REFLEKSI RUMAH ADAT AMMATOA DALAM …
Transcript of REFLEKSI RUMAH ADAT AMMATOA DALAM …
59
Abstrak: Refleksi Rumah Adat Ammatoa dalam Akuntabilitas Organisasi. Artikel ini bertujuan merefleksikan makna rumah adat Ammatoa dalam pelaksanaan akuntabilitas organisasi. Metafora rumah adat Am-matoa digunakan sebagai metode dan direfleksikan dalam bentuk akuntabiltias. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumah adat Ammatoa merefleksikan trilogi berakuntabilitas yang disebut Trilogi Akuntabilitas Ammatoa (TAA) yaitu akuntabilitas terhadap Tu Rie’a A’ra’na (dalam bentuk kepatuhan kepada Tuhan), akuntabilitas terhadap manusia (dalam bentuk transparansi) dan akuntabilitas terhadap alam semesta (dalam bentuk menjaga alam). Ketiga bentuk akuntabilitas ini harus terintegrasi satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
Abstract: Ammatoa Traditional House Reflections on Organizational Accountability. This article aims to reflect the meaning of the Amma-toa traditional house in implementing organisational accountability. The metaphor of the Ammatoa traditional house is used as a method and is reflected in the form of accountability. The results show that the Ammatoa traditional house reflects an accountable trilogy. They are called Ammatoa Accountability Trilogy (ATT), namely accountability for Tu Rie’a A’ra’na (in the form of obedience to God), humans (in the form of transpa rency), and nature universe (in the form of preserving nature). These three forms must be integrated so that they become a unified whole.
Minat penelitian terkait akuntabilitas baik di sektor publik maupun swasta menjadi perbincangan yang hangat beberapa dekade terakhir. Begitupun penelitian yang menggali akuntabilitas berbasis kearifan lokal (local wisdom) yang mulai diminati oleh beberapa disiplin ilmu baik sosial ekonomi maupun ilmu politik. Beberapa peneliti yang konsen mengangkat tema akuntabilitas berbasis local wisdom adalah Ahrens & Ferry (2015), Bailey (2014), Darmada et al. (2016), Harjito et al. (2016), Klenk (2015), Mikes & Morhart (2017), dan Salampessy et
al. (2018). Perbincangan tentang budaya lokal identik dengan kegiatan atau kebiasaan suatu komunitas yang disepakati secara turun temurun. Kearifan lokal semakin diminati oleh para peneliti untuk pengembangan kearah empiris dan semakin dapat diterima oleh publik (Akanga, 2017; Wimalasinghe & Gooneratne, 2019). Kearifan lokal dalam era digital dan modernitas lebih menekan kan pada: harmonisasi manusia, keselarasan budaya dan semesta, konservasi alam, dan kebinnekaan kultur, pelestarian kekayaan alam dan warisan leluhur, penghematan
Volume 11Nomor 1Halaman 59-76Malang, April 2020ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879
Mengutip ini sebagai: Sharon, S. S., & Paranoan, S. (2020). Refleksi Rumah Adat Ammatoa dalam Akuntabilitas Organisasi. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 11(1), 5976. https://doi.org/10.21776/ub.jamal.2020.11.1.04
REFLEKSI RUMAH ADAT AMMATOA DALAM AKUNTABILITAS ORGANISASI 1Sitti Salmah Sharon, 2Selmita Paranoan
1Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Lembaga Pendidikan Indonesia Makassar, Jl. Bung No.32, Makassar 902452Universitas Tadulako, Jl. Soekarno Hatta No.KM. 9, Palu 94148
Tanggal Masuk: 18 November 2019Tanggal Revisi: 01 April 2020Tanggal Diterima: 30 April 2020
Surel: [email protected], [email protected]
Kata kunci:
akuntabilitas,ammatoa,kepatuhan,transparansi
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 2020, 11(1), 59-76
60 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 59-76
kekayaan ekonomi; nilai etik, dan agama. Rumah adat Ammatoa sebagai konstruksi budaya lokal memiliki nilainilai yang tinggi sebagai falsafah kehidupan masyarakat adat Ammatoa yang masih dilestarikan. Falsafah hidup inilah yang menjadi tuntunan hidup masyarakat adat Ammatoa yang dituangkan dalam Pasang Ri Kajang. Tradisi budaya yang masih melekat adalah seperti sistem nilai, keyakinan agama, normanorma sosial, lingkungan kerja, serta bagaimana berinteraksi dengan masyarakat adat ataupun kelompok yang lain (Agustina, 2018). Tradisi budaya yang telah disepakti secara turun temurun dapat dijadikan pedoman dalam rangka mendorong masyarakat melakukan aktivitas yang mampu mengangkat harkat dan martabat dalam suatu komunitas. Berkat kearifan lokal mereka dapat melanjutkan kehidupan secara berkelanjutan (Sampean, 2017).
Penelitian akuntansi berdasarkan nilainilai budaya lokal di seluruh wilayah Indonesia terus pula dilakukan untuk dijadikan dasar pengembangan akuntansi Indonesia masa mendatang. Oleh karena itu, perlu untuk melakukan kajian ilmu akuntansi dengan berbagai persfektif ilmu pengetahuan termasuk budaya lokal (Efferin, 2015; Djamuri, 2011). Minat penelitian yang mengkaji akuntansi budaya lokal sudah mulai dilakukan antara lain Randa & Daromes (2014) mentransformasi kearifan lokal dalam membentuk akuntabilitas organisasi sektor publik, Sitorus (2015) mendefinisikan dan mendekonstruksi akuntansi dengan nilainilai Pancasila, Kusdewanti et al. (2014) melakukan pembebasan akuntansi melalui metafora bantengan dan topeng malangan, Sirajudin (2013) menggunakan Pancasila sebagai dasar dalam mengembangkan etika profesi akuntan. Sementara itu, Smith & Eng land (2019) menggunakan sintesis budaya untuk membumikan akuntansi.
Nilainilai kearifan lokal dapat membentuk realitas sosial ekonomi masyarakat termasuk dalam bidang akuntansi yang sarat dengan keunikan dari akar sosial budaya (Atan et al., 2017; Efferin, 2015; Paranoan, 2015; Rahayu & Yudi, 2015; Tumirin & Abdurahim, 2015). Mulawarman & Kamayanti (2018) berargumentasi bahwa akuntansi di Indonesia masih diadaptasi dari akuntansi barat tanpa disesuaikan dengan karaktertistik budaya lokal. Akuntansi dalam perspektif modern lebih menekankan pada aspek materialitas dengan mengabaikan aspek nilai
sosial. Padahal tidak dapat dielakkan bahwa akuntansi tidak hanya berkaitan dengan kelengkapan dokumen tetapi sarat dengan nilai sosial.
Penelitian ini akan menjadi unik, karena menggali akuntabilitas dalam budaya kearifan lokal masyarakat adat Ammatoa berdasarkan struktur rumah adat. Refleksi rumah adat Ammatoa dengan interpretasi yang mendalam dalam menggali makna akuntabilitas. Struktur bangunan rumah yang sangat sederhana merupakan implementasi dari pelaksanaan akuntabilitas. Pelaksanaana akuntabilitas yang senantiasa berdasarkan prinsip hidup masyarakat suku Kajang “Ammatoa” yaitu To Kamase-Masea (Kesederhanaan). Kesederhanaan menjadi pegangan hidup masyarakat adat Ammatoa dalam membangun rumah. Model dan ukuran rumah yang sama menjadi ciri tempat tinggal masyarakat adat Ammatoa yang masih dipertahankan hingga sekarang. Tempat tinggal seorang kepala adat, orang kaya ataupun orang miskin akan menempati rumah ukuran yang sama. Keseragaman juga tampak dalam hal pakaian. Komunitas adat Ammatoa menggunakan pakaian yang identik serba hitam untuk pakaian luar dan pakaian dalam berwarna putih. Keberadaan suku Kajang Ammatoa identik dengan pakaian adat serba hitam yang mereka yakin i sebagai lambang kesetaraan dan persamaan derajat dari Tu Rie’a A’ra’na (TRA). Pakaian yang serba hitam untuk pakaian luar menjadi ciri khas masyarakat adat Am-matoa. Selain itu penggunaan warna putih juga disakralkan oleh masyarakat setempat. Warna putih melambangkan kejujuran dan penerangan. Kedua warna ini diyakini sebagai pesan yang sakral dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Makna warna tersebut adalah bahwa dalam hidup harus selalu berlaku jujur dan tidak ada perbedaan di antara mereka karena di hadapan Tu Rie’a A’ra’na (TRA) manusia sama untuk mengabdi kepadaNya. Masyarakat adat Amma-toa yang menjunjung nilainilai kejujuran, ke sederhaan, kesetaraan, dan persamaan de rajat dituangkan dalam simbolsimbol seperti struktur rumah dan pemilihan warna dalam berpakaian yang dilestarikan di era modern karena merupakan pesan dari para leluhur yang harus dipertanggungjawabkan kepada Tu Rie’a A’ra’na (TRA) .
Berdasarkan bermasalahan tersebut tujuan penelitian adalah merefleksikan makna rumah adat Ammatoa dalam pelak
Sharon, Paranoan, Refleksi Rumah Adat Ammatoa dalam Akuntabilitas Organisasi... 61
sanaan akuntabilitas organisasi. Artikel ini akan memberikan bukti empiris tentang pemaknaan struktur bangunan rumah adat Ammatoa. Hasil dalam artikel ini dapat direfleksikan dalam akuntabilitas organisasi baik organisasi yang berorientasi profit maupun organisasi kemasyarakatan nonprofit .
METODE Penelitian ini menggunakan metode
metafora untuk memudahkan pembaca memahami penjelasan tentang realita dan konsep akuntansi secara sederhana dalam bentuk organ persepsi rumah adat Amma-toa. Metafora struktur rumah adat Ammatoa digunakan untuk memahami konsep dasar akuntabilitas yang naturalistik. Penggunaan metafora rumah adat Ammatoa sebagai organ persepsi dalam memahami bentuk akuntabilitas, di mana rumah adat Ammatoa sangat unik karena dbangun tanpa menggunakan sekat dalam pembagian ruang. Ruang tamu dan ruang keluarga yang menyatu bagi masyarakat adat Ammatoa adalah bentuk keterbukaan. Pemahaman yang alami dan apa adanya memungkinkan metafora digunakan dengan melihat dan memaknai
fenomena berdasarkan realitas yang dipaham i oleh masyarakat (Gibbon, 2012; Sitorus, 2019).
Koleksi data dilakukan dengan cara observasi dengan berkunjung secara langsung di kawasan adat Ammatoa. Studi literatur dilakukan untuk memperkaya kajian penelitian ini, disamping wawancara dengan masyarakat adat setempat. Untuk meyakinkan bahwa metafora digunakan dalam penelitian ini, kami melakukan observasi langsung di kawasan adat Ammatoa untuk menggali struktur rumah adat Ammatoa. Studi literatur dilakukan dengan menggali literatur yang terkait dengan komunitas adat Kajang. Wawancara dilakukan kepada informan yang bermukim di kawasan adat yang memahami dan mengerti pasang dan pernah menduduki jabatan adat di kawasan Ammatoa Kajang. Informan tersebut adalah Kajumaha, Jumadin, dan Moreng.
Tahap selanjutnya data dianalisis berdasarkan “organ persepsi” berbentuk bangun an rumah adat Ammatoa untuk melakukan refleksi dalam berakuntabilitas. Tahapan analisis data dilakukan pada Gambar 1. Gambar 1 menunjukkan seperangkat
Pasang Ri Kajang
Struktur Bangunan Rumah
PengumpulanData
Nilai Kearifan Lokal
Metafora Rumah Adat
Reduksi Data
Refleksi Rumah Adat
Analisis Data
Simpulan
Trilogi Akuntabilitas Ammatoa(TAA)
Gambar 1. Tahapan Penelitian
62 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 59-76
analisis “organ persepsi” dari struktur bangunan rumah adat Ammatoa akan diabstraksi berdasarkan filosofi bangunan yang melandasinya. Filosofi bentuk bangunan rumah adat Ammatoa yang sarat dengan nilainilai luhur budaya masyarakat Kajang menjadi cerminan akuntabilitas. Nilainilai yang terdapat pada struktur bangunan rumah adat Ammatoa kemudian digunakan untuk menjawab realita yang muncul pada ranah akuntansi, khususnya organ persepsi dalam mengungkap konsep akutabilitas. Selain itu, wawancara mendalam dilakukan kepada orangorang yang memahami adat dan filosofi Ammatoa Kajang yang kemudian diabstraksi berdasarkan “organ persepsi” bangunan rumah adat.
Situs penelitian yaitu rumah adat yang terletak di Desa Tanah Toa, Kecamatan Kajang khususnya kawasan Ammatoa, Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan. Di Kecamatan Kajang terdapat dua bagian daerah yaitu daerah “Kajang Dalam” yang dihuni oleh masyarakat adat Ammatoa yang masih memelihara tradisi dan nilainilai tradisional seperti bangunan rumah yang seragam, sedangkan kawasan “Kajang Luar” adalah kawasan yang telah dijamah oleh modernitas seperti bebas mendirikan bangunan rumah dengan gaya dan arsitektur modern. Oleh karena itu, fokus situs penelitian di kawasan “Kajang Dalam”.
HASIL DAN PEMBAHASANRumah adat Ammatoa sangat terkait
dengan kepercayaan masyarakat sebagai tempat bernaung dan melangsungkan kehidupan. Keseragaman dalam bentuk bangunan rumah panggung antara lain pembagian ruang, posisi tangga, formasi dan jumlah tiang, ornamen rumah, struktur dan konstruksi terbuat dari alam tanpa sentuhan teknologi seperti atap dari daun rumbia.
Kearifan lokal yang tertuang dalam pa sang merupakan segala bentuk pengetahuan, kepercayaan, norma, dan adat istiadat yang merupakan warisan nenek moyang masyarakat setempat. Kearifan lokal ini menjadi identitas masyarakat Ammatoa yang memiliki ciri dan keunikannya yang membedakan dengan masyarakat modern.
Komunitas suku Kajang senantiasa memegang teguh pesanpesan (Pasang Ri Kajang) sebagai peringatan atau Pengingat, pedoman atau amanah selain itu dapat dimaknai sebagai renungan atau ramalan. Masyarakat adat Ammatoa percaya bah
wa Pasang menjadi falsafah hidup dalam melakukan hubungan antarkomunitas, baik pola interaksi secara vertikal maupun interaksi secara horizontal. Pesanpesan yang dipercaya dari generasi ke generasi dalam menjalani kehidupan sosial yang dibingkai dalam suatu sistem ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, dan lingkungan.
Nilainilai yang ada dalam Pasang masih dijunjung tinggi dan diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat di kawasan adat Ammatoa, seperti bangunan rumah, ritual adat seperti pada ritual Apparuntuk pa-knganro, yaitu ritual adat untuk memohon doa dan bersyukur atas segala nikmat yang diberikan oleh Turi’e A’ra’na. Kegiatan ritual adat dilaksanakan menjelang dan setelah panen. Aktivitas pertanian dan perkebunan dilakukan baik oleh komunitas adat Amma-toa maupun kepala adat. Ritual adat akan dilakukan pada saat mendirikan bangunan rumah yang diselenggarakan oleh pemilik rumah dengan melibatkan kepala adat Am-matoa.
Organ persepsi bangunan rumah adat Ammatoa. Masyarakat adat Ammatoa bermukim di Provinsi Sulawesi Selatan tepatnya di Kabupaten Bulukumba Kecamatan Kajang, Desa Tanah Toa. Komunistas suku Kajang Ammatoa tidak mengenal pendidikan formal dan tidak mempunyai pedoman dan juknis secara tertulis dalam melaksanakan roda kepemimpinan tetapi berlandaskan pada Pasang Ri Kajang. Pasang yang diartikan sebagai pedoman, falsafah, atau amanat, Ri adalah kata sambung yang berarti tempat atau “di”, sedangkan “Kajang” menunjukkan daerah teritorial kawasan adat Ammatoa melangsungkan kehidupan di dunia. Strategi untuk mempertahankan kehidupan masyarakat berdasarkan nilai dan ajaran serta kepercayaan yang telah diwarikan oleh para leluhur mereka sebut Pasang Ri Kajang. Secara harfiah kata pasang berarti tuntunan hidup masyarakat adat Am-matoa yang wajib dilaksanakan sebagai perintah dari Turi’e A’ra’na. Apa yang tertuang dalam Pasang tidak boleh dilanggar karena akan mendapatkan azab dari Turi’e A’ra’na ataupun hukum adat setempat (Disnawati, 2013; Risfaisal, 2017).
Pasang inilah yang menjadi tuntunan hidup dalam bermasyarakat dalam memenuhi kebutuhan seperti sandang, pangan dan papan termasuk membangun rumah semuanya dilakukan dalam kesederhanaan. Rumah adat Ammatoa bukan hanya sekadar
Sharon, Paranoan, Refleksi Rumah Adat Ammatoa dalam Akuntabilitas Organisasi... 63
pemenuhan kebutuhan untuk tempat tinggal sebuah keluarga, tetapi mempunyai nilai filosofis yang mempengaruhi realitas sosial dalam berinteraksi dengan TRA, menjalin hubungan sesama manusia dengan jagad raya yang tergambar dari struktur rumah adat Ammatoa. Nilainilai filosofis merupakan kearifan lokal yang menjadi tuntunan dan pedoman yang walaupun tidak tertulis tetapi sangat sakral untuk dilaksanakan sebagai kepatuhan diri (pertanggungjawaban) kepada sang pemberi amanah yaitu TRA.
Melalui penelurusan studi literatur, wawancara, dan dokumentasi ditemukan filosofi rumah adat yang masih eksis di era modern sebagai amanah dari Pasang Ri Ka-jang. Rumah adat Ammatoa Kajang dengan bentuk rumah panggung mempunyai kemiripan seperti rumah adat pada umumnya di Sulawesi Selatan. Perbedaannya terletak pada ciri khas rumah yang berada di kawasan adat Ammatoa, yaitu struktur rumah panggung yang sederhana dengan kontruksi yang sangat natural, dinding rumah terbuat dari papan atau bambu yang telah dianyam, dan ornamen bangunan mempunyai kesamaan (homogenity). Bentuk bangunan yang sederhana menandakan tidak ada perbedaan kelas sosial (Disnawati, 2013; Risfaisal, 2017). Bentuk dan struktur bangunan yang dihuni semuanya sama.
Rumah yang dibangun senantiasa dianalogikan dengan organ tubuh manusia baik secara vertikal maupun horizontal. Rumah panggung yang berdiri di atas permukiman masyarakat adat Ammatoa semua sama yaitu terdiri dari tiga petak. Hal ini menandakan adanya kesetaraan setiap warga masyarakat adat Ammatoa selama hidup di dunia. Mereka meyakini perbedaan itu akan ada di akhirat kelak sesuai de ngan amal dan perbuatan mereka di dunia. Pembagian petak rumah terdiri dari tiga bagian yaitu dua petak sebagai latta ritangnga (bagian tengah) dan satu petak latta riboko (bagian belakang). Pada latta ritangnga terdapat pocci balla (tiang pusat) yang dianalogikan sebagai pusar manusia yang dianggap sebagai pusat senyawa dan tempat perlindungan. Tiang pusat (pocci balla) tempat yang dikeramatkan dan bentuk keseimbangan antara Tuhan, manusia, dan alam.
Homogenetik dari struktur bangunan tersebut berarti bahwa masyarakat adat Am-matoa hidup dalam prinsip kamase-masea yang memungkinkan mereka meningkatkan kehidupannya melalui tolong menolong
(manyu siparampe’, tallang sipahua) (Istiawati, 2016; Rahmayani, 2017). Penataan ruang, pola, dan struktur bangunan berorientasi alam tanpa penggunaan ornamen cat yang berwarna selain warna alam. Hal ini menandakan masyarakat adat Ammatoa menjunjung tinggi hidup sederhana. Kesederhaan ini tergambar dari bangunan rumah, cara berpakaian, dan fasilitas umum yang digunakan.
Pembangunan rumah senantiasa dilakukan dengan cara musyawarah untuk mendiskusikan jumlah bahan yang akan dipersiapkan. Hasil musyawarah juga menentukan kapan hari baik untuk menebang kayu di hutan dengan pembagian kelompok. Ditunjuk orang yang akan memimpin menebang hutan serta mencari rotan dan rumbia yang akan dipakai untuk atap rumah. Ba han untuk mendirikan bangunan berasal dari lingkungan mereka sendiri seperti kayu dan bambu. Kehidupan mereka menyatu dengan alam. Mereka menjalankan kehidupan di butta kamase-mase (tanah yang sederhana) dalam istilah negeri prihatin. Kesamaan (ho-mogenity) dalam bangunan rumah menunjukkan tidak ada perbedaan kelas sosial dalam masyarakat adat Ammatoa. Konsep kesederhanaan sebagai bentuk syukur dan rasa terima kasih kepada TRA atau hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan belas kasih dari TRA di dunia dalam bentuk kehidupan yang ganna’mi (cukup), “apa adanya” dan di alam gaib berupa kalumannyang kalupepeang (kekayaan yang abadi). Filosofi dari struktur bangunan secara vertikal terbagi dalam 3 tingkat yaitu para’, kale balla, dan siring yang diuraikan sebagai berikut.
Organ persepsi Para’. Bagian atas (langitlangit) rumah atau biasa dianalogikan dengan kepala manusia merupakan cerminan yang dianggap suci biasanya sebagai tempat menyimpan umatan (penyembahan) nenek moyang dan TRA, serta dipakai untuk menyimpan benda pusaka dan kebutuhan pokok selama di dunia seperti padi dan jagung. Para’ yang berada paling atas dari bagian rumah atau biasa diistilahkan langitlangit rumah sangat tertutup dan hanya bisa diakses oleh pemilik rumah. Untuk memudahkan pemilik rumah mengakses para’ tersebut, maka terdapat lubang/pintu dengan tangga kecil yang bentuknya tidak menyerupai tangga utama.
Bagian Para’ akan terkoneksi dengan Kale Balla dan Siring dengan adanya pocci balla sebagai bentuk keseimbangan dalam
64 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 59-76
melakukan ritual adat, sehingga pemilihan bahan untuk pocci balla akan mengikuti pasang seperti pemilihan jenis kayu yang dikeramatkan. Pocci balla memiliki filosofi nilai religius yang sangat tinggi. Sebagaimana diutarakan oleh Kajumaha dan Jumadin dalam kutipan wawancara berikut:
“...inni benteng tangaia nipabo-jangkaju paling balloa, anre’ na-kulle kaju sambarangan ni pasang, pocci balla nipake angngolo ri Tu Rie’a A’ra’na (TRA)...” (Kajumaha).
“Ri Pocci balla aiki biasa angn-golo punna assurobajaki, kun-tumi pokokna ballaa” (Jumadin)
“...Ponci balla dipilihkan kayu yang paling bagus, tidak boleh kayu sembarangan yang dipasang, ponci balla akan dipakai sebagai tempat menghadap Tu Rie’a A’ra’na (TRA)...” (Kajumaha)
“Pocci balla sebagai tempat melakukan ritual adat, sebagai pusat rumah..” (Jumadin).
Para’ menjadi pusat menyimpan bendabenda pusaka dan umatan (penyembahan). Hal ini bermakna sebagai tempat berinteraksi antara manusia dengan Tuhan.
Organ persepsi Kale Balla. Bagian tengah (badan rumah) diibaratkan sebagai badan manusia bahan materialnya terbuat dari bambu adalah sebagai lantai rumah. Bagian Kale Balla sebagai tempat berinteraksi dengan sesama manusia, maka pembagian ruang pun disesuaikan dengan fungsi Kale Balla. Posisi sebelah kiri dari badan rumah terdapat dapur dan tempat penampungan air. Penampungan air yang berada di atas rumah digunakan untuk memasak sekaligus mencuci perabotan. Posisi sebelah kanan terdapat hamparan tikar (jali’) dan bantal yang dijejer sebagai tempat menerima tamu sekaligus tempat tidur pria yang belum menikah. Kale Balla terbagi dalam ruang bagian depan (latta riolo), bagian tengah (latta tangnga), dan bagian belakang (latta riboko). Masingmasing ruang memiliki fungsi seperti latta riolo berfungsi tempat menerima tamu umum, latta ritangnga berfungsi tempat melaksanakan ritual adat (pangngadakkang), sekaligus tempat kepala suku atau tamu yang dihormati. Ruang ini
diperuntukkan khusus bagi lakilaki. Adapun perempuan bisa menempati ruang lagi di sisi ruang depan kanan rumah. Ruang ini juga berfungsi sebagai ruang makan (pang-nganreang). Hal ini diungkapkan oleh Kajumaha sebagai berikut:
“...balla tallu lattaji ditte ilalang mae ri lalang embayya, anre nakulle labbi, iyaminjo ni bage tallu toi, ri otommo nikape cidong-cidong, nipa-ke nganre dan atinro” (Kajumaha).
“...rumah adat Ammatoa ha nya tiga petak, tidak bisa lebih. Selain itu, rumah adat terbagi tiga sesuai dengan peruntukannya, yaitu tempat bersantai, tempat makan, dan tidur” (Kajumaha).
Pada Kale Balla terdapat tempat penyimpanan bahan/perabot atau makanan yang siap disajikan biasanya di para-para yang berada di bagian Kale Balla yang menjorok ke luar. Para-para atau rakrak yang berada di sisi kiri dan kanan rumah berfungsi untuk menyimpan alatalat atau bahan makanan yang mudah diakses oleh pemilik rumah. Para-para yang terdapat di kale balla bukan hanya berfungsi sebagai tempat menyimpan barang, tetapi berfungsi sebagai sirkulasi udara dan melihat lingkungan sekitar. Ketinggian parapara sekitar satu meter dari lantai rumah yang berfungsi sebagai ventilasi udara dan untuk menyimpan peralatan rumah seperti tikar.
Pintu rumah hanya ada di depan bagian tengah agak ke kanan atau ke kiri dari lebar rumah yang memiliki makna filosofis bahwa hubungan baik kepada sesama manusia sematamata mendapat ridho dari TRA sebagai jembatan menuju surga. Hal ini diutarakan oleh Moreng dan Jumadin dalam kutipan wawancara berikut:
“Serre balla tabbage tallui, rua latta riolo paccidonngan tau na pallu, latta riboko intumi ta-la-tala, anre to nakulle nipa-kekang pintu riboko’’ (Moreng).
“Punna injo balla’a ia lalang ri Ammatoa anre’ nakkulle lab-bi tallu latta...nihajuang pa-la-pala’ pannanroang baran-na...pintuna serreji” (Jumadin).
Sharon, Paranoan, Refleksi Rumah Adat Ammatoa dalam Akuntabilitas Organisasi... 65
“Satu rumah terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian depan, dua petak bagian depan untuk tamu dan dapur, sedangkan bagian belakang tala-tala’ dan tidak boleh dipasang pintu belakang” (Moreng).
“Rumah di dalam kawasan Am-matoa tidak boleh lebih dari tiga petak, karena pesan yang tidak boleh dilanggar dan diberikan para-para sebagai tempat penyimpanan barang...pintu juga hanya satu” (Jumadin).
Berdasarkan pengamatan peneliti seluruh lantai rumah terbuat dari belahan bambu yang diikat dengan rotan dan beralaskan tikar rotan. Ruang tengah ini tidak memiliki kursi dan meja atau perabot rumah tangga pada umumnya. Perlengkapan yang disediakan yaitu tikar dan bantalbantal kecil sebagai tempat bersandar dan tidur bagi penghuni rumah atau tamu yang berkunjung.
Organ persepsi Siring. Bagian bawah (kaki rumah) sebagai tempat beraktivitas seharihari seperti menenun bahan sarung yaitu kain hitam (topeh le’leng) yang menjadi pakaian seharihari masyarakat Ammatoa. Ciri khas rumah adat Ammatoa adalah tiang penyangga rumah ditanam secara langsung ke tanah tanpa alas (Siring) seperti rumah adat lain pada umumnya. Kolom rumah akan disesuaikan dengan pemilik rumah. Tinggi kolom rumah ke lantai atas sekitar 2 meter agar masyarakat bisa melakukan aktivitas secara leluasa di bawah kolom rumah. Tiang rumah yang langsung ditanam di rumah secara filosofis bermakna kehidupan manusia senantiasa menyatu dengan alam sebagai upaya penghormatan kepada TRA yang me reka yakini mewujud ke dalam alam semesta. Seperti yang dituturkan oleh bapak Moreng, Jumadin, dan Kajumaha dalam kutipan wawancara berikut:
“Injo bentenga ni lamungi ni painro’i rimemanna, siringa ni pake pannan-roang tinanang, olo-kolo” (Moreng).
“Siringnga ni pake toi attannu tope lelleng, ni pake’i jama-ja-mang allo-alloa” (Jumadin).
“...assalatta tosse iditte nak, ben-teng balla riekasipallina iamiinjo
na nilamungi ni painroi ri tanayyai pada simemanna” (Kajumaha).
“Tiang rumah ditanam ke tanah dikembalikan ke asal nya, kolong rumah juga dipakai untuk menyimpan sebagian hasil panen dan ternak” (Moreng).
“Kolong rumah juga digunakan untuk menenun kain hitam dan juga dipakai untuk aktivitas seharihari” (Jumadin).
“...asalnya kita nak, tiang rumah ada pantangannya sehingga tiang ditanam untuk mengembalikan asalnya ke alam seperti semula” (Kajumaha).
Bahkan keberadaan tangga dari tanah ke atas rumah pun ditanam di dalam tanah sama halnya dengan tiang rumah lainnya dan tidak menggunakan atap. Hal ini bermakna bahwa manusia harus tetap menyatu dengan alam dengan merasakan teriknya matahari dan hujan hingga masuk dalam rumah. Hal ini seperti penuturan Kajumaha dalam kutipan wawancara berikut:
“Serrejji tuka’ anre’ nakkulle ni atakki appada balla adat ripan-tarang kampong, ia tosse ditte adatta kamase-masea, katalla-santa ditte anre nakkulle tas-sala apa na panjariangki ri Tu Rie’a A’ra’na (TRA). Ri tukaaki ni pisarringi memammi hamban-na alloa na bosia, riallo jorengan tala’ ni pisarringimi” (Kajumaha).
“Hanya ada satu tangga, tidak ada atapnya itu tangga seperti rumah adatnya kampung lain, karena kita ini pegang prinsip ka-mase-masea, karena kita hidup ini selalu berhubungan dengan semua ciptaan TRA. Di tangga pun itu kita tetap rasakan panasnya matahari dan hujan, karena kalau kita sudah mati saya tidak mau rasakan lagi itu” (Kajumaha).
Sistem konstruksi rumah adat Amma-toa masih sangat sederhana berupa sistem ikat menggunakan rotan yang diambil dari lingkungan setempat dan sistem pasak tan
66 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 59-76
pa menggunakan paku. Sistem konstruksi tidak menggunakan alatalat modern seperti pemakaian paku. Model pintu dengan sistem geser, begitupun jendela yang terbuat dari bahan kayu. Berabadabad lamanya masyarakat Kajang secara konsisten melestarikan pesan leluhur dengan melakukan aktivitas di dunia senantiasa bersahabat dengan alam, bahkan sangat mempengaruhi tatanan dan bentuk rumah suku Kajang. Proses pembangunan rumah adat Ammatoa harus meminta restu kepada kepala adat Ammatoa. Penebangan kayu dari hutan harus meminta izin dari kepala adat Ammatoa. Pe nebangan tersebut harus dilakukan sesuai syarat dan ketentuan yang ada dalam pa sang seperti hari yang baik dan telah melakukan ritual adat. Sumber utama material bangunan yaitu kayu nannasa’ (kayu bitti) yang masih banyak kita jumpai dalam kawasan adat Ammatoa. Khusus untuk keperluan lantai rumah terbuat dari bambu yang dianyan dengan rotan. Pembuatan atap dari daun rumbia biasanya disiapkan oleh pemilik rumah jauhjauh hari. Pembuatan atap ini dilakukan di pekarangan rumah secara gotong royong. Hal tersebut diungkapkan oleh Kajumaha dalam kutipan wawancara berikut:
“...mulaiki ambaju ata’ rumbia am-borong-borongki hajui, rie ngas-eminjo mae urang sianatta am-baliiki baju ata’, siampi’ ballatta, tala nibanyarai...” (Kajumaha).
“...saat pembuatan atap dari rumbia masyarakat bergotong royong, sanak saudara dan tetangga dan tanpa ada yang dibayar...” (Kajumaha).
Struktur rumah adat Ammatoa. Kepercayaan masyarakat adat Ammatoa Kajang hidup dalam kesederhanaan dilihat dari bangunan yang tertata rapi dengan konstruksi rumah adat Ammatoa Kajang yaitu Bola Hanggang. Struktur Bola Hanggang yaitu tiang yang langsung menyatu dengan tanah tanpa penyangga batu atau balok. Sistem tiang yang tertancap ke tanah menjadi ciri khas rumah di kawasan adat Ammatoa. Tiangtiang yang akan dipilih untuk membangun rumah harus yang berkualitas bagus dan tidak dimakan oleh rayap untuk menghindari agar tiangtiang tersebut tidak cepat rapuh. Hal ini dituturkan oleh Moreng pada kutipan wawancara berikut:
Gambar 2: Struktur Bangunan Rumah Adat
Bagian Atas (Para’)
Bagian Tengah(Kale’ Balla)
Bagian Bawah(Siring)
Sharon, Paranoan, Refleksi Rumah Adat Ammatoa dalam Akuntabilitas Organisasi... 67
“...anre’ nakulle kaju sambarang nipake, nihojai nuanrea na rapo’, manna pulo taun anre’ na kan-rei lintana, ka ditte ilalang ben-tengnga nihangngangi” (Moreng).
“...pemilihan kayu untuk tiang rumah harus kayu yang kuat, walaupun puluhan tahun tidak dimakan oleh rayap, karena rumah adat kita harus ditanam ke tanah” (Moreng).
Pernyataan Moreng secara garis besar terlihat pada Gambar 2. Gambar 2 menunjukkan bahwa Struktur bangunan rumah adat Ammatoa dalam membagi rumah tradisonalnya menjadi tiga bagian yang terintegrasi dengan yang lainnya baik secara horizontal maupun secara vertikal. Wujud metafora manusia yaitu kepala sentral untuk berpikir, badan manusia, dan kaki sebagai penopang badan dan kepala. Analogi tersebut kita jumpai di rumah adat masyarakat Ammatoa yang terbagi menjadi tiga bagian ya itu bagian atas (Para’), bagian tengah (Kale Balla) dan bagian bawah (Siring). Siring yang dikelilingi oleh tiangsebanyak sembilan untuk pe nyangga rumah sebagai penopang badan rumah. Fungsi Siring sebagai tempat me nyimpang kayu bakar untuk memasak serta tempat menenun kain hitam. Kale Balla berfungsi melakukan aktivitas seperti makan, menerima tamu dan tidur, sedangkan bagian Para’ yang tidak bisa diakses oleh orang lain berfungsi sebagai tempat penyimpanan bendabenda yang dikeramatkan seperti pusaka nenek moyang (umatan). Konsep bangunan yang sangat sederhana yang terbuat dari lingkung an sekitar sekaligus merupakan pengejewantahan dari trilogi hubungan manusia dengan TRA, manusia dan alam semesta.
Makna filosofis rumah adat Ammatoa: hubungan manusia dengan Tu Rie A’ra’na (TRA). Aspek keyakinan fundamental dalam sistem kepercayaan masyarakat adat Ammatoa adalah percaya kepada TRA. Segala kehidupan yang dijalankan di alam semesta diserahkan kepada TRA. Tuntunan dan kepercayaan masyarakat adat Ammatoa dituangkan dalam Pasang. Aktivitas yang dijalankan di dunia ini sematamata untuk bekal di akhirat. Mereka percaya bahwa tempat bersemayan yang kekal abadi harus mendapatkan ridho dari TRA. Istilah TRA merupakan penyebutan terhadap zat yang maha kuasa, yang maha berkehendak.
Ma syarakat adat Ammatoa meyakini bahwa TRA maha mengetahui, maha mendengar, mahaagung, dan maha pemberi segala nya. TRA yang maha berkehendak segala sesuatu yang terjadi di dunia ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasang Ri Kajang sebagai berikut:
“...Anre nisse rie’ na anre’na Tu Rie A’ra’na (TRA)Ippala doang Padato’ji pole natari-mana, iya toje’na”.
“...kita tidak tahu keberadaanNya, Dia Maha berkehendakDemikian juga diterimanya doa kita, Dia yang kuasa”.
Berdasarkan refleksi metafora Para’ rumah (bagian atas rumah) sebagai pusat penyimpanan tempat pusaka, dan tempat penyimpanan bahan pangan dan tempat suci yang disakralkan, masyarakat adat Am-matoa memaknai bahwa segala sesuatu yang dilakukan dalam aktivitas kehidupan di dunia menjunjung tinggi hubungan de ngan TRA. Masyarakat adat Ammatoa percaya bahwa berkomunikasi atau membangun hubungan dengan TRA menjadi kebutuhan paling utama, sebab berhubungan karib dengan TRA maka mereka dapat mengenal Tuhan yang menciptakan alam semesta dan yang menyediakan apa yang mereka perlukan. Sementara itu, penempatan yang dilakukan di ketinggian merupakan TRA yang harus dijunjung tinggi dalam melakukan ibadah di dunia ini.
Para’ yang terletak di bagian atas atau berada di garis vertikal akan selalu dijunjung tinggi. Ini menandakan bahwa manusia harus berpijak kepada Tu Rie A’ra’na (TRA) sebagai kekuasaan tertinggi di muka bumi ini. Mereka juga percaya bahwa tempat bersemayan TRA berada di atas. Hubungan vertikal antara manusia dan TRA merupakan sumber kemampuan manusia untuk bertanggung jawab kepada dirinya sendiri dan sesama manusia. Tanpa pertanggungjawaban kepada TRA, maka tidak mungkin mereka bertanggung jawab kepada diri sendiri ataupun kepada sesama manusia. Pertanggungjawaban kepada TRA terimplementasi dalam aksi kepada sesama manusia dan menjaga kelestarian alam semesta.
Makna filosofis rumah adat Ammatoa: hubungan sesama manusia. Masyarakat Ammatoa dalam memaknai hubungan se
68 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 59-76
sama manusia mengenal sifat kalambusang (kejujuran), sabbara (sabar), appisona (ikhlas). Sifatsifat inilah yang melekat pada masyarakat Ammatoa dalam berinteraksi dengan kehidupan di dunia. Komunitas adat Ammatoa sangat menjunjung tinggi nilainilai kejujuran dalam menghadapi realitas dan fenomena alam semesta, sabar dalam menghadapi berbagai persoalan dan ikhlas dalam menjalani kehidupan. Sebagaimana pesan yang sampaikan oleh Pasang Ri Ka-jang sebagai berikut.
“...pakabajiki ateka’nuIyamintu agamaIyantu sambayangnga Jamaan-ja-maanjiPakabajiki gau’nuSara’ sara makana’nuNanulilian labatayya”.
“...perbaikilah hatimuKarena itulah agamaAdapun sembayang itu pekerjaan saja Perbaikilah tindak tandukmuSopan santun dan katakatamu Agar jauh dari segala cela”.
Suku Kajang percaya bahwa sebagai makhluk sosial mereka tidak bisa dilepaskan dari kehidupan mutualis antarsesama manusia. Hidup saling memberi dan menerima segala kebutuhan dan kekurangan orang lain, toleransi antarsesama manusia, begitupun dalam pemenuhan hak dan kewajiban harus tolong menolong. Hal ini tergambar dari ruang tengah (Kale Balla) yang dibuat tanpa sekat. Kale Balla berfungsi sebagai ruangan tamu, ruang makan dan tempat beristirahat seperti tidur. Penyatuan ruangan ini bersifat sangat komunikatif karena hampir semua anggota keluarga dapat mendengarkan atau ikut serta dalam pembicaraan dan melihat segala kegiatan yang dilaksanakan. Selain itu, ruang tengah berfungsi sebagai tempat berinteraksi setiap orang yang ada di ruangan tersebut. Kehangatan dalam ruangan itu sangat terasa. Kesan individualisme tidak ditemukan di masyarakat adat Amma-toa, semua pekerjaan dilaksanakan dengan cara gotong royong dan penuh suka cita.
Suku Kajang sangat menjaga jalinan silaturrahim di antara anggota keluarga dengan menempatkan ruang tengah sebagai pusat berinteraksi dan menerima nasihat dari orang tua terkait dengan etika dan tata
krama dalam pergaulan yang berupa Pa-sang Ri Kajang. Pasang menjadi pedoman hidup sebagai pengabdian diri kepada TAA, melakukan interaksi dengan sesama ciptaan TAA (Hijjang, 2014; Istiawati, 2016). Pasang Ri Kajang adalah sebagai landasan, tuntunan, dan norma dalam dimensi hi dup manusia di alam semesta ini. Pasang Ri Kajang akan terimplemtasi dalam normanorma adat yang menjadi kebiasaan dan tuntutan hidup dalam bermasyarakat adat Ammatoa.
Makna filosofis rumah adat Ammatoa: hubungan manusia dengan alam semesta. Struktur rumah adat Ammatoa memadukan keseimbangan alam dan manusia diyakini dapat menjadi nilai tambah dan kepatuhan terhadap hasil ciptaan TAA. Keseimbangan itu diwujudkan dengan memadukan unsur alam seperti kayu, bambu dan warna lembut yang melekat pada rumah adat tersebut. Keseimbangan dan keselarasan dalam pembangunan rumah adat pedesaan akan membawa wahana pelestarian lingkungan alam (Mawaddahni, 2017). Pembangunan berbasis konsep bangunan alam sebagai bentuk manisfestasi dari kekuatan dan kekuasaan TAA (Akib, 2008). Keunikan lain semua bangunan menghadap ke barat untuk menghindari pandangan mata menghadap ke bo-rong karama’ (hutan yang dilindungi) sesuai dengan Pasang Ri Kajang. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat adat Ammatoa tidak setiap saat mellihat kekayaan hutan yang dapat dimanfaatkan secara semenamena yang berakibat merusak hutan (Hafid, 2013).
Bagi masyarakat adat Ammatoa harmonisasi dengan alam menjadi mutlak dilakukan sebagai pengabdian kepada TAA. Tiang penyangga rumah yang menyatu dengan tanah menggambarkan keberadaan manusia yang senantiasa menyatu dengan alam. Hal ini dimulai dari kehidupan manusia di dunia hingga manusia dikembalikan ke asalnya. Belum lagi bentuk tiang penyangga yang tetap disesuaikan dengan bentuk asli dari pohon yang ditebang tanpa menggunakan alat modern, karena dianggap akan mengganggu ekosistem lainnya. Hal ini seperti yang tertuang dalam beberapa bagian Pasang Ri Kajang:
“...jagai linoa lollong bonena, kam-mayya tompa langika, siagang rupa taua, siagang bo-rongga”.
Sharon, Paranoan, Refleksi Rumah Adat Ammatoa dalam Akuntabilitas Organisasi... 69
“...punna arra’ko anna’bang sipoko’ kayu ri boronga,A’lamunko rolo ruang poko’ang-genna timbo”.
“Olo’-olo’jintu akkulle ammanraki tinananga siagang borongaJari puna lanupanraki injo boronga kittemintu nikua olo-olo’a”.
“...jagalah dunia beserta isinyaBeserta langit manusia dan hutan”.
“...kalau ingin menebang satu batang pohon kayu di dalam hutanHarus menanam dulu dua pohon sampai tumbuh dengan baik”.
“...hanya binatang saja yang dapat merusak tanaman atau hutanJadi kalau anda merusaknya, anda termasuk golongan binatang”.
Siring (bagian bawah rumah) berfungsi sebagai tempat aktivitas dalam kehidupan seharihari masyarakat Kajang antara lain produksi tenun kain seperti sarung hitam sebagai pakaian khas adat kajang. Proses produksi yang dilakukan di kolong rumah secara terbuka dan dapat disaksikan oleh masyarakat Kajang lainnya yang melewati rumah tersebut. Hal ini menandakan terdapat unsur keterbukaan, di mana tidak ada rahasia sebagaimana proses produksi pada perusahaan konvensional. Bahkan, peralatan dan perlengkapan tenun bersumber dari alam mulai dari bahan (benang) yang dipintal sendiri yang berasal dari kapas. Kegiatan lain yaitu menumbuk padi dan memelihara ternak sebagai penyatuan diri dengan alam semesta. Sumber daya alam menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan dari manusia. Kebutuhan hidup yang bersumber dari alam menjadi tugas pokok manusia di bumi ini untuk menjaga dan melestarikannya.
Harmonisasi hubungan tersebut terjalin dengan menjunjung kesederhanaan dalam setiap kehidupan yang dikenal prinsif hidup prinsip kamase-masea yaitu prinsip kesederhanaan dalam kehidupan (Disnawati, 2013). “Pasang Ri Kajang” yang dituangkan dalam simbolsimbol seperti bangunan rumah yang sarat dengan nilai dan filosofi menggambarkan masyarakat adat Amma-
toa menjalankan nilainilai yang tidak bertentangan dengan kehendak Tu Rie’a A’ra’na (TRA) adalah Tuhan yang berkehendak atau menetukan (Risfaisal, 2017), menjalin hubungan antara sesama manusia dan manusia dengan alam. Kehidupan yang menjauhkan diri dari peradaban modern, seperti elektronik, listrik, alat komunikasi. Mereka hidup selaras dengan alam dan bercekrama dengan habitat yang hidup di hutan. Untuk berinteraksi dengan daerah yang berada di sekitar kawasan dengan jalan kaki tanpa alas (sendal maupun sepatu) dan juga dengan transportasi kuda. Kendaraan roda dua dan mobil yang terkait dengan teknologi modern menjadi larangan adat.
Trilogi Akuntabilitas Ammatoa (TAA) sebagai refleksi rumah adat Ammatoa. Akuntabilitas merupakan pemberian mandat kepada sesorang untuk mengelola sumber daya pemberi mandat yang wajib dipertanggungjawabankan kepada Tuhan dan seluruh isi alam semesta (Gibassier et al., 2018) serta untuk memperoleh kepercayaan (Randa & Daromes, 2014). Hal ini mempertegas argumentasi Joannides (2012) bahwa akuntabilitas merupakan tindakan seseorang atau organisasi untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan yang telah diberikan kepadanya. Hal ini sesuai dengan tujuan akuntabilitas mendapatkan legitimasi publik dalam suatu komunitas ataupun organisasi.
TAA sebagai refleksi rumah adat yang melekat dalam kearifan tradisional menjadi temuan dalam penelitian ini. TAA muncul sebagai solusi pertanggungjawaban organisasi yang bersifat dinamis, berkelanjutan dan dapat diterima oleh organisasi. TAA sebagai konsep pertanggungjawaban suatu organisasi yang digali berdasarkan nilainilai budaya lokal masyarakat adat Ammatoa yang tetap harus dilestarikan di era modern. Struktur rumah adat yang dipertahankan hingga saat ini menggambarkan TAA yang berkedaulatan rakyat, kesetaraan, partisipasi dan berkeadilan sosial. Hal tersebut sejalan dengan salah prinsip good governance. Berdasarkan struktur rumah adat Amma-toa terefleksi Trilogi Akuntabilitas Ammatoa (TAA) yang peneliti gambarkan pada Gambar 3.
Gambar 3 menjelaskan bahwa TAA terdiri dari akuntabilitas hubungan manusia dengan TRA, Akuntabilitas terhadap manusia, dan akuntabilitas terhadap alam semesta yang merupakan harmonisasi ketiganya
70 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 59-76
dalam aktivitas organisasi. Pandangan ini tentu sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ahrens & Ferry (2015), Cordery (2015), Hidayah et al. (2019), Silva et al. (2017), dan Sisaye (2011) bahwa akuntabilitas suatu organisasi tidak terlepas dari akuntabilitas terhadap Tuhan, manusia, dan lingkungan. Begitupun dengan akuntabilitas di dalam organisasi baik profit maupun nonprofit.
Akuntabilitas hubungan manusia dengan TRA. Bagi masyarakat adat Ammatoa tujuan akhir dan terutama dari siklus kehidupan adalah pengabdian dan pertanggungjawaban kepada TRA (Adriyani, 2017; Hafid, 2013). Segala sesuatu yang dilakukan oleh individu masyarakat adat Ammatoa wajib dipertanggungjawabkan kepada TRA dengan penuh kesadaran. Hal ini sejalan dengan pernyataan Fauré et al. (2019) bahwa baik kelembagaan maupun secara individu perlu secara sadar menyatakan akuntabilitasnya kepada pihak yang pemberi amanah yang kekal abadi (Tuhan). Bentuk akuntabilitas kepada TRA tergambar dari kepatuhan dalam membangun rumah sesuai dengan Pasang Ri Kajang sebagai penjelmaan perintah yang harus dipatuhi oleh masyarakat adat Ammatoa. Masyarakat adat Ammatoa
sangat menyadari keberadaannya hanya sesuai dengan kehendak dari TRA sebagai realitas tertinggi dan absolut sebagai pusat segala sesuatu. Kesadaran itu diimplementasikan dengan menjalankan Pasang Ri Ka-jang sebagai amanah dari TRA. Masyarakat adat Ammatoa percaya bahwa apabila Pa-sang dilanggar, maka akan dilaknat oleh TRA se perti penyakit tertentu bagi yang melanggar ataupun bencana alam.
Para’ sebagai bagian tertinggi dari rumah yang menaungi seluruh bagian dari rumah yang dianggap suci. Para’ menjadi simbol bahwa TRA yang harus dijunjung tinggi sebagai pemberi amanah. Dalam hal ini penerima amanah mempertanggungjawabkan kepada pemberi amanah. Manusia sebagai penerima amanah dan Tuhan sebagai pemberi amanah. Hal ini berarti pemberi amanah utama yaitu dari TRA, sehingga pertanggungjawaban utamanya harus kepada TRA kemudian kepada ciptaannya yang pemberi amanah berikutnya.
Akuntabilitas hubungan manusia de ngan manusia. Untuk melaksanakan akun tabilitas tersebut dapat dilihat dari bangunan rumah adat Ammatoa. Prinsip demokrasi sangat terlihat dari struktur ba
Gambar 3. Trilogi Akuntabilitas Ammatoa (TAA) berdasarkanRefleksi Rumah Adat Ammatoa
Akuntabilitas Tu Rie A’ra’na (TRA)
Akuntabilitas terhadap Manusia
Akuntabilitas terhadap alam semesta
Trilogi Akuntabilitas Ammatoa(TAA)
Sharon, Paranoan, Refleksi Rumah Adat Ammatoa dalam Akuntabilitas Organisasi... 71
ngunan rumah yang ada dalam kawasan adat yaitu kedaulatan rakyat, kesetaraan, partisipasi, dan transparansi. Pembangunan rumah dengan tidak ada sekat pembatas dalam suatu ruangan. Ruangan tanpa sekat menandakan hubungan manusia dengan manusia saling berinteraksi satu sama lain tanpa ada perbedaan harkat dan martabat.
Prinsip good governance termasuk akuntabilitas terimplementasi di dalam struktur dan aktivitas di Kale Balla (badan rumah) yang menjadi tempat berkumpul dan berinteraksi dengan sesama manusia. Proses pencapaian keputusan bersama untuk kepentingan kedaulatan rakyat dilakukan di ruang Kale Balla. Pimpinan tertinggi (Am-matoa) dalam menyampaikan nasihat (Pa-sang Ri Kajang), melakukan diskusi dengan pejabat adat ataupun masyarakat sekitar akan menggunakan Kale Balla. Penempatan ruang tanpa adanya sekat menandakan adanya keterbukaan dan partisipasi dalam semua aktivitas yang dilakukan dalam pengambilan keputusan.
Kesetaraan juga tergambar dalam penempatan ruang yang digunakan untuk tempat duduk yang hanya menggunakan alas tikar rotan dengan bantalbantal yang dijejer. Tempat duduk seorang kepala adat (Amma-toa) pemegang tahta tertinggi tidak akan berbeda dengan masyarakat setempat ataupun tamu yang berkunjung. Interaksi dengan rakyatnya tanpa melihat kedudukan ataupun fasilitas yang mereka gunakan, tetapi bagaimana seorang pemimpin dekat dengan rakyatnya. Bentuk rumah dan penggunaan ruang yang seragam seperti di ruang tengah yang tanpa ada sekat untuk memberikan keleluasan dan tidak memperlihatkan kelas sosial masyarakat setempat.
Partisipasi warga dilakukan dalam mempertahankan ruang tengah (kale balla) sebagai ruang yang dimanfaatkan oleh warga untuk memperjuangkan keadilan di depan kepala adat dan masyarakatnya atau orang tua dengan anak. Ruang tengah tempat berserikat dan berkumpul bagi masyarakat adat Ammatoa harus dijaga oleh masyarakat setempat. Selain itu, partisipasi masyarakat sebagai upaya untuk pengembangan budaya masyarakat adat. Pentingnya partisipasi masyarakat ditegaskan oleh beberapa peneliti bahwa keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan kawasan adat sangat diperlukan untuk pengembangan budaya adat istiadat setempat (Jayasinghe
& Wickramasinghe, 2011; Mahayani, 2017; Walker, 2014). Adat istiadat merupakan salah satu cagar budaya yang sudah hampir punah tergilas oleh zaman, sehingga peran ma syarakat harus ditingkatkan dengan melibatkan semua kalangan masyarakat ikut berpartisipasi mulai dari tingkat pemerintah desa, pemerintah kabupaten, hingga peme rintah pusat. Pelibatan semua pihak dilakukan untuk memberikan legalitas hukum ataupun keberadaan cagar budaya masyarakat setempat. Hal ini perlu dilakukan karena pemilik sah berhak atas adat istiadat atau cagar budaya warisan nenek moyang mereka. Adanya partisipasi mayarakat memberikan kekuatan yang lebih baik apabila pemangku adat akan melakukan suatu keputusan terkait dengan persoalan masyarakat adat Ammatoa.
Keterbukaan atau transparansi ditandai dengan penempatan ruang dapur menyatu dengan ruang tengah yang bisa diakses oleh masyarakat luas. Tujuan transparansi adalah untuk menghindari penyelewengan kekuasaan yang sering dilakukan oleh aparatur maupun kepala adat. Tran sparansi yang terbangun sangat kental dalam nuansa di atas rumah. Segala aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat berangkat dari hal yang dilakukan di atas rumah yang mempunyai filosofi bahwa semua masyarakat harus bisa mempertanggungjawabkan kepada masyarakat luas atas apa yang dikelola dan harus dinikmati oleh seluruh masyarakat. Tidak ada makanan atau sajian yang disembunyikan. Apapun hidangan yang ada harus bisa dinikmati oleh tamu atau yang berkunjung ke rumah. Bukti bahwa masyarakat adat Ammatoa menjaga sistem kekeluargaan untuk keselamatan hidup bersama. Sistem kekeluargaan dijalankan dengan dasar satu keturunan nenek moyang yang tidak mengenal sistem individualis dalam menjalankan aktivitas keseharian. Akuntabilitas yang dilakukan sematamata untuk kepentingan kesejahteraan bersama sehingga stakehold-ers dapat mengevaluasi pelaksanaan kegiatan dan keputusan tersebut. Transparansi yang dibangun oleh masyarakat adat Amma-toa dalam rangka memberikan kebebasan kepada warga untuk memberikan masukan dan kritik kepada pemangku adat. Hal tersebut sejalan dengan temuan beberapa peneliti yang menyatakan bahwa dalam konteks akuntabilitas penting untuk melakukan transparansi dengan melibatkan stakehold-
72 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 59-76
ers dalam suatu kegiatan atau pengambilan keputusan agar sesuai dengan harapan stakeholders (Fauré et al. 2019; Randa & Daromes, 2014; Yasmin et al. 2018).
Akuntabilitas hubungan manusia dengan alam semesta. Konsep ini senantiasa tercermin dari seluruh aktivitas masyarakat adat Ammatoa dalam menjalankan kehidupan di dunia. Perhatian masyarakat adat Ammatoa dalam pembangunan rumah yang terbuat dari alam sekitar dimulai dari pemilihan bahan yang akan digunakan seperti material kayu, rotan, dan bambu yang semuanya bersumber dari alam yaitu hutan yang berada di kawasan adat Ammatoa. Implementasi penyatuan alam dengan manusia terlihat pula pada bangunan rumah yang terkoneksi langsung dengan tanah. Tiangtiang rumah yang ditancapkan langsung ke tanah tanpa ada penyangga dengan filosofi bahwa bahan yang digunakan harus senantiasa selaras dengan alam. Alam akan memberikan aura kehidupan bagi penghuni rumah tersebut. Masyarakat adat Ammatoa sangat memahami adanya hubungan ketergantungan manusia dengan alam yang harus dijaga.
Aktivitas masyarakat adat Ammatoa yang dilakukan di Siring se nantiasa terkoneksi dengan alam semesta. Hasil alam merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat adat Ammatoa untuk kelangsung an hidupnya. Pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat adat Ammatoa yang bersumber dari hasil alam diyakini sebagai penjelmaan TRA yang harus disyukur i dan dilestarikan sesuai dengan Pasang Ri Kajang. Cara hidup yang sangat sederhana dengan tidak menggunakan peralatan mo dern dalam membangun rumah. Peralatan yang mereka buat sendiri seperti kapak dan parang. Bagi masyarakat adat Ammatoa penggunaan alat modern dapat membawa dampat negatif bagi kelangsung an hidup mereka. Perusakan lingkungan akan berdampak pada kelestarian alam dan ma syarakat sebagai penerima manfaat dari sumber daya alam. Cuckston (2017) dan King (2017) menitikberatkan masyarakat dan lingkungan sebagai stakeholders inti dalam organisasi. Namun, hal ini sering di abaikan oleh organisasi di mana akuntabilitas hanya diarahkan pertanggungjawaban nya kepada manusia seperti pemegang saham yang menjadi perhatian utama (Martinez & Cooper, 2017).
Siring merupakan tempat untuk melakukan aktivitas sosial, ekonomi dan budaya dengan memanfaatkan hasil alam
untuk pemenuhan kebutuhan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Bebbington et al. (2017) dan Sitorus (2015) yang menyarankan bahwa aktivitas sebuah organisasi harus terintegrasi dengan alam semesta. Struktur tiang dan tangga yang ditanamkan langsung ke dalam tanah menunjukkan usaha penyatuan dengan alam. Alam dan manusia merupakan ciptaan Tuhan yang harus saling selaras karena adanya saling ketergantungan di antara keduanya. Kerusakan alam akibat ulah manusia, dampaknya juga akan dirasakan oleh manusia.
Masyarakat adat Ammatoa meyakini bahwa jika terjadi perubahan negatif pada alam, maka alam akan kehilangan fungsinya sebagai daya dukung dalam pemenuhan kehidupan masyarakat adat Ammatoa. Alam merupakan jelmaan TRA yang harus kita syukuri sebagai pengabdian manusia kepada TRA. Pengabdian yang tanpa batas kepada alam dilakukan sejak mereka lahir dan menjadi kepercayaan secara turun temurun. Sumber utama untuk memenuhi nafkah keluarga dari sumber daya alam. Baik pangan, sandang, dan papan maupun kebutuhan obatobatan semua bersumber dari alam. Bagi masyarakat adat Ammatoa kelangsungan hidup mereka sangat bergantung dari alam sehingga harus menjadi ekosistem yang berada di alam tersebut. Larangan untuk melakukan penebangan pohon dalam kawasan adat, selain untuk keperluan membangun rumah. Memotong kayu yang berada dalam kawasan adat tidak boleh menggunakan alat modern karena dikhawatirkan manusia dengan sifat kerakusannya akan merusak hutan. Keselarasan dengan alam menjadi pesan dari pasang sebagai upaya menjaga ekosistem yang ada di dalamnya. Penolakan terhadap alatalat modern adalah sebagai upaya menjaga alam dari perusakan manusia.
Demikian pula dalam hal masyarakat adat Ammatoa berladang, berburu, bertani, dan mengobati segala penyakit bersumber dari alam. Masyarakat senantiasa memanfaatkan sumber daya alam. Masyarakat adat Ammatoa terus berusaha untuk menjaga kelestarian alam, bukan hanya untuk pemenuhan kebutuhan melainkan implementasi dari ketundukan kepada TRA sebagai amalan dari Pasang Ri Kajang yang tidak hanya berisi pesan yang baik, tetapi perbuat an yang buruk harus dijauhkan dari kehidupan. Pas-ang Ri Kajang adalah tuntunan hidup yang
Sharon, Paranoan, Refleksi Rumah Adat Ammatoa dalam Akuntabilitas Organisasi... 73
meliputi adat istiadat dan kepercayaan dan norma yang menjadi tuntunan hidupa masyarakat adat adat Ammatoa.
SIMPULANTrilogi Akuntabilitas Ammatoa (TAA)
menjadi temuan dalam artikel ini dengan menunjukkan bahwa akuntabilitas suatu organisasi seharusnya memenuhi akuntabilitas kepada TRA sebagai wujud ketaatan dan kepatuhan; kepada manusia dalam wujud transparansi dan partisipasi dan kepada alam untuk menjaga kelestarian alam. Implementasi TAA sebagai rujukan konsep akuntabilitas harus terintegrasi satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
Nilainilai filosofis yang menjadi kearifan lokal masyarakat adat Ammatoa dapat dijadikan sebagai dasar konsep akuntabi litas. Masyarakat adat Ammatoa yang percaya dengan Pasang Ri Kajang. Pasang Ri Kajang menjadi pedoman hidup berma syarakat yang tidak ada dalam kitab atau catatan tertulis, tetapi Pasang Ri Kajang merupakan pesan yang telah disepakati dan merupakan tuntunan hidup dalam menjalankan kehidupan yang sarat akan nilai dan adat istiadat masyarakat setempat. Struktur rumah adat Ammatoa merupakan metafora atau organ persepsi yang tepat untuk menggambarkan akuntabilitas suatu organisasi, baik yang berorientasi profit maupun nonprofit yang terangkum dalam Trilogi Akuntabilitas Am-matoa (TAA).
Keterbatasan penelitian ini adanya Pas-ang Ri Kajang yang harus dipatuhi baik oleh komunitas adat Ammatoa Kajang maupun masyarakat luar yang akan berkunjung termasuk peneliti. Maka, alat modern seperti HP sebagai alat untuk merekam ataupun mengambil gambar secara dekat bangunan rumah tidak bisa dilakukan. Begitupun terhadap bahasa yang digunakan, informan yang menggunakan bahasa asli yaitu bahasa konjo’ yang harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang mungkin akan berbeda maknanya. Kesuliatan mendapatkan informan karena adanya ketakutan bagi masyarakat adat untuk berenteraksi dengan orang luar. Penelitian selanjutnya diharapkan untuk mengembangkan konsep TAA dalam implementasi pelaksanaan Trilogi Akuntabilitas Ammatoa (TAA) di organisasi swasta ataupun sektor publik.
DAFTAR RUJUKAN Adriyani, A. (2017). Studi Ecodevelopment:
Kontekstualisasi Pembangunan Berkelanjutan dalam “Pasang” oleh Komunitas Adat Ammatoa. Jurnal So-siologi Pendidikan Humanis, 2(1), 915. https://doi.org/10.17977/um021v2i12017p009
Agustina, T. (2018). Membangun Manajemen Kearifan Lokal (Studi pada Kearifan Lokal Orang Banjar). Jurnal Riset Inspirasi Manajemen dan Kewirausahaan, 2(2), 120129. https://doi.org/10.35130/jrimk.v2i2.33
Ahrens, T., & Ferry, L. (2015). Newcastle City Council and the Grassroots: Accountability and Budgeting under Austerity. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 28(6), 909933. https://doi.org/10.1108/AAAJ0320141658
Akanga, F. K. (2017). Microfinance Accountability in Cameroon: A Cure or a Curse for Poverty Alleviation? Jour-nal of Accounting and Organizational Change, 13(1), 112130. https://doi.org/10.1108/JAOC1120150087
Akib, N. (2008). Ammatoa: Komunitas Berba-ju Hitam. Pustaka Refleksi.
Atan, R., Alam, M. M., & Said, J. (2017). Practices of Corporate Integrity and Accountability of NonProfit Organizations in Malaysia. International Journal of Social Economics, 44(12), 22712286. https://doi.org/10.1108/IJSE0920160260
Bailey, G. (2014). Accountability and the Rise of “Play Safe” Pedagogical Practices. Education + Training, 56(7), 663674. https://doi.org/10.1108/ET0720140081
Bebbington, J., Russell, S., & Thomson, I. (2017). Accounting and Sustainable Development: Reflections and Propositions. Critical Perspectives on Accounting, 48, 2134. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2017.06.002
Cuckston, T. (2017). EcologyCentred Accounting for Biodiversity in the Production of a Blanket Bog. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 30(7), 15371567. https://doi.org/10.1108/AAAJ1220152330
Darmada, D. K., Atmadja, A. T., & Sinarwati, N.K. (2016). Kearifan Lokal Pade Gelahang dalam Mewujudkan Integrasi Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Organisasi Subak. Jurnal Akuntansi
74 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 59-76
Multiparadigma, 7(1), 51–60. https://doi.org/10.18202/jamal.2016.04.7004
Disnawati, D. (2013). Penerapan Prinsip HidupKamaseMasea Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, Bulukumba Sulawesi Selatan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam. Sabda: Jurnal Kajian Ke-budayaan, 8(1), 8390. https://doi.org/10.14710/sabda.8.1.8390
Djamuri, A. (2011). Ilmu Pengetahuan Sosial dan Berbagai Paradigma dalam Kajian Akuntansi. Jurnal Akuntansi Multi-paradigma, 2(1), 147–185. https://doi.org/10.18202/jamal.2011.04.7115
Efferin, S. (2015). Akuntansi, Spritualitasdan Kearifan Lokal: Beberapa Agenda Penelitian Kritis. Jurnal Akuntansi Mul-tiparadigma, 6(3), 466–480. https://doi.org/10.18202/jamal.2015.12.6037
Fauré, B., Cooren, F., & Matte, F. (2019). To Speak or Not to Speak the Language of Numbers: Accounting as Ventriloquism. Accounting, Auditing and Accountability Journal, 32(1), 337361. https://doi.org/10.1108/AAAJ0720173013
Gibassier, D., Rodrigue, M., & Arjaliès, D. (2018). “Integrated Reporting is like God: No One has Met Him, but Everybody Talks about Him”: The Power of Myths in the Adoption of Management Innovations. Accounting, Auditing and Accountability Journal, 31(5), 13491380. https://doi.org/10.1108/AAAJ0720162631
Gibbon, J. (2012). Understandings of Acountability: An Autoethnographic Account Using Metaphor. Critical Perspectives on Accounting, 23(3), 201212. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2011.12.005
Hafid, A. (2013). Sistem Kepercayaan pada Komunitas Adat Kajang Desa Tanah Towa Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba. Patanjala: Jurnal Peneli-tian Sejarah dan Budaya, 5(1), 119. https://doi.org/10.30959/patanjala.v5i1.150
Harjito, Y., Wibowo, A. C., & Suhardjanto, D. (2016). Telaah Kearifan Lokal terhadap Akuntabilitas Lumbung Desa. Jurnal Ekonomi dan Bisnis, 18(1), 6990. https://doi.org/10.24914/jeb.v19i1.481
Hidayah, N. N., Lowe, A., & Woods, M. (2019). Accounting and Pseudo Spirituality in Islamic Financial Institutions. Cri-tical Perspectives on Accounting, 61,
2237. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2018.09.002
Hijjang, P. (2014). Pasang dan KepemimpinanAmmatoa: Memahami Kembali Sistem Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Kajang Sulawesi Selatan. Antropologi Indonesia, 29(3), 255268. https://doi.org/10.7454/ai.v29i3.3545
Istiawati, N. F. (2016). Pendidikan KarakterBerbasis NilaiNilai Kearifan Lokal Adat Ammatoa dalam Menumbuhkan Karakter Konservasi. Cendekia: Jurnal Pendi-dikan dan Pembelajaran, 10(1), 118. https://doi.org/10.30957/cendekia.v10i1.78
Jayasinghe, K., & Wickramasinghe, D. (2011).Power Over Empowerment: Encountering Development Accounting in a Sri Lankan Fishing Village. Criti-cal Perspectives on Accounting, 22(4), 396414. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2010.12.008
Joannides, V. (2012). Accounterability and the Problematics of Accountability. Cri-tical Perspectives on Accounting, 23(3), 244257. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2011.12.008
King, T. A. (2017). Learning from Ecology:Financial Reporting as a ‘Commons’. Research in Accounting Regulation, 9(1), 7578. https://doi.org/10.1016/j.racreg.2017.04.008
Klenk, T. (2015). Accountability in Practice:Organizational Responses to Public Accountability Claims. International Jour-nal of Public Administration, 38, 1314, 983996. https://doi.org/10.1080/01900692.2015.1069841
Kusdewanti, A. I., Setiawan, A. R., Kamayanti, A., & Mulawarman, A. D. (2014). Akuntansi Bantengan: Perlawanan Akuntansi Indonesia melalui Metafora Bantengan dan Topeng Malang. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 5(1), 149169. https://doi.org/10.18202/jamal.2014.04.5013
Mahayani, N. (2017). Prosocial Behavior dan Persepsi Akuntabilitas Pengelolaan Dana Desa dalam Konteks Budaya Tri Hita Karana. Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Bisnis, 12(2), 129144. https://doi.org/10.24843/JIAB.2017.v12.i02.p07
Martinez, D. E., & Cooper, D. J. (2017). Assembling International Development: Accountability and the Disarticulation
Sharon, Paranoan, Refleksi Rumah Adat Ammatoa dalam Akuntabilitas Organisasi... 75
of a Social Movement. Accounting, Orga-nizations and Society, 63, 620. https://doi.org/10.1016/j.aos.2017.02.002
Mawaddahni, S. (2017). Filosofi Hidup sebagaiWujud Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi. Local Wisdom: Jurnal Ilmiah Kajian Kearif-an Lokal, 9(2), 90102. https://doi.org/10.26905/lw.v9i2.1976
Mikes, A., & Morhart, F. (2017). Bringing Back Charlie Chaplin: Accounting as Catalyst in the Creation of an Authentic Product of Popular Culture. Management Accounting Research, 35, 6682. https://doi.org/10.1016/j.mar.2016.02.004
Mulawarman, A. D., & Kamayanti, A. (2018). Towards Islamic Accounting Anthropology: How Secular Anthropology Reshaped Accounting in Indonesia. Jour-nal of Islamic Accounting and Business Research, 9(4), 629647. https://doi.org/10.1108/JIABR0220150004
Paranoan, S. (2015). Akuntabilitas dalam Upacara Adat Pemakaman. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 6(2), 214–223. https://doi.org/10.18202/jamal.2015.08.6017
Rahayu, S., & Yudi. (2015). Uang Nai’: Antara Cinta dan Gengsi. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 6(2), 224–236. https://doi.org/10.18202/jamal.2015.08.6018
Rahmayani, E., Nadjib, M., & Kahar. (2017). Pola Perilaku Komunikasi Masyarakat di Kawasan Adat Ammatoa Kajang. Kareba: Jurnal Ilmu Komunikasi, 6(2), 361370. https://doi.org/10.31947/kjik.v6i2.5339
Randa, F., & Daromes, F. (2014). TransformasiNilai Budaya Lokal dalam Membangun Akuntabilitas Organisasi Sektor Publik. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 5(3), 477–484. https://doi.org/10.18202/jamal.2014.12.5035
Risfaisal. (2017). Struktur dan Fungsi Upacara A’dangang di Kawasan Adat Kajang Kabupaten Bulukumba. Equilib-rium: Jurnal Pendidikan, 5(1), 3943. https://doi.org/10.26618/equilibrium.v5i1.974
Salampessy, Z., Triyuwono, I., Irianto, G., &Hariadi, B. (2018). Pancasila Paradigm: Methodology of Wawasan Nusantara for Accounting of Pancasila. Australa-sian Accounting, Business and Finance
Journal, 12(1), 102115. https://doi.org/10.14453/aabfj.v12i1.7
Sampean. (2017). Survival Etnik: Kuasa Kosmologi dan Posisi Etnik Kajang Ammatoa dalam Pembangunan. Jour-nal of Islamic World and Politics, 1(1), 140156. https://doi.org/10.18196/jiwp.1108
Silva, J. B. D., Llewellyn, N., & AndersonGough, F. (2017). OralAural Accounting and the Management of the Jesuit Corpus. Accounting, Organizations and Society, 59, 4457. https://doi.org/10.1016/j.aos.2017.04.003
Sirajudin. (2013). Interpretasi Pancasila dan Islam untuk Etika Profesi Akuntan Indonesia. Jurnal Akuntansi Multi-paradigma, 4(3), 456–466. https://doi.org/10.18202/jamal.2013.12.7209
Sisaye, S. (2011). Ecological Systems Approaches to Sustainability and Organizational Development: Emerging Trends in Environmental and Social Accounting Reporting Systems. Lead-ership & Organization Development Journal, 32(4), 379398. https://doi.org/10.1108/01437731111134652
Sitorus, J. H. E. (2015). Membawa Pancasiladalam Suatu Definisi Akuntansi. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 6(2), 254–271. https://doi.org/10.18202/376
Sitorus, J. H E. (2019). The Romance of ModernAccounting Education: An Impact from Positivism and Materialism. Glo-bal Business and Economics Review, 21(1), 7895. https://doi.org/10.1504/GBER.2019.096858
Smith, J. A., & England, C. (2019). An Ethnographic Study of Culture and Performance in the UK Lingerie Industry. The British Accounting Review, 51(3), 241258. https://doi.org/10.1016/j.bar.2019.02.002
Tumirin, & Abdurahim, A. (2015). MaknaBiaya dalam Upacara Rambu Solo. Jur-nal Akuntansi Multiparadigma, 6(2), 175184. https://doi.org/10.18202/jamal.2015.08.6014
Walker, S. P. (2014). Accounting and RuralRehabilitation in New Deal America. Accounting, Organizations and So-ciety, 39(3), 208235. https://doi.org/10.1016/j.aos.2014.01.007
Wimalasinghe, R., & Gooneratne, T. N. (2019). Control Practices in a Traditional In
76 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 59-76
dustry in Sri Lanka: An Institutional Logics Perspective. Qualitative Research in Accounting and Management, 16(1), 93116. https://doi.org/10.1108/QRAM0720170071
Yasmin, S., Ghafran, C., & Haniffa, R. (2018). Exploring DeFacto Accountability Regimes in Muslim NGOs. Accounting Forum, 42(3), 235247. https://doi.org/10.1016/j.accfor.2018.07.002