12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Kecerdasan Emosional
2.1.1 Pengertian Kecerdasan Emosional
Menurut Chaplin (2009), emotional (emosi) adalah:
2.1.1.1 Berkaitan dengan ekspresi emosi, atau dengan perubahan-perubahan
yang mendalam yang menyertai emosi.
2.1.1.2 Mencirikan individu yang mudah terangsang untuk menampilkan
tingkah laku emosional.
Goleman (1999) dalam Efendi (2005) mendefinisikan kecerdasan
emosional sebagai kemampuan mengenali perasaan diri kita sendiri dan
perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan
mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri, dan hubungannya dengan orang
lain.
Menurut Agustian (2009), kecerdasan emosional adalah kemampuan
memahami emosi dan menjadikan sumber informasi yang pokok untuk
memahami diri sendiri dan orang lain, sebagai langkah untuk mencapai tujuan.
Cooper & Sawaf (1997) dalam Masaong (2012) mendefinisikan kecerdasan
emosional sebagai kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif
menetapkan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, dan pengaruh
manusiawi. Kemampuan-kemampuan tersebut dapat dikembangkan dari waktu
ke waktu. Hal tersebut pula yang menjadi pembeda kecerdasan emosional yang
dapat terus berkembang daripada kecerdasan intelektual.
13
Dengan demikian, kecerdasan emosional adalah kemampuan guru dalam
memahami gejala emosi secara tepat. Pemahaman gejala emosi tersebut yaitu:
mengenali emosi diri sendiri dan orang lain, mampu memotivasi dan mengelola
emosi diri sendiri, serta mampu menjalin hubungan baik dengan orang lain.
2.1.2 Komponen Kesadaran Emosional
Kecerdasan emosional memiliki komponen-komponen tertentu.
Komponen kecerdasan emosional menurut Goleman (1995) dalam Efendi
(2005) yaitu:
2.1.2.1 Kesadaran diri
Komponen kesadaran diri mencakup guru mengetahui tentang dirinya
sendiri, mengamati diri sendiri, mengenali perasaan sendiri, menghimpun
kosakata perasaan, menerima diri sendiri, mengenali hubungan antara diri,
lingkungan, dan tuhan, serta mengenali hubungan antara gagasan, perasaan,
dan reaksi.
2.1.2.2 Pengaturan diri
Menurut Goleman (2015), aspek ini merupakan penanganan perasaan
agar dapat terungkap dengan tepat. Komponen pengaturan diri mencakup
beberapa aspek. Aspek tersebut di antaranya: (1) Guru mampu memahami
apa yang ada di balik perasaan. (2) Guru mengetahui cara menangani
kecemasan, amarah, dan kesedihan, tanggung jawab terhadap keputusan dan
tindakan, serta tindak lanjut kesepakatan.
Kecakapan ini bergantung pada kesadaran diri. Oleh karena itu,
apabila guru sebagai makluk individu dan sosial, yang kurang baik dalam
14
keterampilan ini akan terus menerus melawan perasaan murung, sementara
yang memiliki keterampilan dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat
(Goleman 2015).
2.1.2.3 Motivasi
Komponen motivasi mencakup beberapa aspek. Aspek yang
dimaksud di antaranya guru mampu memotivasi diri sendiri dan orang lain.
Menurut Goleman (2015), menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan
adalah hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk
memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri, serta untuk berkreasi.
Kendali diri emosional yang menahan diri terhadap kepuasan dan
mengendalikan dorongan hati merupakan landasan keberhasilan dalam
berbagai bidang. Artinya, tidak terkecuali dengan bidang pendidikan yang
menjadi tempat guru bekerja. Apabila guru mampu menyesuaikan diri, maka
akan memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala bidang.
Dengan demikian, guru yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih
produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.
2.1.2.4 Empati
Komponen empati dan keterampilan sosial mencakup beberapa aspek.
Aspek yang dimaksud di antaranya: (1) guru mampu memahami perasaan
orang lain; (2) menerima sudut pandang orang lain; (3) menghargai perbedaan
pendapat; (4) komunikasi; (5) membina hubungan dengan orang lain; (6) cara
mengungkapkan perasaan yang baik; (7) bertanya yang baik; (8) ketegasan;
(9) membedakan antara apa yang dikatakan dan penilaian kita atas itu; (10)
15
kerja sama dan ukhuwah; (11) dinamika kelompok; (12) konflik dan
pengelolaannya; (13) tanggung jawab pribadi; (14) membuka diri; (15)
menerima diri sendiri; dan (16) merundingkan kompromi.
Menurut Goleman (2015), empati merupakan kemampuan yang
bergantung pada kesadaran diri emosional dan merupakan keterampilan
bergaul. Guru yang memiliki empati yang baik akan lebih mampu peka pada
hal sosial yang tersembunyi, tetapi mengisyaratkan apa yang dibutuhkan atau
dikehendaki orang lain. Berkaitan dengan keterampilan sosial atau membina
hubungan dengan orang lain, menurut Goleman merupakan keterampilan
mengelola emosi orang lain. keterampilan ini menunjang popularitas,
kepemimpinan, dan keberhasilan antar pribadi. Guru yang baik dalam
keterampilan ini akan sukses dalam kinerjanya, terutama yang mengandalkan
pergaulan yang mulus dengan orang lain.
2.1.2.5 Keterampilan Sosial
Keterampilan sosial adalah kemampuan untuk menangani emosi
dengan baik ketika berhubungan sosial dengan orang lain, mampu membaca
situasi dan jaringan sosial secara cermat, berinteraksi dengan lancar,
menggunakan ketrampilan ini untuk mempengaruhi, memimpin,
bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan, serta bekerja sama dalam tim.
Sedikit berbeda dengan pendapat Goleman, menurut Tridhonanto (2009)
aspek kecerdasan emosi adalah sebagai berikut:
2.1.2.1 Kecakapan pribadi, yakni kemampuan mengelola diri sendiri.
2.1.2.2 Kecakapan sosial, yakni kemampuan menangani suatu hubungan.
16
2.1.2.3 Keterampilan sosial, yakni kemampuan menggugah tanggapan yang
dikehendaki orang lain.
Aspek aspek kecerdasan emosi yang disebutkan Tridhonanto sedikit
berbeda karena aspek-aspek yang dikemukakan Goleman merupakan jabaran
dari pendapat Tridhonanto.
Goleman, Boyatzis, McKee (2004) mengatakan bahwa kecerdasan
emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi
diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan
menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional
tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat,
memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.
Adapun ciri-ciri seseorang dikatakan memiliki kecerdasan emosi yang
tinggi apabila ia secara sosial mantap, mudah bergaul dan jenaka. Tidak mudah
takut atau gelisah, mampu menyesuaikan diri dengan beban stres. Memiliki
kemampuan besar untuk melibatkan diri dengan orang-orang atau permasalahan,
untuk mengambil tanggung jawab dan memiliki pandangan moral. Kehidupan
emosional mereka kaya, tetapi wajar, memiliki rasa nyaman terhadap diri
sendiri, orang lain serta lingkungannya (Goleman, 2005). Menurut Dapsari
(dalam Casmini, 2007) ciri-ciri kecerdasan emosi yang tinggi antara lainoptimal
dan selalu berpikir positif pada saat menangani situasi-situasi dalam hidup.
Seperti menagani peristiwa dalam hidupnya dan menangani tekanan-tekanan
masalah pribadi yang dihadapi; terampil dalam membina emosi, terampil di
dalam mengenali kesadaran emosi diri dan ekspresi emosi dan kesadaran emosi
17
terhadap orang lain; optimal pada kecakapan kecerdasan emosi meliputi
intensionalitas, kreativitas, ketangguhan, hubungan antar pribadi, ketidakpuasan
konstruktif; optimal pada emosi belas kasihan atau empati, intuisi, kepercayaaan,
daya pribadi, dan integritas; optimal pada kesehatan secara umum kualitas hidup
dan kinerja yang optimal.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan
emosional adalah sebuah ilmu yang menuntut seseorang untuk belajar
mengenali, mengakui, dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain, serta
bagaimana untuk menanggapinya dengan tepat baik dalam kehidupan maupun
pekerjaan sehari-hari, sehingga dapat menjadi hal yang positif. Berdasarkan
uraian di atas maka penelitian ini menggunakan aspek-aspek dalam kecerdasan
emosi dari Goleman.
2.1.3 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasaan Emosional
Kecerdasan emosi juga akan dipengaruhi oleh beberapa faktor penting
penunjangnya. Menurut Goleman (dalam Casmini, 2007) ada faktor internal dan
eksternal yang mempengaruhi kecerdasan emosi antara lain sebagai berikut:
2.1.3.1 Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri seseorang. Setiap
manusia akan memiliki otak emosional yang di dalamnya terdapat
sistem saraf pengatur emosi atau lebih dikenal dengan otak
emosional. Otak emosional meliputi keadaan dalam, neokorteks,
sistem limbik, lobus prefrontal dan keadaan lain yang lebih
kompleks dalam otak emosional.
18
2.1.3.2 Faktor eksternal adalah faktor pengaruh yang berasal dari luar diri
seseorang. Faktor eksternal kecerdasan emosi adalah faktor yang
datang dari luar dan mempengaruhi perubahan sikap. Pengaruh
tersebut dapat berupa perorangan atau secara kelompok. Perorangan
mempengaruhi kelompok atau kelompok mempengaruhi
perorangan. Hal ini lebih memicu pada lingkungan.
Seseorang akan memiliki kecerdasan emosi yang berbeda-beda, ada yang
rendah, sedang maupun tinggi. Dapsari dalam Casmini (2007) mengemukakan
ciri-ciri kecerdasan emosi yang tinggi antara lain:
2.1.3.1 Optimal dan selalu berpikir positif pada saat menangani situasi-
situasi dalam hidup. Seperti menagani peristiwa dalam hidupnya dan
menangani tekanan-tekanan masalah pribadi yang dihadapi.
2.1.3.2 Terampil dalam membina emosi yaitu terampil di dalam mengenali
kesadaran emosi diri dan ekspresiemosi dan kesadaran emosi
terhadap orang lain.
2.1.3.3 Optimal pada kecakapan kecerdasan emosi yang meliputi
intensionalitas, kreativitas, ketangguhan, hubungan antar pribadi,
ketidakpuasan konstruktif.
2.1.3.4 Optimal pada emosi belas kasihan atau empati, intuisi,
kepercayaaan, daya pribadi, dan integritas.
2.1.3.5 Optimal pada kesehatan secara umumkualitas hidup dan kinerja
yang optimal.
19
2.1.4 Pengaruh Kecerdasaan Emosional Terhadap Kinerja Guru
Menurut Rachmawati dan Abdullah (2013), kinerja guru adalah
kemampuan yang ditunjukkan oleh guru dalam melaksanakan tugas atau
pekerjaannya. Kemampuan tersebut meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan
penilaian hasil belajar siswa. Kinerja dikatakan baik dan memuaskan apabila
hasil yang dicapai pada setiap kemampuan baik dalam hal perencanaan,
pelaksanaan, maupun penilaian hasil belajar siswa sesuai dengan standar yang
telah ditetapkan. Menurut Rachmawati dan Abdullah (2013), kepribadian adalah
keseluruhan dari individu yang terdiri dari unsur psikis dan fisik, artinya seluruh
sikap dan perbuatan seseorang merupakan suatu gambaran dari kepribadian
orang itu.
Kepribadian tersebut yang akan menentukan apakah menjadi pendidik
dan pembina yang baik atau tidak, sehingga menjadi faktor yang menentukan
tinggi rendahnya martabat guru. Oleh karena itu, semakin baik kepribadian guru,
semakin baik dedikasinya dalam menjalankan tugas, fungsi, dan tanggung
jawabnya sebagai pendidik. Menurut Goleman (1998) dalam Efendi (2005),
sikap etik dasar dalam kehidupan baik guru maupun profesi lainnya berasal dari
kecerdasan emosional.
Selain itu, Goleman (1998) dalam Efendi (2005), kecerdasan emosional
merupakan kecakapan utama. Kecakapan tersebut berupa kemampuan yang
secara mendalam dapat mempengaruhi semua kemampuan lainnya. Komponen
yang termasuk ke dalam kemampuan yang ada di dalam kecerdasan emosional
20
yaitu: (1) kesadaran diri; (2) pengendalian diri; (3) motivasi; (4) empati; dan (5)
membina hubungan baik dengan orang lain.
Menurut Goleman (1998) dalam Efendi (2005), kecerdasan emosi
merupakan kecakapan utama, kemampuan yang secara mendalam
mempengaruhi kemampuan lainnya, baik memperlancar maupun menghambat
kemampuan-kemampuan itu. Hal tersebut telah dibuktikan melalui kegiatan
penelitian yang dilakukan oleh Widyaningrum (2013) dengan judul Pengaruh
Kecerdasan Kinerja, Emosional, dan Spiritual terhadap Kinerja Guru SMP
Negeri di Surabaya. Penelitian tersebut menyatakan secara empirik bahwa
kecerdasan emosional memiliki pengaruh dominan terhadap kinerja guru SMP
Negeri Surabaya.
Oleh karena itu, berdasarkan pemaparan tersebut, aspek-aspek
kecerdasan emosi terdiri dari lima komponen. Lima komponen tersebut terdiri
dari kesadaran diri, pengendalian diri, empati, motivasi, dan berhubungan baik
dengan orang lain memiliki pengaruh terhadap pengembangan kinerja guru.
2.2 Lingkungan Kerja
2.2.1 Pengertian Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja merupakan sesuatu yang ada disekitar organisasi yang
mempengaruhi kinerja guru. Menurut Sastrohadiwiryo (2005) lingkungan kerja
adalah suatu kondisi, situasi dan kedaaan kerja yang menimbulkan memiliki
semangat dan moral/kegairahan kerja yang tinggi, dalam rangka meningkatkan
kinerja sesuai dengan yang diharapkan.
21
Simamora (2006) mengemukakan bahwa lingkungan kerja merupakan
tempat dimana pekerja melakukan kegiatannya dan segala sesuatu yang
membantunya di dalam pekerjaan. Lingkungan kerja merupakan kondisi yang
dapat dipersiapkan oleh manajemen yang bersangkutan pada saat tempat kerja
dibentuk. Sejalan dengan pendirian organisasi, manajemen selayaknya
mempertimbangkan lingkungan kerja bagi guru.
Lingkungan kerja yang baik akan memberikan kenyamanan pribadi
maupun dalam membangkitkan semangat kerja guru sehingga dapat
mengerjakan tugas-tugas dengan baik. Disamping itu guru akan lebih senang dan
nyaman dalam bekerja apabila fasilitas yang ada cukup memadai serta relatif
modern. Kondisi kerja yang mendukung diartikan sebagai kepedulian guru akan
lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan
dalam mengajar dengan baik.
Menurut Dharmosetio dalam Gunadi (2006) menyatakan bahwa
lingkungan kerja tidak hanya suasana kerja, tetapi suatu nilai-nilai yang dianut
di kelompok kerja yang sama, dan diyakini sebagai yang terbaik di tempat kerja,
serta merupakan campuran dari suasana kerja, suasana manusianya dan nilai-
nilai yang dianut kelompok kerja tersebut. Menurut Sedarmayanti (2011)
menyatakan bahwa secara garis besar, jenis lingkungan kerja terbagi menjadi 2
yakni: (a) lingkungan kerja fisik, dan (b) lingkungan kerja non fisik. Lingkungan
kerja fisik diantaranya adalah: penerangan/cahaya, temperatur/suhu udara,
kelembaban, sirkulasi udara, kebisingan, setaran mekanis, bau tidak sedap, tata
warna, dekorasi, musik dan keamanan di tempat kerja. Sedangkan lingkungan
22
kerja non fisik diantaranya adalah hubungan sosial di tempat kerja baik antara
atasan dengan bawahan atau hubungan antara bawahan.
Menurut Paramita dalam Ndraha (2002) Lingkungan kerja adalah sikap
terhadap pekerjaan, yakni kesukaan akan kerja dibandingkan dengan kegiatan
lain, seperti bersantai atau semata-mata memperoleh kepuasan dari kesibukan
pekerjaannya sendiri atau merasa terpaksa melakukan sesuatu hanya untuk
kelangsungan hidupnya dan perilaku pada waktu bekerja, seperti rajin,
berdedikasi, bertanggung jawab, berhati-hati, teliti, cermat, kemauan yang kuat
untuk mempelajari tugas dan kewajibannya, suka membantu sesama karyawan,
atau sebaliknya.
Sedangkan Komara (2005) mengatakan bahwa lingkungan kerja adalah
keseluruhan atau setiap aspek dari gejala dan sosial-kultural yang mengelilingi
atau mempengaruhi individu. lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada
di sekitar para pekerja yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan
tugas-tugas yang dibebankan, misalnya penerangan, suhu udara, ruang gerak,
keamanan, kebersihan, interaksi ssosial pegawai dan lain – lain.
Berdasarkan definisi tersebut dapat dinyatakan lingkungan kerja adalah
segala sesuatu yang ada di sekitar pegawai bekerja yang mempengaruhi pegawai
dalam melaksanakan beban tugasnya. Masalah lingkungan kerja dalam suatu
organisasi sangatlah penting, dalam hal ini diperlukan adanya pengaturan
maupun penataan faktor-faktor lingkungan kerja dalam penyelenggaraan
aktivitas organisasi.
23
2.2.2 Lingkungan Kerja Fisik
Sedarmayanti (2011) menjelaskan lingkungan kerja fisik adalah semua
keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tampat kerja yang dapat
mempengaruhi guru baik secara langsung maupun tidak lansung. Menurut Scott
(1981) dalam Torang (2014) mendefinisikan lingkungan kerja fisik adalah
semua bentuk ketergantungan hubungan yang dapat membuat organisasi
bertahan hidup di sekitar sistem di mana dia berada.
Sedarmayanti (2011) menjelaskan bahwa “lingkungan kerja fisik dibagi
menjadi dua, yaitu: (1) lingkungan kerja yang langsung berhubungan dengan
pegawai (seperti: pusat kerja, kursi, meja, dan sebagainya), (2) lingkungan kerja
perantara, dapat juga disebut lingkungan kerja yang mempengaruhi kondisi
manusia, misalnya: temperatur, kelembaban, sirkulasi udara, pencahayaan,
kebisingan, warna dan lain-lain”.
2.2.3 Fakor – Faktor Yang Mempengaruhi Lingkungan Kerja Fisik
Barnawi dan Arifin (2014), menerangkan ada beberapa faktor yang
mempengaruhi lingkungan fisik, yaitu meliputi:
2.2.3.1 Pencahayaan
Pencahayaan adalah jumlah penyinaran pada suatu bidang kerja yang
diperlukan untuk melaksanakan kegiatan secara efektif (Keputusan
Kementerian Kesehatan RI Nomor 1405 Tahun 2002) dalam (Barnawi dan
Arifin 2014). Barnawi dan Arifin (2014) menjelaskan bahwa pencahayaan di
tempat kerja membantu dalam memperlancar proses pekerjaan sehingga
harus diupayakan pencahayaan yang baik di tempat kerja. pencahayaan
24
memungkinkan guru dapat melihat objek-objek yang dikerjakan secara jelas,
cepat, dan tepat.
2.2.3.2 Pencahayaan dapat dibuat secara alami (matahari) maupun buatan
(lampu). Pencahayan alami dibuat untuk menghemat energi dan
biaya. Pencahayaan buatan dibuat untuk menghemat energi dan
biaya”.
2.2.3.3 Pewarnaan
Pemilihan warna ruangan kerja juga mempengaruhi kinerja guru.
Menurut Barnawi dan Arifin (2014) warna dapat memberikan efek psikologis
seseorang yang ada di sekitarnya. Pemberian warna tidak hanya pada
temboktembok sekolah saja, tetapi peralatan sekolah juga dapat diberi warna
sesuai dengan keinginan.
2.2.3.4 Udara
Barnawi dan Arifin (2014) menyatakan bahwa “penyehatan udara
ruang adalah upaya yang dilakukan agar suhu dan kelembaban, debu,
pertukaran udara, bahan pencemar, dan mikroba di ruang kerja memenuhi
persyaratan kesehatan”. Keadaan suhu udara di dalam ruang kerja perlu diatur
sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan efek negatif terhadap pegawai.
Udara yang sehat akan terasa sejuk dan segar sehingga dapat mempercepat
pemulihan tubuh akibat kelelahan. Kondisi udara yang sehat, guru dapat
melakukan pekerjaan dengan nyaman dan senang.
25
2.2.3.5 Kebersihan
Lingkungan kerja harus diperhatikan kebersihannya baik lingkungan
kerja yang ada di dalam maupun di luar ruang ruang kerja. Lingkungan kerja
yang bersih memberikan rasa nyaman bagi pegawai. Sebaliknya, tempat kerja
yang kotor tidak akan nyaman dijadikan tempat untuk bekerja.
2.2.3.6 Kebisingan
Barnawi dan Arifin (2014) “kebisingan adalah terjadinya bunyi yang
tidak dikehendaki sehingga mengganggu pekerjaan atau bahkan kesehatan”.
Di sekolah, kebisingan dapat bersumber dari aktivitas bermain siswa,
kegiatan trasnportasi, dan lokasi lingkungan sekitar sekolah. Tingkat
kebisingan yang terlalu tinggi dapat mengganggu konsentrasi kerja sehingga
menurunkan produktivitas kerja pegawai.
2.2.3.7 Keamanan
Keamanan di tempat kerja akan menimbulkan ketenangan dalam
bekerja. Ketenangan sangat dibutuhkan pegawai untuk mengoptimalkan hasil
kerja. Apabila keamanan pegawai tidak terjamin, maka timbullah kegelisahan
dan kekhawatiran. Kegelisahan dan kekhawatiran akan berdampak buruk
terhadap kinerja.
2.2.4 Indikator Lingkungan Kerja Fisik
Berikut ini beberapa faktor yang diuraikan Sedarmayanti (2011) yang
dapat mempengaruhi terbentuknya suatu kondisi lingkungan kerja diantaranya
adalah:
26
2.2.4.1 Keadaan udara didalam ruangan
2.2.4.2 Kebisingan dilingkungan tempat bekerja
2.2.4.3 Vibrasi atau getaran-getaran yang dapat mempengaruhi kinerja
2.2.4.4 Tingkat pencahayaan dalam ruangan
2.2.4.5 Penataan ruangan
2.3 Teori Guru
2.3.1 Pengertian Guru
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, guru adalah “pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi
peserta didik, pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”. Menurut Darwis (2006), guru
adalah orang dewasa yang memiliki keunggulan daripada manusia dewasa lain.
Jadi, guru adalah subjek yang telah dipersiapkan di bidang pendidikan
dengan kemampuan tertentu, sehingga memiliki penguasaan pengetahuan dan
keterampilan untuk memberikan pendidikan, pengajaran, pelatihan,
pembimbingan, pengarahan, penilaian hingga tindakan evaluasi pada siswa.
Menurut Permadi dan Arifin (2013), guru sebagai profesi memiliki ciri-ciri di
antaranya:
2.3.1.1 Memiliki fungsi dan signifikansi sosial bagi masyarakat.
2.3.1.2 Menuntut keterampilan tertentu yang diperoleh melalui proses
pendidikan dan pelatihan dari lembaga yang bertanggung jawab.
2.3.1.3 Memiliki kompetensi yang didukung disiplin tertentu.
27
2.3.1.4 Memiliki kode etik.
2.3.1.5 Berhak memperoleh imbalan finansial atau material. Selain itu, salah
satu ciri guru yang sangat penting yaitu mempunyai kemampuan
sesuai standar kompetensi yang ditetapkan
Berdasarkan berbagai pendapat, dapat disimpulkan bahwa guru adalah
orang dewasa yang sudah menjadi pendidik profesional. Oleh karena itu, sebagai
seorang profesional guru memiliki berbagai kemampuan standar dan
bertanggung jawab terhadap tugas-tugas utama sebagai pendidik profesional.
2.3.2 Peran Guru
Menurut Surya (2013), peran guru adalah semua perilaku yang harus
dilakukan guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai guru. Peranan guru tidak
hanya ada di sekolah, tetapi juga di keluarga, dan di masyarakat. Guru
mempunyai peran sebagai: (1) perancang pengajaran; (2) pengelola pengajaran;
(3) penilai hasil pembelajaran; (4) pengarah pembelajaran; dan (5) sebagai
pembimbing siswa di sekolah, sedangkan guru mempunyai peran sebagai
pendidik di dalam keluarga. Kemudian, peran guru di lingkungan masyarakat
yaitu sebagai: (1) pembina masyarakat; (2) pendorong masyarakat; (3) penemu
masyarakat; dan (4) sebagai agen masyarakat. Hal tersebut menandakan bahwa
guru tidak hanya memiliki peranan di sekolah saja, tetapi juga di lingkungan
masyarakat.
Artinya, ketika guru mampu menjalankan semua peranannya, baik di
sekolah, keluarga, maupun di masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa guru
tersebut adalah guru yang baik dan efektif. Selain itu, peranan guru juga dapat
28
digolongkan berdasarkan beberapa hal, salah satunya berdasarkan hubungannya
dengan aktivitas pengajaran dan administrasi pendidikan, orientasi dirinya
pribadi, dan psikologis guru.
Peranan guru berdasarkan hubungannya dengan aktivitas pengajaran dan
administrasi pendidikan yaitu: (1) Pengambil inisiatif, pengarah, dan penilai
aktivitas-aktivitas pendidikan. (2) Wakil masyarakat di sekolah. (3) Seorang
pakar dalam bidangnya. (4) Seseorang yang menegakkan disiplin. (5) Pelaksana
administrasi pendidikan. (6) Pemimpin generasi muda. (7) Penerjemah kepada
masyarakat. Peranan guru menurut Djamarah (2010 (43-48), terdiri dari: (1)
korektor, (2) inspirator, (3) informator, (4) organisator, (5) motivator, (6)
inisiator, (7) fasilitator, (8) pembimbing, (9) demonstrator, (10) pengelola kelas,
(11) mediator, (12) supervisor, dan (13) evaluator.
Peranan guru berdasarkan psikologisnya yaitu: (1) pakar psikologi
pendidikan; (2) seniman dalam hubungan antarmanusia, (3) menjadi inovator,
dan (4) sebagai petugas kesehatan mental. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa peran guru merupakan berbagai perilaku dalam menjalankan tugasnya
sebagai guru. Tugas tersebut berkaitan dengan proses pembelajaran di sekolah.
Perilaku yang dimaksudkan yaitu: (1) perancang dan pengelola pengajaran; (3)
penilai hasil pembelajaran; (4) pengarah pembelajaran; dan (5) sebagai
pembimbing siswa di sekolah.
Menurut Permadi dan Arifin (2013), dalam pembelajaran guru memiliki
beberapa peran. Peran yang dimaksudkan yaitu sebagai: (1) pendidik, (2)
pengajar, (3) pengembang kurikulum, (4) pembimbing, (5) pembaharu/inovator,
29
(6) model dan teladan, dan (7) peneliti. Selain itu, dalam pengelolaan
pembelajaran siswa, guru harus mampu menguasai baik pemahaman siswa,
perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, maupun
pengembangan siswa.
2.4 Kinerja Guru
2.4.1 Pengertian Kinerja Guru
Menurut Badudu (1994) dalam Susanto (2013), secara etimologis
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kinerja (performance) adalah unjuk
kerja. Secara terminologis, Westra dkk. (1977) dalam Susanto (2013), kinerja
adalah pelaksanaan tugas pekerjaan pada waktu tertentu dan suatu proses untuk
mencapai hasil kerja. Kinerja menurut Departemen Pendidikan Nasional (2004)
dalam Susanto (2013), kinerja seorang pegawai berkaitan dengan unjuk kerja,
hasil kerja, dan prestasi yang diperlihatkan pada waktu tertentu. Tujuannya
untuk memenuhi sasaran kerja pegawai yang nantinya akan memberikan
sumbangan kepada sasaran organsisasi.
Menurut Rachmawati dan Abdullah (2013), kinerja guru adalah
kemampuan yang ditunjukkan oleh guru dalam melaksanakan tugas atau
pekerjaannya. Kinerja yang baik yaitu ketika hasil yang dicapai sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan. Menurut Peter (1991) dalam Usman (2008),
kinerja digunakan apabila seseorang menjalankan tugas atau proses dengan
terampil sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang ada.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa
kinerja guru adalah hasil atau prestasi yang dicapai guru. Pencapaian hasil atau
30
prestasi tersebut tentunya berkaitan dengan pelaksanaan guru dalam tugas dan
fungsinya yang dilakukan secara profesional.
2.4.2 Ukuran atau Indikator Kinerja
Kinerja karyawan sangat mempengaruhi tujuan yang ingin dicapai oleh
perusahaan. Oleh karena itu, setiap perusahaan perlu melakukan penilaian atau
evaluasi kerja karyawannya. Bernardin dan Russell (1993) mengajukan 6 kriteria
primer yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja, yaitu:
2.4.2.1 Quality
Quality atau kualitas merupakan tingkat sejauh mana proses atau hasil
pelaksanaan kegiatan mendekati kesempuranaan atau mendekati tujuan yang
diharapkan.
2.4.2.2 Quantity.
Quantity merupakan jumlah yang dihasilkan, misalnya dalam jutaan
rupiah, jumlah unit, jumah siklus kegiatan yang diselesaikan.
2.4.2.3 Timeliness.
Timeliness adalah tingkat sejauh mana kegiatan diselesaikan pada
waktu yang dikehendaki, dengan memperhatikan koordinasi output lain serta
waktu yang tersedia untuk kegiatan lain.
2.4.2.4 Cost-effectiveness.
Cost-effectiveness adalah tingkat sejauh manapenggunaan daya
organisasi (manusia, keuangan, teknologi, material) dimaksimalkan untuk
mencapai hasil tertinggi atau pengurangan kerugian dari setiap unit
penggunaan sumber daya.
31
2.4.2.5 Need for Supervision.
Need for supervision merupakan tingkat sejauh mana seorang pekerja
dapat melaksanakan suatu fungsi pekerjaan tanpa memerlukan pengawasan
seorang supervisor untuk mencegah tindakan yang kurang diinginkan.
2.4.2.6 Interpersonal impact.
Interpersonal impact merupakan tingkat sejauh mana karyawan
atau pegawai memelihara harga diri, nama baik dan kerjasama di antara
rekan kerja dan bawahan.
Mathis dan Jackson (2010) mengatakan bahwa terdapat lima elemen
yang menjadi ukuran kinerja karyawan, yaitu:
2.3.2.1 Kuantitas kerja
Standar ini dilakukan dengan cara membandingkan antara besarnya
volume kerja yang seharusnya (standar kerja norma) dengan kemampuan
sebenarnya.
2.3.2.2 Kualitas kerja
Standar ini menekankan pada mutu kerja yang dihasilkan
dibandingkan volume kerja.
2.3.2.3 Pemanfaatan waktu
Yaitu penggunaan masa kerja yang disesuaikan dengan kebijaksanaan
perusahaan.
32
2.3.2.4 Kehadiran
Asumsi yang digunakan dalam standar ini adalah jika kehadiran
pegawai di bawah standar kerja yang ditetapkan maka pegawai tersebut tidak
akan mampu memberikan kontribusi yang optimal bagi perusahaan.
2.3.2.5 Kemampuan bekerja sama
Keterlibatan seluruh pegawai dalam mencapai target yang ditetapkan
akan mempengaruhi keberhasilan bagian yang diawasi. Kerjasama antara
pegawai dapat ditingkatkan apabila pimpinan mampu memotivasi pegawai
dengan baik.
Guritno dan Waridin (2005) juga memberikan indikator kinerja
karyawan yaitu sebagai berikut:
2.3.2.1 Mampu meningkatkan target pekerjaan.
2.3.2.2 Mampu menyelesaikan pekerjaan tepat waktu.
2.3.2.3 Mampu menciptakan inovasi dalam menyelesaikan pekerjaan.
2.3.2.4 Mampu menciptakan kreativitas dalam menyelesaikan pekerjaan.
2.3.2.5 Mampu meminimalkan kesalahan pekerjaan.
Berdasarkan teori-teori di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja
memerlukan indikator-indikator penilaian yang dipengaruhi oleh berbagai faktor
dengan beragam aspek yang dapat diukur dengan berpedoman pada standar
tertentu yang berguna untuk mendapatkan hasil untuk perbaikan organisasi
secara khusus manajemen sumber daya manusia.
33
2.4.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru
Menurut Wibowo (2007), pelaksanaan kinerja dipengaruhi oleh beberapa
faktor baik yang bersumber dari pekerja sendiri maupun yang bersumber dari
organisasi. Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu yang relevan,
menghasilkan kesimpulan bahwa kinerja yang diteliti pada karyawan
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Penelitian Bashir dan Ramay (2010)
menyatakan bahwa stress dengan signifikan mengurangi kinerja. Selain itu,
menurut Kamis, Noermijati, dan Susilowati (2013) menyatakan bahwa
komitmen organisasi dan kompetensi individual memberikan pengaruh yang
positif secara signifikan terhadap kinerja guru.
Menurut Armstrong dan Baron (1998) dalam Wibowo (2007), faktor
yang mempengaruhi kinerja yaitu:
2.4.3.1 Personal factors, ditunjukkan oleh tingkat keterampilan, kompetensi
yang dimiliki, motivasi, dan komitmen individu.
2.4.3.2 Leadership factor, ditentukan oleh kualitas dorongan, bimbingan,
dan dukungan yang dilakukan manajer dan team leader.
2.4.3.3 Team factors, ditunjukkan oleh kualitas dukungan yang diberikan
oleh rekan sekerja.
2.4.3.4 System factors, ditunjukkan oleh adanya sistem kerja dan fasilitas
yang diberikan organisasi.
2.4.3.5 Contextual/situational factors, ditunjukkan oleh tingginya tingkat
tekanan dan perubahan lingkungan internal dan eksternal.
34
Menurut Rachmawati dan Abdullah (2013), keberadaan guru dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya tidak lepas dari pengaruh faktor internal
dan faktor eksternal yang membawa dampak pada perubahan kinerja guru.
Faktor yang mempengaruhi kinerja guru tersebut yaitu:
2.4.3.1 Kepribadian atau dedikasi
Kepribadian adalah keseluruhan dari individu yang terdiri dari unsur
psikis dan fisik, sehingga menentukan tinggi rendahnya martabat guru.
Menurut Djamarah (2010), kepribadian merupakan keseluruhan dari diri
individu yang terdiri dari unsur psikis dan fisik. Artinya, seluruh sikap dan
perbuatan seseorang merupakan gambaran dari kepribadiannya. Kepribadian
guru sangat menentukan tinggi rendahnya kewibawaan guru dalam
pandangan siswanya. Selain itu, keakraban hubungan dengan siswa ternyata
juga ditentukan oleh kepribadian guru.
Djamarah (2010), seorang individu akan menjadi guru yang baik
ketika menjadikan dirinya sebagai bagian dari siswanya yang berusaha untuk
memahami semua siswa dan kata-katanya. Menurut Agustian (2011), sikap
memahami orang lain, memiliki tekad yang tangguh, konsisten, dan lain-lain
merupakan sikap dalam kecerdasan emosional.
Semakin baik kepribadian guru, semakin baik dedikasinya dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik. Pengaruh aspek
kepribadian dan dedikasi yang tinggi terhadap kinerja yaitu dapat
meningkatkan kesadaran pekerjaan dan mampu menunjukkan kinerja yang
memuaskan dalam suatu organisasi. Guru yang memiliki kepribadian yang
35
baik dapat membangkitkan kemauan serta dedikasinya dalam melakukan
pekerjaan mendidik. Guru yang mampu memberikan motivasi atau penguatan
yang positif kepada siswa dengan pembawaan yang baik, maka siswa akan
mendapatkan rangsangan yang positif.
2.4.3.2 Pengembangan profesi
Semakin sering profesi guru dikembangkan melalui berbagai
kegiatan, maka pencapaian predikat guru profesional semakin baik. Menurut
Cruickshank, dkk. (2014), sikap profesional sebagai guru yang dapat
mengajarkan siswa secara efektif cenderung cekatan dan berorientasi pada
tugas, juga fleksibel dan adaptif ketika diperlukan demi membantu
keberhasilan siswa. Mereka berpengetahuan tidak hanya materi yang akan
diajarkan, tetapi dalam hal pedagogi dan siswanya. Dengan demikian,
harapan kinerja guru akan lebih baik akan tercapai.
2.4.3.3 Kemampuan mengajar
Kemampuan mengajar yang baik, akan mendorong guru melakukan
inovasi dari materi yang ada dalam kurikulum. Dengan demikian, guru
maupun peserta didik akan lebih efektif dalam menjalankan tugas masing-
masing dalam setiap kegiatan belajar dan mengajar.
2.4.3.4 Hubungan dan komunikasi
Hubungan dan komunikasi yang dikembangkan guru di sekolah
memberi peluang terciptanya situasi yang kondusif untuk dapat
memperlancar pelaksanaan tugas. Tanpa adanya hubungan dan komunikasi
yang baik di dalam lingkungan sekolah, guru akan mengalami hambatan.
36
2.4.3.5 Hubungan dengan masyarakat
Hubungan sekolah dengan masyarakat merupakan usaha
kooperatif untuk menjaga dan mengembangkan saluran informasi efisien.
Kerja sama tersebut dapat dilakukan guru dengan mengembangkan
kemampuan dalam membawa diri. Kemampuan guru membawa diri baik di
masyarakat dapat mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap guru. Oleh
karena itu, guru harus mampu menempatkan diri baik di lingkungan sekolah
maupun di lingkungan masyarakat agar guru dapat menjadi teladan bagi
masyarakat.
2.4.3.6 Kedisiplinan
Tujuan disiplin menurut Arikunto (1993) dalam Rachmawati dan
Abdullah (2013), agar kegiatan sekolah berlangsung efektif dan setiap guru
beserta karyawan dalam organisasi sekolah merasa puas karena terpenuhi
kebutuhannya. Apabila guru bekerja dengan kedisiplinan yang baik, maka
akan mempengaruhi penyelesaian tugas-tugasnya dengan efektif dan efisien.
Hal tersebut dikarenakan guru yang disiplin akan memanfaatkan waktu
sebaik mungkin dalam kerjanya.
2.4.3.7 Kesejahteraan
Langkah strategis yang dilakukan pemerintah untuk mengoptimalkan
kinerja guru yaitu memberikan kesejahteraan yang layak sesuai volume kerja
guru dan memberikan intensif pendukung.
Dengan demikian, apabila kesejahteraan terpenuhi, maka guru akan
lebih fokus dalam menjalankan kerjanya di sekolah. Artinya, guru tidak lagi
37
mencari tambahan pekerjaan di luar mengajar untuk memenuhi kebutuhan.
Selain itu, guru lebih optimal untuk senantiasa mengembangkan pengetahuan
dan keterampilan yang mendukung kerjanya, seperti membeli komputer,
buku, dan lain-lain.
2.4.3.8 Iklim kerja
Iklim kerja adalah hubungan timbal balik antara faktor pribadi, sosial,
dan budaya yang mempengaruhi sikap individu dan kelompok dalam
lingkungan sekolah. Hal tersebut tercermin dari suasana hubungan kerjasama
yang harmonis dan kondusif. Apabila suasana di lingkungan kerja atau
sekolah mendukung, hal tersebut akan memberikan dampak yang positif pula
bagi kerja seorang guru, sehingga akan memberikan pengaruh tertentu
terhadap kinerja.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa
faktor yang mempengaruhi kinerja ada yang berasal dari dalam dan dari luar.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru yaitu: (1) kepribadian atau
dedikasi; (2) pengembangan profesi; (3) kemampuan mengajar; (4) antar
hubungan dan komunikasi; (5) hubungan dengan masyarakat; (6) kedisiplinan;
(7) kesejahteraan, dan (8) iklim kerja.
2.4.4 Penilaian Kinerja Guru
Menurut Rachmawati dan Abdullah (2013), kinerja guru dapat diukur
berdasarkan kriteria kompetensi yang harus dimiliki oleh guru. Berkaitan dengan
kinerja guru, wujud perilaku yang dimaksud adalah kegiatan guru dalam proses
38
pembelajaran. Proses tersebut yaitu bagaimana seorang guru merencanakan
pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, dan menilai hasil belajar.
Usman (2008) menyatakan bahwa tujuan penilaian kinerja yaitu: (1)
Menjamin objektivitas dalam pembinaan calon pegawai (capeg) dan pegawai
sesuai sistem karier dan sistem prestasi kerja. (2) Memperoleh bahan
pertimbangan objektif dalam pembinaan capeg dan PNS pada pembuatan
kebijakan. (3) Memberi masukan untuk mengatasi masalah yang ada. (4)
Mengukur validitas metode penilaian kinerja yang digunakan. (5) Mendiagnosa
masalah organisasi; (6) Umpan balik bagi capeg dan pegawai, serta pimpinan.
Menurut Usman (2008), manfaat penilaian kinerja adalah: (1)
Meningkatnya objektivitas dan keefektifan penilaian kinerja pegawai. (2)
Meningkatnya kinerja pegawai. (3) Mendapatkan bahan pertimbangan objektif
dalam pembinaan pegawai. Menurut Rachmawati dan Abdullah (2013),
indikator penilaian terhadap kinerja guru dilakukan terhadap tiga kegiatan
pembelajaran di kelas yaitu:
2.4.4.1 Perencanaan program kegiatan pembelajaran
Tahap ini berhubungan dengan kemampuan guru menguasai bahan
ajar. Kemampuan guru dapat dilihat dari proses penyusunan program
kegiatan pembelajaran yang dilakukan yaitu mengembangkan silabus dan
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Menurut Susanto (2013),
perencanaan pembelajaran meliputi kegiatan memilih dan mengembangkan
bahan pelajaran, merumuskan tujuan pembelajaran, merencanakan kegiatan
pembelajaran, dan merencanakan penilaian.
39
2.4.4.2 Pelaksanaan kegiatan pembelajaran
Kegiatan pembelajaran di kelas merupakan inti penyelenggaraan
pendidikan yang ditandai dengan adanya pengelolaan kelas, penggunaan
media dan sumber belajar, dan penggunaan metode serta strategi
pembelajaran. Menurut Susanto (2013), pelaksanaan pembelajaran harus
mencakup membuka, melaksanakan, dan menutup pelajaran. Tugas tersebut
merupakan tanggung jawab guru yang secara optimal dalam pelaksanaan
menuntut kemampuan guru.
2.4.4.3 Evaluasi atau penilaian pembelajaran
Penilaian hasil belajar adalah kegiatan yang ditujukan untuk
mengetahui tercapai atau tidaknya tujuan pembelajaran. Pada tahap ini guru
dituntut memiliki kemampuan dalam menentukan pendekatan dan cara-cara
evaluasi, penyusunan alat-alat evaluasi, pengolahan, dan penggunaan hasil
evaluasi. Dengan demikian, melalui evaluasi atau penilaian pembelajaran,
perkembangan siswa lebih terukur.
2.5 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu sangat penting sebagai dasar dalam rangka penyusunan
penelitian ini. Manfaat dari penelitian terdahulu adalah untuk mengetahui hasil
yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Oleh karena itu berdasarkan
penelitian-penelitian yang telah banyak dilakukan, maka peneliti mencoba meneliti
kecerdasan emosional dan lingkungan kerja fisik terhadap kinerja guru di SMA
Negeri 1 Sanden.
40
Tabel II.1
Penelitian Terdahulu
No Peneliti Judul Jenis Penelitian &
Variabel Hasil
1 Nofri Yenti,
Machasin,
dan Chairul
Amsal (2014)
Pengaruh
Kecerdasan
Emosional,
Kecerdasan
Intelektual, dan
Disiplin Terhadap
Kinerja Perawat
Pada R.S Pmc
Pekanbaru
Penelitian
kuantitatif dengan
alat analisis regresi
berganda.
Variabel bebas:
Kecerdasan
emosional,
kecerdasan
intelektual, dan
disiplin.
Variabel terikat:
Kinerja perawat.
Ada pengaruh
yang signifikan
antara kecerdasan
emosional,
kecerdasan
intelektual, dan
disiplin secara
simultan terhadap
kinerja perawat
pada R.S Pmc
Pekanbaru.
Kecerdasan
emosional
merupakan
variabel yang
berpengaruh
dominan terhadap
kinerja
perawatdengan Uji
T yang hasil
koefisiennya lebih
besar daripada
koefisien
kecerdasan
intelektual dan
koefisien disiplin.
2 R.A Fabiola
Meirnayati
Trihandini
(2005)
Analisis Pengaruh
Kecerdasan
Intelektual,
Kecerdasan
Emosi,dan
Kecerdasan
Spiritual Terhadap
Kinerja Karyawan
(Studi Kasus di
Hotel Horison
Semarang)
Penelitian
kuantitatif dengan
alat analisis regresi
berganda.
Variabel bebas:
Kecerdasan
intelektual,
kecerdasan emosi
dan kecerdasan
spiritual.
Variabel terikat:
kinerja karyawan.
Kecerdasan
intelektual,
kecerdasan emosi,
dan kecerdasan
spiritual
berpengaruh positif
terhadap kinerja
karyawan, baik bila
diuji secara parsial
ataupun diuji secara
simultan.
41
8 Retno
Wihyanti
(2015)
Pengaruh
Kecerdasan
Emosional
Terhadap Kinerja
Guru Bersertifikat
Pendidik
di Sekolah Dasar
Kecamatan Tegal
Barat
Penelitian
kuantitatif dengan
alat analisis regresi
sederhana.
Variabel bebas:
kecerdasan
emosional.
Variabel terikat:
kinerja guru.
Terdapat pengaruh
yang positif dan
signifikan antara
kecerdasan
emosional
terhadap kinerja
guru SD
Kecamatan Tegal
Barat.
4. Hendro
Setyono dan
Achmad
Sudjadi
(2009)
Pengaruh
Kompetensi Guru,
Insentif dan
Lingkungan Kerja
Fisik terhadap
Kinerja Guru
SMA Negeri 1
Patimuan
Kabupaten Cilacap
Penelitian
kuantitatif dengan
alat analisis regresi
berganda.
Variabel bebas:
Kompetensi Guru,
Insentif dan
Lingkungan Kerja
Fisik.
Variabel terikat:
kinerja guru.
Hasil penelitiannya
yaitu kompetensi
guru, insentif, dan
lingkungan kerja
fisik mempunyai
pengaruh yang
positif terhadap
kinerja guru
5. Agni
Prasetya
Tartib (2013)
Pengaruh
Lingkungan Kerja
dan Kepuasan
Kerja terhadap
Kinerja Guru pada
SMP Pasundan 6
Bandung dan
SMK Pasundan 3
Bandung
Penelitian
kuantitatif dengan
alat analisis regresi
berganda.
Variabel bebas:
Lingkungan Kerja
dan Kepuasan
Kerja.
Variabel terikat:
kinerja guru
Lingkungan kerja
dan kepuasan kerja
secara parsial dan
simultan
berpengaruh
terhadap kinerja
guru pada SMP
Pasundan 6 dan
SMK Pasundan 3
Bandung
Sumber: diolah peneliti, 2018.
2.6 Kerangka Pemikiran
Kerangka berfikir diperlukan untuk menemukan permasalahan dan menguji
hipotesa atas suatu penelitian. Kerangkan berfikir harus dilengkapi oleh bagan yang
memperlihatkan kaitan antara variabel – variabel penelitian (Umar, 2008). Dengan
demikian kerangka berfikir dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
42
Gambar II.1
Model Penelitian
Kesadaran Diri
(X1)
Kinerja Guru
(Y)
Pengaturan Diri
(X2)
Motivasi
(X3)
Empati
(X4)
Keterampilan
Sosial
(X5)
Lingkungan
Kerja Fisik
(X6)
H1
H2
H3
H4
H5
H6
H7
43
2.7 Hipotesis dsn Model Penelitian
Menurut sugiyono (2009) hipotesis adalah jawaban sementara terhadap
rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk pertanyaan. Dikatakan
sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori. Hipotesis
dirumuskan atas dasar kerangka pikir yang merupakan jawaban sementara atas
masalah yang dirumuskan. Berdasarkan uraian kerangka pemikiran dan hasil kajian
empiris di atas, maka peneliti mengajukan beberapa hipotesis dalam penelitian ini,
sebagai berikut:
2.7.1 H1: Diduga kesadaran diri secara parsial berpegaruh signifikan terhadap
kinerja guru.
2.7.2 H2: Diduga pengaturan diri secara parsial berpegaruh signifikan terhadap
kinerja guru.
2.7.3 H3: Diduga motivasi secara parsial berpegaruh signifikan terhadap
kinerja guru.
2.7.4 H4: Diduga empati secara parsial berpegaruh signifikan terhadap kinerja
guru.
2.7.5 H5: Diduga keterampilan sosial secara parsial berpegaruh signifikan
terhadap kinerja guru.
2.7.6 H6: Diduga lingkugan kerja fisik secara parsial berpegaruh signifikan
terhadap kinerja guru.
2.7.7 H7: Diduga kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati,
keterampilan social dan lingkungan kerja fisik secara simultan
berpegaruh signifikan terhadap kinerja guru.
Top Related