Referat Besar Kusta

27
KUSTA Mujahid Amiruddin Abdullah, Muhammad Fadzhil Amran Pendahuluan Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kata lepra disebut dalam kitab Injil, terjemahan dari bahasa Hebrewzaraath yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. (1) Kusta merupakan penyakit utama di 24 buah negara dan 92% kasus dari 11 negara teratasnya penyumbang kasus kusta.Kusta menjadi penyakit utama khususnya di negara-negara berkembang. Kusta adalah endemik di semua benua, kecuali Antartika. Negara-negara Eropa selatan mempunyai insiden yang sangat rendah, sedangkan kusta adalah endemik di kepulauan Pasifik. (2,3,4) Kusta merupakan suatu infeksi kronis pada kulit dan saraf oleh Mycobacterium Leprae. Penyakit ini menular melalui droplet dan mempunyai waktu inkubasi yang panjang (dari dua bulan ke 40 tahun). Gejala klinis penyakit ini tergantung pada kekebalan tubuh terhadap bakteri penyebab penyakit ini. (5) India menyumbang 80% dari kasus di seluruh dunia, dengan Brazil, Indonesia, Myanmar, Madagaskar, dan Nepal menjadi negara dengan prevalensi tertinggi. Kebiasaan mencari bantuan sangat memainkan peran penting dalam diagnosis dini dan pengobatan yang efektif. Tanggapan masyarakat yang buruk dan 1

Transcript of Referat Besar Kusta

Page 1: Referat Besar Kusta

KUSTA

Mujahid Amiruddin Abdullah, Muhammad Fadzhil Amran

Pendahuluan

Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha, dikenal

sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kata lepra disebut dalam kitab Injil, terjemahan dari

bahasa Hebrewzaraath yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. (1)

Kusta merupakan penyakit utama di 24 buah negara dan 92% kasus dari 11 negara

teratasnya penyumbang kasus kusta.Kusta menjadi penyakit utama khususnya di negara-

negara berkembang. Kusta adalah endemik di semua benua, kecuali Antartika. Negara-negara

Eropa selatan mempunyai insiden yang sangat rendah, sedangkan kusta adalah endemik di

kepulauan Pasifik. (2,3,4)

Kusta merupakan suatu infeksi kronis pada kulit dan saraf oleh Mycobacterium

Leprae. Penyakit ini menular melalui droplet dan mempunyai waktu inkubasi yang panjang

(dari dua bulan ke 40 tahun). Gejala klinis penyakit ini tergantung pada kekebalan tubuh

terhadap bakteri penyebab penyakit ini. (5)

India menyumbang 80% dari kasus di seluruh dunia, dengan Brazil, Indonesia,

Myanmar, Madagaskar, dan Nepal menjadi negara dengan prevalensi tertinggi. Kebiasaan

mencari bantuan sangat memainkan peran penting dalam diagnosis dini dan pengobatan yang

efektif. Tanggapan masyarakat yang buruk dan salah terhadap penyakit kusta masih banyak di

kalangan masyrakat sekarang(4,6,7)

Definisi

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya adalah

Mycobacterium Leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas

pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain

kecuali susunan saraf pusat. (1)

1

Page 2: Referat Besar Kusta

Etiologi

Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A.Hansen

pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dikultur dalam media

artifisial. Mycobacterium leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam

dan alkohol serta gram-positif. Mycobacterium leprae dapat hidup pada suhu 30-33oC. (1,2)

Patogenesis

Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginokulasikan Mycobacterium Leprae pada

kaki mencit, dan berkembang biak di sekitar tempat suntikan. Mycobacterium Leprae

mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, jumlah kuman yang banyak pada

penderita belum tentu memberikan gejala yang berat, bahkan dapat sebaliknya.

Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit ini disebabkan oleh respon

imun yang berbeda. Kusta merupakan infeksi bakteri kronis dan tegolong dalam kategori

penyakit kurang nutrisi. (1,8)

Reaksi kekebalan tubuh pasien terhadap basil kusta merupakan elemen penting dalam

menentukan kesan dari suatu infeksi. Pada pasien Tuberculoid ditemukan “well-formed

granuloma” yang mengandung sel T- helper, sedangkan pasien lepromatosa ditemukan

kurang granulomanya dengan suppressor T-cells mendominasi. Sitokin pada lesi tuberkuloid

adalah petanda bahwa imunitas seluler yang baik dengan adanya interferon (IFN-gamma) dan

interleukin (IL-2). Meskipun respon kekebalan tubuh yang dimediasi sel dari pasien

lepromatosa terhadap M. leprae berkurang, pasien ini tidak ditekan kekebalanya terhadap

penyakit lain.(4)

Gejala Klinis

Diagnosis penyakit kusta berdasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan

histopatologis. Diagnosa klinis merupakan yan terpenting dan paling sederhana. Hasil

bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan histopatologik

sekitar 10-14 hari. Tes Lepromin (Mitsuda) dapat membantu dalam penentuan tipe dimana

hasilnya dapat diketahui setelah 3 minggu. Penentuan tipe kusta perlu dilakukan agar dapat

menentukan terapi yang sesuai. Presentasi klinis kusta sangat bervariasi dan bisa menyerupai

lesi di penyakit lain di setiap tahapannya.(1,9)

2

Page 3: Referat Besar Kusta

Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada penyakit kusta

yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu (1)

TT : Tuberkuloid polar, bentuk stabil

Ti : Tuberkuloid indefinite

BT : Borderline tuberkuloid

BB : Mid Borderline

BL : Borederline Lepromatous

Li : Lepromatous indefinite

LL : Lepromatosa polar, bentuk yang stabil

Tuberculoid polar (TT) : Tipe ini merupakan tipe yang stabil. Granuloma tuberkuloid kulit,

terdiri dari kelompok sel epithelioid dengan sel raksasa, ditemukan di kusta tuberkuloid.

Dengan imunitas yang baik, sebagaimana terlihat dari penyembuhan secara spontan dan tidak

adanya penurunan daya tahan tubuh. (1,3,4)

Gambar 1: Lesi soliter, anestesi, dan annular pada kusta tuberkuloid,

selama 3 bulan. Batas tegas, ertema dengan tepi lebih meninggi. (3)

Borderline tuberculoid (BT) : Karekteristik dari tipe ini terdapat lesi satelit disekitar papul

atau makul. Histopatologi tipe borderline tuberculoid adalah serupa dengan yang terlihat di

tuberkuloid yang lain tetapi epithelioid sel menunjukkan beberapa bacilli vacuolation dan

“grenz zone” yang memisahkan infiltrasi inflamasi dari epidermis diatasnya. Pada penyakit

BT, kekebalan cukup kuat untuk menahan infeksi.(3,4)

3

Page 4: Referat Besar Kusta

Gambar 2: Salah satu dari beberapa lesi borderline kusta tuberkuloid, yang memiliki konfigurasi annular dengan

papula satelit. (3)

Borderline (BB) : Pada tipe ini merupakan tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberkuloid

dan 50% lepromatosa. BB adalah pertengahan zona granulomatosa yang merupakan daerah

yang paling tidak stabil. Dalam kusta borderline ini, terdapat banyak lesi kulit (tapi dapat

dihitung) dan terdiri dari plak merah yang tidak beraturan. Lesi satelit kecil dapat dilihat

mengelilingi plak yang lebih besar. (1,3,4)

Gambar 3: Borderline Leprosy. (4)

4

Page 5: Referat Besar Kusta

Borderline lepromatous (BL) : Dalam kusta Borderline Lepromatous, terlihat lesi simetris,

banyak (terlalu banyak untuk dihitung) dan termasuk makul, papul, plak dan nodul. Pasien

biasanya tidak menunjukkan full-blown kusta lepromatosa, seperti madarosis, keratitis,

ulserasi hidung dan “leonine facies”. Kelumpuhan saraf di badan merupakan prevalensi

tertinggi pada penyakit BL tetapi bervariasi jumlahnya, mulai dari tidak ada defisit motorik

dan sensorik yang serius kesemua ekstremitas. Keterlibatan kedua saraf median dan ulnar

sering simetris adalah karakteristiknya. (3,4)

Gambar 4 : Beberapa lesi pada pasien dengan kusta borderline lepromatosa. (3)

5

Page 6: Referat Besar Kusta

Lepromatous polar (LL) : Tipe ini merupakan lepromatosa 100% yang juga merupakan

bentuk yang stabil. Manifestasi klinis pertama biasanya pada kulit (karena keterlibatan saraf

awal biasanya tanpa gejala) tetapi mungkin tidak diketahui oleh pasien. Pasien sering

mengeluh gejala awal lainnya seperti epistaksis, edema kaki dan pergelangan kaki karena

peningkatan permeabilitas kapiler. (2,3)

Gambar 5 : Beberapa dermatofibroma seperti lesi (histoid) yang soliter dan konfluen pada kusta lepromatosa. (3)

Menurut WHO kusta dibagi mejadi tipe multibasilar dan pausibasilar. Yang termasuk

dalam multibasilar (MB) adalah tipe LL, BL dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan

Indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan pausibasilar adalah tipe I, TT dan BT dengan IB

kurang dari 2+. Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan.

Yang dimaksudkan dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan

kerokan kulit, yaitu tipe-tipe I, TT, dan BT menurut klasifikasi Ridley & Jopling. Pada tipe-

tipe tersebut disertai Bakteri Tahan Asam (BTA) positif, maka akan dimasukkan ke dalam

kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL, dan LL atau

apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus diobati dengan rejimen Multi Drug

Treatment (MDT).(1)

PB MB

6

Page 7: Referat Besar Kusta

1. Lesi kulit

(makula datar, papul

yang meninggi,

nodus)

- 1-5 lesi

- Hipopigmentasi/eritema

- Distribusi tidak simetris

- Hilangnya sensasi yang

jelas

- > 5 lesi

- Distribusi lebih simetris

- Hilangnya sensasi kurang

jelas

2. Kerusakan saraf

(menyebabkan

hilangnya sensasi/

kelemahan otot yang

dipersarafi olef saraf

yang terkena)

- Hanya satu cabang saraf - Banyak cabang saraf

Tabel 1 : Bagian diagnosis klinis menurut WHO (1995). (1)

Namun gejala kusta mungkin bisa tidak terdiagnosis atau tertunda diagnosisnya

dengan semakin meningkatnya morbiditas yang disebabkan oleh penyakit. Beberapa

presentasi yang tidak biasa pada kulit normal seperti urtikaria seperti adenoma sebaseum dan

lesi nodular. Dilaporkan terdapat kasus kusta lepromatosa dengan kulit normal kecuali dengan

beberapa nodul kulit yang berwarna pada lobus telinga dan lesi menyerupai reaksi tipe II pada

tubuh.(11)

Diagnosis

7

Page 8: Referat Besar Kusta

Diagnosis dapat berdasarkan pada gambaran klinik, bakterioskopis, histopatologi.

Klinis yang terpenting dan paling sederhana untuk dilakukan. Terdapat 3 cardinal sign pada

penyakit kusta, yaitu:

1. Lesi kulit yang hipostesi atau anastesi. Lesi dapat berupa hipopigmentasi maupun

eritematous

2. Penebalan saraf yang disertai gangguan fungsi. Saraf yang sering terlibat adalah n.

Facialis, n. Auricularis magnus, n. Radialis, n. Ulnaris, n. Medianus, n. Cutaneus

radialis, n. Peroneus communis, n. tibialis posterior

3. Basil Tahan Asam (+)

Apabila ditemukan salah satu dari cardinal sign tersebut, maka penyakit kusta dapat

ditegakkan, tetapi pernah dilaporkan kasus dimana tidak terdapat cardinal signs dengan lesi

kulit eritematous beserta penurunan rangsangan sensoris.(2,10)

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan berupa pemeriksaan bakterioskopik,

histopatologik dan serologik.

Pada pemeriksaan bakterioskopik, sediaan dibuat dari kerokan kulit yang diwarnai

dengan pewarnaan basil tahan asam dengan pewarnaan “ziehl –neelsen”. Bakterioskopik

negatif pada seorang penderita bukan berarti orang tersebut tidak mengandung basil M.

Leprae atau menderita kusta. Pertama harus ditentukan lesi di kulit yang paling padat dengan

basil dengan terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil. Mengenai jumlah

lesi juga ditentukan oleh tujuannya, yaitu untuk riset atau rutin. Untuk rutin sebaiknya

minimal 4-6 tempat, yaitu kedua bagian bawah cuping telinga dan 2-4 lesi lain yang paling

aktif, yaitu yang paling eritematosa dan paling infiltratif.(1)

Histopatologik. Apabila seseorang memiliki Sistem Imunitas Selular (SIS) yang

tinggi maka makrofag mampu memfagosit M. leprae. Pada penderita yang memiliki SIS

rendah, makrofag tidak dapat memfagosit M.leprae, bahkan menjadi tempat berkembang biak

dan disebut sel Virchow atau sel lepra. (1)

Gambaran histopatologik untuk tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf

yang lebh nyata, tidal ada basil atau hanya sedikit dan nonsolid. Pada tipe lepromatosa

terdapat subepidermal clear zone, yaitu suatu daerah dibawah epidermis yang jaringannya

tidak patologik didapatkan sel Virchow dengan basil yang banyak. Diagnosis histologis

8

Page 9: Referat Besar Kusta

konfirmasi pada penyakit kusta memerlukan adanya infiltrasi di dalam dermal saraf dengan

atau adanya bakteri tahan asam (BTA). (1,12)

Gambar 11 : Pemandangan daya rendah menunjukkan granuloma tuberkuloid sekitar saraf dan kulit pelengkap

pada pertengahan dermis dan bengkak, saraf kulit dalam. (2)

Serologik. Pemeriksaan didasarkan pada pembentukan antibodi spesifik tubuh

terhadap M.Leprae yaitu anti phenolic glicolipid-1 (GPL-1). Kegunaan pemeriksaan ini untuk

membantu diagnosis kusta yang meragukan jika tanda klinis dan bakterioslogik tidak jelas.

Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM),

yang juga dihasilkan oleh kuman M. Tuberkulosis(1)

Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diagnosis kusta yang

meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik yang tidak jelas. Di samping itu dapat

membantu menentukan kusta subklinis, karena tidak didapati lesi kulit. Misalnya pada kontak

serumah. Macam–macam pemeriksaan serologik kusta ialah : (1)

a. Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)

b. Uji ELISA (Enzyme Linked ImmunoSorbent Assay)

c. ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick)

Diagnosis banding

9

Page 10: Referat Besar Kusta

Banyak penyakit yang menjadi diagnosis banding untuk kusta. Untuk diagnosis

banding tersebut di nilai dari bentuk kesamaan lesi. Untuk lesi makula hipopigmentasi tanda

lahir yang abnormal berpigmen tetapi secara fisiologisnya normal pada lesi pigmentasi

vitiligo. Lesi kusta tidak pernah benar-benar depigmentasi. Lesi hipopigmentasi eksim,

terutama pityriasis alba pada anak-anak sulit untuk dibedakan dari makula lepromatosa namun

permukaannya sering bersisik dan dari pewarnaan tidak ditemukan BTA. Pityriasis versikolor

tidak selalu bersisik tetapi terdapat distribusi sentral pada badan dan adanya makula yang

berbeda dengan karakteristik dari makula lepromatosa. Lesi tinea korporis yang gatal dan

mungkin memiliki tepi vesicular dan hasil pemeriksaanmikologi ditentukan adanya jamur.(2)

Gambar 12 : Pityriasis Versikolor. (3)

Untuk lesi berbentuk papul dan nodul dermatofibroma dapat terdiagnosa banding

denga limfoma dan sarkoidosis. Selain tinea, granuloma multiforme, sarkoidosis dan

tuberkulosis kulit mungkin menyerupai kusta tuberkuloid. Namun lesi pada saraf bisa berupa

tidak anaestetik. Saraf perifer kadang-kadang dapat membesar pada sarkoidosis.(2)

10

Page 11: Referat Besar Kusta

Gambar 13 : Sarkoidosis Cutaneous wajah berbentuk popular dan beberapa papula. (3)

Untuk lesi berbentuk nodul bisa didiagnosa banding dengan Cutaneous Leishmanin

tetapi lesi pada penyakit ini cenderung untuk membentuk krusta dan erupsi setelah beberapa

minggu atau bulan. Pewarnaan slit-skin dapat membuktikan diagnosa Cutaneous

Leishmaniasis ini. Lesi pada penderita Post-kala-azar Leishmaniasis di India dan Afrika

Timur mempunyai distribusi dan penampakan lesi yang hampir sama seperti lesi pada

penderita Lepramatous Leprosy (LL). Cutaneous Leishmaniasis ini disebabkan oleh protozoa

Leishmania tropica dan ditularkan oleh gigitan agas. Spektrum penyakit ini tergantung pada

kekebalan tubuh pasien itu sendiri.(2,5)

Pada Leishmaniasis akut terdapat bintil merah terjadi dilokasi dan bisa membesar atau

mungkin tidak membentuk ulserasi dan bisa sembuh sendiri secara spontan setelah sekitar

satu tahun tanpa meninggalkan bekas luka ulserasi.(5)

11

Page 12: Referat Besar Kusta

Gambar 14 : Leishmaniasis akut. (5)

Pada pasien dengan imunitas sel yang baik, setelah leishmaniasis akut telah sembuh,

granulomata baru muncul di tepi bekas luka dan tidak sembuh spontan. (5)

Gambar 14 : Chronic Leishmaniasis. (5)

Reaksi Kusta

12

Page 13: Referat Besar Kusta

Reaksi kusta adalah episode akut pada perjalanan penyakit sangat kronik.

Patofisiologinya belum jelas dan klasifikasinya masih bermacam-macam. Mengenai

patofisiologinya yang belum jelas itu dapat dijelaskan secara imunologik. Kondisi reaksional

kusta yang khas, jaringan destruktif, proses inflamasi dan kekebalannya sangat dipengaruhi

dengan meningkatnya morbiditas penyakit. Reaksi adalah aspek karakteristik dan klinis

penting dari penyakit kusta. Lima puluh persen pasien akan mengalami reaksi setelah

multidrug therapy (MDT). (1,3,4)

Reaksi imun dapat menguntungkan tetapi dapat merugikan yang disebut sebagai reaksi

imun patologik. Reaksi kusta ini diklasifikasikan menjadi, (1)

- (Tipe 1) Reaksi reversal

- (Tipe 2) E.N.L (eritema nodusum leprosum)

Tipe 1 reaksi ditandai dengan neuritis akut dengan atau tanpa lesi kulit akut yang

meradang. Saraf sering melebar dengan hilangnya fungsi sensorik dan motorik. Lesi kulit

yang ada menjadi eritematosa atau edema dan memungkinkan terjadinya deskuamasi.(2)

Gejala klinis reaksi reversal umumnya sebagian atau seluruh lesi yang ada bertambah

aktif dengan atau tanpa timbulnya lesi baru dalam waktu yang singkat. Adanya gejala neuritis

akut penting diperhatikan karena sangat penting dalam menentukan pemberian pengobatan

kortikosteroid. (1)

Reaksi tipe 1 merupakan suatu respon imun terhadap Mycobacterium Leprae dan

umumnya terjadi setelah pengobatan dimulai. Jika reaksi terjadi dengan kemoterapi antibiotik,

disebut reaksi reversal dan jika terjadi sebagai pergeseran batas penyakit ke arah lepromatous

(penurunan) ia disebut reaksi downgrading. Diagnosis biasanya dilakukan secara klinis.

Biopsi kulit digunakan untuk mendukung diagnosis.(4,12)

Reaksi berat tipe 1 biasanya dikaitkan dengan neuritis di badan dan kadang-kadang

mungkin ada pembentukan ulkus di atas lesi dengan gejala konstitusional. Kondisi selain

kusta dan biopsi dilakukan sebagai prosedur pemeriksaan untuk mengkonfirmasi dan untuk

menentukan sifat sebenarnya lesi. Multi Drug Therapy (MDT) dapat dimulai sesuai pedoman

sebelum adanya laporan bakteriologis. (10)

13

Page 14: Referat Besar Kusta

Gambar 6 : Beberapa lesi memperlihatkan tanda awal pada pasien dengan reaksi delayed-type

hypersensitivity yang memiliki batas kusta lepromatosa. (3)

Gambar 7 : Reaksi tipe 1. (4)

Tipe 2 eritema nodusum leprosum (ENL) merupakan suatu reaksi yang terjadi pada

pasien dengan tipe multibasiler (LL dan BL). Mungkin terjadi secara spontan sementara

14

Page 15: Referat Besar Kusta

dalampen gobatan. ENL paling sering terjadi pada LL dengan 75 persen kasus tetapi jarang

pada pasien BL. Hal ini dapat terjadi sebelum, selama, atau setelah kemoterapi.(2,3)

Eritema nodusum leprosum (ENL) timbul terutama pada tipe lepromatosa polar dan

dapat pula pada BL, berarti semakin tinggi tingkat multibasilarnya semakin besar

kemungkinan timbulnya ENL. Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa

eritemanodusumdan nyeri di tempat predileksi seperti di lengan dan tungkai. Bila mengenai

organ lain dapat menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis,

orkitis dan nefritis yang akut. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat

yang dapat ditjelaskan secara imunologik.(1)

Berbeda dengan reaksi tipe 1, keterlibatan multisistem biasanya disertai dengan gejala

sistemik seperti demam, mialgia, arthralgia dan anoreksia. Lesi kulit yang khas seperti

eritematosa subkutan dan nodul kulit yang banyak terlihat. Tidak seperti eritema nodosum

klasik, lesi umumnya pada lengan ekstensor dan medial paha.(4)

er

Gambar 8 : Reaksi pada kusta lepromatous pada seorang pria Bangladesh, menunjukkan nekrosis parah dan

ulserasi. (2)

15

Page 16: Referat Besar Kusta

Gambar 9 : Reaksi tipe 2 dalam kusta lepromatosa pada seorang pria Nigeria: eritema nodosum

leprosum (ENL). Beberapa nodul terdapat nanah. (2)

Gambar 10 : Lesi eritema nodosum leprosum pada penderita kusta lepromatosa berwarna merah muda cerah. (3)

Penatalaksanaan

Ada lima prinsip utama dari perawatan:

1. Hentikan infeksi dengan kemoterapi.

2. Perlakukan reaksi dan mengurangi risiko kerusakan saraf.

3. Mengatasi kerusakan saraf yang ada, khususnya anestesi.

4. Mengobati komplikasi kerusakan saraf.

5. Merehabilitasi pasien sosial dan psikologis.16

Page 17: Referat Besar Kusta

Tujuan ini hanya dapat dicapai dengan kerjasama dan keyakinan dari pasien. Diusahakan

dilakukan melalui klinik rawat jalan. Pasien akan sering membutuhkan beberapa konsultasi

segera setelah diagnosis untuk mengatasi ketakutan mereka dan membangun keyakinan

mereka.(4)

Rekomendasi untuk penyakit paucibacillary adalah 600 mg rifampisin di bawah

pengawasan sebulan sekali selama 6 bulan dan 100 mg/hari dapsone selama 6 bulan, tanpa

pengawasan. Untuk penyakit paucibacillary lesi tunggal dosis tunggal 600 mg rifampisin,

ofloksasin 400 mg dan 100 mg minosiklin. Dianjurkan semua diminum pada satu waktu.

Pasien multibasiler (BT, BB, BL dan LL) diperlakukan dengan empat obat. Rifampisin 600

mg dan 300 mg klofazimin, sebulan sekali di bawah pengawasan, dapson 100 mg per tiap hari

dan klofazimin 50 mg per tiap hari.Pengobatan selama 1 bulan. Untuk pasien yang sensitif

terhadap clofazamine, rejimen pengobatan adalah rifampisin 600 mg, ofloksasin 400 mg dan

minosiklin 100 mg sekali sebulan untuk 24 dosis. Klofazamin 50 mg, ofloksasin 400 mg dan

minosiklin 100 mg sehari selama 6 bulan diikuti oleh 18 bulan dari klofazamin ditambah

harian oflxasin atau minosiklin selama 18 bulan merupakan terapi alternatif.(2)

Dalam reaksi reversal karena risiko kerusakan saraf permanen, pemberian cepat terapi

prednison (0,5-1,0 mg / kg / hari) dianjurkan. Dosis prednison diturunkan tergantung dari

gejala pasien dengan gejala kelainan saraf dan evaluasi sensorik pada tangan dan kaki.

Terapi harus dikurangi secara perlahan dan pasien diberitahukan bahwa selama 6 bulan atau

lebih prednison mungkin masih diperlukan. Pada ENL, thalidomide sangat efektif dalam

mayoritas pasien jika tersedia memiliki efek teratogenik. Biasanya dimulai dengan 100

sampai 200 mg setiap malam dan jika kurang efektif, bisa ditambahkan prednisone 0,5-1,0 mg

/ kg dan dikurangi selama 6 sampai 8 minggu.(3)

Reaksi dan gangguan fungsi saraf adalah penyebab utama dari kecacatan dan

morbiditas pada pasien penyakit kusta. Pendeteksian awal dan pengobatan yang tepat pada

mereka dapat mengurangi komplikasi yang terkait dengan kondisi ini secara signifikan.

Bersama dengan deteksi dini, terapi yang tepat dan mencukupi dengan rejimen obat yang

tepat juga memainkan peran utama dalam mengurangi morbiditas yang terkait dengan

kerusakan saraf pada pasien kusta. Steroid menjadi agen utama yang digunakan untuk

pengobatan kerusakan saraf. Petugas kesehatan juga harus dilatih dengan metode sederhana

untuk mendiagnosa dan menanggani penyakit kusta.(14,15)

17

Page 18: Referat Besar Kusta

Daftar Pustaka

1. Kosasih A, Wisnu MI, Sjamsoe-Daili SE, Menaldi SL. Kusta. In: Djuanda A, Hamzah

M, Aisah S, eds. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. 6th ed. Jakarta, Indonesia: Balai

Penerbit FKUI; 2010. p. 89-105.

2. Lockwood DNJ. Leprosy. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, eds. Rook’s

Textbook of Dermatology. 8th ed. Australia: Willey-Blackwell; 2010. p. 32.9-15.

3. Rea TH, Modlin RL. Leprosy. In: Wolff K, Goldsmith AL, Katz IS, Gilchrest AB,

Paller SA, Leffel JD, eds. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medecine. 7th Ed.

New York: Mc Grew Hill Medical; 2008. p. 1824-34.

18

Page 19: Referat Besar Kusta

4. James DW, Berger GT, Elston MD. Hansen’s Disease. In: James WD, Berger GT,

Elston DM, eds. Andrew’s Disease of The Skin. 3rd Ed. Elsvier Saunders; 2006. p. 359-

362.

5. Leppard B. Tropical Dermatology. In: Buxton PK, eds. ABC of Dermatology. 4rd Ed.

BMJ Books; 2003. p.118-9

6. A Samraj, S Kaki, PSS Rao. “Help-Seeking habits of untreated leprosy patients

reporting to a referral hospital in Uttar Pradesh, India”. Hind Kusht Nivaran Sangh,

New Delhi. Indian J Lepr 2012, 84 : 123-129

7. S Singh, AK Sinha, BG Banerjee, N Jaswal. “Participation level of the leprosy

patients in society”. Hind Kusht Nivaran Sangh, New Delhi. Indian J Lepr 2012, 84 :

181-187

8. PSS Rao, AS John. “Nutritional status of leprosy patients in India”. Hind Kusht

Nivaran Sangh, New Delhi. Indian J Lepr 2012, 84 : 17-22

9. Raval RC. “Various faces of Hansen’s disease”. Indian J Lepr 2012, 84 : 155-160

10. Mandal BC, Bandyopadhyay G. “Leprosy mimicry of lupus vulgaris and misdiagnosis

of leprosy” - a case report. Indian J Lepr 2012. 84 : 23-25.

11. Barman KD, Goel K, Agarwal P. Lepromatous leprosy with an uncommon

presentation: A case report. Indian J Lepr 2013, 85 : 27-31.

12. M Natrajan, K Katoch, VM Katoch Ram Das, and VD Sharma.“Histological

Diagnosis of Early and Suspicious Leprosy by In situ PCR”. Hind Kusht Nivaran

Sangh, New Delhi. Indian J Lepr 2012, 84 : 185-194

13. Thomas M, Ponnaiya J, Emmanuel M, Richard J. “Type I Reaction in Leprosy” - A

Histopathological Analysis. Indian J Lepr 2013, 85 : 1-4.

14. VV Pai, PU Tayshetye, R Ganapati. “A study of Standardized regimens of steroid

treatment in reaction in leprosy at a referral centre”.Indian J Lepr. 2012, 84 : 9-15

15. MT Htoon, V Pannikar.“Global leprosy scenario and vision beyond 2010”. Hind

Kusht Nivaran Sangh, New Delhi. Indian J Lepr 2009, 81 : 209

19