Potret Intervensi di Bilik Redaksi

164

description

Kebebasan pers itu tak menjamin media akan selalu menyajikan pemberitaan yang sesuai dengan kepentingan publik. Justru ada kecenderungan media hanya dikuasai oleh mereka yang memiliki akses modal dan politik. Salah satu dampaknya adalah terjadinya praktik penyensoran di media. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang, sebagai organisasi profesi jurnalis, memandang penyensoran di pemberitaan media sebagai persoalan serius sebeb ini terkait dengan hak publik dalam menerima informasi. Atas dasar itulah, AJI Semarang dengan dukungan Yayasan Tifa melakukan program penelitian tentang independensi ruang pemberitaan di media lokal.

Transcript of Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Potret Intervensi

di Bilik Redaksi

DAFTAR ISI:

Daftar isi ................................................... ii

Kata Pengantar ............................................ v

Pendahuluan ............................................... ix

Testimoni Jurnalis dan Redaktur

Cerita Tsunami Selepas Magrib ................... 1

Langkahku Terganjal Iklan ........................ 9

Tekanan itu Selalu Ada ............................ 17

Menulis di Bawah Tekanan ........................ 23

Berharap Besar dari Sukses Ganjar .............. 29

Demi Oplah, Kritik Diolah ......................... 35

Media: Butuh Jeneng, Juga Jenang .............. 43

Sudah Digebuki Tertimpa Koran Lagi ............ 57

Ketika Sensor Datang dari Segala Penjuru ...... 63

Riset Kuantitatif ........................................... 71

Riset Kualitatif ............................................. 111

Daftar Pustaka ............................................. 147

Profil AJI Semarang ....................................... 149

Potret Intervensi di Bilik Redaksi

© AJI Semarang

Tim Penyusun : Pratono, Triyono Lukmantoro, Sohirin, Heri C

Santoso, Edi Faisol, Amin Fauzi, Em Syukron,

Rafiudina, Tandiyo Pradekso, Adi Nugroho

Editor Bahasa : Tubagus P Svarajati

Staf Riset : Nur Ana Mustafidah

Cover/Ilustrasi : Abdullah Ibnu Thalhah

Foto : Arif “Slam” Nugroho

Layout : Yuswinardi

Diterbitkan oleh:

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang

Februari 2014

ISBN

14x20 cm, Tebal: 164 halaman

Alamat:

Jalan Gergaji I/15 Mugassari, Semarang - Telp: 024-8450980

Email: [email protected]

Twitter: @AJIkotaSMG

Didukung oleh Yayasan Tifa

DAFTAR ISI:

Daftar isi ................................................... ii

Kata Pengantar ............................................ v

Pendahuluan ............................................... ix

Testimoni Jurnalis dan Redaktur

Cerita Tsunami Selepas Magrib ................... 1

Langkahku Terganjal Iklan ........................ 9

Tekanan itu Selalu Ada ............................ 17

Menulis di Bawah Tekanan ........................ 23

Berharap Besar dari Sukses Ganjar .............. 29

Demi Oplah, Kritik Diolah ......................... 35

Media: Butuh Jeneng, Juga Jenang .............. 43

Sudah Digebuki Tertimpa Koran Lagi ............ 57

Ketika Sensor Datang dari Segala Penjuru ...... 63

Riset Kuantitatif ........................................... 71

Riset Kualitatif ............................................. 111

Daftar Pustaka ............................................. 147

Profil AJI Semarang ....................................... 149

Potret Intervensi di Bilik Redaksi

© AJI Semarang

Tim Penyusun : Pratono, Triyono Lukmantoro, Sohirin, Heri C

Santoso, Edi Faisol, Amin Fauzi, Em Syukron,

Rafiudina, Tandiyo Pradekso, Adi Nugroho

Editor Bahasa : Tubagus P Svarajati

Staf Riset : Nur Ana Mustafidah

Cover/Ilustrasi : Abdullah Ibnu Thalhah

Foto : Arif “Slam” Nugroho

Layout : Yuswinardi

Diterbitkan oleh:

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang

Februari 2014

ISBN

14x20 cm, Tebal: 164 halaman

Alamat:

Jalan Gergaji I/15 Mugassari, Semarang - Telp: 024-8450980

Email: [email protected]

Twitter: @AJIkotaSMG

Didukung oleh Yayasan Tifa

KATA PENGANTAR

Ihwal (Swa)Sensor di Semarang

iset ini bermula dari kegelisahan sejumlah jurnalis

yang meliput kasus suap pengesahan Anggaran RPendapatan Belanja Daerah Kota Semarang 2012. Saat

itu, publik riuh oleh berita tangkap tangan KPK terhadap Sekda

Akhmat Zaenuri dan dua anggota DPRD Kota, Agung Purno

Sarjono dan Sumartono. Kejadiannya, akhir November 2011,

tepat di halaman Balai Kota. Kasus itu rupanya merambat pada

dugaan keterlibatan Wali Kota Semarang saat itu, Soemarmo

Hadi Saputro, yang baru 18 bulan menjabat. Demo muncul.

Yang mendukung sama kuat dengan yang meminta Soemarmo

diadili. Anehnya, meski disebut di persidangan, tidak satu pun

media di Semarang yang menyinggung nama Soemarmo dalam

berita suap tadi. Sejumlah jurnalis pun gerah.

Pada Februari 2012 sejumlah pewarta yang bergabung

dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang merespons

dengan menggelar diskusi tertutup di kawasan sekitar Kampus

Universitas Diponegoro. Beberapa aktivis antikorupsi datang.

Dugaan mengalir kencang pada upaya pembungkaman pers.

Uniknya, saat media lokal mengabaikan keterlibatan Wali Kota,

fakta tersebut justru menjadi sorotan hampir semua media di

Jakarta. Salah satu usulan dalam diskusi itu adalah mengadukan

media yang melakukan (swa)sensor pada Dewan Pers. AJI juga

merilis pernyataan sikap.

v

KATA PENGANTAR

Ihwal (Swa)Sensor di Semarang

iset ini bermula dari kegelisahan sejumlah jurnalis

yang meliput kasus suap pengesahan Anggaran RPendapatan Belanja Daerah Kota Semarang 2012. Saat

itu, publik riuh oleh berita tangkap tangan KPK terhadap Sekda

Akhmat Zaenuri dan dua anggota DPRD Kota, Agung Purno

Sarjono dan Sumartono. Kejadiannya, akhir November 2011,

tepat di halaman Balai Kota. Kasus itu rupanya merambat pada

dugaan keterlibatan Wali Kota Semarang saat itu, Soemarmo

Hadi Saputro, yang baru 18 bulan menjabat. Demo muncul.

Yang mendukung sama kuat dengan yang meminta Soemarmo

diadili. Anehnya, meski disebut di persidangan, tidak satu pun

media di Semarang yang menyinggung nama Soemarmo dalam

berita suap tadi. Sejumlah jurnalis pun gerah.

Pada Februari 2012 sejumlah pewarta yang bergabung

dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang merespons

dengan menggelar diskusi tertutup di kawasan sekitar Kampus

Universitas Diponegoro. Beberapa aktivis antikorupsi datang.

Dugaan mengalir kencang pada upaya pembungkaman pers.

Uniknya, saat media lokal mengabaikan keterlibatan Wali Kota,

fakta tersebut justru menjadi sorotan hampir semua media di

Jakarta. Salah satu usulan dalam diskusi itu adalah mengadukan

media yang melakukan (swa)sensor pada Dewan Pers. AJI juga

merilis pernyataan sikap.

v

Bagaimana membuktikan bahwa redaksi melakukan atau

mendapatkan tekanan?

Kasus swasensor sebenarnya bukan barang baru di negeri

ini. Banyak media yang beririsan kepentingan dengan bisnis dan

politik. Lebih-lebih sekarang ini, ramai pemilik media berfusi

dengan partai politik tertentu. Yang kentara adalah heboh siaran

langsung TV One di media sosial saat penangkapan Gubernur

Banten Ratu Atut, Oktober 2013. Tanpa disadari kru, muncul

suara yang meminta agar reporter tidak menyebut nama Partai

Golkar. Pemilik TV swasta itu adalah Aburizal Bakrie, taipan

yang juga ketua umum Partai Golkar.

Itu hanya segelintir persoalan di sejumlah media. Dalam

riset AJI Semarang, sensor terhadap pemberitaan acap kali

terjadi lantaran bersinggungan dengan pemilik dan koleganya

atau faktor lain, yakni amplop dan kepentingan iklan. Dulu, di

masa Orde Baru, sensor dilakukan oleh penguasa. Sekarang,

ancaman terhadap hak publik untuk memperoleh informasi yang

jujur bisa datang dari siapa pun, termasuk pengelola ruang

redaksi dan pihak eksternal, seperti aparat, narasumber,

pengacara, birokrat, bahkan organisasi profesi wartawan.

Fenomena tersebut tak jauh beda dengan yang dialami

pers di banyak negara. Albania, misalnya. Selepas dari kontrol

pemerintah komunis, pers berkembang sebatas kuantitas.

Ratusan surat kabar, TV, radio dan media daring (online) hanya

dimiliki penguasa, partai politik atau orang-orang kaya yang

merangkap politisi. Tidak ada pagar api (firewall) antara bisnis,

iklan, politik dan integritas redaksi sehingga swasensor

merajalela.

Sejarah penyensoran di Jawa Tengah sendiri barangkali

diawali oleh surat kabar Doenia Bergerak dan Sinar Hindia oleh

penguasa kolonial. Doenia Bergerak didirikan pada tahun 1914

di Surakarta oleh Mas Marco, eks wartawan Medan Prijaji,

koran berbahasa Melayu pertama. Surat kabar ini sangat dibenci

penguasa Hindia Belanda karena tulisan-tulisannya yang amat

kritis. Lantaran khawatir memicu pemberontakan, setahun

kemudian, Mas Marco dikenai delik pers dan dibui di Semarang.

Salah satu kritiknya yang populer adalah diskriminasi Jawatan

Kereta Api yang membedakan penumpang berdasar etnik dan

status sosial sehingga muncul istilah “kelas kambing” bagi

pribumi jelata. Marco juga dikenal sebagai pendiri Inlandsce

Journalisten Bond (IJB), serikat jurnalis Jawa yang dikenal

cukup radikal. IJB dikenal dekat dengan Sarekat Islam.

Sedangkan Sinar Hindia milik Serikat Islam – didirikan

pada tahun 1923, diwaspadai lantaran berita utama (headline)

keras mereka yang menyerukan pemogokan massal di Jawa

Tengah dan Jawa Timur pada Mei tahun yang sama. Akibatnya,

jajaran redaksi diasingkan atau dipenjara. Koran itu awalnya

dikenal sebagai Sinar Djawa. Di masa Orde Baru, hampir semua

surat kabar di Jawa Tengah menjadi lebih manis pada penguasa.

Sayangnya, penyensoran di masa kolonial dan Orde Baru

sangat berbeda dengan penyensoran di masa reformasi. Pers

kini jauh lebih bebas, namun ancaman terhadap pemberitaan

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

vi vii

Bagaimana membuktikan bahwa redaksi melakukan atau

mendapatkan tekanan?

Kasus swasensor sebenarnya bukan barang baru di negeri

ini. Banyak media yang beririsan kepentingan dengan bisnis dan

politik. Lebih-lebih sekarang ini, ramai pemilik media berfusi

dengan partai politik tertentu. Yang kentara adalah heboh siaran

langsung TV One di media sosial saat penangkapan Gubernur

Banten Ratu Atut, Oktober 2013. Tanpa disadari kru, muncul

suara yang meminta agar reporter tidak menyebut nama Partai

Golkar. Pemilik TV swasta itu adalah Aburizal Bakrie, taipan

yang juga ketua umum Partai Golkar.

Itu hanya segelintir persoalan di sejumlah media. Dalam

riset AJI Semarang, sensor terhadap pemberitaan acap kali

terjadi lantaran bersinggungan dengan pemilik dan koleganya

atau faktor lain, yakni amplop dan kepentingan iklan. Dulu, di

masa Orde Baru, sensor dilakukan oleh penguasa. Sekarang,

ancaman terhadap hak publik untuk memperoleh informasi yang

jujur bisa datang dari siapa pun, termasuk pengelola ruang

redaksi dan pihak eksternal, seperti aparat, narasumber,

pengacara, birokrat, bahkan organisasi profesi wartawan.

Fenomena tersebut tak jauh beda dengan yang dialami

pers di banyak negara. Albania, misalnya. Selepas dari kontrol

pemerintah komunis, pers berkembang sebatas kuantitas.

Ratusan surat kabar, TV, radio dan media daring (online) hanya

dimiliki penguasa, partai politik atau orang-orang kaya yang

merangkap politisi. Tidak ada pagar api (firewall) antara bisnis,

iklan, politik dan integritas redaksi sehingga swasensor

merajalela.

Sejarah penyensoran di Jawa Tengah sendiri barangkali

diawali oleh surat kabar Doenia Bergerak dan Sinar Hindia oleh

penguasa kolonial. Doenia Bergerak didirikan pada tahun 1914

di Surakarta oleh Mas Marco, eks wartawan Medan Prijaji,

koran berbahasa Melayu pertama. Surat kabar ini sangat dibenci

penguasa Hindia Belanda karena tulisan-tulisannya yang amat

kritis. Lantaran khawatir memicu pemberontakan, setahun

kemudian, Mas Marco dikenai delik pers dan dibui di Semarang.

Salah satu kritiknya yang populer adalah diskriminasi Jawatan

Kereta Api yang membedakan penumpang berdasar etnik dan

status sosial sehingga muncul istilah “kelas kambing” bagi

pribumi jelata. Marco juga dikenal sebagai pendiri Inlandsce

Journalisten Bond (IJB), serikat jurnalis Jawa yang dikenal

cukup radikal. IJB dikenal dekat dengan Sarekat Islam.

Sedangkan Sinar Hindia milik Serikat Islam – didirikan

pada tahun 1923, diwaspadai lantaran berita utama (headline)

keras mereka yang menyerukan pemogokan massal di Jawa

Tengah dan Jawa Timur pada Mei tahun yang sama. Akibatnya,

jajaran redaksi diasingkan atau dipenjara. Koran itu awalnya

dikenal sebagai Sinar Djawa. Di masa Orde Baru, hampir semua

surat kabar di Jawa Tengah menjadi lebih manis pada penguasa.

Sayangnya, penyensoran di masa kolonial dan Orde Baru

sangat berbeda dengan penyensoran di masa reformasi. Pers

kini jauh lebih bebas, namun ancaman terhadap pemberitaan

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

vi vii

ra reformasi di Indonesia yang tumbuh sejak 1998

membawa angin segar bagi kebebasan pers. Media Emassa dan pekerja media tumbuh begitu pesat. Posisi

strategis media massa, karena bisa mempengaruhi opini publik,

membuat banyak pengusaha maupun kelompok masyarakat

mendirikan perusahaan media. Dengan perkembangan

teknologi dan informasi yang pesat, banyak pula orang yang bisa

dengan mudah menjadi jurnalis.

Namun, kebebasan pers itu tak menjamin media akan

selalu menyajikan pemberitaan yang sesuai dengan kepentingan

publik. Justru ada kecenderungan media hanya dikuasai oleh

mereka yang memiliki akses modal dan politik. Salah satu

dampaknya adalah terjadinya praktik penyensoran di media.

Meski sudah banyak media dan jurnalis memiliki kebebasan

menulis, tapi praktik penyensoran juga masih terjadi.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang, sebagai

organisasi profesi jurnalis, memandang penyensoran di

pemberitaan media merupakan persoalan serius. Sebab, ini

terkait dengan hak publik dalam menerima informasi. Atas

dasar itulah, AJI Semarang melakukan program penelitian

tentang independensi ruang pemberitaan di media lokal.

Dalam program ini ada beberapa kegiatan: penelitian

analisis isi media lima media di Semarang, penelitian

PENDAHULUANjustru datang dari mana-mana. Tim AJI Semarang mengulasnya

dalam buku ini.

Buku yang Anda pegang ini terdiri dari beberapa bagian,

yakni bagian pertama berisi kesaksian para jurnalis dan redaktur

dalam mendapatkan berbagai tekanan dan membuat berita.

Bagian kedua adalah laporan riset kuantitatif analisis isi lima

media di Semarang. Bagian ketiga adalah rangkuman riset

kualitatif dengan metode deskriptif fenomenologi yang

diperkaya dengan dua kali diskusi.

Ada banyak pihak yang membantu penerbitan buku

tersebut. AJI Semarang menyampaikan penghargaan dan

terima kasih sebesarnya kepada Yayasan Tifa yang berkenan

mendukung program ini. Tak terlupakan, tim pengurus AJI

Semarang yang telah sudi direnggut waktu, tenaga, dan

pikirannya agar program ini bisa terlaksana. AJI Semarang juga

mengucapkan banyak terima kasih kepada Triyono

Lukmantoro, Adi Nugroho dan Tandiyo Pradekso yang bersedia

membantu pelaksanaan riset.

Semarang, Januari 2014

Renjani Puspo Sari

Ketua AJI Semarang

AJI Semarang

viii ix

ra reformasi di Indonesia yang tumbuh sejak 1998

membawa angin segar bagi kebebasan pers. Media Emassa dan pekerja media tumbuh begitu pesat. Posisi

strategis media massa, karena bisa mempengaruhi opini publik,

membuat banyak pengusaha maupun kelompok masyarakat

mendirikan perusahaan media. Dengan perkembangan

teknologi dan informasi yang pesat, banyak pula orang yang bisa

dengan mudah menjadi jurnalis.

Namun, kebebasan pers itu tak menjamin media akan

selalu menyajikan pemberitaan yang sesuai dengan kepentingan

publik. Justru ada kecenderungan media hanya dikuasai oleh

mereka yang memiliki akses modal dan politik. Salah satu

dampaknya adalah terjadinya praktik penyensoran di media.

Meski sudah banyak media dan jurnalis memiliki kebebasan

menulis, tapi praktik penyensoran juga masih terjadi.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang, sebagai

organisasi profesi jurnalis, memandang penyensoran di

pemberitaan media merupakan persoalan serius. Sebab, ini

terkait dengan hak publik dalam menerima informasi. Atas

dasar itulah, AJI Semarang melakukan program penelitian

tentang independensi ruang pemberitaan di media lokal.

Dalam program ini ada beberapa kegiatan: penelitian

analisis isi media lima media di Semarang, penelitian

PENDAHULUANjustru datang dari mana-mana. Tim AJI Semarang mengulasnya

dalam buku ini.

Buku yang Anda pegang ini terdiri dari beberapa bagian,

yakni bagian pertama berisi kesaksian para jurnalis dan redaktur

dalam mendapatkan berbagai tekanan dan membuat berita.

Bagian kedua adalah laporan riset kuantitatif analisis isi lima

media di Semarang. Bagian ketiga adalah rangkuman riset

kualitatif dengan metode deskriptif fenomenologi yang

diperkaya dengan dua kali diskusi.

Ada banyak pihak yang membantu penerbitan buku

tersebut. AJI Semarang menyampaikan penghargaan dan

terima kasih sebesarnya kepada Yayasan Tifa yang berkenan

mendukung program ini. Tak terlupakan, tim pengurus AJI

Semarang yang telah sudi direnggut waktu, tenaga, dan

pikirannya agar program ini bisa terlaksana. AJI Semarang juga

mengucapkan banyak terima kasih kepada Triyono

Lukmantoro, Adi Nugroho dan Tandiyo Pradekso yang bersedia

membantu pelaksanaan riset.

Semarang, Januari 2014

Renjani Puspo Sari

Ketua AJI Semarang

AJI Semarang

viii ix

fenomenologi kasus-kasus intervensi yang dialami jurnalis,

penelitian anggaran publik untuk organisasi-organisasi

wartawan, focus group discussion (FGD) bersama jurnalis dan

kelompok masyarakat, seminar publik, hingga penerbitan buku.

Dalam riset AJI menemukan beberapa kriteria praktik

sensor, yakni fakta atau peristiwa yang sebenarnya memiliki

nilai berita tapi sengaja tak disajikan oleh media, peristiwa itu

diberitakan tapi faktanya telah terdistorsi, atau sensor itu

dijalankan dengan cara hanya memberitakan peristiwa

berdasarkan pada kepentingan pemilik media maupun

kepentingan lainnya.

Harus diakui kasus penyensoran memang masih bisa

diberdebatkan, terutama menyangkut sudut pandang

pemberitaan yang diambil oleh masing-masing media. Tapi,

ketika media sudah tidak independen dan pemberitaannya

disetir oleh pihak lain maka di situlah potensi terjadinya distorsi

pemberitaan semakin besar. Media juga harus menjalankan

fungsi kontrol sehingga s ikap independen harus

dinomorsatukan. Ada kecenderungan praktik sensor media

justru terjadi di media-media lokal. Sebab, pemilik atau petinggi

media memiliki kedekatan dengan aktor-aktor di tingkat lokal.

Ada beberapa hal di Semarang yang menjadi pemicu

terjadinya praktik penyensoran di media massa. Misalnya,

karena akar industrialisasi media yang membutuhkan iklan.

Persoalannya, media-media di Semarang belum memiliki garis

api yang memisahkan ruang redaksi dari ruang iklan.

Pada level jurnalis, praktik pemberian amplop kepada

para jurnalis juga memicu terjadinya penyensoran. Namun,

kesejahteraan jurnalis hingga kini juga masih minim. Persoalan

lain adalah praktik penyensoran juga bisa muncul akibat adanya

konflik kepentingan pemilik media dengan pihak lain. Sebab,

rata-rata para pemilik maupun para petinggi media lokal juga

aktif di berbagai aktivitas politik dan bisnis.

Di sisi lain, komplain publik yang merasa dirugikan atas

pemberitaan media juga belum dikelola secara baik. Sebab,

hingga kini tidak ada lembaga yang bisa mengakomodasi

keberatan masyarakat terhadap media di tingkat lokal.

Akhirnya, beberapa agenda pun menjadi pekerjaan

rumah demi mendorong independensi dan profesionalisme

jurnalis, yakni perlunya garis api (firewall) atau pemisah antara

ruang iklan dari ruang pemberitaan. Untuk itu manajemen harus

menyusun standar prosedur operasi yang mengatur pola relasi

redaksi dengan bagian usaha/iklan. Agenda lain adalah

masyarakat membutuhkan saluran jika sewaktu-waktu merasa

dirugikan atas pemberitaan media. Saluran itu baik yang

diinisiasi kelompok masyarakat ataupun melalui lembaga

ombudsman yang perlu dirikan masing-masing media. Setiap

media perlu membentuk ombudsman media. Lembaga ini

sebagai salah satu cara untuk mengontrol jika sewaktu-waktu

ada dugaan pelanggaran yang dilakukan awak medianya.

Kesejahteraan jurnalis juga menjadi pekerjaan rumah

yang harus dicarikan solusi. Selama ini, minimnya kesejahteraan

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

x xi

fenomenologi kasus-kasus intervensi yang dialami jurnalis,

penelitian anggaran publik untuk organisasi-organisasi

wartawan, focus group discussion (FGD) bersama jurnalis dan

kelompok masyarakat, seminar publik, hingga penerbitan buku.

Dalam riset AJI menemukan beberapa kriteria praktik

sensor, yakni fakta atau peristiwa yang sebenarnya memiliki

nilai berita tapi sengaja tak disajikan oleh media, peristiwa itu

diberitakan tapi faktanya telah terdistorsi, atau sensor itu

dijalankan dengan cara hanya memberitakan peristiwa

berdasarkan pada kepentingan pemilik media maupun

kepentingan lainnya.

Harus diakui kasus penyensoran memang masih bisa

diberdebatkan, terutama menyangkut sudut pandang

pemberitaan yang diambil oleh masing-masing media. Tapi,

ketika media sudah tidak independen dan pemberitaannya

disetir oleh pihak lain maka di situlah potensi terjadinya distorsi

pemberitaan semakin besar. Media juga harus menjalankan

fungsi kontrol sehingga s ikap independen harus

dinomorsatukan. Ada kecenderungan praktik sensor media

justru terjadi di media-media lokal. Sebab, pemilik atau petinggi

media memiliki kedekatan dengan aktor-aktor di tingkat lokal.

Ada beberapa hal di Semarang yang menjadi pemicu

terjadinya praktik penyensoran di media massa. Misalnya,

karena akar industrialisasi media yang membutuhkan iklan.

Persoalannya, media-media di Semarang belum memiliki garis

api yang memisahkan ruang redaksi dari ruang iklan.

Pada level jurnalis, praktik pemberian amplop kepada

para jurnalis juga memicu terjadinya penyensoran. Namun,

kesejahteraan jurnalis hingga kini juga masih minim. Persoalan

lain adalah praktik penyensoran juga bisa muncul akibat adanya

konflik kepentingan pemilik media dengan pihak lain. Sebab,

rata-rata para pemilik maupun para petinggi media lokal juga

aktif di berbagai aktivitas politik dan bisnis.

Di sisi lain, komplain publik yang merasa dirugikan atas

pemberitaan media juga belum dikelola secara baik. Sebab,

hingga kini tidak ada lembaga yang bisa mengakomodasi

keberatan masyarakat terhadap media di tingkat lokal.

Akhirnya, beberapa agenda pun menjadi pekerjaan

rumah demi mendorong independensi dan profesionalisme

jurnalis, yakni perlunya garis api (firewall) atau pemisah antara

ruang iklan dari ruang pemberitaan. Untuk itu manajemen harus

menyusun standar prosedur operasi yang mengatur pola relasi

redaksi dengan bagian usaha/iklan. Agenda lain adalah

masyarakat membutuhkan saluran jika sewaktu-waktu merasa

dirugikan atas pemberitaan media. Saluran itu baik yang

diinisiasi kelompok masyarakat ataupun melalui lembaga

ombudsman yang perlu dirikan masing-masing media. Setiap

media perlu membentuk ombudsman media. Lembaga ini

sebagai salah satu cara untuk mengontrol jika sewaktu-waktu

ada dugaan pelanggaran yang dilakukan awak medianya.

Kesejahteraan jurnalis juga menjadi pekerjaan rumah

yang harus dicarikan solusi. Selama ini, minimnya kesejahteraan

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

x xi

EBUAH pesan pendek masuk ke telepon genggam Yuha,

bukan nama sebenarnya. Sang pemberi pesan Smengabarkan esok hari, Kamis, 8 Desember 2011,

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memeriksa Wali

Kota Semarang, Soemarmo Hadi Saputro. Pemeriksaan akan

berlangsung di kompleks Akademi Kepolisian. Soemarmo

diperiksa sebagai saksi atas praktik penyuapan yang dilakukan

Akhmat Zaenuri (Sekretaris Daerah Kota Semarang). Zaenuri

tertangkap tangan KPK dalam kasus suap kepada sejumlah

anggota legislatif untuk meloloskan APBD Kota Semarang 2012.

Yuha adalah jurnalis bidang liputan hukum di sebuah

harian lokal di Semarang. Dalam pikirannya, esok hari, ia akan

melakukan peliputan yang melelahkan. Meliput pemeriksaan

yang dilakukan KPK biasanya perlu waktu lama. Tak jarang

hingga malam hari. Diperlukan strategi dan kecermatan ekstra.

Maklum, seringkali terperiksa melakukan upaya pengelabuan

agar lolos dari kejaran jurnalis, luput dari sorotan kamera.

Kamis, 8 Desember 2011 pukul delapan pagi, ia sudah

sampai di Gedung Serba Guna Akpol, tempat pemeriksaan.

Sejurus kemudian, belasan jurnalis lain juga hadir. Tak banyak

yang bisa dilakukan kecuali pengamatan lapangan sebagai

bahan reportase, serta nyanggong hingga pemeriksaan selesai,

l a l u r a m a i - r a m a i m e n g h a d a n g S o e m a r m o u n t u k

Cerita Tsunami Selepas Magribmenjadi salah satu pemicu jurnalis tidak bisa menjalankan

tugasnya secara profesional. Berbagai persoalan tersebut

diungkap bukan bermaksud untuk menyajikan pesimisme wajah

pers di Jawa Tengah. Juga bukan untuk membuka aib/borok

media massa. Tapi ini semua dilakukan demi mendorong media

massa di Jawa Tengah bisa lebih profesional dan independen.

AJI Semarang

xii 1

EBUAH pesan pendek masuk ke telepon genggam Yuha,

bukan nama sebenarnya. Sang pemberi pesan Smengabarkan esok hari, Kamis, 8 Desember 2011,

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memeriksa Wali

Kota Semarang, Soemarmo Hadi Saputro. Pemeriksaan akan

berlangsung di kompleks Akademi Kepolisian. Soemarmo

diperiksa sebagai saksi atas praktik penyuapan yang dilakukan

Akhmat Zaenuri (Sekretaris Daerah Kota Semarang). Zaenuri

tertangkap tangan KPK dalam kasus suap kepada sejumlah

anggota legislatif untuk meloloskan APBD Kota Semarang 2012.

Yuha adalah jurnalis bidang liputan hukum di sebuah

harian lokal di Semarang. Dalam pikirannya, esok hari, ia akan

melakukan peliputan yang melelahkan. Meliput pemeriksaan

yang dilakukan KPK biasanya perlu waktu lama. Tak jarang

hingga malam hari. Diperlukan strategi dan kecermatan ekstra.

Maklum, seringkali terperiksa melakukan upaya pengelabuan

agar lolos dari kejaran jurnalis, luput dari sorotan kamera.

Kamis, 8 Desember 2011 pukul delapan pagi, ia sudah

sampai di Gedung Serba Guna Akpol, tempat pemeriksaan.

Sejurus kemudian, belasan jurnalis lain juga hadir. Tak banyak

yang bisa dilakukan kecuali pengamatan lapangan sebagai

bahan reportase, serta nyanggong hingga pemeriksaan selesai,

l a l u r a m a i - r a m a i m e n g h a d a n g S o e m a r m o u n t u k

Cerita Tsunami Selepas Magribmenjadi salah satu pemicu jurnalis tidak bisa menjalankan

tugasnya secara profesional. Berbagai persoalan tersebut

diungkap bukan bermaksud untuk menyajikan pesimisme wajah

pers di Jawa Tengah. Juga bukan untuk membuka aib/borok

media massa. Tapi ini semua dilakukan demi mendorong media

massa di Jawa Tengah bisa lebih profesional dan independen.

AJI Semarang

xii 1

mewawancarai. Sejumlah agenda liputan lain terpaksa ditinggal.

Apalagi ada perintah dari redaktur untuk meliput berita

pemeriksaan ini hingga tuntas.

Pemeriksaan kelar sekitar pukul 18.00. Setelah berhasil

mewawancarai Soemarmo, Yuha bergegas ke kantor untuk

menuliskan bahan liputan selama sehari penuh. Hatinya

sumringah. Naluri junalisnya berbisik: berita besar akan segera

muncul. “Meski hanya sebagai saksi, Wali Kota diperiksa KPK,

tentu menarik perhatian publik,” gumamnya dalam hati. Nilai

berita kian melambung mengingat tulisan ini akan terbit

bertepatan dengan peringatan Hari Antikorupsi tingkat nasional

yang dipusatkan di Semarang pada 9 Desember. Acara

peringatan yang dihelat di Ruang Pertemuan Masjid Agung Jawa

Tengah akan dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

dan hampir seluruh kepala daerah se-Indonesia. Tentu saja

Soemarmo berkepentingan kesuksesan acara tak tercoreng

berita pemeriksaan dirinya.

Jangan ditulis

Sepanjang mengendarai sepeda motor ke kantor, Yuha

sudah membayangkan judul ciamik, sudut pandang yang kuat,

bahkan info grafis sebagai penguat berita. Fotografer juga sudah

mempersiapkan foto. Selepas magrib, di komputer kerjanya,

data mulai disalin. Fakta mulai dirangkai, kalimat pun mulai

dirajut. Namun, tak lama kemudian, datanglah redaktur

atasannya menghampiri. Sang redaktur menyampaikan jika

dirinya baru saja menerima telepon dari kantor redaksi pusat

yang meminta agar berita pemeriksaan Soemarmo jangan

ditulis.

Alasannya, “ada perintah khusus” dari pemilik media

agar tidak menurunkan berita tersebut. Wali Kota memang

dikenal dekat dengan sang pemilik media tempat ia bekerja.

Pelarangan itu bagai tsunami yang menghempaskan seluruh

semangatnya. Kerja keras sehari penuh sirna sekejap. ”Ini

keterlaluan,” ujarnya kecewa. Yuha dan redaktur boleh saja

marah, juga boleh mengumpat. Tapi di tempatnya bekerja, kata

sang Bos adalah sabda yang tak mungkin dibantah. Kamis 8

Desember 2011 menjadi hari terburuk dalam sejarah jurnalistik

Yuha yang sudah dititinya selama lima tahun.

Malam itu tersiar kabar di kalangan jurnalis Semarang,

Soemarmo telah “mengondisikan” seluruh koran lokal di

Semarang tidak menurunkan berita pemeriksaan dirinya. Dan

benar. Semua media lokal tak satu pun memberitakan

pemeriksaan itu, kecuali beberapa media nasional. Menurut

Yuha, upaya sensor yang dilakukan Soemarmo tak lebih dari

ketakutan berlebihan. Alasannya, sejauh mana pemberitaan bisa

memengaruhi proses hukum yang dijalankan KPK. “Statusnya

juga baru saksi,” tandasnya.

Ibarat serial sinetron, upaya sensor terhadap

pemberitaan korupsi yang menyangkut Soemarmo tak berhenti

di situ. Pada pemberitaan persidangan Akhmat Zaenuri, redaksi

juga menghilangkan seluruh alur berita yang mengarah pada

keterlibatan Soemarmo. Jangankan penyebutan nama secara

langsung, inisial pun juga diharamkan. “Ini sebuah pembodohan

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

2 3

mewawancarai. Sejumlah agenda liputan lain terpaksa ditinggal.

Apalagi ada perintah dari redaktur untuk meliput berita

pemeriksaan ini hingga tuntas.

Pemeriksaan kelar sekitar pukul 18.00. Setelah berhasil

mewawancarai Soemarmo, Yuha bergegas ke kantor untuk

menuliskan bahan liputan selama sehari penuh. Hatinya

sumringah. Naluri junalisnya berbisik: berita besar akan segera

muncul. “Meski hanya sebagai saksi, Wali Kota diperiksa KPK,

tentu menarik perhatian publik,” gumamnya dalam hati. Nilai

berita kian melambung mengingat tulisan ini akan terbit

bertepatan dengan peringatan Hari Antikorupsi tingkat nasional

yang dipusatkan di Semarang pada 9 Desember. Acara

peringatan yang dihelat di Ruang Pertemuan Masjid Agung Jawa

Tengah akan dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

dan hampir seluruh kepala daerah se-Indonesia. Tentu saja

Soemarmo berkepentingan kesuksesan acara tak tercoreng

berita pemeriksaan dirinya.

Jangan ditulis

Sepanjang mengendarai sepeda motor ke kantor, Yuha

sudah membayangkan judul ciamik, sudut pandang yang kuat,

bahkan info grafis sebagai penguat berita. Fotografer juga sudah

mempersiapkan foto. Selepas magrib, di komputer kerjanya,

data mulai disalin. Fakta mulai dirangkai, kalimat pun mulai

dirajut. Namun, tak lama kemudian, datanglah redaktur

atasannya menghampiri. Sang redaktur menyampaikan jika

dirinya baru saja menerima telepon dari kantor redaksi pusat

yang meminta agar berita pemeriksaan Soemarmo jangan

ditulis.

Alasannya, “ada perintah khusus” dari pemilik media

agar tidak menurunkan berita tersebut. Wali Kota memang

dikenal dekat dengan sang pemilik media tempat ia bekerja.

Pelarangan itu bagai tsunami yang menghempaskan seluruh

semangatnya. Kerja keras sehari penuh sirna sekejap. ”Ini

keterlaluan,” ujarnya kecewa. Yuha dan redaktur boleh saja

marah, juga boleh mengumpat. Tapi di tempatnya bekerja, kata

sang Bos adalah sabda yang tak mungkin dibantah. Kamis 8

Desember 2011 menjadi hari terburuk dalam sejarah jurnalistik

Yuha yang sudah dititinya selama lima tahun.

Malam itu tersiar kabar di kalangan jurnalis Semarang,

Soemarmo telah “mengondisikan” seluruh koran lokal di

Semarang tidak menurunkan berita pemeriksaan dirinya. Dan

benar. Semua media lokal tak satu pun memberitakan

pemeriksaan itu, kecuali beberapa media nasional. Menurut

Yuha, upaya sensor yang dilakukan Soemarmo tak lebih dari

ketakutan berlebihan. Alasannya, sejauh mana pemberitaan bisa

memengaruhi proses hukum yang dijalankan KPK. “Statusnya

juga baru saksi,” tandasnya.

Ibarat serial sinetron, upaya sensor terhadap

pemberitaan korupsi yang menyangkut Soemarmo tak berhenti

di situ. Pada pemberitaan persidangan Akhmat Zaenuri, redaksi

juga menghilangkan seluruh alur berita yang mengarah pada

keterlibatan Soemarmo. Jangankan penyebutan nama secara

langsung, inisial pun juga diharamkan. “Ini sebuah pembodohan

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

2 3

publik,” ujar Yuha. “Taruhlah Wali Kota tak memerintahkan

tindakan suap, tapi publik bisa membaca, masak, penggunaan

uang ratusan juta (untuk suap) oleh Sekda tanpa sepengetahuan

Wali Kota”.

Praktik sensor semacam ini memang tak merugikan

Yuha secara finansial. Tapi, ini melecehkan profesionalisme

sebagai jurnalis. Seolah dirinya ikut bermain dan diuntungkan

dalam skenario besar penyelamatan Soemarmo. Suatu ketika

Yuha merasa malu dengan pertanyaan dari pengacara Akhmat

Zaenuri perihal hilangnya nama Soemarmo. Beruntung, sang

pengacara bisa memahami posisinya yang hanya sebagai buruh

di media tempat bekerja.

Proses hukum suap APBD Kota Semarang terus

berlanjut. Akhirnya, KPK menetapkan Soemarmo sebagai

tersangka dalam kasus tersebut pada 17 Maret 2012, lalu

menahannya di LP Cipinang Jakarta pada 31 Maret 2012. Arah

angin langsung berubah. Kebijakan redaksi tempat Yuha bekerja

juga berbelok. Berita Soemarmo dalam pusaran korupsi suap

APBD sering menjadi berita utama, lengkap dengan penyebutan

nama, juga foto. Mungkin akan terasa lucu jika tak

memberitakan, sementara media lain juga memberitakan.

“Mungkin juga secara hukum dan politik Soemarmo sudah tak

bisa diselamatkan,” kata Yuha.

Saat pemberitaan korupsi Soemarmo mulai muncul,

Yuha mendapat ucapan selamat dari pengacara Zaenuri.

“Selamat ya, akhirnya nama Soemarmo muncul utuh,” kata

Yuha menirukan ucapan tersebut. Meski ucapan itu bermuatan

kelakar, bagi Yuha, hal ini sejatinya menunjukkan jika publik

tahu atas praktik sensor yang terjadi di medianya tempat ia

bekerja.

Bukan pengalaman satu-satunya

Praktik sensor di atas bukanlah pengalaman satu-

satunya bagi Yuha. Desk peliputan hukum adalah salah satu

kompartemen yang sering menjadi sasaran sensor. Banyak

orang salah merasa takut jika keculasannya terpublikasi. Konon,

pada kompartemen lain, praktik serupa juga acap terjadi. Atau

ada kompromi berita dengan pemasang iklan. Tapi dia tak tahu

persis. Kebetulan media tempatnya bekerja melarang

jurnalisnya mencari iklan. Saat ia menulis berita penyelewengan

dana bantuan sosial di Jawa Tengah, yang nilainya hingga

miliaran, ada perintah dari salah seorang redaktur untuk tidak

melanjutkannya. Alhasil, berita hanya muncul sekali.

Umumnya, pemberitaan korupsi selalu berkelanjutan. Baik

karena pertimbangan kedekatan maupun karena besarnya

kerugian negara yang timbul.

Kasus serupa juga terjadi pada awal-awal pemberitaan

dugaan korupsi yang melibatkan Bupati Karanganyar, Rina

Iriani, sebelum menjadi tersangka. Berita soal Rina tidak boleh

menyudutkannya atau cukup dengan pemberitaan yang kecil

agar tak menjadi perhatian. Di internal wartawan media ini,

beredar kabar jika Bupati Rina adalah teman akrab salah satu elit

redaktur.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

4 5

publik,” ujar Yuha. “Taruhlah Wali Kota tak memerintahkan

tindakan suap, tapi publik bisa membaca, masak, penggunaan

uang ratusan juta (untuk suap) oleh Sekda tanpa sepengetahuan

Wali Kota”.

Praktik sensor semacam ini memang tak merugikan

Yuha secara finansial. Tapi, ini melecehkan profesionalisme

sebagai jurnalis. Seolah dirinya ikut bermain dan diuntungkan

dalam skenario besar penyelamatan Soemarmo. Suatu ketika

Yuha merasa malu dengan pertanyaan dari pengacara Akhmat

Zaenuri perihal hilangnya nama Soemarmo. Beruntung, sang

pengacara bisa memahami posisinya yang hanya sebagai buruh

di media tempat bekerja.

Proses hukum suap APBD Kota Semarang terus

berlanjut. Akhirnya, KPK menetapkan Soemarmo sebagai

tersangka dalam kasus tersebut pada 17 Maret 2012, lalu

menahannya di LP Cipinang Jakarta pada 31 Maret 2012. Arah

angin langsung berubah. Kebijakan redaksi tempat Yuha bekerja

juga berbelok. Berita Soemarmo dalam pusaran korupsi suap

APBD sering menjadi berita utama, lengkap dengan penyebutan

nama, juga foto. Mungkin akan terasa lucu jika tak

memberitakan, sementara media lain juga memberitakan.

“Mungkin juga secara hukum dan politik Soemarmo sudah tak

bisa diselamatkan,” kata Yuha.

Saat pemberitaan korupsi Soemarmo mulai muncul,

Yuha mendapat ucapan selamat dari pengacara Zaenuri.

“Selamat ya, akhirnya nama Soemarmo muncul utuh,” kata

Yuha menirukan ucapan tersebut. Meski ucapan itu bermuatan

kelakar, bagi Yuha, hal ini sejatinya menunjukkan jika publik

tahu atas praktik sensor yang terjadi di medianya tempat ia

bekerja.

Bukan pengalaman satu-satunya

Praktik sensor di atas bukanlah pengalaman satu-

satunya bagi Yuha. Desk peliputan hukum adalah salah satu

kompartemen yang sering menjadi sasaran sensor. Banyak

orang salah merasa takut jika keculasannya terpublikasi. Konon,

pada kompartemen lain, praktik serupa juga acap terjadi. Atau

ada kompromi berita dengan pemasang iklan. Tapi dia tak tahu

persis. Kebetulan media tempatnya bekerja melarang

jurnalisnya mencari iklan. Saat ia menulis berita penyelewengan

dana bantuan sosial di Jawa Tengah, yang nilainya hingga

miliaran, ada perintah dari salah seorang redaktur untuk tidak

melanjutkannya. Alhasil, berita hanya muncul sekali.

Umumnya, pemberitaan korupsi selalu berkelanjutan. Baik

karena pertimbangan kedekatan maupun karena besarnya

kerugian negara yang timbul.

Kasus serupa juga terjadi pada awal-awal pemberitaan

dugaan korupsi yang melibatkan Bupati Karanganyar, Rina

Iriani, sebelum menjadi tersangka. Berita soal Rina tidak boleh

menyudutkannya atau cukup dengan pemberitaan yang kecil

agar tak menjadi perhatian. Di internal wartawan media ini,

beredar kabar jika Bupati Rina adalah teman akrab salah satu elit

redaktur.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

4 5

“Berita ini landai saja”, “Ada perintah khusus. Jangan

diteruskan”, atau “Jangan diteruskan, ini temannya Bos”.

Petikan-petikan pesan pendek tersebut sudah menjadi kalimat

perintah dari kepala kompartemen atau sekadar redaktur

“biasa” untuk menghentikan sebuah pemberitaan. Bisa jadi

perintah tersebut memang datang dari sang pemilik media¸ atau

sekadar redaktur yang memiliki kepentingan menghentikan

berita dengan mencatut nama pemilik. Karena sudah menjadi

semacam “peraturan baku”, Yuha tak mencoba mencari tahu

apakah perintah itu benar-benar “titah” pemilik atau tidak. Ada

juga redaktur yang berterus terang meminta Yuha tak menulis

sebuah kasus hukum hanya karena berita terkait dengan

saudara, tetangga atau kolega sang redaktur. Misalnya saat ia

menulis penyimpangan pengadaan sarana dan prasarana di

sebuah daerah. Salah seorang redaktur (bukan kepala

kompartemen) meminta tak ditulis dengan alasan kasus itu

melibatkan saudaranya.

Karena sudah menjadi peraturan baku, perintah itu

menjadi simalakama: jika ditulis sudah pasti tak akan dimuat,

jika memaksakan diri menulis, akan muncul pertanyaan

tuduhan jika wartawan di lapangan “ada main” dengan

narasumber. “Lha wong sudah dilarang, kok tetap menulis,”

demikian pertanyaan yang akan muncul. “Sungguh

menyakitkan,” kata Yuha. Di satu sisi, jurnalis harus menyajikan

fakta, membela kepentingan publik. Pada sisi lain, jika menulis

justru muncul tuduhan ada kepentingan pribadi.

Dalam industri media, jurnalis memang buruh. Namun

menurutnya bukan buruh dengan kaca mata kuda yang harus

tunduk pada perintah atasan secara kaku, tanpa dihormati

intelektualitasnya. Kesal dengan kondisi demikian, dalam

beberapa kasus, Yuha mengaku mengabaikan larangan tersebut

dengan tetap memasukkan beritanya ke keranjang berita. “Yang

penting sudah kutulis. Gugur kewajibanku. Dimuat atau tidak,

itu urusan lain”. Kadang, berita yang tak dimuat, dia lempar di

media sosial.

Bagi Yuha, selain sensor yang terjadi di ruang redaksi,

independensi jurnalis juga dipengaruhi oleh praktik pemberian

amplop yang kerap terjadi di lapangan, dengan berbagai bentuk

dan modusnya. Pada bidang liputan hukum, pemberian amplop

sering dilakukan oleh narasumber. Tujuannya agar berita

dihentikan atau sajiannya diperlunak. Kadang pemberian

amplop dilakukan oleh jurnalis yang menjadi perantara. Tak

jarang pula ada jurnalis yang sengaja memosisikan sebagai

perantara untuk pembagian amplop.

Perusahaan tempatnya bekerja memang tak secara tegas

melarang jurnalisnya menerima pemberian dari narasumber.

Yuha juga mengaku bukan malaikat atau jurnalis sok suci yang

secara ekstrem menolak pemberian dari narasumber. Kalau

sekadar makan-makan dan menjaga komunikasi dengan

narasumber, bisa dimaklumi. Tapi kalau amplop yang bersifat

“keras”, nyata-nyata untuk menghentikan pemberitaan, itu yang

tak bisa ditoleransi. “Sebisa mungkin saya tolak,” tukasnya.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

6 7

“Berita ini landai saja”, “Ada perintah khusus. Jangan

diteruskan”, atau “Jangan diteruskan, ini temannya Bos”.

Petikan-petikan pesan pendek tersebut sudah menjadi kalimat

perintah dari kepala kompartemen atau sekadar redaktur

“biasa” untuk menghentikan sebuah pemberitaan. Bisa jadi

perintah tersebut memang datang dari sang pemilik media¸ atau

sekadar redaktur yang memiliki kepentingan menghentikan

berita dengan mencatut nama pemilik. Karena sudah menjadi

semacam “peraturan baku”, Yuha tak mencoba mencari tahu

apakah perintah itu benar-benar “titah” pemilik atau tidak. Ada

juga redaktur yang berterus terang meminta Yuha tak menulis

sebuah kasus hukum hanya karena berita terkait dengan

saudara, tetangga atau kolega sang redaktur. Misalnya saat ia

menulis penyimpangan pengadaan sarana dan prasarana di

sebuah daerah. Salah seorang redaktur (bukan kepala

kompartemen) meminta tak ditulis dengan alasan kasus itu

melibatkan saudaranya.

Karena sudah menjadi peraturan baku, perintah itu

menjadi simalakama: jika ditulis sudah pasti tak akan dimuat,

jika memaksakan diri menulis, akan muncul pertanyaan

tuduhan jika wartawan di lapangan “ada main” dengan

narasumber. “Lha wong sudah dilarang, kok tetap menulis,”

demikian pertanyaan yang akan muncul. “Sungguh

menyakitkan,” kata Yuha. Di satu sisi, jurnalis harus menyajikan

fakta, membela kepentingan publik. Pada sisi lain, jika menulis

justru muncul tuduhan ada kepentingan pribadi.

Dalam industri media, jurnalis memang buruh. Namun

menurutnya bukan buruh dengan kaca mata kuda yang harus

tunduk pada perintah atasan secara kaku, tanpa dihormati

intelektualitasnya. Kesal dengan kondisi demikian, dalam

beberapa kasus, Yuha mengaku mengabaikan larangan tersebut

dengan tetap memasukkan beritanya ke keranjang berita. “Yang

penting sudah kutulis. Gugur kewajibanku. Dimuat atau tidak,

itu urusan lain”. Kadang, berita yang tak dimuat, dia lempar di

media sosial.

Bagi Yuha, selain sensor yang terjadi di ruang redaksi,

independensi jurnalis juga dipengaruhi oleh praktik pemberian

amplop yang kerap terjadi di lapangan, dengan berbagai bentuk

dan modusnya. Pada bidang liputan hukum, pemberian amplop

sering dilakukan oleh narasumber. Tujuannya agar berita

dihentikan atau sajiannya diperlunak. Kadang pemberian

amplop dilakukan oleh jurnalis yang menjadi perantara. Tak

jarang pula ada jurnalis yang sengaja memosisikan sebagai

perantara untuk pembagian amplop.

Perusahaan tempatnya bekerja memang tak secara tegas

melarang jurnalisnya menerima pemberian dari narasumber.

Yuha juga mengaku bukan malaikat atau jurnalis sok suci yang

secara ekstrem menolak pemberian dari narasumber. Kalau

sekadar makan-makan dan menjaga komunikasi dengan

narasumber, bisa dimaklumi. Tapi kalau amplop yang bersifat

“keras”, nyata-nyata untuk menghentikan pemberitaan, itu yang

tak bisa ditoleransi. “Sebisa mungkin saya tolak,” tukasnya.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

6 7

ebut saja ia sebagai David. Menjadi jurnalis adalah cita-

citanya sejak saat kuliah di perguruan tinggi negeri di SSemarang pada awal 2007. Meskipun ia tidak kuliah di

jurusan ilmu komunikasi, namun daya pikat menjadi jurnalis

tetap menggebu. Pada 2008 ia mendaftar di sebuah organisasi

pers kampus di perguruan tingginya agar ketrampilan

menulisnya terasah.

Di lembaga pers mahasiswa itu apa saja yang berkaitan

dengan seluk beluk penulisan ia pelajari, menulis berita,

wawancara, reportase, artikel, esai sastra, sejarah pers, hingga

idealisme pers mahasiswa. Semua yang ideal dipelajari di kawah

candradimuka. Baginya, pers ada untuk menjunjung tinggi

kebenaran. “Saya ingin menjadi jurnalis karena bisa

menyampaikan kebenaran, dan membantu mengungkap

sesuatu yang tersembunyi atau disembunyikan,” katanya.

Keteguhan niat dan usaha David dijawab oleh Tuhan.

Seperti ditulis novelis Brazil Paulo Coelho dalam The Alchemist

(2005):“Ketika kamu sungguh-sungguh menginginkan sesuatu

maka alam raya akan berkonspirasi membantumu meraihnya.”

Ya, di penghujung 2010 David mendapatkan tawaran

magang sebagai wartawan di media lokal di Semarang bersama

teman-temannya. Namun dari sekian teman-temannya yang

Tak gampang untuk menolak godaan amplop. Apalagi,

perusahannya tak memberi gaji secara ideal untuk ukuran

seseorang yang sudah berkeluarga dan beranak. Untuk

menutupi kebutuhan, Yuha membuka toko suvenir sebagai

usaha sampingan. Tentang fenomena jurnalis lain yang

menerima amplop, bahkan berburu amplop, menurutnya itu

suatu pilihan atau sikap personal.

* * *

Langkahku Terganjal Iklan

AJI Semarang

8 9

ebut saja ia sebagai David. Menjadi jurnalis adalah cita-

citanya sejak saat kuliah di perguruan tinggi negeri di SSemarang pada awal 2007. Meskipun ia tidak kuliah di

jurusan ilmu komunikasi, namun daya pikat menjadi jurnalis

tetap menggebu. Pada 2008 ia mendaftar di sebuah organisasi

pers kampus di perguruan tingginya agar ketrampilan

menulisnya terasah.

Di lembaga pers mahasiswa itu apa saja yang berkaitan

dengan seluk beluk penulisan ia pelajari, menulis berita,

wawancara, reportase, artikel, esai sastra, sejarah pers, hingga

idealisme pers mahasiswa. Semua yang ideal dipelajari di kawah

candradimuka. Baginya, pers ada untuk menjunjung tinggi

kebenaran. “Saya ingin menjadi jurnalis karena bisa

menyampaikan kebenaran, dan membantu mengungkap

sesuatu yang tersembunyi atau disembunyikan,” katanya.

Keteguhan niat dan usaha David dijawab oleh Tuhan.

Seperti ditulis novelis Brazil Paulo Coelho dalam The Alchemist

(2005):“Ketika kamu sungguh-sungguh menginginkan sesuatu

maka alam raya akan berkonspirasi membantumu meraihnya.”

Ya, di penghujung 2010 David mendapatkan tawaran

magang sebagai wartawan di media lokal di Semarang bersama

teman-temannya. Namun dari sekian teman-temannya yang

Tak gampang untuk menolak godaan amplop. Apalagi,

perusahannya tak memberi gaji secara ideal untuk ukuran

seseorang yang sudah berkeluarga dan beranak. Untuk

menutupi kebutuhan, Yuha membuka toko suvenir sebagai

usaha sampingan. Tentang fenomena jurnalis lain yang

menerima amplop, bahkan berburu amplop, menurutnya itu

suatu pilihan atau sikap personal.

* * *

Langkahku Terganjal Iklan

AJI Semarang

8 9

ikut magang, hanya David yang tetap bertahan melanjutkan

sampai magang selesai. Dari daya juang dan ketahanannya itu,

ia direkrut oleh media tersebut menjadi reporter.

Awal menjadi reporter David bergairah melakukan

peliputan. Panji-panji idealisme masih dipegang. Roh idealisme

yang ditiupkan sejak di pers mahasiswa masih diemban.

Namun, tahun 2012 merupakan titik balik baginya. Mulai saat

itu David dipindahkan oleh pemimpin redaksinya meliput berita

hukum, dari yang sebelumnya di bagian umum dan pendidikan.

Selama meliput di bagian hukum inilah ia harus terpaksa

dan “dipaksa” menggantungkan idealisme sebagai seorang

jurnalis. Pada saat ia ditempatkan di bagian hukum, ada kasus

besar soal korupsi yang menyeret seorang pejabat penting di

pemerintahan kota ini.

David semangat meliput pejabat Pemerintah Kota

Semarang yang tersandung kasus suap ini. Kasus itu menyeret

dua anggota legislatif, Sekretaris Daerah (Sekda), dan Wali Kota.

Persidangannya tidak dijadikan satu. Untuk dua anggota

legislatif persidangannya dijadikan satu, sedangkan Sekda dan

Wali Kota dilakukan secara terpisah.

Pada saat Sekda sebagai terdakwa, Wali Kota masih

sebagai saksi saat persidangan dan digelar di Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang. Dalam perkembangannya,

kasus Wali Kota ditetapkan menjadi tersangka oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sering dimuat tidak utuh

Awal-awal persidangan dengan terdakwa Sekda, David

masih biasa saja menulis liputannya. Berita juga dimuat

sebagaimana yang ia tulis. Namun saat Wali Kota dihadirkan

sebagai saksi dalam persidangan itu, mulai ada masalah. Berita

sering tidak dimuat secara utuh oleh redaksi, bahkan ada yang

tidak dimuat ketika dia menulis berita yang isinya melibatkan

Wali Kota.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

10 11

ikut magang, hanya David yang tetap bertahan melanjutkan

sampai magang selesai. Dari daya juang dan ketahanannya itu,

ia direkrut oleh media tersebut menjadi reporter.

Awal menjadi reporter David bergairah melakukan

peliputan. Panji-panji idealisme masih dipegang. Roh idealisme

yang ditiupkan sejak di pers mahasiswa masih diemban.

Namun, tahun 2012 merupakan titik balik baginya. Mulai saat

itu David dipindahkan oleh pemimpin redaksinya meliput berita

hukum, dari yang sebelumnya di bagian umum dan pendidikan.

Selama meliput di bagian hukum inilah ia harus terpaksa

dan “dipaksa” menggantungkan idealisme sebagai seorang

jurnalis. Pada saat ia ditempatkan di bagian hukum, ada kasus

besar soal korupsi yang menyeret seorang pejabat penting di

pemerintahan kota ini.

David semangat meliput pejabat Pemerintah Kota

Semarang yang tersandung kasus suap ini. Kasus itu menyeret

dua anggota legislatif, Sekretaris Daerah (Sekda), dan Wali Kota.

Persidangannya tidak dijadikan satu. Untuk dua anggota

legislatif persidangannya dijadikan satu, sedangkan Sekda dan

Wali Kota dilakukan secara terpisah.

Pada saat Sekda sebagai terdakwa, Wali Kota masih

sebagai saksi saat persidangan dan digelar di Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang. Dalam perkembangannya,

kasus Wali Kota ditetapkan menjadi tersangka oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sering dimuat tidak utuh

Awal-awal persidangan dengan terdakwa Sekda, David

masih biasa saja menulis liputannya. Berita juga dimuat

sebagaimana yang ia tulis. Namun saat Wali Kota dihadirkan

sebagai saksi dalam persidangan itu, mulai ada masalah. Berita

sering tidak dimuat secara utuh oleh redaksi, bahkan ada yang

tidak dimuat ketika dia menulis berita yang isinya melibatkan

Wali Kota.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

10 11

Pada suatu kesempatan, David diundang ke ruang kepala

redaksi media tempat ia bekerja. “Saya diomongi oleh Pemred

(pemimpin redaksi). Dia bilang kalau nulis berita soal kasus

korupsi Wali Kota yang halus-halus saja, karena dia juga pernah

membantu membesarkan koran kita, dia sering pasang iklan di

koran kita,” ujar David.

Keluar dari ruangan itu, emosi David mulai membuncah.

Hati nuraninya menghadapi dilema. Ia tidak tahu harus marah

kepada siapa. Satu sisi ingin keluar dari media itu, di sisi lain ia

harus menghidupi istri dan anaknya.

Setelah berpikir panjang, akhirnya David mengambil

pilihan tetap bekerja di media tersebut. Ia juga masih tetap

menulis berita kasus korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat

pemerintah Kota Semarang. Walaupun yang ditayangkan agak

berbeda dari yang ia tulis, terutama berita yang menyangkut

pejabat pemerintah tersebut. “Saat ada persidangan kasus

korupsi Wali Kota, berita saya banyak yang tidak dimuat,” ujar

dia.

Dalam menuliskan berita persidangan kasus korupsi

pejabat itu, ia selalu mencoba menuliskannya secara berimbang

dengan fakta-fakta persidangan. Namun yang dimuat ternyata

tidak utuh. Terutama fakta-fakta persidangan yang

memberatkan pejabat itu. “Saya share dengan wartawan lain

yang meliput di hukum di media lokal Semarang, ternyata

mereka juga mengalami hal serupa,” ujar David.

Intervensi yang diterima dalam kasus itu tidak hanya

dari dalam kantor sendiri, tapi juga berasal dari orang-orang

dekat pejabat pemerintah. Seringkali David ditelepon bahkan

didatangi orang dekat pejabat agar mau menghaluskan dan

mengamankan pemberitaannya. “Saya jawab saja, itu urusan

kantor, tugasku hanya nulis, silakan ke kantor saja,” katanya.

David merasa diintervensi dalam kasus itu dari awal

hingga akhir, bahkan sampai pejabat tersebut disidangkan di

Jakarta. Ia mengaku kecewa dengan banyaknya campur tangan.

Meskipun demikian, ia tidak bisa melakukan protes terhadap

pemimpin redaksi, karena ia juga masih membutuhkan kerja

untuk menghidupi keluarga.

Selain kasus tersebut, ketika ia meliput di pengadilan

juga kadang mendapatkan intervensi dari para narasumber yang

dekat dengan terdakwa. Intervensi itu terkadang dari pejabat

kadang juga pengusaha. Intervensi biasanya muncul pada kasus-

kasus korupsi karena menyangkut nama baik. Orang-orang itu

biasanya menemui langsung para wartawan. “Mereka minta

beritanya dibaik-baikkan, minta beritanya dari perspektif

terdakwa saja,” ujar David.

Intervensi itu, lanjut dia, kadang hanya berupa

permintaan secara lisan, terkadang juga berupa uang. Bahkan

pernah dalam kasus korupsi yang melibatkan sebuah

perusahaan di Jakarta, yang menggarap proyek di pemerintahan

Kota Semarang ia dan wartawan lainnya diminta menyebutkan

angka rupiah yang dikehendaki agar tidak memuat berita pada

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

12 13

Pada suatu kesempatan, David diundang ke ruang kepala

redaksi media tempat ia bekerja. “Saya diomongi oleh Pemred

(pemimpin redaksi). Dia bilang kalau nulis berita soal kasus

korupsi Wali Kota yang halus-halus saja, karena dia juga pernah

membantu membesarkan koran kita, dia sering pasang iklan di

koran kita,” ujar David.

Keluar dari ruangan itu, emosi David mulai membuncah.

Hati nuraninya menghadapi dilema. Ia tidak tahu harus marah

kepada siapa. Satu sisi ingin keluar dari media itu, di sisi lain ia

harus menghidupi istri dan anaknya.

Setelah berpikir panjang, akhirnya David mengambil

pilihan tetap bekerja di media tersebut. Ia juga masih tetap

menulis berita kasus korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat

pemerintah Kota Semarang. Walaupun yang ditayangkan agak

berbeda dari yang ia tulis, terutama berita yang menyangkut

pejabat pemerintah tersebut. “Saat ada persidangan kasus

korupsi Wali Kota, berita saya banyak yang tidak dimuat,” ujar

dia.

Dalam menuliskan berita persidangan kasus korupsi

pejabat itu, ia selalu mencoba menuliskannya secara berimbang

dengan fakta-fakta persidangan. Namun yang dimuat ternyata

tidak utuh. Terutama fakta-fakta persidangan yang

memberatkan pejabat itu. “Saya share dengan wartawan lain

yang meliput di hukum di media lokal Semarang, ternyata

mereka juga mengalami hal serupa,” ujar David.

Intervensi yang diterima dalam kasus itu tidak hanya

dari dalam kantor sendiri, tapi juga berasal dari orang-orang

dekat pejabat pemerintah. Seringkali David ditelepon bahkan

didatangi orang dekat pejabat agar mau menghaluskan dan

mengamankan pemberitaannya. “Saya jawab saja, itu urusan

kantor, tugasku hanya nulis, silakan ke kantor saja,” katanya.

David merasa diintervensi dalam kasus itu dari awal

hingga akhir, bahkan sampai pejabat tersebut disidangkan di

Jakarta. Ia mengaku kecewa dengan banyaknya campur tangan.

Meskipun demikian, ia tidak bisa melakukan protes terhadap

pemimpin redaksi, karena ia juga masih membutuhkan kerja

untuk menghidupi keluarga.

Selain kasus tersebut, ketika ia meliput di pengadilan

juga kadang mendapatkan intervensi dari para narasumber yang

dekat dengan terdakwa. Intervensi itu terkadang dari pejabat

kadang juga pengusaha. Intervensi biasanya muncul pada kasus-

kasus korupsi karena menyangkut nama baik. Orang-orang itu

biasanya menemui langsung para wartawan. “Mereka minta

beritanya dibaik-baikkan, minta beritanya dari perspektif

terdakwa saja,” ujar David.

Intervensi itu, lanjut dia, kadang hanya berupa

permintaan secara lisan, terkadang juga berupa uang. Bahkan

pernah dalam kasus korupsi yang melibatkan sebuah

perusahaan di Jakarta, yang menggarap proyek di pemerintahan

Kota Semarang ia dan wartawan lainnya diminta menyebutkan

angka rupiah yang dikehendaki agar tidak memuat berita pada

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

12 13

setiap persidangan. Perusahaan tersebut menginginkan agar

nama baiknya terjaga.

“Saya bilang, kalau soal itu saya tidak berani, karena saya

hanya orang lapangan, saya minta bilang aja ke redaksi. Dia

bilangnya cuma ya-ya saja, tapi perkembangannya tidak tahu,

kasusnya tetap saya tulis. Kasus ini melibatkan pejabat

pemerintah,” beber David.

Kata David, permintaan-permintaan itu tidak

berpengaruh dalam sisi penulisannya. Fakta di persidangan

tetap ia tulis. Ia juga memberikan porsi pemberitaan kepada

terdakwa demi keseimbangan. “Walaupun tidak dapat uang juga

tetap saya tulis,” kata wartawan muda ini.

Menurut David, peliputan di bidang hukum yang rawan

diintervensi adalah pengadilan pejabat yang terkena korupsi

karena kasusnya biasanya berkaitan dengan pihak-pihak lain.

Sebelum peliputan di bidang hukum, David pernah

ditempatkan sebagai wartawan floating.* Di bidang ini ia sering

menulis berita-berita lapangan yang berhubungan dengan

kebijakan pemerintah daerah setempat. Pernah ia beberapa kali

mendapatkan intervensi dari pihak pemerintah kota. Misalnya

saat ia menulis kondisi kekumuhan kota dan banjir, ia tidak

boleh meliput soal berita itu dulu karena masih ada penilaian

untuk pemberian penghargaan Adipura. Lagi-lagi ia juga tidak

bisa berbuat banyak karena memang medianya sering

mendapatkan iklan dari pemerintah daerah.

Iklan pemerintah daerah

Diakui David, medianya memang banyak mendapatkan

iklan dari pemerintah daerah untuk menjalankan roda

operasional perusahaan, meskipun sebelumnya manajemen

pusat di kelompok media tersebut mengingatkan agar tidak

banyak menerima iklan dari pemerintah daerah. Dikhawatirkan,

kalau pemerintah ada masalah, medianya tidak bisa berbuat

banyak. “Nyatanya anjuran itu tidak dilaksanakan,” ujar dia.

Sudah berulangkali David merasa diintervensi oleh

internal medianya. Belum lama ini ia menulis berita dari siaran

pers Panwaslu yang berisi partai politik belum boleh memasang

iklan di media dalam jangka waktu tertentu sesuai jadwal

tahapan Pemilu. Malam harinya ia ditelepon oleh pemimpin

redaksinya. “Pemred saya bilang, kalau tidak boleh iklan di

media, kamu mau makan apa, kan gajimu sumbernya juga dari

iklan,” ujarnya menirukan ucapan bosnya.

Usai mendapatkan telepon itu, ia kesal. Sebab, ia merasa

tidak ada yang salah dari isi tulisan beritanya. Larangan beriklan

di media itu tidak bersifat tetap, tapi sesuai dengan waktunya.

Pada pagi harinya, berita tetap tidak dimuat. Ia tidak berani

protes, ia hanya mengeluh dalam diam.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

14 15

*Floating adalah wartawan yang wilayah liputannya umum, tidak spesifik di bidang tertentu

setiap persidangan. Perusahaan tersebut menginginkan agar

nama baiknya terjaga.

“Saya bilang, kalau soal itu saya tidak berani, karena saya

hanya orang lapangan, saya minta bilang aja ke redaksi. Dia

bilangnya cuma ya-ya saja, tapi perkembangannya tidak tahu,

kasusnya tetap saya tulis. Kasus ini melibatkan pejabat

pemerintah,” beber David.

Kata David, permintaan-permintaan itu tidak

berpengaruh dalam sisi penulisannya. Fakta di persidangan

tetap ia tulis. Ia juga memberikan porsi pemberitaan kepada

terdakwa demi keseimbangan. “Walaupun tidak dapat uang juga

tetap saya tulis,” kata wartawan muda ini.

Menurut David, peliputan di bidang hukum yang rawan

diintervensi adalah pengadilan pejabat yang terkena korupsi

karena kasusnya biasanya berkaitan dengan pihak-pihak lain.

Sebelum peliputan di bidang hukum, David pernah

ditempatkan sebagai wartawan floating.* Di bidang ini ia sering

menulis berita-berita lapangan yang berhubungan dengan

kebijakan pemerintah daerah setempat. Pernah ia beberapa kali

mendapatkan intervensi dari pihak pemerintah kota. Misalnya

saat ia menulis kondisi kekumuhan kota dan banjir, ia tidak

boleh meliput soal berita itu dulu karena masih ada penilaian

untuk pemberian penghargaan Adipura. Lagi-lagi ia juga tidak

bisa berbuat banyak karena memang medianya sering

mendapatkan iklan dari pemerintah daerah.

Iklan pemerintah daerah

Diakui David, medianya memang banyak mendapatkan

iklan dari pemerintah daerah untuk menjalankan roda

operasional perusahaan, meskipun sebelumnya manajemen

pusat di kelompok media tersebut mengingatkan agar tidak

banyak menerima iklan dari pemerintah daerah. Dikhawatirkan,

kalau pemerintah ada masalah, medianya tidak bisa berbuat

banyak. “Nyatanya anjuran itu tidak dilaksanakan,” ujar dia.

Sudah berulangkali David merasa diintervensi oleh

internal medianya. Belum lama ini ia menulis berita dari siaran

pers Panwaslu yang berisi partai politik belum boleh memasang

iklan di media dalam jangka waktu tertentu sesuai jadwal

tahapan Pemilu. Malam harinya ia ditelepon oleh pemimpin

redaksinya. “Pemred saya bilang, kalau tidak boleh iklan di

media, kamu mau makan apa, kan gajimu sumbernya juga dari

iklan,” ujarnya menirukan ucapan bosnya.

Usai mendapatkan telepon itu, ia kesal. Sebab, ia merasa

tidak ada yang salah dari isi tulisan beritanya. Larangan beriklan

di media itu tidak bersifat tetap, tapi sesuai dengan waktunya.

Pada pagi harinya, berita tetap tidak dimuat. Ia tidak berani

protes, ia hanya mengeluh dalam diam.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

14 15

*Floating adalah wartawan yang wilayah liputannya umum, tidak spesifik di bidang tertentu

ENJADI pemimpin redaksi bagi lelaki berwajah

tegas itu, sebut saja Awok (nama samaran), adalah Mamanah sekaligus beban. Karena, selain harus

mampu membawa arah dan tujuan media yang diterbitkan, ia

juga bertanggungjawab terhadap isi berita setiap harinya kepada

publik. Tanggungjawab kepada perusahaan pun juga ada di

pundaknya agar media terus berkembang dan hidup.

Pengalaman menjadi jurnalis telah dilakoninya sejak

belasan tahun lalu. Tulisan tentang features* pun sering muncul

kala itu. “Ya saya senang menulis features, terutama masalah

yang unik di masyarakat,” katanya mengawali obrolan pada

suatu malam di ruang kerjanya.

Baginya, idealisme adalah prinsip yang harus dipegang

kapan saja dan dimana saja. Hal itu pun ia terapkan ketika masih

sebagai pemburu berita hingga menduduki jabatan tertinggi di

bidang jurnalistik.

“Tekanan, di mana pun tetap ada. Apalagi, anda tahu

sendiri, media ini seperti apa. Keberpihakan kepada pemerintah

yang sedang berkuasa tentu harus dilakukan. Belum lagi soal

relasi sang pemilik, ini yang menurut saya harus mendapat

porsi,” katanya.

Tekanan itu Selalu Ada

AJI Semarang

*Features adalah berita dengan gaya penulisan berkisah tentang fakta tertentu yang menarik imajinasi pembaca untuk masuk ke tema yang dibahas. Bentuk tulisan features tidak terpaku pada bentuk piramida terbalik. Justru mengharapkan pembaca mengikuti dengan seksama dari awal hingga akhir.

Sudah hampir empat tahun ia bekerja di media tersebut.

Selama itu pula ia harus sering berkompromi terhadap keadaan.

“Orientasi saya dulu jadi wartawan karena saya menganggap

media itu bisa menjadi penyambung rasa warga, media bisa

menjadi penengah antara warga dengan penguasa. Ternyata

praktik di lapangan berbeda. Ternyata di lapangan ambyar*

semua,” ujarnya.

David sadar, media ternyata bukan tempat bersemayam

idealisme, tapi juga kepentingan bisnis. Dalam sehari ia menulis

berita minimal tiga dan tidak jarang ia menulis empat sampai

lima berita. Total gaji yang ia terima dalam sebulan rata-rata

Rp1,7 juta. “Kalau ditanya cukup atau tidak, ya tidak cukup, kami

sekeluarga mencukup-cukupkan,” katanya. Apakah dengan gaji

senilai itu sudah bisa membuat anda profesional? “Saya kira

belum,” pungkasnya.

* * *

16 17

*Hancur lebur.

ENJADI pemimpin redaksi bagi lelaki berwajah

tegas itu, sebut saja Awok (nama samaran), adalah Mamanah sekaligus beban. Karena, selain harus

mampu membawa arah dan tujuan media yang diterbitkan, ia

juga bertanggungjawab terhadap isi berita setiap harinya kepada

publik. Tanggungjawab kepada perusahaan pun juga ada di

pundaknya agar media terus berkembang dan hidup.

Pengalaman menjadi jurnalis telah dilakoninya sejak

belasan tahun lalu. Tulisan tentang features* pun sering muncul

kala itu. “Ya saya senang menulis features, terutama masalah

yang unik di masyarakat,” katanya mengawali obrolan pada

suatu malam di ruang kerjanya.

Baginya, idealisme adalah prinsip yang harus dipegang

kapan saja dan dimana saja. Hal itu pun ia terapkan ketika masih

sebagai pemburu berita hingga menduduki jabatan tertinggi di

bidang jurnalistik.

“Tekanan, di mana pun tetap ada. Apalagi, anda tahu

sendiri, media ini seperti apa. Keberpihakan kepada pemerintah

yang sedang berkuasa tentu harus dilakukan. Belum lagi soal

relasi sang pemilik, ini yang menurut saya harus mendapat

porsi,” katanya.

Tekanan itu Selalu Ada

AJI Semarang

*Features adalah berita dengan gaya penulisan berkisah tentang fakta tertentu yang menarik imajinasi pembaca untuk masuk ke tema yang dibahas. Bentuk tulisan features tidak terpaku pada bentuk piramida terbalik. Justru mengharapkan pembaca mengikuti dengan seksama dari awal hingga akhir.

Sudah hampir empat tahun ia bekerja di media tersebut.

Selama itu pula ia harus sering berkompromi terhadap keadaan.

“Orientasi saya dulu jadi wartawan karena saya menganggap

media itu bisa menjadi penyambung rasa warga, media bisa

menjadi penengah antara warga dengan penguasa. Ternyata

praktik di lapangan berbeda. Ternyata di lapangan ambyar*

semua,” ujarnya.

David sadar, media ternyata bukan tempat bersemayam

idealisme, tapi juga kepentingan bisnis. Dalam sehari ia menulis

berita minimal tiga dan tidak jarang ia menulis empat sampai

lima berita. Total gaji yang ia terima dalam sebulan rata-rata

Rp1,7 juta. “Kalau ditanya cukup atau tidak, ya tidak cukup, kami

sekeluarga mencukup-cukupkan,” katanya. Apakah dengan gaji

senilai itu sudah bisa membuat anda profesional? “Saya kira

belum,” pungkasnya.

* * *

16 17

*Hancur lebur.

Awok pun mengisahkan awal menjabat sebagai

pemimpin redaksi sebuah media yang sebagian sahamnya milik

salah satu media besar dan sebagian lainnya milik seorang

politisi. Baru beberapa hari mengemban amanah, ia harus

“diuji” ketika sang pemilik saham berurusan dengan hukum.

“Mau tak mau, kami harus memberitakan.Itu kewajiban

jurnalis. Tapi, porsinya memang lebih kecil. Kalau di media lain,

menjadi berita besar. Dan saya kira, ini wajar dan berlaku di

semua media manapun dan di mana pun. Sekelas media yang

paling kritis sekalipun, ketika relasi sang pemilik media, atau

bahkan pemilik saham media itu sedang bermasalah, pasti juga

akan diupayakan untuk tidak keluar atau kalau keluar, hanya di

halaman pojok,” paparnya.

Ia juga mengaku, pada kasus-kasus tertentu pihaknya

diberikan keleluasaan. Misalnya dalam mengkritik kebijakan

gubernur. Pemberitaan tetap proporsional, dan sama sekali

tidak ada intervensi.

Tuntutan upah buruh misalnya, medianya juga tetap

mengkritisi kebijakan dari pemerintah. Pembelaan itu jelas

dilakukan oleh media kepada masyarakat. Ketika itu

menyangkut Iriani, atau Ketua DPRD Grobogan, kita juga tetap

membuatnya. Dan tidak semua berita mendapat intervensi.

Memperdalam masalah dari sudut manapun juga tidak masalah.

Kasus kepala daerah yang terlibat korupsi jadi berita utama.

Rembang, Karanganyar, Sragen.

Ia juga menjelaskan, tekanan selain sering dari pemilik

media juga sering datang dari narasumber. Narasumber

menilai, media yang ia pimpin memiliki kepentingan dibalik

pertanyaan yang disampaikan oleh sang wartawan. “Ketika

wartawan konfirmasi, dituduh macam-macam. Padahal, misi

media adalah menyuarakan kepentingan masyarakat yang luas.

kritik kepada pemangku kebijakan pun dalam rangka

memberikan dorongan agar dapat bekerja lebih baik. Kami pun

memberikan semangat dan pesan kepada wartawan di lapangan,

agar tetap bekerja sesuai kode dan kaidah etik jurnalistik,”

katanya.

Kepentingan Perusahaan

Awok melanjutkan kisahnya sembari tangan kanannya

memegang ponsel dan di jari tangan kirinya terselip sebatang

rokok. “Mau tidak mau, kebijakan memasang berita kasus yang

melibatkan pemilik atau relasi, selalu saya diskusikan dengan

kawan-kawan di lapangan dan mereka yang di meja editor. Saya

share semuanya. Kalau ada kawan lapangan yang membuat

berita itu terlalu panjang, kami pun mendiskusikan bagaimana

kalau menuliskannya kembali secara ringkas dan tidak terlalu

menohok. Di sisi lain, kepentingan perusahaan kan harus kita

hormati dan jalankan,” jelasnya.

Tak jarang, kata dia, ketika berita “kasus” itu muncul

meskipun hanya kecil, selalu menjadi bahan evaluasi ketika

rapat pada pagi harinya. Baik rapat redaksi ataupun dengan

jurnalis di lapangan.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

18 19

Awok pun mengisahkan awal menjabat sebagai

pemimpin redaksi sebuah media yang sebagian sahamnya milik

salah satu media besar dan sebagian lainnya milik seorang

politisi. Baru beberapa hari mengemban amanah, ia harus

“diuji” ketika sang pemilik saham berurusan dengan hukum.

“Mau tak mau, kami harus memberitakan.Itu kewajiban

jurnalis. Tapi, porsinya memang lebih kecil. Kalau di media lain,

menjadi berita besar. Dan saya kira, ini wajar dan berlaku di

semua media manapun dan di mana pun. Sekelas media yang

paling kritis sekalipun, ketika relasi sang pemilik media, atau

bahkan pemilik saham media itu sedang bermasalah, pasti juga

akan diupayakan untuk tidak keluar atau kalau keluar, hanya di

halaman pojok,” paparnya.

Ia juga mengaku, pada kasus-kasus tertentu pihaknya

diberikan keleluasaan. Misalnya dalam mengkritik kebijakan

gubernur. Pemberitaan tetap proporsional, dan sama sekali

tidak ada intervensi.

Tuntutan upah buruh misalnya, medianya juga tetap

mengkritisi kebijakan dari pemerintah. Pembelaan itu jelas

dilakukan oleh media kepada masyarakat. Ketika itu

menyangkut Iriani, atau Ketua DPRD Grobogan, kita juga tetap

membuatnya. Dan tidak semua berita mendapat intervensi.

Memperdalam masalah dari sudut manapun juga tidak masalah.

Kasus kepala daerah yang terlibat korupsi jadi berita utama.

Rembang, Karanganyar, Sragen.

Ia juga menjelaskan, tekanan selain sering dari pemilik

media juga sering datang dari narasumber. Narasumber

menilai, media yang ia pimpin memiliki kepentingan dibalik

pertanyaan yang disampaikan oleh sang wartawan. “Ketika

wartawan konfirmasi, dituduh macam-macam. Padahal, misi

media adalah menyuarakan kepentingan masyarakat yang luas.

kritik kepada pemangku kebijakan pun dalam rangka

memberikan dorongan agar dapat bekerja lebih baik. Kami pun

memberikan semangat dan pesan kepada wartawan di lapangan,

agar tetap bekerja sesuai kode dan kaidah etik jurnalistik,”

katanya.

Kepentingan Perusahaan

Awok melanjutkan kisahnya sembari tangan kanannya

memegang ponsel dan di jari tangan kirinya terselip sebatang

rokok. “Mau tidak mau, kebijakan memasang berita kasus yang

melibatkan pemilik atau relasi, selalu saya diskusikan dengan

kawan-kawan di lapangan dan mereka yang di meja editor. Saya

share semuanya. Kalau ada kawan lapangan yang membuat

berita itu terlalu panjang, kami pun mendiskusikan bagaimana

kalau menuliskannya kembali secara ringkas dan tidak terlalu

menohok. Di sisi lain, kepentingan perusahaan kan harus kita

hormati dan jalankan,” jelasnya.

Tak jarang, kata dia, ketika berita “kasus” itu muncul

meskipun hanya kecil, selalu menjadi bahan evaluasi ketika

rapat pada pagi harinya. Baik rapat redaksi ataupun dengan

jurnalis di lapangan.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

18 19

Pengalaman mendapatkan tekanan dari atasan langsung

atau bahkan sang pemilik media juga menjadi pengalaman yang

dirasakan pahit oleh Yoyok, jurnalis yang biasa ngepos di Kantor

Gubernur Jawa Tengah.

Menurutnya, idealisme jurnalis saat ini telah

tergadaikan oleh materi. Tekanan perusahaan media kepada

“buruh” medianya, semakin memperparah kondisi ini.

Idealisme telah menjadi barang langka yang lambat laun tertelan

gelombang kehidupan.

Posisi jurnalis bukan hanya ternoda dengan “amplop-

amplop” yang berserakan di sekeliling mereka, tapi juga ternista

oleh perilaku perusahaan-perusahaan media yang hanya

memikirkan keuntungan. Hak rakyat mendapatkan informasi

terkebiri. Demi iklan, perusahaan menekan jurnalis untuk

menulis berita santun khusus pada pejabat/instansi tertentu.

“Konsep ideal sesuai Kode Etik Jurnalistik (KEJ) hanya

bisa diterapkan jika ada dukungan dari perusahaan media.

Tanpanya akan sulit karena posisi tawar wartawan yang lemah.

Banyak perusahaan media tidak menghargai wartawan sebagai

profesi yang memiliki kode etik. Perusahaan hanya menganggap

wartawannya adalah karyawan semata yang harus mengikuti

instruksi pimpinannya, meskipun menabrak KEJ,” paparnya.

Menghentikan Berita

Yoyok pun kemudian berbagi pengalaman atas tekanan

dari atasannya. Pengalaman intervensi paling sering ia alami

adalah menghentikan berita yang tidak sesuai dengan

kepentingan pemilik media atau oknum di redaksi.

“Kasus dana bansos APBD 2011, misalnya, atau geger

dana aspirasi APBD 2014 yang rekamannya bocor kemarin.

Bentuk lain misalnya, ketika sedang menulis tiba-tiba mendapat

instruksi untuk mengarahkan tulisan ke sudut pandang tertentu

dan menghilangkan nama atau subjek tertentu,” paparnya.

Ada lagi, menurut Yoyok, yang juga merupakan

intervensi adalah tugas-tugas menumpuk dari redaksi yang ia

curigai sebagai upaya pengalihan perhatian. Jurnalis diberi

banyak tugas setiap hari agar tidak sempat mencari berita yang

mengganggu “konco-konco” pemilik media. Intervensi itu pun

menurutnya tidak hanya merugikan publik, tapi juga

melemahkan semangat jurnalis.

“Jika tak ingin mental melemah, jiwa terganggu, dan

menjadi pesimis, satu-satunya cara ya tinggal pintar-pintarnya

memainkan tempo. Jika ada berita yang berpotensi melibatkan

pihak yang dekat dengan pemilik media atau oknum redaksi,

harus dipilah waktu yang tepat untuk menulisnya. Cari data yang

lengkap dan pada waktu yang tepat langsung geber dalam

beberapa hari kemudian diakhiri dengan konfirmasi kejaksaan

atau kepolisian,” jelasnya.

Saat ini, kata dia, penegak hukum banyak mencari kasus

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

20 21

Pengalaman mendapatkan tekanan dari atasan langsung

atau bahkan sang pemilik media juga menjadi pengalaman yang

dirasakan pahit oleh Yoyok, jurnalis yang biasa ngepos di Kantor

Gubernur Jawa Tengah.

Menurutnya, idealisme jurnalis saat ini telah

tergadaikan oleh materi. Tekanan perusahaan media kepada

“buruh” medianya, semakin memperparah kondisi ini.

Idealisme telah menjadi barang langka yang lambat laun tertelan

gelombang kehidupan.

Posisi jurnalis bukan hanya ternoda dengan “amplop-

amplop” yang berserakan di sekeliling mereka, tapi juga ternista

oleh perilaku perusahaan-perusahaan media yang hanya

memikirkan keuntungan. Hak rakyat mendapatkan informasi

terkebiri. Demi iklan, perusahaan menekan jurnalis untuk

menulis berita santun khusus pada pejabat/instansi tertentu.

“Konsep ideal sesuai Kode Etik Jurnalistik (KEJ) hanya

bisa diterapkan jika ada dukungan dari perusahaan media.

Tanpanya akan sulit karena posisi tawar wartawan yang lemah.

Banyak perusahaan media tidak menghargai wartawan sebagai

profesi yang memiliki kode etik. Perusahaan hanya menganggap

wartawannya adalah karyawan semata yang harus mengikuti

instruksi pimpinannya, meskipun menabrak KEJ,” paparnya.

Menghentikan Berita

Yoyok pun kemudian berbagi pengalaman atas tekanan

dari atasannya. Pengalaman intervensi paling sering ia alami

adalah menghentikan berita yang tidak sesuai dengan

kepentingan pemilik media atau oknum di redaksi.

“Kasus dana bansos APBD 2011, misalnya, atau geger

dana aspirasi APBD 2014 yang rekamannya bocor kemarin.

Bentuk lain misalnya, ketika sedang menulis tiba-tiba mendapat

instruksi untuk mengarahkan tulisan ke sudut pandang tertentu

dan menghilangkan nama atau subjek tertentu,” paparnya.

Ada lagi, menurut Yoyok, yang juga merupakan

intervensi adalah tugas-tugas menumpuk dari redaksi yang ia

curigai sebagai upaya pengalihan perhatian. Jurnalis diberi

banyak tugas setiap hari agar tidak sempat mencari berita yang

mengganggu “konco-konco” pemilik media. Intervensi itu pun

menurutnya tidak hanya merugikan publik, tapi juga

melemahkan semangat jurnalis.

“Jika tak ingin mental melemah, jiwa terganggu, dan

menjadi pesimis, satu-satunya cara ya tinggal pintar-pintarnya

memainkan tempo. Jika ada berita yang berpotensi melibatkan

pihak yang dekat dengan pemilik media atau oknum redaksi,

harus dipilah waktu yang tepat untuk menulisnya. Cari data yang

lengkap dan pada waktu yang tepat langsung geber dalam

beberapa hari kemudian diakhiri dengan konfirmasi kejaksaan

atau kepolisian,” jelasnya.

Saat ini, kata dia, penegak hukum banyak mencari kasus

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

20 21

khir Januari 2012 merupakan hari-hari pahit bagi

Herman. Panggil dia begitu saja. Jurnalis salah satu Amedia lokal yang berjejaring bisnis nasional itu terkejut

oleh panggilan telepon genggamnya dari seorang petinggi militer

di Kota Semarang. Suaranya halus tapi kental dengan tekanan.

“Kenapa harus menulis itu?” kata Herman menirukan kejadian

yang ia alami kala itu.

Pengalaman Herman tadi, saat ditemui pertengahan

Oktober 2013, merupakan salah satu kisah intervensi yang ia

alami. Anehnya intervensi dalam kerja-kerja jurnalistik itu

melibatkan pejabat aparatur tentara nasional yang tak terkait

dengan persoalan teritorial di Kota Semarang.

“Ia seorang komandan daerah militer. Sengaja ia

menghubungi dan menanyakan alokasi dana BOS yang salah

sasaran. Padahal itu wilayah dinas pendidikan,” kata Herman

bercerita.

Saat itu Herman menulis kasus dugaan penyelewengan

dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk pembelian

Lembar Kerja Sekolah (LKS). Kasus itu menarik diberitakan

karena menyangkut kepentingan publik khususnya dunia

pendidikan. Di sisi lain penggunaan anggaran dinilai melanggar

regulasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 76

Tahun 2012 yang melarang dana BOS untuk keperluan membeli

Menulis di Bawah Tekanan

AJI Semarang

22 23

dari media. Jurnalis pun bisa bersiasat. “Jadi meskipun berita

dihentikan, jangan patah arang karena yakinlah kasus itu telah

menjadi perhatian penegak hukum. Suatu saat bisa bikin berita

itu lagi setelah kasusnya masuk tahap penyelidikan atau bahkan

penetapan tersangka,” tegasnya.

* * *

khir Januari 2012 merupakan hari-hari pahit bagi

Herman. Panggil dia begitu saja. Jurnalis salah satu Amedia lokal yang berjejaring bisnis nasional itu terkejut

oleh panggilan telepon genggamnya dari seorang petinggi militer

di Kota Semarang. Suaranya halus tapi kental dengan tekanan.

“Kenapa harus menulis itu?” kata Herman menirukan kejadian

yang ia alami kala itu.

Pengalaman Herman tadi, saat ditemui pertengahan

Oktober 2013, merupakan salah satu kisah intervensi yang ia

alami. Anehnya intervensi dalam kerja-kerja jurnalistik itu

melibatkan pejabat aparatur tentara nasional yang tak terkait

dengan persoalan teritorial di Kota Semarang.

“Ia seorang komandan daerah militer. Sengaja ia

menghubungi dan menanyakan alokasi dana BOS yang salah

sasaran. Padahal itu wilayah dinas pendidikan,” kata Herman

bercerita.

Saat itu Herman menulis kasus dugaan penyelewengan

dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk pembelian

Lembar Kerja Sekolah (LKS). Kasus itu menarik diberitakan

karena menyangkut kepentingan publik khususnya dunia

pendidikan. Di sisi lain penggunaan anggaran dinilai melanggar

regulasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 76

Tahun 2012 yang melarang dana BOS untuk keperluan membeli

Menulis di Bawah Tekanan

AJI Semarang

22 23

dari media. Jurnalis pun bisa bersiasat. “Jadi meskipun berita

dihentikan, jangan patah arang karena yakinlah kasus itu telah

menjadi perhatian penegak hukum. Suatu saat bisa bikin berita

itu lagi setelah kasusnya masuk tahap penyelidikan atau bahkan

penetapan tersangka,” tegasnya.

* * *

LKS.

Tulisan pun dibuat dan diterbitkan oleh media tempat ia

bekerja, diantaranya komentar wakil ketua Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah dalam berita “Penyidik Dituntut Temukan Titik

Terang”. Tulisan itu berisi dorongan agar kepolisian segera

menuntaskan dugaan penyimpangan penggunaan dana BOS.

Tulisan terus dibikin sebagai tulisan lanjutan pun dibuat

agar publik kian paham. Herman pun menulis berita“Dewan

Pendidikan: Pengadaan Buku Latihan UN Bukan

Penyelewengan” yang menjelaskan klarifikasi kebijakan

pembelian. Dewan Pendidikan Kota Semarang menganggap

pengadaan buku yang berisi kisi-kisi Ujian Nasional (UN) untuk

SD/MI itu tak menyalahi prosedur.

Secara umum tulisan yang dimaksud berisi dorongan

tanggung jawab publik, pengusutan hingga mengurai akar

persoalan mengenai pro-kontra penggunaan dana BOS.

Termasuk dengan Ketua Dewan Pendidikan Kota Semarang,

Rasdi Ekosiswoyo, yang diduga kuat menyetujui dan ikut

bermain dalam proses pengadaan buku.

Tekanan dari Tentara

Namun dari situ persoalan intervensi terus muncul.

Herman pun mulai tak nyaman dengan beragam tekanan,

termasuk dari aparatur Komando Distrik Militer setempat

seperti yang ia ceritakan pada awal wawancara.

Lebih dari itu, ternyata salah satu sumber yang merasa

keberatan ditulis mengadukan Herman ke wakil ketua DPRD

Kota Semarang. Sumber ini meminta agar kasus itu tak terus

diulas dalam pemberitaan.

Tak realistis memang, namun itu sebuah fakta ketika

wartawan harus menghadapi intervensi dari sejumlah aparatur,

baik dari lembaga Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan

legislatif. Ketika ditelusuri, intervensi sejumlah pejabat itu

ternyata didasari ikatan emosional karena sama-sama sebagai

penyelenggara dan aparatur pemerintahan.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

24 25

LKS.

Tulisan pun dibuat dan diterbitkan oleh media tempat ia

bekerja, diantaranya komentar wakil ketua Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah dalam berita “Penyidik Dituntut Temukan Titik

Terang”. Tulisan itu berisi dorongan agar kepolisian segera

menuntaskan dugaan penyimpangan penggunaan dana BOS.

Tulisan terus dibikin sebagai tulisan lanjutan pun dibuat

agar publik kian paham. Herman pun menulis berita“Dewan

Pendidikan: Pengadaan Buku Latihan UN Bukan

Penyelewengan” yang menjelaskan klarifikasi kebijakan

pembelian. Dewan Pendidikan Kota Semarang menganggap

pengadaan buku yang berisi kisi-kisi Ujian Nasional (UN) untuk

SD/MI itu tak menyalahi prosedur.

Secara umum tulisan yang dimaksud berisi dorongan

tanggung jawab publik, pengusutan hingga mengurai akar

persoalan mengenai pro-kontra penggunaan dana BOS.

Termasuk dengan Ketua Dewan Pendidikan Kota Semarang,

Rasdi Ekosiswoyo, yang diduga kuat menyetujui dan ikut

bermain dalam proses pengadaan buku.

Tekanan dari Tentara

Namun dari situ persoalan intervensi terus muncul.

Herman pun mulai tak nyaman dengan beragam tekanan,

termasuk dari aparatur Komando Distrik Militer setempat

seperti yang ia ceritakan pada awal wawancara.

Lebih dari itu, ternyata salah satu sumber yang merasa

keberatan ditulis mengadukan Herman ke wakil ketua DPRD

Kota Semarang. Sumber ini meminta agar kasus itu tak terus

diulas dalam pemberitaan.

Tak realistis memang, namun itu sebuah fakta ketika

wartawan harus menghadapi intervensi dari sejumlah aparatur,

baik dari lembaga Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan

legislatif. Ketika ditelusuri, intervensi sejumlah pejabat itu

ternyata didasari ikatan emosional karena sama-sama sebagai

penyelenggara dan aparatur pemerintahan.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

24 25

Tekanan yang dialami Herman bukan kali itu saja. Sejak

tahun 2007, terdapat belasan kasus ancaman yang muaranya

intervensi terhadap karyanya. Khususnya tulisan berisi kasus

penyelewengan yang terjadi dalam pemerintah Kota Semarang.

Bentuknya tak hanya ancaman, tapi lebih pada larangan

menulis. “Biasanya sumber-sumber terkait berita yang

melibatkan pihak terkait dan menjadi sumber utama,” kata

Herman bercerita.

Kasus yang tak jauh berbeda juga terulang saat ia

menulis maraknya peredaran film biru Luna Maya-Ariel

Peterpan, yang saat itu diakui beredar di kalangan siswa suatu

sekolah. Pengakuan adanya peredaran film sebenarnya

dilontarkan oleh wakil kepala sekolah yang juga membidangi

bagian hubungan masyarakat (humas). Namun ketika komentar

itu ditulis berdampak pada lengsernya si sumber dari jabatan

yang telah membocorkan informasi itu.

Lagi-lagi Herman diteror, sumber mengajak bertemu

dan nada mengajak berkelahi, kantor pun membela meski

sempat ditegur. “Tapi saya kan punya bukti rekaman dia,”

katanya.

Ancaman dengan segala cara yang telah dialami oleh

Herman itu jelas berdampak pada independensi berita yang

diterbitkan di medianya. Ia mengakui meski nalurinya ingin

menjalankan profesi secara benar, namun ia sempat tertekan

dan punya rasa tak tega karena bisa menyebabkan orang lengser

dari jabatannya.

Tak jarang Herman, jurnalis muda yang pernah

dipindahtugaskan di daerah terpencil ini, merasa bersalah juga

takut dengan ancaman yang pernah ia rasakan. Karena

persoalan tuntutan produktivitas berita itu, tekanan tidak hanya

lewat ancaman, namun juga cara halus lewat pemberian tip.

“Jaran” istilah yang tak asing di kalangan jurnalis Kota

Semarang. Menerima dengan pertimbangan uang merupakan

yang dicari dalam kapasitas jurnalis sebagai profesi. “Jaran”

bukan barang baru. Itu bagian dari kebiasaan dan budaya buruk

bagi sebagian besar jurnalis Semarang.

Sebagai jurnalis Herman merasa tidak nyaman dan

nuraninya terusik setiap menerima amplop berisi uang. Ia mulai

menganggap hal itu suatu kewajaran ketika menyaksikan

sejumlah rekannya juga menganggap biasa kejadian itu. Apalagi,

gajinya sebagai jurnalis, profesi yang telah ia lakoni selama

hampir lima tahun, kurang mencukupi keluarganya. Tiap bulan,

gaji ditambah tunjangan-tunjangan yang ia terima di bawah Rp 2

juta. Meski enggan menyebut nilainya, upah yang diterimanya

tidak sepadan dengan tuntutan kerjanya yang mengharuskan dia

menulis berita minimal empat tulisan per hari.

Kondisi internal keredaksian

Bercerita lebih lanjut mengenai kasus intervensi

terhadap media, Herman menyatakan tekanan tak hanya dari

sumber dan pihak luar yang merasa dipojokkan. Herman juga

merasakan kondisi internal keredaksian tak obyektif dalam

menerbitkan sebuah informasi. Ini sangat ia rasakan ketika

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

26 27

Tekanan yang dialami Herman bukan kali itu saja. Sejak

tahun 2007, terdapat belasan kasus ancaman yang muaranya

intervensi terhadap karyanya. Khususnya tulisan berisi kasus

penyelewengan yang terjadi dalam pemerintah Kota Semarang.

Bentuknya tak hanya ancaman, tapi lebih pada larangan

menulis. “Biasanya sumber-sumber terkait berita yang

melibatkan pihak terkait dan menjadi sumber utama,” kata

Herman bercerita.

Kasus yang tak jauh berbeda juga terulang saat ia

menulis maraknya peredaran film biru Luna Maya-Ariel

Peterpan, yang saat itu diakui beredar di kalangan siswa suatu

sekolah. Pengakuan adanya peredaran film sebenarnya

dilontarkan oleh wakil kepala sekolah yang juga membidangi

bagian hubungan masyarakat (humas). Namun ketika komentar

itu ditulis berdampak pada lengsernya si sumber dari jabatan

yang telah membocorkan informasi itu.

Lagi-lagi Herman diteror, sumber mengajak bertemu

dan nada mengajak berkelahi, kantor pun membela meski

sempat ditegur. “Tapi saya kan punya bukti rekaman dia,”

katanya.

Ancaman dengan segala cara yang telah dialami oleh

Herman itu jelas berdampak pada independensi berita yang

diterbitkan di medianya. Ia mengakui meski nalurinya ingin

menjalankan profesi secara benar, namun ia sempat tertekan

dan punya rasa tak tega karena bisa menyebabkan orang lengser

dari jabatannya.

Tak jarang Herman, jurnalis muda yang pernah

dipindahtugaskan di daerah terpencil ini, merasa bersalah juga

takut dengan ancaman yang pernah ia rasakan. Karena

persoalan tuntutan produktivitas berita itu, tekanan tidak hanya

lewat ancaman, namun juga cara halus lewat pemberian tip.

“Jaran” istilah yang tak asing di kalangan jurnalis Kota

Semarang. Menerima dengan pertimbangan uang merupakan

yang dicari dalam kapasitas jurnalis sebagai profesi. “Jaran”

bukan barang baru. Itu bagian dari kebiasaan dan budaya buruk

bagi sebagian besar jurnalis Semarang.

Sebagai jurnalis Herman merasa tidak nyaman dan

nuraninya terusik setiap menerima amplop berisi uang. Ia mulai

menganggap hal itu suatu kewajaran ketika menyaksikan

sejumlah rekannya juga menganggap biasa kejadian itu. Apalagi,

gajinya sebagai jurnalis, profesi yang telah ia lakoni selama

hampir lima tahun, kurang mencukupi keluarganya. Tiap bulan,

gaji ditambah tunjangan-tunjangan yang ia terima di bawah Rp 2

juta. Meski enggan menyebut nilainya, upah yang diterimanya

tidak sepadan dengan tuntutan kerjanya yang mengharuskan dia

menulis berita minimal empat tulisan per hari.

Kondisi internal keredaksian

Bercerita lebih lanjut mengenai kasus intervensi

terhadap media, Herman menyatakan tekanan tak hanya dari

sumber dan pihak luar yang merasa dipojokkan. Herman juga

merasakan kondisi internal keredaksian tak obyektif dalam

menerbitkan sebuah informasi. Ini sangat ia rasakan ketika

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

26 27

ebuah pesan singkat di Blackberry Messenger (BBM)

menyebar ke sejumlah redaktur di sebuah media lokal di SSemarang. Isinya meminta agar redaktur mengubah

sebuah kalimat langsung dalam satu berita yang telah

ditayangkan secara daring (online) ke bahasa lebih lunak pada

berita koran yang akan diterbitkan.

“Maklum sebagai pemimpin baru Ganjar kadang

keceplosan komentar,” kata seorang redaktur media itu. Saat itu

Ganjar Pranowo mengomentari Wali Kota Semarang Hendrar

Prihadi mengenai penataan baliho Kota Semarang, khususnya

di kawasan Simpang Lima. Dalam pernyataannya yang telah

dimuat dalam berita daring ada kalimat yang berbunyi “Kalau

dia punya otak”. Gubernur baru itu langsung cepat-cepat

klarifikasi agar pernyataan yang telah diterbitkan tak

dimunculkan pada penerbitan koran pada esok harinya.

BBM dari Ganjar tak hanya ditujukan ke wartawan

langsung, namun menyebar ke wakil pemimpin redaksi yang

isinya meminta agar berita dengan kalimat kasar tersebut itu

dihapus. “Keputusannya karena tak mengubah esensi berita

akhirnya dihapus dalam tayangan berita koran,” kata redaktur

itu menambahkan.

Dalam perspektif jurnalistik, sikap Gubernur Ganjar

yang meminta pengubahan kalimat yang sebelumnya

menulis laporan kasus korupsi Wali Kota Semarang, Soemarmo

Hadi Saputro saat menjalani sidang sebagai terdakwa kasus

suap anggota dewan tahun 2011. Saat menulis kasus Sumarmo,

Herman dipaksa menyampaikan fakta persidangan yang harus

diperlunak. Penulisan seperti itu tentunya menyulitkan

pembaca yang harus mengambil kesimpulan dari kasus suap

yang nyata-nyata dilakukan oleh kepala daerah. Yang terjadi

kemudian beritanya tak mengarah pada subtansi persoalan, tapi

cenderung mengambang dan tak kredibel.

Misalnya fakta persidangan yang menunjukkan

Soemarmo ikut terlibat, namun oleh redaktur justru ia diminta

agar ia menulis sudut pandang lain sehingga substansinya

kabur. Keberpihakan redaksi itu disebabkan oleh kepentingan

iklan meski dari seorang politikus dan penguasa yang wajib

hukumnya dikontrol media.

Belum lama ini ada campur tangan redaksi terkait berita

sekretaris suatu partai di tingkat Jawa Tengah. Pengurus itu

menolak pergantian antarwaktu Ketua DPRD. Redaksi

memerintahkan agar pemberitaan lebih memihak sang

sekretaris partai. “Ini urusan iklan, Bung,” kata Herman

menirukan alasan sang redaktur. Faktanya, segala cara

dipraktikkan untuk mendapatkan iklan sebagai salah satu

penopang hidup media. Meski hal itu mengintervensi ruang

pemberitaan, hal itu kini tidak dianggap tabu lagi oleh jajaran

redaksi.

* * *

Berharap Besar dari Sukses Ganjar

AJI Semarang

28 29

ebuah pesan singkat di Blackberry Messenger (BBM)

menyebar ke sejumlah redaktur di sebuah media lokal di SSemarang. Isinya meminta agar redaktur mengubah

sebuah kalimat langsung dalam satu berita yang telah

ditayangkan secara daring (online) ke bahasa lebih lunak pada

berita koran yang akan diterbitkan.

“Maklum sebagai pemimpin baru Ganjar kadang

keceplosan komentar,” kata seorang redaktur media itu. Saat itu

Ganjar Pranowo mengomentari Wali Kota Semarang Hendrar

Prihadi mengenai penataan baliho Kota Semarang, khususnya

di kawasan Simpang Lima. Dalam pernyataannya yang telah

dimuat dalam berita daring ada kalimat yang berbunyi “Kalau

dia punya otak”. Gubernur baru itu langsung cepat-cepat

klarifikasi agar pernyataan yang telah diterbitkan tak

dimunculkan pada penerbitan koran pada esok harinya.

BBM dari Ganjar tak hanya ditujukan ke wartawan

langsung, namun menyebar ke wakil pemimpin redaksi yang

isinya meminta agar berita dengan kalimat kasar tersebut itu

dihapus. “Keputusannya karena tak mengubah esensi berita

akhirnya dihapus dalam tayangan berita koran,” kata redaktur

itu menambahkan.

Dalam perspektif jurnalistik, sikap Gubernur Ganjar

yang meminta pengubahan kalimat yang sebelumnya

menulis laporan kasus korupsi Wali Kota Semarang, Soemarmo

Hadi Saputro saat menjalani sidang sebagai terdakwa kasus

suap anggota dewan tahun 2011. Saat menulis kasus Sumarmo,

Herman dipaksa menyampaikan fakta persidangan yang harus

diperlunak. Penulisan seperti itu tentunya menyulitkan

pembaca yang harus mengambil kesimpulan dari kasus suap

yang nyata-nyata dilakukan oleh kepala daerah. Yang terjadi

kemudian beritanya tak mengarah pada subtansi persoalan, tapi

cenderung mengambang dan tak kredibel.

Misalnya fakta persidangan yang menunjukkan

Soemarmo ikut terlibat, namun oleh redaktur justru ia diminta

agar ia menulis sudut pandang lain sehingga substansinya

kabur. Keberpihakan redaksi itu disebabkan oleh kepentingan

iklan meski dari seorang politikus dan penguasa yang wajib

hukumnya dikontrol media.

Belum lama ini ada campur tangan redaksi terkait berita

sekretaris suatu partai di tingkat Jawa Tengah. Pengurus itu

menolak pergantian antarwaktu Ketua DPRD. Redaksi

memerintahkan agar pemberitaan lebih memihak sang

sekretaris partai. “Ini urusan iklan, Bung,” kata Herman

menirukan alasan sang redaktur. Faktanya, segala cara

dipraktikkan untuk mendapatkan iklan sebagai salah satu

penopang hidup media. Meski hal itu mengintervensi ruang

pemberitaan, hal itu kini tidak dianggap tabu lagi oleh jajaran

redaksi.

* * *

Berharap Besar dari Sukses Ganjar

AJI Semarang

28 29

disampaikan itu wajar saja. Itu bagian dari klarifikasi dan

penjelasan sebagai hak jawab dia yang diberitakan dalam media

daring. Namun, menjadi berlebihan ketika kejadian itu dianggap

menekan semua pengolah berita di ruang pemberitaan.

Bagi kalangan redaktur hal ini bisa dimaklumi, bahkan

media yang baru berdiri kurang dari dua tahun itu sangat

tergantung pada perilaku Ganjar sebagai bahan utama

pemberitaan. Redaktur beralasan berita yang banyak berisi

pendapat Ganjar dimaksudkan sebagai arahan internal untuk

menaikkan kualitas berita. Kalau pun ada kepentingan, itu

semata-mata kepentingan publik dan terkait hajat hidup orang

banyak. “Bukan berita wacana, berita wacana bukan prioritas.

Tapi yang diperlukan komentar pejabat yang langsung

menyentuh masyarakat,” katanya menjelaskan.

Ia membantah isi berita yang banyak menyampaikan

pendapat sang gubernur itu sebagai intervensi, namun lebih

pada upaya pencitraan produk. Pemahaman yang dimaksud

adalah publik perlu informasi yang eksklusif. Alasan lain peramu

dapur redaksi mencoba mengolah sebuah produk yang berbeda

dengan media lain, meski substansi berita yang disajikan sama.

Mengonsep Tindakan Ganjar

Tak jarang redaktur terlibat mengatur agar sikap dan

perilaku Ganjar punya nilai berita. Bagi redaksi, mengkonsep

tindakan Ganjar agar punya nilai berita lebih menjadi kewajiban.

Hal ini dibuktikan saat ulang tahun Gubernur Ganjar bertepatan

dengan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2013.

Saat itu anak perusahaan sebuah koran nasional yang

ada sejak tahun 1966 itu menyiapkan kejutan khusus untuk sang

gubernur. Skenario pun digarap. Kejutan dihadirkan saat

diskusi kelompok terfokus yang kebetulan digelar oleh media

tersebut. Ganjar yang hadir sebagai pembicara utama pun

mendapat kejutan. Sang istri gubernur sengaja dihadirkan

secara sembunyi tanpa sepengetahuan Ganjar.

Memang berlebihan kelihatannya, namun langkah ini

dinilai sebagai pola arahan untuk mendapatkan berita menarik.

Peramu dapur redaksi menyatakan sengaja menghilangkan

suasana kepentingan politik. Isi berita yang disajikan pun

berbeda dengan media lain, namun upaya menyajikan berita

dengan cara-cara skenario itu justru memposisikan media

terkooptasi oleh euforia sang gubernur.

Keterlibatan dapur redaksi mengarahkan pemberitaan

yang cenderung lunak terhadap Gubernur Ganjar dengan

pertimbangan tak ada berita yang netral. Namun redaksi

memastikan berita itu tak terkait kepentingan politik. “Kami

tetap kritis terhadap Ganjar, namun berusaha menjalin

kedekatan dengan Ganjar,” katanya.

Ia mencontohkan sikap kritis itu dengan berita laporan

khusus mengenai instalasi jaringan gas di Jawa Tengah yang tak

kunjung terealisir. Langkah itu dilakukan dengan

menyelenggarakan diskusi memanggil Ganjar. Materinya

mengupas pentingnya suplai gas sekaligus memanfaatkan

kedekatan untuk kepentingan rakyat banyak. Redaktur

beralasan tema gas di Jawa Tengah sangat seksi karena

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

30 31

disampaikan itu wajar saja. Itu bagian dari klarifikasi dan

penjelasan sebagai hak jawab dia yang diberitakan dalam media

daring. Namun, menjadi berlebihan ketika kejadian itu dianggap

menekan semua pengolah berita di ruang pemberitaan.

Bagi kalangan redaktur hal ini bisa dimaklumi, bahkan

media yang baru berdiri kurang dari dua tahun itu sangat

tergantung pada perilaku Ganjar sebagai bahan utama

pemberitaan. Redaktur beralasan berita yang banyak berisi

pendapat Ganjar dimaksudkan sebagai arahan internal untuk

menaikkan kualitas berita. Kalau pun ada kepentingan, itu

semata-mata kepentingan publik dan terkait hajat hidup orang

banyak. “Bukan berita wacana, berita wacana bukan prioritas.

Tapi yang diperlukan komentar pejabat yang langsung

menyentuh masyarakat,” katanya menjelaskan.

Ia membantah isi berita yang banyak menyampaikan

pendapat sang gubernur itu sebagai intervensi, namun lebih

pada upaya pencitraan produk. Pemahaman yang dimaksud

adalah publik perlu informasi yang eksklusif. Alasan lain peramu

dapur redaksi mencoba mengolah sebuah produk yang berbeda

dengan media lain, meski substansi berita yang disajikan sama.

Mengonsep Tindakan Ganjar

Tak jarang redaktur terlibat mengatur agar sikap dan

perilaku Ganjar punya nilai berita. Bagi redaksi, mengkonsep

tindakan Ganjar agar punya nilai berita lebih menjadi kewajiban.

Hal ini dibuktikan saat ulang tahun Gubernur Ganjar bertepatan

dengan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2013.

Saat itu anak perusahaan sebuah koran nasional yang

ada sejak tahun 1966 itu menyiapkan kejutan khusus untuk sang

gubernur. Skenario pun digarap. Kejutan dihadirkan saat

diskusi kelompok terfokus yang kebetulan digelar oleh media

tersebut. Ganjar yang hadir sebagai pembicara utama pun

mendapat kejutan. Sang istri gubernur sengaja dihadirkan

secara sembunyi tanpa sepengetahuan Ganjar.

Memang berlebihan kelihatannya, namun langkah ini

dinilai sebagai pola arahan untuk mendapatkan berita menarik.

Peramu dapur redaksi menyatakan sengaja menghilangkan

suasana kepentingan politik. Isi berita yang disajikan pun

berbeda dengan media lain, namun upaya menyajikan berita

dengan cara-cara skenario itu justru memposisikan media

terkooptasi oleh euforia sang gubernur.

Keterlibatan dapur redaksi mengarahkan pemberitaan

yang cenderung lunak terhadap Gubernur Ganjar dengan

pertimbangan tak ada berita yang netral. Namun redaksi

memastikan berita itu tak terkait kepentingan politik. “Kami

tetap kritis terhadap Ganjar, namun berusaha menjalin

kedekatan dengan Ganjar,” katanya.

Ia mencontohkan sikap kritis itu dengan berita laporan

khusus mengenai instalasi jaringan gas di Jawa Tengah yang tak

kunjung terealisir. Langkah itu dilakukan dengan

menyelenggarakan diskusi memanggil Ganjar. Materinya

mengupas pentingnya suplai gas sekaligus memanfaatkan

kedekatan untuk kepentingan rakyat banyak. Redaktur

beralasan tema gas di Jawa Tengah sangat seksi karena

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

30 31

menyangkut krisis dan menjadi hajat hidup orang banyak serta

tidak digarap oleh media lain.

Pemberitaan semacam ini tentunya menimbulkan kesan

Ganjar mendapat tempat di media yang baru berganti nama itu.

Hal ini diakui dengan pertimbangan Ganjar merupakan

pemimpin baru yang kebijakan-kebijakan serta gebrakannya

bisa ditangkap sebagai sumber pemberitaan terdepan. Dengan

kata lain media itu mendapatkan hal banyak dari Ganjar.

Membuat Rubrik Interaktif Lapor Gan

Pemahaman untuk dekat dengan kekuasaan dalam

mendapatkan berita eksklusif dari pemimpin baru itu

dibuktikan dengan membuat rubrik interaktif Lapor Gan.

Rubrik itu diterbitkan setiap Selasa yang berasal dari pesan

singkat masyarakat mengenai harapan dan keinginan serta

keluhan mereka.

Pengelola media memfasilitasi itu sebagai alat

komunikasi gubernur dengan rakyat. Langkahnya memberikan

kesempatan publik mengirimkan pertanyaan lewat kanal Lapor

Gan di laman media tersebut. Dari sekian pertanyaan ada empat

hingga lima pertanyaan yang dijawab yang kemudian

diterbitkan pada edisi cetak hari Selasa.

Redaksi beralasan kanal itu bagian dari visi media yang

berperan dalam membangun pelayanan publik. Kanal Lapor

Gan dengan menampilkan pertanyaan kritis, diakui tidak

dibayar. Hasilnya komunikasi publik dengan pemerintah pun

terjalin, sejumlah pertanyaan kritis publik mengenai kebijakan

gubernur ditulis apa adanya tanpa diedit.

Tampilnya rubrik itu sebagai fasilitas komunikasi antara

gubernur dan publik itu diakui untuk menaikkan citra media

sehingga media diperhitungkan oleh masyarakat. Rubrik tadi

melengkapi halamannya sendiri, yaitu hot public service, yang

menempatkan kepentingan masyarakat sebagai prioritas.

Kebijakan itu sengaja diambil sebagai upaya memoles

Ganjar agar bisa dikaitkan dengan kepentingan produksi berita.

Pertimbangan lain adalah hubungan saling menguntungkan

karena Ganjar dinilai masih kurang populer. Hal ini berbeda

dengan Gubernur DKI Joko Widodo. Media itu melihat Ganjar

masih bertindak sporadis dan terlalu banyak menggulirkan

wacana belaka. Dengan alasan itu, media yang mengejar basis

pembaca semua kalangan itu justru hanyut masuk pusaran sikap

politik dalam berita-berita yang diterbitkan.

Pemahaman itu bukan tanpa alasan untuk menghindari

pemberitaan sporadis, tapi juga membangun isu dengan

kepentingan utama publik. “Media diperhitungkan dengan

jualan isu. Ganjar butuh media, dan kami butuh momentum,”

kata redaktur saat hendak mengakhiri wawancara.

Prinsip penerbitan yang mengarah pada pusaran

kepemimpinan Ganjar itu dijamin tak ada yang mengatur,

namun hanya mengandalkan kedekatan. Ia menegaskan

pemberitaan yang diangkat dan lebih menonjolkan figur

gubernur itu sebagai simbiosis mutualisme ketika Ganjar butuh

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

32 33

menyangkut krisis dan menjadi hajat hidup orang banyak serta

tidak digarap oleh media lain.

Pemberitaan semacam ini tentunya menimbulkan kesan

Ganjar mendapat tempat di media yang baru berganti nama itu.

Hal ini diakui dengan pertimbangan Ganjar merupakan

pemimpin baru yang kebijakan-kebijakan serta gebrakannya

bisa ditangkap sebagai sumber pemberitaan terdepan. Dengan

kata lain media itu mendapatkan hal banyak dari Ganjar.

Membuat Rubrik Interaktif Lapor Gan

Pemahaman untuk dekat dengan kekuasaan dalam

mendapatkan berita eksklusif dari pemimpin baru itu

dibuktikan dengan membuat rubrik interaktif Lapor Gan.

Rubrik itu diterbitkan setiap Selasa yang berasal dari pesan

singkat masyarakat mengenai harapan dan keinginan serta

keluhan mereka.

Pengelola media memfasilitasi itu sebagai alat

komunikasi gubernur dengan rakyat. Langkahnya memberikan

kesempatan publik mengirimkan pertanyaan lewat kanal Lapor

Gan di laman media tersebut. Dari sekian pertanyaan ada empat

hingga lima pertanyaan yang dijawab yang kemudian

diterbitkan pada edisi cetak hari Selasa.

Redaksi beralasan kanal itu bagian dari visi media yang

berperan dalam membangun pelayanan publik. Kanal Lapor

Gan dengan menampilkan pertanyaan kritis, diakui tidak

dibayar. Hasilnya komunikasi publik dengan pemerintah pun

terjalin, sejumlah pertanyaan kritis publik mengenai kebijakan

gubernur ditulis apa adanya tanpa diedit.

Tampilnya rubrik itu sebagai fasilitas komunikasi antara

gubernur dan publik itu diakui untuk menaikkan citra media

sehingga media diperhitungkan oleh masyarakat. Rubrik tadi

melengkapi halamannya sendiri, yaitu hot public service, yang

menempatkan kepentingan masyarakat sebagai prioritas.

Kebijakan itu sengaja diambil sebagai upaya memoles

Ganjar agar bisa dikaitkan dengan kepentingan produksi berita.

Pertimbangan lain adalah hubungan saling menguntungkan

karena Ganjar dinilai masih kurang populer. Hal ini berbeda

dengan Gubernur DKI Joko Widodo. Media itu melihat Ganjar

masih bertindak sporadis dan terlalu banyak menggulirkan

wacana belaka. Dengan alasan itu, media yang mengejar basis

pembaca semua kalangan itu justru hanyut masuk pusaran sikap

politik dalam berita-berita yang diterbitkan.

Pemahaman itu bukan tanpa alasan untuk menghindari

pemberitaan sporadis, tapi juga membangun isu dengan

kepentingan utama publik. “Media diperhitungkan dengan

jualan isu. Ganjar butuh media, dan kami butuh momentum,”

kata redaktur saat hendak mengakhiri wawancara.

Prinsip penerbitan yang mengarah pada pusaran

kepemimpinan Ganjar itu dijamin tak ada yang mengatur,

namun hanya mengandalkan kedekatan. Ia menegaskan

pemberitaan yang diangkat dan lebih menonjolkan figur

gubernur itu sebagai simbiosis mutualisme ketika Ganjar butuh

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

32 33

media, sedangkan medianya butuh pencitraan sebagai pemain

baru.

Sikap menonjolkan Ganjar itu dibuktikan ketika Ganjar

unggul dalam hitung cepat (quick count) hasil Pemilihan Kepala

Daerah Jawa Tengah, Mei 2013. Ketika sinyal kuat menunjukkan

Ganjar menang, redaktur segera mengirim jurnalisnya

mengikuti ke mana sang pemenang pergi bahkan hal ini

dilakukan hingga hendak pelantikan.“Di situlah ada hasilnya,

berita eksklusif, foto Ganjar sungkem tanpa rekayasa, tamu

datang mendoakan tanpa rekayasa,” katanya.

* * *

AJI Semarang

34

amanya Bumi (bukan identitas sebenarnya), laki-laki

jurnalis di sebuah media cetak lokal Akumbara (nama Nsamaran) di Kota Semarang. Media lokal ini milik

sebuah perusahaan korporasi media cetak terkemuka di

Indonesia. Sekoci bisnis jejaring media ini merambah seantero

daerah, baik di Pulau Jawa hingga luar Jawa. Ia bekerja sejak

tahun 2011.

Awalnya, ia bekerja di koran lokal Bambara (nama

samaran), sebuah media dalam korporasi yang sama. Namun,

seiring waktu, koran Bambara diakuisisi oleh perusahaan koran

Akumbara--perusahaan yang sama-sama berkantor di Jakarta.

Akuisisi berdampak pada perubahan manajemen dan

keredaksian. Koran Bambara resmi dihentikan per 28 April

2013. Tercatat, edisi 27 April merupakan edisi pungkas koran

yang terbit perdana pada 17 Januari 2011 ini.

Dampak akuisisi itu, ada orang-orang yang

dipertahankan dan sebagian lagi undur diri. Selain itu, tentu

saja, ada aturan yang dipertahankan dengan kukuh, dan ada

yang melunak. "Soal amplop, di koran saya dulu (koran

Bambara-red) itu ketat. Tetapi, di koran Akumbara sekarang

tidak terlalu ketat," seloroh Bumi saat ditanya perihal perbedaan

media Bambara dengan medianya sekarang. Bumi sendiri

mengaku, sampai saat ini masih terus beradaptasi dengan sistem

medianya yang ia nilai ada beberapa perbedaan.

Demi Oplah, Kritik Diolah

35

media, sedangkan medianya butuh pencitraan sebagai pemain

baru.

Sikap menonjolkan Ganjar itu dibuktikan ketika Ganjar

unggul dalam hitung cepat (quick count) hasil Pemilihan Kepala

Daerah Jawa Tengah, Mei 2013. Ketika sinyal kuat menunjukkan

Ganjar menang, redaktur segera mengirim jurnalisnya

mengikuti ke mana sang pemenang pergi bahkan hal ini

dilakukan hingga hendak pelantikan.“Di situlah ada hasilnya,

berita eksklusif, foto Ganjar sungkem tanpa rekayasa, tamu

datang mendoakan tanpa rekayasa,” katanya.

* * *

AJI Semarang

34

amanya Bumi (bukan identitas sebenarnya), laki-laki

jurnalis di sebuah media cetak lokal Akumbara (nama Nsamaran) di Kota Semarang. Media lokal ini milik

sebuah perusahaan korporasi media cetak terkemuka di

Indonesia. Sekoci bisnis jejaring media ini merambah seantero

daerah, baik di Pulau Jawa hingga luar Jawa. Ia bekerja sejak

tahun 2011.

Awalnya, ia bekerja di koran lokal Bambara (nama

samaran), sebuah media dalam korporasi yang sama. Namun,

seiring waktu, koran Bambara diakuisisi oleh perusahaan koran

Akumbara--perusahaan yang sama-sama berkantor di Jakarta.

Akuisisi berdampak pada perubahan manajemen dan

keredaksian. Koran Bambara resmi dihentikan per 28 April

2013. Tercatat, edisi 27 April merupakan edisi pungkas koran

yang terbit perdana pada 17 Januari 2011 ini.

Dampak akuisisi itu, ada orang-orang yang

dipertahankan dan sebagian lagi undur diri. Selain itu, tentu

saja, ada aturan yang dipertahankan dengan kukuh, dan ada

yang melunak. "Soal amplop, di koran saya dulu (koran

Bambara-red) itu ketat. Tetapi, di koran Akumbara sekarang

tidak terlalu ketat," seloroh Bumi saat ditanya perihal perbedaan

media Bambara dengan medianya sekarang. Bumi sendiri

mengaku, sampai saat ini masih terus beradaptasi dengan sistem

medianya yang ia nilai ada beberapa perbedaan.

Demi Oplah, Kritik Diolah

35

Lebih lanjut, dia mencontohkan, di koran Akumbara

boleh menerima uang asalkan itu tidak menyangkut berita.

"Jadi, kalau diajak pergi, terus dikasih uang transpor itu tidak

apa-apa," aku lelaki yang lebih sering memakai kaos oblong ini

saat liputan.

Kalau dahulu, lanjut Bumi, di koran Bambara hal terkait

pemberian uang dan barang itu sangat ketat. Bagaimanapun,

uang yang diberi itu haram, begitu pesan yang terus

didengungkan pimpinan sesuai budaya perusahaan (corporate

culture). "Terus dulu, kalau dapat bingkisan di atas Rp1 juta kan

harus laporan. Kalau di koran Akumbara, itu sudah menjadi

haknya," papar Bumi yang biasa melakukan peliputan di wilayah

DPRD dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah ini.

Perbedaan lain yang dirasakan Bumi, yakni

persinggungannya dengan dapur redaksi. Ada upaya

"intervensi" terkait pemberitaan menyangkut sosok kepala

daerah di Provinsi Jawa Tengah. Bumi mengakui bentuk

intervensi dari redaksi ada. Redaksi berpesan untuk selalu

mengolah dan memperhalus kritik terkait dengan sosok

pemimpin tersebut.

Keberlangsungan Sekoci Bisnis

Alasan redaksi, hal itu memiliki motif menjaga

keberlangsungan sekoci bisnisnya, dalam politik dagang, untuk

meningkatkan oplah koran di pasaran. Nama sosok kepala

daerah yang diusung itu menjadi citra untuk bisa mengangkat

oplah medianya. Salah satu bentuk pengangkatan citra,

korannya menampilkan rubrik khusus, ruang saling sapa antara

sosok tersebut dan masyarakat pembaca Akumbara. Manajemen

seolah berpesan kepada pembaca: “Apabila ingin tahu aktivitas

si sosok pemimpin ini secara lebih eksklusif, belilah koran ini.”

Pada awalnya, melihat realitas itu, Bumi gelisah. Namun

lama-kelamaan dia bisa memahami ihwal perubahan itu. Lantas,

selama beberapa minggu, ia dan kawan-kawan jurnalis lainnya

digembleng pelatihan pola penulisan berita baru.

Apa yang disampaikan oleh pimpinan di kantornya itu

pada intinya bertujuan untuk "masa depan" bisnis media

tempatnya bekerja saat ini. Setelah mengetahui alasan campur

tangan pimpinannya tersebut, Bumi mafhum dan bisa

menerimanya.

"Seandainya tak tahu alasannya, pasti saya bakal

menentang. Justru, intervensi itu penting, buat masa depan

koran saya," kata Bumi yang kemudian secara sadar merasa

bahwa dirinya menjadi ujung tombak yang ikut bertanggung

jawab untuk menjaga masa depan itu.

Berbagi soal intervensi, misalnya memperhalus kritik,

Bumi menyebut, pernah terjadi ketika si sosok kepala daerah itu

terkena cipratan kasus korupsi dari Jakarta. Kasus yang

digulirkan oleh seorang politisi di Jakarta dari balik jeruji

penjara itu menyangkut keterlibatan si pemimpin pada sebuah

proyek. Saat itu, dia diminta mewawancarai sosok pemimpin itu.

Pekerjaan yang sudah menjadi kewajibannya itu dia lakukan

sebagaimana mestinya. Prinsip kerja jurnalistik, seperti

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

36 37

Lebih lanjut, dia mencontohkan, di koran Akumbara

boleh menerima uang asalkan itu tidak menyangkut berita.

"Jadi, kalau diajak pergi, terus dikasih uang transpor itu tidak

apa-apa," aku lelaki yang lebih sering memakai kaos oblong ini

saat liputan.

Kalau dahulu, lanjut Bumi, di koran Bambara hal terkait

pemberian uang dan barang itu sangat ketat. Bagaimanapun,

uang yang diberi itu haram, begitu pesan yang terus

didengungkan pimpinan sesuai budaya perusahaan (corporate

culture). "Terus dulu, kalau dapat bingkisan di atas Rp1 juta kan

harus laporan. Kalau di koran Akumbara, itu sudah menjadi

haknya," papar Bumi yang biasa melakukan peliputan di wilayah

DPRD dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah ini.

Perbedaan lain yang dirasakan Bumi, yakni

persinggungannya dengan dapur redaksi. Ada upaya

"intervensi" terkait pemberitaan menyangkut sosok kepala

daerah di Provinsi Jawa Tengah. Bumi mengakui bentuk

intervensi dari redaksi ada. Redaksi berpesan untuk selalu

mengolah dan memperhalus kritik terkait dengan sosok

pemimpin tersebut.

Keberlangsungan Sekoci Bisnis

Alasan redaksi, hal itu memiliki motif menjaga

keberlangsungan sekoci bisnisnya, dalam politik dagang, untuk

meningkatkan oplah koran di pasaran. Nama sosok kepala

daerah yang diusung itu menjadi citra untuk bisa mengangkat

oplah medianya. Salah satu bentuk pengangkatan citra,

korannya menampilkan rubrik khusus, ruang saling sapa antara

sosok tersebut dan masyarakat pembaca Akumbara. Manajemen

seolah berpesan kepada pembaca: “Apabila ingin tahu aktivitas

si sosok pemimpin ini secara lebih eksklusif, belilah koran ini.”

Pada awalnya, melihat realitas itu, Bumi gelisah. Namun

lama-kelamaan dia bisa memahami ihwal perubahan itu. Lantas,

selama beberapa minggu, ia dan kawan-kawan jurnalis lainnya

digembleng pelatihan pola penulisan berita baru.

Apa yang disampaikan oleh pimpinan di kantornya itu

pada intinya bertujuan untuk "masa depan" bisnis media

tempatnya bekerja saat ini. Setelah mengetahui alasan campur

tangan pimpinannya tersebut, Bumi mafhum dan bisa

menerimanya.

"Seandainya tak tahu alasannya, pasti saya bakal

menentang. Justru, intervensi itu penting, buat masa depan

koran saya," kata Bumi yang kemudian secara sadar merasa

bahwa dirinya menjadi ujung tombak yang ikut bertanggung

jawab untuk menjaga masa depan itu.

Berbagi soal intervensi, misalnya memperhalus kritik,

Bumi menyebut, pernah terjadi ketika si sosok kepala daerah itu

terkena cipratan kasus korupsi dari Jakarta. Kasus yang

digulirkan oleh seorang politisi di Jakarta dari balik jeruji

penjara itu menyangkut keterlibatan si pemimpin pada sebuah

proyek. Saat itu, dia diminta mewawancarai sosok pemimpin itu.

Pekerjaan yang sudah menjadi kewajibannya itu dia lakukan

sebagaimana mestinya. Prinsip kerja jurnalistik, seperti

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

36 37

independen dan aspek keberimbangan sudah ditempuhnya.

Ditulis. Diedit. Kemudian, setelah pressklaar,* dikirim ke

redakturnya.

Keesokan hari saat koran terbit, Bumi kaget. Ternyata,

apa yang ditulis dan susunan berita yang diterbitkan mengalami

perbedaan. Kritik dan konfirmasi yang terkandung di dalamnya

telah diracik sebegitu rapinya sehingga terkesan lebih halus.

Menurut redaksi, dalam kasus e-KTP itu, si sosok pemimpin

berada dalam posisi diserang oleh lawan politik yang

memanfaatkan Nazaruddin. Selain itu, karena pertimbangan

praduga tak bersalah dan belum tentu benar.

Contoh lain yang disampaikan oleh Bumi adalah masalah

yang terkait dengan pembangunan infrastruktur di wilayah kerja

sang pemimpin daerah. Pernah suatu ketika, Bumi mencoba

mengkritik sosok pemimpin ini dari kacamata rencana

pembangunan infrastruktur. Asumsinya, konsep si pemimpin

dalam pembangunan infrastruktur tidak jelas. Maka, dia pun

mewawancarai narasumber pakar yang memiliki kapasitas

perihal pembangunan dan infrastruktur. Inti tulisan itu secara

garis besar berisi konsep si sosok pemimpin dibandingkan

dengan pemimpin di daerah lain yang dinilai masih kurang jelas

dan terukur. Namun, seperti berita yang terkait dengan kasus e-

KTP, tulisan analisisnya itu pun tak seperti yang dibuatnya.

"Di koran yang muncul narasumbernya dibalik. Ulasan

pemimpin yang melalui bawahannya ditaruh di bagian atas

sedangkan tulisan kritisnya malah di belakang," ujar Bumi yang

sempat heran saat berita ini dibacanya. Terkait upaya

memperhalus kritik ini, memang masih membuat Bumi

digelayuti tanda tanya. Pasalnya, koran Akumbara saat ini

berbeda dengan koran sebelumnya, Bambara. Koran Bambara

dahulu dikenal independen dan tidak menolerir terkait berita di

luar. "Saat ini berubah. Kepentingan bisnis menjadi utama,"

beber dia dengan nada serius.

Tidak Boleh Pedas

Redaktur tidak pernah menyuruh mengkritik pedas

terhadap narasumber, bahkan sebaliknya, tidak boleh pedas.

Hanya saja, hal itu terlihat dalam berita-berita pedas ke

narasumber yang "dilindungi" itu tak tayang atau muncul,

namun diperhalus. Ia berkeyakinan, redaksi tak bisa dan tak

punya hak untuk meminta jurnalisnya sendiri menulis "jangan

pedas”. "Karena itu kan hak saya sebagai pribadi yang berprofesi

sebagai jurnalis. Mereka hanya bisa membuat kebijakan untuk

mengeluarkan produk yang halus," paparnya.

Bumi juga mengetahui dari redakturnya bahwa apa yang

dilakukan perusahaannya sebagai strategi bisnis untuk melawan

korporasi media lain di tingkat lokal. Terutama, terhadap salah

satu media lokal terbesar dan tertua di Jawa Tengah. Perusahaan

tempat Bumi bernaung menyadari bahwa media kompetitor

sudah menjadi raksasa media yang berjejaring di wilayah Jawa

Tengah. Pesaingnya itu telah mengakar dan menguasai semua

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

*Pressklaar merupakan istilah yang sering dipakai dalam editing produk jurnalistik. Maknanya kurang lebih naskah yang sudah sangat bagus, siap cetak, atau layak siar. Belum pressklaar artinya masih ada salah ketik, salah eja, salah data, atau masih kurang lengkap. Belum sempurna. Belum layak cetak.

38 39

independen dan aspek keberimbangan sudah ditempuhnya.

Ditulis. Diedit. Kemudian, setelah pressklaar,* dikirim ke

redakturnya.

Keesokan hari saat koran terbit, Bumi kaget. Ternyata,

apa yang ditulis dan susunan berita yang diterbitkan mengalami

perbedaan. Kritik dan konfirmasi yang terkandung di dalamnya

telah diracik sebegitu rapinya sehingga terkesan lebih halus.

Menurut redaksi, dalam kasus e-KTP itu, si sosok pemimpin

berada dalam posisi diserang oleh lawan politik yang

memanfaatkan Nazaruddin. Selain itu, karena pertimbangan

praduga tak bersalah dan belum tentu benar.

Contoh lain yang disampaikan oleh Bumi adalah masalah

yang terkait dengan pembangunan infrastruktur di wilayah kerja

sang pemimpin daerah. Pernah suatu ketika, Bumi mencoba

mengkritik sosok pemimpin ini dari kacamata rencana

pembangunan infrastruktur. Asumsinya, konsep si pemimpin

dalam pembangunan infrastruktur tidak jelas. Maka, dia pun

mewawancarai narasumber pakar yang memiliki kapasitas

perihal pembangunan dan infrastruktur. Inti tulisan itu secara

garis besar berisi konsep si sosok pemimpin dibandingkan

dengan pemimpin di daerah lain yang dinilai masih kurang jelas

dan terukur. Namun, seperti berita yang terkait dengan kasus e-

KTP, tulisan analisisnya itu pun tak seperti yang dibuatnya.

"Di koran yang muncul narasumbernya dibalik. Ulasan

pemimpin yang melalui bawahannya ditaruh di bagian atas

sedangkan tulisan kritisnya malah di belakang," ujar Bumi yang

sempat heran saat berita ini dibacanya. Terkait upaya

memperhalus kritik ini, memang masih membuat Bumi

digelayuti tanda tanya. Pasalnya, koran Akumbara saat ini

berbeda dengan koran sebelumnya, Bambara. Koran Bambara

dahulu dikenal independen dan tidak menolerir terkait berita di

luar. "Saat ini berubah. Kepentingan bisnis menjadi utama,"

beber dia dengan nada serius.

Tidak Boleh Pedas

Redaktur tidak pernah menyuruh mengkritik pedas

terhadap narasumber, bahkan sebaliknya, tidak boleh pedas.

Hanya saja, hal itu terlihat dalam berita-berita pedas ke

narasumber yang "dilindungi" itu tak tayang atau muncul,

namun diperhalus. Ia berkeyakinan, redaksi tak bisa dan tak

punya hak untuk meminta jurnalisnya sendiri menulis "jangan

pedas”. "Karena itu kan hak saya sebagai pribadi yang berprofesi

sebagai jurnalis. Mereka hanya bisa membuat kebijakan untuk

mengeluarkan produk yang halus," paparnya.

Bumi juga mengetahui dari redakturnya bahwa apa yang

dilakukan perusahaannya sebagai strategi bisnis untuk melawan

korporasi media lain di tingkat lokal. Terutama, terhadap salah

satu media lokal terbesar dan tertua di Jawa Tengah. Perusahaan

tempat Bumi bernaung menyadari bahwa media kompetitor

sudah menjadi raksasa media yang berjejaring di wilayah Jawa

Tengah. Pesaingnya itu telah mengakar dan menguasai semua

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

*Pressklaar merupakan istilah yang sering dipakai dalam editing produk jurnalistik. Maknanya kurang lebih naskah yang sudah sangat bagus, siap cetak, atau layak siar. Belum pressklaar artinya masih ada salah ketik, salah eja, salah data, atau masih kurang lengkap. Belum sempurna. Belum layak cetak.

38 39

sektor penunjang bisnisnya. Mulai dari sistem di pemerintah

dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota, pihak swasta, serta

masyarakat di tingkat kelurahan dan RT.

Saat ditanya, apakah juga ada intervensi atau tekanan

dari pihak lain selain dari redaksi, Bumi menuturkan, intervensi

selama di wilayah kerjanya sampai saat ini belum ada.

Sebelumnya, Bumi ditempatkan di wilayah peliputan Kabupaten

Semarang. "Saat ditempatkan di Ungaran banyak intervensi dari

luar. Mereka minta beritanya nggak tayang, dan itu lebih dari

sekali," ujarnya.

Berbagi pengalaman seputar liputan di lingkungan

tempatnya bekerja, dia rasakan dari sesama teman jurnalis yang

meliput. Hal itu, terutama, pada jurnalis senior yang

bergerombol. “Mereka hanya mau berbagi info dengan sesama

gerombolan mereka,” gerutunya. Meskipun begitu, Bumi tetap

bisa mengakses info-info lain dari para jurnalis yang lebih

terbuka.

Tercatat, di wilayah kerjanya terdapat kurang lebih lima

kelompok wartawan. Lima kelompok jurnalis itu rata-rata

terdiri dari lima hingga belasan jurnalis. Mulai dari jurnalis

muda hingga yang sudah tua. Ada yang berasal dari media

terkemuka dan dari media yang “abu-abu” alias tak jelas kantor

dan tempo terbitnya. Menariknya lagi, ada satu jurnalis senior

yang juga menjadi anggota dari beberapa kelompok jurnalis

tersebut.

Melihat fenomena itu semua, Bumi tak ambil pusing.

Baginya, yang penting selalu menjalankan kerja jurnalistik

secara profesional. “Aku tak ingin terkotak-kotak masuk salah

satu. Semua adalah teman. Penting kerja tetap lancar,” katanya.

Bumi mencintai dunia jurnalistik pada pers kampus

sejak menjadi mahasiswa pada 2006 di salah satu perguruan

tinggi swasta terkemuka di Kota Semarang. Menjadi jurnalis

bukan pilihan di tengah jalan. “Sudah merasa ini adalah

duniaku,” papar Bumi yang secara profesional mulai bekerja

menjadi jurnalis pada 2011 di Koran Bambara.

Saat ini, Bumi ditarget bisa menulis minimal tiga berita

untuk media cetak. Pada saat ramai isu, bisa menulis lima berita

dalam sehari. Meski sudah ada edisi daring, dia tak ditarget

untuk mengirim di laman daring. “Rata-rata bikin empat berita

per harinya,” tuturnya.

Bumi saat ini digaji Rp2,8 juta per bulan. Soal

kesejahteraan, menurutnya, lebih baik di media sebelumnya

atau Koran Bambara ketimbang di Koran Akumbara. Ia

mencontohkan, jurnalis baru yang masuk pada April 2013

mendapat gaji Rp2 juta. Sedangkan, jurnalis yang baru masuk

Oktober 2013 mendapat gaji lebih rendah, yakni Rp1,8 juta.

"Kalau aku karena sudah 2 tahun, sekarang gajiku Rp2,8 juta,"

ujarnya.

Mengenai tunjangan, apabila dibandingkan, lebih

lumayan Koran Akumbara ketimbang Koran Bambara. Mungkin

ini alasan mengapa Koran Akumbara memberi gaji lebih sedikit,

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

40 41

sektor penunjang bisnisnya. Mulai dari sistem di pemerintah

dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota, pihak swasta, serta

masyarakat di tingkat kelurahan dan RT.

Saat ditanya, apakah juga ada intervensi atau tekanan

dari pihak lain selain dari redaksi, Bumi menuturkan, intervensi

selama di wilayah kerjanya sampai saat ini belum ada.

Sebelumnya, Bumi ditempatkan di wilayah peliputan Kabupaten

Semarang. "Saat ditempatkan di Ungaran banyak intervensi dari

luar. Mereka minta beritanya nggak tayang, dan itu lebih dari

sekali," ujarnya.

Berbagi pengalaman seputar liputan di lingkungan

tempatnya bekerja, dia rasakan dari sesama teman jurnalis yang

meliput. Hal itu, terutama, pada jurnalis senior yang

bergerombol. “Mereka hanya mau berbagi info dengan sesama

gerombolan mereka,” gerutunya. Meskipun begitu, Bumi tetap

bisa mengakses info-info lain dari para jurnalis yang lebih

terbuka.

Tercatat, di wilayah kerjanya terdapat kurang lebih lima

kelompok wartawan. Lima kelompok jurnalis itu rata-rata

terdiri dari lima hingga belasan jurnalis. Mulai dari jurnalis

muda hingga yang sudah tua. Ada yang berasal dari media

terkemuka dan dari media yang “abu-abu” alias tak jelas kantor

dan tempo terbitnya. Menariknya lagi, ada satu jurnalis senior

yang juga menjadi anggota dari beberapa kelompok jurnalis

tersebut.

Melihat fenomena itu semua, Bumi tak ambil pusing.

Baginya, yang penting selalu menjalankan kerja jurnalistik

secara profesional. “Aku tak ingin terkotak-kotak masuk salah

satu. Semua adalah teman. Penting kerja tetap lancar,” katanya.

Bumi mencintai dunia jurnalistik pada pers kampus

sejak menjadi mahasiswa pada 2006 di salah satu perguruan

tinggi swasta terkemuka di Kota Semarang. Menjadi jurnalis

bukan pilihan di tengah jalan. “Sudah merasa ini adalah

duniaku,” papar Bumi yang secara profesional mulai bekerja

menjadi jurnalis pada 2011 di Koran Bambara.

Saat ini, Bumi ditarget bisa menulis minimal tiga berita

untuk media cetak. Pada saat ramai isu, bisa menulis lima berita

dalam sehari. Meski sudah ada edisi daring, dia tak ditarget

untuk mengirim di laman daring. “Rata-rata bikin empat berita

per harinya,” tuturnya.

Bumi saat ini digaji Rp2,8 juta per bulan. Soal

kesejahteraan, menurutnya, lebih baik di media sebelumnya

atau Koran Bambara ketimbang di Koran Akumbara. Ia

mencontohkan, jurnalis baru yang masuk pada April 2013

mendapat gaji Rp2 juta. Sedangkan, jurnalis yang baru masuk

Oktober 2013 mendapat gaji lebih rendah, yakni Rp1,8 juta.

"Kalau aku karena sudah 2 tahun, sekarang gajiku Rp2,8 juta,"

ujarnya.

Mengenai tunjangan, apabila dibandingkan, lebih

lumayan Koran Akumbara ketimbang Koran Bambara. Mungkin

ini alasan mengapa Koran Akumbara memberi gaji lebih sedikit,

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

40 41

aya menjadi wartawan sejak 2005. Saya pernah bekerja

di media lokal dan juga media nasional. Saya pernah Sditempatkan di sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Kini,

saya ditugasi meliput di Semarang.

Saya merasa bekerja di daerah dengan di Ibu Kota

Provinsi Jawa Tengah ada persamaan dan juga perbedaan.

Terutama terkait dengan independensi sebagai jurnalis. Yang

saya rasakan, baik di daerah maupun di Semarang, sama-sama

banyak narasumber yang mencoba mengarahkan pemberitaan

saya. Sebagai jurnalis, saya akui ada berita yang sesuai kehendak

saya tapi ada juga berita yang terkendala intervensi dari pihak

lain.

Salah satu kendala idealisme menjadi wartawan di

daerah adalah adanya kebersamaan antarwartawan satu dengan

yang lain. Kerja wartawan di daerah dituntut guyub (rukun)

bersama dengan teman-teman. Jika saya mau sendiri rasanya

agak sulit. Maka, berita-berita di daerah lebih terasa seragam.

Kalau saya lepas dari “konspirasi jahat” bersama-sama itu maka

bisa jadi saya akan dimusuhi. Korps kebersamaan wartawan di

daerah lebih kuat.

Misalnya, ada sebuah kasus. Biasanya akan ada salah

satu wartawan “senior” yang bermain dengan narasumber.

Wartawan ini mengatasnamakan para wartawan lain, lalu

tetapi tunjangannya lebih baik. "Selain itu, aku juga dapat ponsel

pintar dan kamera," katanya. Saat ini, di kebijakan manajemen,

apabila ada yang mau kredit motor bisa barter iklan. “Bahkan,

sekarang lagi proses mau kerjasama kredit rumah lewat kantor,”

tandas Bumi yang kelak ingin menjadi pengusaha setelah tak lagi

menggeluti dunia jurnalistik.

* * *

Media: Butuh Jeneng, Juga Jenang

AJI Semarang

42 43

aya menjadi wartawan sejak 2005. Saya pernah bekerja

di media lokal dan juga media nasional. Saya pernah Sditempatkan di sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Kini,

saya ditugasi meliput di Semarang.

Saya merasa bekerja di daerah dengan di Ibu Kota

Provinsi Jawa Tengah ada persamaan dan juga perbedaan.

Terutama terkait dengan independensi sebagai jurnalis. Yang

saya rasakan, baik di daerah maupun di Semarang, sama-sama

banyak narasumber yang mencoba mengarahkan pemberitaan

saya. Sebagai jurnalis, saya akui ada berita yang sesuai kehendak

saya tapi ada juga berita yang terkendala intervensi dari pihak

lain.

Salah satu kendala idealisme menjadi wartawan di

daerah adalah adanya kebersamaan antarwartawan satu dengan

yang lain. Kerja wartawan di daerah dituntut guyub (rukun)

bersama dengan teman-teman. Jika saya mau sendiri rasanya

agak sulit. Maka, berita-berita di daerah lebih terasa seragam.

Kalau saya lepas dari “konspirasi jahat” bersama-sama itu maka

bisa jadi saya akan dimusuhi. Korps kebersamaan wartawan di

daerah lebih kuat.

Misalnya, ada sebuah kasus. Biasanya akan ada salah

satu wartawan “senior” yang bermain dengan narasumber.

Wartawan ini mengatasnamakan para wartawan lain, lalu

tetapi tunjangannya lebih baik. "Selain itu, aku juga dapat ponsel

pintar dan kamera," katanya. Saat ini, di kebijakan manajemen,

apabila ada yang mau kredit motor bisa barter iklan. “Bahkan,

sekarang lagi proses mau kerjasama kredit rumah lewat kantor,”

tandas Bumi yang kelak ingin menjadi pengusaha setelah tak lagi

menggeluti dunia jurnalistik.

* * *

Media: Butuh Jeneng, Juga Jenang

AJI Semarang

42 43

berkonspirasi dengan narasumber untuk tidak menurunkan

berita. Hal seperti itu bisa dilakukan. Sebuah berita yang ditulis

semua wartawan di daerah itu di-drop atau tidak jadi ditulis, itu

bisa dilakukan.

Berbeda dengan bekerja sebagai wartawan di Semarang.

Lebih bisa merdeka karena intervensi kebersamaan bisa

dikurangi. Memang ada senioritas tapi hanya dari segi umur,

bukan dalam berita. Meski dalam kasus-kasus tertentu

intervensi atas nama kebersamaan itu juga masih terjadi.

Kasus intervensi pihak lain kepada wartawan saya

rasakan pada saat peliputan kasus Pujiono (dikenal dengan

nama Syekh Puji). Pujiono terjerat kasus hukum gara-gara

menikahi anak di bawah umur. Di Semarang, karena Pujiono

yang merupakan orang kaya sering melakukan tindakan aneh,

maka kasus ini sangat ramai dan menjadi perhatian publik.

Setahu saya, saat itu wartawan terpecah: ada yang pro Pujiono

tapi ada juga yang pro kepada kepolisian, dalam hal ini adalah

Polisi Resor Kota Besar Semarang, yang menangani kasus

Pujiono.

Saat itu, berita saya mengkritik kinerja polisi yang saya

anggap tidak profesional dalam melakukan penyidikan terhadap

Pujiono. Misalnya, berkas acara pemeriksaan Pujiono sangat

lama untuk mencapai P-21 (lengkap). Bahkan, Kejaksaan sudah

tiga kali mengembalikan berita acara pemeriksaan ke polisi.

Saya mencium polisi tidak profesional. Atau bisa jadi kejaksaan

juga ikut bermain.

Tapi saat berita mau saya bikin, saya ditemui seorang

wartawan yang sudah lama meliput di kepolisian. Saya diminta

untuk tidak membuat berita itu. “Nggak usah dimuat,” kata

wartawan tersebut. Saya pun diberi sejumlah uang. Saat itu,

tidak hanya saya yang diberi uang. Tapi banyak wartawan lain

juga diberi uang oleh “wartawan senior” tadi.

Pada satu sisi saya tidak enak kalau saya tetap membuat

berita. Sebab, saya juga mempertimbangkan hubungan baik

dengan komunitas wartawan. Kebersamaan dengan teman

wartawan-wartawan menjadi pertimbangan tersendiri. Tapi,

kalau saya tidak buat beritanya juga eman-eman (sayang)

karena termasuk berita yang bagus. Bahkan, bisa diibaratkan

materi beritanya sudah tinggal gong-nya. Sebab, sebelumnya

berita-berita tentang Pujiono juga sudah saya bikin terus, mulai

dari pemeriksaan, penahanan hingga penyerahan berkas yang

tidak lekas lengkap itu. Konfirmasi dan verifikasi juga sudah

komplit.

Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba telepon genggam

saya berdering. “Wartawan senior” lain menelepon saya.

Wartawan ini mengaku telah ditelepon oleh salah satu pejabat di

Polrestabes Semarang. Sang polisi menanyakan apakah media

saya membuat berita tentang Pujiono. Pejabat ini meminta agar

berita Pujiono tidak usah dibuat. Di ujung telepon, wartawan ini

mengaku berucap kepada polisi: “Saya tidak berani, Ndan.”

Ndan itu merujuk kepada komandan di kepolisian tadi. Meski

memikirkan soal kebersamaan dengan wartawan-wartawan,

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

44 45

berkonspirasi dengan narasumber untuk tidak menurunkan

berita. Hal seperti itu bisa dilakukan. Sebuah berita yang ditulis

semua wartawan di daerah itu di-drop atau tidak jadi ditulis, itu

bisa dilakukan.

Berbeda dengan bekerja sebagai wartawan di Semarang.

Lebih bisa merdeka karena intervensi kebersamaan bisa

dikurangi. Memang ada senioritas tapi hanya dari segi umur,

bukan dalam berita. Meski dalam kasus-kasus tertentu

intervensi atas nama kebersamaan itu juga masih terjadi.

Kasus intervensi pihak lain kepada wartawan saya

rasakan pada saat peliputan kasus Pujiono (dikenal dengan

nama Syekh Puji). Pujiono terjerat kasus hukum gara-gara

menikahi anak di bawah umur. Di Semarang, karena Pujiono

yang merupakan orang kaya sering melakukan tindakan aneh,

maka kasus ini sangat ramai dan menjadi perhatian publik.

Setahu saya, saat itu wartawan terpecah: ada yang pro Pujiono

tapi ada juga yang pro kepada kepolisian, dalam hal ini adalah

Polisi Resor Kota Besar Semarang, yang menangani kasus

Pujiono.

Saat itu, berita saya mengkritik kinerja polisi yang saya

anggap tidak profesional dalam melakukan penyidikan terhadap

Pujiono. Misalnya, berkas acara pemeriksaan Pujiono sangat

lama untuk mencapai P-21 (lengkap). Bahkan, Kejaksaan sudah

tiga kali mengembalikan berita acara pemeriksaan ke polisi.

Saya mencium polisi tidak profesional. Atau bisa jadi kejaksaan

juga ikut bermain.

Tapi saat berita mau saya bikin, saya ditemui seorang

wartawan yang sudah lama meliput di kepolisian. Saya diminta

untuk tidak membuat berita itu. “Nggak usah dimuat,” kata

wartawan tersebut. Saya pun diberi sejumlah uang. Saat itu,

tidak hanya saya yang diberi uang. Tapi banyak wartawan lain

juga diberi uang oleh “wartawan senior” tadi.

Pada satu sisi saya tidak enak kalau saya tetap membuat

berita. Sebab, saya juga mempertimbangkan hubungan baik

dengan komunitas wartawan. Kebersamaan dengan teman

wartawan-wartawan menjadi pertimbangan tersendiri. Tapi,

kalau saya tidak buat beritanya juga eman-eman (sayang)

karena termasuk berita yang bagus. Bahkan, bisa diibaratkan

materi beritanya sudah tinggal gong-nya. Sebab, sebelumnya

berita-berita tentang Pujiono juga sudah saya bikin terus, mulai

dari pemeriksaan, penahanan hingga penyerahan berkas yang

tidak lekas lengkap itu. Konfirmasi dan verifikasi juga sudah

komplit.

Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba telepon genggam

saya berdering. “Wartawan senior” lain menelepon saya.

Wartawan ini mengaku telah ditelepon oleh salah satu pejabat di

Polrestabes Semarang. Sang polisi menanyakan apakah media

saya membuat berita tentang Pujiono. Pejabat ini meminta agar

berita Pujiono tidak usah dibuat. Di ujung telepon, wartawan ini

mengaku berucap kepada polisi: “Saya tidak berani, Ndan.”

Ndan itu merujuk kepada komandan di kepolisian tadi. Meski

memikirkan soal kebersamaan dengan wartawan-wartawan,

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

44 45

akhirnya saya putuskan saya tetap menulis berita tentang

Pujiono. Sebab, saya menilai berita ini bagus. Urutan peristiwa

juga sangat bagus, mulai dari pemeriksaan, penahanan hingga

puncaknya pelimpahan berkas yang tidak beres-beres.

Tapi, saya hanya bisa menghela nafas. Sebab, berita yang

saya buat itu tidak dimuat redaktur. “Apa gak mangkelke

(menjengkelkan),” gumam saya. Saya tidak tahu kenapa berita

Pujiono itu tak dimuat redaktur. Saat itu, saya juga tidak berani

untuk menanyakan ke redaktur, kenapa berita tentang Pujiono

tidak dimuat. Padahal, sebelumnya berita tentang Pujiono juga

dimuat terus. Mungkin petinggi kepolisian berkomunikasi

dengan redaktur saya. Saya masih ingat betul: saat itu, yang

memuat berita tentang Pujiono hanya satu media. Yang lainnya

tidak ada berita soal molornya pelimpahan berkas.

Tidak Bebas Menulis

Saya mengakui juga memiliki kedekatan dengan pejabat

Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) yang mengurusi

perkara Pujiono itu. Jika dia ada rezeki, saya juga pernah diajak

makan bersama-sama wartawan lain. Bagi saya, kalau sudah

menyangkut narasumber, namanya pertemanan ya pertemanan.

Tapi, kalau sudah menyangkut kerja jurnalistik maka saya akan

berusaha profesional. Kalau memang pejabat yang saya sudah

kenal perlu dikritik ya harus saya kritik melalui berita.

Jiwa kebersamaan komunitas wartawan yang membuat

saya tidak bebas menulis berita juga pernah saya rasakan pada

saat liputan tentang kasus narkoba. Saat itu, polisi menetapkan

lima orang tersangka kasus narkoba. Tiba-tiba, sebelum saya

menulis berita itu ada seorang saudara tersangka yang menemui

para wartawan, termasuk saya. Untuk bertemu dengan

komunitas wartawan, dia ditemani seorang “wartawan senior”

yang sudah cukup lama meliput di kepolisian.

Saat itu, orang tersebut meminta agar dua nama

tersangka narkoba yang merupakan saudaranya hanya ditulis

inisial. Padahal, waktu itu, kami sudah mendapatkan nama

lengkap para tersangka secara valid. “Wartawan senior” tadi juga

memberikan amplop kepada para wartawan. Atas nama jiwa

kebersamaan itu tadi, saya termasuk wartawan yang hanya

menyebut nama inisial dua tersangka.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

46 47

akhirnya saya putuskan saya tetap menulis berita tentang

Pujiono. Sebab, saya menilai berita ini bagus. Urutan peristiwa

juga sangat bagus, mulai dari pemeriksaan, penahanan hingga

puncaknya pelimpahan berkas yang tidak beres-beres.

Tapi, saya hanya bisa menghela nafas. Sebab, berita yang

saya buat itu tidak dimuat redaktur. “Apa gak mangkelke

(menjengkelkan),” gumam saya. Saya tidak tahu kenapa berita

Pujiono itu tak dimuat redaktur. Saat itu, saya juga tidak berani

untuk menanyakan ke redaktur, kenapa berita tentang Pujiono

tidak dimuat. Padahal, sebelumnya berita tentang Pujiono juga

dimuat terus. Mungkin petinggi kepolisian berkomunikasi

dengan redaktur saya. Saya masih ingat betul: saat itu, yang

memuat berita tentang Pujiono hanya satu media. Yang lainnya

tidak ada berita soal molornya pelimpahan berkas.

Tidak Bebas Menulis

Saya mengakui juga memiliki kedekatan dengan pejabat

Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) yang mengurusi

perkara Pujiono itu. Jika dia ada rezeki, saya juga pernah diajak

makan bersama-sama wartawan lain. Bagi saya, kalau sudah

menyangkut narasumber, namanya pertemanan ya pertemanan.

Tapi, kalau sudah menyangkut kerja jurnalistik maka saya akan

berusaha profesional. Kalau memang pejabat yang saya sudah

kenal perlu dikritik ya harus saya kritik melalui berita.

Jiwa kebersamaan komunitas wartawan yang membuat

saya tidak bebas menulis berita juga pernah saya rasakan pada

saat liputan tentang kasus narkoba. Saat itu, polisi menetapkan

lima orang tersangka kasus narkoba. Tiba-tiba, sebelum saya

menulis berita itu ada seorang saudara tersangka yang menemui

para wartawan, termasuk saya. Untuk bertemu dengan

komunitas wartawan, dia ditemani seorang “wartawan senior”

yang sudah cukup lama meliput di kepolisian.

Saat itu, orang tersebut meminta agar dua nama

tersangka narkoba yang merupakan saudaranya hanya ditulis

inisial. Padahal, waktu itu, kami sudah mendapatkan nama

lengkap para tersangka secara valid. “Wartawan senior” tadi juga

memberikan amplop kepada para wartawan. Atas nama jiwa

kebersamaan itu tadi, saya termasuk wartawan yang hanya

menyebut nama inisial dua tersangka.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

46 47

Ketidakindependenan jurnalis juga sering saya rasakan

jika berhadapan dengan atasan saya, redaktur. Saya merasa

sudah membuat berita bagus tapi di-drop (tidak ditayangkan)

oleh redaktur. Tidak dimuatnya berita saya itu pernah saya alami

pada saat saya meliput kasus dugaan korupsi Bukit Cinta

Bandungan, Kabupaten Semarang. Kasus ini berawal dari

adanya perbaikan tempat wisata. Tapi saat itu dana cairnya

sudah mepet akhir tahun.

Akibatnya, pengerjaan proyek tidak maksimal. Wujud

pengerjaan proyeknya mangkrak. Padahal, anggaran proyek

sudah dicairkan. Kejaksaan juga sudah menetapkan tersangka.

Saat ini, para tersangka yang di bawah juga sudah diadili. Saya

menilai berita yang menyangkut kasus korupsi itu sangat bagus.

Apalagi kalau ada pejabat yang terseret dalam kasus tersebut.

Saya kemudian membuat beritanya. Narasumber sudah dapat.

Data juga sudah valid. Ibaratnya, kalau ada yang protes berita

saya, tidak bisa. Karena data sudah valid. Saya juga sudah

konfirmasi ke Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa

Tengah, selaku pihak yang punya proyek tersebut.

Sesampai di kantor, saya malah ditelepon pejabat Dinas

Pariwisata. Pejabat ini mengajak bertemu. Tapi saya sudah tahu

apa maunya si pejabat. Dia ingin agar saya tidak menulis berita

dugaan korupsi proyek Bukit Cinta. Karena gelagatnya tidak

baik, saya pun tidak mau menemui permintaan pertemuan. Saya

beralasan sudah sore dan waktu tenggat (deadline), karena saya

tidak mau menemui, pejabat ini pun berujar ke saya, “Tolong

nulisnya (berita) jangan keras-keras ya, yang biasa saja”. Saya

hanya bilang: “Iya...iya....” Tapi, dalam hati, saya sebenarnya

tidak mengindahkan permintaan itu. Berita saya tulis apa

adanya: ada dugaan penyelewengan pada proyek Bukit Cinta.

Kejaksaan juga sudah menaikkan ke tahap penyelidikan.

Tapi, saya harus mengerutkan dahi. Berita yang saya buat

itu tidak dimuat redaktur. Penjelasan dari kantor sangat klasik.

Perusahaan media itu tidak hanya butuh jeneng (nama) tapi juga

butuh jenang.* Saya merasakan matinya wartawan itu kalau

berita sudah di-drop redaksi. Saya tidak tahu apa saja konspirasi

antara pejabat dinas pariwisata dengan redaksi. Yang jelas saya

melihat koran saya juga sangat jarang mendapatkan iklan dari

Dinas Pariwisata tersebut.

Masalah lain adalah pengubahan sudut pemberitaan

oleh redaktur mengenai berita yang saya buat. Beberapa kali

redaktur saya memang mengubah berita saya. Tapi saya

memahami karena mungkin saya kurang jeli membuat sudut

pemberitaan.

Pengalaman soal intervensi berita juga saya rasakan

pada saat saya meliput kepala daerah. Saat itu, ada kepala daerah

yang hendak pelesiran ke Amerika Serikat. Awalnya saya intens

mengikuti rencana pelesiran tersebut. Titik berat berita saya

adalah kritik. Sebab, saya menilai kunjungan itu tidak tepat

karena dilakukan menjelang pengesahan rancangan anggaran

pendapatan dan belanja daerah. Berita saya “menggebuki”

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

*Jenang adalah sejenis makanan. Dalam pernyataan ini, jenang bermakna konotatif yang berarti kekayaan atau pun kesejahteraan

48 49

Ketidakindependenan jurnalis juga sering saya rasakan

jika berhadapan dengan atasan saya, redaktur. Saya merasa

sudah membuat berita bagus tapi di-drop (tidak ditayangkan)

oleh redaktur. Tidak dimuatnya berita saya itu pernah saya alami

pada saat saya meliput kasus dugaan korupsi Bukit Cinta

Bandungan, Kabupaten Semarang. Kasus ini berawal dari

adanya perbaikan tempat wisata. Tapi saat itu dana cairnya

sudah mepet akhir tahun.

Akibatnya, pengerjaan proyek tidak maksimal. Wujud

pengerjaan proyeknya mangkrak. Padahal, anggaran proyek

sudah dicairkan. Kejaksaan juga sudah menetapkan tersangka.

Saat ini, para tersangka yang di bawah juga sudah diadili. Saya

menilai berita yang menyangkut kasus korupsi itu sangat bagus.

Apalagi kalau ada pejabat yang terseret dalam kasus tersebut.

Saya kemudian membuat beritanya. Narasumber sudah dapat.

Data juga sudah valid. Ibaratnya, kalau ada yang protes berita

saya, tidak bisa. Karena data sudah valid. Saya juga sudah

konfirmasi ke Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa

Tengah, selaku pihak yang punya proyek tersebut.

Sesampai di kantor, saya malah ditelepon pejabat Dinas

Pariwisata. Pejabat ini mengajak bertemu. Tapi saya sudah tahu

apa maunya si pejabat. Dia ingin agar saya tidak menulis berita

dugaan korupsi proyek Bukit Cinta. Karena gelagatnya tidak

baik, saya pun tidak mau menemui permintaan pertemuan. Saya

beralasan sudah sore dan waktu tenggat (deadline), karena saya

tidak mau menemui, pejabat ini pun berujar ke saya, “Tolong

nulisnya (berita) jangan keras-keras ya, yang biasa saja”. Saya

hanya bilang: “Iya...iya....” Tapi, dalam hati, saya sebenarnya

tidak mengindahkan permintaan itu. Berita saya tulis apa

adanya: ada dugaan penyelewengan pada proyek Bukit Cinta.

Kejaksaan juga sudah menaikkan ke tahap penyelidikan.

Tapi, saya harus mengerutkan dahi. Berita yang saya buat

itu tidak dimuat redaktur. Penjelasan dari kantor sangat klasik.

Perusahaan media itu tidak hanya butuh jeneng (nama) tapi juga

butuh jenang.* Saya merasakan matinya wartawan itu kalau

berita sudah di-drop redaksi. Saya tidak tahu apa saja konspirasi

antara pejabat dinas pariwisata dengan redaksi. Yang jelas saya

melihat koran saya juga sangat jarang mendapatkan iklan dari

Dinas Pariwisata tersebut.

Masalah lain adalah pengubahan sudut pemberitaan

oleh redaktur mengenai berita yang saya buat. Beberapa kali

redaktur saya memang mengubah berita saya. Tapi saya

memahami karena mungkin saya kurang jeli membuat sudut

pemberitaan.

Pengalaman soal intervensi berita juga saya rasakan

pada saat saya meliput kepala daerah. Saat itu, ada kepala daerah

yang hendak pelesiran ke Amerika Serikat. Awalnya saya intens

mengikuti rencana pelesiran tersebut. Titik berat berita saya

adalah kritik. Sebab, saya menilai kunjungan itu tidak tepat

karena dilakukan menjelang pengesahan rancangan anggaran

pendapatan dan belanja daerah. Berita saya “menggebuki”

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

*Jenang adalah sejenis makanan. Dalam pernyataan ini, jenang bermakna konotatif yang berarti kekayaan atau pun kesejahteraan

48 49

kepala daerah tersebut agar batal melakukan pelesiran. Saya

menulis berita soal ini tidak ada duitnya sama sekali. Setelah

ramai, kepala daerah tersebut membatalkan pelesiran. Setelah

itu kepala daerah tersebut mendekat ke wartawan. Bahkan, dia

melakukan semacam anjangsana ke media-media.

Dampaknya baru terasa di kemudian hari. Ketika kepala

daerah tersebut ingin diinterpelasi oleh DPRD, berita-beritanya

tidak dimuat. Saya sudah sering membuat beritanya tapi tidak

pernah dimuat. Belakangan, ketika ada satu media membuat

berita interpelasi itu, media saya baru meminta untuk membikin

beritanya. Tapi berita yang termuat adalah berita hak jawab dari

si kepala daerah. Jadi agak aneh. Awal-awal kita tidak

memberitakan kasusnya tapi belakangan hak jawab atau

bantahan dari pihak kepala daerah terus-menerus dimuat. Nah,

setelah itu ada permufakatan pemerintah daerah dengan bagian

iklan.

Bertemu Preman

Saya juga pernah membatalkan sebuah berita karena

pertimbangan keselamatan tetangga saya. Saat itu saya dikabari

oleh tetangga saya bahwa pengurukan proyek tol Semarang-Solo

mengganggu warga. Debu pengurukan terbang kemana-mana

sehingga warga merasa terganggu. Bahkan, sekelompok warga

berunjuk rasa karena terganggu dengan proyek jalan tol. Saya

pun ke Tempat Kejadian Perkara (TKP). Setelah mencari lokasi,

saya bertemu dengan seseorang. Saya bertanya soal keluhan

warga itu.

Tapi, celaka. Orang yang saya temui itu adalah preman

penjaga lokasi proyek tol. Saat itu, preman tersebut sedang

berjaga di depan sebuah base camp. Sesekali preman ini wira-

wiri naik sepeda motor trail untuk mengecek lokasi tol. Ketika

saya tanya tentang keluhan warga, preman itu pun menjawab

dengan ketus. Bahkan, preman ini membantah adanya warga

yang protes. Belakangan, sesaat saya hendak pulang, saya malah

dicegat. Saya diinterogasi, siapa yang memberitahukan adanya

protes warga. Dengan polos saya menjawab yang

memberitahukan adalah tetangga saya. Saya pun menyebut

nama tetangga saya itu.

Setelah itu saya pulang. Saya pun berencana akan

membuat berita tersebut. Berita protes warga itu menjadi salah

satu berita yang saya listing ke redaktur. Listing adalah laporan

dari wartawan ke redaktur mengenai rencana berita yang hendak

dikirim. Sampai di rumah, saya pun langsung membuat berita

tentang tol tersebut. Sesaat hendak saya kirim, seorang tetangga

yang memberitahukan adanya protes warga datang ke rumah

saya. Dengan tergopoh-gopoh, tetangga saya bercerita bahwa ia

baru saja diancam oleh preman keamanan proyek jalan tol.

Ia pun memohon kepada saya agar berita jangan sampai

ditulis. “Padha-padha apike (sama-sama baiknya)” kata

tetangga saya. Idealisme saya pun luntur dengan pertimbangan

kemanusiaan. Saya pun khawatir kalau berita ini saya teruskan

maka yang kena dampak adalah tetangga saya. Tetangga saya

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

50 51

kepala daerah tersebut agar batal melakukan pelesiran. Saya

menulis berita soal ini tidak ada duitnya sama sekali. Setelah

ramai, kepala daerah tersebut membatalkan pelesiran. Setelah

itu kepala daerah tersebut mendekat ke wartawan. Bahkan, dia

melakukan semacam anjangsana ke media-media.

Dampaknya baru terasa di kemudian hari. Ketika kepala

daerah tersebut ingin diinterpelasi oleh DPRD, berita-beritanya

tidak dimuat. Saya sudah sering membuat beritanya tapi tidak

pernah dimuat. Belakangan, ketika ada satu media membuat

berita interpelasi itu, media saya baru meminta untuk membikin

beritanya. Tapi berita yang termuat adalah berita hak jawab dari

si kepala daerah. Jadi agak aneh. Awal-awal kita tidak

memberitakan kasusnya tapi belakangan hak jawab atau

bantahan dari pihak kepala daerah terus-menerus dimuat. Nah,

setelah itu ada permufakatan pemerintah daerah dengan bagian

iklan.

Bertemu Preman

Saya juga pernah membatalkan sebuah berita karena

pertimbangan keselamatan tetangga saya. Saat itu saya dikabari

oleh tetangga saya bahwa pengurukan proyek tol Semarang-Solo

mengganggu warga. Debu pengurukan terbang kemana-mana

sehingga warga merasa terganggu. Bahkan, sekelompok warga

berunjuk rasa karena terganggu dengan proyek jalan tol. Saya

pun ke Tempat Kejadian Perkara (TKP). Setelah mencari lokasi,

saya bertemu dengan seseorang. Saya bertanya soal keluhan

warga itu.

Tapi, celaka. Orang yang saya temui itu adalah preman

penjaga lokasi proyek tol. Saat itu, preman tersebut sedang

berjaga di depan sebuah base camp. Sesekali preman ini wira-

wiri naik sepeda motor trail untuk mengecek lokasi tol. Ketika

saya tanya tentang keluhan warga, preman itu pun menjawab

dengan ketus. Bahkan, preman ini membantah adanya warga

yang protes. Belakangan, sesaat saya hendak pulang, saya malah

dicegat. Saya diinterogasi, siapa yang memberitahukan adanya

protes warga. Dengan polos saya menjawab yang

memberitahukan adalah tetangga saya. Saya pun menyebut

nama tetangga saya itu.

Setelah itu saya pulang. Saya pun berencana akan

membuat berita tersebut. Berita protes warga itu menjadi salah

satu berita yang saya listing ke redaktur. Listing adalah laporan

dari wartawan ke redaktur mengenai rencana berita yang hendak

dikirim. Sampai di rumah, saya pun langsung membuat berita

tentang tol tersebut. Sesaat hendak saya kirim, seorang tetangga

yang memberitahukan adanya protes warga datang ke rumah

saya. Dengan tergopoh-gopoh, tetangga saya bercerita bahwa ia

baru saja diancam oleh preman keamanan proyek jalan tol.

Ia pun memohon kepada saya agar berita jangan sampai

ditulis. “Padha-padha apike (sama-sama baiknya)” kata

tetangga saya. Idealisme saya pun luntur dengan pertimbangan

kemanusiaan. Saya pun khawatir kalau berita ini saya teruskan

maka yang kena dampak adalah tetangga saya. Tetangga saya

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

50 51

juga punya anak dan istri. Padahal, saat itu berita sudah saya

listing, berita sudah jadi dan tinggal mengirim. Setelah berpikir

sejenak, saya pun menelepon redaktur. “Berita saya soal proyek

jalan tol saya drop ya,” kata saya. Redaktur pun mengiyakan

setelah saya memberi penjelasan tentang situasi di lapangan.

Intervensi pemberitaan melalui kekerasan fisik memang tidak

pernah saya alami. Kekerasan fisik terhadap jurnalis di Jawa

memang minim, bahkan jarang sekali. Mungkin berbeda dengan

kondisi di luar jawa.

Selama bekerja sebagai jurnalis, tawaran amplop

memang sering saya alami. Banyak narasumber maupun dinas-

dinas yang memberikan amplop kepada para wartawan. Saya

akui saya termasuk wartawan yang doyan uang amplop. Tapi,

tidak sembarang amplop saya terima. Prinsip saya: bekerja

dengan independen dan profesional. Saya bukan tipe jurnalis

yang hobinya kesana kemari mencari amplop. Saya bekerja

mencari berita yang bagus untuk perusahaan. Tujuannya agar

perusahaan bisa berkembang dan bisa menjadi acuan

masyarakat. Tiap mau berangkat bekerja, saat keluar dari rumah

niat saya adalah mencari berita. Tidak sedikit pun terlintas di

benak saya pergi ke lapangan untuk mencari uang dengan

mendatangi kantor-kantor dinas pemerintahan.

Saya mengakui, saya tergolong wartawan yang mau

menerima uang atau amplop dari narasumber. Tapi saya punya

prinsip dalam menerima amplop tersebut, yakni narasumber

merasa tidak saya peras. Kenapa saya mau menerima? Sejauh

narasumber dalam memberikan amplopnya bisa sambil

tersenyum dan senang. Dalam memberikan amplop itu

narasumber tidak atas dasar keterpaksaan. Sebab, banyak sekali

narasumber yang sebenarnya sangat terpaksa dalam

memberikan amplop ke wartawan. Bahkan, ada narasumber

yang merasa mengalami pemerasan dari para wartawan.

Saya bukan tipe pemeras. Ibaratnya, kalau ada amplop ya

saya terima, kalau tidak ya tidak. Susahnya adalah banyak

narasumber yang mau kita wawancara, mereka mengira kita

mencari amplop. Bahkan, ada narasumber yang setelah kita

selesai mewawancarainya seperti gelisah karena tidak punya

duit untuk memberikan amplop. Kalau situasinya seperti itu,

kita justru malah yang paling tidak enak.

Bicara soal tolak amplop, saya teringat dengan peristiwa

yang pernah saya alami. Pernah saya meliput seorang anak

meninggal dunia karena terjatuh di selokan pembangunan

proyek tol Semarang-Solo. Setelah melakukan reportase dan

verifikasi lapangan, saya pun meminta konfirmasi ke pihak

kontraktor yang menggarap proyek jalan tersebut. Saat itu saya

sendirian. Bahkan untuk mendapatkan konfirmasi saya

menunggu sampai waktu salat Magrib.

Setelah selesai wawancara, tiba-tiba pihak kontraktor

memberikan uang amplop ke saya. Jelas, hati saya berontak dan

menolak pemberian amplop tersebut. “Mboten usah, Pak (Tidak

usah, Pak),” begitu kata saya kepada kontraktor. Sebab, kalau

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

52 53

juga punya anak dan istri. Padahal, saat itu berita sudah saya

listing, berita sudah jadi dan tinggal mengirim. Setelah berpikir

sejenak, saya pun menelepon redaktur. “Berita saya soal proyek

jalan tol saya drop ya,” kata saya. Redaktur pun mengiyakan

setelah saya memberi penjelasan tentang situasi di lapangan.

Intervensi pemberitaan melalui kekerasan fisik memang tidak

pernah saya alami. Kekerasan fisik terhadap jurnalis di Jawa

memang minim, bahkan jarang sekali. Mungkin berbeda dengan

kondisi di luar jawa.

Selama bekerja sebagai jurnalis, tawaran amplop

memang sering saya alami. Banyak narasumber maupun dinas-

dinas yang memberikan amplop kepada para wartawan. Saya

akui saya termasuk wartawan yang doyan uang amplop. Tapi,

tidak sembarang amplop saya terima. Prinsip saya: bekerja

dengan independen dan profesional. Saya bukan tipe jurnalis

yang hobinya kesana kemari mencari amplop. Saya bekerja

mencari berita yang bagus untuk perusahaan. Tujuannya agar

perusahaan bisa berkembang dan bisa menjadi acuan

masyarakat. Tiap mau berangkat bekerja, saat keluar dari rumah

niat saya adalah mencari berita. Tidak sedikit pun terlintas di

benak saya pergi ke lapangan untuk mencari uang dengan

mendatangi kantor-kantor dinas pemerintahan.

Saya mengakui, saya tergolong wartawan yang mau

menerima uang atau amplop dari narasumber. Tapi saya punya

prinsip dalam menerima amplop tersebut, yakni narasumber

merasa tidak saya peras. Kenapa saya mau menerima? Sejauh

narasumber dalam memberikan amplopnya bisa sambil

tersenyum dan senang. Dalam memberikan amplop itu

narasumber tidak atas dasar keterpaksaan. Sebab, banyak sekali

narasumber yang sebenarnya sangat terpaksa dalam

memberikan amplop ke wartawan. Bahkan, ada narasumber

yang merasa mengalami pemerasan dari para wartawan.

Saya bukan tipe pemeras. Ibaratnya, kalau ada amplop ya

saya terima, kalau tidak ya tidak. Susahnya adalah banyak

narasumber yang mau kita wawancara, mereka mengira kita

mencari amplop. Bahkan, ada narasumber yang setelah kita

selesai mewawancarainya seperti gelisah karena tidak punya

duit untuk memberikan amplop. Kalau situasinya seperti itu,

kita justru malah yang paling tidak enak.

Bicara soal tolak amplop, saya teringat dengan peristiwa

yang pernah saya alami. Pernah saya meliput seorang anak

meninggal dunia karena terjatuh di selokan pembangunan

proyek tol Semarang-Solo. Setelah melakukan reportase dan

verifikasi lapangan, saya pun meminta konfirmasi ke pihak

kontraktor yang menggarap proyek jalan tersebut. Saat itu saya

sendirian. Bahkan untuk mendapatkan konfirmasi saya

menunggu sampai waktu salat Magrib.

Setelah selesai wawancara, tiba-tiba pihak kontraktor

memberikan uang amplop ke saya. Jelas, hati saya berontak dan

menolak pemberian amplop tersebut. “Mboten usah, Pak (Tidak

usah, Pak),” begitu kata saya kepada kontraktor. Sebab, kalau

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

52 53

saya mau menerima uang amplop tersebut maka sama saja saya

memanfaatkan musibah orang lain untuk keuntungan pribadi

saya. Ada orang kesusahan karena anaknya meninggal dunia

tapi saya malah mendapatkan amplop dari narasumber. Ada

keluarganya kesusahan, tapi seolah-olah kita malah tepuk

tangan untuk mencari uang amplop.

Hal-hal seperti itulah yang harus kita pertimbangkan

dalam menerima atau tidak pemberian amplop dari orang lain.

Menerima amplop itu juga harus punya prinsip dan

pertimbangan. Keluarganya kesusahan, tapi kita seolah-olah

tepuk tangan untuk mencari duit. Pertimbangan lain kenapa

saya mau menerima amplop karena saya merasa masih tetap

bisa independen meski menerima amplop. Tapi, jika ada

narasumber yang memaksa beritanya harus begini atau begitu

maka saya koordinasi dengan pihak kantor terlebih dulu. Sebab,

narasumber itu kadang mintanya macam-macam.

Kalau ada berita tapi isinya seperti iklan, saya harus

koordinasi dulu dengan redaktur. Kadang redaktur

memperbolehkan berita sesuai dengan pesanan narasumber

atau klien. Biasanya klien itu akan memberikan sejumlah uang

ke saya. Karena beritanya berbau promosi, uang itu saya

serahkan ke kantor. Uangnya terbilang kecil, antara Rp 500 ribu

hingga Rp 1 juta. Karena bukan iklan.

Di kantor sudah ada bagian pengumpul uangnya.

Biasanya saya diberi sekitar 10 persen dari uang yang saya

dapatkan. Nah, uang yang sudah terkumpul di kantor biasanya

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

digunakan untuk beberapa keperluan darurat karyawan.

Misalnya ada karyawan maupun jurnalis yang terkena musibah,

keluarganya sakit atau dirinya sendiri sakit, maka akan

mendapatkan sumbangan dari uang tersebut. Kantor saya

sebenarnya sudah memberikan asuransi, tapi kadang prosesnya

cukup lama.

Sebagai jurnalis, saya kadang juga diperbolehkan

mencari iklan. Tapi biasanya hanya menjadi penyambung saja.

Misalnya di salah satu dinas sedang ada rencana pemasangan

iklan, saya berkomunikasi dengan pejabatnya. Lalu soal harga

saya sambungkan dengan bagian pemasaran. Tidak ada

permufakatan pemberitaan apa pun dengan saya.

Dengan memberikan “jasa” menyambungkan pengiklan

dengan bagian pemasaran itu saya bisa mendapatkan bagian,

antara lima hingga sepuluh persen. Memang saya akui, banyak

perusahaan media belum memberikan upah secara layak kepada

jurnalis. Akibatnya, bagaimana jurnalis bisa profesional jika

kesejahteraannya saja masih minim. Makanya, melihat

persoalan jurnalis juga harus menimbang bagaimana

perusahaan memperlakukan jurnalis.

* * *

54 55

saya mau menerima uang amplop tersebut maka sama saja saya

memanfaatkan musibah orang lain untuk keuntungan pribadi

saya. Ada orang kesusahan karena anaknya meninggal dunia

tapi saya malah mendapatkan amplop dari narasumber. Ada

keluarganya kesusahan, tapi seolah-olah kita malah tepuk

tangan untuk mencari uang amplop.

Hal-hal seperti itulah yang harus kita pertimbangkan

dalam menerima atau tidak pemberian amplop dari orang lain.

Menerima amplop itu juga harus punya prinsip dan

pertimbangan. Keluarganya kesusahan, tapi kita seolah-olah

tepuk tangan untuk mencari duit. Pertimbangan lain kenapa

saya mau menerima amplop karena saya merasa masih tetap

bisa independen meski menerima amplop. Tapi, jika ada

narasumber yang memaksa beritanya harus begini atau begitu

maka saya koordinasi dengan pihak kantor terlebih dulu. Sebab,

narasumber itu kadang mintanya macam-macam.

Kalau ada berita tapi isinya seperti iklan, saya harus

koordinasi dulu dengan redaktur. Kadang redaktur

memperbolehkan berita sesuai dengan pesanan narasumber

atau klien. Biasanya klien itu akan memberikan sejumlah uang

ke saya. Karena beritanya berbau promosi, uang itu saya

serahkan ke kantor. Uangnya terbilang kecil, antara Rp 500 ribu

hingga Rp 1 juta. Karena bukan iklan.

Di kantor sudah ada bagian pengumpul uangnya.

Biasanya saya diberi sekitar 10 persen dari uang yang saya

dapatkan. Nah, uang yang sudah terkumpul di kantor biasanya

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

digunakan untuk beberapa keperluan darurat karyawan.

Misalnya ada karyawan maupun jurnalis yang terkena musibah,

keluarganya sakit atau dirinya sendiri sakit, maka akan

mendapatkan sumbangan dari uang tersebut. Kantor saya

sebenarnya sudah memberikan asuransi, tapi kadang prosesnya

cukup lama.

Sebagai jurnalis, saya kadang juga diperbolehkan

mencari iklan. Tapi biasanya hanya menjadi penyambung saja.

Misalnya di salah satu dinas sedang ada rencana pemasangan

iklan, saya berkomunikasi dengan pejabatnya. Lalu soal harga

saya sambungkan dengan bagian pemasaran. Tidak ada

permufakatan pemberitaan apa pun dengan saya.

Dengan memberikan “jasa” menyambungkan pengiklan

dengan bagian pemasaran itu saya bisa mendapatkan bagian,

antara lima hingga sepuluh persen. Memang saya akui, banyak

perusahaan media belum memberikan upah secara layak kepada

jurnalis. Akibatnya, bagaimana jurnalis bisa profesional jika

kesejahteraannya saja masih minim. Makanya, melihat

persoalan jurnalis juga harus menimbang bagaimana

perusahaan memperlakukan jurnalis.

* * *

54 55

anggil dia Alex. Suatu hari jurnalis di sebuah surat kabar

harian Jawa Tengah ini kaget tak kepalang. Pasalnya, Pserombongan pegawai sebuah Badan Usaha Milik

Negara (BUMN) datang ke kantornya. Perwakilan BUMN itu

memprotes sebuah berita yang menurut mereka mencoreng

citra perusahaan. “Rupanya ada 'borok' perusahaan itu yang

terbongkar oleh berita kami,” tutur Alex.

Mereka marah-marah dan meminta agar media tempat

Alex bekerja mencabut berita yang diprotes itu. Tentu saja

redaksi keberatan. Tak mungkin mencabut sebuah berita yang

sudah dikeluarkan. Apalagi redaksi yakin tak ada yang salah dari

informasi tersebut.

Cukup lama kedua belah pihak berunding terkait

permintaan pencabutan berita. Akhirnya muncul kesepakatan.

Redaksi tetap menolak mencabut berita, namun memberikan

hak jawab sesuai dengan prosedur dalam kode etik jurnalistik.

Permintaan pencabutan berita tadi salah satu contoh

percobaan intervensi pihak luar kepada redaksi tempat Alex

bekerja. Tak hanya percobaan intervensi yang datang ke redaksi,

Alex juga pernah mengalami hal yang sama.

Saat itu Alex sedang meliput sebuah kasus hukum yang

melibatkan seorang pejabat di Pengadilan Negeri Semarang. Dia

sedang serius mengumpulkan data. Tiba-tiba saja pengacara

AJI Semarang

Sudah Digebuki Tertimpa Koran Lagi

56 57

anggil dia Alex. Suatu hari jurnalis di sebuah surat kabar

harian Jawa Tengah ini kaget tak kepalang. Pasalnya, Pserombongan pegawai sebuah Badan Usaha Milik

Negara (BUMN) datang ke kantornya. Perwakilan BUMN itu

memprotes sebuah berita yang menurut mereka mencoreng

citra perusahaan. “Rupanya ada 'borok' perusahaan itu yang

terbongkar oleh berita kami,” tutur Alex.

Mereka marah-marah dan meminta agar media tempat

Alex bekerja mencabut berita yang diprotes itu. Tentu saja

redaksi keberatan. Tak mungkin mencabut sebuah berita yang

sudah dikeluarkan. Apalagi redaksi yakin tak ada yang salah dari

informasi tersebut.

Cukup lama kedua belah pihak berunding terkait

permintaan pencabutan berita. Akhirnya muncul kesepakatan.

Redaksi tetap menolak mencabut berita, namun memberikan

hak jawab sesuai dengan prosedur dalam kode etik jurnalistik.

Permintaan pencabutan berita tadi salah satu contoh

percobaan intervensi pihak luar kepada redaksi tempat Alex

bekerja. Tak hanya percobaan intervensi yang datang ke redaksi,

Alex juga pernah mengalami hal yang sama.

Saat itu Alex sedang meliput sebuah kasus hukum yang

melibatkan seorang pejabat di Pengadilan Negeri Semarang. Dia

sedang serius mengumpulkan data. Tiba-tiba saja pengacara

AJI Semarang

Sudah Digebuki Tertimpa Koran Lagi

56 57

terdakwa menghampirinya. Ia meminta agar Alex tidak menulis

berita tentang pejabat itu.

Tegas saja, permintaan pengacara tadi ia tolak.

“Beritanya tetap saya tulis dan dimuat oleh redaktur,” katanya.

Iklan kalahkan berita

Selain percobaan intervensi dari luar redaksi, apakah

Alex juga pernah diintervensi oleh redaksinya sendiri? Ia

mengaku tidak pernah ada intervensi dari redaksi dalam

membuat berita. Alex diberi keleluasaan mencari dan mengolah

sumber pemberitaan sesuai keinginannya. "Hanya kalau untuk

berita penugasan, memang sudah ada pengarahan tentang garis

besar liputan. Tapi tak pernah ada intervensi apa yang tidak

boleh ditulis," tuturnya.

Begitu juga dengan iklan, menurutnya, tidak

berpengaruh terhadap isi berita. Pemasang iklan tidak bisa

melarang berita naik cetak jika berita itu berdampak buruk bagi

citra pemasang iklan. Setidaknya hingga saat ini, Alex tidak

pernah mengalami beritanya di-drop gara-gara pemasang iklan

keberatan.

Namun, Alex tidak memungkiri bahwa berita bisa saja

tidak dimuat jika banyak iklan yang harus dipasang. Ruang

halaman koran mungkin saja dipenuhi oleh iklan sehingga

berita-berita tersingkir. "Kalau penuh iklan terus berita kalah

dan tidak bisa dimuat karena tidak ada ruang, aku kira itu masih

wajar," jelasnya.

Bagi Alex, aturan tegas perusahaan yang melarang

jurnalis menerima amplop dari narasumber merupakan bekal

penting untuk menepis intervensi pihak luar. Dengan tidak

menerima amplop, maka jurnalis bisa menulis berita sesuai

fakta yang ia kumpulkan.

Dari amplop hingga tumo

Kondisi ini berbeda waktu ia masih bekerja di media lain

yang terkenal sebagai koran kuning, koran yang banyak

menampilkan berita kriminal, seksualitas dan klenik. Saat itu,

menerima amplop hal yang lumrah saja.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

58 59

terdakwa menghampirinya. Ia meminta agar Alex tidak menulis

berita tentang pejabat itu.

Tegas saja, permintaan pengacara tadi ia tolak.

“Beritanya tetap saya tulis dan dimuat oleh redaktur,” katanya.

Iklan kalahkan berita

Selain percobaan intervensi dari luar redaksi, apakah

Alex juga pernah diintervensi oleh redaksinya sendiri? Ia

mengaku tidak pernah ada intervensi dari redaksi dalam

membuat berita. Alex diberi keleluasaan mencari dan mengolah

sumber pemberitaan sesuai keinginannya. "Hanya kalau untuk

berita penugasan, memang sudah ada pengarahan tentang garis

besar liputan. Tapi tak pernah ada intervensi apa yang tidak

boleh ditulis," tuturnya.

Begitu juga dengan iklan, menurutnya, tidak

berpengaruh terhadap isi berita. Pemasang iklan tidak bisa

melarang berita naik cetak jika berita itu berdampak buruk bagi

citra pemasang iklan. Setidaknya hingga saat ini, Alex tidak

pernah mengalami beritanya di-drop gara-gara pemasang iklan

keberatan.

Namun, Alex tidak memungkiri bahwa berita bisa saja

tidak dimuat jika banyak iklan yang harus dipasang. Ruang

halaman koran mungkin saja dipenuhi oleh iklan sehingga

berita-berita tersingkir. "Kalau penuh iklan terus berita kalah

dan tidak bisa dimuat karena tidak ada ruang, aku kira itu masih

wajar," jelasnya.

Bagi Alex, aturan tegas perusahaan yang melarang

jurnalis menerima amplop dari narasumber merupakan bekal

penting untuk menepis intervensi pihak luar. Dengan tidak

menerima amplop, maka jurnalis bisa menulis berita sesuai

fakta yang ia kumpulkan.

Dari amplop hingga tumo

Kondisi ini berbeda waktu ia masih bekerja di media lain

yang terkenal sebagai koran kuning, koran yang banyak

menampilkan berita kriminal, seksualitas dan klenik. Saat itu,

menerima amplop hal yang lumrah saja.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

58 59

Alex yang ditugaskan di wilayah Daerah Istimewa

Yogyakarta menjelaskan, praktik pemberian amplop juga sering

ditemui saat ia bekerja. “Tapi praktik amplop di Jogja tak

sevulgar di Semarang. Saya kaget saat pertama kali melihat di

Semarang kok sekasar itu,” jelasnya.

Alex mencontohkan hal yang dianggapnya vulgar. Ia

melihat ada jurnalis yang terang-terangan minta imbalan

kepada narasumber jika kegiatannya hendak diberitakan.

Bahkan ada jurnalis yang datang terlambat di sebuah acara dan

mengetahui rekan-rekannya telah mendapatkan amplop, maka

ia akan mencari panitia acara untuk minta jatah yang sama.

Fakta tadi berbeda dengan di Yogya. Meski praktik

pemberian amplop juga ada, tapi jurnalis tidak agresif menagih

ke narasumber. “Kalau diberi ya diterima, kalau tak ada juga tak

apa-apa. Bahkan kalau tidak kebagian juga tidak minta ke

panitia,” jelasnya.

Rata-rata nilai nominal amplop di Yogya lebih kecil

dibandingkan di Semarang. Berdasarkan cerita rekan-rekannya

yang sering mengambil jatah amplop, nilainya berkisar antara

Rp50 ribu sampai Rp100 ribu. Sesekali memang ada yang

nilainya lebih dari Rp100 ribu, meski sangat jarang. Sementara

di Semarang, biasanya minimal Rp100 ribu.

Pemerintah provinsi Yogya juga menyediakan jatah

amplop bagi jurnalis yang diberikan setiap tiga bulan sekali,

jumlahnya sekitar Rp400 ribu. “Nilainya tentu lebih kecil

dibandingkan dengan di Semarang dan saya tak pernah ambil,”

kata Alex.

Sebagai perbandingan, Pemerintah Provinsi Jawa

Tengah biasa memberikan jatah amplop Rp150 ribu dipotong

pajak untuk setiap kegiatan. Seandainya dalam sehari ada dua

kegiatan, maka akan ada dua jatah amplop pula. Sementara di

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah, biasa

dikenal istilah “tumo” untuk amplop yang dibagikan seusai acara

rapat paripurna. “Tumo” akronim dari “pitu limo” atau tujuh

puluh lima, mengacu pada besaran uang amplop yang diberikan

oleh Setwan DPRD Jawa Tengah, yakni Rp75 ribu.

Di medianya yang lama, menurut Alex, jurnalis juga

diminta berkontribusi pada pendapatan perusahaan. Caranya

dengan menawarkan iklan atau pembelian koran pada

narasumber yang diliput.

Penawaran iklan disertai pembelian koran sering juga

diajukan kepada narasumber yang sedang “digebuki” dengan

berita-berita negatif. Biasanya narasumber yang punya masalah,

merasa keberatan jika masalah tersebut diketahui publik lewat

pemberitaan media. Apalagi jika pemberitaan tersebut muncul

berseri selama beberapa hari berturut-turut. Jika begini,

istilahnya, narasumber itu sedang “digebuki.”

Narasumber yang sedang “digebuki” biasanya mendekati

jurnalis dan meminta agar pemberitaan negatif dihentikan.

Bahkan tak jarang ada yang langsung datang ke kantor untuk

berunding dengan petinggi media. “Biasanya ada tawar

menawar untuk pasang iklan dan sebagian dikompensasikan

dalam bentuk pembelian koran,” jelas Alex.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

60 61

Alex yang ditugaskan di wilayah Daerah Istimewa

Yogyakarta menjelaskan, praktik pemberian amplop juga sering

ditemui saat ia bekerja. “Tapi praktik amplop di Jogja tak

sevulgar di Semarang. Saya kaget saat pertama kali melihat di

Semarang kok sekasar itu,” jelasnya.

Alex mencontohkan hal yang dianggapnya vulgar. Ia

melihat ada jurnalis yang terang-terangan minta imbalan

kepada narasumber jika kegiatannya hendak diberitakan.

Bahkan ada jurnalis yang datang terlambat di sebuah acara dan

mengetahui rekan-rekannya telah mendapatkan amplop, maka

ia akan mencari panitia acara untuk minta jatah yang sama.

Fakta tadi berbeda dengan di Yogya. Meski praktik

pemberian amplop juga ada, tapi jurnalis tidak agresif menagih

ke narasumber. “Kalau diberi ya diterima, kalau tak ada juga tak

apa-apa. Bahkan kalau tidak kebagian juga tidak minta ke

panitia,” jelasnya.

Rata-rata nilai nominal amplop di Yogya lebih kecil

dibandingkan di Semarang. Berdasarkan cerita rekan-rekannya

yang sering mengambil jatah amplop, nilainya berkisar antara

Rp50 ribu sampai Rp100 ribu. Sesekali memang ada yang

nilainya lebih dari Rp100 ribu, meski sangat jarang. Sementara

di Semarang, biasanya minimal Rp100 ribu.

Pemerintah provinsi Yogya juga menyediakan jatah

amplop bagi jurnalis yang diberikan setiap tiga bulan sekali,

jumlahnya sekitar Rp400 ribu. “Nilainya tentu lebih kecil

dibandingkan dengan di Semarang dan saya tak pernah ambil,”

kata Alex.

Sebagai perbandingan, Pemerintah Provinsi Jawa

Tengah biasa memberikan jatah amplop Rp150 ribu dipotong

pajak untuk setiap kegiatan. Seandainya dalam sehari ada dua

kegiatan, maka akan ada dua jatah amplop pula. Sementara di

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah, biasa

dikenal istilah “tumo” untuk amplop yang dibagikan seusai acara

rapat paripurna. “Tumo” akronim dari “pitu limo” atau tujuh

puluh lima, mengacu pada besaran uang amplop yang diberikan

oleh Setwan DPRD Jawa Tengah, yakni Rp75 ribu.

Di medianya yang lama, menurut Alex, jurnalis juga

diminta berkontribusi pada pendapatan perusahaan. Caranya

dengan menawarkan iklan atau pembelian koran pada

narasumber yang diliput.

Penawaran iklan disertai pembelian koran sering juga

diajukan kepada narasumber yang sedang “digebuki” dengan

berita-berita negatif. Biasanya narasumber yang punya masalah,

merasa keberatan jika masalah tersebut diketahui publik lewat

pemberitaan media. Apalagi jika pemberitaan tersebut muncul

berseri selama beberapa hari berturut-turut. Jika begini,

istilahnya, narasumber itu sedang “digebuki.”

Narasumber yang sedang “digebuki” biasanya mendekati

jurnalis dan meminta agar pemberitaan negatif dihentikan.

Bahkan tak jarang ada yang langsung datang ke kantor untuk

berunding dengan petinggi media. “Biasanya ada tawar

menawar untuk pasang iklan dan sebagian dikompensasikan

dalam bentuk pembelian koran,” jelas Alex.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

60 61

BARAT meniti buih. Demikianlah Amir Machmud NS

mengandaikan tantangan pekerjaannya sebagai pemimpin Iredaksi harian Suara Merdeka. Tentu bukan perkara yang

mudah. Ia sadar betul, ada nilai-nilai ideal jurnalisme yang harus

dijaga kesuciannya. Namun, ketika memasuki ranah industri

media, jurnalisme menemukan ruang persinggungan dengan

nilai kapitalisme yang tak jarang bertolak belakang.

Sebagai pemimpin redaksi, dia harus menemukan

formula yang bisa mengkompromikan dua kepentingan. “Saya

harus menggabungkan idealisme jurnalistik dan ideologi pasar,”

ujarnya dalam sebuah perbincangan di sebuah restoran di

kawasan Jalan Pemuda, Semarang, 12 November 2013. “Tentu

bukan perkara mudah. Semua industri media juga

melakukannya”. Meski diakuinya, dalam kompromi tersebut,

terkadang nilai jurnalisme harus sedikit dikalahkan.

Prinsip mengawinkan dua kepentingan tersebut juga dia

sampaikan kepada wartawan Suara Merdeka. Ia menekankan,

dalam industri media, media bukan ruang yang steril,

independen, dan netral dari berbagai kepentingan. Ruang

pemberitaan (newsroom) bukan ruang hampa yang bersih dari

kepentingan. Setiap realitas (berita) yang dilansir media,

merupakan realitas yang sudah dibentuk dan hasil konstruksi

dari berbagai asupan. Asupan bisa datang dari berbagai macam

Ketika Sensor Datang dari Segala Penjuru

AJI Semarang

Pembelian koran ini dimaksudkan untuk mendongkrak

oplah media. Jumlah koran bisa 50 eksemplar, 100 eksemplar

atau sesuai kesepakatan bersama. Banyak atau sedikitnya

jumlah koran yang dibeli akan berpengaruh pada panjang

pendeknya artikel serta halaman pemuatannya. Berita yang

muncul juga sudah diperhalus.

Bagi media, cara ini tentu membantu keuangan

perusahaan. Sebaliknya, bagi narasumber kondisinya ibarat

sudah digebuki tertimpa koran lagi.

***

62 63

BARAT meniti buih. Demikianlah Amir Machmud NS

mengandaikan tantangan pekerjaannya sebagai pemimpin Iredaksi harian Suara Merdeka. Tentu bukan perkara yang

mudah. Ia sadar betul, ada nilai-nilai ideal jurnalisme yang harus

dijaga kesuciannya. Namun, ketika memasuki ranah industri

media, jurnalisme menemukan ruang persinggungan dengan

nilai kapitalisme yang tak jarang bertolak belakang.

Sebagai pemimpin redaksi, dia harus menemukan

formula yang bisa mengkompromikan dua kepentingan. “Saya

harus menggabungkan idealisme jurnalistik dan ideologi pasar,”

ujarnya dalam sebuah perbincangan di sebuah restoran di

kawasan Jalan Pemuda, Semarang, 12 November 2013. “Tentu

bukan perkara mudah. Semua industri media juga

melakukannya”. Meski diakuinya, dalam kompromi tersebut,

terkadang nilai jurnalisme harus sedikit dikalahkan.

Prinsip mengawinkan dua kepentingan tersebut juga dia

sampaikan kepada wartawan Suara Merdeka. Ia menekankan,

dalam industri media, media bukan ruang yang steril,

independen, dan netral dari berbagai kepentingan. Ruang

pemberitaan (newsroom) bukan ruang hampa yang bersih dari

kepentingan. Setiap realitas (berita) yang dilansir media,

merupakan realitas yang sudah dibentuk dan hasil konstruksi

dari berbagai asupan. Asupan bisa datang dari berbagai macam

Ketika Sensor Datang dari Segala Penjuru

AJI Semarang

Pembelian koran ini dimaksudkan untuk mendongkrak

oplah media. Jumlah koran bisa 50 eksemplar, 100 eksemplar

atau sesuai kesepakatan bersama. Banyak atau sedikitnya

jumlah koran yang dibeli akan berpengaruh pada panjang

pendeknya artikel serta halaman pemuatannya. Berita yang

muncul juga sudah diperhalus.

Bagi media, cara ini tentu membantu keuangan

perusahaan. Sebaliknya, bagi narasumber kondisinya ibarat

sudah digebuki tertimpa koran lagi.

***

62 63

peran. Wartawan yang

di lapangan, berpotensi memainkan peran. Misalnya, ketika

memilih narasumber, menentukan sudut pemberitaan,

merangkai kalimat, dan sebagainya.

Pada proses produksi berita selanjutnya, sangat

dimungkinkan, redaktur juga mempunyai kepentingan yang

tidak diketahui oleh jajaran redaksi di atasnya. Misalnya, ketika

redaktur tidak suka dengan narasumber, sudut pemberitaan

bisa diganti. Atau, secara ekstrem, redaktur bisa melakukan

penulisan ulang. Berita dari wartawan juga bisa dibongkar total.

Pada level di atasnya, redaktur pelaksana bisa jadi juga

mempunyai kepentingan dengan cara memainkan judul,

penempatan berita, besar kecilnya porsi berita, pemberian

infografis, sampai pemilihan foto.

Pemimpin redaksi sebagai penanggung jawab, suatu

ketika juga bisa mempunyai kepentingan. Begitu juga pemilik

modal. “Jadi, berita yang muncul bisa menjadi realitas yang

kesekian,” tegas Amir. “Sejak awal saya sampaikan kepada

wartawan, hal ini bukan tidak mungkin terjadi”.

Namun, Amir menambahkan, sejak menjadi pemimpin

redaksi pada Mei 2012, dia memastikan, munculnya

kepentingan yang mencampuri independensi pemberitaan

sangat sedikit. “Sangat kasuistik,” katanya. Bahkan, dalam

kasus-kasus besar, sama sekali tak ada muatan apa pun.

Misalnya dalam pemberitaan dugaan korupsi proyek simulator

ujian surat izin mengemudi pada Korps Lalu Lintas Kepolisian

menjadi ujung tombak penggalian berita Republik Indonesia dengan tersangka Inspektur Jenderal Djoko

Susilo. Saat berita ini muncul, Djoko Susilo adalah Gubernur

Akademi Kepolisian (Akpol). Dalam pemberitaan kasus ini,

sama sekali tak ada intervensi kepentingan dari mana pun,

meskipun medianya tentu mempunyai kedekatan dengan Akpol

sebagai bagian dari strategi membangun relasi. Bahkan, Amir

mengaku, Suara Merdeka sempat mendapatkan pujian dari

wartawan media nasional saat membuat headline “Irjen Djoko

'Raja' Properti”.

Masalah yang Rumit

Pada kasus pemberitaan suap APBD Kota Semarang

2012 yang melibatkan Wali Kota Semarang Soemarmo Hadi

Saputro, beberapa kalangan menuduh Suara Merdeka “ada

main” dengan pemberitaan. Tuduhan itu tak lepas dari

kedekatan Soemarmo dengan kalangan media tersebut. Bahkan

secara personal, Amir juga kenal dengan Soemarmo dalam

persinggungannya di klub sepak bola PSIS Semarang. Namun,

saat sang wali kota ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi, berita itu dijadikan berita utama.

Terkait tak satu pun media lokal di Semarang, termasuk

Suara Merdeka yang memberitakan pemeriksaan KPK terhadap

Soemarmo saat menjadi saksi, Amir berkilah, tidak ada

intervensi apa pun. Pada 8 Desember 2011, KPK memeriksa

Soemarmo sebagai saksi kasus suap APBD 2012 dengan

tersangka Sekretaris Daerah Kota Semarang Akhmat Zaenuri

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

64 65

peran. Wartawan yang

di lapangan, berpotensi memainkan peran. Misalnya, ketika

memilih narasumber, menentukan sudut pemberitaan,

merangkai kalimat, dan sebagainya.

Pada proses produksi berita selanjutnya, sangat

dimungkinkan, redaktur juga mempunyai kepentingan yang

tidak diketahui oleh jajaran redaksi di atasnya. Misalnya, ketika

redaktur tidak suka dengan narasumber, sudut pemberitaan

bisa diganti. Atau, secara ekstrem, redaktur bisa melakukan

penulisan ulang. Berita dari wartawan juga bisa dibongkar total.

Pada level di atasnya, redaktur pelaksana bisa jadi juga

mempunyai kepentingan dengan cara memainkan judul,

penempatan berita, besar kecilnya porsi berita, pemberian

infografis, sampai pemilihan foto.

Pemimpin redaksi sebagai penanggung jawab, suatu

ketika juga bisa mempunyai kepentingan. Begitu juga pemilik

modal. “Jadi, berita yang muncul bisa menjadi realitas yang

kesekian,” tegas Amir. “Sejak awal saya sampaikan kepada

wartawan, hal ini bukan tidak mungkin terjadi”.

Namun, Amir menambahkan, sejak menjadi pemimpin

redaksi pada Mei 2012, dia memastikan, munculnya

kepentingan yang mencampuri independensi pemberitaan

sangat sedikit. “Sangat kasuistik,” katanya. Bahkan, dalam

kasus-kasus besar, sama sekali tak ada muatan apa pun.

Misalnya dalam pemberitaan dugaan korupsi proyek simulator

ujian surat izin mengemudi pada Korps Lalu Lintas Kepolisian

menjadi ujung tombak penggalian berita Republik Indonesia dengan tersangka Inspektur Jenderal Djoko

Susilo. Saat berita ini muncul, Djoko Susilo adalah Gubernur

Akademi Kepolisian (Akpol). Dalam pemberitaan kasus ini,

sama sekali tak ada intervensi kepentingan dari mana pun,

meskipun medianya tentu mempunyai kedekatan dengan Akpol

sebagai bagian dari strategi membangun relasi. Bahkan, Amir

mengaku, Suara Merdeka sempat mendapatkan pujian dari

wartawan media nasional saat membuat headline “Irjen Djoko

'Raja' Properti”.

Masalah yang Rumit

Pada kasus pemberitaan suap APBD Kota Semarang

2012 yang melibatkan Wali Kota Semarang Soemarmo Hadi

Saputro, beberapa kalangan menuduh Suara Merdeka “ada

main” dengan pemberitaan. Tuduhan itu tak lepas dari

kedekatan Soemarmo dengan kalangan media tersebut. Bahkan

secara personal, Amir juga kenal dengan Soemarmo dalam

persinggungannya di klub sepak bola PSIS Semarang. Namun,

saat sang wali kota ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi, berita itu dijadikan berita utama.

Terkait tak satu pun media lokal di Semarang, termasuk

Suara Merdeka yang memberitakan pemeriksaan KPK terhadap

Soemarmo saat menjadi saksi, Amir berkilah, tidak ada

intervensi apa pun. Pada 8 Desember 2011, KPK memeriksa

Soemarmo sebagai saksi kasus suap APBD 2012 dengan

tersangka Sekretaris Daerah Kota Semarang Akhmat Zaenuri

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

64 65

yang tertangkap tangan menyuap sejumlah anggota legislatif.

Soemarmo disebut-sebut melakukan operasi penghilangan

berita, karena bertepatan dengan peringatan Hari Antikorupsi

tingkat nasional yang dipusatkan di Semarang. Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono dan hampir seluruh kepala daerah hadir

dalam acara tersebut.

Amir mengaku, saat awal pemberitaan suap yang

melibatkan Soemarmo, Suara Merdeka dihadapkan pada

masalah yang complicated (rumit). Namun setelah penetapan

sebagai tersangka sampai vonis di persidangan, proses

pemberitaan berjalan lancar. Secara umum, potensi sensor

datang dari empat faktor, yakni pemilik media, narasumber,

pemasang iklan, dan internal redaksi.

Terhadap berbagai upaya sensor, Amir mengaku selalu

mempertimbangkan untung ruginya jika menghentikan sebuah

pemberitaan. Misalnya, Suara Merdeka akan dianggap aneh

jika tidak memberitakan sebuah isu besar yang media lain,

terutama media kompetitor, juga memberitakannya.

Relasi pertemanan harus dihargai, namun berita harus

muncul secara proporsional dengan memberikan ruang

konfirmasi yang berimbang. Kasus korupsi yang melibatkan

pejabat dan kepala daerah, atau kebijakan kepala daerah yang

menuai pro-kontra, adalah isu pemberitaan yang sering

mendapatkan intervensi. Ada juga kepala daerah yang

mengancam akan berhenti berlangganan koran.

Harus Ada Kompromi

Pemasang iklan juga menjadi pihak yang berpotensi

mengintervensi independensi redaksi. Misalnya, ketika sebuah

agen tunggal pemegang merek mobil murah memasang iklan,

Suara Merdeka tentu berusaha untuk tidak menyajikan berita

yang menyudutkan kebijakan tentang mobil murah. Permintaan

pemasang iklan seperti itu, menurut Amir, merupakan sesuatu

yang lumrah. Pemasang iklan yang sudah membayar iklan

puluhan hingga ratusan juta rupiah, tentu saja tak ingin

dirugikan. Namun, sebisa mungkin redaksi tak terpengaruh.

Jika suatu saat ada benturan kepentingan antara redaksi dengan

pemasang iklan, harus ada kompromi yang tidak merugikan

pemasang iklan, tapi juga tidak menghilangkan berita. “Harus

bisa mengawinkan idealisme jurnalistik dan idealisme pasar,”

tukasnya.

Untuk meminimalisasi persinggungan kepentingan

antara redaksi dan iklan, perusahaan memberlakukan dua

kebijakan, yakni tidak diperbolehkan mendapatkan iklan

dengan imbal balik pemberitaan. Misalnya dengan menggenjot

pemberitaan tertentu dengan harapan pihak yang dirugikan

dalam pemberitaan memasang iklan sebagai kompromi. Selain

itu, wartawan juga dilarang mencari iklan, meski jika

berhubungan dengan institusi, wartawan lebih “dianggap”

daripada orang bagian iklan. Namun tak dilarang jika wartawan

menjadi penghubung antara bagian pencari iklan dengan calon

pemasang iklan. Hal ini diklaimnya sebagai kebijakan yang lebih

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

66 67

yang tertangkap tangan menyuap sejumlah anggota legislatif.

Soemarmo disebut-sebut melakukan operasi penghilangan

berita, karena bertepatan dengan peringatan Hari Antikorupsi

tingkat nasional yang dipusatkan di Semarang. Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono dan hampir seluruh kepala daerah hadir

dalam acara tersebut.

Amir mengaku, saat awal pemberitaan suap yang

melibatkan Soemarmo, Suara Merdeka dihadapkan pada

masalah yang complicated (rumit). Namun setelah penetapan

sebagai tersangka sampai vonis di persidangan, proses

pemberitaan berjalan lancar. Secara umum, potensi sensor

datang dari empat faktor, yakni pemilik media, narasumber,

pemasang iklan, dan internal redaksi.

Terhadap berbagai upaya sensor, Amir mengaku selalu

mempertimbangkan untung ruginya jika menghentikan sebuah

pemberitaan. Misalnya, Suara Merdeka akan dianggap aneh

jika tidak memberitakan sebuah isu besar yang media lain,

terutama media kompetitor, juga memberitakannya.

Relasi pertemanan harus dihargai, namun berita harus

muncul secara proporsional dengan memberikan ruang

konfirmasi yang berimbang. Kasus korupsi yang melibatkan

pejabat dan kepala daerah, atau kebijakan kepala daerah yang

menuai pro-kontra, adalah isu pemberitaan yang sering

mendapatkan intervensi. Ada juga kepala daerah yang

mengancam akan berhenti berlangganan koran.

Harus Ada Kompromi

Pemasang iklan juga menjadi pihak yang berpotensi

mengintervensi independensi redaksi. Misalnya, ketika sebuah

agen tunggal pemegang merek mobil murah memasang iklan,

Suara Merdeka tentu berusaha untuk tidak menyajikan berita

yang menyudutkan kebijakan tentang mobil murah. Permintaan

pemasang iklan seperti itu, menurut Amir, merupakan sesuatu

yang lumrah. Pemasang iklan yang sudah membayar iklan

puluhan hingga ratusan juta rupiah, tentu saja tak ingin

dirugikan. Namun, sebisa mungkin redaksi tak terpengaruh.

Jika suatu saat ada benturan kepentingan antara redaksi dengan

pemasang iklan, harus ada kompromi yang tidak merugikan

pemasang iklan, tapi juga tidak menghilangkan berita. “Harus

bisa mengawinkan idealisme jurnalistik dan idealisme pasar,”

tukasnya.

Untuk meminimalisasi persinggungan kepentingan

antara redaksi dan iklan, perusahaan memberlakukan dua

kebijakan, yakni tidak diperbolehkan mendapatkan iklan

dengan imbal balik pemberitaan. Misalnya dengan menggenjot

pemberitaan tertentu dengan harapan pihak yang dirugikan

dalam pemberitaan memasang iklan sebagai kompromi. Selain

itu, wartawan juga dilarang mencari iklan, meski jika

berhubungan dengan institusi, wartawan lebih “dianggap”

daripada orang bagian iklan. Namun tak dilarang jika wartawan

menjadi penghubung antara bagian pencari iklan dengan calon

pemasang iklan. Hal ini diklaimnya sebagai kebijakan yang lebih

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

66 67

maju dibandingkan dengan beberapa perusahaan media lain di

Semarang yang menyarankan wartawan nyambi mencari iklan.

Untuk meminimalisasi sensor yang dilakukan oleh

redaktur, jajaran redaksi menggelar rapat perencanaan dan

evaluasi tiap jam sembilan pagi. Rapat ini dimaksudkan untuk

menentukan rencana pemberitaan. Menentukan isu-isu yang

akan diangkat, diteruskan, dan diperdalam. Sore dan malam

hari, rapat serupa akan kembali digelar meskipun dengan forum

yang lebih terbatas untuk menentukan pembiayaan peliputan,

penempatan, penentuan foto, koreksi berita, sampai penentuan

judul.

Para wartawan di lapangan juga dianjurkan untuk

belanja berita secara lengkap, dari berbagai aspek. Bahwa

nantinya redaksi yang akan menentukan berita mana yang akan

dimuat, itu soal lain. Anjuran ini dimaksudkan untuk

menjauhkan interest (kepentingan) pribadi wartawan saat

melakukan peliputan.

Lantas, berita apa sajakah yang oleh Suara Merdeka

haram diintervensi dari pihak mana pun? Amir menyebutkan

ada tiga kriteria, yakni berita yang juga diberitakan media lain,

berita yang menjadi perhatian publik, serta berita dengan tiras

atau jumlah pembaca tinggi. Dengan demikian, kasus korupsi

kuota impor daging sapi, korupsi Hambalang, dan korupsi

simulator SIM adalah pemberitaan yang tak mungkin

diintervensi, meski banyak tekanan dari sana-sini. Sama halnya

saat pemberitaan kasus pembantaian di Lembaga

Pemasyarakatan Cebongan, DI Yogyakarta, yang dilakukan

personel Kopassus.

Kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah atau

pejabat daerah juga menjadi harga mati. Misalnya, kasus

penyelewengan dana bantuan sosial. Amir berkomitmen untuk

memberitakannya. Bahkan dia mengaku awal menjadi

pemimpin redaksi, kasus bantuan sosial menjadi pertaruhan

untuk menepis stigma yang menyebut Suara Merdeka lemah

dalam pemberitaan korupsi di daerah. “Meski saya juga sering

menerima teror, kasus korupsi akan kami kawal secara

profesional dan proporsional,” ujarnya. Menurutnya, dalam

pemberitaan korupsi di daerah, tekanan yang diterima media

lokal jauh lebih besar dibanding dengan media nasional.

Amir menutup perbincangan yang berlangsung santai

saat itu dengan mengatakan, ibarat seorang perenang, wartawan

saat ini dituntut bisa berenang di tengah derasnya gelombang

hingga selamat sampai tujuan. Memang berat!

* * *

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

68 69

maju dibandingkan dengan beberapa perusahaan media lain di

Semarang yang menyarankan wartawan nyambi mencari iklan.

Untuk meminimalisasi sensor yang dilakukan oleh

redaktur, jajaran redaksi menggelar rapat perencanaan dan

evaluasi tiap jam sembilan pagi. Rapat ini dimaksudkan untuk

menentukan rencana pemberitaan. Menentukan isu-isu yang

akan diangkat, diteruskan, dan diperdalam. Sore dan malam

hari, rapat serupa akan kembali digelar meskipun dengan forum

yang lebih terbatas untuk menentukan pembiayaan peliputan,

penempatan, penentuan foto, koreksi berita, sampai penentuan

judul.

Para wartawan di lapangan juga dianjurkan untuk

belanja berita secara lengkap, dari berbagai aspek. Bahwa

nantinya redaksi yang akan menentukan berita mana yang akan

dimuat, itu soal lain. Anjuran ini dimaksudkan untuk

menjauhkan interest (kepentingan) pribadi wartawan saat

melakukan peliputan.

Lantas, berita apa sajakah yang oleh Suara Merdeka

haram diintervensi dari pihak mana pun? Amir menyebutkan

ada tiga kriteria, yakni berita yang juga diberitakan media lain,

berita yang menjadi perhatian publik, serta berita dengan tiras

atau jumlah pembaca tinggi. Dengan demikian, kasus korupsi

kuota impor daging sapi, korupsi Hambalang, dan korupsi

simulator SIM adalah pemberitaan yang tak mungkin

diintervensi, meski banyak tekanan dari sana-sini. Sama halnya

saat pemberitaan kasus pembantaian di Lembaga

Pemasyarakatan Cebongan, DI Yogyakarta, yang dilakukan

personel Kopassus.

Kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah atau

pejabat daerah juga menjadi harga mati. Misalnya, kasus

penyelewengan dana bantuan sosial. Amir berkomitmen untuk

memberitakannya. Bahkan dia mengaku awal menjadi

pemimpin redaksi, kasus bantuan sosial menjadi pertaruhan

untuk menepis stigma yang menyebut Suara Merdeka lemah

dalam pemberitaan korupsi di daerah. “Meski saya juga sering

menerima teror, kasus korupsi akan kami kawal secara

profesional dan proporsional,” ujarnya. Menurutnya, dalam

pemberitaan korupsi di daerah, tekanan yang diterima media

lokal jauh lebih besar dibanding dengan media nasional.

Amir menutup perbincangan yang berlangsung santai

saat itu dengan mengatakan, ibarat seorang perenang, wartawan

saat ini dituntut bisa berenang di tengah derasnya gelombang

hingga selamat sampai tujuan. Memang berat!

* * *

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

68 69

Latar belakang

Himbauan moral yang menyatakan secara tegas bahwa

pers yang terbit di Semarang supaya bersikap independen selalu

dikemukakan. Hal ini menunjukkan bahwa selama ini pers di

daerah ini memang belum mampu menunjukkan sikap

independensinya. Kerugian yang didapatkan akibat pers yang

tidak independen adalah pembaca tidak mampu mendapatkan

informasi yang lengkap. Bahkan, lebih dari itu, informasi yang

memiliki nilai kepentingan yang tinggi bagi kehidupan publik

justru tidak dapat diakses. Akibat yang paling buruk dalam

situasi demikian adalah publik mengalami pengelabuan

informasi karena pers telah mendistorsikan realitas.

Banyak kemungkinan yang menjadikan pers tidak

independen. Apabila dilihat dari pendekatan lembaga media

(media institution), sebagaimana dikemukakan oleh Curran,

Gurevitch, dan Woollacott (dalam Gurevitch, et. al. [eds.], 1982:

11-16), setidaknya ada empat pokok persoalan yang menjadikan

pers tidak independen. Hal pertama adalah struktur

kelembagaan dan hubungan-hubungan peran. Persoalan yang

kedua adalah kepentingan ekonomi politik lembaga media.

Problem yang ketiga ialah ideologi-ideologi profesional dan

Riset Kuantitatif

Melihat Independensi Media Lokal dari Sisi Obyektivitas Pemberitaan

Politik dan Hukum

AJI Semarang

70 71

Latar belakang

Himbauan moral yang menyatakan secara tegas bahwa

pers yang terbit di Semarang supaya bersikap independen selalu

dikemukakan. Hal ini menunjukkan bahwa selama ini pers di

daerah ini memang belum mampu menunjukkan sikap

independensinya. Kerugian yang didapatkan akibat pers yang

tidak independen adalah pembaca tidak mampu mendapatkan

informasi yang lengkap. Bahkan, lebih dari itu, informasi yang

memiliki nilai kepentingan yang tinggi bagi kehidupan publik

justru tidak dapat diakses. Akibat yang paling buruk dalam

situasi demikian adalah publik mengalami pengelabuan

informasi karena pers telah mendistorsikan realitas.

Banyak kemungkinan yang menjadikan pers tidak

independen. Apabila dilihat dari pendekatan lembaga media

(media institution), sebagaimana dikemukakan oleh Curran,

Gurevitch, dan Woollacott (dalam Gurevitch, et. al. [eds.], 1982:

11-16), setidaknya ada empat pokok persoalan yang menjadikan

pers tidak independen. Hal pertama adalah struktur

kelembagaan dan hubungan-hubungan peran. Persoalan yang

kedua adalah kepentingan ekonomi politik lembaga media.

Problem yang ketiga ialah ideologi-ideologi profesional dan

Riset Kuantitatif

Melihat Independensi Media Lokal dari Sisi Obyektivitas Pemberitaan

Politik dan Hukum

AJI Semarang

70 71

praktik-praktik kerja. Dan, permasalahan terakhir yakni

interaksi lembaga media dengan lingkungan sosial-politiknya.

Apabila keempat hal itu diuraikan lebih mendalam lagi,

maka apa yang disebut sebagai independensi ruang pemberitaan

(newsroom) dapat dideskripsikan seperti ini. Pertama, secara

internal pada organisasi ruang pemberitaan terjadi pembagian

kerja dan distribusi kewenangan. Kalangan reporter yang berada

di lapangan untuk menjalankan liputan boleh jadi telah bersikap

independen terhadap suatu kasus. Tapi, editor atau redaktur

yang jabatannya berada lebih atas ternyata tidak bersikap

independen. Relasi peran yang bersifat tidak setara (asimetris)

ini jelas menjadikan ruang pemberitaan tidak memiliki

independensi yang memadai.

Kedua, kepentingan ekonomi politik institusi media

merujuk pada bagaimana pemilik media mempunyai agenda

tertentu dalam pemberitaan. Pemilik media, misalnya saja,

memiliki bisnis non-media yang bermasalah dengan

lingkungan, atau secara sengaja tidak memenuhi kewajiban

untuk membayar pajak, atau punya ambisi supaya

perusahaannya terkenal. Salah satu dari agenda terselubung

yang dikendalikan oleh pemilik media semacam itu jelas

mengakibatkan ruang pemberitaan tidak memenuhi syarat-

syarat independensi.

Terlebih lagi ketika pemilik media tersebut menjadi

pengurus salah satu partai politik atau setidaknya simpatisan

dari organisasi kemasyarakatan tertentu. Pada akhirnya, dia

memposisikan media yang dimilikinya sebagai sebuah

instrumen untuk menyuarakan kepentingan politik tertentu

pula.

Ketiga, ideologi-ideologi profesional dan praktik-praktik

kerja yang terdapat dalam diri setiap wartawan tidaklah

seragam. Para wartawan, tentu saja, sudah sangat paham apa

pengertian berita. Mereka juga sangat fasih untuk membedakan

peristiwa yang memiliki nilai berita tinggi atau tidak.

Mereka tidak perlu diragukan lagi kemampuannya untuk

meliput berbagai peristiwa. Hanya saja semua pengetahuan dan

kecakapan teknis itu tidak diimbangi dengan pemahaman dan

komitmen secara moral. Padahal, apa yang disebut dengan

independensi berada dalam domain moralitas media yang tidak

mudah disosialisasikan apalagi dipraktikkan dalam kerja sehari-

hari.

Terakhir, atau keempat, interaksi media dengan

lingkungan sosial-politiknya. Lembaga media tidak pernah

hidup dan bertumbuh dalam kevakuman sosial. Justru media

mampu menunjukkan kesuksesannya ketika berhasil

menjalankan adaptasi dan menyiasati lingkungan sosial-politik

yang melingkupinya. Apalagi jika dilihat secara lebih cermat

akan menunjukkan bahwa media tidak berbeda dengan bisnis

lainnya, yakni menjual komoditas dalam bentuk informasi.

Independensi media bisa demikian terpengaruh karena

media sangat ditentukan eksistensinya oleh pihak-pihak

eksternal, seperti masyarakat secara umum, pelanggan,

pemerintah, pemasang iklan, berbagai organisasi

kemasyarakatan, dan bahkan dengan para pesaingnya sendiri.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

72 73

praktik-praktik kerja. Dan, permasalahan terakhir yakni

interaksi lembaga media dengan lingkungan sosial-politiknya.

Apabila keempat hal itu diuraikan lebih mendalam lagi,

maka apa yang disebut sebagai independensi ruang pemberitaan

(newsroom) dapat dideskripsikan seperti ini. Pertama, secara

internal pada organisasi ruang pemberitaan terjadi pembagian

kerja dan distribusi kewenangan. Kalangan reporter yang berada

di lapangan untuk menjalankan liputan boleh jadi telah bersikap

independen terhadap suatu kasus. Tapi, editor atau redaktur

yang jabatannya berada lebih atas ternyata tidak bersikap

independen. Relasi peran yang bersifat tidak setara (asimetris)

ini jelas menjadikan ruang pemberitaan tidak memiliki

independensi yang memadai.

Kedua, kepentingan ekonomi politik institusi media

merujuk pada bagaimana pemilik media mempunyai agenda

tertentu dalam pemberitaan. Pemilik media, misalnya saja,

memiliki bisnis non-media yang bermasalah dengan

lingkungan, atau secara sengaja tidak memenuhi kewajiban

untuk membayar pajak, atau punya ambisi supaya

perusahaannya terkenal. Salah satu dari agenda terselubung

yang dikendalikan oleh pemilik media semacam itu jelas

mengakibatkan ruang pemberitaan tidak memenuhi syarat-

syarat independensi.

Terlebih lagi ketika pemilik media tersebut menjadi

pengurus salah satu partai politik atau setidaknya simpatisan

dari organisasi kemasyarakatan tertentu. Pada akhirnya, dia

memposisikan media yang dimilikinya sebagai sebuah

instrumen untuk menyuarakan kepentingan politik tertentu

pula.

Ketiga, ideologi-ideologi profesional dan praktik-praktik

kerja yang terdapat dalam diri setiap wartawan tidaklah

seragam. Para wartawan, tentu saja, sudah sangat paham apa

pengertian berita. Mereka juga sangat fasih untuk membedakan

peristiwa yang memiliki nilai berita tinggi atau tidak.

Mereka tidak perlu diragukan lagi kemampuannya untuk

meliput berbagai peristiwa. Hanya saja semua pengetahuan dan

kecakapan teknis itu tidak diimbangi dengan pemahaman dan

komitmen secara moral. Padahal, apa yang disebut dengan

independensi berada dalam domain moralitas media yang tidak

mudah disosialisasikan apalagi dipraktikkan dalam kerja sehari-

hari.

Terakhir, atau keempat, interaksi media dengan

lingkungan sosial-politiknya. Lembaga media tidak pernah

hidup dan bertumbuh dalam kevakuman sosial. Justru media

mampu menunjukkan kesuksesannya ketika berhasil

menjalankan adaptasi dan menyiasati lingkungan sosial-politik

yang melingkupinya. Apalagi jika dilihat secara lebih cermat

akan menunjukkan bahwa media tidak berbeda dengan bisnis

lainnya, yakni menjual komoditas dalam bentuk informasi.

Independensi media bisa demikian terpengaruh karena

media sangat ditentukan eksistensinya oleh pihak-pihak

eksternal, seperti masyarakat secara umum, pelanggan,

pemerintah, pemasang iklan, berbagai organisasi

kemasyarakatan, dan bahkan dengan para pesaingnya sendiri.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

72 73

Independensi ruang pemberitaan media menjadi sebuah

persoalan yang punya kompleksitas yang tinggi. Sebabnya

adalah independensi itu tidak sekadar berkaitan dengan

komitmen ataupun, sebaliknya, pelanggaran moral yang

dilakukan wartawan secara individual. Independensi yang

terjadi dalam ruang pemberitaan melibatkan banyak aspek, dari

persoalan bisnis sampai politis, yang bertali-temali dengan

aktor-aktor yang tidak mudah dilacak jejak-jejaknya dalam

mempengaruhi kebijakan ruang redaksional. Secara tegas dapat

dikemukakan bahwa semua pemangku kepentingan media, baik

dalam lingkup internal maupun domain eksternal, memiliki

peluang-peluang untuk mempengaruhi independensi ruang

pemberitaan.

Perumusan masalah

Independensi, sebagaimana ditulis Oxford Advanced thLearner's Dictionary: 7 Edition (2005: 789), memiliki

pengertian “kebebasan dari kontrol politik oleh negara-negara

lain”. Kalau hal ini diterapkan dalam kasus pemberitaan pers,

independensi bisa dimaknai sebagai “kebebasan pers, dalam hal

ini ruang pemberitaan, dari kontrol pihak-pihak lain”. Siapa

yang disebut sebagai pihak-pihak lain itu adalah kekuatan

eksternal yang dianggap bisa memengaruhi kebebasan

wartawan dalam menentukan agenda pemberitaan. Ruang

pemberitaan yang independen dimengerti sebagai tidak adanya

satu pihak pun yang menjalankan intervensi terhadap proses

kerja wartawan, baik itu yang bersifat bisnis, sosial, maupun

yang bercorak politis.

Hanya saja konsep tentang independensi tersebut tidak

dikenal dalam literatur kajian media ataupun jurnalistik.

Independensi, agaknya, lebih mencuat sebagai suatu keinginan,

sebuah harapan, yang dikehendaki oleh kalangan wartawan

untuk tidak mendapatkan campur tangan dari rezim politik yang

sedang berkuasa. Di samping itu, independensi bisa juga

merujuk pada aspirasi para wartawan untuk tidak diintervensi

secara bertubi-tubi oleh kepentingan bisnis, sosial, dan politis

pemilik media.

Konsep yang sudah dikenal untuk menggantikan

pengertian independensi adalah obyektivitas. Dalam

pemahaman itu bisa juga dibedakan bahwa independensi

merujuk pada tidak adanya intervensi terhadap wartawan dalam

proses pemberitaan. Sementara itu, apa yang disebut sebagai

obyektivitas merujuk pada hasil kerja wartawan, dalam hal ini

berita, yang tidak menunjukkan indikasi keberpihakan terhadap

kepentingan tertentu.

D a l a m k o n t e k s d e m i k i a n , p e n e l i t i a n i n i

mendeskripsikan tentang obyektivitas yang ditunjukkan oleh

sejumlah lembaga pers yang terdapat di Semarang, yaitu Suara

Merdeka, Wawasan, Jawa Pos Radar Semarang, Koran Sindo

edisi Jateng, dan Tribun Jateng dalam pemberitaan-

pemberitaannya. Karena obyektivitas pers secara hipotetis

sangat rentan untuk diintervensi terutama dalam tema politik

dan hukum, maka fokus pemberitaan yang dikaji dalam

penelitian ini adalah kedua topik tersebut.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

74 75

Independensi ruang pemberitaan media menjadi sebuah

persoalan yang punya kompleksitas yang tinggi. Sebabnya

adalah independensi itu tidak sekadar berkaitan dengan

komitmen ataupun, sebaliknya, pelanggaran moral yang

dilakukan wartawan secara individual. Independensi yang

terjadi dalam ruang pemberitaan melibatkan banyak aspek, dari

persoalan bisnis sampai politis, yang bertali-temali dengan

aktor-aktor yang tidak mudah dilacak jejak-jejaknya dalam

mempengaruhi kebijakan ruang redaksional. Secara tegas dapat

dikemukakan bahwa semua pemangku kepentingan media, baik

dalam lingkup internal maupun domain eksternal, memiliki

peluang-peluang untuk mempengaruhi independensi ruang

pemberitaan.

Perumusan masalah

Independensi, sebagaimana ditulis Oxford Advanced thLearner's Dictionary: 7 Edition (2005: 789), memiliki

pengertian “kebebasan dari kontrol politik oleh negara-negara

lain”. Kalau hal ini diterapkan dalam kasus pemberitaan pers,

independensi bisa dimaknai sebagai “kebebasan pers, dalam hal

ini ruang pemberitaan, dari kontrol pihak-pihak lain”. Siapa

yang disebut sebagai pihak-pihak lain itu adalah kekuatan

eksternal yang dianggap bisa memengaruhi kebebasan

wartawan dalam menentukan agenda pemberitaan. Ruang

pemberitaan yang independen dimengerti sebagai tidak adanya

satu pihak pun yang menjalankan intervensi terhadap proses

kerja wartawan, baik itu yang bersifat bisnis, sosial, maupun

yang bercorak politis.

Hanya saja konsep tentang independensi tersebut tidak

dikenal dalam literatur kajian media ataupun jurnalistik.

Independensi, agaknya, lebih mencuat sebagai suatu keinginan,

sebuah harapan, yang dikehendaki oleh kalangan wartawan

untuk tidak mendapatkan campur tangan dari rezim politik yang

sedang berkuasa. Di samping itu, independensi bisa juga

merujuk pada aspirasi para wartawan untuk tidak diintervensi

secara bertubi-tubi oleh kepentingan bisnis, sosial, dan politis

pemilik media.

Konsep yang sudah dikenal untuk menggantikan

pengertian independensi adalah obyektivitas. Dalam

pemahaman itu bisa juga dibedakan bahwa independensi

merujuk pada tidak adanya intervensi terhadap wartawan dalam

proses pemberitaan. Sementara itu, apa yang disebut sebagai

obyektivitas merujuk pada hasil kerja wartawan, dalam hal ini

berita, yang tidak menunjukkan indikasi keberpihakan terhadap

kepentingan tertentu.

D a l a m k o n t e k s d e m i k i a n , p e n e l i t i a n i n i

mendeskripsikan tentang obyektivitas yang ditunjukkan oleh

sejumlah lembaga pers yang terdapat di Semarang, yaitu Suara

Merdeka, Wawasan, Jawa Pos Radar Semarang, Koran Sindo

edisi Jateng, dan Tribun Jateng dalam pemberitaan-

pemberitaannya. Karena obyektivitas pers secara hipotetis

sangat rentan untuk diintervensi terutama dalam tema politik

dan hukum, maka fokus pemberitaan yang dikaji dalam

penelitian ini adalah kedua topik tersebut.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

74 75

Tujuan penelitian

Mendeskripsikan obyektivitas pemberitaan yang

ditampilkan Suara Merdeka, Wawasan, Jawa Pos Radar

Semarang, Koran Sindo edisi Jateng, dan Tribun Jateng dalam

kasus-kasus politik dan hukum.

Kerangka pemikiran

Obyektivitas, sebagai pengertian yang merujuk pada

hasil pemberitaan yang berasal dari proses pembuatan berita

yang dijalankan wartawan secara independen, sebenarnya

menjadi perdebatan tersendiri dalam dunia jurnalistik.

Pertanyaan yang menggugat keberadaan obyektivitas muncul

ketika terdapat pandangan bahwa apa yang disebut sebagai

obyektivitas itu merupakan hal yang tidak mungkin dijangkau

dalam berita-berita yang diproduksi kalangan wartawan.

Persoalan lainnya mencakup pandangan terhadap

konsekuensi apabila obyektivitas benar-benar diterapkan dalam

berita. Pertanyaan yang bergulir berikutnya adalah kira-kira

siapakah yang mendapat keuntungan dengan penyajian berita-

berita yang memiliki obyektivitas itu. Terlebih lagi jika

pemberitaan pers menyoroti kasus-kasus konfliktual yang

menghadapkan secara diametral antara kelompok mayoritas

versus kelompok minoritas, apa pun yang dimaksudkan dengan

konsep itu, seperti agama, seks, jender, etnis, ras, dan kelas.

Maka, berita yang dikatakan obyektif justru seharusnya

memihak kaum mayoritas.

Potter (2005: 9) pernah menjelaskan bahwa pada tahun

1996, U.S. Society of Professional Journalists melenyapkan kata

obyektivitas dari kode etiknya. Alasan yang dikemukakan adalah

jurnalis pada dasarnya merupakan manusia biasa. Kalangan

jurnalis itu memiliki kepedulian terhadap pekerjaan mereka dan

sudah pasti mereka memiliki pendapat juga. Dengan

menyatakan bahwa kalangan jurnalis harus bersikap obyektif

sama dengan memandang mereka sebagai pihak-pihak yang

tidak memiliki nilai-nilai. Jadi, hal yang harus tetap

diperhatikan adalah jurnalis memang memiliki nilai atau

pandangan tertentu. Hanya saja nilai atau pandangan tersebut

harus tetap dikontrol dengan baik sehingga tidak menghasilkan

pemberitaan yang bias.

Dengan demikian, pendapat yang menyatakan bahwa

hasil pemberitaan para jurnalis harus obyektif masih tetap

dianggap sebagai kewajiban moral yang mutlak dilakukan

sekalipun perdebatan mengenai konsep itu masih saja terjadi.

Artinya, berita-berita yang obyektif dianggap sebagai penanda

bahwa wartawan mempunyai kinerja yang baik.

Selain para wartawan wajib menguasai kompetensi

teknis, seperti paham bahwa berita harus memuat unsur-unsur

5W dan 1H (Who, What, Where, When, Why, dan How) serta

nilai-nilai berita (news values), misalnya saja aktualitas,

proksimitas, popularitas, kontroversi, dampak, masih

dibicarakan, dan keunikan, mereka pun harus mematuhi aturan-

aturan etis. Salah satu etika yang tidak bisa diabaikan adalah

konsep yang disebut dengan obyektivitas.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

76 77

Tujuan penelitian

Mendeskripsikan obyektivitas pemberitaan yang

ditampilkan Suara Merdeka, Wawasan, Jawa Pos Radar

Semarang, Koran Sindo edisi Jateng, dan Tribun Jateng dalam

kasus-kasus politik dan hukum.

Kerangka pemikiran

Obyektivitas, sebagai pengertian yang merujuk pada

hasil pemberitaan yang berasal dari proses pembuatan berita

yang dijalankan wartawan secara independen, sebenarnya

menjadi perdebatan tersendiri dalam dunia jurnalistik.

Pertanyaan yang menggugat keberadaan obyektivitas muncul

ketika terdapat pandangan bahwa apa yang disebut sebagai

obyektivitas itu merupakan hal yang tidak mungkin dijangkau

dalam berita-berita yang diproduksi kalangan wartawan.

Persoalan lainnya mencakup pandangan terhadap

konsekuensi apabila obyektivitas benar-benar diterapkan dalam

berita. Pertanyaan yang bergulir berikutnya adalah kira-kira

siapakah yang mendapat keuntungan dengan penyajian berita-

berita yang memiliki obyektivitas itu. Terlebih lagi jika

pemberitaan pers menyoroti kasus-kasus konfliktual yang

menghadapkan secara diametral antara kelompok mayoritas

versus kelompok minoritas, apa pun yang dimaksudkan dengan

konsep itu, seperti agama, seks, jender, etnis, ras, dan kelas.

Maka, berita yang dikatakan obyektif justru seharusnya

memihak kaum mayoritas.

Potter (2005: 9) pernah menjelaskan bahwa pada tahun

1996, U.S. Society of Professional Journalists melenyapkan kata

obyektivitas dari kode etiknya. Alasan yang dikemukakan adalah

jurnalis pada dasarnya merupakan manusia biasa. Kalangan

jurnalis itu memiliki kepedulian terhadap pekerjaan mereka dan

sudah pasti mereka memiliki pendapat juga. Dengan

menyatakan bahwa kalangan jurnalis harus bersikap obyektif

sama dengan memandang mereka sebagai pihak-pihak yang

tidak memiliki nilai-nilai. Jadi, hal yang harus tetap

diperhatikan adalah jurnalis memang memiliki nilai atau

pandangan tertentu. Hanya saja nilai atau pandangan tersebut

harus tetap dikontrol dengan baik sehingga tidak menghasilkan

pemberitaan yang bias.

Dengan demikian, pendapat yang menyatakan bahwa

hasil pemberitaan para jurnalis harus obyektif masih tetap

dianggap sebagai kewajiban moral yang mutlak dilakukan

sekalipun perdebatan mengenai konsep itu masih saja terjadi.

Artinya, berita-berita yang obyektif dianggap sebagai penanda

bahwa wartawan mempunyai kinerja yang baik.

Selain para wartawan wajib menguasai kompetensi

teknis, seperti paham bahwa berita harus memuat unsur-unsur

5W dan 1H (Who, What, Where, When, Why, dan How) serta

nilai-nilai berita (news values), misalnya saja aktualitas,

proksimitas, popularitas, kontroversi, dampak, masih

dibicarakan, dan keunikan, mereka pun harus mematuhi aturan-

aturan etis. Salah satu etika yang tidak bisa diabaikan adalah

konsep yang disebut dengan obyektivitas.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

76 77

Terdapat pandangan yang menyatakan bahwa

obyektivitas secara konseptual lebih ketat dibandingkan dengan

konsep ketidakberpihakan ( impartiality) . Apabila

ketidakberpihakan mencakup pengertian tentang kejujuran,

bahkan benar-benar jujur ketika berkepentingan dengan orang

lain, dan akurasi, maka obyektivitas melampaui hal tersebut.

Obyektivitas mengandaikan ada sesuatu yang secara eksternal

dapat diobservasi di luar pemikiran kita dan ada fakta-fakta yang

dapat diverifikasi terpisah dari nilai-nilai subyektif yang dimiliki

oleh wartawan.

Dari pengandaian tersebut, maka jurnalisme yang

obyektif mempunyai tiga karakteristik, yaitu memisahkan fakta

dari opini, menyajikan keseimbangan ketika media

memberitakan sebuah perdebatan, dan melakukan validasi

pernyataan-pernyataan jurnalistik dengan merujuk kepada

pihak-pihak lain yang mempunyai otoritas (Franklin, et. al.,

2005: 177). Namun, dalam pengertian itu pun sebenarnya masih

terdapat bias subyektivitas. Hal ini dikarenakan sumber-sumber

yang dianggap memiliki otoritas sekalipun pasti akan

menunjukkan sifat subyektifnya ketika memberikan

pernyataan-pernyataan.

Pendapat hampir serupa tentang obyektivitas

dikemukakan pula oleh Boyer (sebagaimana dikutip McQuail,

1993: 184-185), yang mengemukakan enam elemen utama,

yakni: (1) berimbang dan benar-benar jujur dalam

menghadirkan sisi-sisi yang berbeda dari sebuah isu; (2) akurasi

dan menganut prinsip realisme dalam reportase; (3) menyajikan

seluruh hal penting yang relevan; (4) memisahkan fakta dari

opini; (5) meminimalkan pengaruh dari sikap, pendapat

ataupun keterlibatan penulis; dan (6) menghindarkan tujuan

yang bersifat mengarahkan, menimbulkan kebencian, dan

melakukan penipuan.

Tentu saja, berbagai konsep dan upaya untuk

menampilkan detail operasional tentang obyektivitas dapat

dituliskan secara lebih panjang. Hanya saja persoalan yang tidak

kalah penting dan jauh lebih substansial adalah bagaimana hal

itu dijalankan ketika wartawan menuliskan berita. Bahkan,

untuk membedakan peristiwa yang dianggap layak dijadikan

berita atau tidak pun telah melahirkan perdebatan tersendiri.

Misalnya saja berita yang seringkali melibatkan elite masyarakat

dan elite bangsa (pendapat Galtung dan Ruge ini dikutip oleh

Fleming, et. al., 2006: 5-6). Inilah yang dalam nilai berita disebut

sebagai elemen prominence (keterkenalan), sehingga

memunculkan hukum besi dalam jurnalisme, yaitu name makes

news (nama membuat berita). Lain halnya dengan orang-orang

kecil yang baru bisa diberitakan kalau melakukan suatu

perbuatan yang dianggap luar biasa (extraordinary) atau di luar

kelaziman (unusual).

Terlepas dari berbagai perdebatan tentang konsep

obyektivitas, persoalan yang relevan dikemukakan adalah

obyektivitas merujuk pada bagaimana berita harus dikaji secara

teliti, diorganisasikan, serta dihadirkan. Dalam sudut pandang

demikian, obyektivitas dapat diartikan sebagai penghadiran

secara jujur, berimbang, dan tidak memihak peristiwa-peristiwa

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

78 79

Terdapat pandangan yang menyatakan bahwa

obyektivitas secara konseptual lebih ketat dibandingkan dengan

konsep ketidakberpihakan ( impartiality) . Apabila

ketidakberpihakan mencakup pengertian tentang kejujuran,

bahkan benar-benar jujur ketika berkepentingan dengan orang

lain, dan akurasi, maka obyektivitas melampaui hal tersebut.

Obyektivitas mengandaikan ada sesuatu yang secara eksternal

dapat diobservasi di luar pemikiran kita dan ada fakta-fakta yang

dapat diverifikasi terpisah dari nilai-nilai subyektif yang dimiliki

oleh wartawan.

Dari pengandaian tersebut, maka jurnalisme yang

obyektif mempunyai tiga karakteristik, yaitu memisahkan fakta

dari opini, menyajikan keseimbangan ketika media

memberitakan sebuah perdebatan, dan melakukan validasi

pernyataan-pernyataan jurnalistik dengan merujuk kepada

pihak-pihak lain yang mempunyai otoritas (Franklin, et. al.,

2005: 177). Namun, dalam pengertian itu pun sebenarnya masih

terdapat bias subyektivitas. Hal ini dikarenakan sumber-sumber

yang dianggap memiliki otoritas sekalipun pasti akan

menunjukkan sifat subyektifnya ketika memberikan

pernyataan-pernyataan.

Pendapat hampir serupa tentang obyektivitas

dikemukakan pula oleh Boyer (sebagaimana dikutip McQuail,

1993: 184-185), yang mengemukakan enam elemen utama,

yakni: (1) berimbang dan benar-benar jujur dalam

menghadirkan sisi-sisi yang berbeda dari sebuah isu; (2) akurasi

dan menganut prinsip realisme dalam reportase; (3) menyajikan

seluruh hal penting yang relevan; (4) memisahkan fakta dari

opini; (5) meminimalkan pengaruh dari sikap, pendapat

ataupun keterlibatan penulis; dan (6) menghindarkan tujuan

yang bersifat mengarahkan, menimbulkan kebencian, dan

melakukan penipuan.

Tentu saja, berbagai konsep dan upaya untuk

menampilkan detail operasional tentang obyektivitas dapat

dituliskan secara lebih panjang. Hanya saja persoalan yang tidak

kalah penting dan jauh lebih substansial adalah bagaimana hal

itu dijalankan ketika wartawan menuliskan berita. Bahkan,

untuk membedakan peristiwa yang dianggap layak dijadikan

berita atau tidak pun telah melahirkan perdebatan tersendiri.

Misalnya saja berita yang seringkali melibatkan elite masyarakat

dan elite bangsa (pendapat Galtung dan Ruge ini dikutip oleh

Fleming, et. al., 2006: 5-6). Inilah yang dalam nilai berita disebut

sebagai elemen prominence (keterkenalan), sehingga

memunculkan hukum besi dalam jurnalisme, yaitu name makes

news (nama membuat berita). Lain halnya dengan orang-orang

kecil yang baru bisa diberitakan kalau melakukan suatu

perbuatan yang dianggap luar biasa (extraordinary) atau di luar

kelaziman (unusual).

Terlepas dari berbagai perdebatan tentang konsep

obyektivitas, persoalan yang relevan dikemukakan adalah

obyektivitas merujuk pada bagaimana berita harus dikaji secara

teliti, diorganisasikan, serta dihadirkan. Dalam sudut pandang

demikian, obyektivitas dapat diartikan sebagai penghadiran

secara jujur, berimbang, dan tidak memihak peristiwa-peristiwa

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

78 79

dalam pemberitaan yang semata-mata didasarkan pada fakta

dan tanpa penafsiran apa pun terhadapnya.

Dalam teknik penulisan berita, obyektivitas semacam itu

dapat dicapai dengan empat langkah pokok, yakni: (1) berita

ditulis dalam format piramida terbalik yang berarti bagian-

bagian paling penting dari berita mendapatkan prioritas utama;

(2) sudut pandang yang digunakan dalam penulisan berita

adalah orang ketiga; (3) setidaknya terdapat dua pihak yang

dituliskan ketika berita menyoroti persoalan tertentu yang

secara potensial atau riil mengandung konflik; dan (4) berita

memuat kutipan pernyataan dari ahli yang dianggap memiliki

kompetensi di bidang yang sedang disoroti media. Kriteria ini

dapat diberlakukan dalam jenis medium apa pun (Turow, 2009:

55).

Format penulisan piramida terbalik yang dianggap

memiliki obyektivitas itu bukan merupakan hal yang baru dalam

jurnalistik. Piramida terbalik merupakan teknik penulisan dasar

yang mengharuskan wartawan menuliskan terlebih dahulu

elemen-elemen dari kejadian yang dianggap paling penting

sampai kurang penting bagi khalayak.

Format penulisan dengan gaya piramida terbalik lazim

digunakan dalam berita-berita yang memuat nilai berita

aktualitas. Penggunaan sudut pandang orang ketiga (third

person) dalam penulisan berita diyakini mampu menjaga jarak

keterlibatan antara wartawan dengan pihak (obyek) lain yang

sedang diliputnya. Alasannya, sudut pandang penceritaan orang

ketiga diandaikan mampu memosisikan jurnalis di luar arena

persoalan yang sedang disorotinya.

Berita yang dianggap bagus dan mempunyai nilai berita

yang tinggi biasanya jika memuat unsur kontroversi,

perdebatan, konflik, pro-kontra, atau apa pun istilah yang

mampu digunakan untuk menghadirkan pertikaian dua pihak

atau lebih. Bahkan, dalam dunia jurnalisme sendiri, terutama

jurnalisme tabloid yang mengandalkan sensasionalisme, dikenal

slogan yang sangat terkenal “if it bleeds, it leads”, semakin

berdarah-darah semakin bagus.

Dalam dunia jurnalistik yang hendak menunjukkan

kualitas pemberitaan yang obyektif, maka slogan tersebut

ditinggalkan. Obyektivitas menjadi salah satu tujuan dalam

pemberitaan dengan cara memuat pernyataan semua pihak yang

terlibat dalam pertengkaran. Pada akhirnya, kutipan pernyataan

dari seseorang yang dianggap berkompeten dalam bidang yang

diperdebatkan pun menjadi tolok ukur apakah suatu berita

dapat dinilai obyektif atau sebaliknya. Tentu saja, pihak

berkompeten yang dikutip pernyatannya itu tidak boleh terlibat

atau menjadi bagian dalam perdebatan yang sedang diliput oleh

media.

Secara historis, sebagaimana ditunjukkan dalam kasus

jurnalisme di Amerika Serikat, konsep tentang obyektivitas

berkaitan erat dengan keberadaan media untuk tidak

memberikan dukungan (nonpartisanship) kepada pihak mana

pun. Bahkan, bisa dikemukakan bahwa nonpartisanship adalah

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

80 81

dalam pemberitaan yang semata-mata didasarkan pada fakta

dan tanpa penafsiran apa pun terhadapnya.

Dalam teknik penulisan berita, obyektivitas semacam itu

dapat dicapai dengan empat langkah pokok, yakni: (1) berita

ditulis dalam format piramida terbalik yang berarti bagian-

bagian paling penting dari berita mendapatkan prioritas utama;

(2) sudut pandang yang digunakan dalam penulisan berita

adalah orang ketiga; (3) setidaknya terdapat dua pihak yang

dituliskan ketika berita menyoroti persoalan tertentu yang

secara potensial atau riil mengandung konflik; dan (4) berita

memuat kutipan pernyataan dari ahli yang dianggap memiliki

kompetensi di bidang yang sedang disoroti media. Kriteria ini

dapat diberlakukan dalam jenis medium apa pun (Turow, 2009:

55).

Format penulisan piramida terbalik yang dianggap

memiliki obyektivitas itu bukan merupakan hal yang baru dalam

jurnalistik. Piramida terbalik merupakan teknik penulisan dasar

yang mengharuskan wartawan menuliskan terlebih dahulu

elemen-elemen dari kejadian yang dianggap paling penting

sampai kurang penting bagi khalayak.

Format penulisan dengan gaya piramida terbalik lazim

digunakan dalam berita-berita yang memuat nilai berita

aktualitas. Penggunaan sudut pandang orang ketiga (third

person) dalam penulisan berita diyakini mampu menjaga jarak

keterlibatan antara wartawan dengan pihak (obyek) lain yang

sedang diliputnya. Alasannya, sudut pandang penceritaan orang

ketiga diandaikan mampu memosisikan jurnalis di luar arena

persoalan yang sedang disorotinya.

Berita yang dianggap bagus dan mempunyai nilai berita

yang tinggi biasanya jika memuat unsur kontroversi,

perdebatan, konflik, pro-kontra, atau apa pun istilah yang

mampu digunakan untuk menghadirkan pertikaian dua pihak

atau lebih. Bahkan, dalam dunia jurnalisme sendiri, terutama

jurnalisme tabloid yang mengandalkan sensasionalisme, dikenal

slogan yang sangat terkenal “if it bleeds, it leads”, semakin

berdarah-darah semakin bagus.

Dalam dunia jurnalistik yang hendak menunjukkan

kualitas pemberitaan yang obyektif, maka slogan tersebut

ditinggalkan. Obyektivitas menjadi salah satu tujuan dalam

pemberitaan dengan cara memuat pernyataan semua pihak yang

terlibat dalam pertengkaran. Pada akhirnya, kutipan pernyataan

dari seseorang yang dianggap berkompeten dalam bidang yang

diperdebatkan pun menjadi tolok ukur apakah suatu berita

dapat dinilai obyektif atau sebaliknya. Tentu saja, pihak

berkompeten yang dikutip pernyatannya itu tidak boleh terlibat

atau menjadi bagian dalam perdebatan yang sedang diliput oleh

media.

Secara historis, sebagaimana ditunjukkan dalam kasus

jurnalisme di Amerika Serikat, konsep tentang obyektivitas

berkaitan erat dengan keberadaan media untuk tidak

memberikan dukungan (nonpartisanship) kepada pihak mana

pun. Bahkan, bisa dikemukakan bahwa nonpartisanship adalah

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

80 81

elemen pertama yang harus dipenuhi pers untuk menakar

obyektivitas (Powers dalam Sterling [ed.], 2009: 1028). Apa

yang bisa ditegaskan adalah perumusan tentang obyektivitas

media dapat dituliskan sesuai selera masing-masing pihak. Tapi,

persyaratan pertama yang bersifat absolut bagi pers untuk bisa

bersikap obyektif adalah tidak mendukung siapa pun yang

terlibat dalam konflik atau setidaknya perdebatan. Ketika pers,

baik secara terselubung maupun eksplisit, sudah menunjukkan

pemberian dukungan terhadap salah satu pihak yang bertikai,

maka apa yang disebut secara berbusa-busa sebagai obyektivitas

tidak perlu ditelusuri lagi keberadaannya.

Definisi konseptual dan operasional

Obyektivitas secara konseptual dapat dijabarkan sebagai

penghadiran secara jujur, berimbang, dan tidak memihak

peristiwa-peristiwa dalam pemberitaan yang semata-mata

didasarkan pada fakta dan tanpa penafsiran apa pun

terhadapnya.

Beberapa hal yang akan dikaji dalam penelitian ini,

adalah:

1. Topik berita:a. Politik. Berita-berita yang menyoroti berbagai

persoalan konflik kepentingan dari para pihak pemegang

kekuasaan, lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan

lembaga-lembaga lain (organisasi kemasyarakatan dan

organisasi non-pemerintah) yang memiliki relevansi di

dalamnya; dan b. Hukum. Berita-berita yang menghadirkan

peristiwa pengadilan, pengusutan kasus hukum oleh pihak

yang berwajib (kepolisian dan kejaksaan), dan pihak-pihak

lainnya yang memiliki keterkaitan erat dengan persoalan ini.

2. Jenis-jenis berita: a. Hard news. Berita yang mengandalkan

aspek kebaruan; b. Soft news. Berita yang menonjolkan

aspek human interest yang lazim disebut dengan feature; c.

Reportase investigatif. Berita yang ditulis secara mendalam

untuk mengungkap suatu kasus; dan d. Editorial. Tulisan

yang dimuat pada kolom tajuk rencana dan sejenisnya yang

menunjukkan sikap media terhadap suatu kasus tertentu

yang sedang hangat dibicarakan dalam masyarakat.

3. Cara wartawan mendapatkan berita: a. Wawancara.

Wartawan mewawancarai narasumber secara bertatap

muka, melalui telepon, ataupun surat; b. Observasi.

Wartawan melakukan pengamatan terhadap kejadian atau

keadaan yang diberitakan secara langsung; c. Riset.

Wartawan melakukan kajian pustaka untuk menampilkan

data-data sekunder dalam pemberitaan; dan d. Gabungan.

Wartawan melakukan gabungan antara dua atau tiga teknik

pengumpulan berita itu

4. Asal-usul berita: a. Peristiwa-peristiwa yang bersifat

alamiah, seperti kecelakaan atau bencana alam; b. Kegiatan-

kegiatan yang telah direncanakan secara baik, misalnya

konferensi pers atau pertemuan; dan c. Usaha-uasaha yang

dilakukan oleh wartawan sendiri, misalnya berinisiatif untuk

menghubungi narasumber.

a

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

82 83

elemen pertama yang harus dipenuhi pers untuk menakar

obyektivitas (Powers dalam Sterling [ed.], 2009: 1028). Apa

yang bisa ditegaskan adalah perumusan tentang obyektivitas

media dapat dituliskan sesuai selera masing-masing pihak. Tapi,

persyaratan pertama yang bersifat absolut bagi pers untuk bisa

bersikap obyektif adalah tidak mendukung siapa pun yang

terlibat dalam konflik atau setidaknya perdebatan. Ketika pers,

baik secara terselubung maupun eksplisit, sudah menunjukkan

pemberian dukungan terhadap salah satu pihak yang bertikai,

maka apa yang disebut secara berbusa-busa sebagai obyektivitas

tidak perlu ditelusuri lagi keberadaannya.

Definisi konseptual dan operasional

Obyektivitas secara konseptual dapat dijabarkan sebagai

penghadiran secara jujur, berimbang, dan tidak memihak

peristiwa-peristiwa dalam pemberitaan yang semata-mata

didasarkan pada fakta dan tanpa penafsiran apa pun

terhadapnya.

Beberapa hal yang akan dikaji dalam penelitian ini,

adalah:

1. Topik berita:a. Politik. Berita-berita yang menyoroti berbagai

persoalan konflik kepentingan dari para pihak pemegang

kekuasaan, lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan

lembaga-lembaga lain (organisasi kemasyarakatan dan

organisasi non-pemerintah) yang memiliki relevansi di

dalamnya; dan b. Hukum. Berita-berita yang menghadirkan

peristiwa pengadilan, pengusutan kasus hukum oleh pihak

yang berwajib (kepolisian dan kejaksaan), dan pihak-pihak

lainnya yang memiliki keterkaitan erat dengan persoalan ini.

2. Jenis-jenis berita: a. Hard news. Berita yang mengandalkan

aspek kebaruan; b. Soft news. Berita yang menonjolkan

aspek human interest yang lazim disebut dengan feature; c.

Reportase investigatif. Berita yang ditulis secara mendalam

untuk mengungkap suatu kasus; dan d. Editorial. Tulisan

yang dimuat pada kolom tajuk rencana dan sejenisnya yang

menunjukkan sikap media terhadap suatu kasus tertentu

yang sedang hangat dibicarakan dalam masyarakat.

3. Cara wartawan mendapatkan berita: a. Wawancara.

Wartawan mewawancarai narasumber secara bertatap

muka, melalui telepon, ataupun surat; b. Observasi.

Wartawan melakukan pengamatan terhadap kejadian atau

keadaan yang diberitakan secara langsung; c. Riset.

Wartawan melakukan kajian pustaka untuk menampilkan

data-data sekunder dalam pemberitaan; dan d. Gabungan.

Wartawan melakukan gabungan antara dua atau tiga teknik

pengumpulan berita itu

4. Asal-usul berita: a. Peristiwa-peristiwa yang bersifat

alamiah, seperti kecelakaan atau bencana alam; b. Kegiatan-

kegiatan yang telah direncanakan secara baik, misalnya

konferensi pers atau pertemuan; dan c. Usaha-uasaha yang

dilakukan oleh wartawan sendiri, misalnya berinisiatif untuk

menghubungi narasumber.

a

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

82 83

5. Nilai-nilai berita (news values) yang ditonjolkan: a.

Aktualitas. Nilai berita yang menonjolkan aspek kebaruan

suatu peristiwa; b. Proksimitas. Nilai berita yang

menonjolkan aspek kedekatan secara geografis dengan

khalayak; c. Kontroversi. Nilai berita yang menonjolkan

konflik atau pertikaian dua pihak atau lebih; d.

Keterkenalan. Nilai berita yang menonjolkan nama-nama

orang atau tempat yang sudah dikenal secara luas oleh

publik; e. Dampak. Nilai berita yang menonjolkan suatu

peristiwa memiliki dampak yang signifikan bagi kehidupan

masyarakat; f. Currency. Nilai berita yang menonjolkan

suatu peristiwa masih tetap dibicarakan dalam kehidupan

masyarakat; dan g. Keluarbiasaan. Nilai berita yang

menonjolkan aspek keunikan, keanehan, atau keluarbiasaan

yang dialami atau terdapat pada orang, binatang, dan

lingkungan pada umumnya.

6. Teknik penulisan berita: a.Berita ditulis dalam format

piramida terbalik yang berarti bagian-bagian paling penting

dari berita mendapatkan prioritas utama; b.Sudut pandang

penceritaan yang digunakan dalam pemberitaan adalah

orang ketiga (third person); c. Setidaknya ada dua pihak

yang dituliskan ketika berita menyoroti persoalan tertentu

yang secara potensial atau riil mengandung konflik; dan d.

Berita memuat kutipan pernyataan dari pihak ahli yang

dianggap memiliki kompetensi di bidang yang sedang

disoroti media.

Metode penelitian

Penelitian ini bertipe deskriptif dengan menggunakan

analisis isi. Analisis isi adalah teknik penelitian untuk membuat

inferensi dari teks secara obyektif dan terukur dalam kaitannya

dengan penggunaan teks tersebut (Krippendorff, 2004: 18).

Untuk memastikan hasil yang obyektif dan terukur tersebut,

dilakukan proses replikasi pencatatan teks yang sama oleh

orang-orang yang berbeda dan selanjutnya dilakukan uji

reliabilitas yang diukur dengan uji korelasi di antara mereka.

Kategorisasi konseptual digunakan sebagai pedoman oleh para

pencatat teks (coder) untuk melakukan pencatatan dan

mengelompokkannya kedalam tabel yang sudah dipersiapkan.

Obyek yang dikaji dalam penelitian ini adalah berita-

berita bertopik politik dan hukum dalam wilayah liputan

(coverage area) Semarang pada edisi Juli, Agustus, dan

September 2013 yang ditampilkan oleh lima media cetak, yaitu

Suara Merdeka, Wawasan, Jawa Pos Radar Semarang, Koran

Sindo edisi Jateng, dan Tribun Jateng. Data dikumpulkan

dengan mendokumentasikan berita-berita yang telah dipilih

dengan merujuk pada kriteria yang ditetapkan dalam penelitian

ini. Analisis data dilakukan dalam bentuk penyajian gambar

(grafik) yang menunjukkan distribusi frekuensi dan tabulasi

silang.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

84 85

5. Nilai-nilai berita (news values) yang ditonjolkan: a.

Aktualitas. Nilai berita yang menonjolkan aspek kebaruan

suatu peristiwa; b. Proksimitas. Nilai berita yang

menonjolkan aspek kedekatan secara geografis dengan

khalayak; c. Kontroversi. Nilai berita yang menonjolkan

konflik atau pertikaian dua pihak atau lebih; d.

Keterkenalan. Nilai berita yang menonjolkan nama-nama

orang atau tempat yang sudah dikenal secara luas oleh

publik; e. Dampak. Nilai berita yang menonjolkan suatu

peristiwa memiliki dampak yang signifikan bagi kehidupan

masyarakat; f. Currency. Nilai berita yang menonjolkan

suatu peristiwa masih tetap dibicarakan dalam kehidupan

masyarakat; dan g. Keluarbiasaan. Nilai berita yang

menonjolkan aspek keunikan, keanehan, atau keluarbiasaan

yang dialami atau terdapat pada orang, binatang, dan

lingkungan pada umumnya.

6. Teknik penulisan berita: a.Berita ditulis dalam format

piramida terbalik yang berarti bagian-bagian paling penting

dari berita mendapatkan prioritas utama; b.Sudut pandang

penceritaan yang digunakan dalam pemberitaan adalah

orang ketiga (third person); c. Setidaknya ada dua pihak

yang dituliskan ketika berita menyoroti persoalan tertentu

yang secara potensial atau riil mengandung konflik; dan d.

Berita memuat kutipan pernyataan dari pihak ahli yang

dianggap memiliki kompetensi di bidang yang sedang

disoroti media.

Metode penelitian

Penelitian ini bertipe deskriptif dengan menggunakan

analisis isi. Analisis isi adalah teknik penelitian untuk membuat

inferensi dari teks secara obyektif dan terukur dalam kaitannya

dengan penggunaan teks tersebut (Krippendorff, 2004: 18).

Untuk memastikan hasil yang obyektif dan terukur tersebut,

dilakukan proses replikasi pencatatan teks yang sama oleh

orang-orang yang berbeda dan selanjutnya dilakukan uji

reliabilitas yang diukur dengan uji korelasi di antara mereka.

Kategorisasi konseptual digunakan sebagai pedoman oleh para

pencatat teks (coder) untuk melakukan pencatatan dan

mengelompokkannya kedalam tabel yang sudah dipersiapkan.

Obyek yang dikaji dalam penelitian ini adalah berita-

berita bertopik politik dan hukum dalam wilayah liputan

(coverage area) Semarang pada edisi Juli, Agustus, dan

September 2013 yang ditampilkan oleh lima media cetak, yaitu

Suara Merdeka, Wawasan, Jawa Pos Radar Semarang, Koran

Sindo edisi Jateng, dan Tribun Jateng. Data dikumpulkan

dengan mendokumentasikan berita-berita yang telah dipilih

dengan merujuk pada kriteria yang ditetapkan dalam penelitian

ini. Analisis data dilakukan dalam bentuk penyajian gambar

(grafik) yang menunjukkan distribusi frekuensi dan tabulasi

silang.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

84 85

Temuan-temuan

Berikut ini disajikan temuan-temuan penelitian yang

ditampilkan dalam bentuk gambar atau grafik. Temuan-temuan

penelitian ini diolah dari sebanyak 728 berita politik dan hukum

dalam wilayah liputan Semarang yang dihadirkan oleh Suara

Merdeka, Wawasan, Radar Semarang, Koran Sindo edisi

Jateng, dan Tribun Jateng. Beberapa hal substansial lain yang

dideskripsikan adalah proporsi topik berita, jenis berita, cara

mendapatkan berita, asal berita, news values (nilai-nilai berita),

teknik penulisan berita, dan perbandingan masing-masing surat

kabar dalam sejumlah indikator yang menunjukkan

obyektivitas.

Gambar 2TOPIK BERITA

HUKUM29%

POLITIK71%

Gambar 1 menunjukkan proporsi (jumlah) berita yang

terdapat dalam masing-masing surat kabar. Proporsi terbesar

terdapat pada Wawasan, Suara Merdeka, dan Koran Sindo edisi

Jateng.Sementara proporsi paling kecil terdapat pada Tribun

Jateng dan Radar Semarang. Hal yang menarik dilihat adalah

Koran Sindo edisi Jateng sebagai surat kabar yang terbit di

Jakarta dan hanya memberikan halaman tambahan (suplemen)

untuk wilayah liputan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa

Yogyakarta ternyata banyak memberikan perhatian pada

peristiwa-peristiwa politik dan hukum yang terjadi di Semarang.

Tema atau topik berita yang secara dominan disajikan

oleh kelima surat kabar itu adalah politik. Sementara itu

proporsi topik berita hukum kurang dari sepertiga, sebagaimana

ditunjukkan dalam Gambar 2. Hal ini menunjukkan bahwa lima

media yang terbit di Semarang lebih mempunyai ketertarikan

menyoroti peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan

kekuasaan pada level lokal daripada kejadian-kejadian hukum.

Gambar 1SURAT KABAR

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

86 87

Temuan-temuan

Berikut ini disajikan temuan-temuan penelitian yang

ditampilkan dalam bentuk gambar atau grafik. Temuan-temuan

penelitian ini diolah dari sebanyak 728 berita politik dan hukum

dalam wilayah liputan Semarang yang dihadirkan oleh Suara

Merdeka, Wawasan, Radar Semarang, Koran Sindo edisi

Jateng, dan Tribun Jateng. Beberapa hal substansial lain yang

dideskripsikan adalah proporsi topik berita, jenis berita, cara

mendapatkan berita, asal berita, news values (nilai-nilai berita),

teknik penulisan berita, dan perbandingan masing-masing surat

kabar dalam sejumlah indikator yang menunjukkan

obyektivitas.

Gambar 2TOPIK BERITA

HUKUM29%

POLITIK71%

Gambar 1 menunjukkan proporsi (jumlah) berita yang

terdapat dalam masing-masing surat kabar. Proporsi terbesar

terdapat pada Wawasan, Suara Merdeka, dan Koran Sindo edisi

Jateng.Sementara proporsi paling kecil terdapat pada Tribun

Jateng dan Radar Semarang. Hal yang menarik dilihat adalah

Koran Sindo edisi Jateng sebagai surat kabar yang terbit di

Jakarta dan hanya memberikan halaman tambahan (suplemen)

untuk wilayah liputan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa

Yogyakarta ternyata banyak memberikan perhatian pada

peristiwa-peristiwa politik dan hukum yang terjadi di Semarang.

Tema atau topik berita yang secara dominan disajikan

oleh kelima surat kabar itu adalah politik. Sementara itu

proporsi topik berita hukum kurang dari sepertiga, sebagaimana

ditunjukkan dalam Gambar 2. Hal ini menunjukkan bahwa lima

media yang terbit di Semarang lebih mempunyai ketertarikan

menyoroti peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan

kekuasaan pada level lokal daripada kejadian-kejadian hukum.

Gambar 1SURAT KABAR

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

86 87

Secara sangat dominan jenis berita yang ditampilkan

oleh semua surat kabar adalah hard news sebagaimana dapat

disimak pada Gambar 3. Hal ini menunjukkan bahwa kelima

media tersebut memberikan penekanan pada berita-berita

politik dan hukum yang mempunyai muatan aktualitas

(kebaruan) dan proksimitas (kedekatan). Jenis pemberitaan lain

yang menunjukkan aspek daya tarik manusia (human interest)

berformat feature (soft news) menunjukkan proporsi yang

sangat kecil.

Teknik dominan yang digunakan oleh kalangan

wartawan di Semarang dalam mengumpulkan berita bertema

politik dan hukum adalah wawancara seperti dapat dilihat pada

Gambar 4. Pengamatan (observasi) sebagai cara mendapatkan

berita sangat sedikit diterapkan. Sementara itu gabungan antara

wawancara dan pengamatan menunjukkan proporsi yang juga

sangat rendah. Bahkan, teknik penting lain, yakni riset dalam

wujud penelusuran literatur atau kajian terhadap data-data

sekunder, tidak pernah dikerahkan untuk mendukung

pemberitaan-pemberitaan politik dan hukum. Dengan

demikian, berita-berita yang ditampilkan pun sedemikian

dominan bercorak talking news, yakni jenis berita yang sekadar

memuat berbagai hasil wawancara atau pernyataan-pernyataan

dari para narasumber.

Gambar 3JENIS BERITA

Gambar 4CARA MENDAPATKAN BERITA (%)

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

88 89

Secara sangat dominan jenis berita yang ditampilkan

oleh semua surat kabar adalah hard news sebagaimana dapat

disimak pada Gambar 3. Hal ini menunjukkan bahwa kelima

media tersebut memberikan penekanan pada berita-berita

politik dan hukum yang mempunyai muatan aktualitas

(kebaruan) dan proksimitas (kedekatan). Jenis pemberitaan lain

yang menunjukkan aspek daya tarik manusia (human interest)

berformat feature (soft news) menunjukkan proporsi yang

sangat kecil.

Teknik dominan yang digunakan oleh kalangan

wartawan di Semarang dalam mengumpulkan berita bertema

politik dan hukum adalah wawancara seperti dapat dilihat pada

Gambar 4. Pengamatan (observasi) sebagai cara mendapatkan

berita sangat sedikit diterapkan. Sementara itu gabungan antara

wawancara dan pengamatan menunjukkan proporsi yang juga

sangat rendah. Bahkan, teknik penting lain, yakni riset dalam

wujud penelusuran literatur atau kajian terhadap data-data

sekunder, tidak pernah dikerahkan untuk mendukung

pemberitaan-pemberitaan politik dan hukum. Dengan

demikian, berita-berita yang ditampilkan pun sedemikian

dominan bercorak talking news, yakni jenis berita yang sekadar

memuat berbagai hasil wawancara atau pernyataan-pernyataan

dari para narasumber.

Gambar 3JENIS BERITA

Gambar 4CARA MENDAPATKAN BERITA (%)

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

88 89

Upaya yang dilakukan oleh para reporter merupakan hal

yang sangat dominan pada bagaimana berita diproduksi atau

dari mana berita berasal sebagaimana dapat dilihat pada

Gambar 5. Usaha yang dijalankan oleh kalangan reporter ini,

misalnya, menghubungi para narasumber untuk diwawancarai.

Sementara itu, berbagai kegiatan yang direncanakan, seperti

konferensi pers atau seminar, memperlihatkan proporsi yang

rendah. Peristiwa-peristiwa yang bersifat alamiah, misalnya

kecelakaan ataupun bencana alam, menunjukkan proporsi yang

sangat kecil. Secara keseluruhan hal itu mendeskripsikan bahwa

pemberitaan politik dan hukum yang terjadi di Semarang

memang secara sangat dominan diproduksi dari hasil prakarsa

para wartawan.

Nilai-nilai berita (news values) adalah kriteria yang

digunakan para jurnalis untuk menakar apakah suatu peristiwa

layak diberitakan karena mengandung unsur-unsur, seperti

kebaruan, kedekatan, keterkenalan, konflik, dampak, masih

dibicarakan, dan keluarbiasaan. Gambar 6 menunjukkan bahwa

hampir semua berita politik dan hukum yang disajikan oleh

kelima surat kabar itu memuat unsur aktualitas dan proksimitas.

Artinya, kelima media tersebut sangat memperhatikan

faktor kebaruan dan kedekatan peristiwa yang sesuai dengan

kebutuhan para pembaca. Hal lain yang menarik dikemukakan

adalah berita-berita politik dan hukum yang disajikan ternyata

hanya sedikit memuat nilai signifikan (dampak) bagi

masyarakat. Lebih menarik lagi, berita-berita politik dan hukum

yang diandaikan memuat nilai konflik (kontroversi) yang tinggi

ternyata sangat sedikit ditampilkan pada lima media itu.

Gambar 5ASAL BERITA (%)

Gambar 6NEWS VALUE (%)

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

90 91

Upaya yang dilakukan oleh para reporter merupakan hal

yang sangat dominan pada bagaimana berita diproduksi atau

dari mana berita berasal sebagaimana dapat dilihat pada

Gambar 5. Usaha yang dijalankan oleh kalangan reporter ini,

misalnya, menghubungi para narasumber untuk diwawancarai.

Sementara itu, berbagai kegiatan yang direncanakan, seperti

konferensi pers atau seminar, memperlihatkan proporsi yang

rendah. Peristiwa-peristiwa yang bersifat alamiah, misalnya

kecelakaan ataupun bencana alam, menunjukkan proporsi yang

sangat kecil. Secara keseluruhan hal itu mendeskripsikan bahwa

pemberitaan politik dan hukum yang terjadi di Semarang

memang secara sangat dominan diproduksi dari hasil prakarsa

para wartawan.

Nilai-nilai berita (news values) adalah kriteria yang

digunakan para jurnalis untuk menakar apakah suatu peristiwa

layak diberitakan karena mengandung unsur-unsur, seperti

kebaruan, kedekatan, keterkenalan, konflik, dampak, masih

dibicarakan, dan keluarbiasaan. Gambar 6 menunjukkan bahwa

hampir semua berita politik dan hukum yang disajikan oleh

kelima surat kabar itu memuat unsur aktualitas dan proksimitas.

Artinya, kelima media tersebut sangat memperhatikan

faktor kebaruan dan kedekatan peristiwa yang sesuai dengan

kebutuhan para pembaca. Hal lain yang menarik dikemukakan

adalah berita-berita politik dan hukum yang disajikan ternyata

hanya sedikit memuat nilai signifikan (dampak) bagi

masyarakat. Lebih menarik lagi, berita-berita politik dan hukum

yang diandaikan memuat nilai konflik (kontroversi) yang tinggi

ternyata sangat sedikit ditampilkan pada lima media itu.

Gambar 5ASAL BERITA (%)

Gambar 6NEWS VALUE (%)

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

90 91

Kebanyakan berita-berita bertema politik dan hukum

dari lima surat kabar ini memuat dua unsur nilai berita

sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 7. Sementara itu

hampir sepertiga berita-berita lainnya memuat tiga unsur nilai

berita. Berita-berita yang memuat empat atau lima unsur nilai

berita, jika keduanya digabungkan, berjumlah kurang dari

seperempat berita. Gejala ini menunjukkan bahwa apabila

kalangan jurnalis menemukan peristiwa-peristiwa politik dan

hukum yang sudah memenuhi sedikitnya dua atau tiga kriteria

nilai berita, maka kejadian-kejadian itu sudah dianggap layak

untuk dijadikan berita.

Gambar 7TOTAL NEWS VALUES

Ada empat persyaratan yang harus dipenuhi jurnalis

dalam menulis berita agar pemberitaannya dapat dikategorikan

memenuhi obyektivitas. Pertama, fakta-fakta yang dikumpulkan

disajikan dalam format piramida terbalik. Kedua, sudut pandang

yang digunakan dalam penulisan adalah orang ketiga. Ketiga,

dua belah pihak atau lebih yang terlibat dalam persoalan harus

diliput semuanya. Keempat, seorang ahli yang dianggap

memiliki kepakaran dalam bidang tertentu harus dimintai

komentar. Gambar 8 menunjukkan bahwa persyaratan pertama

dan kedua hampir secara keseluruhan telah dipenuhi.

Persyaratan ketiga telah terpenuhi oleh lebih dari tiga perempat

berita yang ada.

Sementara itu, persyaratan keempat sangat sedikit yang

terpenuhi. Hal itu menunjukkan bahwa pihak yang disebut

Gambar 8TEKNIK PENULISAN BERITA (%)

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

92 93

Kebanyakan berita-berita bertema politik dan hukum

dari lima surat kabar ini memuat dua unsur nilai berita

sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 7. Sementara itu

hampir sepertiga berita-berita lainnya memuat tiga unsur nilai

berita. Berita-berita yang memuat empat atau lima unsur nilai

berita, jika keduanya digabungkan, berjumlah kurang dari

seperempat berita. Gejala ini menunjukkan bahwa apabila

kalangan jurnalis menemukan peristiwa-peristiwa politik dan

hukum yang sudah memenuhi sedikitnya dua atau tiga kriteria

nilai berita, maka kejadian-kejadian itu sudah dianggap layak

untuk dijadikan berita.

Gambar 7TOTAL NEWS VALUES

Ada empat persyaratan yang harus dipenuhi jurnalis

dalam menulis berita agar pemberitaannya dapat dikategorikan

memenuhi obyektivitas. Pertama, fakta-fakta yang dikumpulkan

disajikan dalam format piramida terbalik. Kedua, sudut pandang

yang digunakan dalam penulisan adalah orang ketiga. Ketiga,

dua belah pihak atau lebih yang terlibat dalam persoalan harus

diliput semuanya. Keempat, seorang ahli yang dianggap

memiliki kepakaran dalam bidang tertentu harus dimintai

komentar. Gambar 8 menunjukkan bahwa persyaratan pertama

dan kedua hampir secara keseluruhan telah dipenuhi.

Persyaratan ketiga telah terpenuhi oleh lebih dari tiga perempat

berita yang ada.

Sementara itu, persyaratan keempat sangat sedikit yang

terpenuhi. Hal itu menunjukkan bahwa pihak yang disebut

Gambar 8TEKNIK PENULISAN BERITA (%)

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

92 93

pakar selama ini belum dilibatkan secara maksimal dalam

pemberitaan. Terdapat dua kemungkinan mengapa jurnalis

cenderung tidak memenuhi persyaratan keempat. Pertama,

jurnalis dikejar oleh rutinitas tenggat waktu (deadline) yang

tidak bisa dikompromikan. Kedua, jurnalis tidak atau belum

paham mengenai keharusan untuk mewawancarai ahli untuk

memenuhi syarat obyektivitas.

Hampir tiga perempat berita bertema politik dan hukum

telah memenuhi tiga syarat penulisan yang obyektif

sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 9. Tiga persyaratan

tersebut adalah penulisan dalam format piramida terbalik, sudut

pandang yang digunakan dalam penulisan adalah orang ketiga,

Gambar 9KELENGKAPAN TEKNIK

PENULISAN BERITA

dan melakukan liputan terhadap dua atau lebih pihak yang

terlibat. Berita-berita yang telah memenuhi semua syarat

penulisan berjumlah sangat kecil, yakni hanya sebesar 5 persen.

Sementara itu berita-berita yang hanya memenuhi dua syarat

berjumlah hampir seperlima.

Gambar 10 mendeskripsikan tentang proporsi berita-

berita politik dan hukum yang terdapat pada masing-masing

surat kabar. Secara keseluruhan bisa dikemukakan bahwa

kelima media itu lebih dominan menampilkan berita-berita

bertemakan politik dibandingkan dengan berita-berita bertopik

hukum. Perbedaannya adalah Tribun Jateng dan Suara

Merdeka sedikit lebih tinggi proporsinya dalam memuat berita-

berita politik dibanding tiga surat kabar lainnya. Sementara itu,

Wawasan dan Radar Semarang sedikit lebih banyak

proporsinya dalam menampilkan berita-berita bertopik hukum

Gambar 10TOPIK BERITA MENURUT SURAT KABAR

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

94 95

pakar selama ini belum dilibatkan secara maksimal dalam

pemberitaan. Terdapat dua kemungkinan mengapa jurnalis

cenderung tidak memenuhi persyaratan keempat. Pertama,

jurnalis dikejar oleh rutinitas tenggat waktu (deadline) yang

tidak bisa dikompromikan. Kedua, jurnalis tidak atau belum

paham mengenai keharusan untuk mewawancarai ahli untuk

memenuhi syarat obyektivitas.

Hampir tiga perempat berita bertema politik dan hukum

telah memenuhi tiga syarat penulisan yang obyektif

sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 9. Tiga persyaratan

tersebut adalah penulisan dalam format piramida terbalik, sudut

pandang yang digunakan dalam penulisan adalah orang ketiga,

Gambar 9KELENGKAPAN TEKNIK

PENULISAN BERITA

dan melakukan liputan terhadap dua atau lebih pihak yang

terlibat. Berita-berita yang telah memenuhi semua syarat

penulisan berjumlah sangat kecil, yakni hanya sebesar 5 persen.

Sementara itu berita-berita yang hanya memenuhi dua syarat

berjumlah hampir seperlima.

Gambar 10 mendeskripsikan tentang proporsi berita-

berita politik dan hukum yang terdapat pada masing-masing

surat kabar. Secara keseluruhan bisa dikemukakan bahwa

kelima media itu lebih dominan menampilkan berita-berita

bertemakan politik dibandingkan dengan berita-berita bertopik

hukum. Perbedaannya adalah Tribun Jateng dan Suara

Merdeka sedikit lebih tinggi proporsinya dalam memuat berita-

berita politik dibanding tiga surat kabar lainnya. Sementara itu,

Wawasan dan Radar Semarang sedikit lebih banyak

proporsinya dalam menampilkan berita-berita bertopik hukum

Gambar 10TOPIK BERITA MENURUT SURAT KABAR

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

94 95

dibandingkan ketiga media lainnya.

Secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa semua

surat kabar menyajikan berita-berita yang secara sangat

dominan berasal dari usaha-usaha yang dijalankan pihak

reporter sendiri seperti dapat disimak pada Gambar 11.

Sebaliknya, berita-berita yang berasal dari kegiatan yang

direncanakan, misalnya saja seminar atau konferensi pers,

berjumlah sangat sedikit. Proporsi tertinggi berita-berita yang

berasal dari usaha yang dijalankan reporter terdapat pada Koran

Sindo edisi Jateng yang hingga mencapai angka lebih dari 90

persen.

Sebaliknya, Koran Sindo edisi Jateng juga menjadi

media yang proporsi berita-beritanya yang berasal dari kegiatan

yang direncanakan berjumlah sangat rendah, yakni hanya

sebesar hampir 5 persen. Setidaknya, secara umum, ada dua

Gambar 11ASAL BERITA MENURUT SURAT KABAR

penjelasan yang menjadikan gejala itu terjadi. Pertama, tugas

rutin reporter adalah mencari berita sehingga inisiatif untuk

menghubungi para narasumber telah menjadi bagian tidak

terpisahkan dalam pekerjaan yang harus diselesaikan. Kedua,

tidak setiap hari suatu lembaga tertentu menyelenggarakan

acara seminar, menggelar konferensi pers, atau menyebarkan

press release.

Gambar 12 menunjukkan perbandingan dari masing-

masing surat kabar dalam menghadirkan jumlah nilai berita

Gambar 12JUMLAH UNIT NEWS VALUES

MENURUT SURAT KABAR

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

96 97

dibandingkan ketiga media lainnya.

Secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa semua

surat kabar menyajikan berita-berita yang secara sangat

dominan berasal dari usaha-usaha yang dijalankan pihak

reporter sendiri seperti dapat disimak pada Gambar 11.

Sebaliknya, berita-berita yang berasal dari kegiatan yang

direncanakan, misalnya saja seminar atau konferensi pers,

berjumlah sangat sedikit. Proporsi tertinggi berita-berita yang

berasal dari usaha yang dijalankan reporter terdapat pada Koran

Sindo edisi Jateng yang hingga mencapai angka lebih dari 90

persen.

Sebaliknya, Koran Sindo edisi Jateng juga menjadi

media yang proporsi berita-beritanya yang berasal dari kegiatan

yang direncanakan berjumlah sangat rendah, yakni hanya

sebesar hampir 5 persen. Setidaknya, secara umum, ada dua

Gambar 11ASAL BERITA MENURUT SURAT KABAR

penjelasan yang menjadikan gejala itu terjadi. Pertama, tugas

rutin reporter adalah mencari berita sehingga inisiatif untuk

menghubungi para narasumber telah menjadi bagian tidak

terpisahkan dalam pekerjaan yang harus diselesaikan. Kedua,

tidak setiap hari suatu lembaga tertentu menyelenggarakan

acara seminar, menggelar konferensi pers, atau menyebarkan

press release.

Gambar 12 menunjukkan perbandingan dari masing-

masing surat kabar dalam menghadirkan jumlah nilai berita

Gambar 12JUMLAH UNIT NEWS VALUES

MENURUT SURAT KABAR

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

96 97

pada berita-berita politik dan hukum. Proporsi yang paling

menonjol adalah Koran Sindo edisi Jateng dan Suara Merdeka

yang menghadirkan dua unit news values yang mencapai lebih

dari 50 persen. Tiga jenis news values yang paling menonjol,

dengan proporsi lebih dari sepertiga berita-berita yang

ditampilkan, terdapat pada Tribun Jateng, Koran Sindo edisi

Jateng, dan Suara Merdeka. Sementara itu, surat kabar yang

menampilkan empat jenis news value dalam berita-beritanya

yang mencapai angka lebih dari sepertiga adalah Wawasan.

Secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa semua surat

kabar menyajikan sekitar dua sampai lima unit news values.

Data yang disajikan pada Gambar 13 dapat dipahami

sebagai uraian lebih detail dari data yang terdapat pada Gambar

8. Seluruh surat kabar secara sangat menonjol memenuhi tiga

kriteria penulisan berita yang obyektif, dalam kisaran angka di

atas 60 persen (Tribun Jateng dan Wawasan), di atas 70 persen

(Radar Semarang dan Suara Merdeka), dan di atas 80 persen

(Koran Sindo edisi Jateng). Empat syarat penulisan berita

obyektif dalam proporsi yang demikian kecil, yakni hampir 10

persen, terdapat pada Wawasan. Secara umum dapat dikatakan

bahwa semua surat kabar telah secara rutin menjalankan syarat-

syarat penulisan berita obyektif meskipun kurang lengkap, yakni

pada persyaratan meminta pendapat pihak yang dianggap

memiliki kompetensi dalam bidang tertentu.

Gambar 13KELENGKAPAN TEKNIK PENULISAN BERITA

MENURUT SURAT KABAR

Gambar 14CARA MENDAPATKAN BERITA POLITIK DAN HUKUM MENURUT SURAT KABAR

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

98 99

pada berita-berita politik dan hukum. Proporsi yang paling

menonjol adalah Koran Sindo edisi Jateng dan Suara Merdeka

yang menghadirkan dua unit news values yang mencapai lebih

dari 50 persen. Tiga jenis news values yang paling menonjol,

dengan proporsi lebih dari sepertiga berita-berita yang

ditampilkan, terdapat pada Tribun Jateng, Koran Sindo edisi

Jateng, dan Suara Merdeka. Sementara itu, surat kabar yang

menampilkan empat jenis news value dalam berita-beritanya

yang mencapai angka lebih dari sepertiga adalah Wawasan.

Secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa semua surat

kabar menyajikan sekitar dua sampai lima unit news values.

Data yang disajikan pada Gambar 13 dapat dipahami

sebagai uraian lebih detail dari data yang terdapat pada Gambar

8. Seluruh surat kabar secara sangat menonjol memenuhi tiga

kriteria penulisan berita yang obyektif, dalam kisaran angka di

atas 60 persen (Tribun Jateng dan Wawasan), di atas 70 persen

(Radar Semarang dan Suara Merdeka), dan di atas 80 persen

(Koran Sindo edisi Jateng). Empat syarat penulisan berita

obyektif dalam proporsi yang demikian kecil, yakni hampir 10

persen, terdapat pada Wawasan. Secara umum dapat dikatakan

bahwa semua surat kabar telah secara rutin menjalankan syarat-

syarat penulisan berita obyektif meskipun kurang lengkap, yakni

pada persyaratan meminta pendapat pihak yang dianggap

memiliki kompetensi dalam bidang tertentu.

Gambar 13KELENGKAPAN TEKNIK PENULISAN BERITA

MENURUT SURAT KABAR

Gambar 14CARA MENDAPATKAN BERITA POLITIK DAN HUKUM MENURUT SURAT KABAR

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

98 99

Teknik yang digunakan oleh kalangan jurnalis dalam

mengumpulkan berita-berita bertema politik dan hukum secara

dominan adalah mewawancarai narasumber sebagaimana dapat

disimak pada Gambar 14. Tidak ada satu pun berita yang data-

datanya dikumpulkan melalui riset (kajian pustaka). Sementara

itu, teknik observasi hanya sedikit jumlahnya atau terlalu kecil

proporsinya. Koran Sindo edisi Jateng merupakan media yang

paling menonjol dalam menyajikan berita politik yang

didapatkan melalui wawancara (proporsinya hampir 90 persen).

Empat surat kabar lain untuk jenis berita politik yang

didapatkan melalui wawancara menunjukkan proporsi yang

hampir berimbang (dalam kisaran 80 persen), kecuali Suara

Merdeka yang proporsinya 78 persen. Pada berita-berita hukum

yang didapatkan melalui wawancara, semua surat kabar

menunjukkan kecenderungan yang hampir sama. Proporsi

berita hukum dari hasil wawancara pada Tribun Jateng dan

Koran Sindo edisi Jateng di atas 90 persen. Proporsi berita

hukum yang diperoleh dari hasil interviu pada Wawasan dan

Suara Merdeka di atas 80 persen. Pengecualian terjadi pada

Radar Semarang yang proporsinya hanya dalam kisaran 10

persen.

Secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa asal

berita politik dan hukum pada lima media tersebut merupakan

usaha yang dijalankan reporter sebagaimana dapat

dideskripsikan pada Gambar 15. Peristiwa alamiah terlalu kecil

proporsinya. Proporsi berita-berita politik yang berasal dari

usaha reporter untuk masing-masing surat kabar menunjukkan

proporsi yang bervariasi. Proporsi Koran Sindo edisi Jateng

pada berita politik berada di atas 90 persen.

Gambar 15ASAL BERITA POLITIK DAN HUKUM

MENURUT SURAT KABAR

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

100 101

Teknik yang digunakan oleh kalangan jurnalis dalam

mengumpulkan berita-berita bertema politik dan hukum secara

dominan adalah mewawancarai narasumber sebagaimana dapat

disimak pada Gambar 14. Tidak ada satu pun berita yang data-

datanya dikumpulkan melalui riset (kajian pustaka). Sementara

itu, teknik observasi hanya sedikit jumlahnya atau terlalu kecil

proporsinya. Koran Sindo edisi Jateng merupakan media yang

paling menonjol dalam menyajikan berita politik yang

didapatkan melalui wawancara (proporsinya hampir 90 persen).

Empat surat kabar lain untuk jenis berita politik yang

didapatkan melalui wawancara menunjukkan proporsi yang

hampir berimbang (dalam kisaran 80 persen), kecuali Suara

Merdeka yang proporsinya 78 persen. Pada berita-berita hukum

yang didapatkan melalui wawancara, semua surat kabar

menunjukkan kecenderungan yang hampir sama. Proporsi

berita hukum dari hasil wawancara pada Tribun Jateng dan

Koran Sindo edisi Jateng di atas 90 persen. Proporsi berita

hukum yang diperoleh dari hasil interviu pada Wawasan dan

Suara Merdeka di atas 80 persen. Pengecualian terjadi pada

Radar Semarang yang proporsinya hanya dalam kisaran 10

persen.

Secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa asal

berita politik dan hukum pada lima media tersebut merupakan

usaha yang dijalankan reporter sebagaimana dapat

dideskripsikan pada Gambar 15. Peristiwa alamiah terlalu kecil

proporsinya. Proporsi berita-berita politik yang berasal dari

usaha reporter untuk masing-masing surat kabar menunjukkan

proporsi yang bervariasi. Proporsi Koran Sindo edisi Jateng

pada berita politik berada di atas 90 persen.

Gambar 15ASAL BERITA POLITIK DAN HUKUM

MENURUT SURAT KABAR

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

100 101

Proporsi Tribun Jateng dan Radar Semarang di atas tiga

perempat (75 persen). Sedangkan proporsi Wawasan dan Suara

Merdeka masing-masing di atas angka 69 persen dan 67 persen.

Sementara itu, proporsi berita-berita bertema hukum yang

berasal dari usaha reporter pada masing-masing media juga

memperlihatkan variasi. Proporsi Tribun Jateng, Koran Sindo

edisi Jateng, dan Wawasan pada kisaran 90 persen. Sedangkan

proporsi Radar Semarang dan Suara Merdeka pada kisaran 80

persen.

Gambar 16NEWS VALUES DALAM BERITA POLITIK DAN

HUKUM MENURUT SURAT KABAR

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

102 103

Proporsi Tribun Jateng dan Radar Semarang di atas tiga

perempat (75 persen). Sedangkan proporsi Wawasan dan Suara

Merdeka masing-masing di atas angka 69 persen dan 67 persen.

Sementara itu, proporsi berita-berita bertema hukum yang

berasal dari usaha reporter pada masing-masing media juga

memperlihatkan variasi. Proporsi Tribun Jateng, Koran Sindo

edisi Jateng, dan Wawasan pada kisaran 90 persen. Sedangkan

proporsi Radar Semarang dan Suara Merdeka pada kisaran 80

persen.

Gambar 16NEWS VALUES DALAM BERITA POLITIK DAN

HUKUM MENURUT SURAT KABAR

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

102 103

Gambar 16 menunjukkan bahwa nilai-nilai berita (news

values) yang paling menonjol pada berita-berita politik dan

hukum pada lima media adalah aktualitas dan proksimitas. Hal

ini dapat dimengerti karena kelima surat kabar itu terbit harian

yang menekankan sisi kebaruan suatu peristiwa serta

menonjolkan aspek lokalitas untuk memenuhi kebutuhan para

pembacanya.

Nilai-nilai berita lain, seperti currency, dampak, dan

keterkenalan memang ada, tapi proporsinya terhitung kecil

dibandingkan aktualitas dan proksimitas. Bahkan, nilai berita

keluarbiasaan dan kontroversi juga ada, namun tidak

diperhitungkan karena jumlahnya terlalu sedikit. Semua surat

kabar menampilkan nilai kedekatan dengan khalayak dalam

berita-berita politik yang proporsinya mencapai angka di atas 90

persen, bahkan 100 persen. Pengecualian terdapat pada

Wawasan yang proporsinya sebesar lebih dari 80 persen.

Seluruh media juga menekankan aktualitas dalam berita-berita

politik yang proporsinya hingga mencapai 100 persen, kecuali

Tribun Jateng yang proporsinya sebesar 97,1 persen.

Berita-berita bertopik hukum yang menekankan aspek

proksimitas secara dominan juga ditampilkan oleh semua

media. Bahkan, pada Koran Sindo edisi Jateng dan Suara

Merdeka proporsinya mencapai 100 persen. Sementara itu

proporsi jenis berita ini pada Tribun Jateng, Radar Semarang,

dan Wawasan mencapai lebih dari 90 persen. Sedangkan berita-

berita hukum yang menonjolkan aspek aktualitas, dengan

proporsi mencapai 100 persen, ditunjukkan oleh semua media,

kecuali Tribun Jateng yang proporsinya sebesar 93,3 persen.

Gambar 17TEKNIK PENULISAN BERITA POLITIK DAN

HUKUM MENURUT SURAT KABAR

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

104 105

Gambar 16 menunjukkan bahwa nilai-nilai berita (news

values) yang paling menonjol pada berita-berita politik dan

hukum pada lima media adalah aktualitas dan proksimitas. Hal

ini dapat dimengerti karena kelima surat kabar itu terbit harian

yang menekankan sisi kebaruan suatu peristiwa serta

menonjolkan aspek lokalitas untuk memenuhi kebutuhan para

pembacanya.

Nilai-nilai berita lain, seperti currency, dampak, dan

keterkenalan memang ada, tapi proporsinya terhitung kecil

dibandingkan aktualitas dan proksimitas. Bahkan, nilai berita

keluarbiasaan dan kontroversi juga ada, namun tidak

diperhitungkan karena jumlahnya terlalu sedikit. Semua surat

kabar menampilkan nilai kedekatan dengan khalayak dalam

berita-berita politik yang proporsinya mencapai angka di atas 90

persen, bahkan 100 persen. Pengecualian terdapat pada

Wawasan yang proporsinya sebesar lebih dari 80 persen.

Seluruh media juga menekankan aktualitas dalam berita-berita

politik yang proporsinya hingga mencapai 100 persen, kecuali

Tribun Jateng yang proporsinya sebesar 97,1 persen.

Berita-berita bertopik hukum yang menekankan aspek

proksimitas secara dominan juga ditampilkan oleh semua

media. Bahkan, pada Koran Sindo edisi Jateng dan Suara

Merdeka proporsinya mencapai 100 persen. Sementara itu

proporsi jenis berita ini pada Tribun Jateng, Radar Semarang,

dan Wawasan mencapai lebih dari 90 persen. Sedangkan berita-

berita hukum yang menonjolkan aspek aktualitas, dengan

proporsi mencapai 100 persen, ditunjukkan oleh semua media,

kecuali Tribun Jateng yang proporsinya sebesar 93,3 persen.

Gambar 17TEKNIK PENULISAN BERITA POLITIK DAN

HUKUM MENURUT SURAT KABAR

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

104 105

Prosedur penulisan berita-berita politik dan hukum yang

obyektif sudah dijalankan oleh semua media.Setidaknya, tiga

syarat sudah dijalankan, yakni meliput dua atau lebih pihak yang

terlibat, menggunakan sudut pandang penulisan orang ketiga,

serta penulisan dengan format piramida terbalik. Hal itu dapat

dibaca pada Gambar 17.

Pada berita-berita politik dapat dilihat bahwa proporsi

syarat penulisan dengan menggunakan sudut pandang orang

ketiga dan piramida terbalik sudah dilakukan sepenuhnya

(100%) oleh Radar Semarang, Wawasan, dan Suara Merdeka.

Sementara itu proporsi Koran Sindo edisi Jateng untuk dua

syarat penulisan itu mencapai 99 persen. Tribun Jateng pada

kasus yang sama menunjukkan pola yang bervariasi. Sementara

itu, semua media menunjukkan proporsi yang bervariasi antara

di atas 70 persen dan 90 persen untuk syarat meliput dua atau

lebih pihak yang terlibat. Proporsi prosedur kutipan dari ahli

pada berita-berita politik untuk semua media terhitung masih

sedikit.

Kecenderungan yang sama terdapat pada berita-berita

bertopik hukum. Semua media sudah menjalankan persyaratan

menulis dengan sudut pandang orang ketiga dan memakai

format penulisan piramida terbalik (100%), kecuali pada Tribun

Jateng yang proporsinya di atas 90 persen.

Persyaratan penulisan yang mencakup dua belah pihak

atau lebih yang terlibat memperlihatkan proporsi yang beragam,

dalam kisaran angka di atas 50 persen dan 80 persen. Proporsi

penulisan berita yang melibatkan kutipan dari pihak yang

dianggap ahli di bidangnya menunjukkan proporsi yang sangat

rendah. Bahkan, berita-berita Tribun Jateng dan Suara

Merdeka sama sekali tidak memuat pernyataan dari kalangan

pihak yang berkompeten di bidang hukum.

Penutup

1. Obyektivitas pemberitaan merupakan sisi lain dari

independensi media. Artinya adalah independensi

merupakan proses para wartawan dalam melakukan liputan

terhadap suatu peristiwa sampai dihadirkan sebagai berita di

hadapan pembaca. Sementara itu, obyektivitas pemberitaan

merupakan hasil kerja yang dilakukan kalangan wartawan

yang tidak mendapatkan intervensi dari pihak mana pun.

Terdapat pengandaian bahwa semakin obyektif pemberitaan

yang diproduksi oleh wartawan, maka semakin independen

pula para jurnalis dalam proses pembuatan berita.

Obyektivitas pemberitaan pada kondisi semacam itu adalah

bukti media mampu menunjukkan tindakan tidak berpihak

( impartial) dan tidak pula memberi dukungan

(nonpartisanship) terhadap pihak-pihak tertentu yang

diliput media.

2. Apabila dilihat dari empat syarat penulisan berita obyektif,

yakni:(1) penyajian fakta-fakta mengikuti kaidah piramida

terbalik; (2) sudut pandang atau perspektif penulisan adalah

orang ketiga (third person); (3) dua atau lebih pihak yang

terlibat dalam pemberitaan diliput semua; dan (4)

mewawancarai pihak yang dianggap berkompetensi dalam

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

106 107

Prosedur penulisan berita-berita politik dan hukum yang

obyektif sudah dijalankan oleh semua media.Setidaknya, tiga

syarat sudah dijalankan, yakni meliput dua atau lebih pihak yang

terlibat, menggunakan sudut pandang penulisan orang ketiga,

serta penulisan dengan format piramida terbalik. Hal itu dapat

dibaca pada Gambar 17.

Pada berita-berita politik dapat dilihat bahwa proporsi

syarat penulisan dengan menggunakan sudut pandang orang

ketiga dan piramida terbalik sudah dilakukan sepenuhnya

(100%) oleh Radar Semarang, Wawasan, dan Suara Merdeka.

Sementara itu proporsi Koran Sindo edisi Jateng untuk dua

syarat penulisan itu mencapai 99 persen. Tribun Jateng pada

kasus yang sama menunjukkan pola yang bervariasi. Sementara

itu, semua media menunjukkan proporsi yang bervariasi antara

di atas 70 persen dan 90 persen untuk syarat meliput dua atau

lebih pihak yang terlibat. Proporsi prosedur kutipan dari ahli

pada berita-berita politik untuk semua media terhitung masih

sedikit.

Kecenderungan yang sama terdapat pada berita-berita

bertopik hukum. Semua media sudah menjalankan persyaratan

menulis dengan sudut pandang orang ketiga dan memakai

format penulisan piramida terbalik (100%), kecuali pada Tribun

Jateng yang proporsinya di atas 90 persen.

Persyaratan penulisan yang mencakup dua belah pihak

atau lebih yang terlibat memperlihatkan proporsi yang beragam,

dalam kisaran angka di atas 50 persen dan 80 persen. Proporsi

penulisan berita yang melibatkan kutipan dari pihak yang

dianggap ahli di bidangnya menunjukkan proporsi yang sangat

rendah. Bahkan, berita-berita Tribun Jateng dan Suara

Merdeka sama sekali tidak memuat pernyataan dari kalangan

pihak yang berkompeten di bidang hukum.

Penutup

1. Obyektivitas pemberitaan merupakan sisi lain dari

independensi media. Artinya adalah independensi

merupakan proses para wartawan dalam melakukan liputan

terhadap suatu peristiwa sampai dihadirkan sebagai berita di

hadapan pembaca. Sementara itu, obyektivitas pemberitaan

merupakan hasil kerja yang dilakukan kalangan wartawan

yang tidak mendapatkan intervensi dari pihak mana pun.

Terdapat pengandaian bahwa semakin obyektif pemberitaan

yang diproduksi oleh wartawan, maka semakin independen

pula para jurnalis dalam proses pembuatan berita.

Obyektivitas pemberitaan pada kondisi semacam itu adalah

bukti media mampu menunjukkan tindakan tidak berpihak

( impartial) dan tidak pula memberi dukungan

(nonpartisanship) terhadap pihak-pihak tertentu yang

diliput media.

2. Apabila dilihat dari empat syarat penulisan berita obyektif,

yakni:(1) penyajian fakta-fakta mengikuti kaidah piramida

terbalik; (2) sudut pandang atau perspektif penulisan adalah

orang ketiga (third person); (3) dua atau lebih pihak yang

terlibat dalam pemberitaan diliput semua; dan (4)

mewawancarai pihak yang dianggap berkompetensi dalam

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

106 107

bidang kajian yang sedang dijadikan materi liputan, maka

lima media yang terbit di Semarang setidaknya telah

memenuhi tiga persyaratan pertama. Narasumber yang

dikategorikan sebagai pakar atau pengamat, ternyata, belum

menjadi pihak yang dianggap penting oleh media dalam

pemberitaan. Dengan demikian, dari sisi teknis-prosedural

penulisan berita obyektif dapat dikemukakan bahwa media

memang sudah menjalankannya. Tapi, aspek teknis-

prosedural penulisan yang sebagian besar telah terpenuhi

tidak berbanding lurus dan belum tentu mencerminkan

aspek obyektivitas yang bersifat substansial. Misalnya,

dalam aspek tone (nada) pemberitaan apakah media

menunjukkan keberpihakan dan wartawan sudah mampu

memisahkan secara tegas fakta dengan opini, belum bisa

terjawab secara terukur.

3. Apabila politik dan hukum merupakan dua hal yang

berkepentingan dengan hajat hidup orang banyak, maka

dalam penelitian ini ditemukan suatu paradoks. Apa yang

disebut sebagai berita-berita bertema politik dan hukum

ternyata memuat nilai berita dampak (impact) yang rendah

bagi masyarakat. Memang benar bahwa berita-berita politik

dan hukum telah memenuhi nilai aktualitas dan proksimitas

yang menjadi kebutuhan masyarakat. Hanya saja kalau

muatan keberartian atau kepentingan itu bernilai rendah

bagi masyarakat, maka berita-berita itu sekadar menjadi

rutinitas bacaan yang sedikit pula bersinggungan dengan

kebutuhan konkret masyarakat. Obyektivitas pemberitaan

yang sekadar menyentuh aspek kedekatan (ruang) dan

kebaruan (waktu) bagi pembaca, tapi kurang menghadirkan

nilai kepentingan yang pantas bagi khalayak, maka pada

akhirnya menjadi ritual media yang tidak mampu

menciptakan dorongan bagi publik untuk berpartisipasi

dalam persoalan-persoalan nyata mereka.

4. Setidaknya ada tiga metode yang diterapkan oleh wartawan

dalam mengumpulkan berita, yaitu wawancara, observasi

(pengamatan), dan riset. Wartawan juga bisa memadukan

dua atau tiga metode itu sekaligus. Penelitian ini

menunjukkan bahwa berita-berita secara dominan

merupakan hasil wawancara. Observasi hanya sedikit

dijalankan. Bahkan, riset (misalnya, studi kepustakaan atau

kajian terhadap data-data sekunder) sama sekali tidak

pernah dikerahkan. Tidak janggal apabila berita-berita pun

sekadar berisi rangkuman wawancara yang dilakukan

wartawan dengan narasumber. Apa yang disebut sebagai

obyektivitas sekadar tindakan konfirmasi tanpa didukung

oleh bukti-bukti riset atau data yang memadai. Obyektivitas

hanya menjadi problem persepsi karena terlalu miskin data

dan bahkan nihil pembuktian.

5. Analisis isi yang digunakan dalam penelitian ini memiliki

kelebihan dan, serentak dengan itu, juga kelemahan.

Kelebihannya adalah metode ini mampu memberikan

berbagai data kuantitatif, dari topik berita sampai nilai-nilai

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

108 109

bidang kajian yang sedang dijadikan materi liputan, maka

lima media yang terbit di Semarang setidaknya telah

memenuhi tiga persyaratan pertama. Narasumber yang

dikategorikan sebagai pakar atau pengamat, ternyata, belum

menjadi pihak yang dianggap penting oleh media dalam

pemberitaan. Dengan demikian, dari sisi teknis-prosedural

penulisan berita obyektif dapat dikemukakan bahwa media

memang sudah menjalankannya. Tapi, aspek teknis-

prosedural penulisan yang sebagian besar telah terpenuhi

tidak berbanding lurus dan belum tentu mencerminkan

aspek obyektivitas yang bersifat substansial. Misalnya,

dalam aspek tone (nada) pemberitaan apakah media

menunjukkan keberpihakan dan wartawan sudah mampu

memisahkan secara tegas fakta dengan opini, belum bisa

terjawab secara terukur.

3. Apabila politik dan hukum merupakan dua hal yang

berkepentingan dengan hajat hidup orang banyak, maka

dalam penelitian ini ditemukan suatu paradoks. Apa yang

disebut sebagai berita-berita bertema politik dan hukum

ternyata memuat nilai berita dampak (impact) yang rendah

bagi masyarakat. Memang benar bahwa berita-berita politik

dan hukum telah memenuhi nilai aktualitas dan proksimitas

yang menjadi kebutuhan masyarakat. Hanya saja kalau

muatan keberartian atau kepentingan itu bernilai rendah

bagi masyarakat, maka berita-berita itu sekadar menjadi

rutinitas bacaan yang sedikit pula bersinggungan dengan

kebutuhan konkret masyarakat. Obyektivitas pemberitaan

yang sekadar menyentuh aspek kedekatan (ruang) dan

kebaruan (waktu) bagi pembaca, tapi kurang menghadirkan

nilai kepentingan yang pantas bagi khalayak, maka pada

akhirnya menjadi ritual media yang tidak mampu

menciptakan dorongan bagi publik untuk berpartisipasi

dalam persoalan-persoalan nyata mereka.

4. Setidaknya ada tiga metode yang diterapkan oleh wartawan

dalam mengumpulkan berita, yaitu wawancara, observasi

(pengamatan), dan riset. Wartawan juga bisa memadukan

dua atau tiga metode itu sekaligus. Penelitian ini

menunjukkan bahwa berita-berita secara dominan

merupakan hasil wawancara. Observasi hanya sedikit

dijalankan. Bahkan, riset (misalnya, studi kepustakaan atau

kajian terhadap data-data sekunder) sama sekali tidak

pernah dikerahkan. Tidak janggal apabila berita-berita pun

sekadar berisi rangkuman wawancara yang dilakukan

wartawan dengan narasumber. Apa yang disebut sebagai

obyektivitas sekadar tindakan konfirmasi tanpa didukung

oleh bukti-bukti riset atau data yang memadai. Obyektivitas

hanya menjadi problem persepsi karena terlalu miskin data

dan bahkan nihil pembuktian.

5. Analisis isi yang digunakan dalam penelitian ini memiliki

kelebihan dan, serentak dengan itu, juga kelemahan.

Kelebihannya adalah metode ini mampu memberikan

berbagai data kuantitatif, dari topik berita sampai nilai-nilai

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

108 109

berita (news values) yang dihadirkan oleh masing-masing

media. Analisis isi juga bisa menunjukkan pola-pola

pemberitaan yang telah menjadi rutinitas harian kalangan

wartawan. Sehingga, generalisasi terhadap berbagai

kebiasaan penulisan berita obyektif yang dijalankan

wartawan mampu didapatkan. Kekurangannya adalah

analisis isi hanya mampu mendeskripsikan sisi permukaan

(manifest), namun tidak bisa menyingkap sisi tersembunyi

(latent), yang terdapat dalam pemberitaan. Padahal,

obyektivitas tidak hanya berkaitan dengan problematika

permukaan kebahasaan berita, namun melainkan juga sisi-

sisi makna yang diselubungkan dalam aneka tanda. Dalam

sudut pandang demikian, maka memadukan analisis isi

dengan analisis bingkai (frame analysis) atau metode

semiotika untuk melihat sisi permukaan dan wilayah

kedalaman bahasa menjadi langkah yang layak

diperhitungkan.

* * *

Pengantar

Dalam laporan akhir tahun 2012, Aliansi Jurnalis

Independen (AJI) menetapkan salah satu musuh utama

kebebasan pers adalah internal perusahaan media sendiri.

Seiring dengan semakin banyaknya pemilik media massa yang

merangkap sebagai politikus maupun pelaku usaha maka

pemberitaan yang dibuat oleh jurnalis tidak bisa independen.

Jurnalis dipaksa, secara halus maupun kasar, mengikuti agenda

politik atau ekonomi pihak yang menguasai media. Padahal,

idealnya jurnalis adalah profesi yang bebas dan independen.

Hal ini secara eksplisit dapat disimak pada Surat

Keputusan Dewan Pers Nomor: 03/SK-DP/III/2006 tentang

Kode Etik Jurnalistik Pasal 1 yang menyatakan: Wartawan

Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang

akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Pada Kode Etik

Jurnalistik itu pula dapat dibaca penafsiran terhadap kata

independen, yakni “memberitakan peristiwa atau fakta sesuai

dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan

intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers”.

Salah satu dari sembilan elemen jurnalisme yang

dikemukakan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001) juga

Riset Kualitatif

Padamnya Garis Api di Ruang Pemberitaan

AJI Semarang

110 111

berita (news values) yang dihadirkan oleh masing-masing

media. Analisis isi juga bisa menunjukkan pola-pola

pemberitaan yang telah menjadi rutinitas harian kalangan

wartawan. Sehingga, generalisasi terhadap berbagai

kebiasaan penulisan berita obyektif yang dijalankan

wartawan mampu didapatkan. Kekurangannya adalah

analisis isi hanya mampu mendeskripsikan sisi permukaan

(manifest), namun tidak bisa menyingkap sisi tersembunyi

(latent), yang terdapat dalam pemberitaan. Padahal,

obyektivitas tidak hanya berkaitan dengan problematika

permukaan kebahasaan berita, namun melainkan juga sisi-

sisi makna yang diselubungkan dalam aneka tanda. Dalam

sudut pandang demikian, maka memadukan analisis isi

dengan analisis bingkai (frame analysis) atau metode

semiotika untuk melihat sisi permukaan dan wilayah

kedalaman bahasa menjadi langkah yang layak

diperhitungkan.

* * *

Pengantar

Dalam laporan akhir tahun 2012, Aliansi Jurnalis

Independen (AJI) menetapkan salah satu musuh utama

kebebasan pers adalah internal perusahaan media sendiri.

Seiring dengan semakin banyaknya pemilik media massa yang

merangkap sebagai politikus maupun pelaku usaha maka

pemberitaan yang dibuat oleh jurnalis tidak bisa independen.

Jurnalis dipaksa, secara halus maupun kasar, mengikuti agenda

politik atau ekonomi pihak yang menguasai media. Padahal,

idealnya jurnalis adalah profesi yang bebas dan independen.

Hal ini secara eksplisit dapat disimak pada Surat

Keputusan Dewan Pers Nomor: 03/SK-DP/III/2006 tentang

Kode Etik Jurnalistik Pasal 1 yang menyatakan: Wartawan

Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang

akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Pada Kode Etik

Jurnalistik itu pula dapat dibaca penafsiran terhadap kata

independen, yakni “memberitakan peristiwa atau fakta sesuai

dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan

intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers”.

Salah satu dari sembilan elemen jurnalisme yang

dikemukakan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001) juga

Riset Kualitatif

Padamnya Garis Api di Ruang Pemberitaan

AJI Semarang

110 111

menyatakan jurnalis harus tetap independen dari pihak yang

mereka liput.

Pertanyaannya, apakah konsep ideal independensi

jurnalis itu bisa diterapkan, terutama jika dihadapkan pada

perusahaan media. Para jurnalis sangat mungkin bisa

independen tapi jika itu terkait dengan pihak lain. Rasa-rasanya,

tidak ada pihak yang luput dari kritikan media. Tapi, sekali lagi,

jurnalis agak kesulitan jika harus mengkritik perusahaan

medianya. Ini terjadi akibat jurnalis bekerja di payung

perusahaan media mainstream yang memiliki hubungan

ketenagakerjaan. Bagaimanapun jurnalis adalah pekerja

(buruh) perusahaan media.

Persoalan pelik akibat situasi itu adalah terancamnya

independensi jurnalis. Jurnalis bisa saja tidak independen

karena dia selalu berada di bawah “ketiak” perusahaan media.

Tidak hanya pemilik, sistem kerja jurnalis juga di bawah para

redaktur. Maka jika jurnalisnya baik tapi redakturnya buruk

maka berita versi redakturlah yang akan muncul di media.

Sebab, berita-berita yang disajikan media merupakan hasil

penyuntingan para redaktur. Maka sangat beralasan jika AJI

menetapkan salah satu musuh kebebasan jurnalis saat ini adalah

perusahaan media sendiri.

Tapi intervensi di ruang pemberitaan itu juga berasal

dari para pihak yang memiliki kepentingan tertentu. Karena

posisi jurnalis sangat strategis, yakni bisa menentukan opini

publik, maka kini berbagai pihak (baca: narasumber) selalu

ingin dekat dengan awak media.

Pendekatan yang dilakukan para narasumber itu bisa

berbagai macam, mulai pemberian amplop, pemberian barang,

kesepakatan sebuah proyek, ancaman, hingga pemberian iklan.

Ringkasnya, banyak pihak yang ingin mendekati jurnalis agar

bisa mengintervensi sudut pandang pemberitaan sehingga bisa

menguntungkan yang bersangkutan. Dalam posisi seperti itulah

maka independensi jurnalis menjadi masalah serius karena akan

berkorelasi dengan isi pemberitaannya.

Ada beberapa kriteria praktik sensor yang bisa

dimainkan, yakni: fakta atau peristiwa yang sebenarnya

memiliki nilai berita tapi sengaja tak disajikan oleh media,

peristiwa itu diberitakan tapi faktanya telah terdistorsi, sensor

dengan cara hanya memberitakan peristiwa berdasarkan pada

kepentingan pemilik media maupun rezim atau tidak

memberitakan sama sekali peristiwa tersebut. Dengan kata lain,

ketika menghadapi sebuah isu yang kontroversial atau sensitif

pada kepentingannya, kita juga sering menemukan media yang

memilih:

- Tidak memberitakan sama sekali.

- Memberitakan dengan angle (sudut pandang) yang tidak

berpihak pada publik.

- Memberitakan dengan nada pemberitaan yang berpihak.

- Memberitakan dengan narasumber yang tidak seimbang

Kita memang tak bisa melihat praktik media secara

umum. Memang ada media yang dalam isu tertentu sangat

independen tapi dalam isu yang lain mudah dipengaruhi. Begitu

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

112 113

menyatakan jurnalis harus tetap independen dari pihak yang

mereka liput.

Pertanyaannya, apakah konsep ideal independensi

jurnalis itu bisa diterapkan, terutama jika dihadapkan pada

perusahaan media. Para jurnalis sangat mungkin bisa

independen tapi jika itu terkait dengan pihak lain. Rasa-rasanya,

tidak ada pihak yang luput dari kritikan media. Tapi, sekali lagi,

jurnalis agak kesulitan jika harus mengkritik perusahaan

medianya. Ini terjadi akibat jurnalis bekerja di payung

perusahaan media mainstream yang memiliki hubungan

ketenagakerjaan. Bagaimanapun jurnalis adalah pekerja

(buruh) perusahaan media.

Persoalan pelik akibat situasi itu adalah terancamnya

independensi jurnalis. Jurnalis bisa saja tidak independen

karena dia selalu berada di bawah “ketiak” perusahaan media.

Tidak hanya pemilik, sistem kerja jurnalis juga di bawah para

redaktur. Maka jika jurnalisnya baik tapi redakturnya buruk

maka berita versi redakturlah yang akan muncul di media.

Sebab, berita-berita yang disajikan media merupakan hasil

penyuntingan para redaktur. Maka sangat beralasan jika AJI

menetapkan salah satu musuh kebebasan jurnalis saat ini adalah

perusahaan media sendiri.

Tapi intervensi di ruang pemberitaan itu juga berasal

dari para pihak yang memiliki kepentingan tertentu. Karena

posisi jurnalis sangat strategis, yakni bisa menentukan opini

publik, maka kini berbagai pihak (baca: narasumber) selalu

ingin dekat dengan awak media.

Pendekatan yang dilakukan para narasumber itu bisa

berbagai macam, mulai pemberian amplop, pemberian barang,

kesepakatan sebuah proyek, ancaman, hingga pemberian iklan.

Ringkasnya, banyak pihak yang ingin mendekati jurnalis agar

bisa mengintervensi sudut pandang pemberitaan sehingga bisa

menguntungkan yang bersangkutan. Dalam posisi seperti itulah

maka independensi jurnalis menjadi masalah serius karena akan

berkorelasi dengan isi pemberitaannya.

Ada beberapa kriteria praktik sensor yang bisa

dimainkan, yakni: fakta atau peristiwa yang sebenarnya

memiliki nilai berita tapi sengaja tak disajikan oleh media,

peristiwa itu diberitakan tapi faktanya telah terdistorsi, sensor

dengan cara hanya memberitakan peristiwa berdasarkan pada

kepentingan pemilik media maupun rezim atau tidak

memberitakan sama sekali peristiwa tersebut. Dengan kata lain,

ketika menghadapi sebuah isu yang kontroversial atau sensitif

pada kepentingannya, kita juga sering menemukan media yang

memilih:

- Tidak memberitakan sama sekali.

- Memberitakan dengan angle (sudut pandang) yang tidak

berpihak pada publik.

- Memberitakan dengan nada pemberitaan yang berpihak.

- Memberitakan dengan narasumber yang tidak seimbang

Kita memang tak bisa melihat praktik media secara

umum. Memang ada media yang dalam isu tertentu sangat

independen tapi dalam isu yang lain mudah dipengaruhi. Begitu

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

112 113

juga sebaliknya. Yang pasti, usaha mendorong media selalu

independen harus tetap dilakukan. Independensi media

dibutuhkan agar berita diproduksi berdasarkan kepentingan

publik dan standar nilai berita semata. Media yang tidak

memiliki ruang redaksi yang steril dari kepentingan non-redaksi

tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai penyampai informasi

yang layak dipercaya. Berita yang disiarkan merupakan pesanan

dan tidak menggambarkan realitas yang sesungguhnya terjadi di

lapangan.

Riset independensi awak media

Sebagai salah satu ikhtiar mengikis praktik penyensoran,

AJI Semarang yang didukung Yayasan Tifa melakukan

penelitian studi deskriptif dengan pendekatan fenomenologi

untuk mengungkap independensi media. Fenomenologi

merupakan kajian terhadap fenomena manusia dalam konteks

sosial sehari-hari. Fenomena yang dimaksud terjadi dari

perspektif mereka yang mengalaminya. Fenomena tersebut

terdiri dari apa pun yang manusia hidupi atau pun alami.

Fenomena itu dapat diteliti secara langsung dengan

mengeksplorasi apa yang diketahui manusia dengan cara

mengakses kesadaran mereka. Fenomena itu juga dapat dikaji

secara tidak langsung dengan menginvestigasi keberadaan

manusia dengan cara mengakses makna-makna dan praktik-

praktik yang melatarbelakanginya (Titchen dan Hobson dalam

Somekh dan Lewin [eds.], 2005). Dalam bahasa jurnalistik,

metode penelitian ini seperti wawancara dan reportase.

Penelitian fenomenologi sendiri termasuk pada

paradigma interpretif, yakni menganalisis aktivitas sosial

melalui pengamatan langsung yang mendetail atas individu di

dalam situasi dan kondisi yang alami.

Tujuan utama dari paradigma interpretif adalah

memahami dunia subyektif pengalaman manusia. Untuk dapat

memperoleh gambaran yang utuh dari fenomena yang diteliti,

peneliti berupaya untuk masuk ke dalam cara berpikir orang

yang diteliti dan memahaminya dari dalam.

Sangat dihindari penggunaan kerangka dan struktur

analisis yang merefleksikan pandangan peneliti, karena akan

mengaburkan cara pandang aktor yang diamati. Tidak ada

rekayasa dengan tujuan untuk mencapai pemahaman dan

penafsiran bagaimana individu menciptakan dan memelihara

dunia sosial mereka. Oleh karena itu asumsi utama dari

paradigma interpretif adalah individu secara aktif

menginterpretasikan pengalaman mereka dengan memberikan

makna pada apa yang mereka lihat atau rasakan.

Subyek Riset

Penelitian ini dilakukan di Kota Semarang dengan

subyek utama penelitian adalah 10 jurnalis media lokal di

Semarang, terdiri dari 7 reporter, 1 redaktur, dan 2 pemimpin

redaksi.

Jurnalis adalah subyek yang idealnya memiliki hak

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

114 115

juga sebaliknya. Yang pasti, usaha mendorong media selalu

independen harus tetap dilakukan. Independensi media

dibutuhkan agar berita diproduksi berdasarkan kepentingan

publik dan standar nilai berita semata. Media yang tidak

memiliki ruang redaksi yang steril dari kepentingan non-redaksi

tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai penyampai informasi

yang layak dipercaya. Berita yang disiarkan merupakan pesanan

dan tidak menggambarkan realitas yang sesungguhnya terjadi di

lapangan.

Riset independensi awak media

Sebagai salah satu ikhtiar mengikis praktik penyensoran,

AJI Semarang yang didukung Yayasan Tifa melakukan

penelitian studi deskriptif dengan pendekatan fenomenologi

untuk mengungkap independensi media. Fenomenologi

merupakan kajian terhadap fenomena manusia dalam konteks

sosial sehari-hari. Fenomena yang dimaksud terjadi dari

perspektif mereka yang mengalaminya. Fenomena tersebut

terdiri dari apa pun yang manusia hidupi atau pun alami.

Fenomena itu dapat diteliti secara langsung dengan

mengeksplorasi apa yang diketahui manusia dengan cara

mengakses kesadaran mereka. Fenomena itu juga dapat dikaji

secara tidak langsung dengan menginvestigasi keberadaan

manusia dengan cara mengakses makna-makna dan praktik-

praktik yang melatarbelakanginya (Titchen dan Hobson dalam

Somekh dan Lewin [eds.], 2005). Dalam bahasa jurnalistik,

metode penelitian ini seperti wawancara dan reportase.

Penelitian fenomenologi sendiri termasuk pada

paradigma interpretif, yakni menganalisis aktivitas sosial

melalui pengamatan langsung yang mendetail atas individu di

dalam situasi dan kondisi yang alami.

Tujuan utama dari paradigma interpretif adalah

memahami dunia subyektif pengalaman manusia. Untuk dapat

memperoleh gambaran yang utuh dari fenomena yang diteliti,

peneliti berupaya untuk masuk ke dalam cara berpikir orang

yang diteliti dan memahaminya dari dalam.

Sangat dihindari penggunaan kerangka dan struktur

analisis yang merefleksikan pandangan peneliti, karena akan

mengaburkan cara pandang aktor yang diamati. Tidak ada

rekayasa dengan tujuan untuk mencapai pemahaman dan

penafsiran bagaimana individu menciptakan dan memelihara

dunia sosial mereka. Oleh karena itu asumsi utama dari

paradigma interpretif adalah individu secara aktif

menginterpretasikan pengalaman mereka dengan memberikan

makna pada apa yang mereka lihat atau rasakan.

Subyek Riset

Penelitian ini dilakukan di Kota Semarang dengan

subyek utama penelitian adalah 10 jurnalis media lokal di

Semarang, terdiri dari 7 reporter, 1 redaktur, dan 2 pemimpin

redaksi.

Jurnalis adalah subyek yang idealnya memiliki hak

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

114 115

independen tapi fenomena menunjukkan bahwa mereka banyak

sekali mengalami intervensi dari pihak lain, terutama dari

perusahaan medianya. Agar data yang disampaikan jurnalis bisa

lengkap dan menghindari kekeliruan maka peneliti juga

meminta konfirmasi kepada redaktur dan pemilik media

masing-masing.

Wartawan dalam riset ini didefinisikan sebagai orang

yang bekerja sebagai pewarta, yang bertugas mencari berita,

membuat berita, dan menerbitkan karya jurnalistik. Adapun

wartawan yang diwawancarai secara mendalam dalam

penelitian ini adalah wartawan media lokal di Kota Semarang

yang meliput di beberapa bidang. Untuk menjaga hubungan baik

maka jurnalis yang diwawancara dan medianya tidak disebutkan

namanya atau menggunakan nama samaran. Tujuannya agar

responden mau berkata jujur atas apa yang sudah dialami.

Rawan diintervensi

Setelah melakukan riset di lapangan, AJI Semarang

menemukan berbagai kasus intervensi yang sering dialami awak

media. Intervensi inilah yang mengakibatkan munculnya

penyensoran informasi untuk publik. Jika dipilah, praktik

penyensoran muncul dari dua wilayah, yakni internal dan

eksternal perusahaan.

Pihak-pihak yang bisa dikelompokkan dalam wilayah

internal adalah:

- Pemilik perusahaan

- Pemimpin perusahaan

- Pemimpin redaksi

- Redaktur

- Jurnalis sekantor

- Bagian iklan dan sirkulasi

Sedangkan dari pihak ekternal media hampir semua

orang berpotensi bisa melakukan intervensi terhadap awak

media, di antaranya:

- Para narasumber

- Birokrat pemerintahan

- Aparat keamanan

- Pemasang iklan

- Pengacara

- Organisasi jurnalis

- Jurnalis media lain

Intervensi internal perusahaan

Faktor pendorong terjadinya intervensi dari internal

media rata-rata berasal dari kepentingan ekonomi perusahaan

dan kepentingan individu. Bentuk dan pelaku penyensoran yang

terjadi, antara lain :

Pemilik media atau pemimpin perusahaan meminta agar

berita negatif dari kenalannya tidak ditulis. Pemimpin redaksi

dan redaktur meminta agar berita-berita yang menyerang

kenalan, pemasang iklan, diperhalus atau tidak usah ditulis.

Selain itu pemimpin redaksi dan redaktur juga bisa

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

116 117

independen tapi fenomena menunjukkan bahwa mereka banyak

sekali mengalami intervensi dari pihak lain, terutama dari

perusahaan medianya. Agar data yang disampaikan jurnalis bisa

lengkap dan menghindari kekeliruan maka peneliti juga

meminta konfirmasi kepada redaktur dan pemilik media

masing-masing.

Wartawan dalam riset ini didefinisikan sebagai orang

yang bekerja sebagai pewarta, yang bertugas mencari berita,

membuat berita, dan menerbitkan karya jurnalistik. Adapun

wartawan yang diwawancarai secara mendalam dalam

penelitian ini adalah wartawan media lokal di Kota Semarang

yang meliput di beberapa bidang. Untuk menjaga hubungan baik

maka jurnalis yang diwawancara dan medianya tidak disebutkan

namanya atau menggunakan nama samaran. Tujuannya agar

responden mau berkata jujur atas apa yang sudah dialami.

Rawan diintervensi

Setelah melakukan riset di lapangan, AJI Semarang

menemukan berbagai kasus intervensi yang sering dialami awak

media. Intervensi inilah yang mengakibatkan munculnya

penyensoran informasi untuk publik. Jika dipilah, praktik

penyensoran muncul dari dua wilayah, yakni internal dan

eksternal perusahaan.

Pihak-pihak yang bisa dikelompokkan dalam wilayah

internal adalah:

- Pemilik perusahaan

- Pemimpin perusahaan

- Pemimpin redaksi

- Redaktur

- Jurnalis sekantor

- Bagian iklan dan sirkulasi

Sedangkan dari pihak ekternal media hampir semua

orang berpotensi bisa melakukan intervensi terhadap awak

media, di antaranya:

- Para narasumber

- Birokrat pemerintahan

- Aparat keamanan

- Pemasang iklan

- Pengacara

- Organisasi jurnalis

- Jurnalis media lain

Intervensi internal perusahaan

Faktor pendorong terjadinya intervensi dari internal

media rata-rata berasal dari kepentingan ekonomi perusahaan

dan kepentingan individu. Bentuk dan pelaku penyensoran yang

terjadi, antara lain :

Pemilik media atau pemimpin perusahaan meminta agar

berita negatif dari kenalannya tidak ditulis. Pemimpin redaksi

dan redaktur meminta agar berita-berita yang menyerang

kenalan, pemasang iklan, diperhalus atau tidak usah ditulis.

Selain itu pemimpin redaksi dan redaktur juga bisa

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

116 117

menghilangkan beberapa fakta dalam berita ketika mengedit.

Intervensi juga bisa datang dari rekan sekantor yang meminta

agar berita-berita yang menyerang kenalan mereka diperhalus

atau tidak usah ditulis.

Seorang jurnalis mengakui pernah akan menulis dugaan

kasus korupsi sebuah proyek di Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata Provinsi Jawa Tengah. Dia sudah mengumpulkan

bahan berita secara lengkap disertai dengan konfirmasi. Apa

lacur, berita itu tak dimuat karena ada intervensi dari Kepala

Dinas. “Perusahaan media itu tidak hanya butuh jeneng (nama)

tapi juga butuh jenang,” kata jurnalis ini. Seorang jurnalis juga

mengaku dalam isu-isu tertentu ia sudah diberi pesan redaktur

untuk membuat berita dengan sudut pandang tertentu.

Biasanya, redaktur tersebut memiliki kepentingan, entah karena

perkawanan atau motif lain.

Defisini apa itu intervensi ke redaksi memang harus

dipertegas. Misalnya, jika ada seorang pemilik media meminta

kepada redaksi untuk memberitakan sesuatu maka itu tak bisa

langsung bisa disebut sebagai intervensi. Sejauh permintaan itu

dilakukan secara terbuka melalui rapat redaksi dan apa yang

diusulkan oleh pemilik media tersebut memiliki nilai berita yang

baik dan redaksi merasa tetap independen maka itu sah-sah saja.

Tapi, jika seorang pemilik media meminta kepada redaksi

memberitakan sesuatu yang tak ada nilai beritanya dan tak ada

kepentingan publik maka itulah yang namanya intervensi.

Seorang redaktur sebuah media lokal di Semarang mengakui

dalam industri, media bukan ruang yang steril, independen, dan

netral dari berbagai kepentingan. Ruang pemberitaan

(newsroom) bukan ruang hampa yang bersih dari kepentingan.

Setiap realitas (berita) yang dilansir media, merupakan realitas

yang sudah dibentuk dan konstruksi dari berbagai asupan.

Asupan bisa datang dari berbagai macam peran. Wartawan yang

menjadi ujung tombak penggalian berita di lapangan berpotensi

memainkan peran. Misalnya, dengan memilih narasumber,

penentuan sudut pandang (angle), kalimat, dan sebagainya.

Pada proses produksi berita selanjutnya, sangat

dimungkinkan, redaktur juga mempunyai kepentingan yang

tidak diketahui oleh jajaran redaksi di atasnya. Misalnya, ketika

redaktur tidak suka dengan narasumber, maka angle bisa

diganti. Atau, secara ekstrem, redaktur bisa melakukan

rewriting (penulisan ulang). Berita dari wartawan juga bisa

dibongkar total. Pada level di atasnya, redaktur pelaksana bisa

jadi juga mempunyai kepentingan dengan cara memainkan

judul, penempatan berita, besar kecilnya porsi berita, pemberian

infografis sampai pemilihan foto. Pemimpin redaksi sebagai

penanggung jawab tertinggi suatu ketika juga mempunyai

kepentingan. Belum lagi kalau pemilik modal juga nimbrung

dengan kepentingannya. “Jadi, berita yang muncul menjadi

realitas yang ke sekian,” kata seorang pemimpin redaksi.

Intervensi Eksternal Perusahaan

Intervensi dari pihak eksternal perusahaan biasanya

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

118 119

menghilangkan beberapa fakta dalam berita ketika mengedit.

Intervensi juga bisa datang dari rekan sekantor yang meminta

agar berita-berita yang menyerang kenalan mereka diperhalus

atau tidak usah ditulis.

Seorang jurnalis mengakui pernah akan menulis dugaan

kasus korupsi sebuah proyek di Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata Provinsi Jawa Tengah. Dia sudah mengumpulkan

bahan berita secara lengkap disertai dengan konfirmasi. Apa

lacur, berita itu tak dimuat karena ada intervensi dari Kepala

Dinas. “Perusahaan media itu tidak hanya butuh jeneng (nama)

tapi juga butuh jenang,” kata jurnalis ini. Seorang jurnalis juga

mengaku dalam isu-isu tertentu ia sudah diberi pesan redaktur

untuk membuat berita dengan sudut pandang tertentu.

Biasanya, redaktur tersebut memiliki kepentingan, entah karena

perkawanan atau motif lain.

Defisini apa itu intervensi ke redaksi memang harus

dipertegas. Misalnya, jika ada seorang pemilik media meminta

kepada redaksi untuk memberitakan sesuatu maka itu tak bisa

langsung bisa disebut sebagai intervensi. Sejauh permintaan itu

dilakukan secara terbuka melalui rapat redaksi dan apa yang

diusulkan oleh pemilik media tersebut memiliki nilai berita yang

baik dan redaksi merasa tetap independen maka itu sah-sah saja.

Tapi, jika seorang pemilik media meminta kepada redaksi

memberitakan sesuatu yang tak ada nilai beritanya dan tak ada

kepentingan publik maka itulah yang namanya intervensi.

Seorang redaktur sebuah media lokal di Semarang mengakui

dalam industri, media bukan ruang yang steril, independen, dan

netral dari berbagai kepentingan. Ruang pemberitaan

(newsroom) bukan ruang hampa yang bersih dari kepentingan.

Setiap realitas (berita) yang dilansir media, merupakan realitas

yang sudah dibentuk dan konstruksi dari berbagai asupan.

Asupan bisa datang dari berbagai macam peran. Wartawan yang

menjadi ujung tombak penggalian berita di lapangan berpotensi

memainkan peran. Misalnya, dengan memilih narasumber,

penentuan sudut pandang (angle), kalimat, dan sebagainya.

Pada proses produksi berita selanjutnya, sangat

dimungkinkan, redaktur juga mempunyai kepentingan yang

tidak diketahui oleh jajaran redaksi di atasnya. Misalnya, ketika

redaktur tidak suka dengan narasumber, maka angle bisa

diganti. Atau, secara ekstrem, redaktur bisa melakukan

rewriting (penulisan ulang). Berita dari wartawan juga bisa

dibongkar total. Pada level di atasnya, redaktur pelaksana bisa

jadi juga mempunyai kepentingan dengan cara memainkan

judul, penempatan berita, besar kecilnya porsi berita, pemberian

infografis sampai pemilihan foto. Pemimpin redaksi sebagai

penanggung jawab tertinggi suatu ketika juga mempunyai

kepentingan. Belum lagi kalau pemilik modal juga nimbrung

dengan kepentingannya. “Jadi, berita yang muncul menjadi

realitas yang ke sekian,” kata seorang pemimpin redaksi.

Intervensi Eksternal Perusahaan

Intervensi dari pihak eksternal perusahaan biasanya

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

118 119

datang dari obyek berita yang tidak ingin berita negatif tentang

mereka ditulis di media. Berdasarkan keterangan para jurnalis,

intervensi sebagian besar berupa permintaan lisan agar tidak

menulis fakta yang tidak diinginkan objek berita. Terkadang

praktik penyensoran ini juga diikuti dengan iming-iming

sejumlah uang atau “amplop.”

Bentuk dan pelaku intervensi tersebut, misalnya birokrat

meminta agar berita-berita buruk terkait pemerintahan

diperhalus atau tidak usah ditulis. Jajaran pemerintah daerah ini

juga meminta agar berita-berita korupsi yang menjerat pejabat

tidak ditulis. Sebagai kompensasi agar media tidak menulis hal-

hal yang negatif, mereka memasang iklan di media.

Aparat keamanan diketahui pernah mengintervensi

jurnalis agar melakukan penyensoran. Seorang pejabat

kepolisian lewat perantara jurnalis senior meminta agar jurnalis

yang diwawancarai tidak menulis berita mengritik kinerja

kepolisian. Ada pula anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI)

yang pernah menanyakan mengapa jurnalis harus menulis

berita dugaan penyelewengan dana bantuan operasional sekolah

(BOS) yang tak termasuk dalam ranah keamanan. Diduga

oknum TNI ini merupakan keluarga pejabat di dinas pendidikan.

Di bidang hukum, pengacara juga ada yang pernah meminta agar

kasus kliennya tidak ditulis.

Ada juga seorang oknum wakil kepala sekolah yang

mengajak berkelahi jurnalis gara-gara imbas dari berita yang

ditulis. Pasalnya, wakil kepala sekolah tersebut dicopot dari

jabatannya. Namun, kejadian ini tak sampai menimbulkan

perkelahian fisik.

Pemasang iklan juga sangat sering menjadi pihak yang

meminta agar dilakukan penyensoran berita. Biasanya mereka

tak berhubungan langsung dengan jurnalis di lapangan.

Pemasang iklan lebih sering meminta melalui pemilik

perusahaan, pemimpin redaksi atau redaktur agar berita negatif

terkait aktivitas mereka tak ditulis.

Kolega sesama jurnalis dan kelompok jurnalis bisa juga

menjadi pelaku intervensi. Dengan dalih perkawanan, rekan

seprofesi terkadang meminta agar jurnalis tidak perlu menulis

berita tertentu. Kelompok jurnalis tertentu—dengan

mengatasnamakan kesepakatan bersama—sering kali

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

120 121

Unjuk rasa menentang kekerasan terhadap jurnalis, 23 Agustus 2010.

datang dari obyek berita yang tidak ingin berita negatif tentang

mereka ditulis di media. Berdasarkan keterangan para jurnalis,

intervensi sebagian besar berupa permintaan lisan agar tidak

menulis fakta yang tidak diinginkan objek berita. Terkadang

praktik penyensoran ini juga diikuti dengan iming-iming

sejumlah uang atau “amplop.”

Bentuk dan pelaku intervensi tersebut, misalnya birokrat

meminta agar berita-berita buruk terkait pemerintahan

diperhalus atau tidak usah ditulis. Jajaran pemerintah daerah ini

juga meminta agar berita-berita korupsi yang menjerat pejabat

tidak ditulis. Sebagai kompensasi agar media tidak menulis hal-

hal yang negatif, mereka memasang iklan di media.

Aparat keamanan diketahui pernah mengintervensi

jurnalis agar melakukan penyensoran. Seorang pejabat

kepolisian lewat perantara jurnalis senior meminta agar jurnalis

yang diwawancarai tidak menulis berita mengritik kinerja

kepolisian. Ada pula anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI)

yang pernah menanyakan mengapa jurnalis harus menulis

berita dugaan penyelewengan dana bantuan operasional sekolah

(BOS) yang tak termasuk dalam ranah keamanan. Diduga

oknum TNI ini merupakan keluarga pejabat di dinas pendidikan.

Di bidang hukum, pengacara juga ada yang pernah meminta agar

kasus kliennya tidak ditulis.

Ada juga seorang oknum wakil kepala sekolah yang

mengajak berkelahi jurnalis gara-gara imbas dari berita yang

ditulis. Pasalnya, wakil kepala sekolah tersebut dicopot dari

jabatannya. Namun, kejadian ini tak sampai menimbulkan

perkelahian fisik.

Pemasang iklan juga sangat sering menjadi pihak yang

meminta agar dilakukan penyensoran berita. Biasanya mereka

tak berhubungan langsung dengan jurnalis di lapangan.

Pemasang iklan lebih sering meminta melalui pemilik

perusahaan, pemimpin redaksi atau redaktur agar berita negatif

terkait aktivitas mereka tak ditulis.

Kolega sesama jurnalis dan kelompok jurnalis bisa juga

menjadi pelaku intervensi. Dengan dalih perkawanan, rekan

seprofesi terkadang meminta agar jurnalis tidak perlu menulis

berita tertentu. Kelompok jurnalis tertentu—dengan

mengatasnamakan kesepakatan bersama—sering kali

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

120 121

Unjuk rasa menentang kekerasan terhadap jurnalis, 23 Agustus 2010.

menentukan berita mana yang akan ditulis atau tidak ditulis.

Ada juga intervensi yang tidak langsung diterima

jurnalis, tapi membuat jurnalis tersebut terpaksa mencabut

berita yang sudah dikirim ke redaktur. Pencabutan berita ini

dilakukan dengan pertimbangan narasumber yang diintervensi

preman setelah diwawancara jurnalis.

Khawatir tak mendapatkan kue iklan

Dalam riset ini, rata-rata jurnalis atau redaktur tak

berkutik jika menerima intervensi dari pihak lain, apalagi kalau

yang melakukan intervensi adalah pemilik perusahaan media.

Memang, ada beberapa jurnalis yang tetap menulis berita sesuai

dengan independensi. Tapi, saat berita itu di tangan redaktur

maka berita tak bakal dimuat. Ibaratnya, jika jurnalisnya tak bisa

diintervensi maka “lobi” redaktur maupun pemilik perusahaan

menjadi salah satu cara agar berita tak dimuat.

Apalagi, jika sudah ada iming-iming amplop dan iklan.

Media lebih mempertimbangkan perolehan amplop dan iklan

dibandingkan tetap meneruskan berita yang hendak disiarkan

ke publik. Pertimbangan keuangan perusahaan selalu menjadi

alasan klasik. Jika media lokal menjadi anjing penjaga atau

mengutamakan fungsi kontrol dengan melakukan investigasi,

mereka masih khawatir tak mendapatkan kue iklan.

Apalagi, media-media lokal di Semarang belum memiliki

garis api yang tegas untuk membedakan ruang berita dan ruang

iklan. Padahal, iklan yang menjadi pemasukan keuangan media

sangat rawan mengaburkan sebuah pemberitaan. Ini terkait

dengan banyak narasumber “bermasalah” yang ketika kasusnya

diungkap, maka mereka melakukan pendekatan dengan media

agar kasusnya tidak diekspos. Salah satu yang dilakukan adalah

dengan memberikan iklan. Atau, j ika ada sebuah

institusi/perorangan yang ingin populer melalui peliputan maka

salah satu iming-imingnya adalah memasang iklan.

Bahkan, ada beberapa jurnalis yang diperbolehkan atau

bahkan justru dianjurkan mencari iklan. Padahal, idealnya

ruang iklan tak boleh mengintervensi ruang pemberitaan.

Media lokal di Semarang juga tak memberlakukan aturan

wartawan menerima pemberian dari narasumber secara tegas

yang berpotensi mempengaruhi independensi wartawan. Di

sinilah, relevan untuk membahas soal kesejahteraan jurnalis.

Memang, tingkat kesejahteraan jurnalis tidak berhubungan

langsung dengan budaya amplop. Belum tentu jurnalis yang

sudah sejahtera tak menerima amplop. Begitu juga jurnalis yang

belum sejahtera selalu menerima amplop. Faktanya, ada jurnalis

yang sejahtera tetap menerima amplop.

Tapi ada juga jurnalis dengan gaji pas-pasan yang tak

mau menerima amplop. Minimnya tingkat kesejahteraan

jurnalis hanyalah pemicu atau pendorong para jurnalis mau

menerima amplop. Yang jelas, jika ingin mendorong jurnalis

profesional dan independen maka kesejahteraan jurnalis juga

harus diutamakan.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

122 123

menentukan berita mana yang akan ditulis atau tidak ditulis.

Ada juga intervensi yang tidak langsung diterima

jurnalis, tapi membuat jurnalis tersebut terpaksa mencabut

berita yang sudah dikirim ke redaktur. Pencabutan berita ini

dilakukan dengan pertimbangan narasumber yang diintervensi

preman setelah diwawancara jurnalis.

Khawatir tak mendapatkan kue iklan

Dalam riset ini, rata-rata jurnalis atau redaktur tak

berkutik jika menerima intervensi dari pihak lain, apalagi kalau

yang melakukan intervensi adalah pemilik perusahaan media.

Memang, ada beberapa jurnalis yang tetap menulis berita sesuai

dengan independensi. Tapi, saat berita itu di tangan redaktur

maka berita tak bakal dimuat. Ibaratnya, jika jurnalisnya tak bisa

diintervensi maka “lobi” redaktur maupun pemilik perusahaan

menjadi salah satu cara agar berita tak dimuat.

Apalagi, jika sudah ada iming-iming amplop dan iklan.

Media lebih mempertimbangkan perolehan amplop dan iklan

dibandingkan tetap meneruskan berita yang hendak disiarkan

ke publik. Pertimbangan keuangan perusahaan selalu menjadi

alasan klasik. Jika media lokal menjadi anjing penjaga atau

mengutamakan fungsi kontrol dengan melakukan investigasi,

mereka masih khawatir tak mendapatkan kue iklan.

Apalagi, media-media lokal di Semarang belum memiliki

garis api yang tegas untuk membedakan ruang berita dan ruang

iklan. Padahal, iklan yang menjadi pemasukan keuangan media

sangat rawan mengaburkan sebuah pemberitaan. Ini terkait

dengan banyak narasumber “bermasalah” yang ketika kasusnya

diungkap, maka mereka melakukan pendekatan dengan media

agar kasusnya tidak diekspos. Salah satu yang dilakukan adalah

dengan memberikan iklan. Atau, j ika ada sebuah

institusi/perorangan yang ingin populer melalui peliputan maka

salah satu iming-imingnya adalah memasang iklan.

Bahkan, ada beberapa jurnalis yang diperbolehkan atau

bahkan justru dianjurkan mencari iklan. Padahal, idealnya

ruang iklan tak boleh mengintervensi ruang pemberitaan.

Media lokal di Semarang juga tak memberlakukan aturan

wartawan menerima pemberian dari narasumber secara tegas

yang berpotensi mempengaruhi independensi wartawan. Di

sinilah, relevan untuk membahas soal kesejahteraan jurnalis.

Memang, tingkat kesejahteraan jurnalis tidak berhubungan

langsung dengan budaya amplop. Belum tentu jurnalis yang

sudah sejahtera tak menerima amplop. Begitu juga jurnalis yang

belum sejahtera selalu menerima amplop. Faktanya, ada jurnalis

yang sejahtera tetap menerima amplop.

Tapi ada juga jurnalis dengan gaji pas-pasan yang tak

mau menerima amplop. Minimnya tingkat kesejahteraan

jurnalis hanyalah pemicu atau pendorong para jurnalis mau

menerima amplop. Yang jelas, jika ingin mendorong jurnalis

profesional dan independen maka kesejahteraan jurnalis juga

harus diutamakan.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

122 123

2. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang

Surakarta Rp100 juta. Digunakan untuk kegiatan

peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tingkat

nasional, HPN tingkat Surakarta, rapat-rapat

koordinasi dan kegiatan rutin PWI Surakarta.

3. Forum Wartawan Provinsi dan DPRD Provinsi Jawa

Tengah (FWPJT) Rp350 juta. hibah untuk

pelatihan/sarasehan empat kali kegiatan.

4. Kelompok Diskusi Wartawan (KDW) Rp350 juta.

Hibah untuk seminar/sarasehan, diskusi dan

pelatihan 10 kali.

5. Komunitas Wartawan Provinsi Jawa Tengah (KWP)

Rp200.000.000, hibah untuk seminar/sarasehan

dua kali kegiatan dan pelatihan dua kali.

6. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Korda Jawa

Tengah Rp150.000.000. dana sebesar itu digunakan

untuk kegiatan seminar dua kali kegiatan.

7. Jurnalis untuk Transformasi, Edukasi, dan

Demokrasi (J-Trend) Rp100.000.000. dana untuk

kegiatan bintek, sarasehan dan kajian/penelitian

partisipasi masyarakat desa dalam meningkatkan

kualitas pemilukada 2013.

8. Jurnalis Televisi Swasta (JTS) Rp50.000.000. dana

digunakan untuk kegiatan diskusi I kali.

9. Media Violence Watch (MVW) Rp 40.000.000. dana

digunakan untuk kegiatan seminar dua kali kegiatan.

Dalam dokumen laporan penggunaan yang ada, rata-rata

P

J

H i b a h A P B D J a w a T e n g a h k e

Organisasi Wartawan

Salah satu fenomena yang ada dalam dunia pers di

Indonesia adalah adanya organisasi wartawan yang mau

menerima dana hibah dari Anggaran Pendapatan Belanja

N e g a r a / D a e r a h . I t u m e r u p a k a n h a k s e t i a p

kelompok/organisasi. Toh, uang APBN/APBD adalah hasil dari

perolehan pemasukan yang salah satunya juga bersumber dari

pajak masyarakat. Sejauh itu dipergunakan dengan

kemanfaatan, tak ada penyelewengan dan tidak melanggar

aturan maka sah-sah saja. Tapi, bagaimana jika dihubungkan

dengan wartawan mengingat salah satu fungsi profesi ini adalah

kontrol terhadap pemerintahan.

Di Jawa Tengah banyak sekali organisasi wartawan yang

pernah ikut menerima hibah APBD Jawa Tengah. Dalam

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2011,

misalnya, ada anggaran hibah untuk organisasi wartawan

sebanyak Rp2 miliar. Sedangkan APBD 2012, anggaran hibah

untuk organisasi wartawan naik menjadi Rp2.140.000.000.

Hibah ini untuk 9 organisasi kewartawanan di Jawa Tengah,

yakni:

1. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Jawa

Tengah Rp800 juta. Penggunaannya untuk

p e r i n g a t a n H a r i P e r s N a s i o n a l ( H P N ) ,

seminar/sarasehan dan pelatihan.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

124 125

2. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang

Surakarta Rp100 juta. Digunakan untuk kegiatan

peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tingkat

nasional, HPN tingkat Surakarta, rapat-rapat

koordinasi dan kegiatan rutin PWI Surakarta.

3. Forum Wartawan Provinsi dan DPRD Provinsi Jawa

Tengah (FWPJT) Rp350 juta. hibah untuk

pelatihan/sarasehan empat kali kegiatan.

4. Kelompok Diskusi Wartawan (KDW) Rp350 juta.

Hibah untuk seminar/sarasehan, diskusi dan

pelatihan 10 kali.

5. Komunitas Wartawan Provinsi Jawa Tengah (KWP)

Rp200.000.000, hibah untuk seminar/sarasehan

dua kali kegiatan dan pelatihan dua kali.

6. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Korda Jawa

Tengah Rp150.000.000. dana sebesar itu digunakan

untuk kegiatan seminar dua kali kegiatan.

7. Jurnalis untuk Transformasi, Edukasi, dan

Demokrasi (J-Trend) Rp100.000.000. dana untuk

kegiatan bintek, sarasehan dan kajian/penelitian

partisipasi masyarakat desa dalam meningkatkan

kualitas pemilukada 2013.

8. Jurnalis Televisi Swasta (JTS) Rp50.000.000. dana

digunakan untuk kegiatan diskusi I kali.

9. Media Violence Watch (MVW) Rp 40.000.000. dana

digunakan untuk kegiatan seminar dua kali kegiatan.

Dalam dokumen laporan penggunaan yang ada, rata-rata

P

J

H i b a h A P B D J a w a T e n g a h k e

Organisasi Wartawan

Salah satu fenomena yang ada dalam dunia pers di

Indonesia adalah adanya organisasi wartawan yang mau

menerima dana hibah dari Anggaran Pendapatan Belanja

N e g a r a / D a e r a h . I t u m e r u p a k a n h a k s e t i a p

kelompok/organisasi. Toh, uang APBN/APBD adalah hasil dari

perolehan pemasukan yang salah satunya juga bersumber dari

pajak masyarakat. Sejauh itu dipergunakan dengan

kemanfaatan, tak ada penyelewengan dan tidak melanggar

aturan maka sah-sah saja. Tapi, bagaimana jika dihubungkan

dengan wartawan mengingat salah satu fungsi profesi ini adalah

kontrol terhadap pemerintahan.

Di Jawa Tengah banyak sekali organisasi wartawan yang

pernah ikut menerima hibah APBD Jawa Tengah. Dalam

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2011,

misalnya, ada anggaran hibah untuk organisasi wartawan

sebanyak Rp2 miliar. Sedangkan APBD 2012, anggaran hibah

untuk organisasi wartawan naik menjadi Rp2.140.000.000.

Hibah ini untuk 9 organisasi kewartawanan di Jawa Tengah,

yakni:

1. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Jawa

Tengah Rp800 juta. Penggunaannya untuk

p e r i n g a t a n H a r i P e r s N a s i o n a l ( H P N ) ,

seminar/sarasehan dan pelatihan.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

124 125

dana hibah itu untuk kegiatan seminar, pelatihan dan diskusi.

Untuk tahun 2013, APBD Provinsi Jawa Tengah juga

mengalokasikan anggaran hibah untuk organisasi wartawan

sebesar Rp 2.140.000.000 atau sama dengan hibah APBD 2012.

Rencananya, dana Rp2,1 miliar itu digelontorkan untuk

sembilan organisasi kewartawanan sebagaimana tertuang

dalam Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 57 Tahun 2012

tanggal 10 Desember 2012 tentang Penjabaran APBD Provinsi

Jawa Tengah tahun anggaran 2013. Nama organisasi wartawan

yang menerima beserta jumlah hibahnya sama persis dengan

pemberian hibah tahun 2012.

Tapi, hibah wartawan dalam APBD 2013 tidak dicairkan

karena tidak ada rekomendasi dari instansi pengampu (Biro

Humas). Sebab, anggaran tidak sesuai dengan Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang pedoman

pemberian hibah dan bantuan sosial bersumber dari APBD pada

Bab III Hibah bagian kesatu umum pasal 4 ayat 1-4,

- Pemerintah daerah dapat memberikan hibah sesuai

kemampuan keuangan daerah.

- Pemberian hibah dilakukan setelah prioritas pemenuhan

belanja urusan wajib.

- Hibah ditujukan untuk menunjang pencapaian sasaran

program dan kegiatan pemerintah daerah dengan

memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas

dan manfaat untuk masyarakat.

- Pemberian hibah memenuhi kriteria paling sedikit:

peruntukannya secara spesifik telah ditetapkan, tidak

wajib, tidak mengikat dan tidak terus menerus setiap

tahun anggaran, kecuali ditentukan oleh peraturan

perundang-undangan dan memenuhi persyaratan

penerima hibah.

Perketat Penyaluran Dana Hibah

AJI Semarang tidak melarang pemberian dana hibah ke

organiasi wartawan. Toh, uang APBD itu juga uang rakyat. Tapi,

AJI meminta kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo-

Wakil Gubernur Jawa Tengah Heru Sudjatmoko lebih

memperketat pemberian dana hibah. Hal ini sesuai dengan janji

keduanya pada masa kampanye pemilihan gubernur Jawa

Tengah 2013. Harus ada politik anggaran menuju good

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

Anggota Dewan Pers, Nezar Patria bersama Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menjadi pembicara dalam diskusi Problem Amplop dan Jurnalis.

126 127

dana hibah itu untuk kegiatan seminar, pelatihan dan diskusi.

Untuk tahun 2013, APBD Provinsi Jawa Tengah juga

mengalokasikan anggaran hibah untuk organisasi wartawan

sebesar Rp 2.140.000.000 atau sama dengan hibah APBD 2012.

Rencananya, dana Rp2,1 miliar itu digelontorkan untuk

sembilan organisasi kewartawanan sebagaimana tertuang

dalam Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 57 Tahun 2012

tanggal 10 Desember 2012 tentang Penjabaran APBD Provinsi

Jawa Tengah tahun anggaran 2013. Nama organisasi wartawan

yang menerima beserta jumlah hibahnya sama persis dengan

pemberian hibah tahun 2012.

Tapi, hibah wartawan dalam APBD 2013 tidak dicairkan

karena tidak ada rekomendasi dari instansi pengampu (Biro

Humas). Sebab, anggaran tidak sesuai dengan Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang pedoman

pemberian hibah dan bantuan sosial bersumber dari APBD pada

Bab III Hibah bagian kesatu umum pasal 4 ayat 1-4,

- Pemerintah daerah dapat memberikan hibah sesuai

kemampuan keuangan daerah.

- Pemberian hibah dilakukan setelah prioritas pemenuhan

belanja urusan wajib.

- Hibah ditujukan untuk menunjang pencapaian sasaran

program dan kegiatan pemerintah daerah dengan

memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas

dan manfaat untuk masyarakat.

- Pemberian hibah memenuhi kriteria paling sedikit:

peruntukannya secara spesifik telah ditetapkan, tidak

wajib, tidak mengikat dan tidak terus menerus setiap

tahun anggaran, kecuali ditentukan oleh peraturan

perundang-undangan dan memenuhi persyaratan

penerima hibah.

Perketat Penyaluran Dana Hibah

AJI Semarang tidak melarang pemberian dana hibah ke

organiasi wartawan. Toh, uang APBD itu juga uang rakyat. Tapi,

AJI meminta kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo-

Wakil Gubernur Jawa Tengah Heru Sudjatmoko lebih

memperketat pemberian dana hibah. Hal ini sesuai dengan janji

keduanya pada masa kampanye pemilihan gubernur Jawa

Tengah 2013. Harus ada politik anggaran menuju good

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

Anggota Dewan Pers, Nezar Patria bersama Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menjadi pembicara dalam diskusi Problem Amplop dan Jurnalis.

126 127

governance. Dana hibah baru bisa dianggarkan jika urusan-

urusan penting/wajib di Jawa Tengah sudah terselesaikan.

Lebih baik Ganjar-Heru mengalokasikan anggaran untuk

fokus penyelesaian problem-problem utama di Jawa Tengah.

Toh, masalah wartawan ini bukan urusan wajib pemerintah.

Tapi organisasi profesi dan perusahaan media yang

berkewajiban meningkatkan kapasitas para jurnalis. Harus

didorong agar jurnalis bisa independen. Salah satu caranya

adalah tak menerima hibah dari APBD. Kalaupun ada hibah ke

organisasi wartawan maka harus diperketat: alokasi dana hibah

harus transparan (bisa dilihat/terbuka) dan akuntabel (bisa

diukur hasilnya dan bisa dipertanggungjawabkan). Selain itu

harus ada tim independen penilai/penyeleksi program, auditor

dan pengawas hibah. Ini semua untuk menghindari potensi

penyelewengan.

AJI sendiri hingga 2014 belum mau menerima dana hibah

APBD/APBN. Hal ini sesuai dengan aturan anggaran

dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) AJI. Bukan merasa

sok suci, tapi AJI memandang menerima dana hibah dari

pemerintah berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

AJI Semarang juga mendorong agar Gubernur Jawa Tengah

Ganjar Pranowo menghentikan anggaran amplop untuk jurnalis.

AJI beraudiensi dengan Ganjar pada November 2013 untuk

memberikan berbagai masukan ihwal mendorong

profesionalisme jurnalis. Salah satu kebijakan yang kemudian

dikeluarkan Ganjar adalah menghapus anggaran amplop untuk

wartawan yang biasanya dianggarkan di Biro Humas

Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.

Kebijakan ini sangat bagus karena menjadi salah satu ikhtiar

mendorong kalangan jurnalis menjadi lebih kritis dan

independen. Untuk itu, dalam konteks kebijakan menghapus

anggaran amplop wartawan, AJI sangat mendukung. Tapi,

dalam konteks kebijakan yang buruk maka AJI akan selalu

berusaha untuk mengkritisi Ganjar Pranowo.

AJI memberikan bentuk dukungan kebijakan penghapusan

amplop melalui diskusi publik dengan tema “Problem Amplop

dan Kesejahteraan Jurnalis” pada Kamis, 19 Desember 2013

dengan dihadiri pembicara: Anggota Dewan Pers Nezar Patria,

Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto, Gubernur

Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Pemimpin Redaksi Tribun

Jateng Musyafi' dan Sekretaris AJI Semarang Rofiuddin.

Diskusi ini dilaksanakan atas kerjasama bersama sekitar 25

berbagai organisasi di Semarang.

Pengayaan riset melalui Focus Group Discussion

(FGD)

Hasil riset kualitatif yang sudah dilakukan AJI Semarang

kemudian diuji publik melalui dua kali Focus Group Discussion

(FGD), yakni bersama dengan awak media (jurnalis dan

redaktur) serta bersama dengan perwakilan kelompok

masyarakat, terutama lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

128 129

governance. Dana hibah baru bisa dianggarkan jika urusan-

urusan penting/wajib di Jawa Tengah sudah terselesaikan.

Lebih baik Ganjar-Heru mengalokasikan anggaran untuk

fokus penyelesaian problem-problem utama di Jawa Tengah.

Toh, masalah wartawan ini bukan urusan wajib pemerintah.

Tapi organisasi profesi dan perusahaan media yang

berkewajiban meningkatkan kapasitas para jurnalis. Harus

didorong agar jurnalis bisa independen. Salah satu caranya

adalah tak menerima hibah dari APBD. Kalaupun ada hibah ke

organisasi wartawan maka harus diperketat: alokasi dana hibah

harus transparan (bisa dilihat/terbuka) dan akuntabel (bisa

diukur hasilnya dan bisa dipertanggungjawabkan). Selain itu

harus ada tim independen penilai/penyeleksi program, auditor

dan pengawas hibah. Ini semua untuk menghindari potensi

penyelewengan.

AJI sendiri hingga 2014 belum mau menerima dana hibah

APBD/APBN. Hal ini sesuai dengan aturan anggaran

dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) AJI. Bukan merasa

sok suci, tapi AJI memandang menerima dana hibah dari

pemerintah berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

AJI Semarang juga mendorong agar Gubernur Jawa Tengah

Ganjar Pranowo menghentikan anggaran amplop untuk jurnalis.

AJI beraudiensi dengan Ganjar pada November 2013 untuk

memberikan berbagai masukan ihwal mendorong

profesionalisme jurnalis. Salah satu kebijakan yang kemudian

dikeluarkan Ganjar adalah menghapus anggaran amplop untuk

wartawan yang biasanya dianggarkan di Biro Humas

Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.

Kebijakan ini sangat bagus karena menjadi salah satu ikhtiar

mendorong kalangan jurnalis menjadi lebih kritis dan

independen. Untuk itu, dalam konteks kebijakan menghapus

anggaran amplop wartawan, AJI sangat mendukung. Tapi,

dalam konteks kebijakan yang buruk maka AJI akan selalu

berusaha untuk mengkritisi Ganjar Pranowo.

AJI memberikan bentuk dukungan kebijakan penghapusan

amplop melalui diskusi publik dengan tema “Problem Amplop

dan Kesejahteraan Jurnalis” pada Kamis, 19 Desember 2013

dengan dihadiri pembicara: Anggota Dewan Pers Nezar Patria,

Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto, Gubernur

Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Pemimpin Redaksi Tribun

Jateng Musyafi' dan Sekretaris AJI Semarang Rofiuddin.

Diskusi ini dilaksanakan atas kerjasama bersama sekitar 25

berbagai organisasi di Semarang.

Pengayaan riset melalui Focus Group Discussion

(FGD)

Hasil riset kualitatif yang sudah dilakukan AJI Semarang

kemudian diuji publik melalui dua kali Focus Group Discussion

(FGD), yakni bersama dengan awak media (jurnalis dan

redaktur) serta bersama dengan perwakilan kelompok

masyarakat, terutama lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

128 129

FGD bersama jurnalis

Dalam FGD yang dilaksanakan pada 21 Desember 2013

dihadiri 20 peserta, terdiri dari para jurnalis dan redaktur

beberapa media di Kota Semarang. Dalam proses FGD, para

jurnalis lebih banyak yang hanya mengkonfirmasi atas

banyaknya praktik intervensi baik yang dilakukan pihak internal

media maupun ekternal. Posisi jurnalis dan redaktur yang

menjadi buruh perusahaan media membuat mereka sering tak

berkutik jika sudah diintervensi pemilik media. Maka, dalam

proses FGD, para jurnalis dan redaktur seperti menyampaikan

curahan hati (curhat) atas apa yang dialaminya. Sebab, mereka

merasa tak mampu menghadapi gempuran intervensi, terutama

yang dilakukan pemilik perusahaan media.

Dalam FGD dengan jurnalis memunculkan beberapa

rekomendasi:

- Kesejahteraan jurnalis menjadi salah satu masalah yang

dari ke hari semakin kronis. Praktik konglomerasi

perusahaan media mengakibatkan buruh jurnalis

semakin diperas keringatnya tapi kesejahteraannya

minim. Misalnya, seorang jurnalis mengirimkan satu

berita tapi bahan berita itu bisa muncul di beberapa

media yang satu grup usaha. Sementara, jurnalisnya

hanya mendapatkan satu kali upah. Ada pula jurnalis

yang menerima upah selalu telat. Untuk itu,

menyuarakan kesejahteraan jurnalis tak bisa ditawar-

tawar lagi.

- Jurnalis juga berharap agar di medianya bisa membuat

lembaga ombudsman untuk mencegah praktik

penyensoran. Jika ada ombudsman maka publik yang tak

puas atas pemberitaan media, maka mereka bisa

menyalurkan protes.

- Para jurnalis menghimbau jika ada berita yang terkena

sensor akibat kepentingan redaktur maupun pemilik

perusahaan media, maka berita tersebut bisa disebarkan

melalui media sosial. Di sinilah adanya media daring

alternatif perlu dipikirkan. Media daring yang tak

dimiliki pengusaha tapi dimiliki beberapa jurnalis. Ini

sebagai pertanggungjawaban profesi jurnalis dan

memenuhi hak publik mendapatkan informasi yang

benar.

FGD kelompok masyarakat

Dalam diskusi dengan kelompok masyarakat, AJI

Semarang mengundang 30 orang yang mewakili berbagai

lembaga. Diskusi lebih terasa “panas” karena mereka

mengungkapkan ketidakpuasan atas kinerja media. Muncul

berbagai keluhan dan kritik terhadap kerja jurnalistik awak

media. Misalnya, berita yang muncul di media tidak seperti yang

diharapkan narasumber. Sebab, berita tidak berperspektif

publik tapi mengarah pada keuntungan kelompok elite maupun

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

130 131

FGD bersama jurnalis

Dalam FGD yang dilaksanakan pada 21 Desember 2013

dihadiri 20 peserta, terdiri dari para jurnalis dan redaktur

beberapa media di Kota Semarang. Dalam proses FGD, para

jurnalis lebih banyak yang hanya mengkonfirmasi atas

banyaknya praktik intervensi baik yang dilakukan pihak internal

media maupun ekternal. Posisi jurnalis dan redaktur yang

menjadi buruh perusahaan media membuat mereka sering tak

berkutik jika sudah diintervensi pemilik media. Maka, dalam

proses FGD, para jurnalis dan redaktur seperti menyampaikan

curahan hati (curhat) atas apa yang dialaminya. Sebab, mereka

merasa tak mampu menghadapi gempuran intervensi, terutama

yang dilakukan pemilik perusahaan media.

Dalam FGD dengan jurnalis memunculkan beberapa

rekomendasi:

- Kesejahteraan jurnalis menjadi salah satu masalah yang

dari ke hari semakin kronis. Praktik konglomerasi

perusahaan media mengakibatkan buruh jurnalis

semakin diperas keringatnya tapi kesejahteraannya

minim. Misalnya, seorang jurnalis mengirimkan satu

berita tapi bahan berita itu bisa muncul di beberapa

media yang satu grup usaha. Sementara, jurnalisnya

hanya mendapatkan satu kali upah. Ada pula jurnalis

yang menerima upah selalu telat. Untuk itu,

menyuarakan kesejahteraan jurnalis tak bisa ditawar-

tawar lagi.

- Jurnalis juga berharap agar di medianya bisa membuat

lembaga ombudsman untuk mencegah praktik

penyensoran. Jika ada ombudsman maka publik yang tak

puas atas pemberitaan media, maka mereka bisa

menyalurkan protes.

- Para jurnalis menghimbau jika ada berita yang terkena

sensor akibat kepentingan redaktur maupun pemilik

perusahaan media, maka berita tersebut bisa disebarkan

melalui media sosial. Di sinilah adanya media daring

alternatif perlu dipikirkan. Media daring yang tak

dimiliki pengusaha tapi dimiliki beberapa jurnalis. Ini

sebagai pertanggungjawaban profesi jurnalis dan

memenuhi hak publik mendapatkan informasi yang

benar.

FGD kelompok masyarakat

Dalam diskusi dengan kelompok masyarakat, AJI

Semarang mengundang 30 orang yang mewakili berbagai

lembaga. Diskusi lebih terasa “panas” karena mereka

mengungkapkan ketidakpuasan atas kinerja media. Muncul

berbagai keluhan dan kritik terhadap kerja jurnalistik awak

media. Misalnya, berita yang muncul di media tidak seperti yang

diharapkan narasumber. Sebab, berita tidak berperspektif

publik tapi mengarah pada keuntungan kelompok elite maupun

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

130 131

pemodal. Bahkan, ada yang mengeluh karena pernyataannya

diplintir media sehingga sangat merugikan.

Perwakilan buruh juga mengungkapkan kekecewaannya

terhadap berita-berita di media terkait penentuan upah

minimum kabupaten/kota. Buruh menilai berita-berita yang

muncul di media terkesan tidak mendukung perjuangan mereka.

Media dinilai lebih sering menulis dari sisi pengusaha dan

pemerintah, sementara pendapat buruh hanya mendapat porsi

yang kecil.

Contoh lain, perwakilan sebuah LSM menceritakan

pengalamannya saat mendampingi seorang sukarelawan asing

yang berkampanye tentang antikekerasan selama berada di

Semarang. Sukarelawan tersebut memaparkan kampanyenya di

hadapan jurnalis. Namun ia kecewa setelah tahu berita yang

muncul di media sama sekali tidak membahas kampanye

antikekerasan yang sedang digalangnya, malah berita yang

muncul tentang aktivitas pribadinya saat di Semarang. Ketika

keluhan dilayangkan pada jurnalis yang menulis berita tersebut,

tak ada koreksi pada penerbitan selanjutnya.

Keluhan publik terhadap media yang melakukan praktik

sensor belum menjadi tradisi. Bisa jadi hal ini disebabkan

dengan belum munculnya kesadaran publik bahwa mereka

berhak melayangkan keberatan terhadap pemberitaan di media.

Namun bisa juga disebabkan tidak adanya lembaga yang bisa

mengakomodasi keberatan masyarakat terhadap media di

tingkat lokal.

Media lokal di Semarang diketahui belum ada yang

memiliki lembaga ombudsman. Padahal ombudsman berfungsi

untuk menampung dan memeriksa dugaan pelanggaran kode

etik di internal media berdasarkan laporan dari masyarakat.

Kejengahan masyarakat atas praktik buruk media

sebenarnya sudah muncul (selengkapnya baca Tabel 1). Hal ini

tergambar dari pengaduan masyarakat ke Dewan Pers. Anggota

Dewan Pers Stanley Adi Prasetyo menjelaskan, selama 2012 ada

476 pengaduan yang masuk ke Dewan Pers. Urutan teratas

berupa pengajuan hak jawab sebanyak 215 kasus (45,17%),

disusul pengaduan tentang berita secara umum ada 111 kasus

(23,32%), dan permintaan pendapat sesuai UU Pers/Kode Etik

Jurnalistik ada 20 kasus (4,20%). Terkait aduan penyensoran

berita, sepanjang 2012 hanya ada 1 kasus (0,21%).

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

132 133

Sumber : Dewan Pers, 2013.

Tidak Berimbang

Tidak Menguji Informasi/Konfirmasi

Mencampurkan Fakta dan Opini yang Menghakimi

Akurat

Tidak Profesional dalam mencari Berita

Melanggar Asas Praduga Tidak Bersalah

Tidak Menyembunyikan Identitas Korban Kejahatan Susila

Tidak Jelas Narasumbernya

Tidak Berimbang Secara Proposional

Tidak Menyembunyikan identitas Pelaku Kejahatan di Bawah Umur

Lain-lain

Total

44

40

38

20

5

4

4

4

2

1

5

167

26,35

23,95

22,75

11,98

2,99

2,40

2,40

2,40

1,20

0,60

2,99

100,00

Jenis Pelanggaran KEJ f %

Tabel 1

Jenis Pengaduan ke Dewan Pers 2012

pemodal. Bahkan, ada yang mengeluh karena pernyataannya

diplintir media sehingga sangat merugikan.

Perwakilan buruh juga mengungkapkan kekecewaannya

terhadap berita-berita di media terkait penentuan upah

minimum kabupaten/kota. Buruh menilai berita-berita yang

muncul di media terkesan tidak mendukung perjuangan mereka.

Media dinilai lebih sering menulis dari sisi pengusaha dan

pemerintah, sementara pendapat buruh hanya mendapat porsi

yang kecil.

Contoh lain, perwakilan sebuah LSM menceritakan

pengalamannya saat mendampingi seorang sukarelawan asing

yang berkampanye tentang antikekerasan selama berada di

Semarang. Sukarelawan tersebut memaparkan kampanyenya di

hadapan jurnalis. Namun ia kecewa setelah tahu berita yang

muncul di media sama sekali tidak membahas kampanye

antikekerasan yang sedang digalangnya, malah berita yang

muncul tentang aktivitas pribadinya saat di Semarang. Ketika

keluhan dilayangkan pada jurnalis yang menulis berita tersebut,

tak ada koreksi pada penerbitan selanjutnya.

Keluhan publik terhadap media yang melakukan praktik

sensor belum menjadi tradisi. Bisa jadi hal ini disebabkan

dengan belum munculnya kesadaran publik bahwa mereka

berhak melayangkan keberatan terhadap pemberitaan di media.

Namun bisa juga disebabkan tidak adanya lembaga yang bisa

mengakomodasi keberatan masyarakat terhadap media di

tingkat lokal.

Media lokal di Semarang diketahui belum ada yang

memiliki lembaga ombudsman. Padahal ombudsman berfungsi

untuk menampung dan memeriksa dugaan pelanggaran kode

etik di internal media berdasarkan laporan dari masyarakat.

Kejengahan masyarakat atas praktik buruk media

sebenarnya sudah muncul (selengkapnya baca Tabel 1). Hal ini

tergambar dari pengaduan masyarakat ke Dewan Pers. Anggota

Dewan Pers Stanley Adi Prasetyo menjelaskan, selama 2012 ada

476 pengaduan yang masuk ke Dewan Pers. Urutan teratas

berupa pengajuan hak jawab sebanyak 215 kasus (45,17%),

disusul pengaduan tentang berita secara umum ada 111 kasus

(23,32%), dan permintaan pendapat sesuai UU Pers/Kode Etik

Jurnalistik ada 20 kasus (4,20%). Terkait aduan penyensoran

berita, sepanjang 2012 hanya ada 1 kasus (0,21%).

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

132 133

Sumber : Dewan Pers, 2013.

Tidak Berimbang

Tidak Menguji Informasi/Konfirmasi

Mencampurkan Fakta dan Opini yang Menghakimi

Akurat

Tidak Profesional dalam mencari Berita

Melanggar Asas Praduga Tidak Bersalah

Tidak Menyembunyikan Identitas Korban Kejahatan Susila

Tidak Jelas Narasumbernya

Tidak Berimbang Secara Proposional

Tidak Menyembunyikan identitas Pelaku Kejahatan di Bawah Umur

Lain-lain

Total

44

40

38

20

5

4

4

4

2

1

5

167

26,35

23,95

22,75

11,98

2,99

2,40

2,40

2,40

1,20

0,60

2,99

100,00

Jenis Pelanggaran KEJ f %

Tabel 1

Jenis Pengaduan ke Dewan Pers 2012

Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers

menjelaskan bahwa penyensoran termasuk hal yang dilarang.

Pasal 4 ayat (2) menjelaskan, terhadap pers nasional tidak

dikenakan penyensoran, pembredelan atau larangan penyiaran.

Kemudian pada pasal 4 ayat (3) diatur, untuk menjamin

kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari,

memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Pelanggaran terhadap kedua aturan di atas akan memperoleh

sanksi. Seperti yang tertulis dalam pasal 18 ayat (1) yang

menyatakan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan

sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau

menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3)

dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau

denda paling banyak Rp 500 juta.

Menariknya adalah Dewan Pers menyatakan belum

pernah menerima pengaduan dari jurnalis yang merasa

dirugikan dengan penyensoran berita. Padahal, sesuai dengan

Undang-undang pers menyatakan bahwa subyek yang bisa

diadili jika menghambat atau menghalang-halangi tugas jurnalis

adalah “setiap orang”.

Dari pengaduan yang masuk, Dewan Pers mendapati ada

167 pelanggaran Kode Etik Jurnalistik (selengkapnya baca

Tabel 2). Urutan teratas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik

adalah tidak berimbang dengan 44 kasus (26,35%). Disusul oleh

tidak menguji informasi/konfirmasi dengan 40 kasus (23,95%)

dan mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi dengan

38 kasus (22,75%).

Praktik sensor di media tentu menimbulkan dampak

negatif, terutama kepada publik atau khalayak. Sebab, khalayak

yang seharusnya berhak mengetahui fakta atau informasi yang

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

134 135

Sumber : Dewan Pers, 2013.

Tabel 2

Jenis Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik 2012

Pengajuan Hak Jawab

Pengaduan tentang Berita Secara Umum

Permintaan Pendapat Sesuai UU Pers/Kode Etik Jurnalistik

Pengaduan tentang Kekerasan terhadap Wartawan

Pengajuan Hak Koreksi

Pengaduan tentang Perilaku Tindakan Wartawan

Mengadukan Iklan

Mengadukan Isi Siaran Televisi

Wartawan/Media Digugat ke Polisi/Pengadilan karena Berita

Sengketa Hak Cipta Nama Media

Pengaduan tentang Foto/Ilustrasi/Kartun

Pengaduan tentang Artikel/Opini/Surat Pembaca

Pengaduan tentang Badan Hukum Perusahaan Pers

Pengaduan Wartawan karena Mengalami Pemecatan/PHK

mengadukan Penyensoran

Lain-lain

Total

215

111

20

19

17

14

11

10

7

5

4

2

2

2

1

36

476

45,17

23,32

4,20

3,99

3,57

2,94

2,31

2,10

1,47

1,05

0,84

0,42

0,42

0,42

0,21

7,56

100,00

Jenis Pengaduan f %

Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers

menjelaskan bahwa penyensoran termasuk hal yang dilarang.

Pasal 4 ayat (2) menjelaskan, terhadap pers nasional tidak

dikenakan penyensoran, pembredelan atau larangan penyiaran.

Kemudian pada pasal 4 ayat (3) diatur, untuk menjamin

kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari,

memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Pelanggaran terhadap kedua aturan di atas akan memperoleh

sanksi. Seperti yang tertulis dalam pasal 18 ayat (1) yang

menyatakan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan

sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau

menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3)

dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau

denda paling banyak Rp 500 juta.

Menariknya adalah Dewan Pers menyatakan belum

pernah menerima pengaduan dari jurnalis yang merasa

dirugikan dengan penyensoran berita. Padahal, sesuai dengan

Undang-undang pers menyatakan bahwa subyek yang bisa

diadili jika menghambat atau menghalang-halangi tugas jurnalis

adalah “setiap orang”.

Dari pengaduan yang masuk, Dewan Pers mendapati ada

167 pelanggaran Kode Etik Jurnalistik (selengkapnya baca

Tabel 2). Urutan teratas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik

adalah tidak berimbang dengan 44 kasus (26,35%). Disusul oleh

tidak menguji informasi/konfirmasi dengan 40 kasus (23,95%)

dan mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi dengan

38 kasus (22,75%).

Praktik sensor di media tentu menimbulkan dampak

negatif, terutama kepada publik atau khalayak. Sebab, khalayak

yang seharusnya berhak mengetahui fakta atau informasi yang

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

134 135

Sumber : Dewan Pers, 2013.

Tabel 2

Jenis Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik 2012

Pengajuan Hak Jawab

Pengaduan tentang Berita Secara Umum

Permintaan Pendapat Sesuai UU Pers/Kode Etik Jurnalistik

Pengaduan tentang Kekerasan terhadap Wartawan

Pengajuan Hak Koreksi

Pengaduan tentang Perilaku Tindakan Wartawan

Mengadukan Iklan

Mengadukan Isi Siaran Televisi

Wartawan/Media Digugat ke Polisi/Pengadilan karena Berita

Sengketa Hak Cipta Nama Media

Pengaduan tentang Foto/Ilustrasi/Kartun

Pengaduan tentang Artikel/Opini/Surat Pembaca

Pengaduan tentang Badan Hukum Perusahaan Pers

Pengaduan Wartawan karena Mengalami Pemecatan/PHK

mengadukan Penyensoran

Lain-lain

Total

215

111

20

19

17

14

11

10

7

5

4

2

2

2

1

36

476

45,17

23,32

4,20

3,99

3,57

2,94

2,31

2,10

1,47

1,05

0,84

0,42

0,42

0,42

0,21

7,56

100,00

Jenis Pengaduan f %

sebenarnya tapi malah tak mendapatkan hak itu. Bahkan, jika

praktik sensor terjadi maka publik akan menerima fakta yang

sudah terdistorsi atau tidak sesuai dengan kenyataan yang

sebenarnya. Selain itu, tak jarang praktik sensor dilakukan demi

untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu.

Di sisi lain, sekali lagi, keluhan atau protes publik

terhadap media yang melakukan praktik sensor belum menjadi

tradisi. Bisa jadi hal ini disebabkan dengan belum munculnya

kesadaran publik bahwa mereka berhak melayangkan keberatan

terhadap pemberitaan di media. Namun bisa juga disebabkan

tidak adanya lembaga yang bisa mewadahi keberatan

masyarakat terhadap media di tingkat lokal.

Selain keberadaan Dewan Pers, yang mengemban

pelaksanaan Pasal 15 UU No. 40/1999 tentang Pers, bisa jadi

dibutuhkan solusi alternatif yang bersifat lokal. Kemunculan

lembaga ombudsman dari media maupun lembaga independen

pemantau media bisa menjadi pemecahan persoalan yang

membuka kesempatan bagi publik untuk mengemukakan

keberatannya terhadap produk jurnalistik. Yang jelas demi

keberlangsungan media yang lebih sehat, dibutuhkan kesadaran

baik dari internal media maupun masyarakat mengenai

pentingnya kebebasan ruang berita, baik dari intervensi pihak-

pihak eksternal atau internal. Kebebasan ruang berita inilah

yang akan meniadakan, setidaknya meminimalkan, praktik

sensor-diri (self-censorship) terhadap pemberitaan.

Rekomendasi FGD kelompok masyarakat

- Masyarakat membutuhkan saluran/medium untuk

menyuarakan protes jika sewaktu-waktu dirugikan oleh

pemberitaan media. Saluran itu bisa melalui

pembentukan media watch (lembaga pengawas media)

maupun melalui ombudsman yang didirikan masing-

masing media. Cara lain adalah media massa harus

menyediakan halaman rubrik kritik media. Jika ada

pemberitaan yang keliru maka masyarakat bisa

meluruskan yang dimuat di rubrik kritik media itu. Hal

ini seperti praktik hak jawab. Meski tradisi hak jawab

juga belum tumbuh di media-media di Jawa Tengah.

Padahal, pasal 5 ayat 2 Undang-undang Pers

menyatakan: pers wajib melayani hak jawab. Pers yang

melanggar ketentuan ini bisa dikenai pidana denda

paling banyak Rp 500 juta.

- Kelompok masyarakat juga membutuhkan peningkatan

kapasitas dalam kreativitas aksi agar kegiatannya bisa

dianggap layak untuk dijadikan berita. Selain itu,

masyarakat juga harus diberi pengetahuan ihwal alur

kerja wartawan, kode etik jurnalistik, undang-undang

pers, dan lain-lain. Pengetahuan ini sangat penting agar

kelompok masyarakat juga bisa bertindak jika sewaktu-

waktu mengetahui ketidakberesan kinerja media.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

136 137

sebenarnya tapi malah tak mendapatkan hak itu. Bahkan, jika

praktik sensor terjadi maka publik akan menerima fakta yang

sudah terdistorsi atau tidak sesuai dengan kenyataan yang

sebenarnya. Selain itu, tak jarang praktik sensor dilakukan demi

untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu.

Di sisi lain, sekali lagi, keluhan atau protes publik

terhadap media yang melakukan praktik sensor belum menjadi

tradisi. Bisa jadi hal ini disebabkan dengan belum munculnya

kesadaran publik bahwa mereka berhak melayangkan keberatan

terhadap pemberitaan di media. Namun bisa juga disebabkan

tidak adanya lembaga yang bisa mewadahi keberatan

masyarakat terhadap media di tingkat lokal.

Selain keberadaan Dewan Pers, yang mengemban

pelaksanaan Pasal 15 UU No. 40/1999 tentang Pers, bisa jadi

dibutuhkan solusi alternatif yang bersifat lokal. Kemunculan

lembaga ombudsman dari media maupun lembaga independen

pemantau media bisa menjadi pemecahan persoalan yang

membuka kesempatan bagi publik untuk mengemukakan

keberatannya terhadap produk jurnalistik. Yang jelas demi

keberlangsungan media yang lebih sehat, dibutuhkan kesadaran

baik dari internal media maupun masyarakat mengenai

pentingnya kebebasan ruang berita, baik dari intervensi pihak-

pihak eksternal atau internal. Kebebasan ruang berita inilah

yang akan meniadakan, setidaknya meminimalkan, praktik

sensor-diri (self-censorship) terhadap pemberitaan.

Rekomendasi FGD kelompok masyarakat

- Masyarakat membutuhkan saluran/medium untuk

menyuarakan protes jika sewaktu-waktu dirugikan oleh

pemberitaan media. Saluran itu bisa melalui

pembentukan media watch (lembaga pengawas media)

maupun melalui ombudsman yang didirikan masing-

masing media. Cara lain adalah media massa harus

menyediakan halaman rubrik kritik media. Jika ada

pemberitaan yang keliru maka masyarakat bisa

meluruskan yang dimuat di rubrik kritik media itu. Hal

ini seperti praktik hak jawab. Meski tradisi hak jawab

juga belum tumbuh di media-media di Jawa Tengah.

Padahal, pasal 5 ayat 2 Undang-undang Pers

menyatakan: pers wajib melayani hak jawab. Pers yang

melanggar ketentuan ini bisa dikenai pidana denda

paling banyak Rp 500 juta.

- Kelompok masyarakat juga membutuhkan peningkatan

kapasitas dalam kreativitas aksi agar kegiatannya bisa

dianggap layak untuk dijadikan berita. Selain itu,

masyarakat juga harus diberi pengetahuan ihwal alur

kerja wartawan, kode etik jurnalistik, undang-undang

pers, dan lain-lain. Pengetahuan ini sangat penting agar

kelompok masyarakat juga bisa bertindak jika sewaktu-

waktu mengetahui ketidakberesan kinerja media.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

136 137

Mendorong idealisme dapur redaksi

Mengapa independensi dalam ruang redaksi penting?

Redaktur Pelaksana Majalah Tempo Wahyu Dhyatmika dalam

diskusi yang digelar AJI Semarang pada 4 Januari 2014

mengatakan, independensi ruang redaksi dibutuhkan agar

berita diproduksi berdasarkan kepentingan publik dan standar

nilai berita semata. Media yang tidak memiliki ruang redaksi

yang steril dari kepentingan non-redaksi tidak bisa menjalankan

tugasnya sebagai penyampai informasi yang layak dipercaya.

Berita yang disiarkan merupakan pesanan dan tidak

menggambarkan realitas yang sesungguhnya terjadi di

lapangan.

Jurnalistik pada dasarnya adalah proses pencarian,

pengolahan, dan penyebarluasan informasi. Informasi apa yang

dicari, diolah, dan disebarkan itu? Jelas informasi yang dinilai

penting oleh khalayak. Karena itu, proses jurnalistik sudah

seharusnya sejalan dengan kepentingan orang banyak (publik).

Media yang tidak membela kepentingan publik

seharusnya tidak bertahan hidup karena tidak punya alasan

untuk terbit. Masalahnya, definisi “publik” berbeda untuk setiap

media. Segmentasi khalayak (audience) biasanya menjadi

pertimbangan utama. Jurnalis memperoleh mandatnya untuk

bekerja dari publik (rakyat). Adalah publik yang memiliki hak

untuk menuntut akuntabilitas dari pejabat publik. Hak itulah

yang diwakilkan pada jurnalis. Dilihat dari sejarah media massa,

pada awalnya media adalah kepanjangan tangan dari proses

percakapan khalayak ramai. Jadi pada esensinya, media adalah

sebuah lembaga publik, meskipun juga merupakan sebuah

institusi bisnis (komersial). Tarik-menarik antara kepentingan

publik dan kepentingan komersial media ini yang biasanya

disalahkan ketika media berpihak. Padahal, ketegangan itu

seharusnya tidak terjadi.

Ada beberapa faktor yang bisa mempengaruhi isi media

yang tidak berpihak kepada publik. Di antaranya adalah tawaran

iklan, intervensi pemilik media atau jurnalis yang disuap.

Tawaran iklan merupakan faktor yang paling lazim terjadi.

Banyak pihak merasa menekan media lewat iklan adalah salah

satu cara yang efektif untuk meredam suatu berita.

Intervensi pengiklan

Jika intervensi berasal dari bagian iklan, maka

pencegahannya dengan memastikan firewall (garis api) antara

bagian bisnis dan redaksi ditegakkan. Seharusnya, sama sekali

tidak ada komunikasi antara bagian iklan dan redaksi dalam

bentuk apa pun. Bagian iklan murni mencari pemasukan

berdasarkan luas jangkauan, oplah, dan kredibilitas media

tersebut.

Untuk memastikan adanya garis api, manajemen harus

menyusun standar prosedur operasi yang mengatur pola relasi

redaksi dengan bagian usaha (iklan).

Perusahaan atau lembaga pemerintah yang hendak

diliput sering berusaha mempengaruhi naik atau tidaknya suatu

berita dengan mengancam membatalkan order iklan. Biasanya

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

138 139

Mendorong idealisme dapur redaksi

Mengapa independensi dalam ruang redaksi penting?

Redaktur Pelaksana Majalah Tempo Wahyu Dhyatmika dalam

diskusi yang digelar AJI Semarang pada 4 Januari 2014

mengatakan, independensi ruang redaksi dibutuhkan agar

berita diproduksi berdasarkan kepentingan publik dan standar

nilai berita semata. Media yang tidak memiliki ruang redaksi

yang steril dari kepentingan non-redaksi tidak bisa menjalankan

tugasnya sebagai penyampai informasi yang layak dipercaya.

Berita yang disiarkan merupakan pesanan dan tidak

menggambarkan realitas yang sesungguhnya terjadi di

lapangan.

Jurnalistik pada dasarnya adalah proses pencarian,

pengolahan, dan penyebarluasan informasi. Informasi apa yang

dicari, diolah, dan disebarkan itu? Jelas informasi yang dinilai

penting oleh khalayak. Karena itu, proses jurnalistik sudah

seharusnya sejalan dengan kepentingan orang banyak (publik).

Media yang tidak membela kepentingan publik

seharusnya tidak bertahan hidup karena tidak punya alasan

untuk terbit. Masalahnya, definisi “publik” berbeda untuk setiap

media. Segmentasi khalayak (audience) biasanya menjadi

pertimbangan utama. Jurnalis memperoleh mandatnya untuk

bekerja dari publik (rakyat). Adalah publik yang memiliki hak

untuk menuntut akuntabilitas dari pejabat publik. Hak itulah

yang diwakilkan pada jurnalis. Dilihat dari sejarah media massa,

pada awalnya media adalah kepanjangan tangan dari proses

percakapan khalayak ramai. Jadi pada esensinya, media adalah

sebuah lembaga publik, meskipun juga merupakan sebuah

institusi bisnis (komersial). Tarik-menarik antara kepentingan

publik dan kepentingan komersial media ini yang biasanya

disalahkan ketika media berpihak. Padahal, ketegangan itu

seharusnya tidak terjadi.

Ada beberapa faktor yang bisa mempengaruhi isi media

yang tidak berpihak kepada publik. Di antaranya adalah tawaran

iklan, intervensi pemilik media atau jurnalis yang disuap.

Tawaran iklan merupakan faktor yang paling lazim terjadi.

Banyak pihak merasa menekan media lewat iklan adalah salah

satu cara yang efektif untuk meredam suatu berita.

Intervensi pengiklan

Jika intervensi berasal dari bagian iklan, maka

pencegahannya dengan memastikan firewall (garis api) antara

bagian bisnis dan redaksi ditegakkan. Seharusnya, sama sekali

tidak ada komunikasi antara bagian iklan dan redaksi dalam

bentuk apa pun. Bagian iklan murni mencari pemasukan

berdasarkan luas jangkauan, oplah, dan kredibilitas media

tersebut.

Untuk memastikan adanya garis api, manajemen harus

menyusun standar prosedur operasi yang mengatur pola relasi

redaksi dengan bagian usaha (iklan).

Perusahaan atau lembaga pemerintah yang hendak

diliput sering berusaha mempengaruhi naik atau tidaknya suatu

berita dengan mengancam membatalkan order iklan. Biasanya

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

138 139

bagian iklan—yang menerima ancaman tersebut—akan

meneruskan permohonan kliennya ke redaksi. Bagi redaksi,

adanya permintaan semacam itu meneguhkan keyakinan bahwa

perusahaan/pejabat tersebut bermasalah.

Tapi sejak awal, kasus semacam ini bisa diantisipasi

dengan menegaskan aturan garis api dan membuat standar

operasional prosedur (SOP) komunikasi antara bagian iklan

dengan redaksi. Harus ada aturan tegas bahwa iklan tidak bisa

mengatur berita. Sepanjang tidak ada komunikasi antara iklan

dan redaksi, maka jurnalis tidak akan tahu dan tidak akan peduli

perusahaan mana yang memasang iklan di medianya. Untuk itu,

interaksi antara redaksi dan iklan harus diminimalisir.

Ada juga pola intervensi pasca-pemuatan. Iklan yang

sudah dipesan dibatalkan karena narasumber tidak puas dengan

pemberitaan tertentu. Ketika kasus semacam ini terjadi, pihak

redaksi biasanya tidak tahu, tidak diberitahu, dan memang tidak

perlu tahu/peduli.

Intervensi dari pemilik media

Jika intervensi datang dari pemilik, maka cara terbaik

menangkalnya adalah dengan memperkuat serikat pekerja.

Karyawan harus memiliki forum bersama yang dilindungi

undang-undang untuk membela kepentingannya, tidak hanya

soal kesejahteraan tapi juga soal profesinya.

Persoalannya, kesadaran jurnalis berserikat juga sangat

rendah. Kesadaran berserikat tidak muncul akibat pekerjaan

jurnalis membutuhkan waktu dan tenaga ekstra sehingga

mereka belum sempat berpikir untuk memperjuangkan

nasibnya sendiri. Jika serikat pekerja sudah berdiri maka serikat

harus secepatnya membuka perundingan dengan manajemen

untuk merumuskan Perjanjian Kerja Bersama. Dalam perjanjian

itu, serikat bisa mengusulkan pasal yang mengatur soal

independensi ruang redaksi dan sanksi bagi pemilik yang

melakukan intervensi.

Idealnya juga ada klausul yang mengatur independensi

ruang redaksi merupakan sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar.

Independensi newsroom bisa dibangun dengan membatasi

pertemuan antara komisaris/pemilik perusahaan dengan

redaksi.

Ihwal intervensi pemilik ke ruang redaksi pernah diteliti

Anett Keller (2009), seorang wartawati dari Jerman Barat

(editor untuk The Asia Pacific Times di Berlin). Riset lapangan

tentang otonomi redaksi di empat surat kabar di Jakarta pasca-

reformasi 1998. Penelitian terhadap Kompas, Republika, Media

Indonesia dan Koran Tempo itu menunjukkan bahwa media

yang dimiliki oleh pemegang saham yang tidak mayoritas maka

secara relatif sulit untuk diintervensi. Sebaliknya jika media

tersebut dimiliki secara mayoritas oleh seseorang, atau sebuah

kelompok bisnis, maka bagian redaksi secara relatif menjadi

sangat mudah mendapatkan intervensi atau kurang independen.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

140 141

bagian iklan—yang menerima ancaman tersebut—akan

meneruskan permohonan kliennya ke redaksi. Bagi redaksi,

adanya permintaan semacam itu meneguhkan keyakinan bahwa

perusahaan/pejabat tersebut bermasalah.

Tapi sejak awal, kasus semacam ini bisa diantisipasi

dengan menegaskan aturan garis api dan membuat standar

operasional prosedur (SOP) komunikasi antara bagian iklan

dengan redaksi. Harus ada aturan tegas bahwa iklan tidak bisa

mengatur berita. Sepanjang tidak ada komunikasi antara iklan

dan redaksi, maka jurnalis tidak akan tahu dan tidak akan peduli

perusahaan mana yang memasang iklan di medianya. Untuk itu,

interaksi antara redaksi dan iklan harus diminimalisir.

Ada juga pola intervensi pasca-pemuatan. Iklan yang

sudah dipesan dibatalkan karena narasumber tidak puas dengan

pemberitaan tertentu. Ketika kasus semacam ini terjadi, pihak

redaksi biasanya tidak tahu, tidak diberitahu, dan memang tidak

perlu tahu/peduli.

Intervensi dari pemilik media

Jika intervensi datang dari pemilik, maka cara terbaik

menangkalnya adalah dengan memperkuat serikat pekerja.

Karyawan harus memiliki forum bersama yang dilindungi

undang-undang untuk membela kepentingannya, tidak hanya

soal kesejahteraan tapi juga soal profesinya.

Persoalannya, kesadaran jurnalis berserikat juga sangat

rendah. Kesadaran berserikat tidak muncul akibat pekerjaan

jurnalis membutuhkan waktu dan tenaga ekstra sehingga

mereka belum sempat berpikir untuk memperjuangkan

nasibnya sendiri. Jika serikat pekerja sudah berdiri maka serikat

harus secepatnya membuka perundingan dengan manajemen

untuk merumuskan Perjanjian Kerja Bersama. Dalam perjanjian

itu, serikat bisa mengusulkan pasal yang mengatur soal

independensi ruang redaksi dan sanksi bagi pemilik yang

melakukan intervensi.

Idealnya juga ada klausul yang mengatur independensi

ruang redaksi merupakan sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar.

Independensi newsroom bisa dibangun dengan membatasi

pertemuan antara komisaris/pemilik perusahaan dengan

redaksi.

Ihwal intervensi pemilik ke ruang redaksi pernah diteliti

Anett Keller (2009), seorang wartawati dari Jerman Barat

(editor untuk The Asia Pacific Times di Berlin). Riset lapangan

tentang otonomi redaksi di empat surat kabar di Jakarta pasca-

reformasi 1998. Penelitian terhadap Kompas, Republika, Media

Indonesia dan Koran Tempo itu menunjukkan bahwa media

yang dimiliki oleh pemegang saham yang tidak mayoritas maka

secara relatif sulit untuk diintervensi. Sebaliknya jika media

tersebut dimiliki secara mayoritas oleh seseorang, atau sebuah

kelompok bisnis, maka bagian redaksi secara relatif menjadi

sangat mudah mendapatkan intervensi atau kurang independen.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

140 141

Jurnalis disuap?

Sementara jika intervensi datang dari jurnalis yang

disogok, maka cara mencegahnya harus meliputi pembangunan

sistem antikorupsi di internal redaksi. Seperti perumusan kode

perilaku (turunan dari kode etik jurnalistik) yang mengatur

secara teknis tindak tanduk jurnalis, dan mekanisme

whistleblower (peniup peluit) agar orang berani melaporkan

kejanggalan di internal redaksi. Selain itu, seharusnya ada

sistem pengawasan eksternal redaksi yang kuat (ombudsman,

misalnya) yang bisa menerima keluhan dari pembaca dan

memeriksa apakah suatu keluhan soal tidak dimuatnya suatu

berita valid atau tidak.

Guna meminimalkan intervensi dari jurnalis yang

disogok, proses pengambilan keputusan soal berita di redaksi

juga harus terbuka dan melibatkan semua kompartemen,

sehingga tidak ada satu redaktur pelaksana yang terlalu

berkuasa menentukan naik/tidaknya suatu berita di wilayahnya.

Selain itu, seharusnya semua jurnalis, dari reporter sampai

redaktur, berhak mengusulkan ide liputan dan harus mendapat

penjelasan mengapa suatu berita dimuat/tidak.

Kasus jurnalis menerima amplop biasanya ditangani

dengan tegas dengan sanksi berupa pemecatan. Untuk

menjamin tidak ada jurnalis menerima amplop, tentu saja,

kesejahteraan jurnalis harus diperhatikan. Setiap tahun harus

ada eva luas i a tas jumlah ga j i karyawan dengan

membandingkannya dengan perusahaan sejenis.

Selain itu, Kode Etik Jurnalistik dan Kode Etik Perilaku

harus dipahami redaksi dengan utuh. Mekanisme lainnya adalah

melibatkan karyawan menyusun kode etik/kode perilaku.

Terakhir, ada mekanisme pengembalian amplop oleh kantor,

misalnya untuk memastikan tidak ada jurnalis yang terpaksa

menerima sogok karena sungkan.

Urgensi ombudsman

Keberadaan ombudsman sangat diperlukan untuk

menjaga kredibilitas media di mata masyarakat. Ombudsman ini

terdiri dari beberapa unsur, terutama dengan melibatkan orang

luar untuk meningkatkan obyektivitasnya.

Ombudsman bisa menerima keluhan, kritik, atau protes

dari pembaca mengenai kualitas berita media. Selain itu,

ombudsman juga menerima pengaduan dari internal redaksi

mengenai perilaku/pemberitaan. Ombudsman secara berkala

juga menilai berita di media apakah sudah sesuai standar

jurnalistik atau tidak.

Dengan demikian, pembaca yang mendapat kabar

miring soal perilaku wartawannya di lapangan bisa mengadu

pada ombudsman. Ombudsman akan menyelidiki pengaduan

tersebut. Pembaca yang protes pada akurasi, kualitas,

obyektivitas atau keberpihakan berita-berita juga bisa

mengadu/menyampaikan kekecewaan pada ombudsman.

Berdasarkan pengaduan itu, ombudsman menyelidiki. Hasil

penyelidikan ombudsman disampaikan pada pemimpin redaksi

untuk ditindaklanjuti dengan pemberian sanksi.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

142 143

Jurnalis disuap?

Sementara jika intervensi datang dari jurnalis yang

disogok, maka cara mencegahnya harus meliputi pembangunan

sistem antikorupsi di internal redaksi. Seperti perumusan kode

perilaku (turunan dari kode etik jurnalistik) yang mengatur

secara teknis tindak tanduk jurnalis, dan mekanisme

whistleblower (peniup peluit) agar orang berani melaporkan

kejanggalan di internal redaksi. Selain itu, seharusnya ada

sistem pengawasan eksternal redaksi yang kuat (ombudsman,

misalnya) yang bisa menerima keluhan dari pembaca dan

memeriksa apakah suatu keluhan soal tidak dimuatnya suatu

berita valid atau tidak.

Guna meminimalkan intervensi dari jurnalis yang

disogok, proses pengambilan keputusan soal berita di redaksi

juga harus terbuka dan melibatkan semua kompartemen,

sehingga tidak ada satu redaktur pelaksana yang terlalu

berkuasa menentukan naik/tidaknya suatu berita di wilayahnya.

Selain itu, seharusnya semua jurnalis, dari reporter sampai

redaktur, berhak mengusulkan ide liputan dan harus mendapat

penjelasan mengapa suatu berita dimuat/tidak.

Kasus jurnalis menerima amplop biasanya ditangani

dengan tegas dengan sanksi berupa pemecatan. Untuk

menjamin tidak ada jurnalis menerima amplop, tentu saja,

kesejahteraan jurnalis harus diperhatikan. Setiap tahun harus

ada eva luas i a tas jumlah ga j i karyawan dengan

membandingkannya dengan perusahaan sejenis.

Selain itu, Kode Etik Jurnalistik dan Kode Etik Perilaku

harus dipahami redaksi dengan utuh. Mekanisme lainnya adalah

melibatkan karyawan menyusun kode etik/kode perilaku.

Terakhir, ada mekanisme pengembalian amplop oleh kantor,

misalnya untuk memastikan tidak ada jurnalis yang terpaksa

menerima sogok karena sungkan.

Urgensi ombudsman

Keberadaan ombudsman sangat diperlukan untuk

menjaga kredibilitas media di mata masyarakat. Ombudsman ini

terdiri dari beberapa unsur, terutama dengan melibatkan orang

luar untuk meningkatkan obyektivitasnya.

Ombudsman bisa menerima keluhan, kritik, atau protes

dari pembaca mengenai kualitas berita media. Selain itu,

ombudsman juga menerima pengaduan dari internal redaksi

mengenai perilaku/pemberitaan. Ombudsman secara berkala

juga menilai berita di media apakah sudah sesuai standar

jurnalistik atau tidak.

Dengan demikian, pembaca yang mendapat kabar

miring soal perilaku wartawannya di lapangan bisa mengadu

pada ombudsman. Ombudsman akan menyelidiki pengaduan

tersebut. Pembaca yang protes pada akurasi, kualitas,

obyektivitas atau keberpihakan berita-berita juga bisa

mengadu/menyampaikan kekecewaan pada ombudsman.

Berdasarkan pengaduan itu, ombudsman menyelidiki. Hasil

penyelidikan ombudsman disampaikan pada pemimpin redaksi

untuk ditindaklanjuti dengan pemberian sanksi.

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

142 143

Rekomendasi

1. Selama ini, banyak sekali media lokal di Semarang yang

belum memisahkan ruang redaksi dengan ruang iklan.

Padahal, mencampurkan iklan dengan redaksi menjadi

salah satu problem yang mengakibatkan media tidak

independen. Banyak berita yang dikonsumsi publik

berdasarkan pada pesanan pengiklan. Akibatnya, publik

akan menerima informasi yang bias. Untuk itulah

memisahkan ruang redaksi dan ruang iklan tak bisa ditawar

lagi. Memang, media membutuhkan modal dan perusahaan

memerlukan uang untuk bisa beroperasi. Tapi, cara untuk

mendapatkan uang/iklan bukanlah dengan “menjual”

pemberitaan. Jika intervensi berasal dari bagian iklan,

maka pencegahannya adalah dengan memastikan firewall

(garis api) antara bagian bisnis dan redaksi ditegakkan.

Seharusnya sama sekali tidak ada komunikasi antara bagian

iklan dan redaksi dalam bentuk apa pun. Bagian iklan murni

mencari pemasukan berdasarkan luas jangkauan, oplah,

dan kredibilitas suatu media. Untuk memastikan adanya

garis api, manajemen harus menyusun standarprosedur

operasionalyang mengatur pola relasi redaksi dengan

bagian usaha/iklan.

2. Masyarakat membutuhkan saluran jika sewaktu-waktu

merasa dirugikan atas pemberitaan media. Saluran itu baik

yang diinisiasi kelompok masyarakat maupun melalui

lembaga ombudsman yang perlu didirikan oleh masing-

masing media. Tradisi masyarakat memprotes pemberitaan

di Semarang memang belum muncul. Ada beberapa sebab,

di antaranya adalah masyarakat belum memahami

bagaimana cara memprotes. Apalagi, keberadaan Dewan

Pers juga hanya ada di Jakarta. Untuk itulah, masyarakat di

Semarang memerlukan satu tempat agar mereka bisa

menyalurkan ketidakpuasannya atas kinerja media.

Masyarakat perlu secara aktif membuat pengaduan ke

Dewan Pers atau Komisi Penyiaran Indonesia/Daerah

(KPI/D).

3. Setiap media perlu membentuk ombudsman media.

Lembaga ini sebagai salah satu cara untuk mengontrol jika

sewaktu-waktu ada dugaan pelanggaran yang dilakukan

awak medianya. Selain itu, melalui ombudsman di masing-

masing media ini, memungkinkan masyarakat bisa

menyalurkan protesnya jika merasa dirugikan oleh suatu

pemberitaan. Masyarakat juga berharap agar media massa

menyediakan rubrik kritik media. Tujuannya, jika

masyarakat merasa ada yang salah atas pemberitaan yang

disajikan media maka masyarakat bisa berpartisipasi untuk

meluruskan atau mengoreksi.

4. Persoalan kesejahteraan jurnalis juga menjadi pekerjaan

rumah yang harus dicarikan solusi. Selama ini, minimnya

kesejahteraan menjadi salah satu pemicu jurnalis tidak bisa

menjalankan tugasnya secara profesional dan independen.

Se

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

144 145

Rekomendasi

1. Selama ini, banyak sekali media lokal di Semarang yang

belum memisahkan ruang redaksi dengan ruang iklan.

Padahal, mencampurkan iklan dengan redaksi menjadi

salah satu problem yang mengakibatkan media tidak

independen. Banyak berita yang dikonsumsi publik

berdasarkan pada pesanan pengiklan. Akibatnya, publik

akan menerima informasi yang bias. Untuk itulah

memisahkan ruang redaksi dan ruang iklan tak bisa ditawar

lagi. Memang, media membutuhkan modal dan perusahaan

memerlukan uang untuk bisa beroperasi. Tapi, cara untuk

mendapatkan uang/iklan bukanlah dengan “menjual”

pemberitaan. Jika intervensi berasal dari bagian iklan,

maka pencegahannya adalah dengan memastikan firewall

(garis api) antara bagian bisnis dan redaksi ditegakkan.

Seharusnya sama sekali tidak ada komunikasi antara bagian

iklan dan redaksi dalam bentuk apa pun. Bagian iklan murni

mencari pemasukan berdasarkan luas jangkauan, oplah,

dan kredibilitas suatu media. Untuk memastikan adanya

garis api, manajemen harus menyusun standarprosedur

operasionalyang mengatur pola relasi redaksi dengan

bagian usaha/iklan.

2. Masyarakat membutuhkan saluran jika sewaktu-waktu

merasa dirugikan atas pemberitaan media. Saluran itu baik

yang diinisiasi kelompok masyarakat maupun melalui

lembaga ombudsman yang perlu didirikan oleh masing-

masing media. Tradisi masyarakat memprotes pemberitaan

di Semarang memang belum muncul. Ada beberapa sebab,

di antaranya adalah masyarakat belum memahami

bagaimana cara memprotes. Apalagi, keberadaan Dewan

Pers juga hanya ada di Jakarta. Untuk itulah, masyarakat di

Semarang memerlukan satu tempat agar mereka bisa

menyalurkan ketidakpuasannya atas kinerja media.

Masyarakat perlu secara aktif membuat pengaduan ke

Dewan Pers atau Komisi Penyiaran Indonesia/Daerah

(KPI/D).

3. Setiap media perlu membentuk ombudsman media.

Lembaga ini sebagai salah satu cara untuk mengontrol jika

sewaktu-waktu ada dugaan pelanggaran yang dilakukan

awak medianya. Selain itu, melalui ombudsman di masing-

masing media ini, memungkinkan masyarakat bisa

menyalurkan protesnya jika merasa dirugikan oleh suatu

pemberitaan. Masyarakat juga berharap agar media massa

menyediakan rubrik kritik media. Tujuannya, jika

masyarakat merasa ada yang salah atas pemberitaan yang

disajikan media maka masyarakat bisa berpartisipasi untuk

meluruskan atau mengoreksi.

4. Persoalan kesejahteraan jurnalis juga menjadi pekerjaan

rumah yang harus dicarikan solusi. Selama ini, minimnya

kesejahteraan menjadi salah satu pemicu jurnalis tidak bisa

menjalankan tugasnya secara profesional dan independen.

Se

Potret Intervensi di Bilik RedaksiAJI Semarang

144 145

AJI Semarang

Banyak sekali jurnalis yang masih menerima upah di bawah

kelayakan. Meski jurnalis belum sejahtera tapi kesadaran

mereka menuntut upah layak juga jarang terdengar.

Kesadaran berserikat para jurnalis juga rendah. Mungkin

akibat profesi jurnalis membutuhkan tenaga ekstra

sehingga mereka tak sempat memikirkan perjuangan

menuntut hak.Mendesak kepada Pemerintah Provinsi Jawa

Tengah agar menetapkan upah minimum sektor jurnalis.

Ini untuk meningkatkan harkat dan martabat bagi para

jurnalis.

* * *

Daftar Pustaka

Curran, James, Michael Gurevitch, dan Janet Woollacott (2005). “The Study of the Media: Theoretical Approaches” dalam Michael Gurevich, et. al. (eds). Culture,Society and the Media. London dan New York: Routledge.

Fleming, Carole, et. al. (2006). An Introduction to Journalism. New Delhi: Sage Publications.

Franklin, Bob, et. al. (2005).Key Concepts in Journalism Studies. New Delhi: Sage Publications.

Keller, Anett (2009). Tantangan dari Dalam: Otonomi Redaksi di 4 Media Cetak Nasional: Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika. Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung (FES).

Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel (2001). The Elements of Journalism. New York: Crown Publishers.

Krippendorff, Klaus (2004). Content Analysis: An Introduction to Its ndMethodology 2 Ed. New Delhi: Sage Publications.

McQuail, Denis (1993). Media Performance: Mass Communication and the Public Interest.New Delhi: Sage Publications.

Potter, Deborah (2006). Handbook of Independent Journalism. Bureau of International Information Programs U.S. Department of State.

Powers, Matthew J. “Objectivity” dalam Christopher H. Sterling, ed. (2009). Encyclopedia of Journalism. Thousand Oaks: Sage Publications.

Titchen, Angie dan Dawn Hobson. “Phenomenology” dalam Bridget Somekh dan Cathy Lewin, eds. (2005). Research Methods in the Social Sciences. New Delhi: Sage Publications.

146 147

AJI Semarang

Banyak sekali jurnalis yang masih menerima upah di bawah

kelayakan. Meski jurnalis belum sejahtera tapi kesadaran

mereka menuntut upah layak juga jarang terdengar.

Kesadaran berserikat para jurnalis juga rendah. Mungkin

akibat profesi jurnalis membutuhkan tenaga ekstra

sehingga mereka tak sempat memikirkan perjuangan

menuntut hak.Mendesak kepada Pemerintah Provinsi Jawa

Tengah agar menetapkan upah minimum sektor jurnalis.

Ini untuk meningkatkan harkat dan martabat bagi para

jurnalis.

* * *

Daftar Pustaka

Curran, James, Michael Gurevitch, dan Janet Woollacott (2005). “The Study of the Media: Theoretical Approaches” dalam Michael Gurevich, et. al. (eds). Culture,Society and the Media. London dan New York: Routledge.

Fleming, Carole, et. al. (2006). An Introduction to Journalism. New Delhi: Sage Publications.

Franklin, Bob, et. al. (2005).Key Concepts in Journalism Studies. New Delhi: Sage Publications.

Keller, Anett (2009). Tantangan dari Dalam: Otonomi Redaksi di 4 Media Cetak Nasional: Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika. Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung (FES).

Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel (2001). The Elements of Journalism. New York: Crown Publishers.

Krippendorff, Klaus (2004). Content Analysis: An Introduction to Its ndMethodology 2 Ed. New Delhi: Sage Publications.

McQuail, Denis (1993). Media Performance: Mass Communication and the Public Interest.New Delhi: Sage Publications.

Potter, Deborah (2006). Handbook of Independent Journalism. Bureau of International Information Programs U.S. Department of State.

Powers, Matthew J. “Objectivity” dalam Christopher H. Sterling, ed. (2009). Encyclopedia of Journalism. Thousand Oaks: Sage Publications.

Titchen, Angie dan Dawn Hobson. “Phenomenology” dalam Bridget Somekh dan Cathy Lewin, eds. (2005). Research Methods in the Social Sciences. New Delhi: Sage Publications.

146 147

Profil AJI Semarang

liansi Jurnalis Independen (AJI) lahir sebagai perlawanan

komunitas pers Indonesia terhadap kesewenang-wenangan Arezim Orde Baru di bawah Presiden (almarhum) Soeharto.

Mulanya adalah pembredelan Detik, Editor, dan Tempo, pada 21 Juni

1994. Ketiganya dibredel karena pemberitaannya yang tergolong kritis

kepada penguasa. Tindakan represif inilah yang memicu aksi

solidaritas sekaligus perlawanan dari banyak kalangan secara merata

di sejumlah kota.

Setelah itu, gerakan perlawanan terus mengkristal. Akhirnya,

sekitar 100 orang yang terdiri dari jurnalis dan kolumnis berkumpul di

Sirnagalih, Bogor, 7 Agustus 1994. Pada hari itulah mereka

menandatangani Deklarasi Sirnagalih. Inti deklarasi ini adalah

menuntut dipenuhinya hak publik atas informasi, menentang

pengekangan pers, menolak wadah tunggal untuk jurnalis, serta

mengumumkan berdirinya AJI.

AJI Semarang dideklarasikan pada 14 April 1998 oleh sekitar

30 jurnalis Semarang. Sejarah AJI Semarang tak lepas dari perjuangan

jurnalis Indonesia dalam memperjuangkan independensi jurnalis,

kebebasan pers, kemerdekaan berpendapat dan berserikat serta

memperjuangkan masyarakat atas akses informasi. Menentang

pemerintahan otoriter Orde Baru

Turow, Joseph (2009). Media Today: An Introduction to Mass rd Communication: 3 Edition. New York dan London:

Routledge.

Wehmeier, Sally, ed. (2005). Oxford Advanced Learner's Dictionary: 7 Edition. Oxford: Oxford University Press.

148 149

Profil AJI Semarang

liansi Jurnalis Independen (AJI) lahir sebagai perlawanan

komunitas pers Indonesia terhadap kesewenang-wenangan Arezim Orde Baru di bawah Presiden (almarhum) Soeharto.

Mulanya adalah pembredelan Detik, Editor, dan Tempo, pada 21 Juni

1994. Ketiganya dibredel karena pemberitaannya yang tergolong kritis

kepada penguasa. Tindakan represif inilah yang memicu aksi

solidaritas sekaligus perlawanan dari banyak kalangan secara merata

di sejumlah kota.

Setelah itu, gerakan perlawanan terus mengkristal. Akhirnya,

sekitar 100 orang yang terdiri dari jurnalis dan kolumnis berkumpul di

Sirnagalih, Bogor, 7 Agustus 1994. Pada hari itulah mereka

menandatangani Deklarasi Sirnagalih. Inti deklarasi ini adalah

menuntut dipenuhinya hak publik atas informasi, menentang

pengekangan pers, menolak wadah tunggal untuk jurnalis, serta

mengumumkan berdirinya AJI.

AJI Semarang dideklarasikan pada 14 April 1998 oleh sekitar

30 jurnalis Semarang. Sejarah AJI Semarang tak lepas dari perjuangan

jurnalis Indonesia dalam memperjuangkan independensi jurnalis,

kebebasan pers, kemerdekaan berpendapat dan berserikat serta

memperjuangkan masyarakat atas akses informasi. Menentang

pemerintahan otoriter Orde Baru

Turow, Joseph (2009). Media Today: An Introduction to Mass rd Communication: 3 Edition. New York dan London:

Routledge.

Wehmeier, Sally, ed. (2005). Oxford Advanced Learner's Dictionary: 7 Edition. Oxford: Oxford University Press.

148 149

yang hanya mengakui organisasi tunggal profesi wartawan. Secara

kelembagaan, AJI Semarang di bawah koordinasi AJI Indonesia dengan

otonomi penuh untuk mengatur roda organisasi di tingkat lokal.

Beberapa program yang telah dan tengah dilakukan AJI

Semarang, di antaranya:

?Memberikan pelatihan jurnalistik berkala kepada Pers

Mahasiswa (2000-sekarang).

?Worksop Kode Etik dan Kekerasan Terhadap Jurnalis (AJI-SEAPA

Jakarta 2001).

?Kongres IV AJI Indonesia di Kota Semarang 2001.

?Kursus-kursus jurnalistik untuk buruh (2001-sekarang).

?Workshop "Kampanye Anti Sogok di Kalangan Jurnalis” (AJI-

Partnership for Governance Reform in Indonesia; 2002)

?Koordinator region jaringan jurnalis untuk Pemilu yang jujur

dan adil (AJI-Partnership for governance reform dan USAID

(2003-2004).

?Program Pemilu Damai di Jepara (AJI-Common Ground

Indonesia (CGI) dan UNDP; 2004-2005)

?Assesment potensi media untuk pemerintahan yang baik di

Semarang (AJI-LGSP-Research Triangle Institute; 2006).

?Penguatan kapasitas jurnalis dalam liputan program Harm

Reduction penanggulangan HIV (AJI-Family Health

International, 2008).

?Diseminasi hasil Business Climate Survey Jateng (AJI-

Swisscontact dan GTZ, 2008)

?Pengembangan sistem informasi pemerintah kabupaten/kota

berperspektif terhadap persoalan ibu dan anak: (AJI-UNICEF;

?2007-2009).

?Training New Media: (AJI-FORD Foundation: 2012-2013).

?Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) (AJI; 2012).

?Advokasi Korban PHK 13 jurnalis Harian Semarang.

?Penyusunan Silabi jurnalisme online untuk perguruan tinggi

(AJI, Ford Foundation, Jurusan KomunikasiUndip; 2013).

?Penyusunan Modul jurnalisme online untuk perguruan tinggi

(AJI, Ford Foundation, Jurusan Komunikasi Undip; 2014).

?Kampanye Independensi Newsroom Media Lokal (AJI-Tifa;

2013).

?Dan lain-lain.

Alamat Kantor AJI Semarang: Jalan Gergaji I/15 Mugassari Kota

Semarang. Telp: 024-8450980. Email: [email protected]

150 151

yang hanya mengakui organisasi tunggal profesi wartawan. Secara

kelembagaan, AJI Semarang di bawah koordinasi AJI Indonesia dengan

otonomi penuh untuk mengatur roda organisasi di tingkat lokal.

Beberapa program yang telah dan tengah dilakukan AJI

Semarang, di antaranya:

?Memberikan pelatihan jurnalistik berkala kepada Pers

Mahasiswa (2000-sekarang).

?Worksop Kode Etik dan Kekerasan Terhadap Jurnalis (AJI-SEAPA

Jakarta 2001).

?Kongres IV AJI Indonesia di Kota Semarang 2001.

?Kursus-kursus jurnalistik untuk buruh (2001-sekarang).

?Workshop "Kampanye Anti Sogok di Kalangan Jurnalis” (AJI-

Partnership for Governance Reform in Indonesia; 2002)

?Koordinator region jaringan jurnalis untuk Pemilu yang jujur

dan adil (AJI-Partnership for governance reform dan USAID

(2003-2004).

?Program Pemilu Damai di Jepara (AJI-Common Ground

Indonesia (CGI) dan UNDP; 2004-2005)

?Assesment potensi media untuk pemerintahan yang baik di

Semarang (AJI-LGSP-Research Triangle Institute; 2006).

?Penguatan kapasitas jurnalis dalam liputan program Harm

Reduction penanggulangan HIV (AJI-Family Health

International, 2008).

?Diseminasi hasil Business Climate Survey Jateng (AJI-

Swisscontact dan GTZ, 2008)

?Pengembangan sistem informasi pemerintah kabupaten/kota

berperspektif terhadap persoalan ibu dan anak: (AJI-UNICEF;

?2007-2009).

?Training New Media: (AJI-FORD Foundation: 2012-2013).

?Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) (AJI; 2012).

?Advokasi Korban PHK 13 jurnalis Harian Semarang.

?Penyusunan Silabi jurnalisme online untuk perguruan tinggi

(AJI, Ford Foundation, Jurusan KomunikasiUndip; 2013).

?Penyusunan Modul jurnalisme online untuk perguruan tinggi

(AJI, Ford Foundation, Jurusan Komunikasi Undip; 2014).

?Kampanye Independensi Newsroom Media Lokal (AJI-Tifa;

2013).

?Dan lain-lain.

Alamat Kantor AJI Semarang: Jalan Gergaji I/15 Mugassari Kota

Semarang. Telp: 024-8450980. Email: [email protected]

150 151