REFLEKSI RUMAH ADAT AMMATOA DALAM …

18
59 Abstrak: Refleksi Rumah Adat Ammatoa dalam Akuntabilitas Orga nisasi. Artikel ini bertujuan merefleksikan makna rumah adat Ammatoa dalam pelaksanaan akuntabilitas organisasi. Metafora rumah adat Am- matoa digunakan sebagai metode dan direfleksikan dalam bentuk akun tabiltias. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumah adat Ammatoa merefleksikan trilogi berakuntabilitas yang disebut Trilogi Akuntabilitas Ammatoa (TAA) yaitu akuntabilitas terhadap Tu Rie’a A’ra’na (dalam ben tuk kepatuhan kepada Tuhan), akuntabilitas terhadap manusia (dalam bentuk transparansi) dan akuntabilitas terhadap alam semesta (dalam bentuk menjaga alam). Ketiga bentuk akuntabilitas ini harus terintegrasi satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Abstract: Ammatoa Traditional House Reflections on Organizatio nal Accountability. This article aims to reflect the meaning of the Amma- toa traditional house in implementing organisational accountability. The metaphor of the Ammatoa traditional house is used as a method and is reflected in the form of accountability. The results show that the Ammatoa traditional house reflects an accountable trilogy. They are called Ammatoa Accountability Trilogy (ATT), namely accountability for Tu Rie’a A’ra’na (in the form of obedience to God), humans (in the form of transparency), and nature universe (in the form of preserving nature). These three forms must be integrated so that they become a unified whole. Minat penelitian terkait akuntabilitas baik di sektor publik maupun swasta men jadi perbincangan yang hangat beberapa dekade terakhir. Begitupun penelitian yang menggali akuntabilitas berbasis kearifan lo kal (local wisdom) yang mulai diminati oleh beberapa disiplin ilmu baik sosial ekonomi maupun ilmu politik. Beberapa peneliti yang konsen mengangkat tema akuntabili tas berbasis local wisdom adalah Ahrens & Ferry (2015), Bailey (2014), Darmada et al. (2016), Harjito et al. (2016), Klenk (2015), Mikes & Morhart (2017), dan Salampessy et al. (2018). Perbincangan tentang budaya lo kal identik dengan kegiatan atau kebiasaan suatu komunitas yang disepakati secara turun temurun. Kearifan lokal semakin dimi nati oleh para peneliti untuk pengembangan kearah empiris dan semakin dapat diterima oleh publik (Akanga, 2017; Wimalasinghe & Gooneratne, 2019). Kearifan lokal dalam era digital dan modernitas lebih menekankan pada: harmonisasi manusia, keselarasan budaya dan semesta, konservasi alam, dan kebinnekaan kultur, pelestarian kekayaan alam dan warisan leluhur, penghematan Volume 11 Nomor 1 Halaman 59-76 Malang, April 2020 ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879 Mengutip ini sebagai: Sharon, S. S., & Paranoan, S. (2020). Refleksi Rumah Adat Ammatoa dalam Akuntabilitas Organisasi. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 11(1), 5976. https://doi.org/10.21776/ ub.jamal.2020.11.1.04 REFLEKSI RUMAH ADAT AMMATOA DALAM AKUNTABILITAS ORGANISASI 1 Sitti Salmah Sharon, 2 Selmita Paranoan 1 Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Lembaga Pendidikan Indonesia Makassar, Jl. Bung No.32, Makassar 90245 2 Universitas Tadulako, Jl. Soekarno Hatta No.KM. 9, Palu 94148 Tanggal Masuk: 18 November 2019 Tanggal Revisi: 01 April 2020 Tanggal Diterima: 30 April 2020 Surel: [email protected], [email protected] Kata kunci: akuntabilitas, ammatoa, kepatuhan, transparansi Jurnal Akuntansi Mulparadigma, 2020, 11(1), 59-76

Transcript of REFLEKSI RUMAH ADAT AMMATOA DALAM …

Page 1: REFLEKSI RUMAH ADAT AMMATOA DALAM …

59

Abstrak: Refleksi Rumah Adat Ammatoa dalam Akuntabilitas Orga­nisasi. Artikel ini bertujuan merefleksikan makna rumah adat Ammatoa dalam pelaksanaan akuntabilitas organisasi. Metafora rumah adat Am-matoa digunakan sebagai metode dan direfleksikan dalam bentuk akun­tabiltias. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumah adat Ammatoa merefleksikan trilogi berakuntabilitas yang disebut Trilogi Akuntabilitas Ammatoa (TAA) yaitu akuntabilitas terhadap Tu Rie’a A’ra’na (dalam ben­tuk kepatuhan kepada Tuhan), akuntabilitas terhadap manusia (dalam bentuk transparansi) dan akuntabilitas terhadap alam semesta (dalam bentuk menjaga alam). Ketiga bentuk akuntabilitas ini harus terintegrasi satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.

Abstract: Ammatoa Traditional House Reflections on Organizatio­nal Accountability. This article aims to reflect the meaning of the Amma-toa traditional house in implementing organisational accountability. The metaphor of the Ammatoa traditional house is used as a method and is reflected in the form of accountability. The results show that the Ammatoa traditional house reflects an accountable trilogy. They are called Ammatoa Accountability Trilogy (ATT), namely accountability for Tu Rie’a A’ra’na (in the form of obedience to God), humans (in the form of transpa rency), and nature universe (in the form of preserving nature). These three forms must be integrated so that they become a unified whole.

Minat penelitian terkait akuntabilitas baik di sektor publik maupun swasta men­jadi perbincangan yang hangat beberapa dekade terakhir. Begitupun penelitian yang menggali akuntabilitas berbasis kearifan lo­kal (local wisdom) yang mulai diminati oleh beberapa disiplin ilmu baik sosial ekonomi maupun ilmu politik. Beberapa peneliti yang konsen mengangkat tema akuntabili­tas berbasis local wisdom adalah Ahrens & Ferry (2015), Bailey (2014), Darmada et al. (2016), Harjito et al. (2016), Klenk (2015), Mikes & Morhart (2017), dan Salampessy et

al. (2018). Perbincangan tentang budaya lo­kal identik dengan kegiatan atau kebiasaan suatu komunitas yang disepakati secara turun temurun. Kearifan lokal semakin dimi­nati oleh para peneliti untuk pengembangan kearah empiris dan semakin dapat diterima oleh publik (Akanga, 2017; Wimalasinghe & Gooneratne, 2019). Kearifan lokal dalam era digital dan modernitas lebih menekan kan pada: harmonisasi manusia, keselarasan budaya dan semesta, konservasi alam, dan kebinnekaan kultur, pelestarian kekayaan alam dan warisan leluhur, penghematan

Volume 11Nomor 1Halaman 59-76Malang, April 2020ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879

Mengutip ini sebagai: Sharon, S. S., & Paranoan, S. (2020). Refleksi Rumah Adat Ammatoa dalam Akuntabilitas Organisasi. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 11(1), 59­76. https://doi.org/10.21776/ub.jamal.2020.11.1.04

REFLEKSI RUMAH ADAT AMMATOA DALAM AKUNTABILITAS ORGANISASI 1Sitti Salmah Sharon, 2Selmita Paranoan

1Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Lembaga Pendidikan Indonesia Makassar, Jl. Bung No.32, Makassar 902452Universitas Tadulako, Jl. Soekarno Hatta No.KM. 9, Palu 94148

Tanggal Masuk: 18 November 2019Tanggal Revisi: 01 April 2020Tanggal Diterima: 30 April 2020

Surel: [email protected], [email protected]

Kata kunci:

akuntabilitas,ammatoa,kepatuhan,transparansi

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 2020, 11(1), 59-76

Page 2: REFLEKSI RUMAH ADAT AMMATOA DALAM …

60 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 59-76

kekayaan ekonomi; nilai etik, dan agama. Rumah adat Ammatoa sebagai konstruksi budaya lokal memiliki nilai­nilai yang tinggi sebagai falsafah kehidupan masyarakat adat Ammatoa yang masih dilestarikan. Falsafah hidup inilah yang menjadi tuntunan hidup masyarakat adat Ammatoa yang dituang­kan dalam Pasang Ri Kajang. Tradisi budaya yang masih melekat adalah seperti sistem nilai, keyakinan agama, norma­norma so­sial, lingkungan kerja, serta bagaimana ber­interaksi dengan masyarakat adat ataupun kelompok yang lain (Agustina, 2018). Tradisi budaya yang telah disepakti secara turun temurun dapat dijadikan pedoman dalam rangka mendorong masyarakat melakukan aktivitas yang mampu mengangkat harkat dan martabat dalam suatu komunitas. Ber­kat kearifan lokal mereka dapat melanjutkan kehidupan secara berkelanjutan (Sampean, 2017).

Penelitian akuntansi berdasarkan nilai­nilai budaya lokal di seluruh wilayah Indonesia terus pula dilakukan untuk dija­dikan dasar pengembangan akuntansi In­donesia masa mendatang. Oleh karena itu, perlu untuk melakukan kajian ilmu akun­tansi dengan berbagai persfektif ilmu pe­ngetahuan termasuk budaya lokal (Efferin, 2015; Djamuri, 2011). Minat penelitian yang mengkaji akuntansi budaya lokal sudah mu­lai dilakukan antara lain Randa & Daromes (2014) mentransformasi kearifan lokal dalam membentuk akuntabilitas organisasi sektor publik, Sitorus (2015) mendefinisikan dan mendekonstruksi akuntansi dengan nilai­nilai Pancasila, Kusdewanti et al. (2014) melakukan pembebasan akuntansi melalui metafora bantengan dan topeng malangan, Sirajudin (2013) menggunakan Pancasila sebagai dasar dalam mengembangkan eti­ka profesi akuntan. Sementara itu, Smith & Eng land (2019) menggunakan sintesis bu­daya untuk membumikan akuntansi.

Nilai­nilai kearifan lokal dapat memben­tuk realitas sosial ekonomi masyarakat ter­masuk dalam bidang akuntansi yang sarat dengan keunikan dari akar sosial budaya (Atan et al., 2017; Efferin, 2015; Paranoan, 2015; Rahayu & Yudi, 2015; Tumirin & Ab­durahim, 2015). Mulawarman & Kamayanti (2018) berargumentasi bahwa akuntansi di Indonesia masih diadaptasi dari akuntansi barat tanpa disesuaikan dengan karaktertis­tik budaya lokal. Akuntansi dalam perspektif modern lebih menekankan pada aspek ma­terialitas dengan mengabaikan aspek nilai

sosial. Padahal tidak dapat dielakkan bah­wa akuntansi tidak hanya berkaitan dengan kelengkapan dokumen tetapi sarat dengan nilai sosial.

Penelitian ini akan menjadi unik, kare­na menggali akuntabilitas dalam budaya kearifan lokal masyarakat adat Ammatoa berdasarkan struktur rumah adat. Reflek­si rumah adat Ammatoa dengan interpreta­si yang mendalam dalam menggali makna akuntabilitas. Struktur bangunan rumah yang sangat sederhana merupakan imple­mentasi dari pelaksanaan akuntabilitas. Pelaksanaana akuntabilitas yang senantiasa berdasarkan prinsip hidup masyarakat suku Kajang “Ammatoa” yaitu To Kamase-Masea (Kesederhanaan). Kesederhanaan menjadi pegangan hidup masyarakat adat Ammatoa dalam membangun rumah. Model dan ukur­an rumah yang sama menjadi ciri tempat tinggal masyarakat adat Ammatoa yang ma­sih dipertahankan hingga sekarang. Tem­pat tinggal seorang kepala adat, orang kaya ataupun orang miskin akan menempati ru­mah ukuran yang sama. Keseragaman juga tampak dalam hal pakaian. Komunitas adat Ammatoa menggunakan pakaian yang iden­tik serba hitam untuk pakaian luar dan pa­kaian dalam berwarna putih. Keberadaan suku Kajang Ammatoa identik dengan pa­kaian adat serba hitam yang mereka ya­kin i sebagai lambang kesetaraan dan per­samaan derajat dari Tu Rie’a A’ra’na (TRA). Pakaian yang serba hitam untuk pakaian luar menjadi ciri khas masyarakat adat Am-matoa. Selain itu penggunaan warna putih juga disakralkan oleh masyarakat setem­pat. Warna putih melambangkan kejujuran dan penerangan. Kedua warna ini diyakini sebagai pesan yang sakral dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Makna warna terse­but adalah bahwa dalam hidup harus sela­lu berlaku jujur dan tidak ada perbedaan di antara mereka karena di hadapan Tu Rie’a A’ra’na (TRA) manusia sama untuk meng­abdi kepada­Nya. Masyarakat adat Amma-toa yang menjunjung nilai­nilai kejujuran, ke sederhaan, kesetaraan, dan persamaan de rajat dituangkan dalam simbol­simbol se­perti struktur rumah dan pemilihan warna dalam berpakaian yang dilestarikan di era modern karena merupakan pesan dari para leluhur yang harus dipertanggungjawabkan kepada Tu Rie’a A’ra’na (TRA) .

Berdasarkan bermasalahan terse­but tujuan penelitian adalah merefleksikan makna rumah adat Ammatoa dalam pelak­

Page 3: REFLEKSI RUMAH ADAT AMMATOA DALAM …

Sharon, Paranoan, Refleksi Rumah Adat Ammatoa dalam Akuntabilitas Organisasi... 61

sanaan akuntabilitas organisasi. Artikel ini akan memberikan bukti empiris tentang pe­maknaan struktur bangunan rumah adat Ammatoa. Hasil dalam artikel ini dapat dire­fleksikan dalam akuntabilitas organisasi baik organisasi yang berorientasi profit mau­pun organisasi kemasyarakatan nonprofit .

METODE Penelitian ini menggunakan metode

metafora untuk memudahkan pembaca memahami penjelasan tentang realita dan konsep akuntansi secara sederhana dalam bentuk organ persepsi rumah adat Amma-toa. Metafora struktur rumah adat Ammatoa digunakan untuk memahami konsep dasar akuntabilitas yang naturalistik. Penggunaan metafora rumah adat Ammatoa sebagai or­gan persepsi dalam memahami bentuk akuntabilitas, di mana rumah adat Ammatoa sangat unik karena dbangun tanpa menggu­nakan sekat dalam pembagian ruang. Ru­ang tamu dan ruang keluarga yang menyatu bagi masyarakat adat Ammatoa adalah ben­tuk keterbukaan. Pemahaman yang alami dan apa adanya memungkinkan metafora digunakan dengan melihat dan memaknai

fenomena berdasarkan realitas yang dipa­ham i oleh masyarakat (Gibbon, 2012; Sito­rus, 2019).

Koleksi data dilakukan dengan cara ob­servasi dengan berkunjung secara langsung di kawasan adat Ammatoa. Studi literatur dilakukan untuk memperkaya kajian pe­nelitian ini, disamping wawancara dengan masyarakat adat setempat. Untuk meya­kinkan bahwa metafora digunakan dalam penelitian ini, kami melakukan observasi langsung di kawasan adat Ammatoa untuk menggali struktur rumah adat Ammatoa. Studi literatur dilakukan dengan mengga­li literatur yang terkait dengan komunitas adat Kajang. Wawancara dilakukan kepada informan yang bermukim di kawasan adat yang memahami dan mengerti pasang dan pernah menduduki jabatan adat di kawasan Ammatoa Kajang. Informan tersebut adalah Kajumaha, Jumadin, dan Moreng.

Tahap selanjutnya data dianalisis berdasarkan “organ persepsi” berbentuk bangun an rumah adat Ammatoa untuk melakukan refleksi dalam berakuntabilitas. Tahapan analisis data dilakukan pada Gam­bar 1. Gambar 1 menunjukkan seperangkat

Pasang Ri Kajang

Struktur Bangunan Rumah

PengumpulanData

Nilai Kearifan Lokal

Metafora Rumah Adat

Reduksi Data

Refleksi Rumah Adat

Analisis Data

Simpulan

Trilogi Akuntabilitas Ammatoa(TAA)

Gambar 1. Tahapan Penelitian

Page 4: REFLEKSI RUMAH ADAT AMMATOA DALAM …

62 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 59-76

analisis “organ persepsi” dari struktur ba­ngunan rumah adat Ammatoa akan diabs­traksi berdasarkan filosofi bangunan yang melandasinya. Filosofi bentuk bangunan rumah adat Ammatoa yang sarat dengan nilai­nilai luhur budaya masyarakat Kajang menjadi cerminan akuntabilitas. Nilai­nilai yang terdapat pada struktur bangunan ru­mah adat Ammatoa kemudian digunakan untuk menjawab realita yang muncul pada ranah akuntansi, khususnya organ persep­si dalam mengungkap konsep akutabilitas. Selain itu, wawancara mendalam dilakukan kepada orang­orang yang memahami adat dan filosofi Ammatoa Kajang yang kemudi­an diabstraksi berdasarkan “organ persepsi” bangunan rumah adat.

Situs penelitian yaitu rumah adat yang terletak di Desa Tanah Toa, Kecamatan Ka­jang khususnya kawasan Ammatoa, Kabu­paten Bulukumba Sulawesi Selatan. Di Ke­camatan Kajang terdapat dua bagian daerah yaitu daerah “Kajang Dalam” yang dihuni oleh masyarakat adat Ammatoa yang masih memelihara tradisi dan nilai­nilai tradisional seperti bangunan rumah yang seragam, se­dangkan kawasan “Kajang Luar” adalah ka­wasan yang telah dijamah oleh modernitas seperti bebas mendirikan bangunan rumah dengan gaya dan arsitektur modern. Oleh karena itu, fokus situs penelitian di kawasan “Kajang Dalam”.

HASIL DAN PEMBAHASANRumah adat Ammatoa sangat terkait

dengan kepercayaan masyarakat sebagai tempat bernaung dan melangsungkan ke­hidupan. Keseragaman dalam bentuk ba­ngunan rumah panggung antara lain pem­bagian ruang, posisi tangga, formasi dan jumlah tiang, ornamen rumah, struktur dan konstruksi terbuat dari alam tanpa sentuh­an teknologi seperti atap dari daun rumbia.

Kearifan lokal yang tertuang dalam pa sang merupakan segala bentuk penge­tahuan, kepercayaan, norma, dan adat is­tiadat yang merupakan warisan nenek mo­yang masyarakat setempat. Kearifan lokal ini menjadi identitas masyarakat Ammatoa yang memiliki ciri dan keunikannya yang membedakan dengan masyarakat modern.

Komunitas suku Kajang senantiasa memegang teguh pesan­pesan (Pasang Ri Kajang) sebagai peringatan atau Pengingat, pedoman atau amanah selain itu dapat di­maknai sebagai renungan atau ramalan. Masyarakat adat Ammatoa percaya bah­

wa Pasang menjadi falsafah hidup dalam melakukan hubungan antarkomunitas, baik pola interaksi secara vertikal maupun in­teraksi secara horizontal. Pesan­pesan yang dipercaya dari generasi ke generasi dalam menjalani kehidupan sosial yang dibingkai dalam suatu sistem ekonomi, politik, hu­kum, sosial budaya, dan lingkungan.

Nilai­nilai yang ada dalam Pasang ma­sih dijunjung tinggi dan diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat di kawasan adat Ammatoa, seperti bangunan rumah, ri­tual adat seperti pada ritual Apparuntuk pa-knganro, yaitu ritual adat untuk memohon doa dan bersyukur atas segala nikmat yang diberikan oleh Turi’e A’ra’na. Kegiatan ritu­al adat dilaksanakan menjelang dan setelah panen. Aktivitas pertanian dan perkebunan dilakukan baik oleh komunitas adat Amma-toa maupun kepala adat. Ritual adat akan dilakukan pada saat mendirikan bangunan rumah yang diselenggarakan oleh pemilik rumah dengan melibatkan kepala adat Am-matoa.

Organ persepsi bangunan rumah adat Ammatoa. Masyarakat adat Ammatoa ber­mukim di Provinsi Sulawesi Selatan tepat­nya di Kabupaten Bulukumba Kecamatan Kajang, Desa Tanah Toa. Komunistas suku Kajang Ammatoa tidak mengenal pendidikan formal dan tidak mempunyai pedoman dan juknis secara tertulis dalam melaksanakan roda kepemimpinan tetapi berlandaskan pada Pasang Ri Kajang. Pasang yang di­artikan sebagai pedoman, falsafah, atau amanat, Ri adalah kata sambung yang be­rarti tempat atau “di”, sedangkan “Kajang” menunjukkan daerah teritorial kawasan adat Ammatoa melangsungkan kehidupan di dunia. Strategi untuk mempertahankan ke­hidupan masyarakat berdasarkan nilai dan ajaran serta kepercayaan yang telah diwari­kan oleh para leluhur mereka sebut Pasang Ri Kajang. Secara harfiah kata pasang ber­arti tuntunan hidup masyarakat adat Am-matoa yang wajib dilaksanakan sebagai pe­rintah dari Turi’e A’ra’na. Apa yang tertuang dalam Pasang tidak boleh dilanggar karena akan mendapatkan azab dari Turi’e A’ra’na ataupun hukum adat setempat (Disnawati, 2013; Risfaisal, 2017).

Pasang inilah yang menjadi tuntunan hidup dalam bermasyarakat dalam me­menuhi kebutuhan seperti sandang, pangan dan papan termasuk membangun rumah semuanya dilakukan dalam kesederhanaan. Rumah adat Ammatoa bukan hanya sekadar

Page 5: REFLEKSI RUMAH ADAT AMMATOA DALAM …

Sharon, Paranoan, Refleksi Rumah Adat Ammatoa dalam Akuntabilitas Organisasi... 63

pemenuhan kebutuhan untuk tempat ting­gal sebuah keluarga, tetapi mempunyai nilai filosofis yang mempengaruhi realitas sosial dalam berinteraksi dengan TRA, menjalin hubungan sesama manusia dengan jagad raya yang tergambar dari struktur rumah adat Ammatoa. Nilai­nilai filosofis merupa­kan kearifan lokal yang menjadi tuntunan dan pedoman yang walaupun tidak tertulis tetapi sangat sakral untuk dilaksanakan se­bagai kepatuhan diri (pertanggungjawaban) kepada sang pemberi amanah yaitu TRA.

Melalui penelurusan studi literatur, wawancara, dan dokumentasi ditemukan fi­losofi rumah adat yang masih eksis di era modern sebagai amanah dari Pasang Ri Ka-jang. Rumah adat Ammatoa Kajang dengan bentuk rumah panggung mempunyai ke­miripan seperti rumah adat pada umumnya di Sulawesi Selatan. Perbedaannya terletak pada ciri khas rumah yang berada di ka­wasan adat Ammatoa, yaitu struktur rumah panggung yang sederhana dengan kontruksi yang sangat natural, dinding rumah terbuat dari papan atau bambu yang telah dianyam, dan ornamen bangunan mempunyai kesa­maan (homogenity). Bentuk bangunan yang sederhana menandakan tidak ada perbe­daan kelas sosial (Disnawati, 2013; Risfaisal, 2017). Bentuk dan struktur bangunan yang dihuni semuanya sama.

Rumah yang dibangun senantiasa di­analogikan dengan organ tubuh manusia baik secara vertikal maupun horizontal. Rumah panggung yang berdiri di atas per­mukiman masyarakat adat Ammatoa semua sama yaitu terdiri dari tiga petak. Hal ini menandakan adanya kesetaraan setiap war­ga masyarakat adat Ammatoa selama hi­dup di dunia. Mereka meyakini perbedaan itu akan ada di akhirat kelak sesuai de ngan amal dan perbuatan mereka di dunia. Pem­bagian petak rumah terdiri dari tiga bagian yaitu dua petak sebagai latta ritangnga (ba­gian tengah) dan satu petak latta riboko (ba­gian belakang). Pada latta ritangnga terdapat pocci balla (tiang pusat) yang dianalogikan sebagai pusar manusia yang dianggap se­bagai pusat senyawa dan tempat perlindung­an. Tiang pusat (pocci balla) tempat yang dikeramatkan dan bentuk keseimbangan antara Tuhan, manusia, dan alam.

Homogenetik dari struktur bangunan tersebut berarti bahwa masyarakat adat Am-matoa hidup dalam prinsip kamase-masea yang memungkinkan mereka meningkat­kan kehidupannya melalui tolong menolong

(manyu siparampe’, tallang sipahua) (Isti­awati, 2016; Rahmayani, 2017). Penataan ruang, pola, dan struktur bangunan ber­orientasi alam tanpa penggunaan ornamen cat yang berwarna selain warna alam. Hal ini menandakan masyarakat adat Ammatoa menjunjung tinggi hidup sederhana. Ke­sederhaan ini tergambar dari bangunan ru­mah, cara berpakaian, dan fasilitas umum yang digunakan.

Pembangunan rumah senantiasa dilakukan dengan cara musyawarah untuk mendiskusikan jumlah bahan yang akan dipersiapkan. Hasil musyawarah juga me­nentukan kapan hari baik untuk menebang kayu di hutan dengan pembagian kelompok. Ditunjuk orang yang akan memimpin mene­bang hutan serta mencari rotan dan rumbia yang akan dipakai untuk atap rumah. Ba han untuk mendirikan bangunan berasal dari lingkungan mereka sendiri seperti kayu dan bambu. Kehidupan mereka menyatu dengan alam. Mereka menjalankan kehidupan di butta kamase-mase (tanah yang sederhana) dalam istilah negeri prihatin. Kesamaan (ho-mogenity) dalam bangunan rumah menun­jukkan tidak ada perbedaan kelas sosial dalam masyarakat adat Ammatoa. Konsep kesederhanaan sebagai bentuk syukur dan rasa terima kasih kepada TRA atau hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan belas kasih dari TRA di dunia dalam bentuk ke­hidupan yang ganna’mi (cukup), “apa ada­nya” dan di alam gaib berupa kalumannyang kalupepeang (kekayaan yang abadi). Filosofi dari struktur bangunan secara vertikal ter­bagi dalam 3 tingkat yaitu para’, kale balla, dan siring yang diuraikan sebagai berikut.

Organ persepsi Para’. Bagian atas (langit­langit) rumah atau biasa dianalogikan dengan kepala manusia merupakan cermin­an yang dianggap suci biasanya sebagai tempat menyimpan umatan (penyembahan) nenek moyang dan TRA, serta dipakai un­tuk menyimpan benda pusaka dan kebutuh­an pokok selama di dunia seperti padi dan jagung. Para’ yang berada paling atas dari bagian rumah atau biasa diistilahkan la­ngit­langit rumah sangat tertutup dan ha­nya bisa diakses oleh pemilik rumah. Untuk memudahkan pemilik rumah mengakses para’ tersebut, maka terdapat lubang/pintu dengan tangga kecil yang bentuknya tidak menyerupai tangga utama.

Bagian Para’ akan terkoneksi dengan Kale Balla dan Siring dengan adanya pocci balla sebagai bentuk keseimbangan dalam

Page 6: REFLEKSI RUMAH ADAT AMMATOA DALAM …

64 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 59-76

melakukan ritual adat, sehingga pemilihan bahan untuk pocci balla akan mengikuti pasang seperti pemilihan jenis kayu yang dikeramatkan. Pocci balla memiliki filosofi nilai religius yang sangat tinggi. Sebagaima­na diutarakan oleh Kajumaha dan Jumadin dalam kutipan wawancara berikut:

“...inni benteng tangaia nipabo-jangkaju paling balloa, anre’ na-kulle kaju sambarangan ni pasang, pocci balla nipake angngolo ri Tu Rie’a A’ra’na (TRA)...” (Kajumaha).

“Ri Pocci balla aiki biasa angn-golo punna assurobajaki, kun-tumi pokokna ballaa” (Jumadin)

“...Ponci balla dipilihkan kayu yang paling bagus, tidak boleh kayu sembarangan yang dipa­sang, ponci balla akan dipakai sebagai tempat menghadap Tu Rie’a A’ra’na (TRA)...” (Kajumaha)

“Pocci balla sebagai tempat melakukan ritual adat, se­bagai pusat rumah..” (Jumadin).

Para’ menjadi pusat menyimpan ben­da­benda pusaka dan umatan (penyembah­an). Hal ini bermakna sebagai tempat berin­teraksi antara manusia dengan Tuhan.

Organ persepsi Kale Balla. Bagian tengah (badan rumah) diibaratkan sebagai badan manusia bahan materialnya terbuat dari bambu adalah sebagai lantai rumah. Bagian Kale Balla sebagai tempat berinte­raksi dengan sesama manusia, maka pem­bagian ruang pun disesuaikan dengan fung­si Kale Balla. Posisi sebelah kiri dari badan rumah terdapat dapur dan tempat penam­pungan air. Penampungan air yang berada di atas rumah digunakan untuk memasak sekaligus mencuci perabotan. Posisi sebelah kanan terdapat hamparan tikar (jali’) dan bantal yang dijejer sebagai tempat meneri­ma tamu sekaligus tempat tidur pria yang belum menikah. Kale Balla terbagi dalam ruang bagian depan (latta riolo), bagian te­ngah (latta tangnga), dan bagian belakang (latta riboko). Masing­masing ruang memi­liki fungsi seperti latta riolo berfungsi tem­pat menerima tamu umum, latta ritangnga berfungsi tempat melaksanakan ritual adat (pangngadakkang), sekaligus tempat kepala suku atau tamu yang dihormati. Ruang ini

diperuntukkan khusus bagi laki­laki. Ada­pun perempuan bisa menempati ruang lagi di sisi ruang depan kanan rumah. Ruang ini juga berfungsi sebagai ruang makan (pang-nganreang). Hal ini diungkapkan oleh Kaju­maha sebagai berikut:

“...balla tallu lattaji ditte ilalang mae ri lalang embayya, anre nakulle labbi, iyaminjo ni bage tallu toi, ri otommo nikape cidong-cidong, nipa-ke nganre dan atinro” (Kajumaha).

“...rumah adat Ammatoa ha nya tiga petak, tidak bisa lebih. Se­lain itu, rumah adat terbagi tiga sesuai dengan peruntukannya, yaitu tempat bersantai, tempat makan, dan tidur” (Kajumaha).

Pada Kale Balla terdapat tempat pe­nyimpanan bahan/perabot atau makanan yang siap disajikan biasanya di para-para yang berada di bagian Kale Balla yang men­jorok ke luar. Para-para atau rak­rak yang berada di sisi kiri dan kanan rumah berfung­si untuk menyimpan alat­alat atau bahan makanan yang mudah diakses oleh pemi­lik rumah. Para-para yang terdapat di kale balla bukan hanya berfungsi sebagai tempat menyimpan barang, tetapi berfungsi sebagai sirkulasi udara dan melihat lingkungan sekitar. Ketinggian para­para sekitar satu meter dari lantai rumah yang berfungsi se­bagai ventilasi udara dan untuk menyimpan peralatan rumah seperti tikar.

Pintu rumah hanya ada di depan ba­gian tengah agak ke kanan atau ke kiri dari lebar rumah yang memiliki makna filosofis bahwa hubungan baik kepada sesama ma­nusia semata­mata mendapat ridho dari TRA sebagai jembatan menuju surga. Hal ini diutarakan oleh Moreng dan Jumadin dalam kutipan wawancara berikut:

“Serre balla tabbage tallui, rua latta riolo paccidonngan tau na pallu, latta riboko intumi ta-la-tala, anre to nakulle nipa-kekang pintu riboko’’ (Moreng).

“Punna injo balla’a ia lalang ri Ammatoa anre’ nakkulle lab-bi tallu latta...nihajuang pa-la-pala’ pannanroang baran-na...pintuna serreji” (Jumadin).

Page 7: REFLEKSI RUMAH ADAT AMMATOA DALAM …

Sharon, Paranoan, Refleksi Rumah Adat Ammatoa dalam Akuntabilitas Organisasi... 65

“Satu rumah terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian depan, dua petak bagian depan untuk tamu dan dapur, sedangkan bagian be­lakang tala-tala’ dan tidak boleh di­pasang pintu belakang” (Moreng).

“Rumah di dalam kawasan Am-matoa tidak boleh lebih dari tiga petak, karena pesan yang ti­dak boleh dilanggar dan dibe­rikan para-para sebagai tem­pat penyimpanan barang...pintu juga hanya satu” (Jumadin).

Berdasarkan pengamatan peneliti seluruh lantai rumah terbuat dari belahan bambu yang diikat dengan rotan dan ber­alaskan tikar rotan. Ruang tengah ini tidak memiliki kursi dan meja atau perabot rumah tangga pada umumnya. Perlengkapan yang disediakan yaitu tikar dan bantal­bantal ke­cil sebagai tempat bersandar dan tidur bagi penghuni rumah atau tamu yang berkun­jung.

Organ persepsi Siring. Bagian bawah (kaki rumah) sebagai tempat beraktivitas sehari­hari seperti menenun bahan sarung yaitu kain hitam (topeh le’leng) yang menjadi pakaian sehari­hari masyarakat Ammatoa. Ciri khas rumah adat Ammatoa adalah tiang penyangga rumah ditanam secara langsung ke tanah tanpa alas (Siring) seperti rumah adat lain pada umumnya. Kolom rumah akan disesuaikan dengan pemilik rumah. Tinggi kolom rumah ke lantai atas sekitar 2 meter agar masyarakat bisa melakukan akti­vitas secara leluasa di bawah kolom rumah. Tiang rumah yang langsung ditanam di ru­mah secara filosofis bermakna kehidupan manusia senantiasa menyatu dengan alam sebagai upaya penghormatan kepada TRA yang me reka yakini mewujud ke dalam alam semesta. Seperti yang dituturkan oleh ba­pak Moreng, Jumadin, dan Kajumaha dalam kutipan wawancara berikut:

“Injo bentenga ni lamungi ni painro’i rimemanna, siringa ni pake pannan-roang tinanang, olo-kolo” (Moreng).

“Siringnga ni pake toi attannu tope lelleng, ni pake’i jama-ja-mang allo-alloa” (Jumadin).

“...assalatta tosse iditte nak, ben-teng balla riekasipallina iamiinjo

na nilamungi ni painroi ri tanayyai pada simemanna” (Kajumaha).

“Tiang rumah ditanam ke tanah dikembalikan ke asal nya, kolong rumah juga dipakai un­tuk menyimpan sebagian ha­sil panen dan ternak” (Moreng).

“Kolong rumah juga digunakan untuk menenun kain hitam dan juga dipakai untuk akti­vitas sehari­hari” (Jumadin).

“...asalnya kita nak, tiang ru­mah ada pantangannya se­hingga tiang ditanam untuk mengembalikan asalnya ke alam seperti semula” (Kajumaha).

Bahkan keberadaan tangga dari tanah ke atas rumah pun ditanam di dalam tanah sama halnya dengan tiang rumah lainnya dan tidak menggunakan atap. Hal ini ber­makna bahwa manusia harus tetap menyatu dengan alam dengan merasakan teriknya matahari dan hujan hingga masuk dalam rumah. Hal ini seperti penuturan Kajumaha dalam kutipan wawancara berikut:

“Serrejji tuka’ anre’ nakkulle ni atakki appada balla adat ripan-tarang kampong, ia tosse ditte adatta kamase-masea, katalla-santa ditte anre nakkulle tas-sala apa na panjariangki ri Tu Rie’a A’ra’na (TRA). Ri tukaaki ni pisarringi memammi hamban-na alloa na bosia, riallo jorengan tala’ ni pisarringimi” (Kajumaha).

“Hanya ada satu tangga, tidak ada atapnya itu tangga seper­ti rumah adatnya kampung lain, karena kita ini pegang prinsip ka-mase-masea, karena kita hidup ini selalu berhubungan dengan semua ciptaan TRA. Di tangga pun itu kita tetap rasakan panasnya matahari dan hujan, karena ka­lau kita sudah mati saya tidak mau rasakan lagi itu” (Kajumaha).

Sistem konstruksi rumah adat Amma-toa masih sangat sederhana berupa sistem ikat menggunakan rotan yang diambil dari lingkungan setempat dan sistem pasak tan­

Page 8: REFLEKSI RUMAH ADAT AMMATOA DALAM …

66 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 59-76

pa menggunakan paku. Sistem konstruksi tidak menggunakan alat­alat modern seperti pemakaian paku. Model pintu dengan sistem geser, begitupun jendela yang terbuat dari bahan kayu. Berabad­abad lamanya ma­syarakat Kajang secara konsisten melestari­kan pesan leluhur dengan melakukan akti­vitas di dunia senantiasa bersahabat dengan alam, bahkan sangat mempengaruhi tatan­an dan bentuk rumah suku Kajang. Proses pembangunan rumah adat Ammatoa harus meminta restu kepada kepala adat Ammatoa. Penebangan kayu dari hutan harus meminta izin dari kepala adat Ammatoa. Pe nebangan tersebut harus dilakukan sesuai syarat dan ketentuan yang ada dalam pa sang seperti hari yang baik dan telah melakukan ritu­al adat. Sumber utama material bangunan yaitu kayu nannasa’ (kayu bitti) yang ma­sih banyak kita jumpai dalam kawasan adat Ammatoa. Khusus untuk keperluan lantai rumah terbuat dari bambu yang dianyan dengan rotan. Pembuatan atap dari daun rumbia biasanya disiapkan oleh pemilik rumah jauh­jauh hari. Pembuatan atap ini dilakukan di pekarangan rumah secara go­tong royong. Hal tersebut diungkapkan oleh Kajumaha dalam kutipan wawancara beri­kut:

“...mulaiki ambaju ata’ rumbia am-borong-borongki hajui, rie ngas-eminjo mae urang sianatta am-baliiki baju ata’, siampi’ ballatta, tala nibanyarai...” (Kajumaha).

“...saat pembuatan atap dari rumbia masyarakat bergo­tong royong, sanak sauda­ra dan tetangga dan tanpa ada yang dibayar...” (Kajumaha).

Struktur rumah adat Ammatoa. Keper­cayaan masyarakat adat Ammatoa Kajang hidup dalam kesederhanaan dilihat dari ba­ngunan yang tertata rapi dengan konstruk­si rumah adat Ammatoa Kajang yaitu Bola Hanggang. Struktur Bola Hanggang yaitu tiang yang langsung menyatu dengan tanah tanpa penyangga batu atau balok. Sistem tiang yang tertancap ke tanah menjadi ciri khas rumah di kawasan adat Ammatoa. Tiang­tiang yang akan dipilih untuk memba­ngun rumah harus yang berkualitas bagus dan tidak dimakan oleh rayap untuk meng­hindari agar tiang­tiang tersebut tidak cepat rapuh. Hal ini dituturkan oleh Moreng pada kutipan wawancara berikut:

Gambar 2: Struktur Bangunan Rumah Adat

Bagian Atas (Para’)

Bagian Tengah(Kale’ Balla)

Bagian Bawah(Siring)

Page 9: REFLEKSI RUMAH ADAT AMMATOA DALAM …

Sharon, Paranoan, Refleksi Rumah Adat Ammatoa dalam Akuntabilitas Organisasi... 67

“...anre’ nakulle kaju sambarang nipake, nihojai nuanrea na rapo’, manna pulo taun anre’ na kan-rei lintana, ka ditte ilalang ben-tengnga nihangngangi” (Moreng).

“...pemilihan kayu untuk tiang ru­mah harus kayu yang kuat, walau­pun puluhan tahun tidak dimakan oleh rayap, karena rumah adat kita harus ditanam ke tanah” (Moreng).

Pernyataan Moreng secara garis besar terlihat pada Gambar 2. Gambar 2 menun­jukkan bahwa Struktur bangunan rumah adat Ammatoa dalam membagi rumah tra­disonalnya menjadi tiga bagian yang ter­integrasi dengan yang lainnya baik secara horizontal maupun secara vertikal. Wujud metafora manusia yaitu kepala sentral un­tuk berpikir, badan manusia, dan kaki se­bagai penopang badan dan kepala. Analogi tersebut kita jumpai di rumah adat mas­yarakat Ammatoa yang terbagi menjadi tiga bagian ya itu bagian atas (Para’), bagian te­ngah (Kale Balla) dan bagian bawah (Siring). Siring yang dikelilingi oleh tiang­sebanyak sembilan untuk pe nyangga rumah sebagai penopang badan rumah. Fungsi Siring se­bagai tempat me nyimpang kayu bakar un­tuk memasak serta tempat menenun kain hitam. Kale Balla berfungsi melakukan akti­vitas seperti makan, menerima tamu dan ti­dur, sedangkan bagian Para’ yang tidak bisa diakses oleh orang lain berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda­benda yang di­keramatkan seperti pusaka nenek moyang (umatan). Konsep bangunan yang sangat se­derhana yang terbuat dari lingkung an seki­tar sekaligus merupakan pengejewantahan dari trilogi hubungan manusia dengan TRA, manusia dan alam semesta.

Makna filosofis rumah adat Amma­toa: hubungan manusia dengan Tu Rie A’ra’na (TRA). Aspek keyakinan fundamen­tal dalam sistem kepercayaan masyarakat adat Ammatoa adalah percaya kepada TRA. Segala kehidupan yang dijalankan di alam semesta diserahkan kepada TRA. Tuntunan dan kepercayaan masyarakat adat Ammatoa dituangkan dalam Pasang. Aktivitas yang dijalankan di dunia ini semata­mata un­tuk bekal di akhirat. Mereka percaya bah­wa tempat bersemayan yang kekal abadi harus mendapatkan ridho dari TRA. Istilah TRA merupakan penyebutan terhadap zat yang maha kuasa, yang maha berkehendak.

Ma syarakat adat Ammatoa meyakini bahwa TRA maha mengetahui, maha mendengar, mahaagung, dan maha pemberi segala nya. TRA yang maha berkehendak segala se­suatu yang terjadi di dunia ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasang Ri Kajang sebagai berikut:

“...Anre nisse rie’ na anre’na Tu Rie A’ra’na (TRA)Ippala doang Padato’ji pole natari-mana, iya toje’na”.

“...kita tidak tahu keberadaan­Nya, Dia Maha berkehendakDemikian juga diterimanya doa kita, Dia yang kuasa”.

Berdasarkan refleksi metafora Para’ rumah (bagian atas rumah) sebagai pusat penyimpanan tempat pusaka, dan tempat penyimpanan bahan pangan dan tempat suci yang disakralkan, masyarakat adat Am-matoa memaknai bahwa segala sesuatu yang dilakukan dalam aktivitas kehidupan di du­nia menjunjung tinggi hubungan de ngan TRA. Masyarakat adat Ammatoa percaya bahwa berkomunikasi atau membangun hubungan dengan TRA menjadi kebutuhan paling utama, sebab berhubungan karib dengan TRA maka mereka dapat mengenal Tuhan yang menciptakan alam semesta dan yang menyediakan apa yang mereka per­lukan. Sementara itu, penempatan yang dilakukan di ketinggian merupakan TRA yang harus dijunjung tinggi dalam melaku­kan ibadah di dunia ini.

Para’ yang terletak di bagian atas atau berada di garis vertikal akan selalu dijun­jung tinggi. Ini menandakan bahwa manu­sia harus berpijak kepada Tu Rie A’ra’na (TRA) sebagai kekuasaan tertinggi di muka bumi ini. Mereka juga percaya bahwa tempat bersemayan TRA berada di atas. Hubungan vertikal antara manusia dan TRA merupa­kan sumber kemampuan manusia untuk bertanggung jawab kepada dirinya sendiri dan sesama manusia. Tanpa pertanggung­jawaban kepada TRA, maka tidak mung­kin mereka bertanggung jawab kepada diri sendiri ataupun kepada sesama manusia. Pertanggungjawaban kepada TRA terimple­mentasi dalam aksi kepada sesama manusia dan menjaga kelestarian alam semesta.

Makna filosofis rumah adat Ammatoa: hubungan sesama manusia. Masyarakat Ammatoa dalam memaknai hubungan se­

Page 10: REFLEKSI RUMAH ADAT AMMATOA DALAM …

68 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 59-76

sama manusia mengenal sifat kalambusang (kejujuran), sabbara (sabar), appisona (ikh­las). Sifat­sifat inilah yang melekat pada masyarakat Ammatoa dalam berinteraksi dengan kehidupan di dunia. Komunitas adat Ammatoa sangat menjunjung tinggi nilai­nilai kejujuran dalam menghadapi realitas dan fenomena alam semesta, sabar dalam menghadapi berbagai persoalan dan ikhlas dalam menjalani kehidupan. Sebagaimana pesan yang sampaikan oleh Pasang Ri Ka-jang sebagai berikut.

“...pakabajiki ateka’nuIyamintu agamaIyantu sambayangnga Jamaan-ja-maanjiPakabajiki gau’nuSara’ sara makana’nuNanulilian labatayya”.

“...perbaikilah hatimuKarena itulah agamaAdapun sembayang itu pekerjaan saja Perbaikilah tindak tandukmuSopan santun dan kata­katamu Agar jauh dari segala cela”.

Suku Kajang percaya bahwa sebagai makhluk sosial mereka tidak bisa dilepas­kan dari kehidupan mutualis antarsesama manusia. Hidup saling memberi dan meneri­ma segala kebutuhan dan kekurangan orang lain, toleransi antarsesama manusia, begi­tupun dalam pemenuhan hak dan kewajiban harus tolong menolong. Hal ini tergambar dari ruang tengah (Kale Balla) yang dibuat tanpa sekat. Kale Balla berfungsi sebagai ru­angan tamu, ruang makan dan tempat ber­istirahat seperti tidur. Penyatuan ruangan ini bersifat sangat komunikatif karena hampir semua anggota keluarga dapat mendengar­kan atau ikut serta dalam pembicaraan dan melihat segala kegiatan yang dilaksanakan. Selain itu, ruang tengah berfungsi sebagai tempat berinteraksi setiap orang yang ada di ruangan tersebut. Kehangatan dalam ruang­an itu sangat terasa. Kesan individualisme tidak ditemukan di masyarakat adat Amma-toa, semua pekerjaan dilaksanakan dengan cara gotong royong dan penuh suka cita.

Suku Kajang sangat menjaga jalinan silaturrahim di antara anggota keluarga de­ngan menempatkan ruang tengah sebagai pusat berinteraksi dan menerima nasihat dari orang tua terkait dengan etika dan tata

krama dalam pergaulan yang berupa Pa-sang Ri Kajang. Pasang menjadi pedoman hidup sebagai pengabdian diri kepada TAA, melakukan interaksi dengan sesama ciptaan TAA (Hijjang, 2014; Istiawati, 2016). Pasang Ri Kajang adalah sebagai landasan, tun­tunan, dan norma dalam dimensi hi dup ma­nusia di alam semesta ini. Pasang Ri Kajang akan terimplemtasi dalam norma­norma adat yang menjadi kebiasaan dan tuntutan hidup dalam bermasyarakat adat Ammatoa.

Makna filosofis rumah adat Ammatoa: hubungan manusia dengan alam semesta. Struktur rumah adat Ammatoa memadukan keseimbangan alam dan manusia diyakini dapat menjadi nilai tambah dan kepatuhan terhadap hasil ciptaan TAA. Keseimbangan itu diwujudkan dengan memadukan unsur alam seperti kayu, bambu dan warna lem­but yang melekat pada rumah adat tersebut. Keseimbangan dan keselarasan dalam pem­bangunan rumah adat pedesaan akan mem­bawa wahana pelestarian lingkungan alam (Mawaddahni, 2017). Pembangunan berba­sis konsep bangunan alam sebagai bentuk manisfestasi dari kekuatan dan kekuasaan TAA (Akib, 2008). Keunikan lain semua ba­ngunan menghadap ke barat untuk meng­hindari pandangan mata menghadap ke bo-rong karama’ (hutan yang dilindungi) sesuai dengan Pasang Ri Kajang. Hal ini dimaksud­kan agar masyarakat adat Ammatoa tidak setiap saat mellihat kekayaan hutan yang dapat dimanfaatkan secara semena­mena yang berakibat merusak hutan (Hafid, 2013).

Bagi masyarakat adat Ammatoa har­monisasi dengan alam menjadi mutlak dilakukan sebagai pengabdian kepada TAA. Tiang penyangga rumah yang menyatu de­ngan tanah menggambarkan keberadaan manusia yang senantiasa menyatu dengan alam. Hal ini dimulai dari kehidupan ma­nusia di dunia hingga manusia dikemba­likan ke asalnya. Belum lagi bentuk tiang penyangga yang tetap disesuaikan dengan bentuk asli dari pohon yang ditebang tanpa menggunakan alat modern, karena dianggap akan mengganggu ekosistem lainnya. Hal ini seperti yang tertuang dalam beberapa ba­gian Pasang Ri Kajang:

“...jagai linoa lollong bonena, kam-mayya tompa langika, siagang rupa taua, siagang bo-rongga”.

Page 11: REFLEKSI RUMAH ADAT AMMATOA DALAM …

Sharon, Paranoan, Refleksi Rumah Adat Ammatoa dalam Akuntabilitas Organisasi... 69

“...punna arra’ko anna’bang sipoko’ kayu ri boronga,A’lamunko rolo ruang poko’ang-genna timbo”.

“Olo’-olo’jintu akkulle ammanraki tinananga siagang borongaJari puna lanupanraki injo boronga kittemintu nikua olo-olo’a”.

“...jagalah dunia beserta isinyaBeserta langit manusia dan hutan”.

“...kalau ingin menebang satu batang pohon kayu di dalam hutanHarus menanam dulu dua pohon sampai tumbuh dengan baik”.

“...hanya binatang saja yang dapat merusak tanaman atau hutanJadi kalau anda merusaknya, anda termasuk golongan bina­tang”.

Siring (bagian bawah rumah) berfungsi sebagai tempat aktivitas dalam kehidupan sehari­hari masyarakat Kajang antara lain produksi tenun kain seperti sarung hitam sebagai pakaian khas adat kajang. Proses produksi yang dilakukan di kolong rumah secara terbuka dan dapat disaksikan oleh masyarakat Kajang lainnya yang melewati rumah tersebut. Hal ini menandakan ter­dapat unsur keterbukaan, di mana tidak ada rahasia sebagaimana proses produksi pada perusahaan konvensional. Bahkan, pera­latan dan perlengkapan tenun bersumber dari alam mulai dari bahan (benang) yang dipintal sendiri yang berasal dari kapas. Ke­giatan lain yaitu menumbuk padi dan meme­lihara ternak sebagai penyatuan diri dengan alam semesta. Sumber daya alam menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan dari ma­nusia. Kebutuhan hidup yang bersumber dari alam menjadi tugas pokok manusia di bumi ini untuk menjaga dan melestarikan­nya.

Harmonisasi hubungan tersebut ter­jalin dengan menjunjung kesederhanaan dalam setiap kehidupan yang dikenal prinsif hidup prinsip kamase-masea yaitu prinsip kesederhanaan dalam kehidupan (Disnawa­ti, 2013). “Pasang Ri Kajang” yang dituang­kan dalam simbol­simbol seperti bangunan rumah yang sarat dengan nilai dan filosofi menggambarkan masyarakat adat Amma-

toa menjalankan nilai­nilai yang tidak ber­tentangan dengan kehendak Tu Rie’a A’ra’na (TRA) adalah Tuhan yang berkehendak atau menetukan (Risfaisal, 2017), menjalin hubungan antara sesama manusia dan ma­nusia dengan alam. Kehidupan yang men­jauhkan diri dari peradaban modern, seperti elektronik, listrik, alat komunikasi. Mereka hidup selaras dengan alam dan bercekrama dengan habitat yang hidup di hutan. Untuk berinteraksi dengan daerah yang berada di sekitar kawasan dengan jalan kaki tanpa alas (sendal maupun sepatu) dan juga de­ngan transportasi kuda. Kendaraan roda dua dan mobil yang terkait dengan teknologi modern menjadi larangan adat.

Trilogi Akuntabilitas Ammatoa (TAA) sebagai refleksi rumah adat Ammatoa. Akuntabilitas merupakan pemberian man­dat kepada sesorang untuk mengelola sum­ber daya pemberi mandat yang wajib diper­tanggungjawabankan kepada Tuhan dan seluruh isi alam semesta (Gibassier et al., 2018) serta untuk memperoleh kepercayaan (Randa & Daromes, 2014). Hal ini memper­tegas argumentasi Joannides (2012) bahwa akuntabilitas merupakan tindakan sese­orang atau organisasi untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan yang telah diberikan kepadanya. Hal ini sesuai dengan tujuan akuntabilitas mendapatkan legitima­si publik dalam suatu komunitas ataupun organisasi.

TAA sebagai refleksi rumah adat yang melekat dalam kearifan tradisional menjadi temuan dalam penelitian ini. TAA muncul sebagai solusi pertanggungjawaban organi­sasi yang bersifat dinamis, berkelanjutan dan dapat diterima oleh organisasi. TAA se­bagai konsep pertanggungjawaban suatu or­ganisasi yang digali berdasarkan nilai­nilai budaya lokal masyarakat adat Ammatoa yang tetap harus dilestarikan di era modern. Struktur rumah adat yang dipertahankan hingga saat ini menggambarkan TAA yang berkedaulatan rakyat, kesetaraan, partisi­pasi dan berkeadilan sosial. Hal tersebut se­jalan dengan salah prinsip good governance. Berdasarkan struktur rumah adat Amma-toa terefleksi Trilogi Akuntabilitas Ammatoa (TAA) yang peneliti gambarkan pada Gambar 3.

Gambar 3 menjelaskan bahwa TAA ter­diri dari akuntabilitas hubungan manusia dengan TRA, Akuntabilitas terhadap manu­sia, dan akuntabilitas terhadap alam semes­ta yang merupakan harmonisasi ketiganya

Page 12: REFLEKSI RUMAH ADAT AMMATOA DALAM …

70 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 59-76

dalam aktivitas organisasi. Pandangan ini tentu sejalan dengan penelitian yang dilaku­kan Ahrens & Ferry (2015), Cordery (2015), Hidayah et al. (2019), Silva et al. (2017), dan Sisaye (2011) bahwa akuntabilitas suatu organisasi tidak terlepas dari akuntabilitas terhadap Tuhan, manusia, dan lingkungan. Begitupun dengan akuntabilitas di dalam or­ganisasi baik profit maupun nonprofit.

Akuntabilitas hubungan manusia de­ngan TRA. Bagi masyarakat adat Ammatoa tujuan akhir dan terutama dari siklus ke­hidupan adalah pengabdian dan pertang­gungjawaban kepada TRA (Adriyani, 2017; Hafid, 2013). Segala sesuatu yang dilakukan oleh individu masyarakat adat Ammatoa wa­jib dipertanggungjawabkan kepada TRA de­ngan penuh kesadaran. Hal ini sejalan de­ngan pernyataan Fauré et al. (2019) bahwa baik kelembagaan maupun secara individu perlu secara sadar menyatakan akuntabili­tasnya kepada pihak yang pemberi amanah yang kekal abadi (Tuhan). Bentuk akuntabi­litas kepada TRA tergambar dari kepatuhan dalam membangun rumah sesuai dengan Pasang Ri Kajang sebagai penjelmaan pe­rintah yang harus dipatuhi oleh masyarakat adat Ammatoa. Masyarakat adat Ammatoa

sangat menyadari keberadaannya hanya sesuai dengan kehendak dari TRA sebagai realitas tertinggi dan absolut sebagai pusat segala sesuatu. Kesadaran itu diimplemen­tasikan dengan menjalankan Pasang Ri Ka-jang sebagai amanah dari TRA. Masyarakat adat Ammatoa percaya bahwa apabila Pa-sang dilanggar, maka akan dilaknat oleh TRA se perti penyakit tertentu bagi yang me­langgar ataupun bencana alam.

Para’ sebagai bagian tertinggi dari ru­mah yang menaungi seluruh bagian dari rumah yang dianggap suci. Para’ menjadi simbol bahwa TRA yang harus dijunjung tinggi sebagai pemberi amanah. Dalam hal ini penerima amanah mempertanggung­jawabkan kepada pemberi amanah. Manu­sia sebagai penerima amanah dan Tuhan sebagai pemberi amanah. Hal ini berarti pemberi amanah utama yaitu dari TRA, se­hingga pertanggungjawaban utamanya ha­rus kepada TRA kemudian kepada ciptaan­nya yang pemberi amanah berikutnya.

Akuntabilitas hubungan manusia de ngan manusia. Untuk melaksanakan akun tabilitas tersebut dapat dilihat dari bangunan rumah adat Ammatoa. Prinsip demokrasi sangat terlihat dari struktur ba­

Gambar 3. Trilogi Akuntabilitas Ammatoa (TAA) berdasarkanRefleksi Rumah Adat Ammatoa

Akuntabilitas Tu Rie A’ra’na (TRA)

Akuntabilitas terhadap Manusia

Akuntabilitas terhadap alam semesta

Trilogi Akuntabilitas Ammatoa(TAA)

Page 13: REFLEKSI RUMAH ADAT AMMATOA DALAM …

Sharon, Paranoan, Refleksi Rumah Adat Ammatoa dalam Akuntabilitas Organisasi... 71

ngunan rumah yang ada dalam kawasan adat yaitu kedaulatan rakyat, kesetaraan, partisipasi, dan transparansi. Pembangunan rumah dengan tidak ada sekat pembatas da­lam suatu ruangan. Ruangan tanpa sekat menandakan hubungan manusia dengan manusia saling berinteraksi satu sama lain tanpa ada perbedaan harkat dan martabat.

Prinsip good governance termasuk akuntabilitas terimplementasi di dalam struktur dan aktivitas di Kale Balla (badan rumah) yang menjadi tempat berkumpul dan berinteraksi dengan sesama manusia. Pro­ses pencapaian keputusan bersama untuk kepentingan kedaulatan rakyat dilakukan di ruang Kale Balla. Pimpinan tertinggi (Am-matoa) dalam menyampaikan nasihat (Pa-sang Ri Kajang), melakukan diskusi dengan pejabat adat ataupun masyarakat sekitar akan menggunakan Kale Balla. Penempat­an ruang tanpa adanya sekat menandakan adanya keterbukaan dan partisipasi dalam semua aktivitas yang dilakukan dalam peng­ambilan keputusan.

Kesetaraan juga tergambar dalam pen­empatan ruang yang digunakan untuk tem­pat duduk yang hanya menggunakan alas ti­kar rotan dengan bantal­bantal yang dijejer. Tempat duduk seorang kepala adat (Amma-toa) pemegang tahta tertinggi tidak akan ber­beda dengan masyarakat setempat ataupun tamu yang berkunjung. Interaksi dengan rakyatnya tanpa melihat kedudukan atau­pun fasilitas yang mereka gunakan, tetapi bagaimana seorang pemimpin dekat dengan rakyatnya. Bentuk rumah dan penggunaan ruang yang seragam seperti di ruang tengah yang tanpa ada sekat untuk memberikan keleluasan dan tidak memperlihatkan kelas sosial masyarakat setempat.

Partisipasi warga dilakukan dalam mempertahankan ruang tengah (kale balla) sebagai ruang yang dimanfaatkan oleh warga untuk memperjuangkan keadilan di depan kepala adat dan masyarakatnya atau orang tua dengan anak. Ruang tengah tempat berserikat dan berkumpul bagi masyarakat adat Ammatoa harus dijaga oleh masyarakat setempat. Selain itu, partisipasi masyarakat sebagai upaya untuk pengembangan bu­daya masyarakat adat. Pentingnya partisi­pasi masyarakat ditegaskan oleh bebera­pa peneliti bahwa keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan kawasan adat sangat diperlukan untuk pengembangan budaya adat istiadat setempat (Jayasinghe

& Wickramasinghe, 2011; Mahayani, 2017; Walker, 2014). Adat istiadat merupakan salah satu cagar budaya yang sudah hampir punah tergilas oleh zaman, sehingga peran ma syarakat harus ditingkatkan dengan me­libatkan semua kalangan masyarakat ikut berpartisipasi mulai dari tingkat pemerin­tah desa, pemerintah kabupaten, hingga peme rintah pusat. Pelibatan semua pihak dilakukan untuk memberikan legalitas hu­kum ataupun keberadaan cagar budaya ma­syarakat setempat. Hal ini perlu dilakukan karena pemilik sah berhak atas adat istia­dat atau cagar budaya warisan nenek mo­yang mereka. Adanya partisipasi mayarakat memberikan kekuatan yang lebih baik apa­bila pemangku adat akan melakukan suatu keputusan terkait dengan persoalan ma­syarakat adat Ammatoa.

Keterbukaan atau transparansi ditan­dai dengan penempatan ruang dapur me­nyatu dengan ruang tengah yang bisa diakses oleh masyarakat luas. Tujuan transparansi adalah untuk menghindari penyeleweng­an kekuasaan yang sering dilakukan oleh aparatur maupun kepala adat. Tran sparansi yang terbangun sangat kental dalam nuansa di atas rumah. Segala aktivitas yang dilaku­kan oleh masyarakat berangkat dari hal yang dilakukan di atas rumah yang mempu­nyai filosofi bahwa semua masyarakat ha­rus bisa mempertanggungjawabkan kepada masyarakat luas atas apa yang dikelola dan harus dinikmati oleh seluruh masyarakat. Tidak ada makanan atau sajian yang disem­bunyikan. Apapun hidangan yang ada harus bisa dinikmati oleh tamu atau yang berkun­jung ke rumah. Bukti bahwa masyarakat adat Ammatoa menjaga sistem kekeluargaan untuk keselamatan hidup bersama. Sistem kekeluargaan dijalankan dengan dasar satu keturunan nenek moyang yang tidak me­ngenal sistem individualis dalam menjalan­kan aktivitas keseharian. Akuntabilitas yang dilakukan semata­mata untuk kepentingan kesejahteraan bersama sehingga stakehold-ers dapat mengevaluasi pelaksanaan kegiat­an dan keputusan tersebut. Transparansi yang dibangun oleh masyarakat adat Amma-toa dalam rangka memberikan kebebasan kepada warga untuk memberikan masuk­an dan kritik kepada pemangku adat. Hal tersebut sejalan dengan temuan beberapa peneliti yang menyatakan bahwa dalam kon­teks akuntabilitas penting untuk melakukan transparansi dengan melibatkan stakehold-

Page 14: REFLEKSI RUMAH ADAT AMMATOA DALAM …

72 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 59-76

ers dalam suatu kegiatan atau pengambil­an keputusan agar sesuai dengan harapan stakeholders (Fauré et al. 2019; Randa & Daromes, 2014; Yasmin et al. 2018).

Akuntabilitas hubungan manusia dengan alam semesta. Konsep ini senan­tiasa tercermin dari seluruh aktivitas ma­syarakat adat Ammatoa dalam menjalankan kehidupan di dunia. Perhatian masyarakat adat Ammatoa dalam pembangunan rumah yang terbuat dari alam sekitar dimulai dari pemilihan bahan yang akan digunakan se­perti material kayu, rotan, dan bambu yang semuanya bersumber dari alam yaitu hutan yang berada di kawasan adat Ammatoa. Im­plementasi penyatuan alam dengan manusia terlihat pula pada bangunan rumah yang ter­koneksi langsung dengan tanah. Tiang­tiang rumah yang ditancapkan langsung ke tanah tanpa ada penyangga dengan filosofi bahwa bahan yang digunakan harus senantiasa se­laras dengan alam. Alam akan memberikan aura kehidupan bagi penghuni rumah terse­but. Masyarakat adat Ammatoa sangat me­mahami adanya hubungan ketergantungan manusia dengan alam yang harus dijaga.

Aktivitas masyarakat adat Ammatoa yang dilakukan di Siring se nantiasa ter­koneksi dengan alam semesta. Hasil alam me­rupakan bagian penting dari kehidupan ma­syarakat adat Ammatoa untuk kelangsung an hidupnya. Pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat adat Ammatoa yang bersumber dari hasil alam diyakini sebagai penjelmaan TRA yang harus disyukur i dan dilestari­kan sesuai dengan Pasang Ri Kajang. Cara hidup yang sangat sederhana dengan ti­dak menggunakan peralatan mo dern dalam membangun rumah. Peralatan yang mere­ka buat sendiri seperti kapak dan parang. Bagi masyarakat adat Ammatoa penggu­naan alat modern dapat membawa dampat negatif bagi kelangsung an hidup mereka. Perusakan lingkungan akan berdampak pada kelestarian alam dan ma syarakat se­bagai penerima manfaat dari sumber daya alam. Cuckston (2017) dan King (2017) me­nitikberatkan masyarakat dan lingkungan sebagai stakeholders inti dalam organisasi. Namun, hal ini sering di abaikan oleh organi­sasi di mana akuntabilitas hanya diarahkan pertanggungjawaban nya kepada manusia seperti pemegang saham yang menjadi per­hatian utama (Martinez & Cooper, 2017).

Siring merupakan tempat untuk melakukan aktivitas sosial, ekonomi dan budaya dengan memanfaatkan hasil alam

untuk pemenuhan kebutuhan. Hal ini se­jalan dengan pemikiran Bebbington et al. (2017) dan Sitorus (2015) yang menyarank­an bahwa aktivitas sebuah organisasi harus terintegrasi dengan alam semesta. Struktur tiang dan tangga yang ditanamkan langsung ke dalam tanah menunjukkan usaha penya­tuan dengan alam. Alam dan manusia me­rupakan ciptaan Tuhan yang harus saling selaras karena adanya saling ketergantung­an di antara keduanya. Kerusakan alam aki­bat ulah manusia, dampaknya juga akan dirasakan oleh manusia.

Masyarakat adat Ammatoa meyakini bahwa jika terjadi perubahan negatif pada alam, maka alam akan kehilangan fungsi­nya sebagai daya dukung dalam pemenuhan kehidupan masyarakat adat Ammatoa. Alam merupakan jelmaan TRA yang harus kita syukuri sebagai pengabdian manusia kepa­da TRA. Pengabdian yang tanpa batas kepa­da alam dilakukan sejak mereka lahir dan menjadi kepercayaan secara turun temurun. Sumber utama untuk memenuhi nafkah ke­luarga dari sumber daya alam. Baik pangan, sandang, dan papan maupun kebutuhan obat­obatan semua bersumber dari alam. Bagi masyarakat adat Ammatoa kelangsung­an hidup mereka sangat bergantung dari alam sehingga harus menjadi ekosistem yang berada di alam tersebut. Larangan un­tuk melakukan penebangan pohon dalam kawasan adat, selain untuk keperluan mem­bangun rumah. Memotong kayu yang bera­da dalam kawasan adat tidak boleh meng­gunakan alat modern karena dikhawatirkan manusia dengan sifat kerakusannya akan merusak hutan. Keselarasan dengan alam menjadi pesan dari pasang sebagai upaya menjaga ekosistem yang ada di dalamnya. Penolakan terhadap alat­alat modern adalah sebagai upaya menjaga alam dari perusakan manusia.

Demikian pula dalam hal masyarakat adat Ammatoa berladang, berburu, bertani, dan mengobati segala penyakit bersumber dari alam. Masyarakat senantiasa meman­faatkan sumber daya alam. Masyarakat adat Ammatoa terus berusaha untuk menjaga ke­lestarian alam, bukan hanya untuk pemenu­han kebutuhan melainkan implementasi dari ketundukan kepada TRA sebagai amalan dari Pasang Ri Kajang yang tidak hanya ber­isi pesan yang baik, tetapi perbuat an yang buruk harus dijauhkan dari kehidupan. Pas-ang Ri Kajang adalah tuntunan hidup yang

Page 15: REFLEKSI RUMAH ADAT AMMATOA DALAM …

Sharon, Paranoan, Refleksi Rumah Adat Ammatoa dalam Akuntabilitas Organisasi... 73

meliputi adat istiadat dan kepercayaan dan norma yang menjadi tuntunan hidupa mas­yarakat adat adat Ammatoa.

SIMPULANTrilogi Akuntabilitas Ammatoa (TAA)

menjadi temuan dalam artikel ini dengan menunjukkan bahwa akuntabilitas suatu organisasi seharusnya memenuhi akun­tabilitas kepada TRA sebagai wujud ketaatan dan kepatuhan; kepada manusia dalam wu­jud transparansi dan partisipasi dan kepa­da alam untuk menjaga kelestarian alam. Implementasi TAA sebagai rujukan konsep akuntabilitas harus terintegrasi satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.

Nilai­nilai filosofis yang menjadi kearif­an lokal masyarakat adat Ammatoa dapat di­jadikan sebagai dasar konsep akuntabi litas. Masyarakat adat Ammatoa yang percaya dengan Pasang Ri Kajang. Pasang Ri Kajang menjadi pedoman hidup berma syarakat yang tidak ada dalam kitab atau catatan tertulis, tetapi Pasang Ri Kajang merupakan pesan yang telah disepakati dan merupakan tun­tunan hidup dalam menjalankan kehidupan yang sarat akan nilai dan adat istiadat ma­syarakat setempat. Struktur rumah adat Ammatoa merupakan metafora atau organ persepsi yang tepat untuk menggambarkan akuntabilitas suatu organisasi, baik yang berorientasi profit maupun nonprofit yang terangkum dalam Trilogi Akuntabilitas Am-matoa (TAA).

Keterbatasan penelitian ini adanya Pas-ang Ri Kajang yang harus dipatuhi baik oleh komunitas adat Ammatoa Kajang maupun masyarakat luar yang akan berkunjung ter­masuk peneliti. Maka, alat modern seperti HP sebagai alat untuk merekam ataupun mengambil gambar secara dekat bangunan rumah tidak bisa dilakukan. Begitupun ter­hadap bahasa yang digunakan, informan yang menggunakan bahasa asli yaitu baha­sa konjo’ yang harus diterjemahkan ke da­lam bahasa Indonesia yang mungkin akan berbeda maknanya. Kesuliatan mendapat­kan informan karena adanya ketakutan bagi masyarakat adat untuk berenteraksi dengan orang luar. Penelitian selanjutnya dihara­pkan untuk mengembangkan konsep TAA dalam implementasi pelaksanaan Trilogi Akuntabilitas Ammatoa (TAA) di organisasi swasta ataupun sektor publik.

DAFTAR RUJUKAN Adriyani, A. (2017). Studi Ecodevelopment:

Kontekstualisasi Pembangunan Berke­lanjutan dalam “Pasang” oleh Ko­munitas Adat Ammatoa. Jurnal So-siologi Pendidikan Humanis, 2(1), 9­15. https://doi.org/10.17977/um­021v2i12017p009

Agustina, T. (2018). Membangun Manajemen Kearifan Lokal (Studi pada Kearifan Lo­kal Orang Banjar). Jurnal Riset Inspirasi Manajemen dan Kewirausahaan, 2(2), 120­129. https://doi.org/10.35130/jrimk.v2i2.33

Ahrens, T., & Ferry, L. (2015). Newcastle City Council and the Grassroots: Account­ability and Budgeting under Austerity. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 28(6), 909­933. https://doi.org/10.1108/AAAJ­03­2014­1658

Akanga, F. K. (2017). Microfinance Account­ability in Cameroon: A Cure or a Curse for Poverty Alleviation? Jour-nal of Accounting and Organizational Change, 13(1), 112­130. https://doi.org/10.1108/JAOC­11­2015­0087

Akib, N. (2008). Ammatoa: Komunitas Berba-ju Hitam. Pustaka Refleksi.

Atan, R., Alam, M. M., & Said, J. (2017). Practices of Corporate Integrity and Accountability of Non­Profit Organiza­tions in Malaysia. International Journal of Social Economics, 44(12), 2271­2286. https://doi.org/10.1108/IJSE­09­2016­0260

Bailey, G. (2014). Accountability and the Rise of “Play Safe” Pedagogical Practices. Education + Training, 56(7), 663­674. https://doi.org/10.1108/ET­07­2014­0081

Bebbington, J., Russell, S., & Thomson, I. (2017). Accounting and Sustainable Development: Reflections and Pro­positions. Critical Perspectives on Accounting, 48, 21­34. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2017.06.002

Cuckston, T. (2017). Ecology­Centred Account­ing for Biodiversity in the Production of a Blanket Bog. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 30(7), 1537­1567. https://doi.org/10.1108/AAAJ­12­2015­2330

Darmada, D. K., Atmadja, A. T., & Sinarwati, N.K. (2016). Kearifan Lokal Pade Gela­hang dalam Mewujudkan Integrasi Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Organisasi Subak. Jurnal Akuntansi

Page 16: REFLEKSI RUMAH ADAT AMMATOA DALAM …

74 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 59-76

Multiparadigma, 7(1), 51–60. https://doi.org/10.18202/jamal.2016.04.7004

Disnawati, D. (2013). Penerapan Prinsip HidupKamase­Masea Masyarakat Adat Am­matoa Kajang, Bulukumba Sulawe­si Selatan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam. Sabda: Jurnal Kajian Ke-budayaan, 8(1), 83­90. https://doi.org/10.14710/sabda.8.1.83­90

Djamuri, A. (2011). Ilmu Pengetahuan Sosial dan Berbagai Paradigma dalam Kaji­an Akuntansi. Jurnal Akuntansi Multi-paradigma, 2(1), 147–185. https://doi.org/10.18202/jamal.2011.04.7115

Efferin, S. (2015). Akuntansi, Spritualitasdan Kearifan Lokal: Beberapa Agenda Penelitian Kritis. Jurnal Akuntansi Mul-tiparadigma, 6(3), 466–480. https://doi.org/10.18202/jamal.2015.12.6037

Fauré, B., Cooren, F., & Matte, F. (2019). To Speak or Not to Speak the Language of Numbers: Accounting as Ventriloquism. Accounting, Auditing and Accountability Journal, 32(1), 337­361. https://doi.org/10.1108/AAAJ­07­2017­3013

Gibassier, D., Rodrigue, M., & Arjaliès, D. (2018). “Integrated Reporting is like God: No One has Met Him, but Every­body Talks about Him”: The Power of Myths in the Adoption of Management Innovations. Accounting, Auditing and Accountability Journal, 31(5), 1349­1380. https://doi.org/10.1108/AAAJ­07­2016­2631

Gibbon, J. (2012). Understandings of Acount­ability: An Autoethnographic Account Using Metaphor. Critical Perspectives on Accounting, 23(3), 201­212. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2011.12.005

Hafid, A. (2013). Sistem Kepercayaan pada Komunitas Adat Kajang Desa Tanah Towa Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba. Patanjala: Jurnal Peneli-tian Sejarah dan Budaya, 5(1), 1­19. https://doi.org/10.30959/patanjala.v5i1.150

Harjito, Y., Wibowo, A. C., & Suhardjanto, D. (2016). Telaah Kearifan Lokal ter­hadap Akuntabilitas Lumbung Desa. Jurnal Ekonomi dan Bisnis, 18(1), 69­90. https://doi.org/10.24914/jeb.v19i1.481

Hidayah, N. N., Lowe, A., & Woods, M. (2019). Accounting and Pseudo Spirituality in Islamic Financial Institutions. Cri-tical Perspectives on Accounting, 61,

22­37. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2018.09.002

Hijjang, P. (2014). Pasang dan KepemimpinanAmmatoa: Memahami Kembali Sistem Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Kajang Sulawesi Selatan. Antropologi Indonesia, 29(3), 255­268. https://doi.org/10.7454/ai.v29i3.3545

Istiawati, N. F. (2016). Pendidikan KarakterBerbasis Nilai­Nilai Kearifan Lokal Adat Ammatoa dalam Menumbuhkan Karak­ter Konservasi. Cendekia: Jurnal Pendi-dikan dan Pembelajaran, 10(1), 1­18. https://doi.org/10.30957/cendekia.v10i1.78

Jayasinghe, K., & Wickramasinghe, D. (2011).Power Over Empowerment: Encoun­tering Development Accounting in a Sri Lankan Fishing Village. Criti-cal Perspectives on Accounting, 22(4), 396­414. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2010.12.008

Joannides, V. (2012). Accounterability and the Problematics of Accountability. Cri-tical Perspectives on Accounting, 23(3), 244­257. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2011.12.008

King, T. A. (2017). Learning from Ecology:Financial Reporting as a ‘Commons’. Research in Accounting Regulation, 9(1), 75­78. https://doi.org/10.1016/j.ra­creg.2017.04.008

Klenk, T. (2015). Accountability in Practice:Organizational Responses to Public Ac­countability Claims. International Jour-nal of Public Administration, 38, 13­14, 983­996. https://doi.org/10.1080/01900692.2015.1069841

Kusdewanti, A. I., Setiawan, A. R., Kamayanti, A., & Mulawarman, A. D. (2014). Akun­tansi Bantengan: Perlawanan Akun­tansi Indonesia melalui Metafora Ban­tengan dan Topeng Malang. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 5(1), 149­169. https://doi.org/10.18202/ja­mal.2014.04.5013

Mahayani, N. (2017). Prosocial Behavior dan Persepsi Akuntabilitas Pengelolaan Dana Desa dalam Konteks Budaya Tri Hita Karana. Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Bisnis, 12(2), 129­144. https://doi.org/10.24843/JIAB.2017.v12.i02.p07

Martinez, D. E., & Cooper, D. J. (2017). As­sembling International Development: Accountability and the Disarticulation

Page 17: REFLEKSI RUMAH ADAT AMMATOA DALAM …

Sharon, Paranoan, Refleksi Rumah Adat Ammatoa dalam Akuntabilitas Organisasi... 75

of a Social Movement. Accounting, Orga-nizations and Society, 63, 6­20. https://doi.org/10.1016/j.aos.2017.02.002

Mawaddahni, S. (2017). Filosofi Hidup sebagaiWujud Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi. Local Wisdom: Jurnal Ilmiah Kajian Kearif-an Lokal, 9(2), 90­102. https://doi.org/10.26905/lw.v9i2.1976

Mikes, A., & Morhart, F. (2017). Bringing Back Charlie Chaplin: Accounting as Catalyst in the Creation of an Au­thentic Product of Popular Culture. Management Accounting Research, 35, 66­82. https://doi.org/10.1016/j.mar.2016.02.004

Mulawarman, A. D., & Kamayanti, A. (2018). Towards Islamic Accounting Anthro­pology: How Secular Anthropology Re­shaped Accounting in Indonesia. Jour-nal of Islamic Accounting and Business Research, 9(4), 629­647. https://doi.org/10.1108/JIABR­02­2015­0004

Paranoan, S. (2015). Akuntabilitas dalam Upacara Adat Pemakaman. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 6(2), 214–223. https://doi.org/10.18202/ja­mal.2015.08.6017

Rahayu, S., & Yudi. (2015). Uang Nai’: Antara Cinta dan Gengsi. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 6(2), 224–236. https://doi.org/10.18202/jamal.2015.08.6018

Rahmayani, E., Nadjib, M., & Kahar. (2017). Pola Perilaku Komunikasi Masyarakat di Kawasan Adat Ammatoa Kajang. Kareba: Jurnal Ilmu Komunikasi, 6(2), 361­370. https://doi.org/10.31947/kjik.v6i2.5339

Randa, F., & Daromes, F. (2014). TransformasiNilai Budaya Lokal dalam Membangun Akuntabilitas Organisasi Sektor Publik. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 5(3), 477–484. https://doi.org/10.18202/jamal.2014.12.5035

Risfaisal. (2017). Struktur dan Fungsi Upa­cara A’dangang di Kawasan Adat Ka­jang Kabupaten Bulukumba. Equilib-rium: Jurnal Pendidikan, 5(1), 39­43. https://doi.org/10.26618/equilibrium.v5i1.974

Salampessy, Z., Triyuwono, I., Irianto, G., &Hariadi, B. (2018). Pancasila Paradigm: Methodology of Wawasan Nusantara for Accounting of Pancasila. Australa-sian Accounting, Business and Finance

Journal, 12(1), 102­115. https://doi.org/10.14453/aabfj.v12i1.7

Sampean. (2017). Survival Etnik: Kuasa Kosmologi dan Posisi Etnik Kajang Ammatoa dalam Pembangunan. Jour-nal of Islamic World and Politics, 1(1), 140­156. https://doi.org/10.18196/jiwp.1108

Silva, J. B. D., Llewellyn, N., & Anderson­Gough, F. (2017). Oral­Aural Account­ing and the Management of the Jesu­it Corpus. Accounting, Organizations and Society, 59, 44­57. https://doi.org/10.1016/j.aos.2017.04.003

Sirajudin. (2013). Interpretasi Pancasila dan Islam untuk Etika Profesi Akun­tan Indonesia. Jurnal Akuntansi Multi-paradigma, 4(3), 456–466. https://doi.org/10.18202/jamal.2013.12.7209

Sisaye, S. (2011). Ecological Systems Ap­proaches to Sustainability and Or­ganizational Development: Emerging Trends in Environmental and Social Accounting Reporting Systems. Lead-ership & Organization Development Journal, 32(4), 379­398. https://doi.org/10.1108/01437731111134652

Sitorus, J. H. E. (2015). Membawa Pancasiladalam Suatu Definisi Akuntansi. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 6(2), 254–271. https://doi.org/10.18202/376

Sitorus, J. H E. (2019). The Romance of ModernAccounting Education: An Impact from Positivism and Materialism. Glo-bal Business and Economics Review, 21(1), 78­95. https://doi.org/10.1504/GBER.2019.096858

Smith, J. A., & England, C. (2019). An Eth­nographic Study of Culture and Per­formance in the UK Lingerie Industry. The British Accounting Review, 51(3), 241­258. https://doi.org/10.1016/j.bar.2019.02.002

Tumirin, & Abdurahim, A. (2015). MaknaBiaya dalam Upacara Rambu Solo. Jur-nal Akuntansi Multiparadigma, 6(2), 175­184. https://doi.org/10.18202/jamal.2015.08.6014

Walker, S. P. (2014). Accounting and RuralRehabilitation in New Deal Ameri­ca. Accounting, Organizations and So-ciety, 39(3), 208­235. https://doi.org/10.1016/j.aos.2014.01.007

Wimalasinghe, R., & Gooneratne, T. N. (2019). Control Practices in a Traditional In­

Page 18: REFLEKSI RUMAH ADAT AMMATOA DALAM …

76 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 59-76

dustry in Sri Lanka: An Institutional Logics Perspective. Qualitative Research in Accounting and Management, 16(1), 93­116. https://doi.org/10.1108/QRAM­07­2017­0071

Yasmin, S., Ghafran, C., & Haniffa, R. (2018). Exploring De­Facto Accountability Re­gimes in Muslim NGOs. Accounting Forum, 42(3), 235­247. https://doi.org/10.1016/j.accfor.2018.07.002