Lapkas Anestesi Head Injury
-
Upload
fildzah-yamami-rizal -
Category
Documents
-
view
79 -
download
2
Transcript of Lapkas Anestesi Head Injury
BAB 1
PENDAHULUAN
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa
tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas,
kekerasan dan terjatuh. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di
kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan
masih rendah, serta rujukan yang terlambat.
Di Indonesia kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas 10% penderita meninggal sebelum
tiba di rumah sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit 80% dikelompokkan
sebagai cedera kepala ringan, 10% termasuk cedera sedang, dan 10% termasuk
cedera kepala berat. Rata-rata rawat inap pada laki-laki dan wanita akibat terjatuh
dengan diagnose trauma kepala sebanyak 146,3 per 100.000 dan 158,3 per
100.000. Angka kematian trauma kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki-laki
dibanding perempuan yaitu sebanyak 26,9 per 100.000 dan 1,8 per 100.000
(Thomas, 2006).
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para
dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama
pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan
tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya
cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting
untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang
penting setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang
memrlukan tindakan pembedahan dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan
CT Scan kepala.
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% - 5%
yang memerlukan tindakan operasi dan sisanya dirawat secara konservatif.
Prognosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan
secara tepat dan cepat.
Pada penderita korban cedera kepala yang harus diperhatikan adalah
pernafasan, peredaran darah dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi,
anmnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neutologist harus dilakukan secara
serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat
pasien tiba di rumah sakit.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Cedera Kepala
Trauma kapitis atau cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang
terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat
pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat
bersifat temporer ataupun permanen. Menurut Barin Injury Association of
America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
congenital ataupun degenerative, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik
dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Japardi, 2004).
2.2. Anatomi Kepala
a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu :
- Skin atau kulit
Kulit kepala memliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi
perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak
kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang
cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu untuk
mengeluarkannya.
- Connective tisuue atau jaringan penyambung
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari
perikranium dan merupakan tempat yang biasanya terjadi perdarahan
subgaleal.
- Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan
langsung dengan tengkorak
- Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
- Perikranium (Ammerican college of surgeon, 1997).
b. Tulang tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya
diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis
kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak
akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa
yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa
posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum (Ammerican
college of surgeon, 1997).
c. Meninges
Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan endosteal dan lapisan
meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras terdiri atas jaringan ikat
fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari cranium. Karena tidak dapat
melekat pada selaput arachnoid dibawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial
(ruang subdural) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural (Japardi, 2004).
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan
otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins,
dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahn subdural. Sinus sagitalis
superior mengalirkan darah vena ke sinus transverses dan sinus sigmioideus.
Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat (Japardi,
2004).
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari cranium
(ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi
pada arteri-arteri ini dan menyebabkan cedera adalah arteri meningea media yang
terletak pada fosa temporalis (fosa media).
2. Selaput arakhnoid
Selaput araknoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput
ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial disebut spatium subdural dan
dari pia mater oleh spatium subarachnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis.
Perdarahan subarachnoid umunya disebabkan akibat cedera kepala (Ammerican
college of surgeon, 1997).
3. Piamater
Piamater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah
membrane vascular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk
ke dalam sulci yang paling dalam. Membrane ini membungkus saraf otak dan
menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak
juga diliputi oleh piamater (Japardi, 2004).
4. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg. otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan)
terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medulla oblongata dan
serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan
fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam
proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi
reticular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medulla
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam
fungsi koordinasi dan kesemimbangan (American college of surgeon, 1997).
5. Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral
melalui foramen monro menuju ventrikel III kemudian melalui aquaductus sylvii
menuju ventrikel IV. Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke
dalam ruang subaraknoid yang berada di seluruh permukaan otak dan medula
spinalis. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui vili araknoid
(Hafidh, 2007).
6. Tentorium
Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial
(terdiri atas fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan ruang infratentorial
(berisi fosa kranii posterior) (Japardi, 2004).
2.3. Fisiologi
Mekanisme fisiologis yang berperan antara lain :
1. Tekanan Intra Kranial
Biasanya ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan
serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan
suatu tekanan intra kranial normal sebesar 50 sampai 200 mmH2O atau 4 sampai
15 mmHg. Dalam keadaan normal, tekanan intra kranial (TIK) dipengaruhi oleh
aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat sementara waktu sampai tingkat yang
jauh lebih tinggi dari normal.
Ruang intra kranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai
kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu : otak ( 1400 g), cairan
serebrospinal ( sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume
pada salah satu dari ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan ruang yang
ditempati oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan intra kranial
(Lombardo,2003 ).
2. Hipotesa Monro-Kellie
Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga
bila salah satu dari ketiga komponennya membesar, dua komponen lainnya harus
mengkompensasi dengan mengurangi volumenya (bila TIK masih konstan).
Mekanisme kompensasi intra kranial ini terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural
dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari
meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke dalam kanalis spinalis dan adaptasi
otak terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme
kompensasi yang berpotensi mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran
darah ke otak dan pergeseran otak ke arah bawah ( herniasi ) bila TIK makin
meningkat. Dua mekanisme terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi saraf.
Apabila peningkatan TIK berat dan menetap, mekanisme kompensasi tidak efektif
dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian neuronal (Lombardo,
2003).
2.4. Patofisiologi Trauma Kapitis
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-
deselerasi gerakan kepala ( Japardi, 2004 ).
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada
duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan
disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak terdapat gaya
kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut
dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi
linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis
adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi
rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah,
bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup,
countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi
yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup ( Japardi, 2004 ).
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Japardi,2004).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan
iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak
otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah
cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon
dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya
kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya
glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan
perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya
kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit
pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat
rentan terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan
hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang
tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak
( Lombardo, 2003 ).
2.5. Klasifikasi Trauma Kapitis
Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai
aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan;
mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.
1. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan
benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan
(Bernath, 2009).
2. Beratnya Cedera Kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi
beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya
secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total
sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid
dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal
atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai
koma atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak
dengan nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita
dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan.
Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan
dari Traumatic Brain Injury yaitu :
Tabel 2.1. Klasifikasi Keparahan Traumatic Brain Injury
Ringan Kehilangan kesadaran < 20 menit
Amnesia post traumatik < 24 jam
GCS = 13 – 15
Sedang Kehilangan kesadaran ≥ 20 menit dan ≤ 36
jam
Amnesia post traumatik ≥ 24 jam dan ≤ 7
hari
GCS = 9 - 12
Berat Kehilangan kesadaran > 36 jam
Amnesia post traumatik > 7 hari
GCS = 3 – 8
( Sumber : Brain Injury Association of Michigan , 2005)
3. Morfologi
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk
garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur
dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik “bone
window” untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur
dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan
lebih rinci.
Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara
laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura.
Adanya fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa
benturan yang terjadi cukup berat (Bernath, 2009).
Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai berikut;
1. Gambaran fraktur, dibedakan atas :
a. Linier
b. Diastase
c. Comminuted
d. Depressed
2. Lokasi Anatomis, dibedakan atas :
a. Calvarium / Konveksitas ( kubah / atap tengkorak )
b. Basis cranii ( dasar tengkorak )
3. Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
b. Tertutup
b. Lesi Intra Kranial
1. Cedera otak difus
Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi
yang sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan
mungkin mengalami amnesia retro/anterograd. Cedera otak difus yang berat
biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok yang berkepanjangan
atau periode apnoe yang terjadi segera setelah trauma. Pada beberapa kasus, CT
scan sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran edema dengan batas
area putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal istilah Cedera Aksonal
Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang
buruk. Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan pada akson
dan terlihat pada manifestasi klinisnya (Bernath, 2009).
2. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak
dan gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering
terletak di area temporal atau temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh
robeknya arteri meningea media akibat fraktur tulang tengkorak (Gazali, 2007).
3. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural.
Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks
serebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak.
Biasanya kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk
dibandingkan perdarahan epidural (Bernath, 2009).
4. Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal
dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak.
Kontusio serebri dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi
perdarahan intra serebral yang membutuhkan tindakan operasi (Hafidh, 2007).
2.6. Manajemen Anestesi pada Cedera Kepala
Cedera kepala merupakan penyebab utama kecacatan jangka panjang serta
pengeluaran ekonomi yang cukup besar di masyarakat. Beberapa kerusakan
neurologis yang muncul akibat cedera kepala tidak segera terjadi, biasanya
muncul setelah beberapa menit, jam ataupun hari berikutnya. Oleh karena itu
perlu dilakukan penanganan secara cepat terhadap pasien-pasien dengan cedera
kepala. Kerusakan primer adalah akibat kerusakan mekanis, namun kerusakan
sekunder yang berakibat iskemia serebral muncul akibat meningkatnya tekanan
intrakranial, hipotensi, hipoksia, anemia, kejang, hipoglikemia dan hipertermia.
Pencegahan serta penanganan yang tepat dari komplikasi ini memperbaiki
outcome pasien cedera kepala.
Tujuan utama dari penanganan pasien dengan cedera kepala adalah untuk
mempertahankan aliran darah otak otak yang adekuat dan mencegah iskemia
serebral dan hipoksia. Pada keadaan ini, autoregulasi normal dari CBF (cerebral
blood flow) hilang dan aliran ini menjadi proporsinal dengan CPP (cerebral
perfusion pressure) yang secara langsung ditentukan oleh MAP (mean areterial
pressure) dan TIK.
CPP = MAP –ICP
Karena kranial merupakan struktur yang rigid, penambahan volume dari salah
satu isinya tanpa disertai penurunan volume dari komponen yang lain
menyebabkan peningkatan TIK.
Mekanisme utama dalam mempertahankan TIK adalah dengan memastikan
MAP yang adekuat yaitu dengan cairan dan vasopressor, untuk mencegah
peningkatan berlebihan dari TIK. Pada orang normal, TIK berkisar 0-10mmHg
dan sebagian besar ditentukan dari autoregulasi CBF. Vasokonstriksi dan
vasodilatasi dari pembuluh darah serebral terjadi sebagai respon terhadap
perubahan MAP, PaO2, PaCO2 dan kekentalan darah. Peningkatan PaCO2
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan CBF, yang dapat meningkatkan TIK
dan sebaliknya.
Penilaian Awal
Pasien dengan cedera kepala yang signifikan dapat datang dengan cedera
lainnya. Riwayat mekanisme terjadinya trauma sangat berguna dalam menentukan
kemungkinan keparahan dari cedera kepala itu sendiri dan juga merupakan
indikasi dari cedera-cedera lainnya.
Penanganan awal harus mengikuti protokol yang telah dibuat oleh Advanced
Trauma Life Support (ATLS) atau Primary Trauma Care (PTC). Semua pasien
harus dicurigai fraktur vertebra servikal sejak awal penilaian. Kerusakan otak
dapat diperburuk oleh kegagalan airway ataupun sirkulasi, untuk itu gunakan
approach ABCDE untuk mengenali dan menangani cedera yang mengancam
nyawa dengan cepat.
Setelah airway aman, oksigen adekuat dan sirkulasi telah stabil, pikirkan
untuk menyerahkan pasien ke unit bedah syaraf. Sebelumnya, harus sudah
lengkap riwayat mekanisme cedera yang didapat melalui anamnesa, serta
pemeriksaan neurologis sederhana seperti GCS, ukuran pupil, refleks cahaya dan
apakah ada tanda lateralisasi.
Penilaian GCS
Penilaian GCS merupakan metode kuantitatif dalam menilai status
neurologis pasien dengan cedera kepala. Penilaian melibatkan tiga bagian dengan
skor minimal 3 dan maksimal 15. Komponennya adalah :
- Eye Opening
o Spontan 4
o Terhadap suara 3
o Terhadap nyeri 2
o Tidak ada 1
- Verbal Response
o Orientasi penuh 5
o Bingung 4
o Kata-kata 3
o Mengerang 2
o Tidak ada 1
- Motor Response
o Patuh terhadap perintah 6
o Melokalisasi nyeri 5
o Menarik dari nyeri 4
o Fleksi Abnormal 3
o Ekstensi Maksimal 2
o Tidak ada 1
Penanganan
Tujuan utama penanganan cedera kepala sedang ataupun berat adalah
penilaian awal dan resusitasi, menilai apakah support ventilasi perlu diberikan dan
menegakkan diagnosis (dengan bantuan CT-Scan kepala jika tersedia). The
Association of Anaesthetists of Great Britain and Ireland menyarankan waktu
maksimum yaitu 4 jam antara waktu cedera dan operasi. Tujuan utama dari
manajemen anestesi terhadap cedera kepala adalah untuk mempertahankan CPP,
menurunkan TIK yang meningkat, menyediakan kondisi optimal untuk operasi,
mencegah cedera sekunder seperti hipoksemia, hiper dan hipokarbia, hiper dan
hipoglikemia dan menyediakan analgesi yang adekuat serta amnesia.
Airway
Fokus utama yaitu apakah pasien mampu melindungi jalan nafasnya dan apakah
intubasi perlu dilakukan. Indikasi dilakukannya intubasi yaitu :
- GCS ≤ 8
- Resiko peningkatan TIK akibat gelisah
- Ketidakmampuan mengontrol atau melindungi jalan nafas atau kehilangan
refleks perlindungan laring
- Penurunan GCS komponen motorik sebanyak 2 poin atau lebih
- Sebagai optimalisasi oksigenasi dan ventilasi
- Kejang
- Perdarahan dari mulut atau jalan nafas
- Fraktur mandibula bilateral
Selain daftar diatas, penilaian klinis lebih penting. Jika ragu apakah intubasi
perlu dilakukan atau tidak, lebih baik dilakukan intubasi dan lakukan ekstubasi
dini daripada menunda intubasi dan beresiko kerusakan otak sekunder akibat
hipoksia.
Intubasi segera dilakukan, pertahankan imobilisasi servikal selama intubasi
kecuali fraktur servikal telah disingkirkan melalui kriteria radiologi. Berikan obat-
obatan pada pasien dengan penurunan kesadaran, beberapa obat hipnotik dan
sedatif dibutuhkan untuk mencegah peningkatan TIK akibat laringoskop.
Pemilihan agen induksi dan muscle relaxant berpengaruh dalam keberhasilan
manajemen airway. Propofol, etomidate, benzodiazepin dan barbiturat semuanya
dapat menurunkan TIK dan sering digunakan. Agen-agen ini mengurangi respons
hemodinamik sistemik terhadap intubasi, penurunan TIK dan menurunkan laju
metabolisme oksigen. Akan tetapi, propofol dan thiopental dapat menyebabkan
depresi kardiovaskular mengakibatkan hipotensi, terutama pada hipovolemia yang
tidak terkoreksi. Ketamin yang tidak terlalu mengganggu sistem kardiovaskular
dihubungkan dengan penuruna CBF dan peningkatan TIK, jadi
dikontraindikasikan untuk mengintubasi pasien dengan resiko peningkatan TIK.
Breathing
Hipoksemia berhubungan dengan peningkatan yang signifikan terhadap
mortalitas. Ventilasi harus di atur untuk memastikan oksigenasi serta pertukaran
gas yang adekuat. Konsentrasi oksigen terinspirasi harus dipertahankan diatas 6o
mmHg. Penurunan PaO2 dibawah 60mmHg menyebabkan peningkatan CBF dan
TIK. Target untuk pertukaran gas, PaO2 harus diatas 100mmHg dan PaCo2 sekitar
35-39mmHg. Hiperkarbia harus dihindari. Hiperventilasi yang lama tidak
disarankan karena dapat menyebabkan vasoknstriksi serebral dan iskemia, akan
tetapi hiperventilasi selama beberapa menit dapat menolong episode peningkatan
TIK.
Circulation
Kehilangan autoregulasi dari CBF dapat menyebabkan penurunan penghantaran
oksigen. Mempertahankan MAP dan TIK sangat penting, resusitasi dan
pengobatan terhadap gangguan sirkulasi yang mengancam harus didahulukan.
Gunakan cairan, bahkan vasopresor jika perlu, untuk mencapai MAP lebih dari
80-90mmHg sehingga CPP dapat dicapai berkisar 60-70mmHg jika TIK
diasumsikan sekitar 20mmHg. Idealnya MAP diukur mengunakan arterial line dan
CVC berguna untuk pemantauan pemasukan vasopresor. Kateter urin untuk
memantau urine output dan balance cairan terutama jika mannitol ataupun diuretik
lain digunakan.
Cairan kristaloid yang hangat dan tidak mengandung glukosa lebh dianjurkan
untuk pasien dengan cedera kepala. Penggunaan koloid masih kontroversial. Salin
hipertonik lebih baik dalam meresusitasi pasien cedera kepala karena mengisi
cairan intravaskular dan menurunkan TIK.
Vasopresor biasa dimasukkan untuk menangani hipotensi dan CPP refrakter.
Akan tetapi, hanya sedikit data yang membandingkan keefektifitasan dari
vasopresor yang biasa digunakan pada pasien cedera kepala. Walaupun tidak ada
perbedaan dalam merubah kecepatan CBF, oksigenasi ataupun metabolisme
oksigen di otak antara dua jenis vasopresor, norepinefrin lebih dapat diprediksi
dan memiliki efek yang konsisten dibandingkan dopamin.
Pemantauan TIK
Bebrapa tanda klinis dari peningkatan TIK antara lain :
- Nyeri kepala
- Pusing
- Hilang kesadaran
- Bingung
- Hipertensi dan Bradikardi (Cushing’s Reflex)
- Mual
- Muntah
- Parestesia
- Pupil anisokor
- Perubahan neurologis lainnya
Penanganan Peningkatan TIK
1. Memperbaiki drainase vena dari otak
- Elevasi kepala hingga 30o
- Posisi kepala dan leher dalam satu garis
- Pastikan ikatan ETT tidak menekan vena leher
- Jika memungkinkan, imobilisasi servikal dengan bantal pasir
daripada collar
2. Menurunkan edema serebral
- Menggunakan mannitol 0.5-1gr/kBB atau saline hipertonik
- Gunakan furosemide
- Pertahankan Natrium serum 140-145 mmol/L
3. Menurunkan laju metabolisme oksigen otak
- Cegah hipertermia namun jangan menginduksi hipotermia
- Gunakan sedasi dan obat-obatan anestetik
- Antikonvulsan dapat dipertimbangkan jika ditemukan kejang
- Pada kasus TIK tinggi menetap, dapat diberi infus thipentone
4. Menurunkan volume darah intrakranial
- Cari tanda-tanda perdarahan intrakranial
- Hiperventilasi singkat, kalau lama dapat menyebabkan iskemia
serebral
- Kraniektomi dekompresif
5. Mengurangi volume CSF
- Dengan EVD ( external ventricular drain)
Dengan resusitasi penuh serta stabilisasi adekuat terhadap pasien, telah
memungkinkan pasien untuk ditransfer ke bagian bedah saraf. Selama proses
transfer, pemantauan harus tetap dilakukan setara dengan di ICU.
DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeons, 1997. Advance Trauma Life Suport. United States
of America: First Impression
Ali, Bilal. 2007. Management of Head Injury; In: Anaesthesia Tutorial of The
Week 46.
Bernath, David. 2009. Head Injury. Available From : www.e-medicine.com
[Accessed 15 April 2014].
Boies, Adam. 2002. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC
Curry, Parichat. 2011. Perioperative Management of Traumatic Brain Injury.
International Journal of Critical Illness and Injury Science. Washington.
Hafidh, A. 2007. Buku Aajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Ghazali, Malueka. 2007. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta: Pusat Cendekia
Japardi, Iskandar. 2004. Penatalaksanaan Cedera Kepala Secara Operatif.
Sumatera Utara USU Press.
Page, Christopher. 2007. Update On The Management of Traumatic Brain Injury.
Trail, Roger. 2010. Acute Head Injuries : Anaesthetic Considerations.