Politik Islam Edit
-
Upload
fadillah-dila-la -
Category
Documents
-
view
115 -
download
16
Transcript of Politik Islam Edit
Kata Pengantar
Bismillahirrohaminrrahim.
Puji syukur kia panjatkan kepada Allah SWT karena ats
Rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan buku
ini.
Tak lupa shalawat serta salam kita curahkan kepada Nabi
junjungan kita Muhammad SAW. Semoga kita
mendapatkan syafaat di hari akhir. Amin.
Kehadiran buku ini diharapkan dapat membantu
pembaca untuk menguasai teori serta refrensi tentang
Politik Islam. Karena kehidupan kita tidak lepas dari
ilmu politik. Yang memimpin dan Yang dipimpin.
Demikian pengantar dari penulis. Semoga buku ini
bermanfaat bagi pembaca. Jika ada salah penulisan kata
atau kalimat, kami memohon maaf. Jika ada kelebihan
itu semata datangnya dari Allah SWT.
Yogyakarta, 7 Oktober 2012
Penulis
12
BAB I
PENGERTIAN POLITIK
A. PENGERTIAN POLITIK SECARA UMUM
Untuk memahami arti dari politik dalam literatur yang banyak berkembang di Barat, pendekatan legalitas sering digunakan. Politik diartikan sebagai urusan yang ada hubungan lembaga yang disebut negara. Pemerintahan diartikan politik. Inilah pengertian politik yang paling umum dan kentara. Sehingga belajar tentang ilmu politik berarti belajar mengenai lembaga-lembaga politik, legislatif, eksekutif dan yudikatif. Inilah definisi yang sampai sekarang masih tetap bertahan.
Namun definisi bahwa politik adalah negara tidak bisa menggambarkan dinamika dalam kehidupan politik itu sendiri. Kalau studi politik hanya mempelajari institusi itu maka tidak bisa menjelaskan mengapa institusi itu ada dan bagaimana proses sampai menjadi lembaga itu seperti parlemen, pengadilan, pemerintahan. Pengertian kelembagaan juga tidak dapat menjelaskan prose pengambilan keputusan di eksekutif misalnya. Definisi yang menekankan legalitas gagal menjelaskan kehidupan politik yang sebenarnya. Jadi kalau misalnya membicarakan.
Oleh sebab itulah berkembang definisi politik sebagai constrained use of social power (Goodin and Klingemann,1998). Oleh karena itu maka baik studi
2
politik maupun praktek politik beralih menjadi studi mengenai sifat dan sumber keterbatasannya serta teknik-teknik menggunakan kekuasaan sosial di dalam keterbatasannya itu.
Dalam mengartikan “power” atau kekuasaan maka pandangan ilmuwan Robert Dahl bisa digunakan di sini. Jadi X memiliki power terhadap Y jika 1) X mampu dengan berbagai cara Y melakukan sesuatu 2) yang disukai X dan 3) Y tidak memiliki pilihan lain untuk melakukannya.
Di dunia Islam pun muncul beberapa pengertian mengenai politik atau Siyasah ini. Imam Al Bujairimi dalam Kitab At Tajrid Linnafi’ al-‘Abid menyatakan Siyasah adalah memperbaiki dan merencanakan urusan rakyat. Lalu Ibnul Qoyyim dalam kitab ‘Ilamul Muaqqin menyebutkan dua macam politik yakni siyasah shohihah (benar) dan siyasah fasidah (salah).
B. PENGERTIAN POLITIK ISLAM
Pengertian secara umum dari politik diartikan sebagai
urusan yang ada hubungan lembaga yang disebut negara.
Pemerintahan dapat diartikan sebagai politik. Inilah
pengertian politik yang paling umum dan kentara.
Sehingga belajar tentang ilmu politik berarti belajar
mengenai lembaga-lembaga politik, legislatif, eksekutif
4
dan yudikatif. Inilah definisi yang sampai sekarang
masih tetap bertahan.
Politik berasal dari bahasa Latin politicus dan bahasa
Yunani politicos, artinya (sesuatu yang) berhubungan
dengan warga negara atau warga kota. Kedua kata itu
berasal dari kata polis yang bermakna kota. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998), pengertian
politik sebagai kata benda ada tiga. Jika dikaitkan dengan
ilmu maka artinya (1) pengetahuan tentang kenegaraan
(tentang sistem pemerintahan, dan dasar-dasar
pemerintahan); (2) segala urusan dan tindakan
( kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai
pemerintahan atau terhadap negara lain; dan(3)
kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau
menangani suatu masalah). Jadi dapat dikatakan bahwa
hakikat politik itu adalah perilaku manusia baik berupa
aktivitas ataupun sikap, yang bertujuan mempengaruhi
atau mempertahankan tatanan suatu masyarakat dengan
mempergunakan kekuasaan (Abd. Muin Salim, 1994:
37).
4
Adapun definisi politik dari sudut pandang Islam adalah
pengaturan urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam
negeri maupun luar negeri berdasarkan hukum-hukum
Islam. Di dalam Islam, kekuasaan politik kait mengait
dengan al-hukm. Perkataan al-hukm dan kata-kata yang
terbentuk dari kata tersebut digunakan 210 kali dalam
Al-Quran. Dalam bahasa Indonesia, perkataan al-hukm
yang dialih bahasakan menjadi hukum intinya adalah
peraturan, undang-undang, patokan atau kaidah, dan
keputusan (vonis) pengadilan.
Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah
siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulama
salafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah,
misalnya. Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa -
yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha
siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha
(mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila
dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu
(mengurusi/mengatur perkara).
4
Jadi, asalnya makna siyasah (politik) tersebut diterapkan
pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata
tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan
manusia; dan pelaku pengurusan urusan-urusan manusia
tersebut dinamai politikus (siyasiyun). Dalam realitas
bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amri mengurusi
(yasûsu) rakyatnya saat mengurusi urusan rakyat,
mengaturnya, dan menjaganya. Begitu pula dalam
perkataan orang Arab dikatakan : ‘Bagaimana mungkin
rakyatnya terpelihara (masûsah) bila pemeliharanya
ngengat (sûsah)’, artinya bagaimana mungkin kondisi
rakyat akan baik bila pemimpinnya rusak seperti ngengat
yang menghancurkan kayu. Dengan demikian, politik
merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah),
pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad),
dan pendidikan (ta`dib).
Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik
(siyasah) dalam sabdanya : "Adalah Bani Israil, mereka
diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya).
Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang
menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan
6
ada banyak para khalifah" (HR. Bukhari dan Muslim).
Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya
adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung
dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum
muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman
penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan
kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu
mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka
mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari
keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai
rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi
kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti
ditegaskan dalam banyak hadits terkenal. Ini adalah
perintah Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Berkaitan
dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda :
"Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya
bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah,
dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak
memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia
bukan dari golongan mereka." (HR. Al Hakim)
4
Rasulullah ditanya oleh sahabat tentang jihad apa yang
paling utama. Ia menjawab : "Kalimat haq yang
disampaikan pada penguasa" (HR. Ahmad).
Berarti secara ringkas Politik Islam memberikan
pengurusan atas urusan seluruh umat Muslim.
Namun, realitas politik demikian menjadi pudar saat
terjadi kebiasaan umum masyarakat dewasa ini baik
perkataan maupun perbuatannya menyimpang dari
kebenaran Islam yang dilakukan oleh mereka yang
beraqidahkan sekularisme, baik dari kalangan non
muslim atau dari kalangan umat Islam. Jadilah politik
disifati dengan kedustaan, tipu daya, dan penyesatan
yang dilakukan oleh para politisi maupun penguasa.
Penyelewengan para politisi dari kebenaran Islam,
kezhaliman mereka kepada masyarakat, sikap dan
tindakan sembrono mereka dalam mengurusi masyarakat
memalingkan makna lurus politik tadi. Bahkan, dengan
pandangan seperti itu jadilah penguasa memusuhi
rakyatnya bukan sebagai pemerintahan yang shalih dan
berbuat baik. Hal ini memicu propaganda kaum sekularis
8
bahwa politik itu harus dijauhkan dari agama (Islam).
Sebab, orang yang paham akan agama itu takut kepada
Allah SWT sehingga tidak cocok berkecimpung dalam
politik yang merupakan dusta, kezhaliman,
pengkhianatan, dan tipu daya. Cara pandang demikian,
sayangnya, sadar atau tidak memengaruhi sebagian kaum
muslimin yang juga sebenarnya ikhlas dalam
memperjuangkan Islam. Padahal propaganda tadi
merupakan kebenaran yang digunakan untuk kebathilan
(Samih ‘Athief Az Zain, As Siyasah wa As Siyasah Ad
Dauliyyah, hal. 31-33). Jadi secara ringkas Islam tidak
bisa dipisahkan dari politik.
4
BAB II
PERIODESASI POLITIK ISLAM
A. POLITIK ISLAM ZAMAN NABI MUHAMMAD
SAW
Pada zamannya, Nabi membentuk sebuah komunitas,
yang diyakini bukan cuma komunitas agama, tapi juga
komunitas politik. Nabi berhasil menyatukan berbagai
komunitas kesukuan dalam Islam. Di Madinah, tempat
hijrah Nabi, beliau berhasil menyatukan komunitas
sosial, yakni kaum pemukim dan kaum pendatang. Lebih
dari itu, di Madinah, Nabi juga berhasil mengatur
kehidupan kaum muslim , Nasrani, serta Yahudi dalam
komunitas “Negara Madinah” atau “masyarakat
Madinah”.
Komunitas yang dibentuk Nabi di Madinah inilah yang
belakangan acap dirujuk oleh para pemikir muslim , baik
yang liberal maupun yang fundamentalis, sebagai
10
masyarakat Islam ideal. Pemikir liberal lebih suka
menyebut komunitas yang dibentuk Nabi di Madinah
sebagai “masyarakat madani”, sedangkan mereka yang
fundamentalis lebih nyaman menyebut “Negara
Madinah”.
Di masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah (661-850
Masehi), pemikiran politik Islam didominasi oleh
perdebatan tentang sistem pemerintah atau lebih tepatnya
hubungan khalifah dan negara. Kedua dinasti Islam ini
cenderung menganut sistem pemerintah atau sistem
politik yang tidak memisahkan agama dan negara.
Bahkan agama yang direpresentasikan oleh khalifah
cenderung mensubordinasi negara atau kehidupan politik
di kedua dinasti.
1. Masa Dinasti Umayyah
4
a. Lembaga dan pusat pendidikan Islam
Pada zaman ini masjid menjadi semcam lembaga sebagai
pusat kehidupan dan kegiatan ilmu terutama ilmu-ilmu
agama. Seorang ustadz duduk dalam masjid dan murid
duduk di sekelilingnya mendengarkan pelajarannya.
Kadang dalam satu masjid terdapat beberapa halaqoh
dengan ustadz dan pelajaran berbeda-beda. Kadang pula
ustadz menggunakan rumahnya untuk mengajar. Pada
zaman ini belum ada sekolah atau gedung khusus sebagai
tempat belajar. Beberapa ustadz pada masa ini adalah
Abdullah bin Abbas, Hasan Basri, Ja'far As-Shidiq dan
lain-lain.
12
gambar: islamic scholars pada masa bani umayyah
Sedangkan kota-kota yang menjadi pusat kegiatan
pendidikan ini masih seperti pada zaman Khulafaur
rosyidin yaitu, Damaskus, Kufah, Basrah, Mesir dan
ditambah lagi dengan pusat-pusat baru seperti Kordoba,
Granada, Kairawan dan lain-lain.
b. Materi bidang ilmu pengetahuan.
Materi/ilmu-ilmu agama yang berkembang pada zaman
ini dapat dimasukan dalam kelompok Al-Ulumul
Islamiyah yaitu ilmu-ilmu Al-Qur'an, Al-Hadits, Al-
4
Fiqih, At-Tarikh, Al-Ulumul Lisaniyah dan Al-Jughrofi.
Sedangkan Al-Ulumul Islamiyah dapat dibagi menjadi
tiga bagian:
1) Al-Ulumul Syar'iyah, yaitu ilmu-ilmu agama
Islam.
2) Al-Ulumul Lisaniyah, yaitu ilmu-ilmu untuk
memastikan bacaan Al-Qur'an, menafsirkan dan
memahami Hadits.
3) At-Tarikh wal Jughrofi.
Ilmu Qiraat, yaitu ilmu cara membaca Al-Qur'an.
Orang yang pandai membaca Al-Qur'an disebut
Qurra. Pada zaman ini pula yang memunculkan tujuh
macam bacaan Al-Qur'an yang terkenal dengan "
Qiraat Tujuh " yang kemudian ditetapkan menjadi
dasar bacaan ( Ushulul Lil Qira'ah ). Pelopor bacaan
ini terdiri dari kaum Malawy yaitu antara lain :
Abdulloh bin Katsir, Ashim bin Abu Nujud,
Abdulloh bin Amir, Ali bin Hamzah dan lain-lain.
14
Ilmu Tafsir, ilmu yang berusaha untuk memberikan
penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur'an dengan
tujuan untuk menghasilkan hukum dan undang-
undang. Ahli tafsir yang pertama yaitu Ibnu Abbas,
seorang shahabat terkenal yang wafat pada tahun 68
H. Menurut riwayat yang mutawatir beliau adalah
orang yang pertama menafsirkan Al-Qur'an dengan
cara riwayat dan isnad. Ahli tafsir lainnya adalah
Mujahid yang wafat pada tahun 109 H dan ulama
Syi'ah yaitu Muhammad Al-Baqir bin Ali bin Husain.
Ilmu Hadits, Untuk membantu di dalam memahami
ayat-ayat Al-Qur'an. Karena terdapat banyak hadits
maka timbullah usaha untuk mencari riwayat dan
sanad yang hadits yang akhirnya menjadi Ilmu Hadits
dengan segala cabang-cabangnya.
Para ahli hadits yang terkenal pada zaman ini adalah :
1) Abu Bakar bin Muhammad bin Ubaidillah bin
Zihab Az-Zuhri ( W. 123 H ).
2) Ibnu Abi Malikiah, yaitu Abdulloh bin Abi
Malikiah ( W. 119 H ).
4
Pada masa kholifah Umar bin Abdul Aziz
barulah hadits dibukukan yang dirintis oleh
Ibnu Zihab Az-Zuhri yang kemudian disusul
oleh ulama lain.
Ilmu Nahwu, yaitu ilmu tentang perubahan bunyi
pada kata-kata yang terdapat di dalam Al-
Qur'an.Pengarang ilmu nahwu yang pertama dan
membukukannya seperti halnya sekarang, yaitu Abu
Aswad Ad-Dualy ( W. 69 H ). Beliau belajar dari Ali
bin Abi Thalib sehingga ada ahli sejarah yang
mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah Bapak
Ilmu Nahwu.
Ilmu Jughrofi. Tentang ilmu jughrofi sekalipun
bukan berasal dari bangsa arab, namun bangsa Arab
muslim telah membuat ilmu ini menjadi satu ilmu
yang tersendiri oleh karena tiga sebab :
1) Al-Haj yang menjadi salah satu rukun
Islam. Untuk menunaikan rukun haji
kaum Muslimin di seluruh penjuru dunia
harus mengetahui ilmu bumi.
16
2) Al-Ilmu. Kewajiban menuntut ilmu bagi
kaum muslimin, mengharuskan mereka
melakukan Rihlah Ilmiyah untuk
menuntut ilmu, hal mana mengharuskan
kaum muslimin mengetahui ilmu bumi.
3) Dakwah. Keharusan berdakwah dan
berjihad untuk mengembangkan Islam,
juga mengharuskan kaum muslimin
mengetahui ilmu bumi.
Tiga sebab ini disamping sebab-sebab lain
yang mendorong orang Yunani lama
untuk membuat ilmu bumi yaitu
kepentingan dagang dan perang. Ilmu
Jughrofi dalam masa bani Umayyah baru
dalam taraf merintis jalan.
Sedangkan ilmu-ilmu yang di salin dari bahasa Asing ke
dalam bahasa Arab dan di sempurnakan untuk
kepentingan keilmuan umat Islam dikelompokan dalam
Al-Ulumud Dakhilah yang terdiri dari :
4
1) Ilmu Kima. Khalifah Yazid bin Yazid bin
Mua'wiyah adalah yang menyuruh
penerjemahannya ke dalam bahsa
Arab.Beliau mendatangkan beberapa
orang Romawi yang bermukim di Mesir,
di antaranya Maryanis seorang pendeta
yang mengajarkan ilmu kimia.
Penerjemahan ke dalam bahasa Arab
dilakukan oleh Isthafun.
2) Ilmu Bintang. Masih dalam masa Kholid
bin Walid, beliau sangat menggemari ilmu
ini sehingga dikeluarkan sejumlah uang
untuk mempelajari dan membeli alat-
alatnya. Karena gemarnya setiap akan
pergi ke medan perang selalu dibawanya
ahli ilmu bintang.
3) Ilmu Kedokteran. Penduduk Syam di
jaman ini telah banyak menyalin
bermacam ilmu ke dalam bahasa Arab
seperti ilmu-ilmu kedokteran, mislanya
karanganm Qis Ahrun dalam bahasa
18
Suryani yang disalin ke dalam bahasa
Arab oleh Masajuwaihi.
2. Masa Bani Abbasiyah
a. Awal Berdirinya Bani Abbasiyah
Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah adalah melanjutkan
kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. Dinamakan Daulah
Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa Dinasti ini
adalah keturunan Abbas, paman nabi Muhammad SAW.
Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn
Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbass. Dia
dilahirkan di Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik
menjadi Khalifah pada tanggal 3 Rabiul awwal 132 H.
Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah berlangsung dari
tahun 750-1258 M (Syalaby,1997:44).
Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan diseluruh
negeri. Pemberontakan yang paling dahsyat dan
merupakan puncak dari segala pemberontakan yakni
perang antara pasukan Abbul Abbas melawan pasukan
Marwan ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah). Yang
4
akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas.
Dengan jatuhnya negeri Syiria, berakhirlah riwayat
Dinasti Bani Umayyah dan bersama dengan itu
bangkitlah kekuasaan Abbasiyah.
Dari sini dapat diketahui bahwa bangkitnya Daulah
Abbasiyah bukan saja pergantian Dinasti akan tetapi
lebih dari itu adalah penggantian struktur sosial dan
ideologi. Sehingga dapat dikatakan kebangkitan Daulah
Bani Abbasiyah merupakan suatu revolusi. Menurut
Crane Brinton dalam Mudzhar (1998:84), ada 4 ciri yang
menjadi identitas revolusi yaitu :
1) Bahwa pada masa sebelum revolusi ideologi yang
berkuasa mendapat kritik keras dari masyarakat
disebabkan kekecewaan penderitaan masyarakat
yang di sebabkan ketimpangan-ketimpangan dari
ideologi yang berkuasa itu.
2) Mekanisme pemerintahannya tidak efesien karena
kelalaiannya menyesuaikan
lembaga-lembaga sosial yang ada dengan
perkembangan keadaan dan tuntutan
zaman.
20
3) Terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari
mendukung ideologi yang berkuasa
pada wawasan baru yang ditawarkan oleh para
kritikus.
4) Revolusi itu pada umumnya bukan hanya di
pelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah
dan kaum bawahan, melainkan dilakukan oleh
para penguasa oleh karena hal-hal tertentu yang
merasa tidak puas dengan sistem yang ada.
Sebelum daulah Bani Abbasiyah berdiri, terdapat 3
tempat yang menjadi pusat
kegiatan kelompok Bani Abbas, antara satu dengan
yang lain mempunyai kedudukan tersendiri dalam
memainkan peranannya untuk menegakkan
kekuasaan keluarga besar paman nabi SAW yaitu
Abbas Abdul Mutholib (dari namanya Dinasti itu
disandarkan). Tiga tempat itu:
1) Humaimah
2) Kufah
4
3) Khurasan.
Humaimah merupakan kota kecil tempat keluarga Bani
Hasyim bermukim, baik dari kalangan pendukung Ali
maupun pendukung keluarga Abbas. Humaimah terletak
berdekatan dengan Damsyik. Kufah merupakan kota
yang penduduknya menganut aliran Syi‘ah pendukung
Ali bin Abi Tholib. Ia bermusuhan secara terang-
terangan dengan golongan Bani Umayyah. Demikian
pula dengan Khurasan, kota yang penduduknya
mendukung Bani Hasyim. Ia mempunyai warga yang
bertemperamen pemberani, kuat fisiknya, tegap tinggi,
teguh pendirian tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak
mudah bingung dengan kepercayaan yang menyimpang.
Disinilah diharapkan dakwah kaum Abbassiyah
mendapatkan dukungan.
Di bawah pimpinan Muhammad bin Ali al-Abbasy,
gerakan Bani Abbas dilakukan dalam dua fase yaitu :
1) fase sangat rahasia
22
2) fase terang-terangan dan pertempuran (Hasjmy,
1993:211).
Selama Imam Muhammad masih hidup gerakan
dilakukan sangat rahasia.
Propaganda dikirim keseluruh pelosok negara, dan
mendapat pengikut yang banyak, terutama dari golongan
yang merasa tertindas, bahkan juga dari golongan yang
pada mulanya mendukung Bani Umayyah. Setelah
Muhammad meninggal dan diganti oleh anaknya
Ibrahim, maka seorang pemuda Persia yang gagah berani
dan cerdas bernama Abu Muslim al-Khusarany,
bergabubg dalam gerakan rahasia ini. Semenjak itu
dimulailah gerakan dengan cara terang-terangan,
kemudian cara pertempuran. Akhirnya bulan Zulhijjah
132 H Marwan, Khalifah Bani Umayyah terakhir
terbunuh di Fusthath, Mesir. Kemudian Daulah bani
Abbasiyah resmi berdiri.
b. Sistem Pemerintahan, Politik dan Bentuk Negara
4
Pada zaman Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang
sebagai sistem politik. Menurut pandangan para
pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada
pemerintahan (Khalifah) adalah berasal dari Allah, bukan
dari rakyat sebagaimana diaplikasikan oleh Abu Bakar
dan Umar pada zaman khalifahurrasyidin. Hal ini dapat
dilihat dengan perkataan Khalifah Al-Mansur “Saya
adalah sultan Tuhan diatas buminya “. Pada zaman
Dinasti Bani Abbasiyah, pola pemerintahan yang
diterapkan berbedabeda sesuai dengan perubahan politik,
sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang
dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah I antara lain :
1) Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang
para menteri, panglima, Gubernur dan para
pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan
mawali .
2) Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara,
yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi
sosial dan kebudayaan.
3) Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang
sangat penting dan mulia .
24
4) Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui
sepenuhnya.
5) Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan
penuh untuk menjalankan tugasnya dalam
pemerintah (Hasjmy, 1993:213-214).
Selanjutnya periode II , III , IV, kekuasaan Politik
Abbasiyah sudah mengalami penurunan, terutama
kekuasaan politik sentral. Hal ini dikarenakan negara-
negara bagian (kerajaan-kerajaan kecil) sudah tidak
menghiraukan pemerintah pusat , kecuali pengakuan
politik saja . Panglima di daerah sudah berkuasa di
daerahnya ,dan mereka telah mendirikan atau
membentuk pemerintahan sendiri misalnya saja
munculnya Daulah- Daulah kecil, contoh; daulah Bani
Umayyah di Andalusia atau Spanyol, Daulah Fatimiyah .
Pada masa awal berdirinya Daulah Abbasiyah ada dua
tindakan yang dilakukan oleh para Khalifah Daulah Bani
Abbasiyah untuk mengamankan dan mempertahankan
dari kemungkinan adanya gangguan atau timbulnya
pemberontakan yaitu :
4
1) Tindakan keras terhadap Bani Umayah . dan
kedua pengutamaan orang-orang turunan persi.
Dalam menjalankan pemerintahan, Khalifah Bani
Abbasiyah pada waktu itu dibantu oleh seorang
wazir (perdana mentri) atau yang jabatanya
disebut dengan wizaraat. Sedangkan wizaraat itu
dibagi lagi menjadi dua yaitu:
a) Wizaraat Tanfiz (system pemerintahan
presidentil ) yaitu wazir hanya sebagai
pembantu Khalifah dan bekerja atas nama
Khalifah.
b) Wizaaratut Tafwidl (parlemen kabimet).
Wazirnya berkuasa penuh untuk
memimpin pemerintahan . Sedangkan
Khalifah sebagai lambang saja . Pada
kasus lainnya fungsi Khalifah sebagai
pengukuh Dinasti-Dinasti lokal sebagai
gubernurnya Khalifah
(Lapidus,1999:180).
26
Selain itu, untuk membantu Khalifah dalam
menjalankan tata usaha negara diadakan
sebuah dewan yang bernama diwanul
kitaabah (sekretariat negara) yang dipimpin
oleh seorang raisul kuttab (sekretaris negara).
Dan dalam menjalankan pemerintahan negara,
wazir dibantu beberapa raisul diwan (menteri
departemen-departemen). Tata usaha negara
bersifat sentralistik yang dinamakan an-
nidhamul idary al-markazy. Selain itu, dalam
zaman daulah Abbassiyah juga didirikan
angkatan perang, amirul umara, baitul maal,
organisasi kehakiman., Selama Dinasti ini
berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan
politik, sosial, ekonomi dan budaya.
Berdasarkan perubahan tersebut, para sejarawan
membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi 3
periode, yaitu :
1. Periode Pertama (750-847 M)
4
Pada periode ini, seluruh kerajaan Islam berada di
dibawah kekuasaan para Khalifah kecuali di Andalusia.
Adapun para Khalifah yang memimpin pada ini sebagai
berikut :
a. Abul Abbas as-saffah (750-754 M)
b. Abu Ja’far al mansyur (754 – 775 M)
c. Abu Abdullah M. Al-Mahdi bin Al Mansyur (775-785
M)
d. Abu Musa Al-Hadi (785—786 M)
e. Abu Ja’far Harun Ar-Rasyid (786-809 M
f. Abu Musa Muh. Al Amin (809-813 M)
g. Abu Ja’far Abdullah Al Ma’mun (813-833 M)
h. Abu Ishak M. Al Muta’shim (833-842 M
i. Abu Ja’far Harun Al Watsiq (842-847 M)
j. Abul Fadhl Ja’far Al Mutawakkil (847-861)
28
2. Periode kedua (232 H/847 M – 590 H/1194 M)
Pada periode ini, kekuasaan bergeser dari sistem
sentralistik pada system desentralisasi, yaitu ke dalam
tiga negara otonom :
a. Kaum Turki (232-590 H)
b. Golongan Kaum Bani Buwaih (334-447 H)
c. Golongan Bani Saljuq (447-590 H)
Dinasti-Dinasti di atas pada akhirnya melepaskan diri
dari kekuasaan Baghdad pada masa Khalifah
Abbassiyah.
3. Periode ketiga (590 H/1194 M – 656 H/1258 M)
Pada periode ini, kekuasaan berada kembali ditangan
Khalifah, tetapi hanya di baghdad dan kawasan-kawasan
sekitarnya. Sedangkan para ahli kebudayaan Islam
membagi masa kebudayaan Islam di zaman daulah
Abbasiyah kepada 4 masa, yaitu :
4
1. Masa Abbasy I, yaitu semenjak lahirnya Daulah
Bani Abbasiyah tahun 750 M, sampai
meninggalnya Khalifah al-Wasiq (847 M).
2. Masa Abbasy II, yaitu mulai Khalifah al-
Mutawakkal (847 M), sampai berdirinya daulah
Buwaihiyah di Baghdad (946 M).
3. Masa Abbasy III, yaitu dari berdirinya daulah
Buwaihiyah tahun (946 M) sampai masuk kaum
Seljuk ke Baghdad (1055 M).
4. Masa Abbasy IV, yaitu masuknya orang-orang
Seljuk ke Baghdad (1055 M), sampai jatuhnya
Baghdad ke tangan Tartar di bawah pimpinan
Hulako (1268 M).
Dalam versi yang lain yang, para sejarawan biasanya
membagi masa pemerintahan
Bani Abbasiyah menjadi lima periode :
1. Periode pertama (750–847 M)
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah
mencapai masa keemasannya. Secara politis, para
Khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan
30
pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain,
kemakmuran masyarakat mencapai tingkat
tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan
bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam
Islam.Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri Dinasti
ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M.
Karena itu, pembina sebenarnya dari Daulah Abbasiyah
adalah Abu Ja’far al-Mansur (754–775 M). Pada
mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat
Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga
stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansur
memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru
dibangunnya, yaitu Baghdad, dekat bekas ibu kota
Persia, Ctesiphon, tahun 762 M.
Dengan demikian, pusatpemerintahan Dinasti bani
Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia.Di ibu
kota yang baru ini al-Mansur melakukan konsolidasi dan
penertibanpemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah
personal untuk menduduki jabatan dilembaga eksekutif
dan yudikatif. Di bidang pemerintahandia menciptakan
tradisi barudengan mengangkat wazir sebagai
4
koordinator departemen. Jabatan wazir
yangmenggabungkan sebagian fungsi perdana menteri
dengan menteri dalam negeri itu selama lebih dari 50
tahun berada di tangan keluarga terpandang berasal dari
Balkh, Persia (Iran). Wazir yang pertama adalah Khalid
bin Barmak, kemudian digantikan oleh anaknya, Yahya
bin Khalid. Yang terakhir ini kemudian mengangkat
anaknya, Ja’far bin Yahya, menjadi wazir muda.
Sedangkan anaknya yang lain, Fadl bin Yahya, menjadi
Gubernur Persia Barat dan kemudian Khurasan. Pada
masa tersebut persoalan-persoalan administrasi Negara
lebih banyak ditangani keluarga Persia itu. Masuknya
keluaraga non Arab ini ke dalam pemerintahan
merupakan unsur pembeda antara Daulah Abbasiyah dan
Daulah Umayyah yang berorientasi ke Arab.
Khalifah al-Mansur juga membentuk lembaga protokol
negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di
samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk
Muhammad ibn Abd al-Rahman sebagai hakim pada
lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada
sejak masa Dinasti Bani Umayyah ditingkatkan
32
peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya
sekedar untuk mengantar surat, pada masa al-Mansur,
jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh
informasi di daerah-daerah sehingga administrasi
kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan
pos bertugas melaporkan tingkah laku Gubernur
setempat kepada Khalifah.
Khalifah al-Mansur juga berusaha menaklukan kembali
daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari
pemerintahan pusat, dan memantapkan keamanan di
daerah perbatasan. Di pihak lain, dia berdamai dengan
kaisar Constantine V dan selama genjatan senjata 758-
765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Pada masa
al-Mansur pengertian Khalifah kembali berubah. Konsep
khilafah dalam pandangannya ——dan berlanjut ke
generasi sesudahnya—— merupakan mandat dari Allah,
bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi
sebagaimana pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidin.
Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di
zaman Khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan
4
putranya al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang
banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan
sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan
farmasi didirikan. Tingkat kemakmuran paling tinggi
terwujud pada zaman Khalifah ini. Kesejahteraan sosial,
kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan
kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman
keemasannya. Pada masa inilah negara Islam
menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak
tertandingi (Yatim,2003:52-53). Dengan demikian telah
terlihat bahwa pada masa Khalifah Harun al-Rasyid lebih
menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan
Islam dari pada perluasan wilayah yang memang sudah
luas. Orientasi kepada pembangunan peradaban dan
kebudayaan ini menjadi unsur pembanding lainnya
antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah. Al-
Makmun, pengganti al-Rasyid dikenal sebagai Khalifah
yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa
pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing
digalakkan. Ia juga mendirikan sekolah, salah satu karya
besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-
Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai
34
perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada
masa al-Makmun inilah Baghdad mulai menjadi pusat
kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Muktasim, Khalifah berikutnya (833-842 M)
memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk
masuk dalam pemerintahan. Demikian ini di latar
belakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab
dan Persia pada masa al-Ma’mun dan sebelumnya.
Keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal.
Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah, Dinasti
Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan.
Praktek orang-orang Muslim mengikuti perang sudah
terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-
prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer
Dinasti Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat.
Dalam periode ini, sebenarnya banyak gerakan politik
yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani
Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu
seperti gerakan sisa-sisa Dinasti Umayyah dan kalangan
intern Bani Abbas dan lain-lain
4
semuanya dapat dipadamkan. Dalam kondisi seperti itu
para Khalifah mempunyai prinsip kuat sebagai pusat
politik dan agama sekaligus. Apabila tidak, seperti pada
periode sesudahnya, stabilitas tidak lagi dapat dikontrol,
bahkan para Khalifah sendiri berada
dibawah pengaruh kekuasaan yang lain.
2. Periode kedua (847-945 M)
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta
kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada
periode pertama telah mendorong para penguasa untuk
hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Kehidupan
mewah para Khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan
anak-anak pejabat. Demikian ini menyebabkan roda
pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin.
Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional
asal Turki yang semula diangkat oleh Khalifah al-
Mu’tasim untuk mengambil alih kendali pemerintahan.
Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan
sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara
36
kekuasaan Bani Abbas di dalam Khilafah Abbasiyah
yang didirikannya mulai pudar, dan ini merupakan awal
dari keruntuhan Dinasti ini, meskipun setelah itu usianya
masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun.
gambar : proses pendidikan
Khalifah Mutawakkil (847-861 M) yang merupakan
awal dari periode ini adalah seorang Khalifah yang
lemah. Pada masa pemerintahannya orang-orang Turki
dapat merebut kekuasaan dengan cepat. Setelah Khalifah
al-Mutawakkil wafat, merekalah yang memilih dan
mengangkat Khalifah. Dengan demikian kekuasaan tidak
4
lagi berada ditangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap
memegang jabatan Khalifah.
Sebenarnya ada usaha untuk melepaskan diri dari para
perwira Turki itu, tetapi selalu gagal. Dari dua belas
Khalifah pada periode kedua ini, hanya empat orang
yang wafat dengan wajar, selebihnya kalau bukan
dibunuh, mereka diturunkan dari tahtanya dengan paksa.
Wibawa Khalifah merosot tajam. Setelah tentara Turki
lemah dengan sendirinya, di daerah-daerah muncul
tokoh-tokoh kuat yang kemudian memerdekakan diri dari
kekuasaan pusat, mendirikan Dinasti-Dinasti kecil. Inilah
permulaan masa disintregasi dalam sejarah politik Islam.
Adapun faktor-faktor penting yang menyebabkan
kemunduran Bani Abbas pada periode ini adalah sebagai
berikut:
a. Luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah
yang harus dikendalikan, sementara komunikasi
lambat. Bersamaan dengan itu, tingkat saling
percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana
pemerintahan sangat rendah.
38
b. Dengan profesionalisasi tentara, ketergantungan
kepada mereka menjadi sangat tinggi.
c. Kesulitan keuangan karena beban pembiayaan
tentara sangat besar. Setelah Khalifah merosot,
Khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak
ke Baghdad.
3. Periode ketiga (945 -1055 M)
Pada periode ini, Daulah Abbasiyah berada di bawah
kekuasaan Bani Buwaih. Keadaan Khalifah lebih buruk
dari sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah
penganut aliran Syi’ah. Khalifah tidak lebih sebagai
pegawai yang diperintah dan diberi gaji.
Bani Buwaih membagi kekuasaannya kepada tiga
bersaudara : Ali untuk wilayah bagian selatan negeri
Persia, Hasan untuk wilayah bagian utara, dan Ahmad
untuk wilayah Al-Ahwaz, Wasit dan Baghdad. Dengan
demikian Baghdad pada periode ini tidak lagi
merupakan pusat pemerintahn Islam karena telah pindah
ke Syiraz di masa berkuasa Ali bin Buwaih yang
memiliki kekuasaan Bani Buwaih.
4
Meskipun demikian, dalam bidang ilmu pengetahuan
Daulah Abbasiyah terus mengalami kemajuan pada
periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir
besar seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu
Maskawaih, dan kelompok studi Ikhwan as-Safa. Bidang
ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami
kemajuan. Kemajuan ini juga diikuti dengan
pembangunan masjid dan rumah sakit. Pada masa Bani
Buwaih berkuasa di Baghdad, telah terjadi beberapa kali
kerusuhan aliran antara Ahlussunnah dan Syi’ah,
pemberontakan tentara dan sebagainya.
4. Periode keempat (1055-1199 M)
Periode ini ditandai dengan kekuasaan Bani Seljuk atas
Daulah Abbasiyah. Kehadiran Bani Seljuk ini adalah atas
undangan Khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani
Buwaih di Baghdad. Keadaan Khalifah memang
membaik, paling tidak karena kewibawaannya dalam
bidang agama kembali setelah beberapa lama dikuasai
oleh orang-orang Syi’ah.
40
Sebagaimana pada periode sebelumnya, ilmu
pengetahuan juga berkembang pada periode ini. Nizam
al-Mulk, perdana menteri pada masa Alp Arselan dan
Malikhsyah, mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067 M)
dan madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang-cabang
Madrasah Nizamiyah didirikan hampir di setiap kota di
Irak dan Khurasan. Madrasah ini menjadi model bagi
perguruan tinggi dikemudian hari. Dari madrasah ini
telah lahir banyak cendekiawan dalam berbagai disiplin
ilmu. Di antara para cendekiawan Islam yang dilahirkan
dan berkembang pada periode ini adalah al-Zamakhsari,
penulis dalam bidang Tafsir dan Ushul al-Din (teologi),
Al-Qusyairi dalam bidang tafsir, al-Ghazali dalam bidang
ilmu kalam dan tasawwuf, dan Umar Khayyam dalam
bidang ilmu perbintangan. Dalam bidang politik, pusat
kekuasaan juga tidak terletak di kota Baghdad. Mereka
membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa propinsi
dengan seorang Gubernur untuk mengepalai masing-
masing propinsi tersebut. Pada masa pusat kekuasaan
melemah, masing-masing propinsi tersebut
memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan
4
yang terjadi di antara mereka melemahkan mereka
sendiri, dan sedikit demi sedikit kekuasaan politik
Khalifah menguat kembali, terutama untuk negeri Irak.
Kekuasaan mereka tersebut berakhir di Irak di tangan
Khawarizm Syah pada tahun 590 H/ 1199 M.
5. Periode kelima (1199-1258 M)
Berakhirnya kekuasaan Dinasti Seljuk atas Baghdad atau
khilafah Abbasiyah merupakan awal dari periode kelima.
Pada periode ini, khilafah Abbasiyah tidak lagi berada di
bawah kekuasaan Dinasti tertentu, walaupun banyak
sekali Dinasti Islam berdiri. Ada di antaranya yang cukup
besar, namun yang terbanyak adalah Dinasti kecil. Para
Khalifah Abbasiyah sudah merdeka dan berkuasa
kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya.
Wilayah kekuasaan Khalifah yang sempit ini
menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah
tentara Mongol dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad
dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa perlawanan
yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan
42
tentara Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam,
yang disebut masa pertengahan.
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah
Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode
kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab
kemunduran ini tidak datang secara tiba-tiba. Benih-
benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya
karena Khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-
benih itu tidak sempat berkembang.
Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa
apabila Khalifah kuat, para menteri cenderung berperan
sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika Khalifah lemah,
mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan Khalifah, banyak faktor lain yang
menyebabkan khilafah
Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor
tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa di
antara nya adalah sebagai berikut:
4
a. Faktor Internal
1. Persaingan antar Bangsa
Kecenderungan masing-masing bangsa untuk
mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal
Khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, karena para
Khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga
keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga.
Setelah al-Mutawakkil, seorang Khalifah yang lemah,
naik tahta, dominasi tentara Turki tidak terbendung lagi.
Sejak itu kekuasaan Daulah Abbasiyyah sebenarnya
sudah
berakhir
2. Kemerosotan Ekonomi
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan
perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi
ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik
Dinasti Abbasiyah. Kedua faktor ini saling berkaitan dan
tak terpisahkan
44
3. Konflik Keagamaan
Konflik yang melatarbelakangi agama tidak terbatas pada
konflik antara Muslim dan Zindik atau Ahlussunnah
dengan Syi’ah saja, tetapi juga antara aliran dalam Islam.
4. Perkembangan Peradaban dan Kebudayaan
Kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada
periode pertama telah mendorong para penguasa untuk
hidup mewah, yang kemudian ditiru oleh para haratawan
dan anak-anak pejabat sehingga menyebabkan roda
pemerintahan terganggu dan rakyat
menjadi miskin (Yatim, 2003:61-62).
b. Faktor Eksternal
1. Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang
atau periode dan menelan banyak korban.
2. Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam.
4
gambar : runtuhnya bani abbasiyah
Tapi, sejak kira-kira 850 M, pemikiran dan praktek
politik yang dominan di dunia muslim adalah yang
memisahkan agama dan negara. Kekuasaan dibagi antara
sultan yang mengatur urusan militer serta menegakkan
hukum dan ketertiban dan ulama yang mengatur urusan
sosial dan keluarga.
Sejak 1000-1200 M, para pemikir muslim, seperti Al-
Mawardi , Nizam al-Mulk, Al- Gazali , Ibn Rusyd , serta
Al-Razi, menawarkan pemikiran politik jalan tengah atau
pemikiran politik keseimbangan. Di masa-masa tersebut,
46
sultan dan ulama saling bekerja sama dan saling
tergantung.
Namun, pada 1220-1500 M, ide penyatuan agama dan
politik kembali mendominasi pemikiran para pemikir
muslim . Pemikir muslim yang paling menonjol pada
masa itu, yang menganjurkan pemerintahan berdasarkan
syariat, adalah Ibn Taimiyah. Black sendiri dalam buku
ini menyebut masa itu sebagai masa “syariat dan
pedang”.
Puncak pemerintahan berdasarkan syariat berlangsung
pada masa kerajaan-kerajaan modern yang meliputi
Dinasti Utsmani , Dinasti Safawi , dan Dinasti Mogul.
Tentu saja Dinasti Utsmani , yang berpusat di Turki,
menjadi dinasti paling terkemuka. Dinasti ini disebut
Khilafah Islamiyah . Namun, dinasti ini mengalami
kemunduran dan dibubarkan pada 1924.
Kemunduran ini menandai mulai berpengaruhnya
pemikiran politik Barat. Para pemikir yang diidentifikasi
sebagai pemikir liberal bermunculan. Mereka antara lain
4
Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh , yang
menganut paham pemisahan agama dan politik. Berpijak
pada kemajuan Barat, para pemikir muslim ini
menawarkan pemikiran modernisme . Black menyebut
masa ini sebagai abad modernisme .
Tapi kemajuan Barat dewasa ini memunculkan reaksi di
kalangan pemikir Islam fundamentalis. Pemikir Islam
fundamentalis paling terkemuka adalah tokoh Ikhwanul
Muslim, Al- Maududi , serta Sayyid Qutb . Mereka
menginginkan kehidupan masyarakat muslim dewasa ini
mencontoh kehidupan di masa Nabi atau setidaknya
masa kejayaan dinasti-dinasti di masa awal Islam. Itu
berarti mereka menginginkan tidak adanya pemisahan
agama dan politik.
Jika kita perhatikan materi pemikiran Islam sejak masa
Nabi hingga masa kini seperti disajikan oleh Black dalam
buku ini, nyaris tiada yang baru di situ. Tapi,
bagaimanapun, pemetaan pemikiran Islam secara
kronologis, sebagaimana yang dilakukan oleh Black,
sangat membantu kita dalam memahami alur serta
48
dinamika khazanah pemikiran politik dunia Islam.
Melalui buku ini pula, kita tahu bahwa yang terjadi
sesungguhnya adalah pertarungan antara pemikiran
politik Islam dan pemikiran Islam politik.
3. Masa Bani Utsman
Kerajaan Turki Usmani muncul di saat Islam berada
dalam era kemunduranpertama.1 Berawal dari kerajaan
kecil, lalu mengalami perkembangan pesat, danakhirnya
sempat diakui sebagai negara adikuasa pada masanya
dengan wilayahkekuasaan yang meliputi bagian utara
Afrika, bagian barat Asia dan Eropa bagianTimur.2 Masa
pemerintahannya berjalan dalam rentang waktu yang
cukup panjangsejak tahun 1299 M-1924 M. Kurang lebih
enam abad (600 tahun).3Dalam rentang waktu yang
demikian panjang kerajaan Turki Usmani
mengalamidinamika yang selalu menghadirkan format
dan ciri khas yang baru dalampemerintahan, bahkan
merupakan penyelamat dan bebas dunia Islam dari kekacauan yang
berkepanjangan terutama di bidang hukum, karena
sebagaimanadiketahui, bahwa pemerintahan Turki Usmani tidak
4
hanya terbatas padakekuasaan dan wilayah, tapi juga
meliputi bidang agama. Pada periode
berikutnya4,kerajaan Turki Usmani yang berpijak kepada
Syari’at Islam mulai bergeser menjadihukum sekuler, ini
terjadi pada akhir abad-19 tepatnya pada
eratanzimat (1839-1876) ketika terjadi persentuhan budaya
timur (Islam) denganbudaya Barat (Eropa). Era tanzimat
merupakan gerakan pembaharuan yang terjadidi Turki
Usmani, yang pada hakikatnya berintikan upaya
pemerintah Turki Usmaniuntuk melakukan perbaikan
dalam tata aturan perundangan di segala bidang, dansalah
satu hukum yang disusun:
Majallah al-Ahkam al-Adliyahi (1876 M) di
sampingpiagam Gulhane dan Humayun. Untuk
mengetahui lebih jauh tentang
perkembanganhukumIslam pada masa Turki Usmani
makalah sederhana ini mencoba menguraikan,
denganpokok pembahasan; Sekilas tentang Turki
Usmani, Sebelum Tanzimat, Era Tanzimat,Majallah al-
Ahkam al-Adliyah dan sesudah tanzimat.
Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki dari kabilah
Oghuz5 yang mendiamidaerah Mongol dan daerah utara
50
negeri Cina. Dalam jangka waktu lebih kurang tigaabad,
mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak.
Mereka masuk Islamsekitar abad ke sembilan atau ke
sepuluh ketika menetap di Asia Tengah. Di
bawahtekanan serangan-serangan Mongol pada abad ke-
13 M bangsa Turki dengandipimpin Artogol melarikan
diri menuju dinasti Saljuk untuk mengabdi padapenguasa
yang ketika itu dipimpin oleh Sultan Alauddin II.Artogol
dan pasukannya bersekutu dengan pasukan Saljuk
membantu SultanAlauddin II berperang menyerang
Bizantium, dan usaha ini berhasil, artinya pasukanSaljuk
mendapat kemenangan. Atas jasa baiknya itu Sultan
Alauddin IImenghadiahkan sebidang tanah di Asia Kecil
yang berbatasan dengan Bizantium.Sejak itu bangsa
Turki terus membina wilayah barunya dan memilih Kota
Syukudsebagai ibu kota.6Pada tahun 1289 M Artogol
meninggal dunia. Kepemimpinan- nya dilanjutkan
olehputranya, Usman. Putra Artogol inilah yang
dianggap sebagai pendiri kerajaanUsmani, beliau
memerintah tahun 1290 M – 1326 M. Sebagaimana
ayahnya, Usmanbanyak berjasa pada Sultan Alauddin II,
4
dengan keberhasilannya mendudukibenteng-benteng
Bizantium.Pada tahun 1300 M, Bangsa Mongol
menyerang kerajaan Saljuk dan SultanAlauddin II
terbunuh. Kerajaan Saljuk kemudian terpecah-pecah
dalam beberapakerajaan kecil. Usman pun menyatakan
kemerdekaandan berkuasa penuh atas daerah yang
didudukinya. Sejak itulah kerajaan TurkiUsmani
dinyatakan berdiri. Penguasa pertamanya adalah Usman
yang sering disebutUsman I.Dalam perkembangannya,
Turki Usmani melewati beberapa periodekepemimpinan.
Sejak berdiri tahun 1299 M yang dipimpin oleh Usman I
Ibn Artogol(1299-1326 M) berakhir dengan Mahmud II
Ibn Majib (1918-1922 M).Dan dalam perjalanan sejarah
selanjutnya Turki Usmani merupakan salah satu daritiga
kerajaan besar yang membawa kemajuan dalam Islam.
SEBELUM TANZIMAT
Sebagai diketahui Kerajaan Turki Usmani dikepalai oleh
seorang Sultan yangmempunyai kekuasaan temporal atau
dunia dan kekuasaan spritual atau rohani.Sebagai
penguasa duniawi ia memakai titel Sultan dan sebagai
kepala rohani umatIslam ia memakai gelar Khalifah.8
52
Dengan demikian Raja Usmani mempunyai duabentuk
kekuasaan, kekuasaan memerintah negara dan kekuasaan
menyiarkan danmembela Islam.Dalam melaksanakan
kedua kekuasaan di atas Sultan dibantu oleh dua
pegawaitinggi sadrazam untuk urusan pemerintahan dan
syaikh al-Islam
untuk urusankeagamaan. Keduanya tidak mempunyai
banyak suara dalam soal pemerintahan danhanya
melaksanakan perintah Sultan. Dikala Sultan
berhalangan atau berpergian ia digantikan sadrazam dalam
menjalankan pemerintahan.
Syaikh al-Islam yang mengurus bidang keagamaan
dibantu oleh qadhi askar al-rumali yang membawahi qadhi-
qadhi wilayah Usamniyah bagian Eropa, sedang qadhi
askar anduly
Membawahi qadhi-qadhi wilayah Usmaniyah di Asia dan
Mesir.
9 Dalam melaksanakan tugasnya para qadhi tersebut
merujuk kepada mazhabHanafi.10 Hal ini yang
disebabkan mazhab yang dipakai oleh Sultan adalah
mazhabHanafi. Bentuk-bentuk peradilan pada masa ini :
4
1. Mahkamah Biasa/Rendah (al-Juziyat) , yang bertugas
menyelesaikan perkara-perkara pidana dan perdata.
2. Mahkamah Banding (Mahkamah al-Isti’naf), yang
bertugas meneliti dan mengkajiperkara yang
berlaku.
3. Mahkamah Tinggi (Mahkamah al-Tamayz au al-
Naqd wa al-Ibram), yang bertugasmemecat para
qadhi yang terbukti melakukan kesalahan dalam
menetapkan hukum.
4. Mahkamah Agung (Mahkamah al-Isti’naf al-Ulya ),
yang langsung di bawahpengawasan Sultan.
Lembaga peradilan (qadha’) pada masa ini belum
berjalan dengan baik, karenaterdapat intervensi dari
pemerintah, bahkan sistem peradilan dikuasai oleh kroni-
kroni dan pejabat pemerintah. Jadi belum tampak dengan
jelas pemisahan antaraurusan agama dan pemerintahan.
54
Gambar : keadaan sebelum tanzimat
MASA TANZIMAT (1839-1876 M)
Secara etimologi tanzimat berasal dari kata nazhzhama-
yunazhzhimu- tanzhimat, yang berarti mengatur,
menyusun, dan memperbaiki.12 Term ini dimaksudkan
untuk menggambarkan seluruh gerakan pembaharuan
yang terjadi diTurki Usmani pada pertengahan abad ke-
19. Gerakan ini ditandai dengan munculnya sejumlah
tokoh pembaharuan Turki Usmani yang belajar dari
4
Barat yaitu bidangpemerintahan, hukum, administrasi,
pendidikan, keuangan, perdagangan
dansebagainya.Tanzimat merupakan suatu gerakan
pembaharuan sebagai kelanjutan darikemajuan yang
telah dilakukan oleh Sultan Sulaiman (1520-1566 M)
yangtermasyhur dengan nama al-Qanuni.
Namun pembaharuan yang sebenarnya lebihmembekas
dan berpengaruh pada masa Sultan Mahmud II (1808-
1839 M).14 Ia memusatkan perhatiannya pada berbagai
perubahan internal diantaranya dalamorganisasi
56
pemerintahan dan hukum. Sultan Mahmud II juga
dikenal sebagai Sultan yang pertama kali dengan tegas
mengadakan perbedaan antara urusan agama dan urusan
dunia. Urusan agama diaturoleh syari’at Islam (tasyr’ al-
dini) dan urusan dunia diatur oleh hukum yang
bukansyari’at (tasyri’ madani). Hukum syari’at terletak
di bawah kekuasaan syaikh al-Islam, sedangkan hokum
bukan syari’at diserahkan kepada dewan perancang
hukum untuk mengaturnya,hukum yang bukan syari’at
ini diadopsi dari Eropa, Perancis dan negeri asing
lainnya. Diantaranya adalah al-Nizham al-Qadha al-
Madani (Undang-undang PeradilanPerdata). Dengan
penerapan al-Nizham al-Qadha al-madani (Undang-
undang PeradilanPerdata) dalam peradilan muncul
Mahkamah al-Nizhamiyah yang terdiri dari Qadha al-
Madani (Peradilan Perdata) dan Qadha-Syar’i (Peradilan
Agama ).
4
gambar : sultan Mahmud II
Dikotomi lembaga peradilan pada masa Sultan Mahmud
II memberikan indikasi sudah adanya pemisahan urusan
agama dan urusan dunia. Kemunculan tanzimat
dilatarbelakangi oleh:
1. Khusus bidang hukum terjadinya persentuhan hukum
Barat dan hukum Islam
2. Muncul para tokoh tanzimat yang ingin membatasi
kekuasaan Sultan yang absolut
58
Disamping itu pada masa ini kondisi masyarakat terdiri
dari tiga lapisan yaitu:
1. Tradisional, yang mempertahankan dan
membangun pemikiran berdasarkanfiqh dan
berpijak pada mazhab yang ada. Karena fiqh dianggap telah
mapan dan sempurna sehingga mereka
berpendapat mazhab ini harus dikembangkan dan
disosialisasikan.
2. Modernisme, yang menawarkan agar fiqh perlu
diseleksi dan dikembangkan sesuaidengan
kondisi sosial budaya masyarakat.
3. Reformasi, melontarkan gagasan, bahwa fiqh
yang ada tidak mampu meresponberbagai
perkembangan yang muncul sebagai akses
perkembangan zaman dankebutuhan manusia
yang multi dimensionalitas. Oleh karena itu
diperlukan fiqh baru, yang menafsirkan nash
secara kontekstual.
4
gambar: perkembangan di bidang iptek
Sepertinya keadaan masyarakat ini juga mempengaruhi
munculnya pembaharuanlebih-lebih lapisan modernisme
dan reformasi. Realisasi pembaharuan ini dimulai dengan
diumumkannya Piagam Gulhane (Khatt-i Syarif
Gulhane) pada tanggal 3 Nopember 1839 M,
kemudianditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Piagam
Humayun (Khatt-i Syarif al-Humayun) pada tahun 1856
M.
Gerakan ini terjadi pada masa Sultan Abdul Majid (1839-
1861 M) putra Sultan Mahmud II.Piagam Gulhane
berisikan berbagai bentuk perubahan yang pada
masapermulaan kerajan Turki Usmani, syari’at Islam dan
60
Undang-undang Negaradipatuhi, sehingga negara
menjadi kokoh dan kuat. Untuk kembali pada
masatersebut, maka perlu diadakan perubahan-perubahan
yang membawa kepadapemerintahan yang baik, yaitu:
1. Terjaminnya ketentraman hidup, harta kehormatan dan warga
negara.
2. Peraturan mengenai pemungutan pajak.
3. Peraturan mengenai kewajiban dan lamanya dinas
militer.
Selanjutnya dijelaskan bahwa tertuduh akan diadili
secara terbuka dan sebelumpengadilan pelaksanaan
hukuman mati dengan racun dan jalan lain tidak
dibolehkan.Pelanggaran terhadap kehormatan seseorang
juga tidak diperkenankan. Hak milik terhadap harta
dijamin dan tiap orang mempunyaikebebasan terhadap
harta yang dimilikinya. Ahli waris dari yang kena
hukumanpidana tidak boleh dicabut haknya untuk
mewarisi, dan demikian pula harta yangkena hukuman
pidana tidak boleh disita.
4
Melihat muatan Piagam Gulhane ini terlihat adanya
usaha pembaharu untukmelakukan rekonsiliasi antar
muslim tradisional dengan kemajuan, serta institusi-
institusi baru yang tidak bertentangan dengan hukum
Islam, bahkan bisamenampung kebutuhan mereka. Menjamin
keamanan hidup, ketenangan, jaminan kepemilikan. Satu hal
yang penting dalam piagam ini adalah adanya ketentuan
bahwaaturan-aturan itu berlaku untuk semua lapisan
masyarakat dan semua golonganagama tanpa ada
pengecualian.Atas dasar piagam ini, maka terjadi beberapa
pembaharuan dalam berbagaiinstitusi kemasyarakan
Turki Usmani. Diantaranya dalam bidang
hukumdirumuskannya kodifikasi hukum perdata oleh
Majelis Ahkam al-Adliyah
24 dan hukum pidana. Sedang dibidang pemerintahan
adanya sistem musyawarah dan dibidang pendidikan
adanya pemisahan antara pendidikan umum dan agama,
sertakekuasaan pendidikan umum dilepaskan dari
kekuasaan ulama.
Pada masa ini mulaimasuk pengaruh sistem pendidikan
Barat. Agaknya sejak saat ini pemisahanpendidikan
62
antara hukum dan agama ini berlaku sampai
sekarang.Selanjutnya pada tahun 1856M26 Sultan Abdul
Majid mengumumkanbelakunya piagam Humayun yang
lebih banyak mengandung pembaharuan terhadap
kedudukan orang Eropa dan non muslim yangberada di
bawah kekuasaan Turki Usmani, sehingga antara orang
Eropa dan rakyat Islam Turki tidak ada perbedaan lagi
artinya mereka mempunyai hak yang samadalam
hukum.Walaupun piagam Humayun dikeluarkan untuk
memperkuat keberadaan piagamGulhane, namun jika
diperhatikan lebih jauh piagam ini memberikan hak dan
jaminankepada bangsa Eropa untuk semakin
memantapkan keberadaan di Turki Usmani.Sikap pro-
Barat ini pada akhirnya membawa kelemahan terhadap
kerajaan TurkiUsmani dalam menghadapi Eropa. Dapat
dipahami bahwa perkembangan tasyri’ pada masa
tanzimat di kerajaanTurki Usmani banyak dipengaruhi
oleh hukum dari Barat, artinya telah bercampurhukum
Islam dengan hukum Barat. Sedangkan Piagam Gulhane
menyatakanpenghargaan tinggi pada syari’at Islam tetapi juga
mengakui perlunya diadakan sistem baru.
4
Hukum baru yang disusun banyak dipengaruhi oleh
hukum Barat. Apalagi piagam Humayun yang secara
tegas diperlakukan untuk nonIslam dan Eropa. Pada
masa ini telah ditetapkan pedoman hakim dalam
menetapkanhukum, yaitu dengan dikeluarkannya
Undang-undang Dusturiyah pada tahun 1293H/1877 M.
Sehingga terhindar dari hawa nafsu dan keinginan
pribadi dalammenetapkan hukum. Dan juga didirikan
Mahkamah al-Tamyiz (al-Naqdu) yang merupakan
lembaga yang diberi wewenang untuk memecat para
qadhi yangmelakukan perbuatan yang melanggar hukum,
karena dianggap tidak melaksanakantugas sesuai yang
ditetapkan.
Namun pada akhirnya lembaga yang didirikan
sertaundang-undang yang berlaku sebagaimana mestinya
karena ada unsur korupsi dankolusi dalam pemerintahan.
Kondisi ini menjadikan peradilan seperti barangdagangan
yang diperjualbelikan.
B. POLITIK ISLAM MASA MENDATANG
64
Perdebatan ilmiah mengenai Islam dan politik muncul sejak tumbangnya kekhalifahan Islam Ottoman 1924. Sebelumnya literature mengenai pendekatan Islam terhadap masalah kenegaraan baik dalam soal pemilihan imam, kualifikasi pemimpin amir dan tata administrasi kekhalifahan tidak meragukan integrasi Islam dalam politik. Setelah itulah muncul berbagai literature yang banyak dibaca kalangan umat Islam sehingga mengaburkan jati diri Islam dalam kehidupan masyarakat dan lembaga-lembaga yang dibangun untuk mengendalikannya.
Oleh karena itulah sebenarnya dengan terbukanya studi-studi baru mengenai Islam dan politik maka ada beberapa hal untuk masa depan politik Islam.
Pertama, definisi holistik menyeluruh, syumuliyah Islam akan menyelesaikan kontradikisi dan pertentangan diantara umat Islam sendiri mengenai apa yang seharusnya dilakukan baik secara ilmiah maupun praktis dalam mengelola hal-hal kenegaraan atau hal-hal yang berkaitan dengan kekhalifahan, bila sudah berdiri di masa mendatang. Hasan Al Banna mengatakan politik segala hal yang berkaitan dengan memikirkan (dan bertindak) tentang persoalan internal dan eksternal ummat.
Konsep Islam yang menyeluruh mengenai kehidupan tergambar dalam Al Quran sendiri yang mengatur seluruh tindak tanduk dan sepak terjang mulai dari sosial, ekonomi dan kenegaraan. Bahkan dalam praktek Rasulullah sendiri pengelolaan kekuasaan di Madinah
4
dilembagakan dalam Piagam Madinah. Jelas di sini, konsep dan contoh tidak ada kontradiksi seperti terjadi di sebagian kalangan umat Islam.
Kedua, mengingat asingnya keteribatan umat Islam dalam kehidupan politik kenegaraan maka menghilangkan kecanggungan itu perlu dilakukan secara berangsur-angsur. Politik sebagai seni mengatur masyarakat untuk mencapai Ridha Allah seharusnya dipraktekkan oleh kalangan umat Islam yang komit dengan tujuan-tujuan Islami. Pengenalan partai politik berasas Islam dengan perangkat leadership, administrasi dan struktur yang modern akan memberikan rasa percaya umat kepada adanya sebuah konsep yang hidup dalam praktek. Amal yang kentara dalam mengatur kekuasaan yang adil oleh pelaku kenegaraan memberikan kemakmuran serta kepercayaan masyarakat terhadap Islam sebagai masa depan pengaturan politik.
Ketiga, karena politik tidak hanya seni mengatur kekuasaan dalam tingkat sebuah entitas politik, maka studi dan praktek politik di era globalisasi perlu dilakukan di tataran internasional. Dengan semakin tipisnya batas territorial dan kedaulatan sebuah bangsa atau negara maka sudah selayaknya perlu dimasukkan faktor eksternal dalam interaksi politik lokal. Banyak kasus menunjukkan kepentingan eksternal menyebabkan terjadinya masalah dalam sebuah kehidupan politik. Contohnya, perang Irak lebih disebabkan karena individu bukan oleh sebuah masalah sebuah negara.
PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA BANI UMAYAH
66
D a u l a h B a n i U m a y a h y a n g i b u k o t a p e m e r i n t a h a n n y a d i D a m a s k u s berlangsung selama 91 tahun diperintah oleh 14 orang khalifah. Kejayaan BaniUmayah dimulai pada masa Abdul Malik dan berakhir pada masa pemerintahanU m a r b i n A b d u l A z i z . S e p e n i n g g a l U m a r , k e k h a l i f a h a n m u l a i m e l e m a h d a n a k h i r n y a t u m b a n g . P e n y e b a b n y a a d a l a h p a r a k h a l i f a h l e b i h m e n g u t a m a k a n kepentingan pribadi dari pada kepentingan umum. Pun demikian kemajuan-kemajuan di bidang arsitektur, kesenian dan perdagangan berhasil dicapai padamasa Bani Umayah.Tentunya sangat menarik mengkaji dinamika khilafah Bani Umayah ini.Sebab selain khilafah ini berada pada masa transisi, berbagai intrik menarikterjadi di zaman ini. Mulai dari banyaknya khalifah yang tidak berpihak padarakyat sampai pembunuhan Husein bin Ali di Karbala. Semoga dengan mengkaji p e r k e m b a n g a n I s l a m p a d a k u r u n i n i a k a n m e m p e r k a y a w a c a n a k i t a terutama dalam hal politik Islam.
4
Gambar : Umar bin Abdul Aziz
68
BAB IIISISTEM POLITIK ISLAM
A. ISLAM DAN POLITIK
Pemikiran politik Islam pada umumnya merupakan
produk “perdebatan besar” yang terfokus pada masalah
religi politik tetang Imamah dan Kekhalifahan.
Pemikiran dan permasalahan politik ini sudah ada sejak
zaman Nabi Muhammad saw. masih hidup.
Dalam teori maupun praktik, Nabi saw. menempati suatu
posisi yang unik sebagai pemimpin dan sumber spiritual
undang-undang Ketuhanan, namun sekaligus juga
pemimpin pemerintahan Islam yang pertama. Kerangka
kerja Konstitusional pemerintahan ini terungkap dalam
sebuah dokumen terkenal yang disebut dengan
“Konstitusi Madinah” atau “Piagam Madinah”.
Dalam dokumen tersebut terdapat langkah pertama dan
amat penting bagi terwujudnya sebuah badan
pemerintahan Islam atau Ummah. Piagam tersebut juga
memuat beberapa konsep penting diantaranya yakni
4
mengenai konsep suku tentang pertalian darah digantikan
dengan ikatan iman yang bersifat ideologis.
Menyuguhkan landasan bagi prinsip saling menghormati
dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-
orang yang mengikuti, bergabung dengan dan, berjuang
bersama mereka”. Mereka, yang dimaksud dalam
pembukaan piagam itu adalah masyarakat Yahudi
Madinah.
Menurut konstitusi itu pula, orang-orang Islam dan
semua warga yang tinggal di Madinah tergabung dalam
suatu masyarakat (pasal 1) yang secara fisik dan politis
berbeda dengan kelompok-kelompok lain (pasal 1 dan
39). Tidak ada pengertian lain mengenai siapa yang harus
mencegah tampuk pimpinan dalam konfederasi semacan
itu. Pada pasal 23, 36, dan 42 secara tegas menyebutkan
Allah dan Nabi Muhammad saw. sebagai hakim terakhir
serta sumber segenap kekuasaan dan kekuatan
(wewenang).
Sejak hijrah ke Madinah tahun 622 M sampai wafatnya
beliau pada 6 Juni 632 M, Nabi Muhammad saw.
70
berperan sebagai pemimpin yang tidak dapat dibantah
(unquestionable leader) bagi negara Islam yang baru lahir
tersebut. Sebagai Nabi, beliau meletakkan prinsip-prinsip
agama Islam, memimpin shalat serta menyampaikan
berbagai khutbah. Sebagai negarawan, beliau mengutus
duta ke luar negeri, membentuk angkatan perang dan
membagikan rampasan perang.
Semasa kehidupannya Nabi saw. tidak pernah
menyampaikan wasiat siapa yang berhak menggantikan
beliau sebagai pemimpin negara Islam. Inilah yang
menjadi pemicu lahirnya perdebatan sengit dan
berkepanjangan mengenai syarat-syarat Imam atau
pemimpin umat Islam.
Setelah masa kenabian Nabi Muhammad saw. sebagai
pemimpin umat Islam kala itu, tampuk kepemimpinan
berikutnya dipegang oleh para sahabat Nabi saw. yang
lebih dikenal sebagai era “Khulafaur- Rasyidin”, yang
terdiri dari para sahabat dekat Rasulullah : Abu Bakar
4
As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan
Ali bin Abi Thalib. Masa-masa itu merupakan cermin
kejayaan Islam yang diraih dengan berbagai perangkat
dan tetap selalu berada di bawah prinsip konsultasi dan
akomodasi.
Masalah perebutan kekuasaan telah mulai tampak tajam
sejak masa pemerintahan khalifah ke-3, Utsman r.a,
hingga puncaknya pada masa pemerintahan khalifah ke-
4, Ali r.a yang di tandai dengan meletusnya perang
Shiffin (657 M) antara Ali dan Muawiyah. Pada periode
inipun tidak terelakkan lagi dari kekerasan dan oerang
sipil yang berakhir dengan terbunuhnya Ali r.a, yang
kemudian memunculkan dinasti Umayyah yang
memerintah sejak tahun 661- 749 M. Selama masa-masa
pergolakan inilah kita menemukan kelahir
an berbagai ragam faksi politik yang membentuk
spektrum pemikiran politik Islam.
Sistem yang dibangun oleh Rasulullah Saw dan kaum
mukminin yang hidup bersama beliau di Madinah --jika
dilihat dari segi praksis dan diukur dengan variabel-
72
variabel politik di era modern-- tidak disangsikan lagi
dapat dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem politik
par excellence. Dalam waktu yang sama, juga tidak
menghalangi untuk dikatakan bahwa sistem itu adalah
sistem religius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya,
motivasinya, dan fundamental maknawi tempat sistem itu
berpijak.
Dengan demikian, suatu sistem dapat menyandang dua
karakter itu sekaligus. Karena hakikat Islam yang
sempurna merangkum urusan-urusan materi dan ruhani,
dan mengurus perbuatan-perbuatan manusia dalam
kehidupannya di dunia dan akhirat. Bahkan filsafat
umumnya merangkum kedua hal itu, dan tidak mengenal
pemisahan antara keduanya, kecuali dari segi perbedaan
pandangan. Sedangkan kedua hal itu sendiri, keduanya
menyatu dalam kesatuan yang tunggal secara solid;
saling beriringan dan tidak mungkin terpisah satu sama
lain. Fakta tentang sifat Islam ini amat jelas, sehingga
tidak membutuhkan banyak kerja keras untuk
mengajukan bukti-bukti. Hal itu telah didukung oleh
fakta-fakta sejarah, dan menjadi keyakinan kaum
4
Muslimin sepanjang sejarah yang telah lewat. Namun
demikian, ada sebagian umat Islam sendiri, yang
mengklaim diri mereka sebagai 'kalangan pembaru',
dengan terang-terangan mengingkari fakta ini!. Mereka
mengklaim bahwa Islam hanyalah sekadar 'dakwah
agama' (3): maksud mereka adalah, Islam hanyalah
sekadar keyakinan atau hubungan ruhani antara individu
dengan Rabb-nya. Dan dengan demikian tidak memiliki
hubungan sama sekali dengan urusan-urusan yang kita
namakan sebagai urusan materi dalam kehidupan dunia
ini. Di antara urusan-urusan ini adalah: masalah-masalah
peperangan dan harta, dan yang paling utama adalah
masalah politik. Di antara perkataan mereka adalah:
"agama adalah satu hal, dan politik adalah hal lain".
Untuk mengcounter pendapat mereka, tidak ada
manfaatnya jika kami mendedahkan pendapat-pendapat
ulama Islam; karena mereka tidak mau
mendengarkannya. Juga kami tidak memulainya dengan
mengajukan fakta-fakta sejarah, karena mereka dengan
sengaja telah mencampakkannya!. Oleh karena itu,
cukuplah kami kutip beberapa pendapat orientalis dalam
74
masalah ini, dan mereka telah mengutarakan hal itu
dengan redaksi yang jelas dan tegas. Hal itu kami
lakukan karena para 'pembaru-pembaru' itu tidak dapat
mengklaim bahwa mereka lebih modern dari para
orientalis itu, juga tidak dapat mengklaim bahwa mereka
lebih mampu dalam menggunakan metode-metode riset
modern, dan penggunaan metode-metode ilmiah. Di
antara pendapat-pendapat para orientalis itu adalah
sebagai berikut:
1. Dr. V. Fitzgerald berkata: "Islam bukanlah
semata agama (a religion), namun ia juga
merupakan sebuah sistem politik (a political
system). Meskipun pada dekade-dekade terakhir
ada beberapa kalangan dari umat Islam, yang
mengklaim diri mereka sebagai kalangan
'modernis', yang berusaha memisahkan kedua sisi
itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam
dibangun di atas fundamental bahwa kedua sisi
itu saling bergandengan dengan selaras, yang
tidak dapat dapat dipisahkan satu sama lain".
4
2. Prof. C. A. Nallino berkata: "Muhammad telah
membangun dalam waktu bersamaan: agama (a
religion) dan negara (a state). Dan batas-batas
teritorial negara yang ia bangun itu terus terjaga
sepanjang hayatnya".
3. Dr. Schacht berkata: " Islam lebih dari sekadar
agama: ia juga mencerminkan teori-teori
perundang-undangan dan politik. Dalam
ungkapan yang lebih sederhana, ia merupakan
sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup
agama dan negara secara bersamaan".
4. Prof. R. Strothmann berkata: "Islam adalah suatu
fenomena agama dan politik. Karena
pembangunnya adalah seorang Nabi, yang juga
seorang politikus yang bijaksana, atau
"negarawan".
5. Prof D.B. Macdonald berkata: "Di sini (di
Madinah) dibangun negara Islam yang pertama,
dan diletakkan prinsip-prinsip utama undang-
undang Islam".
76
6. Sir. T. Arnold berkata :" Adalah Nabi, pada
waktu yang sama, seorang kepala agama dan
kepala negara".
7. Prof. Gibb berkata :"Dengan demikian, jelaslah
bahwa Islam bukanlah sekadar kepercayaan
agama individual, namun ia meniscayakan
berdirinya suatu bangun masyarakat yang
independen. Ia mempunyai metode tersendiri
dalam sistem kepemerintahan, perundang-
undangan dan institusi".
B. BUKTI SEJARAH
Seluruh pendapat-pendapat tadi diperkuat oleh
fakta-fakta sejarah : di antara fakta sejarah yang
tidak dapat diingkari oleh siapapun adalah,
setelah timbulnya dakwah Islam, kemudian
terbentuk bangunan masyarakat baru yang
mempunyai identitas independen yang
membedakannya dari masyarakat lain. Mengakui
satu undang-undang, menjalankan kehidupannya
sesuai dengan sistem yang satu, menuju kepada
4
tujuan-tujuan yang sama, dan di antara individu-
individu masyarakat yang baru itu terdapat ikatan
ras, bahasa, dan agama yang kuat, serta adanya
perasaan solidaritas secara umum. Bangunan
masyarakat yang memiliki semua unsur-unsur
tadi itulah yang dinamakan sebagai bangunan
masyarakat 'politik'. Atau yang dinamakan
sebagai 'negara'. Tentang negara, tidak ada suatu
definisi tertentu, selain aanya fakta terkumpulnya
karakteristik-karakteristi yang telah disebutkan
tadi dalam suatu bangunan masyarakat.
Di antara fakta-fakta sejarah yang tidak
diperselisihkan juga adalah, bangunan masyarakat
politik ini atau 'negara', telah memulai kehidupan
aktifnya, dan mulai menjalankan tugas-tugasnya,
dan merubah prinsip-prinsip teoritis menuju
dataran praksis. Setelah tersempurnakan
kebebasan dan kedaulatannya, dan kepadanya
dimasukkan unsur-unsur baru dan adanya
penduduk. Yaitu setelah pembacaan bai'at
Aqabah satu dan dua, yang dilakukan antara
78
Rasulullah Saw dengan utusan dari Madinah,
yang dilanjutkan dengan peristiwa hijrah. Para
faktanya, kedua bai'at ini --yang tidak diragukan
oleh seorangpun tentang berlangsungnya kedua
bai'at ini-- merupakan suatu titik transformasi
dalam Islam (11). Dan peristiwa hijrah hanyalah
salah satu hasil yang ditelurkan oleh kedua
peristiwa bai'at itu. Pandangan yang tepat
terhadap kedua bai'at tadi adalah dengan
melihatnya sebagai batu pertama dalam bangunan
'negara Islam'. Dari situ akan tampak urgensitas
kedua hal itu. Alangkah miripnya kedua peristiwa
bai'at itu dengan kontrak-kontrak sosial yang di
deskripsikan secara teoritis oleh sebagian filosof
politik pada era-era modern. Dan menganggapnya
sebagai fondasi bagi berdirinya negara-negara
dan pemerintahan. Namun bedanya, 'kontrak
sosial' yang dibicarakan Roussou dan sejenisnya
hanyalah semata ilusi dan imajinasi, sementara
kontrak sosial yang terjadi dalam sejarah Islam
ini berlangsung dua kali secara realistis di
4
Aqabah. Dan di atas kontrak sosial itu negara
Islam berdiri. Ia merupakan sebuah kontrak
historis. Ini merupakan suatu fakta yang diketahui
oleh semua orang. Padanya bertemu antara
keinginan-keinginan manusiawi yang merdeka
dengan pemikiran-pemikiran yang matang,
dengan tujuan untuk mewujudkan risalah yang
mulia.
Dengan demikian, negara Islam terlahirkan dalam
keadaan yang amat jelas. Dan pembentukannya
terjadi dalam tatapan sejarah yang jernih. Karena
Tidak ada satu tindakan yang dikatakan sebagai
tindakan politik atau kenegaraan, kecuali
dilakukan oleh negara Islam yang baru tumbuh
ini. Seperti Penyiapan perangkat untuk
mewujudkan keadilan, menyusun kekuatan
pertahanan, mengadakan pendidikan, menarik
pungutan harta, mengikat perjanjian atau
mengirim utusan-utusan ke luar negeri. Ini
merupakan fakta sejarah yang ketiga. Adalah
mustahil seseorang mengingkarinya. Kecuali jika
80
kepadanya dibolehkan untuk mengingkari suatu
fakta sejarah yang terjadi di masa lalu, dan yang
telah diterima kebenarannya oleh seluruh
manusia. Dari fakta-fakta yang tiga ini --yang
telah kami sebutkan-- terbentuk bukti sejarah
yang menurut kami dapat kami gunakan sebagai
bukti --di samping pendapat kalangan orientalis
yang telah disitir sebelumnya-- atas sifat politik
sistem Islam. Jika telah dibuktikan, dengan cara-
cara yang telah kami gunakan tadi, bahwa sistem
Islam adalah sistem politik, dengan demikan
maka terwujudlah syarat pertama yang mutlak
diperlukan bagi keberadaan pemikiran politik.
Karena semua pemikiran tentang hal ini: baik
tentang pertumbuhannya, hakikatnya, sifat-
sifatnya atau tujuan-tujuannya, niscaya ia
menyandang sifat ini, yaitu sifatnya sebagai suatu
pemikiran politik. Syarat ini merupakan faktor
yang terpenting dalam pertumbuhan pemikiran
ini. Bahkan ia merupakan landasan berpijak bagi
kerangka-kerangka teoritis dan aliran-aliran
4
pemikiran yang beragam. Oleh karena itu,
amatlah logis jika kami curahkan seluruh
perhatian ini untuk meneliti dan menjelaskannya.
C. NILAI-NILAI POLITIK DALAM AL QURAN
Namun perlu dicatat, al-Qur’an bukanlah kitab politik. Ia
hanya memberikan
prinsip-prinsipnya saja dan bukan mengajari cara-cara
berpolitik praktis. Dengan demikian, perhatian utama al-
Qur'an adalah memberikan petunjuk yang benar kepada
manusia, yaitu petunjuk yang akan membawanya kepada
kebenaran dan suasana kehidupan yang baik. Sebagai
kitab petunjuk, al-Qur'an mengarahkan manusia kepada
hal-hal praktis. Ia memberi tekanan lebih atas amal
perbuatan daripada gagasan. Bertolak dari sisi pandangan
ini, maka iman barulah punya arti jika diikuti secara
terpadu oleh perbuatan baik yang positif dan konstruktif.
Sebagai suatu petunjuk bagi manusia, al-Qur'an
menyediakan suatu dasar yang kukuh dan tak berubah
bagi semua prinsip-prinsip etik dan moral yang perlu
bagi kehidupan ini. Menurut Muhammad Asad, al-Qur'an
82
memberikan jawaban komprehensif untuk persoalan
tingkah laku yang baik bagi manusia sebagai perorangan
dan sebagai anggota masyarakat dalam rangka
menciptakan suatu kehidupan yang berimbang di dunia
ini dengan tujuan terakhir kebahagiaan di akhirat. al-
Qur'an sendiri mengajarkan bahwa kehidupan di dunia
merupakan prasyarat bagi kebahagiaan hidup yang akan
datang seperti dinyatakan dalam al-Qur'an,
”Barang siapa buta di dunia ini, maka akan buta di
akhirat, dan bahkan lebih sesat lagi perjalanannya”(terj.
Q.s., al-Ahzāb/17:72)
Bagi seorang mukmin, al-Qur'an merupakan manifestasi
terakhir bagi rahmat Allah swt. kepada manusia, di
samping sebagai prinsip kebijaksanaan yang terakhir
pula.
Jadi, jangan menjadikan al-Qur’an dan pemerintahan
Nabi untuk instrumen politik. Tapi ambillah prinsip-
prinsip etiknya dan sesuaikan dengan kondisi-kondisi
sosial politik sehingga melahirkan suatu kombinasi
4
moralitas Islam dan relevansi sosial politik. Wallāhu
A’lamu bil-Shawāb.
D. ASAS-ASAS SISTEM POLITIK
1. Hakimiyyah Ilahiyyah
Hakimiyyah atau memberikan kuasa pengadilan dan
kedaulatan hukum tertinggi dalam sistem politik Islam
hanyalah hak mutlak Allah.
“Dan Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah segala puji di
dunia dan di akhirat, dan bagi-Nyalah segala penentuan
dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. (Al-
Qasas: 70)
Hakimiyyah Ilahiyyah membawa pengertian-pengertian
berikut:
Bahawasanya Allah Pemelihara alam semesta
yang pada hakikatnya adalah Tuhan yang menjadi
pemelihara manusia, dan tidak ada jalan lain bagi
84
manusia kecuali patuh dan tunduk kepada sifat
IlahiyagNya Yang Maha Esa
Bahawasanya hak untuk menghakimi dan meng
adili tidak dimiliki oleh sesiap kecuali Allah
Bahawasanya hanya Allah sahajalah yang
memiliki hak mengeluarkan hukum sebab Dialah
satu-satuNya Pencipta
Bahawasanya hanya Allah sahaja yang memiliki
hak mengeluarkan peraturan-peraturan sebab
Dialah satu-satuNya Pemilik
Bahawasanya hukum Allah adalah suatu yang
benar sebab hanya Dia sahaja yang Mengetahui
hakikat segala sesuatu dan di tangan-Nyalah
sahaja penentuan hidayah dan penentuan jalan
yang selamat dan lurus
Hakimiyyah Ilahiyyah membawa erti bahawa teras utama
kepada sistem politik Islam ialah tauhid kepada Allah di
segi Rububiyyah dan Uluhiyyah.
2. Risalah
4
Risalah bererti bahawa kerasulan beberapa orang lelaki
di kalangan manusia sejak Nabi Adam hingga kepada
Nabi Muhammad s.a.w adalah suatu asas yang penting
dalam sistem politik Islam. Melalui landasan risalah
inilah maka para rasul mewakili kekuasaan tertinggi
Allah dalam bidang perundangan dalam kehidupan
manusia. Para rasul meyampaikan, mentafsir dan
menterjemahkan segala wahyu Allah dengan ucapan dan
perbuatan.
Dalam sistem politik Islam, Allah telah memerintahkan
agar manusia menerima segala perintah dan larangan
Rasulullah s.a.w. Manusia diwajibkan tunduk kepada
perintah-oerintah Rasulullah s.a.w dan tidak mengambil
selain daripada Rasulullah s.a.w untuk menjadi hakim
dalam segala perselisihan yang terjadi di antara mereka.
Firman Allah:
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah
kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota
maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-
anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang
86
dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya
beredar di antara orang-orang kaya saja di antara
kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.“(Al-
Hasyr: 7)
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak
beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya. (An-Nisa’: 65)
3. Khilafah
Khilafah bererti perwakilan. Kedudukan manusia di atas
muka bumi ini adlah sebagai wakil Allah. Oleh itu,
dengan kekuasaanyang telah diamanahkan ini, maka
manusia hendaklah melaksanakan undang-undang Allah
dalam batas yang ditetapkan. Di atas landasan ini, maka
4
manusia bukanlah penguasa atau pemilik tetapi hanyalah
khalifah atau wakil Allah yang menjadi Pemilik yang
sebenar.
“Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti
(mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami
memperhatikan bagaimana kamu berbuat.” (Yunus: 14)
Seseorang khalifah hanya menjadi khalifah yang sah
selama mana ia benar-benar mengikuti hukum-hukum
Allah. Ia menuntun agar tugas khalifah dipegang oleh
orang-orang yang memenuhi syarat-syarat berikut:
a) Terdiri daripada orang-orang yang benar-
benar boleh menerima dan mendukung
prinsip-prinsip tanggngjawab yang
terangkum dalam pengertian kkhilafah
b) Tidak terdiri daripada orang-orang zalim,
fasiq, fajir dan lalai terhadap Allah serta
bertindak melanggar batas-batas yang
ditetapkan olehNya
c) Terdiri daripada orang-orang yang
berilmu, berakal sihat, memiliki
88
kecerdasan, kearifan serta kemampuan
intelek dan fizikal
d) Terdiri daripada orang-orang yang
amanah sehingga dapt dipikulkan
tanggungjawab kepada mereka dengan
yakin dan tanpa keraguan
E. CIRI-CIRI SISTEM POLITIK ISLAM
a. Kekuasaan dipegang penuh oleh umat.
Umat atau rakyat yang menentukan pilihan terhadap
jalannya kekuasaan, dan persetujuannya merupakan
syarat bagi kelangsungan orang-orang yang menjadi
pilihannya. Salah seorang ulama Ushul Fiqh Dr.
Muhammad Yusuf Musa mengatakan: “Sesugguhnya
sumber otoritas adalah umat dan bukan pemimipin
( penguasa ) , karena pemimipin hanya sebagai wakilnya
dalam menangani masalah – masalah agama dan
mengatur urusannya sesuai dengan syariat Allah Swt.
Dengan demikian, seorang pemimpin mendapatkan
kekuasaan dari umat, dan umat dapat menasehati,
4
memberikan pengarahan, dan mengkritik bila hal itu
dibutuhkan. Bahkan dia berhak mencabut kekuasaan
yang diberikan kepadanya apabila dia mendapatkan
alasan pencabutannya. Jadi, logikannya yang menjadi
sumber otoritas adalah orang yang mewakilkan dan
bukan orang yang mewakilinya.”
b. Masyarakat ikut berperan dan bertanggung jawab
Penegakan agama, pemakmuran dunia, serta
pemeliharaan atas semua kemashlahatan umum
merupakan tanggung jawab umat dan bukan hanya
tanggung jawab penguasa saja.
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu
menjadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah (ketika) menjadi saksi dengan
adil.” (QS. Al-Maidah:
c. Kebebasan adalah hak bagi semua orang
Diantara pengekspresian kebebasan yang terpenting
adalah kebebasan memilih dan berpendapat, seperti
90
halnya dalam Islam tidak ada paksaan dalam keyakinan
manusia. Akan tetapi setiap pilihan itu pasti memiliki
konsekuensi dan resiko tersendiri.
Dengan demikian, kebebasan politik merupakan istilah
modern, tidak lain kecuali hanya cabang dari pokok
kebebasan universal yang diberikan islam, yaitu
kebebasan manusia dalam kedudukannya sebagai
manusia, yang telah ditetapkan dengan nash – nash baik
dalam Al – Qur’an maupun dalam Hadist. Sebagai dalil
yang memperkuat hal tersebut, kita dapat sebutkan
sebuah Hadist Rasulullah Saw . Yang disampaiakan
kepada para sahabatnya, “ Janganlah sekali – kali salah
seorang diantara kalian tidak berpendirian, ia
mengatakan aku bersama – sama dengan banyak orang,
apabila mereka baik , maka aku baik Dan apabila mereka
jelek, maka akupun jelek.“
d. Persamaan diantara semua manusia
Sesungguhnya nenek moyang kita adalah satu.
Kesemuanya diciptakan min nafsin wahidah ( dari diri
4
yang satu ) ( Qs. An- Nisa’ : 1 ). Dan semuanya
mendapat perlindungan dan penghormatan yang telah
ditetapkan dalam Al – Qur’an tanpa melihat kepada
agama atau ras. Rasulullah Saw . sendiri pada khutbah
Wada’ telah mengisyaratkan kepada makna kesatuan asal
manusia. Beliau bersabda,” Ketahuilah, sesungguhnya
Tuhan kalian adalah satu, dan ketahuilah bahwa Bapak
kalian juga satu .”
e. Kelompok yang berbeda juga memiliki legalitas
Sejak diputuskannya kesatuan dasar kemanusiaan dan
ditetapkannya kehormatan bagi setiap orang didalm Al –
Qur’an, setiap orang lain ( yang berbeda paham ) berhak
mendapatkan perlindungan dan legalitas sebagai
manusia, ketika Nabi Muhammad Saw berdiri sebagai
penghormatan atas seorang mayat yang diusung
dihadapan beliau, dikatakan kepada beliau bahwa mayat
yang diusung dihadapn beliau adalah orang Yahudi,
maka beliau menjawab, “ Bukankah ia manusia ?”
Demikian halnya ketika Ali bin Abi Thalib r.a mengirim
surat kepada gubernurnya di Mesir, Malik Al Asytar,
92
beliau menulis dalam surattersebut :” Tanamkanlah
dalam hatimu kasih sayang, cinta, dan kelembutan
kepada rakyatmu ……. Sesungguhnya mereka ada dua
golongan, baik meeka sebagai saudara dalam agama, atau
mitramu sesama makhluk.
f. Kedzaliman mutlak tidak diperbolehkan dan usaha
meluruskannya adalah wajib.
Dalam islam, kedzaliman tidak hanya termasuk dalam
kemungkaran dan dosa terbesar saja, juga tidak hanya
merusak kemakmuran, sebagaimana yang dikatakan Ibnu
Khaldun. Tetapi lebih dari itu, kedzaliman merupakan
tindakan yang menganiaya hak Allah Swt dan
menghancurkan nilai – nilai keadilan yang merupakan
tujuan dari diutusnya Rasul dan Nabi.
Allah Swt berfirman :” Agar memberi peringatan orang–
orang yang dzalim dan memberi kabar gembira kepada
orang – orang yang berbuat baik”. ( Qs. Al – Ahqaf :
12 ).
4
Nabi Muhammad Saw bersabda :” Seutama – utama
jihad adalah mengatakan yang hak kepada penguasa
zalim”.
g. Undang-undang di atas segalanya
Legalitas kekuasaan dinegara islam tegak dan
berlangsung dengan usaha mengimplementasikan sistem
undang – undang islam secara keseluruhan, tanpa
membedakan antara hukum –hukumnya yang mengatur
tingkah laku seorang muslim dalam kedudukannya
sebagai anak bangsa dan hakim dengan nilai – nilai
pokok dan tujuan – tujuannya yang mulia, yang telah
disebutkan didalam Al – Qur’an dan Hadist.
F. PRINSIP-PRINSIP POLITIK DALAM
ISLAM
1. Musyawarah
Asas musyawarah yang paling utama adldah berkenaan
dengan pemilihan ketua negara dan oarang-oarang yang
akan menjawat tugas-tugas utama dalam pentadbiran
94
ummah. Asas musyawarah yang kedua adalah berkenaan
dengan penentuan jalan dan cara pelaksanaan undang-
undang yang telah dimaktubkan di dalam Al-Quran dan
As-Sunnah. Asas musyawarah yang seterusnya ialah
berkenaan dengan jalan-jalan bagi menetukan perkara-
perkara baru yang timbul di dalangan ummah melalui
proses ijtihad.
2. Keadilan
Prinsip ini adalah berkaitan dengan keadilan sosial yang
dijamin oleh sistem sosial dan sistem ekonomi Islam.
Dalam pelaksanaannya yang luas, prinsip keadilan yang
terkandung dalam sistem politik Islam meliputi dan
merangkumi segala jenis perhubungan yang berlaku
dalam kehidupan manusia, termasuk keadilan di antara
rakyat dan pemerintah, di antara dua pihak yang
bersebgketa di hadapan pihak pengadilan, di antara
pasangan suami isteri dan di antara ibu bapa dan anak-
anaknya.kewajipan berlaku adil dan menjauhi perbuatan
zalim adalah di antara asas utama dalam sistem sosial
Islam, maka menjadi peranan utama sistem politik Islam
4
untuk memelihara asas tersebut. Pemeliharaan terhadap
keadilan merupakan prinsip nilai-nilai sosial yang utama
kerana dengannya dapat dikukuhkan kehidupan manusia
dalam segala aspeknya.
3. Kebebasan
Kebebasan yang diipelihara oleh sistem politik Islam
ialah kebebasan yang berterskan kepada makruf dan
kebajikan. Menegakkan prinsip kebebasan yang
sebenaradalah tujuan terpenting bagi sistem politik dan
pemerintahan Islam serta menjadi asas-asas utama bagi
undang-undang perlembagaan negara Islam.
4. Persamaan
Persamaan di sini terdiri daripada persamaan dalam
mendapatkan dan menuntut hak, persamaan dalam
memikul tanggungjawab menurut peringkat-peringkat
yang ditetapkan oleh undang-undang perlembagaan dan
persamaan berada di bawah kuatkuasa undang-undang.
5. Hak menghisab pihak pemerintah
96
Hak rakyat untuk menghisab pihak pemerintah dan hak
mendapat penjelasan terhadap tindak tanduknya. Prinsip
ini berdasarkan kepada kewajipan pihak pemerintah
untuk melakukan musyawarah dalam hal-hal yang
berkaitan dengan urusan dan pentadbiran negara dan
ummah. Hak rakyat untuk disyurakan adalah bererti
kewajipan setiap anggota dalam masyarakat untuk
menegakkan kebenaran dan menghapuskan
kemungkaran. Dalam pengertian yang luas, ini juga
bererti bahawa rakyat berhak untuk mengawasi dan
menghisab tindak tanduk dan keputusan-keputusan pihak
pemerintah.
Prinsip-prinsip politik Islam, terutama terkait
dengan kepemimpinan, ditinjau dari perspektif al-Quran
dan Hadits bisa dijelaskan seperti berikut ini:
a. Tidak memilih orang kafir sebagai pemimpin (QS. al-
Nisa’ (4): 144), orang-orang Yahudi dan Nasrani
(QS. al-Maidah (5): 51-53), orang-orang yang
mempermainkan agama atau mempermainkan shalat
4
(QS. al-Maidah (5): 56-57), musuh Allah Swt. dan
musuh orang mukmin (QS. al-Mumtahanah (60): 1),
dan orang-orang yang lebih mencintai kekufuran
daripada iman (QS. al-Taubah (9): 23).
b. Setiap kelompok harus memilih pemimpin
sebagaimana dijelaskan dalam Hadits: “Jika tiga
orang melakukan suatu perjalanan, angkat salah
seorang di antara mereka sebagai pemimpin” (HR.
Abu Dawud).
c. Pemimpin haruslah orang-orang yang dapat diterima,
sebagaimana dijelaskan dalam Hadits: “Sebaik-baik
pemimpin adalah mereka yang kamu cintai dan
mencintai kamu, kamu berdoa untuk mereka dan
mereka berdoa untukmu. Seburuk-buruk
pemimpinmu adalah mereka yang kamu benci dan
mereka membencimu, kamu laknati mereka dan
mereka melaknati kamu” (HR. Muslim).
d. Pemimpin yang Maha Mutlak hanyalah Allah Swt.
sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran: “Maha Suci
Tuhan yang ditangan-Nyalah segala kerajaan dan Dia
Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. al-Mulk (67):
1); “Dan kepunyaan Allahlah kerajaan antara
98
keduanya” (QS. al-Maidah (5): 18).
e. Kepemimpinan Allah Swt. terhadap alam ini
sebagian didelegasikan kepada manusia, sesuai yang
dikehendaki-Nya: “Katakanlah Wahai Tuhan yang
mempunyai kerajaan Engkau berikan kerajaan
kepada orang yang Engkau kehendaki” (QS. Ali
Imran (3): 26). Status kepemimpinan manusia hanya
sebagai amanah dari Allah Swt. yang sewaktu-waktu
diberikan kepada seseorang dan diambil dari
seseorang .
f. Memperhatikan kepentingan kaum Muslimin. Prinsip
ini didasarkan pada Sabda Nabi Saw.: “Siapa yang
memimpin, sedangkan ia tidak memperhatikan
urusan kaun muslimin, tidaklah ia termasuk dalam
golongan mereka” (HR. al-Bukhari).
Shalahuddin Sanusi (1964) merumuskan dasar-
dasar kepemimpinan dalam Islam sebagai berikut:
a. Persamaan dan persaudaraan. Manusia pada dasarnya
sama, sebagai makhluk Tuhan, kelebihan yang satu
dengan yang lainnya terletak pada kualitas
4
ketaqwaannya sebagaimana firman Allah Swt.:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa
(QS. al-Hujurat (49): 13). Karena itu seorang
pemimpin tidak boleh merasa bahwa dirinya serba
melebihi dari orang-orang yang dipimpinnya, bahkan
dia harus menjadi pelayan bagi ummatnya.
b. Dalam kehidupan bersama masyarakat yang
dipimpinnya harus menegakkan dan memelihara
hubungan persaudaraan: “Sesungguhnya orang-orang
mukmin itu bersaudara, maka perbaikilah hubungan
persaudaraan itu” (QS. al-Hujurat (49): 10).
c. Kepemimpinan itu merupakan amanat, tugas, atau
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemimpin,
sebagaimana sabda Nabi: “Sesungguhnya
kepemimpinan itu adalah amanat dan sesungguhnya
pada hari kiamat kepemimpinan itu merupakan malu
dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya
dengan hak serta melaksanakan tugas dan
kewajibannya” (HR. Muslim).
d. Dalam melaksanakan kepemimpinan ia harus selalu
bermusyawarah untuk mengambil suatu keputusan
100
(QS. al-Syura (42): 38).
e. Hukum itu hanyalah pada Allah Swt. dan pemimpin
diamanati oleh masyarakat untuk melaksanakannya.
Oleh karena itu, apabila terjadi pertentangan dan
perselisihan hendaklah dikembalikan kepada Allah
Swt. dan Rasul-Nya: “Tidak ada hukum melainkan
bagi Allah” (QS. al-An’am (6): 57).
f. Ketaatan ummat kepada pemimpin. Ummat wajib
taat kepada pemimpin yang mereka amanati untuk
melaksanakan tugas dan kewajiban yang
dipercayakan kepadanya: “Hai orang-orang yang
beriman taatilah Allah dan Rasul-Nya serta orang-
orang yang berkuasa di antara kamu” (QS. al-Nisa’
(4): 59). Mendengar dan ta’at kepada pemimpin
adalah wajib selama tidak disuruh kepada maksiat.
Apabila disuruh kepada maksiat, maka tidak perlu
didengar dan ditaati (HR. Al-Bukhari)
BAB IV
KONSEP MASYARAKAT MADANI
4
C. PENGERTIAN
1. Pengertian Masyarakat Madani
Istilah ‘madani’ berasal dari bahasa Arab
‘madaniy’. Kata ‘madaniy’ berakar pada kata
kerja ‘madana’ yang artinya mendiami, tinggal,
atau membangun. Dalam bahasa Arab kata
‘madaniy’ mempunyai beberapa arti, di antaranya
yang beradab, orang kota, orang sipil, dan yang
bersifat sipil atau perdata (Munawwir, 1997:
1320). Dari kata ‘madana’ juga muncul kata
‘madiniy’ yang berarti urbanisme (paham
masyarakat kota). Secara kebetulan atau dengan
sengaja bahasa Arab menangkap persamaan yang
sangat esensial di antara peradaban dan
urbanisme. Dengan mengetahui makna kata
‘madani’ maka istilah masyarakat madani (al-
mujtama’ al-madaniy) secara mudah bisa
dipahami sebagai masyarakat yang beradab,
masyarakat sipil, dan masyarakat yang tinggal di
suatu kota atau yang berpaham masyarakat kota
yang akrab dengan masalah pluralisme. Dengan
demikian, masyarakat madani merupakan suatu
102
bentuk tatanan masyarakat yang bercirikan hal-
hal seperti itu yang tercermin dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dalam bahasa Inggris masyarakat madani sering
diistilahkan civil society atau madinan society
yang berarti masyarakat sipil. Adam B. Seligman
mendefinisikan civil society sebagai seperangkat
gagasan etis yang mengejawantah dalam berbagai
tatanan sosial, dan yang paling penting dari
gagasan ini adalah usahanya untuk
menyelaraskan berbagai pertentangan
kepentingan antara individu dengan masyarakat
dan antara masyarakat sendiri dengan
kepentingan negara (Abdul Mun’im, 1994: 6).
Dalam perbincangan ini masyarakat sipil tidak
dihadapkan dengan masyarakat militer yang
memiliki power yang berbeda. Civil society
(masyarakat sipil) sesuai dengan arti generiknya
bisa dipahami sebagai civilized society
(masyarakat beradab) sebagai lawan dari savage
4
society (masyarakat biadab). Dengan civil society,
menurut Vaclav Havel, rakyat sebagai warga
negara mampu belajar tentang aturan-aturan main
lewat dialog demokratis dan penciptaan bersama
batang tubuh politik partisipatoris yang murni.
Menurut Havel, gerakan penguatan civil society
merupakan gerakan untuk merekonstruksi ikatan
solidaritas dalam masyarakat yang telah hancur
akibat kekuasaan yang monolitik. Secara
normatif-politis, inti strategi ini adalah upaya
memulihkan kembali pemahaman asasi bahwa
rakyat sebagai warga memiliki hak untuk
meminta pertanggungjawaban kepada para
penguasa atas apa yang mereka lakukan atas
nama bangsa (Hikam, 1994: 6).
Dua tinjauan konsep masyarakat madani, baik
melalui pendekatan bahasa Arab maupun bahasa
Inggris, pada prinsipnya memiliki makna yang
relatif sama, yaitu menginginkan suatu
masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai
104
peradaban dan demokrasi. Yang jelas, meskipun
konsep tentang masyarakat madani tidak dapat
dianalisis secara persis, mana sebenarnya konsep
yang digunakan sekarang ini, berfungsinya
masyarakat madani jelas dan tegas ada dalam inti
sistem-sistem politik yang membuka partisipasi
rakyat umum. Konsep masyarakat madani (civil
society) kerap kali dipandang telah berjasa dalam
menghadapi rancangan kekuasaan otoriter dan
menentang pemerintahan sewenang-wenang di
Amerika Latin, Eropa Selatan, dan Eropa Timur
(Nurcholish Madjid, 1997: 294).
B. PRINSIP-PRINSIP DASAR
Prinsip dasar masyarakat madani dalam konsep
politik Islam sebenarnya didasarkan pada prinsip
kenegaraan yang dijalankan pada masyarakat
Madinah di bawah kepemimpinan Nabi
Muhammad Saw. Masyarakat Madinah adalah
masyarakat plural yang terdiri dari berbagai suku,
golongan, dan agama. Islam datang ke Madinah
4
dengan bangunan konsep ketatanegaraan yang
mengikat aneka ragam suku, konflik, dan
perpecahan. Negara Madinah secara totalistik
dibangun di atas dasar ideologi yang mampu
menyatukan Jazirah Arab di bawah bendera
Islam. Ini adalah babak baru dalam sejarah politik
di Jazirah Arab. Islam membawa perubahan
radikal dalam kehidupan individual dan sosial
Madinah karena kemampuannya mempengaruhi
kualitas seluruh aspek kehidupan (al-Umari,
1995: 51).
Prinsip dasar yang lebih detail mengenai
masyarakat madani ini diuraikan oleh Prof.
Akram Dliya’ al-Umari dalam bukunya al-
Mujtama’ al-Madaniy fi ‘Ahd al-Nubuwwah
(Masyarakat Madani pada Periode Kenabian).
Buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris menjadi Madinan Society at the
Time of Prophet (1995). Dalam buku ini al-Umari
menjelaskan secara panjang lebar mengenai
dasar-dasar yang diterapkan Nabi dalam
106
mewujudkan masyarakat madani (masyarakat
Madinah).
Menurut al-Umari (1995: 63-120), ada beberapa
prinsip dasar yang bisa diidentifikasi dalam
pembentukan masyarakat madani, di antaranya :
1) adanya sistem muakhah (persaudaraan),
2) ikatan iman
3) ikatan cinta
4) persamaan si kaya dan si miskin
5) toleransi umat beragama.
Kelima prinsip ini akan diuraikan satu persatu di
bawah ini.
1) sistem muakhah. Muakhah berarti
persaudaraan. Islam memandang orang-
orang Muslim sebagai saudara (QS. al-
Hujurat (49): 10). Membangun suatu
hubungan persaudaraan yang akrab dan
tolong-menolong dalam kebaikan adalah
kewajiban bagi setiap Muslim. Sistem
4
persaudaraan ini dibangun Nabi sejak
beliau masih berdomisili di Makkah atas
dasar kesetiaan terhadap kebenaran dan
saling tolong menolong. Setelah Nabi di
Madinah sistem ini terus dimantapkan
sebagai modal untuk membangun negara
yang kuat. Persaudaraan antara kaum
Muhajirin (pendatang dari Makkah) dan
Anshar (penduduk asli Madinah) segera
dijalin oleh Nabi. Sistem muakhah ini
dirumuskan dalam perundang-undangan
resmi. Perundang-undangan ini
menghasilkan hak-hak khusus di antara
kedua belah pihak (Muhajirin dan Anshar)
yang menjadi saudara, sampai-sampai ada
yang saling mewarisi meskipun tidak ada
hubungan kekerabatan. Dengan sistem ini
Nabi berusaha menanggulangi berbagai
persoalan yang timbul dalam masyarakat
Madinah antara kaum Muhajirin dan
kaum Anshar baik dalam bidang ekonomi,
sosial, maupun kesehatan.
108
2) Ikatan iman. Islam menjadikan ikatan
iman sebagai dasar paling kuat yang dapat
mengikat masyarakat dalam
keharmonisan, meskipun tetap
membolehkan, bahkan mendorong
bentuk-bentuk ikatan lain, seperti
kekeluargaan sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip agama.
Masyarakat Madinah dibangun oleh Nabi
di atas keimanan dan keteguhan terhadap
Islam yang mengakui persaudaraan dan
perlindungan sebagai suatu yang datang
dari Allah, Rasul-Nya, dan kaum
Muslimin semuanya. Sebelum itu,
masyarakat Madinah khususnya dan Arab
pada umumnya berkelompok sesuai
dengan suku-suku, kewarganegaraan, dan
kelompok-kelompok agama. Ikatan
seperti itu sangat berharga karena digali
dari kesatuan iman, pikiran, dan spirit.
4
Masyarakat yang dibangun atas dasar
ikatan ini terbuka bagi siapa saja yang
bermaksud bergabung tanpa memandang
perbedaan warna kulit, ras, dan yang
sejenisnya.
3) ikatan cinta. Nabi membangun masyarakat
Madinah atas dasar cinta dan saling tolong
menolong. Hubungan antara sesama
mukmin berpijak atas dasar saling
menghormati. Orang kaya tidak
memandang rendah orang miskin, tidak
juga pemimpin terhadap rakyatnya, atau
yang kuat terhadap yang lemah. Fondasi
cinta ini dapat diperkokoh dengan saling
memberikan hadiah dan kenang-
kenangan. Dengan cinta inilah masyarakat
Madinah dapat membangun masyarakat
yang kuat.
4) persamaan si kaya dan si miskin. Dalam
masyarakat Madinah si kaya dan si miskin
mulai berjuang bersama atas dasar
persamaan Islam dan mencegah
110
munculnya kesenjangan kelas dalam
masyarakat. Persamaan dalam hal ini
tampak pada perlakuan Nabi dan para
shahabat terhadap Ahl al-Shuffah, yaitu
sekelompok orang Islam yang miskin
yang tidak memiliki tempat tinggal
kemudian berlindung di sebelah kubah
masjid yang biasa dinamai Shuffah.
Jumlah mereka cukup banyak. Mereka
mencurahkan banyak perhatian terhadap
ilmu pengetahuan dan terus menetap di
masjid untuk beribadah. Mereka juga aktif
terlibat dalam aktivitas sosial dan jihad.
Karena itulah Nabi sangat perhatian
terhadap mereka dengan memberikan
zakat atau sedekah kepada mereka. Nabi
juga mendorong para shahabat untuk
melakukan hal yang sama. Dengan
demikian mereka tetap melakukan
aktivitas mereka dengan leluasa tanpa
4
harus merasa tersingkir dari orang-orang
yang kaya.
5) Toleransi umat beragama. Toleransi yang
dilaksanakan pada masyarakat Madinah
antara sesama agama (Islam), seperti yang
dilakukan antara kaum Muhajirin dan
kaum Anshar, dan adakalanya antara
kaum Muslimin dengan kaum Yahudi
yang berbeda agama. Toleransi ini diikat
oleh aturan-aturan yang kemudian
terdokumentasi dalam Piagam Madinah.
Itulah lima prinsip dasar yang dibuat oleh Nabi
untuk mengatur masyarakat Madinah yang
tertuang dalam suatu piagam yang kemudian
dikenal dengan nama Piagam Madinah.
Masyarakat pendukung piagam ini
memperlihatkan karakter masyarakat majemuk,
baik ditinjau dari segi etnis, budaya, dan agama.
Di dalamnya terdapat etnis Arab Muslim, Yahudi,
dan Arab non-Muslim.
112
Prinsip-prinsip masyarakat madani seperti itu
sangat ideal untuk diterapkan di negara dan
masyarakat mana pun, tentunya dengan
penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi lokal
dan keyakinan serta budaya yang dimiliki oleh
masyarakat tersebut. Namun, masih banyak
konsep masyarakat madani yang berkembang di
kalangan pemikir kita yang didekati dari konsep
lain, bukan dari konsep seperti di atas. Salah
satunya adalah konsep civil society (masyarakat
sipil). Seorang pemikir Mesir, Fahmi Huwaydi
(dalam Wawan Darmawan, 1999: 21),
berpendapat bahwa orang pertama yang
membicarakan ‘pemerintahan sipil’ (civilian
government) atau masyarakat madani adalah
seorang filosof Inggris, John Locke, yang telah
menulis buku Civilian Government pada 1960.
Setelah John Locke, di Perancis muncul JJ.
Rousseau, yang terkenal dengan bukunya The
Social Contract (1762). Dalam buku ini Rousseau
4
berbicara tentang pemikiran otoritas rakyat dan
perjanjian politik yang harus dilaksanakan antara
manusia dan kekuasaan. Dalam hal ini ia satu
tujuan dengan John Locke, yaitu mengajak
manusia untuk ikut menentukan hari dan masa
depannya, serta menghancurkan monopoli yang
dilakukan oleh kaum elit yang berkuasa demi
kepentingan manusia. Dan masih banyak
pendapat lain mengenai asal usul istilah civil
society yang kemudian diterjemahkan menjadi
masyarakat sipil atau masyarakat madani.
Jika dicermati berbagai pendapat yang muncul
tentang asal usul konsep masyarakat madani,
belum ada yang memberikan prinsip-prinsip dasar
yang cukup memadai dibandingkan dengan nilai-
nilai yang terdapat dalam praktik masyarakat
Madinah yang dibangun Nabi. Karena itulah, di
sini penulis lebih mengambil prinsip-prinsip yang
diterapkan Nabi di masyarakat Madinah
dibandingkan dari prinsip-prinsip masyarakat
114
sipil (civil society) yang bersumber dari para
pemikir Barat.
BAB V
POLITIK ISLAM DAN MASYARAKAT
MADANI
A. KONSTELASI POLITIK
Menurut Bahtiar Effendy Islam pernah dianggap
sebagai suatu persoalan ideologis di dalam
sejarah politik Indonesia modern. Meskipun isu
4
ini berkembang sejak awal dasawarsa 1930-an,
persoalannya tidak selesai dalam kurun waktu
setengah abad kemudian. Upaya-upaya untuk
mencari penyelesaian yang memungkinkan atas
soal Islam sebagai ideologi, baik dalam konteks
negara maupun perjuangan umat Islam, tak
kunjung selesai. Hal ini terjadi bukan hanya
karena lebarnya jurang perbedaan pendapat antara
para aktivis dan pemikir politik yang terlibat
dalam masalah ini, tetapi juga karena nuansa-
nuansa kepentingan politik tertentu Presiden
Soekarno dan tentara yang berkembang pada
dasawarsa tengah hingga akhir 1950-an. Dalam
hal ini baik Presiden Soekarno maupun tentara
ingin tampil di panggung kekuasaan secara lebih
berarti. Antara lain karena itu, proses
penyelesaian percaturan ideologi secara
konstitusional di Konstituante dihentikan, dan
Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit kembali
ke UUD 1945 (Bahtiar Effendy, 2001: 143).
116
Kancah percaturan politik Islam di Indonesia bisa
dirunut dengan mengkaji peran partai-partai Islam
dalam pentas perpolitikan nasional. Partai Islam
yang dibentuk pasca kemerdekaan adalah
Masyumi, Perti, PSII, dan NU. Masyumi
dibentuk dalam Muktamar Islam Indonesia di
Yogyakarta tanggal 7-8 November 1945. Dalam
muktamar ini diputuskan bahwa Masyumi
merupakan satu-satunya partai politik Islam di
Indonsia, dan Masyumilah yang akan
memperjuangkan nasib politik umat Islam
Indonesia (A. Syafi’i Ma’arif, 1985: 111-112).
Pada mulanya yang masuk Masyumi hanyalah
empat organisasi umat Islam, yaitu
Muhammadiyah, NU, Perikatan Umat Islam, dan
Persatuan Umat Islam. Namun, dalam
perkembangan selanjutnya hampir semua
organisasi Islam – kecuali Perti – baik lokal
maupun nasional, menjadi anggotanya. Hanya
dalam waktu setahun sejak didirikan, Masyumi
4
sudah menjadi partai politik terbesar di Indonesia
saat itu (Abdul Aziz Thaba, 1996: 159).
Karena motif politik yang ditunjukkan oleh
beragamnya kepentingan dalam tubuh partai
tersebut, keutuhan Masyumi sulit dipertahankan.
Maka mulai timbul perpecahan di tubuh Masyumi
yang ditandai dengan munculnya partai-partai
baru yang melepaskan diri dari Masyumi, seperti
PSII yang melepaskan diri dan berdiri sendiri
tahun 1947 dan partai NU yang berdiri tahun
1952. Sejak tahun 1952 ini maka di Indonesia
terdapat empat partai Islam, yaitu Masyumi, PSII,
NU, dan Perti yang sejak awal tidak mau
bergabung dalam Masyumi.
Perjalanan politik Islam di Indonesia secara
historis sejalan dengan perjalanan bangsa dan
negara Indonesia dalam mengisi kemerdekaan.
Kiprah partai Islam mewarnai pentas politik sejak
masa revolusi (1945-1949). Pada masa
Demokrasi Parlementer (1949-1957) yang
118
ditandai oleh jatuh bangunnya partai-partai
politik, partai Islam diwakili oleh empat partai
seperti yang disebutkan di atas, yaitu Masyumi,
NU, PSII, dan Perti. Pada masa ini dilakukan
pemilu yang pertama tahun 1955 yang
menghasilkan “empat besar” yaitu PNI,
Masyumi, NU, dan PKI. Dalam Majelis
Konstituante, partai-partai Islam memperoleh 230
kursi, sedang partai-partai lainnya 286 kursi. Jadi,
partai Islam hanya memiliki 45 % kursi, padahal
menurut UUDS 1950, penetapan UUD Baru
harus didukung oleh 2/3 anggota konstituante
yang hadir. Tanpa dukungan dari partai lain, tidak
mungkin para politisi Islam akan menjadikan
ideologi Islam sebagai dasar negara.
Selanjutnya mulai terjadi perdebatan di Majelis
Konstituante dalam mempersoalkan dasar negara
yang akan dianut Indonesia. Partai Islam gagal
menggolkan Islam sebagai dasar negara dan
akhirnya Pancasila tetap dijadikan dasar
4
negaranya. Melihat kondisi yang semakin rawan,
terutama di tubuh Majelis Konstituante, Presiden
Soekarno mengeluarkan dekrit tahun 1959.
Setelah dekrit ini, Indonesia memasuki era baru
yaitu era Demokrasi Terpimpin. Pada masa ini
partai Islam sudah mulai menempatkan pada
posisi yang berbeda-beda dalam hubungannya
dengan negara. NU, PSII, dan Perti tetap
diizinkan untuk eksis, karena mendukung
Demokrasi Terpimpin. Sedang Masyumi sering
mengalami perlakuan yang tidak wajar dari
pemerintah. Para tokoh Masyumi banyak yang
ditangkap oleh pemerintah. Masyumi menilai ikut
serta dalam Demokrasi Terpimpin merupakan
penyimpangan terhadap ajaran Islam. Partai ini
dibubarkan pada tahun 1960 dan kemudian di
antara mantan tokohnya mendirikan partai lain
yang diberi nama Parmusi (Partai Muslimin
Indonesia) pada tahun 1967. Sedangkan NU,
PSII, dan Perti (yang tergabung dalam Liga
Muslimin) menganggapnya sebagai sikap realistis
120
dan pragmatis (Abdul Aziz Thaba, 1996: 177-
180). Demokrasi Terpimpin berakhir dengan
keluarnya Supersemar tahun 1966 yang
merupakan titik awal lahirnya Orde Baru.
Pada masa Orde Baru ini kendali pemerintahan
berpindah dari Presiden Soekarno kepada
Presiden Soeharto. Pada masa ini ditandai dengan
mulai berfusinya partai-partai yang ada (25 partai
menjadi 10 partai). Khusus partai-partai Islam –
karena pengalamannya dalam pemilu 1971 – pada
tahun 1973 berfusi menjadi sebuah partai baru
yang diberi nama Partai Persatuan Pembangunan.
Pergolakan politik Islam terjadi dalam tubuh
partai baru tersebut dalam mewarnai gerak
langkah partai tersebut dalam pentas politik
Indonesia.
Hubungan Islam dan negara pada masa Orde
Baru ini, menurut Abdul Aziz Thaba (1996: 240-
302) bisa dikelompokkan menjadi tiga kategori
4
hubungan, yaitu hubungan yang bersifat
antagonistik (1966-1981), hubungan yang bersifat
resiprokal-kritis (1982-1985), dan hubungan yang
bersifat akomodatif (1986-1998). Selanjutnya
akan diuraikan masing-masing hubungan ini
secara singkat.
Hubungan yang bersifat antagonistik ini ditandai
dengan kecurigaan pemerintah terhadap gerak
langkah partai-partai Islam. Pemerintah masih
mewaspadai para mantan tokoh Masyumi.
Pemerintah tidak mengizinkan berdirinya Partai
Demokrasi Islam Indonesia (PDII) yang
diprakarsai Moh. Hatta, namun pemerintah
mendukung lahirnya Parmusi. Pada awal masa
Orde Baru ini pemerintahan Soeharto lebih
memperkokoh peran tentara (ABRI) dalam
membela bangsa dan negara, terutama membela
Pancasila dan UUD 1945. Siapapun atau
golongan apapun yang melakukan upaya yang
menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 akan
berhadapan dengan ABRI. Sikap permusuhan
122
Parmusi yang dipimpin oleh Djarnawi-Lukman
Harun berujung pada pengkupan oleh dua tokoh
Parmusi yang lain yang bersifat akomodatif
dengan pemerintah, yaitu H.J. Naro dan Imron
Kadir (Naroka). Pada tahun 1970 pemerintah
menunjuk H.M.S. Mintaredja, tokoh
Muhammadiyah yang bukan anggota Parmusi,
sebagai ketua umum Parmusi. Dalam
perkembangannya, Mintaredja semakin aktif
menyingkirkan “orang-orang” Djarnawi-Lukman.
Bahkan menjelang pemilu 1971 ia mengelilingi
wilayah-wilayah dan daerah-daerah untuk
menyatakan bahwa Masyumi adalah
pemberontak. Berikutnya, H.J. Naro mengambil
alih kepemimpinan Parmusi yang berganti nama
menjadi Muslimin Indonesia (MI).
Dalam kondisi seperti itulah partai-partai Islam
mengikuti pemilu tahun 1971. Tentu saja hasilnya
tidak memuaskan. Perolehan suara dalam pemilu
ini didominasi oleh partai pemerintah, yaitu
4
Golongan Karya (Golkar), dengan hasil 62,8 %
suara, NU 18,67 %, Parmusi 7,365 %, Perti 2,39
%, dan PSII 0,70 %. Sedang PNI memperoleh
6,94 % suara. Dalam komposisi minoritas inilah
partai Islam menghadai mayoritas Golkar dalam
SU MPR 1973 (Abdul Aziz Thaba, 1996: 251-2).
Hubungan yang antagonistik ini juga ditandai
dengan berfusinya partai-partai Islam menjadi
satu partai, yaitu Partai Persatuan Pembangunan,
pada tahun 1973. Tahun 1974 pemerintah
mengeluarkan Undang-undang Perkawinan
setelah melalui perdebatan yang cukup alot dalam
SU MPR 1973. Hal yang sama juga terjadi dalam
masalah Aliran Kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa yang – setelah diadakan beberapa
modifikasi – dimasukkan dalam GBHN dan
dianggap sebagai kategori keagamaan kerohanian
tersendiri (Abdul Aziz Thaba, 1998: 255).
Pada periode yang kedua (1982-1985) hubungan
Islam dan negara ditandai dengan proses saling
124
mempelajari dan saling memahami posisi masing-
masing. Periode ini diawali oleh political test
yang dilakukan oleh pemerintah dengan
menyodorkan konsep asas tunggal bagi orsospol
dan selanjutnya untuk semua ormas yang ada di
Indonesia. Sejak sosialisasi ide asas tunggal tahun
1982 sampai diundangkannya dalam bentuk lima
paket UU Politik tahun 1985, reaksi kalangan
Islam bervariasi, ada yang bersifat pasif-
konstitusional dan ada yang bersifat ekstrim-
inkonstitusional. Yang pertama diwakili oleh PPP
dan ormas-ormas dengan warna keislaman,
sedang yang kedua diwakili oleh kelompok-
kelompok individual yang kritis terhadap
kebijaksanaan asas tunggal tersebut, dengan
klimaks meletusnya Peristiwa Tanjung Priok
(A.A. Thaba, 1996: 262).
Adapun hubungan yang bersifat akomodatif
(1986-1998) dimulai dengan penerimaan ormas-
ormas Islam terhadap asas tunggal Pancasila.
4
Ormas-ormas Islam ini semakin menjalin
ukhuwwah Islamiyah dengan kuat. Mereka
berupaya membatasi seminimal mungkin campur
tangan pemerintah dalam urusan intern
organisasi. Dalam AD/ART-nya pun semakin
ditegaskan akan warna keislamannya. Di pihak
lain “kecurigaan” terhadap pemerintah semakin
jauh berkurang, dan demikian pula sebaliknya
(A.A. Thaba, 1996: 278).
Itulah gambaran hubungan Islam dan negara pada
masa Orde Baru yang bercirikan tiga sifat
hubungan yang bertahap, dari yang antagonis
hingga menjadi akomodatif. Hubungan ini pada
akhirnya berubah total setelah berakhirnya
kepemimpinan Presiden Soeharto yang
mengundurkan diri akibat desakan rakyat yang
cukup kuat. Dengan berakhirnya masa Orde Baru
ini, maka berakhir pula rezim Soeharto yang
sudah berkuasa selama kurang lebih 32 tahun.
Selanjutnya lahir Orde Baru yang disebut Orde
Reformasi. Orde ini hingga sekarang sudah
126
menampilkan empat presiden, yaitu Habibie,
Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo
Bambang Yudoyono. Hubungan Islam dan negara
pada masa keempat presiden ini semakin kuat
sehingga para pemimpin Islam semakin banyak
yang menduduki posisi penting dalam
pemerintahan di negara kita. Dengan tampilnya
para pemimpin Islam dalam pemerintahan
diharapkan ke depan Islam semakin banyak
memberi warna dalam perpolitikan di Indonesia
tanpa harus merubah bentuk negara dan dasar
negara kita yang sudah disepakati oleh seluruh
bangsa ini.
B. MEWUJUDKAN MASYARAKAT MADANI DI INDONESIA
Sudah menjadi kewajiban kita bersama, selaku
warga negara Indonesia, untuk berperan serta
dalam usaha bersama bangsa kita mewujudkan
masyarakat madani atau civil society di negara
kita tercinta, Republik Indonesia. Terbentuknya
masyarakat madani di negara kita merupakan
4
bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan,
yakni mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Nabi membangun masyarakat Madinah yang
berperadaban memakan waktu yang cukup lama,
yakni sepuluh tahun. Beliau membangun
masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis,
dengan landasan takwa kepada Allah dan taat
kepada ajaran-Nya, yang dalam peristilahan kitab
suci disebut semangat rabbaniyah (QS. Ali Imran
(3): 79) atau ribbiyyah (QS. Ali Imran (3): 146).
Semangat rabbaniyah (dimensi vertikal) yang
tulus akan memancar dalam semangat
perikemanusiaan, yaitu semangat insaniyah dan
basyariyah, yakni dimensi horizontal hidup
manusia. Selanjutnya semangat perikemanusiaan
ini akan memancar dalam berbagai bentuk
hubungan pergaulan sesama manusia yang penuh
budi luhur (Nurcholish Madjid, 1999: 156).
128
Setelah Nabi wafat, masyarakat madani warisan
Nabi hanya berlangsung selama tiga puluh tahun
masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Sesudah
itu, sistem sosial masyarakat madani digantikan
dengan sistem lain yang lebih banyak diilhami
oleh semangat kesukuan atau tribalisme Arab pra-
Islam, yang kemudian dikukuhkan dengan sistem
dinasti keturunan atau genealogis. Sistem ini
bahkan masih dipraktikkan di beberapa negara
Islam sekarang ini (Nurcholish Madjid, 1999:
157).
Dalam rangka menegakkan masyarakat madani,
Nabi tidak pernah membedakan antara “orang
atas”, “orang bawah”, atau keluarga sendiri. Nabi
bersabda bahwa hancurnya bangsa-bangsa di
masa lalu adalah karena jika “orang atas” yang
melakukan kejahatan dibiarkan, tetapi jika “orang
bawah” melakukannya pasti dihukum. Karena itu,
Nabi menegaskan, jika Fatimah, puteri
kesayangannya, melakukan kejahatan, maka
4
beliau akan menghukumnya sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Masyarakat madani tidak akan terwujud jika
hukum tidak ditegakkan dengan adil, yang
dimulai dengan ketulusan komitmen pribadi.
Masyarakat berperadaban memerlukan pribadi-
pribadi yang dengan tulus mengingatkan jiwanya
kepada wawasan keadilan. Ketulusan ikatan jiwa
itu terwujud hanya jika orang bersangkutan
beriman, percaya, mempercayai, dan menaruh
kepercayaan kepada Tuhan dalam suatu keimanan
etis, artinya keimanan bahwa Tuhan
menghendaki kebaikan dan menuntut tindakan
kebaikan manusia kepada sesamanya. Tindakan
kebaikan kepada sesama manusia itu harus
didahului dengan diri sendiri menempuh hidup
kebaikan, seperti dipesankan Allah kepada para
Rasul (QS. al-Mu’minun (23): 51), agar mereka
makan dari yang baik-baik dan berbuat kebajikan.
130
Tegaknya hukum dan keadilan tidak hanya perlu
kepada komitmen-komitmen pribadi yang
menyatakan diri dalam bentuk iktikad baik untuk
hal tersebut. Iktikad baik yang merupakan buah
keimanan ini harus diterjemahkan menjadi
tindakan kebaikan yang nyata dalam masyarakat,
berupa “amal shalih”, yaitu tindakan yang
membawa kebaikan untuk sesama manusia.
Tindakan kebaikan bukan untuk kepentingan
Tuhan, sebab Tuhan adalah Maha Kaya, tidak
membutuhkan apa pun dari manusia. Siapa pun
yang melakukan kebaikan, maka dia sendirilah
yang akan memetik dan merasakan hasil
kebaikannya. Sebaliknya, siapa pun yang
melakukan kejahatan, maka dia sendiri yang akan
merasakan akibatnya (QS. Fushshilat (41): 46 dan
al-Jatsiyah (45): 15).
Jika kita perhatikan apa yang terjadi dalam
kenyataan sehari-hari, jelas sekali bahwa nilai-
nilai kemasyarakatan yang terbaik sebagian besar
4
dapat terwujud hanya dalam tatanan hidup yang
kolektif yang memberi peluang kepada adanya
pengawasan sosial. Tegaknya hukum dan
keadilan mutlak memerlukan suatu bentuk
interaksi sosial yang memberi peluang bagi
adanya pengawasan itu. Pengawasan sosial
adalah konsekuensi langsung dari iktikad baik
yang diwujudkan dalam tindakan kebaikan.
Selanjutnya, pengawasan sosial tidak mungkin
terselenggara dalam suatu tatanan sosial yang
tertutup. Amal shalih atau kegiatan demi
kebaikan dengan sendirinya berdimensi
kemanusiaan, karena berlangsung dalam suatu
kerangka hubungan sosial dan menyangkut orang
banyak. Dengan demikian, masyarakat madani
akan terwujud hanya jika terdapat cukup
semangat keterbukaan dalam masyarakat.
Keterbukaan adalah konsekuensi dari
perikemanusiaan, suatu pandangan yang melihat
sesama manusia secara positif dan optimis.
132
Ajaran kemanusiaan yang suci itu membawa
konsekuensi bahwa kita harus melihat sesama
manusia secara optimis dan positif, dengan
menerapkan prasangka baik (husnuzhan), kecuali
untuk keperluan kewaspadaan seperlunya dalam
keadaan tertentu. Tali persaudaraan sesama
manusia akan terbina antara lain jika dalam
masyarakat tidak terlalu banyak prasangka buruk
(su’uzhan) akibat pandangan yang pesimis dan
negatif dan negatif kepada manusia (QS. al-
Hujurat (49): 12).
Tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur,
seperti toleransi dan pluralisme, adalah kelanjutan
dari tegaknya nilai-nilai keadaban itu. Sebab
toleransi dan pluralisme tidak lain adalah wujud
dari “ikatan keadaban” (bond of civility), dalam
arti bahwa masing-masing pribadi atau kelompok
dalam suatu lingkungan interaksi yang lebih luas,
memiliki kesediaan memandang yang lain dengan
penghargaan, betapapun perbedaan yang ada,
4
tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat,
atau pandangan sendiri (Nurcholish Madjid,
1999: 164).
Bangsa Indonesia memiliki semua perlengkapan
yang diperlukan untuk menegakkan masyarakat
madani. Kita semua sangat berharap bahwa
masyarakat madani akan segera terwujud dan
tumbuh semakin kuat di Negara kita dalam waktu
dekat. Berbagai kemajuan yang dicapai bangsa
kita sejak zaman orde baru yang disusl orde
reformasi dalam berbagai bidang cukup beralasan
kita berpengharapan seperti itu. Namun, juga
harus diwaspadai, bahwa belum semua
masyarakat kita, baik elit maupun rakyat,
memiliki “iktikad baik” untuk mewujudkan
masyarakat madani ini dalam kehidupan bangsa
kita. Kita patut bersyukur kepada Allah Swt. atas
berkah dan rahmat-Nya kepada kita bangsa
Indonesia, sehingga kita masih terus dapat
mengisi kemerdekaan ini dengan semangat untuk
menuju ke arah masyarakat yang berperadaban
134
(masyarakat madani). Dengan dukungan
mayoritas umat Islam, seharusnya masyarakat
madani ini akan cepat dapat diwujudkan di
tengah-tengah masyarakat Indonesia. Karena itu,
para stakeholder negara ini hendaknya memahami
prinsip-prinsip masyarakat madani, sehingga
dapat menerapkan prinsip-prinsip tersebut dalam
kehidupan bermasyarakat kita.
BAB VIMODERNISME POLITIK ISLAM DI INDONESIA
Dalam Al-Qur’an terkandung penegasan bahwa kaum Muslimin merupakan “kelompok terbaik di antara manusia” (khaira ummatin ukhrijat li n-naas), dan agama Islam diturunkan Allah “untuk diunggulkan-Nya di atas semua agama” (li yuzh-hirahuu `ala d-diini kullih). Janji Allah di atas terbukti dengan kenyataan bahwa sebagian besar halaman sejarah Islam selama empat belas abad diwarnai oleh kisah ekspansi dan kemenangan. Hanya satu abad sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW, pada pertengahan abad ke-8 kekuasaan Islam membentang dari Spanyol sampai Xinjiang.
4
Meskipun pusat kekhalifahan di Baghdad dihancurkan oleh Mongol pada pertengahan abad ke-13, dengan takdir Allah laskar penakluk ini berduyun-duyun masuk Islam dan menyebarkan agama ini di Rusia, lalu keturunan mereka menegakkan kesultanan Moghul (Mongol) di India dari abad ke-16 sampai abad ke-19. Ketika umat Islam terusir dari Spanyol pada akhir abad ke-15, muncul kesultanan Turki yang menguasai seluruh Semenanjung Balkan sampai awal abad ke-20. Bahkan ketika hegemoni politik Islam mulai redup pada abad ke-17, Islam melalui jalur perdagangan tersebar luas di Asia Tenggara dan pantai timur Afrika.
Pengalaman sejarah tersebut memperkuat keyakinan umat Islam bahwa kemenangan dan kesuksesan itu akan terus dijamin oleh Allah selama mereka berpegang teguh kepada ajaran agama. Jika umat Islam mengalami kekalahan atau kemunduran, mereka segera ingat kepada firman suci bahwa “masa-masa kejayaan dipergilirkan di antara manusia” (tilka l-ayyaamu nudawiluhaa baina n-naas).
136
Ketika roda sejarah sedang berputar ke bawah, di kalangan umat Islam selalu bermunculan tokoh-tokoh yang mengumandangkan seruan “kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi”. Pada masa kelumpuhan peradaban Islam akibat serangan dahsyat bangsa Mongol, terukirlah nama Taqiyuddin Ibn Taimiyyah (1263–1328) yang menyerukan reformasi ajaran agama secara komprehensif. Ibn Taimiyyah menghimbau seluruh ulama untuk mengintegrasikan aspek-aspek teologi (kalam), hukum (fiqh), rasionalitas (falsafah) dan sufisme (tasawuf) menjadi suatu kebulatan ajaran yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Tokoh semacam Ibn Taimiyyah ini dalam terminologi umat Islam disebut "mujaddid" (pembaharu, reformis), dan gerakan atau pemikiran yang dicanangkannya dinamakan "tajdid" (pembaharuan, reformasi). Istilah-istilah tersebut dijabarkan dari sebuah hadits yang memberitakan isyarat Nabi Muhammad SAW bahwa akan muncul orang-orang yang memperbaharui (yujaddidu) agama Islam “pada setiap pangkal seratus tahun” (`alaa kulli ra’si mi’ati sanah). Nama Ibn
4
Taimiyyah sengaja kita sebutkan karena hampir semua tokoh pembaharu yang datang belakangan mengaku sebagai penerus gagasan Ibn Taimiyyah.
Gelombang reformasi atau tajdid yang berdampak luas ke segenap penjuru Dunia Islam, dari Afrika Utara sampai Asia Tenggara, mulai berlangsung pada abad ke-18, tatkala umat Islam kehilangan kreativitas dan tenggelam dalam kebekuan pemikiran, akibat tertutupnya pintu ijtihad oleh institusi-institusi keagamaan yang sudah mapan. Maka bangkitlah para tokoh pembaharu seperti Muhammad ibn Abdul-Wahhab (1703–1792) di Semenanjung Arabia, Syah Waliyullah ad-Dahlawi (1703–1762) di India, dan Muhammad ibn Ali as-Sanusi (1791-1859) di Afrika Utara.
Sebagaimana halnya Ibn Taimiyyah lima abad sebelumnya, para pembaharu pada abad ke-18 itu memusatkan gerakan mereka untuk mencairkan “kebekuan internal” yaitu memurnikan tauhid, menentang dominasi mazhab, dan memberantas hal-hal yang dianggap bid`ah. Adapun masalah “ancaman eksternal” tidaklah menjadi fokus pemikiran,
138
sebab sebagian besar Dunia Islam belum tersentuh oleh hegemoni kelompok non-Muslim. Meskipun sejak abad ke-17 bangsa-bangsa Eropa Barat sudah berdatangan sebagai pedagang, penyebar Injil atau prajurit (gold, gospel, glory atau mercenary, missionary, military), kehadiran mereka sampai akhir abad ke-18 tidaklah menggoyahkan tatanan peradaban umat Islam.
Bangsa-bangsa Eropa Barat sebelum abad ke-16 tidaklah pernah memiliki peradaban yang dapat dibanggakan dalam sejarah. Malahan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa orang-orang Eropa Barat pada abad-abad pertengahan mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat pada universitas-universitas Muslim di Spanyol dan Sisilia. Berkat perkenalan dan pembelajaran dari peradaban Islam, Eropa Barat terstimulasi untuk bangkit dari suasana kebodohan yang mereka sebut Dark Age (Zaman Kegelapan), menuju masa renaissance (kelahiran kembali) yang bermula pada abad ke-16. Kebangkitan Eropa Barat diawali dengan proses sekularisasi atau penerapan faham sekularisme, yaitu pemisahan agama Nasrani dari pengaturan kehidupan. Dengan demikian masyarakat
4
terbebas dari kungkungan dogma-dogma gereja dan terbukalah pengembangan ilmu pengetahuan melalui penalaran akal. Maka pada abad ke-18 yang dikenal sebagai Masa Pencerahan (Enlightenment), Eropa Barat melahirkan peradaban modern.
Istilah “modern” ini sangat perlu kita fahami. Berasal dari kata Latin modernus yang artinya “baru saja; just now”, pengertian modern mengacu bukan hanya kepada “zaman” (kita mengenal pembagian zaman menjadi zaman purba, zaman pertengahan dan zaman modern), tetapi yang lebih penting mengacu kepada “cara berfikir dan bertindak”. Peradaban modern ditandai oleh dua ciri utama, yaitu rasionalisasi (cara berfikir yang rasional) dan teknikalisasi (cara bertindak yang teknikal). Tumbuhnya sains dan teknologi modern diikuti oleh berbagai inovasi di segenap bidang kehidupan.
Di bidang politik muncul faham nasionalisme, sistem partai dan parlemen, serta pembagian kekuasaan dalam pemerintahan. Di bidang ekonomi lahir berbagai industri, sistem pertukaran barang, serta korporasi bisnis. Di bidang sosial budaya timbul institusi dan cara
140
hidup yang lebih efisien, mulai dari sistem administrasi dan pendidikan sampai kepada pemeliharaan kesehatan dan cara berpakaian. Semua ini ditunjang oleh proses pertukaran ide yang efektif melalui buku cetak dan media massa serta sarana komunikasi dan transportasi yang canggih sebagai buah lezat dari ilmu pengetahuan.
Dengan segala keunggulan peradaban modern, terutama di bidang persenjataan militer, bangsa-bangsa Eropa Barat melakukan ekspansi ke seluruh penjuru bumi, termasuk Dunia Islam. Setelah selama satu alaf (millennium) umat Islam berada di peringkat atas dalam peradaban dunia dan tidak tergoyahkan oleh peradaban manapun, tiba-tiba pada abad ke-19 arus sejarah berubah arah. Daerah-daerah Muslim, dari Maroko sampai Merauke, satu demi satu jatuh ke dalam cengkeraman imperialisme dan kolonialisme Eropa. Indonesia dikuasai Belanda, India dan Malaysia dijajah Inggris, Asia Tengah jatuh ke tangan Rusia, Austria merebut Bosnia-Herzegovina, Italia mencaplok Libia dan Ethiopia, sedangkan sebagian besar Afrika dan Timur Tengah terbagi-bagi ke dalam kekuasaan Inggris dan
4
Perancis. Pada akhir Perang Dunia I tahun 1918, daerah-daerah Muslim yang masih merdeka hanyalah Afghanistan, Iran, Turki, dan Arabia. Untunglah bangsa-bangsa Eropa tidak tertarik kepada daerah Hijaz yang gersang, sehingga terhindarlah kota-kota suci Makkah dan Madinah dari sentuhan hegemoni Eropa.
Dominasi bangsa-bangsa Eropa Barat mengakibatkan tersebarnya peradaban modern di seluruh dunia. Ketika berkenalan dengan peradaban modern, umat Islam sudah terbelenggu dengan pemahaman agama yang merupakan konsensus dan pembakuan para ulama abad pertengahan, sehingga banyak aspek modernitas yang dianggap “haram” dan ditolak mentah-mentah. Sikap ini sangat berbeda dengan sikap kreatif para ulama pada abad-abad permulaan Islam, ketika penafsiran tentang Al-Qur’an dan Sunnah Nabi belum disekat oleh rambu-rambu mazhab. Berdasarkan perintah kitab suci agar para hamba Allah “gemar menginventarisasi ide-ide, lalu mengikuti yang terbaik” (yastami`uuna l-qaula fa yattabi`uuna ahsanah), umat Islam pada masa-masa awal dengan sikap tanpa keraguan dan penuh
142
percaya diri (sebab hegemoni politik di tangan mereka) mengambil dan menyerap nilai-nilai yang dipandang baik dari peradaban-peradaban purba di sekitar Mesopotamia dan Mediterrania, lalu menciptakan Peradaban Islam (Islamic Civilization) selama berabad-abad yang penuh dengan inovasi intelektual, eksperimen ilmiah, monumen yang artistik, dan karya literer yang bermutu tinggi. Sikap broad-minded yang diperintahkan Al-Qur’an itu tidak lagi dimiliki kaum Muslimin tatkala berhadapan dengan peradaban modern.
Maka pada akhir abad ke-19 bermunculan tokoh-tokoh pembaharu (mujaddid) yang menyeru umat Islam agar mengambil peradaban modern yang menunjang kemajuan, sebab modernisasi dalam arti yang benar, yaitu yang didasari rasionalisasi dan teknikalisasi, tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam bahkan justru diperintahkan oleh Al-Qur’an! Oleh karena para mujaddid ini bersikap positif terhadap modernitas, mereka oleh para ahli sejarah dijuluki kelompok modernis dan gerakan mereka disebut gerakan Modernisme Islam.
4
Awal Modernisme Islam
Gerakan modernisme Islam pada abad ke-19 dipelopori oleh Sayyid Jamaluddin al-Afghani (1839–1897). Meskipun lahir di Afghanistan, usianya dihabiskan di berbagai bagian Dunia Islam: India, Mesir, Iran, dan Turki. Dia mengembara ke Eropa, dari Saint Petersburg sampai Paris dan London. Di mana pun dia tinggal dan ke mana pun dia pergi, Jamaluddin senantiasa mengumandangkan ide-ide pembaharuan dan modernisasi Islam.
Bersama muridnya, Syaikh Muhammad Abduh (1849–1905) dari Mesir, Jamaluddin pergi ke Paris untuk menerbitkan majalah Al-`Urwah al-Wutsqa (Le Lien Indissoluble), yang berarti “ikatan yang teguh”. Abduh menjadi pemimpin redaksi, dan Jamaluddin menjadi redaktur politik. Nomor perdana terbit 13 Maret 1884 (15 Jumad al-Ula 1301), memuat artikel-artikel dalam bahasa Arab, Perancis, dan Inggris. Terbit setiap Kamis, majalah itu penuh dengan artikel-artikel ilmiah dan mengobarkan semangat umat untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, serta menyerukan perjuangan umat
144
Islam agar terlepas dari belenggu penjajahan Eropa. Majalah Al-`Urwah al-Wutsqa tersebar di kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, India, dan kota-kota besar di Eropa. Sayangnya, majalah ini hanya sempat beredar 28 nomor saja dan terpaksa berhenti terbit pada bulan Oktober 1884. Hal ini disebabkan pemerintah kolonial Inggris melarang majalah itu masuk ke Mesir dan India, lalu pemerintah Turki Usmani (yang kuatir akan gagasan jumhuriyah atau republik yang diusulkan Jamaluddin) juga melarangnya beredar di wilayah kekuasaannya, sehingga Al-`Urwah al-Wutsqa kehilangan daerah pemasarannya. Namun dalam masa delapan bulan beredar, majalah Muslim pertama di dunia itu berhasil menanamkan benih-benih modernisasi di kalangan umat Islam.
Gagasan pembaharuan Jamaluddin dan Abduh menjadi lebih tersebar luas di seluruh Dunia Islam, tatkala seorang murid Abduh yang bernama Muhammad Rasyid Ridha (1865–1935) menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir. Nomor pertamanya terbit 17 Maret 1898 (22 Syawwal 1315), dan beredar sampai tahun 1936. Majalah Al-Manar inilah yang secara kongkrit menjabarkan ide-ide
4
Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, serta berpengaruh langsung kepada gerakan modernisme Islam di Asia Tenggara pada awal abad ke-20.
Singapura
Pembukaan Terusan Suez tahun 1869 menyebabkan rute pelayaran antara Eropa dan Asia Tenggara tidak lagi melalui ujung selatan Afrika melainkan beralih melalui Laut Merah. Akibatnya, kaum Muslimin di Asia Tenggara makin mudah menunaikan ibadah haji melalui pelabuhan Jeddah. Jika pada tahun 1850-an jemaah haji Indonesia rata-rata cuma 1600 orang per tahun, maka jumlah ini menjadi tiga kali lipat pada dasawarsa 1880-an, lalu meningkat menjadi lebih dari 7000 jemaah per tahun pada awal abad ke-20. Selama berada di tanah suci banyak jemaah haji yang berkenalan dan mempelajari gagasan modernisasi Islam, kemudian membawanya pulang untuk disebarkan di kampung halaman.
Sebagian besar jemaah haji Indonesia berangkat ke tanah suci melalui Singapura,
146
kota pelabuhan yang didirikan Thomas Stamford Raffles tahun 1819. Selain karena di Singapura jumlah kapal ke Jeddah lebih banyak dan ongkosnya lebih murah, banyak calon haji yang menetap dahulu di Singapura untuk bekerja mencukupkan biaya ke tanah suci. Memang tidak semuanya berhasil, sehingga timbul sebutan “Haji Singapura” bagi orang-orang yang gagal pergi ke Makkah. Faktor lain yang menyebabkan calon haji Indonesia pergi dari Singapura adalah karena pemerintah kolonial Hindia Belanda sangat membatasi hubungan umat Islam Indonesia dengan Timur Tengah.
Tidak dapat disangkal bahwa pengaruh Timur Tengah sangat berperan dalam membangkitkan perlawanan ulama-ulama Islam terhadap kolonial Belanda sepanjang abad ke-19. Perang Paderi (1821–1837) di Minangkabau timbul setelah para haji pulang dari Makkah dengan membawa ide pembaharuan Wahhabi. Pengaruh Turki sangat jelas pada Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya dalam mengobarkan Perang Jawa (1825–1830). Pemberontakan rakyat Cilegon tahun 1888 dipimpin oleh para haji. Dan yang paling berat dihadapi Belanda
4
adalah Perang Aceh (1873–1904) yang sangat diwarnai semangat keislaman melawan kaum kafir. Semua ini menyebabkan pemerintah Hindia Belanda memperketat persyaratan haji, sehingga para calon haji banyak memilih Singapura sebagai tempat transit.
Pada awal abad ke-20 Singapura menjadi pusat jaringan komunikasi gerakan modernisme Islam di Asia Tenggara. Meskipun kaum Muslimin di kota metropolitan itu hanya seperlima jumlah penduduk (mayoritas penduduknya adalah Tionghoa), suasana urban dengan segala fasilitasnya, terutama penerbitan buku-buku dan media massa, sangat menunjang tersebarnya faham modernisme Islam yang dicanangkan Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh di Timur Tengah. Apalagi kaum Muslimin di Singapura itu merupakan perpaduan berbagai etnis dari Sumatera, Semenanjung, Jawa, Bugis, Hindustan, dan Hadramaut. Dari Singapura ide-ide pembaharuan Islam tersebar baik melalui para haji yang singgah maupun melalui buku dan majalah yang diterbitkan di kota itu.
148
Minangkabau
Dalam perkembangan gerakan modernisme Islam di Indonesia, tidaklah dapat diabaikan peranan orang-orang Minangkabau. Di samping karena Minangkabau telah mengenal ide pembaharuan Islam sejak masa Perang Paderi, suku Minangkabau memiliki watak seperti suku Quraisy, yaitu senang mengembara (rihlata sy-syitaa’i wa sh-shaif), sehingga mereka terbiasa mengadakan kontak dengan dunia luar dan terbuka kepada ide-ide baru.
Menjelang akhir abad ke-19, seorang putra Minangkabau menjadi imam Masjid al-Haram di Makkah, yaitu Syaikh Ahmad Khatib al-Jawi al-Minankabawi (1840–1916). Dia banyak mempunyai murid yang datang dari tanah air, antara lain Ahmad Dahlan (1868–1923) yang kelak mendirikan Muhammadiyah serta Hasyim Asy`ari (1871–1947) yang kelak mendirikan Nahdlatul-`Ulama’.
Meskipun memegang teguh mazhab Syafi`i, Syaikh Ahmad Khatib tidaklah melarang para muridnya mempelajari ide-ide pembaharuan dari Jamaluddin, Abduh, dan Rasyid Ridha.
4
Salah seorang murid Syaikh Ahmad Khatib adalah sepupunya, Syaikh Muhammad Tahir Jalaluddin (1869–1957), yang pada tahun 1893 sampai 1897 kuliah di Universitas Al-Azhar di Kairo dan menjadi sahabat akrab Rasyid Ridha. Ketika Rasyid Ridha menerbitkan Al-Manar tahun 1898, dia ikut menyumbangkan artikelnya. Syaikh Tahir pulang ke tanah air tahun 1899 dengan tekad menerbitkan majalah seperti Al-Manar di kawasan Asia Tenggara, agar gagasan modernisasi Islam lebih cepat tersiar di kalangan masyarakat.
Maka pada bulan Juli 1906 di Singapura terbitlah majalah bulanan berbahasa Melayu dengan nama Al-Imam: Majalah Pelajaran Pengetahuan Perkhabaran. Dengan Syaikh Tahir Jalaluddin sebagai pemimpin redaksi, majalah itu memuat artikel-artikel yang mengajak umat Islam untuk membuka pintu ijtihad dan mempelajari ilmu-ilmu modern, serta terjemahan artikel-artikel dari majalah Al-Manar. Majalah ini terbit sebanyak 31 nomor dan berhenti tahun 1909 lantaran kehabisan dana. Gagasan modernisasi Islam yang disebarkan Al-Imam ternyata lebih bergaung di Indonesia, terutama Sumatera
150
dan Jawa, daripada di Malaysia. Hal ini disebabkan pengaruh para sultan dan mufti kerajaan sangat kuat di Malaysia, sehingga ide-ide pembaharuan yang dianggap menggoyahkan kedudukan mereka sulit untuk tersebar.
Sementara itu beberapa orang murid Syaikh Ahmad Khatib di tanah suci pulang ke Minangkabau, yaitu Muhammad Jamil Jambek (1860–1947), Muhammad Thaib Umar (1874–1920), Abdullah Ahmad (1878–1933), dan Abdulkarim Amrullah (1879–1945). Setelah majalah Al-Imam berhenti terbit, timbul niat di kalangan mereka berempat untuk menerbitkan majalah semacam itu di Minangkabau. Maka pada tanggal 1 April 1911 terbit majalah Al-Munir di Padang, dengan Abdullah Ahmad sebagai pemimpin redaksi. Inilah majalah modernisasi Islam yang pertama di Indonesia. Sebingkai sya’ir yang ditulis Muhammad Thaib Umar dalam Al-Munir mencerminkan tujuan majalah ini: "Satu dua tiga dan empat, hendaklah pelajari segera cepat, membaca buku supaya sempat, ilmu pengetahuan banyak didapat. Jangan seperti orang tua kita, menuntut ilmu hanya suatu mata, fiqh saja
4
yang lebih dicinta, kepada yang lain matanya buta".
Selama lima tahun usianya majalah Al-Munir beredar di seluruh Indonesia, terutama di Sumatera dan Jawa. Artikel-artikel majalah ini mengeritik praktek-praktek keagamaan yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi serta menganjurkan umat Islam menata metode dan sarana pendidikan. Tidaklah mengherankan jika daerah Minangkabau mempelopori sekolah-sekolah agama yang menerapkan sistem kurikulum modern. Pada tahun 1909 Abdullah Ahmad mendirikan Sekolah Adabiyah di Padang, lalu Abdulkarim Amrullah mendirikan Surau Jembatan Besi tahun 1914 di Padang Panjang. Setahun kemudian Padang Panjang juga memiliki Sekolah Diniyah Putri yang didirikan oleh Zainuddin Labai (1890–1924) dan adiknya, Rahmah al-Yunusiyah (1900–1969). Kemudian Surau Jembatan Besi bergabung dengan Surau Parabek, yang didirikan tahun 1908 oleh Ibrahim Musa (1882–1963), menghasilkan sekolah Sumatera Thawalib tahun 1918.
152
Masyarakat Arab
Semangat modernisasi Islam mengalir pula ke Pulau Jawa. Masyarakat Arab di Jakarta mendirikan organisasi Jam`iyat al-Khair tahun 1901, akan tetapi baru memperoleh izin resmi dari pemerintah Hindia Belanda tanggal 17 Juli 1905. Organisasi ini membangun sekolah-sekolah modern di beberapa kota, dan keanggotaannya terbuka bagi orang-orang Muslim pribumi. Jam`iyat al-Khair aktif mendatangkan guru-guru dari Timur Tengah, antara lain Syaikh Ahmad Surkati (1872–1943) dari Sudan. Ahmad Surkati yang merupakan penganut faham Muhammad Abduh ini tiba di Jakarta pada bulan Maret 1911.
Setelah aktif di Jam`iyat al-Khair, Ahmad Surkati menyadari bahwa organisasi ini terlalu didominasi oleh kaum sayyid yang berpikiran sempit. Maka pada tanggal 6 September 1914 (15 Syawwal 1332) Ahmad Surkati mendirikan organisasi Jam`iyah al-Ishlah wal-Irsyad. Organisasi yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Irsyad ini segera berkembang dan memiliki cabang-cabang di
4
Cirebon, Tegal, Pekalongan, Surakarta, Surabaya, dan beberapa kota lainnya di Jawa.
154