psikologi dakwah

24
PSIKOLOGI DAKWAH Salah satu tugas istimewa ummat Nabi Muhammad yang tidak diberikan kepada ummat selain Beliau adalah tugas amar ma’ruf dan nahi munkar (dakwah). Jika sebelumnya tugas dakwah hanya dibebankan kepada Nabi dan Rasul saja, maka setelah diutusnya Nabi Muhammad, tugas dakwah juga dibebankan kepada ummatnya sampai hari kiamat. Dakwah merupakan kewajiban setiap muslim. Sebagai seorang da’itentu saja seseorang ingin mencapai kesuksesan dalam melaksanakan tugas dakwah.Salah satu bentuk keberhasilan dalam dakwah adalah berubahnya sikap kejiwaan seseorang.Dari tidak cinta Islam menjadi cinta, dari tidak mau beramal saleh menjadi giat melakukannya, dari cinta kemaksiatan menjadi benci dan tertanam dalam jiwanya rasa senang terhadap kebenaran ajaran Islam, begitulah seterusnya. Karena dakwah bermaksud mengubah sikap kejiwaan seorang mad’u, maka pengetahuan tentang psikologi dakwah menjadi sesuatu yang sangat penting.Dengan pengetahuan tentang psikologi dakwah ini, seorang da’i diharapkan dapat melaksanakan tugas dakwah dengan pendekatan kejiwaan. Rasul Saw. Dalam dakwahnya memang sangat memperhatikan tingkat kesiapan jiwa orang yang didakwahinya dalam menerima pesan-pesan dakwah. A. Pengertian Psikologi Dakwah Secara harfiah, psikologi artinya ‘ilmu jiwa’ berasal dari kata yunani psyce ‘jiwa’ dan logos ‘ilmu’. Akan tetapi yang dimaksud bukanlah ilmu tentang jiwa.Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia sebagai gambaran dari keadaan jiwanya. Kata dakwah menurut bahasa (etimologi) berasal dari bahasaArab, yaitu dari kata: da’a – yad’u – da’watan. Kata tersebut mempunyai makna menyeru, memanggil, mengajak dan melayani. Abdul Munir Mulkan, mengemukakan bahwa dakwah adalah mengubah umat dari suatu situasi kepada situasi lain yang lebih baik di dalam segala segi kehidupan dengan tujuan merealisasikan ajaran Islam di dalam kenyataan hidup seharihari, baik bagi kehidupan seorang pribadi, kehidupan keluarga maupun masyarakat sebagai suatu keseluruhan tata kehidupan bersama. Psikologi dakwah dapat didefenisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang gejala-gejala hidup kejiwaan manusia yang terlibat dalam proses kegiatan dakwah. Psikologi dakwah dapat juga diberi batasan sebagai ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia yang merupakan cerminan hidup kejiwaannya untuk diajak kepada pengalaman ajaran-ajaran Islam demi kesejahteraan hidup manusia dunia dan akhirat. A.1 Psikologi Secara sederhana Psikologi sering disebut sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia yang merupakan gejala dari jiwanya.Sedangkan pengertian atau definisi yang lebih terperinci menyebutkan bahwa psikologi adalah ilmu

description

bahan kuliah

Transcript of psikologi dakwah

Page 1: psikologi dakwah

PSIKOLOGI DAKWAH

Salah satu tugas istimewa ummat Nabi Muhammad  yang tidak diberikan kepada ummat selain Beliau adalah tugas amar ma’ruf dan nahi munkar (dakwah). Jika sebelumnya tugas dakwah hanya dibebankan kepada Nabi dan Rasul saja, maka setelah diutusnya Nabi Muhammad, tugas dakwah juga dibebankan kepada ummatnya sampai hari kiamat.Dakwah merupakan kewajiban setiap muslim. Sebagai seorang da’itentu saja seseorang ingin mencapai kesuksesan dalam melaksanakan tugas dakwah.Salah satu bentuk keberhasilan dalam dakwah adalah berubahnya sikap kejiwaan seseorang.Dari tidak cinta Islam menjadi cinta, dari tidak mau beramal saleh menjadi giat melakukannya, dari cinta kemaksiatan menjadi benci dan tertanam dalam jiwanya rasa senang terhadap kebenaran ajaran Islam, begitulah seterusnya.Karena dakwah bermaksud mengubah sikap kejiwaan seorang mad’u, maka pengetahuan tentang psikologi dakwah menjadi sesuatu yang sangat penting.Dengan pengetahuan tentang psikologi dakwah ini, seorang da’i diharapkan dapat melaksanakan tugas dakwah dengan pendekatan kejiwaan. Rasul Saw. Dalam dakwahnya memang sangat memperhatikan tingkat kesiapan jiwa orang yang didakwahinya dalam menerima pesan-pesan dakwah.A. Pengertian Psikologi DakwahSecara harfiah, psikologi artinya ‘ilmu jiwa’ berasal dari kata yunani psyce ‘jiwa’ dan logos ‘ilmu’. Akan tetapi yang dimaksud bukanlah ilmu tentang jiwa.Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia sebagai gambaran dari keadaan jiwanya.Kata dakwah menurut bahasa (etimologi) berasal dari bahasaArab, yaitu dari kata: da’a – yad’u – da’watan. Kata tersebut mempunyai makna menyeru, memanggil, mengajak dan melayani.Abdul Munir Mulkan, mengemukakan bahwa dakwah adalah mengubah umat dari suatu situasi kepada situasi lain yang lebih baik di dalam segala segi kehidupan dengan tujuan merealisasikan ajaran Islam di dalam kenyataan hidup seharihari, baik bagi kehidupan seorang pribadi, kehidupan keluarga maupun masyarakat sebagai suatu keseluruhan tata kehidupan bersama. Psikologi dakwah dapat didefenisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang gejala-gejala hidup kejiwaan manusia yang terlibat dalam proses kegiatan dakwah. Psikologi dakwah dapat juga diberi batasan sebagai ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia yang merupakan cerminan hidup kejiwaannya untuk diajak kepada pengalaman ajaran-ajaran Islam demi kesejahteraan hidup manusia dunia dan akhirat.A.1 Psikologi Secara sederhana Psikologi sering disebut sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia yang merupakan gejala dari jiwanya.Sedangkan pengertian atau definisi yang lebih terperinci menyebutkan bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku lahiriah manusia dengan menggunakan metode observasi secara obyektif, seperti terhadap rangsang (stimulus) dan jawaban (respon) yang menimbulkan tingkah laku.A. 2 DakwahDalam bahasa Arab, da’wat atau da’watun biasa digunakan untuk arti-arti: undangan, ajakan dan seruan yang kesemua menunjukkan adanya komunikasi antara dua pihak dan upaya mempengaruhi pihak lain. ukuran keberhasilan undangan, ajakan atau seruan adalah manakal pihak kedua yakni yang diundang atau diajak

Page 2: psikologi dakwah

memberikan rspon positif yaitu mau datang dan memenuhi undangan itu. jadikalimat dakwah mengandung muatan makna aktif dan menantang, berbeda dengan kalimat tanligh yang artinya menyampaikan. Ukuran keberhasilan seorang mubaligh adalah menekala ia berhasil menyampaikan pesan islam dan pesannya sampai (wama ‘alaina illa al balagh), sedangkan bagaimana respon masyarakat tidak menjadi tanggung jawabnya. Dari sini kita juga dapat menyebutkan apa sebenarnya tujuan dari dakwah itu sendiri? Adapun tujuan dari dakwah adalah untuk menumbuhkan pengertian, kesadaran, penghayatan dan pengalaman ajaran agama yang dibawakan oleh aparat dakwah/da’i.Dengan demikian maka dapat dirumuskan bahwa dakwah ialah usaha mempengaruhi orang lain agar mereka bersikap dan bertingkah laku seperti apa yang didakwahkan oleh Da’i. setiap da’i agama pun pasti berusaha mempengaruhi orang lain agar mereka bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan agama mereka.dengan demikian pengertian dakwah islam adalah upaya mempengaruhi orang lain agar mereka bersikap dan bertingkah laku islami (memeluk agama islam). Sebagai perbuatan atau aktifitas, dakwah adalah peristiwa komunikasi di mana da’I menyampaikan pesan melalui lambing-lambang kepada Mad’u, dan mad’u menerima pesan itu, mengolahnya dan kemudian meresponnya.Jadi, proses saling mempengaruhi antara da’I dan mad’u adalah merupakan peristiwa mental. Dengan mengacu pada pengertian psikologi, maka dapat dirumuskan bahwa psikologi dakwah ialah ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan dan mengendalikan tingkah laku manusia yang terkait dalam proses dakwah. Psikologi dakwah berusaha menyingkap apa yang tersembunyi di balik perilaku manusia yang terlibat dalam dakwah, dan selanjutnya menggunakan pengetahuan itu untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan dari dakwah itu. B. Ruang Lingkup Psikologi DakwahSebagaimana telah disebutkan di atas bahwa kalimat da’watun dapat diartikan dengan undangan, seruan atau ajakan, yang kesemuanya menunjukkan adanya komunikasi antara dua pihak di mana pihak pertama (da’i) berusaha menyampaikan informasi, mengajak dan mempengaruhi pihak kedua (mad’u)(Warson Munawir, 1994:439).pengalaman berdakwah menunjukkan bahwa ada orang yang cepat tanggap terhadap seruan dakwah ada yang acuh tak acuh dan bahkan ada yang bukan hanya tidak mau menerima tetapi juga melawan dan menyerang balik. Proses penyampaian dan penerimaan pesan dakwah itu dilihat dari sudut psikologi tidaklah sesederhana penyampaian pidato oleh da’i dan didengar oleh hadirin, tetapi mempunyai makna yang luas, meliputi penyampaian energi dalam sistem syaraf, gelombang suara dan tanda-tanda. Ketika proses suatu dakwah berlangsung, terjadilah penyampaian energy dari alat-alat indera ke otak, baik pada peristiwa penerimaan pesan dan pengolahan informasi, maupun pada proses saling mempengaruhi dari kedua belah pihak. C. Objek Kajian Psikologi DakwahSebagaimana umumnya ilmu pengetahuan yang lain, selalu terdiri dari dua objek kajian, yaitu objek material dan objek formal. Objek material yaitu objek yang menjadi pokok bahasan sebuah ilmu, sedangkan objek formal yaitu sudut pandang sebuah ilmu dikaji, seperti apakah dari segi epistemologi, ontologi ataukah aksiologi.Oleh karena itu objek material psikologi dakwah adalah manusia sebagai objek dakwah. Sedangkan objek formalnya yaitu segala hidup kejiwaan (tingkah laku) manusia yang terlibat dalam proses dakwah. D. Tujuan Psikologi DakwahOleh karena psikologi dakwah mempedomani kegiatan dakwah, maka tujuan psikologi dakwah adalah: memberikan pandangan tentang mungkinnya dilakukan perubahan tingkah laku atau sikap mental psikologis sasaran dakwah sesuai dengan pola/pattern kehidupan yang dikehendaki oleh ajaran agama yang didakwahkan/diserukan oleh aparat dakwah/da’i.

Page 3: psikologi dakwah

E. Hubungan Psikologi Dakwah dengan Ilmu-ilmu LainFaizah dan Muchsin Effendi dalam bukunya Psikologi Dakwah(2006) menyebutkan beberapa contoh hubungan ilmu psikologi dakwah dengan ilmu-ilmu lain seperti:1.    Hubungan psikologi dakwah dengan psikologi agamaIslam adalah agama dakwah, agama menyebar luaskan kebenaran dan mengajak orang-orang yang belum mempercayainya untuk percaya, menumbuhkan pengetian dan kesadaran agar umat islam mampu menjalani hidup sesuai dengan perintah. Dengan demikian, setiap muslm berkewajiban untuk berdakwah.Dalam melaksanakan tugas dakwah, seorang da’i dihadapkan pada kenyataan bahwa individu-individu yang akan di dakwah memiliki keberagaman dalam berbagai hal seperti fikiran (ide-ide), pengalaman kepribadian dan lain-lain. Dengan kata lain seorang da’i di tuntut menguasai studi Psikologi yang mempelajari tentang kejiwaan manusia sebagai individu maupun anggota masyarakat, baik pada fase perkembangan manusia anak, remaja dewasa dan manula.2.    Hubungan Psikologi Dakwah Dengan Ilmu KomunikasiKegiatan dakwah adalah kegiatan komunikasi, dimana da’i mengkomunikasikan pesan kepada mad’u perorangan atau kelompok secara teknis dakwah adalah komnukasi antara da’i (komunikator dan mad’u (komunikan) hukum dalam komunikasi berliku juga dalam dakwah, hambatan komunikasi berarti hambatan dakwah.  Perbedaan dakwah dengan komunikasi terletak pada muatan pesannya, pada komunikasi sifatnya netral sedang pada dakwah terkandung nilai keteladanan dan kebenaran.3.    Hubungan Psikologi Dakwah dengan Psikologi Agama Psikologi agama meneliti sejauh mana pengaruh keyakinan agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang (berfikir, bersikap, dan bereaksi) karena tingkah laku tidak dapat dipisahkan dengan keyakinan. Jika psikologi berusaha menguak apa yang melatarbelakangi tingkah laku manusia yang terkait dengan dakwah, maka psikologi agama mencari sebesar-besar keyakinan agama seseorang mempengaruhi tingkah laku dakwah di lakukan terhadap orang yang belum beragama dan orang yang sudah beragama.4.    Hubungan Psikologi Dakwah dengan Patologi Sosial Sebelum memulai kegiatan dakwah, para da’i perlu mengetahui lebih jauh apa saja penyakit-penyakit masyarakat dan penyakit masyarakat di bahas dalam patologi sosial yang membahas tentang sikap, kegiatan yang bertentangan dengan norma-norma agama, masyarakat, adapt istiadat dan sebagainya.5.    Hubungan Psikologi Dakwah dengan Sosiologi Dakwah merupakan komunikasi antara da’i dan madu’ akan melahirkan interaksi sosial, karena itu sosiologi menaruh perhatian pada interaksi sosial tersebut.6.    Hubungan Psikologi Dakwah dengan Psikologi Individual Misi dakwah dalam hal ini adalah menyadarkan manusia sebagai makhluk individual yang harus meningkatkan diri pada khaliknya dan mengintegrasikan dirinya dengan masyarakat. Bantuan psikologi individual dengan psikologi dakwah terletak pada pengungkapan tentang hal ikhwal hidup kejiwaan individual dengan aspek-aspek dan ciri-cirinya sesuai dengan kebutuhan melalui proses dakwah yang tepat.7.    Hubungan Psikologi Dakwah dengan Psikologi SosialPsikologi sosial merupakan landasan yang memberikan dan mengarahkan psikologi dakwah kepada pembinaan sosialisasi manusia sebagai objek dakwah karena psikologi sosial mempelajari tentang penyesuaian diri manusia yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan sosial.

KesimpulanDari penjelasan tentang psikologi dakwah di atas dapat kita lihat bahwa erat sekali hubungan antara psikologi dengan dakwah.

Page 4: psikologi dakwah

    Karena ketika seseorang berdakwah (da’i) maka ia perlu bahkan harus mengetahui kondisi psikologis obyek yang didakwahi (mad’u) agar apa yang disampaikan nantinya dapat tersampaikan dengan baik. Karena dakwah itu sendiri merupakan suatu kegiatan yang mempengaruhi orang lain agar mau merubah tingkah lakunya dan mengikuti sesuai dengan yang disyari’aykan oleh agama (islam).     Perlu kita ketahui juga bahwasannya tujuan utama dari dakwah adalahbagaimana nantinya seorang mad’u dapat atau mau menjalankan apa yang disampaikan oleh seorang da’i, bukan hanya sekedar dipahami, direnungkan dan dirasakan saja.dan bagaimana agar seorang mad’u benar-benar menjalankan apa yang disampaikan oleh da’i dengan penuh kesadaran dari dirinya sendiri.

Pengertian dan Ruang Lingkup Psikologi Dakwah

A. Pengertian Psikologi DakwahPsikologi dakwah merupakan cabang pengetahuan baru yang merupakan gabungan antara kajian psikologi dengan ilmu dakwah. Psikologi dakwah juga pada hakikatnya merupakan bagian dari psikologi islam, karena dalam psikologi dakwah, landasan yang digunakan sama dengan yang digunakan dalam psikologi islam, yaitu alqur’an dan Hadis. Oleh karena itu, untuk mempermudah pemahaman tentang psikologi dakwah maka perlu diketahui pengertian psikologi dan dakwah secara sendiri-sendiri.Secara sederhana psikologi sering disebut sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia yang merupakan gejala dari jiwanya.Sedangkan definisi yang lebih terperinci menyebutkan bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku lahiriah manusia dengan menggunakan metode observasi secara objektif, seperti terhadap rangsang (stimulus) dan jawaban (respon) yang menimbulkan tingkah laku.Menurut Syaikh Ali Mahfudz, dakwah adalah mendorong (memotivasi) manusia untuk melakukan kebaikan dan mengikuti petunjuk, memerintahkan mereka berbuat ma’ruf dan mencegahnya dari perbuatan munkar agar mereka memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.Psikologi dakwah ialah ilmu pengetahuan yang bertugas mempelajari atau membahas tentang segala gejala hidup kejiwaan manusia yang terlibat dalam proses kegiatan dakwah.  Psikologi dakwah juga diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang tingkah laku manusia yang merupakan cerminan hidup kejiwaannya untuk diajak kepada pengalaman ajaran-ajaran islam demi kesejahteraan hidup manusia di dunia dan di akhirat.Dalam referensi lain dijelaskan bahwa psikologi dakwah ialah ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan dan mengendalikan tingkah laku manusia yang terkait dalam proses dakwah. Psikologi dakwah berusaha menyingkap apa yang tersembunyi dibalik perilaku manusia yang terlibat dalam dakwah, dan selanjutnya menggunakan pengetahuan itu untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan dari dakwah itu.

B.    Tujuan dan Manfaat Mempelajari Psikologi DakwahPada proses dakwah yang bermaksud untuk mengubah sikap kejiwaan seorang mad’u, maka pengetahuan tentang psikologi dakwah menjadi sesuatu yang sangat penting. Jika dilihat dari segi psikologi, bahwa dakwah dalam prosesnya dipandang sebagai pembawa perubahan, atau suatu proses.Dari segi dakwah, psikologi banyak memberi jalan pada tujuan dakwah pemilihan materi dan

Page 5: psikologi dakwah

penetapan metodenya.Bagi seorang da’i dengan mempelajari metode psikologi dapat memungkinkan mengenal berbagai aspek atau prinsip yang dapat menolongnya dalam meneliti tingkah laku manusia dengan lebih kritis dan juga dapat memberikan kepadanya pengertian yang lebih mendalam tentang tingkah laku.Psikologi memberikan jalan bagaimana menyampaikan materi dan menetapkan metode dakwah kepada individu manusia yang merupakan makhluk yang berjiwa dan memiliki kepribadian.Tujuan psikologi dakwah adalah membantu dan memberikan pandangan kepada para da’I tentang pola dan tingkah laku para mad’u dan hal-hal yang mempengaruhi tingkah laku tersebut yang berkaitan dengan aspek kejiwaan (psikis) sehingga mempermudah para da’I untuk mengajak mereka kepada apa yang dikehendaki oleh ajaran islam.Tujuan lain dari psikologi dakwah adalah memberikan pandangan tentang mungkinnya dilakukan perubahan tingkah laku atau sikap mental psikologis sasaran dakwah atau penerangan agama sesuai dengan pola (pattern) kehidupan yang dikehendaki oleh ajaran agama yang didakwahkan (diserukan) oleh aparat dakwah atau penerangan agama itu.Dengan demikian maka psikologi dakwah mempunyai titik perhatian kepada pengetahuan tentang tingkah laku manusia.Pengetahuan ini mengajak kita kepada usaha mendalami dan memahami segala tingkah laku manusia dalam lapangan hidupnya melalui latar belakang kehidupan psikologis.Tingkah laku manusia adalah merupakan gejala dari keadaan psikologis yang terlahirkan dalam rangka usaha memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan.Perubahan tingkah laku manusia baru terjadi bilamana ia telah mengalami proses belajar dan pendidikan. Oleh karena itu, psikologi dakwah pun memperhatikan masalah pengembangan daya cipta, daya karsa dan rasa dalam proses penghayatan dan pengamalan ajaran agama.sedang factor belajar tersebut banyak dipengaruhi factor situasi dan kondisi kehidupan psikologis yang melingkupi manusia itu sendiri.Dengan memperhatikan factor-faktor perkembangan psikologis beserta cirri-cirinya maka pesan dakwah yang disampaikan oleh juru dakwah akan dapat meresap dengan suka rela serta dengan keyakinan sepenuhnya, karena hal tersebut benar-benar dapat menyentuh serta memuaskan akan kebutuhan hidup rohaniahnya.  Dengan penyampaian dakwah menggunakan pendekatan psikologis, yakni sesuai dengan tingkatan dan kebutuhan jiwa mad’u, sesuai dengan cara berfikir dan cara merasa mad’u, maka pesan dakwah pun akan mudah dipahami oleh si penerima pesan.Mempelajari psikologi dakwah, dirasakan perlu dalam rangka mengefektifkan pelaksanaan dakwah dan memaksimalkan hasil dari kegiatan dakwah. Menurut H. M. Arifin, pada hakikatnya psikologi dakwah merupakan landasan dimana metodologi dakwah seharusnya dikembangkan. Psikologi dakwah membantu para da’I memahami latar belakang hidup naluriyah manusia sebagai makhluk individual maupun sebagaimakhluk sosial. Dengan pemahaman tersebut da’I akan mampu memperhitungkan, mengendalikan serta mengarahkan perkembangan modernisasi masyarakat berdasarkan pengaruh teknologi modern yang positif. Psikologi dakwah juga dapat membantu para da’I dalam menerangkan tingkah laku yang baik dan dalam menerangkan manfaat-manfaat keimanan dan keberagaman seseorang.Dengan psikologi dakwah juga akan lebih memungkinkan seorang da’I atau peneliti memahami rahasia-rahasia hukum syara’, sehingga dapat menjadikannya lebih yakin akan kesempurnaan dan keadilan Allah SWT dan dapat menerangkan dan menetapkan hokum-hukum dengan baik dan benar kepada masyarakatnya. Psikologi dakwah juga dapat membantu da’I untuk memahami keadaan jama’ah atau masyarakatnya, tentang minat maupun kadar pengaruh ajaran yang disampaikan kepada mereka. Dengan memahami psikologi, seorang da’I akan bijaksana

Page 6: psikologi dakwah

menetapkan materi dakwah dan tingkatannya, dengan harapan tidak membosankan mad’u.Keberhasilan dakwah bukan hanya disebabkan oleh kehebatan da’I menyampaikan pesan-pesan dakwahnya, tapi lebih ditentukan oleh bagaimana masyarakat (mad’u) menafsirkan pesan dakwah yang mereka terima. Akan tetapi melalui komunikasi dakwah yang terus menerus betapapun hasilnya da’I dan mad’u sekurang-kurangnya dapat memetik tiga hal:1.    Menemukan dirinya. Misalkan, seorang da’I yang dekat dengan elit kekuasaan, ia pun tahu siapa dirinya dan apa yang harus dilakukan agar ia tetap dapat berperan dalam posisinya sebagai da’I tanpa harus menjadi munafik.2.    Mengembangkan konsep diri. Konsep diri ialah pandangan dan perasaan seseorang tentang diri sendiri.konsep diri dipengaruhi oleh orang lain, misalnya pujian atau cacian orang.3.    Menetapkan hubungan dengan dunia sekitar. Pengalaman berkomunikasi dengan aneka respon dapat dijadikan pijakan oleh da’I untuk menetapkan hubungan dirinya dengan dunia sekitarnya, apakah dalam berhubungan dengan masyarakat akan menggunakan model autoplastis, yakni ia menyesuaikan dirinya dengan orang lain, ikut arus masyarakat, atau model alloplastis, yakni masyarakatlah yang harus menyesuaikan dengan dirinya.C.    Objek Study dan Ruang Lingkup Pembahasan Psikologi DakwahObjek material psikologi adalah manusia sebagai makhluk yang berjiwa dan objek material dakwah adalah manusia sebagai makhluk yang berketuhanan. Jadi objek material psikologi dakwah, yaitu manusia sebagai makhluk yang memiliki jiwa  dan berketuhanan sesuai dengan ajaran Islam.Objek formal psikologi adalah tingkah laku manusia yang dilihat dari gejala-gejala kejiwaannya.Sedangkan objek formal dakwah adalah manusia sebagai individual ataupun sosial untuk diarahkan menuju kejalan Allah. Jadi objek psikologi dakwah adalah manusia dengan segala tingkah lakunya yang terlibat dalam proses dakwah..Manusia sebagai objek psikologi dakwah memiliki sikap dan tingkah laku yang berbeda satu dengan yang lain. Masing-masing individu memiliki karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh hereditas (pewarisan) dan lingkungannya. Karakteristik manusia yang dipengaruhi oleh hereditas dan lingkungan merupakan karakteristik manusia apa adanya. Karena itu, untuk mencapai tujuan dakwah secara maksimal kea rah ajaran agama yang sempurna, seorang da’I harus memperhatikan kondisi sasaran dakwah agar pelaksana dakwah mampu melaksanakan pendekatan-pendekatan secara psikologis yang bersifat fleksibel terhadap sasaran dakwah (mad’u).Psikologi dakwah merupakan psikologi praktis atau psikologi terapan, maka ruang lingkup pembahasannya pun berada dalam proses kegiatan dakwah dimana sasarannya adalah manusia sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial. Didalamnya melibatkan sikap dan kepribadian para juru dakwah dalam menggarap sasaran dakwah yang berupa manusia hidup yang punya sikap dan kepribadian pula. Disinilah akan terlihat adanya hubungan atau antar hubungan dan saling pengaruh mempengaruhi antara juru dakwah dengan sasaran dakwah, sehingga terwujudlah suatu rangkaian proses cybernetic INPUT yang berupa motivasi dakwah yang dibawa oleh juru dakwah dengan sikap dan kepribadiannya kearah sasaran dakwah yang berupa manusia sebagai individu dan anggota masyarakat dari mana tiga kekuatan rohaniah digerakkan (kognisi, konasi, dan emosi) melalui proses belajar sehingga timbul pengertian, kesadaran penghayatan dan pengamalan terhadap ajaran agama, yang merupakan THRUPUT, sedang tingkah laku yang berubah berupa pengamalan ajaran agama adalah merupakan OUTPUT.Dengan memperhatikan sasaran atau objek dakwah yang berupa manusia baik

Page 7: psikologi dakwah

secara individual maupun sosial atau kolektif dengan berbagai latar belakang sosio kulturalnya maka psikologi dakwah sekurang-kurangnya mempunyai ruang lingkup pembahasan dalam hal-hal sebagai berikut:1.    Pengertian psikologi dakwah dan rangkaiannya dengan psikologi lainnya.2.    Bantuan psikologi individual dan sosio atau kelompok bagi pengembangan psikologi dakwah dengan latar belakang sejarah perkembangan psikologi.3.    Faktor motivasi terhadap tingkah laku manusia dalam proses dakwah.4.    Proses dakwah dalam pengertian dan kaitannya dengan proses belajar manusia.5.    Factor leadership dalam proses kegiatan dakwah.6.    Factor pengaruh lingkungan terhadap perkembangan hidup beragama manusia.7.    Metode dakwah yang efektif merupakan permasalahan dalam dakwah.8.    Dan lain-lain yang menyangkut factor perkembangan hidup beragama pada manusia.Memperhatikan ruang lingkup pembahasan tersebut di atas, maka psikologi dakwah mempunyai tugas untuk memberikan kepada kita suatu pengertian tentang pentingnya memahami tingkah laku manusia, bagaimana meramalkannya serta mengontrolnya.Pusat perhatian psikologi terhadap proses dakwah sekurang-kurangnya meliputi empat hal:1.    Analisa terhadap seluruh komponen yang terlibat dalam proses dakwah.2.    Bagaimana pesan dakwah menjadi stimulus yang menjadi respon mad’u.3.    Bagaimana proses penerimaan pesan dakwah oleh mad’u, factor-faktor apa (personal dan situasional) yang mempengaruhinya.4.    Bagaimana dakwah dapat dilakukan secara persuasive, yaitu proses mempengaruhi dan mengendalikan perilaku mad’u dengan pendekatan psikologis atau dengan menggunakan cara berfikir dan cara merasa mad’u.

A.    Sejarah Perkembangan Psikologi, Dakwah, Psikologi Islam dan Psikologi Dakwah

1. Sejarah Perkembangan Psikologi

Beberapa abad sebelum Masehi, para ahli pikir Yunani dan Romawi telah berusaha mengetahui hidup kejiwaan manusia dengan cara-cara yang bersifat spekulatif.Pada zaman ini psikologi masih dalam ruang lingkup filsafat, Para ahli menyebutnya filsafat rohaniah, karena mereka berusaha memahami jiwa melalui pemikiran pilosofi dan merupakan bagian dari filsafat. Salah satu filsuf pada saat ini plato dan aristoteles.

Sejalan dengan dinamika hidup masyarakat untuk senantiasa mencari pemuasan dalam segala aspek kehidupannya maka pikiran manusia pun mengalami perkembangan yang bertendensi ke arah pemuasan hidup ilmiahnya yang semakin sempurna. Mulai zaman humanisme  (aufklarung), sistem dan metode berpikir manusia tidak lagi bersifat spekulatif , melainkan menuntut sistem dan metode yang bersifat rasionalistis. Di antara ahli pikir pada masa ini adalah Thomas Aquinas dan Jhon Locke.

Sejak permulaan Abad XX, psikologi makin berkembang ke arah pengkhususan studi tentang aspek-aspek kehidupan jiwa manusia yang masing-masing memiiiki ciri khas yang membedakan satu dengan yang lainnya. Adapun pengkhususan tersebut dapat dikemukakan dalam beberapa aliran sebagai berikut: a. Psiko-analisis, b. Psikologi Individual (ilmu jiwa Pribadi), c. Psikologi analitis.[1]

2. Sejarah Perkembangan Dakwah

[

Page 8: psikologi dakwah

a.      Priode Nabi Muhammad dan Khulafa al-RasyddunSejarah dakwah Nabi Muhammad dapat dibagi dalam dua fase, fase Mekkah dan Fase Madinah. Fase mekkah dimulai semenjak Rasullulah menerima wahyu pertama di gua Hira, sedangkan pada fase Madinah  dimulai ketika Nabi Muhammad menerima wahyu untuk berhijrah ke Madinah pada saat orang-orang Quraisy merencanakan pembunuhan terhadap Nabi Muhannad dan para pengikutnya.

b.     Priode umayyah, ‘Abasiyyah, dan utmaniPriode ini adalah masa dinasti Umayyah, ‘Abasiyyah, dan utsmani. Priode ini dimulai dengan berdirinya Dinasti  Bani Umayyah oleh Mu’awiyah bin abi Shafyan pada tahun keempat puluh Hijriyah hingga runtuhnya Dinasti Bani Utsmani pada tahun 1343 H/1924 M.

c.      Priode Zaman ModernPada priode ini ada yang mengambil bentuk dakwah yang bermacam-macam, ada yang berdakwah secara personal, ada juga yang bergerak secara berklompok.

3. Pemikiran ke Arah Psikologi islam

Pembicaraan tentang jiwa (ruh) dalam islam sudah di mulai sejak munculnya pemikir-pemikir islam dipanggung islam. Dimulai dengan runtuhnya peradaban Yunani Romawi dan adanya gerakan penerjemahan, komentar serta adanya karya orisinal yang dilakukan oleh para pemikir islam terutama pada masa Daulah Abasiyyah, esensi pemikiran yunani diangkat dan diperkaya. Disisi lain, para fisuf muslim juga terpengaruh oleh pemikiran Yunani dalam membahas nafs (jiwa), sehingga kubu fisafat islam diwakili oleh ibnu Rusyd terlibat perdebatan akademik berkepanjangan dengan Al-Ghazali. Dalam kurun waktu kurang lebih tujuh abad, nafs (jiwa) dibahas dalam dunia islam dalam kajian yang bersifat sufistik dan falsafi. Pembicaraan tentang nafs (jiwa) ini maka sangat memungkinkan, karena islam sendiri telah memiliki konsep sendiri tentang manusia serta unsur-unsurnya, maka sangat wajar bila para pemikir muslim juga berbicara islam dan jiwanya.

4. Pemikiran ke Arah Psikologi Dakwah

Psikologi Dakwah merupakan cabang pengetahuan baru yang merupakan gabungan antara kajian psikologi dengan ilmu dakwah. Psikologi dakwah juga pada hakikatnya merupakan bagian dari psikologi islam, karena dalam psikologi dakwah landasannya Al-Qur’an dan Hadis. Perkembanganpun sejalan dengan perkembangan pemikiran psikologi dalam islam. Ilmu ini dirasakan perlu dalam rangka mengefektifkan pelaksanaan dakwah dan memaksimalkan hasil dari kegiatan dakwah.

Di Indonesia, ilmu ini dirintis oleh H. M Arifin sekitar tahun 1990. Menurut beliau, pada hakikatnya psikologi dakwah merupakan landasan dimana metodologi dakwah seharusnya dikembangkan.Psikologi dakwah membantu para Da’I dan para penerang agama memahami latar belakang hidup naluri manusia sebagai makhluk individual maupun sebagai makhluk social.B. Kedudukan Psikologi Dakwah Dalam Ilmu Psikologi

Psikologi berdasarkan kegunaannya ada dua macam, yang pertama psikologi teoritis, yaitu ilmu yang mempelajari gejala-gejala kejiwaan untuk gejala-gejala itu sendiri. Yang kedua psikologi praktis/terapan, yaitu ilmu yang membahas segala sesuatu tentang jiwa untuk digunakan dalam praktek.[2][2]

Jika dikaitkan dengan psikologi dakwah, yang mana makna secara sepintas dapat kita definisikan sebagai ilmu pengetahuan yang bertugas mempelajari atau membahas tentang segala gejala hidup kejiwaan manusia yang terlibat dalam proses kegiatan dakwah.

[2]

Page 9: psikologi dakwah

Dari definisi diatas, dapat kita simpulkan  bahwa psikologi dakwah merupakan psikologi praktis atau psikologi terapan, karena penggunaannya lebih pada prakteknya.[3] [3]

Disamping itu pula yang dibahas dalam psikologi dakwah ialah mengenai masalah tingkah laku manusia dilihat dari segi interaksi dan interrelasi serta interkomunikasi dengan manusia lain dalam hidup kelompok sosial, disamping masalah hidup individu dengan kelainan- kelainan watak dan personality, mendapat tekanan-tekanan analisis yang mendasar dan menyeluruh, karena tidak dapat dipungkiri bahwa manusia adalah makhluk sosial.  

C. Hubungan Psikologi Dakwah dengan Ilmu Lain

Untuk memperjelas pembahasa ini, maka kami akan jelaskan satu persatu:1. Hubungan Ilmu Dakwah dengan PsikologiIslam adalah agama dakwah, agama yang menyebarluaskan kebenaran dan mengajak orang-orang yang belum mempercayainya untuk percaya,  menumbuhkan pengertian dan kesadaran umat islam agar mampu menjalankan hidup sesuai yang diperintahkan. Dalam melaksanakan proses dakwah akan menghadapi berbagai keragaman dalam berbagai hal, seperti pikiran-pikiran, pengalaman, kepribadian, dan lain-lain. Keragaman tersebut akan memberikan corak dalam menerima pesan dakwah, karena itulah untuk mengefektifkan seorang da’i ketika menyampaikan pesan dakwah kepada mad’u diperlukan memahami psikologi yang mempelajari tentang kejiwaan.2. Hubungan psikologi dakwah dengan ilmu komunikasiKegiatan dakwah adalah kegiatan komunikasi, dimana Da’i mengkomunikasikan pesan kepada Mad’u, perseorangan atau kelompok. Secara tehnis dakwah adalah komunikasi antara da’i(komunikator) dan mad’u(komunikan). Dan disini cara kerja psikologi dakwah sama dengan cara kerja psikologi komunikasi, karena manusia yang menjadi pelaku dakwah dan pelaku komuikasi adalah sama manusia yang berpikir, berperasaan, dan berkeinginan.3. Hubungan psikologi dakwah dengan psikologi   agamaPsikologi Agama (ilmu jiwa agama) meneliti sejauh mana pengaruh keyakinan agama terhadap sikap dan tingkahlaku seseorang (berfikir, bersikap, dan bereaksi).[4]Lapangan penelitian psikologi agama adalah kesadaran beragama dan pengalaman beragama. Jika psikologi berusaha menguak apa yang melatarbelakangi tingkah laku manusia yang terkait dengan dakwah, maka psikologi agama mencari seberapa besar keyakinan agama seseorang memenuhi tingkah lakunya.4. Hubungan psikologi dakwah dengan patologi socialPsikologi dakwah adalah upaya mengajak kepada ajaran agama menuju kepada kesejahteraan jiwa dan raga Mad’u dan Da’i. Sebelum memulai dakwah, para da’i perlu mengetahui lebih jauh apa saja penyakit-penyakit masyarakat yang hal itu dibahas oleh ilmu patologi sosial.5. Hubungan psikologi dakwah dengan sosiologiSosiologi menaruh perhatian pada interaksi sosial. Interaksi sosial akan terjadi apabila terjadinya komunikasi. Demikian juga kegiatan dakwah yang merupakan komunikasi antara Da’i dan Mad’u yang akan melahirkan interaksi sosial.6. Hubungan psikologi dakwah dengan psikologi individualManusia adalah makhluk individual, makhluk yang tidak bisa di bagi-bagi, terdiri dari jasmani dan rohani yang merupakan kesatuan yang utuh.Psikologi individual adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa manusia dari segi

[3]

[

Page 10: psikologi dakwah

individualitas (pribadinya). Bantuan psikologi individual terhadap psikologi dakwah terletak pada pengungkapan tentang hal ihwal hidup kejiwaan individual dengan aspek-aspek dan ciri-cirinya yang mengandung kemungkinan dapat dihampiri secara bijaksana untuk diarahkan kepada tujuan dakwah sesuai dengan kebutuhan pemuasan pribadi masing-masing melalui proses dakwah yang tepat.7. Hubungan psikologi dakwah dengan psikologi socialSelain manusia sebagai makhluk individual, secara hakiki manusia juga merupakan makhluk sosisal.Psikologi sosial merupakan landasan yang memberikan dan mengarahkan psikologi dakwah kepada pembinaan sosialisasi manusia sebagai objek dakwah karena dalam psikologi sosial dipelajari tentang peyesuaian diri manusia yang diitimbulkan oleh rangsangan-rangsangan sosial, perubahan tingkah laku sesuai rangsangan-rangsangan sosial.[5][5]

KONSEP MANUSIA MENURUT PSIKOLOGI DAN ISLAM

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di muka bumi ini.[1] Oleh karenanya manusia dijadikan khalifah Tuhan di bumi[2] karena manusia mempunyai kecenderungan dengan Tuhan.

Berbicara dan berdiskusi tentang manusia selalu menarik dan karena selalu menarik, maka masalahnya tidak pernah selesai dalam arti tuntas.Pembicaraan mengenai makhluk psikofisik ini laksana suatu permainan yang tidak pernah selesai, selalu ada saja pertanyaan mengenai manusia.[3]

II.PEMBAHASAN

Sikap seseorang biasanya ikut dipengaruhi oleh bagaimana pandangannya terhadap dirinya dan terhadap orang lain. Seseorang yang memandang dirinya sebagai yang berkuasa dan orang lain sebagai yang dikuasai cenderung bersikap otoriter. Pandangan evolusionisme biologis tentang manusia, bahwa manusia adalah binatang mamalia yang cerdas, berbeda sekali dengan pandangan spiritualisme Hindu, bahwa hakekat manusia adalah roh (atman)nya. Kalau pendidikan atau pembangunan suatu masyarakat di dasarkan kepada pandangan pertama, yang akan di perhatikan adalah pendidikan, jasmani, dan penalaran. Kalau pendidikan dan pembangunan itu di dasarkan kepada pandangan spiritualisme, yang akan diperhatikan tentu hanya pendidikan kerohanian. Demikianlah seterusnya, perbedaan sikap, orientasi pendidikan dan pembangunan pada hakekatnya kelanjutan dari bagaimana pandangan yang melaksanakannya terhadap manusia.Islam juga mengajarkan pandangan tertentu tentang manusia.Sebelum pandangan Islam ini diuraikan, terlebih dahulu ada baiknya difahami dulu perbedaan dan kelebihan manusia di banding dengan makhluk lainnya.[4]

1.Manusia menurut Islam

Dalam al-Qur’an ada beberapa kata untuk merujuk kepada arti manusia yaitu insan, basyar dan bani Adam.Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti “penampakan sesuatu yang baik dan indah”. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia disebut basyar karena kulitnya tampak jelas. Dan berbeda jauh dari kulit hewan yang lain. Al-Qur’an menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna (dual) untuk menunjuk manusia dari sudut

[5]

Page 11: psikologi dakwah

lahiriyah serta persamaanya dengan manusia seluruhnya, karena Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk menyampaikan seperti yang terungkap pada al-Qur’an.

“Aku adalah basyar (manusia) seperti kamu yang di beri wahyu”

(Q.S. Al-Kahfi, 18 : 110)

Dari sisi lain dapat diamati bahwa banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menggunakan kata basyar dengan mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar melalui tahap-tahap sehingga mencapai tahap kedewasaan. Misalnya Allah berfirman yang artinya sebagai berikut:

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya (Allah) menciptakan kamu dari sel, kemudian kamu menjadi basyar, kamu bertebaran” (Q.S. Ar- Rum, 30 : 20).

Bertebaran disini bisa diartikan berkembang biak akibat hubungan seks atau bertebaran karena mencari rizki kedua hal tersebut tidak dilakukan oleh manusia kecuali oleh orang yang memiliki kedewasaan dan tanggung jawab. Karena itu Siti Maryam as, mengungkapkan keherananya manakala akan dapat anak padahal ia tidak pernah disentuh oleh basyar (manusia) yang menggaulinya dengan berhubungan seks. (Qs Ali Imron, 3 : 47). Begitulah terlihat, penggunaan kata basyar dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia, yang menjadikannya mampu memikul suatu tanggung jawab (amanat). Dan karena itu pula, tugas khalifah di bebankan kepada basyar (Qs Al Hajr 15 : 28 yang menggunakan basyar).

Sedangkan kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis dan tampak.Pendapat ini jika dilihat dari sudut pandang al-Qur’an lebih tepat dibanding dengan yang berpendapat bahwa kata insan terambil dari kata nasiya (lupa, lalai) atau nasa-yanusu (terguncang).Kata insan digunakan al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya.Jiwa dan raga, psikis dan fisik, manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lainnya, adalah akibat perbedaan fisik, psikis (mental) dan kecerdasan.

Yang jelas sekali kita dapat melihat bahwa al-Qur’an menyebutkan jiwa manusia sebagai suatu sumber khas pengetahuan.Menurut al-Qur’an seluruh alam raya ini merupakan manifestasi Allah, di dalamnya terdapat tanda-tanda serta berbagai bukti untuk mencapai kebenaran. Al-Qur’an mendefinisikan dunia eksternal sebagai al-ayat dan dunia internal sebagai jiw, dan dengan cara ini mengingat kita akan pentingnya jiwa manusia itu ungkapan tanda-tanda dan jiwa-jiwa yang terdapat dalam kepustakaan Islam bersumber dari pertanyaan sebagai berikut :

“Aku akan tunjukkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan-Ku dari yang terbentang di horison ini dan dari jiwa mereka sendiri, sehingga tahulah mereka akan kebenaran itu”. (Q.S Fushilat, 41 : 53)

Dalam al-Qur’an, manusia berulangkali diangkat derajatnya karena aktualisasi jiwanya secara positif, sebaliknya berulangkali pula manusia direndahkan karena aktualisasi jiwa yang negatif. Mereka dinobatkan jauh mengungguli alam surgawi, bumi dan bahkan para malaikat, tetapi pada saat yang sama, mereka bisa tak lebih berarti dibandingkan dengan makhluk hewani. Manusia dihargai sebagai makhluk yang mampu menaklukkan alam, namun bisa juga mereka merosot menjadi “yang paling rendah dari segala yang rendah” juga karena jiwanya.[5]

2.Manusia menurut Psikologi

Page 12: psikologi dakwah

Manusia sejak semula ada dalam suatu kebersamaan, ia senantiasa berhubungan dengan manusia-manusia lain dalam wadah kebersamaan, persahabatan, lingkungan kerja, rukun warga dan rukun tetangga, dan bentuk-bentuk relasi sosial lainnya. Dan sebagai partisipan kebersamaan sudah pasti ia mendapat pengaruh lingkungannya, tetapi sebaliknya ia pun dapat mempengaruhi dan memberi corak kepada lingkungan sekitarnya. Manusia dilengkapi antara lain cipta, rasa, karsa, norma, cita-cita dan nurani sebagai karakteristik kemanusiaannya, kepadanya diturunkan pula agama agar selain ada relasi dengan sesamanya, juga ada hubungan degan sang pencipta.[6]

a.Manusia menurut psikologi Barat

Bertolak dari pengertian psikologi sebagai ilmu yang menelaah perilaku manusia, para ahli psikologi umumnya berpandangan bahwa kondisi ragawi, kualitas kejiwaan, dan situasi lingkungan merupakan penentu-penentu utama perilaku dan corak kepribadian manusia.Determinan tri-dimentional organo-biologi, psiko-edukasi dan sosiokultural in dapat dikatakan dianut oleh semua ahli di dunia psikologi dan psikiatri. Dalam hal ini untuk ruhani sama sekali tak masuk hitungan, karena dianggap termasuk dimensi kejiwaan dan merupakan penghayatan subjektif semata-mata.

Selain itu psikologi, apapun alirannya menunjukkan bahwa filsafat manusia yang mendasarinya bercorak anthroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai pusat dari segala pengalaman dan relasi-relasinya serta penentu utama segala peristiwa yang menyangkut masalah manusia dan kemanusiaan. Pandangan ini menyangkut derajat manusia ke tempat teramat tinggi, ia seakan-akan prima causa yang unik. Pemilik akal budi yang sangat hebat, serta memiliki pula kebebasan penuh untuk berbuat apa yang dianggap baik dan sesuai baginya.

Sampai dengan penghujung abad XX ini terdapat empat aliran besar psikologi :

- Psikoanalisis (psychoanalysis)

- Psikologi perilaku (behavior psychology)

- Psikologi humanistik (humanistic psychology)

- Psikologi transpersonal (transpersonal psychology)

Masing-masing aliran meninjau manusia dari sudut pandang berlainan dan dengan metodologi tertentu berhasil menentukan berbagai dimensi dan asas tentang kehidupan manusia, kemudian membangun teori dan filsafat mengenai manusia.[7]

Menurut Freud, kepribadian manusia terdiri dari 3 kategori : aspek biologis (struktur ID), psikologis (struktur ego), dan sosiologis (struktur super ego). Dengan pembagian 3 aspek ini maka tingkatan tertinggi kepribadian manusia adalah moralitas dan sosialitas, dan tidak menyentuh pada aspek keagamaan, lebih lanjut Freud menyatakan bahwa tingkatan moralitas digambarkan sebagai tingkah laku yang irasional, sebab tingkah laku hanya mengutamakan nilai-nilai luas, bukan nilai-nilai yang berada dalam kesadaran manusia sendiri.[8]

Teori Freud ini banyak mendapat kecaman dari psikolog lain, Paul Riccoeur misalnya menyatakan bahwa teori Freud telah memperkuat pendapat

Page 13: psikologi dakwah

orang-orang atheis, tetapi ia belum mampu menyakinkan atau membersihkan imam orang-orang yang beragama.

Psikolog lain yang membantah teori Freud adalah Allport, menurutnya pemeluk agama yang sholeh justru mampu mengintegrasikan jiwanya dan mereka tidak pernah mengalami hambatan-hambatan hidup secara serius. Ringkasnya perlu adanya aspek agama dalam memahami kepribadian manusia.[9]

b.Manusia menurut psikologi Islam

Sebagaimana diterangkan di atas, bahwa teori Freud tentang kepribadian manusia mendapat kecaman, maka ditawarkanlah manusia dalam perspektif psikologi Islam.

Penentuan struktur kepribadian tidak dapat terlepas dari pembahasan substansi manusia, sebab dengan pembahasan substansi tersebut dapat diketahui hakikat dan dinamika prosesnya.Pada umumnya para ahli membagi subtansi manusia atas jasad dan ruh, tanpa memasukkan nafs. Masing-masing aspek yang berlawanan ini pada prinsipnya saling membutuhkan, jasad tanpa ruh merupakan substansi yang mati, sedang ruh tanpa jasad tidak dapat teraktualisasi, karena saling membutuhkan maka diperlukan perantara yang dapat menampung kedua naluri yang berlawanan, yang dalam terminologi psikologi Islam disebut dengan nafs. Pembagian substansi tersebut seiring dengan pendapat Khair al-Din al-Zarkaly yang di rujuk dari konsep Ikhwan al-Shafa.

1)Substansi jasmani

Jasad adalah substansi manusia yang terdiri atas struktur organisme fisik. Organisme fisik manusia lebih sempurna di banding dengan organisme fisik makhluk-makhluk lain. Setiap makhluk biotik lahiriyah memiliki unsur material yang sama, yakni terbuat dari unsur tanah, api, udara dan air.[10]

Jisim manusia memiliki natur tersendiri.Al-Farabi menyatakan bahwa komponen ini dari alam ciptaan, yang memiliki bentuk, rupa, berkualitas, berkadar, bergerak dan diam serta berjasad yang terdiri dari beberapa organ. Begitu juga al-Ghazali memberikan sifat komponen ini dengan dapat bergerak, memiliki ras, berwatak gelap dan kasar, dan tidak berbeda dengan benda-benda lain. Sementara Ibnu Rusyd berpendapat bahwa komponen jasad merupakan komponen materi, sedang menurut Ibnu Maskawaih bahwa badan sifatnya material, Ia hanya dapat menangkap yang abstrak. Jika telah menangkap satu bentuk kemudian perhatiannya berpindah pada bentuk yang lain maka bentuk pertama itu lenyap.[11]

2)Substansi rohani

Ruh merupakan substansi psikis manusia yang menjadi esensi kehidupannya.Sebagian ahli menyebut ruh sebagai badan halus (jism latief), ada yang substansi sederhana (jaubar basiib), dan ada juga substansi ruhani (jaubar ruhani). Ruh yang menjadi pembeda antara esensi manusia dengan esensi makhluk lain. Ruh berbeda dengan spirit dalam terminologi psikologi, sebab term ruh memiliki arti jaubar (subtance) sedang spirit lebih bersifat aradh (accident).

Ruh adalah substansi yang memiliki natur tersendiri. Menurut Ibnu Sina, ruh adalah kesempurnaan awal jisim alami manusia yang tinggi yang memiliki kehidupan dengan daya. Sedang bagi al-Farabi, ruh berasal dari alam perintah (amar) yang mempunyai sifat berbeda dengan jasad.[12]

Page 14: psikologi dakwah

Menruut Ibnu Qoyyim al-Jauzy menyatakan pendapatnya bahwa, roh merupakan jisim nurani yang tinggi, hidup bergerak menembusi anggota-anggota tubuh dan menjalar di dalam diri manusia. Menurut Imam al-Ghazaly berpendapat bahwa roh itu mempunyai dua pengertian : roh jasmaniah dan roh rihaniah. Roh jasmaniah ialah zat halus yang berpusat diruangan hati (jantung) serta menjalar pada semua urat nadi (pembuluh darah) tersebut ke seluruh tubuh, karenanya manusia bisa bergerak (hidup) dan dapat merasakan berbagai perasaan serta bisa berpikir, atau mempunyai kegiatan-kegiatan hidup kejiwaan.Sedangkan roh rohaniah adalah bagian dari yang ghaib.Dengan roh ini manusia dapat mengenal dirinya sendiri, dan mengenal Tuhannya serta menyadari keberadaan orang lain (kepribadiam, ber-ketuhanan dan berperikemanusiaan), serta bertanggung jawab atas segala tingkah lakunya.

Perkembangan Jiwa Beragama Pada Masa Anak-anak dan Remaja

Usia anak-anak dan remaja adalah masa dimana segala sesuatu dengan mudah dibentuk dan akan sangat menentukan bagaimana selanjutnya dimasa yang akan datang. Hal itulah yang mendasari betapa pentingnya penelaahan dan penelitian dilakukan sehingga kita tidak akan melakukan kesalahan-kesalahan fatal dalam membentuk karakter anak yang tentunya akan menjadi penerus kita menjadi khalifah di muka bumi ini kelak. Menjadi khalifah atau pemimpin itu adalah sebuah tanggung jawab besar yang akan dimintai pertanggungjawabanya kelak, sehingga kita perlu membekali dengan segala persiapan sedini mungkin terhadap anak yang notabenenya akan menjadi penerus kita kelak.

Dapat dikatakan bahwa sikap atau kepribadian seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, dan latihan-latihan yang dilalui pada masa kanak-kanak. Seseorang yang pada masa kecilnya mendapatkan pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan terhadap hal-hal yang religius, santun dan ringan tangan (suka membantu) terhadap sesama, empatik terhadap kesusahan dan segala masalah persoalan sosial di lingkungan sekitarnya, maka setelah dewasa nanti akan merasakan pentingnya nilai-nilai agama didalam hidupnya (religius) dan kepribadian (private).

Pendidikan agama haruslah ditanam sejak dini. Karena pendidikan agama sangat penting untuk tumbuh kembang jiwa anak maupun remaja. Dengan agama yang berlandaskan akidah dan akhlaq dapat mengarahkan perilaku anak maupun remaja ke perilaku yang baik. Dengan pendidikan agama tentunya diharapkan adanya implikasi dari rasa agama anak dan remaja yang baik juga.

A. Perkembangan Jiwa Beragama

Dalam rentang kehidupan terdapat beberapa tahap perkembangan. Menurut Kohnstamm, tahap perkembangan kehidupan manusia dibagi menjadi lima periode, yaitu:

1. Umur 0 – 3 tahun, periode vital atau menyusuli.2. Umur 3 – 6 tahun, periode estetis atau masa mencoba dan masa bermain.3. Umur 6 – 12 tahun, periode intelektual (masa sekolah)4. Umur 12 – 21 tahun, periode social atau masa pemuda.5. Umur 21 tahun keatas, periode dewasa atau masa kematangan fisik dan

psikis seseorang.

Page 15: psikologi dakwah

Elizabeth B. Hurlock merumuskan tahap perkembangan manusia secara lebih lengkap sebagai berikut:

1. Masa Pranatal, saat terjadinya konsepsi sampai lahir.2. Masa Neonatus, saat kelahiran sampai akhir minggu kedua.3. Masa Bayi, akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.4. Masa Kanak- Kanak awal, umur 2 - 6 tahun.5. Masa Kanak- Kanak akhir, umur 6 - 10 atau 11 tahun.6. Masa Pubertas (pra adolesence), umur 11 - 13 tahun7. Masa Remaja Awal, umur 13 - 17 tahun. Masa remaja akhir 17 - 21 tahun.8. Masa Dewasa Awal, umur 21 - 40 tahun.9. Masa Setengah Baya, umur 40 – 60 tahun.10. Masa Tua, umur 60 tahun keatas.

B. Perkembangan Jiwa Beragama Pada Masa Anak-anak

1. Agama Pada Masa Anak- Anak

Sebagaimana dijelaskan diatas, yang dimaksud dengan masa anak- anak adalah sebelum berumur 12 tahun. Jika mengikuti periodesasi yang dirumuskan Elizabeth B. Hurlock, dalam masa ini terdiri dari tiga tahapan:

1. 0 – 2 tahun (masa vital)

2. 2 – 6 tahun (masa kanak- kanak)

3. 6 – 12 tahun (masa sekolah)

Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata- kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang- orang disekelilingnya yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah perhatiannya terhadap kata tuhan itu tumbuh.

Perasaan si anak terhadap orang tuanya sebenarnya sangat kompleks. Ia merupakan campuran dari bermacam- macam emosi dan dorongan yang saling bertentangan. Menjelang usia 3 tahun yaitu umur dimana hubungan dengan ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan bantuan fisik, akan tetapi meningkat lagi pada hubungan emosi dimana ibu menjadi objek yang dicintai dan butuh akan kasih sayangnya, bahkan mengandung rasa permusuhan bercampur bangga, butuh, takut dan cinta padanya sekaligus.

Menurut Zakiah Daradjat, sebelum usia 7 tahun perasaan anak terhadap tuhan pada dasarnya negative. Ia berusaha menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan tuhan. Sedang gambaran mereka tentang Tuhan sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan, tempat dan

Page 16: psikologi dakwah

bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali jika orang tua anak mendidik anak supaya mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan. Namun pada pada masa kedua (27 tahun keatas) perasaan si anak terhadap Tuhan berganti positif (cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi oleh rasa percaya dan merasa aman.

2. Tahap Perkembangan Beragama Pada Anak

Sejalan dengan kecerdasannya, perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian:

1. The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng)

Pada tahap ini anak yang berumur 3 – 6 tahun, konsep mengeanai Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi agama anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oelh dongeng- dongeng yang kurang ,masuk akal. Cerita akan Nabi akan dikhayalkan seperti yang ada dalam dongeng- dongeng.

Pada usia ini, perhatian anak lebih tertuju pada para pemuka agama daripada isi ajarannya dan cerita akan lebih menarik jika berhubungan dengan masa anak-anak karena sesuai dengan jiwa kekanak- kanakannya. Dengan caranya sendiri anak mengungkapkan pandangan teologisnya, pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada individual, emosional dan spontan tapi penuh arti teologis.

2. The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)

Pada tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan sebagai bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan pikiran atau logika.

Pada tahap ini teradapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang sebagai permulaan pertumbuhan logis, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya.

3. The Individual Stage (Tingkat Individu)

Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang diindividualistik ini terbagi menjadi tiga golongan:

a. Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.

b. Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan).

c. Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama.

Berkaitan dengan masalah ini, imam bawani membagi fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat bagian, yaitu:

Page 17: psikologi dakwah

a. Fase dalam kandungan

Untuk memahami perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan dengan psikis ruhani. Meski demikian perlu dicatat bahwa perkembangan agama bermula sejak Allah meniupkan ruh pada bayi, tepatnya ketika terjadinya perjanjian manusia atas tuhannya,

b. Fase bayi

Pada fase kedua ini juga belum banyak diketahui perkembangan agama pada seorang anak. Namun isyarat pengenalan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadis, seperti memperdengarkan adzan dan iqamah saat kelahiran anak.

c. Fase kanak- kanak

Masa ketiga tersebut merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai keagamaan. Pada fase ini anak sudah mulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika berhubungan dengan orang-orang orang disekelilingnya. Dalam pergaulan inilah ia mengenal Tuhan melalui ucapan- ucapan orang disekelilingnya. Ia melihat perilaku orang yang mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada usia kanak- kanak belum mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan tetapi disinilah peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan tindakan- tindakan agama sekalipun sifatnya hanya meniru.

d. Masa anak sekolah

Seiring dengan perkembangan aspek- aspek jiwa lainnya, perkembangan agama juga menunjukkan perkembangan yang semakin realistis. Hal ini berkaitan dengan perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang.

3. Sifat agama pada anak

Sifat keagamaan pada anak dapat dibagi menjadi enam bagian:

a. Unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik)

Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, cukup sekedarnya saja. Dan mereka merasa puas dengan keterangan yang kadang- kadang kurang masuk akal. Menurut penelitian, pikiran kritis baru muncul pada anak berusia 12 tahun, sejalan dengan perkembangan moral.

b. Egosentris

Sifat egosentris ini berdasarkan hasil ppenelitian Piaget tentang bahasa pada anak berusia 3 – 7 tahun. Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak mempunyai arti seperti orang dewasa.

Pada usia 7 – 9 tahun, doa secara khusus dihubungkan dengan kegiatan atau gerak- gerik tertentu, tetapi amat konkret dan pribadi. Pada usia 9 – 12 tahun ide tentang doa sebagai komunikasi antara anak dengan ilahi mulai

Page 18: psikologi dakwah

tampak. Setelah itu barulah isi doa beralih dari keinginan egosentris menuju masalah yang tertuju pada orang lain yang bersifat etis.

c. Anthromorphis

Konsep anak mengenai ketuhanan pada umumnya berasal dari pengalamannya. Dikala ia berhubungan dengan orang lain, pertanyaan anak mengenai (bagaimana) dan (mengapa) biasanya mencerminkan usaha mereka untuk menghubungkan penjelasan religius yang abstrak dengan dunia pengalaman mereka yang bersifat subjektif dan konkret.

d. Verbalis dan Ritualis

Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh dari sebab ucapan (verbal). Mereka menghafal secara verbal kalimat- kalimat keagamaan dan mengerjakan amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman mereka menurut tuntunan yang diajarkan pada mereka. Shalat dan doa yang menarik bagi mereka adalah yang mengandung gerak dan biasa dilakukan (tidak asing baginya).

e. Imitatif

Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak pada dasarnya diperoleh dengan meniru. Dalam hal ini orang tua memegang peranan penting.

Pendidikan sikap religius anak pada dasarnya tidak berbentuk pengajaran, akan tetapi berupa teladan

f. Rasa heran

Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak. Berbeda dengan rasa heran pada orang dewasa, rasa heran pada anak belum kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum pada keindahan lahiriah saja. Untuk itu perlu diberi pengertian dan penjelasan pada mereka sesuai dengan tingkat perkembangan pemikirannya. Dalam hal ini orang tua dan guru agama mempunyai peranan yang sangat penting

C. Perkembangan Jiwa Beragama Pada Remaja

1. Perkembangan Jiwa Beragama Pada Remaja

Dalam peta psikologi remaja terdapat tiga bagian:

a. Fase Pueral

Pada masa ini remaja tidak mau dikatakan anak- anak, tetapi juga tidak bersedia dikatakan dewasa. Pada fase pertama ini merasa tidak tenang.

b. Fase Negative

Fase kedua ini hanya berlangsung beberapa bulan saja, yang ditandai oleh sikap ragu- ragu, murung, suka melamun dan sebagainya.

Page 19: psikologi dakwah

c. Fase Pubertas

Masa ini yang dinamakan dengan Masa Adolesen

Dalam pembahasan ini , Luella Cole sebagaimana disitir kembali oleh Hanna Jumhanna Bastaman, membagi peta remaja menjadi empat bagian:

1. Preadolescence : 11-13 tahun (perempuan) dan 13-15 tahun (laki- laki)2. Early Adolescence : 13-15 tahun (perempuan) dan 15-17 tahun (laki-

laki)3. Middle Adolescence : 15-18 tahun (perempuan) dan 17-19 tahun (laki-

laki)4. Late Adolescence : 18-21 tahun (perempuan) dan 19-21 tahun (laki-

laki).

2. Perasaan Beragama Pada Remaja

Gambaran remaja tentang Tuhan dengan sifat- sifatnya merupakan bagian dari gambarannya terhadap alam dan lingkungannya serta dipengaruhi oleh perasaan dan sifat dari remaja itu sendiri. Keyakinan agama pada remaja merupakan interaksi antara dia dengan lingkungannya. Misalnya, kepercayaan remaja akan kekuasaan tuhan menyebabkannya pelimpahan tanggung jawab atas segala persoalan kepada tuhan, termasuk persoalan masyarakat yang tidak menyenangkan, seperti kekacauan, ketidak adilan, penderitaan, kezaliman, persengkataan, penyelewengan dan sebagainya yang terdapat dalam masyarakat akan menyebabkan mereka kecewa pada tuhan, bahkan kekecewaan tersebut dapat menyebabkan memungkiri kekuasaan tuhan sama sekali.

Perasaan remaja kepada Tuhan bukanlah tetap dan stabil, akan tetapi adalah perasaan yang yang tergantung pada perubahan- perubahan emosi yang sangat cepat, terutama pada masa remaja pertama. Kebutuhan akan allah misalnya, kadang- kadang tidak terasa jika jiwa mereka dalam keadaan aman, tentram dan tenang. Sebaliknya, Allah sangat dibutuhkan apabila mereka dalam keadaan gelisah, karena menghadapi musibah atau bahaya yang mengancam ketika ia takut gagal atau merasa berdosa.

3. Motivasi Beragama Pada Remaja

Menurut Nico Syukur Dister Ofm, motifasi beragama dibagi menjadi empat motivasi, yaitu:

1. Motivasi yang didorong oleh rasa keinginan untuk mengatasi frustasi yang ada dalam kehidupan, baik frustasi karena kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan alam, frustasi social, frustasi moral maupun frustasi karena kematian.

2. Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat.

3. Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk memuaskan rasa ingin tahu manusia atau intelek ingin tahu manusia.

4. Motivasi beragama karena ingin menjadikan agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan.

4. Sikap Remaja Dalam Beragama

Page 20: psikologi dakwah

Terdapat empat sikap remaja dalam beragama, yaitu:

1. Percaya ikut- ikutan

Percaya ikut- ikutan ini biasanya dihasilkan oleh didikan agama secara sederhana yang didapat dari keluarga dan lingkungannya. Namun demikian ini biasanya hanya terjadi pada masa remaja awal (usia 13-16 tahun). Setelah itu biasanya berkembang kepada cara yang lebih kritis dan sadar sesuai dengan perkembangan psikisnya.

2. Percaya dengan kesadaran

Semangat keagamaan dimulai dengan melihat kembali tentang masalah- masalah keagamaan yang mereka miliki sejak kecil. Mereka ingin menjalankan agama sebagaio suatu lapangan yang baru untuk membuktikan pribadinya, karena ia tidak mau lagi beragama secara ikut- ikutan saja. Biasanya semangat agama tersebut terjadi pada usia 17 tahun atau 18 tahun. Semangat agama tersebut mempunyai dua bentuk:

a. Dalam bentuk positif

semangat agama yang positif, yaitu berusaha melihat agama dengan pandangan kritis, tidak mau lagi menerima hal- hal yang tidak masuk akal. Mereka ingin memurnikan dan membebaskan agama dari bid’ah dan khurafat, dari kekakuan dan kekolotan.

b. Dalam bentuk negatif

Semangat keagamaan dalam bentuk kedua ini akan menjadi bentuk kegiatan yang berbentuk khurafi, yaitu kecenderungan remaja untuk mengambil pengaruh dari luar kedalam masalah- masalah keagamaan, seperti bid’ah, khurafat dan kepercayaan- kepercayaan lainnya.

3. Percaya, tetapi agak ragu- ragu

Keraguan kepercayaan remaja terhadap agamanya dapat dibagi menjadi dua:

a. Keraguan disebabkan kegoncangan jiwa dan terjadinya proses perubahan dalam pribadinya. Hal ini merupakan kewajaran.

b. Keraguan disebabkan adanya kontradiksi atas kenyataan yang dilihatnya dengan apa yang diyakininya, atau dengan pengetahuan yang dimiliki.

4. Tidak percaya atau cenderung ateis

Perkembangan kearah tidak percaya pada tuhan sebenarnya mempunyai akar atau sumber dari masa kecil. Apabila seorang anak merasa tertekan oleh kekuasaan atau kezaliman orang tua, maka ia telah memendam sesuatu tantangan terhadap kekuasaan orang tua, selanjutnya terhadap kekuasaan apa pun, termasuk kekuasaan Tuhan.

5. Faktor- Faktor Keberagamaan

Page 21: psikologi dakwah

Robert H. Thouless mengemukakan empat faktor keberagamaan yang dimasukkan dalam kelompok utama, yaitu:

Pengaruh- pengaruh sosial Berbagai pengalaman Kebutuhan Proses pemikiran

Faktor sosial mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keberagamaan, yaitu: pendidikan orang tua, tradisi- tradisi sosial dan tekanan- tekanan lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan.

Faktor lain yang dianggap sebagai sumber keyakinan agama adalah kebutuhan- kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi secara sempurna, sehingga mengakibatkan terasa adanya kebutuhan akan kepuasan agama. Kebutuhan- kebutuhan tersebut dapat dikelompokkan dalam empat bagian, antara lain kebutuhan akan keselamatan, kebutuhan akan cinta, kebutuhan untuk memperoleh harga diri dan kebutuhan yang timbul karena adanya kematian.

Faktor terakhir adalah pemikiran yang agaknya relevan untuk masa remaja, karena disadari bahwa masa remaja mulai kritis dalam menyikapi soal- soal keagamaan, terutama bagi mereka yang mempunyai keyakinan secara sadar dan bersikap terbuka. Mereka akan mengkritik guru agama mereka yang tidak rasional dalam menjelaskan ajaran- ajaran agama islam, khususnya bagi remaja yang selalu ingin tahu dengan pertanyaan- pertanyaan kritisnya. Meski demikian, sikap kritis remaja juga tidak menafikkan faktor- faktor lainnya, seperti faktor berbagai pengalaman.