Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
-
Upload
noer-fauzi -
Category
Documents
-
view
65 -
download
0
Transcript of Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
1/34
Sajogyo Institutes Working Paper
No. 5 | 2013
RALAT POLITIK HUKUM AGRARIA OLEH
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Masyarakat Hukum Adat adalah Bukan Penyandang Hak, dan
Bukan Subjek Hukum atas Wilayah Adatnya
Oleh
Noer Fauzi Rachman
SAJOGYO INSTITUTEJl. Malabar No. 22, Bogor,
Jawa Barat 16151
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
2/34
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
3/34
Tentang Sajogyo Institute
Sajogyo Institute didirikan pada tanggal 10 Maret 2005. Sajogyo Institute adalah lembaga
yang bergerak dalam produksi dan layanan pengetahuan untuk kemajuan gerakan sosial dan
perbaikan kebijakan agraria, dan pembangunan pedesaan di Indonesia melalui penelitian,
pendidikan, pelatihan, dan advokasi kebijakan, dengan tujuan untuk membangun massakritis dalam gerakan menegakkan keadilan agraria dan membangun kemandirian desa. Prof.
Sajogyo merupakan salah satu pendiri Yayasan dan pemberi wakaf tanah yang berada di Jl.
Malabar 22, Bogor, Jawa Barat, dengan keseluruhan bangunan rumah dan perpustakaan
beserta isinya.
Sajogyo Institutes Working PaperNo. 5 | 2013
2013 Sajogyo Institute
Penyebarluasan dan penggandaan dokumen ini diperkenankan sepanjang untuk tujuan
pendidikan dan tidak digunakan untuk tujuan komersial.
Usulan penulisan dalam Daftar Pustaka:
Rachman, Noer Fauzi. 2013. Ralat Politik Hukum Agraria Telah Dilakukan Oleh Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia: Masyarakat Hukum Adat adalah Bukan Penyandang Hak, dan
Bukan Subjek Hukum atas Wilayah Adatnya. Sajogyo Institutes Working Paper No. 5/2013.
Bogor: Sajogyo Institute.
ISSN Digital : -
ISSN Cetak : -
Working Paper ini menggambarkan pandangan pribadi penulis, bukan pandangan dan
kebijakan Sajogyo Institute. Penulis lah yang bertanggungjawab terhadap keseluruhan isi
Working Paper ini.
Sajogyo Institute
Jl. Malabar No. 22, Bogor,
Jawa Barat 16151Telepon/Fax : (0251) 8374048
Email: [email protected]
Situs maya: http://www.sajogyo-institute.or.id
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
4/34
RALAT POLITIK HUKUM AGRARIA OLEH
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Masyarakat Hukum Adat adalah Bukan Penyandang Hak, dan Bukan Subjek
Hukum atas Wilayah Adatnya
Abstrak
Sejak 16 Mei 2013, hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara
yang berada di bawah penguasaan Kementerian Kehutanan, tapi hutan adat
adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
Mahkamah Konstitusi memutuskan demikian dalam perkara nomor 35/PUU-
X/2012, berkenaan dengan gugatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN) bersama dua anggotanya, yakni kesatuan masyarakat hukum adat
Kenegerian Kuntu, dan kesatuan masyarakat hukum adat Kasepuhan Cisitu.
Naskah ini bermaksud mengapresiasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia itu yang menegaskan norma konstitusional tertinggi bagi
perundang-undangan Republik Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi No.
35/PUU-X/2012 meralat kekeliruan dari pasal 1.6, dan beberapa pasal terkait
lainnya, dalam Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, dengan
menegaskan status masyarakat hukum adat sebagai penyandang hak dan
subjek hukum atas tanah-wilayah adatnya itu. Naskah ini juga menunjukkan
sejumlah indikasi adanya kemelut yang belum terbukti bisa membuat status
masyarakat hukum adat yang telah ditegaskan itu bisa mewujud dalam
kenyataan.
Kata-kata Kunci: Indonesia, masyarakat adat, konflik agraria, penyandang
hak.
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
5/34
Daftar Isi
Abstrak ii
Pengantar 1
Ringkasan Isi Putusan MK 35 1
Makna Putusan MK 35 5
Perjuangan Hak Kewarganegaraan Bermula dari Perjuangan
Perubahan Kategori
12
Pengakuan atau Penyangkalan? 16
Kesimpulan dan Penutup 21
Ucapan Terimakasih 23
Lampiran 24
Daftar Pustaka 26
Daftar Tabel
Tabel 1. Konstruksi Penguasaan Negara atas Sumber Daya 12
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
6/34
Sajogyo Institutes Working Paper No. 5, 2013 | 1
jika dikaitkan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
menjadi tugas negara bagaimana pengusahaan sumberdaya
alam yakni bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat (secara adil dan merata). Hal itu tidak dapat dicapaidengan menegakkan hukum semata karena ternyata hukum
yang berkenaan dengan sumberdaya alam mengandung
cacat yang, jika ditegakkan, justru akan menimbulkan
ketidakadilan sosial. Penegakan hukum sumberdaya alam
yang tidak adil akan mengancam eksistensi masyarakat
hukum adat yang sangat rentan penggusuran oleh mereka
yang mengatasnamakan atau izin dari negara
(Ahmad Sodiki, 2012)
Pengantar
Naskah ini bermaksud mengapresiasi Putusan Mahkamah Konstitusi
atas perkara nomor 35/PUU-X/2012.1 Bagian awal naskah akan mengurai
terlebih dahulu isi secara ringkas isi Putusan itu, lalu akan disajikan makna
penegasan norma konstiusional itu, terutama berkenaan dengan perjuangan
agraria yang dilansir oleh AMAN (Aliansi masyarakat Adat Nusantara).
Selanjutnya akan disajikan bagaimana berbagai tanggapan awal dari berbagai
pihak, termasuk Presiden Republik Indonesia, Kemenhut, dan AMAN sendiri
beserta para pendukungnya. Di bagian penutup, akan disajikan sejumlah
catatan untuk penyelidikan lebih lanjut.
Ringkasan Isi Putusan MK 35
Putusan MK itu meralat kekeliruan praktek kelembagaan Kementerian
Kehutanan dengan menegaskan norma konstitusional tertinggi, yakni
pengakuan status masyarakat hukum adat sebagai penyandang hak dan
subjek hukum atas tanah-wilayah adatnya itu. Sebagai penjaga norma
konstitusi (constitutional guardian) dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia, MK telah menegaskan bahwa selama ini Undang-undang No. 41
1Nomor ini adalah nomor pendafaran perkara. 35 adalah nomor urut perkara; PUU merupakan singkatan
dari Pengujian Undang-undang. Angka X menandai tahun ke-sepuluh Mahkamah Konstitusi, dan tahun 2012
menunjukkan tahun ketika perkara itu didaftarkan.
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
7/34
2 | RALAT POLITIK HUKUM AGRARIA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA:Masyarakat Hukum Adat adalah Bukan Penyandang Hak, dan Bukan Subjek Hukum atas
Wilayah Adatnya
tentang Kehutanan telah salah secara konstitusional memasukkan hutan
adat ke dalam kategori hutan negara. Kategorisasi itu, yang telahdipekerjakan sedemikian rupa lamanya oleh praktek-praktek kelembagaan
pemerintah, adalah bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 yang berlaku,
termasuk pasal 18B yang berbunyi bahwa Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur
dalam undang-undang. Menurut MK,
(D)alam ketentuan konstitusional tersebut, terdapat satu hal pentingdan fundamental dalam lalu-lintas hubungan hukum. Hal penting danfundamental tersebut adalah masyarakat hukum adat tersebut secara
konstitusional diakui dan dihormati sebagai penyandang hak yang
dengan demikian tentunya dapat pula dibebani kewajiban. Dengandemikian masyarakat hukum adat adalah subjek hukum. Sebagai
subjek hukum di dalam suatu masyarakat yang telah menegara makamasyarakat hukum adat haruslah mendapat perhatian sebagaimana
subjek hukum yang lain ketika hukum hendak mengatur, terutama
mengatur dalam rangka pengalokasian sumber-sumber kehidupan(Mahkamah Konstitusi 2012:168).
Beberapa istilah kunci dalam kalimat di atas itu perlu penjelasan.
Sebagaimana diterangkan oleh Wignyosoebroto (2012) Istilah masyarakat
hukum adat sebaiknya dipahami dari dipahami dalam padanan bahasa
Belanda rechtsgemeenschap, dan dasar pembentukan katanya, yakni
masyarakat hukum dan adat, dan bukan masyarakat dan hukum adat.
Masyarakat hukum ini dipadankan pula dengan istilah persekutuan hukum(seperti yang dipakai oleh Muhamad Yamin). Istilah ini juga diberi kata
kesatuan didepannya, hingga menjadi kesatuan masyarakat hokum (seperti
pada penjelasan umum angka 9 UU no. 22/1999). Masyarakat hukum adalah
suatu subjek hukum tersendiri, yang dibedakan dengan subjek hukum
lainnya, seperti individu, pemerintah, perusahaan, koperasi, yayasan atau
perkumpulan. Istilah penyandang hak yang ditabalkan pada masyarakat
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
8/34
Sajogyo Institutes Working Paper No. 5, 2013 | 3
hukum itu, dipakai oleh Putusan MK itu dengan maksud tersediri bahwa
masyarakat adat itu memiliki konstitusi yang sudah ada dalam dirinya sendiri
sebagai pihak yang berhak (entitled), dan hak itu bukanlah sesuatu yang
diterimanya sebagai pemberian, melainkan sebagai bawaan. Dalam kontek
kebijakan agraria kehutanan, hal ini memiliki implikasi yang penting untuk
membedakan antara ijin pemanfaatan atas suatu bidang hutan Negara yang
merupakan pemberian dari pemerintah (dalam hal ini adalah Menteri
Kehutanan), misalnya dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa,
atau Hutan Tanaman Rakyat, dengan Hutan Adat yang dimaksud oleh putusan
Mahkamah Konstitusi sebagai pengakuan negara atas hak yang telah dipunyai
masyarakat hukum adat. Istilah penyandang hak adalah semaksud dengan
istilah pemangku hak, pemilik hak, atau pengampu hak, walau tentu saja
perlu diperhatikan perbedaan arti konotatif dari istilah masing-masing.
Istilah serupa dalam bahasa Inggeris adalah right bearer, right bearing subject
atau right holder.
Putusan MK atas permohononan judicial review itu mengubah
sejumlah pasal dalam Undang-undang no. 41/1999 tentang Kehutanan.2
Pertama, untuk pasal 1 angka 6 yang berbunyi Hutan adat adalah hutan
negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat, MK
memutuskan menghapus kata negara dalam kalimat itu, sehingga
rumusannya menjadi Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat. Kedua, untuk pasal 4 ayat (3) yang berbunyi
Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum
adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, sertatidak bertentangan dengan kepentingan nasional, MK menghilangkan
kalimat bersayarat itu sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
mengubahknya menjadi sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
2Untuk ringkasan lengkap seluruh isi putusan, lihat Arizona et al (2013:2-5).
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
9/34
4 | RALAT POLITIK HUKUM AGRARIA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA:Masyarakat Hukum Adat adalah Bukan Penyandang Hak, dan Bukan Subjek Hukum atas
Wilayah Adatnya
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-undang. Ketiga, untuk pasal 5 ayat (1) dan Pasal5 ayat (2), yang berbunyi Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari (a) hutan
negara, dan (b) hutan hak, dan Hutan negara sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 huruf a, dapat berupa hutan adat, MK menghilangkan Pasal 5 ayat (2)
itu. Hutan adat dimasukkan ke dalam kategori hutan hak. Sehingga
rumusannya menjadi Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari (a) hutan
negara, dan (b) hutan hak, dan Hutan negara sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 huruf a, tidak termasuk hutan adat. Keempat, untuk pasal 5 ayat (3)
Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya
masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui
keberadaannya, dihilangkan kata-kata ayat (2). Sehingga menjadi
Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat
hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Dan
terakhir, Kelima, MK menghapus seluruh penjelasan Pasal 5 ayat (1), yang
berbunyi,
Hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang
diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat(rechtsgemeenschap). Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutanulayat, hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya. Hutan
yang dikelola masyarakat hukum adat dimasukkan di dalam
pengertian hutan negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai
oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat padatingkatan yang tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan RepublikIndonesia. Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengetian hutan
negara, tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjangkenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, untuk melakukankegiatan pengelolaan hutan. Hutan negara yang dikelola oleh desa dan
dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa disebut hutan desa. Hutannegara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan
masyarakat disebut hutan kemasyarakatan. Hutan hak yang berada
pada tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat.
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
10/34
Sajogyo Institutes Working Paper No. 5, 2013 | 5
Makna Putusan MK 35
Putusan MK ini meralat apa yang penulis istilahkan Negara -isasi
Wilayah Adat, yakni bahwa wilayah adat (yang didalamnya terdapat
permukiman, tanah pertanian/perladangan, tanah bera, padang
pengembalaan, wilayah perburuan, hutan yang berisikan tanam tumbuh dan
binatang-binatang, pesisir dan pantai, serta kekayaan alam di dalam bumi),
dikategorikan oleh pemerintah sebagai tanah negara dan hutan negara,
lalu atas dasar kewenangan berdasarkan perundang-undangan, pejabat
publik memasukan sebagian atau seluruh wilayah adat itu menjadi bagian
dari lisensi-lisensi yang diberikan badan-badan pemerintah pusat dan daerah
untuk perusahaan-perusahaan yang melakukan ekstraksi sumber daya alam,
dan produksi perkebun-an/kehutanan/pertambangan untuk menghasilkan
komoditas global, atau juga badan pemerintah dalam mengelola kawasan
koservasi (Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dll.).3Negara-isasi ini adalah
sumber penyangkalan eksistensi masyarakat adat beserta hak-haknya, dan
kriminalisasi rakyat. Para pelajar sejarah agraria dan kehutanan Indonesia
mengetahui bahwa penyangkalan dan kriminalisasi ini merupakan praktik
kelembagaan dari pemerintah kolonial (dan juga kemudian dilanjutkan oleh
pemerintah paska kolonial) yang mengerahkan kuasa negara untuk
menguasai sumber daya hutan. Peluso dan Vandergeest menyebut
karakteristik hutan demikian sebagaipolitical forest(Peluso dan Vandergeest
2001; lebih lanjut untuk sejarah kebijakan agraria dan kehutanan Indonesia,
lihat Peluso 1992, Fauzi 1999, Rachman 2012).
Putusan MK ini merupakan koreksi terharap hal ini, dan memulihkan
status dari masyarakat hukum adat. Penulis menghubungkan apa yang
dilakukan MK ini sebagai perwujudan pesan Mr. Muhammad Yamin untuk
menjaga ... kesanggupan dan kecakapan bangsa Indonesia dalam mengurus
tata negara dan hak atas tanah sudah muncul beribu-ribu tahun yang lalu,
3Mengenai konsep negaraisasi ini lihat Fauzi (1999, 2000).
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
11/34
6 | RALAT POLITIK HUKUM AGRARIA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA:Masyarakat Hukum Adat adalah Bukan Penyandang Hak, dan Bukan Subjek Hukum atas
Wilayah Adatnya
dapat diperhatikan padasusunan persekutuan hukum seperti 21.000 desa di
Pulau Jawa, 700 Nagari diMinangkabau, susunan Negeri Sembilan di Malaya,begitu pula di Borneo, di tanah Bugis, di Ambon, di Minahasa, dan lain
sebagainya. Pandangan Muhamad Yamin inilah yang ikut menginspirasikan
rumusan pasal 18 UUD 1945 (lihat Hedar Laujeng 2012).
Wilayah adat itu beragam karakteristiknya di seantero kepulauan
Indonesia: Mulai dari yang menempati wilayah pedesaan, pedalaman, hingga
pesisir; baik di dataran rendah maupun dataran tinggi; dalam lanskap hutan
belantara hingga padang rumput savana. Keragaman wilayah itu juga
mempengaruhi cara hidup mereka berproduksi memenuhi kebutuhan
makanan, mulai dari berburu dan mengumpul hasil hutan, bertani-berladang,
hingga bertani menetap dengan mengerjakan sawah. Perbedaan bentang
alam itu membentuk perbedaan cara memenuhi kebutuhan hidup melalui
tata produksi-konsumsinya, yang juga terkait secara langsung maupun tidak
dengan sistem pengaturan kepenguasaan atas tanah. Masyarakat hukum adat
memiliki karakteristik khusus sebagai pemilik tanah-wilayah adat. Sering
sekali ditampilkan secara romantik wajah masyarakat adat sebagai satuan
yang homogen, dan direpresentasikan secara idilic dalam suatu gambaran
yang indah dan harmonis dengan alam sekitarnya, dan terpisah dengan dunia
pasar global, politik lokal, dan wacana dan praktek pembangunan. Pada
kenyataannya tidak demikian.
Selain masyarakat adat hidup di lansekap alam yang berbeda-beda,
dan masyarakat adat juga mempunyai perbedaan kelas di dalamnya (Lihat
Sangaji 2012), dan juga perbedaan status dan posisi berdasar jenis kelamin.
Posisi perempuan yang marjinal dalam masyarakatnya, dan secara khusus
visibilitas, representasi dan partisipasinya dalam perjuangan mendorong
sejumlah eksponen di dalam AMAN sendiri mengembangkan kelompok-
kelompok perempuan adat yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
12/34
Sajogyo Institutes Working Paper No. 5, 2013 | 7
jender. Mereka percaya perjuangan keadilan sosial masyarakat adat itu harus
mempertimbangan perbedaan kelas dan berjenis kelamin. Masyarakat adat
bukan hanya satu wajah yang merupakan wajah laki-laki. Mama Aleta Baum
dari wilayah Molo, Kabupaten Timur Tengah Selatan, NTT,yang baru-baru ini
meraih penghargaan Goldman Environmental Prize 20134, telah
menunjukkan jalan bagaimana perempuan pemimpin adat secara nyata
memperjuangan keadilan sosial itu.
Kenyataan pahitlah yang lebih banyak dialami oleh kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat Indonesia, termasuk ketika mereka berada di bawah
rezim Orde Baru (1966-1998) hingga masa reformasi (1998-sekarang).
Tidaklah sulit untuk mengetahui bahwa sebagian dari perjuangan yang
diusung Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan para sekutu
pendukungnya, pada mulanya, adalah upaya mengeraskan suara rakyat
korban perampasan tanah-wilayah adat. Mereka menderita akibat
dimasukkannya seluruh atau sebagian dari tanah/wilayah adat ke kawasan
hutan negara. Dengan mengeluarkan berbagai lisensi konsesi untuk ekstraksi
dan produksi kayu hingga konservasi sumber daya alam dan restorasi
ekosistem, Menteri Kehutanan memberi legalitas melalui ijin-ijin (lisensi)
untuk berbagai bentuk konsesi kehutanan yang menguasai luasan tanah dan
mengusahakan hutan dalam skala besar. Perampasan terjadi ketika
perusahaan-perusahaan raksasa pemegang konsesi-konsesi atau instansi
pemerintah itu mengusir rakyat dari tanah dan wilayah hidupnya, baik
dengan atau tanpa program permukiman kembali (resettlement).
Ketika kelompok-kelompok masyarakat adat itu secara sporadikmemprotes keabsahan dari lisensi-lisensi itu, dan menentang pemegang
lisensi-lisensi itu mengambil alih penguasaan mereka itu, mulailah terbentuk
konflik agraria. Dalam hal ini, konflik agraria dimengerti sebagai
pertentangan klaim yang terbuka mengenai siapa yang berhak atas satu
4Lihat http://www.goldmanprize.org/recipient/aleta-baun(unduh terakhir tanggal 22 Oktober 2013).
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
13/34
8 | RALAT POLITIK HUKUM AGRARIA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA:Masyarakat Hukum Adat adalah Bukan Penyandang Hak, dan Bukan Subjek Hukum atas
Wilayah Adatnya
bidang tanah/wilayah, antara kelompok rakyat dengan badan-badan
penguasa tanah luas, termasuk perusahaan-perusahaan yang menguasaikonsesi-konsesi kehutanan, dan lainnya; Pihak-pihak yang bertentangan
tersebut kemudian berupaya dan bertindak, secara langsung maupun tidak,
menghilangkan klaim pihak lain.
Situasi demikian lah yang pada gilirannya menjadi sumber dari
gerakan sosial yang terkoordinasi secara nasional. Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN), adalah salah satu dari organisasi gerakan sosial yang
terkemuka, dan mengartikulasikan secara jelas tuntutannya dalam moto:
kalau Negara tidak mengakui kami, kami pun tidak mengakui Negara.
Penulis mengamati perjalanan AMAN semenjak pendiriannya setahun setelah
tumbangnya rejim otoritarian di bawah kepemimpinan Jenderal Suharto di
tahun 1999, dan memahami bahwa perjuangan yang diusung AMAN adalah
perjuangan tanah-air masyarakat adat yang digerakkan utamanya oleh
perlawanan atas perampasan wilayah adat (Rachman 2012b, 2013a).
Status masyarakat hukum adat sudah demikian lama tidak diakui
sebagai penyandang hak dan pemilik tanah-wilayah adatnya. Putusan MK itu
menyebutkan bahwa dibandingkan dengan dua subjek hukum lainnya, yakni
pemerintah dan perusahaan pemegang hak atas tanah, masyarakat hukum
adat diperlakukan berbeda dan tidak secara jelas diatur oleh UU No. 41/1999
tentang Kehutanan tentang haknya atas tanah maupun hutan.
(D)engan perlakuan berbeda tersebut masyarakat hukum adat
secara potensial, atau bahkan dalam kasus-kasus tertentu secarafaktual, kehilangan haknya atas hutan sebagai sumber daya alam
untuk kehidupannya, termasuk hak tradisionalnya, sehinggamasyarakat hukum adat mengalami kesulitan dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya dari hutan sebagai sumbernya. Bahkanacapkali hilangnya hak-hak masyarakat hukum adat dimaksud
dengan cara sewenang-wenang, sehingga tidak jarang
menyebabkan terjadinya konflik yang melibatkan masyarakat danpemegang hak (Mahkamah Konstitusi 2013:169).
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
14/34
Sajogyo Institutes Working Paper No. 5, 2013 | 9
Seperti telah disebutkan dimuka, dipandang dari perspektif sejarah,
hal ini pun berlangsung semenjak masa kolonial masa kolonial Hindia
Belanda. Kriminalisasi terhadap akses rakyat secara adat atas tanah dan
sumber daya hutan bukan hanya merupakan konsekuensi dari pembentukan
kawasan hutan negara, melainkan penguasaan negara atas kawasan hutan
Negara juga dibentuk melalui kriminalisasi demikian itu. Dengan kata lain,
menurut penulis, secara aktual, terdapat hubungan yang saling membentuk
antara penguasaan klaim kawasan hutan negara dengan kriminalisasi atas
akses rakyat terhadap tanah dan hutan yang berada di kawasan hutan negara
itu. Konsep penguasaan negara yang demikian ini pada mulanya adalah
prinsip dalam politik agraria kolonial kemudian dinasionalisasikan
sedemikian rupa sehingga dimuat dalam perundang-undangan Repubik
Indonesia. Undang-undang No. 5/1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan, dan
turunannya, adalah perundang-undangan yang meneruskan kontrol dan
kriminalisasi atas terhadap akses masyarakat hukum adat tanah dan hutan
itu. Hal ini kemudian diteruskan oleh Undang-undang nomor 41/1999
tentang Kehutanan.5
Pasal 5 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan memasukkan hutan adat
dalam kategori hutan Negara. Penjelasan pasal 5 itu menyebutkan
(H)utan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yangdiserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat
(rechtsgemeenschap). Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan
ulayat, hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya. Hutanyang dikelola masyarakat hukum adat dimasukkan di dalam
pengertian hutan negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai
oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat padatingkatan yang tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia (garis bawah, tambahan penulis).
Pendapat Mahkamah Konstitusi mengenai rumusan Penjelasan Pasal 5 ayat
(1) UU Kehutanan itu adalah sebagai berikut:
Dalam penilaian hukum terhadap Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan,
5Termasuk juga adalah UU nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
15/34
10 | RALAT POLITIK HUKUM AGRARIA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA:Masyarakat Hukum Adat adalah Bukan Penyandang Hak, dan Bukan Subjek Hukum atas
Wilayah Adatnya
Mahkamah berpendapat bahwa hutan hak harus dimaknai bahwahutan hak terdiri dari hutan adat dan hutan perseorangan/badan
hukum. Dengan demikian, hutan adat termasuk dalam kategori hutanhak, bukan hutan negara; Berdasarkan pertimbangan hukum di atas,menurut Mahkamah, Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan
bertentangan dengan UUD 1945 (Mahkamah Konstitusi 2012:168).
Sesungguhnya perbuatan memasukkan tanah-wilayah adat ke dalam
kategori hutan Negara itu apa yang penulis istilahkan sebagai negara-isasi
tanah-wilayah kepunyaan rakyat dan penulis sampaikan dalam keterangan
ahli di dalam sidang Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 35/PUU-
X/2012, (Mahkamah Konstitusi 2013:66-68) adalah suatu bentuk khusus
dari penyangkalan status masyarakat hukum adat sebagai penyandang hak
dan pemilik tanah-wilayah adatnya. Mekanisme lanjut dari penyangkalan itu
adalah penggunaan kewenangan pemerintah pusat, yakni Menteri
Kehutanan, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), atau pejabat
pemerintah daerah (Bupati dan Gubernur) memberi ijin/hak/lisensi
pemanfaatan sumber daya alam untuk instansi pemerintah atau perusahaan-
perusahaan raksasa untuk usaha kehutanan/perkebunan/ pertambangan.
Mahkamah Konstitusi tidak membenarkan penyangkalan itu dan
penggunaan alasan sebagai konsekuensi adanya hak menguasai oleh Negara
untuk perbuatan menyangkal itu.6 Berkenaan dengan penyangkalan itu,
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
(B)erlakunya norma yang tidak menjamin kepastian hukum dan
menimbulkan ketidakadilan terhadap masyarakat hukum adat dalam
kaitannya dengan hutan sebagai sumber-sumber kehidupan mereka,karena subjek hukum yang lain dalam Undang-Undang a quomemperoleh kejelasan mengenai hak-haknya atas hutan. Masyarakat
hukum adat berada dalam posisi yang lemah karena tidak diakuinyahak-hak mereka secara jelas dan tegas ketika berhadapan dengannegara dengan hak menguasai yang sangat kuat. Seharusnya
penguasaan negara atas hutan dipergunakan untuk mengalokasikan
6Perspekstif lebih luas menyenai budaya menyangkal ini lihat Fauzi (2000).
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
16/34
Sajogyo Institutes Working Paper No. 5, 2013 | 11
sumber daya alam secara adil demi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat (Mahkamah Konstitusi 2013:170).
MK mengkritik penggunaan dan penyalahgunaan konsep hakmenguasai Negara yang sangat kuat demikian itu.7 MK menetapkan tidak
boleh terjadi lagi penggunaan dan penyalahgunaan alasan HMN yang sangat
kuat itu yang berakibat penyangkalan status masyarakat hukum adat sebagai
penyandang hak (rights bearer/rights holder), dan sekaligus penyangkalan
masyarakat adat sebagai subjek hukum pemilik atas tanah-wilayah adatnya.
Sejak mula, MK telah menetapkan definisi apa yang dimaksud dengan
konsep menguasai sebagaimana dimaksudkan oleh pasal 33 ayat 3 UUD
1945. Dalam putusannya atas perkara nomor 001-021-022/PUU-I/2003
mengenai judicial review atas Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002
tentang Ketenagalistrikan, MK menjelaskan lima bentuk tindakan
penguasaan negara, yaitu pembuatan kebijakan (beleid), tindakan
pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan
(beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) (Mahkamah
Konstitusi 2004:332-337). Adapun tolok-ukur pencapaian tujuan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat, dirumuskan menjadi empat yakni (i)
kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, (ii) tingkat pemerataan manfaat
sumber daya alam bagi rakyat, (iii) tingkat partisipasi rakyat dalam
menentukan manfaat sumber daya alam, serta (iv) penghormatan terhadap
hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam
(lihat tabel 1).8
7Perihal perubahan penggunaan konsep Hak Menguasai dari Negara (HMN) ini dari waktu ke waktu lihat
Fauzi dan Bachriadi (1998). Uraian bagaimana penggunaan konsep HMN yang sangat kuat ini yang berakibat
penciptaan dan pemeliharaan konflik-konflik agraria struktural, lihat Fauzi (2002).
8Lebih lanjut lihat Sodiki (2013), dan juga Arizona (2008, 2011, 2012), yang mengembangkan analisis atas
putusan-putusan MK berkenaan dengan judicial review atas berbagai undang-undang berkait sumberdaya
alam.
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
17/34
12 | RALAT POLITIK HUKUM AGRARIA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA:Masyarakat Hukum Adat adalah Bukan Penyandang Hak, dan Bukan Subjek Hukum atas
Wilayah Adatnya
Tabel 1.
Konstruksi Penguasaan Negara atas Sumber Daya alam dalam Pasal 33 UUD 1945.Sumber: Arizona (2011:34).
Bentuk Penguasaan
(dikuasai oleh Negara)
Tujuan Peguasaan
(sebesar-besarnya kemakmuran rakyat)
Pengaturan Kemanfaatan bagi rakyat
Kebijakan Pemerataan manfaan bagi rakyat
Pengelolaan Partisipasi rakyat
Pengurusan Penghormatan hak masyarakat adat
Pengawasan
Perjuangan Hak Kewarganegaraan bermula dari Perjuangan Perubahan
Kategori
Perjuangan mengubah kategorisasi suatu golongan penduduk oleh
negara adalah urusan utama dari perjuangan memerangi ketidakadilan.
Melengkapi argumen dari Alan Hunt, tokoh aliran Studi Hukum Kritis (Critical
Legal Studies), bahwa hak-hak mewujud dan dibentuk dengan dan melalui
perjuangan9 (Hunt 1990:325), penulis mengedepankan pandangan yang
berinspirasi dari Charles Tilly, tokoh sosiologi ternama, bahwa perjuangan
gerakan sosial yang berhasil mengubah ketidakadilan senantiasa dimulai
dengan perubahan kategori yang diberlakukan atas kaum yang
didiskriminasi. Tilly menulis bahwa:
Ketidakadilan yang berkepanjangan antarkategori timbul karenaorang-orang yang mengontrol akses atas sumber daya yang
menghasilkan nilai itu memecahkan masalah-masalah organisasi
melalui kategorisasi. Secara sengaja maupun tidak, orang-orangmenyiapkan sistem-sistem yang melibatkan pelarangan, pengucilan
dan kontrol. Sejumlah pihak tidak semua dari mereka yang kuat,
9Teks aslinya: Rights take shape and are constituted by and through struggle(Hunt 1990:325).
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
18/34
Sajogyo Institutes Working Paper No. 5, 2013 | 13
beberapa dari mereka bahkan korban eksploitasi kemudian
menganut solusi (kategorisasi) ini (Tilly 1998:8).10
Perjuangan utama suatu kelompok gerakan sosial adalah mengubahkategorisasi suatu kelompok yang diperjuangkan itu dari status-status yang
mendiskriminasikan mereka menjadi status baru. Kampanye dan advokasi
kebijakan dari kelompok-kelompok gerakan sosial akan memasuk babak
baru ketika badan-badan pemerintah suatu negara mengubah kategorisasi
atas suatu kelompok warga yang mereka perjuangkan itu.
Jadi, menurut penulis, perpindahan kategori hutan adat itu, dari
hutan Negara menjadi hutan hak, sama sekali bukan soal yang remeh.
Yang relevan dibicarakan disini adalah status kewarganegaraan masyarakat
hukum adat sebagaimana mana secara aktual dibentuk oleh praktek-praktek
kelembagaan badan-badan pemerintah. Menurut Hanna Arendt, (status)
kewarganegaraan (suatu kelompok atau individu) itu adalah kondisi yang
diperlukan untuk semua penyandangan hak (sebagaimana diuraikan oleh
Somers 2008:25).11Kewarganegaraan adalah hak untuk mempunyai hak-hak
(the right to have rights), yakni hak yang paling utama berupa hak atas
pengakuan, masuk-ke-dalam, dan keanggotaan baik dalam masyarakat politik
dan masyarakat sipil.12
Dalam hal ini, penulis mempertentangkan antara status warganegara
yang secara penuh diakui sebagai penyandang hak, dan status sebagai warga
wegara yang didiskriminasi dan disangkal eksistensinya sebagai penyandang
hak. Selama status kewarganegaraan satu kelompok masyarakat secara
aktual tidak diakui oleh praktek kelembagaan badan-badan pemerintah,
maka diskriminasi terhadapnya akan terus berlangsung. Pada konteks
10Durable inequality among categories arises because people who control access to value producing
resources solve organizational problems by means of categorical distinctions. Inadvertently or otherwise,
those people set up systems of social closure, exclusion and control. Multiple parties not all of them
powerful, some of them even victims of exploitation then acquire stakes in these solutions (Tilly 1998:8).11(C)itizenship is the necessary precondition for all right-bearing(Somers 2008:25).12(T)he primary right of recognition, inclusion, and membership both in political and civil society.(Somers,2008: 25)
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
19/34
14 | RALAT POLITIK HUKUM AGRARIA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA:Masyarakat Hukum Adat adalah Bukan Penyandang Hak, dan Bukan Subjek Hukum atas
Wilayah Adatnya
pembahasan topik naskah ini, perhatian penulis memang pada cara
bagaimana secara aktual masyarakat hukum adat berjuang memperolehpengakuan yang nyata oleh badan-badan pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.13
AMAN dan para sekutu pendukungnya telah bekerja untuk membuat
keberadaan masyarakat adat itu dapat dilihat (visible), termasuk dengan
menguji konstitusionalitas kategorisasi hutan adat ke dalam hutan Negara,
dan syarat-syarat penentuan keberadaan masyarakat adat. Menurut penulis,
selain mengusung perjuangan untuk keadilan sosial, AMAN juga mengusung
perjuangan kewarganegaraan yang inklusif, yakni menuntut pemerintah
Indonesia secara legal dan aktual pemerintah mengakui dan menghormati
status kewarganegaraan masyarakat hukum adat dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Rakyat yang hidup dalam kesatuan masyarakat hukum
adat, belum diakui sebagai warganegara sepenuhnya yang statusnya sebagai
penyandang hak, dan subjek hukum atas tanah-wilayah adatnya.
Bagaimana Putusan MK itu secara nyata berpengaruh pada posisi
komunitas masyarakat hukum adat yang beragam-ragam nama, bentuk dan
susunan di berbagai wilayah kepulauan yang berbeda-beda? Setelah Putusan
MK 35 itu dibacakan pada tanggal 16 Mei 2013, segera AMAN dan para
pendukungnya melancarkan gerakan plangisasi yang menunjukkan klaim-
klaim atas wilayah adat secara terbuka pada wilayah-wilayah adat yang
berada dalam kawasan hutan Negara, baik yang berada di kawasan hutan
produksi maupun konservasi. Plangisasi adalah membuat plang-plang yang
menunjukkan tanda klaim kepunyaan. Misalnya, seperti yang dipasang oleh
warga Padumaan dan Sipituhuta di Kabupaten Humbahas, Sumatera Utara:
13 Lebih dari itu, penulis juga peduli dengan status kaum perempuan yang sering kali tidak terlihat, atau
diterbelakangkan, baik dalam perjuangan untuk pengakuan atas status masyarakat hukum adat itu, maupun
dalam upaya membuat pengakuan itu berwujud dalam kenyataan. Topik ini memerlukan pembahasan
tersendiri.
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
20/34
Sajogyo Institutes Working Paper No. 5, 2013 | 15
Pengumuman: Hutan Adat Padumaan dan Sipituhuta Bukan Lagi Hutan
Negara Sesuai Keputusan MK No. 35/PUU-X/2012.
Selain itu, AMAN memprakarsai pula Deklarasi Masyarakat Sipil untuk
Hutan Adat (27/5/13).14Isi Deklarasi tersebut adalah
Kami menyambut baik Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor
35/PUU-X/2012 Yang telah mengabulkan sebagian permohonan uji
materi terhadap UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Keputusan
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa"hutan Adat adalah hutan
yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat". Keputusan
tersebut memberikan kepastian hak kepada masyarakat adat atas
lebih dari 40 juta hektare hutan adat. Oleh sebab itu, kami, kelompok
masyarakat sipil yang selama ini terlibat aktif dalam memperjuangkan
hak masyarakat adat atas hutan dan wilayah adat, menyatakan hal-hal
sebagai berikut:
1. Mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera melaksanakanKeputusan mahkamah konstitusi diantaranya penyelesaian
konflik-konflik terkait hutan adat dan sumberdaya alam di
wilayah-wilayah masyarakat adat;
2. Mendesak Presiden untuk memberikan amnesti kepada anggota-
14
http://www.aman.or.id/2013/05/27/deklarasi -masyarakat-sipil-pemerintah-diminta-segera-tindak-lanjuti-
keputusan-mk-tentang-hutan-adat/#.UmN0BeBCd0A (akses terakhir, 20 oktober 2013).
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
21/34
16 | RALAT POLITIK HUKUM AGRARIA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA:Masyarakat Hukum Adat adalah Bukan Penyandang Hak, dan Bukan Subjek Hukum atas
Wilayah Adatnya
anggota masyarakat adat yang sedang menjalani proses hukum
maupun yang sudah dijatuhi hukuman berdasarkan undang-
Undang nomor 41/1999 tentang kehutanan;
3. Mendesak pengesahan Undang-Undang tentang Pengakuan danperlindungan hak-hak masyarakat adat (PPHMA).
Kami masyarakat sipil akan bekerjasama dengan AMAN dan
Pemerintah Republik indonesia untuk memastikan pemenuhan hak-
hak masyarakat adat atas hutan adat di Indonesia.
AMAN dan para aktivis masyarakat sipil pendukung gerakan
masyarakat adat menggencarkan kampaye dan asistensi di berbagai daerah,
seperti di Kabupaten Malinau di Kalimantan Timur, dan Kabupaten
Bulukumba di Kabupaten Sulawesi Selatan, agar dibuat peraturan-peraturan
daerah kabupaten atau surat-surat keputusan Bupati tentang pengakuan
keberadaan masyarakat adat dan hak-haknya, termasuk hak atas wilayah
adatnya.
Pengakuan atau Penyangkalan?
Tantangan terbesar saat ini adalah menemukan cara yang manjur
untuk mengoreksi kebijakan-kebijakan dan praktik kelembagaan pemerintah
yang menyangkal status masyarakat adat sebagai penyandang hak dan subjek
hukum atas wilayah adatnya. Mahkamah Konstitusi telah memulai
menegaskan norma konstitusi untuk ralat itu. Mahkamah Konstitusi telah
memukul gong dan membuat pengumuman deklaratif meralat
penyangkalan itu. Agenda berikutnya yang menarik untuk disaksikantentunya adalah bagaimana badan-badan pemerintah menindaklanjuti
Putusan Mahkamah Konstitusi itu.
Yang perlu diperiksa tentunya apakah para pejabat di badan-badan
pemerintah dan DPR/DPRD, menyadari kekeliruan konstitusional
sebagaimana MK telah menunjukkannya. Tanpa kesadaran akan kesalahan
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
22/34
Sajogyo Institutes Working Paper No. 5, 2013 | 17
konstitusional itu, tidak mungkin ralat itu menjadi kekuatan pengubah
praktek kelembagaan Kementerian Kehutanan. Surat Edaran Menteri
Kehutanan, SE.1/Menhut-II/2013 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi No.
35/PUU-X/2012 tanggal 16 Mei 2013 (Selanjutnya disebut Surat Edaran)
adalah menarik diteliti isi dan implikasinya. Surat edaran itu membedakan
status hutan sebagai tiga kelompok (hutan negara, hutan hak, dan hutan adat,
yang berbeda dengan kategorisasi yang dibuat Putusan MK itu. Tidak ada
penjelasan mengapa hal itu mereka lakukan. Perlu penyelidikan lebih lanjut.
Selanjutnya, berdasar pada pasal 4 ayat (3) yang telah diperbaharui,
bahwa (p)enguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang, maka Menteri Kehutanan telah
menetapkan bahwa penguasaan negara (baca: Kementerian Kehutanan) atas
wilayah adat yang berada dalam kawasan hutan negara tetap sah berlaku dan
tidak perlu dianggap keliru. Surat Edaran itu menunjukkan bahwa (P)asal 4
ayat (3), diberlakukan terhadap masyarakat hukum adat yang keberadaannya
belum ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda).
Surat Edaran ini menyebutkan bahwa berdasar pada Pasal 5 ayat (3),
maka Menteri Kehutanan lah yang menetapkan status hutan adat.
(Y)ang menetapkan status Hutan Adat adalah Menteri Kehutanan,
sepanjang keberadaan masyarakat hukum adat telah ditetapkandengan Peraturan Daerah (Perda) berdasarkan hasil penelitian
oleh Tim, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dan Penjelasanpasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19Tahun 2004.
Karena pasal 5 ayat (3) memberi dasar kewenangan bagi untuk
menetapkan status hutan adat ini, maka Menteri akan menggunakan
kewenangannya ini sepanjang keberadaan masyarakat hukum adat telah
ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) berdasarkan hasil penelitian
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
23/34
18 | RALAT POLITIK HUKUM AGRARIA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA:Masyarakat Hukum Adat adalah Bukan Penyandang Hak, dan Bukan Subjek Hukum atas
Wilayah Adatnya
oleh Tim, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dan Penjelasan pasal 67
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang telahdiubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004.
Jadi, dapat disimpulkan Kementerian Kehutanan bersifat patuh dan
pasif menunggu. Dalam pernyataan suatu wawancara, Menteri Kehutanan
menyebutkan bahwa negara mengakui keberadaan hutan adat yang
merupakan hak adat dan ulayat, namun terlebih dahulu harus ada peraturan
daerah (Perda) yang mengaturnya; dan kementerian berposisi menunggu,
sebaliknya pemerintah kabupatan atau kota yang harus aktif mengajukan
Perda tersebut mengingat yang mengetahui kawasan hutan adat adalah
pemerintah daerah (Perda harus tetapkan hutan adat, Antara News, 18 Mei
2013). Menteri Kehutanan lah yang menetapkan pengeluarkan suatu wilayah
adat dari kawasan hutan negara, dan Menteri Kehutanan juga lah yang
menetapkan suatu wilayah sebagai hutan adat. Keduanya hal ini, hanya bisa
dilakukan setelah Menteri Kehutanan mendapatkan permintaan dari
pemerintah daerah dan/atau bersama masyarakat adatnya atas dasar
Peraturan Daerah mengenai pengakuan keberadaan masyarakat adat beserta
hak-hak atas wilayah adatnya yang telah dibuat sebelumnya.
Menurut penulis, berbagai praktek kelembagaan dari Kementerian
Kehutanan paska Putusan MK 35 ini, termasuk dengan mengeluarkan Surat
Edaran berbagai penyataan publik dari Menteri Kehutanan dan Sekjen
Kementerian Kehutanan, telah berhasil dengan cepat meredam dan
menormalkan kembali guncangan yang (telah, sedang dan mungkin akan)
timbul sebagai akibat dari Putusan MK 35 itu, dan berbagai tekanan eksternal
yang mengiringinya. Kemampuan meredam ini telah mereka telah tunjukkan
pula ketika menghadapi berbagai tuntutan dari luar sehubungan Putusan MK
atas perkara nomor 45/PUU-IX/2011, yang menguji Pasal 1 butir 3 UU No.
41/1999 tentang Kehutanan, yang meralat definisi kawasan hutan menjadi:
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
24/34
Sajogyo Institutes Working Paper No. 5, 2013 | 19
Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan
oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
MK berpendapat bahwa keberadaan frasa ditunjuk dan atau dalam Pasal 1
butir 3 UU nomor 41/1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan jaminan
kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945 yang berbunyi Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum (Mahkamah Konstitusi, 2012:157-161).15 Kementerian
Kehutanan berhasil membuat tenang seluruh jajaran Kementerian
Kehutanan dengan argumen yang mampu meredamkan gejolak, yakni bahwa
Putusan MK itu tidak berlaku surut sehingga status kawasan hutan Negara
yang telah mereka tunjuk tetap berlaku.
Bagaimana dengan sikap Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang
merupakan kelembagaan pemerintah pusat yang berwenang menjalankan
pendaftaran tanah? Kepala BPN, Hendarman Supandji, dalam suatu
wawancara mengemukakan sikap normatif bahwa lembaganya adalah
berwenang dalam melakukan pendaftaran tanah, termasuk untuk wilayah-
wilayah adat. Ia menegaskan komitmen kelembagaannya yang belum pernah
dijalankan untuk menjalankan pendaftaran tanah untuk wilayah adat yang
berada dalam kawasan hutan negara (Wawancara dengan Kepala BPN,
Hendarman Supandji sebagaimana dalam Film Hutan Adat Paska Putusan
MK 35/2012, Huma 2013). Pandangan-pandangan Pejabat BPN senantiasa
mendasarkan diri pada Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat, yang pada dasarnya bersikukuh bahwa keberadaan
masyarakat hukum adat ditetapkan dengan peraturan daerah (perda),
dengan kondisionalitas bahwa masyarakat hukum adat itu dinyatakan ada
apabila:
15Lebih lanjut mengenai putusan ini bisa pelajari Arizona, dkk (2012).
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
25/34
20 | RALAT POLITIK HUKUM AGRARIA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA:Masyarakat Hukum Adat adalah Bukan Penyandang Hak, dan Bukan Subjek Hukum atas
Wilayah Adatnya
o terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat olehtatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu
persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkanketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam
kehidupannya sehari-hari;
o terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hiduppara warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya
mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan
o terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan,penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan
ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. (Pasal 2)
(Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat, Badan Pertanahan
Nasional, 2013)
Perda itu dibuat atas dasar penelitian mengenai masih ada/tidaknya
hak ulayat, yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan
mengikutsertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada
di daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi-
instansi yang mengelola sumber daya alam antara lain instansi yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan, kehutanan,
pertambangan dan lain sebagainya (Pasal 5 ayat (1)).
Selanjutnya, dalam rangka pendaftaran tanah, Pusat Hukum dan
Hubungan Masyarakat, BPN (2013) mengemukakan bahwa mekanisme
administrasi terhadap wilayah adat dijalankan dengan memastikan bahwa
Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada tersebut
dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu
tanda kartografi, dan apabila memungkinkan, menggambarkan batas-
batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah. Lebih lanjut, tata cara
pengukuran dan pemetaan batas wilayah masyarakat hukum adat ke dalam
peta dasar pendaftaran tanah dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah dan PMNA/KBPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 tahun 1997.
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
26/34
Sajogyo Institutes Working Paper No. 5, 2013 | 21
Bagaimana tanggapan Presiden? Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menyampaikan pidato di International Workshop on Tropical Forest, di
Jakarta, Kamis, 27 Juni 2013, yang secara khusus menyampaikan komitmen
pribadinya (!) untuk menindaklanjuti Putusan MK itu.
(R)ecently the Indonesian Constitutional Court has decided thatcustomary forest, or hutan adat, is not part of the state forest zone.
This decision marks an important step towards a full recognition of
land and resources rights of adat community and forest-dependentcommunities. This will also enable Indonesias shift toward
sustainable growth with equity in its forests and peatlands sector. I
am personally committed to initiating a process that registers andrecognizes the collective ownership of adat territories in Indonesia.
This is a critical first step in the implementation process of theConstitutional Courts decision. (Speech at the Opening ofInternational Workshop on Tropical Forest, Jakarta, Kamis, 27 Juni
2013).
Menarik dicatat bahwa tanggapan Presiden ini adalah satu-satunya
yang ia berikan mengenai Putusan MK 35 itu secara publik, dan ia berikan
pada forum internasional dengan teks berbahasa Inggeris. Adalah menarik
untuk para peneliti untuk terus menelusuri lebih lanjut bagaimana komitmen
pribadinya itu berhasil atau gagal menjadi kebijakan baru.
Kesimpulan dan Penutup
Apakah gerakan yang hendak ditunjukkan oleh Putusan MK 35 ini?
Penulis berargumen bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara
nomor 35/PUU-X/2012 ini meralat politik hukum agraria kolonial (yang
terus dilanjutkan oleh pemerintah paska kolonial) bahwa masyarakat hukum
adat adalah bukan penyandang hak, dan bukan subjek hukum atas wilayah
adatnya. Hal ini menantang mekanisme negaraisasi wilayah adat, yang
memasukkan wilayah adat dimasukkan dalam kategori tanah negara, hutan
negara dan sejenisnya. Kemudian atas dasar kewenangan legalnya, pejabat
publik mengeluarkan lisensi konsesi kehutanan untuk perusahaan-
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
27/34
22 | RALAT POLITIK HUKUM AGRARIA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA:Masyarakat Hukum Adat adalah Bukan Penyandang Hak, dan Bukan Subjek Hukum atas
Wilayah Adatnya
perusahaan, atau badan pemerintah, yang memasukan tanah/wilayah
kepunyaan rakyat itu ke dalam konsesi-konsesi perusahaan-perusahaan atauinstansi pemerintah untuk usaha-usaha ekstraksi sumber daya alam dan
produksi komoditas global, maupun konservasi sumber daya alam. Inilah
mekanisme dasar dari apa yang dirasakan dan atau diekspresikan mereka
sebagai sebagai perampasan tanah, perampokan sumber daya alam,
penggusuran tempat tinggal, maupun penyempitan ruang kelola. Ketika suatu
kelompok rakyat itu, dan para pembelanya, menentang legitimasi dari proses
ini melalui tindakan langsung dan terus-menerus, terbentuklah kasus konflik
agraria. Konflik agraria yang bersifat struktural ini menjadi kronis dan
meluas karena penanganannya sama sekali tidak adekuat (Rachman 2013b).
Soetandyo Wignyosoebroto (1998) dalam suatu kesempatan
menyatakan bahwa
(P)engakuan oleh negara atas hak-hak atas tanah masyarakat adatpada hakekatnya adalah suatu refleksi kesediaan para pengemban
kekuasaan negara untuk mengakui eksistensi masyarakat adat yang
otonom, dan kemudian dari pada itu juga untuk mengakui hak-hakmasyarakat adat itu atas tanah dan segenap sumber daya alam yang
ada di atas dan/atau di dalamnya -- yang bernilai vital untuk
menjamin kelestarian fisik dan nonfisik masyarakat tersebut.
Hal ini benar adanya. MK adalah bagian dari pengemban kekuasaan
Negara, yang dengan sepenuhnya menyadari posisinya sebagai penentu
norma konstitusional tertinggi. Bagi penulis, putusan MK 35 itu yang
menetapkan perubahan status hutan adat dari kategori hutan negara ke
hutan adat adalah putusan yang istimewa karena bagian dari perjuangan hak
kewarganegaraan dari satu golongan penduduk dalam Republik Indonesia,
yang mengidentifikasi dirinya sebagai masyarakat adat. Ini adalah suatu
perjuangan tanah-air, perjuangan dari suatu golongan masyarakat dalam
Republik Indonesia yang hak kewarganegaraannya belum ter(di)pulihkan.
***)
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
28/34
Sajogyo Institutes Working Paper No. 5, 2013 | 23
Ucapan Terima Kasih
Naskah ini merupakan pengembangan dari argumen-argumen dan penjelasan lebihlanjut dari artikel yang penulis sajikan Perjuangan Masyarakat Adat, Kompas, 29
Mei, 2013; dan sajian penulis yang disampaikan pada berbagai acara: (i) Suatu panelpada the Conference of Property and Citizenship in Developing Societies,
University of Copenhagen, 31 May 2013; (ii) Suatu panel pada the Conference
Policies against Hunger, Land Ahead! Applying the Voluntary Guidelines on the
Responsible Governance of Tenure of Land, Fisheries and Forests in the Context of
National Food Security: From paper to practice, the German Federal Ministry ofFood, Agriculture and Consumer Protection (BMELV) Berlin, 11 June 2013; (iii)
Suatu diskusi di Leiden Southeast Asia Seminar, dengan tema Adat Communitiesand Agrarian Conflicts in Indonesia, 13 June. Leiden: KITLV, Leiden University; (iii)
Seminar on Political Economy of Indonesian Agrarian Reform, the Hague,
International Institute of Social Studies, 14 June 2013; (iv) Pertemuan Nasional
Sosialisasi dan Fasilitasi Proses Implementasi Mekanisme Dana Hibah Khusus dari
Program Investasi Kehutanan di Indonesia, Dewan Kehutanan Nasional - KamarMasyarakat, Bogor 27 Juni 2013; (v) Workshop Presidium Dewan Kehutanan
Nasional Penataan Kawasan Hutan Bagi Kebangkitan Kehutanan Nasional,
Yogyakarta, 17-18 Juli 2013; (vi) pada Rapat Kordinasi Penyelesaian Permasalahan
Tenurial Kawasan Hutan Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Barat, dan Maluku tahun 2013, Makasar 1-2 September 2013; (vii) Diskusi Pakar
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 22/PUU-X/2012, Kementerian Kordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta 09 Oktober 2013; (viii)
Lokakarya Penyusunan Strategi Percepatan Pengakuan Hutan Adat Pasca PutusanMK No 35/PUU-X/2012, Kemitraan, Partnership for Governance Reform in
Indonesia, Bogor, 20 Oktober 2013; dan (ix) Diskusi terfokus Penyusunan DIM
RUU Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Huum Adat, Kementrian Kehutanan,12 Desember 2013. Penulis berterima kasih pada semua yang telah menyumbangtanggapan apresiasi, kritik, maupun pertanyaan dalam forum-forum itu. Secara
khusus penulis berterima kasih pada Mia Siscawati, Ph.D., yang bersama -sama
penulis mengerjakan asesmentforest tenure reforms di Indonesia, suatu proyek yang
kami kerjakan atas permintaan Samdhana Institute. Tanggungjawab bagi kesalahanyang terjadi di tulisan ini berada pada pundak penulis.
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
29/34
24 | RALAT POLITIK HUKUM AGRARIA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA:Masyarakat Hukum Adat adalah Bukan Penyandang Hak, dan Bukan Subjek Hukum atas
Wilayah Adatnya
Lampiran
MENTERI KEHUTANANREPUBLIK INDONESIA
Yth. : 1. Gubernur di seluruh Indonesia;
2. Bupati/ Walikota di seluruh Indonesia;
3. Kepala Dinas Provinsi, Kabupaten / Kota yang membidangi kehutanan
di seluruh Indonesia
SURAT EDARAN
Nomor : SE.1 / Menhut-II/2013
TENTANG
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 35 /PUU-X/2012 TANGGAL 16 MEI 2013Sehubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 /PUU-X/2012 TANGGAL 16
MEI 2013 terkait dengan pengujian konstitusionalitas Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1),
Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004, dengan ini disampaikan hal -hal sebagai
berikut:
I. Memperhatikan:
1. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi:
a. Kata Negara dalam Pasal 1 angka 6 Undang -Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat, sehingga rumusan Pasal 1 angka 6 menjadi: Hutan adat
adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat.b. Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai
penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
c. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai Hutan negara sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf
a, tidak termasuk hutan adat.
d. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
e. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
f. Prasa dan ayat (2) dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999tentang Kehutanan, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menjadi Pemerintah menetapkan status
hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan hutan adat ditetapkan sepanjang
menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui
keberadaanya.
2. Pertimbangan Majelis Mahkamah Konstitusi:
a. Terhadap frasa dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat
hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaanya, frasa dimaksud
sudah tepat dan sejalan dengan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945.
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
30/34
Sajogyo Institutes Working Paper No. 5, 2013 | 25
b. Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada
lagi, maka hak pengelolaan hutan adat dikembalikan kepada Pemerintah, dan status
hutan adat pun beralih menjadi hutan negara.
c. Sepanjang Undang-Undang yang diperintahkan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar1945 belum terbentuk, dalam mengisi kekosongan hukum, maka pengukuhan dan
hapusannya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah, dapatdibenarkan sepanjang peraturan tersebut menjamin kepastian hukum dan berkeadilan.
II. Berdasarkan hal tersebut, maka:
1. Beberapa Pasal dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004, yaitu:
a. Pasal 1 angka 6 menjadi: Hutan adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah
masyarakat hukum adat.
b. Pasal 4 ayat (3) menjadi: Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hakmasyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-
undang.
Dengan demikian Pasal 4 ayat (3), diberlakukan terhadap masyarakat hukum adat yang
keberadaannya belum ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda).
c. Pasal 5 ayat (1), menjadi: Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari:
a. hutan negara;
b. hutan adat; dan
c. hutan hak.
d. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) alinea kesatu dan kedua dihapus
e. Pasal 5 ayat (2) dihapus
f. Pasal 5 ayat (3), menjadi: Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksudpada ayat (1), dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat
hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaanya.
Dalam hal ini yang menetapkan status Hutan Adat adalah Menteri Kehutanan, sepanjang
keberadaan masyarakat hukum adat telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda)
berdasarkan hasil penelitian oleh Tim, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dan
Penjelasan pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004.
2. Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi,
maka hak pengelolaan hutan adat dikembalikan kepada Pemerintah, dan status hutan adat
beralih menjadi hutan negara.
3. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, maka putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 mulai berlaku sejak tanggal 16 Mei 2013.
Demikian Surat Edaran ini dibuat untuk dijadikan pedoman.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Juli 2013
MENTERI KEHUTANAN,
Tebusan:
1. Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia;
2. Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan;
3. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;
4. Menteri Dalam Negeri;
5. Jaksa Agung;
6. Kepala Badan Pertanahan Nasional
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
31/34
26 | RALAT POLITIK HUKUM AGRARIA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA:Masyarakat Hukum Adat adalah Bukan Penyandang Hak, dan Bukan Subjek Hukum atas
Wilayah Adatnya
Daftar Pustaka
Arizona, Yance. 2011.Perkembangan Konstitusionalitas Penguasaan Negaraatas Sumber Daya Alam dalam Putusan Mahkamah Konstitusi. Jurnal
Konstitusi 8(3):1-43.
_____. 2012. Konsepsi Konstitusional Penguasaan Negara atas Agraria danPelaksanaannya. Tesis untuk memperoleh gelar Magister Hukum.
Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Jakarta.
Arizona, Yance, Siti Rakhma Mary Herwati dan Grahat Nagara. 2012. Anotasi
Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 mengenai Pengujian
Konstitusionalitas Kawasan Hutan dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 41
tahun 1999 tentang Kehutanan, Jakarta: Perkumpulan HuMa.Arizona, Yance, Siti Rakhma Mary Herwati dan Erasmus Cahyadi. 2013.Kembalikan Hutan Adat kepada Masyarakat Hukum Adat. Anotasi
Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 35/PUU-X/2012 mengenaiPengujian Undang-Undang Kehutanan. Jakarta: Epistema Institute,Perkumpulan HuMa, dan AMAN.
Fauzi, Noer dan Dianto Bachriadi. 1998. Hak Menguasai dari Negara:
Persoalan Sejarah yang Harus Diselesaikan, dalam Usulan Revisi
Undang-undang Pokok Agraria; Menuju Penegakan Hak-hak Rakyat
Atas Sumber-sumber Agraria. Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum
Nasional dan Konsorsium Pembaharuan Agraria.
Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik AgrariaIndonesia. Yogyakarta: Insist Press bekerjasama dengan Konsorsium
Pembaruan Agraria.
_____. 2000. Mensiasati Budaya Menyangkal : Konsep dan Praktek PolitikHukum yang Menyangkal kenyataan Hak-hak Masyarakat Adat Atas
Tanah, dalam Masyarakat Adat Dalam Mengelola Sumber Daya Alam,
Kumpulan Tulisan dan Diskusi tentang Hak-hak Masyarakat Adat
Indonesia. Diskusi diselenggarakan bersama oleh ICRAF dan
JAPHAMA, Cisarua, 27-28 Mei 2000. Halaman 44-53. Tersedia di
http://www.worldagroforestry.org/sea/Publications/files/book/BK0
025-04.PDF(last accessed on Aug 15, 2013)
_____. 2002. Konflik Tenurial: Yang Diciptakan Tapi Tak Hendak Diselesaikan.Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung.
Anu Lounela dan R. Yando Zakaria (Eds). Yogyakarta: Insist Press,Jurnal Antropologi, dan KARSA. Halaman 337-390.
Gellert, Paul K. 2010. Extractive Regimes: Toward a Better Understanding ofIndonesian Development. Rural Sociology 75. (1): 28-57.
Hall, Stuart. 2007. Epilogue: through the Prism of an Intellectual Life. in
Culture, Politics, Race, and Diaspora: The Thought of Stuart Hall, ed.
Brian Meeks. Kingston, Jamaica: Randle. Pp. 269-291.
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
32/34
Sajogyo Institutes Working Paper No. 5, 2013 | 27
Hunt, Alan. 1990. Rights and Social Movements: Counter-hegemonic
Strategies.Journal of Law and Society 17(3):309-328.
Laujeng, Hedar. 2010. Hukum Kolonial di Negara Merdeka. Naskah belumditerbitkan.
_____. 2012. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Makalah pada SimposiumMasyarakat Adat: Mempersoalkan Keberadaan Masyarakat Adatsebagai Subjek Hukum. HuMa, Perkumpulan Pembaruan Hukum
berbasis Masyarakat dan Ekologis. Jakarta, 27-28 Juni 2012.
Mahkamah Konstitusi. 2013. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_35%20PUU%202012-Kehutanan-
telah%20ucap%2016%20Mei%202013.pdf (Unduh terakhir 22Oktober 2013)
Mahkamah Konstitusi. 2012. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-
IX/2011
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_45%20PUU%202011-TELAH%20BACA.pdf (Unduh terakhir 22 Oktober
2013)
Mahkamah Konstitusi. 2004. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/Putusan022PUUI2003.pdf (Unduh terakhir 22 Oktober 2013)
Peluso, Nancy Lee. 1992. Rich Forests, Poor People: Resource Control andResistance in Java. Berkeley, CA: University of California Press.
Peluso, Nancy Lee, and Peter Vandergeest. 2001. "Genealogies of the PoliticalForest and Customary Rights in Indonesia, Malaysia, and Thailand.Journal of Asian Studies, 60, (2001) 761812.
Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat, Badan Pertanahan Nasional,
Republik Indonesia, 2013. Penyusunan Strategi PercepatanPengakuan Hutan Adat Pasca Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, bahansajian pada acara Lokakarya Penyusunan Strategi Percepatan
Pengakuan Hutan Adat Pasca Putusan MK No 35/PUU-X/2012,
Kemitraan, Partnership for Governance Reform in Indonesia, Bogor,
20 Oktober 2013
Rachman, Noer Fauzi. 2012a. Land Reform dari Masa ke Masa. Yogyakarta:Penerbit Tanah Air Beta dan Konsorsium Pembaruan Agraria.
_____. 2012b. Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah Airnya. Pidato pada
acara Pembukaan Kongres Masyarakat Adat Nusantara Ke-4, 19 April2012, Tobelo, Halmahera Utara.
http://www.kongres4.aman.or.id/2012/05/masyarakat-adat-dan-
perjuangan-tanah-airnya.asp(last accessed on May 27, 2013)
_____. 2012c. Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah Airnya. Kompas, 11
Juni, 2012._____. 2013a. Perjuangan Masyarakat Adat. Kompas, 29 Mei, 2013.
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
33/34
28 | RALAT POLITIK HUKUM AGRARIA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA:Masyarakat Hukum Adat adalah Bukan Penyandang Hak, dan Bukan Subjek Hukum atas
Wilayah Adatnya
_____. 2013b. Mengapa Konflik-Konflik Agraria Terus-Menerus Meletus DiSana Sini? Sajogyo Institutes Working Paper No. 1/2013. Bogor:
Sajogyo Institute. http://sajogyo-institute.or.id/publication/view/21 (last accessed 29 Juni 2013).
Robison, Richard. 1986. Indonesia: The Rise of Capital. Sydney:Allen & Unwin.
Sangaji, Arianto. 2012. Masyarakat Adat, Kelas dan Kuasa Eksklusi KompasKamis, 21 Juni 2012.
Sodiki, Ahmad. 2012. Konstitusionalitas Masyarakat Adat dalam Konstitusi.
Makalah pada Simposium Masyarakat Adat: MempersoalkanKeberadaan Masyarakat Adat sebagai Subjek Hukum. HuMa,
Perkumpulan Pembaruan Hukum berbasis Masyarakat dan Ekologis.
Jakarta, 27-28 Juni 2012.
Tilly, Charles. 1998. Durable Inequality. Berkeley: University of CaliforniaPress.
Somers, Margaret R. 2008. Genealogies of Citizenship: Markets, Statelessness,
and the Right to have Rights. New York: Cambridge University Press.
Wignjosoebroto, Soetandyo. 1998. Kebijakan Negara untuk Mengakui danTak Mengakui Eksistensi Masyarakat Adat Berikut Hak atas Tanahnya,dalam Jurnal Masyarakat Adat, No. 01 Tahun 1998, Bandung:
Konsorsium Pembaruan Agraria.
_____. 2012. Masyarakat Adat sebagai Subjek Hukum. Makalah padaSimposium Masyarakat Adat: Mempersoalkan Keberadaan
Masyarakat Adat sebagai Subjek Hukum. HuMa, Perkumpulan
Pembaruan Hukum berbasis Masyarakat dan Ekologis. Jakarta, 27-28Juni 2012.
-
5/28/2018 Rachman 2013 Ralat Politik Hukum Agraria Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
34/34
Sajogyo Institutes Working Paper No. 5, 2013 | 29
Noer Fauzi Rachman, Ph.D., yang dalam karya-karyanya terdahulu
menggunakan nama Noer Fauzi saja, memperoleh Ph.D. dalam bidang
Environmental Science, Policy and Management dari University of California,
Berkeley, pada tahun 2011. Sejak 2012 ia menjabat sebagai Direktur
Eksekutif Sajogyo Institute.
Sebelum bergabung ke dalam program doktoral di UC Berkeley pada tahun
2005, ia mulai aktif bekerja dalam organisasi non-pemerintah di tingkat
nasional sebagai pendiri dan sekaligus Ketua Badan Pelaksana Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA) Periode 1995-1998. Selanjutnya, selain
melanjutkan kepemimpinan secara kolektif (bersama dua orang ketua
lainnya) di KPA untuk periode 1998-2002, dia juga aktif sebagai anggota,
pelatih, fasilitator, peneliti, dan penulis, di antaranya, pada Perhimpunan
Lingkar Belajar untuk Pembaruan Agraria dan Desa (KARSA), Indonesian
Society for Social Transformation (INSIST), dan perkumpulan untukPembaruan Hukum dan Masyarakat (HuMa). Sepanjang masa lebih dari dua
puluh tahun sebagai scholar activist dia sangat produktif menghasilkan karya
tulis berupa buku, panduan latihan, bab dalam buku, maupun artikel dalam
jurnal, yang mencakup tema politik dan gerakan agraria, kebijakan dan
hukum pertanahan dan kehutanan, pengelolaan sumber daya alam, gerakan
sosial pedesaan, desentralisasi demokratik, dan pemberdayaan rakyat,
pendidikan popular dan advokasi kebijakan. Buku utamanya yang terbit lebih
dari sepuluh tahun yang lalu, dan juga telah menjadi bahan rujukan bagi
banyak kalangan di dunia akademik, adalah Petani dan Penguasa, Dinamika
Perjalanan Politik Agraria Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja
sama dengan Insist Press dan Konsorsium Pembaruan Agraria, 1999), Memahami Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga (Yogyakarta: Insist Press,
2005). Buku terakhirnya adalah Land Reform Dari Masa ke Masa(Yogyakarta:
Tanah Air Beta dan KPA, 2012). Edisi kedua buku ini diterbitkan oleh Sekolah
Tinggi Pertanahan Nasional (2013). Penulis dapat dihubungi via e-mail: