Sindrom Cauda Equina
Sindrom cauda equina muncul ketika luka menyebar melewati plexus lumbosacral
mennghasilkan variasi tingkat (a) hilang rasa saraf sensoris (b) disfungsi sphincter saluran
kemih dan (c) paraflegia. Laporan terbaru sindrom cauda equina berhubungan dengan
penggunaaan hiperbarik 5% lidokain untuk continuous spinal anesthesia (Lambert dan
Hurley, 1991; Rigler dkk., 1991). Pada kasus-kasus ini, dikemukakan bahwa mikrokateter
yang digunakan selama continuous spinal anesthesia (28 gauge atau lebih kecil) memberikan
kontribusi pada penyebaran nonhomogeneous pada cairan anestesi lokal, dengan konsentrasi
tinggi cairan lokal anastesi pada saraf tertentu atau saraf teregang (posisi lithotomy). Namun,
komplikasi yang sama telah dilaporkan setelah injeksi intrathecal 100mg dari 5% lidokain
melalui jarun 25-gauge (Gerancher,1997). Anestesia epidural juga telah diduga merupakan
penyebab sindrom cauda equina (Cheng, 1994).
Sindrom Arteri Spinal Anterior
Sindrom arteri spinal anterior terdiri dari paresis ekstrimitas bawah dengan defisit variatif
sensoris yang biasanya didiagnosa sebagai neural blocade resolves. Etiologi dari sindrom ini
kurang pasti, walaupun kemungkinan karena trombosis atau spasme ateri spinal anterior,
seperti pada efek dari obat hipotensi atau vasokonstriktor. Walaupun penambahan epinefrin
pada cairan anestetik lokal telah diduga sebagai penyebab secara teoritis, penelitian terhadap
perfusi sumsum tulang belakang tidak menunjukkan efek kerusakan karena katekolamin
(Kozody dkk.,1984). Semakin meningkatnya umur dan adanya penyakir vaskular peripheral
merupakan faktor predisposisi pasien dalam perkembangan sindrom arteri spinal anterior.
Kemungkinan sulit untuk menghilangkan simptom karena sindrom arteri spinal anterior
disebabkan oleh tekanan pada sumsum tulang belakang oleh abses atau hematoma epidural.
Sistem Kardiovaskular
Sistem kardiovaskular lebih resisten terhadap efek toksik pada konsentrasi plasma anestetik
daripada CNS. Contohnya, lidokain pada konsentrasi plasma <5 µg/mL dapat menghindari
efek serangan jantung, dengan hanya menurunkan tingkat sponteneous depolarisasi fase 4
(automaticity). Selain itu, konsentrasi plasma lidokain 5-10 µg/mL dari konsentrasi plasma
yang sama dari anestetik lokal lain, dapat menghasilkan hipotensi yang berat karena relaksasi
otot vaskular arteriolar dan depresi miokardial langsung (tabel 7-3). Hasilnya, hipotensi
menyebabkan penurunan resistensi sistemik vaskular dan penurunan cardiac output.
Salah satu penyebab cardiac toxicity sebagai hasil dari konsentrasi plasma tinggi
anestetik lokal muncul karena obat-obat ini juga menghalangi pertukaran sodium pada
cardiac. Anestetik lokal pada konsentrasi rendah, kemungkinan berefek kepada pertukaraan
sodium yang memberikan kontribusi dari obat antidistrimia jantung. Tetapi, ketika
konsentrasi plasma anestetik lokal terlalu banyak, pertukaran sodium yang terjadi menjadi
terhalang sehingga konduksi dan automaticity menjadi menurun. Contohnya, konsentrasi
plasma anestetik lokal yang terlalu banyak dapat memperlambat konduksi impulse cardiac
melalui jantung, sehingga terjadi prolongasi interval P-R dan QRS komplek pada
elektrokardiogram. Efek dari lokal anestetik terhadap pertukaran ion kalsium dan anestetik
lokal menginduksi penghambatan produksi siklus adenosine monofosfat (cAMP) yang juga
menghasilkan cardiac toxicity (Butterworth dkk.,1997).
Selektif Cardiac Toxicity
Injeksi IV bupivakain secara tidak sengaja akan menghasilkan presipitat hipotensi, disritmia
cardiac, dan atrioventricular heart block (Albright, 1979). Setelah injeksi IV secara tidak
sengaja, bagian pengikat protein (alpha1-acid glycoprotein dan albumin) untuk bupivakain
akan cepat tersaturasi, meninggalkan sejumlah besar obat yang tersedia belum berikatan
untuk difusi berkonduksi ke jaringan jantung. Injeksi IV bupivakain atau lidokain untuk
membangunkan hewan menghasilkan disritmia jantung yang serius hanya pada hewan yang
menerima bupivakain (tabel 7-4) (Kotelko dkk.,1984). Kardiotoksik konsentrasi plasma
bupivakain adalah 8-10 µg/mL (Timour dkk.,1990).
Perubahan fisiologis dan terapi obat secara bertahap akan membuat pasien lebih
rentan terhadap cardiac toxicity bupivakain. Contohnya, kehamilan akan meningkatkan
sensitivitas terhadap efek kardiotoksik dari bupivakain, tetapi tidak pada ropivakain, terutama
pada kemunculan cardiopulmonary collapse dengan dosis bupivakain yg lebih kecil pada
hewan yang hamil dibandingkan dengan hewan yang tidak hamil (gambar 7-11) (McClure,
1996; Morishima dkk.,1985). Batas produksi cardiac toxicity bupivakain dapat diturunkan
pada pasien yang dirawat dengan obat yang menghalangi perambatan impuls miokardial
(beta-adrenergic blockers, digitalis preparations, calcium channel blockers) (Roitman
dkk.,1993). Tentu saja, dengan adanya propranolol, blok atrioventrikular jantung dan cardiac
disritmia muncul pada konsentrasi plasma bupivakain 2-3 µg/ml (Timour dkk.,1990). Dari
hal ini menyarankan bahwa harus sangat hati-hati dalam penggunaan bupivakain pada pasien
yang sedang mengggunakan obat antidisritmia atau medikasi cardiac lainnya yang diketahui
dapat menekan perambatan impuls. Epinefrin dan fenilefrin mungkin dapat meningkatkan
bupivakain kardiotoksisitas, mengingat bupivakain dapat menginduksi pengahalangan
catecholamine-stimulated memproduksi cAMP (Butterworth dkk.,1993). Cardiac toxicity
bupivakain pada hewan menghasilkan arterial hypoxemia, asidosis atau hiperkarbia.
Semua anestetik lokal menekan tingkat depolarisasi maksimal dari potensi aksi
cardiac (Vmax) dengan memanfaatkan kemampuannya untuk menghalangi influk ion sodium
melalui sodium channels. Pada preparat otot papillary, bupivakain menekan Vmax lebih besar
dari lidokain, sementara ropivakain berada diantara efek depresannya pada Vmax(gambar 7-
12) (Clarkson dan Hondeghem, 1985, McClure,1996). Hasil dari diperlambatnya konduksi
dari cardiac action terlihat pada elektrokardiogram berupa prolongasi interval P-R dan QRS
dan terjadinya kembali distrimia ventrikular cardiac. Bupivakain dan lidokain menghalangi
pertukaran ion sodium cardiac selama sistole, dan juga selama diastole, bupivakain sangat
larut lipid terdisosiasi dengan jalur ini dengan kecepatan lambat bila dibandingkan dengan
lidokain, sehingga perhitungan untuk obat persisten depresan berefek pada Vmax dan juga
pada cardiac toxicity (Atlee dan Bosnjak, 1990). Pada detak jantung normal, waktu diastolik
cukup panjang untuk disosiasi lidokain tetapi bupivakain menghalangi peningkatan dan
menekan konduksi elektrikal, menyebabkan disritmia ventrikular tipe reentrant, lebih sedikit
lidokain larut lemak terdisosiasi secara cepat dari cardiac sodium channels dan cardiac
toxicity rendah. Selanjutnya, konsentrasi plasma tinggi dari bupivakain akan menyebabkan
disritmia ventrikular cardiac melalui efek langsung pada batang otak. Enansiomer R pada
bupivakain lebih beracun dari enansiomer S. Contohnya, aktivitas stroke diikuti blok
interscalent dengan levobupivakain tidak berhubungan dengan disritmia cardiac atau tanda
lain dari kardiovaskular toxicity (Crews dan Rothman, 2003). Pada hewan, levobupivakain
dibandingkan dengan bupivakain dengan insidensi yang lebih rendah disritmia ventrikular
cardiac, dan keberhasilan resusitasi lebih karena adanya levobupivakain (Groban dkk.,2001;
Huand dkk.,1998). Ropivakain adalah enansiomer S murni yang lebih tidak larut dalam
lemak dan lebih tidak kardiotoksik daripada bupivakain tetapi lebih kardiotoksik daripada
lidokain (Moller dan Covino, 1990; Scout dkk., 1989). Walaupun, ropivakain menyebabkan
cardiac arrest telah dijelaskan menurut anestesia blok saraf peripheral, sebaliknya dengan
bupivakain resusitasi cardiac lebih berhasil (Chazalon dkk.,2003; Klein dkk.,2003; Polley
dan Santos, 2003a).
Takikardia dapat mempertinggi halangan frekuensi dependen pertukaran sodium
cardiac oleh bupivakain, dan juga berkontribusi pada selektif cardiac toxicity dari anestetik
lokal ini (Kendig, 1985). Sebaliknya, derajad rendah dari halangan frekuensi dependen dapat
berkontribusi pada terjadinya antidisritmia oleh lidokain. Pada anjing yang teranestesi,
bretylium 20 mg/kg IV, membalikkan induksi tekanan cardiac dan meningkatkan ambang
batas takikardia ventrikular (Kasten dan Martin, 1985). Dengan tujuan untuk menurunkan
potensi kardiotoksisitas dilakukan injeksi intravaskular secara sengaja, lebih bijak bila
membatasi konsentrasi bupivakain pada saat digunakan untuk anestesia epidural menjadi
0,5%. Sebagai tambahan, administrasi fraksinasi yang lambat dari seluruh anestesi lokal,
tetapi khususnya bupivakain, dapat untuk mendeteksi toksisitas sistemik dari injeksi
intravaskular secara sengaja, seharusnya akan membantu menurunkan resiko kardiotoksisitas
(Xuecheng dkk.,1997).
Methemoglobinemia
Methemoglobinemia jarang terjadi tetapi potensial menyebabkan komplikasi yang
membahayakan hidup (menurunkan kapasitas pembawa oksigen) sehingga harus mengikuti
panatalaksanaan dari berbagai obat atau bahan kimia yang dapat menyebabkan oksidasi
hemoglobin menjadi methemoglobin lebih cepat daripada methemoglobin diubah menjadi
hemoglobin. Mengetahui susbstansi oksidan yang termasuk topikal ansetetik lokal (prilokain,
benzokain, setakain, lidokain), nitrogliserin, phenytoin dan sulfonamid (Nguyen dkk.,2000).
Neonatus dapat dalam resiko besar karena hemoglobin janin lebih cepat teroksidasi.
Methemoglobin tidak dapat berikatan dengan oksigen atau karbondioksida, karena
molekul-molekul hemoglobin kehilangan fungsi transportasi. Methemoglobin normalny <1%
dari total hemoglobin. Sentral sianosis biasanya muncul ketika methemoglobin melebihi
15%. Adanya methemoglobinemia terjadi karena perbedaan antara perhitungan dan
pengukuran saturasi oksigen. Diagnosis ditegakkan dengan perhitungan methemoglobin
secara kualitatif dengan cooximetry.
Methemoglobinemia mudah dihitung dengan penggunaan metilen biru, 1-2 mg/kg IV,
setelah 5 menit (dosis total tidak boleh melebihi 7-8 mg/kg). Metilen biru diubah menjadi
leukometilen biru, dimana berperan sebagai donor elektron dan nonenxymatically mengubah
methemoglobin menjadi hemoglobin. Level normal dari methemoglobin seharusnya tercapai
dalam waktu 20-60 menit setelah penggunaan metilen biru. Bagaimanapun juga, efek
therapeutik ini bersifat jangka pendek karena metilen biru mungkin telah dibersihkan
sebelum mengkonversi semua methemoglobin menjadi hemoglobin. Lebih jauh, penerusan
absorpsi dari lipofilik anestik lokal seperti benzokain dari penyimpanan jaringan adiposa
dapat berlanjut terjadi setelah konsentrasi plasma metilen biru tidak lagi therapeutik.
Respons Pernafasan pada Hipoksia
Lidokain pada konsentrasi plasma secara klinis menekan respon pernafasan hingga arterial
hypoxemia (Gross dkk.,1984). Dalam hal ini, pasien dengan retensi korbondioksida yang
ventilasinya bergantung pada hypoxic drive dapat dalam bahaya kegagalan ventilatory jika
lidokain digunakan sebagai perawatan distrimia cardiac. Sebaliknya, absorpsi sistemik
bupivakain, seperti pada blok plexus brachial, menstimulasi ventilatory merespon
karbondioksida.
Hepatotoksisitas
Pemberian secara berkelanjutan atau bertahap bupivakain untuk merawat neuralgia
postherpetic telah dihubungkan dengan peningkatan konsentrasi plasma pada enzim hati
transaminase yang menjadi normal pada saat infus bupivakain dihentikan atau lidokain
digunakan sebagai pengganti bupivakain (Yokoyama dkk.,2001). Efek dari penggunaan
kedua anestetik lokal sama. Obat yang menginduksi luka pada hati yang menjadi penyebab
langsung keracunan, reaksi alergi atau idosyncratic metabolisme abnormal. Disfungsi hepar
merupakan gambaran reaksi alergi (Craft dan Good, 1994).
Disforia
Ketakutan akan kematian yang dekat dan kepercayaan yang delusional akan kematian
merupakan pengalaman pasien dengan reaksi keracunan anestetik lokal yang digunakan
untuk anestesia regional dan pelepasan rasa sakit (Marsch dkk.,1998).
PENGGUNAAN ANESTETIK LOKAL
Anestetik lokal sering digunakan untuk melakukan topikal, infiltrasi dan anestesi regional
(Tabel 7-5) (Covino dkk.,1998; Foster dan Markham, 2000). Alasan tidak biasa untuk
memilih anestetik lokal adalah untuk mencegah atau mengatasi peningkatan tekanan
intrakranial, memberikan analgesia dan mengatasi kejang grand mal.
Efek antiinflamasi dari anestetik lokal mungkin merupakan efek yang menguntungkan
pada periode perioperatif yang disebabkan pada anestesia spinal atau epidural (Hollmann dan
Durieux, 2000).
Anestesi Regional
Anestesi reigonal diklasifikasikan menurut 6 bagian penempatan cairan anestetik lokal: (a)
topikal atau anestesia permukaan, (b) infiltrasi lokal, (c) blok saraf peripheral, (d) anestesia
regional IV, (e) anestesia epidural, (f) anestesia spinal (subarachnoid) (lihat tabel 7-3). Lebih
sering digunakan Anestesia spinal daripada “anestesi subarachnoid” atau “blok spinal”.
Terminologinya karena lebih dimengerti oleh nonanesthesiologists. Lebih lanjut, pengunaan
istilah block menyiratkan sebuah halangan. Dosis maksimum anestetik lokal (berdasarkan
berat badan) seperti yang direkomendasikan untuk anestesia topikal atau blok saraf peripheral
harus ditinjau bukan sebagai pedoman yang biasanya karena sering tidak dipertimbangkan
dengan farmakokinetik obat (Scott,1989).
Topikal Anestesi
Anestetik lokal digunakan untuk menghasilkan anestesia topikal dengan penempatan pada
membran mukus seperti pada hidung, mulut, cabang trakeobronchial, esofagus, atau taktus
genitourinarius. Kokain (4%-10%), tetrakain (1%-2%), dan lidokain (2%-4%) lebih sering
digunakan. Diperkirakan pengunaan kokain topikal anestesia >50% pada prosedur
rhinolaryngologic yang dilakukan setiap tahun di United States (Lange dkk., 1989) (lihat
bagian toksisitas kokain). Popularitas kokain sebagai topikal anestesia karena kemampuannya
yang unik untuk menghasilakn vasokonstriksi lokal, yang menurunkan kehilangan darah dan
meningkatkan visualisasi operasi. Tidak ada perbedaan antara intranasal anestetik atau efek
vasokonstiktif dari kokain dan campuran lidokain-oxymetazoline atau tetrakain-
oxymetazoline, menjadikan kegunaan dari kombinasi-kombinasi ini pengganti dari kokain
(Noorily dkk.,1995). Prokain dan khloroprokain kurang baik dalam penetrasi membran
mukus dan tidak efektif pada anestesi topikal.
Lidokain nebulized digunakan untuk menghasilkan anestesia permukanan pada traktus
repiratorius atas dan bawah sebelum fiberoptik laringoskopi dan atau bronchoskopi dan
sebagai perawatan pada pasien yang mengalami intractable coughing (McAlpine dan
Thomson, 1989). Inhalasi dari anestetik lokal pada subjek yang normal tidak mengubah
hambatan udara dan mungkin dapat menghasilkan bronkodilatasi ringan (Kirkpatrick
dkk.,1987). Sebenarnya, inhalasi dari lidokain nebulized dapat menyebabkan
bronkokonstriksi pada beberapa pasien dengan asma, dimana sebaiknya penting dilakukan
pertimbangan yang direncanakan pada pasien dengan asma ini (McAlpine dan
Thomson,1989). Anestetik lokal diserap melalui sirkulasi sistemik setelah aplikasi topikal
pada membran mukus. Absorpsi sistemik tetrakain dan lidokain yang lebih rendah, setelah
penempatan pada mukosa trakeobronkial menghasilkan konsentrasi plasma yang sama pada
pasien yang diinjeksi IV pada anestetik lokal. Contohnya, konsentrasi plasma lidokain 15
menit setelah penyemprotan anestetik lokal pada laringotrakeal sama dengan konsentrasi
yang terjadi tepat setelah injeksi lidokain IV (Viegas dan Stoelting.,1975). Absorpsi sistemik
ini merefleksikan vaskularitas yang tinggi pada cabang tracheobronchial dan injeksi
penyemprotan anestetik lokal yang menyebarkan cairan ke area permukaan yang luas.
Campuran Eutectic dari lokal anestetik
Lapisan keratin dari kulit memberikan perlindungan yang efektif dari obat topikal untuk
berdifusi, menjadikannya sulit untuk memperoleh anestesi dari kulit langsung hanya dengan
aplikasi topikal. Sering digunakan prilokain untuk anestesia topikal untuk campuran eutectic.
5% lidokain-prilokain krim (2,5% lidokain dan 2,5% prilokain) digunakan dalam konsentrasi
tinggi sebagai basis anestetik tanpa menyebabkan iritasi lokal, absorpsi yang tidak seimbang
atau keracunan sistemik (Gajraj dkk.,1994; Taddio dkk.,1997). Kombinasi dari lokal
anestetik ini dipertimbangkan sebagai eutectic mixture of local anesthetic (EMLA
), karena melting point dari campuran obat lebih rendah dari penggunaan hanya lidokain atau
prilokain saja. Krim EMLA bertindak dengan berdifusi melalui kulit langsung untuk
memblok transmisi neuronal dari reseptor dermal. Biasanya 1-2 gram krim EMLA
diaplikasikan setiap 10cm2 area kulit dan ditutupi dengan occlusive dressing. Durasi dari
pengaplikasian bervariasi tergantung tipe prosedur yang dilakukan dan bagian yang
diaplikasikan. Contohnya, skin-graft harvesting membutuhkan 2 jam, dimana kateter genital
warts bisa dilakukan setelah setelah hanya 10 menit pengaplikasian. Krim EMLA efektif
dalam menghilangkan rasa sakit venipuncture, kanulasi arterial, lumbar puncture dan
myringotomy pada anak-anak dan dewasa. Rasa sakit selama sirkumsisi pada neonatus
dikurangi dengan topikal anestesik ini (Taddio dkk.,1997). Walaupun 45 menit dianjurkan
sebagai minimum efektifitas waktu onset untuk menurunkan rasa sakit pada kanulasi IV,
telah dilaporkan penurunan rasa sakit yang signifikan setelah hanya 5 menit. Frekuensi
rendah ultrasound pretreatment efektif untuk mengakselerasikan onset krim EMLA (Katz
dkk.,2004). Penambahan obat salep nitrogliserin pada krim EMLA meningkatkan pelepasan
kanulasi vena dengan merangsang venodilatasi (Teiloll-Foo dan Kassah.,1991). Jika krim
EMLA digunakan untuk menganastesi kulit sebelum pengambilan darah, hasil analisa darah
tidak akan terganggu. Tetapi, penggunaan krim EMLA untuk mengurangi rasa sakit pada tes
kulit intradermal akan menurunkan respon flare dan dapat menunjukkan interpretasi false-
negative pada tes dengan hasil positif yang lemah.
Aliran darah kulit, ketebalan epidermal dan dermal, durasi aplikasi dan adanya
patologi kulit merupakan faktor penting yang mempengaruhi onset, kemanjuran dan durasi
analgesia EMLA. Orang Afrika-Amerika dapat lebih rendah responnya daripada orang
berkulit putih, sepertinya dikarenakan karena peningkatan densitas stratum korneum (Hymes
dan Spraker, 1986). Kulit yang memucat terlihat setelah 30-60 menit, kemungkinan
dikarenakan vasokonstriksi. Level plasma lidokain dan prilokain dibawah toxic levels,
walaupun konsentrasi methemoglobin yang merefleksikan metabolisme prilokain
kemungkinan meningkat pada anak-anak <3 bulan, merefleksikan jalur reduktase immature.
Kapasitas enzim untuk reduktase sel darah merah methemoglobin pada anak-anak <3 bulan
dapat ditingkatkan dengan krim EMLA dengan penambahan bersamaan dengan obat yang
dapat menginduksi methemoglobin (sulfonamid, asetaminofen, phenytoin, nitrogliserin,
nitropusside) (Jakobsen dan Nilsson, 1985). Krim EMLA tidak dapat digunakan pada pasien
langka yang memiliki kongenital atau idiopathic methemoglobinemia. Reaksi kulit lokal,
seperti memucat, eritema dan perubahan sensasi suhu, edema, pruritus dan rash umum terjadi
setelah aplikasi krim EMLA.
Krim EMLA tidak direkomendasikan untuk digunakan pada membran mukus karena
absorbsi yang lebih cepat dari lidokain dan prilokain daripada melalui kulit langsung (Gajraj
dkk.,1994). Juga krim EMLA tidak direkomendikasikan pada kulit yang terluka karena resiko
infeksi luka akan meningkat (Powell dkk.,1991). Pasien yang sedang dirawat dengan obat
antidisritmia tertentu (mexiletine) mungkin akan merasakan penambahan rasa dan efek yang
sinergis pada saat terpapar dengan krim EMLA. Krim EMLA merupakan kontraindikasi pada
pasien dengan riwayat alergi pada anestetik lokal amida.
Amethokain, seperti krim EMLA, memerlukan beberapa menit untuk efektif, dan
krim harus ditutupi dengan occlusive dressing. Mikroemulsi dari amethokain akan
meningkatkan penetrasi kulit dan mempersingkat waktu sampai anestesia kutaneous tercapai
(Arevalo dkk.,2004).
Topikal lain yang efektif sebagai lokal anestetik (lihat bagian, Benzokain)
Dyclonine (0,5% hingga 1,0%), hexykain dan piperokain merupakan topikal yang efektif
untuk anestesia membran mukus (onset 2-10 menit dan durasi 20-30 menit), yang biasanya
diperlukan sebelum laringoskopi langsung. Dyclonine telah digunakan untuk menghasilkan
anestesi topikal pada jalur nafas pasien yang alergi bupivakain dan prokain (Bacon
dkk.,1997). Struktur keton yang unik dari dyclonine membuat cross-sensivity dari lokal
anestetik amida dan ester tidak terjadi.
Infiltrasi Lokal
Anestesi lokal infiltrasi melibatkan bagian ekstravaskular untuk anestetik lokal pada area
yang akan dianestesi. Sebagai contoh, Injeksi subkutan dari lokal anestetik pada area yang
dilalui intravaskular cannula. Lidokain merupakan anestetik yang paling sering dipilih untuk
anestesi infiltrasi. Infiltrasi 0,25% ropivakain atau bupivakain sama efektifnya dalam
penanganan rasa sakit pada inguinal operative site. (Erichesen dkk.,1995).
Durasi infiltrasi anestesi dapat dilipatgandakan dengan penambahan 1:200.000
epinefrin pada cairan lokal anestetik. Tetapi, epinefrin yang dicampur dalam cairan tidak
boleh diinjeksikan secara intrakutaneous atau pada jaringan yang menyuplai end-arteries
(jari, telinga dan hidung) karena vasokonstriksi yang dihasilkan akan menyebabkan iskemia
dan bahkan gangren.
Anestesi Blok Saraf Peripheral
Anestesi blok saraf peripheral dilakukan dengan menginjeksi cairan lokal anestesi ke dalam
jaringan di sekeliling saraf peripheral atau saraf-saraf plexus seperti saraf brachial. Pada saat
cairan anestesi disuntikkan ke sekeliling saraf peripheral, cairan akan berdifusi dari
permukaan luar (mantle) menuju ke bagian inti (core) dari saraf secara bertahap (Winnie
dkk.,1977b). Hasilnya serabut saraf yang berada di mantle akan teranestesi pertama kali.
Serabut mantle ini secara struktur anatomis biasanya terdistribusi lebih ke proksimal daripada
ke distal yang diinervasi oleh serabut saraf yang berada dekat dengan inti saraf. Hal ini
menjelaskan perkembangan awal anestesi yang menyebar dari proksimal lalu ke arah distal
untuk mencapai lebih ke arah inti saraf. Sebaliknya, pemulihan sensasi bius ini terjadi dalam
arah berlawanan; serabut saraf di mantle yang berkontak dengan cairan ektraneural yang
pertama kali kehilangan sensasi bius, sehingga sensasi tersebut hilang dari proksimal lalu
terakhir bagian distal.
Paralisis otot skeletal dapat terjadi pada saat onset anestesi saraf sensoris bila serabut
saraf motoris didistribusi peripheral ke serabut sensoris pada saraf mixed peripheral (Winnie
dkk.,1977a). Tentunya urutan onset dan pemulihan blok serabut saraf simpatis, sensoris, dan
motoris pada saraf mixed peripheral tergantung seberapa banyak serabut saraf yang secara
anatomis letaknya berdekatan dengan saraf gabungan serta sensitivitasnya terhadap anestesi
lokal. Sebaliknya pada penelitian in vitro pada jaringan saraf tunggal dimana jarak difusi
tidak berpengaruh. Dalam model in vitro ukuran serabut saraf sangat berperan penting
dengan onset konduksi blok yang berbanding terbalik dengan proporsi ukuran serabut saraf.
Contohnya, serabut sistem saraf sensoris dan autonom yang paling kecil pertama kali
teranestesi, diikuti oleh saraf motoris yang terbesar dan akson proprioseptif.
Kecepatan onset anestesi sensoris setelah injeksi cairan lokal anestesi di jaringan
sekeliling saraf peripheral tergantung dari pK obat. pK menentukan banyaknya anestesi lokal
yang beredar dalam bentuk active nonionized pada pH jaringan (lihat tabel 7-1). Contohnya,
onset aksi lidokain muncul setelah kira-kira 3 menit, dimana onset setelah injeksi bupivakain,
levobupivakain atau ropivakain membutuhkan kira-kira 15 menit, dilihat dari fraksi yang
lebih besar dari lidokain yang dalam bentuk larut lemak nonionized. Onset dan durasi anestesi
sensoris pada blok plexus brachial diproduksi 0,5% bupivakain, levobupivakain atau
ropivakain secara sama. Ropivakain, 33mL dari 0,5% cairan digunakan untuk blok
subcalvian perivaskular, menghasilakn onset yang cepat pada anestesi sensoris (sekitar 4
menit) dengan perpanjangan (>13 jam) dan blok motoris (Hickey dkk.,1990). Untuk blok
saraf ulna, ropivakain ditemukan lebih efektif secara maksimal pada konsentrasi antara 0,5%
dan 0,75% dan onset serta durasi aksinya sama dengan bupivakain (Notle dkk.,1990).
Tetrakain memiliki onset anestesi yang lambat dan berpotensi tinggi menyebabkan keracunan
sistemik, tidak direkomendasikan untuk infiltrasi lokal atau anestesi blok peripheral.
Durasi anestesi blok peripheral tergantung dari dosis lokal anestetik, kelarutannya
terhadap lemak, derajad ikatan proteinnya dan penggunanaan tambahan vasokonstriktor
seperti epinefrin. Durasi aksi yang diperpanjang lebih aman dengan epinefrin daripada
dengan meningkatkan dosis anestetik lokal, yang akan meningkatkan pula keracunan
sistemik. Bupivakain dikombinasikan dengan epinefrin akan menghasilkan anestesi blok
peripheral yang tahan hingga 14 jam. Sebaliknya, tidak semua dokumentasi melaporkan
perpanjangan durasi aksi ketika epinefrin ditambahkan pada bupivakain atau ropivakain
(Niesel dkk.,1993).
Anestesi Regional Intravena (Blok Bier)
Injeksi IV cairan lokal anestesik pada extremity isolated dari sirkulasi sistemik dengan
torniquet menghasilkan onset anestesi yang cepat dan relaksasi otot skeletal. Durasi dari
anestesia independen dari lokal anestetik spesifik dan ditentukan dari seberapa lama torniquet
tetap digunakan. Mekanisme anestetik mana yang memproduksi anestesia IV regional belum
diketahui tetapi kemungkinan merupakan aksi refleks dari obat pada akhiran saraf seperti
pada nerve trunks. Sensasi rasa normal dan warna otot skeletal akan kembali secara bertahap
setelah pelepasan torniquet, dimana aliran darah akan mengencerkan konsentrasi anestetik
lokal.
Anestetik lokal ester dan amida memproduksi efek yang memuaskan yang dapat
digunakan pada anestesi regional IV. Lidokain merupakan anestetik amida yang paling
banyak dipilih untuk digunakan pada tipe anestesi regional ini. Alternatif lidokain yaitu
prilokain, mepivakain, dan ropivakain. Onset, durasi dan kualitas anestesia regional IV
dengan 50 ml dari 0.5% yang dihasilkan dari cairan lidokain atau prilokain sama, tetapi
konsentrasi plasma prilokain lebih rendah dari lidokain setelah pelepasan torniquet (gbr.7-13)
(Bader dkk.,1988). Derajad asosiasi methemoglobinemia (3% hemoglobin menjadi
methemoglobin) yang diperlihatkan prilokain sangat jauh dari tingkat dapat menyebabkan
sianosis (10% hemoglobin menjadi methemoglobin). Konsentrasi plasma yang sangat rendah
dari penggunaan prilokain setelah pelepasan torniquet mengindikasikan bahwa tingkat
keamanan yang lebih besar dalam penggunaan prilokain dibandingkan dengan lidokain dalam
hal potensi keracunan sistemik. Mepivakain 5 mg/kg menjadikan lidokain 3 mg/kg analgesia
yang superior efektif pada anestesi regional intravena (Prieto Alvarez dkk.,2002).
Konsentrasi plasma lidokain menurun dengan signifikan pada 60 menit pertama pelepasan
torniquet, dimana konsentrasi mepivakain pada darah menjadi dibawah konsentrasi beracun.
Ropivakain 1,2 mg/kg dan 1,8 mg/kg dibandingkan dengan lidokain 3 mg/kg menghasilkan
anestesia regional IV yang sama tetapi resudial analgesia ropivakain lebih lama (Chan
dkk.,1999). Chloroprokain tidak dipilih untuk anestesia regional IV karena tingginya
insidensi thrombophlebitis. Bupivakain tidak direkomendasikan untuk anestesia regional IV
mengingat kemungkinan produksi kardiotoksisitas yang lebih tinggi dari lokal anestesi yang
lain ketika torniquet dilepas setelah anestetik dimasukkan. Ropivakain, juga memproduksi
kardiotoksisitas walaupun lebih rendah dari bupivakain, tidak direkomendasikan untuk
anestesia regional IV.
Anestesi Epidural
Cairan anestesi lokal dimasukkan ke dalam epidural atau spasium sacral caudal yang
menghasilkan efek anestesi epidural melalui dua mekanisme. Pertama, anestesi lokal
berdifusi melalui dura menuju ujung saraf dan saraf tulang belakang ketika ia diinjeksikan
secara langsung menuju spasium subarachnoid lumbar untuk menghasilkan anestesi spinal.
Kedua, anestetik lokal juga berdifusi ke area paravertebral melalui foramina interverteberal,
menghasilkan blok multipel saraf paravertebral. Proses difusi lambat ini menyebabkan delay
selama 5 sampai 30 menit pada onset dari anestesia sensoris setelah injeksi cairan anestetik
lokal dalam spasium epidural. Lidokain biasanya umum digunakan untuk anestesi epidural
karena kapabilitas difusinya yang baik melalui jaringan. Memperhatikan faktor
keamanannya, bupivakain mulai diganti dengan levobupivakain dan ropivakain karena
anestetik lokal ini berhubungan dengan resiko untuk cardiac dan toksisitas sistem saraf pusat
yang lebih rendah dan juga terdapat kemungkinan hasil yang lebih rendah terhadap
munculnya blokade motor postoperatif yang tidak diinginkan.
Bupivakain dan ropivakain pada konsentrasi yang sama (0,5% sampai 0,75%)
menghasilkan anestesia sensoris yang lama (ropivakain memiliki tendensi yang besar untuk
memblok serabut A delta dan C) ketika digunakan untuk anestesia epidural, tetapi anestesi
motorik yang dihasilkan oleh ropivakain kurang intens dan durasinya juga lebih pendek
(Brown dkk, 1990; Feldman dan Covino, 1988). Karakteristik dari ropivakain ini bisa jadi
bermanfaat untuk pasien persalinan dan untuk mereka yang mengalami rasa sakit akut dan
kronis. Penambahan epinefrin 1:200.000 terhadap bupivakain atau ropivakain 0,5% - 0,75%
tidak menambah durasi aksinya (Cederholm dkk 1994). Kegunaan dari ropivakain 1% dapat
memberi anestesia sensoris yang lebih lama dibanding bupivakain 0.75%, hal ini juga sama
untuk blok motorik (Niesel dkk, 1993; Wood dan Rubin, 1993). Toksisitas sistemik yang
lebih rendah dari ropivakain dibandingkan dengan bupivakain menjadikan ropivakain biasa
digunakan untuk anestesi bedah dengan konsentrasi sampai 1% (McClure, 1996). Untuk
anestesi post operatif, infusi dari ropivakain 0,2% sebanyak 6 sampai 10 mL/jam cukup
efektif (Erichsen dkk, 1996). Pada anak-anak tidak ada perbedaan dalam hal anestesi
postoperatif yang dihasilkan oleh bupivakain, levobupivakain, atau ropivakain selain blokade
motorik yang tidak diinginkan biasanya lebih tinggi frekuensinya pada pasien yang menerima
bupivakain (Gambar 7-14) (Negri dkk, 2004). Analgesi epidural atau anestesi untuk
persalinan atau cesarean adalah sama yaitu dengan bupivakain 0.5% atau ropivakain tetapi
durasi dari blok motoriknya lebih rendah pada pasien yang melahirkan yang menerima
ropivakain (Alahuhta dkk 1995). Sejalan dengan hal itu, ropivakain ,.25% dan bupivakain
0,25% diadministrasikan sesuai dosis intermiten kedalam spasium epidural yang cukup
efektif untuk menghilangkan rasa sakit melahirkan (Muir dkk, 1997). Kesimpulannya,
ropivakain dan bupivakain keduanya bisa menjadi analgesia pada persalinan yang baik tanpa
perbedaan signifikan antara kedua obat dalam hal insidensi dampak terukur dari pasien
persalinan (Polley dan Columb, 2003b). Konsentrasi meningkat plasma dari lokal anestetik
setelah anestesi epidural merupakan hal yang penting ketika teknik ini digunakan untuk
memberikan efek anestesi kepada pasien yang melahirkan. Anestetik lokal menembus
plasenta dan dapat terdeteksi, meskipun tidak ada efek samping yang berbahaya pada janin
selama 24 sampai 48 jam. Janin dan neonatus kurang mampu untuk memetabolisme
mepivacaine, yang membuat eliminasi waktu paruh yang lebih lama dibandingkan orang
dewasa. Penggunaan anestesi lokal yang larut lipid dan mengikat protein seperti bupivakain
akan membatasi masuknya dari plasenta kedalam fetus. Bahkan dosis rendah dari lidokain,
seperti yang banyak digunakan untuk anestesi spinal selama melahirkan, akan tetap
diabsorpsi secara sistemik, karena terlihat dari adanya lidokain dan metabolitnya pada urin
neonatal selama >36 jam (Kuhnert dkk, 1987). Karenanya, plasma konsentrasi maternal dari
bupivakain pada ibu dari neonatus tersebut sekitar 5% dari level yang ada setelah anestesi
epidural, dan konsentrasi plasma vena umbilikalis adalah sekitar 7% dari level yang ada
setelah anestesi epidural.
Kontras dengan anestesi spinal, selama anestesi epidural, seringkali tidak ada zona
blokade diferensial sistem saraf simpatis, dan zona dari blokade motorik diferensial bisa saja
meningkat sampai empat segmen dari dua segmen dibawah level sensorik. Perbedaan lain
dari anestesi spinal adalah dosis yang lebih besar dibutuhkan untuk menghasilkan efek
anestesi epidural yang berakhir dengan absorpsi sistemik substansial dari anestesi lokal.
Sebagai contoh, konsentrasi puncak plasma dari lidokain adalah 3 sampai 4 µg/mL setelah
dimasukkan sebanyak 400 mg kedalam spasium epidural. Bupivakain, 70 sampai 100 mg dari
0.5% dengan epinefrin 1:200,000 yang dimasukkan kedalam spasium epidural, menghasilkan
konsentrasi plasma rata-rata puncak yaitu 0,335 µg/mL yang berlangsung selama 30 menit
setelah instilasi anestesi lokal (Reynolds, 1971). Konsentrasi plasma puncak dari bupivakain
hampir 1 µg/mL berlangsung ketika epinefrin tidak dimasukkan kedalam cairan anestesi lokal
yang dimasukkan kedalam spasium epidural. Dalam hal ini, penambahan epinefrin kedalam
cairan anestesi lokal dapat menurunkan absorpsi sistemik dari anestesi lokal sekitar sepertiga
nya. Konsentrasi plasma venous puncak dari ropivakain adalah 1,3 µg/mL setelah anestetik
lokal dimasukkan sebanyak 200 mg. Penambahan cairan epinefrin 1:200,000 menurunkan
absorpsi sistemik dari ropivakain sekitar sepertiganya. Absorpsi sistemik dari epinefrin
menghasilkan stimulasi beta adrenergic yang dikarakteristikkan dengan vasodilatasi
periferal, dengan resultan menurun dalam tekanan darah sistemik, bahkan cardiac output
meningkat oleh efek inotropik dan chronotropic dari epinefrin.
Penambahan opioid ke dalam cairan anestetik lokal ditempatkan dalam spasium
epidural atau intrathecal yang menyebabkan analgesia synergistic (Solomon dan Cebhart,
1994). Sebuah pengecualian kepada analgesik sinergi adalah 2-chloroprocaine, yang bisa
menurunkan efektivitas dari opioid epidural ketika diinjeksikan dengan cairan anestetik lokal
yang dimasukkan kedalam spasium epidural (Coda dkk, 1997). Kombinasi antara anestetik
lokal dan opioid untuk blok saraf perifer akan menjadi kurang efektif dalam mengubah
karakteristik atau hasil dari blok.
Anestesi Spinal
Anestesi spinal dihasilkan dengan injeksi cairan anestesi lokal kedalam spasium lumbar
subarachnoid. Cairan anestesi lokal dimasukkan kedalam cerebrospinal fluid beraksi pada
lapisan superfisial dari corda spinalis, tetapi lokasi aksi utama nya adalah fiber preganglionic
ketika ia meninggalkan corda spinalis didalam rami anterior. Karena konsentrasi anestesi
lokal dalam cerebrospinal fluid menurun karena pengaruh jarak dari lokasi injeksi, dan
karena jenis dari serabut saraf berbeda dalam hal sensitivitasnya terhadap efek dari anestetik
lokal, zona dari differensial anestesi pun berkembang. Karena serabut preganglionic sistem
saraf simpatis diblok oleh konsentrasi dari anestesi lokal yang tidak mampu mempengaruhi
serabut sensorik dan motorik, level denervasi dari sistem saraf simpatis selama anestesi spinal
meluas sampai sekitar dua segmen cephalad spinal pada level anestesi sensorik. Untuk alasan
yang sama, level anestesi motorik rata-rata dua segmen dibawah anestesi sensorik.
Dosis dari anestetik lokal yang digunakan untuk anestesi spinal bervariasi menurut (a)
tinggi pasien, yang menentukan volume spasium subarachnoid, (b) level segmental dari
anesthesia yang diinginkan, dan (c) durasi dari anestesi yang diinginkan. Dosis total dari
anestesi yang dimasukkan untuk anestesi spinal lebih penting daripada obat atau volume
cairan yang diinjeksikan. Tetrakain, lidokain, bupivakain, ropivakain, dan levobupivakain
adalah anestesi lokal yang paling sering digunakan untuk anestesi spinal.
Anestesi spinal dengan lidokain telah ada laporan dimana terjadi insiden yang lebih
tinggi dari gejala neurologik sementara daripada anestesi spinal yang menggunakan
bupivakain (lihat bagian pada Neurotoxicity). Untuk alasan ini, bupivakain telah digunakan
sebagai alternatif anestetik lokal daripada lidokain untuk anestesi spinal (Carpenter, 1995;
Drasner, 1997). Jika lidokain dipilih, akan lebih baik untuk membatasi dosisnya sampai 60
mg (Drasner, 1997). Bupivakain digunakan untuk anestesi spinal lebih efektif dibanding
tetrakain dalam mencegah sakit torniquet pada ekstermitas bawah selama bedah orthopedi
(Stewart dkk, 1988). Efektifitas ini menunjukkan kemampuan bupivakain untuk
menghasilkan blokade konduksi yang bergantung pada frekuensi dari serabut saraf daripada
tetrakain. Pada kasus persalinan, penggunaan intrathecal dari bupivakain, 2,5 mg, ditambah
sufentanil, 10 µg menghasilkan efek analgesi persalinan dan pasien masih bisa meneruskan
ambulate (Campbell dkk, 1997). Penambahan fentanyl 5 µg memberikan efek penurunan
dosis pada bupivakain yang sama juga dihasilkan oleh 15 µg atau 25 µg fentanyl, yang
memberikan efek berkurangnya pruritus tetapi durasi aksi nya menurun (Stocks dkk, 2001).
Ropivakain, 3 mL dari 0,5% atau 0,75%, memberikan efek anestesi sensorik,
meskipun blokade motorik penuh muncul pada sekitar 50% pasien menerima dosis yang
lebih rendah (van Kleef dkk, 1994). Ropivakain adalah anestetik lokal yang dapat diterima
untuk menghasilkan efek anestesi spinal pada operasi cesar, dan menurunkan blokade
ekstermitas bawah dibanding dengan bupivakain (Halpern dkk, 2003; Khaw dkk, 2001).
Levobupivakain memiliki efektivitas klinis yang sama dengan bupivakain dalam hal anestesi
spinal (Gambar 7-15) (Alley dkk, 2002). Dibukain 1,5 sampai 2 kali sama kuatnya dengan
tetracaine ketika digunakan untuk anestesi spinal. Di masa lalu, chloroprocaine tidak
direkomendasikan untuk digunakan dalam spasium subarachnoid karena potensi
neurotoksisitas (Covino dkk, 1980; Ravindran dkk, 1980; Resiner dkk, 1980). Bagaimanapun
juga, cairan bebas pengawet 2-chloroprocaine (2% dan 3%) bisa digunakan untuk injeksi
intrathecal (penggunaan off label) dan telah dibuktikan mampu menghasilkan blokade
sensorik dan motorik dengan durasi singkat dan sedikit atau bahkan tidak ada resiko gejala
neurologis sementara, menjadikan anestesi lokal ini merupakan pilihan atraktif pada prosedur
bedah rawat jalan yang dilakukan dengan anestesi spinal (Gambar 7-16) (Drasner, 2005;
Kouri dan Kopacz, 2004).
Gravitasi spesifik carian anestesi lokal diinjeksikan kedalam cerebrospinal fluid
lumbar merupakan hal penting untuk mengetahui penyebaran dari obat. Penambahan glukosa
kedalam cairan anestetik lokal meningkatkan gravitasi spesifik dari cairan anestetik lokal
diatas cerebrospinal fluid (hiperbarik). Penambahan air suling menurunkan gravitasi spesifik
dari cairan anestesi dibawah cerebrospinal fluid (hipobarik). Cerebrospinal fluid tidak
mengandung enzim cholinesterase dalam jumlah yang signifikan; karenanya, durasi aksi dari
anestetik lokal berbasis ester serta amida yang digunakan dalam spasium subarachnoid
bergantung pada absorpsi sistemik dari obat.
Diinjeksi secara intrathecal, tetrakain menghasilkan peningkatan signifikan dalam
aliran darah corda spinalis, sebuah efek yang bisa dicegah atau dibalik dengan epinefrin
(Kozody dkk, 1985). Vasodilatasi lebih rendah terjadi dengan lidokain, dan bupivakain
menghasilkan vasokonstriksi. Secara umum, vasokonstriktor merupakan pilihan yang paling
efektif dalam memperpanjang anestesi spinal yang diinduksi oleh tetrakain (sampai 100%)
dan kurang efektif dalam memperpanjang anestesi spinal lidokain, dimana efek pada
anestesia spinal bupivakain tetap kontroversial dan minimal.
Efek Fisiologis
Tujuan dari anestesi spinal adalah untuk menghasilkan anestesi sensorik dan relaksasi otot
skeletal. Level blokade sistem saraf simpatis yang menyertainya yang menyebabkan
perubahan fisiologis. Konsentrasi plasma dari anestetik lokal setelah injeksi subarachnoid
juga terlalu rendah untuk menghasilkan perubahan fisiologis.
Cardiac Arrest
Cardiac Arrest dapat menyertai hipotensi dan bradikardi yang berhubungan dengan anestesi
spinal (Aurory dkk, 1997; Lee dkk, 2004; Liu dan McDonald, 2001; Pollard, 2001). Insiden
dari hipotensi adalah sekitar 33% dan insiden bradikardi sekitar 13% pada pasien
nonobstetrik. Faktor resiko untuk hipotensi dengan anestesi sensorik diatas T5 dan tekanan
darah sistolik dasar < 120 mm Hg. Faktor resiko untuk bradikardi termasuk anestesi sensorik
diatas T5, heart rate dasar < 60 kali/menit, interval P-R lebih panjang pada
elektrokardiogram, dan perlakuan yang seiring dengan obat-obatan beta blocking. Gambaran
umum dari cardiac arrest pada pasien yang menerima anestesi spinal yang menggunakan
sedasi untuk menghasilkan state sleep-like tanpa verbalisasi spontan dan kurangnya
pemberian awal dari epinefrin. Bahkan ketika terapi segera diberikan, pasien mungkin
mengalami refraktori terhadap perawatan, karena blokade sistem saraf simpatis yang
diinduksi anestesi lokal, akan menurunkan volume darah sirkulasi, yang juga menyebabkan
respon neuroendokrin terhadap stres. Bahkan pemberian awal dari epinefrin pada pasien yang
sebelumnya dimonitor dengan pulse oximetry dan capnography tidak menjamin hasil yang
baik untuk terjadinya neuraxial cardiac arrest (Lee dkk, 2004).
Blokade sistem saraf simpatis menyebabkan dilatasi arteriolar, tetapi tekanan darah
sistemik tidak menurun secara proporsional karena compensatory vasoconstriction dalam
area yang diinervasi sistem saraf simpatis secara utuh. Vasokonstriksi kompensatori muncul
terutama pada ekstermitas atas dan tidak termasuk pembuluh darah serebral. Bahkan dengan
blokade sistem saraf simpatis total yang dihasilkan dengan anestesi spinal, penurunan tahanan
vaskular sistemik adalah <15%. Perubahan ini minimal karena otot polos dari arteriola
menahan tone intrinsik dan tidak berdilatasi secara maksimal.
Respon perubahan kardiovaskular yang paling penting dihasilkan oleh anestesi spinal
adalah yang dihasilkan dari perubahan sirkulasi venous. Tidak seperti arteriola denervasi oleh
blokade sistem saraf simpatis, venula tidak menjaga tone intrinsik dan karenanya berdilatasi
secara maksimal karena anestesi spinal. Kapasitansi vaskular meningkat yang dihasilkan
menurunkan aliran vena ke jantung, menyebabkan penurunan cardiac output dan tekanan
darah sistemik. Efek fisiologis dari anestesi spinal pada aliran balik vena meningkatkan
resiko hipotensi sistemik ekstrim jika teknik ini digunakan pada pasien hipovolemik. Blokade
dari serabut akselerator hipovolemik preganglionik (T1 sampai T4) menyebabkan penurunan
heart rate, jika aliran balik vena turun dan tekanan vena sentral menurunkan stimulasi
reseptor stretch intrinsik di atrium kanan (Bezold Jarish refleks) . Sebagai contoh, denyut
jantung akan meningkat dengan posisi kepala dibawah yang meningkatkan aliran balik vena
dan tekanan vena sentral yang menstimulasi reseptor ini. Selama anestesi spinal, kebutuhan
oksigen miokardial berkurang sebagai akibat dari menurunnya denyut jantung, aliran balik
vena dan tekanan darah sistemik.
Apnea
Apnea yang muncul dengan jumlah eksesif dari anestesi spinal karena paralisis iskemik dari
pusat ventilatori medular karena hipotensi berlebihan dan berhubungan dengan penurunan
aliran darah serebral. Konsentrasi dari anestesi lokal dalam cerebrospinal fluid ventricular
biasanya terlalu rendah untuk menghasilkan efek farmakologis dari pusat ventilatori.
Penyebab apnea karena paralisis saraf frenikus jarang terjadi.
Analgesia
Lidokain dan prokain telah menghasilkan analgesia intens ketika diinjeksikan intravena.
Penggunaan anestesi lokal untuk tujuan ini, dibatasi oleh batas keamanan tipis antara dosis
analgesi IV dan yang menghasilkan efek toksisitas sistemik. Namun, infusi dosis rendah terus
menerus dari lidokain untuk menjaga konsentrasi plasma dari 1-2 µg/mL menurunkan derajat
keparahan dari sakit post operasi dan menurunkan kebutuhan opioid tanpa meningkatkan
toksisitas sistemik (Cassuto dkk, 1985). Lidokain diberikan intravena juga menurunkan
kebutuhan anestetik untuk obat-obatan volatil (DiFazio dkk, 1976). Lidokain juga diberikan
IV pada periode perioperatif sebagai penekan batuk. Dalam hal ini, refleks batuk selama
intubasi trakea ditekan oleh konsentrasi plasma lidokain >2 µg/mL (Yukioka dkk, 1985).
Nyeri tungkai (neuromas) tetapi bukan phantom pain (reorganisasi kortikal) karena amputasi
dikurangi dengan pemberian intravena dari lidokain (Wu dkk, 2002).
Supresi Disritmia Ventrikel Jantung
Sebagai tambahan mengenai supresi disritmia ventrikel jantung (lihat Bagian 17), pemberian
IV dari lidokain dapat meningkatkan ambang defibrilasi. Gagal untuk mengenali efek ini
akan mengakibatkan perubahan tidak penting dari sistem defibrilator cardioverter yang
implantabel. (Peters dkk, 1997).
Supresi dari Kejang Grand Mal
Kejang Grand mal dapat ditekan dengan pemberian dosis rendah lidokain atau mepivakain
secara IV. Kemungkinan, anestesi lokal ini dan mungkin yang lain, ketika muncul pada
konsentrasi plasma rendah, menjadi efektif dalam menekan kejang melalui depresi inisial dari
neuron kortikal hyperexcitable. Namun, neuron inhibisi biasanya lebih sensitif terhadap aksi
depresan dari anestesi lokal daripada neuron eksitasi dan fenomena eksitasi menonjol.
Efek Anti inflamasi
Anestesi lokal memodulasi respon inflamasi dan mungkin saja berguna dalam mitigasi luka
inflamasi perioperatif (Hollmann dan Durieux, 2000). Sebagai contoh, respon inflamasi
overreaktif yang menghancurkan ketimbang melindungi merupakan hal kritis dalam
perkembangan beberapa fenomena perioperatif termasuk sakit post operasi, sindrom sulit
napas pada orang dewasa, sindrom respon inflamasi sistemik, dan gagal organ multipel. Efek
bermanfaat yang berhubungan dengan anestesi epidural (menghilangkan rasa sakit,
penurunan thrombosis dari hiperkoagulabilitas) bisa menyebabkan efek antiinflamasi pada
anestetik lokal. Efek samping dari efek anti inflamasi diinduksi oleh anestesi lokal termasuk
retardasi penyembuhan luka dan meningkatnya resiko infeksi. Namun, ada bukti bahwa
anestesi lokal juuga memiliki efek antibakterial signifikan (tetrakain > bupivakain > lidokain)
(Pere dkk 1999)
Mekanisme
Efek anti inflamasi dari anestetik lokal tidak tergantung pada blokade ion channel sodium
yang bertanggung jawab untuk efek anestetik dari obat-obatan ini. Anestetik lokal bisa
memodulasi respon inflamasi dengan menginhibisi pengiriman sinyal mediator inflamasi.
Sebagai contoh, anestesi lokal menghambat faktor aktivasi platelet (sebuah mediator
antiinflamasi,(yang membangun mekanisme sinyal pada sindrom sulit respirasi akut fase
awal, kelainan inflamasi postoperatif yang khas (Hollmann dkk 2001b). Banyak mediator
(thrombin, thromboxane, faktor aktivasi platelet, dan interleukin) dari sistem inflamasi dan
hemostatik beraksi melalui reseptor G-protein berpasangan. Anestesi lokal mungkin saja
menghambat G protein, yang mengakibatkan efek antiinflamasi (Hollmann dkk, 2002).
Sebagai tambahan, anestesi lokal menghambat akumulasi neutrofil pada lokasi inflamasi dan
merusak radikal bebas dan pembebasan mediator (Kiefer dkk, 2003). Anestesi lokal dalam
konsentrasi yang relevan secara klinis menghambat produksi anion superoksida dari faktor
aktivasi platelet – neutrofil (Hollmann dkk, 2001). Priming merupakan proses dimana respon
dari neutrofil terhadap stimulus aktivasi subsekuen dipotensiasi. Levobupivakain lebih efektif
dibanding bupivakain dan anestesi lokal lainnya dalam menekan priming neutrofil (Hollmann
dkk, 2003). Generasi yang menurun dari radikal oksigen reaktif yang berhubungan dengan
penurunan dalam kerusakan iskemik setelah myokard infark.
Bronkodilatasi
Lidokain dan ropivakain yang diinhalasi mengurangi bronkospasme yanbg diinduksi oleh
histamin dan menginduksi anestesi jalan nafas. Respon ini lebih merefleksikan anestesi jalan
nafas topikal, sebagai reaktivitas bronchial yang dihambat pada konsentrasi plasma yang
lebih rendah dari yang dibutuhkan untuk menurunkan reaktivitas bronchial. Namun,
dyclonine, anestetik lokal yang lebih lama beraksi dan lebih intens, kurang reliabel dalam
menurunkan hiper-reaktivitas bronchial, menunjukkan bahwa sifat lain dari anestesi lokal
bisa saja penting (Groeben, dkk, 2001).
Tumescent Liposcution
Teknik tumescent untuk liposuction mengkarakteristikan infiltrasi subkutan dari cairan dalam
volume besar (5 atau lebih liter) yang mengandung lidokain yang diencerkan (0,05% sampai
0,10%) dengan epinefrin (1:100.000). Peregangan kencang dari kulit pucat yang menutupi
bagian atas oleh volume besar dari cairan dan vasokonstriksi yang diinduksi oleh epinefrin
merupakan asal dari istilah teknik tumescent.
Efeknya adalah cukupnya anestesi lokal untuk liposuction, yang secara virtual
bloodles aspirate, dan analgesia post operatif yang diperpanjang. Pelepasan lambat dan terus
menerus dari lidokain kedalam sirkulasi diasosiasikan dengan konsentrasi plasma < 1,5
µg/mL yang mencapai puncak 12 sampai 14 jam setelah injeksi dan menurun secara bertahap
selama 6 sampai 14 jam kemudian (Klein, 1990). Konsentrasi plasma dari epinefrin mencapai
puncak dari 3 sampai 5 kali melewati batas kira-kira 3 jam setelah injeksi cairan dan kembali
normal setelah 12 jam (Burk dkk, 1996).
Dosis dewasa yang direkomendasikan dari lidokain dengan epinefrin untuk anestesi
regional adalah sekitar 7 mg/kg. Ketika cairan lidokain yang diencerkan diberikan untuk
liposuction dengan teknik tumescent, dosis lidokain bisa berkisar dari 35 mg/kg sampai 55
mg/kg (“dosis mega-lidokain”) (Ostad dkk, 1996). Diperkirakan bahwa 1 gram dari jaringan
subkutan dapat menyerap sampai 1 mg lidokain (“sistem buffering jaringan”). Injeksi
penambahan lidokain yang belum diencerkan seiring prosedur kosmetik harus
dipertimbangkan dalam memperikrakan konsentrasi plasma dari lidokain yang akan muncul.
Selain popularitas dan keamanan yang telah diketahui sebelumnya dari liposuction
tumescent, ada laporan mengenai mortalitas yang meningkat berhubungan dengan teknik ini
(lebih besar daripada mortalitas yang berhubungan dengan kecelakaan automobile ) (Rao
dkk, 1999). Penyebab kematian bisa meningkatkan toksisitas lidokain atau depresi anestetik
lokal dari konduksi cardiac dan kontraktilitas.
TOKSISITAS KOKAIN
Kokain menghasilkan stimulasi sistem saraf simpatis dengan memblok pengambilan
presinaptik dari norepineprine dan dopamine, karenanya meningkatnya konsentrasi
postsinaptik tersebut. Karena efek blok ini, dopamine tertahan pada konsentrasi tinggi dalam
sinapsis dan terus mempengaruhi neuron yang berhubungan, memproduksi efek karakteristik
‘tinggi/mabuk’ dari kokain (Mendelson dan Mello, 1996; Leshner, 1996). Paparan kronis
terhadap kokain memberikan efek samping fungsi dopaminergik di otak karena deplesi
dopamin.
Farmakokinetik
Sekali kokain diabsorbsi, farmakokinetik tanpa memandang jalan pemberian, adalah
sama (Hatsukami dan Fischman, 1996). Sebaliknya, rute pemberian menjadi penting pada
rate onset sebagaimana intensitas dan durasi dari efek kokain. Sebagai contoh konsentrasi
puncak plasma vena dari kokain dicapai sekitar 30 sampai 40 menit setelah pemberian
intranasal dan sekitar 5 menit setelah intravena dan pemberian asap kokain. Efek fisiologis
maksimum dari kokain intranasal muncul dalam 15 sampai 40 menit, dan efek subjektif
maksimum muncul dalam 10 sampai 20 menit. Durasi efek biasanya sekitar 60 menit atau
lebih lama setelah efek puncak. Efek subjektif muncul dalam hitungan menit dari penggunaan
intravena atau kokain yang diasapkan, dan durasi efek sekitar 30 sampai 45 menit. Eliminasi
waktu paruh dari cocaine adalah 60 sampai 90 menit, dan metabolismenya utamanya karena
esterase plasma (lihat bagian Metabolisme dari Anestesi Lokal). Ekskresi urin dari kokain
yang tak berubah (<1% dari dosis total) dan metabolit (benzoylecgonine dan ecgonine methyl
ester menunjukkan sekitar 65% dari dosis) itu sama tanpa memandang jalur pemberian.
Efek Fisiologis Merugikan
Pemberian kokain akut diketahui dapat menyebabkan vasospasma koronaria,
miokardia iskemik, miokard infark, dan disritmia ventrikular cardiac, termasuk ventrikular
fibrilasi (Hollander dkk, 1995). Hipertensi yang berhubungan dengan kokain dan takikardi
lebih jauh lagi meningkatkan kebutuhan oksigen miokardial pada waktu dimana pengiriman
oksigen koroner berkurang dengan efek dari kokain pada aliran darah koroner. Bahkan
penggunaan kokain jumlah kecil dapat memberikan efek iskemik miokardia dan hipotensi
selama 6 minggu setelah menghentikan penggunaan kokain (Weicht dan Bernards, 1996;
Nademanee dkk, 1989). Seperti yang diketahui sebelumnya, episode delay dari iskemi
miokard karena vasopasme arteri koroner yang diinduksi oleh kokain. Pada hewan, paparan
kokain kronis mensensitisasi arteri koroner descending untuk katekolamin bahkan saat tidak
ada kokain dalam sirkulasi. Sensitivitas eksesif dari pembuluh darah koroner terhadap
katekolamin setelah paparan kronis terhadap kokain dapat disebabkan karena deplesi yang
diinduksi kokain dari aktivitas dopamin. Penyalahgunaan kokain pada pasien bersalin
meningkatkan resiko untuk kejadian peripartum sementara seperti hipertensi, hipotensi dan
episode mengi (Kain dkk, 1996). Kokain menghasilkan penurunan ketergantungan dosis
dalam aliran darah uterin yang menyebabkan hipoksemia janin (Woods dkk, 1987). Kokain
bisa menyebabkan hiperpireksia yang menyebabkan kejang. Agitasi pasien yang tidak
diharapkan dalam periode perioperatif merupakan efek dari ingesti kokain (Bernards dan
Teijeiro, 1996). Terdapat hubungan semu antara penggunaan kokain untuk rekreasional dan
kecelakaan serebrovaskular (Levine dkk, 1989).
Pemberian dari kokain topikal ditambah epinefrin atau adanya anestetik yang mudah
menguap yang mensensitisasi miokardium, bisa saja membesarkan efek stimulasi cardiac
dari kokain. Kokain harus digunakan dengan pengawasan, terutama pada pasien dengan
hipertensi atau penyakit arteri koroner dan pada pasien yang menerima obat-obatan yang
mempotensiasi efek katekolamin, seperti inhibitor monamine oxidase.
PERAWATAN
Nitrogliserin telah digunakan untuk merawat miokardiak iskemik yang diinduksi oleh
kokain (Hollander dkk, 1994). Meskipun esmolol telah direkomendasikan untuk merawat
takikardi karena overdosis kokain, terdapat bukti bahwa blokade beta adrenergik
mengakibatkan vasopasme arteri koroner dalam kondisi overdosis akut kokain (Lange dkk,
1990; Pollan dan Tadjziechy, 1989). Apakah blokade beta adrenergik itu berbahaya untuk
vasopasme koroner dalam keadaan penggunaan kokain kronik itu tidak diketahui. Lebih jauh
lagi, pemberian obat-obatan beta blocking terhadap hadirnya hipertensi yang diinduksi
katekolamin dan takikardi telah berhubungan dengan kolaps kardiovaskular dan serangan
jantung yang tidak responsif terhadap resusitasi kardiopulmonar agresif (Gourdine dkk,
2000). Dalam situasi ini, pemberian vasodilasi obat seperti nitroprusside juga mungkin
menjadi intervensi paling aman. Blokade alpha adrenergik mungkin saja efektif dalam
perawatan vasokonstriksi koroner karena kokain, tetapi dalam kasus hipotensi intervensi ini
dipertanyakan. Pemberian secara intravena dari benzodiazepine seperti diazepam adalah
efektif untuk mengontrol kejang yang berhubungan dengan toksisitas kokain.