TINJAUAN PUSTAKA
-
Upload
aldi-ridson -
Category
Documents
-
view
123 -
download
0
description
Transcript of TINJAUAN PUSTAKA
UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK DAUN papaya (Carica papaya L.) DENGAN METODE DPPH DAN IDENTIFIKASI GOLONGAN SENYAWA KIMIA DARI FRAKSI TERAKTIF
Proposal Karya Tulis Ilmiah
Dibaut Untuk Memnuhi Tugas Kuliah “Metode Penelitian”
Pada Program Studi D-3 Analis Farmasi dan Makanan
Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi “YAYASAN PHARMASI” Semarang
Aldi Ridson Huda
1021211002
PROGRAM STUDI D-3 ANALIS FARMASI DAN MAKANAN
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI ”YAYASAN PHARMASI”
SEMARANG
2014
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan rahmatNya kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan proposal karya tulis ilmiah ini. Kami
juga mengucapkan terima kasih kepada bapak Antonius selaku dosen pembimbing karena
dengan adanya tugas ini dapat menambah pengetahuan saya cara menusun proposal karya tulis
ilmiah yang baik dan benar..
Proposal penelitian ini berjudul “UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK
DAUN papaya (Carica papaya L.) DENGAN METODE DPPH DAN IDENTIFIKASI
GOLONGAN SENYAWA KIMIA DARI FRAKSI TERAKTIF” yang diharapkan dari adanya
penenlitian ini ada maanfaat bagi masyarakat luas.
Kami menyadari bahwa proposal ini belum sempurna. Untuk itu, kami mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Akhir kata kami berharap semoga proposal
ini berguna bagi semua pihak. Sekian dan terima kasih.
Semarang, mei 2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Akhir-akhir ini banyak diberitakan polusi semakin meningkat dikarenakan banyaknya
kendaraan bermotor dan juga asap limbah pabrik yang tidak terkendali. Polusi-polusi ini
merupakan sebuah radikal bebas yang dapat menyebabkan penyakit yang serius seperti kanker
jantung coroner dan lain sebagainya. Hal ini terjadi karena sebagian besar penyakit diawali oleh
adanya reaksi oksidasi yang berlebihan didalam tubuh. Reaksi oksidasi dapat terjadi setiap saat.
Reaksi ini mencetuskan terbentuknya radikal bebas yang sangat aktif, yang dapat merusak
struktur dan fungsi sel.
Radikal bebas adalah suatu senyawa atom atau molekul yang mengandung satu atau lebih
elektron tidak berpasangan. Adanya elektron yang tidak berpasangan menyebabkan senyawa
tersebut sangat reaktif mencari pasangan, dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul
yang berada disekitarnya. Radikal bebas sangat berbahaya dikarenakan tingginya reaktivitasnya
yang mengakibatkan terbentuknya senyawa radikal baru. Bila senyawa radikal baru tersebut
bertemu dengan molekul lain, maka akan terbentuk radikal baru lagi dan seterusnya hingga
terjadi reaksi berantai.
Radikal bebas dapat mengganggu integritas sel dan dapat bereaksi dengan komponen-
komponen sel, baik komponen struktural meliputi molekul-molekul penyusun membran maupun
komponen fungsional meliputi protein, enzim-enzim, dan DNA (Hidajat, 2005). Reaktifitas
radikal bebas itu dapat dihambat oleh sistem antioksidan yang merupakan bagiandari sistem
kekebalan tubuh (Winarsi, 2007). Antioksidan adalah molekul yang mampu menghambat
oksidasi molekul yang dapat menghasilkan radikal bebas (Rajnarayana, Ajitha, Gopireddy, dan
Giriprasad, 2011). Antioksidan telah secara luas digunakan untuk melindungi makanan dari
degradasi oksidatif. Berdasarkan sumbernya antioksidan dibagi dua macam, yaitu antioksidan
alami dan antioksidan sintetik (buatan). Antioksidan sintetik yang paling sering digunakan
adalah Propil Galat(PG), Butylated Hydroxyanisole(BHA), Butylated Hydroxytoluene(BHT)
dan Tert-butylhydroquinone(TBHQ). Antioksidan sintetik ini dikhawatirkan dapat memberi efek
samping yang berbahaya bagi kesehatan manusia karena bersifat karsinogenik. Berbagai studi
mengenai BHA dan BHT menunjukkan bahwa komponen ini dapat menimbulkan tumor pada
hewan percobaan pada penggunakan dalam jangka panjang (Andarwulan, Wijaya, dan Cahyono,
1996).
Dari kekhawatiran ini menjadikan antioksidan alami menjadi salah satu alternatif yang
dapat digunakan untuk menggantikan antioksidan sintetis. Antioksidan alami mampu melindungi
tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan senyawa oksigen reaktif, menghambat terjadinya
penyakit degeneratif serta mampu menghambat peroksidasi lipid pada makanan (Sunarni, 2005).
Jadi dengan ini perlu dilakukan penelitian-penelitian yang lebih lanjut terhadap antioksidan –
antioksidan alami yang relative lebih aman bila dikonsumsi lebih lanjut.
Di Indonesia banyak ditanam tanaman papaya, dikarenakan tanaman ini mudah tumbuh
dikarenakan tanaman pepaya dapat ditanam pada semua jenis tanah yang subur, gembur, banyak
mengandung humus, beraerasi dan berdrainase baik, serta memiliki drajat keasaman (pH) 6 – 7.
Tanaman pepaya memiliki toleransi tinggi terhadap suhu udara dan intensitas sinar
matahari(Suprapti, 2005 : 16-18). Dengan ini Indonesia merupakan tempat tumbuh yang baik
untu tanaman papaya ini dikarenakan Indonesia beriklim tropis dengan curah hujan yang cukup
tinggi. Menurut Kalie (2006) rasa pahit daun pepaya disebabkan oleh kandungan alkaloid
carpain (C14H25NO2) yang banyak terdapat pada daun muda, dan juga di daun mengandung
enzim papain, alkaloid carpaine, pseudokarpaina, glikosid, karposid, dan saponin, sakarosa,
dekstrosa, levulosa. Pada penelitian ini, dilakukan uji aktivitas antioksidan ekstrak dan fraksi
pepaya (Carica papaya L.), serta identifikasi golongan senyawa kimia dari fraksi teraktif.
Aktivitas antioksidan daun pepaya (Carica papaya L.). diuji dengan menggunakan metode
DPPH (1,1-Difenil-2-pikrilhidrazil). Metode DPPH memberikan informasi reaktivitas senyawa
yang diuji dengan suatu radikal stabil. DPPH memberikan serapan kuat pada panjang
gelombang 517 nm dengan warna ungu gelap (Molyneux, 2004).
Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan lebih terhadap kandungan
kimia dan fungsi atau khasiat dari daun pepaya (Carica papaya L.) sebagai antioksidan alami
dan dapat digunakan untuk untuk pengobatan dan pencegahan terhadap penyakit penyakit
degeneratif.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1. Adakah aktifitas antioksidan dari pepaya (Carica papaya L.) dengan menggunakan metode
DPPH.
2. Mengidentifikasi golongan senyawa kimia dari fraksi terktif.
1.3 Tujuan Penelitian
a. Mengetahui aktivitas antioksidan ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.)
b. Mengetahui golongan senyawa kimia dari fraksi paling aktif daun pepaya (Carica papaya L.)
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat
mengenai adanya aktivitas antioksidan di dalam daun pepaya (Carica papaya L.).
1.5 Batasan Masalah
Adapun batasan masalah pada penelitian ini, antara lain:
1. Sampel yang digunakan adalah daun daun tanaman papaya (Carica papaya L.) yang
tumbuh di daerah Plamongan Sari, Semarang.
2. Cara ektraksi dengan cara maserasi bedasarkan kepolaran pelarutnya.
3. Simplisia daun papaya (Carica papaya L.) dikeringkan dengan sinar matahari.
4. Uji aktifitas antioksidan dengan metode DPPH , dan absorbansi diukur dengan
spektrofotometi Uv-Vis dan dihitung dengan presentase inhibisi dan regresi linier
dengan baku pembanding kuersentin.
TINJAUAN PUSTAKA
BAB II
2.1 Pepaya (Carica papaya L)
2.1.1 Klasifikasi.
Tanaman pepaya (Carica papaya L.) ini berasal dari kawasan sekitar Meksiko dan
Costa Rica. Dewasa ini tanaman papaya telah menyebar keseluruh dunia termasuk Indonesia.
Pada pertengahan abad ke-16, tanaman papaya mulai banyak ditanam dan dibudidayakan di
Cina dan Malaysia. Pada abad ke-19, diperkirakan mulai masuk ke Indonesia (1925-1930).
( Ashari, 2006).
Tanaman pepaya (Carica papaya L.) yang di Jawa terkenal dengan nama kates maupun
ketela gantung adalah merupakan sebuah tanaman yang seluruh organnya dapat dipergunakan
baik untuk manusia maupun hewan. Di Indonesia kegunaan pepaya ini belum begitu lengkap
bila dibandingkan di luar negri. Sebab di luar negri semuanya dapat dipergunakan selain untuk
makanan juga sebagai obat-obatan. (Muljana, 2006 :1).
Menurut, Tjitrosoepomo (1996) taksonomi tanaman pepaya adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Classis : Dicotyledonae
Ordo : Violales
Familia : Caricaceae
Genus : Carica
Spesies : Carica papaya L.
2.1.2 Morfologi dan Habitat Pepaya
Semak berbentuk pohon dengan batang yang lurus, bulat cylindris, sebelah dalam berupa
spons dan berongga, diluar terdapat tanda bekas daun yang banyak, tinggi 2,5-10 m, helaian daun
bulat telur bulat, bertulang daun menjari, bercangap menjari berbagi menjari ujung runcing dan
pangkal berbentuk jantung, garis tengah 25-75 cm, taju selalu berlekuk menyirip tidak beraturan.
(Steenis, 2002 : 301-302).
Tanaman papaya (Carica papaya L.) daunnya terletak pada ujung tanaman (roset).
Daunnya tersusun secara spiral melingkar berupa lembaran daun bercelah menjari (Ashari,
2006 : 371). Daun pepaya bertulang menjalar (palmineus) dengan warna hijau tua pada bagian
atasnya dan hijau muda pada bawahnya. Tanaman pepaya memiliki sistem perakaran yang
berupa akar tunggang dan akar cabang yang tumbuhnya mendatar kesemua arah pada kedalaman
1 m atau lebih dan menyebar sekitar 60 cm- 150 cm.
Tanaman pepaya dapat ditanam pada semua jenis tanah yang subur, gembur, banyak
mengandung humus, beraerasi dan berdrainase baik, serta memiliki drajat keasaman (pH) 6 – 7.
Tanaman pepaya memiliki toleransi tinggi terhadap suhu udara dan intensitas sinar matahari,
daerah yang paling cocok adalah sebagai berikut :
a. Memiliki ketinggian 0 – 700 m dpl.
b. Memiliki suhu udara 22 0C – 26 0C.
c. Memiliki curah hujan 1.000 mm – 1.500 mm/th.
d. Merupakan tempat yang terbuka dan mendapatkan sinar matahari scara
penuh. (Suprapti, 2005 : 16-18).
2.1.3. Kandungan Kimia Pepaya
Menurut Kalie (2006) rasa pahit daun pepaya disebabkan oleh kandungan alkaloid
carpain (C14H25NO2) yang banyak terdapat pada daun muda. Alkaloid ini dapat menurunkan
tekanan darah dan membunuh amoeba.Batang, daun, dan buah pepaya muda mengandung getah
berwarna putih. Getah ini mengandung suatu enzim pemecah atau enzim proteolitik yang disebut
papain. Papain termasuk enzim hidrolase, yaitu enzim yang mampu mengkatalis reaksi-reaksi
hidrolisis suatu substrat (protein). Sebagai enzim proteolitik, papain banyak digunakan dalam
industri, diantaranya industri makanan, minuman, farmasi, kosmetik, tekstil, dan penyamak.
Sementara itu, getah pepaya selain mengandung enzim papain juga mengandung kemokapain,
lisosim, lipase, glutamin, dan siklotransferas. Daun mengandung enzim papain, alkaloid
carpaine, pseudokarpaina, glikosid, karposid, dan saponin, sakarosa, dekstrosa, levulosa.
Alkaloid carpaine mempunyai efek seperti digitalis. Biji mengandung glucoside cacirin dan
carpain. Glucoside cacirin berkhasiat sebagai obat cacing, meluruhkan haid, dan meluruhkan
kentut (karminatif) (Dalimartha, 2009 : 122-123). Dalam satu buah pepaya memiliki komposisi
gizi yang sangat beragam. Komposisi daun pepaya per 100 gram dapat dijabarkan sebagai
berikut :
Tabel. Komposisi daun pepaya per 100 gram.Zat gizi Daun Pepaya
Energi (kkal) 79
Protein (g) 8,0
Lemak (g) 2,0
Karbohidrat (g) 11,9
Kalsium (mg) 353
Fosfor (mg) 63
Besi (mg) 0,8
Vitamin A (SI) 18,250
Vitamin B1 (mg) 0,15
Vitamin C (mg) 140
Air (g) 75,4
Sumber : Direktorat Gizi, Depkes RI (1992) dalam Muktiani (2011).
2.1.4. Sifat dan Khasiat Pepaya
Daun pepaya mampu menurunkan kolestrol dalam tubuh karena adanya serat yang
cukup banyak didalam buah maupun daun pepaya. Dalam pepaya juga mengandung enzim
papain yang bekerja sama dengan vitamin A, C dan E untuk mencegah peradangan (inflamasi).
(Lingga, 2010 : 287-289).
2.2 Simplisia (Departeman Kesehatan RI, 1995)
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami
pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan.
Simplisia dibedakan menjadi tiga, yaitu simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelikan
(mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau
eksudat tanaman. Simplisiahewani adalah simplisia yang dapat berupa hewan utuh atau zat-zat
bergunayang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa bahan kimia murni, misalnya minyak ikan
dan madu. Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia berupa bahan pelikan atau mineral
yang belum diolah atau telah diolahdengan cara sederhana dan belum berupa bahan kimia murni,
contoh serbuk seng dan serbuk tembaga.
2.3 Ekstrak (Farmakope Indonesia, 1995)
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari
simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau
hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian
hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Sebagian besar ekstrak dibuat dengan
mengekstraksi bahan baku obat secara perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan dengan
cara destilasi dengan pengurangan tekanan, agar bahan utama obat sesedikit mungkin terkena
panas.
2.4. Ekstraksi (Parameter Standar, 2000)
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah
dari bahan yang tidak terlarut dengan pelarut cair. Simplisia yang diekstraksi mengandung
berbagai senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa aktif yang tidak dapat larut seperti serat,
karbohidrat,protein, dan lain-lain. Untuk mengekstraksi bahan alam, terdapat sejumlah metode
menggunakan pelarut organik atau pelarut yang mengandung air yang dapat diterapkan. Pada
ekstraksi cair-padat bahan tanaman mengalami kontak dengan pelarut. Proses keseluruhannya
bersifat dinamis dan dapat disederhanakan kedalam beberapa tahap. Pada tahap pertama
misalnya pelarut harus berdifusi kedalam sel, pada tahap selanjutnya pelarut harus dapat
melarutkan metabolit tanaman dan akhirnya harus berdifusi keluar sel meningkatkan jumlah
metabolit yang terekstraksi. Beberapa metode yang sering digunakan dalam ekstraksi bahan alam
antara lain :
2.4.1 Cara Dingin
a. Maserasi
Merupakan metode yang sederhana, tetapi masih digunakan secara luas. Prosedurnya
dilakukan dengan merendam bahan tanaman (simplisia) dalam pelarut yang sesuai dalam wadah
tertutup pada suhu kamar. Metode ini sesuai baik untuk ekstraksi pendahuluan maupun untuk
jumlah besar. Pengadukan sesekali ataupun secara konstan (dengan menggunakan alat pengocok
mekanik untuk menjamin kehomogenan) dapat meningkatkan kecepatan ekstraksi. Proses
ekstraksi dapat dihentikan ketika tercapai keseimbangan antara konsentrasi metabolit dalam
ekstrak dan dalam bahan tanaman. Setelah ekstraksi, residu bahan tanaman (maserat), harus
dipisahkan dari pelarut. Hal ini melibatkan proses pemisahan kasar dengan cara dekantasi,
biasanya diikuti dengan tahap penyaringan. Sentrifugasi mungkin diperlukan jika serbuk terlalu
halus untuk disaring. Untuk memastikan ekstraksi yang menyeluruh, umumnya dilakukan
maserasi pendahuluan, yang diikuti pemisahan dan penambahan pelarut baru (fresh solvent) ke
maserat. Hal ini bisa dilakukan secara periodik dengan semua filtrat dikumpulkan.
Kelebihan maserasi adalah peralatan yang digunakan sederhana, dan efektif untuk
senyawa-senyawa yang tidaktahan panas karena dilakukan pada temperatur kamar, sehingga
tidak menyebabkan degradasi senyawa-senyawa yang tidak tahan panas. Kelemahan dari
maserasi adalah prosesnya memakan waktu yang cukup lama dan dapat berlangsung beberapa
jam sampai beberapa minggu.
Ekstraksi secara menyeluruh juga dapat menghabiskan sejumlah besar volume pelarut
dan dapat berpotensi hilangnya metabolit. Selain itu, beberapa senyawa tidak terekstraksi secara
efisien jika kurang terlarut dalam temperatur kamar.
b. Perkolasi
Pada perkolasi, serbuk tanaman direndam dalam pelarut pada sebuah alat perkolator.
Perkolasi cukup sesuai baik untuk ekstraksi pendahuluan maupun dalan jumlah besar. Seperti
pada maserasi, untuk mengekstrak secara menyeluruh dilakukan dengan penambahan pelarut
yang baru (fresh solvent) dan semua ekstrak dikumpulkan. Untuk meyakinkan perkolasi sudah
sempurna, perkolat dapat diuji adanya metabolit dengan reagen spesifik.
2.4.2 Cara Panas
a. Soxhlet
Soxhlet adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya
dilakukan dengan alat khusussehingga terjadi ekstraksi secara kontinu dengan jumlah pelarut
relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
b. Refluks
Ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnyaselama waktu tertentu dan jumlah
pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Kekurangan yang utama
dari metodeini adalah terdegradasinya komponen yang tidak tahan panas.
c. Digesti
Adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi
dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 400-500C.
d. Infusa
Infusa adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus
tercelup dalam penangas air mendidih), temperatur terukur (960-980C) selama waktu tertentu (15-
20 menit).
e. Fraksinasi
Fraksinasi merupakan prosedur pemisahan yang bertujuan memisahkan golongan utama
kandungan yang satu dari golongan utama yang lain. Pemisahan jumlah dan jenis senyawa
menjadi fraksi yang berbeda yang tergantung pada jenis simplisia. Senyawa-senyawa yang
bersifatpolar akan masuk ke pelarut polar, begitu pula senyawa yang bersifat non polar akan
masuk ke pelarut non polar (Harborne, 1987).
2.5 Kromatografi
Kromatografi adalah teknik pemisahan campuran didasarkan atas perbedaan distribusi
dari komponen-komponen campuran tersebut di antara dua fase, yaitu fase diam (padat atau cair)
dan fase gerak (cair atau gas). Fase gerak membawa zat terlarut melalui media hingga terpisah
dari zat terlarut lainnya, yang terelusi lebih awal atau lebih akhir. Bila fase diam berupa zat padat
yang aktif, maka teknik ini disebut kromatografi penjerapan (adsorption chromatography),
sementara bila berupa zat cair, makadisebut dengan kromatografi pembagian (partition
chromatoghraphy) (Harmita, 2006).
2.6 Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis adalah suatu metode pemisahan fitokimia yang didasarkan atas
penjerapan, partisi atau gabungannya. Metode ini digunakan untuk pemisahan senyawa secara
cepat dengan menggunakan zat penjerap berupa serbuk halus yang dilapiskan serba rata pada
lempeng kaca (Harmita, 2006; Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979).
2.7 Kromatografi Kolom (Departeman Kesehatan Republik Indonesia, 1979)
2.7.1 Kromotografi Kolom Adsorbsi
Pada kromotografi kolom adsorpsi, zatpenjerap dalam keadaan kering atau sebagai bubur,
dimampatkan ke dalam tabung kromatografi kaca atau kuarsa dengan ukuran tertentu dan
mempunyai lubang pengalir keluar dengan ukuran tertentu. Zat yang akan diuji dilarutkan dalam
sejumlah kecil pelarut kemudian dituangkan ke dalam kolom dan dibiarkan mengalir ke dalam
zat penjerap. Zat berkhasiat diadsorpsi darilarutan secara sempurna oleh bahan penjerap berupa
pita sempit pada puncak kolom. Dengan penambahan pelarut lebih lanjut melalui kolom, dengan
atau tanpa tekanan udara,masing-masing zat bergerak turun dalam kolom dengan kecepatan
tertentu, sehingga terjadi pemisahan dan diperoleh kromatogram. Kecepatan bergerak zat
dipengaruhi oleh sejumlah variabel, misalnya daya adsorpsi zat penjerap, ukuran partikel dan
luas permukaan, sifat dan polaritas pelarut, tekanan yang digunakan dan suhu sistem
kromatografi.
2.7.2 Kromatografi Kolom Partisi
Pada kromatografi partisi, zat yang dipisahkan terbagi antara dua cairan yang tidak saling
bercampur. Salah satu cairan, yaitu fase diam, umumnya diadsorpsikan pada penyangga padat,
karena itu mempunyai area permukaan yang sangat luas terhadap pelarut yang mengalir atau fase
gerak. Hal ini menyebabkan diperolehnya pemisahan yang baik yang tidak dapat dicapai dengan
cara penyarian cairan-cairan yang biasa. Kromatografi partisi dilakukan dengan cara yang serupa
dengan kromatografi adsorbsi, yaitu campuran yang telah dilarutkan dalarn sedikit pelarut,
ditambahkan pada permukaan kolom dan elusi dilakukan dengan pelarut yang mengalir.
2.8 Kromatografi Cair Vakum (Kromatografi Kolom Dipercepat)
Kromatografi cair-vakum merupakan kromatografi kolom yang dikemas kering biasanya
dengan penjerap kromatografi lapis tipis 10-4 µg pada kondisi vakum, fase gerak digerakkan
dengan kondisi vakum sehingga prosesnya berlangsung cepat. Kolom kromatografidikemas
kering dalam keadaan vakum agar diperoleh kerapatan maksimum. Setelah diperoleh kerapatan
yang maksimum, kemudian vakum dihentikandan pelarut yang kepolarannya rendahdituangkan
kedalam permukaan penjerap lalu divakum lagi. Alat yang digunakan terdiri dari corong G-3,
sumbat karet,pengisap yang dihubungkan dengan pompa vakum serta wadah penampung fraksi.
Walaupun KCV memerlukan jumlah sampel yang lebih banyak dari pada kromatografi lapis tipis
(KLT), KCV tetap ekonomis dalam sisi biaya (Johnson, 1991).
Salah satu cara pemisahan kromatografi cair vakum adalah kromatografi kolom yang
dipercepat dan bekerja pada kondisi vakum. Alat yang digunakan terdiri dari corong G-3, sumbat
karet,pengisap yang dihubungkan dengan pompa vakum serta wadah penampung fraksi. Corong
G-3 diisi adsorben sampai setinggi 2,5cm, kemudian diketuk-ketuk dengan batang pengaduk,
dilarutkan dalam pelarut organik yang cocok, kemudian ke dalam larutan ekstrak tersebut
ditambahkan adsorben dengan bobot sama dengan bobot ekstrak. Campuran ini digerus sampai
homogen, dikeringkan dan dimasukkan ke dalam corong G-3 kemudian diratakan. Permukaan
lapisan adsorben ditutup dengan kertas saring. Elusi diawali dengan pelarut non polar dilanjutkan
dengan kombinasi pelarut dengan polaritas meningkat. Jumlah pelarut yang digunakan setiap kali
elusi adalah sebagai berikut untuk bobot ekstrak sampai lima gram diperlukan 25 mlpelarut,
untuk 10-30 g ekstrak diperlukan 50 ml pelarut. Dalam hal ini, diameter corong dipilih
sedemikian rupa sehinggalapisan ekstrak dipermukaan kolom setipis mungkin dan rata. Masing-
masing pelarut dituangkan ke permukaan kolom kemudian dihisapkan pompa vakum. Ekstrak
ditampung dalam wadah terpisah sehingga menghasilkan sejumlah fraksi (Soediro, 1986).
2.9 Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa yang mampu menghilangkan, membersihkan,dan menahan
pembentukan oksigen reaktif atau radikal bebas dalam tubuh. Radikal bebas adalah atom atau
molekul yang tidak stabil karena memiliki elektron yang tidak berpasangan dalam orbital luarnya
sehingga sangat reaktif untuk mendapatkan pasangan elektron dengan mengikat sel-sel tubuh.
Apabila hal tersebut terjadi secara terus menerus dapat menyebabkan kerusakan dan kematian sel
(Lautan, 1997). Antioksidan ditujukan untuk mencegah dan mengobati penyakit seperti
aterosklerosis, stroke, diabetes, alzheimer, dan kanker (Aqil, Ahmad dan Mehmood, 2006).
Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (elektron donor) atau reduktan.
Senyawa ini memiliki berat molekul yang kecil, tetapi mampu mengaktivasi berkembangnya
reaksi oksidasi dengan cara mencegah terbentuknya radikal. Antioksidan juga merupakan
senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi dengan mengikat radikal bebas dan molekul
yang reaktif. Berdasarkan sumbernya antioksidan dibagi dalam dua kelompok yaitu antioksidan
alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami) dan antioksidan sintetik (antioksidan yang
diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia). Sedangkan berdasarkan mekanisme kerjanya,
antioksidan digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu antioksidan primer, sekunder, dan tersier.
Antioksidan primer disebut jugasebagai antioksidan enzimatis. Antioksidan primer meliputi
enzim superoksida dismutase, katalase, dan glutation peroksidase. Enzim-enzim ini menghambat
pembentukan radikal bebas dengan cara memutus reaksi berantai (polimerisasi), dan
mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil. Antioksidan kelompok ini disebut juga chain-
breaking-antioxidant(Winarsi, 2007).
Antioksidan sekunder disebut juga antioksidan eksogenus atau non-enzimatis. Cara kerja
sistem antioksidan non-enzimatis yaitu dengan caramemotong reaksi oksidasi berantai dari
radikal bebas. Akibatnya radikal bebas tidak bereaksi dengan komponen seluler. Contoh
antioksidan sekunder ialah vitamin E, vitamin C, flavonoid, asam urat, bilirubin, dan albumin
(Lampe, 1999).
Antioksidan tersier contohnya enzim DNA-repair dan metionin sulfoksida reduktase yang
berperan dalam perbaikan biomolekul yang dirusak oleh radikalbebas. Kerusakan DNA yang
terinduksi senyawa radikal bebas dicirikan oleh rusaknya single dan double stand, baik gugus
basa maupun non-basa. Perbaikan kerusakan basa dalam DNA yang diinduksi senyawa oksigen
reaktif terjadi melalui perbaikan jalur eksisi basa. Pada umumnya, eksisi basa terjadi dengan cara
memusnahkan basa yang rusak, yang dilakukan oleh DNA glikosilase (Winarsi, 2007).
2.10 Uji Aktivitas Antioksidan
Beberapa metode uji untuk menentukan aktivitas antioksidan antara lain:
2.10.1 Uji DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil)
DPPH merupakan radikal bebas yang stabil pada suhu kamar dan sering digunakan untuk
menilai aktivitas antioksidan beberapa senyawa atau ekstrak bahan alam. Interaksi antioksidan
dengan DPPH baik secara transfer elektron atau radikal hidrogen pada DPPH akan menetralkan
karakter radikal bebas dari DPPH. Prinsip uji DPPH adalah penghilangan warna untuk mengukur
kapasitas antioksidan yang langsung menjangkau radikal DPPH dengan pemantauan absorbansi
pada panjang gelombang 517 nm menggunakan spektrofotometer. Radikal DPPH dengan
nitrogen organik terpusat adalah radikal bebas stabil dengan warna ungu gelap yang ketika
direduksi menjadi bentuk nonradikal oleh antioksidan menjadi warna kuning (Yu, 2008).
1,1-Difenil-2-pikrilhidrazil 1,1-Difenil-2-pikrilhidrazil (Radikal Bebas) (nonradikal bebas)
Gambar 2.2 Reaksi antioksidan dengan radikal DPPH
[Sumber : Molineux, 2004]
2.10.2 Uji ABTS
Prinsip uji ABTS adalah penghilangan warna kation ABTS untuk mengukur kapasitas
antioksidan yang langsung bereaksi dengan radikal kation ABTS. ABTS adalah suatu radikal
dengan pusat nitrogen yang mempunyai karakteristik warna biru-hijau, yang bila tereduksi oleh
antioksidan akan berubah menjadi bentuk nonradikal, dari berwarna menjadi tidak berwarna.
Kemampuan aktivitas antioksidan secara spektrofotometer pada panjang gelombang 734.
Hasilnya dibandingkan dengan standar yakni senyawa trolox (Yu, 2008).
2.10.3 Uji Penghambatan Radikal Superoksida
Uji ini mengukur kemampuan antioksidan menggunakan medan molekular nitroblue
tetrazolium(NBT), dalam meredam radikal superoksida yang dihasilkan sistem enzimatik
hipoxantin-xantin oksidase (HPX-XOD). NBT memiliki warna kuning yang melalui reduksi oleh
radikal superoksida membentuk formazan yang berwarna biru, dan terukur pada panjang
gelombang 560 nm dengan spektrofotometer. Kemampuan ekstrak untuk penghambatan warna
hingga 50% diukur dalam EC50 (Yu,2008).
2.10.4 Uji Kapasitas Serapan Radikal Oksigen atau Oxygen Radical Absorbance Capacity
(ORAC)
Uji ini dilakukan dengan menggunakan trolox (analog vitamin E) sebagai standar untuk
menentukan trolox ekuivalen (TE). Nilai ORAC kemudian dihitung dari TE dan dinyatakan
sebagai satuan atau nilai ORAC. Semakin tinggi nilai ORAC, semakin besar kekuatan nilai
antioksidannya. Uji ini berdasarkan pembentukan radikal bebas menggunakan AAPH (2,2-
azobis-2-amido propane dihydrochloride) dan pengukuran dari fluoresensi dengan adanya
penghambat radikal. Penelitian terbaru telah melaporkan assayORAC dengan otomatisasi. Pada
uji ini β-phycoerythrin (β-PE)digunakan sebagai target radikal bebas, AAPH sebagai penghasil
radikal peroksil dan trolox sebagai kontrol standar. Setelah penambahan AAPH ke larutan uji,
fluoresensi direkam dan aktivitas antioksidan dinyatakan sebagai trolox ekuivalen (TE) (Bank
dan Lenoble, 2002).
2.10.5 Uji Kapasitas Penghambatan Radikal Hidroksil atau Hydroxyl Radical Scavenging
Capacity(HOSC).
Pada metode HOSC, radikal hidroksi yang terbentuk oleh oksidasi dibuat bereaksi
dengan dimetil sulfoksida (DMSO) untuk menghasilkan formaldehid. Formaldehid membentuk
warna kuning intensif dengan pereaksi nash (ammonium asetat 2 M). Intensitas dari warna
kuning yang terbentuk diukur pada panjang gelombang 412 nm dengan spektrofotometer. Trolox
dijadikan sebagai standar di mana hasil dinyatakan sebagai ekuivalen mikromol trolox per unit
sampel (Yu, 2008).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Obyek Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah untuk menguji aktivitas antioksidan dari daun tanaman
papaya (Carica papaya L.) dengan menggunakan metode DPPH dan identifikasi golongan
senyawa kimia dari fraksi teraktif.
3.2 Sampel dan Teknik Sampling
3.2.1 Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun tanaman papaya (Carica papaya
L.) yang tumbuh di daerah Plamongan Sari, Semarang.
3.2.2 Teknik Sampling
Teknik sampling yang digunakan adalah secara acak sederhana, dengan menganggap setiap
elemen dalam populasi mempunyai kesempatan sama dipilih sebagai sampel.
3.3 Variabel Penelitian
3.3.1 Variabel Bebas
Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi variabel terikat. Variabel bebas
dalam penelitian ini adalah metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi.
3.3.2 Variabel Terikat
Variabel terikat merupakan variabel yang nilainya dipengaruhi oleh variabel bebas variabel
terikat yang diteliti adalah aktivitas antioksidan dari daun tanaman papaya (Carica papaya L.).
3.3.3 Variabel Kontrol
Variabel kontrol merupakan variabel yang mempengaruhi variabel terikat, tetapi tidak ikut
diteliti dan harus dikendalikan. Dalam hal ini yang termasuk variabel kontrol yaitu:
a. Tempat pengambilan sampel
b. Pelarut yang digunakan
c. Prosedur kerja
d. Penimbangan sampel
e. Metode ekstraksi
f. Metode analisis spektrofotometri
g. Volume pereaksi kualitatif dan kuantitatif yang digunakan
h. Spektrofotometer UV-VIS
i. Metode DPPH
3.4 Teknik Pengumpulan Data
3.4.1 Metode Analisa
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah menentukan presentase
inhibisi (IC50) secara spektrofotometri UV - VISIBLE.
3.4.2 Alat dan Bahan yang Digunakan
3.4.2.1 Alat yang Digunakan
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah blender, cawan penguap, penguap vakum
putar (rotary evaporator ), kolom kromatografi vakum, labu erlenmeyer, tabung reaksi, vial,
botol, labu takar, gelas ukur, penampung berbagai ukuran, pipet volume, pipet mikro
(Eppendorf), pipet tetes (Pyrex), corong Buchner , spektrofotometer UV-VIS, kuvet, plat tetes,
gelas arloji, rak tabung reaksi, batang pengaduk, spatel, sendok tanduk, timbangan analitik
(ACIS), bejana kromatografi, kertas saring, peralatan kolom kromatografi vakum, vortex-
mixer(VM-2000), inkubator 37˚C (Memmert) dan lemari pendingin.
3.4.2.2 Bahan yang Digunakan
3.4.2.2.1 Bahan Uji
Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun adalah daun tanaman papaya
(Carica papaya L.) yang tumbuh di daerah Plamongan Sari, Semarang.
3.3.2.2.2 Bahan Kimia
Bahan kimia yang digunakan pada penelitian ini adalah n-heksan, etil asetat, dan metanol
teknis yang telah didestilasi; metanol p.a; lempeng KLT; butanol; asam asetat; aqua; H2SO410
% sebagai penampak noda pada KLT; silika gel (70-230 mesh, E. Merck 1.07734); asam klorida
p.a (Merck); asam sulfat p.a.
3.5 Prosedur Analisis
3.5.1 Penyiapan bahan
Tanaman yang digunakan adalah daun tanaman tanaman papaya (Carica papaya L.).
Sebanyak 10 kg (Carica papaya L.). yang diperoleh dari daerah Plamongan Sari, Semarang
dikeringkan selama kurang lebih 5 hari dan diserbukkan dengan mesin penggiling (blender)
sehingga menghasilkan 1 kg serbuk simplisia.
3.5.2 Pembuatan ekstrak
Maserasi dilakukan pada serbuk simplisia menggunakan pelarut dengan kepolaran yang
meningkat mulai dari n-heksan, etil asetat dan metanol. Maserasi dilakukan sampai filtrat terlihat
hampir tidak berwarna (dilakukan pengulangan maserasi sampai lima kali) lalu filtrat yang
diperoleh dikumpulkan dan dievaporasi dengan rotary evaporator (pada suhu 50oC) sehingga
diperoleh ekstrak n-heksan kental yang masih dapat dituang, lalu ekstrak dikeringkan pada suhu
kamar. Ekstrak yang diperoleh kemudian ditimbang. Ampas yang sudah dikeringkan, dimaserasi
berturut-turut dengan pelarut etil asetat dan metanol. Dengan prosedur dan perlakuan yang sama
akan diperoleh ekstrak etil asetat dan metanol. Proses maserasi menggunakan kurang lebih 5 liter
pelarut dengan pengocokan selama 6 jam dan didiamkan selama 18 jam setelah pengocokan.
3.5.3 Uji Pendahuluan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Secara KLT
Masing-masing 50 mg ekstrak dilarutkan dalam metanol 50 ml. Masing-masing ekstrak
tersebut ditotolkan pada lempeng silika gel 60 GF254 yang telah dielusi dengan fase gerak
tertentu, sebanyak 5 µl pada titik awal penotolan. Penotolan dilakukan secara terpisah dengan
jarak lebih kurang 1,5 cm antara zat yang diperiksa. Untuk menentukan bercak yang mempunyai
aktivitas antioksidan, pereaksi semprot yang digunakan adalahlarutan DPPH konsentrasi 100
µg/ml. Semprot lempeng yang yang telah ditotolkan dengan larutan DPPH, lalu diamkan
beberapa saat. Senyawa aktif penangkal radikal bebas akan menunjukkan bercak berwarna
kuning pucat dengan latar belakang ungu (Isnindar, Setyowati, dan Wahyuono).
3.5.4 Uji aktivitas antioksidan ekstrak
Sejumlah masing-masing ekstrak dari daun tanaman papaya (Carica papaya L.). (ekstrak n-
heksan, etil asetat, dan metanol) dilarutkan dalam metanol p.a dengan konsentrasi 1000 µg/mL
sebagai larutan induk kemudian dibuat dalam berbagai konsentrasi (1; 5; 10; 25; 50; dan 100
µg/mL) untuk masing-masing ekstrak yang diperoleh, selanjutnya dimasukkan kedalam tabung
reaksi, dalam tiap tabung reaksi ditambahkan 1,0 mL larutan DPPH dalam 2,0 mL metanol
kemudian diinkubasi pada suhu 370C selama 30 menit selanjutnya serapan diukur pada panjang
gelombang 517 nm. Sebagai pembanding digunakan kuersetin (konsentrasi 1; 2; 3; 4; 5; dan 6
µg/mL). Nilai IC50dihitung masing-masing dengan menggunakan rumus persamaan regresi
(Blois, 1958).
3.5.4.1 Optimasi Panjang Gelombang DPPH
Larutan DPPH yang akan digunakan dibuat dengan cara menimbang seksama lebih kurang
10 mg DPPH ditimbang dan dilarutkan dengan metanol p.a dalam labu ukur 100,0 ml dan
dicukupkan dengan metanol p.a hingga tanda batas, kocok sampai homogen sehingga didapat
larutan DPPH 100 µg/ml. Larutan DPPH disimpan dalam wadah yang dilindungi dari cahaya
dengan cara melapisinya dengan kertas aluminium. Untuk setiap pengujian, larutan DPPH harus
dibuat baru. Larutan ini ditentukan spektrum serapannya menggunakan spektrofotometer UV
pada panjang gelombang 200 nm hingga 800 nm serta ditentukan panjang gelombang
optimumnya.
3.5.4.2 Pembuatan Larutan Blanko
Pembuatan larutan blanko dilakukan dengan cara memipet 1,0 ml metanol p.a dimasukkan ke
dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1,0 ml larutan DPPH 100 μg/ml, lalu ditambahkan 2,0 ml
metanol dikocok hingga homogen dan diinkubasi pada suhu 370C selama 30 menit.
3.5.4.3 Pembuatan Larutan Kuersetin Sebagai Pembanding
a)Pembuatan larutan induk kuersetin konsentrasi 200 µg/mL Sejumlah 10 mg kuersetin
ditimbang dan dilarutkan dengan metanol p.a dalam labu ukur 50,0 ml dan dicukupkan dengan
metanol p.a hingga tanda batas, dikocok sampai homogen sehingga didapat larutan induk
kuersetin 200 µg/ml.
b) Pembuatan larutan kuersetin konsentrasi 1; 2; 3; 4; 5; dan 6 µg/mL Dipipet 0,025; 0,05;
0,075; 0,1; 0,125; dan 0,15 mL larutan induk kuersetin masing-masing kedalam 6 labu ukur 5
mL. Pada masing-masing labu ukur dicukupkan volumenya dengan metanol p.a sampai tanda
batas. Selanjutnya dipipet 1,0 mL masing-masing ke dalam 6 tabung reaksi. Pada masing-masing
tabung ditambah dengan 1,0 mL DPPH kemudian ditambahkan lagi 2,0 mL metanol p.a dikocok
hingga homogen kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 30 menit. Serapan dari larutan
tersebut diukur pada panjang gelombang 517 nm.
3.5.4.4 Pengukuran Serapan Sampel
a) Pembuatan larutan induk sampel konsentrasi 1000 µg/mL Sebanyak 25 mg ekstrak
ditimbang dan dilarutkan dalam 25,0 mL metanol p.a, dicukupkan hingga tanda batas kemudian
dikocok dan dilarutkan hingga homogen.
b) Pembuatan larutan seri bahan uji konsentrasi 1; 5; 10; 25; 50; dan 100 µg/mL Dipipet
0,005; 0,025; 0,05; 0,125; 0,25; dan 0,5 mL larutan induk kuersetin masing-masing kedalam 6
labu ukur 5 mL. Pada masing-masing labu ukur dicukupkan volumenya dengan metanol p.a
sampai tanda batas. Selanjutnya dipipet 1,0 mL masing-masing ke dalam 6 tabung reaksi. Pada
masing-masing tabung ditambah dengan 1,0 mL DPPH kemudian ditambahkan lagi 2,0 mL
metanol p.a dikocok hingga homogen kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 30 menit.
Serapan dari larutan tersebut diukur pada panjang gelombang 517 nm.
3.5.4.5 Penghitungan
Persentase inhibisi (IC50)terhadap radikal DPPH dari masing-masing konsentrasi larutan
sampel dapat dihitung dengan rumus:
% inhibisi = Absorbansi Blangko – Absorbansi Sampel
Absorbansi Blangko
Setelah didapatkan presentase inhibisi masing masing konsetrasi, kemudian dilakukan
perhitungan secara regresi linier dengan menggunakan persamaan y = bx + a, dimana x
merupakan konsetrasi (µg/mL) dan y adalah presentase inhibisi (%). Aktivitas antioksidan
dinyatakan dengan inhibitation Concetration 50%. Nilai IC50 didapat dari nilai x setelah
mengganti y dengan 50.
3.5.5 Penapisan Fitokimia
Pada ekstrak dan fraksi yang diperoleh dilakukan identifikasi golongan senyawa kimia
dengan bebrapa pereaksi kimia antara lain untuk pereaksi alkaloid, flavonoid, glikosida,
antrakuinon, saponin, tannin, dan terpen.
3.5.5.1 identifikasi alkaloid
1. Beberapa milligram ekstrak kental dilarutkan dalam 10 ml campuran aquadest dan asam
klorida 2 N (9:1), kemudian dipanaskan selama dua menit diatas penangas air. Selanjutnya
didinginkan dan disaring. Filtrat yang didapatkan digunakan sebagai larutan percobaan yang
selalanjutnya dilakukan sebagai berikut:
a) Larutan percobaan diambil 1 ml kemudian ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer LP, hasil
positif dengan terbentuknya endapan putih.
b) Larutan percobaan diambil 1 ml kemudian ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat LP,
hasil positif dengan terbentuknya endapan coklat hitam.
c) Larutan percobaan diambil 1 ml kemudian ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorf LP,
hasil positif dengan terbentuknya endapan jingga coklat. (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1995).
2. Penapisan dengan menggunakan KLT dan penampak noda Dragendorf LP. Fraksi teraktif
yang telah dilarutkandengan pelarutnya ditotolkan pada lempeng KLT. Selanjutnya dielusi
dengan eluen BAW (Butanol, Acetic acid, Water) 4:1:5 yang diambil lapisan atasnya.
Selanjutnya disemprot menggunakan penampak noda Dragendorf LP. Hasil positif akan
menunjukkan warna jingga-coklat (Wagner, Bladt, dan Zgainski, 1984).
3.5.5.2 Identifikasi flavonoid
1. Sebanyak 0,5 gram ekstrak ditambahkan 10 ml metanol dan 5 ml petroleum eter, dikocok dan
didiamkan. Diambil lapisan metanol, diuapkan pada suhu 40˚C. Sisa larutan ditambahkan 5
ml etil asetat P, disaring, selanjutnya dilakukan sebagai berikut:
a) Larutan uji diambil 1 ml, diuapkan, lalu sisanya dilarutkan dalam 1-2 ml etanol (95%),
kemudian ditambahkan 0,5 gram serbuk seng P dan 2 ml asam klorida 2 N dan didiamkan
selama 1 menit. Kemudian ditambahkan 10 tetes asam klorida P, jika dalam waktu 2 sampai
5 menit terjadi warna merah intensif, menunjukkan adanya flavonoid (glikosida-3-flavonol).
b) Larutan uji diambil 1 ml, diuapkan, lalu sisanya dilarutkan dalam 1 ml etanol (95%),
kemudian ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium P dan 10 tetes asam klorida P. Jika terjadi
warna merah jingga sampai merah ungu menunjukkan adanya flavonoid. Jikawarna kuning
jingga menunjukkan adanya flavon, kalkon, dan auron.
c) Larutan uji diambil 1 ml, diuapkan, lalu sisanya dibasahkan dengan aseton, kemudian
ditambahkan sedikit serbuk halus asam borat P dan serbuk halus asam oksalat P, dipanaskan
hati-hati di atas penangas air. Sisa yang didapatkan dicampur dengan 10 ml dietil eter P.
Diamati dengan sinar ultraviolet 366 nm, larutan berfluoresensi kuning intensif menunjukkan
adanya flavonoid (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995).
2. Penapisan dengan menggunakan KLT dan penampak noda AlCl3. Fraksi teraktif yang telah
dilarutkan dengan pelarutnya ditotolkan pada lempeng KLT. Selanjutnya dielusi dengan
eluen BAW (Butanol, Acetic acid, Water) 4:1:5 yang diambil lapisan atasnya. Selanjutnya
disemprot menggunakan penampak noda AlCl3. Hasil positif akan menunjukkan warna
kuning pada sinar UV dengan panjang gelombang 366 nm(Wagner, Bladt, dan Zgainski,
1984).
3.5.5.3 Identifikasi glikon
Ekstrak yang diuji ditambahkan 15 mlasam klorida 10 % LP, direfluks selama 10 menit,
dinginkan kemudian disaring. Filtrat yang diperoleh disari sebanyak tiga kali masing-masing
dengan 5 mleter P. Lapisan eter dipisahkan dan dikumpulkan. Kumpulan sari ditambahkan
natrium sulfat anhidrat P, disaring dan diuapkan pada suhu tidak lebih dari 500C, kemudian
ditambahkan dengan 2 ml metanol dan diuapkan. Hasil penguapan dilarutkan dengan 1 ml
aquades dan 8 tetes Mollisch LP. Kemudian tambahkan dengan hati-hati 1 ml asam sulfat P.
Hasil positif ditandai dengan terbentuknya cincin berwarna ungu pada batas cairan (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1995).
3.5.5.4 Identifikasi antrakinon
1. Ekstrak yang diperoleh ditambahkan 5 ml asam sulfat 2N, panaskan sebentar, dinginkan.
Tambahkan 10 ml benzen P,kocok, diamkan. Pisahkan lapisan benzen, saring. Kocok lapisan
benzen dengan 1 sampai 2 natrium hidroksida 2N, diamkan, lapisan air berwarna merah
intensif dan lapisan benzene tidak berwarna.
2. Penapisan dengan menggunakan KLT dan penampak noda KOH. Fraksi teraktif yang telah
dilarutkan dengan pelarutnya ditotolkan pada lempeng KLT. Selanjutnya dielusi dengan
eluen BAW (Butanol, Acetic acid, Water) 4:1:5 yang diambil lapisan atasnya. Selanjutnya
disemprot menggunakan penampak noda KOH. Hasil positif akan menunjukkan warna
merah pada cahaya tampak atau flourosensi kuning di bawah sinar UV dengan panjang
gelombang 366 nm (Wagner, Bladt, dan Zgainski, 1984)
3.5.5.5 Identifikasi saponin
1. Sebanyak 0,5 gram ekstrak ditambahkan 10 mL aquadest panas, didinginkan kemudian
dikocok kuat-kuat selama 10 detik. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya buih yang
stabil selama tidak kurang dari 10 menit setinggi 1-10 cm dan pada penambahan 1 tetes asam
klorida 2 N buih tidak hilang (Departemen Kesehatan RI, 1995).
2. Penapisan dengan menggunakan KLT dan penampak noda anisaldehid-asam sulfat. Fraksi
teraktif yang telah dilarutkan dengan pelarutnya ditotolkan pada lempeng KLT. Selanjutnya
dielusi dengan eluen BAW (Butanol, Acetic acid, Water) 4:1:5 yang diambil lapisan atasnya.
Selanjutnya disemprot menggunakan penampak noda larutan anisaldehid-asam sulfat. Hasil
positif akan menunjukkan warna biru, biru-ungu, atau kekuningan pada cahaya tampak
setelah dipanaskan pada suhu 100˚C selama 5-10 menit (Wagner, Bladt, dan Zgainski, 1984).
3.5.5.6 Identifikasi tanin
1. Beberapa miligram ekstrak kental dilarutkan dalam 5 ml air suling panas dan diaduk. Setelah
dingin disentrifugasi dan bagian cairan didekantasi dan diberi larutan natrium klorida 10%,
kemudiandisaring. Filtrat sebanyak masing-masing 1 ml dikerjakan sebagai berikut:
a. Filtrat ditambahkan ditambahkan 2 tetes larutan besi (III) klorida 1%, hasil positif
ditunjukkan dengan terbentuknya warna hijau violet.
b. Filtrat ditambahkan ditambahkan 3 ml larutan gelatin 10%, hasil positif ditunjukkan
dengan terbentuknya endapan putih.
c. Filtrat ditambahkan ditambahkan 3 ml larutan natrium klorida-gelatin (larutan gelatin 1%
dalam larutan natrium klorida 10%), hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknyaendapan
(Farnsworth, 1966).
2. Identifikasi tanin untuk fraksi dilakukan dengan menggunakan KLT, dengan eluen butanol-
asam asetat glasial-aquades (40:10:50) dan menggunakan penyemprot larutan FeCl3 10%.
Hasil positif akan menunjukkan warna hijau kehitaman (Wagner, Bladt, dan Zgainski, 1984).
3.5.5.7 Identifikasi Terpen
1. 1 mg ekstrak kental dilarutkan dalam 5 mL eter kemudian diuapkan di dalam cawan
penguap. Ke dalam residu ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrat, kemudian 1 tetes asam
sulfat pekat akan terbentuk warna merah-hijau atau violet-biru (Farnsworth, 1966).
2. Identifikasi terpenoid/sterol untuk fraksi dilakukan dengan menggunakan
KLT, dengan eluen benzen-etil asetat(90:10) dan menggunakan penyemprot anisaldehid-
asam sulfat. Hasil positif akan menunjukkan warna biru kuat, hijau, merah, atau coklat pada
cahaya tampak setelah dipanaskan pada suhu100˚C selama 5-10 menit
3.5.6 Pemisahan Ekstrak Aktif
Ekstrak yang memiliki aktivitas antioksidan paling kuat dilanjutkan dengan pemisahan
menggunakan kromatografi kolom. Selanjutnya dilakukan uji aktivitas antioksidan, sehingga
didapatkan fraksi yang memiliki aktivitas antioksidan teraktif. Fase diam yang digunakan adalah
silika gel 60 H Merck dan fase gerak yang digunakan adalah kombinasi beberapa pelarut
terdistalasi.
DAFTAR PUSTAKAAqil, F., Ahmad, I., dan Mehmood, Z. (2006). Antioxidant and Free Radical Scavenging
Properties of Twelve Traditionally Used Indian Medicinal Plants. Turk J Biol, 177-183.
Ashari, S. 2006. Edisi Revisi Hortikultura Aspek Budidaya. Jakarta : UI Press.
Bank, G., dan Lenoble, R. (2002). Oxygen Radical Absorbency Capacity, Standardizing the Way We Look at Antioxidants. Nutraceutical World September, 42-45.
Blois, M.S. (1958). Antioxidant Determinations By The Use Of A Stable Free RadicalNature, 181, 1199- 1200.
Dalimartha, S. 2009. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 6. Jakarta : Pustaka Bunda.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Materia Medika Indonesia Jilid VI. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Direktorat Pengawasan ObatTradisional. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat Cetakan Pertama. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Farnsworth, N.R. (1966). Biological and Phytochemical Screening of Plants. Journal of Pharmaceutical Sciences 55(3), 226-276.
Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Mengekstraksi Tumbuhan(Kosasih Padmawinata & Iwang Soediro, Penerjemah.). Bandung: Penerbit ITB.
Harmita. (2006). Buku Ajar Analisis Fisikokimia. Depok : Departemen Farmasi FMIPA Universitas Indonesia.
Isnindar., Setyowat, E.P., dan Wahyuono, S. (2011). Aktivitas Antioksidan Daun Kesemek (Diospyros kaki L.F) Dengan Metode DPPH (2,2-Difenil-Pikrilhidrazin). Majalah Obat tradisional.
Johnson, E. (1991). Dasar Kromatografi Cair. Bandung : Penerbit ITB.
Kalie, MB . 2006. Bertanam Pepaya. Jakarta : Penebar Swadaya.
Lingga, L. 2010. Cerdas Memilih Sayuran. Jakarta : PT Argo Media Pustaka.
Lampe, J.W. (1999). Health Effects ofVegetables and Fruit: Assesing Mechanisms of Action in Human Experimental Studies. The American Jurnal of Clinical Nutrition.
Lautan, J. (1997). Radikal Bebas Pada Eritrosit dan Leukosit, Cermin Dunia Kedokteran. (116), 49-52.
Molineux, P. (2004). The Use of The Stable Free Radical Diphenyl Picrylhydrazil (DPPH) for Estimating Antioxidant Activity. Songklankarin J. Sci.Technol., 26 (2), 211-219.
Muktiani. 2011. Bertanam Varietas Unggul Pepaya California. Yogyakarta : Pustaka Baru Press.
Muljana, W. 2006. Bercocok Tanam Pepaya. Semarang : Aneka Ilmu.
Soediro, I., dkk (1986). Kromatografi Cepat Sebagai Cara Fraksinasi Ekstrak Tanaman. Acta Pharmaceutica Indonesia.
Steenis, v. 2002. Flora Untuk Sekolah di Indonesia Cetakan ke 8. Jakarta : PT Pradnya Paramita.
Suprapti, L. 2005. Aneka Olahan Pepaya Mentah dan Mengkal. Yogyakarta : Kanisius.
Tjitrosoepomo, G. 1996. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Wagner, H., Blandt, S., dan Zgalnski. (1984). Plant Drug Analysis. New York : Springer-Verlag, 7-304.
Winarsi, H. (2007). Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Yogyakarta: Kanisius.
Yu, L. (2008). Wheat Antioxidants. United States Of America: Wiley.