RINGKASAN DISERTASI

download RINGKASAN DISERTASI

of 64

Transcript of RINGKASAN DISERTASI

BAB I

12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan pertanian seyogyanya dilakukan dengan mengacu pada dukungan potensi sumberdaya alam yang ada di suatu lokasi tertentu, prasarana dan hubungan ekonomi antar wilayah yang saling menunjang. Dengan kata lain, sistem pewilayahan pembangunan pertanian dilakukan melalui pendekatan zona agroekosistem. Pengembangan wilayah produksi dilakukan berdasarkan azas keuntungan, oleh karena itu suatu wilayah diharapkan dapat memanfaatkan potensi yang dimiliki secara lebih efisien.

Pembangunan subsektor perkebunan sebagai bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional. Maka tujuan pembangunan subsektor perkebunan harus sejalan dengan tujuan pembangunan ekonomi nasional. Arah pembangunan perkebunan yang di tujukan untuk meningkatkan nilai ekspor sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang diinginkan. Tujuan dari upaya ini adalah dapat menyediakan berbagai alternatif yang sahih bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang berdomisili di wilayah tertentu. Penentuan prioritas pembangunan akan mengarah kepada kebijakan pembangunan dengan tepat dan terarah, sehingga kemubaziran dan kegagalan pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan pelaku utama pembangunan dapat dihindarkanPengertian pembangunan wilayah menurut Sandy (1982) adalah pelaksanaan pembangunan nasional di suatu wilayah yang disesuaikan dengan kemampuan fisik dan sosial dari wilayah tersebut, serta tetap menghormati peraturan per-undang-undangan yang berlaku.Pembangunan wilayah dilakukan untuk mencapai tujuan yang mencakup aspek-aspek pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan yang berdimensi lokasi dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah (Anwar, 2005). Dalam upaya mendorong perkembangan wilayah usaha pengembangan dilakukan melalui pendekatan komprehensif mencakup aspek fisik, ekonomi dan sosial.

Menurut Yasin (2005), Paradigma pembangunan wilayah saat ini adalah prinsip-prinsip pembangunan yang menekankan aspek-aspek sebagai berikut: 1) Mengedepankan peran serta (partisipasi) masyarakat dan menprioritaskan untuk menjawab kebutuhan masyarakat, pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator pembangunan daripada sebagai inisiator dan pelaksana

2) Menekankan aspek proses dibandingkan pendekatan-pendekatan yang menghasilkan produk-produk perencanaan berupa master plan dan sejenisnya.

Mengkaji potensi sumberdaya alam sangat berperan dalam usaha pembangunan wilayah. Informasi tentang potensi sumberdaya alam merupakan landasan penting dalam penataan ruang. Sektor pertanian merupakan sektor yang selama ini secara konsisten memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan nasional. Sektor ini dianggap mampu bertahan menghadapi krisis moneter. Atas dasar fakta tersebut, seyogyanya pembangunan pertanian ditempatkan sebagai prioritas utama dalam pembangunan perekonomian nasional, dan harus menjadi unsur yang ikut mendorong pembangunan wilayah. Langkah-langkah dalam kegiatan-kegiatan pembangunan pertanian harus dapat memberikan dampak positif yang mampu mendorong pembangunan sektor lain dalam wilayah tersebut (multiplier effect). Ini berarti bahwa sektor pertanian harus terus menerus berusaha meningkatkan peranannya untuk mewujudkan pembangunan para petani. Untuk dapat terujud maka, implementasi berbagai kebijakan seyogyanya diarahkan agar tidak berjalan sendiri-sendiri, tetapi terintegrasi dalam sebuah wawasan perencanaan dan pelaksanaan.

Keterpaduan tersebut berdasarkan pada pendekatan dasar pembangunan pertanian, yang pernah dicanangkan pada masa lalu, yaitu pembangunan pertanian yang mencakup kebijaksanaan (1) usahatani terpadu; (2) komoditas terpadu; (3) komoditas wilayah terpadu, yaitu kegiatan pembangunan wilayah pertanian sebagai bagian dari wilayah seutuhnya, dengan memperhatikan potensi wilayah secara seimbang, baik ditinjau dari kepentingan sektoral maupun nasional (Yasin, 2005).

Pengembangan wilayah pada dasarnya mempunyai tujuan agar wilayah itu berkembang menuju tingkat perkembangan yang diinginkan. Pengembangan wilayah dilaksanakan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya yang dimilikinya secara harmonis, serasi dan terpadu melalui pendekatan yang bersifat komprehensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan hidup untuk pembangunan yang berkelanjutan (Francis, 2001).Selanjutnya (Ruchyat, 2003) mengemukakan pengembangan wilayah adalah harmonisasi perkembangan wilayah. Salah satu alat untuk pengembangan wilayah adalah penataan ruang yaitu pengaturan ruang secara terpadu melalui proses pemanfaatan sumber daya alam secara sinergi dengan pengembangan sumber daya manusia dan lingkungan hidup untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Agar penataan ruang dilakukan dengan efektif, diperlukan perencanaan yang baik berdasarkan pertimbangan dan kajian atas aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial secara terpadu.

Sejalan dengan hal tersebut Uton dan Syarwani (2006) mengemukakan bahwa pengembangan wilayah kegiatan ekonomi dilakukan berdasarkan asas keuntungan komparatif dan alokasi sumberdaya secara optimal. Agar keuntungan komparatif dapat dieksploitasi secara maksimal, karakteristik wilayah yang khas baik dari aspek geografis, demografis maupun agroekologis harus menjadi dasar pertimbangan dalam perencanaan pengembangan wilayah. Hal ini pada akhirnya akan mendorong konsentrasi pengembangan komoditas tertentu dalam satu wilayah pengembangan sesuai dengan agroekosistem. Untuk itu pedekatan Location Quotient (LQ) shift dan Location Quotient (LQ) share akan menentukan kegiatan prioritas pada masing-masing wilayah terkonsentrasi.

Dalam pengembangan wilayah, perlu terlebih dahulu dilakukan perencanaan penggunaan lahan yang strategis yang dapat memberikan keuntungan ekonomi wilayah. Perencanaan penggunaan lahan yang strategis bagi pembangunan merupakan salah satu kegiatan dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lahan (Sitorus, 2004). Hal ini penting untuk mengetahui potensi pengembangan wilayah, daya dukung dan manfaat ruang wilayah melalui proses inventarisasi dan penilaian keadaan atau kondisi lahan, potensi, dan pembatas-pembatas suatu daerah tertentu. Perencanaan wilayah diartikan sebagai bentuk pengkajian yang sistematis dari aspek fisik, ekonomi, dan sosial untuk mendukung dan mengarahkan pemanfaatan agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat (publik) secara berkelanjutan. Perencanaan dapat dipandang sebagai tahap awal dari rangkaian suatu kegiatan pembangunan yang akan menentukan keberhasilan pembangunan tersebut. Ada tiga hal yang termasuk dalam tingkat perencanaan, yaitu : i) situasi saat ini harus terlebih dahulu dianalisa, 2) tujuan harus ditentukan terlebih dahulu, 3) metode kerja yang terbaik dalam situasi saat ini untuk sebuah tujuan harus terlebih dahulu diseleksi dari beberapa ketersediaan alternatif yang ada (Anonim, 1979). Kesalahan dalam perencanaan pembangunan, tidak hanya berakibat pada ketidak berhasilan dicapainya tujuan pembangunan, melainkan juga berakibat pada pemborosan penggunaan sumberdaya yang semakin langka dan waktu yang semakin terbatas.

Dalam perenacaan dan pembangunan suatu wilayah, konsep wilayah harus dipahami terlebih dahulu. Ciri dan kandungan area geografis yang digunakan untuk mendefinisikan suatu wilayah haruslah mencerminkan tujuan analisis atau tujuan penyusunan kebijaksanaan pembangunan wilayah. Misalkan wilayah atau gabungan komoditas pertanian yang memenuhi ciri penggunaan lahan yang memberikan pendapatan optimum bagi individu petani, masyarakat dan wilayah yang bersangkutan tanpa harus mengorbankan sistem sumberdaya alam dan lingkungan yang merupakan faktor penentu dan pendukung sistem pertanian wilayah (Saptati, 2004).

Peta pewilayahan pengembangan komoditas diperlukan untuk menentukan tanaman apa yang cocok ditanam di suatu wilayah yang didasarkan pada keuntungan komparatif, khususnya untuk komoditas perkebunan. Menurut Wardoyo (1989), pengembangan wilayah agroekonomi bertumpu pada pengembangan produksi tanaman pertanian secara terpadu dan serasi dengan skala ekonomi dan keterkaitannya dengan industrialisasi. Sistem pewilayahan pembangunan melalui pendekatan zona agroekosistem dilaksanakan dengan memperhatikan potensi sumberdaya, prasarana, dan hubungan antar wilayah yang saling menguntungkan.

Dalam perencanaan pembangunan pertanian ada dua hal yang sangat perlu diperhatikan yaitu (Wharton, 1966)

1) Pembangunan pertanian merupakan suatu permasalahan yang saling kait-mengkait.

2) Produksi pertanian mempunyai kekhususan yang berbeda dengan bentuk produksi yang lain.

Sejalan dengan pendapat di atas subsektor perkebunan juga mengadopsi keterkaitan antara potensi sumberdaya alam, aspek sosial budaya masyarakat, dan infrastruktur wilayah. Produksi perkebunan juga memiliki kekhususan produk berdasarkan sifat, nilai dan kebutuhan penanganan produk. Oleh karena itu produk pertanian dapat diklasifikasikan atas tiga karakter tersebut..

Produksi perkebunan di Indonesia pada tahun 1998 sekitar 10.772.662 t yang tersebar di beberapa daerah sentra produksi. Nilai ekspor terbesar dicapai pada tahun 1996 yaitu 339.567 t dengan nilai US$ 201,3 juta. Sementara itu pada tahun 1998 nilai ekspor untuk komoditas buah US$ 120,4 juta. Neraca ekspor-impor memperlihatkan terjadinya surplus. Kondisi ini menunjukan bahwa komoditas perkebunan, khususnya buah-buahan di dalam negeri telah mulai berbenah diri dengan meningkatkan kualitasnya (Deptan, 2005)

Dari total nilai produksi sampai dengan tahun 2003 kontribusi subsektor perkebunan terhadap PDB tanpa migas rata-rata 2,6 persen per tahun. Akan tetapi tiga tahun kemudian sampai dengan tahun 2007, kontribusi rata-rata meningkat 2,8 persen per tahun (Deptan, 2009).

Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu propinsi penyumbang devisa dari subsektor perkebunan. Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terletak di ujung barat laut Indonesia mempunyai kondisi iklim dan topografi yang sesuai untuk pengembangan subsektor perkebunan (Aceh dalam Angka, 2006). Beberapa komoditas perkebunan yang cukup dominan, antara lain kelapa sawit, karet, kelapa, cengkeh, kopi dan lain-lain. Di sisi lain, propinsi ini memiliki potensi hasil-hasil hutan seperti kayu, rotan dan lainnya, yang masih merupakan penyumbang pendapatan daerah dan menjadi primadona ekspor nonmigas yang menyumbang devisa terbesar hingga saat ini. Peranan sektor pertanian terhadap PDRB Propinsi NAD sekitar 22,83 %, sekaligus menjadikan sektor ini untuk pertama kalinya dalam periode tahun 2000-2005 sebagai sektor penyumbang terbesar dalam pembentukan PDRB Propinsi NAD dibandingkan dengan lima sektor yang masing-masing hanya menyumbangkan kurang dari 15 % (BPS NAD, 2006), Kontribusi sektor pertanian pada PDRB Provinsi NAD pada tahun 2 007 menurun menjadi 16,2 persen dan dari empat subsektor pertanian, subsektor perkebunan memberikan kontribusi terbesar (6.00 %). Ini artinya subsektor perkebunan berperan penting dalam pembangunan ekonomi di daerah ini. Peran sektor perkebunan selain sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baik secara lokal maupun regional, juga menjadi subsektor penyedia lapangan kerja dan kesempatan berusaha, serta sebagai penghasil devisa bagi negara. Hasil sensus pertanian terbatas pada tahun 2008, jumlah KK pekebun di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam mencapai 34 persen dari 200.000 KK yang disensus di 18 Kabupaten. Adapun gambaran luas areal dan produksi komoditas perkebunan rakyat tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan hasil potensi wilayah sebagaimana tersaji pada Lampiran 1, menunjukkan bahwa potensi luas areal dan produksi komoditas perkebunan rakyat provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sangat potensial untuk pengembangan komoditas subsektor perkebunan, terutama (yang cukup dominan), yaitu : kelapa sawit, karet, kelapa, cengkeh, dan kopi.Terkait dengan hal tersebut, maka tanaman perkebunan masih menjadi subsektor andalan di daerah ini dari tahun ke tahun. Namun, permasalahannya sekarang penanaman komoditas perkebunan unggulan yang menjadi komuditas andalan bagi mata pencaharian masyarakat tersebut ditetapkan tanpa melihat potensi wilayah yang didasari oleh agroekosistem, sehingga tidak memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Oleh karena itu, kondisi subsektor perkebunan tetap berada pada keadaan yang kurang menguntungkan dengan produktivitas dan nilai tambah yang rendah. Bila subsektor perkebunan sebagai leading sector, maka program-program perencanaan perkebunan ke depan hendaknya memiliki tujuan dan arah yang lebih jelas untuk mendorong perkembangan kemajuan daerah. Perkebunan rakyat yang dominan di daerah ini adalah usahatani perkebunan yang diusahakan oleh masyarakat setempat dengan persyaratan Dirjen Perkebunan dan Kehutanan RI. Perkebunan rakyat yakni usaha tanaman perkebunan yang dimiliki dan atau diselenggarakan atau dikelola oleh perorangan/tidak berbadan hukum, dengan luasan maksimal 25 hektar atau pengelola tanaman perkebunan yang mempunyai jumlah pohon yang dipelihara lebih dari batas minimum usaha (BMU). Berdasarkan besar kecilnya, usaha perkebunan rakyat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu pengelola tanaman perkebunan dan pemelihara tanaman perkebunan. (Pusat Data dan Informasi Pertanian, 2008).Uton (1995) dan Prakosa (1999) mensyaratkan program-program pembangunan leading sector tersebut diharapkan mampu memberikan peranan yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengeksplorasi wilayahnya untuk pengembangan komoditas andalan sesuai dengan kondisi dan situasi serta kemampuan masyarakat setempat. Oleh karena itu aspek sosial budaya masyarakat tani setempat dijadikan dasar pertimbangan pemilihan strategi dan penentuan komoditas andalan. Pada dasarnya komoditas andalan adalah komoditas yang sesuai dengan agroekologi setempat serta mempunyai daya saing, baik di pasar daerah itu sendiri, di daerah lain, maupun di pasar internasional. Adapun syarat suatu komoditas andalan adalah komoditas yang menjadi sumber matapencaharian masyarakat di wilayah tersebut.

Menurut Hanafiah, (1999) dan Romano, (1996), bahwa menetapkan komoditas andalan setidaknya terdiri dari dua kelompok yaitu: (a) Komoditas andalan basis ekonomi. Komoditas unggulan dikembangkan dalam kerangka pengembangan ekonomi dan berorientasi pasar baik lokal, regional, nasional, maupun internasional. Konsep efisiensi teknis dan efisiensi ekonomis, keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif menentukan pertumbuhan komoditas basis ekonomi melalui kemampuannya bersaing di pasar nasional dan internasional; dan (b) Komoditas andalan non basis ekonomi. Komoditas unggulan dikembangkan dalam kerangka pengembangan stabilitas sosial, ekonomi dan politis yang lebih berorientasi bagi upaya peningkatan kesejahteraan dan pasar negeri sendiri. Komoditas kelompok kedua ini selayaknya dikenal sebagai komoditas strategis.

Saaty (2000), memberikan formula prioritas penentuan komoditas andalan di suatu wilayah dengan mempertimbangkan faktor fisik geografis, iklim, sosial budaya dan infrastruktur ekonomi. Formula lain yang dijadikan rujukan adalah persepsional stakeholder dari komoditas andalan di suatu wilayah sentra produksi.

Sejalan dengan uraian di atas, maka penilaian komoditas andalan di suatu wilayah dapat didasarkan pada penilaian persepsi stakeholder perkebunan yang terdiri dari : petani pelaku usaha, aparat pemerintah (Kepala Dinas, staf, PPL) dan Bupati/Camat sebagai koordinator wilayah.

Merujuk dari beberapa pendapat tersebut, Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu daerah yang memberikan sumbangan dari sektor pertanian terhadap PDRB Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Adapun data PDRB Kabupaten Aceh Besar tersaji pada Lampiran 2, menunjukkan bahwa subsektor perkebunan baru berperan sangat kecil, kontribusi sektor ini hanya 2,10 persen terhadap PDRB Kabupaten Aceh Besar. Artinya bahwa sektor perkebunan perlu lebih diberdayakan untuk menunjang perekonomian, karena laju pertumbuhan suatu subsektor pertanian juga mempunyai keterkaitan baik ke depan maupun ke belakang dengan subsektor lainnya. Kecilnya peran subsektor perkebunan di wilayah ini boleh jadi menunjukkan bahwa pengelolaan subsektor perkebunan, dalam hal ini penetapan komoditas yang dikembangkan belum mengacu pada potensi dan karakteristik yang khas dari wilayah tersebut. Hasil analisis Sistem Informasi Geografis (Ema Alemina, 2009), menunjukkan bahwa potensi perkebunan di Kabupaten Aceh Besar menyebar di empat zona dan di 21 poligon. Sebagian besar dari wilayah ini sesuai untuk 12 komoditas perkebunan yang didominasi oleh kelapa, cengkeh, kemiri, pinang, dan kopi robusta. Akan tetapi potensi ini masih sebagian kecil (12 %) potensi tersebut yang telah dikembangkan untuk perkebunan rakyat.

Hal tersebut dapat dipahami bahwa peran subsektor perkebunan di wilayah ini masih dapat ditingkatkan lagi sehingga perlu di dorong untuk dikembangkan dan terus digali pemanfaatannya, terutama komoditas perkebunan rakyat. Luas areal dan produksi komoditas perkebunan rakyat di Kabupaten Aceh Besar saat ini masih sangat kecil bila dibandingkan dengan potensi yang tersaji pada Lampiran 3 Komoditas perkebunan di Kabupaten Aceh Besar yang paling menonjol produksinya adalah komoditas kelapa dalam, kemiri dan kopi, sedangkan komoditas yang lain relatif sedikit. Pada Lampiran 3 juga terlihat bahwa Kabupaten Aceh Besar berdasarkan potensi agroklimat, agroekologi sangat potensial untuk dikembangkan ketiga komoditas perkebunan tersebut sebagai komoditas yang produksinya relatif tinggi.

Hasil catatan dan laporan perkembangan produksi tanaman perkebunan di Kabupaten Aceh Besar lima tahun terakhir (tahun 2004 sampai dengan tahum 2008), tercatat bahwa terjadi fluktuasi produksi dan produktivitas komodtias andalan. Walaupun demikian secara umum masih menunjukkan kecenderungan atau arah pertumbuhan yang positif. Kopi mengalami pertumbuhan rata-rata 0,7 persen per tahun; kelapa 0,8 persen per tahun dan; kemiri 1,5 persen per tahun, hal ini menunjukkan pula kecenderungan meningkatnya produksi dan produktivitas tanaman perkebunan di Kabupaten Aceh Besar. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengembangan komoditas andalan di Kabupaten Aceh Besar selama ini belum sepenuhnya berjalan dengan baik jika dikaitkan dengan potensi wilayah yang ada, sehingga hasil yang diharapkan belum optimal. Hal tersebut tentunya dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, khususnya kesesuaian lahan di masing-masing wilayah kecamatan dan penetapan prioritas komoditas andalan yang tepat untuk meningkatkan penghasilan masyarakat pekebun di Kabupaten Aceh Besar.

Pemberlakuan otonomi daerah sebagai suatu motivator bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Besar seharusnya dapat memberikan dorongan untuk lebih mengembangkan potensi daerahnya menjadi lebih baik. Dengan demikian diharapkan Kabupaten Aceh Besar perlu melakukan identifikasi potensi wilayah sekaligus mengkaji kesesuaian pengembangannya dan menetapkan komoditas andalan di daerah tersebut. Namun demikian dengan indikasi kecenderungan pertumbuhan luas tanam dan produksi maka pengembangan komoditas andalan sampai saat ini belum sesuai dengan potensi yang ada.

Bertitik tolak dari fenomena di atas, maka perlu dilakukan suatu penelitian dalam rangka pengembangan komoditas andalan perkebunan, sehingga dapat diketahui wilayah mana saja yang mempunyai komoditas andalan subsektor perkebunan rakyat yang dapat dikembangkan dengan tepat agar dapat secara intensif diusahakan oleh masyarakat setempat sesuai potensi yang ada.

1.2. Identifikasi dan Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, perencanaan dan pengendalian secara terarah serta sistematis sesuai dengan potensi wilayah yang ada terhadap komoditas perkebunan mutlak diperlukan sebagai dasar dalam menyusun suatu kebijakan pengembangan komoditas andalan subsektor perkebunan. Dengan demikian rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1) Sejauhmana kesesuain pengembangan komoditas andalan yang sedang berjalan dengan potensi wilayah yang ada disetiap kecamatan?2) Sejauhmana peran pengembangan komoditas andalan perkebunan rakyat mendukung kebijakan distribusi terhadap pemerataan pendapatan bagi masyarakat di Kabupaten Aceh Besar?.

3) Bagaimanakah strategi pengembangan komoditas andalan perkebunan rakyat untuk wilayah kecamatan di Kabupaten Aceh Besar melalui spesialisasi maupun diversifikasi?.

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1. Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dan mengungkapkan tentang potensi wilayah di subsektor perkebunan mana yang berkembang pesat dan komoditas andalan yang potensinya perlu di dorong untuk dikembangkan lebih baik lagi. Lebih lanjut perlu dikaji strategi pengembangan yang tidak menyebabkan ketimpangan pendapatan masyarakat 1.3.2. Tujuan penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui:1) Kesesuaian pengembangan komoditas andalan yang sedang berjalan dengan potensi wilayah yang ada disetiap kecamatan.

2) Peran pegembangan komoditas andalan perkebunan rakyat mendukung kebijakan distribusi terhadap kemerataan pendapatan bagi masyarakat di Kabupaten Aceh Besar.

3) Strategi pengembangan komoditas andalan perkebunan untuk wilayah kecamatan melalui spesialisi atau diversifikasi.

1.4. Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan, baik yang menyangkut dengan kegunaan teoritis maupun kegunaan praktis.Kegunaan teoretis

Diharapkan dapat memberikan pengetahuan baru, terutama tentang model pengembangan wilayah dalam konteks pengembangan komoditas subsektor perkebunan di wilayah dengan karakteristik yang khas seperti Kabupaten Aceh Besar, serta menambah khazanah keilmuan mengenai perencanaan wilayah.

Kegunaan praktis

1) Diharapkan dapat memberikan informasi mengenai potensi wilayah, penyebaran komoditas perkebunan pada setiap wilayah kecamatan di Kabupaten Aceh Besar.

2) Diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat yang akan mengembangkan komoditas perkebunan di Kabupaten Aceh Besar, serta untuk memberi penilaian dan masukan kepada Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dalam menyusun kebijakan atau program pembangunan pertanian khususnya untuk pengembangan komoditas perkebunan.BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS2.1. Kajian Pustaka

Dalam kajian pustaka ini akan dikemukakan tentang penelitian-penelitian terdahulu mengenai potensi wilayah komoditas andalan dengan sudut pandang dan latarbelakang masalah yang berbeda-beda, namun masih mempunyai relevansinya dengan fokus penelitian yang penekanannya pada potensi dari suatu wilayah pada komoditas andalan perkebunan berdasarkan fakta dan realita yang sesungguhnya, tentu saja penelitian terdahulu tersebut memiliki relevansi dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti. 2.1.1. Konsep Pembangunan Wilayah

Dalam upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi, pemerintah Indonesia sejak awal tahun 1970an telah mengintroduksikan konsep pembangunan wilayah melalui strategi pewilayahan pembangunan dan pusatpusat pertumbuhan. Konsep tersebut selain bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah, dan juga sebagai alat redistribusi pendapatan antar golongan masyarakat. Kebijakan ini diharapkan sebagai salah satu alat yang ampuh untuk mencapai tujuan pembangunan nasional, yaitu pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan keseluruh daerah serta menjaga integritas nasional (Bappenas, 1993).

Pembangunan wilayah adalah suatu proses atau tahapan kegiatan pembangunan di suatu wilayah tertentu yang dalam perwujudannya melibatkan interaksi antara sumberdaya manusia dengan sumberdaya lainnya termasuk sumberdaya alam dan lingkungannya melalui kegiatan investasi pembangunan (Hadi, 2001). Anwar (1995) mengatakan bahwa dalam pembangunan wilayah lebih ditekankan kepada memanfaatkan sifat keadaan daerah dan lokal yang bersangkutan, terutama aspek yang menyangkut sumber daya fisik dan sosio kultural yang hidup di masing-masing wilayah. Sementara menurut Rustiadi (2001), pembangunan wilayah harus memandang penting keterpaduan antar sektoral, antar spatial, antar pelaku pembangunan di dalam antar wilayah. Dalam kondisi pembangunan yang bersifat sentralistik, maka tujuan-tujuan pembangunan wilayah menjadi sangat bergantung kepada kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah pusat (Hadi, 2001).

Penentuan prioritas pembangunan yang tepat berarti membuat suatu program pembangunan sesuai dengan potensi-potensi yang ada di daerah serta pertimbangan sistem ekonomi, sosial, dan lingkungan yang ada. Sehubungan hal tersebut di atas, maka adanya usaha optimalisasi pemanfaatan potensi sumberdaya alam, man made capital, dan social capital wilayah, sehingga secara langsung maupun tidak langsung akan dapat mengoptimalkan secara langsung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Gambaran tersebut merupakan kuantitas dan kualitas kesejahteraan masyarakat yang berarti meningkatkan kebutuhan wilayah dan potensi ekonomi daerah. Dari pembangunan wilayah berkembang kepada perencanaan pengembangan wilayah yang merupakan kelanjutan dari pembangunan wilayah. Hal ini dikarenakan perlu adanya kelanjutan di bidang pemerataan yang dilaksanakan ke arah pengembangan wilayah yang berdemensi sosial, ekonomi, dan lingkungan, serta memperhatikan unsur-unsur yang berkelanjutan. Intinya adalah bahwa dalam pelaksanaan harus diperhatikan semua aspek pembangunan daerah, terutama dari aspek ekonomi dan aspek non ekonomi. Dalam perencanaan dan pengembangan suatu wilayah, terlebih dahulu hendaknya dapat memahami apa dan bagaimana maksud dari suatu konsep wilayah. Pada umumnya wilayah diartikan sebagai area geografis yang mempunyai ciri tertentu dan merupakan media bagi segala sesuatu untuk berinteraksi. Pendefinisian suatu wilayah relatif cukup sulit karena terkait dengan banyak aspek yang ada. Wilayah dapat didefiniskan berdasarkan kesatuan geografis, ekonomi, administratif, maupun historis. Menurut Perroux (1970) wilayah adalah merupakan suatu unit geografi yang dibatasi kriteriakriteria tertentu yang bagianbagiannya saling tergantung secara internal. Selanjutnya ia membedakan wilayah atas wilayah homogen (homogeneous Region), wilayah nodal (Nodal atau Polarized Region), wilayah perencanaan dan wilayah administratif (Planning Region) (dalam Glasson, 1990; Hoover dan Giarratani, 2002). Konsep wilayah yang digunakan dalam penelitian ini mengacu kepada wilayah administrasi Kabupaten Aceh Besar yang terdiri dari kecamatan-kecamatan sentra produksi perkebunan. Menurut Hill (1989), Azis (1994), Ohmae (1995), Krugman (1995) dan Kuncoro (2002), peran wilayah dalam mempengaruhi aktivitas ekonomi akan semakin penting, baik dalam era globalisasi maupun desentralisasi (otonomi daerah). Hal ini dapat dijelaskan dengan dukungan infrastruktur terhadap pusat-pusat pertumbuhan kegiatan di kabupaten atau kecamatan sentra produksi. Pada kondisi otonomi, maka setiap daerah diharuskan menyediakan sendiri infrastruktur dasar untuk menggerakkan kegiatan basis.Menurut Budiharsono (2001) wilayah didefinisikan sebagai suatu unit geografis yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya saling tergantung secara internal. Wilayah dapat dibagi menjadi empat jenis yaitu wilayah homogen, wilayah nodal, wilayah administrasi dan wilayah perencanaan. Wilayah homogen adalah wilayah yang dipandang dari satu aspek/kriteria yang mempunyai sifat-sifat atau ciri-ciri yang relatif sama, misalnya homogen dalam hal ekonomi, geografi, agama, suku dan sebagainya. Wilayah homogen dibatasi berdasarkan keseragamannya secara internal (internal uniformity), contoh wilayah homogen adalah pantai utara Jawa Barat yang merupakan wilayah produksi padi. Setiap perubahan yang terjadi di wilayah tersebut (seperti perubahan harga pupuk) akan mempengaruhi seluruh bagian wilayah tersebut dengan proses yang sama.

Wilayah nodal merupakan bentuk spesifik dari wilayah fungsional. Wilayah nodal adalah wilayah yang secara fungsional mempunyai ketergantungan antara pusat (inti) dan daerah belakangnya (hinterland). Tingkat ketergantungan ini dapat dilihat dari arus penduduk, faktor produksi, barang dan jasa ataupun komunikasi dan transportasi. Selanjutnya Budiharsono (2001), mengartikan wilayah nodal sebagai ekonomi ruang yang dikuasai oleh satu atau beberapa pusat kegiatan ekonomi. Batas wilayah nodal ditentukan sejauh mana pengaruh dari suatu pusat kegiatan ekonomi bila digantikan oleh pengaruh dari pusat ekonomi lainnya. Winoto (1999) menyatakan bahwa peubah-peubah yang umumnya membatasi wilayah nodal adalah kepadatan penduduk, jenis dan jumlah sarana pelayanan serta sirkulasi kapital. Wilayah nodal pertukaran barang dan jasa secara intern di dalam wilayah tersebut merupakan suatu hal yang mutlak harus ada. Contoh wilayah nodal adalah DKI Jakarta dan Botabek dimana Jakarta sebagai inti dan Botabek sebagai daerah belakangnya. Biasanya wilayah belakang menjual barang mentah dan tenaga kerja kepada wilayah inti sedangkan wilayah inti menjual barang jadi ke daerah belakang.

Inti atau pusat adalah kota yang dapat diartikan secara ekonomi atau secara subkultur dan politik dan sering dianggap sebagai center of excellent karena mempunyai ciri-ciri dan fungsi-fungsi antara lain sebagai tempat konsentrasi penduduk, pusat pasar, pusat pelayanan, pusat industri dan perdagangan serta pusat informasi, sedangkan daerah hinterland (daerah belakang) mempunyai fungsi antara lain sebagai pemasok bahan-bahan mentah/sumberdaya, supplier tenaga kerja, tempat pemasaran produk-produk yang dihasilkan daerah inti sebagai penyeimbang ekologis. Adanya fungsi-fungsi tersebut menunjukkan adanya suatu hubungan fungsional antara pusat dan hinterland (Winoto, 1999).

Wilayah Administrasi dibatasi berdasarkan kenyataan bahwa wilayah tersebut berada dalam suatu kesatuan administratif politis, seperti negara, provinsi, kabupaten, kecamatan, desa, dan sebagainya (Winoto, 1999). Dalam pembahasan mengenai pembangunan wilayah maka pengertian wilayah administrasi merupakan pengertian yang paling banyak digunakan. Hal ini disebabkan karena (1) dalam melaksanakan kebijaksanaan dan rencana pembangunan wilayah diperlukan tindakan-tindakan dari berbagai badan pemerintah sehingga lebih praktis apabila didasarkan pada satuan wilayah administrasi yang telah ada, dan (2) wilayah ini lebih mudah dianalisis, karena sejak lama pengumpulan data di berbagai bagian wilayah berdasarkan pada satuan wilayah administrasi tersebut. Wilayah Perencanaan merupakan wilayah yang menunjukkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi. Wilayah perencanaan dapat dilihat sebagai wilayah yang cukup besar untuk memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan penting dalam penyebaran penduduk dan kesempatan kerja namun cukup kecil untuk memungkinkan persoalan-persoalan perencanannya dapat dipandang sebagai suatu kesatuan.

Wilayah ini harus mempunyai ciri-ciri: (1) cukup besar untuk mengambil keputusan-keputusan investasi yang berskala ekonomi, (2) mampu mengubah industrinya sendiri dengan tenaga kerja yang ada; (3) mempunyai struktur ekonomi yang homogen; (4) sedikitnya ada satu titik pertumbuhan (growth point); (5) menggunakan suatu cara pendekatan perencanaan pembangunan dan (6) masyarakat wilayah itu mempunyai kesadaran bersama terhadap persoalan-persoalannya.

Membahas masalah wilayah, tentunya tidak terlepas dari pengambilan keputusan mengenai lokasi oleh suatu unit pengambil keputusan yang akan mempengaruhi efisiensi lokasi unit pengambil keputusan lainnya. Budiharsono (2001) menyatakan bahwa faktor-faktor lokasi yang menentukan pemilihan suatu lokasi untuk suatu kegiatan dapat dikelompokkan menjadi :

1) Input Lokal, yaitu semua barang dan jasa yang ada pada suatu lokasi dan sangat sukar atau tidak mungkin dipindahkan ke tempat lain, seperti lahan, iklim, kualitas udara, kualitas air, keadaan lingkungan, pelayanan umum yang ada pada suatu lokasi dan sebagainya. Salah satu sifat dari input lokal adalah ketersediaannya pada suatu lokasi tergantung dari keadaan lokasi itu sendiri dan ketersediaannya tidak dipengaruhi oleh transfer input dari lokasi lain.

2) Permintaan Lokal atau output yang tidak dapat transfer (non-transferable output), yaitu permintaan akan output secara lokal yang tidak dapat ditransfer pada suatu lokasi, seperti permintaan tenaga kerja oleh pabrik lokal, permintaan akan pelayanan lokal seperti mesjid, bioskop, tukang cukur dan sebagainya.

3) Input yang dapat ditransfer, yaitu persediaan input yang dapat ditransfer dari sunber-sumber di luar suatu lokasi, yang sampai batas tertentu merupakan pencerminan biaya transfer atau biaya transportasi dari sumber-sumber input ke lokasi tersebut.

4) Permintaan yang dapat ditransfer atau output dari luar, yaitu permintaan bersih yang diperoleh dari penjualan output yang dapat ditraasnfer ke pasar di luar lokasi, yang merupakan pencerminan dari biaya transfer atau biaya transportasi dari lokasi tersebut ke pasar-pasar.

Teori ekonomi wilayah umumnya merupakan derivasi teori ekonomi dengan memasukkan unsur-unsur ruang terutama interaksi antar kegiatan. Pembahasan teori pertumbuhan wilayah terdiri dari lima teori yaitu teori resource endowment, teori export base dan economic base, teori pertumbuhan wilayah neoklasik, model ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah, dan teori baru tentang pertumbuhan wilayah (Temenggung, 1997).

1) Teori Resource Endowment

Teori ini dikemukakan oleh Perloff dan Wingo, 1961 (dalam Glasson, 1990; Hoover dan Giarratani, 2002) yang menyatakan bahwa pengembangan ekonomi wilayah bergantung pada sumberdaya alam yang dimiliki dan permintaan terhadap komoditas andalan yang dihasilkan dari sumberdaya tersebut. Tingkat teknologi produksi dan distribusi pendapatan, serta struktur produksi merupakan variabel yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi kandungan sumberdaya suatu wilayah yang diikuti oleh tingginya permintaan, akan mendorong wilayah tumbuh lebih cepat.

2) Teori Export Base dan Model Economic Base

Teori eksport base dikemukakan oleh Douglass C. North, 1955 (dalam Glasson, 1990; Hoover dan Giarratani, 2002) yang menyatakan bahwa pertumbuhan wilayah jangka panjang bergantung pada kegiatan industri eksportnya. Kekuatan utama dalam pertumbuhan wilayah adalah permintaan eksternal akan barang dan jasa yang dihasilkan dan diekspor oleh wilayah itu. Permintaan eksternal ini mempengaruhi penggunaan nodal, tenaga kerja, dan teknologi untuk menghasilkan komoditas eksport yang dapat membentuk keterkaitan ke depan (forward linkages) dan ke belakang (backward linkages).

Menurut teori ini sektor ekspor penting sekali peranannya dalam pembangunan daerah karena; a) secara langsung menciptakan kenaikan pendapatan faktor faktor produksi daerah; b) menciptakan permintaan akan produksi lokal. Dengan demikian faktor utama yang menentukan pertumbuhan suatu daerah adalah kemampuan daerah tersebut untuk memanfaatkan keuntungan kompratifnya/ keuntungan lokasi sehingga dapat dijadikan sebagai basis ekspor.

Pengembangan dari teori export base dilakukan oleh Tiebout (1965 dikutip Glasson, 1990) melalui konsep economic base atau basis ekonomi yang juga mendasarkan kepada basis ekspor wilayah. Aktivitas sektor basis adalah aktivitas ekonomi wilayah yang memasarkan atau mengekspor barang dan jasa produk wilayah keluar batas perekonomian wilayah.

Menurut Glasson (1990) aktivitas basis mempunyai peranan penggerak utama (prime mover role) dalam pertumbuhan wilayah yang setiap perubahannya mempunyai efek pengganda terhadap perekonomian wilayah. Bertambah banyaknya aktivitas basis dalam wilayah akan menambah arus pendapatan ke dalam wilayah sehingga meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa hasil sektor basis dan sektor non basis domestik. Pada gilirannya permintaan tersebut akan meningkatkan volume aktivitas nonbasis yang didorong oleh permintaan hasil sektor basis. Dampak dari proses perkembangan ekonomi tersebut akan meningkatkan pendapatan dan kesempatan kerja dalam wilayah. Oleh karena itu, aktivitas, sektor basis itulah yang seharusnya didorong perkembangannya untuk mempercepat laju pertumbuhan wilayah. Teori ini pula yang mendasari pemikiran penetapan komoditas andalan perkebunan sebagai kumpulan kegiatan basis di Kabupaten Aceh Besar. Dengan teoro Glasson ini dapat dikaji penetapan komoditas andalan di kabupaten Aceh Besar secara keseluruhan dan di masing-masing kecamatan yang bersifat lebih spesifik.3) Teori Pertumbuhan Wilayah Neo-Klasik

Teori ini dikembangkan oleh banyak ahli di antaranya (Borts, 1960; Siebert, 1969; dan Richardson, 1973 dalam Temenggung, 1997). Pertumbuhan ekonomi wilayah sangat berhubungan dengan tiga faktor penting yaitu tenaga kerja, ketersediaan nodal, dan kemajuan teknologi. Dalam konteks ini, maka model Cobb Douglass, Kuznet maupun Sundrum termasuk dalam kelompok teori ini (Nazara, 1999). Tingkat dan pertumbuhan faktor-faktor tersebut akan menentukan tingkat pertumbuhan wilayah. Hal yang penting dalam teori ini adalah penekanannya pada perpindahan (transfer) faktor-faktor produksi (nodal dan tenaga kerja) antar wilayah dan antar sektor yang secara otomatis akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antar wilayah dan pada akhirnya terjadi keseimbangan pendapatan antar wilayah. Teori ini juga disebut teori keseimbangan regional.

4) Teori Ketidakseimbangan Pertumbuhan Wilayah

Teori ini juga dikenal dengan Cummulative Causation Model yang dikembangkan oleh Myrdal, 1957; Kaldor, 1970; dan Dixon, 1975 (dalam Temenggung, 1997). Teori ini percaya bahwa kekuatan pasar tidak dapat menghilangkan ketimpangan antar wilayah, tetapi justru mempertajam perbedaan. Dalam istilah Myrdall, kekuatan backwash effect (efek balik negatif) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan efek penyebaran (spread effect), karena transfer modal dan tenaga kerja antar wilayah tidak seimbang. Oleh karena itu teori ini dapat digunakan untuk mengkaji dampak pengembangan komoditas andalan terhadap ketimpangan pendapatan masyarakat. Hal ini diasumsikan bahwa pengembangan komoditas andalan akan terbentuk berdasarkan kluster-kluster wilayah yang memiliki karakteristik potensi wilayah (agroklimat, dan kesesuaian lahan) yang sama atau setidaknya agak mirip. Dengan demikian kajian dampak pengembangan komoditas andalan yang satu dengan komoditas andalan lainnya dapat dilakukan melalui pendekatan Gini Ratio.

Menurut Kaldor, pertumbuhan output wilayah ditentukan oleh adanya peningkatan skala pengembalian terutama kegiatan manufaktur, sehingga wilayah dengan kegiatan utama industri akan memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan wilayah sektor primer (pertanian), sehingga ia akan tumbuh lebih cepat. Dixon mengemukakan tentang efek verdoorn, yaitu kausalitas dua arah antara pertumbuhan output regional dengan pertumbuhan produktivitas. Dengan teori ini pula dapat ditetapkan parameter analisis dalam bentuk luas tanam, luas panen, produksi, produktivitas, nilai produksi dan penghasilan masyarakat untuk mengkaji pertumbuhan output wilayah kecamatan.5) Teori Pertumbuhan Wilayah Baru

Dengan mengambil semangat Neoklasik, para ekonom memperbaharui proses pertumbuhan ekonomi wilayah dengan ciri teori baru (New Classical Economic Theory) dengan ciri utama pada penggunaan teknologi dan kualitas sumberdaya manusia sebagai penentu utama pertumbuhan wilayah. Selain itu, faktor eksternal seperti keterbukaan wilayah (spatial openess) akan memberikan keuntungan skala ekonomi, transfer teknologi, dan eksternalitas positif lainnya dalam proses interaksi dan perdagangan wilayah (Temenggung, 1997).

Pemahaman pendekatan perencanaan pembagunan wilayah dalam Saptati (2004), bahwa dalam menentukan lokasi suatu kegiatan, dapat dilakukan tiga pendekatan teoritik, yaitu: (1) pendekatan biaya terkecil yang dikemukan oleh Alfred Weber; (2) pendekatan daerah pemasaran yang dikemukakan oleh August Losch (selanjutnya dikembangkan oleh Isard) dan (3) pendekatan memaksimumkan keuntungan (Melvin Greenhut). Ketika strategi pembangunan mulai dipikirkan, berbagai benturan pandangan terjadi khususnya mengenai pemberian prioritas pada salah satu sektor perekonomian. Benturan tersebut sebenarnya mempersoalkan sektor mana yang harus didorong sehingga mampu memberikan landasan yang kuat bagi sistem perekonomian. Pandangan yang condong kepada industrialisasi sebagai kunci sebagai yang dikemukakan oleh Deli (2001), memberikan retorika nasional bahwa sektor indusrti dianggap penting untuk dikembangkan karena peranan modal di sektor pertanian dinilai kurang menguntungkan, dengan perkataan lain marginal rate of return dari sektor pertanian diperkirakan rendah, lagipula karena tekanan perkembangan penduduk yang terus-menerus, maka bidang ini akan terkena hukum kenaikan hasil yang semakin berkurang (the law of diminishing return). Hal ini menimbulkan koreksi dari yang berpandangan sektor industri yang perlu didahulukan, karena keberhasilan sektor industri sangat ditentukan oleh daya dukung sektor lain yang mampu memberikan input (bahan baku) bagi sektor industri itu sendiri.Dengan melihat sejarah Jepang, dimana proses tranformasi dapat berlangsung karena adanya prakondisi, yakni produktivitas sektor pertanian yang sudah tinggi. Produktivitas faktor pertanian yang sudah tinggi inilah merupakan titik tolak yang memungkinkan Jepang memasuki masa industrialisasi, sehingga proses transformasi untuk melahirkan struktur perekonomian yang mapan. Tanpa mengabaikan pandangan industrialisasi dan dengan melihat pengalaman sejarah Jepang, maka pembangunan pertanian mungkin justru perlu didahulukan, karena menurut beberapa ahli ekonomi, keberhasilan industrialisasi malahan tergantung dan suatu pembangunan pertanian yang menciptakan landasan bagi pertumbuhan ekonomi. Ada beberapa alasan mengapa daya dukung sektor pertanian sangat dibutuhkan dalam proses tranformasi :1) Barang-barang hasil industri memerlukan dukungan daya beli masyarakat, karena sebagian besar calon pembelinya adalah masyarakat petani yang merupakan mayoritas penduduk negara berkembang, maka tingkat pendapatan mereka perlu ditingkatkan melalui pembangunan pertanian.

2) Dengan tersedianya bahan makanan yang murah, sehingga upah dan kesenjangan yang diterima para buruh dan pegawai bisa tercapai apabila produksi pertanian dapat ditingkatkan sehinga harga bisa terjangkau.

3) Industri juga membutuhkan bahan mentah yang berasal dari sektor pertanian dan karena itu produksi bahan-bahan pertanian memberikan basis bagi pertumbuhan itu sendiri.

Jika di kaji lebih mendalam lagi, maka sebenarnya dukungan faktor pertanian terhadap sektor lainnya lebih luas lagi dari yang telah diungkapkan, baik dari dukungan secara langsung dan tidak langsung, misalnya sektor perdagangan, transpotasi dan lain-lain. Begitu juga jika dilihat dari segi dukungan (keterkaitan) ke depan (forward linkages) yang mendorong timbulnya industri hilir, seperti industri pengolahan yang bahan bakunya dari sektor pertanian dan keterkaitan ke belakang (backward linkages) yang merangsang tumbuhnya industri-industri hulu seperti industri pupuk, obat-obatan, peralatan pertanian, dan lain-lain. Kabupaten Aceh Besar dengan ciri potensi wilayah yang spesifik lebih cenderung sebagai sentra pengembangan perkebunan rakyat, maka pilihan kegiatan basis adalah industri hulu dalam bentuk pengembangan komoditas andalan perkebunan rakyat.

Adapun kaitannya dengan bunyi teori- teori di atas sebagai landasan atau acuan yang menjadikan titik tolak untuk mengulas masalah yang terjadi di lapangan sesuai dengan fakta dan realita yang ditemukan. Di Kabupaten Aceh Besar memiliki sumberdaya alam yang sangat potensial dilihat dari sisi demografis, geografis, agroekologis serta karakteristik penduduk khususnya terhadap potensi pengembangan wilayah pada komoditas andalan subsektor perkebunan, Dalam hal ini khususnya tranformasi struktural sektor pertanian perlu mendapat perhatian, minimal tidak diabaikan karena pembangunan pertanian itu sendiri berarti menciptakan basis (daya dukung) yang kuat bagi tranformasi struktur ekonomi itu sendiri, sehingga dengan dilaksanakan pembangunan di sektor pertanian akan tercipta landasan yang kuat untuk proses tranformasi struktur ekonomi dari pertanian ke non pertanian dengan tidak melupakan adanya masalah utama dalam sektor pertanian itu sendiri seperti masalah kesempatan kerja; daya dukung sektor pertanian serta masalah distribusi pendapatan terutama di daerah pedesaan sebagai daerah basis sektor pertanian serta masalah peningkatan produksi pertanian itu sendiri.

2.1.2. Konsep Pembangunan Perkebunan

Pengembangan subsektor perkebunan sebagai bagian dari sektor pertanian harus dijalankan berdasarkan sistem yang terintegrasi dan terkoordinasi baik secara vertikal maupun secara horizontal. Hal ini juga membutuhkan keseimbangan teknologi di setiap subsistem agar tidak terjadi kelebihan atau kekurangan yang dapat ditimbulkan pada sistem secara menyeluruh (Sastraatmadja, 1985) Selanjutnya menurut Sastraatmadja (1985) dikatakan bahwa berkembangnya pengetahuan dan teknologi serta semakin bertambahnya kebutuhan manusia terhadap sumber daya, pengembangan pertanian juga menentukan kemajuan suatu negara tidak terkecuali Indonesia. Artinya pengembangan pertanian ini mempunyai prospek jangka panjang yang baik tetapi juga perlu diperhatikan faktor-faktor yang sangat menentukan yaitu kesesuaian dan keserasian dalam mengelola sistem tersbut di samping perlunya kehendak politik dan tindakan politik dari pemerintah yang betul-betul sejiwa dengan perkembangan pertanian di negeri ini.

Pengembangan subsektor perkebunan di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan pendapatan, taraf hidup petani, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha serta mengisi dan memperluas pasar, baik pasar dalam negeri maupun luar negeri melalui peningkatan dan penganekaragaman hasil dengan jalan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam. Hal inilah yang mendasari peletakan sub sektor perkebunan sebagai salah satu prioritas utama dalam pembangunan nasional. Peningkatan produktivitas komoditas perkebunan merupakan salah satu strategi dasar untuk memacu produksi pertanian dalam rangka memenuhi permintaan yang semakin meningkat (Adiyoga, 1999).

Origionilitas pada penelitian ini adalah mengkaji konsep pengembangan perkebunan rakyat dari beberapa pendekatan yang secara simultan bermuara pada penentuan komoditas andalan dengan strategi yang dapat menekan dampak kesenjanga pendapatan masyarakat di Kabupaten Aceh Besar.

Konsep Penentuan Kawasan Komoditas Andalan Perkebunan

Strategi merupakan suatu alat untuk mencapai tujuan. Penentuan alternatif strategi dalam pengembangan sistem agribisnis umumnya dilakukan dengan cara mengidentifikasi faktor kekuatan dan kelemahan internal serta peluang dan ancaman eksternal. Alat analisis yang cocok untuk merumuskan strategi dari berbagai faktor yang diidentifikasi tersebut adalah analisis SWOT (Rangkuti 2000). Analisis SWOT didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), dan secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Dengan demikian, kita harus menganalisis faktor-faktor strategis (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Lebih lanjut, komponen-komponen dari analisis di atas dimasukkan pada perhitungan EFAS dan IFAS. Berikut ini adalah cara-cara penentuan Faktor Strategi Eksternal (EFAS) :

1) Menyusun kolom 1 ( 5 sampai dengan 10 peluang dan ancaman).

2) Memberi bobot masing masing faktor dalam kolom 2, mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Faktor-faktor tersebut kemungkinan dapat memberikan dampak terhadap faktor strategis.

3) Menghitung rating (dalam kolom 3) untuk masing masing faktor dengan memberikan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor) berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi wilayah. Pemberian nilai rating untuk faktor peluang bersifat positif (peluang yang semakin besar diberi rating + 4, tetapi jika peluangnya kecil diberi rating +1). Sedangkan pemberian nilai rating ancaman adalah kebalikannya (jika nilai ancamannya sangat besar ratingnya adalah 1, sebaliknya jika nilai ancamannya sedikit ratingnya 4).

4) Mengalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3 untuk memperoleh faktor pembobotan dalam kolom 4.

5) Menggunakan kolom 5 untuk memberikan komentar atau catatan mengapa faktor-faktor tertentu dipilih dan bagaimana skor pembobotannya dihitung.

6) Menjumlahkan skor pembobotan (kolom 4) untuk memperoleh total skor pembobotan untuk memperoleh total skor pembobotan . Total skor ini dapat digunakan untuk membandingkan antara kecamatan satu dengan kecamatan lainnya.

Sedangkan tahap-tahap dalam penentuan Faktor Strategi Internal adalah sebagai berikut :

1) Menentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan serta kelemahan dalam kolom 1.

2) Memberi bobot masing-masing faktor tersebut dengan skala mulai dari 1,0 (paling penting) sampai 0,0 (tidak penting), semua bobot tersebut jumlahnya tidak boleh melebihi skor total 1,00)

3) Menghitung rating (dalam kolom 3) untuk masing masing faktor dengan memberikan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor), berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi wilayah tersebut. Semua variabel yang masuk katagori kekuatan diberi nilai mulai dari +1 sampai dengan +4 (sangat baik), sedangkan variabel yang bersifat negatif yaitu kebalikannya.

Informasi yang telah terkumpul dan telah dianalisis melalui EFAS dan IFAS dimasukkan ke dalam matrik SWOT. Matrik ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Lebih jelasnya dapat dilihat pada pemaparan matrik SWOT yang terdiri atas 4 (empat) set kemungkinan alternatif strategis yaitu:

IFAS

EFAS Kekuatan (S)

Menentukan 5 10

faktor-faktor

kekuatan internalKelemahan (W)

Menentukan 5 10

Faktor-faktor Kelemahan internal

Peluang (O)

Menentukan 5 10

Faktor peluang

eksternalSTRATEGI SO

Menciptakan strategi yg menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan

PeluangSTRATEGI WO

Menciptakan strategi yg meminimalkan kelemah- an untuk memanfaatkan peluang

Ancaman (T)

Menentukan 5 10

Faktor ancaman

eksternalSTRATEGI ST

Menciptakan strategi yg menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancamanSTRATEGI WT

Menciptakan strategi yg meminimalkan kelemahan dan meng- hindari ancaman

1) Strategi SO, strategi ini dibuat berdasarkan jalan pikiran perusahaan yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memamfaatkan peluang sebesar- besarnya.

2) Strategi ST, ini adalah strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki perusahaan untuk mengatasi ancaman.

3) Strategi WO, strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada.

4) Strategi WT. Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada secara menghindari ancaman.

2.2. Hasil Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian terdahulu yang dijadikan landasan kerangka berpikir dan membentuk hipotesis berkaitan dengan penelitian pengembangan wilayah dan berbagai aspek yang menentukan. Berbagai aspek penelitian tentang kajian potensi wilayah komoditas andalan telah banyak dilakukan oleh berbagai peneliti sebelumnya seperti; yang dilakukan oleh Uton dan Syarwani (2006), Prakosa, (1999) dan Kaloko (2003); Chasanah (2004); Yasin (2005) dan Tobari (2007).

Penelitian Uton dan Syarwani (2006), telah menggunakan Location Quotien (LQ shift dan LQ share), untuk mengkaji dampak perluasan kota terhadap ekonomi regional di Kota Manado. Dalam penelitian ini rumusan Location Quotien (LQ) memasukkan indikator ekonomi pada masing-masing subsektor. Pada penelitian komoditas perkebunan indikator disetarakan dengan kegiatan pada masing-masing jenis komoditas andalan perkebunan.

Kaloka (2003). dengan metode deskriptif membandingkan faktor-faktor kriteria strategis yang mempengaruhi pembangunan pertanian berbasis perkebunan melalui perbandingan berpasangan (pairwise comparison) secara kebalikan (reciprocal). Dari hasil penelitian diperoleh 12 faktor-faktor kriteria strategis yaitu : (1) kesesuaian lahan, (2) ketersediaan lahan, (3) Agroklimat, (4) ketersediaan sarana produksi pertanian, (5) ketersediaan modal, (6) ketersediaan infrastruktur (jalan, transportasi, listrik), (7) saluran distribusi, (8) motivasi dan SDM petani, (9) dukungan pemerintah daerah, (10) pemanfaatan teknologi tepat guna, (11) potensi pasar, dan (12) kelembagaan penunjang.

Selanjutnya dari hasil analisis melalui matriks SWOT diperoleh sembilan alternatif strategi bagi pengembangan komoditas andalan kopi di Kabupaten Dairi, yang merupakan kombinasi (pencocokan) antara kekuatan - peluang, kekuatan - ancaman, kelemahan - ancaman dan kelemahan - peluang. Alternatif strategi tersebut adalah : (1) peningkatan akses pasar dan promosi, (2) pengembangan kawasan sentra produksi, (3) menjalin dan meningkatkan kemitraan, (4) peningkatan kualitas produk, (5) pemanfaatan lahan secara tepat dan terarah, (6) sosialisasi dan pembinaan masyarakat, (7) penumbuhan dan pengembangan kelompok tani (asosiasi petani kopi), (8) peningkatan fungsi kelembagaan pendukung, dan (9) meningkatan penyuluhan dan pelatihan.

Penelitian yang dilakukan Chasanah, (2004), pada komoditas tanaman pangan basis yang diamati adalah delapan komoditas yaitu padi sawah, padi gogo, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau, dan kedelai dengan periode pengamatan tahun 1998 sampai tahun 2002. Pengujian keterandalan komoditas pangan tersebut menggunakan proses hirarki yang menunjukkan bahwa masing-masing kecamatan memiliki komoditas basis. Komoditas padi sawah merupakan komoditas tanaman pangan yang paling banyak diusahakan dan paling berpotensi untuk diandalkan di hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Cilacap. Komoditas padi sawah yang memiliki potensi keandalan juga memiliki potensi keandalan dalam net shift analysis, yang ternyata relatif berkembang lebih cepat di beberapa wilayah, tetapi penurunan produksi dan luas panen komoditas basis yaitu padi gogo dan ubi jalar. Hal yang sama juga terjadi pada komoditas buah-buahan yang menunjukkan penurunan produksi dan pohon panen pada komoditas basis.

Yasin (2005) telah melakukan penelitian tentang analisis prioritas pembangunan berdasarkan proses perencanaan dan potensi wilayah. Dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) telah menangkap pandangan atau persepsi dari stakeholders (informan kunci) melalui pengisian quesioner AHP.

Kaitan dengan penelitian ini mempunyai persamaan tentang proses perencanaan dan potensi wilayah yang menjadi kajiannya meskipun masih terdapat beberapa perbedaan. Kelemahan penelitian di atas adalah tidak membandingkan dengan potensi wilayah secara agroklimat, dan agroekonomi sehingga hanya mengacu pada preferensi responden. Oleh karena itu pada penelitian selanjutnya akan dilakukan erabolasi faktor yang lebih fokus pada proses hirarki.

Penelitian yang dilakukan Tobari (2007) di Kabupaten Cilacap Jawa Tengah, menghasilkan bahwa komoditas andalan buah-buahan mengalami hal yang sama dimana komoditas basis atau komoditas yang memiliki potensi keandalan karena berkembang relatif lebih cepat di kecamatan yang bersangkutan, belum tentu merupakan komoditas andalan.

Kajian tentang pengembangan komoditas andalan maupun proses perencanaan dan potensi wilayah yang diuraikan oleh peneliti sebelumnya, secara keseluruhan memperlihatkan hasil yang bervariasi bergantung pada jenis komoditas, karakteristik wilayah, dan penduduk pelaku usaha tani tersebut. Sebagaimana telah diungkapkan, aspek-aspek seperti kondisi geografis, karakteristik penduduk, dan lain-lain merupakan faktor yang mempengaruhi pola perencanaan berdasarkan potensi wilayah. pada penelitian ini, kajian akan dilakukan di Kabupaten Aceh Besar yang secara demografis, geografis dan agroekologis memilki karakteristik yang khas dibandingkan dengan wilayah-wilayah yang pernah dikaji oleh peneliti-peneliti sebelumnya.

Pada sisi lain, kajian dalam penelitian ini difokuskan pada komoditas sub sektor perkebunan. Meskipun kajian pada subsektor ini telah pernah diteliti oleh Kaloka (2003), dengan menggunakan metode deskriptif yaitu melalui survey, wawancara dan quesioner pada saat pengumpulan data. Keunggulan dari penelitian ini, peneliti mampu mengidentifikasi faktor-faktor strategis yang dapat mempengaruhi pembangunan pertanian terutama pada komoditas andalan di Kabupaten Dairi Sumatra Utara. Kelemahan dari pada penelitian tersebut belum mengungkapkan bagaimana pengaruh pengembangan komoditas yang berbeda terhadap pemerataan distribusi pendapatan penduduk karena kajian yang dilakukan belum spesifik hingga tingkat kecamatan sebagaimana yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Hasil kajian Kaloka dapat memberikan pemahaman dan gambaran bagi peneliti sebagai suatu pijakan khususnya yang terkait dengan penelitian ini. Akan tetapi pada penelitian ini penedekatan simultan akan bermuara pada penentuan komoditas anadalan perkebunan rakyat, sekaligus menemukan strategi pengembangan yang dapat mengurangi dampak ketimpangan pendapatan bagi masyarakat di Kabupaten Aceh Besar.

Selain itu, terdapat aspek lain yang memberikan situasi yang berbeda pada wilayah Aceh Besar. Eksistensi gerakan separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) diasusmsikan memberikan pengaruh berupa tekanan baik secara fisik maupun psikologis terhadap pemerintah daerah selaku pengambil kebijakan dan pada masyarakat sebagai pelaku usaha tani. Pengaruh tersebut boleh jadi berimplikasi langsung ataupun tidak langsung pada pola perencanaan dan pengembangan wilayah selama ini. Oleh karena itu, penelitian ini memiliki nuansa yang cukup unik dibandingkan penelitian sebelumnya karena selain fokus penelitiannya yang berbeda juga karena lokasi penelitian ini merupakan bekas daerah konflik. 2.3. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis 2.3.1. Kerangka PemikiranMenjawab permasalahan di atas maka perlu dilakukan pendekatan konsep pengembangan wilayah, komoditas andalan, potensi wilayah dan penetapan prioritas dengan proses hirarki. Pendekatan terhadap konsep ini tentu saja tidak terlepas dari hasil telaah terhadap tinjauan pustaka dan hasil penelitian terdahulu yang telah dibahas sebelumnya.

Konsep pengembangan wilayah dimaksudkan untuk memperkecil kesenjangan pertumbuhan dan ketimpangan kesejahteraan antar wilayah. Untuk itu pengertian wilayah menjadi penting dalam pembahasan ini. Menurut PP Nomor 47 Tahun 1997 wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif atau aspek fungsional. Jadi pengembangan wilayah merupakan upaya memberdayakan para pelaku (stake holders) di suatu wilayah dalam memanfaatkan sumberdaya alam dengan teknologi untuk memberi nilai tambah atas apa yang dimiliki oleh wilayah administratif atau wilayah fungsional dalam rangka meningkatkan kualitas hidup rakyat khsusnya petani di wilayah tersebut. Dengan demikian dalam jangka panjangnya pengembangan wilayah mempunyai target untuk pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Cara mencapainya bersandar pada kemampuan sumberdaya manusianya dalam memanfaatkan lingkungan sekitar dan daya tampungnya serta kemampuan memanfaatkan instrument yang ada. Secara geografis misalnya beberapa pusat pertumbuhan maju secara dramatis, sementara beberapa pusat pertumbuhannya lainnya masih jauh tertinggal atau jauh dari kemampuan berkembang.

Menurut Porter (1990) dalam tiga pilar pengembangan wilayah keunggulan komparatif telah dikalahkan oleh kemajuan teknologi. Yakni setiap wilayah masih mempunyai faktor keunggulan khusus yang bukan didasarkan pada biaya produksi yang murah saja, tetapi adanya inovasi untuk pembaruan. Akan tetapi peneliti akan memasukkan variabel-variabel kesesuaian lahan, agroklimat, luas panen, produksi, nilai produksi dan sumber matapencaharian masyarakat dalam pilar pengembangan komoditi perkebunan di daerah ini.

Suatu wilayah dapat meraih keunggulan di samping memiliki daya saing melalui empat hal yaitu; keunggulan faktor produksi, keunggulan inovasi, kesejahteraan masyarakat, dan besarnya investasi; akan tetapi juga harus ditinjau dari kesesuaian aspek teknis, sosial dan ekonomi. Dengan demikian paradigma pengembangan wilayah telah bergeser dari upaya yang mengandalkan tiga pilar (sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan teknologi) ke arah yang lebih berkesinambungan dengan memasukkan komponen kesesuaian teknis dan aspek sosial ekonomi.. Potensi yang dimiliki Kabupaten Aceh Besar di sektor pertanian khususnya komoditas perkebunan, perlu diarahkan kepada suatu komoditas andalan yang berorientasi pasar, mempunyai keunggulan dan berdaya saing tinggi dengan tetap memperhatikan kelestarian alam. Hal tersebut dapat diperoleh melalui strategi yang tepat sesuai dengan potensi wilayah, potensi wilayah suatu kawasan akan lebih baik kalau ada kesesuaian antara keberadaan sumber daya alam, sumber daya manusia yang mampu mengelola sumber daya tersebut sesuai kebutuhan serta tidak merusak keberadaan ekosistem yang tersedia secara alami. Masalah pembangunan wilayah tidak dapat dipisahkan dengan masalah pembangunan sektor lain, seperti perkebunan yang akan menjadi semakin komplek apabila dikaitkan dengan sifat-sifat khusus sumber daya perkebunan. Bertolak dari pemikiran tersebut, maka untuk mencapai pada konsepsi pengembangan komoditas andalan perkebunan diperlukan pemahaman tentang hakekat dan sifat-sifat sumber daya perkebunan, kesesuaian potensi wilayah, pola produksi dan sumber matapencaharian masyarakat. Secara konseptual, pengembangan komoditas andalan perlu pemahaman sebagai berikut. a. Pengertian dasar tentang komoditas andalan utama adalah komoditas dari subsektor yang sudah berkembang ditunjang dengan komoditas dari subsistem hilirnya yang didukung kemampuan teknologi dengan indikator nilai Location Quotien (LQ) yang paling tinggi dalam suatu wilayah/kawasan. Adapun komoditas andalan adalah komoditas dari sektor/subsektor yang sudah berkembang ditunjang dengan subsistem hilirnya dan memiliki nilai LQ > 1.

b. Produk potensial adalah produk dari sektor/subsektor yang baru berkembang ditunjang dengan sektor dari subsistem hilirnya yang potensial untuk dikembangkan sesuai dengan market driven. Sektor andalan adalah sektor yang memiliki ketangguhan dan kemampuan tinggi.

c. Pengembangan komoditas andalan merupakan tulang punggung dan penggerak perekonomian petani sehingga dapat disebut sebagai sektor kunci perekonomian.

Komoditas andalan juga merupakan merefleksi dari suatu struktur perekonomian pekebun, sehingga dapat dipandang sebagai salah satu aspek karakteristik dari suatu perekonomian kabupaten dan masing-masing kecamatan sentra produksi. Secara umum, syarat keharusan agar suatu komoditi dijadikan sebagai komoditas andalan adalah memiliki potensial pengembangan yang tinggi, luas panen, produksi dan kontribusi yang dominan terhadap pendapatan masyarakat.

Menurut Saragih (1997) pengembangan komoditas andalan harus didasarkan pada peta perkembangan dan potensi perkembangannya. Dengan dasar pendapat di atas maka pengembangan komoditas andalan perkebunan di Kabupaten Aceh Besar harus didasarkan pada potensi wilayah dan syarat tumbuh tanaman perkebunan rakyat yang dominan, dan kontribusinya terhadap ekonomi masyarakat. Berawal dari berbagai tipe wilayah pertanian dapat ditentukan wilayah khusus pengembangan komoditas perkebunan rakyat. Penentuan ini mempunyai cara yang spesifik yaitu dengan cara mengetahui pergeseran-pergeseran luas areal dan lokasi yang menunjukkan adanya pergeseran. Pada prinsipnya cara tersebut mempunyai tujuan yang sama, walaupun cara analisisnya berbeda.

Menurut Napitupulu (1999), kriteria kawasan andalan antara lain: (a) mempunyai kegiatan ekonomi penggerak ekonomi wilayah, (b) mempunyai sektor ekonomi keunggulan yang mampu mendorong kegiatan ekonomi sektor lain di kawasan sendiri maupun kawasan pengaruhnya dan (c) memiliki keterkaitan ke depan maupun ke belakang dengan beberapa wilayah/ daerah pendukung.

Potensi wilayah di daerah penelitian didukung sumberdaya alam yang masih memungkinkan untuk dikembangkan dengan membutuhkan sentuhan teknologi dan permodalan yang memadai. Secara teoritis, hal ini perlu ada perencanaan yang baik, utamanya masalah teknologi dan permodalan. Model yang tepat, dan perencanaan yang sesuai dengan konsep pengembangan suatu wilayah akan mendorong pada upaya optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (lahan, tenaga kerja dan bahan pertanaman). Berdasarkan uraian di atas maka patut diduga bahwa pengembangan komoditas andalan subsektor perkebunan di Kabupaten Aceh Besar tidak dirancang menurut potensi wilayah sehingga prioritas komoditas yang dikembangkan di setiap kecamatan tidak didasarkan pada komoditas basis. Pendekatan komoditas basis ini dapat dilakukan urutan prioritas (rank) dengan menggunakan skala komoditas andalan perkebunan di Kabupaten Aceh Besar. Untuk itu dapat didasarkan pada metode analisis regian oleh Isard, W., 1960: dengan menggunakan skala urutan prioritas atas dasar luas tanam, luas panen, produksi, produktivitas, nilai transaksi dan sumber matapencaharian di daerah penelitian. Model perencanaan basis ekonomi sebagai salah satu pendekatan yang digunakan dalam identifikasi sektor potensial yang dapat menjadi penggerak pertumbuhan dan perkembangan wilayah adalah teori basis ekonomi. Menurut teori ini, pertumbuhan dan perkembangan suatu wilayah tergantung kepada adanya permintaan dari luar wilayah terhadap produksi wilayah tersebut. Perekonomian suatu wilayah dibagi menjadi sektor basis atau basis ekspor dan sektor non basis.

Model pengembangan tidak bisa diterapkan dan dilaksanakan apabila terjadi ketidak sesuaian antara potensi yang dimiliki oleh wilayah dengan kemampuan sumber dayanya, baik menyangkut masalah permodalan maupun penguasaan teknologinya.

Menurut Kadariah (1988), teori basis ekonomi didasari oleh pemikiran sebagai berikut: Industri basis itu menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa, baik untuk pasar lokal maupun pasar di luar daerah yang bersangkutan, maka penjualan ke luar daerah iu mendatangkan arus pendapatan ke dalam daerah tersebut.

Di Kabupaten Aceh Besar komoditas perkebunan rakyat merupakan komoditas turun temurun, antara lain tanaman kelapa, kopi, pinang, lada dan cengkeh. Beberapa tanaman di atas dapat menghasilkan dalam jangka panjang sehingga menambah pendapatan rumah tangga, dapat dijadikan produk ekspor yang mempunyai nilai jual yang tinggi. Namun selama ini masyarakat menyadari bahwa penanaman yang dilakukan belum intensif. Karena tanaman ini ternyata menjadi sumber pendapatan sebagian besar penduduk, oleh sebab itu masyarakat menginginkan agar adanya upaya dari pemerintah setempat untuk mengembangkan komoditas ini sebagai komoditas andalan.

Pengembangan subsistem perkebunan hulu dilakukan melalui kegiatan yaitu: (a) Mengembangkan sarana dan prasarana penunjang, yang di dalamnya mencakup jaringan transportasi dan distribusi input usaha tani terutama benih, pupuk, alat-alat dan mesin-mesin pertanian (alsintan) serta (b) Mengembangkan industri benih.

Dalam pengembangan subsistem budidaya (on-farm) dilakukan melalui empat kegiatan utama, yaitu: (1) Meningkatkan produktivitas komoditas perkebunan (2) Meningkatkan mutu produk (3) Meningkatkan efisiensi produksi dan (4) Mendorong pengembangan komoditas sesuai potensi wilayah. Sasaran yang ingin dicapai terutama adalah meningkatkan produksi dalam upaya memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri dan bahan baku industri, meningkatnya ekspor, meningkatnya mutu sesuai permintaan pasar dan mengembangkan sentra komoditas andalan. Dalam upaya memenuhi kebutuhan akan produk perkebunan, diperlukan usaha peningkatan produksi yang mengarah pada peningkatan efisiensi usaha, mutu produk dan produktivitas melalui penguasaan teknologi, pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, serta peningkatan partisipasi masyarakat dan swasta. Untuk peningkatan efisiensi usaha, mutu produk dan produktivitas, maka pemanfaatan dan pengusahaan teknologi merupakan keharusan, agar produk yang dihasilkan dapat bersaing di pasar domestik maupun internasional.

Untuk mendukung sasaran tersebut, maka kegiatan difokuskan pada : (1) Pembinaan produksi komoditas perkebunan andalan, (2) Perwilayahan komoditas untuk pengembangan kawasan, (3) Penumbuhan sentra produksi, (4) Pemantapan sentra produksi dengan pembinaan penerapan teknologi maju, (5) Penyediaan benih unggul, (6) Penyediaan sarana dan prasarana produksi, (7) Pembinaan keamanan mutu produk, (8) Pembinaan kelembagaan agribisnis.

Dalam penelitian ini teori basis ekonomi menjelaskan kegiatan perkebunan rakyat yang dapat menjadi andalan untuk mendorong kegiatan ekonomi masyarakat di kawasan ini. Kegiatan basis ini merupakan pilihan komoditas andalan perkebunan rakyat yang dapat menghasilkan barang dan jasa yang ditujukan untuk diekspor ke luar wilayah. Ekspor produk komodtas andalan perkebunan ini akan menciptakan nilai tambah baik di dalam wilayah maupun di luar wilayah yang bersangkutan. Bila kecamatan sebagai satuan unit wilayah terkecil maka nilai transaksi komoditas andalan dapat dijadikan suatu parameter keterandalan komoditas perkebunan. Untuk menentukan kegiatan basis ini dapat dilakukan dengan pendakatan Location Quotien (LQ) dan analisis SWOT terhadap faktor-faktor pembentuk nilai komoditas andalan perkebunan rakyat ini. Di samping itu kegiatan pengembanga komoditas andalan ini, ada kegiatan-kegiatan sektor pendukung yang dibutuhkan pada sektor basis itu sendiri. Kegiatan sektor pendukung, seperti perdagangan dan pelayanan perseorangan disebut sektor non basis. Kedua sektor tersebut mempunyai hubungan dengan permintaan dari luar wilayah. Kegiatan pengembangan komoditas andalan ini berhubungan secara langsung, sedangkan sektor non basis berhubungan secara tidak langsung, yaitu melalui sektor basis dulu. Apabila permintaan produk perkebunan rakyat dari luar meningkat, maka kegiatan komoditas andalan akan berkembang.

Sejalan dengan uraian di atas, pertumbuhan ekonomi suatu wilayah kabupaten/kecamatan tertentu terutama disebabkan oleh adanya dukungan potensi wilayah, peningkatan pemanfataan faktor produksi dan distribusi pendapatan di antara masyarakat. Peningkatan pendapatan tanpa mengubah keadaan distribusi pendapatan tidak akan berpengaruh banyak terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Adapun peningkatan pendapatan dalam arti meningkatkan distribusi pendapatan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara nyata. Walaupun demikian pengembangan komoditas andalan semaksimal mungkin dapat menekan ketimpangan pendapatan masyarakat. Hal ini dapat dianalisis dengan indek Gini yang menggambarkan dampak perubahan pendapatan petani akibat peningkatan luas panen, produksi dan sebaran nilai produksi komoditas andalan tersebut.

Menurut Budiharsono (1989), apabila distribusi pendapatan meningkat, maka ada dua kekuatan yang berlawanan mulai bekerja. Kekuatan tersebut adalah kekuatan yang menghambat dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Peningkatan pendapatan dan distribusi pendapatan selanjutnya akan menyebabkan terjadinya perubahan struktural yang menyertai pertumbuhan ekonomi. Bagi suatu Negara yang mempunyai wilayah yang luas, adalah suatu hal yang wajar apabila ada beberapa wilayah yang maju dan beberapa wilayah lainnya pertumbuhannya lambat. Walaupun Negara yang bersangkutan telah berusaha untuk menerapkan kebijakan pembangunan wilayah agar tidak terjadi kesenjangan antar wilayah. Diduga, penyebab pokok terjadinya hal tersebut adalah adanya perbedaan dalam struktur industri/sektor ekonominya (Budiharsono, 1989). Adanya keragaman dalam struktur produksi menimbulkan perbedaan pertumbuhan output produksi dan kesempatan kerja.

Wilayah kecamatan yang tumbuh cepat, disebabkan karena struktur komoditas andalan yang mendukung dalam arti lain sebagian besar strukturnya mempunyai laju pertumbuhan yang cepat. Sedangkan wilayah kecamatan yang pertumbuhannya lambat sebagian besar komoditas andalannya akan mempunyai laju pertumbuhan yang lambat. Hal ini melengkapi pendapat Sastraatmadja, (1985) yang mensyaratkan pengembangan perkebunan rakyat harus dijalankan berdasarkan sistem yang terintegrasi dan terkoordinir baik secara vertikal maupun horisontal. Oleh karena itu setiap kecamatan membutuhkan infrastruktur dasar untuk pengembangan komoditas andalan di masing-masing wilayah. Daerah-daerah ini membutuhkan kesinambungan teknologi di setiap subsistem agar tidak terjadi kelebihan atau kekurangan yang dapat ditimbulkan pada sistem tersebut secara menyeluruh. Pelaksanaan pembangunan perkebunan sebagaimana dimaksud tidaklah mudah karena akan berhadapan dengan persoalan laten peninggalan masa kolonial, yaitu ketimpangan dalam menguasai aset produksi (lahan, modal, tenaga kerja, sarana produksi, alat produksi dan teknologi) dan pasar secara penuh. Perkebunan rakyat di daerah ini relatif tertinggal karena aset yang sangat terbatas, bahkan sebagian hanya menguasai tenaga kerja keluarga petani (Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian, 2006).

Pengembangan perkebunan yang berkesinambungan akan memberikan manfaat peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara optimal melalui kesempatan yang sama untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya alam, modal, informasi, teknologi dan manajemen. Usaha perkebunan terbukti cukup tangguh bertahan dari terpaan badai resesi dan krisis moneter yang melanda perekonomian Indonesia. Untuk itu, perkebunan perlu diselenggarakan, dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara terencana, terbuka, terpadu, profesional dan bertanggung jawab demi meningkatnya perekonomian nasional. Untuk mencapai tujuan pembangunan dan memberikan arah, pedoman dan alat pengendali, perlu disusun perencanaan perkebunan yang didasarkan rencana tata ruang wilayah, potensi dan kinerja pembangunan perkebunan serta perkembangan lingkungan strategis internal dan eksternal di daerah ini.

Kaitannya dengan pembangunan dan pengembangan wilayah kecamatan jangka panjang, hal ini ditujukan untuk memperkuat dasar-dasar sosial ekonomi yang memiliki hubungan fungsional yang kuat dan mendasar dengan sentra produksi di sekitarnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, pembangunan diarahkan untuk mengembangkan sumber daya manusia yang merupakan bagian terbesar penduduk Indonesia, dengan meningkatkan kualitas hidup, kemampuan, keterampilan dan prakarsanya, dalam memanfaatkan berbagai potensi desa maupun peluang yang ada untuk berkembang. Oleh karena itu, pembangunan kawasan merupakan bagian yang penting dan tidak terpisahkan dari pembangunan Nasional.

Kabupaten Aceh Besar khususnya di wilayah-wilayah Kecamatan yang memiliki potensi untuk pengembangan komoditas perkebunan khususnya tanaman perkebunan rakyat. Permasalahan utama yang berkaitan dengan (a) kesesuaian pewilayahan komoditas andalan Kabupaten Aceh Besar menurut potensi wilayah, (b) dampaknya terhadap pemerataan pendapatan masyarakat dan (c) strategi pengembangan komoditas andalan berdasarkan spesifik lokasi dan komoditi dapat dijelaskan dengan konsep di atas. Dengan mengurutkan komoditas perkebunan berdasarkan luas tanam, luas panen, dan produksi maka dapat diidentifikasi kandidat komoditas andalan. Dengan demikian atas dasar potensi wilayah dan kendala pengembangannya dapat ditemukan komoditas basis sebagai andalan ekonomi masyarakat di daerah ini.

Dengan analisis Gini Ratio dapat ditelaah apakah pengembangan komoditas andalan ini berdampak terhadap pemerataan pendapatan atau kesenjangan pendapatan bagi masyarakat di daerah ini, khususnya antar petani yang mengusahakannya. Dari hasil sensus pertanian terbatas tahun 2008 dapat dilihat terdapat ketimpangan pendapatan antar subsektor perkebunan dengan subsektor lainnya. Pengembangan komoditas andalan yang terpusat di beberapa wilayah kecamatan menimbulkan ketimpangan pendapatan. Pada masa kejayaan komoditas cengkeh, kelapa dan lada terdapat ketimbangan pendapatan petani antar wilayah kecamatan yang dijadikan sentra pengembangan komoditas ini. Ini artinya bahwa bila pengembangan komoditas andalan dilakukan dengan strategi yang tidak tepat maka akan memunculkan kesenjangan pendapatan di antara petani. Kaitan strategi pengembangan dengan penetapan lokasi dan komoditas spesifik harus pula menjadi bahan pertimbangan dalam upaya memacu pertumbuhan komoditas andalan perkebunan di suatu wilayah. Demikian juga untuk Kabupaten Aceh Besar strategi pengembangan komoditas andalan terdapat pilihan spesifik komoditi atau lokasi. Dengan menganalisis spesifikasi lokasi dan spesialisasi dapat diketahui strategi yang tepat agar pengembangan komoditas andalan ini dapat mencapai sasaran pembangunan ekonomi di daerah ini. Indikasi efektifitas strategi pengembangan terukur dengan analisis spesifikasi lokasi dan diversifikasi produk komoditas andalan yang dikembangkan.

Hierarchi Process Analityc

Location Quotient (LQ) dan SWOT

Gini Ratio

Specialization Index () dan Divercification Index ()

Gambar 1. Skema alur pikir penelitian

2.3.2. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Pengembangan komoditas andalan subsektor perkebunan tidak dirancang sesuai dengan potensi wilayah yang ada disetiap kecamatan.

2) Usaha pengembangan komoditas andalan perkebunan rakyat berperan dalam mendukung kebijakan distribusi terhadap kemerataan pendapatan masyarakat di Kabupaten Aceh Besar.3) Strategi pengembangan komoditas andalan perkebunan rakyat untuk wilayah kecamatan melalui spesialisasi atau diversifikasi. BAB III

OBJEK DAN METODE PENELITIAN3.1. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah komoditas andalan perkebunan rakyat di Kabupaten Aceh Besar. Ruang Lingkup penelitian adalah penetapan jenis komoditas, lokasi, dampak terhadap distribusi pendapatan dan strategi spesialisasi atau diversifikasi. Penelitian ini digunakan karena dapat memberi gambaran terperinci mengenai komoditas andalan perkebunan di daerah penelitian (Kabupaten Aceh Besar)

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Aceh Besar, yang terdiri dari 23 Kecamatan, yakni: 1) Baitussalam, 2) Kota Jantho, 3) Kuta Cot Glie, 4) Kuta Baro, 5) Krueng Barona Jaya, 6) Ingin Jaya, 7) Indrapuri, 8) Darussalam, 9) Darul Kamal, 10) Darul Imarah, 11) Kuta Malaka, 12) Lembah Seulawah, 13) Lhonga, 14) Leupung., 15) Lhoong., 16) Mesjid Raya., 17) Montasik., 18) Peukan Bada., 19) Pulo Aceh., 20) Seulimum., 21) Simpang Tiga., 22) Blang Bintang., 23) Suka makmur (Sumber: Aceh Besar dalam Angka 2008).

Pemilihan lokasi didasarkan pada pertimbangan bahwa Kabupaten Aceh Besar sebagai salah satu wilayah yang harus dikembangkan sesuai dengan potensi sumberdaya alam guna pemberdayaan komoditas perkebunan yang berdaya saing tinggi untuk mendukung kesejahteraan masyarakatnya.3.2. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan dua metode yang terangkum dalam pendekatan proses hirarki (hierarchy process approach). Saaty, (2000) mengemukakan bahwa untuk ruang lingkup yang luas dengan kajian yang kompleks dibutuhkan rangkuman metode penelitian yang harus didasarkan pada proses hierarki (hierarchy process). Oleh sebab itu penelitian ini juga dilakukan sesuai dengan metode tersebut. Metode pertama adalah metode eksplorasi data skunder mulai dari kondisi umum komoditas perkebunan yang ada lima tahun terakhir tahun (2004 s/d 2008). Dengan dasar ini akan ditetapkan jenis komoditas andalan perkebunan Kabupaten Aceh Besar. Metode kedua adalah metode survey. dengan teknik Cluster Sampling. Populasi adalah petani komoditas andalan perkebunan di 23 Kecamatan di Kabupaten Aceh Besar. Sampel diambil secara proporsional menurut jenis komoditas andalan perkebunan yang diusahakan sebanyak 10 %, sehingga diperoleh jumlah sampel 347 petani pekebun; yang terdiri: petani kelapa 90 kk, petani cengkeh 80 kk, petani kopi 66 kk, petani kemiri 22 kk, petani pinang 30 kk, petani kakao 24 kk dan petani lada 35 kk.

3.2.1. Operasionalisasi Variabel

Menurut Sugiyono (2003) variabel penelitian pada dasarnya sesuatu hal yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. Variabel penelitian yang diamati dalam penelitian ini adalah :

1) Komoditas andalan perkebunan, yaitu komoditas perkebunan yang memiliki nilai produktivitas yang lebih tinggi di suatu daerah dibandingkan dengan komoditas lain. (data nominal : jenis-jenis komoditas yang dominan menurut potensi wilayah, seperti: kelapa, kemiri, kopi, kakao, lada dan lain-lain) 2) Kawasan Sentra Produksi (KSP) adalah suatu kawasan pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. (data ordinal menurut polygon wilayah) 3) Produk komoditas andalan adalah jumlah hasil komoditas yang sudah berkembang didukung dengan subsistem hilirnya dan memiliki nilai Location Quotient yang paling tinggi dalam suatu wilayah / kawasan.

4) Produk Potensial adalah sektor/subsektor yang baru berkembang ditunjang dengan subsistem hilirnya dan potensial untuk dikembangkan sesuai dengan market driven.5) Agroekonomi adalah hal ikhwal ekonomi yang bersangkutan dengan pertanian. (data nominal dan ordinal masing-masing prasarana ekonomi menunjang kegiatan pertanian).6) Agroekologi adalah hubungan timbal balik antara sekelompok manusia yang mengusahakan tanaman perkebunan dengan lingkungannya guna kelangsungan hidupnya. Ini diukur dengan kesesuaian fisik lahan, iklim dan pertanaman. (data nominal dan ordinal dari masing-masing komponen lingkungan pendukung kegiatan pertanian)7) Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama menurut kawasan lindung dan budidaya. (data nominal, ordinal dan interval masing-masing wilayah)8) Luas areal komoditas perkebunan adalah luas yang diusahakan komoditas andalan yaitu kelapa dalam, kopi dan kemiri, diukur dalam hektar. 9) Luas panen adalah luas lahan khusus untuk tanaman menghasilkan untuk komoditas kakao, lada, kelapa dalam, pinang, kopi dan kemiri, diukur dalam hektar.3.2.2. Jenis Data dan Cara Pengumpulan Data

Data yang digunakan sebagian besar adalah data sekunder dan sebagian lagi data primer. Data primer yang digunakan untuk menegaskan hasil analisis data skunder. Data sekunder adalah data statistik yang didapat dari sumber-sumber yang telah diterbitkan maupun tidak (Teken, 1973). Data ini diperoleh dari Dinas Perkebunan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Besar, serta pustaka yang mendukung penelitian ini.

Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan/kuesioner, angket, dan FGD (focus group discussion). Untuk keperluan pengumpulan data petani sampel dilakukan wawancara langsung menggunakan kuesioner. Data pendukung bersumber dari pihak-pihak yang berkepentingan/stakeholder, yaitu: tiga orang staf Dinas Perkebunan dan Kehutanan, tiga orang penyuluh dan delapan orang camat) menggunakan angket/daftar isian. Selanjutnya untuk koreksi silang data dilakukan dengan FGD dengan kepala dinas, kasubdin dan penyuluh di lingkungan Dinas Kehutanan Kabupaten Aceh Besar. Data dari hasil wawancara, dari daftar isian dan FGD kemudian ditabulasi dan dianalisis.

3.2.3. Teknik Analisis Data

Beberapa alat analisis yang digunakan untuk menjawab hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Hipotesis 1

Pengembangan komoditas andalan subsektor perkebunan tidak dirancang sesuai dengan potensi wilayah yang ada di setiap kecamatan.

Dalam menguji hipotesis ini, dilakukan tahapan analisis sebagai berikut.

1) Menyusun hirarki urutan komoditas andalan (hierarchi process analisy) berdasarkan kesesuaian agroklimat dan agroekologi yang dapat digambarkan dengan parameter luas tanam, luas panen, produksi, nilai produksi dan matapencaharian masyarakat di daerah penelitian. (Saaty, 2000). Berdasarkan lima parameter di atas diurutkan prioritas komoditas andalan Kabupaten Aceh Besar. Selanjutnya dilakukan koreksi silang untuk menemukan kecamatan sentra produksi komoditas andalan.

2) Menentukan komoditas basis di suatu daerah

Tahapan ini, alat analisis yang digunakan adalah Location Quotient (LQ) yang dihitung dengan formula sebagai berikut (Warpani, 1984):

atau

Keterangan

LQ = besarnya koefisien lokasi komoditas perkebunan

Si = Volume komoditas i pada tingkat wilayah/ kecamatan

S = Volume komoditas perkebunan tingkat wilayah/ kecamatan

Ni = Volume komoditas i pada tingkat kabupaten

N = Volume komoditas perkebunan tingkat kabupaten

Angka LQ memberikan indikasi sebagai berikut:a. LQ > 1, menunjukkan komoditas tersebut termasuk komoditas basis.

b. LQ < 1, menunjukkan komoditas tersebut termasuk komoditas non basis.

c. LQ = 1, menunjukkan komoditas tersebut hanya bisa mencukupi

wilayah sendiri

Analisis ini bertujuan mengidentifikasi komoditas basis dan bukan komoditas basis subsektor perkebunan pada suatu daerah. Pada prinsipnya, parameter ini membandingkan kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan suatu komoditas dengan daerah lain yang merupakan penghasil komoditas yang sama. Kemudian dilanjutkan dengan membandingkan dengan preferensi petani di daerah ini. Preferensi penetapan potensi wilayah untuk masing-masing komoditas didasarkan pada (a) luas panen, (b) produksi, (produktivitas tanaman, (d) Nilai produksi, (e) Sumber matapencaharian masyarakat (f) Nilai transaksi, dan (g) Konsumsi lokal.

Penentuan jenis komoditas yang merupakan potensi wilayah. Untuk mendapatkan suatu komoditas yang dianggap sebagai potensi suatu wilayah, analisis dilakukan pada komoditas-komoditas penting subsektor perkebunan di wilayah Aceh Besar. Dalam konteks penelitian ini, komoditas potensi wilayah adalah komoditas tertentu yang memiliki keterandalan ditinjau dari kriteria-kriteria tertentu.

Beberapa kriteria yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (Warpani, 1984). :

1) Kriteria Pasar dan Pemasaran meliputi; (a) permintaan pasar yang tinggi dan memenuhi preferensi pasar (b) segmen pasar luas (c) dapat menghasilkan devisa (d) merupakan substitusi import.

2) Kriteria Teknologi Agribisnis, meliputi: (a) Benih atau bibit berkesinambung- an dan unggul (b) Penguasaan teknologi pembuatan benih atau bibit unggul (c) Penguasaan teknologi budidaya yang mutakhir (d) Penguasaan teknologi pasca panen (pengolahan) yang mutakhir.

3) Kriteria Lingkungan, meliputi: (a) produk bebas pestisida; (b) memenuhi standar kesehatan; (c) ramah terhadap lingkungan sekitarnya.

4) Kriteria Keunggulan Komparatif, meliputi :(a) sesuai dengan sifat tanah dan agroklimat serta lokalitas; (b) sumber daya alam lokal; (c) suplai bahan baku industri; (d) keterkaitan ke depan dan ke belakang.

5) Krite