KUSTA
Mujahid Amiruddin Abdullah, Muhammad Fadzhil Amran
Pendahuluan
Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha, dikenal
sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kata lepra disebut dalam kitab Injil, terjemahan dari
bahasa Hebrewzaraath yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. (1)
Kusta merupakan penyakit utama di 24 buah negara dan 92% kasus dari 11 negara
teratasnya penyumbang kasus kusta.Kusta menjadi penyakit utama khususnya di negara-
negara berkembang. Kusta adalah endemik di semua benua, kecuali Antartika. Negara-negara
Eropa selatan mempunyai insiden yang sangat rendah, sedangkan kusta adalah endemik di
kepulauan Pasifik. (2,3,4)
Kusta merupakan suatu infeksi kronis pada kulit dan saraf oleh Mycobacterium
Leprae. Penyakit ini menular melalui droplet dan mempunyai waktu inkubasi yang panjang
(dari dua bulan ke 40 tahun). Gejala klinis penyakit ini tergantung pada kekebalan tubuh
terhadap bakteri penyebab penyakit ini. (5)
India menyumbang 80% dari kasus di seluruh dunia, dengan Brazil, Indonesia,
Myanmar, Madagaskar, dan Nepal menjadi negara dengan prevalensi tertinggi. Kebiasaan
mencari bantuan sangat memainkan peran penting dalam diagnosis dini dan pengobatan yang
efektif. Tanggapan masyarakat yang buruk dan salah terhadap penyakit kusta masih banyak di
kalangan masyrakat sekarang(4,6,7)
Definisi
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya adalah
Mycobacterium Leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain
kecuali susunan saraf pusat. (1)
1
Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A.Hansen
pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dikultur dalam media
artifisial. Mycobacterium leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam
dan alkohol serta gram-positif. Mycobacterium leprae dapat hidup pada suhu 30-33oC. (1,2)
Patogenesis
Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginokulasikan Mycobacterium Leprae pada
kaki mencit, dan berkembang biak di sekitar tempat suntikan. Mycobacterium Leprae
mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, jumlah kuman yang banyak pada
penderita belum tentu memberikan gejala yang berat, bahkan dapat sebaliknya.
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit ini disebabkan oleh respon
imun yang berbeda. Kusta merupakan infeksi bakteri kronis dan tegolong dalam kategori
penyakit kurang nutrisi. (1,8)
Reaksi kekebalan tubuh pasien terhadap basil kusta merupakan elemen penting dalam
menentukan kesan dari suatu infeksi. Pada pasien Tuberculoid ditemukan “well-formed
granuloma” yang mengandung sel T- helper, sedangkan pasien lepromatosa ditemukan
kurang granulomanya dengan suppressor T-cells mendominasi. Sitokin pada lesi tuberkuloid
adalah petanda bahwa imunitas seluler yang baik dengan adanya interferon (IFN-gamma) dan
interleukin (IL-2). Meskipun respon kekebalan tubuh yang dimediasi sel dari pasien
lepromatosa terhadap M. leprae berkurang, pasien ini tidak ditekan kekebalanya terhadap
penyakit lain.(4)
Gejala Klinis
Diagnosis penyakit kusta berdasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan
histopatologis. Diagnosa klinis merupakan yan terpenting dan paling sederhana. Hasil
bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan histopatologik
sekitar 10-14 hari. Tes Lepromin (Mitsuda) dapat membantu dalam penentuan tipe dimana
hasilnya dapat diketahui setelah 3 minggu. Penentuan tipe kusta perlu dilakukan agar dapat
menentukan terapi yang sesuai. Presentasi klinis kusta sangat bervariasi dan bisa menyerupai
lesi di penyakit lain di setiap tahapannya.(1,9)
2
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada penyakit kusta
yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu (1)
TT : Tuberkuloid polar, bentuk stabil
Ti : Tuberkuloid indefinite
BT : Borderline tuberkuloid
BB : Mid Borderline
BL : Borederline Lepromatous
Li : Lepromatous indefinite
LL : Lepromatosa polar, bentuk yang stabil
Tuberculoid polar (TT) : Tipe ini merupakan tipe yang stabil. Granuloma tuberkuloid kulit,
terdiri dari kelompok sel epithelioid dengan sel raksasa, ditemukan di kusta tuberkuloid.
Dengan imunitas yang baik, sebagaimana terlihat dari penyembuhan secara spontan dan tidak
adanya penurunan daya tahan tubuh. (1,3,4)
Gambar 1: Lesi soliter, anestesi, dan annular pada kusta tuberkuloid,
selama 3 bulan. Batas tegas, ertema dengan tepi lebih meninggi. (3)
Borderline tuberculoid (BT) : Karekteristik dari tipe ini terdapat lesi satelit disekitar papul
atau makul. Histopatologi tipe borderline tuberculoid adalah serupa dengan yang terlihat di
tuberkuloid yang lain tetapi epithelioid sel menunjukkan beberapa bacilli vacuolation dan
“grenz zone” yang memisahkan infiltrasi inflamasi dari epidermis diatasnya. Pada penyakit
BT, kekebalan cukup kuat untuk menahan infeksi.(3,4)
3
Gambar 2: Salah satu dari beberapa lesi borderline kusta tuberkuloid, yang memiliki konfigurasi annular dengan
papula satelit. (3)
Borderline (BB) : Pada tipe ini merupakan tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberkuloid
dan 50% lepromatosa. BB adalah pertengahan zona granulomatosa yang merupakan daerah
yang paling tidak stabil. Dalam kusta borderline ini, terdapat banyak lesi kulit (tapi dapat
dihitung) dan terdiri dari plak merah yang tidak beraturan. Lesi satelit kecil dapat dilihat
mengelilingi plak yang lebih besar. (1,3,4)
Gambar 3: Borderline Leprosy. (4)
4
Borderline lepromatous (BL) : Dalam kusta Borderline Lepromatous, terlihat lesi simetris,
banyak (terlalu banyak untuk dihitung) dan termasuk makul, papul, plak dan nodul. Pasien
biasanya tidak menunjukkan full-blown kusta lepromatosa, seperti madarosis, keratitis,
ulserasi hidung dan “leonine facies”. Kelumpuhan saraf di badan merupakan prevalensi
tertinggi pada penyakit BL tetapi bervariasi jumlahnya, mulai dari tidak ada defisit motorik
dan sensorik yang serius kesemua ekstremitas. Keterlibatan kedua saraf median dan ulnar
sering simetris adalah karakteristiknya. (3,4)
Gambar 4 : Beberapa lesi pada pasien dengan kusta borderline lepromatosa. (3)
5
Lepromatous polar (LL) : Tipe ini merupakan lepromatosa 100% yang juga merupakan
bentuk yang stabil. Manifestasi klinis pertama biasanya pada kulit (karena keterlibatan saraf
awal biasanya tanpa gejala) tetapi mungkin tidak diketahui oleh pasien. Pasien sering
mengeluh gejala awal lainnya seperti epistaksis, edema kaki dan pergelangan kaki karena
peningkatan permeabilitas kapiler. (2,3)
Gambar 5 : Beberapa dermatofibroma seperti lesi (histoid) yang soliter dan konfluen pada kusta lepromatosa. (3)
Menurut WHO kusta dibagi mejadi tipe multibasilar dan pausibasilar. Yang termasuk
dalam multibasilar (MB) adalah tipe LL, BL dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan
Indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan pausibasilar adalah tipe I, TT dan BT dengan IB
kurang dari 2+. Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan.
Yang dimaksudkan dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan
kerokan kulit, yaitu tipe-tipe I, TT, dan BT menurut klasifikasi Ridley & Jopling. Pada tipe-
tipe tersebut disertai Bakteri Tahan Asam (BTA) positif, maka akan dimasukkan ke dalam
kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL, dan LL atau
apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus diobati dengan rejimen Multi Drug
Treatment (MDT).(1)
PB MB
6
1. Lesi kulit
(makula datar, papul
yang meninggi,
nodus)
- 1-5 lesi
- Hipopigmentasi/eritema
- Distribusi tidak simetris
- Hilangnya sensasi yang
jelas
- > 5 lesi
- Distribusi lebih simetris
- Hilangnya sensasi kurang
jelas
2. Kerusakan saraf
(menyebabkan
hilangnya sensasi/
kelemahan otot yang
dipersarafi olef saraf
yang terkena)
- Hanya satu cabang saraf - Banyak cabang saraf
Tabel 1 : Bagian diagnosis klinis menurut WHO (1995). (1)
Namun gejala kusta mungkin bisa tidak terdiagnosis atau tertunda diagnosisnya
dengan semakin meningkatnya morbiditas yang disebabkan oleh penyakit. Beberapa
presentasi yang tidak biasa pada kulit normal seperti urtikaria seperti adenoma sebaseum dan
lesi nodular. Dilaporkan terdapat kasus kusta lepromatosa dengan kulit normal kecuali dengan
beberapa nodul kulit yang berwarna pada lobus telinga dan lesi menyerupai reaksi tipe II pada
tubuh.(11)
Diagnosis
7
Diagnosis dapat berdasarkan pada gambaran klinik, bakterioskopis, histopatologi.
Klinis yang terpenting dan paling sederhana untuk dilakukan. Terdapat 3 cardinal sign pada
penyakit kusta, yaitu:
1. Lesi kulit yang hipostesi atau anastesi. Lesi dapat berupa hipopigmentasi maupun
eritematous
2. Penebalan saraf yang disertai gangguan fungsi. Saraf yang sering terlibat adalah n.
Facialis, n. Auricularis magnus, n. Radialis, n. Ulnaris, n. Medianus, n. Cutaneus
radialis, n. Peroneus communis, n. tibialis posterior
3. Basil Tahan Asam (+)
Apabila ditemukan salah satu dari cardinal sign tersebut, maka penyakit kusta dapat
ditegakkan, tetapi pernah dilaporkan kasus dimana tidak terdapat cardinal signs dengan lesi
kulit eritematous beserta penurunan rangsangan sensoris.(2,10)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan berupa pemeriksaan bakterioskopik,
histopatologik dan serologik.
Pada pemeriksaan bakterioskopik, sediaan dibuat dari kerokan kulit yang diwarnai
dengan pewarnaan basil tahan asam dengan pewarnaan “ziehl –neelsen”. Bakterioskopik
negatif pada seorang penderita bukan berarti orang tersebut tidak mengandung basil M.
Leprae atau menderita kusta. Pertama harus ditentukan lesi di kulit yang paling padat dengan
basil dengan terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil. Mengenai jumlah
lesi juga ditentukan oleh tujuannya, yaitu untuk riset atau rutin. Untuk rutin sebaiknya
minimal 4-6 tempat, yaitu kedua bagian bawah cuping telinga dan 2-4 lesi lain yang paling
aktif, yaitu yang paling eritematosa dan paling infiltratif.(1)
Histopatologik. Apabila seseorang memiliki Sistem Imunitas Selular (SIS) yang
tinggi maka makrofag mampu memfagosit M. leprae. Pada penderita yang memiliki SIS
rendah, makrofag tidak dapat memfagosit M.leprae, bahkan menjadi tempat berkembang biak
dan disebut sel Virchow atau sel lepra. (1)
Gambaran histopatologik untuk tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf
yang lebh nyata, tidal ada basil atau hanya sedikit dan nonsolid. Pada tipe lepromatosa
terdapat subepidermal clear zone, yaitu suatu daerah dibawah epidermis yang jaringannya
tidak patologik didapatkan sel Virchow dengan basil yang banyak. Diagnosis histologis
8
konfirmasi pada penyakit kusta memerlukan adanya infiltrasi di dalam dermal saraf dengan
atau adanya bakteri tahan asam (BTA). (1,12)
Gambar 11 : Pemandangan daya rendah menunjukkan granuloma tuberkuloid sekitar saraf dan kulit pelengkap
pada pertengahan dermis dan bengkak, saraf kulit dalam. (2)
Serologik. Pemeriksaan didasarkan pada pembentukan antibodi spesifik tubuh
terhadap M.Leprae yaitu anti phenolic glicolipid-1 (GPL-1). Kegunaan pemeriksaan ini untuk
membantu diagnosis kusta yang meragukan jika tanda klinis dan bakterioslogik tidak jelas.
Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM),
yang juga dihasilkan oleh kuman M. Tuberkulosis(1)
Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diagnosis kusta yang
meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik yang tidak jelas. Di samping itu dapat
membantu menentukan kusta subklinis, karena tidak didapati lesi kulit. Misalnya pada kontak
serumah. Macam–macam pemeriksaan serologik kusta ialah : (1)
a. Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)
b. Uji ELISA (Enzyme Linked ImmunoSorbent Assay)
c. ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick)
Diagnosis banding
9
Banyak penyakit yang menjadi diagnosis banding untuk kusta. Untuk diagnosis
banding tersebut di nilai dari bentuk kesamaan lesi. Untuk lesi makula hipopigmentasi tanda
lahir yang abnormal berpigmen tetapi secara fisiologisnya normal pada lesi pigmentasi
vitiligo. Lesi kusta tidak pernah benar-benar depigmentasi. Lesi hipopigmentasi eksim,
terutama pityriasis alba pada anak-anak sulit untuk dibedakan dari makula lepromatosa namun
permukaannya sering bersisik dan dari pewarnaan tidak ditemukan BTA. Pityriasis versikolor
tidak selalu bersisik tetapi terdapat distribusi sentral pada badan dan adanya makula yang
berbeda dengan karakteristik dari makula lepromatosa. Lesi tinea korporis yang gatal dan
mungkin memiliki tepi vesicular dan hasil pemeriksaanmikologi ditentukan adanya jamur.(2)
Gambar 12 : Pityriasis Versikolor. (3)
Untuk lesi berbentuk papul dan nodul dermatofibroma dapat terdiagnosa banding
denga limfoma dan sarkoidosis. Selain tinea, granuloma multiforme, sarkoidosis dan
tuberkulosis kulit mungkin menyerupai kusta tuberkuloid. Namun lesi pada saraf bisa berupa
tidak anaestetik. Saraf perifer kadang-kadang dapat membesar pada sarkoidosis.(2)
10
Gambar 13 : Sarkoidosis Cutaneous wajah berbentuk popular dan beberapa papula. (3)
Untuk lesi berbentuk nodul bisa didiagnosa banding dengan Cutaneous Leishmanin
tetapi lesi pada penyakit ini cenderung untuk membentuk krusta dan erupsi setelah beberapa
minggu atau bulan. Pewarnaan slit-skin dapat membuktikan diagnosa Cutaneous
Leishmaniasis ini. Lesi pada penderita Post-kala-azar Leishmaniasis di India dan Afrika
Timur mempunyai distribusi dan penampakan lesi yang hampir sama seperti lesi pada
penderita Lepramatous Leprosy (LL). Cutaneous Leishmaniasis ini disebabkan oleh protozoa
Leishmania tropica dan ditularkan oleh gigitan agas. Spektrum penyakit ini tergantung pada
kekebalan tubuh pasien itu sendiri.(2,5)
Pada Leishmaniasis akut terdapat bintil merah terjadi dilokasi dan bisa membesar atau
mungkin tidak membentuk ulserasi dan bisa sembuh sendiri secara spontan setelah sekitar
satu tahun tanpa meninggalkan bekas luka ulserasi.(5)
11
Gambar 14 : Leishmaniasis akut. (5)
Pada pasien dengan imunitas sel yang baik, setelah leishmaniasis akut telah sembuh,
granulomata baru muncul di tepi bekas luka dan tidak sembuh spontan. (5)
Gambar 14 : Chronic Leishmaniasis. (5)
Reaksi Kusta
12
Reaksi kusta adalah episode akut pada perjalanan penyakit sangat kronik.
Patofisiologinya belum jelas dan klasifikasinya masih bermacam-macam. Mengenai
patofisiologinya yang belum jelas itu dapat dijelaskan secara imunologik. Kondisi reaksional
kusta yang khas, jaringan destruktif, proses inflamasi dan kekebalannya sangat dipengaruhi
dengan meningkatnya morbiditas penyakit. Reaksi adalah aspek karakteristik dan klinis
penting dari penyakit kusta. Lima puluh persen pasien akan mengalami reaksi setelah
multidrug therapy (MDT). (1,3,4)
Reaksi imun dapat menguntungkan tetapi dapat merugikan yang disebut sebagai reaksi
imun patologik. Reaksi kusta ini diklasifikasikan menjadi, (1)
- (Tipe 1) Reaksi reversal
- (Tipe 2) E.N.L (eritema nodusum leprosum)
Tipe 1 reaksi ditandai dengan neuritis akut dengan atau tanpa lesi kulit akut yang
meradang. Saraf sering melebar dengan hilangnya fungsi sensorik dan motorik. Lesi kulit
yang ada menjadi eritematosa atau edema dan memungkinkan terjadinya deskuamasi.(2)
Gejala klinis reaksi reversal umumnya sebagian atau seluruh lesi yang ada bertambah
aktif dengan atau tanpa timbulnya lesi baru dalam waktu yang singkat. Adanya gejala neuritis
akut penting diperhatikan karena sangat penting dalam menentukan pemberian pengobatan
kortikosteroid. (1)
Reaksi tipe 1 merupakan suatu respon imun terhadap Mycobacterium Leprae dan
umumnya terjadi setelah pengobatan dimulai. Jika reaksi terjadi dengan kemoterapi antibiotik,
disebut reaksi reversal dan jika terjadi sebagai pergeseran batas penyakit ke arah lepromatous
(penurunan) ia disebut reaksi downgrading. Diagnosis biasanya dilakukan secara klinis.
Biopsi kulit digunakan untuk mendukung diagnosis.(4,12)
Reaksi berat tipe 1 biasanya dikaitkan dengan neuritis di badan dan kadang-kadang
mungkin ada pembentukan ulkus di atas lesi dengan gejala konstitusional. Kondisi selain
kusta dan biopsi dilakukan sebagai prosedur pemeriksaan untuk mengkonfirmasi dan untuk
menentukan sifat sebenarnya lesi. Multi Drug Therapy (MDT) dapat dimulai sesuai pedoman
sebelum adanya laporan bakteriologis. (10)
13
Gambar 6 : Beberapa lesi memperlihatkan tanda awal pada pasien dengan reaksi delayed-type
hypersensitivity yang memiliki batas kusta lepromatosa. (3)
Gambar 7 : Reaksi tipe 1. (4)
Tipe 2 eritema nodusum leprosum (ENL) merupakan suatu reaksi yang terjadi pada
pasien dengan tipe multibasiler (LL dan BL). Mungkin terjadi secara spontan sementara
14
dalampen gobatan. ENL paling sering terjadi pada LL dengan 75 persen kasus tetapi jarang
pada pasien BL. Hal ini dapat terjadi sebelum, selama, atau setelah kemoterapi.(2,3)
Eritema nodusum leprosum (ENL) timbul terutama pada tipe lepromatosa polar dan
dapat pula pada BL, berarti semakin tinggi tingkat multibasilarnya semakin besar
kemungkinan timbulnya ENL. Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa
eritemanodusumdan nyeri di tempat predileksi seperti di lengan dan tungkai. Bila mengenai
organ lain dapat menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis,
orkitis dan nefritis yang akut. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat
yang dapat ditjelaskan secara imunologik.(1)
Berbeda dengan reaksi tipe 1, keterlibatan multisistem biasanya disertai dengan gejala
sistemik seperti demam, mialgia, arthralgia dan anoreksia. Lesi kulit yang khas seperti
eritematosa subkutan dan nodul kulit yang banyak terlihat. Tidak seperti eritema nodosum
klasik, lesi umumnya pada lengan ekstensor dan medial paha.(4)
er
Gambar 8 : Reaksi pada kusta lepromatous pada seorang pria Bangladesh, menunjukkan nekrosis parah dan
ulserasi. (2)
15
Gambar 9 : Reaksi tipe 2 dalam kusta lepromatosa pada seorang pria Nigeria: eritema nodosum
leprosum (ENL). Beberapa nodul terdapat nanah. (2)
Gambar 10 : Lesi eritema nodosum leprosum pada penderita kusta lepromatosa berwarna merah muda cerah. (3)
Penatalaksanaan
Ada lima prinsip utama dari perawatan:
1. Hentikan infeksi dengan kemoterapi.
2. Perlakukan reaksi dan mengurangi risiko kerusakan saraf.
3. Mengatasi kerusakan saraf yang ada, khususnya anestesi.
4. Mengobati komplikasi kerusakan saraf.
5. Merehabilitasi pasien sosial dan psikologis.16
Tujuan ini hanya dapat dicapai dengan kerjasama dan keyakinan dari pasien. Diusahakan
dilakukan melalui klinik rawat jalan. Pasien akan sering membutuhkan beberapa konsultasi
segera setelah diagnosis untuk mengatasi ketakutan mereka dan membangun keyakinan
mereka.(4)
Rekomendasi untuk penyakit paucibacillary adalah 600 mg rifampisin di bawah
pengawasan sebulan sekali selama 6 bulan dan 100 mg/hari dapsone selama 6 bulan, tanpa
pengawasan. Untuk penyakit paucibacillary lesi tunggal dosis tunggal 600 mg rifampisin,
ofloksasin 400 mg dan 100 mg minosiklin. Dianjurkan semua diminum pada satu waktu.
Pasien multibasiler (BT, BB, BL dan LL) diperlakukan dengan empat obat. Rifampisin 600
mg dan 300 mg klofazimin, sebulan sekali di bawah pengawasan, dapson 100 mg per tiap hari
dan klofazimin 50 mg per tiap hari.Pengobatan selama 1 bulan. Untuk pasien yang sensitif
terhadap clofazamine, rejimen pengobatan adalah rifampisin 600 mg, ofloksasin 400 mg dan
minosiklin 100 mg sekali sebulan untuk 24 dosis. Klofazamin 50 mg, ofloksasin 400 mg dan
minosiklin 100 mg sehari selama 6 bulan diikuti oleh 18 bulan dari klofazamin ditambah
harian oflxasin atau minosiklin selama 18 bulan merupakan terapi alternatif.(2)
Dalam reaksi reversal karena risiko kerusakan saraf permanen, pemberian cepat terapi
prednison (0,5-1,0 mg / kg / hari) dianjurkan. Dosis prednison diturunkan tergantung dari
gejala pasien dengan gejala kelainan saraf dan evaluasi sensorik pada tangan dan kaki.
Terapi harus dikurangi secara perlahan dan pasien diberitahukan bahwa selama 6 bulan atau
lebih prednison mungkin masih diperlukan. Pada ENL, thalidomide sangat efektif dalam
mayoritas pasien jika tersedia memiliki efek teratogenik. Biasanya dimulai dengan 100
sampai 200 mg setiap malam dan jika kurang efektif, bisa ditambahkan prednisone 0,5-1,0 mg
/ kg dan dikurangi selama 6 sampai 8 minggu.(3)
Reaksi dan gangguan fungsi saraf adalah penyebab utama dari kecacatan dan
morbiditas pada pasien penyakit kusta. Pendeteksian awal dan pengobatan yang tepat pada
mereka dapat mengurangi komplikasi yang terkait dengan kondisi ini secara signifikan.
Bersama dengan deteksi dini, terapi yang tepat dan mencukupi dengan rejimen obat yang
tepat juga memainkan peran utama dalam mengurangi morbiditas yang terkait dengan
kerusakan saraf pada pasien kusta. Steroid menjadi agen utama yang digunakan untuk
pengobatan kerusakan saraf. Petugas kesehatan juga harus dilatih dengan metode sederhana
untuk mendiagnosa dan menanggani penyakit kusta.(14,15)
17
Daftar Pustaka
1. Kosasih A, Wisnu MI, Sjamsoe-Daili SE, Menaldi SL. Kusta. In: Djuanda A, Hamzah
M, Aisah S, eds. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. 6th ed. Jakarta, Indonesia: Balai
Penerbit FKUI; 2010. p. 89-105.
2. Lockwood DNJ. Leprosy. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, eds. Rook’s
Textbook of Dermatology. 8th ed. Australia: Willey-Blackwell; 2010. p. 32.9-15.
3. Rea TH, Modlin RL. Leprosy. In: Wolff K, Goldsmith AL, Katz IS, Gilchrest AB,
Paller SA, Leffel JD, eds. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medecine. 7th Ed.
New York: Mc Grew Hill Medical; 2008. p. 1824-34.
18
4. James DW, Berger GT, Elston MD. Hansen’s Disease. In: James WD, Berger GT,
Elston DM, eds. Andrew’s Disease of The Skin. 3rd Ed. Elsvier Saunders; 2006. p. 359-
362.
5. Leppard B. Tropical Dermatology. In: Buxton PK, eds. ABC of Dermatology. 4rd Ed.
BMJ Books; 2003. p.118-9
6. A Samraj, S Kaki, PSS Rao. “Help-Seeking habits of untreated leprosy patients
reporting to a referral hospital in Uttar Pradesh, India”. Hind Kusht Nivaran Sangh,
New Delhi. Indian J Lepr 2012, 84 : 123-129
7. S Singh, AK Sinha, BG Banerjee, N Jaswal. “Participation level of the leprosy
patients in society”. Hind Kusht Nivaran Sangh, New Delhi. Indian J Lepr 2012, 84 :
181-187
8. PSS Rao, AS John. “Nutritional status of leprosy patients in India”. Hind Kusht
Nivaran Sangh, New Delhi. Indian J Lepr 2012, 84 : 17-22
9. Raval RC. “Various faces of Hansen’s disease”. Indian J Lepr 2012, 84 : 155-160
10. Mandal BC, Bandyopadhyay G. “Leprosy mimicry of lupus vulgaris and misdiagnosis
of leprosy” - a case report. Indian J Lepr 2012. 84 : 23-25.
11. Barman KD, Goel K, Agarwal P. Lepromatous leprosy with an uncommon
presentation: A case report. Indian J Lepr 2013, 85 : 27-31.
12. M Natrajan, K Katoch, VM Katoch Ram Das, and VD Sharma.“Histological
Diagnosis of Early and Suspicious Leprosy by In situ PCR”. Hind Kusht Nivaran
Sangh, New Delhi. Indian J Lepr 2012, 84 : 185-194
13. Thomas M, Ponnaiya J, Emmanuel M, Richard J. “Type I Reaction in Leprosy” - A
Histopathological Analysis. Indian J Lepr 2013, 85 : 1-4.
14. VV Pai, PU Tayshetye, R Ganapati. “A study of Standardized regimens of steroid
treatment in reaction in leprosy at a referral centre”.Indian J Lepr. 2012, 84 : 9-15
15. MT Htoon, V Pannikar.“Global leprosy scenario and vision beyond 2010”. Hind
Kusht Nivaran Sangh, New Delhi. Indian J Lepr 2009, 81 : 209
19
Top Related