BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini, ada pelbagai macam permasalahan moral yang muncul dalam
kehidupan kita sehari-hari. Salah satunya ialah masalah eutanasia. Tindakan eutanasia
mendapat penentangan dari pelbagai pihak, yang menilai bahwa tindakan eutanasia
merupakan perbuatan yang merusak moral hidup manusia. Manusia tidak lagi
menghargai hidupnya yang merupakan pemberian Allah yang luhur. Manusia
berupaya untuk melampaui kodratnya dengan merampas kedaulatan Allah sebagai
penguasa kehidupan setiap ciptaan-Nya.
Euthanasia atau suntik mati oleh dokter terhadap seorang pasien yang sudah
tidak memiliki kemampuan mengobati penyakitnya saat ini masih merupakan
perbuatan pidana berupa menghilangkan nyawa orang lain. Untuk menempuh
euthanasia, selain masih ada persoalan hukum yang melarang hal itu, juga masih ada
persoalan etika dan moral. Masih berlakukah sumpah etik dokter, yang berasal dari
sumpah Bapak IlmuKedokteran Yunani, Hippokrates (400 SM), “tak akan kulakukan,
walaupun atas permintaan, untuk memberikan racun yang mematikan, ataupun
sekedar saran untuk menggunakannya?”
Eutanasia merupakan salah satu permasalahan yang sering diperdebatkan akhir-
akhir ini. Ada golongan yang berupaya untuk menolak tindakan eutanasia, ada pula
golongan yang terus berupaya untuk melegalkan tindakan eutanasia. Upaya legalisasi
eutanasia di dasarkan pada suatu paradigma yang melihat bahwa manusia selain
mempunyai hak untuk hidup, mereka juga mempunyai hak untuk mati “The right to
die”.
Praktek-praktek eutanasia yang dilakukan akhir-akhir ini mengindikasikan suatu
fakta bahwa terjadi kemerosotan moral dalam dunia saat ini. Teknologi canggih yang
1
terus berkembang dalam dunia dewasa ini seakan-akan telah menjadi tuan atas
manusia. Teknologi tidak lagi dipandang sebagai sarana untuk menunjang kualitas
hidup manusia, tetapi sebaliknya manusia dipandang sebagai “objek” dari
kemuktahiran teknologi-teknologi.
Ajaran moral kristiani dengan tegas menolak segala bentuk eutanasia yang
dilakukan secara sadar, sengaja, dan langsung dengan alasan dan tujuan apapun.
Tindakan eutanasia yang demikian dipandang sebagai tindakan yang melawan hidup
dan dalam hal ini dianggap sebagai suatu pembunuhan. Tindakan eutanasia
merupakan tindakan yang melawan keluhuran hidup manusia yang diberikan oleh
Allah sebagai anugerah yang begitu besar. Secara singkat dapat dikatakan bahwa
tindakan eutanasia membantu orang. Tetapi juga membunuh orang secara sengaja.
Gereja dengan keras menolak tindakan eutanasia yang dilakukan secara aktif.
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah mengajak pembaca untuk
mengetahui apa itu EUTANASIA dan mengkaji persoalan yang ada di masyarakat
tentang pro dan kontra dari EUTANASIA atau suntik mati yang kerap membawa
dilaema pada seorang dokter serta bagaimana pandangan gereja dan umat Kristen
tentang suntik mati ini.
1.3 Pemicu
Seorang gadis berumur 17 tahun mengalami penyakit kronis yaitu; kanker otak.
Di usianya yang sangat muda ini, dia merasa penyakit tersebut mulai mempengaruhi
fungsi otak dan sering membuat kepalanya merasa sakit yang luar biasa. Bukan hanya
itu, biaya yang terlampau tinggi membuat gadis ini tidak mendapatkan penanganan
medis dengan baik. Oleh karena itu, gadis ini meminta kepada Dokter untuk
melakukan Euthanasia. Sebagai Dokter; apa keputusan yang tepat untuk pasien ini
dan bagaimana pandangan secara Hukum maupun Kristen?
2
1.4 Kata Kunci
Gadis berumur 17 tahun
Kanker Otak
Mempengaruhi fungsi otak
Kepala merasa sakit yang luar biasa
Biaya terlampau tinggi
Penanganan medis
Euthanasia
1.5 Identifikasi Masalah
Apa keputusan yang tepat bagi seorang Dokter untuk menangani Pasien yang
meminta dilakukannya Euthanasia ?
Apakah Euthanasia merupakan tindakan yang melanggar hukum?
Bagaimana pandangan Kristen terhadap Euthanasia ?
3
BAB II
KAJIAN TEORI DAN PEMBAHASAN
2.1 Kanker Otak
2.1.1 Pengertian
Otak adalah pusat kehidupan. Segala aktivitas kehidupan, hingga yang sekecil-
kecilnya, hanya bisa terjadi melalui mekanisme yang diatur oleh otak. Dalam waktu
yang bersamaan otak harus menjalankan beribu-ribu aktivitas sekaligus. Saat tiba-tiba
mendengar suara klakson dari belakang maka secepat kilat otak menyuruh kaki
meloncat ke tepi, menyuruh leher menoleh ke belakang, menyuruh mata membelalak,
menyuruh otot-otot menegang untuk mengatasi situasi darurat, menyuruh jantung
memompa darah lebih kencang, menyuruh hidung tetap bernapas, dan masih banyak
lagi yang harus diaturnya.
Semua ini dapat dilaksanakan bersamaan karena diatur oleh bagian otak yang
berbeda-beda, otak memiliki banyak bagian yang memiliki fungsi yang berbeda-beda.
Secara garis besar otak terbagi atas tiga bagian, yaitu otak besar (cerebrum), otak
kecil (cerebellum), dan batang otak (brain stem). Masing-masing bagian terbagi lagi
menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, lebih kecil lagi, dan lebih kecil lagi. Seperti
bagian-bagian tubuh lain, otak bisa terkena tumor maupun kanker. Bedanya, jika pada
bagian tubuh lain tumor jinak kadang tidak mengganggu dan tidak berbahaya, di otak
tumor jinak pun bisa sangat menggangu dan membahayakan nyawa.
Banyaknya bagian otak yang memiliki fungsi pengaturan tubuh yang berbeda-
beda membuat tumor dan kanker otak memiliki gejala yang sangat variatif. Gejala
yang muncul sangat tergantung di bagian otak mana tumor tersebut muncul.
4
2.1.2 Gejala
Gejala Serebral Umum
Dapat berupa perubahan mental yang ringan (psikomotor asthenia), yang dapat
dirasakan oleh keluarga dekat penderita berupa: mudah tersinggung, emosi, labil,
pelupa, perlambatan aktivitas mental dan social, kehilangan inisiatif dan spontanitas,
mungkin diketemukan ansietas dan depresi. Gejala ini berjalan progresif dan dapat
dijumpai pada 2/3 kasus. Gejala umum tumor dan kanker otak adalah sebagai
berikut :
Nyeri Kepala
Diperkirakan 1% penyebab nyeri kepala adalah tumor otak dan 30% gejala awal
tumor otak adalah nyeri kepala. Sifat nyeri kepala bervariasi dari ringan dan episodik
sampai berat dan berdenyut, umumnya bertambah berat pada malam hari dan pada
saat bangun tidur pagi serta pada keadaan di mana terjadi peninggian tekanan tinggi
intracranial. Adanya nyeri kepala dengan psikomotor asthenia perlu dicurigai tumor
otak.
Muntah
Terdapat pada 30% kasus dan umumnya menyertai nyeri kepala. Lebih sering
dijumpai pada tumor di fossa nyeri kepala. Lebih sering dijumpai pada tumor di fossa
posterior, umumnya muntah bersifat proyektil dan tidak disertai dengan mual.
Kejang
Bangkitan kejang dapat merupakan gejala awal dari tumor otak pada 25% kasus,
dan lebih dari 35% kasus pada stadium lanjut. Diperkirakan 2% penyebab bangkitan
kejang adalah tumor otak.
5
Perlu dicurigai penyebab bangkitan kejang adalah tumor otak, bila :
Bangkitan kejang pertama kali pada usia lebih dari 25 tahun
Mengalami post iktal paralisis
Mengalami status epilepsi
Resisten terhadap obat-obat epilepsi
Bangkitan disertai dengan gejala tekanan tinggi intracranial lain.
Bangkitan kejang ditemui pada 70% tumor otak di konteks, 50% pasien dengan
astrositoma, 40% pada pasien meningioma, dan 25% pada glioblastoma. Untuk
memastikan gejala diatas perlu dilakukan pemeriksaan langsung oleh dokter spesialis
(bedah) syaraf dan pemeriksaan lanjutan seperti CT scan, MRI, angiogram,
myelogram, spinal tap, serta biopsi.
2.1.3 Penyebab
Penyebab kanker otak dibagi menjadi dua faktor yaitu dari dalam otak (intrinsik)
dan faktor dari luar otak (ekstrinsik). Kanker ini memang tidak berdiri sendiri, kadang
multifaktorial, yaitu banyak penyebabnya.
Faktor pencetus kanker otak dari dalam adalah sebagai berikut :
1. Genetik : keturunan. Apabila ada garis keturunan yang menderita kanker otak
maka hati-hati untuk tetap menjaga kesehatan.
2. Riwayat trauma atau benturan : benturan di kepala walaupun cidera kepala
ringan tetap waspada, perubahan jaringan yang terbentur bisa juga menjadi
penyebab tumbuhnya jaringan abnormal di otak.
Faktor pencetus kanker otak dari luar adalah sebagai berikut :
1. Pola hidup (life style) : pola hidup yang tidak sehat bisa juga menjadi
penyebab kanker secara umum, seperti merokok, makanan kurang sehat dan
lain-lain.
6
2. Karsinogenik : bahan karsinogenik secara umum juga menjadi penyebab
kanker, seperti minyak goreng yang dipakai berulang-ulang, bahan kimia yang
terhirup, atau tercampur pada makanan.
3. Radiasi : radiasi bahan-bahan kimia bisa juga memicu tumbuhnya sel kanker.
2.1.4 Pengobatan
Sejumlah teknik operasi dapat dilakukan untuk menyembuhkan penyakit
tersebut. Yakni, operasi dengan bedah microsurgery atau endoscopic surgery,
radiotherapy : sinar X maupun sinar gamma, atau gamma knife, chemotherapy, dan
immunotherapy
2.1.5 Pencegahan
Kanker otak adalah penyakit berbahaya yang sangat mematikan. Selain
mematikan, pengobatannya pun menelan biaya yang sangat besar. Untuk menghindari
penyakit tersebut, berikut ini sejumlah langkah-langkah untuk mencegah penyakit
ini :
1. Jangan biarkan stress berat menyerang terus-menerus, sempatkan waktu
beristirahat, dan lakukan refresing yang dapat mengurangi dan menghilangkan
stres.
2. Batasi radiasi langsung yang terlalu berlebihan pada tubuh, llebih baik
gunakan handsfree bila menggunakan telepon seluler dalam waktu lama.
3. Terapkan pola makan sehat dengan gizi yang seimbang, misalnya
memperbanyak konsumsi buah-buahan, sayur, dan biji-bijian. Ditambah
membatasi diri mengonsumsi lemak.
4. Kurangi konsumsi makanan yang diasap, dibakar dan diawetkan dengan nitrit,
maupun zat-zat kimiawi buatan lainnya.
5. Sudah saatnya menghentikan konsumsi alkohol dan rokok.
6. Lakukan pemerisaan kesehatan secara teratur, apalagi kalau mempunyai
riwayat keluarga penderita kanker otak.
7
7. Jangan mengonsumsi obat-obatan tertentu sebelum mendapat resep rujukan
dokter. Kesalahan penggunaan obat dapat merangsang perkembangan sel
kanker.
8. Lakukan olah raga secara teratur dan pada porsi yang cukup.
9. Mulai sekarang biasakan mengaplikasikan gaya hidup sehat.
2.2 EUTHANASIA
2.2.1 PENGERTIAN
Dewasa ini eutanasia telah menjadi sebuah permasalahan moral yang sering kali
dibicarakan. Sebelum kita melakukan suatu tindakan atas keputusan moral
menyangkut permasalahan eutanasia ini, ada baiknya terlebih dahulu memahami titik
permasalahan yang ada. Oleh karena itu pada bagian ini kita akan mencoba
membahas dan memperdalam pengertian mengenai eutanasia itu sendiri.
Apa Itu Eutanasia?
Eutanasia berasal dari bahasa Yunani, yakni kata “EU” dan “THANATOS”.
“Eu” berarti secara baik dan “Thanatos” berarti mati. Jadi, eutanasia berarti mati
secara baik atau kematian tanpa penderitaan. Namun, akhir-akhir ini orang sering
tidak lagi memikirkan arti asli dari eutanasia itu. Orang menganggap eutanasia dalam
arti yang lebih sempit yakni membunuh karena kasihan yang terutama dilihat sebagai
suatu intervensi kedokteran untuk mengurangi rasa sakit dari penyakit atau
pergumulan dengan sakit dan untuk tidak memperpanjang penderitaan anak-anak
yang cacat kelahiran, orang sakit yang tidak tersembuhkan dan orang sakit serius
yang dianggap tanpa tindakan itu orang akan mengalami penderitaan yang berat itu
selama beberapa tahun dan akan membebani pihak keluarga dan masyarakat.
Di Inggris orang lebih suka menggunakan kata “mercy killing” untuk istilah
eutanasia. Maksudnya sama, yakni tindakan mengakhiri hidup manusia agar lepas
dari penderitaan. Kata “killing” digunakan sebagai pembeda arti dari kata “murder”
8
yang juga berarti pembunuhan. Kata “murder” digunakan untuk menunjuk pada
pembunuhan yang dimaksudkan sebagai tindakan yang tergolong dalam kriminalitas
(unlawfully), sedangkan kata “to kill” digunakan untuk maksud dan tujuan tertentu
yang lebih manusiawi.
Dalam simposium dokter di Universitas Diponegoro, Dr. Indra Wijaya
memperhalus pengertian eutanasia dengan mengatakan bahwa eutanasia merupakan
upaya pencapaian kematian karena kasihan atau membiarkan seseorang mati karena
kasihan kalau dia hidup dalam penderitaan. Di sini dapat dilihat bahwa Dr. Indra
Wijaya mau melihat kematian orang tersebut bukan karena pembunuhan atau
percobaan pembunuhan, melainkan kematian dilihat sebagai rasa belas kasihan
terhadap penderita atau pasien. Ia melihat kematian bukan sebagai suatu tujuan yang
jahat, tetapi sebagai sarana untuk mengurangi penderitaan seseorang.
Eutanasia terkadang dapat pula diartikan sebagai tindakan bunuh diri (suicide).
Jika tindakan eutanasia ini dilakukan sebagai tindakan eutanasia aktif atau sebagai
tindakan eutanasia yang dilakukan atas kemauan pasien sendiri, maka tindakan
eutanasia semacam ini dapat dikatakan sebagai tindakan bunuh diri. Namun, di pihak
lain ada golongan yang bersikeras bahwa tindakan eutanasia bukanlah sebuah
tindakan bunuh diri. Hal ini masih menjadi perdebatan etis yang menarik.
Pendapat Tentang Euthanasia
Masyarakat umum menganggap euthanasia sama dengan suicide. Euthanasia
(good death/easy death atau mercy killing) berasal dari bahasa Yunani, Eu = baik dan
thanatos = mati, disebut juga “kematian yang baik atau bahagia “ atau pembunuhan
karena kasihan. Terdapat sejumlah rumusan pengertian tentang euthanasia, antara lain
sebagai berikut :
1. Plato : euthanasia adalah mati dengan tenang dan baik.
2. Gezondheidsraad ( Belanda ) : euthanasia adalah perbuatan yang dengan
sengaja memperpendek hidup ataupun dengan sengaja tidak berbuat untuk
9
memperpanjang hidup demi kepentingan pasien oleh seorang dokter atau
bawahannya yang bertanggung jawab padanya.
3. Van Hattum : euthanasia adalah sikap mempercepat proses kematian pada
penderita – penderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dengan
melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan medis, dengan maksud untuk
membantu korban menghindarkan diri dari penderitaan dalam menghadapi
kematiannya dan untuk membantu keluarganya menghindarkan diri melihat
penderitaan korban dalam menghadapi saat kematiannya.
4. Kode Etik Kedokteran Indonesia, merumuskan euthanasia dalam tiga arti :
(1) berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa
penderitaan, untuk yang beriman dengan nama Allah di bibir;
(2) waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan
memberinya obat penenang;
(3) mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
5. Oxford English Dictionary, merumuskan euthanasia sebagai sebuah kematian
yang lembut dan nyaman; dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang
penuh dengan penderitaan dan tak tersembuhkan.
Komite ad hoc terpaksa dibentuk di Harvard Medical School tahun 1969 dan
menghasilkan rekomendasi mengenai boleh / tidaknya mengakhiri hidup pasien
penderita brain death, yaitu bila memenuhi unsur – unsur :
1. Unreceptivity and unrespondesiveness (kehilangan daya tanggap/reaksi);
2. No spontaneous movements or breathing (tanpa gerak spontan dan nafas);
3. No reflexes (tanpa refleks);
4. a flat electroencephalogram / EEG (kerusakan otak).
Sebuah penelitian menunjukkan di Amerika Serikat pendapat masyarakat 60%,
(sementara di Cina 89 %) setuju dilakukannya euthanasia. Jawaban setuju di kalangan
10
responden di Amerika Serikat itu setidaknya dilandasi tujuh alasan berbeda untuk
mendukung pembunuhan atas dasar belas kasihan (euthanasia), yaitu :
1. Tesis filosofis bahwa setiap pribadi rasional mempunyai hak yang tak dapat
dialihkan dan tak dapat dikurangi untuk membunuh dirinya;
2. Anggapan mengenai kepemilikan – anggapan bahwa kehidupan seseorang
merupakan miliknya sendiri;
3. Fakta materiil, sejumlah penyakit dirasa membuat rasa amat menderita;
4. Keputusan yang mengakibatkan sejumlah kehidupan, kendatipun bukan
karena sakit, tidak mempunyai arti;
5. Pendapat bahwa ketergantungan pada perhatian orang – orang lain itu
merendahkan dan tidak pantas;
6. Gagasan bahwa teknik medis modern memaksa kita untuk menerima
pembunuhan belas kasih dalam banyak kasus;
7. Teori filosofis mengenai tindakan dan kelalaian.
Argumentasi pro, yaitu argumentasi yang dikemukakan oleh orang-orang yang
berusaha untuk melegalkan tindakan eutanasia dengan berpegang pada pandangan the
right to die. Berikut argumentasi yang mereka kemukakan:
1. Eutanasia dilakukan demi kemanusiaan. Orang yang menderita sakit yang
begitu parah dan hidupnya hanya tergantung pada alat serta tidak mempunyai
harapan untuk sembuh dapat dibenarkan untuk melakukan tindakan eutanasia.
Apakah benar orang yang dalam kondisi semacam itu dibiarkan hidup?
manusia mempunyai otonominya sendiri untuk menentukan nasibnya.
Tindakan eutanasia merupakan sebuah pilihan pribadi yang perlu juga untuk
dihormati. Pemikiran seperti ini datang dari para pemikir aliran utilitarian,
seperti JS. Mill. Mill berpendapat bahwa ada hak universal untuk mati atau
hidup sebagaimana dikehendaki orang, asalkan hal ini tidak merugikan orang
lain.
2. Memperhatikan keadaan pasien. Pasien yang dalam keadaan menderita dan
sudah siap untuk mati lebih baik ia dibantu untuk mati daripada ia mengalami
11
penderitaan yang berkepanjangan. Ketakutan akan rasa sakit yang berlebihan
mendorong orang untuk membenarkan tindakan eutanasia. Membiarkan orang
bergulat dengan rasa sakit yang tidak mengenakkan dan membiarkan orang
dalam ketidakpastian hidup dan siksaan yang amat berat. Di samping itu,
orang tidak akan tahan melihat anak-anak yang lahir cacat yang sangat
mengerikan dan membiarkan mereka menderita seperti itu terus. Dengan
membiarkan mereka mengalami penderitaan seperti itu, berarti membiarkan
mereka mengalami penderitaan yang begitu berat.
3. memperhatikan keadaan sosial. Bagi orang yang sudah tidak produktif dan
hanya menghabiskan biaya. Orang yang dalam kondisi ini lebih baik mati
daripada hanya menjadi beban hidup bagi orang lain hidupnya sendiri tidak
menentu dan manusiawi.
Menanggapi pelbagai argumentasi di atas, golongan yang kontra terhadap
tindakan eutanasia memberikan argumentasi tersendiri yaitu:
1. Hidup manusia merupakan anugerah Allah yang luhur dan ini perlu dihormati
dengan sungguh-sungguh. Hidup manusia adalah suci dan perlu terus
diperjuangkan walaupun menghadapi kesulitan yang amat berat. Orang juga
menghormati otonomi dari profesi petugas medis yang dengan segala
kemampuannya mengupayakan penyembuhan pasien dan menjadi
perpanjangan tangan Allah, Sang Penguasa kehidupan.
2. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bertujuan membantu orang agar
hidup secara baik dan manusiawi. Kemajuan IPTEK diharapkan untuk
membantu pasien dalam meringankan penderitaan yang ada. Oleh karena itu,
salah kalau penderitaan pasien yang ditolong dengan alat-alat medis ini
dianggap sebagai tindakan yang tidak manusiawi. Kemajuan IPTEK ini
membutuhkan biaya yang mahal, namun orang tidak boleh begitu saja
melakukan tindakan eutanasia dengan alasan biaya yang mahal. Dalam
banyak kasus, ada pihak-pihak yang mau membantu kelancaran perawatan
dan upaya penyembuhan.
12
3. adas perasaan kasihan untuk berpisah dengan orang yang dicintai karena
berharap bahwa dia masih dapat hidup bersama dalam keluarga. Perasaan ini
tidak boleh diabaikan dan dimatikan. Manusia adalah makhluk sosial yang
memperhatikan sesama. Apakah dengan “otonomi” itu tidak melakukan
pelanggaran dalam hidup bersama? Orang juga mempunyai kepedulian
terhadap hidup ini dan hidup perlu diupayakan dalam kebersamaan dengan
yang lain. Pandangan kaum utilitarian terlalu menyempitkan kehidupan
manusia sebagai makhluk sosial. Mereka terlalu egois.
4. Hidup manusia dilindungi oleh undang-undang dan perlu diupayakan dalam
kebersamaan. Orang tidak boleh dengan seenaknya menghabisi nyawa
seseorang walaupun orang itu sendiri yang memintanya, karena hidup itu
milik bersama, maksudnya dipertahankan dalam kebersamaan hidup.
Dengan sakit orang dapat semakin mengalami kasih Allah. orang dapat
menghayati bahwa penderitaan yang sekarang ini dialami sama seperti penderitaan
Kristus di salib (pandangan Kristiani)
2.2.2 Sejarah
a. Sejarah umum
Eutanasia bukanlah merupakan suatu hal yang baru, karena eutanasia sudah di
kenal sejak zaman Yunani Kuno atau klasik. Pada zaman Yunani-Romawi,
penekanan terletak pada kehendak kematian seseorang yang mau melepaskan diri dari
penderitaan, terutama mereka yang mengalami penyakit yang parah (seperti
pemahaman modern saat ini). Hal ini ditempuh agar tidak membebani orang lain.
Hanya saja letak perbedaan antara zaman modern ini dan pada masa itu, yakni adanya
tradisi kurban yang memungkinkan dilakukannya tindakan eutanasia yang dapat
dilakukan atas kehendak pribadi.
13
Tidak semua pemikir pada masa Yunani kuno setuju dengan tindakan eutanasia
aktif dan atas kehendak pribadi ini. Ia melihat bahwa hidup manusia mempunyai nilai
keabadian. Jadi, eutanasia merupakan tindakan yang tidak menanggapi hidup
manusia. Sementara itu, Plato melawan tindakan bunuh diri, namun bersimpati
terhadap tindakan eutanasia pada kasus penderitaan yang berat. Ia menolak ide bahwa
hak untuk memelihara hidup ditempakan pada kebaikan itu sendiri, pada kasus
penderitaan orang yang berat. Aristoteles berlainan pandangan dengan gurunya. Ia
menolak eutanasia dengan alasan bahwa hidup manusia itu bernilai luhur.
Selain dari dunia filsafat, dunia medis Yunani pun mempunyai perhatian yang
sangat besar terhadap pembelaan hidup manusia. Seorang yang sangat berpengaruh
dalam dunia medis yakni Hippokrates mempunyai usaha yang gigih dalam
memberikan pelayanan kesehatan bagi manusia. Salah satu yang paling berpengaruh
yaitu ia mengangkat sumpah yang saat itu masih menjadi sumpah jabatan para dokter
yang dikenal dengan sumpah dokter.
Pada abad pertengahan juga ada upaya untuk membela kehidupan manusia. Salah
satu tokoh yang mempunyai perhatian terhadap masalah eutanasia ini adalah Thomas
More dari Inggris. Dan juga pada masa pencerahan, David Hume dalam bukunya On
Suicide menolak tindakan eutanasia.
Pada tahun 1920, adas sebuah buku yang sangat populer dengan judul The
Permission to Destroy Life Unworthy of Life. Buku ini ditulis oleh seorang psikiatri
dari Universitas Freinburg yang bernama Alfred Hoche, M.D. dan seorang profesor
hukum dari Universitas Leipzig yang bernama Karl Binding. Mereka berpendapat
bahwa tindakan membantu orang yang mengalami kematian merupakan masalah
etika tingkat tinggi yang membutuhkan pertimbangan yang tepat, yang pada dasarnya
merupakan suatu solusi belas kasihan atas masalah penderitaan.
Permasalahan eutanasia juga mendapat tanggapan yang keras dan luar biasa
ketika Nazi Jerman menerapkannya bagi orang Yahudi pada masa Perang Dunia II.
14
Banyak orang mengecam tindaskan Hitler itu. Tanggapan paling keras dilontarkan
oleh Gereja Katolik. Pada tahun 1943, Paus Pius XII mengeluarkan ensiklik “Mystici
Corporis”, sebagai tanggapan atas pembantaian tersebut.
b. Tinjauan dari Sejarah Gereja
Sudah sejak awal Gereja sangat prihatin terhadap martabat hidup manusia. Salah
seorang tokohnya adalah Pastor Hermas (antara 140-155), ia melawan tindakan
bunuh diri karena hal itu berarti melawan kehidupan yang diberikan oleh Allah
sendiri. pandangan ini juga berkembang dalam pemikiran St. Yustinus Martir yang
mendasarkan pemikirannya pada ajaran Kitab Suci bahwa manusia itu milik Allah
secara utuh.
Santo Agustinus menolak secara tegas tindakan bunuh diri. Tindakan bunuh diri
berarti melawan cinta Allah yang telah mencurahkan cinta-Nya kepada manusia
dengan memberi hidup. Hidup manusia itu sangat bernilai karena merupakan
pemberian Allah. Allah menciptakan manusia secitra dengan-Nya. Karena itu, hidup
perlu dijunjung tinggi.
Santo Thomas Aquinas mendasarkan argumentasinya pada pemikiran filsafatnya.
Ia menggunakan pemikiran Aristoteles dan teologi Kristiani. Ia mengatakan bahwa
tindakan bunuh diri merupakan kekerasan terhadap cinta Allah sendiri dan juga
komunitas. Thomas juga melihat bahwa ada nilai universal dari karya cipta Allah.
Menurut Thomas, kasih Allah yang ditolak oleh manusia ini mendatangkan dosa,
yakni manusia jauh dari Allah dan tidak lagi hidup dalam kasih itu.
Pada masa renaisance ada juga argumentasi moral melawan eutanasia. Pandangan
itu disampaikan oleh seorang Yesuit bernama Juan Kardinal de Lugo. De Lugo
mendapat inspirasi janji keselamatan Allah diberikan kepada manusia. Oleh karena
itu, manusia mempuin8ai kewajiban untuk memelihara hidupnya, sebagai anugerah
yang luhur.
15
Ajaran Gereja, yang dikeluarkan oleh Paus Pius XII menganggapi “eugenic
euthanasia”, mengatakan hawa eutanasia merupakan tindakan kekerasan melawan
Allah. Hal ini karena melihat peristiwa Perang Dunia II dan kurban pembantaian yang
dilakukan oleh Hitler terhadap orang Yahudi. Paus Pius XII mendasarkan
pemikirannya pada cerita Kitab Suci mengenai Kain yang membunuh Habel adiknya
(Kej 4:10). Beliau sangat memperhatikan keluhuran tubuh manusia seperti Yesus
yang telah hadir di tengah dunia menjadi sama dengan manusia.
Konsili Vatikan II juga mempunyai keprihatinan besar terhadap masalah
eutanasia yang makin besar dewasa ini. Para Bapa Konsili menempatkan keprihatinan
itu dalam dokumen tentang tindakan pastoral menanggapi perkembangan dunia.
Pandangan konsili dikeluarkan oleh Kongregasi Suci Ajaran Iman untuk menanggapi
masalah eutanasia.
Sikap Gereja ini ditegaskan kembali dalam ensiklik Paus Yohanes Paulus II pada
tahun 1995 yang diberi nama “Evangelium Vitae”. Ajaran ini merupakan pandangan
baru dari Paus untuk membela kehidupan manusia yang mulai menolak secara tegas
tindakan eutanasia. Di sini Paus Yohanes Paulus II mengambil pendasaran teologi
dari Kitab Kejadian tentang Kain yang membunuh Habel.
2.2.3 Bentuk Euthanasia
Euthanasia itu sendiri ada tiga macam, yaitu:
a. Euthanasia pasif adalah apabila dokter atau tenaga medis lainnya secara sengaja
tidak lagi memberikan pengobatan demi memperpanjang kehidupan pasien, misalnya:
dengan mencabut alat-alat yang digunakan untuk mempertahankan hidup, keluarga
tidak lagi merawat pasien di RS. Hal ini terjadi untuk pasien yang benar-benar sudah
terminal, dalam arti tidak bisa disembuhkan lagi, dan segala upaya pengobatan sudah
tidak berguna pula. Belakangan tidak lagi dianggap sebagai euthanasia. Umumnya
16
kalangan dokter dan agamawan setuju. Karena toh pasien meninggal karena penyakit
nya, bukan karena usaha-usaha yang dilakukan manusia.
b. Euthanasia tidak langsung terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lainnya
melakukan tindakan medik tertentu yang bertujuan meringankan penderitaan pasien,
akan tetapi tindakan mediknya membawa risiko hidup pasien diperpendek secara
perlahan-lahan. Misalnya: seorang pasien penderita kanker ganas tak tersembuhkan
yang sangat menderita kesakitan diberi obat penghilang rasa sakit, namun obat
tersebut mengakibatkan hidup pasien diperpendek secara perlahan-lahan. Tindakan
ini tidak bertentangan dengan eksistensi manusia sebenarnya, karena dilakukan agar
pasien tidak berada dalam penderitaan yang terus-menerus dan tak tertahankan.
c. Euthanasia aktif terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lainnya secara
sengaja melakukan suatu tindakan untuk memperpendek (mengakhiri) hidup pasien.
Euthanasia aktif ada dua; pertama, dokter yang mengambil tindakan mematikan
misalnya dengan suntik mati. Kedua, dokter hanya membantu pasien, misalnya
dengan memberi resep obat yang mematikan dalam dosis besar. Euthanasia ini
biasanya disebut “bunuh diri berbantuan” atau “bunuh diri yang dibantu dokter”
(tentu ini tidak berlaku bagi pasien yang untuk bergerak pun gak bisa). Dalam Alkitab
sebetulnya ada juga kasus euthanasia. Tapi tentu tidak dalam bentuk yang sekarang.
Dalam Ayub 2:9 dikisahkan ketika istri Ayub yang mungkin tidak tahan melihat
penderitaan suaminya, lalu menyuruh Ayub supaya mengutuk Tuhan sehingga bisa
mati sekalian.
BAB 3
17
EUTANASIA DALAM PERSPEKTIF MORAL DAN IMAN KRISTIANI
3.1. Eutanasia: Masalah Moral
Perlu ditegaskan lagi bahwa eutanasia bukan hanya sekedar masalah ekonomi,
hukum, dan sosial saja, namun lebih merupakan suatu masalah moral (khususnya
moral di bidang medis). Artinya, masalah eutanasia merupakan permasalahan yang
menyangkut penilaian moral yakni persoalan “’benar’ atau ‘salah’” dan “’boleh’ atau
‘tidak boleh”.
Eutanasia yang dilakukan secara sadar, sengaja dan langsung sesungguhnya
tidak dapat diterima. “Eutanasia, apapun motivasinya atau sasarannya, berarti
mengakhiri hidup orang cacat (handicap), orang sakit atau orang dalam proses mati
(sekarat). Secara moral tidak dapat diterima. Demikianlah tindakan atau kelalaian
yang dari sendirinya atau dimaksudkan untuk mendatangkan kematian untuk
menekan penderitaan, merupakan pembunuhan yang bertentangan dengan martabat
pribadi manusia dan ketaatan terhadap Allah yang hidup, Penciptanya. Kesesatan
penilaian yang bisa menimpa seseorang yang berkehendak baik, tidak mengubah
hakikat pembunuhan ini yang harus ditolak dan dilenyapkan”
Gereja Katolik menganggap eutanasia sebagai suatu tindakan yang tak
bermoral. Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Evangelium Vitae turut
mempertegas hal ini:
“Memperhatikan distingsi-distingsi itu, selaras dengan magisterium para
pendahulu kami, dan dalam persekutuan dengan para Uskup Gereja Katolik, kami
mengukuhkan, bahwa eutanasia itu pelanggaran berat hukum Allah, karena berarti
pembunuhan manusia yang disengaja dan dari sudut ‘moral’ tidak dapat diterima.
Ajaran itu didasarkan pada hukum kodrat dan sabda Allah yang termaktub, disalurkan
oleh Tradisi Gereja, dan diajarkan oleh magisterium biasa dan universal.”
3.2. Dasar Etika Hidup
18
Menurut Franz Bockle, sejak semula hidup manusia memerlukan suatu
konvensi dasar sebagai etika hidup bersama. Hendaknya orang menghargai dan
menjaga hidup sendiri dan orang lain. Semuanya itu hendaknya dijunjung tinggi
dalam kehidupan bersama.
Hidup manusia merupakan dasar nilai sekaligus sumber dan persyaratan yang
perlu bagi semua kegiatan manusia dan juga untuk setiap hidup bersama dalam
masyarakat.
Dalam dunia medis, Gereja melalui Piagam Pelayanan Kesehatan yang
dikeluarkan tahun 1955 berusaha untuk menjamin kesetiaan dari para pelayan
kesehatan di bidang etika: pilihan-pilihan dan prilaku yang menampilkan pengabdian
kepada kehidupan. Kesetiaan itu digariskan melalui tahap-tahap eksistensi
manusiawi.
3.3. Pilihan yang Membingungkan
Ada pepatah yang mengatakan bahwa “hidup adalah sebuah pilihan”. Dalam
kehidupan bermasyarakat, kita sering diperhadapkan dengan pelbagai pilihan yang
menyulitkan. Pilihan-pilihan itu kerap kali memposisikan kita dalam situasi yang
sulit. Kita sering bingung dan bergejolak ketika kita harus mengambil sebuah
keputusan.
Permasalahan mengenai eutanasia menjadi salah satu kondisi konkret yang
membawa kita dalam situasi yang sulit dan serba membingungkan itu. Misalnya,
ketika seorang anggota keluarga kita dalam keadaan sakit parah, ditambah lagi
dengan kemungkinan untuk sembuh sudah tipis. Hidupnya tinggal menunggu waktu
saja. Pada saat seperti inilah pilihan yang membingungkan itu muncul dalam diri kita.
Relakah kita membiarkan orang yang kita cintai itu terus menderita? Ataukah kita
akan langsung mengakhiri hidupnya dengan tindakan eutanasia karena merasa
kasihan?
19
Perlu diperhatikan bahwa setiap orang terikat untuk menjalani kehidupan
menurut rencana Allah. Hidup itu dipercayakan kepadanya sebagai nilai. Hendaknya
setiap orang terbuka terhadap kehendak-Nya, dengan menaruh pengharapan akan
kepenuhan hidup di surga.
Memang tak seorang pun suka akan penderitaan dan tak seorang pun mau
melihat penderitaan orang yang dikasihinya. Tetapi ingatlah bahwa setiap orang yang
telah dibaptis, ikut ambil bagian dalam sengsara, wafat, dan kebangkitan Kristus.
Penderitaan bukan untuk dihindari tetapi untuk diterima. Sakit dan penderitaan
dapat menghantar orang untuk turut merasa dekat dengan Allah. Orang akan semakin
mengimani kasih Allah yang besar yang mengaruniakan Putera-Nya yang tunggal
agar setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.
3.4. Tindakan Eutanasia: Atas Dasar Etis Apa?
Bila orang mau mencari “alasan etis” untuk kemerosotan dalam kemanusiaan
yang terjadi secara berangsur-angsur ini, mudah untuk menelusurinya pada sastra
modern.
Untuk membenarkan pembunuhan karena kasihan (eutanasia), pangkalnya ialah
acuan kepada prinsip otonomi seperti yang diungkapkan dalam Manifesto on
Euthanasia pada tahun 1974 dan dipaksakan di beberapa negara oleh permintaan
“wasiat hidup”; dalam perspektif ini, moralitasnya dipusatkan pada hal bahwa para
penderita yang tahu bahwa mereka dapat memperlakukan hidup mereka semaunya,
juga mau melakukan semaunya dengan kematian mereka.
Pada waktu disetujuinya tindakan eutanasia oleh undang-undang Belanda,
menekankan pada permintaan si penderita. Tetapi dengan perkembangan yang ada,
keinginan subyek yang jelas tak diperhatikan lagi dan diabaikan dan kemauannya
diganti oleh orang lain (orang tua atau walinya) dengan pendapat dokter yang
menafsirkannya. Dokter harus menafsirkan rasa sakit dan sengsara pasien dan
20
memastikan apakah kondisinya begitu parah sehingga dapat dilakukan tindakan
eutanasia atau tidak.
Bila demikian, bukan lagi otonomi dari pasien yang diajukan, melainkan
keputusan “dari luar” yang harus dianggap etis juga bila didesak oleh orang yang
mampu berpikir dewasa atas nama subyek yang tak mampu membuat evaluasi atau
permintaan: bila mengikutinya, kematian dengan sengaja dikenakan para “orang yang
diuntungkan”, sedangkan yang mati seperti “orang yang dibunuh”: lain sama sekali
dari otonomi cita rasa belas kasih.
Jenis kebebasan yang ada di sini adalah jenis kebebasan yang tersedia bagi
orang dewasa yang dianggap baik meskipun melaksanakannya atas mereka yang
tidak mempunyai otonomi sama sekali.
Lepas dari soal martabat rasa sakit orang sakit dan nilai solidaritas yang
ditimbulkan penderitaan orang yang tak bersalah, apakah rasa sakit dan penderitaan
harus ditangani dengan menggunakan kekerasan kematian prematur lewat tindakan
eutanasia?
3.5. Mengapa Eutanasia Salah?
Praktek eutanasia adalah salah karena melanggar prinsip bahwa kehidupan itu
diberikan oleh Allah. Sesungguhnya Allah tidak menyetujui “tangan yang
menumpahkan darah orang tidak bersalah” (Ams 6:16,17). Kehidupan berasal dari
Allah, oleh karena itu adalah keputusan dari Allah untuk memberi dan mengambilnya
kembali.
Tidak semua penderitaan itu buruk, meskipun kita tidak selalu mengerti
mengapa kita mengalami penderitaan. Meski demikian, beberapa hal yang baik bisa
berasal dari penderitan itu sendiri.
21
Isu tentang eutanasia muncul sebagai akibat dari murahnya hidup manusia.
Eutanasia adalah akibat dari hilangnya rasa hormat pada hidup manusia. Moralitas
manusia yang bobrok menjadi penyebab ini semua. Kalau orang mengerti dan
menghormati kesucian dari hidup manusia, maka mereka tidak akan memutuskan
untuk mengakhirinya.
3.6. Eutanasia Aktif dan Eutanasia Pasif
Pertanyaan yang sering kali muncul dalam topik pembahasan tentang eutanasia
yaitu mengenai: “bagaimana membedakan eutanasia aktif dan eutanasia pasif, serta
sejauh mana tindakan eutanasia “dapat dibenarkan” secara moral?”
Kadang-kadang, batas antara eutanasia aktif dan eutanasia pasif kurang jelas
atau sulit untuk dibedakan. Tetapi kalau kita lebih teliti dalam melihat pengertian dari
keduanya, maka secara singkat dapat dikatakan bahwa “eutanasia aktif mengakhiri
situasi penderitan seseorang dengan mengakhiri hidupnya, sedangkan eutanasia
pasif yaitu menunggu wafat terjadi (letting die)”
Menyangkut pertanyaan “sejauh mana tindakan eutanasia itu dapat
dibenarkan?”, kita harus mengerti akan pandangan umum yang menilai bahwa
tindakan eutanasia yang “dapat diterima” yakni tindakan eutanasia pasif (letting die).
Eutanasia pasif yaitu tindakan yang meniadakan pemberian obat-obatan dan tindakan
medis karena si pasien sudah berada dalam keadaan kasus luar biasa (extraordinaria).
Penyakit yang diderita pasien telah dipastikan tidak dapat disembuhkan lagi,
sementara biaya medisnya terlampau tinggi serta sulitnya memperoleh obat-obatan
dan tindakan medis yang memadai.
Kalau demikian, pertanyaan yang muncul berikutnya yaitu menyangkut
otonomi si pasien dalam menentukan kematiannya. Dalam hal ini orang harus melihat
kondisi psikologis dari si pasien. Seseorang tidak dapat seenaknya mengambil
tindakan eutanasia meskipun didasarkan atas permintaan pasien. prinsip yang harus
22
dipegang yaitu kesadaran pasien dalam menentukan pilihannya. Walaupun itu
diungkapkan atau diminta oleh pasien sendiri, namun jika saat itu ia masih dalam
tahap marah,apakah ini dapat dikatakan sebagai tindakan sadar dan permintaan tulus
dari pasien? Hal inilah yang perlu dipertimbangkan dengan seksama.
3.7. Cinta Kasih Mengalahkan Penderitaan
“Begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga ia telah mengaruniakan
Putera-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak
binasa melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3:16)
Penderitaan bukanlah sesuatu yang menyenangkan yang ingin dialami setiap
orang, tetapi sebaliknya orang senantiasa menghindari penderitaan karena sangat
menyiksa. Salah satu faktor utama dari tindakan eutanasia adalah orang tidak tahan
melihat penderitaan orang lain (yang dikasihinya). Hal ini menimbulkan rasa belas
kasihan yang menyebabkan orang mengambil keputusan untuk mengakhiri hidup
orang lain tanpa penderitaan.
Sebagai orang Kristiani, hendaknya mengambil teladan atas sikap Yesus yang
mau mengorbankan diri-Nya demi seluruh umat manusia. Cinta-Nya yang besar
kepada semua orang mengalahkan rasa sakit akibat dari penderitaan-Nya di kayu
salib, sebab: “tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang
memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13).
Sesungguhnya, penderitaan manusiawi kita telah mencapai puncaknya dalam
kesengsaraan Kristus, dan pada saat yang sama telah memasuki suatu dimensi yang
sama sekali baru dan suatu tataran baru: penderitaan telah dikaitkan dengan kasih,
dengan kasih yang menciptakan kebaikan karena hasil tertinggi dari penebusan dunia
berasal dari salib Kristus.
3.8. Kematian Kristus dan Eutanasia
23
Pertanyaan yang sering muncul dan dilontarkan dalam permasalahan eutanasia
terutama dari segi agama yaitu: “’apakah kematian Yesus bukan merupakan tindakan
eutanasia?’ kalau Yesus benar-benar mau memperjuangkan hidup, mengapa ia
sebaliknya pasrah menerima salib dan akhirnya wafat?”
Dikatakan dalam Kitab Suci khususnya dalam Injil Sinoptik bahwa Yesus
tampaknya mengetahui bahwa Ia akan menderita dan wafat (bdk. Mat 16:21-28,
17:22-23, 20:17-19 atau Mrk 8:31-9:1, 9:30-32, 10:32-34 atau Luk 9:22-27, 9:43-45,
18:31-34). Namun, mengapa Ia tidak menghindar, sebaliknya malah memasrahkan
diri dan menerima itu semua?
Sesungguhnya para penulis Injil mau mengatakan bahwa kedatangan Yesus ke
dunia demi karya penyelamatan dan bukan untuk menyerah apalagi bunuh diri.
Kedatangan Yesus ke dunia demi Karya Keselamatan dari Allah (bdk. Mat 16:21).
Teks Kitab Suci secara tegas mengatakan bahwa salib Yesus merupakan
konsekuensi dari perjuangan Yesus dalam membela kehidupan manusia. Yesus yang
memperjuangkan kehidupan orang-orang yang menderita itu, kini menerima
hukuman karena orang lain ingin menang sendiri dan tidak mau melihat karya kasih
Allah. Paulus mengatakan bahwa salib merupakan kebodohan bagi orang-orang yang
tidak percaya, namun merupakan tanda dari sebuah perjuangan untuk mengupayakan
suatu kehidupan (bdk. 1Kor 1:18-31).
Teks lain yang sering diperdebatkan adalah teks dari Injil Yohanes. Dalam Injil
Yohanes, dinyatakan bahwa Yesus mempunyai kemampuan dan kuasa untuk
melawan musuh-musuh-Nya. Kenyataannya, Ia mau menerima kematian tanpa
melawan. Di sini, Yohanes mau menyatakan bahwa Yesus mau menerima
penderitaan dan kematian-Nya itu, karena dengan jalan ini, Ia dapat menyatakan
kebenaran. Teologi yang tampak di sini yaitu teologi kurban. Yesus menjadi “Kurban
Perdamaian” antara Allah dan manusia.
24
Salib merupakan puncak ketaatan Yesus kepada Bapa-Nya. Hal ini ditunjukkan
oleh para penulis Injil sinoptik (bdk. Luk 23:44-49 dan Mat 27:45-50 serta Mrk
15:33-37). Ketika di salib, Yesus tetap mempertahankan kesatuan dengan Allah Bapa.
Ia juga mampu menyelesaikan tugas yang diberikan Bapa kepada-Nya. Salib diterima
Yesus sebagai jalan untuk menyatakan cinta Allah secara total kepada manusia. Ia
menerima salib dalam ketaatan penuh terhadap Bapa. Makna salib itu dirumuskan
dalam 1 Kor 15:3-5 yang mengatakan bahwa Yesus mati di salib karena dosa manusia
dan Ia dibangkitkan pada hari ketika sesuai dengan isi Kitab Suci. Salib menjadi
puncak dari ‘pengosongan diri’ Yesus: “Ia merendahkan diri, menjadi taat sampai
mati, mati di salib” (Flp 2:8). Di sini Paulus mau memperlihatkan bahwa beriman
kepada Yesus berarti mengikuti Dia dan menerima salib, bukannya lari dari
kenyataan yang ada. Tindakan eutanasia merupakan tanda bahwa manusia lari dari
kenyataan dan menghindar dari penderitaan di salib.
BAB 4
PENUTUP
25
3.1 Kesimpulan
Disini kami mengambil kesimpulan bahwa :
• Dokter harus menafsirkan rasa sakit dan sengsara pasien dan memastikan
apakah kondisinya begitu parah sehingga dapat dilakukan tindakan eutanasia
atau tidak.
• Sebagai seorang kristiani yang memiliki iman, seharusnya gadis ini
menyerahkan semua pergumulannya dalam doa, seperti ada tertulis : Filipi 4:6
“ Janganlah kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala
hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan
syukur.” Sebab siapakah kita manusia ini, kita hanya dapat berencana tapi
Tuhan lah yang melakukannya: Amsal 19:21 “Banyaklah rancangan di hati
manusia, tetapi keputusan TUHAN lah yang terlaksana.”
Pandangan Hukum di Indonesia
Hukum di Indonesia secara tegas menolak tindakan eutanasia. Hukum secara
tegas pula menindaki orang-orang yang terlibat langsung dalam tindakan
eutanasia, karena dinilai telah melakukan tindakan pembunuhan, dan untuk itu
diberikan sanksi yang berat. Secara hukum di Indonesia praktek euthanasia
(aktif) dilarang. KUHP Bab IX tentang “Kejahatan terhadap Nyawa”, pasal
344 berbunyi demikian: “Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas
permintaan orang itu yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati,
diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.” Lalu pasal 345:
“Barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya
dalam perbuatan itu, atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam
dengan pidana paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.”
Sementara untuk euthanasia pasif dan tidak langsung,dokter harus bisa
membuktikan bahwa tindakan medik terhadap pasien sudah tidak ada gunanya
lagi (euthanasia pasif) atau membuktikan bahwa tindakan medik yang
26
dilakukannya itu bertujuan untuk meringankan penderitaan pasien (euthanasia
tidak langsung).
Pro-Kontra Para Etikawan
Para etikawan tidak seragam dalam menyikapi soal euthanasia ini. Mereka
pro- kontra. Yang pro salah satu alasannya yang paling kerap dikemukakan
adalah, bahwa pasien terminal memiliki hak untuk mati. Menurut mereka, jika
pasien sudah sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta agar penderitaannya
segera diakhiri. Sebab bebe rapa hari yang tersisa dari hidup si pasien pasti
penuh penderitaan. Euthanasia hanya sekadar mempercepat kematiannya,
sehingga memungkinkan pasien mengalami “kematian yang baik” tanpa
penderitaan yang tidak perlu. Sedang mereka yang kontra mengemukakan
salah satu alasan, bahwa euthanaasia ini bisa disalahgunakan. Kalau ada
pengecualian terhadap larangan membunuh, bisa-bisa nanti cara ini dipakai
juga terhadap orang-orang cacat, misalnya, atau orang tua, atau orang-orang
yang dianggap “tidak berguna”. Ini juga salah satu yang kemudian dituduhkan
kepada Kevorkian, bahwa ia juga melakukan euthanasia terhadap pasien yang
depresi (yang secara medis masih bisa diobati).
Pandangan Iman Kristen
Iman Kristen, secara tegas menolak euthanasia aktif ini (entah suntik mati
atau bunuh diri berbantuan). Alasannya adalah bahwa Tuhanlah yang
memberikan kepada manu sia nafas kehidupan (Kej 2:7), maka Tuhan jugalah
yang berhak memanggilnya kembali. Hidup dan mati adalah hak prerogatif
Tuhan sebagai Sang Khalik. Alasan-alasan seperti rasa kasihan melihat
penderitaan pasien, alasan ekonomi, atau kere potan mengurus pasien, adalah
tidak bisa mengesampingkan hak prerogatif Allah tersebut. Euthanasia aktif
pada hakikatnya sama dengan membunuh (menghilangkan nyawa) pasien,
sekalipun dengan dalih yang argumentatif. Dan manusia sebenarnya adalah
mahluk yang unik. Beda dengan binatang; tidak ada keberatan untuk
mengakhiri “penderitaan” yang terjadi pada binatang. Tapi manusia tidak
27
pantas diperlakukan dengan cara demikian. Manusia diberi anugerah oleh
Tuhan untuk melangsungkan kehidupannya, akan tetapi juga untuk menemui
kematiannya. Kita harus merawatnya baik-baik sampat saat terakhir. Tentang
kematian kita serah kan kepada Tuhan. Kedua, dalam penderitaan yang sangat
itulah kerap manusia menemukan sesuatu yang paling hakiki dalam hidupnya.
Bandingkan dengan pengalaman Ayub selepas ia melewati penderitaannya.
Ayub 42:5, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi
sekarang mataku sendiri memandang Engkau.” Di sini Ayub seolah hendak
mengatakan. Dulu ketika ia masih sukses, makmur, hidup bergelimang
kemewahan ia hanya tahu tentang Tuhan dari ajaran-ajaran dan nasihat-
nasihat orang lain. Tetapi sekarang setelah ia melewati berbagai penderitaan
itu, ia mengalami sendiri Allah.
3.2 Saran
Masalah eutanasia bukan masalah yang sederhana, melainkan masalah yang
rumit dan kompleks. Karena itu, setiap orang harus mendalami masalah ini
secara baik dan benar. Untuk itu, perlu ada keterlibatan dan kerja sama dari
pelbagai pihak yang bergerak dalam bidang medis dan riset, tokoh-tokoh
agama, politik, dan masyarakat luas. Pelbagai masukan dari pihak-pihak yang
terkait akan sangat membantu dalam proses pertimbangan dan dalam
menentukan sikap terhadap masalah eutanasia ini.
Masalah eutanasia merupakan masalah bersama. Sayangnya, saat ini masalah
eutanasia masih menjadi masalah yang ruang lingkup pembahasannya hanya
terbatas pada para petugas medis dan sebagian cendekiawan saja. Sehingga,
masalah eutanasia ini masih asing di telinga orang-orang awam. Untuk itu,
sosialisasi amat diperlukan. Harus ada penjelasan yang jelas dan lengkap bagi
seluruh masyarakat tentang masalah eutanasia ini. Di samping itu, setiap
orang hendaknya menyerukan seruan-seruan untuk membela hidup manusia.
Hidup manusia menjadi tanggung jawab bersama.
28
Dari segi medis, para petugas kesehatan harus berupaya untuk mengamalkan
“Kode Etik Kedokteran” dan lebih meningkatkan profesionalitas kerja. Selain
itu, sistem pelayanan di seluruh rumah sakit, sebisanya mampu menjangkau
orang-orang yang miskin pula.
DAFTAR PUSTAKA
29
dr. Indrawati M. Bahaya Kanker Bagi Wanita & Pria. In : S Emerita M,
Editor. Cetakan Pertama. Jakarta : AV PUBLISHER; 2009. Hal. 181-189
http://www.sahabatsurgawi.net/bina%20iman/euthanasia.html
journal.unnes.ac.id/index.php/kemas/article/download/566/519
http://myshark79.wordpress.com/2010/05/15/eutanasia-dalam-perspektif-
moral-dan-iman-kristisani/
30