretis. Bab ini akan menguraikan tentang
pengertian persepsi, pengertian arbitrase, dan pengertian Peradilan
Agama, dan bank syariah.
Bab III Badan Arbitrase Syariah Nasional dan Peradilan
Agama sebagai lembaga penyelesaian sengketa muamalat. Bab ini
menjelaskan tentang Badan Arbitrase Syariah Nasional Dasar
hukum dan wewenang BASYARNAS, Peradilan Agama, dasar hukum
dan wewenang serta Analisa tentang dasar hukum BASYARNAS dan
Peradilan Agama di Indonesia.
Bab IV Pilihan penyelesaian sengketa antara BASYARNAS dan
Peradilan Agama Persepsi Praktisi Perbankan Syariah. Bab ini
menguraikan tentang Sengketa Bank Syariah, Persepsi Praktisi,
Sikap Praktisi, dan Pengaruh Persepsi atas Sikap Praktisi terhadap
pilihan penyelesaian sengketa muamalah.
Bab V Penutup, kesimpulan dan saran
BAB II KAJIAN TEORETIS
A. Pengertian Persepsi
Dalam kamus ilmiah populer, kata persepsi mempunyai arti
pengamatan, penyusunan dorongan dalam kesatuan-kesatuan; hal
mengetahui, melalu indera, tanggapan (indera); daya memahami.8
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia persepsi
diartikan sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu,
serapan, proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca
inderanya.9
Persepsi pada hakikatnya adalah proses kognitif yang dialami
setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkunganya,
baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan
penciuman. Kunci untuk memahami persepsi adalah terletak pada
pengenalan bahwa persepsi itu suatu penafsiran yang unik
terhadap situasi, dan bukannya suatu pencatatan yang benar
8 Pius A. Partanto & M Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya:
Arkola, 1994. Hal 591 9 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi
ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2005
16
terhadap situasi, seperti yang dikatakan oleh David Krech: “Peta
kognitif individu itu bukanlah penyajian fotografik dari suatu
kenyataan fisik, melainkan agak bersifat konstuksi pribadi yang
kurang sempurna mengenai obyek tertentu, diseleksi sesuai dengan
kepentingan utamanya dan difahami sesuai kebiasaannya. Setiap
pemahaman adalah pada tingkat tertentu bukanlah seniman yang
representatif, karena lukisan gambar tentang kenyataan itu hanya
menyatakan realitas individunya”.10
Pengertian persepsi dikemukakan oleh Rita L. Atkinson,
seperti dikutip oleh Hayadin, berbunyi sebagai berikut: “Proses
dimana kita mengorganisasi dan menafsirkan pola stimulus yang
biasanya hampir tidak disadari bagian-bagian kecilnya, dan
lingkungan”.11 Dengan kata lain, persepsi merupakan usaha
memahami keadaan tertentu yang menjadi kemungkinan untuk
difahami dan diterima.
Persepsi dikemukakan oleh Desiderato, seperti dikutip oleh
Jalaludin Rahmat, berbunyi: “persepsi adalah pengalaman tentang
10 Miftah Thoha, Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2001. Hal. 123 11 Hayadin, Hubungan Harapan Berkarir dan Persepsi terhadap Iklim
Sekolah (School Climate) dengan Kinerja Kepala Sekolah, Jakarta: PPs-UNJ, 2000. Hal. 5
obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan
menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi adalah
memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli).12
Dari beberapa pengertian persepsi di atas, penulis
menyimpulkan bahwa persepsi adalah pengamatan seseorang
terhadap suatu obyek sehingga terdapat makna yang dimengerti
yang akan menjadikan suatu pandangan.
Faktor-faktor yang menmpengaruhi pengembangan persepsi
seseorang, antara lain:
1. Psikologi
Persepsi seseorang mengenai segala sesuatu di alam dunia ini
sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologi. Sebagai contoh
terbenamnya matahari di waktu senja yang indah temaram,
akan dirasakan sebagai bayang-bayang yang kelabu bagi
seseorang yang buta warna atau suara merdu Grace Simon
12 Jalaludin Rahmat, Psikologi Komunikasi, Bandung: PT. Rosdakarya, 2004, Cet. Ke-21, Hal. 129
yang menyanyikan lagu cinta, barangkali tidak menarik dan
berkesan bagi orang yang kurang mendengar atau tuli.
2. Famili
Pengaruh yang paling besar terhadap anak-anak adalah
familinya. Orang tua yang telah mengembangkan suatu cara
yang khusus di dalam memahami dan melihat kenyataan di
dunia ini, banyak sikap dan persepsi-persepsi mereka yang
diturunkan kepada anak-anaknya. Oleh sebab itu tidak ayal
lagi kalau orang tuanya NU akan mempunyai anak-anaknya
yang NU pula. Demikian pula seorang anak dalam kampanye
pemilu mendukung PKB, karena orang tuanya tokoh PKB
tersebut.
3. Kebudayaan
Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu juga
merupakan salah satu faktor yang kuat dalam
mempengaruhi sikap, nilai, dan cara seseorang memandang
dan memahami keadaan di dunia ini.13
B. Pengertian Arbitrase Islam
13 Miftah Thoha, Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 128
Pengertian arbitrase secara umum di Indonesia, menurut
para pakar hukum adalah sebagai berikut:
Sudargo Gautama,14 menyatakan bahwa arbitrase adalah
cara-cara penyelesaian hakim partikiler yang tidak terikat dengan
berbagai formalitas, cepat dalam memberikan keputusan, karena
dalam instansi terakir serta mengikat, yang mudah untuk
dilaksanakan karena akan ditaati para pihak.
Abdul Kadir Muhammad,15 menyatakan bahwa arbitrase
adalah badan peradilan swasta di luar lingkungan peradilan umum,
yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase adalah
peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh
para pihak-pihak pengusaha yang bersengketa, penyelesaian
sengketa di luar pengadilan negara merupakan kehendak bebas
para pihak, kehendak bebas ini dapat dituangkan dalam perjanjian
tertulis yang mereka buat sebelum dan sesudah terjadi sengketa
sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata.
14 Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang Internasional, Bandung: Alumni,
1979. Hal. 5 15 Abdul kadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992. Hal. 276
R. Subekti,16 mengatakan bahwa arbitrase adalah suatu
penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau
para wasit yang berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan
tunduk atau mentaati keputusan yang akan diberikan wasit atau
para wasit yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.
Menurut Undang-undang Nomor. 30 tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa pada pasal 1 ayat 1
disebutkan bahwa:
“Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang berdasarkan pada perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Sedangkan arbitrase dalam perspektif islam (arbitrase
syariah) dapat disepadankan dengan istilah tahkim. Tahkim berasal
dari kata kerja hakkama.17 Secara etimologis, kata itu berarti
menjadikan seseorang menjadi pencegah suatu sengketa. Secara
teknis tahkim memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase
yang dikenal dewasa ini, yaitu: “pengangkatan seorang atau lebih
sebagai wasit oleh dua orang yang berselisih atau lebih, guna
16 R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, Bandung: PT. Bina Cipta, 1979. Hal 1 17 Luis Ma’luf, Al Munjid Fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut: Dar al-Masyria,
1994. Hal 146
menyelesaikan perselisihan mereka secara damai”. Kata sinonim
yang digunakan adalah muhakkam, sedang wasit atau arbiter
digunakan istilah hakam, yaitu: Who stties a dispute (yang
menyelesaikan perselisihan).18
Dalam istilah fiqih, pengertian tahkim seperti yang
didefinisikan oleh Abu al-Ainain Abdul Fatah Muhammad, tahkim
diartikan sebagai bersandarnya dua orang yang bertikai kepada
seseorang yang mereka ridhai keputusannya untuk menyelesaikan
pertikaian mereka (para pihak).19
Dan menurut para pakar hukum islam, terutama dari
kalangan mazhab Hanafiyah dan Syafi’iyah memberikan pengertian
sebagai berikut:
Menurut kelompok Hanafiyah hakam adalah:20 “Memisahkan
persengketaan dan memutuskan pertikaian atau menetapkan
hukum antara manusia dengan yang haq dan dengan apa yang
ditentukan oleh Allah SWT”. Sedangkan menurut kelompok
18 Bernard Lewis, Encyclopedia of Islam, Leiden: E. J. Briil, 1987. Vol. VII,
Hal 72 19 Abu al-Ainain Abdul Fatah Muhammad, Al-Qadha Wa al-Istbat Fi al-Fiqh
al-Islami, Mesir: Dar al-Fikr, 1976. Hal 84 20 Said Agil Husain al-Munawar, Pelaksanaan Arbitrase Islam dalam
Arbitrase Islam di Indonesia, Jakarta: BAMUI dan BMI, 1994. Cet. Ke-1. Hal 48-49
Syafi’iyah hakam adalah:21 “Memisahkan pertikaian antara dua
pihak yang bertikai atau lebih dengan hukum Allah SWT”. Atau
“Menyatakan hukum syara’ terhadap suatu peristiwa bagi yang
wajib melaksanakannya”.
Dari pengertian di atas, apabila diperhatikan dalam setiap
perselisihan atau sengketa di dalam membuat perjanjian (aqad)
terdapat tiga komponen penting yang menimbulkan persengketaan.
Ketiga komponen yang menjadi persengketaan dalam hal ini
adalah: Pertama, mushalih yaitu para pihak yang mengadakan
perjanjian atau aqad yang berkaitan dengan klausula perjanjian
yang telah ditetapkan sebelum atau sesudah terjadinya sengketa.
Kedua, mushalih ‘anhu yaitu persoalan para pihak yang
dipersengketakan berkaitan dengan isi atau materi perjajian yang
menjadi sumber sengketa. Ketiga, mushalihi ‘alaini atau badalush
sulh yaitu arbitor yang ditunjuk untuk menyelesaikan sengketa
terhadap seseorang yang melakukan wanprestasi atau pelanggaran
yang dilakukan pihak lain.
Pada hakikatnya arbitrase dalam perspektif islam atau
arbitrase syariah mempunyai pengertian yang sama dengan
21 Ibid
pengertian arbitrase secara umum di Indonesia. Dalam dunia
hukum sekarang ini, kata arbitrase berasal dari bahasa latin, yaitu
arbitrate yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan suatu
perkara menurut kebijaksanaan.22 Dalam istilah bahasa inggris
arbitrase disebut arbitration sehingga dari kedua istilah tersebut
dapat disimpulkan bahwa arbitrase mengandung pengertian
sebagai cara penyelesaian suatu persengketaan melalui arbiter
yang berusaha menghilangkan sikap permusuhan di antara dua
pihak yang bersengketa. Inilah yang merupakan salah satu ciri
khas dari sistem pengadilan arbitrase dibandingkan dengan sistem
pengadilan yang lain.
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
arbitrase syariah adalah suatu cara penyelesaian sengketa para
pihak yang dilakukan oleh wasit (hakam) di luar lembaga peradilan
berdasarkan kesepakatan baik sebelum atau sesudah terjadinya
sengketa secara syariah.
Pada umumnya sistem peradilan arbitrase mensyaratkan para
pihak untuk bersepakat dalam menyelesaikan persengketaan
meraka secara perdamaian, untuk itulah perlu dibuat suatu
22 M. Husyein Umar dan A. Supriyani Kardono, Hukum dan Lembaga
Arbitrase di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 1995. Hal 2
klausula arbitrase yang tercantum pada perjanjian pokoknya,
bahwa apabila terjadi persengketaan yang timbul kemudian hari,
mereka bersepakat untuk dibawa kelembaga yang ada.
C. Pengertian Peradilan Agama di Indonesia
Sebelum memaparkan tentang pengertian Peradilan Agama
terlebih dahulu penulis ingin menjelaskan tentang kedua kata yang
saling berhubungan yang kita temui dalam istilah Lembaga
Peradilan, kata tersebut adalah Peradilan/Pengadilan dan Agama.
Peradilan secara bahasa berasal dari kata adil yang mendapat
awalan “per” dan akhiran “an” kata adil mempunyai arti: 1) Tidak
berat sebelah, tidak memihak, keputusan hakim itu. 2) Memihak
kepada yang benar: berpegang kepada kebenaran. 3) Sepatutnya,
tidak sewenang-wenang mengemukakan tuntutannya. Jadi kata
peradilan menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah segala
sesuatu yang mengenai perkara pengadilan: Lembaga Hukum yang
bertugas memperbaiki. Sedangkan kata pengadilan mengandung
arti : 1) Dewan atau Majelis yang mengadili perkara; Mahkamah. 2)
Proses mengadili: keputusan hakim banyak yang tidak puas akan –
hakim itu. 3) Sidang hakim ketika mengadili perkara. 4) Rumah
atau (bangunan) tempat mengadili perkara; rumahnya dimuka
kantor – Negeri. Sedangkan kata agama adalah Badan Peradilan
khusus untuk orang-orang yang beragama islam yang memeriksa
dan memutuskan perkara tentang perceraian, talak dan lain-lain
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.23
Undang-undang No. 3 Tahun 2006 telah mengatur definisi
Peradilan Agama sebagaimana disebutkan dalam pasal 2, sebagai
berikut: “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang”. Dari definisi tersebut tampak jelas bahwa lembaga
peradilan yang dimaksud, diperuntukan bagi umat islam saja. Hal
ini menunjukan pula bagi umat islam yang berperkara dapat
menyelesaikannya melalui peradilan yang hakim-hakimnya
beragama islam serta diselesaikan menurut ajaran islam.
Menurut M. Ali Assabuni dalam bukunya tafsir ahkam
menjelaskan bahwa agama adalah suatu jalan, cara atau
kepercayaan. Jadi, peradilan menurut istilah adalah suatu tempat
23 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, 2005. Hal 6-7
dimana dilakukan peradilan yang menyelesaikan perselisihan di
antara dua orang dengan hukum agama atau hukum syara’.
Menurut fiqih peradilan diartikan dengan:24 “kata yang
menunjukan banyak arti, arti yang paling populer adalah
menghukumi sesuatu dan memutuskannya”. Sedangkan peradilan
menurut istilah adalah: “pemerintahan islam yang menuntut
melakukan upaya menyelesaikan permusuhan di antara dua orang
yang sengketa dengan hukum Allah SWT”.
Kesimpulannya, Peradilan Agama adalah suatu lembaga yang
mengadili, memutuskan perkara-perkara orang islam yang
berkaitan dengan masalah perceraian, talak, kewarisan, dan lain-
lain sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
D. Bank Syariah
1. Pengertian Bank Syariah
Kata bank berasal dari bahasa Italia blanco yang berarti meja
yang dipakai untuk penitipan dan penukaran uang di pasar.25 Pada
zaman dahulu hampir setiap daerah memiliki mata uang sendiri,
24 Abdul Fatah, Muhammad Abu al-Aini, Al-Qadha wa Isbath Fi al-Fiqih Islami ma’almuqoronah bi Qonuni al-Isbati al-Yumna, Mesir: Dar al Fikr, 1976. Hal 7
25 Muhammad Maslehuddin, Sistem Bank dalam Islam, Jakarta, Rineka Cipta, 1994, Cet. II Hal 1
sehingga setiap ingin melakukan setiap transaksi lintas daerah
harus menukarkan uang atau emas dengan mata uang daerah
tersebut. Badan yang menyediakan jasa penukaran mata uang
inilah yang disebut bank. Kemudian pengertian bank berkembang
menjadi “Sebuah lembaga keuangan yang usaha pokoknya
memberikan kredit dan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan
peredaran uang”.
Malayu SP. Hasibuan mengemukakan rumusan definisi bank
sebagai berikut: “ Bank adalah lembaga keuangan, pencipta uang,
pengumpul dana dan pemberi kredit, mempermudah pembayaran
dan penagihan stabilisator, moneter dan dinamisator
perekonomian”.26 Sedangkan G.M Verry Stuart mendefinisan bank
dengan: “Bank adalah suatu badan usaha yang wujudnya
memuaskan keperluan orang lain akan kredit, baik uang yang
diterimanya, sebagai petaruh orang lain maupun dengan jalan
mengeluarkan uang kertas atau uang logam.27
26 Malayu SP. Hasibuan, Teori dan Praktek Kegiatan Operasional Bank,
Jakarta, CV. Masagung, 1996. Hal 3 27 Ibid Hal 4
Di Indonesia pengertian bank dipertegas dalam Undang-
Undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 pasal 1 ayat (2) yang
berbunyi:
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”
Sementara kata syariah adalah satu derivasi dari kata
Syara’a yang berarti al Bayan Wa al Idzhar (Jelas). Sedangkan
Manna al Qatthan mengartikan syariah dengan ungkapan “Jalan
atau tempat keluarnya air untuk minum”. Kemudian bangsa Arab
menggunakan kata ini untuk konotasi jalan lurus dan padat saat
dipakai dalam pembahasan hukum menjadi bermakna segala
sesuatu yang disyari’atkan Allah swt kepada hambanya sebagai
jalan lurus untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dari pengertian bank di atas, dapatlah dipahami pengertian
bank syariah yang merupakan sebuah wujud perbankan dengan
sistem dan praktek operasional yang mengacu kepada ketentuan-
ketentuan Al Qur’an dan Hadits baik itu berupa larangan-larangan
yang harus dijauhi maupun perintah yang harus dijalankan.
Menurut Amin Azis bank syariah (Islam) merupakan lembaga
perbankan yang sistem operasinya berdasarkan syariat Islam. Ini
berarti operasi perbankan mengikuti tata cara berusaha dan
perjanjian usaha berdasarkan al Qur’an dan sunnah Rasul. Hal ini
dipertegas dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
Bab I Pasal 1 ayat (3), bank syariah adalah “bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang
dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran”.28
Kegiatan bank syariah pada dasarnya merupakan perluasan
jasa perbankan bagi masyarakat yang membutuhkan dan
menginginkan pembayaran imbalan yang tidak didasarkan pada
sisitem bunga melainkan atas dasar prinsip bagi hasil jual beli
sebagaimana digariskan syariat Islam.
Dahlan Siamat, dalam bukunya Manajemen Lembaga
Keuangan menerangkan prinsip bagi hasil dalam bank syariah
sebagai berikut:
28 Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta, Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Indonesia, 1999 Edisi ke-2, Hal 458
Prinsip bagi hasil tersebut adalah prinsip yang berdasarkan
syariah yang digunakan oleh bank berdasarkan prinsip bagi hasil
dalam:
a. Menetapkan imbalan yang akan diberikan kepada masyarakat
sehubungan dengan penggunaan dana masyarakat yang
dipercayakan kepadanya
b. Menetapkan imbalan yang akan diterima sehubungan dengan
penyediaan dana kepada masyarakat dalam bentuk
pembiayaan baik untuk keperluan investasi maupun modal
kerja
c. Menetapkan imbalan sehubungan dengan kegiatan usaha
lainnya yang lazim dilakukan oleh bank dengan prinsip bagi
hasil29
2. Prinsip Operasional Bank Syariah
Pada dasarnya aktivitas keuangan dan perbankan dapat
dipandang sebagai wahana bagi masyarakat modern untuk
membawa mereka kepada, paling tidak pelaksanaan dua ajaran al
Quran yaitu:
29 Ibid, Hal 124
a. Prinsip at-Ta’awun, yaitu saling membantu dan bekerja sama
di antara anggota masyarakat untuk kebaikan
b. Prinsip menghindari al-Ikhtinaz, yaitu menahan uang atau
dana dan membiarkannya menganggur (idle) dan tidak
bertukar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat
umum30
Dan ada empat prinsip yang mendasari jaringan kerja
perbankan dengan sistem syariah, yaitu:31
a. Perbankan Non Riba
Menurut para pakar perundangan riba adalah suatu kontrak
atas harta tertentu yang tidak diketahui persamaan dan
ukurannya ketika akad dilaksanakan, atau melambatkan
salah satunya. Umat Islam dilarang mengambil riba apapun
jenisnya. Tidak ada tempat bagi riba untuk masuk ke dalam
sistem perdagangan Islam sebagaimana dijelaskan dalam
surat al-Baqarah ayat 278-279. Dalam prinsip perbankan
syariah masalah riba adalah musuh utamanya, sebab salah
30 Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariahm, Jakarta, Alvabet,
2002, Cet, ke-1, Hal 11-12 31 Jafril Khalil, “Prinsip Syariah dalam Perbankan”, Jurnal Hukum Bisnis,
Jakarta, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis 2002, Volume 20, Hal 47-49
satu filosofi wujud bank syariah adalah untuk menghindarkan
muamalah riba seperti yang dilaksanakan bank konvensional
b. Perniagaan halal dan tidak haram
Prinsip kedua dalam berbisnis adalah mesti halal dan bukan
berbisnis barang-barang yang diharamkan oleh Islam. Islam
memerintahkan kepada pemeluknya untuk melaksanakan
hal-hal yang baik dan menghindarkan hal-hal yang dibenci
Allah
c. Keridhoan pihak-pihak dalam berkontrak
Etika berbisnis dalam Islam menginginkan setiap yang
berkontrak mendapatkan kepuasan dalam mengadakan
transaksi, oleh sebab itu harus ada kerelaan bagi pihak-pihak
yang berkontrak. Apabila ada pihak yang tidak puas dalam
suatu kontrak mereka boleh menyatakan ketidak puasannya
dan pihak yang lainnya harus melayaninya dengan baik,
sehingga kedua belah pihak merasa puas terhadap kontrak
tersebut
d. Pengurusan dana yang amanah, jujur dan bertanggung jawab
Dalam berbisnis, nilai kejujuran dan amanah dalam mengurus
dana merupakan sifat para Nabi dan Rasul dalam kehidupan
sehari-hari. Kejujuran dan amanah merupakan sifat yang
hampir bersamaan, antara satu dengan yang lain saling
memperkuat. Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-
Mu’minun ayat 8.
Dalam operasionalnya, bank syariah secara umum dapat di
katagorikan kepada empat bagian32:
a. Deposito Nasabah
Dalam operasionalnya bank akan menerima deposit melalui
beberapa rekening, diantaranya rekening giro, rekening
mudharabah, dan lain-lain. Rekening tersebut biasanya
dioperasikan dengan kontrak mudharabah dan wadi’ah.
Kontrak mudharabah yaitu kontrak atas satu jenis
perkongsian dengan modal dari satu pihak dan usaha dari
pihak lain dan pembagian keuntungannya sesuai dengan
kesepakatan antara pengusaha dengan pemodal, yang
penting prosentasinya harus ditetapkan diawal. Dan kontrak
wadi’ah yaitu mewakilkan kepada orang lain untuk
memelihara hak milik. Yang dititipkan hanya barang-barang
yang bernilai dan bermanfa’at dalam hal ini bank atas izin
32 ibid, h. 49-53
pemiliknya dapat menginvestasikan dan bank akan
memberikan bonus kepada pemiliknya sesuai dengan
kemampuannya.
b. Pembiayaan
Bank syariah suatu lembaga keuangan akan terlibat dengan
berbagai kontrak perdagangan syariah, dan yang dapat
dioperasikan pada bank syariah:
1. Al-Mudharabah, dari segi konsep dasar sama dengan yang
diatas, namun yang membedakan adalah pada
pelaksanaannya. Pada deposit nasabah, merekalah yang
bertindak sebagai shahibul mal dan bank bertindak
sebagai mudharib, sedangkan dari pada skim pembiyaan
bank sebagai shahibul mal dan nasabah sebagai mudharib.
2. Al-Musyarakah, yaitu akad antara dua orang atau lebih
dengan menyetorkan modal dengan keuntungan di bagi
sesama mereka menurut porsi yang disepakati.
3. Al-Murabahah, yaitu suatu skim bagi orang yang
memerlukan suatu pembiayaan untuk keperluan produktif
atau pun konsumtif, kalau tidak memiliki uang yang cukup
boleh menggunakan elemen ini untuk berkontrak karena
nasabah diberikan ruang untuk membeli sesuatu dengan
cara pembayaran yang ditangguhkan atau dibayar secara
berangsur.
4. Al-Ijarah, yaitu upah atau sewa dapat juga di definisikan
dengan menjual manfaat, kegunaan dan jasa dengan
bayaran yang ditetapkan sifatnya adalah pelayanan, maka
dari sini dapat dilahirkan berbagai produk, dan diperlukan
kreativitas pegawai bank dalam mengembangkan produk
ini.
5. Al-Qardh al-Hasan, yaitu akad yang memindahkan hak
milik pemberi utang kepada pihak yang berutang berupa
sejumlah uang atau barang yang mempunyai kesamaan
dan ketika sudah sampai yang diperjanjikan untuk
membayarnya tanpa adanya bunga. Dalam pelaksaannya,
bank sebaiknya menyisihkan sebagian dari dananya dan
dapat digunakan untuk pembiyaan ini, guna membantu
masyarakat yang sangat membutuhkan dana untuk
keperluan tertentu dalam waktu dekat, tapi tidak dalam
jumlah yang besar.
c. Pembiayaan perdagangan
Diantara pembiyaan perdagangan yang perlu dibuatkan
produknya adalah pembiyaan sebagai berikut:
1. Surat kredit (L/C), yaitu apabila para pedagang ingin
melakukan transaksi ekspor atau impor agar transaksi
mereka berjalan lancar dapat dilakukan dengan tiga prinsip:
a) Surat kredit dibawah prinsip al-wakalah, yaitu
menyerahkan wewenang kepada seseorang untuk
menjalankan suatu tugas yang akan dilakukan oleh
seseorang yang mempunyai wewenang itu. Dalam
praktiknya, dapat dilakukan oleh nasabah dengan bank
syariah seperti nasabah memohon untuk dibuatkan surat
kredit, dan bank meminta nasabah untuk menyediakan
deposit menurut harga barang yang akan diimpor, dan
bank hanya mengenakan komisi kepada nasabah.
b) Surat kredit dibawah prinsip al-musyarakah, caranya
adalah dalam pembayaran barang yang akan diberi oleh
nasabah dengan berkongsi kepada bank. Untuk
menjualnya diserahkan kepada nasabah dan keuntungan
yang diperoleh dibagi antara pihak bank dan nasabah
menurut porsi yang disepakati bersama.
c) Surat kredit dibawah prinsip al-murabahah, dalam
prakteknya bank syariah dapat membelikan dan
mengimpor barang sebagaimana yang dikehendaki oleh
nasabah. Setelah barang itu dibeli oleh bank, nasabah
membelinya dengan kontrak al-murabahah dan
pembayaran akan dilakukan oleh nasabah dikemudian
hari.
2. Surat jaminan, yaitu apabila seseorang memerlukan oleh
orang lain untuk menjamin dirinya agar dapat dipercayai
dalam memegang suatu amanah atau urusan, maka ia
memerlukan jaminan yang biasanya disebut sebagai al-
kafalah dan al-damanah. Dan keuntungan bank
menggunakan elemen ini, mendapatkan bayaran dari
nasabah berupa fee atau upah.
3. Pembiyaan modal kerja dibawah kontrak al-murabahah,
biasanya masyarakat kalau mau membuka suatu usaha atau
membuka aktivitas bisnis yang memerlukan modal, dan bank
dapat membiayai modal kerjanya dengan menggukan kontrak
al-murabahah.
d. Pelayanan lain
Pada prakteknya bank syariah dapat melayani berbagai
keperluan yang di inginkan masyarakat selagi ada unsur
komersilnya dan tidak bertentangan dengan ketentuan syar’i.
Umpamanya pelayanan pengiriman uang, pelayanan
penukaran uang asing, pembayaran telepon, listrik, air,
pelayanan gadai dan lain-lian.
Pelayanan diatas pada umumnya beroperasi dalam elemen
kontrak al-ijarah, bank hanya mengenakan upah. Khusus
penukaran uang selain beroperasi dalam bentuk al-ijarah, juga ada
perlakuan khusus yang nama kontraknya al-sharf, yaitu penukaran
mata uang yang sejenis atau berlainan jenis. Seperti menukarkan
mata uang emas dengan mata uang emas, mata uang emas
dengan mata uang perak ataupun mata uang lain yang dipakai
dipasar.
BAB III
BASYARNAS DAN PERADILAN AGAMA SEBAGAI
LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA MUAMALAT
A. Badan Arbitrase Syariah Nasional
1. Sejarah Berdirinya
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang dahulu
bernama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), didirikan
oleh Majlis Ulama Indonesia tanggal 05 Jumadil Awal 1414 H
bertepatan dengan tanggal 21 Oktober 1993 M. didirikan dalam
bentuk badan hukum yayasan, sebagaimana dikukuhkan dalam
Akte Notaris Yudo Paripurno, SH. Nomor 175 tanggal 21 Oktober
1993 tersebut.33
HS. Prodjokusumo34 Sekum MUI, menyebutkan bahwa
gagasan pembentukan badan ini “tidak terlepas dari konteks
perkembangan kehidupan sosial ekonomi umat islam”. Kontekstual
ini jelas dihubungkan dengan berdirinya Bank Muamalat dan Bank
33 Abdul Rahman Saleh, Arbitrase Islam di Indonesia, Jakarta: BAMUI dan
BMI, 1994. Hal 191 34 Ibid
Perkreditan Rakyat berdasarkan prisip syariat islam (BPRS) yang
lebih dulu lahir, bersesuaian dengan diberlakukannya perangkat
hukum yang mendukung beroperasinya perbankan dengan sistem
yang berprinsip islam yaitu UU No. 7/1992 dan PP No. 71 dan 72
tahun 1992. selain bank, telah diketahui pula adanya rencana
pengoperasian asuransi berdasarkan prinsip islam. Perkembangan
baru Lembaga Keuangan Islam tersebut menjadi nyata dengan
diresmikannya asuransi Takaful pada Agustus 1994.
Beberapa tahun kemudian, atas keputusan MUI melalui hasil
Rapat Kerja Nasional (Rakernas) pada tanggal 23 Desember 2003
nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) diubah
menjadi BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) dengan
suatu alasan bahwa banyaknya sistem bank yang menggunakan
prinsip dan nama syariah. Sehingga timbul kesan di kalangan
masyarakat luas bahwa BAMUI adalah lembaga penyelesaian
sengketa yang dikhususkan untuk Bank Muamalat Indonesia (BMI)
saja mengingat pada saat itu bank yang pertama kali
memberlakukan prinsip syariah adalah Bank Muamalat Indonesia
(BMI) karena di lihat dari penggunaan kata muamalatnya. Dari
banyaknya nama syariah inilah akhirnya MUI merubah BAMUI
menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Di
samping itu juga karena banyaknya anggota pembina dan pengurus
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang meninggal
dunia. Juga ada yang beranggapan bahwa yang mendirikan Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) adalah Bank Muamalat itu
sendiri, padahal kenyataannya yang meresmikan BAMUI adalah
MUI itu artinya Majlis Ulama Indonesia yang mendirikan BAMUI
dengan segala keputusan yang menyangkut BAMUI diputuskan oleh
Majlis Ulama Indonesia (MUI)35.
2. Fungsi dan Tujuan Badan Arbitrase Syariah Nasional
Setiap lembaga atau badan pasti memiliki tujuan yang
hendak dicapai untuk mendapatkan hasil yang optimal. Dengan
tujuan tersebut lembaga atau badan dapat memperkirakan mutu
didirikannya badan atau lembaga tersebut. Seperti halnya Badan
Arbitrase Syariah Nasional memiliki fungsi dan tujuan sebagai
berikut:
Penyelesaian sengketa-sengketa keperdataan (khususnya)
yang ditangani oleh Badan Arbitrase Syariah Nasional
30 Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), Jakarta 25 Agustus 2004,
Skripsi Peranan BASYARNAS Terhadap Penyelesaian Sengketa Bank Syariah, 2005
(BASYARNAS) diputuskan secara damai (islah). Menurut islam
mendamaikan persengketaan itu merupakan pekerjaan baik dan
terpuji seagaimana terkandung dalam surah Annisa ayat 128.
Dalam surat Al Hujurat ayat 9 justru mendamaikan orang yang
bersengketa itu menjadi suatu perintah sebagaimana Allah SWT
berfirman yang artinya : “Dan jika ada dua golongan dari orang-
orang mukmin berperang (bersengketa) maka damaikanlah
keduanya secara adil”.
Dengan prinsip perdamaian, menurut A. Wasil Auli terdapat
nilai-nilai positif dan juga konstuktif yaitu:
1. Kedua pihak menayadari sepenuhnya perlunya penyelesaian
sengketa yang terhormat dan bertanggung jawab
2. Secara sukarela mereka menyerahkan penyelesaian sengketa
itu kepada orang atau lembaga yang disetujui dan dipercayai
3. Secara sukarela mereka akan melaksanakan putusan dari
arbiter sebagai konsekuensi atas kesepakatan mereka
mengangkat arbiter. Kesepakatan mengandung janji dan janji
itu harus ditepati
4. Mereka menghargai hak orang lain sekalipun orang lain itu
adalah lawannya
5. Mereka tidak ingin merasa benar sendiri dan mengabaikan
kebenaran yang mungkin ada pada orang lain
6. Mereka memiliki kesadaran hukum dan sekaligus kesadaran
bernegara atau bermasyarakat sehingga dapat dihindari
tindakan main sendiri
7. Seseungguhnya pelaksanaan tahkim atau arbitrase
mengandung makna musyawarah dan perdamaian
Di samping itu tujuan utama pendirian Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS) sebagai berikut:
1. Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam
sengketa-sengketa perdata/muamalah yang timbul dalam
bidang perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain
2. Menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam
suatu perjanjian, tanpa adanya suatu sengketa, untuk
memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai suatu
persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut
B. Dasar Hukum dan Wewenang Badan Arbitrase Syariah
Nasional
Keberadaan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
sebagai lembaga arbitrase islam tidak bisa dilepaskan dengan
adanya bank syariah, terutama Bank Muamalat Indonesia (BMI)
yang pada saat itu satu-satunya bank yang menggunakan prinsip
syariah. Kemudian disambut dengan dioperasikannya Bank
Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan Asuransi Takaful sebagai
lembaga keuangan yang juga berdasarkan prinsip syariah.
Dengan adanya Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang
berdasarkan prinsip syariah perkembangan muamalah (hukum
perdata islam) telah berkembang mulai dari masalah hukum
keluarga, seperti perkawinan, kewarisan, hibah, wasiat, dan
perceraian ditambah lagi dengan hukum bisnis, seperti
perekonomian dan usaha lainnya. Apabila dikemudian hari timbul
sengketa dari para pihak, apabila sengketa itu timbul dari masalah
bisnis syariah maka penyelesaiannya diserahkan kepada Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sesuai dengan klausula
yang dibuat para pihak sebelum perjanjian dilakukan.
Keberadaan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
secara yuridis formal mempunyai legitimasi yang sangat kuat di
negara Indonesia. Terdapat dasar hukum negara sebagai hukum
positif yang berlaku saat ini memungkinkan suatu lembaga di luar
lembaga peradilan umum dapat menjadi wasit/hakim dalam
penyelesaian sengketa para pihak. Walaupun penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman pada dasarnya diserahkan kepada badan
peradilan dengan berpedoman kepada Undang-undang Nomor 14
tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehakiman. Hal
tersebut merupakan induk dan kerangka umum yang meletakan
dasar dan asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan peradilan
umum, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara yang
masing-masing diatur dalam undang-undang tersendiri.
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) merupakan
badan arbitrase islam (hakam), maka landasan hukumnya pun
tidak lepas dari pedoman Islam yang bersumber dari Al Quran dan
Hadits. Karena penyelesaian sengketa melalui seorang juru damai
merupakan kebiasaan dari masyarakat sejak masa Arab pra Islam.
Nabi Muhammad SAW seringkali diangkat menjadi juru damai oleh
masyarakat arab pada saat itu, saat beliau belum menjadi Rasul.
Suatu contoh, pada kasus siapa yang berhak meletakan Hajar
Aswad pada tempatnya kembali, mereka mempercayai Nabi untuk
menyelesaikannya serta merasa puas akan keputusan yang adil
dari Nabi Muhammad SAW, sejak itu akhirnya Nabi Muhammad
SAW diberi gelar Al Amin.
Adapun dasar hukum arbitrase syariah dapat dilihat dari ayat-
ayat Al-Qur’an yang menganjurkan tentang perlunya perdamaian,
antara lain sebagai berikut:
Surat An-nisa ayat 35, yang artinya sebagai berikut: “Dan jika
kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya maka
kirimilah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam
dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberikan taufiq kepada
suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal”. Jika dilihat secara tekstual ayat ini mengandung
pengertian hakam dalam masalah keluarga, menyelesaikan
perselisihan antara suami isrtri. Namun jika dilihat dari semangat
yang terkandung di dalamnya, maka terdapat hakam untuk
menyelesaikan perkara secara ishlah, bukan tidak mungkin untuk
diterapkannya pada masalah lain.
Dasar hukum arbitrase syariah selanjutnya adalah hadits
yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i yang menceritakan tentang dialog
Nabi dengan Abu Syureikh, dikalangan rakyat jika terjadi
perselisihan dalam berbagai hal, Abu Syureikh seringkali diangkat
sebagai wasit untuk menyelesaikan masalah di antara mereka:
“Qutaibah menceritakan kepada kami, dia berkata: telah
menceritakan kepada kami Yazid, dia adalah putera Miqdam bin
Syureikh dari Syreikh Ibnu Hani, dari bapaknya yaitu Hani, bahwa
dia (Hani) tatkala datang kepada Rasul maka Rasul berkata
kepadanya: “Sesungguhnya Allah itulah Hakim dan kepadanyalah
dikembalikan segala permasalahan hukum namun mengapa engkau
digelari “Abu Al Hakim”? maka Hani berkata: “Sesungguhnya
kaumku manakala terjadi perselisihan di antara mereka tentang
sesuatu maka mereka mendatangiku dan aku memberikan putusan
hukum bagi mereka dan masing-masing pihak yang berselisih itu
menerima (keputusan) dengan rela hati”. Rasul berkata: “Alangkah
baiknya hal demikian…”.
Selain Al Quran dan Hadits yang menjadi dasar hukum
arbitrase syariah adalah ijma (kesepakatan) para ulama dari
kalangan sahabat Rasulullah atas keabsahan praktik tahkim.
Persengketaan pernah terjadi yang diputuskan melalui arbitrase di
kalangan sahabat. Ini menunjukan bahwa arbitarse sesungguhnya
sudah menjadi keharusan bagi para pihak yang bersengketa untuk
mengedepankan rasa perdamaian dan persaudaraan diantara
sesama.
Sedangkan yuridiksi (wewenang) Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS) meliputi:36
a. Penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan
perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain
dimana para pihak sepakat secara tertulis untuk
menyerahkan penyelesaiannya kepada BASYARNAS sesuai
prosedur peraturan BASYARNAS.
b. Memberikan suatu pendapat yang mengikat tanpa adanya
suatu sengketa mengenai suatu persoalan berkenaan
dengan perjanjian permintaan para pihak.
Apabila jalur arbitrase tidak dapat menyelesaian perselisihan, maka lembaga
peradilan adalah jalan terakhir sebagai pemutus perkara tersebut. Hakim harus
memperhatikan rujukan yang berasal dari arbiter yang sebelumnya telah menangani
kasus tersebut sebagai bahan pertimbangan dan untuk menghindari lamanya proses
penyelesaian.
C. Peradilan Agama di Indonesia
36 Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga
Terkait, BAMUI, TAKAFUL dan Pasar Modal Syariah di Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Hal 168-169
Kerajaan Islam yang paling penting di pulau Jawa adalah
Demak (yang kemudian diganti dengan Mataram) Cirebon dan
Banten. Di Indonesia Timur yang paling penting adalah Goa di
Sulawesi Selatan dan Ternate yang pengaruhnya meluas hingga
kepulauan Filipina. Di Sumatera yang paling penting adalah Aceh
yang wilayahnya meliputi wilayah melayu.
Untuk perkembangan Peradilan Agama di masa kerajaan
Mataram (1613-1645) diperintah oleh Sultan Agung pada saat itu
sebelum pengaruh Islam masuk ke sistem peradilan yang
berkembang sebelumnya adalah ajaran Hindu yang mempengaruhi
sistem peradilan, ketika itu perkara dibagi menjadi dua bagian:
perkara yang menjadi urusan raja (perkaranya disebut perdata)
dan perkara yang bukan urusan pengadilan raja ( perkara disebut
padu). Bila diperhatikan dari segi materi hukumnya dapat diduga
bahwa hukum perdata bersumber dari ajaran Hindu, sementara
hukum padu bersumber pada hukum adat.37
Ketika Ibnu Battutah singgah di Samudera Pasai (Aceh dekat
Lhok Sumawe sekarang), pada tahun 1345 M, ia mengagumi
37 Abdul Hakim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia “Dari
Otoriter Konsep Menuju Konfigurasi Demokrasi responsif”, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Hal 38-39
perkembangan Islam di negeri itu. Ia mengagumi kemampuan
Sultan al-Malik al-Zahir berdiskusi tentang berbagai masalah Islam
dan ilmu fiqih. Menurut pengembara arab muslim Maroko itu, selain
sebagai seorang raja, al-Malik al-Zahir yang menjadi Sultan Pasai
ketika itu adalah juga seorang fuqaha yang mahir tentang hukum
Islam, yang dianut di kerajaan Pasai pada waktu itu adalah hukum
mazhab Syafi’i ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Indonesia
bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri (1400-1500 M) para
ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudera Pasai untuk meminta
kata putus berbagai masalah hukum yang mereka jumpai dalam
masyarakat.
Dalam proses Islamisasi ke kepulauan Indonesia yang
dilakukan para saudagar melalui perdagangan dan perkawinan,
peranan hukum Islam adalah besar, ketika saudagar muslim
hendak menikah dengan seorang wanita setempat misalnya wanita
itu diislamkan terlebih dahulu dan pernikahannya kemudian
dilangsungkan menurut ketentuan hukum Islam, keluarga yang
tumbuh dari perkawinana ini mengatur hubungan antar anggota-
anggotanya dengan kaidah-kaidah hukum Islam atau kaidah-kaidah
lama yang disesuaikan dengan kaidah Islam.38
Dari beberapa contoh dan uraian singkat tersebut dapatlah
ditarik sebuah kesimpulan bahwa sebelum Belanda mengalihkan
kekuasaanya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang
berdiri sendiri telah ada dalam masyarakat. Tumbuh dan
berkembang disamping kebiasaan atau adat penduduk yang
mendiami kepulauan nusantara ini. Menurut Soebardi (1978)
terdapat bukti-bukti yang menunjukan bahwa Islam berakar dalam
kesadaran penduduk kepulauan nusantara dan mempunyai
pengaruh yang bersifat normatif dalam kebudayaan Indonesia.
Pengaruh ini menurut De Josselin De Joy (dalam Kusumadi 1960)
merupakan penetration pasifigne, tolerante et constuctive
(penetrasi secara damai, toleran dan bersifat membangun).39
Sikap politik pemerintah Hindia Belanda terhadap Peradilan
Agama yang semula tidak akan melakukan gangguan serta tetap
membiarkan orang Jawa memutuskan seperti dalam instruksi bulan
38 Prof. H. Muhammad Daud Ali, SH, Hukum Islam dan Peradilan Agama
(Kumpulan Tulisan), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Hal 190 39 Ibid, hal 192
September 1808 M, ternyata lebih jauh menjadi mengatur dan
memperluas pengaturan tersebut di pulau Jawa. Hal ini dapat
dilihat dengan keluarnya staatsblad nomor 22 tahun 1820. Dalam
pasal 13 staatblad ini disebutkan bahwa Bupati wajib
memperhatikan soal-soal agama Islam dan untuk menjaga para
pendeta dapat menjalankan tugas mereka sesuai dengan adat
kebiasaan orang Jawa seperti dalam perkawinan, pembagian
pusaka dan sejenis itu.40
Tetapi pada tahun 1882 dikeluarkan penerapan raja Belanda
yang dimuat dalam staatsblad 1882 nomor 152 yang mengatur
bahwa Peradilan Agama di Indonesia untuk pulau Jawa dan Madura
dilaksanakan di Peradilan Agama yang dinamakan priesterrad atau
Majlis Pendeta. Menurut Notosusanto (1963:6) penamaan tersebut
sebenarnya keliru, oleh karena dalam agama Islam tidak dikenal
pranata kependetaan atau padri. Kekeliruan itu dikecam oleh
Snouch Hurgronjec (1973;12) yang menyatakan bahwa hal itu
sebagai akibat kedangkalan pengetahuan pemerintah.
40 Peradilan Agama di Indonesia, Sejarah Perkembangan Lembaga dan
Proses Pembentukan Undang-undangnya, Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Direktorat Badan Peradilan Agama Islam , Jakarta 2001, hal 8
Dengan adanya ketetapan tersebut, terdapat perubahan yang
cukup penting yaitu: 1) Reorganisasi ini sebenarnya membentuk
Peradilan Agama yang baru disamping landraad dengan wilayah
hukum yang sama, yaitu rata-rata seluas wilayah kabupaten. 2)
Peradilan itu menetapkan perkara-perkara yang dipandang masuk
dalam lingkungan kekuasaannya. Menurut Noto Susanto (1963:7)
perkara-perkara itu umumnya meliputi perkawinan, segala jenis
perceraian, mahar, nafkah, keabsahan anak, perwalian, kewarisan,
hibah, wakaf, shadaqah, dan baitul maal, yang semuanya erat
dengan agama Islam.
Pengadilan Agama tidak memiliki daya paksa. Oleh karena itu
apabila salah satu pihak yang berperkara tidak mau tunduk atas
keputusan tersebut, maka keputusan itu baru dapat dijalankan
dengan terlebih dahulu diberi kekuatan oleh ketua Landroad
(sekarang pengadilan negeri). Seringkali ketua Landroad tidak
bersedia memberi kekuatan atas keputusan Pengadilan Agama atau
membuat terjadinya pertentangan itu adalah sumber hukum yang
digunakan oleh kedua pengadilan itu. Pengadilan Agama
mendapatkan keputusannya kepada hukum Islam, sedangkan
Landroad mendasarkan keputusannya kepada hukum adat.41
Politik hukum adat yang dasarnya revolusioner, benar-benar
telah mengacaukan perkembangan perubahan-perubahan sosial
dan politik. Apapun gagasan para perumusnya, namun inti politik
itu adalah untuk mendesak Islam kembali, menghambat
kemajuannya dan secara romantis mempertahankan kemurnian
masyarakat adat yang justru adat istiadat itu hanya akan
mengisolir mereka satu dengan yang lain. Banyak pemimpin-
pemimpin Indonesia yang berpendapat bahwa adatrecht politick
hanya menyuburkan taktik devide-et impera dari pemerintahan
kolonial, bagi kebanyakan rakyat pedesaan maupun kota, hal ini
tidak banyak membawa perubahan. Rakyat masih terus meminta
bantuan kepada Pengadilan Agama dalam perkara penyelesaian
warisan nenek moyang, namun secara politis pihak Islam harus
menerima kekalahan, yang sukar untuk direbut kembali di
kemudian hari.42
41 Drs. Cik Hasan Basri. Ms, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: PT.
Rajawali Press, 2003. Hal 110-111 42 Daniel S. Lev, Peradilan Agama Islam di Indonesia, Jakarta: PT.
Intermasa, 1987. Hal 46
Sebagian karena pertentangan ideologi, para pemimpin Islam
tidak dapat memberikan jalan keluar yang lebih baik, mereka yang
sebenarnya ingin melepaskan diri dari lingkungan adat. Maka
gerakan untuk kembali kepada kemurnian Al-Quran dan Hadist
dikalangan para reformis dipaksa berhenti tanpa dapat mengambil
langkah-langkah untuk mencari nilai-nilai baru bagi agama dalam
dunia yang modern ini. Tulisan-tulisan para intelektual Islam pada
tahun 1930-an menggambarkan problematika ini dan sejak itu
mereka menyadari akan pengaruh ketat alam pemikiran tradisional
dalam Islam.43
Sementara itu lembaga-lembaga agama ini, telah mengalami
perubahan yang berarti, sebagian besar akibat politik kolonial atau
kadang-kadang oleh pergerakan politik Islam baru sendiri, yang
oleh para pemimpinnya terutama kalangan modernisasi
perkembangan itu sering dianggap remeh. Gerak kearah ekonomi
Pengadilan Agama (walaupun terbatas) telah disebut dimuka.
Beberapa inovasi yang terjadi di Jawa nampak diperluas kepulau-
pulau lain. Pengadilan Kodi di Kalimantan (biasa di sebut Kerapatan
Kodi) telah diorganisir dan dibentuk pengadilan bandingannya.
43 Ibid, hal. 46-47
Andaikata ada waktu yang cukup, perubahan-perubahan semacam
itu mungkin sudah dilaksanakan di tempat-tempat lain di luar Jawa.
Di luar Jawa sendiri para pejabat agama mencurigai Mahkamah
Islam Tinggi yang baru itu karena dianggap sebagai imbalan atas
pencabutan wewenang mereka terhadap waris. Oleh karena para
hakim agama pada dasarnya kurang percaya akan perubahan baru
yang dilakukan oleh Gubernemen dan khawatir akan lebih banyak
dilakukan pengawasan melalaui Mahkamah Islam Tinggi, maka
mereka pernah membentuk pengadilan bandingan sendiri namun
akhirnya kedudukan Mahkamah Islam Tinggi diterima juga.
Perubahan-perubahan di dalam Peradilan Agama ternyata
berjalan terus setelah penjajahan di tutup, sedang aliran yang
mereka wakili terus berlangsung di bawah tekanan dan pembatasan
yang sama. Namun situasi politiknya telah berubah dengan akibat
dan konsekuensi yang panjang pula.44
Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 atas
usul Menteri Agama yang direstui Menteri Kehakiman, pemerintah
menetapkan bahwa Pengadilan Agama diserahkan dari kekuasaan
44 Ibid, hal. 47-48
kementrian kehakiman kepada kementrian agama dengan
ketetapan pemerintah nomor 5 tanggal 25 Maret 1946.
Sebelum merdeka pegawai pengadilan Agama mendapat gaji
pada masa kolonial Belanda tetapi ketika itu gaji tersebut diberikan
bukan atas nama sebagai pengadilan Agama tetapi menerima gaji
sebagai Islami Tiseh Adviseur pada Landraad. Dan pada akhirnya
kewenangan mengangkat penghulu landraad, penghulu, anggota
raad agama dan pejabat lain yang dahulu pada residen dan bupati
diserahkan pula kepada Menteri Agama dan maklumat pemerintah
nomor 11 tanggal 23 April 1946. ini berarti kewenangan tauliyah
pada hakim/qadhi dalam pelaksanaan syariat Islam yang dahulu
ditangan penguasa kafir (Belanda dan Jepang kini kembali berada
ditangan bangsa Indonesia sendiri).
Sejalan dengan pasal 2 aturan peralihan Undang-undang
Dasar Negara RI 1945, dasar dan wewenang kekuasaan Peradilan
Agama masih tetap berlaku sebagaimana sebelum proklamasi, baik
di pulau Jawa, Madura, Kalimantan Selatan maupun di daerah-
daerah lain. Selama revolusi fisik pada umumnya tidak ada
perubahan tentang dasar peraturan Peradilan Agama secara
prinsipal, selain usaha-usaha pelestarian Peradilan Agama itu
sendiri. Selama revolusi fisik yang patut di cermati adalah:
Pertama: Keluarnya UU No. 22 tahun 1946 tentang
pencatatan nikah, talak, dan rujuk, pada tanggal 22 November
1946 di Linggar Jati (Cirebon) oleh Presiden RI detetapkan UU No.
22 tahun 1946 tentang penyatuan pencatatan nikah, talak, dan
rujuk menggantikan ordinasi-ordinasi perkawinan yang
sebelumnya. Ini merupakan Undang-undang pertama dalam
sejarah kemerdekaan yang jelas menyangkut pelaksanaan syariat
Islam, sekalipun belum memasuki materi hukum perkawinannya
sendiri.
Kedua: Keluarnya UU No. 19 tahun 1948 yang pernah
dinyatakan berlaku isinya antara lain dihapusnya susunan Peradilan
Agama yang telah ada selama ini, tetapi materi hukum yang
menjadi wewenangnya ditampung dan dimasukan di Pengadilan
Negeri yang secara istimewa diputus oleh dua orang hakim ahli
agama disamping hakim yang beragama Islam sebagai ketua.
Keweangan Pengadilan Agama dimasukan dalam Pengadilan Umum
secara istimewa yang diatur dalam pasal 35 ayat (2), Pasal 75 dan
Pasal 33. Undang-undang ini merupakan aturan yang penting
tentang peradilan dalam masa pemerintahan RI Yogyakarta.
Undang-undang ini bermaksud mengatur mengenai peradilan dan
sekaligus mencabut serta menyempurnakan isi UU No. 70 tahun
1947 tentang susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung dan
Kejaksaan yang mulai berlaku pada tanggal 3 Maret 1947.
sehubungan dengan lingkungan peradilan, undang-undang ini
menetapkan tiga lingkungan peradilan yaiu peradilan umum,
peradilan tata usaha negara, dan peradilan ketentaraman.45
Pada tahun 1970, pemerintah lebih mempertegas keberadaan
Peradilan Agama dengan dikeluarkannya UU No. 14 tahun 1970
tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman dalam
pasal 10 disebutkan : ada empat lingkungan peradilan di Indonesia
yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan
Peradilan Tata Usaha Negara. Seluruh peradilan tersebut
disejajarkan posisinya secara hukum dan berinduk kepada
Mahkamah Agung.
45 Kamarusdiana, S.Ag. MH, Diktat mata Kuliah Peradilan Agama di
Indonesia, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003-2004. Hal 65-66
D. Dasar Hukum dan Wewenang Peradilan Agama di
Indonesia
Adapun yang menjadi kompetensi Peradilan Agama dapat kita
lihat dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama yang dalam pasal 49-nya menyebutkan bahwa :
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang
:
a. Perkawinan
b. Kewarisan, Wasiat, dan Hibah yang dilakukan berdasarkan
hukum Islam
c. Waqaf dan Shadaqah”46
Berdasarkan ketentuan pasal 50 Undang-Undang No. 8 ahun
2004 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986
Tentang Peradilan Umum, disebutkan bahwa :
“Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama”
46 Abdul Ghofur Anshori, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia,
Yogyakarta: PT. Citra Media, 2006. Hal 144
Undang-Undang Peradilan Agama tahun 1989 ini telah
mengalami perubahan pada tahun 2006, yaitu dengan lahirnya
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Terkait dengan kompetensi
Peradilan Agama yang tertuang dalam ketentuan pasal 49
mengalami perluasan. Adapun perluasan kewenangan dari
Pengadilan Agama tertuang dalam pasal 49 huruf i, yaitu berupa
kewenangan menyelesaikan sengketa di bidang Ekonomi Syariah.
Yang dimaksud dengan Ekonomi Syariah menurut penjelasan pasal
49 huruf i Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 adalah perbuatan
atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah,
meliputi : Bank Syariah, Asuransi Syariah, Reasuransi Syariah,
Reksa dana Syariah, Obligasi Syariah dan Surat berharga berjangka
menengah Syariah, Sekuritas Syariah, Pembiayaan Syariah,
Pegadaian Syariah, Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syariah,
Bisnis Syariah, dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah.47
Melihat kepada kewenangan Peradilan Agama dan Peradilan
Umum di atas, kewenangan Peradilan Agama berdasarkan Undang-
Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama mempunyai
47 Ibid.
kompetensi atau kewenangan untuk menerima, memeriksa, dan
memutus sengketa dibidang Ekonomi Syariah.
E. Analisa Tentang Dasar Hukum BASYARNAS dan Peradilan
Agama di Indonesia Selama ini, sebelum amandemen UU Peradilan Agama,
memang ada lembaga yang menangani sengketa perekonomian
syariah, yakni Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
Kasus sengketa ditangani oleh Badan Arbitrase Syariah Nasioal
(BASYARNAS), sesuai dengan akad di lembaga keuangan syariah.
Nasabah dan lembaga perbankan secara ”terpaksa” harus memilih
lembaga Basyarnas untuk menyelesaikannya. Setiap draft kontrak
syariah telah memuat klausul Basyarnas. Keharusan ke Basyarnas
karena belum dikeluarkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006.
Tetapi setelah keluarnya Undang-Undang tersebut, harus dibuka
peluang seluas-luasnya kepada Pengadilan Agama untuk
mengadilinya, sehingga tidak menjadi monopoli Basyarnas.
Selain itu, sering pula ditemukan redaksi akad yang
membuka dualisme hukum yang sangat menyesatkan. Banyak
bank-bank yang syariah yang menyebutkan dalam akadnya, bahwa
jika terjadi perselisihan akan diselesaikan oleh lembaga arbitrase
syariah atau Pengadilan Negeri. Hal ini menyesatkan, karena jika
para pihak sudah menentukan dan memilih lembaga arbitrase,
maka sudah tertutup peluang kepada Pengadilan Negeri. Pilihan
tersebut harus tegas, apakah arbitrase atau pengadilan Negeri. Jika
para pihak memilih pengadilan Negeri, hal inipun tidak tepat, tidak
relevan dan jelas tidak sesuai syariah.
Dengan keluarnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, kasus
sengketa ekonomi syariah harus diselesaikan di Pengadilan Agama,
kecuali para pihak sepakat diselesaikan melalui lembaga arbitrase.
Satu hal lagi yang menjadi catatan penting adalah masalah
eksekusi. Selama ini eksekusi keputusan arbitrase dilakukan oleh
Pengadilan Negeri, bukan Pengadilan Agama (Syariah). Ketentuan
ini sesuai dengan Undang-Undang Arbitrase No 30 Tahun 1999.
Realita ini seharusnya diubah, pasca keluarnya Undang-Undang No.
3 Tahun 2006. Dengan kata lain, Undang-Undang arbitrase harus
diamandemen. Lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 ini juga
membawa implikasi besar bagi seluruh redaksi akad di lembaga
perbankan dan keuangan syariah saat ini.
Selama ini dalam setiap akad di lembaga ekonomi syariah
tercantum sebuah klausul yang berbunyi, “ Jika salah satu pihak
tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di
antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah. Dengan amandemen ini maka klausul
tersebut seharusnya dihapuskan dan seluruh format transaksi di
bank dan lembaga keuangan syariah harus diubah. Klausul tersebut
juga terdapat pada Peraturan Bank Indonesia saat ini dan seluruh
fatwa DSN MUI. Dalam fatwa DSN MUI dan PBI disebutkan, bahwa
penyelesaian sengketa diselesaikan oleh Badan Arbitrase Syariah.
Maka dengan amandemen ini, bunyi redaksi DSN MUI dan PBI yang
menyebutkan peranan Badan Arbitrase seharusnya dihapus, karena
telah ada Pengadilan Agama yang berwenang mengadilinya.
Namun demikian, Badan Arbitrase tidak serta kehilangan
peran, sebab jika para pihak memilih badan ini menyelesaikan
kasusnya, maka hal itu dibenarkan. Pencantuman lembaga
atbitrase syariah di fatwa DSN dan PBI untuk menyelesaikan
sengketa syariah dapat dimaklumi, karena selama ini belum ada
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006.
Tetapi, setelah Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 lahir, maka
lembaga yang menyelesaikan kasus sengketa syariah tidak lagi
monopoli arbitrase. Kecuali para pihak sejak awal memang sepakat
memilih Badan Abitrase. Klausul keharusan penyelesaian sengketa
melalui lembaga arbitrase adalah sebuah kesalahan fatal. Sama
fatalnya, jika setiap transaksi bisnis non syariah harus diselesaikan
melalui lembaga arbitrase konvensional yang disebut BANI, bukan
Pengadilan Umum. Silakan lihat bunyi klausul kontrak bisnis
konvensonal, apakah semuanya ada klausul diselesaikan lembaga
Arbitrase,? Dan tertutup bagi pengadilan?. Jawabannya jelas tidak.
Karena itu, hal yang sama harus diterapkan juga di dalam bunyi
kontrak syariah
Amandemen ini memang dirasakan sangat penting,
mengingat perkembangan lembaga keuangan syariah bergerak
cepat, seperti perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal
syariah, lembaga keuangan miro syariah (BMT), pergadaian
syariah, dan sebagainya.
Memang, sejak UU No. 3/2006 disahkan, seharusnya masalah
sengketa perbankan syariah bakal menemui titik terang. Undang-
Undang itu menegaskan bahwa semua sengketa ekonomi syariah
diselesaikan di Pengadilan Agama. Masalahnya, dari segi sumber
daya manusianya masih banyak menuai masalah. Data IAIE
menyebutkan, dari 2.000-an hakim Pengadilan Agama, hanya 500
yang diperkirakan memenuhi standar.
Namun secara yuridis, badan Peradilan Agama telah
mempunyai kewenangan memeriksa, mengadili dan memutus
perkara sengketa ekonomi syariah yang meliputi antara lain bank
syariah berdasarkan Undang-Undang No. 3 tahun 2006
sebagaimana tersebut dalam pasal 49 berikut penjelasannya.
Sehingga kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan
syariah yang tepat adalah pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama.
Demikian juga upaya-upaya alternatif yang ditempuh
sebelum penyelesaian sengketa diserahkan ke pengadilan,
terakhir melalui mekanisme arbitrase syariah, maka pengadilan
yang akan menyelesaikan sengketa tersebut tentunya Pengadilan
yang aparatur hukumnya memilki basis keilmuan ataupun
spesifikasi bidang ilmu syariah. Sebab segala urusan pekerjaan
yang diserahkan kepada yang bukan ahlinya akan mengalami saat
kehancuran ( idza wujida al amru fi ghoiri ahlihi fantazhiru as-
sa’ah). Dan oleh karena sengketa ekonomi syariah menjadi
kewenangan absolut Peradilan Agama sebagaimana ketentuan
Undang-Undang. No. 3 tahun 2006, maka segala bentuk
perundang-undangan yang mengatur hal-hal yang berdasarkan
prinsip syariah termasuk penanganan sengketa perbankan
syariah, tepatnya dilakukan oleh Peradilan Agama.
Dari segi syar’iyah, tujuan syaria’at Islam untuk melindungi
(menolak) dari bahaya atau mafsadat dan menciptakan
kesejahteraan dan kemaslahatan umat yang dikemas dalam
prinsip rahmatan lil’alamin (menjadi rahmat bagi sekalian alam).
Oleh karena itu dalam subyek hukum bagi Peradilan Agama yang
menyebutkan “ bagi orang-orang yang beragama Islam” adalah
termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya
menundukan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai
hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama (penjelasan
pasal 49 Undang-Undang No. 3 tahun 2006). Sehingga para
nasabah yang non muslim yang mengikuti aktivitas dalam
menggunakan jasa perbankan berdasarkan prinsip syariah, jika
terjadi kasus maka sengketanya diselesaikan di Peradilan Agama.
BAB IV
PERSEPSI PRAKTISI PERBANKAN SYARIAH TERHADAP
PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA
BASYARNAS DAN PERADILAN AGAMA
A. Sengketa Bank Syariah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah sengketa adalah
sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat atau
pertengkaran.48 Oleh karenanya bentuk sengketa beraneka ragam
dan keaneka ragamannya menentukan inti permasalahan. Setiap
permasalahan memiliki sekian banyak lika-liku akan tetapi pada
akhirnya intinya akan muncul kepermukaan. Berbagai faktor
individual maupun pengaruh lingkungan dapat menguasai para
48 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1999, Cet. Ke-10.
Hal 914
pihak yang bersengketa melalui pertentangan tertentu yang
kadang-kadang tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat.49
Oleh karena itu paling efektif kalau dapat diselesaikan dengan
putusan yang final dan mengikat melalui alternatif penyelesaian
sengketa, baik melalui bentuk-bentuk alternatif penyelesaian
sengketa tertentu maupun arbitrase. Dengan demikian sengketa
tersebut dapat diputus, atau setidak-tidaknya dapat diklarifikasi
dengan mempersempit persoalannya mealalui alternatif
penyelesaian sengketa yang tepat. Beberapa bentuk sengketa
dapat saja diselesaikan dengan melakukan negosiasi langsung oleh
para pihak tanpa perlu bantuan dari pihak ketiga.
Permaslahan yang kadang menimbulkan sengketa antara
bank dan nasabahnya adalah menyangkut pembiayaan bermasalah
yang dapat mengganggu kinerja bank itu sendiri karena harus
menyisihkan waktu untuk menyelesaikan permasalahan
pembiayaan bermasalah tersebut.
Sebab-sebab yang dapat menimbulkan sengketa antara
lain:50
49 H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
Jakarta, PT. Pikahati Aneka, 2002, Cet. Ke-I. Hal 1
56
1. Sebab-sebab yang ditimbulkan oleh kreditur atau pihak
bank pada saat proses pemberian pembiayaan.
a. Kesalahan dalam menentukan jumlah pembiayaan yang
diberikan, pembiayaan yang kurang atau melebihi dari
jumlah pembayaran yang diperlukan akan dapat
mengakibatkan kemacetan pada pembiayaan tersebut.
Kalau pembiayaan kurang dari jumlah yang diperlukan,
maka akan mengurangi kemampuan debitur dalam
memperlancar atau meningkatkan usahanya.
b. Kesalahan dalam menentukan jangka waktu
pembiayaan, hal ini dapat menjadikan pembiayaan
bermasalah karena akan mengganggu kemampuan dari
debitur yang bersangkutan.
c. Kesalahan dalam menentukan jenis pembiayaan yang
diberikan, hal ini akan menyangkut penentuan atas
resiko pembiayaan yang diberikan. Apabila keliru dalam
memilih jenis dan tujuan penggunaan pembiayaan,
resikonya terlalu besar sehingga akan mengakibatkan
pembiayaan bermasalah.
50 M. Abda’i Zidni, Staf Bank DKI Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta 4
Maret 2008
d. Kesalahan karena kemudahan memberikan
pembiayaan, ini terjadi karena hanya didasarkan untuk
mengejar target, sehingga lupa memperhatikan prinsip-
prinsip pemberian pembiayaan yang sehat.
Kesalahan-kesalahan tersebut kemungkinan besar terjadi
disebabkan karena adanya persaingan antar bank, kurangnya
mengenai informasi debitur yang nakal, kurangnya informasi
mengenai sumber pembiayaan dan lain-lain.
2. Sebab-sebab yang ditimbulkan oleh debitur atau pihak
nasabah
a. Adanya kesalahan management dari debitur, akibat dari
kurangnya pengalaman dan keterampilan debitur
dibidang keuangan, sehingga tidak dapat mengadakan
penyesuaian yang perlu untuk mengatasi kesulitan-
kesulitan yang dihadapi.
b. Adanya kesengajaan dari debitur untuk menipu kreditur
dengan memberikan keterangan atau data-data yang
tidak benar.
c. Tidak adanya i’tikad baik dari debitur untuk
mengembalikan pembiayaannya walaupun debitur
tersebut mempunyai kemampuan untuk melakukan
pembayaran kembali.
B. Persepsi Praktisi
Bila mencermati setiap Fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan
Syariah Nasional (DSN) MUI mengenai produk dan kegiatan yang
tercakup dalam ekonomi Syariah, maka sebagian besar Fatwa DSN
mencantumkan ketentuan penyelesaian sengketa melalui Badan
Arbitrase Syariah. Secara prinsip, dimasukannya ketentuan Badan
Arbitrase Syariah dalam fatwa adalah pemikiran yang baik. Pelaku
usaha Syariah akan memperoleh perlindungan hukum dari arbiter-
arbiter Badan Arbitase yang sangat mengerti skim ekonomi
Syariah.
Dalam kontek Ushul Fiqih, sebuah Fatwa dijadikan dasar
hukum bagi umat Islam dalam menentukan arah kebijakan
pelaksanaan muamalah. Apakah yang diperbolehkan atau dilarang
oleh Fatwa, akan menjadi pedoman pelaku usaha untuk
melaksanakan kegiatan ekonomi syariah. Pedoman tersebut
menjadi terlegitimasi dan berhak menyandang ‘produk sesuai
syariah’ ketika seluruh pelaksanaan kegiatan ekonomi telah sesuai
dengan Fatwa.
Sedangkan apa yang dilarang oleh Fatwa maka menjadi
pantangan atau larangan pelaku usaha untuk menjalankan kegiatan
tersebut. Implikasinya ketika suatu kegiatan ekonomi tidak sejalan
dengan fatwa, maka kegiatan ekonomi tersebut tidak lagi berhak
menyandang ‘Produk sesuai Syariah’. Dikaitkan dengan adanya
ketentuan penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Syariah
dalam fatwa DSN, maka sudah menjadi kewajiban bagi pelaku
usaha bisnis ekonomi Syariah untuk menggunakan lembaga Badan
Arbitrase Syariah bagi tempat penyelesaian sengketa dan
perselisihan bagi para pelaku usaha Syariah.
Namun demikian, tidak mudah bagi Para Pelaku Usaha
Syariah untuk memilih Arbitrase Syariah sebagai tempat ideal
untuk menyelesaikan sengketa. Kendala pertama adalah
keterbatasan keberadaan Arbitrase Syariah di seluruh wilayah
Indonesia. Tidak semua provinsi memiliki Badan Arbitrase Syariah.
Kendala kedua adalah Badan Arbitrase tidak memiliki
perangkat atau dasar hukum untuk melakukan penetapan sita,
pelaksanaan lelang atau proses pengosongan atas sebuah
bangunan sengketa misalnya. Putusan Badan Arbitrase (baik
Syariah ataupun tidak) harus diikuti dengan permohonan ke
Pengadilan Negeri (yang penarapan hukumnya sangat
konvensional) untuk kemudian dilakukan proses hukum selanjutnya
(sita, lelang, pengosongan, dan lain-lain). Karenanya pihak-pihak
bersengketa harus melalui dua lembaga yang berbeda (Badan
Arbitrase Syariah dan Pengadilan Negeri) untuk dapat
menyelesaikan sengketanya51
Selama ini, sebelum kasus sengketa dibawa ke Pengadilan
Negeri, masalah perselisihan ditangani terlebih dahulu oleh Basan
Arbitrase Syariah. Namun, peran dan fungsi Badan Arbitrase ini
tidak optimal dan tidak memadai untuk menyelesaikan setiap kasus
perselisihan, karena lembaga artbitrase tidak memiliki daya paksa
untuk menyeret orang yang digugat ke Pengadilan, sehingga tidak
mengherankan jika ratusan bahkan mungkin ribuan kasus gugatan
perselisihan di bidang ekonomi syariah yang tercecer, karena
berada di luar kewenangan Badan Arbitrase Syariah. Banyaknya
kasus gugatan di bidang ekonomi syariah yang tidak bisa
51 www.irmadevita.com, Irma Devita (Praktisi Ekonomi Islam yang tinggal
di Australia) Repotnya Bersengketa dalam Transaksi Syariah Pilih Arbitrase atau Pengadilan ? 27 November 2007
diselesaikan Badan Atbitrase Syariah, karena Badan Arbitrase
bukanlah lembaga Pengadilan.52
Dengan demikian, untuk menyelesaikan kasus-kasus
sengketa yang senantiasa muncul, kedudukan lembaga atbitrase ini
sangat lemah dilaporkan saat ini paling tidak ratusan kasus
komplain ke bank dan lembaga keuangan syariah yang diajukan ke
Bank Indonesia yang tidak bisa ditangani oleh Badan Arbitrase.
Lemahnya kedudukan arbitrase untuk menyesailan kasus-kasus
sengketa karena memang atbitrase adalah lembaga tahkim, bukan
lembaga pengadilan itu sendiri. Keputusan arbitrase baru memiliki
kekuatan hukum, apabila kedua belah pihak sepakat membawa
kasus itu ke Badan Arbitrase Syariah dan mereka sepakat untuk
menerima keputusan badan arbitrase tersebut.53
Yang menjadi masalah adalah gugatan keberatan seringkali
berasal dari satu pihak, misalnya dari nasabah yang dirugikan.
Sementara pihak perbankan syariah yang digugat, tidak serta
merta mau masalah itu dibawa ke lembaga arbitrase. karena hal itu
52 www.iaei-pusat.org, Agustianto (Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam
Indonesia (IAEI) dan Dosen Pascasarjana PSTTI UI Kekhususan Ekonomi dan Keuangan Islam), Ekonomi Syariah Dan Peradilan Agama, 25 Februari 2008
53 Hukukonline.com, Presiden Direktur Karim Business Consulting
Adiwarman Azwar Karim, Penyelesaian Sengketa Bank Syariah Masih Diperdebatkan, 2 Agustus 2006
bisa menjadi beban dan menimbulkan kewajiban pembayaran bagi
bank syariah. Akibatnya, dalam banyak kasus, persolan sengketa
yang merugikan nasabah, terkatung-katung tiada ujungnya, karena
masalah itu tidak bisa diselesaikan badan arbitrase, akibat salah
satu pihak tidak mau membawanya ke Badan Arbitrase tersebut.
Contoh kasus yang langsung saya tangani di sebuah bank
syariah X. Bank syariah tersebut secara sepihak mengubah harga
jual beli murabahah dengan perubahan angka yang signifikan
(ratusan juta rupiah) yang jelas merugikan nasabah. Padahal,
dalam syariah, perubahan harga ini tidak boleh dilakukan.
Perubahan sepihak ini dilakukannya karena nasabah menunda
pembayaran. Padahal di bank Islam yang lain yang murni syariah,
tidak terjadi perubahan harga walau ada penundaan pembayaran.54
Karena perubahan harga bai’ murabahah itu, nasabah merasa
keberatan dan mengajukan gugatan ke Badan Arbitrase Syariah.
Dalam merespon ini, bank syariah jelas tidak mau digugat, karena
ia tahu jika ia mau menyeselesaikan masalah ini di Badan Arbitrase
54 www.iaei-pusat.org, Agustianto (Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam
Indonesia (IAEI) dan Dosen Pascasarjana PSTTI UI Kekhususan Ekonomi dan Keuangan Islam), Ekonomi Syariah Dan Peradilan Agama
Syariah, maka ia harus mengubah kembali harga jual beli kepada
harga semula.
Karena bank syariah tidak mau, maka Badan Arbitrase
Syariah tidak bisa menyelesaikan kasus sengketa tersebut. Hal ini
berbeda jika nasabah tersebut mengajukan kasus tersebut ke
Pengadilan. Bank syariah bisa dipanggil oleh Pengadilan untuk
menyelesaikan kasus tersebut melalui persidangan. Bank Syariah
tidak bisa menolak dan menyatakan tidak mau membawa perkara
itu ke Pengadilan. Dengan demikian Peradilan memiliki daya paksa.
Berdasarkan kenyataan ini, maka amandemen ini sangat strategis
dan sangat penting bagi kepastian hukum di bidang ekonomi
syariah di Indonesia.
M. Abda’i Zidni, Staf Bank DKI Syariah mengatakan
“Mengenai BASYARNAS, harus dilihat dulu kompeten atau tidak
BASYARNAS menyelesaikan masalah sengketa. Dan harusnya
peradilan agama sudah siap, lembaganya sudah ada tapi apa
orang-orangnya/hakim-hakimnya sudah siap untuk menyelesaikan
sengketa syariah? Inikan lebih ke ekonominya syariah, istilah-istilah
dari bank, istilah-istilah pembiayaan, skim-skim yang ada,
harusnya mereka sudah disiapkan, diberikan training, pelatihan,
selain selama ini mereka hanya menyelesaikan masalah
perkawinan, perceraian, tapi sekarang mereka pun harus siap
menyelesaikan sengketa muamalah dengan adanya Undang-
undang yang memberikan kekuasaan absolut peradilan agama
untuk menyelesaikan sengketa muamalah. Kita tahu bahkan
mungkin semua bank pun tahu biasanya Peradilan Umum itu
lembaga non arbitrase, lalu BASYARNAS itu kan lembaga non
litigasi dan Peradilan Agama harusnya sama dan sejajar
kedudukannya dengan peradilan Umum/Negeri, harusnya punya
kompetensi khusus, punya kekuatan hukum, penyelesaiannya
sama, eksekusinya juga harusnya tidak perlu ke peradilan negeri
harusnya memang dipersiapkan secara komperhenshif, jangan
sampai putusannya kuat dan mengikat tapi lembaga eksekusinya
beda”.55
Amandemen UU No 7/1989 ini juga membawa implikasi besar
bagi seluruh redaksi akad di lembaga perbankan dan keuangan
syariah saat ini. Selama ini dalam setiap akad di lembaga ekonomi
syariah tercantum sebuah klausul yang berbunyi, “ Jika salah satu
pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan
55 M. Abda’I Zidni, Staf Bank DKI Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta 4
Maret 2008
di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah.Dengan amandemen ini maka klasul tersebut
dihapuskan dan seluruh format transaksi di bank dan lembaga
keuangan syariah harus diubah.
Demikian juga terhadap fatwa DSN MUI, karena dalam fatwa
DSN MUI disebutkan, bahwa penyelesaian perselisihan diselesaikan
oleh Badan Arbitrase Syariah. Maka dengan amandemen ini, bunyi
redaksi DSN MUI yang menyebutkan peranan Badan Arbitrase
dinyatakan tidak berlaku lagi. Walaupun Keberadaan Badan
Arbitrase masih dibutuhkan, apabila para pihak sepakat untuk
menyelesaikan kasusnya secara bersama-sama di Badan Arbitrase
Syariah.56
C. Sikap Praktisi
Chief Executive Officer (CEO) Asian Finance Bank Berhad
(AFB), Faisal Alshowaikh,57 mengatakan, tidak menjadi masalah
bila sengketa bisnis perbankan syariah di Indonesia ditangani oleh
56 Ibid 57 www.republika.co.id, Sengketa Bank Bisa Ditangani Dua Peradilan,
Kamis, 21 Februari 2008
peradilan agama. ''Hal itu asalkan mereka (hakim) memiliki
keahlian cukup dalam memahami instrumen dan bisnis perbankan
syariah.''
Beliau mengakui di beberapa negara tetangga penanganan
sengketa bisnis perbankan syariah memang ditangani oleh
peradilan non agama. Salah satunya adalah Arab Saudi. Di negara
tersebut, kata dia seluruh sengketa perbankan baik syariah
maupun konvensional ditangani oleh peradilan khusus.
Tujuannya adalah untuk mempercepat proses penanganan
perkara sengketa bisnis perbankan syariah. ''Jadi, peradilan ini
tidak hanya untuk sengketa bank syariah, tapi seluruh bank.
Idenya adalah untuk mempercepat penanganan bisnis syariah.''
Hal senada diungkapkan Direktur Utama Bank Mega Syariah
(BMS), Benny Witjaksono.58Tidak menjadi masalah penanganan
sengketa bisnis perbankan syariah dilakukan oleh peradilan agama.
''Memahami bisnis perbankan syariah penting. Ini karena bank
syariah itu kan bisnis yang berorientasi pada laba dan bukan
lembaga sosial.''
58 Ibid
Saat ini, menurut Benny, sengketa bisnis syariah telah
ditangani oleh Peradilan Agama. Hal tersebut berdasarkan hasil
amandemen UU Peradilan Agama yang berlaku saat ini. Namun, ia
menduga masih ada hakim peradilan agama yang belum
memahami bisnis perbankan syariah.
''Contohnya ada teman saya yang bersengketa beberapa
waktu lalu. Ini sengketa pembiayaan antara bank syariah dan
nasabah. Tapi hakim memutuskan membatalkan transaksi
pembiayaan murabahah dan memerintahkan bank untuk
mengambil aset dan mengembalikan uang yang dibayar kepada
nasabah. Ini kan kurang benar.''
Benny berharap pemahaman hakim peradilan agama atas
bisnis perbankan syariah perlu terus ditingkatkan. Dengan
demikian, mereka bisa menangani kasus sengketa bisnis perbankan
syariah sebagaimana mestinya.
Sedangkan Ketua Asosiasi Bank Syariah Indonesia
(Asbisindo), Ahmad Riawan Amin,59 mendorong agar kedua
lembaga tersebut sama-sama bisa menangani sengketa perbankan
syariah. Dengan demikian, pilihannya menjadi lebih luas. ''Nanti
59 Ibid
tergantung siapa yang menuntut, ke pengadilan agama boleh, ke
BASYARNAS boleh malah pengadilan umum juga bisa.''
Riawan menjelaskan, ada fakta bahwa hakim di peradilan
agama dianggap kurang memahami bisnis perbankan tetapi mereka
memahami fiqih muamalah. Untuk kekurangannya, kata dia bisa
diberikan pengertian sehingga mereka bisa memahami bisnis
perbankan syariah.
Masalah kedua, kata Riawan jangan sampai terjadi kerancuan
pengertian bahwa bank syariah hanya untuk orang Islam saja.
''Bank syariah bukan untuk orang Islam saja, dan peradilan agama
pun tidak di bawah Departemen Agama tetapi Mahkamah Agung,
jadi sebetulnya tidak perlu menjadi masalah.''
Presiden Direktur Karim Business Consulting Adiwarman
Azwar Karim berpendapat lain. Ia melihat bahwa jika ada sengketa
dalam ekonomi syariah maka harus diselesaikan di Pengadilan
Agama. Ia mendasarkan pada ketentuan UU No. 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.60
60 Hukukonline.com, Presiden Direktur Karim Business Consulting
Adiwarman Azwar Karim, Penyelesaian Sengketa Bank Syariah Masih Diperdebatkan, 2 Agustus 2006
Direktur Bank Syariah Mandiri, Hanawijaya, berpendapat
Penanganan sengketa itu bisa ditempuh dengan berbagai cara.
Beliau menjelaskan, musyawarah merupakan cara yang paling
lazim digunakan. Namun jika mentok, pilihan lainnya adalah
menyelesaikan lewat jalur arbitrase. Namun atas permintaan
nasabah, penyelesaiannya bisa juga dengan melibatkan pihak
ketiga sebagai mediator. “Ini untuk perkara yang jumlahnya tidak
lebih dari Rp500 juta, sesuai Pasal 6-7 Peraturan Bank Indonesia
No. 8/V/PBI/2006,” kata Hanawijaya. Jika ketiga cara itu tak
membuahkan hasil, maka solusi terakhir adalah membawah
perkara ke pengadilan umum.
Kenapa ke pengadilan umum? Selaku praktisi perbankan
syariah, Hanawijaya melihat masih banyak masalah yang
menghimpit PA jika hendak menyelesaikan perkara ekonomi
syariah. Masalah utama PA, menurutnya, adalah tiadanya hukum
materiil maupun formil mengenai ekonomi syariah. “PA juga tidak
berwenang sebagai lembaga eksekutorial jaminan pembiayaan
perbankan syariah,” imbuh Hanawijaya. Selain itu, ia masih
meragukan kompetensi hakim agama karena kurangnya
pemahaman operasional perbankan syariah.61
D. Pengaruh Persepsi atas Sikap Praktisi Perbankan Syariah
Terhadap Pilihan Penyelesaian Sengketa Muamalah antara
BASYANAS dan Peradilan Agama
Persepsi praktisi yang sebagian besar memilih Peradilan
Agama sebagai lembaga yang lebih berhak menyelesaikan sengketa
perbankan syariah karena didasarkan oleh lahirnya Undang –
undang No 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang telah
memiliki kewenangan absolut untuk menyelesaikan sengketa
muamalah.
Namun demikian persepsi praktisi perbankan tidak singkron
dengan sikap yang mereka miliki, terbukti dari persepsi mereka
yang menyatakan bahwa Peradilan Agama yang lebih berwenang
menyelesaikan sengketa muamalah berdasarkan ketetapan Undang
– undang No 3 tahun 2006. Dalam menyelesaikan sengketa
mereka lebih memilih BASYARNAS sebagai lembaga pertama untuk
61 Hukumonline.com, Kompetensi Pengadilan Agama Masih Terbentur UU Arbitrase, Selasa 17 Juni 2008
menyelesaikan sengketa karena BASYARNAS lebih bersifat
musyawarah.
Terlebih para praktisi masih meragukan kapabilitas hakim-
hakim peradilan agama untuk menyelesaikan sengketa muamalah
dan tidak adanya hukum materiil maupun formil mengenai ekonomi
syariah.
Dari persepsi praktisi yang sangat positif menyambut lahirnya
Undang-undang No 3 tahun 2006 yang memberikan wewenang
absolut kepada peradilan agama untuk menyelesaikan sengketa
muamalah namun tidak berpengaruh positif dengan sikap mereka
dalam memilih lembaga penyelesaian sengketa tidak disertai
dengan pilihan mereka kepengadilan agama untuk menyelesaikan
sengketa yang terjadi.
Seperti yang disampaikan Hanawijaya, Direktur Kepatuhan
Dan Manajemen Resiko Bank Syariah Mandiri beliau lebih
menyarankan agar sengketa dalam perbankan syariah dibereskan
di Basyarnas saja. Melalui jalur ini, sebuah sengketa dapat
diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat dan tidak memakan
biaya banyak.62
Dari awal berdirinya hingga sekarang BASYARNAS, baru dua
sengketa perbankan syariah yang berhasil dituntaskan Basyarnas.
Tiga sengketa lainnya sempat didaftarkan tetapi akhirnya tidak
diproses lantaran kurang memenuhi persyaratan. BAMUI dari 1993
hingga 2003 menyelesaikan 12 sengketa perbankan syariah.63
Dengan demikian, BASYARNAS plus BAMUI baru menyelesaikan 12
sengketa perbankan syariah.
Adanya ketidak singkronan antara persepsi dengan sikap
praktisi di karenakan belum adanya rujukan hukum yang jelas
tentang ekonomi islam. Kondisi ini dikhawatirkan akan berpengaruh
pada putusan hakim Pengadilan Agama kelak.
Bukan mustahil dalam memutuskan perkara sejenis ada dua
putusan yang berbeda. Andi Syamsul Alam, Ketua Muda Mahkamah
Agung Bidang Peradilan Agama, juga mengakui adanya
kemungkinan disparitas putusan hakim. “Ada ketakutan terjadinya
62 Hanawijaya, Makalah pada seminar “KHES; Solusi Penyelesaian Sengketa
Ekonomi Islam” yang diadakan Manhkamah Agung, 04 Februari 2008
63 Ahmad Jauhari, Sekretaris BASYARNAS, Wawancara Pribadi, 20 Juni 2008
disparitas putusan dari hakim agama yang berjumlah sekitar 3000
orang itu,” ujarnya dalam diskusi yang diadakan BPHN (Badan
Pembinaan Hukum Nasional).64
Ketua Dewan Syariah Nasional (DSN) KH. Ma’ruf Amin,
menjelaskan bahwa Dewan Syariah Nasional (DSN) sudah
mengeluarkan sejumlah fatwa berkaitan dengan ekonomi syariah.
Jumlahnya sekitar 53 fatwa. “Selain regulasi Pemerintah, fatwa
ulama bisa dijadikan dasar hukum oleh hakim“.65
Meskipun demikian, para praktisi tetap merasa pesimis
dengan kapabilitas hakim-hakim di Peradilan Agama akan mampu
menyelesaikan sengketa yang terjadi karena skim dalam ekonomi
islam sangat berbeda dengan yang ada di konvensional.
“Harusnya mereka sudah siap, lembaganya sudah ada tapi apa
orang-orangnya/hakim-hakimnya sudah siap untuk menyelesaikan
sengketa syariah? Inikan lebih ke ekonominya syariah, istilah-istilah
dari bank, istilah-istilah pembiayaan, skim-skim yang ada,
harusnya mereka sudah disiapkan, diberikan training, pelatihan,
64 www.hukumonline.com, seminar tentang Kompilasi Nash dan Hujjaj
Syari’iyah dalam bidang ekonomi syariah yang diadakan Badan Pembinaan Hukum Nasional, 11-12 Juli 2007
65 Ibid
selain selama ini mereka hanya menyelesaikan masalah
perkawinan, perceraian, tapi sekarang mereka pun harus siap
menyelesaikan sengketa muamalah dengan adanya Undang-
undang yang memberikan kekuasaan absolut peradilan agama
untuk menyelesaikan sengketa muamalah”.66
Rukmana,67 Pemimpin Divisi Usaha Syariah Bank Jabar
berpendapat berdasarkan amandemen UU Peradilan Agama
beberapa tahun lalu, seluruh sengketa bisnis keuangan dan
perbankan syariah harus ditangani oleh Peradilan Agama. Namun,
dalam praktiknya, hakim-hakim di Peradilan Agama dinilai masih
belum berpengalaman. Padahal, penanganan sengketa secara baik
sangat diperlukan untuk memberikan kepastian hukum bagi
perkembangan industri perbankan syariah.
66 M. Abda’i Zidni, Staf Bank DKI Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta 04
Maret 2008 67 Rukmana, Penanganan Sengketa Perbankan Syariah Secara Optimal,
Republika, 15 April 2008
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dengan di undangkannya UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, menurut praktisi, mengenai
sengketa perbankan Syariah penyelesaiannya diserahkan kembali kepada
dasar perjanjian dalam kesepakatan yang telah disepakati diawal oleh kedua
belah pihak. Walaupun dalam Undang-undang tersebut telah mengatur
kompetensi absolut Peradilan Agama dalam meyelesaikan sengketa ekonomi
Syariah. Bila dalam kesepakatan itu, harus diselesaikan melalui
BASYARNAS maka, penyelesaiannya harus di BASYARNAS, begitu juga
sebaliknya, bila dalam kesepakatan harus diselesaikan di Pengadilan Agama,
maka penyelesaiannya harus di Pengadilan Agama.
2. Adapun mengenai sikap praktisi tentang adanya dualisme lembaga dalam
menyelesaikan sengketa muamalah, pada dasarnya mereka lebih memilih
kepada Pengadilan Agama, hal ini karena Pengadilan Agama lebih memiliki
kekuatan hukum yang jelas (pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang
perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama),
dibangdingkan dengan BASYARNAS. Asalkan para hakim Peradilan Agama
72
memiliki keahlian cukup dalam memahami instrumen dan bisnis perbankan
syariah.
3. Mengenai pengaruh persepsi atas sikap praktisi perbankan syariah terhadap
pilihan penyelesaian sengketa muamalat, persepsi yang positif dari para
praktisi dalam menyambut lahirnya UU No. 3/2006 tentang peradilan agama
tidak disertai dengan sikap positif mereka dalam memilih penyelesaian
sengketa yang terjadi.
4. Mengingat segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh lembaga
peradilan, oleh sebagian kalangan Peradlan Agama dipandang sebagai
lembaga pilihan terbaik. Penambahan kewenangan Peradilan Agama di bidang
ekonomi syariah sebagaimana amanat Undang-Undang No. 3 Tahun 2006
adalah suatu bentuk kepercayaan terbesar terhadap lembaga peradilan yang
secara politis sejak zaman kolonial Belanda selalu didiskreditkan dan
didiskriminasikan. Momentum ini hendaknya dipandang sebagai amanah yang
harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, karena ini adalah pertaruhan bagi
citra Peradilan Agama itu sendiri. Apabila kepercayaan ini tidak disia-siakan
dan dijawab dengan kinerja yang memuaskan, maka ini bukan saja
momentum bersejarah, namun menjadi tonggak baru yang menentukan
perjalanan sejarah Peradilan Agama ke depan. Apabila kepercayaan itu sudah
terbangun, Peradilan Agama mungkin saja akan diberi amanat baru yang lebih
besar sekedar mengingatkan Mahkamah Syar’iyah di Aceh telah diberi
kewenangan khusus untuk melaksanakan peradilan dibidang jinayah (pidana
Islam)- mungkin juga hal ini akan berimbas pada perluasan kewenangan
Peradilan Agama secara signifikan di waktu-waktu yang akan datang.
5. Stigma yang melekat pada Pengadilan Agama sebagai
lembaga yang inferior sedikit demi sedikit akan terkikis
dengan sendirinya apabila seluruh komponen Peradilan
Agama saling bahu membahu untuk menunjukkan kinerja
bagus dan mendedikasikan sebagai persembahan terbaik bagi
negeri ini yang tak juga surut dirundung duka.
B. Saran- Saran
Dengan keluarnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, ada lima masukan
kritis dan evaluatif yang perlu menjadi perhatian.
1. Jika terjadi sengketa di bidang ekonomi Syariah, penyelesaian perkaranya
tidak boleh dibatasi (dikunci) hanya oleh lembaga arbitrase syariah
(BASYARNAS). Sehubungan dengan itu bunyi klausul seluruh akad di
lembaga keuangan syariah, bunyi fatwa DSN dan PBI yang mengharuskan
penyelesaian sengketa dilakukan oleh Badan Arbitrase Syariah Nasional,
hendaknya dihilangkan.
2. Oleh karena seluruh perselisihan di bidang ekonomi syariah menjadi
wewenang Peradilan Agama, maka seluruh hakim agama yang selama ini
hanya memahami hukum-hukum keluarga (al-ahwal asy-syakhsyiah) perlu
memahami hukum-hukum tentang perbankan dan lembaga keuangan syariah
lainnya. Untuk itu perlu dilaksanakan pelatihan dan workshop ekonomi
syariah bagi hakim di lingkungan Peradilan Agama.
3. Dalam RUU Perbankan Syariah dan RUU Surat Berharga Syariah Negara
(SBSN) yang akan segera disahkan harus dimasukkan sebuah pasal yang
menyebutkan, bahwa jika terjadi perselisihan dalam masalah perbankan
syariah, harus diselesaikan di Peradilan Agama. Jadi bukan di pengadilan
Umum atau Badan Arbitrase. DPR jangan sempat melupakan klausul ini agar
kedua Undang-Undang tersebut sinkron dan tidak bertentangan.
4. Dengan disahkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 ini, maka semua
perundang-undangan yang terkait harus menyesuaikan (diamandemen),
walaupun pasal yang diamendemen hanya satu pasal. Undang-Undang yang
perlu dimandemen tersebut antara lain :
a. Undang-Undang Arbitrase,
b. Undang-Undang Pasar Modal
c. Undang-Undang tentang Asuransi
d. Undang-Undang tentang Pegadaian
5. Diperlukan penambahan/perubahan materi Kompilasi Hukum Islam (KHI)
yang ada. Selama ini KHI hanya berisi tiga bidang hukum islam, yaitu
perkawinan, warisan, dan wakaf. Oleh karenanya diperlukan peran praktisi
untuk mendorong pemerintah agar Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
(KHES) segera disahkan. Agar para hakim-hakim di peradilan agama
memiliki rujukan hukum dalam mengambil keputusan.
6. Bagi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya
Program Studi Muamalah, harus lebih pro-aktif mendorong disahkannya
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) agar terciptanya kejelasan
hukum dalam bertransaksi dengan prinsip syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim
Abdul Hakim, Atang dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Remaja
Rusdakarya,1995.
Abdul Fatah Muhammad, Abu al-Ainain, Al-Qadha Wa al-Istbat Fi al-Fiqh al-Islami,
Mesir: Dar al-Fikr, 1976.
Al-Munawar, Said Agil Husain, Pelaksanaan Arbitrase Islam dalam
Arbitrase Islam di Indonesia, Cet Ke-2. Jakarta: BAMUI dan
BMI, 1994.
Arifin, Zainul, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariahm, Cet Ke-1. Jakarta, Alvabet,
2002.
Abdurrasyid, H. Priyatna, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,Cet Ke-I.
Jakarta, PT. Pikahati Aneka, 2002.
Daud Ali, H. Muhammad, Hukum Islam dan Peradilan Agama
(Kumpulan Tulisan), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003.
Djamali, Abdul, Pengantar Hukum Indonesia, Cet Ke-VII, Jakarta : PT. Grafindo
Persada, 2001.
Departemen Agama RI, Peradilan Agama di Indonesia, Sejarah
Perkembangan Lembaga dan Proses Pembentukan Undang-
Undangnya. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Direktorat Badan Peradilan
Agama Islam,2001.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Cet Ke-10. Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Gautama, Sudargo, Arbitrase Dagang Internasional. Bandung:
Alumni, 1979.
Hasibuan, Malayu SP, Teori dan Praktek Kegiatan Operasional Bank.
Jakarta: CV. Masagung, 1996.
Hasan Bisri, Cik, Peradilan Agama di Indonesia Edisi Revisi. Jakarta:
PT. Rajawali Grafindo Persada, 2003.
Hakim, Abdul, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia
“Dari Otoriter Konsep Menuju Konfigurasi Demokrasi
responsif”, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Hayadin, Hubungan Harapan Berkarir dan Persepsi terhadap Iklim
Sekolah (School Climate) dengan Kinerja Kepala Sekolah,
Jakarta: PPs-UNJ, 2000
http/www.hukumonline.com, Mengurai Benang Kusut Badan
Arbitrase Syariah Nasional, 3 Januari 2007
http/www.hukumonline.com, pkes, Basyarnas Tidak Terpengaruh
UU No. 3/2006, 21 Maret 2007
http/www.hukumonline.com, Ada Apa dengan Badan Arbitrase
Syariah Nasional, Senin, 21 November 2006
http/www.iaei-pusat.org, Agustianto (Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi
Islam Indonesia (IAEI) dan Dosen Pascasarjana PSTTI UI
Kekhususan Ekonomi dan Keuangan Islam), Ekonomi Syariah
Dan Peradilan Agama, 25 Februari 2008
http/www.republika.co.id, Sengketa Bank Bisa Ditangani Dua
Peradilan, Kamis, 21 Februari 2008
Khalil, Jafri, “Prinsip Syariah dalam Perbankan”, Jurnal Hukum
Bisnis Volume 20. Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum
Bisnis, 2002.
Lewis, Bernard, Encyclopedia of Islam Vol VII. Leiden: E. J. Briil,
1987.
Lev, Daniel S, Peradilan Agama Islam di Indonesia. Jakarta: PT.
Intermasa, 1987
Maslehuddin, Muhammad, Sistem Bank dalam Islam Cet Ke II.
Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Ma’luf, Luis, Al Munjid Fi al-Lughah wa al-A’lam. Beirut: Dar al-
Masyria, 1994.
Muhammad, Abdul Kadir, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992.
Partanto, Pius A dan M Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer.
Surabaya: Arkola, 1994.
Rahmat, Jalaludin, Psikologi Komunikasi Cet Ke-21. Bandung: PT.
Rosdakarya, 2004.
Saleh, Abdul Rahman, Arbitrase Islam di Indonesia. Jakarta:
BAMUI dan BMI, 1994.
Sumitro, Warkum, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-
lembaga Terkait, BAMUI, TAKAFUL dan Pasar Modal Syariah
di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Subekti, R, Arbitrase Perdagangan. Bandung: Bina Cipta, 1979.
Soebagjo, Felix O, Arbitrase Di Indonesia. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1995.
Siamat, Dahlan, Manajemen Lembaga Keuangan Edisi Ke-2.
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Indonesia,
1999.
Thoha, Miftah, Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Umar, M. Husyein dan A. Supriyani Kardono, Hukum dan Lembaga
Arbitrase di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1995.
1. Permasalahan apa yang sering berkembang di institusi anda?
Jawab : Alhamdulillah sejauh ini masalah sengketa belum
mengemuka, mungkin nanti seandainya ada sengketa seperti
pembiayaan yang tidak lancar atau pembiayaan yang menuju
tidak lancar masih bisa kita tangani secara penyelesaian kedua
belah pihak, secara musyawarah khususnya permaslahan tidak
lancar itu ada penagihan, alhamdulillah sampai saat ini belum
sampai tuntut menuntut yang memerlukan lembaga peradilan
umum, Peradilan Agama, atau bisanya kita semua dalam klausul
perjanjian kalau terjadi sesuatu penyelesaiannya dengan
musysawarah atau nanti beracara di BASYARNAS.
2. Sebab-sebab apakah yang dapat menimbulkan sengketa?
Jawab : Biasanya ada dua hal pertama karena sebab-sebab
yang ditimbulkan oleh kreditur atau pihak bank pada saat proses
pemberian pembiayaan seperti karena ada kesalahan dalam
menentukan jumlah pembiayaan yang diberikan, Kesalahan
dalam menentukan jangka waktu pembiayaan , Kesalahan dalam
menenukan jenis pembiayaan yang diberikan, Kesalahan karena
kemudahan memberikan pembiayaan, lalu sebab-sebab yang
ditimbulkan oleh debitur atau nasabah karena adanya
kesalahan management dari debitur, karena adanya
kesengajaan dari debitur untuk menipu kreditur dengan
nmemberikan keterangan atau data-data palsu tidak adanya
i’tikad baik dari debitur untuk mengembalikan pembiayaan
walaupun debitur tertsebut memiliki kemampuan untuk
melakukan pembayaran kembali
3. Apa langkah awal yang diambil institusi anda dalam
menyelesaikan masalah tersebut?
Jawab : Langkah awal biasanya ada tahapan-tahapannya
kalau sudah mulai ada indikasi, di bank kan ada lima kolektibility
1). Lancar, 2). Dalam perhatian khusus, disitu sudah harus hati-
hati intens menghubungi kenapa dia tidak membayar
kewajibannya sampai tahap-tahap berikutnya ada secara lisan,
lalu surat peringatan 1, 2, 3 sampai dia memenuhi
kewajibannya.
4. Seberapa besar peran BASYARNAS dalam menyelesaikan
masalah sengketa?
Jawab : BASYARNAS, kalau sampai saat ini......tahukan
kantornya? Kita tahu itu lembaganya, ada DPS dan DSN, dalam
semuanya kita LKS, lalu dalam mengembangkan bisnis syariah,
ekonomi syariah ada lembaganya juga, kalau ada sengketa ada
BASYARNAS, sebelumnya kan BANI karena kita syariah lalu ada
anjuran memakai BASYARNAS anjuran itu demi
mengembangkan. Perannya?.......karena di DKI Syariah belum
pernah terjadi sengketa yang besar gitu sehingga sampai saat
ini belum terlihat, arbiternya gimana, mekanismenya gimana,
mungkin bank lain sudah pengalaman.
5. Apakah anda yakin BASYARNAS bisa menyelesaikan
permasalahan di DKI Syariah?
Jawab : Harusnya yakin! Ee..... terus terang kita belum tahu
siapa arbiternya siapa? Setiap bulan kan pembiayaan itu setiap
bank membayar iuran, apakah nanti di lihat dari situ juga
penyelesaian sengketanya, lalu dilihat dari kompeten atau tidak
BASYARNAS menyelesaikan masalah sengketa.
6. Dalam mengambil keputusan mengenai sengketa, adakah
pengaruh pada institusi anda dengan lahirnya UU No. 3/2006
tentang Peradilan Agama?
Jawab : Sikap kita! Pradiga ya....? sekarang begini kalau kita
ketemu dengan bank lain, kalau di fatwanya kan terutama
penyelesaian sengketa Murabhahah harus ke BASYARNAS,
ya......... tidak dimungkinkan ke peradilan umum, tapi kita
lihatlah keputusannya di peradilan negeri, lalu terbitlah peradilan
agama untuk itu harusnya mereka sudah siap, lembaganya
sudah ada tapi apa orang-orangnya/hakim-hakimnya sudah siap
untuk menyelesaikan sengketa syariah? Inikan lebih ke
ekonominya syariah, istilah-istilah dari bank, istilah-istilah
pembiayaan, skim-skim yang ada, harusnya mereka sudah
disiapkan, diberikan training, pelatihan, selain selama ini mereka
hanya menyelesaikan masalah perkawinan, perceraian, tapi
sekarang mereka pun harus siap menyelesaikan sengketa
muamalah dengan adanya Undang-undang yang memberikan
kekuasaan absolut peradilan agama untuk menyelesaikan
sengketa muamalah. Kita tahu bahkan mungkin semua bank pun
tahu biasanya Peradilan Umum itu lembaga non arbitrase, lalu
BASYARNAS itu klan lembaga non litigasi dan Peradilan Agama
harusnya sama dsn sejajar kedudukannya dengan peradilan
Umum/Negeri, harusnya punya kompetensi khusus, punya
kekuatan hukum penyelesaiannya sama, eksekusinya juga
harusnya tidak perlu ke peradilan negeri harusnya memang
dipersiapkan secara komperhenshif, jangan sampai putusannya
kuat dan mengikat tapi lembaga eksekusinya beda.
7. Menurut anda sudah siapkah hakim-hakim peradilan agama
menyelesaikan sengketa yang terjadi di Perbankan Syariah?
Jawab : Harusnya sudah, kalau mereka sudah diberikan
pembekalan, harusnya pemerintah pro aktif dengan cara
mengundang praktisi ekonomi syariah, lembaga keuangan
syariah, sharing, memberikan pengetahuan dengan
mengundang untuk mengadakan pelatihan yang diadakan untuk
hakim-hakim, selama inikan KHES (Kompilasi hukum Ekonomi
Syariah) masih digodok di Mahkamah Agung itulah payung
hukum yang lebih kuat tapi belum disetujui, peraturan-peraturan
yang lebih kuat pun akhirnya belum bisa, sehingga sampai saat
ini bank syariah belum bisa sejajar dengan yang
konvensionalnya.