Referat Hemoptisis Copy
-
Upload
silvestri-purba -
Category
Documents
-
view
43 -
download
0
description
Transcript of Referat Hemoptisis Copy
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Batuk darah adalah ekspektorasi darah atau dahak yang berdarah, berasal
dari saluran nafas di bawah pita suara. Sinonim batuk darah ialah hemoptoe atau
hemoptisis.4 Batuk darah lebih sering merupakan tanda atau gejala dari penyakit
yang mendasari sehingga etiologinya harus dicari melalui pemeriksaan yang
seksama.5
Hemoptisis merupakan salah satu bentuk kegawatan paru yang paling
sering terjadi diantara bentuk-bentuk klinis lainnya. Tingkat kegawatan dari
hemoptisis ditentukan oleh 3 faktor :
a. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah di dalam saluran
pernapasan. Terjadinya asfiksia ini tidak tergantung pada jumlah perdarahan
yang terjadi, akan tetapi ditentukan oleh reflek batuk yang berkurang atau
terjadinya efek psikis dimana pasien takut dengan perdarahan yang terjadi.
b. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptisis dapat
menimbulkan renjatan hipovolemik (hypovolemic shock). Bila perdarahan yang
terjadi cukup banyak, maka hemoptisis tersebut digolongkan ke dalam
hemoptisis masif walaupun terdapat beberapa kriteria, antara lain:
1) Kriteria Yeoh (1965) menetapkan bahwa hemoptisis masif terjadi apabila
jumlah perdarahan yang terjadi adalah sebesar 200 cc/24 jam.
2) Kriteria Sdeo (1976) menetapkan bahwa hemoptisis masif terjadi apabila
jumlah perdarahan yang terjadi lebih dari 600 cc/24 jam.
c. Adanya pneumonia aspirasi, yaitu suatu infeksi yang terjadi beberapa jam atau
beberapa hari setelah perdarahan. Keadaan ini merupakan keadaan yang gawat,
oleh karena baik bagian jalan napas maupun bagian fungsional paru tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya akibat terjadinya obstruksi total.6
2.2 Etiologi
Penyebab dari batuk darah (hemoptoe) dapat dibagi atas :4
1
1. Infeksi, terutama tuberkulosis, abses paru, pneumonia, dan kaverne oleh
karena jamur dan sebagainya.
2. Kardiovaskuler, stenosis mitralis dan aneurisma aorta.
3. Neoplasma, terutama karsinoma bronkogenik dan poliposis bronkus.
4. Gangguan pada pembekuan darah (sistemik).
5. Benda asing di saluran pernapasan.
6. Faktor-faktor ekstrahepatik dan abses amuba.
Penyebab batuk darah menurut penyelidikan Osler A. Abbott7:
Penyakit
Presentase
Pasien
Hemoptisis
Penyakit
Presentase
Pasien
Hemoptisis
Karsinoma
bronkogenik56,0 Empiema 24,5
Abses paru 49,2Metastasis
Karsinoma24,0
Infark pulmonal 44,0
Bronkiektasis 43,5Tumor
Mediastinum20,0
Tuberkulosis 36,5 17,5
Krista kongenital 25,8Obstruksi
Esofagus9,0
Etiologi lain hemoptisis adalah sebagai berikut :7,8
1. Batuk darah idiopatik
Batuk darah idiopatik adalah batuk darah yang tidak diketahui
penyebabnya, dengan insiden 0,5 sampai 58% . dimana perbandingan
antara pria dan wanita adalah 2:1. Biasanya terjadi pada umur 30-50 tahun
kebanyakan 40-60 tahun dan berhenti spontan dengan suportif terapi.
2. Batuk darah sekunder
Batuk darah sekunder adalah batuk darah yang diketahui penyebabnya.
2
a. Peradangan, ditandai vaskularisasi arteri bronkiale > 4% (normal1%)
1) TB : batuk sedikit-sedikit, masif perdarahannya dan bergumpal.
2) Bronkiektasis : bercampur purulen.
3) Abses paru : bercampur purulen.
4) Pneumonia : warna merah bata encer berbuih.
5) Bronkitis : sedikit-sedikit campur darah atau lendir.
b. Neoplasma
1) Karsinoma paru.
2) Adenoma.
c. Lain-lain
1) Trombo emboli paru – infark paru.
2) Mitral stenosis.
3) Kelainan kongenital aliran darah paru meningkat.
ASD
VSD
4) Trauma dada.
Berdasarkan usia penderita, Pursel membagi batuk darah menjadi :9
1. Anak-anak dan remaja :
b. Bronkiektasis
c. Stenosis mitral
d. Tuberkulosis
2. Umur 20 – 40 tahun :
a. Tuberkulosis
b. Bronkiektasis
c. Stenosis mitral
3. Umur lebih dari 40 tahun :
a. Karsinoma bronkogen
b. Tuberkulosis
c. Bronkiektasis
3
2.3 Patofisiologi
Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan
hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri bronkialis yang berperan untuk
memberikan nutrisi pada jaringan paru, juga bila terjadi kegagalan arteri
pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas.6
Mekanisme terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut :7,8
1. Batuk darah pada tuberkulosis pada umumnya terjadi oleh karena :
a. Adanya Rasmussen’s aneurysm yang pecah.
Teori dimana terjadi perdarahan aneurisma dari Rasmussen ini
telah lama dianut, tetapi beberapa laporan otopsi lebih membuktikan
bahwa hipervaskularisasi bronkus yang merupakan percabangan dari
arteri bronkialis sebagai asal dari perdarahan. Setelah berkembangnya
arteriografi dapat dibuktikan bahwa pada setiap proses paru terjadi
hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri bronkialis yang berperan
memberikan nutrisi pada jaringan paru bila terdapat kegagalan arteri
pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas. Oleh
karena itu terdapatnya Rasmussen aneurisma pada kaverna tuberkulosis
sebagai asal perdarahan diragukan.
b. Adanya kekurangan protrombin yang disebabkan oleh toksemia dari basil
tuberkulosa yang menginfeksi parenkim paru.
2. Batuk darah pada karsinoma paru.
Terjadi oleh karena erosi permukaan tumor dalam lumen bronkus
atau berasal dari jaringan tumor yang mengalami nekrosis, pecahnya
pembuluh darah kecil pada area tumor atau invasi tumor ke pembuluh darah
pulmoner.
3. Batuk darah pada bronkiektasis:
a. Mukosa bronkus yang sembab mengalami infeksi dan trauma batuk
menyebabkan perdarahan.
b. Terjadi anastomose antara pembuluh darah bronchial dan pulmonal dan
juga terjadi aneurisma, bila pecah terjadi perdarahan.
c. Pecahnya pembuluh darah dari jaringan granulasi pada dinding bronkus
yang mengalami ektasis.
4
4. Batuk darah pada bronkitis kronis:
Terjadi oleh karena mukosa yang sembab akibat radang, robek oleh
mekanisme batuk.
5. Batuk darah pada abses paru:
Pada abses kronik dengan kavitas berdinding tebal yang sukar
menutup, maka pembuluh darah pada dinding tersebut mudah pecah akibat
trauma pada saat batuk.
6. Batuk darah pada mitral stenosis dan gagal jantung kiri akut:
a. Bila batuk darah ringan, perdarahan terjadi secara perdiapedesis, karena
tekanan dalam vena pulmonalis tinggi menyebabkan ruptur vena
pulmonalis atau distensi kapiler sehingga butir darah merah masuk ke
alveoli.
b. Menurut ferguson, batuk darah terjadi karena pecahnya varises di
mukosa bronkus.
c. Pada otopsi ternyata ada anastomosis vena pulmonalis dan vena
bronkialis yang hebat sehingga tampak seperti varises.
7. Batuk darah pada infark paru:
Pada infark paru karena adanya penutupan arteri, maka terjadi
anastomosis. Selain itu juga terjadi reflek spasme dari vena di daerah tersebut,
akibatnya terjadi daerah nekrosis dimana butir-butir darah masuk ke alveoli
dan terjadi batuk darah.
8. Batuk darah pada Good Pasture syndrome:
Terjadi kelainan pada membran basalis alveoli kapiler yaitu
terbentuknya antibody to glomerular basement membrane (anti GBM Ab)
lebih spesifiknya kolagen tipe IV pada paru sehingga membuat hilangnya
keutuhan membran basalis epithelial-endotelial dan memudahkan masuknya
sel darah merah dan netrofil masuk ke dalam alveoli.
9. Batuk darah pada infeksi jamur :
Terjadi friksi pada pergerakan mycetoma dan terjadi pelepasan
antikoagulan serta enzim proteoitik yang menyerupai tripsin dari jamur.
10. Batuk darah pada batuk keras :
5
Sifat khas bahwa darah terletak di permukaan sputum, jadi tidak
bercampur di dalamnya.
a. Kelenjar getah bening yang mengapur, waktu batuk terjadi erosi pada
bronkus yang berdekatan.
b. Mungkin bronkolit yang ada pada saat batuk menggeser lumennya.
c. Batuk yang keras dan berulang-ulang merobek mukosa bronkus.
11. Cedera dada
Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami
transudasi ke dalam alveoli dan keadaan ini akan memacu terjadinya batuk
darah.
2.4 Klasifikasi
Klasifikasi menurut Pusel:2
+ batuk dengan perdarahan yang hanya dalam bentuk garis-garis
dalam sputum
++ batuk dengan perdarahan 1 – 30 ml
+++ batuk dengan perdarahan 30 – 150 ml
++++ batuk dengan perdarahan 150-500 ml
Massive batuk dengan perdarahan 500-1000 ml atau lebih
Klasifikasi didasarkan pada perkiraan jumlah darah yang dibatukkan.4
1. Bercak (Streaking) : <15-20 ml/24 jam
Yang sering terjadi darah bercampur dengan sputum. Umumnya pada
bronkitis.
2. Hemoptisis: 20-600 ml/24 jam
Hal ini berarti perdarahan pada pembuluh darah yang lebih besar. Biasanya
pada kanker paru, pneumonia, TB, atau emboli paru.
3. Hemoptisis massif : >600 ml/24 jam
Biasanya pada kanker paru, kavitas pada TB, atau bronkiektasis.
4. Pseudohemoptisis
6
Merupakan batuk darah dari struktur saluran napas bagian atas (di atas laring)
atau dari saluran cerna atas atau hal ini dapat berupa perdarahan buatan
(factitious).
Johnson membuat pembagian lain menurut jumlah darah yang keluar
menjadi:2
1. Single hemoptysis yaitu perdarahan berlangsung kurang dari 7 hari.
2. Repeated hemoptysis yaitu perdarahan berlangsung lebih dari 7 hari dengan
interval 2 sampai 3 hari.
3. Frank hemoptysis yaitu bila yang keluar darah saja tanpa dahak.
Kesulitan dalam menegakkan diagnosis ini adalah karena pada hemoptisis
selain terjadi vasokontriksi perifer, juga terjadi mobilisasi dari depot darah,
sehingga kadar Hb tidak selalu memberikan gambaran besarnya perdarahan yang
terjadi. Kriteria dari jumlah darah yang dikeluarkan selama hemoptisis juga
mempunyai kelemahan oleh karena:8,9
a. Jumlah darah yang dikeluarkan bercampur dengan sputum dan kadang-kadang
dengan cairan lambung, sehingga sukar untuk menentukan jumlah darah yang
hilang sesungguhnya.
b. Sebagian dari darah tertelan dan dikeluarkan, bersama-sama dengan tinja,
sehingga tidak ikut terhitung.
c. Sebagian dari darah masuk ke dalam paru-paru akibat aspirasi.
Oleh karena itu suatu nilai kegawatan dari hemoptisis ditentukan oleh:10
a. Apakah terjadi tanda-tanda hipotensi yang mengarah pada renjatan
hipovolemik.
b. Apakah terjadi obstruksi total maupun parsial dari bronkus yang dapat dinilai
dengan adanya iskemia miokardium, baik berupa gangguan aritmia, gangguan
mekanik jantung, maupun aliran darah serebral.
Bila terjadi hemoptisis, maka harus dilakukan penilaian terhadap:11
a. Warna darah untuk membedakannya dengan hematemesis
b. Lamanya perdarahan
c. Terjadinya mengi (wheezing) untuk menilai besarnya obstruksi
d. Keadaan umum pasien, tekanan darah, nadi dan kesadaran.
7
2.5 Manifestasi Klinis
Untuk mengetahui penyebab batuk darah kita harus memastikan bahwa
perdarahan tersebut berasal dari saluran pernafasan bawah, dan bukan berasal dari
nasofaring atau gastrointestinal. Dengan perkataan lain bahwa penderita tersebut
benar-benar batuk darahdan bukan muntah darah.4Hal tersebut akan dijelaskan
pada tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Perbedaan Batuk Darah Dengan Muntah Darah9
No Keadaan Batuk Darah Muntah Darah
1 Prodromal Darah dibatukkan dengan
rasa panas di tenggorokan
Darah dimuntahkan
dengan rasa mual
(Stomach Distress)
2 Onset Darah dibatukkan, dapat
disertai dengan muntah
Darah dimuntahkan, dapat
disertai dengan batuk
3 Tampilan Darah berbuih Darah tidak berbuih
4 Warna Merah segar Merah tua
5 Isi Lekosit, mikroorganisme,
hemosiderin, makrofag
Sisa makanan
6 Ph Alkalis Asam
7 Riwayat
penyakit dahulu
(RPD)
Penyakit paru Peminum alkohol, ulcus
pepticum, kelainan hepar
8 Anemis Kadang tidak dijumpai Sering disertai anemis
9 Tinja Blood test (-) /
Benzidine Test (-)
Blood Test (+) /
Benzidine Test (+)
Kriteria batuk darah: 8
1. Batuk darah ringan (<25cc/24 jam).
2. Batuk darah berat (25-250cc/ 24 jam).
8
3. Batuk darah masif (batuk darah masif adalah batuk yang mengeluarkan darah
sedikitnya 600 ml dalam 24 jam).
Kriteria yang paling banyak dipakai untuk hemoptisis masif yang diajukan
Busroh (1978) :9
1. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan dalam
pengamatannya perdarahan tidak berhenti.
2. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan
tetapilebih dari 250 cc / 24 jam jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%,
sedangkanbatuk darahnya masih terus berlangsung.
3. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan
tetapilebih dari 250 cc / 24 jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, tetapi
selamapengamatan 48 jam yang disertai dengan perawatan konservatif batuk
darahtersebut tidak berhenti.
2.6 Penegakkan Diagnosis
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan gambaran radiologis. Untuk menegakkan diagnosis, seperti halnya pada
penyakit lain perlu dilakukan urutan-urutan dari anamnesis yang teliti hingga
pemeriksaan fisik maupun penunjang sehinggapenanganannya dapat
disesuaikan.7,8
1. Anamnesis
Hal-hal yang perlu ditanyakan dalam hal batuk darah adalah:7,10
a. Jumlah dan warna darah yang dibatukkan.
b. Lamanya perdarahan.
c. Batuk yang diderita bersifat produktif atau tidak.
d. Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan.
e. Ada merasakan nyeri dada, nyeri substernal atau nyeri pleuritik.
f. Hubungannya perdarahan dengan : istirahat, gerakan fisik, posisi badan dan
batuk
g. Wheezing
h. Perdarahan di tempat lain bersamaan dengan batuk darah
9
i. Perokok berat dan telah berlangsung lama
j. Sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit dada
k. Hematuria yang disertai dengan batuk darah.
l. Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu.
2. Pemeriksaan fisik7,8
Untuk mengetahui perkiraan penyebab.
a. Panas merupakan tanda adanya peradangan.
b. Auskultasi :
1) Kemungkinan menonjolkan lokasi.
2) Ronchi menetap, whezing lokal, kemungkinan penyumbatan oleh : Ca,
bekuan darah.
c. Friction Rub : emboli paru atau infark paru
d. Clubbing finger : memberikan petunjuk kemungkinan keganasan
intratorakal dan supurasi intratorakal (abses paru, bronkiektasis).
3. Pemeriksaan penunjang
a. Foto toraks dalam posisi PA dan lateral hendaklah dibuat pada setiap
penderita hemoptisis masif. Gambaran opasitas dapat menunjukkan tempat
perdarahannya.2 Pemeriksan foto thoraks merupakan salah satu komponen
penting dalam pemeriksaan untuk mengetahui penyebab perdarahan
terutama kelainan parenkim paru, misalnya pemeriksaan dengan kaviti,
tumor, infiltrat dan atelektasis. Perdarahan intra-alveolar menimbulkan pola
infiltrat retikulonedular. Namun demikian gambaran foto thoraks bisa
normal ataupun tidak informatif.12
b. Pemeriksaan bronkografi untuk mengetahui adanya bronkiektasis, sebab
sebagian penderita bronkiektasis sukar terlihat pada pemeriksaan X-foto
toraks.4
c. Pemeriksaan dahak baik secara bakteriologi maupun sitologi (bahan dapat
diambil dari dahak dengan pemeriksaan bronkoskopi atau dahak
langsung).4 Pemeriksaan sputum yang dapat dilakukan adalah untuk
pemeriksaan bakteri pewarnaan gram, basil tahan asam (BTA).
10
Pemeriksaan dahak sitologi dilakukan apabila penderita berusia >40 tahun
dan perokok. Biakan kuman juga dapat dilakukan terutama untuk BTA dan
jamur.12
d. Laboratorium11
a. Pemeriksaan darah tepi lengkap
i. Peningkatan Hb dan Ht kehilangan darah yang akut
ii. Leukosit meningkat infeksi
iii. Trombositopenia koagulopati
iv. Trombositosis kanker paru
b. CT dan BT; PT dan APTT jika dicurigai adanya koagulopati atau pasien
menerima warfarain/heparin
c. Analisa gas darah arterial harus diukur jika pasien sesak yang jelas dan
sianosis.
e. Pemeriksaan bronkoskopi
Bronkoskopi dilakukan untuk menentukan sumber perdarahan dan
sekaligus untuk penghisapan darah yang keluar, supaya tidak terjadi
penyumbatan. Sebaiknya dilakukan sebelum perdarahan berhenti, karena
dengan demikian sumber perdarahan dapat diketahui.2,4
Adapun indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah : 2
1) Bila radiologik tidak didapatkan kelainan
2) Batuk darah yang berulang
3) Batuk darah masif : sebagai tindakan terapeutik
Tindakan bronkoskopi merupakan sarana untuk menentukan
diagnosis, lokasi perdarahan, maupun persiapan operasi, namun waktu
yang tepat untuk melakukannya merupakan pendapat yang masih
kontroversial, mengingat bahwa selama masa perdarahan, bronkoskopi
akan menimbulkan batuk yanglebih impulsif, sehingga dapat memperhebat
perdarahan disamping memperburuk fungsi pernapasan. Lavase dengan
bronkoskop fiber optik dapat menilai bronkoskopi merupakan hal yang
mutlak untuk menentukan lokasi perdarahan.2
Dalam mencari sumber perdarahan pada lobus superior, bronkoskop
serat optik jauh lebih unggul, sedangkan bronkoskop metal sangat
11
bermanfaat dalam membersihkan jalan napas dari bekuan darah serta
mengambil benda asing,disamping itu dapat melakukan tampon dengan
balon khusus di tempatterjadinya perdarahan.2
2.7 Penatalaksanaan
Tujuan pokok terapi ialah:9
1. Mencegah asfiksia.
2. Menghentikan perdarahan.
3. Mengobati penyebab utama perdarahan.
Langkah-langkah: 9
1. Pemantauan menunjang fungsi vital
a. Pemantauan dan tatalaksana hipotensi, anemia dan kolaps
kardiovaskuler.
b. Pemberian oksigen, cairan plasma expander dan darah
dipertimbangkan sejak awal.
c. Pasien dibimbing untuk batuk yang benar.
2. Mencegah obstruksi saluran napas
a. Kepala pasien diarahkan ke bawah untuk cegah aspirasi.
b. Kadang memerlukan pengisapan darah, intubasi atau bahkan
bronkoskopi.
3. Menghentikan perdarahan
a. Pemasangan kateter balon oklusi forgarty untuk tamponade
perdarahan.
b. Teknik lain dengan embolisasi arteri bronkialis dan pembedahan.
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan support
kardiopulmoner danmengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia
yang merupakan penyebabutama kematian pada para pasien dengan
hemoptisis masif.6,9
Masalah utama dalam hemoptisis adalah terjadinya pembekuan dalam
saluran napas yang menyebabkan asfiksia. Bila terjadi afsiksi, tingkat
kegawatan hemoptisis paling tinggi dan menyebabkan kegagalan organ yang
multipel. Hemoptosis dalam jumlah kecil dengan refleks batuk yang buruk
12
dapat menyebabkan kematian. Dalam jumlah banyak dapat menimbukan
renjatan hipovolemik.6,9
Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :
1. Terapi konservatif
Dasar-dasar pengobatan yang diberikan sebagai berikut :7,8,9
a. Mencegah penyumbatan saluran nafas
Penderita yang masih mempunyai refleks batuk baik dapat diletakkan
dalam posisi duduk, atau setengah duduk dan disuruh membatukkan
darah yang terasa menyumbat saluran nafas. Dapat dibantu dengan
pengisapan darah dari jalan nafas dengan alat pengisap. Jangan pernah
pasien disuruh menahan batuk.
Penderita yang tidak mempunyai refleks batuk yang baik, diletakkan
dalam posisi tidur miring kesebelah dari mana diduga asal perdarahan,
dan posisi trendelenburg untuk mencegah aspirasi darah ke paru yang
sehat. Kalau bisa penderita disuruh batuk bila terasa ada darah di
saluran nafas yang menyumbat, sambil dilakukan pengisapan darah
dengan alat pengisap. Kalau perlu dapat dipasang tube endotrakeal.
Batuk-batuk yang terlalu banyak dapat mengakibatkan perdarahan
sukar berhenti. Untuk mengurangi batuk dapat diberikan Codein 10 - 20
mg. Penderita batuk darah masif biasanya gelisah dan ketakutan,
sehingga terkadang berusaha menahan batuk. Untuk menenangkan
penderita dapat diberikan sedatif ringan (Valium) agar penderita lebih
kooperatif.
b. Memperbaiki keadaan umum penderita
Bila perlu dapat dilakukan :
1) Pemberian oksigen.
2) Pemberian cairan untuk hidrasi.
3) Tranfusi darah.
4) Memperbaiki keseimbangan asam dan basa.
c. Menghentikan perdarahan
Pada umumnya hemoptisis akan berhenti secara spontan. Di dalam
kepustakaan dikatakan hemoptisis rata-rata berhenti dalam 7 hari.
13
Pemberian kantong es diatas dada, hemostatik, vasopresin (Pitrissin),
ascorbic acid memiliki pengaruh yang belum jelas. Apabila ada
kelainan didalam faktor-faktor pembekuan darah, lebih baik
memberikan faktor tersebut dengan infus.
Pemberian obat – obat penghenti perdarahan (obat – obat hemostasis),
misalnya vit. K, ion kalsium, trombin dan karbazokrom.
Di beberapa rumah sakit masih memberikan Hemostatika (Adona
Decynone) intravena 3 - 4 x 100 mg/hari atau per oral. Walaupun
efeknya belum jelas, paling sedikit dapat memberi ketenangan bagi
pasien dan dokter yang merawat.
d. Mengobati penyakit yang mendasarinya (underlying disease)
Pada penderita tuberkulosis, disamping pengobatan tersebut diatas
selalu diberikan secara bersama tuberkulostatika. Kalau perlu diberikan
juga antibiotika yang sesuai.
2. Terapi pembedahan
Pembedahan merupakan terapi definitif pada penderita batuk darah masif
yang sumber perdarahannya telah diketahui dengan pasti, fungsi paru
adekuat, tidak ada kontraindikasi bedah.5
Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan.
Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan:5
a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien.
b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka kematian
padaperdarahan yang masif menurun dari 70% menjadi 18% dengan
tindakanoperasi.
Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya
hemoptisis yang berulang dapat dicegah.
Tindakan bedah meliputi:5,12
1. Reseksi paru: lobektomi atau pneumonektomi
Reseksi paru ditujukan untuk membuang sisa-sisa kerusakan akibat
penyakit dasarnya. Macam reseksi:
- Pneumonektomi: reseksi satu paru seluruhnya
- Bilobektomi : reseksi dua lobus
14
- Lobektomi : reseksi satu lobus
- Wedgeresection: reseksi sebagian kecil jaringan paru
- Enukleasi : bila kelainan patologis kecil dan jinak
- Segmentektomi: reseksi segmen bronkopulmonal
Berdasarkan foto thoraks dan pemeriksaan faal paru, luasnya
operasi dapat ditentukan sebelum operasi. Prinsipnya adalah
mempertahankan sebanyak mungkin jaringan paru yang dianggap
sehat. Luas dan jenis lesi (proses inflamasi, abses atau kavitas)
menentukan jenis reseksi yang akan dilaksanakan.
2. Terapi kolaps: pneumoperitoneum, pneumotoraks artifisia, torakoplasti,
frenikolisis (membuat paralise N. phrenicus).
Terapi kolaps bertujuan untuk mengistirahatkan bagian paru yang
sakit dengan cara membuat kolaps jaringan paru yang sakit tersebut.
Pendapat ini benar untuk kelainan berbentuk kavitas, tetapi cara ini
banyak ditinggalkan karena komplikasinya banyak.
Prosedur yang termasuk dalam kelompok terapi kolaps:
- Pneumotoraks artificial yaitu dengan memasukkan udara ke rongga
pleura kemudian secara bertahap ditambahkan udara sehingga
teracapai kolaps pada jaringan paru yang sakit. Bila paru kolaps
maka bagian tersebut dapat istirahat sehingga mempercepat proses
penyembuhan. Bila terdapat adhesi dan paru tidak dapat kolaps
dilakukan intrapleuralpneumonolysis (operasi Jacoboes), tetapi
sering terjadi komplikasi perdarahan. Karena sering terjadi
empyema setelah pneumotorak artifisial, tindakan ini sudah tidak
dilakukan lagi.
- Pneumoperitoneum yaitu tindakan memasukkan udara ke rongga
peritoneum dengan tujuan menaikkan diafragma agar terjadi kolaps
pada jaringan paru dengan harapan lesi di apikal akan menyembuh.
- Paralise nervus phrenicus yaitu dengan cara anestesi local nervus
phrenicus dibebaskan dari perlekatannya di M. scalenus anterior,
kemudian saraf dirusak (crushed) sehingga timbul paralise
diafragma. Akibatnya akan terjadi elevasi diafragma dan
15
diharapkan apeks paru dapat diistirahatkan sehingga, terjadi proses
penyembuhan.
- Torakoplasti yaitu suatu bentuk operasi dimana kolaps paru terjadi
dengan cara menghilangkan supporting framework-nya, misalkan
dengan membuang tulang iga dari dinding dada. Indikasi
torakoplasti:
Dulu: torakoplasti hamper selalu dilakukan setelah lobektomi atau
pneumonektomi dengan tujuan meminimalisasi kemungkinan
terjadinya over distensi parenkim paru yang tersisa selain itu dead
space akan segera menutup (obliterasi) sehimgga resiko
terbentuknya fistula bronkopleural dan empyema dapat dikurangi.
Sekarang: kebutuhan torakoplasti diragukan dan dilakukan bila
direncanakan reseksi lebih dari 1 lobus atau mengatasi komplikasi
tindakan reseksi seperti fistula bronkopleura dan empiema.
3. Lain-lain: embolisasi artifisial.
Embolisasi artifisial atau Bronchial Artery Embolization (BAE)
adalah penyuntikan gel foam atau polivinil alcohol melalui katerisasi
pada arteri bronkialis. Menurut Ingbar embolisasi berhasil
menghentikan perdarahan 95%. Dengan meningkatnya penggunaan
embolisasi arteriografi, sekarang penggunaan tindakan pembedahan
untuk pengelolaan batuk darah massif mulai ditinggalkan.
2.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat mengancam jiwa penderita adalah asfiksia,
sufokasi dan kegagalan sirkulasi akibat kehilangan banyak darah dalam waktu
singkat. Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah penyebaran penyakit ke sisi
paru yang sehat dan atelektasis. Atelektasis dapat terjadi karena sumbatan saluran
napas sehingga paru bagian distal akan mengalami kolaps dan terjadi atelektasis.12
Tingkat kegawatan dari batuk darah ditentukan oleh 3 faktor:6
1. Terjadinya asfiksia karena adanya pembekuan darah dalam saluran
pernapasan. Pada dasarnya asfiksia tergantung dari:
16
a. Frekuensi batuk darah
b. Jumlah darah yang dikeluarkan
c. Kecemasan penderita
d. Siklus inspirasi
e. Reflek batuk yang buruk
f. Posisi penderita
2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya batuk darah dapat
menimbulkan syok hipovolemik. Bila jumlah perdarahan banyak maka
digolongkan dalam massive hemoptysis. Kriteria massive hemoptysis
menurut Yeoh adalah perdarahan 200 cc dalam 24 jam sedangkan menurut
Sdeo adalah perdarahan lebih dari 600 cc dalam 24 jam.
3. Aspirasi pneumonia
Yaitu infeksi yang terjadi beberapa jam atau beberapa hari setelah
perdarahan. Aspirasi adalah masuknya bekuan darah ke dalam jaringan paru
yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
a. Meliputi bagian yang luas dari paru
b. Terjadi pada bagian percabangan bronkus yang lebih kecil
c. Disamping perdarahan dapat pula disebabkan oleh masuknya cairan
lambung ke dalam paru karena penutupan glottis yang tidak sempurna
d. Dapat diikuti sekunder infeksi.
Aspirasi pneumonia merupakan keadaan berat karena saluran napas
dan bagian fungsional paru tidak dapat berfungsi dengan baik.
2.9 Prognosis
Pada hemoptosis idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita
mengalami hemoptosis yang rekuren. Sedangkan pada hemoptisis sekunder ada
beberapa faktor yang menentukan prognosis : 4,6,7
17
1. Tingkatan hemoptisis : hemoptisis yang terjadi pertama kali mempunyai
prognosis yang lebih baik.
2. Jenis penyakit dasar yang menyebabkan hemoptisis.
3. Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan untuk
menghisap darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan penderita.
a. Hemoptisis <200 ml/24 jam prognosis baik
b. Profuse massive>600 cc/24 jam prognosis jelek 85% meninggal
BAB III
KESIMPULAN
18
1. Hemoptisis merupakan salah satu gejala pada penyakit paru saluran
pernapasan dan atau kardiovaskuler yang disebabkan oleh berbagai macam
etiologi.
2. Untuk mengetahui penyebab batuk darah kita harus memastikan bahwa
perdarahan tersebut berasal dari saluran pernafasan bawah, dan bukan berasal
dari nasofaring atau gastrointestinal.
3. Pada umumnya hemoptosis ringan tidak diperlukan perawatan khusus dan
biasanya berhenti sendiri. Yang perlu mendapat perhatian yaitu hemoptisis
yang masif.
4. Tujuan pokok terapi hemoptisis ialah mencegah asfiksia, menghentikan
perdarahan dan mengobati penyebab utama perdarahan
5. Batuk darah lebih sering merupakan tanda atau gejala dari penyakit dasar
sehingga etiologi harus dicari melalui pemeriksaan yang lebih teliti.
6. Pada prinsipnya penanganan hemoptisis ditujukan untuk memperbaiki
kondisi kardiopulmoner dan mencegah semua keadaan yang dapat
menyebabkan kematian. Penanganan tersebut dilakukan secara konservatif
maupun dengan operasi, tergantung indikasi serta berat ringannya hemoptisis
yang terjadi.
7. Prognosis dari hemoptisis ditentukan oleh tingkatan hemoptisis, macam
penyakit dasar dan cepatnya tindakan yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Price SA.Wilson LM. 2012. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit ed.6, Jakarta: EGC.
19
2. Alsagaff, Hood. 2009. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University Press.
3. Bonomo, L, Contegiacomo, A, Franchi, P, et al. Diagnosis and management of hemoptysis. Turkish Society of Radiology. 2014; 299 – 309.
4. Arief,Nirwan. 2009. Kegawatdaruratan Paru. Jakarta: Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UI.
5. Tabrani, Rab. 2010. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: TIM.
6. Pitoyo CW. 2011. Hemoptisis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid II, edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
7. PAPDI. 2012. Hemoptisis. Dalam: Rani Aziz, Sugondo Sidartawan, Nasir Anna U.Z., Wijaya Ika Prasetya, Nafrialdi, Mansyur Arif. Panduan pelayanan medik. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
8. Ward JPT, Ward J, Leach RM, Wiener CM. Tuberkulosis paru dalam buku at a glance Sistem respirasi. Jakarta: Erlangga; 2008.hal.80-81.
9. Snell, SS. Thorak dalam buku anatomi klinik. Jakarta: EGC; 2009.Hal : 94-95
10. Eddy, JB. Clinical assessment and management of massive hemoptysis. Crit Care Med. 2010 ; 28(5):1642-7.
11. Osaki S, Nakanishi Y, Wataya H, et al. Prognosis of bronchial artery embolization in the management of hemoptysis. Respiration. 2013. 67:412-6.
12. Kosasih A., Susanto AD., Pakki TR., Martini T., Diagnosis dan tatalaksana kegawatdaruratan paru dalam praktek sehari-hari, Jakarta : Sagung Seto, 2008. Hal 1-15.
20