Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
i
KATA PENGANTAR
Dengan Senantiasa mengharap rahmat dan ridho Allah SWT, atas karunia-Nya Prosiding
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika ini akhirnya dapat diselesaikan.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika merupakan kegiatan rutin yang
diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung tiap
tahun. Kegiatan ini merupakan sebuah wadah bagi pendidik, peneliti dan pemerhati pendidikan
matematika untuk mendifusikan kajian ilmiah serta untuk meningkatkan kerjasama diantara
peserta.
Persoalan budaya dan karakter bangsa belakangan ini menjadi sorotan masyarakat. Keprihatinan
terkait berbagai aspek kehidupan diungkap dan dibahas di media massa, Selain itu, para pemuka
masyarakat, ahli, pengamat pendidikan, dan pengamat sosial mengangkat persoalan budaya dan
karakter bangsa pada berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun
internasional. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, perilaku kekerasan dan
perusakan, kejahatan seksual, pola hidup yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak
produktif, dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat. Berbagai alternatif penyelesaian
telah diajukan seperti peraturan, undang-undang, dan penegakan hukum yang lebih kuat.
Alternatif lain yang banyak dikemukakan untuk mengatasi atau mengurangi masalah budaya
dan karakter bangsa seperti itu adalah pendidikan. Oleh karena itu, Seminar Nasional
Matematika dan Pendidikan Matematika 2016 mengambil tema “Implementasi Pembelajaran
Inovatif Matematik Dalam Mengambangkan Kemampuan Pedidik dan Peserta Didik untuk
Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)” yang diselenggarakan di Kampus STKIP
Siliwangi Bandung pada tanggal 07 Desember 2016.
Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut berpartisipasi
atas penyelenggaraan Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika ini sehingga
berhasil dengan baik, khususnya kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota Cimahi, Bapak Ketua
STKIP Siliwangi Bandung beserta jajarannya, Ketua dan Sekretaris Program Studi Pendidikan
Matematika, Steering Committee serta semua panitia yang telah membantu demi
terselenggaranya kegiatan seminar ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan, kesalahan, dan kekhilafan dalam
penyelenggaraan seminar ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati kami mohon keikhlasan
Bapak, Ibu Saudara/I peserta seminar untuk memaafkan kami.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
iii
SAMBUTAN KETUA PANITIA
SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
STKIP SILIWANGI BANDUNG
Assalamu’alaikum wr wb,
Salam sejahtera bagi kita semua.
Bapak, Ibu, dan Saudara/I peserta seminar yang berbahagia.
Dengan senantiasa mengharapkan Rahmat dan Ridho Allah SWT karena telah mempertemukan
kita pada acara Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika di STKIP Siliwangi
Bandung dalam keadaan sehat wal’afiat semoga seminar ini dapat berjalan dengan lancar dan
memberikan manfaat bagi kita semua, Amiin.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika dengan tema, “Implementasi
Pembelajaran Matematika Inovatif dalam Mengembangkan Kemampuan Pendidik dan
Peserta Didik untuk Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” yang bertujuan 1)
untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan (khususnya pendidikan matematika) dalam
menerapkan pembelajaran inovatif yang relevan dan bersinergi dengan pendidikan nilai dan
karakter khususnya dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)., 2)
mempublikasikan hasil-hasil penelitian atau kajian dalam lingkup matematika dan pendidikan
matematika, dan 3) membangun kesinambungan antara lembaga pendidikan, dan lembaga
penelitian dalam mengembangkan dan mengaplikasikan karakter dalam pembelajaran
matematika menuju masyarakat Indonesia yang bernafaskan Iman, Ilmu, dan Ikhsan. Kegiatan
seminar ini diharapkan menjadi kegiatan tahunan Program Studi Pendidikan Matematika STKIP
Siliwangi Bandung.
Panitia seminar mengundang tiga narasumber sebagai pembicara utama, Ketiga orang tersebut
adalah Ibu Prof. Dr. Ratu Ilma Indra Putri, M.Si, Bapak Dr. H. Sufyani Prabawanto, M.Ed, dan
Ibu Prof. Dr. Hj. Utari Sumarmo. Ketiga narasumber tersebut akan menyampaikan makalahnya
dalam setiap sesi yang berbeda, selain makalah dari ketiga pembicara utama, panitia menerim.
makalah dari pemakalah berbagai propinsi untuk dipresentasikan dalam sesi paralel. Seminar ini
juga dihadiri oleh peserta pendengar yang terdiri dari Mahasiswa, Dosen, Guru dan Praktisi
dunia pendidikan.
Seminar ini terselenggara berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu
kami menyampaikan terima kasih kepada Bapak Ketua STKIP Siliwangi Bandung beserta
Jajarannya, Bapak Ketua dan sekretaris Program Studi Pendidikan Matematika STKIP
Siliwangi Bandung, Bapak/Ibu Pengurus Organisasi Profesi Indo-MS yang telah membantu
menjadikan seminar ini sebagai agenda resmi kegiatan seminar yang ada di Indo-MS sehingga
seminar ini dapat menjadi fasilitator bagi para anggota Indo-MS dalam mempublikasikan karya-
karya ilmiah baik hasil penelitian maupun kajian teori pada bidang matematika. Selain itu, kami
atas nama panitia juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
demi terselenggaranya kegiatan seminar ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan, kesalahan, dan kehilafan dalam
penyelenggaraan seminar ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati kami mohon keikhlasan
Bapak, Ibu Saudara/I peserta seminar untuk memaafkan kami.
Akhirnya, kami berharap seminar ini dapat memberikan manfaat bagi kita yang hadir disini
khususnya dan dunia pendidikan pada umumnya.
Wassalamu’alaikum wr wb.
Bandung, 07 Desember 2016
Ketua Panitia
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. .............. i
KATA SAMBUTAN .............................................................................................................................. iii
DAFTAR ISI .................................................................................................................. ......................... iv
PEMBICARA UTAMA
IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA INOVATIF MELALUI DESIGN
RESEARCH
Oleh : Prof. Dr. Ratu Ilma Indra Putri, M.Si ...............................................................................
1
RESILIENSI MATEMATIK(MATHEMATICAL RESILIENCE)
Oleh : Utari Sumarmo ...........................................................................................................................
23
PEMAKALAH
PENERAPAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH UNTUK MENINGKATKAN
RESILIANASI DAN PEMAHAMAN MATEMATIK SISWA SMA
Oleh : Adi Nurjaman1, Indah Puspita Sari
2 ........................................................................................
43
PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA SMP DENGAN
PENDEKATAN METAPHORICAL THINKING
Oleh : M. Afrilianto1, Tina Rosyana
2 ...................................................................................................
50
PEMBELAJARAN BILANGAN DESIMAL MENGGUNAKAN KONTEKS PENGUKURAN DI
KELAS V
Oleh : Ari Puspita Rahayu 1, Ratu Ilma Indra Putri
2, Darmawijoyo
2 .............................................
54
PENERAPAN PENDEKATAN BERBASIS MASALAH TERHADAP KEMAMPUAN
PEMECAHAN MASALAH DAN DISPOSISI MATEMATIK SISWA SMA
Oleh : Asep Ikin Sugandi ......................................................................................................................
62
DESAIN PEMBELAJARAN MATERI REFLEKSI MENGGUNAKAN MOTIF KAIN BATIK
UNTUK SISWA KELAS VII
Oleh : Dina Novrika1)
, Ratu Ilma Indra Putri2)
dan Yusuf Hartono2)
..............................................
73
MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIK SISWA SMK
DENGAN PENDEKATAN CREATIVE PROBLEM SOLVING.
Oleh : Eka Senjayawati .........................................................................................................................
88
DESAIN PEMBELAJARAN MATERI MERANCANG MODEL MATEMATIKA DARI
MASALAH PROGRAM LINEAR DI SEKOLAH MENENGAH ATAS
Oleh : Eli Yuliana ………………..........................................................................................................
95
PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN DISKURSIFUNTUK MENGEMBANGKAN
PEMBUKTIAN MATEMATIS DAN HABITS OF MIND MAHASISWA
Oleh : Elsa Komala.................................................................................................................................
104
PENERAPAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME GUNA MENINGKATKAN
KEMAMPUAN KOMPETENSI STRATEGIS SISWA SMP
Oleh : Eva Dwi Minarti .........................................................................................................................
111
TABEL RASIO DAN GRAFIK DALAM DESAIN PEMBELAJARAN BERBASIS PMRI UNTUK
MENGEMBANGKAN PENALARAN PERBANDINGAN (PROPORTIONAL REASONING)
Oleh : Haniful Muttaqin1, Ratu Ilma Indra Putri
2 ............................................................................
119
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
v
PENGEMBANGAN INSTRUMEN UNTUK MENINGKATKANKEMAMPUAN BERPIKIR
REFLEKTIFMATEMATIS SISWA SMADENGAN PENDEKATAN SCIENTIFIC DISERTAI
STRATEGI WHAT IF
Oleh : Harry Dwi Putra .........................................................................................................................
131
PEMBELAJARAN PERKALIAN PECAHAN MENGGUNAKAN PLASTIK MIKA DI KELAS V
Oleh : Helni Indrayati1, Ratu Ilma Indra Putri
2, Somakim
3 ………………………………………
139
PENGEMBANGAN SOAL OPEN-ENDED PADA POKOK BAHASAN LUAS PERMUKAAN
DAN VOLUME BALOK
Oleh : Henry Kurniawan1, Ratu Ilma Indra Putri
2, Yusuf Hartono
2 ……………………………..
145
PENGGUNAAN LENGHT MODELSDAN METODE BALANCING PADA PEMBELAJARAN
PERSAMAAN LINEAR SATU VARIABEL
Oleh: Hermaini1 Ratu Ilma
2, Darmawijoyo
3 ......................................................................................
152
PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THE POWER OF TWO UNTUK
MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS MAHASISWA
Oleh: Ika Wahyu Anita .........................................................................................................................
161
PENGARUH VISUAL BASIC APPLICATION FOR EXCEL TERHADAP KEMAMPUAN
KREATIF MAHASISWA TENTANG DEFINISI DAN TEOREMA MATEMATIKA
Oleh: Martin Bernard............................................................................................................................
167
ANALISA TERHADAP KECEMASAN MAHASISWA CALON GURU MATEMATIKA
Oleh: Masta Hutajulu.............................................................................................................................
176
PENERAPAN PENDEKATAN INDUKTIF TERHADAP HASIL BELAJAR MAHASISWA
Oleh: Maya Siti Rohmah .......................................................................................................................
183
PENINGKATAN KEMANDIRIAN BELAJAR MAHASISWA MELALUI PEMBELAJARAN
PERSONALIZED SYSTEM OF INSTRUCTION
Oleh: Ratni Purwasih ............................................................................................................................
187
PENGGUNAAN ALAT PERAGA TULANG NAPIER UNTUK MENGEMBANGKAN
KEMAMPUAN PEMAHAMAN OPERASI PERKALIANSISWA SEKOLAH DASAR
Oleh: Siti Chotimah................................................................................................................................
197
OPTIMALISASI KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA
MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN AUDITORY INTELLECTUALLY
REPETITION (AIR)
Oleh: Sukasno, Drajat Friansah, & Intiana Hijrah Yumanif .......................................................
202
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR GEOMETRI RUANG MELALUIPROBLEM BASED
LERNING (PBL) BERBANTUAN GEOGEBRA 5.0 UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN
VISUAL-SPATIAL THINKING MAHASISWA
Oleh: Sumarni 1)
, Anggar Titis Prayitno2)
...........................................................................................
210
PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA BERBASIS PENDEKATAN SAINTIFIK PADA
MATERI VOLUME KUBUS UNTUK SISWA SMP
Oleh: Tarsudin1, Zulkardi
2, Darmawijoyo
2 ........................................................................................
221
OPTIMALISASI PENGGUNAAN VIDEO DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Oleh: Usman Aripin ...............................................................................................................................
225
PENERAPAN METODE CONNECTING ORGANIZING REFLECTING EXTENDING
TERHADAP DISPOSISI MATEMATIK SISWA SMP
Oleh: Wahyu Setiawan ..........................................................................................................................
232
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
vi
DESAIN PEMBELAJARAN MATERI SISTEM PERSAMAAN LINEAR TIGA VARIABEL
DENGAN PENDEKATAN PMRI DI SEKOLAH MENENGAH ATAS
Oleh: Yuliarti Effendy1)
, Ratu Ilma Indra Putri2)
, Ely Susanti3)
…...................................................
241
PENERAPAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK UNTUK
MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIK SISWA SMP
Oleh: Gida Kadarisma ..........................................................................................................................
251
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
vii
PEMBICARA
UTAMA
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA 2015 Program Studi Pendidikan Matematika
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan
STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 1
IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA INOVATIF
MELALUI DESIGN RESEARCH
Prof. Dr. Ratu Ilma Indra Putri, M.Si
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
2 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 3
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
4 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 5
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
6 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 7
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
8 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 9
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
10 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 11
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
12 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 13
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
14 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 15
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
16 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 17
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
18 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 19
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
20 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 21
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
22 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 23
RESILIENSI MATEMATIK(MATHEMATICAL RESILIENCE)
Utari Sumarmo, STKIP Siliwangi Bandung
A. Pendahuluan: Rasional Pentingnya Resiliensi Matematik
Beberapa studi (antara lain Ashcraft, 2002, Baloglu, dan Koçak, 200, dan Hoffman 2010,
dalam Johnston-Wilder, Lee, 2010a) menemukan banyak siswa mengalami kesulitan dan
ketidaksukaan dalam belajar matematika, misalnya mereka menunjukkan rasa cemas dan
menghindar dari kegiatan yang memerlukan penalaran matematik. Rasa cemas dalam belajar
matematika juga dilaporkan dalam beberapa studi lain (misalnya, Ashcraft, 2002 and
Rodarte-Luna & Sherry 2008, dalam Johnston-Wilder, Lee, 2010a) yang menunjukkan
bahwa banyak siswa belajar matematika dengan rasa takut. Demikian pula sejumlah studi
menemukan bahwa siswa sekolah menengah masih mengalami kesulitan dalam memecahkan
masalah matematik (Hulukati, 2006, Mudrikah, 2013, Nurcholis, 2012, Offirston, 2012,
Rachmat, 2014, Rohendi, 2009, Yonandi, 2010) dan dalam penalaran matematik
(Abdurachman, 2014, Armiati, 2011, Bernard, 2015, Budiyanto, 2014, Herman, 2006,
Koswara, 2012, Offirston, 2012, Rosliawati, 2014, Rusmini, 2008, Setiawati, 2014,
Supriyanti, 2010). Namun setelah mendapat pembelajaran inovatif yang melibatkan
pendidikan nilai dan karakter, kemampuan pemecahan masalah, penalaran, dan kemampuan
matematik siswa lainnya meningkat dan siswa menunjukkan sikap positif terhadap belajar
matematika.
Pada dasarnya, ketika guru memilih dan melaksanakan pendekatan pembelajaran
matematika tertentu selain mereka berusaha membantu siswa mengatasi kesulitan mencapai
kemampuan matematik, mereka juga berusaha mengembangkan sikap positif terhadap
matematika dan belajar matematika. Sikap positif tersebut antara lain termuat dalam rasa
percaya diri (self confidence), kemampuan diri (self efficacy), konsep diri (self concept),
tekun dan tangguh menghadapi tantangan atau kesulitan dalam belajar matematika.
Johnston-Wilder, Lee, (2010a) menamakan sikap tekun dan tangguh tersebut dengan istilah
resiliensi matematik (Mathematical Resilience).
Resiliensi matematik diperlukan ketika guru bermaksud mendidik siswa menggunakan
matematika, dan berpikir serta bersikap secara matematik dan bukan sekadar memperoleh
nilai baik atau lulus ujian matematika saja. Siswa dengan resiliensi yang kuat selain ia akan
memiliki kemampuan matematik yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan ujian, yang
lebih penting adalah mereka juga memilki keterampilan matematik yang diperlukan di luar
sekolah dan berkeinginan menerapkannya kapan saja ketika diperlukan. Pengembangan
resiliensi matematik juga memerlukan sikap reflektif dan peka terhadap belajar matematika.
Siswa dengan resiliensi matematik yang baik, sadar bahwa andai mereka berpikir keras,
berdiskusi dengan temannya, membaca idea-idea matematik dan merefleksi pengetahuan
yang diperolehnya, maka mereka juga akan tangguh dan dapat mengatasi hambatan dalam
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
24 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
belajar matematik serta mampu menyelesaikan masalah matematik yang sulit (Johnston-
Wilder, Lee, 2010a).
B. Pengertian Resiliensi Matematik
Beberapa pakar mendefinisikan istilah resiliensi matematik (mathematical resilience) dalam
pengertian yang hampir serupa. Dweck (2000, dalam Lee and Johnston-Wilder, 2010a)
mengemukakan resiliensi matematik memuat sikap tekun atau gigih dalam menghadapi
kesulitan, bekerja atau belajar kolaboratif dengan teman sebaya, memiliki keterampilan
berbahasa untuk menyatakan pemahaman matematik, dan menguasai teori belajar
matematik. Siswa dengan resiliensi matematik yang kuat, akan berhasil baik dalam
matematika di sekolah meskipun dalam kondisi yang kurang disenangi. Mereka memiliki
sikap: adaptif atau dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan; dapat menghadapi
ketidakpastian, masalah dan tantangan; menyelesaikan masalah secara logis dan fleksibel;
mencari solusi kreatif terhadap tantangan; bersifat ingin tahu dan belajar dari pengalaman;
memiliki kemampuan mengontrol diri; sadar akan perasaannya; memiliki jaringan sosial
yang kuat dan mudah memberi bantuan. (Adolphs, R. & Damasio, A. R. 2001, dalam
Johnston-Wilder, Lee, Garton, Goodlad, dan Brindley , 2013).
Pakar lain (Newman, 2004, Johnston-Wilder dan Lee, 2010a) mendefinisikan resiliensi
matematik sebagai sikap bermutu dalam belajar matematika yang meliputi: percaya diri akan
keberhasilannya melalui usaha keras; menunjukkan tekun dalam menghadapi kesulitan;
berkeinginan berdiskusi, merefleksi, dan meneliti. Dengan resiliensi tersebut memungkinkan
siswa dapat mengatasi hambatan dalam belajar matematik. Pada dasarnya, dalam belajar
apapun diperlukan resiliensi. Namun bukan berarti bahwa resiliensi matematik sebagai
akibat beragam faktor seperti jenis pembelajaran, hakekat matematika, dan pandangan
bahwa kemampuan matematik bersifat tetap (Newman, 2004, Johnston-Wilder, Lee, 2010a).
Selanjutnya Johnston-Wilder dan Lee (2010a) mengemukakan bahwa resiliensi matematik
memiliki empat faktor yaitu: (a) percaya bahwa kemampuan otak dapat ditumbuhkan; b)
pemahaman personal terhadap nilai-nilai matematika; (c) pemahaman bagaimana cara
bekerja dalam matematika; dan (d) kesadaran akan dukungan teman sebaya, orang dewasa
lainnya, ICT, internet, dan lain-lainnya. Mereka juga mengemukakan bahwa pengembangan
resiliensi matematik memerlukan pendekatan pembelajaran yang memungkinkan sikap di
atas tumbuh dan menciptakan suasana kelas matematik yang positif sehingga siswa dapat
mengatasi hambatan dalam mencapai konsep-konsep matematika (Lee, Johnston-Wilder,
2013, dalam Lugalia, Johnston-Wilder dan Goodall, 2013)
Selain itu, untuk mengembangkan cara berpikir (mindset), Lee, dan Johnston-Wilder (2013,
dalam Lugalia, Johnston-Wilder dan Goodall, 2013), mengemukakan tiga faktor kunci
untuk mengembangkan resiliensi matematik yaitu memberi kesempatan kepada siswa untuk:
(a) memilih dan menetapkan sesuatu yang akan dikerjakannya selama di kelas; (b) melatih
mereka sendiri sebagai bagian dari lingkungannya; dan (c) merasakan dirinya terlibat dalam
proses belajar, baik dalam sikap dan nilai. Dalam lingkungan seperti itu, siswa termotivasi
bersikap tekun dan gigih dalam menghadapi kesulitan, dan memahami nilai bekerja secara
kolaboratif dengan teman sebaya, mencapai kemampuan berbahasa untuk menyatakan
pemahaman matematik mereka, memeriksa pertanyaan, dan memiliki keyakinan yang
tangguh dan efektif serta berusaha lebih keras untuk mencapai hasil yang lebih tinggi.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 25
Kooken, J., Welsh, M. E., Mccoach, D. B., Johnson-Wilder, S. and Lee, C. (2013)
mengkonsepkan resiliensi mattematik sebagai sikap adaptif positif terhadap matematika
yang memberi kesempatan siswa tetap melanjutkan belajar matematika meski menghadapi
kesulitan. Beberapa faktor sikap positif tersebut di antaranya adalah: nilai, daya juang atau
resiliensi dan pertumbuhan. Sikap positif yang kuat seperti di atas akan mendukung siswa
bersikap tekun dan gigih menghadapi kesulitan atau hambatan, sedangkan siswa yang rendah
sikapnya akan kehilangan sikap tekun dan gigih atau menyerah ketika menghadapi kesulitan.
Dengan kata lain, resiliensi matematik merupakan serangkaian sikap yang memberikan
respons positif terhadap belajar matematika.
C. Mengukur Resiliensi Matematik
Berikut ini disajikan contoh kuesioner untuk mengukur resiliensi matematik yang digunakan
dalam studi Johnston-Wilder dan Lee (2010b). Kuesioner meliputi beberapa komponen
yaitu: a) Pendapat terhadap inteligensi dan belajar secara umum; b) Pendapat terhadap
belajar matematika; c) Kepercayaan terhadap belajar matematika .
1. Pendapat terhadap inteligensi dan belajar dalam pelajaran secara
keseluruhan
1) Pikirkan semua pengalamanmu selama di sekolah dan jawablah pertanyaan berikut.
Bubuhkan tanda v pada kalimat yang Anda pandang benar
___ ketika saya mendapat tugas baru di sekolah, biasanya saya mampu mempelajarinya
___ ketika saya mendapat tugas baru di sekolah, saya sering berpikir bahwa saya tidak dapat
mempelajarinya.
Sekarang nyatakan pendapatmu terhadap pernyataan berikut. Bacalah tiap kalimat dan
lingkarilah bilangan yang menunjukkan derajat kesetujuan anda terhadap kalimat yang
bersangkutan. Ingatlah bahwa tak ada pilihan jawaban anda yang benar atau yang salah
2) Andai saya tahu bahwa saya tidak mampu mengerjakan suatu tugas dengan baik,mungkin
saya tidak akan mengerjakannya meskipun saya harus mempelajarinya.
1 2 3 4 5 6
Sangat Setuju Hampir Hampir Tidak setuju Sangat
setuju setuju tidak setuju tidak setuju
3) Meskipun saya benci mengakuinya saya kadang-kadang lebih suka mendapat nilai baik
daripada banyak belajar
1 2 3 4 5 6
Sangat Setuju Hampir Hampir Tidak setuju Sangat
setuju setuju tidak setuju tidak setuju
4) Saya dapat mempelajari pengetahuan baru namun saya tidak dapat mengubah inteligensi
dasar saya.
1 2 3 4 5 6
Sangat Setuju Hampir Hampir Tidak setuju Sangat
setuju setuju tidak setuju tidak setuju
5) Andaikan saya harus memilih antara memperoleh “nilai baik” dan memperoleh
tantangan di kelas, saya akan memilih:
5.1 “nilai baik” 5.2. “Merasa tertantang”
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
26 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
a. Betul sekali a. Betul sekali
b. Betul b. Betul
c. Hampir betul c. Hampir betul
2. Pendapat terhadap belajar matematika (a) Bubuhkan tanda V sesuai dengan pendapat anda
___ ketika saya mendapat tugas matematik baru, biasanya saya yakin dapat mempelajarinya
___ ketika saya mendapat tugas matematik baru, seringkali saya berpikir tidak dapat
mempelajarinya
Lingkari nomor yang paling sesuai dengan pendapat anda.
6. Saya akan dapat lebih pandai matematika bila saya bekerja keras.
1 2 3 4 5 6
Sangat Setuju Hampir Hampir Tidak setuju Sangat
setuju setuju tidak setuju tidak setuju
3. Pendapat terhadap belajar matematika (b)
Bubuhkan tanda V yang melukiskan pendapat anda. Anda dapat membubuhkan sebanyak
yang anda suka. Apapun jawaban anda tidak ada yang salah.
Pendapat 1: Menyelesaikan soal matematik membutuhkan waktu yang lama. a. Penyelesaian masalah matematika yang perlu waktu lama tidak akan mengganggu saya
b. Saya merasa dapat menyelesaikan soal matematika yang memerlukan waktu lama
c. Saya dapat mengerjakan soal matematika yang sukar bila saya gigih (tekun)
d. Bila saya tidak dapat menyelesaikan soal matematika dalam waktu singkat, mungkin
saya tidak dapat mengerjakannya
e. Bila saya tidak dapat cepat menyelesaikan soal matematika, saya akan berhenti mencoba
menyelesaikannya
f. Saya tidak begitu pandai dalam menyelesaikan soal matematika dan perlu beberapa waktu
untuk membayangkannya.
Pendapat 2: Mengenai pemahaman matematika a. Diperlukan waktu yang cukup untuk menemukan alasan bahwa suatu solusi masalah
matematika memenuhi
b. Seseorang yang tidak memahami bahwa suatu jawab adalah benar, menunjukkan ia tidak
paham masalah yang bersangkutan
c. Untuk menemukan suatu jawab yang benar, adalah penting memahami mengapa jawab
tersebut itu benar.
d. Adalah suatu yang tidak penting mengetahui kebenaran suatu prosedur sepanjang
memberikan jawab yang benar.
e. Menemukan suatu jawab yang benar adalah lebih penting daripada memahami alasan
jawab tersebut benar
f. Adalah tidak masalah apakah saya memahami suatu soal matematika selama saya
memperoleh jawab yang benar
Pendapat 3: Mengenai kegunaan matematika a. Saya mempelajari matematika karena saya tahu manfaatnya
b. Memahami matematika membantu saya menjalani hidup
c. Matematika adalah mata pelajaran yang berguna dan penting
d. Matematika tidak berguna dalam pekerjaan saya
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 27
e. Matematika tidak relevan dengan kehidupan saya
f. Belajar matematika menghamburkan waktu.
Berdasarkan pendapat pakar pada Bagian B, Sumarmo (2015) merangkumkan indikator
resiliensi matematik sebagai berikut: a) menunjukkan sikap tekun, yakin/percaya diri,
bekerja keras dan tidak mudah menyerah menghadapi masalah, kegagalan, dan
ketidakpastian; b) menunjukkan keinginan bersosialisasi, mudah memberi bantuan,
berdiskusi dengan sebayanya, dan beradaptasi dengan lingkungannya; c) memunculkan
ide/cara baru dan mencari solusi kreatif terhadap tantangan; d) menggunakan pengalaman
kegagalan untuk membangun motivasi diri; e) memiliki rasa ingin tahu, merefleksi, meneliti,
dan memanfaatkan beragam sumber; f) memiliki kemampuan mengontrol diri; sadar akan
perasaannya.
Berikut ini disajikan contoh Skala Resiliensi Matematik yang disusun dengan respons
derajat kesetujuan (Model A) dan respons derajat frekuensi terlaksananya kegiatan/perasaan
(Model B) seperti pada Tabel 1 dan Tabel 2. Butir-butir pernyataan, kegiatan, dan atau
perasaan berikut dapat dimodifikasi sesuai dengan kemampuan matematik, konten
matematika, serta subyek penelitian yang bersangkutan.
TABEL 1
CONTOH SKALA RESILIENSI MATEMATIK (MATHEMATICAL RESILIENCE)
(MODEL A)
Petunjuk:
Berikut ini kepada Anda diajukan daftar penilaian terhadap diri Anda sendiri. Mohon Anda
menilai dengan cara membubuhkan tanda cek V pada kolom yang sesuai dengan pendapat
Anda. Nyatakan kesetujuan Anda terhadap pernyataan berikut.
Keterangan: SS: Sangat setuju TS : Setuju
S: Setuju STS: Sangat tidak setuju
No. Pernyataan Respons
A. Indikator: Sikap tekun, yakin/percaya diri, bekerja keras,
tidak mudah menyerah menghadapi masalah, kegagalan
dan ketidakpastian
SS S TS STS
1. Saya yakin dapat bertahan mempelajari materi matematika yang
sulit meski dalam waktu yang lama (+)
2. Saya malas menuliskan rumus yang digunakan pada tiap
langkah penyelesaian soal matematika (-)
3. Saya berusaha mengerjakan sendiri masalah matematika
sampai selesai meski perlu kerja keras (+)
4. Saya percaya dapat memeriksa sendiri kebenaran penyelesaian
soal matematika yang kompleks (+)
5. Saya yakin akan berhasil dalam tes matematika yang akan
datang setelah gagal pada tes sebelumnya (+)
6. Saya ragu dapat menyusun masalah matematika sebaik
pekerjaan teman lain (-)
7. Saya menghindar mencoba cara baru menyelesaikan masalah
matematik yang beresiko gagal (-)
8. Saya sengaja memilih soal latihan pembuktian matematika
yang sulit sebagai latihan berpikir (+)
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
28 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
9. Saya frustasi menghadapi ulangan matematika setelah mendapat
nilai buruk dalam ulangan sebelumnya (-)
10. Saya berusaha memperbaiki tugas matematika yang belum
sempurna meski perlu kerja keras (+)
B. Indikator: berkeinginan bersosialisasi, mudah memberi
bantuan, berdiskusi dengan sebayanya, dan beradaptasi
dengan lingkungannya
Ss S TS STS
11. Saya senang menjelaskan penyelesaian tugas matematika yang
sulit kepada teman lain (+)
12. Saya merasa terganggu diminta bantuan oleh teman yang
mengalami kesulitan belajar matematika (-)
13. Saya merasa nyaman berdiskusi matematika dengan teman
sebaya yang baru kenal (+)
14. Saya merasa sukar mencari teman untuk diminta bantuan
mengatasi kesulitan belajar matematika (-)
15. Saya berusaha menyesuaikan diri ketika belajar matematika di
lingkungan baru (+)
16. Saya merasa sungkan menyampaikan kesulitan belajar
matematika kepada teman baru (-)
C. Indikator: memunculkan ide/cara baru dan mencari solusi
kreatif terhadap tantangan
SS S TS STS
17. Saya berani menawarkan gagasan baru ketika belajar kelompok
matematika (+)
18. Saya mencoba cara yang berbeda dari contoh yang ada di buku
teks matematika (+)
19. Saya merasa lebih aman mengerjakan tugas seperti tugas teman
yang pandai matematika (-)
20 Saya menghindar menyelesaikan soal matematika yang memiliki
beragam cara penyelesaiannya (-)
21. Saya sengaja memilih soal latihan matematika yang bersifat
open-ended sebagai latihan berpikir kreatif (+)
22. Saya mengelak mengerjakan soal matematika yang menuntut
memberi beragam alasan (-)
D. Indikator: Menggunakan pengalaman kegagalan untuk
membangun motivasi diri,
SS S TS STS
23. Saya berusaha mencari cara baru menyelesaikan ma-salah
matematika ketika gagal dengan cara lama (+)
24. Saya cemas belajar matematika setelah mendapat nilai buruk
dalam ulangan matematika yang lalu (-)
25. Saya berlatih lagi lebih keras setelah salah menyelesai-kan
masalah matematika yang sulit (+)
26. Saya berpendapat kegagalan dalam ujian matematika yang lalu
menjadi pengalaman berharga (+)
27. Saya malas menyelesaikan soal pembuktian matema-tika setelah
gagal dalam soal pembuktian yang lalu (-)
28. Saya mengerjakan ulang penyelesaian soal matematika yang
salah meski perlu waktu lama (+)
29. Semangat belajar menurun setelah kalah dalam seleksi siswa
berprestasi matematik antar sekolah (-)
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 29
E. Indikator: Menunjukkan rasa ingin tahu, merefleksi,
meneliti, memanfaatkan beragam sumber
SS S TS STS
30. Saya mencoba membandingkan penjelasan topik matematika
yang sama dari beragam buku (+)
31. Saya bosan mempelajari matematika dari beragam buku
(-)
32. Saya bersyukur menemukan artikel melalui internet yang
relevan dengan tugas matematika saya (+)
33. Saya berpendapat mempelajari beragam buku sumber
matematika akan menguatkan pemahaman (+)
34. Saya bingung mempelajari penjelasan yang berbeda dari
beragam buku matematika (-)
35. Saya putus asa mencari sumber yang relevan untuk
menyelesaikan tugas matematika (-)
36. Saya mencoba merangkum kajian topik matematika tertentu
dari beberapa buku sumber yang relevan (+)
37. Saya menghindar mencoba cara baru membuktikan masalah
matematik yang belum tahu hasilnya (-)
F. Indikator: memiliki kemampuan berbahasa, mengontrol diri
dan sadar akan perasaannya.
SS S TS STS
38. Saya kesal ketika mendapat kritik keras terhadap pekerjaan
matematika saya (-)
39. Saya memahami perasaan teman saya yang gagal menyelesaikan
soal matematika yang sukar (+)
40. Saya merasa sulit mengungkapkan pemahaman matematik saya
kepada orang lain (-)
41. Saya merasa percaya diri mampu menjelaskan secara lisan
tugas matematika yang sudah dikerjakan (+)
42. Saya putus asa ketika gagal mempertahankan idea
(menyelesaikan soal) matematika di depan kelas (-)
TABEL 2
CONTOH SKALA RESILIENSI MATEMATIK (MATHEMATICAL RESILIENCE)
(MODEL B)
Petunjuk:
Berikut ini kepada Anda diajukan daftar penilaian terhadap diri Anda sendiri. Mohon Anda
menilai dengan cara membubuhkan tanda cek V pada kolom yang sesuai dengan pendapat
Anda. Nyatakan seberapa sering anda melaksanakan kegiatan/pendapat/perasaan berikut.
Keterangan SS: Sering sekali JR: Jarang
SR: Sering JS : Jarang sekali
A. Indikator: Sikap tekun, yakin, bekerja keras dan tidak
mudah menyerah menghadapi masalah, kegagalan dan
ketidakpastian
SS
SR
JR
JS
1. Merasa yakin dapat bertahan mempelajari materi mate-matika
yang sulit meski dalam waktu yang lama (+)
2. Merasa malas menyertakan rumus yang digunakan pada tiap
langkah penyelesaian soal matematika yang sulit (-)
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
30 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
3. Berusaha mengerjakan sendiri masalah matematika sampai
selesai meski perlu kerja keras (+)
4. Yakin mampu memeriksa sendiri kebenaran proses
penyelesaian soal matematika yang kompleks (+)
5. Merasa yakin akan berhasil dalam tes matematika yang akan
datang setelah gagal pada tes sebelumnya (+)
6. Merasa ragu dapat menyusun masalah matematika sebaik
pekerjaan teman lain (-)
7. Menghindar mencoba cara baru menyelesaikan masalah
matematik yang beresiko gagal (-)
8. Sengaja memilih soal latihan pembuktian matematika yang sulit
sebagai latihan berpikir (+)
9. Merasa frustasi menghadapi ulangan matematika sete-lah
mendapat nilai buruk dalam ulangan sebelumnya (-)
10. Berusaha memperbaiki tugas matematika yang belum
sempurna meski perlu kerja keras (+)
B. Indikator : berkeinginan bersosialisasi, mudah memberi
bantuan, berdiskusi dengan sebayanya, dan beradaptasi
dengan lingkungannya
SS
SR
JR
JS
11. Merasa senang menjelaskan penyelesaian tugas matematika
yang sulit kepada teman lain (+)
12. Merasa terganggu diminta bantuan oleh teman yang mengalami
kesulitan belajar matematika (-)
13. Merasa nyaman berdiskusi matematika dengan teman yang
baru kenal (+)
14. Merasa sukar mencari teman untuk diminta bantuan mengatasi
kesulitan belajar matematika (-)
15. Berusaha menyesuaikan diri ketika belajar matematika di
lingkungan baru (+)
16. Merasa sungkan menyampaikan kesulitan belajar matematika
kepada teman baru (-)
C. Indikator : memunculkan ide/cara baru dan mencari solusi
kreatif terhadap tantangan
SS
SR
JR
JS
17. Berani menawarkan gagasan baru ketika belajar kelompok
matematika (+)
18. Mencoba cara yang berbeda dari contoh yang ada di buku teks
matematika (+)
19. Merasa lebih aman mengerjakan tugas seperti tugas teman yang
pandai matematika (-)
20. Menghindar menyelesaikan soal matematika yang memiliki
beragam cara penyelesaiannya (-)
21. Sengaja memilih soal latihan matematika yang bersifat open-
ended sebagai latihan berpikir kreatif (+)
22. Mengelak mengerjakan soal matematika yang menuntut
memberi beragam alasan (-)
D. Indikator : Menggunakan pengalaman kegagalan untuk
membangun motivasi diri, dan kontrol diri
SS
SR
JR
JS
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 31
23. Berusaha mencari cara baru menyelesaikan masalah
matematika ketika gagal dengan cara lama (+)
24. Merasa cemas belajar matematika setelah mendapat nilai buruk
dalam ulangan matematika yang lalu (-)
25. Berlatih lagi lebih keras setelah salah menyelesaikan masalah
matematika yang sulit (+)
26. Berpendapat kegagalan dalam ujian matematika yang lalu
menjadi pengalaman berharga (+)
27. Malas menyelesaikan soal pembuktian matematika setelah gagal
dalam soal pembuktian yang lalu (-)
28. Mengerjakan ulang penyelesaian soal matematika yang salah
meski perlu waktu lama (+)
29. Merasa semangat belajar menurun setelah kalah dalam seleksi
siswa berprestasi mateamatik antar sekolah (-)
E. Indikator : Menunjukkan rasa ingin tahu, mere-fleksi,
meneliti, memanfaatkan beragam sumber
SS
SR
JR
JS
30. Mencoba membandingkan penjelasan topik matematika yang
sama dari beragam buku (+)
31. Merasa bosan mempelajari matematika dari beragam buku
(-)
32. Bersyukur menemukan artikel baru melalui internet yang
relevan dengan tugas matematika dihadapi (+)
E. Indikator : Menunjukkan rasa ingin tahu, mere-fleksi,
meneliti, memanfaatkan beragam sumber
SS
SR
JR
JS
33. Berpendapat mempelajari beragam buku sumber matematika
akan menguatkan pemahaman (+)
34. Merasa bingung mempelajari penjelasan yang berbeda dari
beragam buku matematika (-)
35. Putus asa mencari sumber yang relevan untuk menyelesaikan
tugas matematika (-)
36. Mencoba merangkum kajian topik matematika tertentu dari
beberapa buku sumber yang relevan (+)
37. Menghindar mencoba cara baru membuktikan masalah
matematik yang belum tahu hasilnya (-)
F. Indikator : memiliki kemampuan berbahasa, mengontrol
diri dan sadar akan perasaannya.
SS
SR
JR
JS
38. Merasa kesal ketika mendapat kritik keras terhadap pekerjaan
matematika saya (-)
39. Memahami perasaan teman yang gagal menyelesaikan soal
matematika yang sukar (+)
40. Merasa sulit mengungkapkan pemahaman matematik saya
kepada orang lain (-)
41. Percaya diri mampu menjelaskan secara lisan tugas
matematika yang sudah dikerjakan (+)
42. Putus asa ketika gagal mempertahankan idea (menyelesaikan
soal) matematika di depan kelas (-)
Catatan:1) Pilihan respons netral atau kadang-kadang dapat ditiadakan sesuai dengan
keinginan peneliti
2) Butir pernyataan/kegiatan/perasaan negatif dan positif sebaiknya seimbang
3) Susun skala kembali dengan butir-butir pernyataan/kegiatan/perasaan secara acak
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
32 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Berikut ini disajikan contoh modifikasi Skala Resiliensi Tabel 2 yaitu Tabel 3 yang
dikaitkan dengan kemampuan berpikir kreatif matematik dan problem posing pada konten
matriks dan deret pada subyek siswa SMA.
TABEL 3
CONTOH SKALA RESILIENSI MATEMATIK (MATHEMATICAL RESILIENCE)
(MODEL B)
Petunjuk:
Berikut ini kepada Anda diajukan daftar penilaian terhadap diri Anda sendiri. Mohon Anda
menilai dengan cara membubuhkan tanda cek V pada kolom yang sesuai dengan pendapat
Anda. Nyatakan seberapa sering anda melaksanakan kegiatan/pendapat/perasaan berikut.
Keterangan SS: Sering sekali JS : Jarang sekali
SR: Sering JR : Jarang
No. Kegiatan, Perasaan, Pendapat Respons
A. Indikator : Sikap tekun, yakin, bekerja keras dan tidak
mudah menyerah menghadapi masalah, kegagalan dan
ketidakpastian
SS
SR
JR
JS
1. Merasa yakin dapat bertahan menyelesaikan masalah deret tak
hingga yang sulit meski dalam waktu yang lama (+)
2. Merasa malas menyusun pertanyaan yang relevan untuk soal
penerapan matriks dalam masalah sehari-hari yang sulit (-)
3. Berusaha berlatih menyusun pertanyaan sendiri tentang deret
yang tidak sederhana meski perlu kerja keras (+)
A. Indikator : Sikap tekun, yakin, bekerja keras dan tidak
mudah menyerah menghadapi masalah, kegagalan dan
ketidakpastian
SS
SR
JR
JS
4. Merasa yakin mampu merinci langkah-langkah proses
perhitungan penerapan deret dalam geometri (+)
5. Merasa ragu akan berhasil dalam ulangan matriks yang akan
datang setelah gagal pada ulangan sebelumnya (-)
6. Merasa cemas dapat menyusun pertanyaan sebelum
menyelesaikan masalah deret sebaik pertanyaan teman lain (-)
7. Menghindar mencoba cara baru menyelesaikan soal matriks
yang mungkin gagal (-)
8. Sengaja memilih soal latihan penerapan deret dalam masalah
sehari-hari yang mempunyai beragam cara sebagai latihan
berpikir (+)
9. Merasa frustasi merinci masalah yang kompleks tentang matriks
ke dalam masalah bagiannya yang lebih sederhana (-)
10. Merasa kehabisan akal memperbaiki tugas masalah deret dalam
geometri dengan cara yang tidak biasa karena perlu kerja keras
(-)
B. Indikator : berkeinginan bersosialisasi, mudah memberi
bantuan, berdiskusi dengan sebayanya, dan beradaptasi
dengan lingkungannya
SS
SR
JR
JS
11. Merasa senang menjelaskan cara menyusun beragam pertanyaan
dari serangkaian informasi tentang matriks yang sulit kepada
teman lain (+)
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 33
12. Merasa terganggu membantu teman yang mengalami kesulitan
menyatakan suatu pertanyaan ke dalam bentuk pertanyaan lain
tentang deret (-)
13. Merasa nyaman berdiskusi penerapan matriks dalam masalah
sehari-hari dengan teman yang baru kenal (+)
14. Merasa sukar mendapat teman untuk mengatasi kesulitan
menyusun pertanyaan tentang penerapan deret (-)
15. Berusaha menyesuaikan diri ketika belajar penerapan deret pada
masalah sehari-hari di lingkungan baru (+)
16. Merasa sungkan menyampaikan kesulitan menyelesaikan soal
deret tak hingga kepada teman baru (-)
C.. Indikator : memunculkan ide/cara baru dan mencari solusi
kreatif terhadap tantangan
SS
SR
JR
JS
17. Berani menawarkan gagasan baru tentang penerapan deret ketika
belajar kelompok (+)
18. Mencoba mengajukan pertanyaan yang berbeda terhadap
serangkaian informasi tentang matriks (+)
19. Merasa lebih aman mengerjakan perhitungan limit yang sulit
seperti tugas teman yang pandai matematika (-)
20. Menghindar menyelesaikan soal penerapan deret tak hingga
yang memiliki beragam cara penyelesaian (-)
21. Sengaja memilih latihan beragam pertanyaan tentang operasi
pada matriks sebagai latihan berpikir kreatif (+)
22. Mengelak menyusun pertanyaan lanjutan setelah mendapat
solusi masalah deret (-)
D. Indikator : Menggunakan pengalaman kegagalan untuk
membangun motivasi diri, dan kontrol diri
SS
SR
JR
JS
23. Berusaha mencari cara baru menyelesaikan masalah matriks
setelah gagal dengan cara lama (+)
24. Merasa cemas belajar penerapan deret pada masalah geometri
setelah mendapat nilai buruk dalam ulangan sebelumnya (-)
25. Berlatih lagi lebih keras setelah salah merinci langkah-langkah
penyelesaian masalah deret disertai aturan yang digunakan (+)
26. Berpendapat kegagalan dalam ulangan matriks yang lalu
menjadi pengalaman berharga (+)
27. Malas merinci suatu masalah deret yang kompleks ke dalam
masalah bagian-bangiannya yang lebih sederhana (-)
28. Mengerjakan ulang tugas menyusun pertanyaan tentang matriks
yang salah meski perlu waktu lama (+)
29. Merasa semangat belajar menurun setelah gagal dalam ulangan
matriks yang lalu (-)
E. Indikator : Menunjukkan rasa ingin tahu, merefleksi,
meneliti, memanfaatkan beragam sumber
SS
SR
JR
JS
30. Mencoba membandingkan uraian tentang penerapan deret
dalam geometri yang sulit dari beragam buku (+)
31. Merasa bosan mempelajari matriks dari beragam buku (-)
32. Bersyukur menemukan beberapa artikel melalui internet
yang relevan dengan tugas merangkum uraian tentang deret (+)
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
34 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
33. Berpendapat mempelajari beragam buku sumber tentang matriks
akan menguatkan pemahaman (+)
34. Merasa bingung mempelajari penjelasan yang berbeda dari
beragam uraian tentang deret tak hingga (-)
35. Putus asa mencari sumber yang relevan untuk menyelesai-kan
tugas penerapan matriks pada masalah sehari-hari (-)
36. Mencoba merangkum kajian penerapan deret dalam masa-lah
geometri dari beberapa buku sumber yang relevan (+)
37. Menghindar mencoba cara baru menyelesaikan masalah
penerapan matriks yang belum pasti hasilnya (-)
F. Indikator : memiliki kemampuan berbahasa, mengontrol
diri dan sadar akan perasaannya.
38. Merasa kesal ketika mendapat kritik keras terhadap tugas
kelompok menyusun pertanyaan tentang deret (-)
39. Memahami perasaan teman yang gagal menyelesaikan soal
matriks yang sukar (+)
40. Merasa sulit menyatakan pertanyaan tentang penerapan anti
turunan ke dalam bentuk pertanyaan yang lain (-)
41. Percaya diri mampu menjelaskan secara lisan tugas tentang
deret yang sudah dikerjakan (+)
42. Putus asa ketika gagal menyusun pertanyaan lanjutan setelah
memperoleh solusi kepada teman lain (-)
Catatan: 1) Butir pernyataan/kegiatan/perasaan negatif dan positif sebaiknya seimbang
2) Susun pernyataan/kegiatan/perasaan sesuai dengan konten dan kemampuan
matematik yang diteliti
Berikut ini disajikan contoh Skala Resiliensi (Tabel 4) yang berkaitkan dengan kemampuan
berpikir kritis dan berpikir kreatif matematik pada konten peluang pada subyek siswa SM
yang dimodifikasi dari Skala Resiliensi Matematik pada Tabel 3
TABEL 4
CONTOH SKALA RESILIENSI MATEMATIK (MATHEMATICAL RESILIENCE)
(MODEL B)
Petunjuk:
Berikut ini kepada Anda diajukan daftar penilaian terhadap diri Anda sendiri. Mohon Anda
menilai dengan cara membubuhkan tanda cek V pada kolom yang sesuai dengan pendapat
Anda. Nyatakan seberapa sering anda melaksanakan kegiatan/pendapat/perasaan berikut.
Keterangan SS: Sering sekali JS : Jarang sekali
SR: Sering JR : Jarang
No Kegiatan, Perasaan, Pendapat Respons
A. Indikator : Sikap tekun, yakin, bekerja keras dan tidak mudah
menyerah menghadapi masalah, kegagalan dan ketidakpastian
dalam berpikir kritis dan kreatif matematik
SS
SR
JR
JS
1. Merasa yakin dapat bertahan latihan mengajukan pertanyaan
tentang kombinasi disertai dengan alasan meski perlu waktu yang
lama (+)
2. Menghindar mengajukan beberapa alternatif penyelesaian
masalah yang berbeda ketika belajar permutasi yang sulit (-)
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 35
3. Berusaha mengerjakan sendiri soal penerapan konsep kombinasi
dan permutasi sampai selesai meski berbeda dengan jawaban teman
dan perlu kerja keras (+)
4. Merasa ragu dapat memeriksa kebenaran tiap langkah proses
perhitungan peluang dua kejadian (-)
5. Merasa takut mempertahankan pendapat sendiri tentang kombinasi
beberapa unsur yang berbeda dengan pendapat teman dalam
diskusi kelompok (-)
6. Merasa yakin dapat menyusun pertanyaan mengenai kombinasi
dan permutasi sebaik pertanyaan teman lain (+)
7. Berani mencoba cara baru menyelesaikan soal peluang kejadian
yang saling lepas meski beresiko gagal (+)
8. Takut memilih soal latihan memeriksa kebenaran proses
perhitungan peluang beberapa kejadian yang rumit (-)
9. Merasa frustasi mendapat tugas merinci langkah-langkah
menyelesaikan soal peluang disertai dengan aturan yang
digunakan (-)
10. Merasa kehabisan akal memperbaiki tugas analogi tentang
kombinasi dan permutasi yang belum sempurna karena perlu kerja
keras (-)
B. Indikator : berkeinginan bersosialisasi, mudah memberi
bantuan, berdiskusi dengan sebayanya, dan beradaptasi
dengan lingkungannya
SS
SR
JR
JS
11. Merasa senang menjelaskan cara menyederhanakan masalah
matematika yang ruwet ke dalam bagian-bagiannya yang lebih
sederhana kepada teman baru (+)
12. Merasa terganggu diminta bantuan oleh teman yang mengalami
kesulitan menyelesaikan perhitungan peluang kejadian yang tidak
sederhana (-)
B. Indikator : berkeinginan bersosialisasi, mudah memberi
bantuan, berdiskusi dengan sebayanya, dan beradaptasi
dengan lingkungannya
SS
SR
JR
JS
13. Merasa nyaman berdiskusi masalah peluang dalam peristiwa
sehari-hari dengan teman yang baru kenal (+)
14. Merasa sukar mendapat teman untuk mengatasi kesulitan
menyusun pertanyaan tentang kombinasi dan permutasi (-)
15. Berusaha menyesuaikan diri ketika belajar penerapan kombi-nasi
dan permutasi pada masalah sehari-hari di lingkungan baru (+)
16. Merasa sungkan menyampaikan kesulitan mengidentifikasi data
yang relevan dalam masalah sehari-hari kepada teman baru (-)
C. Indikator : memunculkan ide/cara baru dan mencari solusi
kreatif terhadap tantangan
SS
SR
JR
JS
17. Berani menawarkan cara baru menerapkan konsep peluang dalam
masalah sehari-hari ketika belajar kelompok (+)
18. Mencoba mengajukan pertanyaan yang berbeda dari serangkaian
informasi matematika yang diberikan (+)
19. Merasa lebih aman mengerjakan perhitungan permutasi yang sulit
seperti tugas teman yang pandai matematika (-)
20. Menghindar menyelesaikan soal penerapan konsep kombinasi yang
memiliki beragam cara penyelesaian (-)
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
36 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
21. Sengaja memilih soal latihan peluang dengan cara yang tidak biasa
sebagai latihan berpikir kreatif (+)
22. Mengelak memilih soal latihan peluang dua kejadian yang
mempunyai beragam cara penyelesaian (-)
D. Indikator : Menggunakan pengalaman kegagalan untuk
membangun motivasi diri, dan kontrol diri
SS
SR
JR
JS
23. Berusaha mencari cara baru menyelesaikan masalah kombi-nasi
dan permutasi setelah gagal dengan cara lama (+)
24. Merasa cemas belajar penerapan konsep peluang pada masa-lah
sehari-hari setelah gagal dalam soal sebelum-nya (-)
25. Merasa semangat belajar menurun setelah gagal dalam memeriksa
kebenaran suatu pernyataan kombinasi beberapa unsur (-)
26. Berpendapat kegagalan dalam ulangan peluang yang lalu menjadi
pengalaman berharga (+)
27. Mengerjakan ulang tugas memeriksa kebenaran proses perhitungan
peluang yang salah dengan cara lain meski perlu waktu lama (+)
E. Indikator : Menunjukkan rasa ingin tahu, merefleksi, meneliti,
memanfaatkan beragam sumber
SS
SR
JR
JS
28 Mencoba membandingkan penjelasan konsep kombinasi beberapa
unsur yang sulit dari beragam buku (+)
29. Merasa bosan mempelajari konsep peluang dari beragam buku
(-)
30. Bersyukur menemukan artikel baru melalui internet yang
relevan dengan tugas menyusun pertanyaan tentang peluang
kejadian yang saling lepas (+)
31. Berpendapat mempelajari beragam buku sumber peluang akan
menguatkan pemahaman (+)
32. Merasa bingung mempelajari penjelasan konsep kombinasi yang
berbeda dari beragam buku (-)
33. Putus asa mencari sumber yang relevan untuk menyelesaikan tugas
penerapan konsep peluang pada masalah sehari-hari (-)
34. Mencoba merangkum kajian konsep permutasi dan kombinasi dari
beberapa buku sumber yang relevan (+)
No. Indikator f): memiliki kemampuan berbahasa, mengontrol diri
dan sadar akan perasaannya.
SS
SR
JR
JS
35. Merasa kesal ketika mendapat kritik keras terhadap penyelesaian
soal kombinasi yang saya kerjakan (-)
36. Memahami perasaan teman yang gagal menyelesaikan soal peluang
beberapa kejadian yang sukar (+)
37. Merasa sulit menyatakan suatu pertanyaan tentang kombinasi ke
dalam bentuk pertanyaan yang lain (-)
38. Percaya diri mampu menjelaskan secara lisan tugas peluang yang
sudah dikerjakan (+)
39. Putus asa ketika gagal menjelaskan penyelesaian soal pene-rapan
konsep permutasi dan kombinasi kepada teman lain (-)
40. Menghindar menjelaskan cara baru menyelesaikan masalah peluang
yang belum pasti hasilnya (-)
Catatan:1) Butir pernyataan/kegiatan/perasaan negatif dan positif sebaiknya seimbang
2). Susun pernyataan/kegiatan/perasaan sesuai dengan konten dan kemampuan
matematik
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 37
yang diteliti
Berikut ini disajikan contoh Skala Resiliensi Matematik (Tabel 5) yang berkaitan dengan
kemampuan berpikir kritis, dan problem posing matematik untuk mahasiswa dalam konten
Peluang
TABEL 5
CONTOH SKALA RESILIENSI MATEMATIK MATHEMATICAL RESILIENCE)
(MODEL B)
Petunjuk:
Berikut ini kepada Anda diajukan daftar penilaian terhadap diri Anda sendiri. Mohon Anda
menilai dengan cara membubuhkan tanda cek V pada kolom yang sesuai dengan pendapat
Anda. Nyatakan seberapa sering anda melaksanakan kegiatan/pendapat/perasaan berikut.
Keterangan Ss : Sering sekali Js : Jarang sekali
Sr : Sering Jr : Jarang
No.
Kegiatan, Perasaan, Pendapat Respons
Indikator : sikap tekun, yakin, dan tidak mudah menyerah
menghadapi masalah dan kegagalan.
Ss Sr Jr Js
1. Bertahan mempelajari materi peluang yang sulit meski dalam waktu
yang lama (+)
2. Menghindar menyelesaikan soal peluang yang disertai dengan alasan
yang relevan (-)
3. Memilih sendiri soal latihan masalah peluang yang rumit meski
perlu kerja keras (+)
4. Merasa ragu dapat memeriksa kebenaran proses penyelesaian soal
materi peluang yang non-rutin (-)
5. Merasa yakin akan berhasil baik dalam tes materi peluang yang
akan datang (+)
6. Merasa ragu dapat menyusun pertanyaan dalam materi peluang
sebaik pertanyaan teman lain (-)
7. Merasa cemas dapat memeriksa kerelevanan data dalam soal materi
peluang yang kompleks (-)
8. Merasa malas menyertakan rumus/aturan yang digunakan dalam
menyelesaikan soal materi peluang (-)
9. Mengelak memilih soal latihan menyusun pertanyaan yang memiliki
beragam jawab dalam materi peluang (-)
A. Indikator : sikap tekun, yakin, dan tidak mudah menyerah
menghadapi masalah dan kegagalan.
Ss Sr Jr Js
10. Berlatih menyusun pertanyaan disertai alasan yang relevan dalam
materi peluang (+)
11. Merasa cemas mendapat tugas menyusun masalah berkaitan dengan
pemecahan masalah materi peluang (-)
12. Berusaha menyempurnakan penyelesaian soal peluang yang sulit
meski perlu kerja keras (+)
13. Menghindar mencoba cara penyelesaian soal peluang yang berbeda
dengan contoh dari dosen (-)
14. Menyerah ketika menghadapi tugas memeriksa kebenaran proses
penyelesaian soal materi peluang (-)
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
38 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
15. Menghindar dari tugas merinci masalah utama ke dalam sub-
masalah yang berkaitan dengan materi peluang (-)
B. Indikator : berkeinginan bersosialisasi dan berdiskusi dengan
lingkungannya; beradaptasi
SS SR JR JS
16. Merasa cemas menyampaikan kesulitan menyelesaikan soal materi
peluang kepada teman (-)
17. Berdiskusi dengan teman kelompok kerja mencari cara baru menye-
lesaikan soal peluang setelah gagal dengan cara yang lama (+)
18. Merasa senang menjelaskan cara menyusun masalah dari
serangkaian informasi dalam materi peluang kepada teman lain (+)
19. Merasa terganggu diminta bantuan oleh teman yang mengalami
kesulitan menyatakan suatu masalah ke dalam bentuk lainnya dalam
materi peluang (-)
20. Merasa senang berdikusi membahas beragam pemecahan masalah
materi peluang disertai alasan yang relevan(+)
21. Merasa sukar mencari teman untuk memeriksa kebenaran proses
perhitungan yang sulit dalam materi peluang (-)
22. Merasa canggung belajar materi peluang dengan teman yang
pandai dalam materi peluang (-)
23. Merasa nyaman berdiskusi tentang menyusun masalah dalam materi
peluang dengan siapapun (+)
24. Merasa sukar beradaptasi dalam situasi belajar baru ketika memulai
perkuliahan peluang (-)
25. Merasa cocok belajar dengan siapapun untuk menyusun masalah
dalam materi peluang (+)
C. Indikator : Memunculkan ide/cara baru dalam menyelesaikan
masalah matematik
SS SR JR JS
26. Berani mengemukakan gagasan ketika belajar kelompok memeriksa
kebenaran proses penyelesaian masalah peluang (+)
27. Menghindar mencoba cara yang berbeda dari cara penyele-saian
masalah peluang yang diberikan dosen (-)
28. Menghindar menyelesaikan soal peluang yang memiliki beragam
cara penyelesaiannya (-)
29. Mengelak cara baru menyelesaikan soal peluang yang menuntut
memberi alasan yang relevan (-)
30. Sengaja memilih beragam soal latihan menyusun masalah dalam
materi peluang sebagai latihan berpikir kreatif (+)
D. Indikator : Menggunakan pengalaman kegagalan untuk
membangun motivasi diri
SS SR JR JS
31. Berusaha mencari cara baru menyelesaikan soal peluang setelah
gagal dengan cara lama (+)
32. Merasa cemas atas kegagalan dalam memeriksa kebenaran proses
perhitungan dalam materi peluang yang lalu (-)
33. Berlatih lagi setelah gagal menyusun masalah dalam materi peluang
(+)
34. Berpendapat kegagalan dalam tes dalam materi peluang yang lalu
menjadi pengalaman berharga (+)
35. Menjadi malas menyusun masalah materi peluang setelah gagal
dalam tugas yang lalu (-)
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 39
36. Mengerjakan ulang soal menyusun perkiraan dalam materi peluang
yang salah (+)
37. Menghindar tugas memeriksa kebenaran pernyataan dalam materi
peluang setelah salah dalam tugas sebelumnya (-)
38. Merasa semangat belajar menurun ketika gagal menyatakan suatu
masalah ke bentuk masalah lainnya dalam materi peluang (-)
39. Terdorong belajar lebih keras setelah gagal merinci pertanyaan
utama ke dalam sub-pertanyaan tentang materi peluang (+)
E. Indikator : Menunjukkan rasa ingin tahu, merefleksi, meneliti,
memanfaatkan beragam sumber
SS SR JR JS
40. Merasa senang membandingkan penjelasan materi peluang yang
sama dari beragam buku (+)
41. Berpendapat bahwa mempelajari materi peluang dari beragam buku
adalah memboroskan waktu (-)
42. Mengucap syukur menemukan penjelasan baru tentang materi
peluang melalui internet (+)
43. Merasa putus asa mencari sumber yang relevan untuk tugas
menyusun makalah dalam materi peluang (-)
44. Merasa bingung mempelajari penjelasan materi peluang yang
berbeda dari beragam buku sumber (-)
F. Indikator : memiliki kemampuan berbahasa, mengontrol diri
dan sadar akan perasaannya.
SS SR JR JS
45. Merasa kesal ketika mendapat kritik keras terhadap penyelesaian
soal peluang yang sudah dikerjakan (-)
46. Memahami perasaan teman yang gagal menyelesaikan soal peluang
beberapa kejadian yang sukar (+)
47. Merasa sulit menyatakan suatu pertanyaan tentang peluang ke
dalam bentuk pertanyaan yang lain (-)
48. Percaya diri mampu menjelaskan secara lisan tugas peluang yang
sudah dikerjakan (+)
49. Putus asa ketika gagal menjelaskan penyelesaian soal pene-rapan
konsep permutasi dan kombinasi kepada teman lain (-)
50. Menghindar menjelaskan cara baru menyelesaikan masalah peluang
yang belum pasti hasilnya (-)
Daftar Pustaka
Abdurachman, D. (2014). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi serta
Disposisi Matematik Siswa SMP melalui Pembelajaran inkuiri Terbimbing. Tesis pada
Pascasarjana UPI: tidak diterbitkan.
Armiati. (2011). Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis, Komunikasi Matematis,
dan Kecerdasan Emosional Mahasiswa melalui Pembelajaran Berbasis Masalah.
Disertasi pada SPS UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Bernard, M. (2015). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Penalaran Serta Disposisi
Matematik Siswa SMK dengan Pendekatan Kontekstual Melalui Game Adobe Flash
Cs 4.0. Tesis pada Pascasarjana STKIP Siliwangi. Tidak diterbitkan.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
40 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Budiyanto, A.M. (2014). Meningkatkan kemampuan berpikir logis dan kreatif matematik
serta kemadirian belajar siswa SMA melalui Pembelajaran Berbasis Masalah.Tesis
magister pada Program Pascasarjana STKIP Siliwangi Bandung. Sebagian tesis
dipublikasikan dalam International Journal of Education Vol.8, No. 1. Desember
2014. pp 54-63. Graduate School, Indonesia University of Education.
Herman, T. (2006) . Pengembangan Kemampuan Pemecahan Masalah, Penalaran, dan
Komunikasi Matematik Siswa SLTP melalui Pembelajaran Berbasis Masalah.
Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak
dipublikasi.
Hulukati, E. (2006). Mengembangkan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah
matematis siswa SMP melalui pembelajaran generatif. Disertasi pada Sekolah
Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. tidak dipublikasi.
Johnston-Wilder, S. & Lee, C. (2010a). “Mathematical Resilience”. Mathematics Teaching,
218, 38–41.
Johnston-Wilder, S. & Lee, C. (2010b). Developing Mathematical Resilience. Paper
presented at the BERA annual conference at Warwick University.
Johnston-Wilder,S., Lee, C., Garton, E. , S. Goodlad, J. Brindley
,(2013). Developing
Coaches For Mathematical Resilience. Laporan suatu Proyek Percobaan Penelitian
Joubert, M. (Ed.) Proceedings of the British Society for Research into Learning Mathematics
28(3), November 2008. From Informal Proceedings 28-3 (BSRLM) available at
bsrlm.org.uk © the author – 54. Does Articulation Matter when Learning
Mathematics?
Kooken, J., Welsh, M. E., Mccoach, D. B., Johnson-Wilder, S. and Lee, C. (2013).
Measuring mathematical resilience: an application of the construct of resilience to the
study of mathematics. In: American Educational Research Association (AERA) 2013
Annual Meeting: Education and Poverty: Theory, Research, Policy and Praxis, 27
April - 1 May 2013, San Francisco, CA, USA.
Koswara, U. (2012). “Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematis
Siswa SMA melalui Pendekatan Pembelajaran Kontekstual Berbantuan Program
Autograph”. Tesis pada PPS UPI Bandung. Makalah dimuat dalam Educationist:
Jurnal kajian filosofi, teori, kualitas, dan manajemen pendidikan Vol VI. No.2, 125-
131, July 2012
Lugalia M., Sue Johnston-Wilder, S. and Goodall, J.(2013), The Role of ICT in Developing
Mathematical Resilience in Learners. Laporan Penelitian di The University of
Warwick, Institute of Education, Coventry (UNITED KINGDOM).
Mudrikah, A. (2013). Pembelajaran Berbasis Masalah berbantuan Komputer untuk
Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah dan Disposisi
Matematik Siswa SMA. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan
Indonesia. tidak dipublikasi.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 41
Mulyana, A. (2015). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Penalaran serta
Kemandirian Belajar Matematika Siswa SMP melalui Pembelajaran Berbasis Masala.
Tesis pada Pascasarjana STKIP Siliwangi, Bandung. Tidak diterbitkan.
Nurcholis, E. (2012). Meningkatkan Kemampuan Spatial Sense dan Pemecahan Masalah
Matematik Siswa SMA melalui Pendekatan Berbasis Masalah Berbantuan Komputer.
Tesis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Makalah dimuat
dalam Educationist: Jurnal kajian filosofi, teori, kualitas, dan manajemen pendidikan
Vol VI. No.2, 125-131, July 2012.
Offirston. T. (2012). “Pendekatan Inkuiri Berbantuan Software Cinderella untuk
Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa
MTs” Tesis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Makalah
dimuat dalam Educationist: Jurnal kajian filosofi, teori, kualitas, dan manajemen
pendidikanVol VI. No.2, 101-106, July 2012
Rachmat, U,S. (2014). Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah
Matematik serta Kepercayaan Diri Siswa SMP melalui Pembelajaran Kontekstual
berbantuan Mathematical Manupulative. Tesis pada Pascasarjana STKIP Siliwangi,
Bandung, tidak dipublikasi.
Rohendi, D. (2009). Kemampuan Pemahaman, Koneksi, dan Pemecahan Masalah.
Matematik: Eksperimen terhadap Siswa Sekolah Menengah Atas melalui
Pembelajaran Elektronik (E-Learning). Disertasi pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia, tidak dipublikasi.
Rusmini, (2008). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematik Siswa
SMP melalui Pendekatan Pembelajaran Kontekstual Berbantuan Cabri Geometry II.
Tesis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak dipublikasi.
Setiawati, E. (2014). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Logis, Kreatif, dan Habit of
Mind Matematis, melalui Pembelajaran berbasis Masalah. Disertasi pada Sekolah
pascasarjana UPI. Tidak diterbitkan
Supriyanti, N. R. (2010). Keefetifan Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams A
Chievement Division (STAD) Berbantuan Macromedia Flash Terhadap Kemampuan
Penalaran dan Komunikasi Pada Materi Pokok Dimensi Tiga Kelas X. Semarang:
Under Graduates Thesis Universitas Negeri Semarang.
Yonandi (2010). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah
Matematik melalui Pembelajaran Kontekstual Berbantuan Komputer pada Siswa
Sekolah Menengah Atas. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan
Indonesia, tidak dipublikasi.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
42 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
PEMAKALAH
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA 2015
Program Studi Pendidikan Matematika
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan
STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 43
PENERAPAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH UNTUK
MENINGKATKAN RESILIANASI DAN PEMAHAMAN
MATEMATIK SISWA SMA
Adi Nurjaman1, Indah Puspita Sari
2
STKIP Siliwangi
ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi resiliansi (sikap mempertahankan) dan kemampuan
matematika siswa yang masih kurang dalam pembelajaran ini didasakan kepada
emosional dan karakter yang ditunjukan oleh dirinya sendiri. Metode dalam
penelitian ini adalah metode eksperimen dengan disain kelompok kontrol pretes-
postes yang melibatkan paling tidak dua kelompok. Metode eksperimen digunakan
karena ada pemanipulasian perlakuan, dimana kelas yang satu mendapat
pembelajaran melalui pembelajaran berbasis masalah dan kelas yang lain
mendapat pembelajaran dengan cara biasa, pada awal dan akhir kedua kelas diberi
tes. Pencapaian dan peneningkatan kemampuan pemahaman matematik dan
resiliansi matematik siswa SMA yang pembelajarannya menggunakan
pembelajaran biasa lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan
cara biasa. Terdapat asosiasi antara kemampuan pemahaman matematik dengan
resiliansi matematik.
Kata Kunci : Pemahaman Matematik, Pembelajaran Berbasis Masalah, Resiliansi
Matematik
A. Pendahuluan
Sikap siswa dalam melakukan pembelajaran berbeda antara siswa satu dengan yang lainnya
ini didasakan kepada emosional dan karakter yang ditunjukan oleh dirinya sendiri.
Membangun sikap siswa yang tangguh tentu saja memerlukan waktu yang tidak sedikit
begitu pula dengan perlakuan yang pasti akan berbeda untuk setiap siswa. Johnston-Wilder,
S., & Lee, C. (2010) mengemukakan, ketahanan (resiliansi) sangatlah diperlukan untuk
membangun mental yang baik untuk menghadapi hambatan dalam matematik.
Sikap positif seperti itulan yang sangat diperlukan oleh siswa ini bertujuan untuk mengatasi
setiap kesulitan atau masalah yang dihadapi oleh siswa. Kemampuan resiliansi menunjukan
bahwa bagaimana sikap siswa dalam mempertahakannya. Dweck (Johnston-Wilder, S., &
Lee, C.(2010)) mengemukakan, resiliansi metematik memuat sikap tekun atau gigih dalam
menghadapi kesulitan, bekerja atau belajar kolaboratif dengan teman sebaya, memiliki
keterampilan berbahasa untuk menyatakan pemahaman matematik dan menguasai teori
belajar matematik. Ini berbading lurus dengan siswa yang resiliansi kuat akan berhasil baik
dalam menghadapi masalah matematik di sekolah ataupun pada kondisi yang kurang
disenangi.
Selain itu, dalam membangun sikap siswa yang tangguh tentu saja diperlukan kemampuan
pemahaman yang baik pula sehingga tercipta harmonisasi antara sikan dengan kemampuan
pemahaman matematik. Polya (Ahmad, 2005 : 15) dengan jelas menyatakan bahwa tahapan
pertama dalam memecahkan masalah matematika adalah memahami masalah matematika itu
sendiri. Salah satu model pembelajaran yang dapat menunjang proses kreatif matematis
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
44 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
siswa adalah pembelajaran berbasis masalah, baik masalah sehari-hari maupun masalah
matematika. Pembelajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk berfikir secara logis,
rasional dan kreatif
Dewey (Trianto, 2007:67) “belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dan
respon, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan. Lingkungan
memberikan masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah, sedangkan sistim saraf
otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga masalah yang dihadapi dapat
diselidiki, dinilai, dianalisis, serta dapat dicari pemecahannya dengan baik
Berdasarkan uraian di atas penulis mengambil judul “Penerapan Pembelajaran Berbasis
Masalah Untuk Meningkatkan Resilianasi dan Pemahaman Matematik Siswa SMA. Adapun
rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Apakah pencapaian dan
peningkaan resiliansi dan pemahaman matematik siswa yang pembelajarannya melalui
pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada cara biasa?, Apakah ada asosiasi antara
kemampuan pemahaman matematik dengan resiliansi matematik Siswa SMA?
B. Kajian Teori
1. Resiliansi Matematik
Dalam beberapa istilah para pakar memberikan pengertian tentang resiliansi Dweck
(Sumarmo, 2016) mengemukakan resiliansi matematik memuat sikap rekun atau teguh
dalam mengahadapi kesulitan, bekerja atau belajar kolaboratif dengan teman sebaya,
memiliki keterampilan berbahasa untuk menyatakan pemahaman matematik, dengan
menguasai teori belajar matematik. Newman (Sumarmo, 2016) sebagai sikap bermutu
dalam belajar matematik yang meliputi: percaya diri akan keberhasilannya melalui usaha
keras, menunjukan tekun dalam menghadapi kesulitan, berkeinginan berdiskusi, merefleksi,
dan meneliti.
Johnston-Wilder, S., & Lee, C.(2010) mengemukakan bahwa resiliansi matematik memiliki
empat indicator: 1) percaya bahwa kemampuan otak dapat ditumbuhkan, 2) pemahaman
personal terhadap nilai nilai matematik, 3) pemahaman bagaimana cara bekerja dalam
matematika, dan 4) kesadaran akan dukungan teman sebaya.
2. Pemahaman Matematik
Pemahaman matematik adalah ranah kemampuan kognitif yang berisi perilaku-perilaku yang
menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir.
Ruseffendi (2006:221). Dinyatakan, ada tiga macam pemahaman, a) Pengubahan
(translation) misalnya mengubah soal kata-kata ke dalam symbol dan sebaliknya, b)
Pemberian arti (interpretation) misalnya mampu mengartikan suatu kesamaan, c) Pembuatan
ekstrapolasi (extrapolation) misalnya mampu memperkirakan suatu kecenderungan dari
diagram.
Polya (Sumarmo, 2012:6) membedakan empat jenis pemahaman, 1) Pemahaman mekanikal :
dapat mengingat dan menerapkan sesuatu secara rutin atau perhitungan sederhana, 2)
Pemahaman induktif: dapat mencobakan sesuatu dalam kasus sederhana dan tahu bahwa
sesuatu itu berlaku dalam kasus serupa, 3) Pemahaman rasional: dapat membuktikan
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 45
kebenaran sesuatu, 4) Pemahaman intuitif: dapat memperkirakan kebenaran sesuatu tanpa
ragu-ragu, sebelum menganalisis secara analitik.
Kemampuan siswa dalam pemahaman matematik memiliki indikator tertentu. NCTM
(Hendriana. 2009:17) menyatakan, Pemahaman siswa terhadap konsep matematika dapat
dilihat dari: (1) Mendefinisikan konsep secara verbal dan tulisan; (2) Mengidentifikasi dan
membuat contoh dan bukan contoh; (3) Menggunakan model, diagram dan symbol-simbol
untuk merepresentasikan suatu konsep; (4) Mengubah suatu bentuk representasi ke bentuk
lainnya; (5) Mengenal berbagai makna dan interpretasi konsep; (6) Mengidentifikasi sifat-
sifat suatu konsep dan mengenal syarat yang menentukan suatu konsep; (7) Membandingkan
dan membedakan konsep-konsep.
3. Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran berbasis masalah salah satu pendekatan yang efektif dalam proses berfikir.
Dalam pembelajaran ini siswa dihadapkan kepada suatu permasalaha yang memerluakan
penyelesaian yanh baik sehingga akan didapatkan hasil yang maksimal. Arens (Trianto,
2007) karakteristik pembelajaran berbasis masalah adalah: 1) pengajuan pertanyaan, 2) fokus
pada keterkaitan ilmu, 3) penyelidikan yang autentik, 4) dapat mengahasilkan serta
memperlihatkan hasil karya, 5) belajar berkolaborasi.
Pembelajaran berbasis masalah dirancang dalam membantu guru untuk memberikan
berbagai informasi sebanyak banyaknya kepada siswa. Pengajaran berdasarkan masalah
dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berfikir, pemecahan
masalah dan keterampilan intelektual; belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan
mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi; dan menjadi pembelajaran yang otonom dan
mandiri (Triantio, 2007).
Dalam perkembangannya pembelajarn berbasis masalah memeiliki kelebihan dan
kekurangan menurut Sudjana (Trianto, 2007) kelebihan pembelajaran berbasis masalah 1)
realistic, 2) konsep yang sesuai, 3) memupuk inquiry, 4) memupuk kemampuan problem
solving, selain itu terdapat pula kekuranganya 1) persiapan pemebelajaran yang kompleks, 2)
sulit mencari permasalahan yang rekevan, 3) terjadi salah konsep, 4) waktu yang panjang.
C. Hasil dan Pembahasan
1. Hasil Penelitian Tabel 1.1
Rekapitulasi Hasil Penelitian Kemampuan Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
Pretes % Postes % Gain Pretes % Postes % Gain
Pemahaman
Matematik
7.83 30.05 17.58 69.95 0.79 5.17 29.10 14.28 61.40 0.64
s 1.45 2.23 0.17 1.34 2.87 0.13
SMI 20 1 20 1
Resiliansi
77.83 67 72.48 63
s 9.72 9.22
SMI 120 120
Terlihat pada Tabel 1.1 rata-rata skor pretes kemampuan pemahaman matematik kelompok
eksperimen 7.83 dan kelompok kontrol 5.17. Dari kedua skor tersebut terlihat bahwa selisih
rata-rata antara kedua kelompok tersebut adalah 2.66 yang artinya rata-rata skor kemampuan
pemahaman matematik kedua kelas tidak jauh berbeda. Simpangan baku rata-rata pretes
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
46 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
kemampuan pemahaman matematis kelompok eksperimen 1.45 sedangkan kelompok kontrol
1.34. Selisih simpangan baku antara kedua kelompok tersebut adalah 0,11 yang berarti
kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol memiliki sebaran data yang relatif sama.
Dilihat dari persentase rataan skor pretes kemampuan pemahaman matematis kelompok
eksperimen 30.05% dan kelompok kontrol 29.10%, yang artinya persentase kemampuan
pemahaman matematik kelompok eksperimen sedikit lebih tinggi daripada kelompok
kontrol.
Selanjutnya rata-rata nilai postes kemampuan kreatif matematis kelompok eksperimen
adalah 17.58 dan kelompok konrol 14.28 menunjukkan selisih 3.30 yang berarti ada
perbedaan antara rata-rata kemampuan pemahaman matematik kedua kelompok tersebut
setelah diberi perlakuan. Dilihat dari simpangan baku rata-rata postes kemampuan kreatif
matematis kelompok eksperimen 2.23sedangkan kelompok kontrol 2.87 berarti sebaran data
kelompok kontrol lebih besar daripada kelompok eksperimen. Setelah diberi perlakuan,
persentase rataan skor postes kemampuan kreatif matematis siswa kelas eksperimen dan
kelas kontrol masing-masing menjadi 69.95% dan 61.40% yang artinya persentase
kemampuan pemahaman matematik kelompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan
persentase kelompok kontrol
Tabel 1.2
Analsis Data Pretes Kemampuan Pemahaman Matematik
Kelas
St.
Dev
Normalitas
Tes
Uji Mann
Whitney Kesimpulan
Eksperimen 7.83 1.45 0.049 0.875
Tidak terdapat
perbedaan Kontrol 5.17 1.34 0.200
Berdasarkan tabel 1.2, diperoleh sig dari uji nomalitas adalah untuk kelas eksperimen
0.049 < 0.05 dan kelas kontrol adalah 0.200 > 0.05 kedua data berbeda atau tidak
normal, sehingga dilanjutkan dengan uji mann whitney data pretes kelompok
eksperimen dan kontrol menunjukkan nilai 0.875 > 0.05, sehingga terima H0 dengan
kata lain tidak terdapat perbedaan kemampuan awal pemahaman matematik siswa
yang yang mendapat pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang
menggunakan pmebelajaran biasa.
Tabel 1.3
Analisis data Postes Kemampuan Pemahaman Matematik
Kelas
St.
Dev
Normalitas
Tes
Uji Mann
Whitney Kesimpulan
Eksperimen 17.58 2.23 0.035 0.037
Tidak terdapat
perbedaan Kontrol 14.28 2.87 0.200
Berdasarkan tabel 1.3, diperoleh sig dari uji nomalitas adalah untuk kelas eksperimen
0.035 < 0.05 dan kelas kontrol adalah 0.200 kedua data berbeda atau tidak normal,
sehingga dilanjutkan dengan uji mann whitney data pretes kelompok eksperimen dan
kontrol menunjukkan nilai 0.037 < 0.05, sehingga tolak H0 dengan kata lain
pencapaian kemampuan pemahaman matematik siswa yang mendapat pembelajaran
berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran biasa.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 47
Tabel 1.4
Analisis data Gain Kemampuan Pemahaman Matematik
Kelas
St.
Dev
Normalitas
Tes
Homogenitas
Varians
Uji t Kesimpulan
Eksperimen 0.79 0.17 0.200 0.225 0.008 H0 ditolak
Kontrol 0.64 0.13 0.200
Berdasarkan tabel 1.4, diperoleh sig dari uji nomalitas adalah untuk kelas eksperimen
0.200 > 0.05 dan kelas kontrol adalah 0.200 > 0.05 kedua data berdistribusi normal,
sehingga dilanjutkan dengan homogenitas varians diperoleh sig 0.225 > 0.05
sehingga kedua data homogeny, selanjutnya dilakukan uji t diperoleh sig 0.008 <
0.05 sehingga H0 ditolak maka peningkatan kemampuan pemahaman matematik
siswa yang mendapat pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang
mendapat pembelajaran biasa.
Tabel 1.5
Asosiasi Kemampuan Pemahaman dengan Resiliansi Metematik
Kemampuan Resiliansi
Total Tinggi Sedang Rendah
Pemahaman Tinggi 5 14 0 19
Sedang 0 8 5 13
Rendah 0 0 4 4 Total 5 22 9 36
Berdasarkan Tabel 1.5 kemampuan resiliansi matematika berpengaruh terhadap kemampuan
pemahaman matematik, hal tersebut ditunjukan tidak terdapat siswa kemampuan rendah
tehadap pembelajaran termasuk kedalam kategori sedang kemampuan pemahaman
matematik, dan kemampuan resiliansi matematik brepengaruh terhadap kemampuan
pemahaman matematik tinggi hal ini ditunjukan dengan banyaknya siswa yang mempunyai
kemampuan resiliansi tinggi pada kemampuan pemahaman, dan hanya sedikit siswa dengan
kemampuan pemahaman rendah yang memiliki resiliansi matematik.
Tabel 1.6
Hasil Uji Chi-Squere Kemampuan Pemahaman dan Resiliansi Matematik
Statistic Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 16.702a 4 .001
Likelihood Ratio 15.589 4 .002
Linear-by-Linear Association 11.461 1 .000
N of Valid Cases 36
Tabel 1.7
Hasil Uji Koefisien Kontingensi Kemampuan Pemahaman dan Resiliansi Matematik Statistic Value Approx. Sig.
Nominal by Nominal Contingency Coefficient .534 .001
N of Valid Cases 36
Dari hasil analisis diatas, karena nilai Sig.Chi square = 0.001 < 0.05 maka tolak H0 atau
terima H1 dengan kata lain Terdapat asosiasi antara kemampuan pemahaman matematik
dengan kemampuan resiliansi matematik. Adapun ukuran aosiasi kemampuan pemahaman
dan resiliansi matematik sebesar 0.534 dengan interpretasi cukup kuat.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
48 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
2. Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah apakah pencapaian dan peningkatan pemahaman
matematik siswa yang pembelajarannya berbasis masalah lebih baik daripada cara
biasa, apakah ada asosiasi antara kemampuan pemahaman matematik dengan resiliansi
matematik siswa SMA.
Berdasarkan hasil pengolahan data pretes di bagian terdahulu diperoleh kesimpulan bahwa
kemampuan awal pemahaman matematik siswa tidak memiliki perbedaan secara signifikan.
Kualifikasi rerata pretes kemampuan pemahaman matematik kedua sampel pada kategori
kurang, karena peresntase rerata dari skor ideal masing-masing sampel kurang dari 60%.
Setelah diberikan perlakuan pembelajaran yang berbeda kepada masing-masing sampel, hasil
postes menunjukan perbedaan yang signifikan antara kedua sampel. Pencapaian kemampuan
pemahaman matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran berbasis
masalah berdasarkan kualifikasi rerata skor postes berada pada kategori baik, sedangkan
pada siswa yang pembelajarannya menggunakan cara biasa berada pada kategori cukup.
Peningkatan kemampuan pemahaman matematik kedua sampel berdasarkan gain
ternormalisasi yang diformulasikan oleh Meltzer (Noer, 2007:14) masing-masing
peningkatan berada kategori sedang. Meskipun kegori peningkatan kemampuan pemahaman
matematik setelah dilakukan pengujian perbedaan rerata gain ternormalisasi kemampuan
pemahaman matematik siswa pada kedua sampel tersebut menunjukan perbedaan secara
signifikan.
Hasil pengujian perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman matematik kedua sampel,
diperoleh kesimpulan bahwa : peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa yang
pembelajarannya menggunakan pembelajaran biasa lebih baik daripada siswa yang
pembelajarannya menggunakan cara biasa.
Menurut Hiebert, dkk (Herman, 2006:53) bukti menunjukkan jika siswa belajar dengan
mengingat dan latihan prosedural, mereka akan kesulitan dalam memperoleh pemahaman
konsep-konsep metematika secara mendalam.
Hasil analisis menunjukan adanya asosiasi yang signifikan antara: kemampuan pemahaman
matematik dengan resiliansi matematik, serta hasil analisis menunjukan adanya asosiasi yang
signifikan antara: kemampuan pemahaman matematik dengan resiliansi matematik, terhadap
pembelajaran matematika menggunakan pembelajaran berbasis masalah memperlihatkan
tanggapan yang tinggi.
Berdasarkan hasil analisis terhadap hipotesis, resiliansi matematik siswa selama proses
pembelajaran menunjukan terdapat perubahan ke arah yang lebih baik dalam hal kemampuan
pemahaman matematik setelah siswa mendapatkan pembelajaran dengan menggunakan
pembelajaran berbasis masalah
Pencapaian dan peneningkatan kemampuan pemahaman matematik dan resiliansi matematik
siswa SMA yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran biasa lebih baik daripada
siswa yang pembelajarannya menggunakan cara biasa. Terdapat asosiasi antara kemampuan
pemahaman matematik dengan resiliansi matematik
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 49
Daftar Pustaka
Ahmad. (2005). Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SLTP
dengan Model Pembelajaran Berbasis Masalah. Bandung: Tidak diterbitkan
Hendriana, H. (2009). Pembelajaran dengan Metaphorical Thinking untuk Meningkatkan
Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Menengah
Pertama. Disertasi UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan
Herman, T. (2006). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan
Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Disertasi pada PPS Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung: Tidak Diterbitkan.
Johnston-Wilder, S., & Lee, C. (2010). Mathematical Resilience. Mathematics Teaching,
218, 38-41.
Noer, S. H. (2007). Pembelajaran Open-ended untuk Meningkatkan Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematik dan Kemampuan Berpikir Kreatif. (studi eksperimen
pada salah satu siswa SMPN Bandar Lampung). Tesis pada SPS UPI Bandung: tidak
diterbitkan
Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung:
Tasiro.
Sumarmo, U. (2012). Bahan Belajar Mata Kuliah Proses Berfikir Matematik. Bandung:
Tidak diterbitkan.
Sumarmo U. (2016). Resiliansi Matematik. Tersedia : http://utari sumarmo.dosen.
stkipsiliwangi. ac.id /e-learning/materi-perkuliahan/[diunduh tanggal 20 september
2016]
Trianto. (2007). Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta :
Prestasi Pustaka
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
50 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK
SISWA SMP DENGAN PENDEKATAN METAPHORICAL
THINKING
M. Afrilianto1, Tina Rosyana
2
[email protected], [email protected]
STKIP Siliwangi Bandung
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah peningkatan kemampuan komunikasi
matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metaphorical
thinking dibandingkan dengan yang memperoleh pembelajaran biasa. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Populasi dalam
penelitian ini yaitu seluruh siswa SMP di Kabupaten Bandung Barat. Sampelnya
diambil dua kelas VII dari salah satu SMP di Batujajar Kabupaten Bandung Barat.
Satu kelas sebagai kelas eksperimen dan satu kelas lagi sebagai kelas kontrol.
Instrumen penelitian ini yaitu tes kemampuan komunikasi matematik berbentuk
uraian. Pengolahan data untuk uji perbedaan dua rata-rata menggunakan uji-t.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematik siswa
yang memperoleh pembelajaran dengan metaphorical thinking lebih baik daripada
yang memperoleh pembelajaran biasa.
Kata Kunci: Komunikasi Matematik, Pendekatan Metaphorical Thinking.
A. Pendahuluan
Pengalaman mempelajari matematika sangat penting dimiliki siswa. Menurut Sumarmo
(2015:75), matematika memiliki beberapa karakteristik bergantung pada cara pandang orang
yang melaksanakannya. Karakteristik matematikia sebagai suatu kegiatan manusia yang
dikenal dengan sebutan “mathematics as a human activity”.
Berdasarkan NCTM dan KTSP (Hendriana dan Sumarmo, 2014:29) komunikasi matematik
merupakan kemampuan matematik esensial yang tercantum dalam kurikulum matematika
sekolah menengah. Komponen tujuan pembelajaran matematika tersebut antara lain: dapat
mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau ekspresi matematik untuk
memperjelas keadaan atau masalah, dan memiliki sikap menghargai kegunaan matematika
dalam kehidupan, sikap rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalm mempelajari matematika,
serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Dari uraian di atas, terdapat satu hal yang menekankan siswa untuk mengkomunikasikan
masalah matematik. Komunikasi itu sendiri merupakan cara berbagai ide dan memperjelas
pemahaman. Proses komunikasi juga membantu membangun makna dan mempermanenkan
ide dan proses komunikasi juga dapat mempublikasikan ide. Namun saat ini kenyataan di
lapangan masih belum sesuai. Hasil survey Programme for International Student Assessment
(PISA) pada tahun 2012 menyatakan bahwa matematika siswa Indonesia berada pada
peringkat 64 dari 65 negara (OECD, 2013). Sebagai alternatif untuk mengatasi rendahnya
kemampuan komunikasi matematik siswa khususnya pada jenjang SMP yaitu dengan
menggunakan pendekatan metaphorical thinking.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 51
Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu apakah peningkatan kemampuan komunikasi
matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metaphorical thinking
lebih baik daripada yang memperoleh pembelajaran biasa?
B. Kajian Teori dan Metode
1. Komunikasi Matematik
Sumarmo (2015:453) mengidentifikasi indikator komunikasi matematik yang meliputi
kemampuan: a) Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide
matematika; b) Menjelaskan ide, situasi dan relasi matematik, secara lisan dan tulisan
dengan benda nyata, gambar, grafik dan aljabar; c) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam
bahasa atau simbol matematika; d) Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang
matematika; e) Membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika; f) Menyusun
konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi dan generalisasi; g) Mengungkapkan
kembali suatu uraian atau paragrap matematika dalam bahasa sendiri.
2. Pendekatan Metaphorical Thinking
Pendekatan metaphorical thinking merupakan pendekatan pembelajaran untuk memahami,
menjelaskan dan mengkomunikasikan konsep-konsep abstrak menjadi hal yang lebih konkrit
dengan membandingkan dua hal atau lebih yang berbeda makna baik yang berhubungan
maupun yang tidak berhubungan (Afrilianto, 2012).
Prosedur pembelajaran melalui pendekatan metaphorical thinking menurut Afrilianto (2012)
yaitu dengan menyajikan pembelajaran dalam tahap-tahap sebagai berikut:
1) Tahap pertama, kegiatan awal
Pada tahap ini, guru menjelaskan tujuan pembelajaran yang harus dicapai oleh siswa
dan materi yang akan dipelajari, memberi motivasi kepada siswa, melakukan apersepsi
dan mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok yang heterogen. Setiap kelompok
terdiri dari 4 sampai 5 siswa.
2) Tahap kedua, kegiatan inti
Pada tahap ini, guru memberikan materi pengantar sesuai pokok bahasan yang akan
diajarkan, memberi contoh memetaforakan masalah matematika, memberi kesempatan
kepada siswa dalam kelompok untuk mencari dan memikirkan metafora lain, dan
membagikan LKS. Pada saat siswa berdiskusi dalam kelompoknya, guru berkeliling dan
memberikan bimbingan. Selanjutnya, siswa diberikan kesempatan untuk
menyampaikan hasil diskusi kelompok berupa jawaban soal latihan dan metafora yang
tepat untuk menggambarkan masalah matematika yang ada.
3) Tahap ketiga, kegiatan penutup
Pada tahap ini, bersama-sama membuat rangkuman hasil diskusi. Guru memberikan
evaluasi menyeluruh terhadap hasil kegiatan siswa. Selanjutnya, siswa diberikan
kesempatan untuk memberikan penjelasan tentang materi yang sudah dipelajari.
Penjelasan dilengkapi dengan metafora yang tepat. Kemudian guru bersama siswa
membuat kesimpulan dan melakukan refleksi. Langkah terakhir adalah guru
memberikan PR untuk dapat dikerjakan siswa.
C. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Populasi dalam
penelitian ini yaitu seluruh siswa SMP di Kabupaten Bandung Barat, sedangkan sampelnya
diambil dua kelas VII dari salah satu SMP di Batujajar Kabupaten Bandung Barat pada
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
52 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
semester ganjil Tahun Ajaran 2015/2016. Satu kelas sebagai kelas eksperimen dan satu kelas
lagi sebagai kelas kontrol. Instrumen dalam penelitian ini yaitu tes kemampuan komunikasi
matematik berbentuk uraian
D. Hasil Penelitian
Berikut ini data deskriptif hasil penelitian sebelum dan setelah pembelajaran disajikan dalam
tabel rekapitulasi berikut ini.
Tabel 1.
Statistik Deskriptif
Kelas Tes Stat. Kemampuan Komunikasi
Matematik
Eksperimen
(KPMT)
Pretes
3,84
s 2,59
Postes
10,42
s 2,28
Gain
0,32
s 0,16
Kontrol
(KPB)
Pretes
2,55
s 1,89
Postes
7,72
s 2,73
Gain
0,23
s 0,15
Dari data desktiptif di atas, kemudian data diolah secara statistik inferensial untuk
mengetahui peningkatan kemampuannya. Uji statistik menggunakan uji-t, dengan hipotesis:
H0 ( ): Peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa KPMT tidak lebih
baik atau sama dengan KPB.
H1 ( ): peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa KPMT lebih baik
daripada KPB.
Dengan menggunakan taraf signifikan maka kriteria pengujiannya:
Jika P-value maka HO diterima, Ha ditolak.
Jika P-Value < maka HO ditolak, Ha diterima.
Berdasarkan hasil uji perbedaan dua rata-rata menggunakan uji-t diperoleh:
Tabel 2.
Hasil Uji Perbedaan Rataan Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematik
Komunikasi Matematik
P-Value (hasil uji
satu pihak) 0,012
H0 Tolak
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 53
Pada Tabel 2 H0 ditolak, sehingga hipotesis alternatif (Ha) diterima. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan pendekatan metaphorical thinking lebih baik daripada yang
memperoleh pembelajaran biasa
E. Kesimpulan
Penelitian ini menyimpulkan bahwa peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa
yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metaphorical thinking lebih baik
daripada yang memperoleh pembelajaran biasa.
Diharapkan pendekatan metaphorical thinking dapat digunakan sebagai salah satu
alternatif pendekatan pembelajaran untuk diimplementasikan dalam pengembangan
pembelajaran matematika di kelas, terutama untuk meningkatkan kemampuan matematik.
Daftar Pustaka
Afrilianto, M. (2012). Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Metaphorical Thinking
untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Kompetensi Strategis Matematis Siswa
SMP. Tesis UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Hendriana, H., dan Sumarmo, U. (2014). Penilaian Pembelajaran Matematika. Bandung:
Refika Aditama.
OECD. (2013). PISA: Snapshot of Performance in Mathematics, Reading and Science
(Online). Tersedia: http://www.oecd.org/pisa/keyfindings/PISA-2012-results-snapshot-
Volume-I-ENG.pdf. (Diakses 1 Desember 2016).
Sumarmo, U. (2015). Berpikir dan Disposisi Matematik serta Pembelajarannya.
Kumpulan Makalah. UPI. Bandung: Tidak diterbitkan
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
54 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
PEMBELAJARAN BILANGAN DESIMAL MENGGUNAKAN
KONTEKS PENGUKURAN DI KELAS V
Ari Puspita Rahayu 1, Ratu Ilma Indra Putri
2, Darmawijoyo
2
1Mahasiswa Magister Pendidikan Matematika PPs Universitas Sriwijaya
2Dosen Magister Pendidikan Matematika PPs Universitas Sriwijaya
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menghasilkan lintasan belajar pembelajaran bilangan desimal.
Subjek penelitian adalah kelas V SD Negeri 141 Palembang sebanyak 38 siswa.
Pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah Pendidikan Matematika Realistik
Indonesia (PMRI). Metode penelitian yang digunakan yaitu design research, dugaan
lintasan belajar (Hypothetical Learning Trajectory) dikembangkan dari serangkaian
aktivitas pembelajaran menggunakan konteks pengukuran. Pelaksanaan penelitian ini
dilakukan dalam 3 tahap yakni merancang aktivitas pembelajaran (preparing for
experiment), melaksanakan pembelajaran (the design experiment), dan melakukan
analisis retrospektif (retrospective analysis) dalam rangka memberi kontribusi
terhadap teori pembelajaran lokal (Local Instruction Theory) untuk mendukung siswa
dalam mempelajari bilangan desimal. Data dikumpulkan melalui dokumentasi video,
hasil kerja siswa (Lembar Aktivitas Siswa, tes awal dan tes akhir) dan wawancara.
Hypothetical Learning Trajectory (HLT) yang telah dirancang kemudian
dibandingkan dengan Actual Learning Trajectory (ALT) siswa yang sebenarnya
selama pelaksanaan pembelajaran untuk menganalisis apakah siswa belajar atau tidak
dari apa yang telah dirancang di rangkaian pembelajaran. Analisis retrospektif
terhadap pelaksanaan pembelajaran menunjukkan bahwa penggunaan konteks
pengukuran dapat membantu siswa dalam memahami bilangan desimal.
Kata Kunci: Pendekatan PMRI, bilangan desimal, pengukuran.
1. Pendahuluan
Bilangan desimal merupakan cara lain melambangkan pecahan dan juga merupakan
perpanjangan sistem nilai tempat. Hal ini berdasarkan pernyataan CTE Resource Center
(2002) bahwa bilangan desimal termasuk bagian terpenting dari bilangan rasional dan sangat
bermanfaat dalam berbagai macam aturan pengukuran, seperti pengukuran menggunakan
sistem metrik, persen dan uang.Di Sekolah Dasar, bilangan desimal masih dirasakan sulit
seperti yang dinyatakan oleh Galen, Feijs, Figueiredo, Gravemeijer, Herpen, & Keijzer
(2008) dalam bukunya bahwa “the fact that the topics-fractions, percentages, decimals and
ratios-are some of the most difficult parts of the primary school curriculum”. Pernyataan
tersebut didukung oleh Sembiring, Hadi, & Dolk (2008) yang menyatakan bahwa
pembelajaran bilangan desimal telah lama menjadi problema di banyak negara seperti
diketahui banyak siswa harus bersusah payah menyelesaikan perhitungan yang melibatkan
pecahan.
Menurut National Math + Science Initiative (2013) beberapa kesalahan umum pada konsep
pembelajaran bilangan desimal antara lain siswa kurang memahami hubungan antara
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 55
pecahan dan bilangan desimal juga siswa tidak memahami konsep nilai tempat sehingga
berdampak ketika siswa membandingkan dan mengurutkan bilangan desimal mereka
menganggap bahwa 0,19 lebih dari 0,2 karena kesalahan dalam menerapkan nilai tempat
bilangan bulat ke bilangan desimal. Kesulitan dalam memahami nilai tempat tersebut akan
mempengaruhi pemahaman siswa tentang operasi hitung bilangan desimal, terutama operasi
hitung pengurangan bilangan desimal yang akan dibahas dalam penelitian ini. Seperti yang
dinyatakan oleh Mistutik (2009) bahwa materi bilangan desimal sulit dipahami karena siswa
belum menguasai teknik meminjam pada pengurangan dan belum mampu mengubah
pecahan biasa menjadi pecahan bilangan desimal. Kemudian dalam penelitian Standiford,
Klein, & Tatsuoka (1982) menjelaskan bahwa, permasalahan pada pengurangan desimal
tersebut yaitu siswa mengurangkan ke bawah dengan menulis angka rata kanan, lalu
menempatkan tanda koma tidak selaras. Selanjutnya siswa menghilangkan tanda koma dan
juga siswa menggunakan "aturan perkalian" untuk menempatkan tanda koma tersebut.
Permasalahan yang terjadi pada penyelesaian operasi pengurangan desimal tersebut dapat
diatasi dengan konteks yang dikenal dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Irwin (2001)
bahwa siswa yang mengerjakan masalah bilangan desimal dengan konteks yang dikenalnya
sehari-hari, pengetahuannya lebih meningkat secara signifikan dibandingkan siswa yang
mengerjakan masalah bilangan desimal non kontekstual. Pembelajaran yang
menghubungkan antara konsep matematika dengan pengalaman siswa sehari-hari merupakan
penekanan pembelajaran yang menggunakan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik
Indonesia (PMRI). Pernyataan tersebut didukung oleh Putri (2011) bahwa PMRI dapat
menggiring siswa memahami konsep matematika dengan mengkonstruksi sendiri melalui
pengetahuan sebelumnya yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari seperti situasi
“real”.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Pramudiani, Zulkardi, Hartono, & Amerom
(2011)menjelaskan bahwa kegiatan pengukuran dapat mendukung pemahaman siswa
terhadap bilangan desimal, yang kemudian memancing pemikiran siswa terhadap ide
penggunaan garis bilangan sebagai model untuk menempatkan besaran bilangan desimal.
Maka dari itu direkomendasikan menggunakan PMRI karena sangat cocok untuk diterapkan
sebagai pendekatan dalam belajar bilangan desimal. Selanjutnya (Afriansyah, 2013) meneliti
di MIN 1 Palembang dengan topik operasi penjumlahan bilangan desimal menemukan
bahwa serangkaian kegiatan pembelajaran membangun pemahaman siswa pada sifat operasi
penjumlahan bilangan desimal melalui penerapan konsep nilai tempat bilangan desimal
dapat membawa siswa dari situasi kontekstual menuju situasi yang lebih formal. Siswa tidak
lagi berpikir sistem bilangan bulat ketika mengerjakan soal bilangan desimal. Mereka dapat
mengerjakan berbagai soal kontekstual dengan disertai alasan. Lintasan pembelajaran pada
penelitian yang menggunakan PMRI sebagai dasar pada desain dari seluruh konteks dan
kegiatan tersebut, berjalan dengan baik sehingga pantas untuk digunakan pada pembelajaran
di sekolah.
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, penelitian bertujuan untuk
menghasilkan lintasan belajar siswa dalam pembelajaran bilangan desimal menggunakan
konteks pengukuran di kelas V.
2. Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode design research yang
bertujuan untuk membuktikan teori-teori pembelajaran dan mengembangkan Local
Instructional Theory (LIT) dengan kerjasama peneliti dan guru untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran(Gravemeijer & Cobb, 2006).Menurut Gravemeijer & Cobb (2006), design
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
56 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
research terdiri dari 3 tahap yaitu (1) preparing for the experiment, (2) the design
experiment, dan (3) retrospective analysis.
Pada tahap preparing for the experiment (persiapan penelitian), peneliti melakukan kajian
literatur mengenai bilangan desimal dan penggunaan PMRI sebagai pendekatan
pembelajaran. Selain itu, peneliti juga meneliti kemampuan awal siswa dengan melakukan
wawancara kepada beberapa siswa sebagai pengetahuan awal mengenai prasyarat
pembelajaran. Hasilnya digunakan untuk mendesain serangkaian aktivitas pembelajaran
yang berisi dugaan lintasan belajar (Hypothetical Learning Trajectory). HLT yang didesain
bersifat dinamis sehingga terbentuk sebuah proses siklik (cyclic process) yang dapat berubah
dan berkembang selama proses teaching experiment.
Tahap keduathe design experiment (desain percobaan) yang terdiri dari dua siklus yakni
siklus 1 (pilot experiment) dan siklus 2 (teaching experiment). Enam orang siswa dengan
kemampuan bernalar heterogen (2 siswa berkemampuan tinggi, 2 siswa berkemampuan
sedang, 2 siswa berkemampuan rendah) dilibatkan pada siklus pertama (pilot experiment),
disini peneliti berperan sebagai guru. Hasil dari siklus pertama digunakan untuk merevisi
HLT versi awal untuk satu kelas berpartisipasi dalam siklus kedua (teaching experiment).
Pada siklus kedua oleh guru mereka sendiri sebagai guru model (pengajar) dan peneliti
bertindak sebagai observer pada aktivitas pembelajaran.
Tahap ketiga retrospective analysis, data yang diperoleh dari tahap teaching experiment
dianalisis digunakan untuk mengembangkan desain pada aktivitas pembelajaran berikutnya.
HLT dibandingkan dengan aktivitas pembelajaran siswa sesungguhnya (Actual Learning
Trajectory) untuk menjawab rumusan masalah penelitian. Tujuan dari retrospective analysis
secara umum adalah untuk mengembangkan Local Instructional Theory (LIT).
Pengumpulan data dilakukan melalui beberapa hal meliputi observasi, membuat rekaman
video tentang kejadian di kelas dan kerja kelompok, mengumulkan hasil kerja siswa,
memberikan tes awal dan tes akhir, dan mewawancarai siswa. HLT yang telah dirancang
kemudian dibandingkan dengan lintasan belajar siswa yang sebenarnya selama peaksanaaan
pembelajaran untuk dilakukan analisis secara retrospektif apakah siswa belajar atau tidak
dari apa yang telah dirancang di rangkaian pembelajaran. Analisis data diikuti oleh peneliti
beserta pembimbing untuk meningkatkan vvaliditas dan reliabilitas. Validitas dilakukan
untuk melihat kualitas sekumpulan data yang berpengaruh pada penatikan kesimpulan dari
penelitian ini. Reliabilitas menggambarkan penelitian yang dilakukan sehingga suatu
kesimpulan dapat diambil.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Hasil
Pembelajaran ini didesain untuk menghasilkan lintasan belajar dalam pembelajaran bilangan
desimal dengan menggunakan konteks pengukuran. Untuk mengetahui kemampuan awal
peneliti memberikan tes awal (pre test) untuk mengetahui kemampuan awal siswa. Hasil pre
test menunjukkan bahwa siswa kesulitan membedakan nilai tempat bilangan bulat dan nilai
tempat bilangan desimal serta kesulitan dalam mengurangkan bilangan desimal.
Setelah mengetahui kemampuan awal siswa dari hasil pre test dilakukanlah siklus 1 tahap
pilot experiment. Pada tahap ini 6 siswa (dibagi menjadi 2 kelompok, masing-masing
kelompok heterogen) berpartisipasi dan peneliti sebagai guru model. Sebelum
menyelesaikan masalah operasi pengurangan bilangan desimal, siswa harus mengetahui
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 57
unsur-unsur dari bilangan desimal sehingga pada pertemuan pertama siswa diberikan
masalah seputar nilai tempat bilangan desimal. Berikut permasalahan pertama dapat dilihat
pada gambar 1.
Gambar 1. Menuliskan data berkaitan dengan kehidupan sehari-hari
Gambar 1 merupakan permasalahan pertama yang diberikan. Ada bermacam-macam benda
yang ada di lingkungan sekitar kita. Pada permasalahan ini, peneliti meminta siswa
mengukur panjang dan memperkirakan lama waktu. Untuk permasalahan ini peneliti
membuat dugaan jawaban siswa, yakni:
Siswa mengukur panjang benda dan memperkirakan lama waktu.
Siswa menuliskan dalam bilangan bulat, kemudian menuliskannya dalam bilangan
desimal.
Untuk mengetahui strategi yang digunakan siswa dalam menyelesaikan paermasalahan yang
diberikan, peneliti sebagai guru mewawancarai siswa.
01 Guru : Bagaimana kelompok elsa, penyelesaiannya?
02 Siswa 1
Siswa 2
:
:
Aku ukur pengapus dulu yo. 3 cm panjangnyo. Nulisnyo cakmano?
(bertanya pada teman sekelompoknya)
Kan kalo ado lebihnyo pake koma nulisnyo. Ini katek lebihnyo kan. Pas
3 cm. Berarti kan nak nulis desimal, tulis be 3,0.
03 Guru : Coba ditulis yang kalian diskusikan.
04 Siswa 2
Siswa 3
Siswa 1
:
:
:
(mengukur buku gambar) ini 29 cm lebih 5 garis kecik. berarti cakmano
yo tulis 29,5 kan.
Nah kalo lamo istirahat kito kan setengah jam. Cakmano nulisnyo?
(bertanya pada teman sekelompoknya)
Setengah kan satu per duo biar jadi desimal jadi 5/10. 0,5 jam kalu ye
dak? (bertanya pada teman sekelompoknya)
Iyo kan setengah tu 0,5.
Lanjut lama belajar di rumah. Aku Cuma sejam. Tulis 1,0 ye.
05 Guru : Apakah ada kesulitan?
06 Siswa 1
Siswa 2
:
:
Caknyo katek buk kesulitan. Biso kami jawabnyo buk.
Terakhir lama tidur 8 jam setengah. Tulis 8,5 jam.
Oke dak? (bertanya pada teman sekelompoknya)
Oke okeee
Transkrip Percakapan 1. Kelompok Elsa
Berdasarkan Transkrip Percakapan 1 terlihat kelompok elsa sudah bisa memberikan alasan
dalam menjawab pertanyaan. Dalam soal pertama ini, siswa berdiskusi mengenai dari
bilangan bulat ke bilangan desimal.Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
58 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Gambar 2. Jawaban siswa permasalahan pertama
Permasalahan kedua, siswa dihadapkan pada konteks isian pensil mekanik. Pada soal tesebut
terdapat dua pilihan isian pensil mekanik yakni 0,5 mm dan 0,7 mm. Pertama siswa diminta
membuat gambaran bagaimana ukuran 0,5 dan 0,7 tersebut. Kemudian siswa menentukan
mana yang lebih tebal hasil tulisannya, agar masalah terselesaikan. Untuk permasalahan
kedua peneliti telah membuat dugaan jawaban siswa, yakni:
Siswamengkonversikan bilangan desimal ke pecahan
Siswa mengaplikasikan pecahan ke strip basis sepuluh yang telah disediakan
Berikut hasil jawaban siswa dalam menyelesaikan jawaban kedua.
Gambar 3. Jawaban Siswa pada Permasalahan Kedua
Adapun jawaban siswa pada kelompok bunga melati pada Transkrip Percakapan 2 di bawah
ini.
07 Guru : Bagaimana kelompok bunga elsa, penyelesaiannya?
08 Siswa : 0,5 dan 0,7 pilih isi yang mano ye buk?
09 Guru : Iya. Bagaimana langkah awalnya untuk membandingkan kedua bilangan
itu?
10 Siswa 1
Siswa 2
Siswa 3
:
:
:
0,5 tu samo dengan berapo ye?
Jadike pecahan dulu berapo itu? 5/10 dak? (bertanya pada teman
sekelompoknya)
Iyo 5/10 trus cakmano?
11 Guru : Itu kotak yang tersedia ada berapa?
12 Siswa : Ado... (menghitung) 100 kotak buk. Nah iyo berarti gek jadike per
seratus jugo.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 59
13 Guru : Coba dibuat.
14 Siswa 1
Siswa 2
:
:
5/10 = 50 /100. Arsir kan biar biso kejingok‟an mano banyak 0,5 atau
0,7. Berarti gek yg 0,7 jugo diarsir.
Iyo gek aku be gantian yg arsir.
Transkrip percakapan 2. Kelompok Elsa
Dari transkrip percakapan 2 diatas dapat dilihat bahwa dari diskusi siswa, siswa sudah
mengerti akan maksud dari soal dan bagaimana cara menyelesaikannya. Siswa sudah
mengerti 0,5 = 5/10 = 50/100. Juga 0,7 = 7/10 = 70/100. Sehingga siswa dapat
mengaplikasikannya pada strip basis sepuluh.
Permasalahan ketiga, siswa diminta menentukanjarak yang belum ditempuh. Diketahui jarak
keseluruhan yang harus ditempuh 2,4 km dan jarak yang telah ditempuh 1,8 km. Untuk
permasalahan ketiga peneliti telah membuat dugaan jawaban siswa, yakni:
Siswa memahami maksud dari soal
Siswamemperkirakan operasi hitung yang akan digunakan
Siswa mengaplikasikan pengurangn desimal pada strip basis sepuluh
Adapun percakapan antara siswa dan guru sebagai berikut.
15 Guru : Bagaimana kelompok melati, penyelesaiannya?
16 Siswa 1
Siswa 2
:
:
Ini kan kalo ke monumen 2,4 km. Trus lah jalan 1,8 km. Siso berapo
lagi, kan? Oy cakmano? (bertanya pada teman sekelompoknya)
Yo berarti dikurang ye dak.
17 Guru : Kalo ditanya sisa, biasanya bagaimana?
18 Siswa 3 : Dikurang, benerla. Kurangke ke bawah be. Cubo aku nulisnyo. (siswa
menulis pengurangan dengan jalan ke bawah)
19 Guru : Bagaimana cara mengurangkannya?
20 Siswa 2 : Kurangke bae buk. Dapetnyo 0,6.
21 Guru : Jadi kalo menggunakan kotak seratus itu, bagaimana?
22 Siswa : Nah untuk apo ini yo?
Transkrip Percakapan 3. Kelompok Melati
Transkrip Percakapan 3 di atas dapat dilihat bahwa kelompok melati sudah dapat memahami
maksud soal. Namun saat menentukan hasil pengurangan, mereka masih menggunakan cara
jalan ke bawah. Strip basis sepuluh yang tersedia belum dimanfaatkan. Berikut di bawah ini
jawaban dari kelompok melati.
Gambar 4. Jawaban siswa kelompok elsa pada permasalahan ketiga
Pada masalah pertama, kedua dan ketiga dapat dilihat bahwa siswa telah memahami
permasalahan pada operasi pengurangan dan pembelajaran bersesuaian dengan HLT yang
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
60 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
telah dirancang. Siswa sudah belajar untuk menyelesaikan permasalahan dengan konteks
pengukuran menggunakan strip basis 10 dan menyelesaikan pengurangan bilangan desimal.
Hasil penelitian pilot experiment yang didapatkan menunjukkan Actual Learning Trajectory
(ALT) yakni proses selama pembelajaran berlangsung bersesuaian dengan HLT yang telah
dirancang.
3.2 Pembahasan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi dalam mengembangkan
sebuah Local Instructional Theory (LIT) dengan mendesain serangkaian aktivitas
pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam memahami konsep operasi pengurangan
bilangan desimal.
Pembelajaran yang didesain berdasarkan prinsip-prinsip dan lima karakteristik PMRI, yakni
(a)use of contexts for phenomenologist exploration dalam mendesain pembelajaran ini
dipilih konteks yang dekat dengan siswa, (b)using models and symbols for progressive
mathematization penggunaan model dan simbol dalam menyelesaikan permasalahan
dilakukan siswa selama proses penyelesaian masalah, (c) using student own contributin and
production selama proses pembelajaan guru memberi kebebasan siswa dalam
mengungkapkan dan menjawab pertanyaan, dapat dlihat dari beragam jawaban siswa dalam
menyelesaikan permasalahan, (d) interactivity interaktivitas tidak terjadi antara guru dan
siswa tetapi juga dengan sesama siswa bentuk interaksi ini dapat berupa diskusi, memberika
penjelasan, komunikasi, koopratif dan evaluasi, (e) intertwining mathematics concept, aspect
and unit maksudnya adalah matematika yang diajarkan kepada siswa akan menjadi lebih
bermakna jika terkait dengan topik pembelajaran lainnya.
4. Simpulan dan Saran
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan dalam menyelesaikan permasalahan
operasi pengurangan bilangan desimal menggunakan konteks pengukuran, melalui aktivitas
yang dirancang dapat membantu siswa memperoleh pemahaman dari intuitifnya secara
informal menuju penyelesaian permasalahan secara formal. Siswa dapat memahami dan
menyelesaikan permasalahan.
Daftar Pustaka
Afriansyah, E. A. (2013). Design Research: Konsep Nilai Tempat pada operasi Penjumlahan
Bilangan Desimal di Kelas V Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Matematika, 7 (2),
13-23.
CTE Resource Center. (2002). Thinking Rationally aboutFractions, Decimals, and
Percent:Instructional Activities for Grades 4 through 8. Richmond, Virginia:
Virginia Department of Education.
Galen, F. v., Feijs, E., Figueiredo, N., Gravemeijer, K., Herpen, E. v., & Keijzer, R. (2008).
Fractions, Percentages, Decimals and Proportions; A LEARNING-TEACHING
TRAJECTORY FOR. Netherlands: Sense Publishers.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 61
Gravemeijer, K., & Cobb, P. (2006). Design research from a learning design perspective.
Dalam J. V. Akker, K. Gravemeijer, S. McKenny, & N. Nieveen, Educational
Design Research (hal. 17-51). London and New York: Routledge Taylor & Francis
Group.
Irwin, K. C. (2001). Using Everyday Knowledge of Decimals to Enhance Understanding.
Journal for Research in mathematics Education , 399-420.
Mistutik, S. M. (2009). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Konsep Pecahan Desimal
Melalui Penggunaan Blok Desimal Siswa Kelas V SDN Winongan Lor II. Malang:
Perpustakaan Digital Universitas Negeri Malang.
National Math + Science Initiative. (2013). Elementary Math. United States: Creative
Commons Attribution NonCommercial-NoDerivs.
Pramudiani, P., Zulkardi, Hartono, Y., & Amerom, B. v. (2011). A Concrete Situation For
Learning Decimals. IndoMS. J.M.E, 2 (2), 215-230.
Putri, R. I. (2011). Professional Development of Mathematics Primary School Teacher in
Indonesia Using Lesson Study and Realistic Mathematics Education Approach.
Lymasol, Cyprus: Proceeding of International Congress for school Effectiveness and
Improvement (ICSEI).
Sembiring, R. K., Hadi, S., & Dolk, M. (2008). Reforming mathematics learning in
Indonesian classrooms through RME. ZDM Mathematics Education , 927–939.
Standiford, S. N., Klein, M. F., & Tatsuoka, K. K. (1982). Decimal Fraction Arithmetic :
Logical Error Analysis and Its Validation
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
62 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
PENERAPAN PENDEKATAN BERBASIS MASALAH
TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN
DISPOSISI MATEMATIK SISWA SMA
Asep Ikin Sugandi
[email protected] STKIP Siliwangi Bandung
ABSTRAK
Artikel ini melaporkan hasil temuan suatu kuasi eksperimen dengan disain tes awal
dan akhir kelompok kontrol untuk menelaah penerapan pendekatan Berbasis Masalah
terhadap kemampuan pemecahan masalah dan diposisi matematik . Studi ini
melibatkan 78 siswa dari salah satu SMP sedang di kota Cimahi. Instrumen penelitian
terdiri dari satu set soal , yaitu satu set soal mengenai kemampaun pemecahan masalah
matematis dan satu set angket untuk menukur disposisi matematika . Penelitian ini
menemukan bahwa: (1) Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang
pembelajarannya menggunakan pendekatan berbasis masalah lebih baik dari pada
pembelajaran biasa secara (a) Keseuruhan (b) berdasarkan Tingkat Kemampuan Awal
Siswa (TKAS). (2) Disposisi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan
pendekatan berbasis masalah lebih baik dari pada pembelajaran biasa secara secara (a)
keseluruhan (b) TKAS (3) Terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan
TKAS terhadap kemamapuan pemecahan masalah matematis (4) Terdapat interaksi
antara pendekatan pembelajaran dengan TKAS terhadap disposisi matematis (5)
Terdapat asosiasi antara kemampuan pemecahan masalah dan diposisi matematis pada
kelas yang pembelajarannya menggunakan pendekatan berbasis masalah.
Kata Kunci : Pemecahan masalah, disposisi matematik, pendekatan berbasis masalah
A. Pendahuluan
Kemampuan Pemecahan masalah dan disposisi matematis merupakan dua hal yang penting
dalam pendidikan matematika, dan perlu dilatihkan pada siswa dari mulai jenjang
pendidikan dasar sampai menengah. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
(Sumarmo, 2012 : 5) tujuan yang ingin dicapai melalui pembelajaran matematika adalah:
(1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam
pemecahan masalah; (2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan
pernyataan matematika; (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami
masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang
diperoleh; (4) mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah, dan (5) memiliki sikap menghargai kegunaan
matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam
mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Disamping itu kemampuan pemecahan masalah perlu dikembangkan. hal ini sesuai dengan
pendapat NCTM (2000) mengataan bahwa kemampuan pemecahan masalah merupakan
fokus dari pembelajaran matematika. Tidak saja kemampuan untuk untuk memecahkan
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 63
masalah menjadi alasan untuk mempelajari matematika, tetapi kemampuan pemecahan
masalah memberikan suatu konteks dimana konsep-konsep dan kecakapan-kecakapan dapat
dipelajari. Pentingnya kepemilikan kamampuan pemecahan masalah pada matematika
dikemukakan oleh Branca (Sumarmo, 2012 : 9) sebagai berikut : (1) kemampuan
penyelesaian masalah merupakan tujuan umum pengajaran matematika, bahkan sebagai
jantungnya matematika, (2) penyelesaian masalah meliputi metode, prosedur, strategi dalam
pemecahan masalah merupakan proses inti dan utama dalam kurikulum matematika, dan (3)
pemecahan masalah merupakan kemampuan dasar dalam belajar matematika. Demikian pula
Pentingnya kepemilikan kemampauan pemecahan masalah sejalan dengan pendapat Cooney
(2012 : 9) mengemukakan bahwa pemilikan kemampaun pemecahan masalah membantu
siswa berpikir analitik dalam mengambil keputusan dalam kehidupan sehari-hari dan mampu
membantu meningkatkan kemampaun berpikir kritis dalam menghadapi situasi baru.
Berdasarkan pendapat Branca tersebut, maka kita dapat memandang pemecahan masalah
dalam matematika sebagai suatu tujuan, proses dan kemampuan dasar. Adapun pemecahan
masalah dalam matematika sebagai tujuan berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan, 1)
mengapa matematika diajarkan? dan 2) apa tujuan pengajaran matematika tersebut? Jawaban
dari kedua pertanyaan tersebut dikemukakan oleh Sumarmo (1994 : 9) adalah karena
matematika merupakan bidang studi lain dan kehidupan sehari-hari yang berhubungan
dengan matematika; matematika sebagai alat untuk membangkitkan serta melatih
kemampuan pemecahan masalah.
Lebih lanjut Polya (Sumarmo. 2012 : 9) menyatakan bahwa pemecahan masalah adalah
sebagai suatu usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai suatu tujuan yang
tidak dengan bigitu saja segera dicapai. Lebih lanjut Polya menyatakan bahwa dalam
matematika terdapat dua macam masalah yaitu masalah untuk menemukan (problem to find)
dan masalah untuk membuktikan (problem to prove). Adapun kegiatan dalam pemecahan
masalah adalah :
(1) Memahami masalah (understanding the problem), hal ini meliputi : (a). apa yang
diketahui ? (b). apa yang ditanyakan ? (c). apakah kondisi permasalahan yang diberikan
cukup atau tidak cukup lengkap untuk mencari apa yang ditanyakan ?
(2) Membuat rencana pemecahan/merencanakan penyelesaian (devising a plan), hal ini
meliputi : (a). teori apa yang dapat digunakan dalam masalah ini ? (b). apakah harus
dicari unsur lain agar dapat memanfaatkan soal tadi atau menyatakan dalam bentuk lain
?
(3) Melakukan perhitungan (carrying out the plan), hal ini meliputi : (a). pelaksanaan
penyelesaian dengan cara memeriksa setiap langkah apakah sudah benar atau belum ?
(b). melakukan pembuktian bahwa langkah yang dipilih sudah benar.
(4) Memeriksa kembali hasil yang diperoleh (looking back), pada bagian ini lebih
ditekankan bagaimana cara memeriksa jawaban yang telah didapat
Namun kenyataan menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa-
siswa Indonesia masih rendah dan belum memuaskan. Terlihat dari rendahnya persentase
jawaban benar siswa-siswi SMP Indonesia dalam dua indikator hasil belajar internasional
yaitu Trends in International Mathematics and Science Study TIMSS (1999) dan 2003 serta
dalam Program for International Students Assessment (PISA) 2003 (OECD PISA, 2003).
Data yang diperoleh dari TIMSS, kelemahan siswa-siswi Indonesia terletak pada bagian
menyelesaikan soal-soal tidak rutin yang memerlukan justifikasi atau pembuktian,
pemecahan masalah yang memerlukan penalaran matematika, menemukan generalisasi atau
konjektur, dan menemukan hubungan antara data-data atau akta yang diberikan. Sedang dari
data yang diperoleh PISA, letak kelemahan siswa Indonesia yaitu dalam hal menyelesaikan
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
64 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
soal-soal yang difokuskan pada literature matematika yaitu berupa kemampuan siswa dalam
menggunakan matematika yang mereka pelajari untuk menyelesaikan persoalan dalam
kehidupan sehari-hari. Berdasarkan kedua fakta tersebut, kemampuan pemecahan masalah,
kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan reflektif siswa pada umumnya masih tergolong
rendah.
Disamping itu pembelajaran matematika saat ini masih berpusat pada guru, guru sebagai
sumber informasi dan siswa sebagai penerima informasi, hal ini menyebabkan pembelajaran
terjadi hanya satu arah, yaitu dari guru ke siswa. Siswa tidak banyak diberi kesempatan
untuk berinteraksi dalam kegiatan belajar mengajar sehingga pembelajaran lebih beorientasi
pada hasil dari pada beorientasi pada proses.
Selain aspek kognitif perlu juga dikembangkan aspek afektif yang disebut dengan disposisi
matematik yang mempunyai indikator sebagai berikut : (a) rasa percaya diri, (b) fleksibel,
(c) gigih, tekun mengerjakan tugas matematik, (d) berminat, rasa ingin tahu dan daya temu
dalam melakukan tugas matematik, (e) memonitor, merefleksikan penampilan dan penalaran
sendiri, (f) bergairah dan perhatian serius dalam belajar matematik, (g) mengaplikasikan
matematika ke situasi lain, (h) mengapresiasi peran matematika, (i) berekpek dan
metakognisi, (j) berbagi pendapat dengan orang lain (Hendriana dan Sumarmo, 2014:97).
Dengan demikian disposisi matematik merupakan faktor penting dalam meningkatkan
kesuksesan pendidikan.
Mengingat matematika adalah ilmu yang terstruktur artinya untuk menguasai suatu konsep
matematika diperlukan penguasaan konsep dasar matematika lainnya, maka kemampuan
kognitif awal siswa yang dinyatakan dalam tingkat kemampuan awal siswa (TKAS) terhadap
matematika memegang peranan yang sangat penting untuk penguasaan konsep baru
matematika, maka dalam penelitian ini akan dilihat pengaruh kemampuan awal siswa
terhadap kemampuan pemecahan masalah dan disposisi matematis siswa.
Temuan mengenai kemampuan pemecahan masalah yang masih rendah, aktivitas siswa yang
kurang memuaskan, dan disposisi matematik siswa yang masih perlu pengembangan
mendorong para peneliti mencari alternatif untuk memecahkan masalah tersebut. Salah satu
alternatif tersebut adalah diadakannya penelitian mengenai penerapan pendekatan
pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa untuk belajar baik secara mental, fisik mapun
sosial. Salah satu alternatif pendekatan pembelajaran yang diprediksi dapat efektif dalam
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, aktivitas siswa dalam belajar dan disposisi
matematik siswa adalah Pembelajaran dengan pendekatan berbasis masalah.
Pembelajaran berbasis masalah yang berasal dari bahasa inggris Problem-based Learning
adalah suatu pendekatan pembelajaran yang dimulai dengan menyelesaikan suatu masalah,
tetapi untuk menyelesaikan masalah itu mahasiswa (siswa) memerlukan pengetahuan baru
untuk dapat menyelesaikannya. Lebih lanjut Moffit (Ratnaningsih, 2007) bahwa Belajar
Berbasis Masalah adalah suatu pendekatan pembelajaran yang melibatkan siswa aktif secara
optimal, memungkinkan siswa melakukan eksplorasi, observasi, eksperimen, investigasi,
komunikasi yang mengintegrasikan keterampilan dan konsep-konsep dasar dari berbagai
konten area
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah
pembelajaran diawali dengan menghadapkan siswa pada masalah dan siswa dituntut untuk
menyelesaikan masalah tersebut dengan pengetahuan yang dimilikinya. Masalah dalam
kegiatan pembelajaran menggunakan masalah dunia nyata dan dalam pembelajaran ini
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 65
kemampuan berpikir siswa betul-betul dioptimalisasikan melalui proses kerja kelompok atau
tim yang sistematis, yang dapat mengembangkan kemampuan berpikirnya.
Fase-fase dalam PBM meliputi: Fase 1: memberikan orientasi tentang permasalahan kepada
siswa, fase 2: mengorganisasikan siswa untuk meneliti, fase 3: membantu investigasi mandiri
dan kelompok, fase 4: mengembangkan dan mempresentasikan artefak atau exhibit, fase 5:
menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan maka rumusan dan batasan
masalah pada tulisan ini adalah :
1. Apakah kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan berbasis masalah lebih baik dari pada pendekatan
konvensional dilihat secara (a) keseluruhan, (b) Tingkat Kemampuan Awal Siswa
(TKAS)
2. Disposisi matematsi siswa yang pembelajaranya menggunakan pendekatan berbasis
berbasis masalah lebih baik dari pada pendekatan konvensional dilihat secara (a)
keseluruhan, (b) TKAS
3. Apakah terdapat interaksi antara pendektan pembelajaran dengan TKAS terhadap
kemampuan pemecahann masalah matematis:
4. apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan TKAS terhadap
Disposisi matematis siswa
5. Apakah terdapat interaksi antara kemampuan pemecahan masalah matematis dan
disposisi matematis siswa yang pembelajarannya menggunkn pendekatan berbasis
masalah?
B. Metode dan Prosedur
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen dengan
didasain sebagai berikut :
O X O
---------
O X O
Keterangan :
A : Pengambilan sampel secara acak
X : Penerapan Pendekatan Berbasis Masalah
O : Tes awal/Tes Akhir
Populasi dalam Penelitian ini adalah seluruh Siswa SMP yang mempunyai kemampuan
matematika sedang di Kota Cimahi. Sampelnya diambil siswa kelas VIII dari salah satu SMP
Negeri di Kota Cimahi sebanyak 78 orang. Instrumen penelitian yang digunakan berupa satu
perangkat tes berbentuk essai untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah dan satu set
angket untuk mengukur disposisi matematik siswa.
C. Hasil Penelitian
1. Hasil Peneliatian Mengenai Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Dari Hasil pengolahan data terhadap kemampuaan pemecahan masalah matematis didapat
sebagai berikut :
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
66 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Tabel 1
Deskriptif Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa
TKAS
Pendekatan Pembelajaran Total
Berbasis Masalah Bisa
Sd
n
Sd N
Sd n
Tinggi 44,93 2,73 14 38,00 4,69 11 41,88 5,05 25
Sedang 41,61 1,88 18 35,64 4,54 22 38,22 4,66 40
Rendah 35,67 4,46 6 33,71 5,34 7 34,62 4,86 13
Total 41,89 4,09 38 35,95 4,82 40 38,85 5,36 78
Skor Maksimum : 50
1) Secara keseluruhan rata-rata kemampuan Pemecahan Masalah matematis siswa adalah
38,85 (dari skor maksimum 50). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa secara keseluruhan termasuk kategori tinggi (77%).
2) Skor kemampuan pemecahan matematis siswa secara keseluruhan berdasarkan jenis
pembelajaran (Berbasis Masalah dan biasa) adalah 41,89 dan 35,95 ; simpangan baku
masing-masing 4,09 dan 4,82; dan jumlah siswa 38 dan 40. Hal ini menunjukkan
bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang pembelajarannya
menggunakan pendektan Berbasis Masalah lebih baik dari pada pendekatan biasa.
3) Skor kemampuan pemecahan masalah matematis siswa berdasarkan TKAS (atas,
sedang, rendah) adalah : 41,88 ; 38,22 dan 34,62 simpangan baku 5,05 ; 4,66 dan
4,86 , jumlah siswa 25, 40 dan 13. Hal ini menunjukkan kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa bersifat ajeg terhadap pengklasifikasiaan TKAS siswa
berdasarkan tes kemampuan matematis secara umum.
Berdasarkan Hasil Uji Anova dua jalur kemampuan pemecahan matematis dengan faktor
pendekatan pembelajaran dan TKAS didapat hasil sebagai berikut :
Tabel 2
Rangkuman Uji Anova Dua Jalur Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
dengan Faktor Pendekatann Pembelajaran dan TKAS Sumber Jumlah
Kuadrat
Dk Rata-rata
Kuadarat
F Sign. Keterangan
Pembelajaran 385,24 1 385,24 25,66 0,000 Ho ditolak
TKAS 393,92 2 196,99 13,12 0,000 Ho ditolak
Interaksi 55,249 2 27,62 1,84 0,166 Diterima
Dari perhitungan pada Tabel 2 , didapat analisis kemampaun pemecahan masalah matematis siswa berdasarkan beberapa :
1) Berdasarkan Pendekata Pembelajaran
Adapun hipotesis yang akan diuji diformulasikan sebagai berikut :
Ho : 21
H1 : 21
Kriteria pengujian terima Ho, Jika sign. > 0,05
Dari hasil uji F dengan menggunakan anova didapat sign. 0,000, karena sign. < 0,05,
maka Ho ditolak. Hal ini berrti kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang
pembelajarannya menggunakan pendekatan Berbasis Masalah lebih baik dari pada
pendekatan biasa.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 67
2) Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan TKAS terhadap
kemampuan pemecahan masalah matematis matematis siswa hal ini dapat dilihat bahwa
nilai sign = 1,84 > 0,05.
3) Berdasarkan TKAS
Adapun hipotesis yang aan diuji diformulasikan ebagai berikut :
Ho : 321
H1 : Paling tidak ada satu kelompok berbeda dari yang lainnya dalam hal kemampuan
pemecahan masalah
Kriteria pengujian, Terima Ho jika sign. >0,05
Dari hasil uji F dengan menggunakan anova didapat sign. 0,00 karena sign. < 0,05, maka Ho
ditolak. Hal ini berarti paling sedikit ada satu kelompok berbeda dengan yang lainnya.
Untu mengetahui TKAS mana yang berbeda secara signifikan dalam hal kemampaun
pemecahan masalah, maka digunakan uji Scheffe, hasil perhitungan disajikan pada Tabel 3
Tabel 3
Uji Schffe Rata-rata Kemampuan Pwemecahan Masalah Matematis Berdasarkan
TKAS
Pemb.I Pemb. II Perbedaan
Rata-rata
P Ho
Tinggi Sedang 3,56 0,003 Ditolak
Rendah 7,26 0,000 Ditolak
Sedang Rendah 3,71 0,014 Ditolak
Pada Tabel 3 terlihat bahwa p < 0,05 untuk setiap pasangan TKAS maka hipotesis nol
ditolak. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan pemecahan
matematis siswa pada TKAS tinggi lebih baik daripada siswa pada TKAS sedang dan level
rendah. Demikian pula, kemampuan pemecahan matematis pada TKAS sedang lebh baik
dari pada TKAS rendah.
2. Hasil Penelitian Mengenai Disposisi matematis
Dari Hasil pengolahan data terhadap Disposisi matematis siswa didapat sebagai
berikut :
Tabel 4
Deskriptif Kemampuan Disposisi Matematis Siswa
TKAS
Pendekatan Pembelajaran Total
Berbasis Masalah Biasa
Sd
n
Sd n
Sd n
Tinggi 84,14 16,98 14 76,00 9,38 11 80,56 14,48 25
Sedang 83,22 3,76 18 71,27 9,08 22 76.65 9,31 40
Rendah 71,33 8,91 6 67,43 10,69 7 69,23 9,71 13
Total 81,68 11,80 38 71,90 9,65 40 76,67 11,76 78
Skor Maksimum : 100
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
68 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
1) Secara keseluruhan rata-rata disposisi matematis siswa siswa adalah 76,67 (dari skor
maksimum 150). Hal ini menunjukkan bahwa disposisi matematis siswa secara
keseluruhan termasuk kategori tinggi (76,67%).
2) Skor disposisi matematisa siswa secara keseluruhan berdasarkan jenis pembelajaran
(Berbasis Masalah dan biasa) adalah 81,68 dan 71,90, simpangan baku masing-masing
11,80 dan 9,65 dan jumlah siswa 38 dan 40. Hal ini menunjukkan bahwa disposisi
matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendektan Berbasis Masalah
lebih baik dari pada pendekatan biasa.
3) Skor disposisi matematis siswa berdasarkan TKAS (atas, sedang, rendah) adalah :
80,56; 76,65 dan 69,23 , simpangan baku 14,48; 9,31 dan 9,71, jumlah siswa 25, 40 dan
13. Hal ini menunjukkan disposisi matematis siswa bersifat ajeg terhadap
pengklasifikasiaan TKAS siswa berdasarkan tes kemampuan tes matematis secara
umum.
Berdasarkan Hasil Uji Anova dua jalur kemandirin belajar dengan faktor pendekatan
pembelajaran dan TKAS didapat hasil sebagai berikut :
Tabel 5
Rangkuman Uji Anova Dua Jalur Kemampuan Disposisi matematis dengan Faktor
Pendekatann Pembelajaran dan TKAS
Sumber Jumlah
Kuadrat
Dk Rata-rata
Kuadarat
F Sign. Keterangan
Pembelajaran 1005,22 1 1005,22 9,42 0.003 Ho ditolak
TKAS 982,87 1 491,44 4,605 0,013 Ho ditolak
Interaksi 171,64 2 65,82 0,80 0,451 Ho diterima
Dari perhitungan pada Tabel 5 , didapat analisis disposisi matematis siswa berdasarkan
beberapa :
1) Berdasarkan Pendekata Pembelajaran
Adapun hipotesis yang akan diuji diformulasikan sebagai berikut :
Ho : 21
H1 : 21
Kriteria pengujian terima Ho, Jika sign. > 0,05
Dari hasil uji F dengann menggunakan anova didapat sign. 0,000, karena sign. < 0,05, maka
Ho ditolak. Hal ini berarti disposisi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan
pendekatan Berbasis Masalah lebih baik dari pada pendekatan biasa.
2) Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan TKAS terhadap
disposisi matematis siswa hal ini dapat dilihat bahwa nilai sign = 0,451 > 0,05.
3) Berdasarkan TKAS
Adapun hipotesis yang aan diuji diformulasikan ebagai berikut :
Ho : 321
H1 : Paling tidak ada satu kelompok berbeda dari yang lainnya dalam hal disposisi
matematis siswa
Kriteria pengujian, Terima Ho jika sign. >0,05
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 69
Dari hasil uji F dengannn menggunakan anova didapat sign. 0,00, karena nilai sign. <
0,05, maka Ho ditolak. Hal ini berarti paling sedikit ada satu kelompok berbeda dengan
yang lainnya.
Untuk mengetahui TKAS mana yang berbeda secara signifikan dalam hal disposisi
matematis, maka digunakan uji Scheffe, hasil perhitungan disajikan pada Tabel 6
Tabel 6
Uji Schffe Rata-rata Disposisi matematis siswa Berdasarkan TKAS
Pemb.I Pemb. II Perbedaan
Rata-rata
P Ho
Tinggi Sedang 9,47 0,002 Ditolak
Rendah 19,500 0,000 Ditolak
Sedang Rendah 10,30 0,007 Ditolak
Pada Tabel 6 terlihat bahwa p < 0,05 untuk setiap pasangan TKAS maka hipotesis
nol ditolak. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa disposisi matematis
siswa pada TKAS tinggi lebih baik daripada siswa pada TKAS sedang dan level
rendah. Demikian pula, disposisi matematis siswa pada TKAS sedang lebih baik dari
pada TKAS rendah.
3. Perhitungan asosiasi antara kemampuan pemecahan masalah matematis
dengan disposisi matematis
Untuk melihat ada tidaknya asosiasi antara kualifikasi kemampuan pemecahan masalah
matematis masalah dengan disposisi matematis, nilai kemampuan pemecahan masalah dan
disposisi matematis dikelompokan dahulu menjadi tinggi, sedang dan rendah. Hasilnya dapat
dilihat Pada Tabel 7 di bawah ini :
Tabel 7
Asosiasi Kemampuan Pemecahan Masalah dan Disposisi Matematis
DISPOSISI
Total TINGGI SEDANG
PM TINGGI 36 0 36
SEDANG 1 1 2
Total 37 1 38
Untuk melihat apakah terdapat asosiasi antara kemampuan penalaran dan kemandirian
belajar dilakukan uji koefisien kontingensi dengan hasil seperti pada Tabel 8 di bawah ini :
Tabel 8
Hasil Koefisien Kontingensi
Value Approx. Sig.
Nominal by Nominal Contingency Coefficient .572 .000
N of Valid Cases 38
Adapun hipotesis yang akan diuji diformulasikan sebagai berikut :
Ho : Tidak Terdapat asosiasi antara kemampuan Pemecahan masalah dengan
Disposisi matematis
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
70 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
H1 : Terdapat Asosiasi antara kemampuan Pemecahan masalah dengan Disposisi
matematis
Berdasarkan hasil pada Tabel 8 didapat nilai sign. = 0,000 < 0,05 jadi Ho ditolak artinya
terdapat asosiasi antara kemampuan pemecahan masalah dengan disposisi matematis siswa,
sedangkan dari Tabel 8 Koefisien kontinegnsi C= 0,572 dan Cmak = 0.816. Jadi didapat C =
0,69 C mak, yang termasuk dalam kriteria cukup tinggi.
C. Pembahasan
Dari hasil pengolahan data didapat bahwa kemampuan pemecahan masalah, dan
kemandirian belajar siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan berbasis
masalah lebih baik dari pada pendekatan konvensional. Hal ini disebabkan oleh beberapa
hal, diantaranya :
a) Dilihat dari sajian Bahan ajar
Bahan ajar yang disajikan dalam bentuk permasalahan, memungkinan siswa untuk
memperoleh kesempatan untuk mengembangkan konsep, prosedur, serta prinsip dalam
metematika melalui suatu aktivitas belajar secara bervariasi meliputi kegiatan yang bersifat
individual, kelompok maupun kelas. Setiap kegiatan yang dikembangkan diawali dengan
sajian masalah yang berfungsi sebagai salah satu stimulus dan pemicu siswa untuk berpikir.
Berarti masalah bertindak sebagai kendaraan proses belajar untuk mencapai tujuan. Konsep
pembelajaran seperti itu, dapat memfasilitasi siswa melakukan eksplorasi, investigasi dan
pemecahan masalah. Pada saat melakukan eksplorasi dan investigasi siswa berusaha
mengaitkan suatu konsep matematika dengan konsep yang lainnya dan mampu merumuskan
suatu konsep dengan kata-katanya sendiri. Dengan demikian pembelajaran berbasis masalah
dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa.
b) Dalam fase model pembelajaran berbasis masalah ini banyak mengharuskan mereka
untuk saling bertukar pikiran sehingga melatih kemampuan berpikir yang mereka miliki.
Dimulai dari orientasi siswa pada masalah, mengorganisasi siswa untuk belajar,
membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, mengembangkan dan menyajikan
hasil karya dan menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
Langkah pertama adalah orientasi siswa pada masalah. Pada langkah ini, guru menjelaskan
tujuan pembelajaran dan menjelaskan hal-hal yang diperlukan selama pelajaran serta
memotivasi siswa untuk terlibat pada aktivitas pemecahan masalah dengan contoh situasi
masalah dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan materi pembelajaran. Langkah
selanjutnya adalah guru mengorganisasikan siswa untuk belajar. Pada langkah ini guru
membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang
berhubungan dengan masalah, hal ini sesuai dengan langkah pada pemecahan masalah yaitu
memahami masalah, pada tahap ini siswa dibimbing untuk mengetahui apa yang diketahui
dan apa yang ditanyakan.
Langkah selanjutnya membimbing penyelidikan individual maupun kelompok. Dalam
langkah ini guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai dengan
permasalahan yang dihadapi siswa, siswa dituntun untuk membuat rencana penyelesaian
masalah yang dihadapi, hal ini sesuai dengan langkah pemecahan masalah yang
Langkah selanjutnya adalah mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Dalam tahap ini,
beberapa kelompok mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas dengan bimbingan dari
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 71
guru dan kelompok lain menanggapi. Melalui proses pembelajaran ini, siswa akan terlibat
aktif dan diberikan kesempatan untuk melaksanakan penyelesaian dengan cara memeriksa
setiap langkah apakah sudah benar atau belum dan melakukan pembuktian bahwa langkah
yang dipilih sudah benar, hal sesuai dengan langkah pemecahan masalah yaitu melakukan
perhitungna.
Langkah yang terakhir adalah menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
Pada langkah ini, guru membantu siswa melakukan refleksi atau evaluasi serta
mengklarifikasi hasil diskusi kemudian guru bersama siswa menyimpulkan materi yang telah
dipelajari. Hal ini sesuai dengan langkah pemecahan masalah yang keempat yaitu
memeriksa kembali hasil.
Dari uraian di atas jelas bahwa langkah –langkah dalam pembelajaran berbasis masalah
sesuai dengan langkah-langkah pemecahan masalah, Dalam situsi seperti itu kemampuan
pemecahan matematis siswa tergali secara maksimal, karena siswa akan menfaatkan
kemampuan kognitifnya dalam upaya mencari solusi dan konfirmasi terhadap pengetahuan
yang ada dalam pikiran mereka.
D. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengolahan data dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Kemampuan pemecahan matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan
pendekatan berbasis masalah lebih baik dari pada pendekatan biasa dilihat dari
keseluruhan dan TKAS.
2. Disposisi matematis siswa siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan
berbasis masalah lebih baik dari pada pendekatan biasa dilihat dari keseluruhan dan
TKAS
3. Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan TKAS terhadap
kemampuan pemecahan matematis.
4. Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan TKAS terhadap
disposisi matematis siswa
5. Terdapat asosiasi yang cukup tinggi antara kemampaun pemecahan masalah
matematis siswa dengan disposisi matematis siswa.
E. Saran-Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan di atas, maka penulis mengajukan saran-saran sebagai beikut :
1. Seyogyanya para guru dapat menerapkan pendekatan berbasis masalah dalam
pembelajaran matematika khususnya untuk topik-topik terpilih dan esesnsial dalam
matematika guna meningkatkan kemampuan pemecahan masalah.
2. Untuk penelitian selanjutnya disarankan penerapan pembelajaran berbasis masalah
untuk tingkat sekolah yang lain dan kemampuan berpikir tingkat tinggi lainnya.
Daftar Pustaka
Hendriana, H dan Sumarmo, U. (2014). Penilaian Pembelajaran Matematika. Bandung :
Refika Aditama
Ratnaningsih, N. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan
Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah
Menengah Atas. Disertasi. UPI Bandung : Tidak Dipublikasikan.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
72 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Sumarmo, U. (2012). Bahan Belajar Mata Kuliah Proses Berpikir Matematik Program S2
Pendidikan Matematika.Diktat Kuliah. Bandung : STKIP Siliwangi Bandung.
TIMSS. International Student Achievement in Mathematics. http://timss.bc.edu/timss
1999i/pdf/T99i_math_01.pdf. 1999.
OECD-PISA. First Results from PISA 2003 (executive summary). www.pisa.oecd.org. 2003
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 73
DESAIN PEMBELAJARAN MATERI REFLEKSI
MENGGUNAKAN MOTIF KAIN BATIK UNTUK SISWA
KELAS VII
Dina Novrika1)
, Ratu Ilma Indra Putri2)
dan Yusuf Hartono2)
1Mahasiswi Program Studi Magister Pendidikan Matematika (FKIP UNSRI)
2Dosen Program Studi Magister Pendidikan Matematika (FKIP UNSRI)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menghasilkan lintasan belajar untuk membantu siswa
memahami konsep refleksi menggunakan motif kain batik untuk kelas VII.Penelitian
ini berdasarkan PMRI yang dikaitkan dengan pembelajaran kurikulum 2013 revisi
2014. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah design research type
validation study yang bertujuan untuk membuktikan teori-teori pembelajaran.
Penelitian ini dilaksanakan di MTs Negeri Betung dengan melibatkan siswa kelas VII
sebanyak 36 orang. Aktivitas-aktivitas pembelajaran yang dilakukan siswa meliputi:
1) memahami konsep pencerminan suatu obyek, 2) menemukan dan memahami
konsep pencerminan terhadap sumbu koordinat, dan 3) menemukan dan memahami
konsep pencerminan terhadap garis-garis pada bidang koordinat. Hasil dari penelitian
ini menunjukkan bahwa melalui serangkaian aktivitas yang telah dilakukan membantu
siswa dalam pembelajaran materi refleksi.
Kata kunci: Refleksi, Design research, konteks motif kain batik, Pendekatan PMRI
A. Pendahuluan
Geometri merupakan bagian matematika yang membahas tentang bentuk dan ukuran, posisi,
arah dan gerakan dari suatu obyek yang memiliki keteraturan tertentu serta mempelajari
titik, garis, bidang, angka planar, ruang, dan hubungan antara ini serta ukuran geometris
seperti panjang, sudut, luas dan volume sehingga dapat di aplikasikan dalam dunia kerja
yang membutuhkan instruksi canggih seperti seni, arsitektur, desain interior dan ilmu
pengetahuan, dan aplikasinya dalam karir teknis seperti pertukangan, pipa dan menggambar
serta kehidupan sehari-hari yang juga dapat digunakan untuk memvisualisasikan bentuk-
bentuk matematika (Clemens, 1998 ; Copley, 2000 ; Baykul, 2000 ; Shielack, 1987).Menurut
Hollebrands (2003), ada tiga alasan penting untuk mempelajari geometri transformasi dalam
matematika sekolah yaitu memberikan kesempatan bagi siswa untuk berpikir konsep-konsep
matematika yang penting (misalnya fungsi, simetri), menyediakan konteks di mana siswa
dapat melihat matematika sebagai disiplin ilmu yang saling berhubungan, dan memberikan
kesempatan bagi siswa untuk terlibat dalam melakukan aktivitas penalaran tingkat tinggi
menggunakan berbagai representasi.
Geometri transformasi mendorong siswa untuk menyelidiki ide-ide geometris melalui
pendekatan informal dan intuitif. Pendekatan ini menekankan sensitivitas, dugaan,
transformasi dan rasa ingin tahu. Transformasi dapat mengarahkan siswa untuk
mengeksplorasi konsep-konsep matematika yang abstrak yaitu kekongruenan, simetri,
kesamaan,dan kesebangunan serta dapat memperkaya siswa geometris pengalaman, pikiran
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
74 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
dan imajinasi serta dapat meningkatkan kemampuan keruangan mereka (Peterson,1973).
Adapun kegunaan mempelajari transformasi dalam proses belajar mengajar yaitu sebagai
sarana untuk mengembangkan keterampilan spasial dan untuk mengintegrasikan topik
matematika yang secara tradisional telah dipelajari secara terpisah (Bennie, Kate et al, 1999).
Salah satu aplikasi tersebut dalam ilmu menggunakan geometri adalah Geometri
Transformasi. Geometri Transformasi adalah bagian dari geometri di mana siswa belajar
untuk mengidentifikasi dan menggambarkan pergerakan bentuk (Kirby& Boulter,
1999).Geometri Transformasi berkaitan dengan kehidupan sehari-hari seperti konstruksi
geometri, seni, arsitektur, pertukangan, elektronik, mekanik, desain pakaian, geografi dan
navigasi (Boulter & Kirby, 1994).Geometri Transformasi terlihat dalam seni dan konsep
yang terpadu dalam arkeologi dalam studi desain diterapkan pada tembikar dan artefak
lainnya di berbagai budaya dan era yang berbeda (Crowe & Thompson, 1987).Geometri
Transformasi menghubungkan sifat-sifat transformasi dari benda dan dapatdicirikan sebagai
studi objek geometris pada bidang dan sifat-sifattransformasi memungkinkan seseorang
untuk menemukan dan membuktikan sifat-sifat benda-benda geometris untuk membentuk
pola seperti mawar, dan wallpaper, untuk mengklasifikasikan benda-benda geometris,
danmerasakan bentuk geometris dari suatu objek (Bouckaert, 1995 : 4). Transformasi
geometri lebih menekankan pada refleksi, rotasi, simetri yang merupakan perpindahan
bentuk-bentuk disekitarnya. Pendekatan geometri bisa diaplikasikan pada bidang arkeologi
seperti pada pot yang dihiasi atau pecahan tembikar dimana menggunakan desain “motif”
yang diklasifikasikan sebagai segitiga, lingkaran dan sejenisnya, kemudian motif tersebut
diatur dengan pola berulang sehingga terbentuklah pola yang simetris (Thompson, 1987 :
106).
Berdasarkan model Van Hiele yang dikembangkan oleh Zazkis menetapkan dua elemen
yaitu visualisasi dan analisis sebagai dua kerangka berpikir. Kegiatan visualisasi sebagai
konstruksi mental dari objek-objek eksternal atau proses, atau konstruksi eksternal dari objek
atau proses dariindividual. Kegiatan analisis atau pemikiran analitik adalah manipulasi
mental dari objek atau proses dengan atau tanpa bantuan smbol, dimana kegiatan visualisasi
yang terkait dengan konstruksi objek yang digambarkan pada koordinat cartesius, kemudian
kegiatan analisis melibatkan manipulasi dengan bantuan simbol-simbol bisa dalam bentuk
aljabar maupun titik-titik pada koordinat cartesius. (Zazkis et al. 1996: 441-442).
Implementasi kurikulum 2013 merupakan aktualisasi kurikulum dalam pembelajaran dan
pembentukkan kompetensi serta karakter peserta didik. Hal tersebut menuntut keaktifan guru
dalam menciptakan dan menumbuhkan berbagai kegiatan sesuai dengan rencana yang telah
diprogramkan.Kurikulum 2013 menuntut pembelajaran yang menyenangkan, efektif dan
bermakna sehingga peserta didik perlu dilibatkan secara aktif, karena mereka adalah pusat
dari kegiatan pembelajaran.Agar peserta didik belajar secara aktif, guru perlu menciptakan
strategi yang tepat guna, sehingga mereka mempunyai motivasi yang tinggi untuk belajar
(Mulyasa, 2013).Salah satu upayanya adalah mengelola kegaiatan pembelajaran secara
kontekstual.Salah satu pendekatan yang menggunakan kontekstual adalah PMRI. Konteks
dapat dijadikan starting point dalam menuju proses pembelajaran (Zulkardi &Putri, 2006).
Menurut Sembiring (2010) PMRI dapat dikembangkan menyesuaikan dengan konteks
budaya lokal dan kondisi yang terjadi di Indonesia.Salah satu konteks yang dekat dengan
peserta diidik adalah konteks budaya. Hal ini sejalan dengan pendapat Uy (1996, dalam
Mayadiana, 2009: 49) bahwa pembelajaran matematika yang menggunakan konteks budaya
dapat memberikan kesempatan untuk memaknai matematika, memperlihatkan keakuratan
matematika dan budaya lain, dan membuat siswa lebih termotivasi dan bekerja sama dalam
mempelajari matematika.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 75
Salah satu gagasan matematis yang kegiatan tertanam sebagai konteks budaya yaitu
Ethnomathematics (ethnomathematicology).Mempelajari matematika budaya ini
menawarkan kesempatan yang unik bagi siswa untuk "mengalami kegiatan matematika
multikultural yang mencerminkan pengetahuan dan perilaku orang-orang dari lingkungan
budaya yang beragam" (D‟ Ambrosio, 1990). Bentuk-bentuk geometri dan transformasi
geomerti seperti refleksi bisa ditemukan pada dinding rumah masyarakat di Afrika selatan
dimana dindingnya dihias dengan campuran lumpur yang diwarnai dengan bahan yang alami
(Gerdes, Paulus : 1998). Penelitian lain yang dilakukan oleh Anileen Gray dan Reza
Sarhangi dengan mempelajari desain pada potongan tembikar, kain tenun, dan dalam karya
seni yang dilakukan oleh banyak perempuan Afrika untuk menghiasi dinding rumah
keluarga, siswa dapat menjadi akrab dengan konsep-konsep seperti simetri, transformasi,
pola dekorasi, dan pembangunan geometris angka menggunakan kompas. Dalam studi yang
dilakukan Lina Fonseca dan Isabel, transformasi geometri bisa dikonstruksi dari sebuah
motif menggunakan ubin persegi yang tidak harus memiliki sumbu koordinat, menggunakan
“pentominoe” dan pola polygon dari perekatan kertas berwarna berbentuk persegi panjang
yang berbeda.
Guven (2012) mengatakan bahwa beberapa studi (Clements & Burns; Edwards; Olson,
Zenigami & Okazaki; Rollick) menunjukkan bahwa siswa mengalami berbagai kesulitan
dalam memahami konsep dan perbedaan dalam penyelesaian dan mengidentifikasi
transformasi yang mencakup translasi, refleksi, rotasi dan kombinasi dari berbagai jenis
transformasi.Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan konteks motif kain batik
sebagai starting point dan inovasi dalam pembelajaran transformasi geometri. Proses
pembelajarannya Kain Batik merupakan salah satu kerajinan asli Indonesia dimana memiliki
ragam hias atau corak yang dibuat dengan canting dan cap dengan menggunakan malam
sebagai bahan perintang warna.
Bentukgeometriyangdapatdijumpaipadabatikberupatitik,garisdanbidangdatar.Bidangdatar
tersebut misalnyalingkaran, elips, segiempat dan sebagainya. Bentuk-bentuk geometri bisa
juga ditemukan pada kain tradisional asli Indonesia yang lain. Akan tetapi tidak semua kain
tradisional tersebut bisa digunakan sebagai konteks materi geometri transformasi. Salah satu
yang bisa dijadikan konteks dalam mentransformasikan titik, garis atau bidang datar melalui
refleksi (pencerminan) adalah kain batik.
Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik
Indonesia. Penelitian yang mengaitkan antara geometri dan konteks budaya diantaranya
dilakukan oleh Wijaya (2008) dengan menggunakan konteks permainan tradisional “Gundu”
dan Benthik” serta Zainab (2013) yang memunculkan pola barisan bilangan melalui motif
kain tajung Palembang.
Berdasarkan pendahuluan tersebut, peneliti akan mendesain pembelajaran materi
transformasi geometri dengan menggunakan motif kain batik melalui pendekatan PMRI
untuk siswa kelas VII.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana lintasan belajar yang dapat membantu siswamemahami materi refleksi
melalui aktivitas pembelajaran menggunakan konteks motif kain batik untuk kelas VII ?
2. Bagaimana konteks motif kain batik dapat mendukung peserta didik dalam memahami
konsep refleksi?
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
76 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
C. Tinjauan Pustaka
PMRI merupakan inovasi pendidikan matematika yang merupakan hasil adaptasi dari
Realistic Mathematics Education (RME) yang telah diselaraskan dengan kondisi budaya,
geografi dan kehidupan masyarakat Indonesia umumnya (Soedjadi, 2007 : 2). PMRI lebih
memperhatikan adanya potensi pada diri siswa yang harus dikembangkan. Freudenthal (de
Lange, 1987 : 98) berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai passive
receivers of ready-made mathematics (Penerima pasif matematika yang sudah jadi). Dua
pandangan yang penting dari Freudenthal tentang PMRI adalah (1) Mathematics must be
connected to reality; and (2) Mathematics as human activity. (Zulkardi & Ilma,
2010).Pertama, matematika seharusnya dekat dengan siswa dan berkaitan dengan kehidupan
siswa sehari-hari.Kedua, ditekankan bahwa matematika sebagai aktivitas manusia sehingga
siswa seharusnya diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep
matematika dengan bimbingan orang dewasa atau guru.
PMRI tidak hanya mementingkan hasil akhir, lebih menekankan pada proses yang terjadi
selama pembelajaran berlangsung. PMRI lebih menekankan kepada keterampilan proses,
keaktifan dalam berdiskusi, berkolaborasi maupun berinteraksi selama proses pembelajaran
berlangsung..Menurut Gravemeijer (Soedjadi, 2007 : 4-5) dalam pembelajaran PMRI
terdapat tiga prinsip yaitu : 1) Guided Re-invention and progressive mathematizing. Prinsip
ini menekankan penemuan kembali secara terbimbing melalui topuk-topik tertentu yang
disajikan, siswa diberi kesempatan untuk membangun dan menemukan kembali ide-ide dan
konsep-konsep matematika.2) Didactical Phenomenology ,Prinsip ini menekankan fenomena
pembelajaran yang bersifat mendidik dan menekankan pentingnya masalah kontekstual
untuk memperkenalkan topick-topik matematika kepada siswa, 3) Self-developed
model.Prinsip ini berperan dalam menjembatani jurang pemisah diantara pengetahuan
informal dan formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah
dari situai yang dekat dengan alam siswa dengan melalui generalisasi dan formalisasi model
tesebut akan berubah menjadi model-of masalah tersebut kemudian akan bergeser ke model
for selanjutnya akan berakhir menjadi model formal matematika.
Ada lima Karakteristik PMRI (Zulkardi; 2010: 5) yaitu :1) Menggunakan masalah
kontekstual, 2)Menggunakan model, 3) Menggunakan kontribusi siswa, 4) Interaktivitas, 5)
Keterkaitan dengan topik pembelajaran lainnya ( Intertwinning)
Menurut Asmin (2003) pengembangan materi dengan menggunakan pendekatan PMRI yang
perlu mendapatkan perhatian adalah konteks yang dipilih harus dikenal baik oleh siswa,
bahasa yang digunakan juga jelas serta gambar juga harus mendukung konsep. Hal ini
sejalan dengan pendapat Zulkardi dan Ilma (2006) mengatakan bahwa situasi atau fenomena
atau kejadian alam yang terkait dengan konsep matematika yang sedang dipelajari dapat
diartikan konteks. Konteks dalam pendidikan matematika realistic bertujuan untuk
membangun atau menemukan kembali suatu konsep matematika melalui proses matematisasi
yang akan terjadi jika konteks bisa dibayangkan oleh siswa serta memungkinkan siswa untuk
memahami dan bekerja dengan konteks tersebut menggunakan pengetahuan dan pengalaman
yang sudah dimiliki oleh siswa.
Menurut Wikipedia , Batik berasal dari bahasa Jawa “amba” yang berarti menulis dan “titik”.
Kata batik sendiri merujuk pada teknik pembuatan corak – menggunakan canting atau cap
dan pencelupan kain dengan menggunakan bahan perintang warna corak “malam” (wax)
yang diaplikasikan di atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna. Batik secara
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 77
historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yang ditulis dan
dilukis pada daun lontar.Saat itu motif batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan
tanaman.Namun dalam sejarah perkembangannya batik mengalami perkembangan, yaitu dari
corak-corak lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih pada motif abstrak yang
menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan sebagainya. Melalui penggabungan corak
lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul seni batik tulis seperti sekarang ini. Bahan
kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri. Sedang bahan-bahan
pewarna yang dipakai terdiri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara
lain dari : pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta
garamnya dibuat dari tanah lumpur. Jenis dan corak batik tradisional tergolong amat banyak,
namun corak dan variasinya sesuai dengan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang
amat beragam.Khasanah budaya Bangsa Indonesia yang demikian kaya telah mendorong
lahirnya berbagai corak dan jenis batik tradisional dengan ciri kekhususannya sendiri.
Transformasi yaitu pemetaan satu-satu dari himpunan semua titik dalam suatu bidang pada
himpunan itu sendiri. Transformasi adalah perubahan pada posisi atau ukuran bentuk (Walle,
2008 : 173 ) . Hasil dari transformasi disebut bayangan. Ada empat jenis transformasi, yaitu
translasi, refleksi, rotasi dan dilatasi (Kemdikbud, 2014 : 101-123).
a. Refleksi atau pencerminan adalah salah satu jenis transformasi yang memindahkan
setiap titik pada suatu bidang dengan menggunakan sifat bayangan cermin dari titik-
titik yang dipindahkan.
b. Translasi atau pergesaran adalah transformasi yang memindahkan semua titik suatu
bangun dengan jarak dan arah yang sama.
c. Rotasi atau perputaran adalah transformasi yang memutar setiap titik pada gambar
sampai sudut dan arah tertentu terhadap titik yang tetap. Titik tetap ini disebut pusat
rotasi.
d. Dilatasi adalah transformasi yang mengubah ukuran sebuah gambar. Dilatasi
membutuhkan titik pusat dan faktor skala.
Menurut Gravemeijer dan Eerde (2009), design research adalah suatu metode penelitian
yang bertujuan mengembangkan Local Instruction Theory dengan kerja sama peneliti dan
pendidik guna untuk meningkatkan kualitas pengajaran. Aktivitas siswa selama
pembelajaran berlangsung terdiri dari konjektur strategi dan pemikiran siswa akan
dikembangkan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, peneliti mendesain materi transformasi
dengan konteks motif kain batik yang mengutamakan aktivitas pengalaman siswa.
Design Research mempunyai lima karakteristik, yaitu (Akker et al, 2006) :
1. Interventionist Nature
Design Research bersifat fleksibel karena desain aktivitas pembelajaran dapat diubah
selama penelitian untuk mengatur situasi pembelajaran.
2. Process Oriented
Desain berdasarkan rencana pembelajaran dan alat atau perangkat yang digunakan
untuk membantu pembelajaran tersebut.
3. Reflective Component
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
78 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Setelah implementasi desain aktivitas pembelajaran, konjektur dari tiap analisa proses
pembelajaran dibandingkan dengan proses pembelajaran yang sebenarnya.
4. Cyclic Character
Adanya proses evaluasi dan revisi. Proses pembelajaran yang sebenarnya digunakan
sebagai dasar untuk merevisi aktivitas berikutnya.
5. Theory Oriented
Desain berdasarkan teori harus berhubungan dengan uji coba pengajaran. Pada design
research terdapat dua aspek penting, dimana keduanya diarahkan pada aktivitas dalam
kegiatan pembelajaran siswa. Dua aspek tersebut sebagai berikut :
a. Local Instruction Theory (LIT)
Menurut Gravemeijer dan Van Eerde (2009) LIT merupakan sebuah teori tentang
proses dimana siswa mempelajari suatu topik matematika dan teori tentang media atau
perangkat yang digunakan untuk membantu siswa dalam proses pembelajaran topik
tersebut. Dikatakan teori local karena teori tersebut hanya membahas pada ranah
spesifik yaitu spesifik topik matematika. Guru dalam merancang sebuah bentuk suatu
topic matematika dengan memilih aktivitas dengan dugaan-dugaan yang muncul pada
proses pembelajaran dari LIT (Wijaya, 2012)
b. Hypothetical Learning Trajectory (HLT)
Menurut Bakker (2004) HLT merupakan hubungan antara sebuah teori pembelajaran
(instruction theory) dan uji coba pengajaran (teaching experiment) yang
sebenarnya.Dari hubungan tersebut terdapat konjektur yang dapat direvisi dan
dikembangkan untuk aktivitas pembelajaran berikutnya berdasarkan retrospective
analysis setelah teaching experiment.Menurut Gravemeijer & Cobb (2006) HLT
merupakan suatu hipotesa atau dugaan pemikiran dan strategi siswa yang berkembang
dari suatu konteks menuju pengetahuan formal pada aktivitas pembelajaran. HLT terdiri
dari tiga komponen yaitu : (1) tujuan pembelajaran matematika bagi siswa yang
mendefinisikan arah atau tujuan pembelajaran; (2) aktivitas pembelajaran dan konteks
yang diginakan dalam proses pembelajaran; dan (3) hipotesis proses belajar untuk
memprediksi bagaimana pikiran dan pemahaman siswa akan berkembang dalam
konteks kegiatan belajar.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan menggunakan metode penelitian design research yang
mendesain materi transformasi geometri dengan pendekatan PMRI menggunakan konteks
motif kain batik untuk kelas VII. Pada pelaksanaan penelitian design research merupakan a
cyclical process of thought experiment and instruction experiment (Gravemeijer, 1994;
Sembiring, Hoogland dan Dolk, 2010). Proses siklik (berulang) adalah dari eksperimen
pemikiran kemudian ke eksperimen pembelajaran dalam bentuk diagram dengan ilustrasi ide
percobaan dari Gravemeijer dan Cobb (dalam Akker, 2006) yang terlihat pada gambar di
bawah ini:
Gravemeijer dan Cobb (2006: 19-43) menyatakan bahwa ada tiga tahap dalam pelaksanaan
penelitian design research, yaitu:
1. Preparing for the Experiment/Preliminary Design (Persiapan untuk penelitian/Desain
Pendahuluan)
Sebelum mendesain berbagai aktifitas dalam penelitian, peneliti akan melakukan kajian
literature untuk memperoleh ide awal sebagai informasi untuk penelitian informasi yang
didapatkan akan digunakan untuk merancang serangkaian kegiatan yang didalamnya terdapat
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 79
konjektur atau dugaan strategi pemikiran siswa. Peneliti akan menjelaskan 3 bagian tahapan
ini yaitu:
Kajian Literatur
Pada tahap ini dilakukan kajian literatur mengenai materi pembelajaran yaitu transformasi
geometri, pendekatan PMRI, dan design research sebagai dasar perumusan dugaan dengan
strategi awal siswa dalam pembelajaran transformasi geometri dan menyesuaikan dengan
literatur pendekatan PMRI, serta desain riset sebagai dasar perumusan dugaan strategi awal
siswa dalam pembelajaran mengenai transformasi geometri. Kemudian peneliti melakukan
diskusi dengan guru kelas mengenai kondisi kelas, keperluan penelitian, memilih observer,
menyesuaikan jadwal, dan cara pelaksanaan penelitian dengan guru yang bersangkutan.
Meneliti Kemampuan Awal Siswa
Dalam tahap ini, peneliti akan melakukan wawancara dengan beberapa siswa untuk
dijadikan infomasi mengenai sejauh mana pemahaman siswa yang berkaitan dengan materi
prasyarat pembelajaran. Hasil tersebut akan digunakan peneliti sebagai bahan dalam
mendesain aktivitas siswa sehingga desain instruksionalnya menjadi lebih sesuai.
Mendesain Dugaan Lintasan Belajar
Pada tahap ini, peneliti membuat rancangan Learning Trajectory dan Hypothetical Learning
Trajectory mengenai strategi yang akan digunakan siswa dalam proses perkembangan
berpikir dan memprediksi jawaban yang muncul. Hipotesis ini akan dikembangkan
berdasarkan literature dan dapat disesuaikan pada saat penelitian berlangsung.
2. The Design Experiment (Desain Percobaan)
Preliminary Teaching Experiment (Pilot Experiment)
Pada tahap ini bertujuan untuk mengujicobakan HLT yang telah didesain dengan tujuan
untuk mengetahui sejauh mana konjektur dan instrumen yang telah dibuat peneliti sehingga
dapat terlaksana.Uji coba penelitian ini dilakukan untuk beberapa orang siswa kelas non
subjek. Hasil uji kelas non subjek akan digunakan untuk merevisi aktifitas dan konjektur
siswa sebelum dilakukan penelitian sesungguhnya.
Teaching Experiment
Pada tahap teaching experiment merupakan tahap inti dari sebua desain riset.Pada tahap ini
HLT yang telah didesain dan diperbaiki pada tahap sebelumnya diujicobakan di kelas
sesungguhnya yang menjadi subjek penelitian. Guru bertindak sebagai pengajar sedangkan
peneliti mengobservasi dan menganalisis setiap aktivitas belajar siswa selama proses
belajar berlangsung.
3. Restrospective Analysis
Data yang diperoleh dari seluruh aktivitas pembelajaran di kelas selama pilot experiment dan
teaching experiment akan dianalisis. Kemudian, HLT yang telah didesain dibandingkan
dengan proses pembelajaran yang berlangsung untuk menjawab rumusan masalah penelitian.
Tujuan dari Retrospective Analysis secara umum adalah untuk mengembangkan local
instructional theory. Oleh karena itu, feedback dari guru sangatlah bermanfaat guna
memberikan informasi kepada peneliti mengenai perbedaan cara mengajar yang secara teori
dapat disesuaikan pada berbagai macam keadaan di kelas, sehingga akan diperoleh desain
pembelajaran yang lebih baik lagi.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
80 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Pada penelitian ini, instrumen yang digunakan adalah LAS refleksi.Data yang dikumpulkan
adalah dengan cara sebagai berikut :
a. Wawancara
Wawancara dilakukan baik pada tahap pembuatan HLT maupun setelah pelaksanaan
pelaksanaan teaching experiment. Tahap wawancara akan dilakukan dengan guru model
sebelum dan sesudah proses pembelajaran tentang kecukupan waktu, ketergunaan materi dan
kemudahan penggunaan desain pembelajaran yang telah dirancang. Wawancara juga
dilakukan pada siswa untuk mengetahui strategi pemecahan masalah terhadap materi yang
dipelajari.
b. Video dan Foto
Rekaman video digunakan dalam penelitian ini untuk merekam aktivitas peserta didik dalam
menggunakan LAS baik individu maupun kelompok.Selain itu, juga merekam interaksi
peserta didik dengan peserta didik sehingga strategi pemecahan masalah dan aktivitas peserta
didik dapat diukur dan diobservasi.Rekaman video dilaksanakan pada tahap pilot experiment
dan teaching experiment yang ditujukan untuk merekam seluruh kegiatan yang terjadi
didalam kelas baik secara individu, kelompok, maupun diskusi kelas. Peneliti juga
menggunakan foto dalam penelitian ini sebagai bukti yang terkait dalam pelaksanaan
penelitian baik dalam proses pembelajaran, diskusi dan hasil jawaban siswa.
c. Observasi
Lembar observasi digunakan untuk mengetahui kepraktisan dan keefektifan dari
pembelajaran yang telah didesain. Proses observasi dilakukan selama proses pembelajaran
berlangsung dengan bantuan observer menggunakan lembar observasi dan video.
d. Tes Tertulis
Tes tertulis dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung dengan lembar aktivitas
siswa yang dirancang sendiri oleh peneliti untuk membimbing siswa memahami konsep
refleksi. Selain lembar aktivitas siswa, peneliti juga merancang pre-test dilaksanakan
sebelum pembelajaran pada waktu penelitian pilot experiment dan teaching experiment yang
bertujuan untuk mengetahui tingkat pemahaman awal siswa yang dijadikan subjek penelitian
dan apa yang seharusnya mereka pelajari. Data ini berupa jawaban, strategi dan alasan yang
digunakan peserta didik untuk menyelesaikan masalah yang diberikan. Peneliti juga
merancang post-test yang dilaksanakan setelah proses pembelajaran baik pada penelitian
pilot experiment dan teaching experiment yang bertujuan untuk mengetahui tingkat
pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan dengan desain yang dirancang dan apa
saja yang telah dipelajari. Data ini berupa jawaban, strategi, dan alasan yang digunakan
siswa untuk menyelesaikan masalah yang diberikan.
Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara retrospektif yang beracuan pada
HLT.Analisis data dilakukan peneliti dan bekerjasama dengan pembimbing. HLT dalam
restrospective analysis yang telah dirancang kemudian dibandingkan dengan proses
pembelajaran yang dilakukan siswa sehingga dapat dilakukan penyelidikan , analisis dan
dijelaskan bagaimana siswa memperoleh konsep refleksi yang ditimbulkan dengan
menggunakan motif kain batik.
Menurut Doorman (dalam Wijaya, 2008), hasil dari design research adalah bukan merancang
pekerjaan itu tetapi bagaimana dan mengapa suatu pekerjaan tersebut dirancang.Pada analisis
data ini, rekaman video merupakan data utama yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan
penelitan. Rekaman video menunjukkan aktivitas siswa selama proses pembelajaran. Video
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 81
kegiatan ditranskip untuk mengetahui sejauh mana kemampuan matematika siswa mulai
tampak dan berkembang, terlihat dari aktivitas, strategi, pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan siswa serta jawaban-jawaban siswa dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
menggunakan LAS, baik pada saat pembelajaran maupun pada saat wawancara.Penelitian ini
dilakukan pada semester ganjil tahun akademik 2015/2016.Subjek penelitian ini adalah siswa
kelas VII MTs Negeri Betung.Penelitian ini melibatkan guru yang berperan sebagai guru
model untuk mengajarkan materi transformasi geometri.
E. Hasil dan Pembahasan
Penelitian ini menghasilkan lintasan belajar untuk pembelajaran pencerminan dengan
menggunakan konteks motif kain batik. Pada bab ini, peneliti menguraikan data atau hasil
yang diperoleh dari setiap tahap penelitian. Ada beberapa tahap yang dilalui dalam penelitian
ini, yaitu tahap persiapan untuk penelitian (preparing for the experiment), desain percobaan
(the design experiment), dan analisis retrospektif (retrospective analysis). Pada tahap desain
pendahuluan yang merupakan tahap untuk mendesain HLT (Hypothetical Learning
Trajectory) pencerminan untuk kelas VII yang hasilnya akan diujicobakan pada tahap desain
percobaan pembelajaran. Tahap desain percobaan, dilaksanakan dua tahap yaitu pilot
experiment dan teaching experiment. Setelah tahap percobaan pembelajaran selesai, peneliti
melakukan retrospective analysis terhadap apa yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya
pada bagian pembahasan.
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis retrospektif yang telah dilakukan, lintasan belajar
yang telah dirancang dan dilakukan oleh peneliti yaitu lintasan belajar untuk menemukan
konsep pencerminan suatu obyek maupun garis-garis pada bidang koordinat kartesius.
Ketiga aktivitas belajar tersebut meliputi : memahami konsep pencerminan suatu obyek
(menggunakan motif kain batik melalui kegiatan mengamati obyek mana yang memiliki
hasil bayangan yang sesuai), memahami konsep pencerminan terhadap sumbu koordinat
adapun terlihat dalam aktivitas siswa sebagai berikut
Gambar diatas menunjukkan siswa beriskusi mengamati beberapa motif kain batik yang akan
dientukan hasil bayangannya.
Aktivitas kedua, siswa memahami konsep pencerminan suatu obyek melalui potongan motif
kain batik yang digunakan saat pembelajaran berlangsung.Dengan menggunakan motif kain
batik dan diiringi dengan LAS, siswa dapat menemukan aturan pencerminan terhadap sumbu
koordinat. Pemahaman siswa mengenai konsep pencerminan terhadap sumbu koordinat
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
82 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
terlihat pada hasil aktivitas siswa di LAS dan post-test, dimana siswa dapat menemukan
aturan pencerminan terhadap sumbu koordinat
Pada gambar diatas menunjukkan strategi siswa menggunakan potongan motif dalam
menentukan hasil bayangan suatu obyek yang dicerminkan terhadap sumbu koordinat. Siswa
sudah bisa menentukan hasil bayangan suatu titik yang dicerminkan terhadap sumbu x dan
y. Berikut kesimpulan siswa mengenai pemahaman mereka dalam menemukan aturan
pencerminan terhadap sumbu koordinat. Hal ini terlihat pada gambar 4 bahwa jika suatu titik
(x,y) dicerminkan terhadap sumbu x maka koordinat titik y yang berubah tandanya dan jika
suatu titik (x,y) dicerminkan terhadap sumbu y maka koordinat titik x yang berubah
tandanya.
Aktivitas ketiga membimbing siswa agar dapat memahami konsep pencerminan terhadap
garis-garis pada bidang koordinat menggunakan motif kain batik.Setelah siswa mengamati
beberapa motif kain batik, siswa dapat menemukan konsep pencerminan terhadap garis-garis
pada bidang koordinat dan siswa diajak menyelesaikan soal-soal yang berkaitan dengan
pencerminan terhadap garis-garis pada bidang koordinat terlihat pada gambar berikut ini:
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 83
Pada gambar diatas terlihat bahwa siswa sudah bisa menentukan pasangan motif yang akan
ditempelkan terhadap garis dan siswa juga tidak mengalami kesulitan yang berarti,
siswa sudah mulai terarah dalam menentukan bayangan titik yang dicerminkan terhadap
garis sesuai dengan permasalahan yang diberikan. Berikut kesimpulan siswa
mengenai pemahaman mereka dalam menemukan aturan pencerminan terhadap sumbu
koordinat. Hal ini terlihat pada gambar 4.15 bahwa jika suatu titik (x,y) dicerminkan
terhadap garis maka koordinat titik y menjadi dan koordinat titik x menjadi .
Pada gambar diatas siswa sudah dapat menemukan aturan pencerminan terhadap garis
dan garis dengan menggunakan konsep jarak bayangan ke sumbu koordinat yaitu x
dan y, dimana jarak bayangan ke sumbu koordinat adalah jarak bayangan ke cermin
ditambah jarak cermin ke benda ditambah jarak titik asal benda ke sumbu koordinat.Berikut
kesimpulan siswa mengenai pemahaman mereka dalam menemukan aturan pencerminan
terhadap sumbu koordinat. bahwa jika suatu titik (x,y)dicerminkan terhadap garis
maka menjadi dan jika suatu titik (x,y)dicerminkan terhadap garis
maka menjadi .
Secara umum pembelajaran berlangsung interaktif karena siswa berdiskusi. Hadi (2005)
menyatakan pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI pengajaran berlangsung
secara interaktif, siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang
diberikannya, memahami jawaban temannya, setuju terhadap jawaban temannya,
menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain dan melakukan
refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
84 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Proses pembelajaran berlangsung menggunakan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dalam
penelitian ini adalah lembar aktivitas. Sebelum dan sesudah melakukan serangkaian aktivitas
pembelajaran, siswa diberikan pretest dan postest. Dari kedua tes ini, peneliti memperoleh
informasi bahwa hasil pekerjaan siswa menunjukkan adanya perbedaan antara pretest dan
postest dalam memahami pencerminan atau refleksi. Selanjutnya didalam pembelajaran ini
menunjukkan bagaimana karakteristik PMRI menjadi dasar dalam mendesain setiap
aktivitas. Menurut de Lange (Zulkardi, 2002) ada lima karakteristik PMRI yang
berhubungan dengan pembelajaran ini yaitu:
Karakteristik yang pertama adalah menggunakan masalah kontekstualyang dekat dengan
kehidupan siswa adalah sebagai aplikasi dan titik awal dalam pembelajaran matematika
sehingga konteks yang digunakan dalam pembelajaran refleksi adalah motif kain batik.
Karakteristik yang kedua adalah menggunakan model.Siswa diarahkan untuk
mengembangkan model, skema, dan simbolisasi bukan mendapatkan transfer rumus atau
matematika formal dari guru.Penggunaan model berfungsi sebagai jembatan (bridge) dari
pengetahuan dan matematika tingkat kongkrit menuju pengetahuan matematika tingkat
formal. Menurut Gravemeijer (Zulkardi & Ilma, 2010) terdapat level dalam pembelajaran
PMRI yaitu (a) level situasional dimana strategi-strategi dan pengetahuan yang bersifat
situasional digunakan di dalam penyelesaian konteks yang sajikan, (b) level referensial
dimana model-model dan strategi-strategi mengacu pada situasi yang menggambarkan
permasalahan, (c) level general yang berfokus pada strategi-strategi yang sudah bersifat
matematika dari level referensial, (d) level formal yang bekerja dengan prosedur-prosedur
konvensional dan notasi. Penggunaan motif kain batik merupakan level situasional dimana
peneliti menggunakan konteks yang disajikan dalam proses pembelajaran. Siswa kemudian
menggunakan kemasan produk untuk memahami materi refleksi atau pencerminan.
Karaktersitik yang ketiga adalah menggunakan kontribusi siswa.Dalam proses pembelajaran,
siswa diberikan kesempatan untuk mengembangkan pemikiran mereka seluas-luasnya
kemudian memberikan kontribusi yang diharapkan dari konstruksi siswa sendiri yang
mengarahkan dari metode informal kearah yang lebih formal atau standar.
Karaktersitik yang keempat adalah interaktivitas.Interaksi antar siswa dan siswa dengan guru
merupakan hal penting dalam PMRI yang berguna bagi berlangsungnya proses pembelajaran
secara maksimal. Bentuk-bentuk interaksi dapat berupa negosiasi eksplisit, intervensi,
kooperatif dan evaluasi sesama siswa dan guru. Proses belajar seseorang bukan hanya
sebagai suatu proses individu melainkan juga merupakan proses sosial. Ketika siswa saling
mengkomunikasikan hasil kerja dan gagasan siswa maka proses belajar siswa menjadi lebih
bermakna.
Karakteristik yang kelima adalah keterkaitan dengan topik pembelajaran lainnya (
Intertwinning). Proses pembelajaran menggunakan PMRI diharapkan bisa mengenalkan dan
membangun lebih dari satu konsep matematika dalam waktu bersamaan bahkan dalam
hubungannya dengan pengetahuan lainnya.
Penelitian ini juga mencerminkan tiga prinsip PMRI pada proses pembelajaran yaituguided
reinvention and progressive mathematizing.Prinsip ini menekankan penemuan kembali
secara terbimbing melalui topuk-topik tertentu yang disajikan, siswa diberi kesempatan
untuk membangun dan menemukan kembali ide-ide dan konsep-konsep matematika.
Berdasarkan prinsip guided reinvention, siswa dalam proses pembelajaran materi refleksi
(pencerminan) diberikan kesempatan untuk mengalami proses yang sama mengenai konsep
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 85
refleksi melalui bimbingan guru dengan penggunaan motif kain batik. Prinsip kedua adalah
didactical phenomenology.Prinsip ini menekankan fenomena pembelajaran yang bersifat
mendidik dan menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan topik-
topik matematika kepada siswa.Tantangan dalam prinsip ini yaitu menemukan fenomena
yang bisa dihubungkan dengan konsep matematika.Dalam penelitian ini, konteks
penggunaan motif kain batik digunakan sebagai fenomena dalam pembelajaran materi
refleksi (pencerminan).Selanjutnya prinsip ketiga adalah self-developed model. Prinsip ini
berperan dalam menjembatani jurang pemisah diantara pengetahuan informal dan formal.
Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah dari situai yang dekat
dengan alam siswa dengan melalui generalisasi dan formalisasi model tesebut akan berubah
menjadi model-of masalah tersebut kemudian akan bergeser ke model for selanjutnya akan
berakhir menjadi model formal matematika.Hal ini dapat terlihat pada saat siswa
menyelesaikan permasalahan pada LAS 1 dan LAS 2.
F. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa
penggunaan motif kain batik sangat membantu siswa dalam memahami materi refleksi
(pencerminan) baik refleksi suatu obyek maupun refleksi terhadap garis-garis pada koordinat
kartesius.. Berdasarkan kesimpulan yang telah dijelaskan, beberapa saran yang dapat
direkomendasikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) Diharapkan guru dapat menerapkan lintasan belajar materi refleksi ini sebagai
alternative dalam kegiatan pembelajaran. Pada saat pembelajaran guru diharapkan lebih
aktif menggali kemampuan siswa dan dapat memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menyediakan berbagai motif kain batik yang dapat digunakan pada saat proses
pembelajaran.
b) Diharapkan siswa hendaknya lebih berpartisipasi aktif dalam mengikuti
kegiatan pembelajaran dan lebih mengembangkan pola pikirnya dalam menyelesaikan
permasalahan yang diberikan.
c) Bagi peneliti lain, dapat melanjutkan penggunaan motif kain batik untuk materi
transformasi geometri yang lainnya misalnya rotasi, translasi dan dilatasi.
Daftar Pustaka
Akker, J. V. D, Gravemeijer, K, M, Susan and Nieven.(2006). Educational
DesignResearch.London : Routledge Taylor and Francis Group.
Asmin.(2003). Implementasi Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) dan kendala yang
muncul dilapangan.Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 044.Pusat Data dan
Informasi Pendidikan, Balitbang-Depdiknas (online).Tersedia
:http://www.depdiknas.go.id/jurnal/44/asmin.html. Diakses tanggal 5 Juli 2014.
Baykul,Y. (1999). Teaching of Mathematics at Primary Education 1 and 5.Grade. Ankara:
Anı Publishing, p.35-92.
Bennie, Kate, et al. (1999). Transformations.Malati. Open Society Foundation for South
Africa.
Bouckaert, Charlotte. ( 1995).Transformation geometry in Primary School According to
Michel Demal.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
86 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Boulter, D. R. & Kirby, J. R. (1994). Identification of strategies used in solving
transformational geometry problems. Journal of Educational Research, 87 (5), 298-
303.
Clements, Douglas H, ed. (1998). Geometric and Spatial Thinking in YoungChildren.
Arlinggton: Virginia. Tersedia :http://files.eric.ed.gov/fulltext/ED436232.pdf.
Diakses tanggal 2 Juli 2014.
Copley, Juanita V. (2000). Geometry and Spatial Sense in the Early ChildhoodCurriculum:
Chapter 6 Math Kindergarden Primary. National Association for the Education of
Young Children.
Crowe, D. W. & Thompson, T. M. (1987). ).Transformation and Archaeology.Learning and
teaching Geometry, K-12:1987 yearbook(pp 106-109). Reston, VA : National
Council of Teachers of Mathematics.
D‟Augustine, C. & Smith, C. W. 1992.Teaching Elementary School mathematics. Boston:
Harpe Collins Publisher Inc.
De Lange, J. (1987). Mathematica, Insight and Meaning.Utrecht : OW & OC, The
Netherlands.
Dreyfus, T. (1991).On the status of visual reasoning in mathematics and mathematics
education.In F. Furinghetti (Ed.), Proceedings of the 15thAnnual Conference of the
International Group for the Psychology of Mathematics Education.Italy (Vol. 1, pp.
32-48)
Fujita, T. and Jones, K. (2002). Opportunities for the Development of Geometrical
Reasoning in Current Textbooks in the UK and Japan, Proceedings of the British
Society for Research into Learning Mathematics,22(3), 79-84.
Gerdes, Paulus. 1998. Ethnomathematics as a new research field, illustrade by studies
ofmathematical ideas in African history.
Gravemeijer, K. & Eerde, V. S. (2009).Design research as a Means for Building
aKnowledge Base fo Teaching in Mathematics Education. The Elementary School
Journal.Volume 109 Number 5.
Gravemeijer, K. & Cobb, P. (2006).Design Research from a Learning DesignPerspective. In
Jan Van den Akker, et. Al. K. Gravemeijer, Susan Mc K, & Nienke, N (Eds).
Educational Design research. London and New York : Routledge.
Gray, Anileen. & Sarhangi, R. Study and Application of African Designs for Use
inSecondary Education.
Guven, B. (2012). Using Dynamic Geometry Software to Improve Eight Grade bStudents‟
Understanding of Transformation Geometry. Australian Journal of Educational
Technology, 28(2): 364-382.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 87
Hollebrands, K.F. (2003). High school students understanding of geometrictransformations
in the context of a technological environments. Journal of Mathematical Behavior,
22, 55-72.
Kemdikbud.(2014). Buku MATEMATIKA KELAS VII.Jakarta : Kemdikbud.
Kirby, J.R. & Boulter, D.R. (1999).Spatial ability and transformational geometry. European
Journal of Psychology of Education, 14 (2), 283-294.
Knight, Kathleen Chesley. (2006). An Investigation Into The Change in The VanHiele Levels
of Understanding Geometry of Pre-service Elementary and Secondary Mathematics
Teachers.Thesis Maine University. Maine USA: Maine University.
Permendikbud, 65 A. (2013).Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta : Pusbangprodik.
Peterson, J. C. (1973). Informal geometry in grades 7-14. In K.B. Henderson (Ed), Geometry
in the mathematics curriculum: Thirty-sixth yearbook. pp. 52-91. Washington, DC:
NCTM.
Shielack Jr., V. P. (1987). Mathematical Application of Geometry. Lindquist, M. Mand
Shulte, A. P. (Eds). Learning and teaching Geometry, K-12. 1987.Yearbook. Reston.
VA : NCTM.
Soedjadi, R. (2007). Inti Dasar-dasar Pendidikan Matematika Realistik Indonesia. Jurnal
Pendidikan Matematika. I(2). 1-5.
Van de Walle, J. A. (2008). Matematika Sekolah Dasar danMenengah:Pengembangan
Pengajaran. Jakarta : Erlangga.
Wijaya, A. (2012). Pendidikan Matematika Realistik Suatu Alternatif
PendekatanPembelajaran Matematika. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Wesley, Addison. (2005). Math Makes Sense. Canada : Pearson Education Canada Inc.
Zazkis, R., Dautermann, J & Dubinsky, E. (1996).Coordinating visual and analytical
strategies.A study of students‟understanding of the group D4.Journal for Research
in Mathematics Education, 27 : 435-457.
Zulkardi. (2002). Developing A Learning Environment on Realistic MathematicsEducation
for Indonesian Student Teachers.Doctoral Thesis of Twente University. Enschede:
Twente University.
.(2009). The “P” in PMRI: Progress and Problems. In Proceddings of ICMA 2009
Mathematics Education, pp. 773-780.Yogyakarta : IndoMs.
.(2010). How to Design Mathematics Lessons based on the Realistic
Approach?.www.reocities.com/ratuilma/rme.html. Diakses 5 Juli 2014.
Zulkardi & Ilma, R. (2006). Mendesain Sendiri Soal Kontekstual MatematikaProsiding
KNM13. Semarang : Indonesia
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
88 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF
MATEMATIK SISWA SMK DENGAN PENDEKATAN
CREATIVE PROBLEM SOLVING.
Eka Senjayawati
STKIP SILIWANGI BANDUNG
ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pentingnya kemampuan berpikir kreatif matematik
siswa SMK. Kenyataan di lapangan, siswa terbiasa dengan soal-soal rutin yang mudah
dikerjakan dengan satu solusi sehingga menghambat proses berpikir kreatif
matematiknya. Tujuan penelitian ini untuk menelaah apakah peningkatan kemampuan
berpikir kreatif matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan
pendekatanCreative Problem Solving lebih baik daripada yang menggunakan
pembelajaran dengan pendekatan konvensional.Penelitian ini berbentuk metode kuasi
eksperimen dengan desain kelompok kontrol pretes postes. Kelas eksperimen
memperoleh pembelajaran dengan pendekatan creatve problem solving dan kelas
kontrol memperoleh pendekatan secara konvensional. Instrumen berupa tes
kemampuan berpikir kreatif matematik. Populasi penelitian ini adalah siswa SMK
Teknik di Kota Cimahi. Sampel dipilih kelas XI TKJ 1 sebagai kelas eksperimen dan
XI TKJ 2 sebagai kelas kontrol. Analisis data dilakukan secara kuantitatif, untuk
melihat perbedaan rata-rata kedua kelas dengan uji-t.Berdasarkan hasil perhitungan
diperolehbahwa peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang
memperoleh pembelajaran dengan pendekatan creative problem solving lebih baik
daripada yang menggunakan pembelajaran dengan pendekatan konvensional.
Kata Kunci: Pendekatan Creative Problem Solving, Berpikir Kreatif Matematik
A. Pendahuluan
Matematika memiliki peranan penting dalam proses berpikir siswa yaitu untuk membentuk
kemampuan menganalisis, berpikir kreatif, kritis, logis, dan sistematis. Munandar (2009:7)
menyatakan bahwa kemajuan teknologi menuntut individu untuk beradaptasi secara kreatif.
Perkembangan ilmu dan teknologi menuntut kita agar memiliki kreatifitas dalam
mengembangkan berbagai macam inovasi baru baik dalam pendidikan maupun non
pendidikan. Semiawan (Sumarmo,2012:37) mengemukakan bahwa kreativitas adalah
kemampuan menyusun idea baru dan menerapkannya dalam pemecahan masalah dan
kemampuan mengidentifikasi asosiasi antara dua idea yang kurang jelas. Kreativitas
diperlukan tidak hanya dalam hal seni atau sastra saja tetapi dalam mempelajari dan
memahami pembelajaran matematika juga kita dituntut untuk berpikir lebih kreatif. Hal ini
selaras dengan pernyataan Mahmudi, (2010:3) yang menyatakan bahwa kreativitas tidak
hanya terjadi pada bidang-bidang tertentu seperti: seni, sastra, atau sains, melainkan juga
ditemukan dalam berbagai bidang kehidupan termasuk matematika. Untuk itu proses berpikir
kreatif atau melakukan kreatifitas dinilai sangat perlu dalam menyelesaikan masalah pada
pembelajaran matematika. Kreativitas dalam matematika lebih ditekankan pada prosesnya,
yakni proses berpikir kreatif matematik. Kenyataan di lapangan kemampuan berpikir siswa
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 89
masih terikat pada budaya menghafal rumus dan mengerjakan soal rutin yang mudah ditebak
atau dikerjakan dengan satu solusi. Hal ini menghambat kemampuan berpikir kreatif siswa.
Perlu adanya metoda atau suatu pendekatan yang mendukung hal tersebut. Pendekatan
Creative Problem Solving adalah suatu pembelajaran yang berpusat pada keterampilan siswa
dalam memecahkan masalah, yang diikuti dengan penguatan kreatifitas. Ketika dihadapkan
dengan pertanyaan atau permasalahan, siswa dapat melakukan keterampilan untuk memilih
dan mengembangkan solusi dalam menyelesaikannya. Tidak hanya dengan cara menghafal
tanpa dipikir, keterampilan memecahkan masalah memperluas proses berpikir siswa.
Pembelajaran seperti ini akan membuat siswa lebih aktif dan lebih efektif karena siswa lebih
mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit dengan mendiskusikan
masalah tersebut dengan rekannya.Kelebihan dari Creative Problem Solving adalah siswa
dilatih untuk:
1. Menyatakan urutan langkah-langkah pemecahan masalah.
2. Menemukan kemungkinan-kemungkinan strategi pemecahan masalah.
3. Mengevaluasi dan menyeleksi kemungkinan-kemungkinan tersebut kaitannya dengan
kriteria-kriteria yang ada.
4. Memilih suatu pilihan solusi yang optimal.
5. Mengembangkan ide dan pemikirannya.
Berdasarkan uraian pada latar belakang maka permasalahan dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut,
1. Apakah peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan pendekatan creative problem solvinglebih baik daripada yang
memperoleh pembelajaran dengan pendekatan konvensional?
B. Landasan Teori
1. Pendekatan Creative Problem Solving
PendekatanCreative Problem Solving (CPS) merupakan pendekatan pembelajaran yang
difokuskan pada keterampilan siswa dalam memecahkan masalah atau suatu pembelajaran
yang berpusat pada keterampilan pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan
kreatifitas. Seperti yang diungkapkan oleh Pepkin (Suryani, 2013:30) bahwa CPS merupakan
suatu model pembelajaran yang melakukan pemusatan pada pengajaran dan keterampilan
pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan keterampilan. Tidak hanya dengan cara
menghafal tanpa dipikir, keterampilan memecahkan masalah dapat memperluas berpikir
kreatif pesertadidik. CPS merupakan variasi pemecahan masalah dengan teknik yang
sistematik.Sintaks pembelajaran CPS (Huda, 2014:298):
Langkah 1 : Objective Finding
Siswadibagi kedalam kelompok-kelompok. Siswa mendiskusikan situasi permasalahan yang
diajukan guru dan membrainstorming sejumlah tujuan atau sasarna yang bisa digunakan
untuk kerja kreatif siswa.
Langkah 2 : Fact Finding
Siswa membrainstorming semua fakta yang mungkin berkaitan dengan sasaran tersebut.
Langkah 3 :Problem Finding
Salah satu aspek kreatifitas adalah mendefinisikan kembali permasalahan agar siswa lebih
dekat dengan masalah sehingga memungkinkannya untuk menemukan solusi lebih jelas.
Langkah 4 :Idea Finding
Pada langkah ini gagasan siswa didaftar agar terlihat kemungkinan menjadi solusi dari suatu
permasalahan. Setelah gagasan terkumpul, sortir gagasan yang potensial dan tidak potensial
sebagai solusi. Evaluasi gagasan secara cepat agar menjadi pertimbangan solusi lebih lanjut.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
90 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Langkah 5: Solution Finding
Gagasan yang memliki potensi terbesar dievaluasi bersama. Salah satu caranya dengan
membrainstorming criteria yang dapat menentukan seperti apa solusi terbaik seharusnya.
Kriteria ini dievaluasi hingga menghasilkan penilaian secara final.
Langkah 6 : Acceptance Finding
Siswa mulai mempertimbangkan isu-isu nyata dengan cara berpikir yang sudah mulai
berubah. Siswa diharapkan sudah memiliki cara baru untuk menyelesaikan berbagai masalah
secara kreatif . Gagasan-gagasan mereka diharapkan sudah bisa digunakan tidak hanya untuk
menyelesaikan masalah tetapi juga untuk mencapai kesuksesan.
Langkah-langkah atau sintaks pembelajaran Creative Problem Solving dalam pembelajaran
secara umum dirangkum oleh Suryani (2013:32) adalah sebagai berikut:
a. Klarifikasi Masalah
Klarifikasi masalah meliputi pemberian penjelasan kepada siswa tentang masalah yang
diajukan, agar siswa dapat memahami tentang penyelesaian yang diharapkan.
b. Pengungkapan Gagasan
Siswa dibebaskan untuk mengungkapkan gagasan tentang berbagai macam strategi
penyelesaian masalah.
c. Evaluasi dan Seleksi
Setiap kelompok mendiskusikan pendapat-pendapat atau strategi-strategi yang cocok
untuk menyelesaikan masalah.
d. Implementasi
Siswa menentukan strategi yang dapat diambil untuk menyelesaikan masalah, kemudian
menerapkannya sampai menemukan penyelesaian dari masalah tersebut.
2. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik
Berpikir kreatif merupakan suatu aktivitas yang terkait dengan kepekaan terhadap
masalah,mengkaji masalah, mengemukakan informasi baru dan ide-ide yang tidak biasanya
dengan suatu pikiran terbuka, serta dapat membuat hubungan-hubungan dalam
menyelesaikan masalah tersebut. Nicholl (Rohaeti, 2008 : 18) mengatakan bahwa langkah-
langkah yang harus dilakukan untuk menjadi orang kreatif adalah: mengumpulkan informasi
sebanyak-banyaknya; berpikir empat arah; memunculkan banyak gagasan; mencari
kombinasi terbaik dari gagasan-gagasan itu; memutuskan mana kombinasi terbaik; dan
melakukan tindakan.
Menurut Hariman (Huda, 2011) berpikir kreatif adalah suatu pemikiran yang berusaha
menciptakan gagasan yang baru. Silver dan Sriraman (Sumarmo, 2012) mendefinisikan
kreativitas matematik sebagai kemampuan pemecahan masalah dan berpikir matematik
secara deduktif dan logis. Kemudian Coleman dan Hammen (Sumarmo, 2012) menyatakan
bahwa berpikir kreatif merupakan cara berpikir yang menghasilkan sesuatu yang baru dalam
konsep, pengertian, penemuan dan karya seni. Berpikir kreatif dapat juga diartikan sebagai
suatu kegiatan mental yang digunakan untuk membangun ide atau pemikiran yang
baru.Pendapat lain dari Pehkonen (Huda, 2011), memandang berpikir kreatif sebagai suatu
kombinasi dari berpikir logis dan berpikir divergen yang didasarkan pada intuisi tetapi masih
dalam kesadaran. Maksud berpikir divergen sendiri adalah memberikan bermacam-macam
kemungkinan jawaban dari pertanyaan yang sama. Berpikir kreatif adalah kemampuan
menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah,. Semakin tinggi tingkat
berpikir kreatif seseorang, ia akan pandai menunjukkan berbagai variasi atau berbagai cara
dalam penyelesaian masalah bahkan tertuang ide-ide dan inovasi yang baru.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 91
Indikator-indikator kemampuan berpikir kreatif dirangkum sebagai berikut:
a. Kepekaan (Problem Sensitivity) adalah kemampuan mendeteksi (mengenali dan
memahami) serta menanggapi suatu pernyataan, situasi dan masalah.
b. Kelancaran (Fluency) adalah kemampuan untuk menghasilkan banyak gagasan.
c. Keluweasan (Flexibility) adalah kemampuan untuk mengemukakan bermacam-macam
pemecahan atau pendekatan terhadap masalah.
d. Keaslian (Originality) adalah kemampuan untuk mencetuskan gagasan dengan cara-cara
yang asli, tidak klise dan jarang diberikan kebanyakan orang.
e. Elaborasi (Elaboration) adalah kemampuan menambah situasi atau masalah sehingga
menjadi lengkap, dan merincinya secara detail, yang didalamnya dapat berupa tabel,
grafik, gambar, model dan kata-kata.
C. Metode dan Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan desain,
O X O (Ruseffendi, 2005 : 53)
O O
Keterangan :
O : Tes Kemampuan berpikir kreatifmatematik
X : Perlakuan dengan Creative Problem Solving
D. Analisis dan Pembahasan
1. Analisis Data
a. Uji Normalitas Data Pretes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik
Untuk menguji kenormalan data pretes digunakan uji statistik kolmogorov-smirnov dengan
taraf signifikansi 0,05 dengan hipotesis sebagai berikut:
: sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal
: sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal
Berikut ini adalah hasil uji normalitas data pretes kelas eksperimen dan kontrol:
Tabel 4. 1
Hasil Analisis Uji Normalitas Data Pretes
Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik
Kelas Pretes
Statistic Df Sig.
Eksperimen 0,181 30 0,015
Kontrol 0,117 30 0,021
Kriteria pengambilan keputusan uji normalitas adalah sebagai berikut:
1) Jika nilai signifikansi lebih kecil atau sama dengan 0,05 maka ditolak
2) Jika nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 maka diterima
Berdasarkan kriteria pengambilan keputusan dan data pada Tabel 4.1 di atas, terlihat bahwa
nilai signifikansi untuk kelas eksperimen lebih kecil dari 0,05 yaitu 0,015 artinya ditolak
atau sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal. Nilai signifikansi pada
kelas kontrol pun lebih kecil dari 0, 05 yaitu 0, 021 artinya ditolak atau sampel berasal
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
92 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
dari populasi yang tidak berdistribusi normal. Karena kedua data sampel berasal dari
populasi yang tidak berdistribusi normal, maka selanjutnya harus di uji non parametrik yaitu
uji Mann Whitney.
b. Uji Mann Whitney Data Pretes Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik
Setelah di uji normalitasnya, kedua sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi
normal, maka dilanjutkan ke uji non parametrik yaitu uji Mann Whitney. Hipotesis
pengujiannya adalah,
: = , tidak terdapat perbedaan secara signifikan antara kemampuan awal berpikir
kreatif matematik siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol
: , terdapat perbedaan secara signifikan antara kemampuan awal berpikir kreatif
matematik siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol
Kriteria pengambilan keputusan untuk uji Mann Whitney data pretes adalah:
1) Jika nilai signifikansi lebih kecil atau sama dengan 0,05 maka ditolak
2) Jika nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 maka diterima
Berikut ini adalah hasil uji Mann Whitneydata pretes kemampuan berpikir kreatif matematik,
Tabel 4.2
Hasil Analisis Uji Mann Whitney Data Pretes Kemampuan Berpikir Kreatif
Matematik
Sig Hipotesis
Berpikir Kreatif
Matematik
0,651 Terima
Dari hasil analisis Tabel 4.2 diperoleh bahwa nilai signifikansi lebih besar dari 0, 05 yaitu
0,651 maka diterima artinya tidak terdapat perbedaan secara signifikan antara
kemampuan awal berpikir kreatif matematik siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol.
c. Uji Normalitas Data Gain Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik Terlebih dahulu data gain di uji normalitasnya dengan uji statistik kolmogorov-smirnov
dengan hipotesis sebagai berikut:
: sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal
: sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal
Kriteria pengambilan keputusan uji normalitas adalah sebagai berikut:
1) Jika nilai signifikansi lebih kecil atau sama dengan 0,05 maka ditolak
2) Jika nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 maka diterima
Berikut ini adalah hasil uji normalitas data pretes kelas eksperimen dan kontrol,
Tabel 4.3
Hasil Analisis Uji Normalitas Data Gain
Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik
Kelas Gain
Statistic Df Sig.
Eksperimen 0,115 30 0,052
Kontrol 0,720 30 0,006
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 93
Berdasarkan kriteria pengambilan keputusan dan data pada Tabel 4.3 di atas, terlihat bahwa
nilai signifikansi salah satu kelas yaitu kelas kontrol lebih kecil dari 0,05 yaitu 0,006 artinya
ditolak atau sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal. Maka,
dilakukan uji Mann Whitney.
d. Uji Mann Whitney Data Gain Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik Hipotesis penelitian yang diajukan yaitu, “Peningkatan kemampuan berpikir kreatif
matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan creative problem
solving lebih baik secara signifikan daripada yang memperoleh pembelajaran dengan
pendekatan konvensional”.
Untuk menguji hipotesis di atas digunakan uji satu pihak yang dirumuskan sebagai berikut,
: ≤
: >
: Peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa kelas eksperimen tidak lebih
baik secara signifikan atau sama dengan kelas kontrol
: Peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa kelas eksperimen lebih baik
secara signifikan daripada kelas kontrol
Tabel 4.4
Hasil Uji Mann Whitney Data Gain
Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik
Sig Hipotesis
Berpikir Kreatif 0,001 Tolak
Kriteria pengambilan keputusan untuk uji Mann Whitney data gain sebagai berikut:
1) Jika nilai sig.(2-tailed) lebih kecil atau sama dengan 0,05 maka ditolak
2) Jika nilai sig.(2-tailed) lebih besar dari 0,05 maka diterima
Berdasarkan Tabel 4.4 diperoleh Sig.(2-tailed) = 0,000 maka nilai sig.(2-tailed) =
0,0005dalam Uyanto (2009:145). Sesuai dengan kriteria pengambilan keputusan maka nilai
signifikansi lebih kecil dari 0,05 artinya ditolak. Hal ini berarti bahwa peningkatan
kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan
pendekatan creative problem solving lebih baik daripada yang memperoleh pembelajaran
konvensional.
E. Kesimpulan Peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang memperoleh pembelajaran
dengan pendekatan creative problem solving lebih baik daripada yang menggunakan
pembelajaran dengan pendekatan konvensional.
Daftar Pustaka
Huda, C. (2011). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa dalam Memecahkan
Masalah Matematika dengan Model Pembelajaran Treffinger pada Materi Pokok
Keliling dan Luas Persegipanjang. [Online]. Tersedia: http://digilib.sunan-
ampel.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jiptiain--chotmilhud-9908.html
(Di akses pada 12 September 2015).
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
94 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Huda, M. (2014). Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran:Isu-Isu Metodis dan
Paradigmatis.Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Mahmudi, A. (2010). Mengukur Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis. Makalah,
Yogyakarta.
Munandar, U. (2009). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat.Jakarta: PT. Rineka Cipta
Rohaeti, E. E. (2008). Pembelajaran Dengan Pendekatan Eksplorasi Untuk
Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Dan Kreatif Matematik Siswa Sekolah
Menengah Pertama. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UPI. Bandung : Tidak
Diterbitkan.
Ruseffendi, E.T. (2005). Dasar-Dasar Penelitian dan Bidang Non-Eksakta. Bandung:Tarsito
Sumarmo, U. (2012). Bahan Ajar Mata Kuliah Proses Berpikir Matematik Program S2
Pendidikan Matematika STKIP SILIWANGI. Bandung:Tidak diterbitkan.
Suryani, A. (2013). Keefektifan Creative Problem Solving (CPS) dengan Pemanfaatan CD
Pembelajarandan Alat Peraga terhadap Sikap Kreatif dan Hasil Belajar Peserta
Didik Kelas VII MTS Miftahul Khoirot Tahun Pelajaran 2011/2012 pada Materi
Pokok Persegi dan Belah Ketupat. [Online]. Tersedia:
http://lib.unnes.ac.id/17440/1/4101408080.pdf. (Diakses 8 Juli 2015).
Uyanto, S. (2009). Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Yogyakarta:Graha Ilmu
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 95
DESAIN PEMBELAJARAN MATERI MERANCANG MODEL
MATEMATIKA DARI MASALAH PROGRAM LINEAR DI
SEKOLAH MENENGAH ATAS
Eli Yuliana
Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Sriwijaya
ABSTRAK
Pembelajaran dengan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)
tidak hanya menciptakan pembelajaran menjadi bermakna tetapi juga diharapkan
dapat mendorong minat siswa untuk belajar. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini
bertujuan untuk membuat siswa dapat mempresentasikan model matematika dari
masalah program linear yaitu pembuatan pagar sekolah dan merencanakan lintasan
belajar merancang model matematika dari masalah program linear dengan konteks
pembuatan pagar sekolah pada pendekatan PMRI di Sekolah Menengah Atas.
Penelitian melalui tiga tahap yaitu Preliminary Design, pilot eksperiment dan teaching
eksperiment, Retrospective Analysis dengan menggunakan dua kelompok siswa yaitu
kelompok eksperimen yang menggunakan pendekatan PMRI dalam pembelajaran
dengan konteks pembuatan pagar sekolah dan kelompok kontrol yang menggunakan
pendekatan konvensional ataupun klasikal yaitu pembelajaran berbasis buku teks.
Rancangan lintasan belajar akan diujikan pada tahap pilot eksperiment, dibandingkan
dengan kejadian sebenarnya, kemudian diperbaiki dan diujikan kembali pada tahap
teaching eksperiment
Kata kunci : Program linear, PMRI, Lintasan Belajar, Konteks pembuatan pagar
sekolah.
A. Pendahuluan
Dantzig (1963) menyatakan bahwa “linear programming is a technique for the optimization
of a linear objective function, subject to linear equality and linear inequality constrains”
yang berarti bahwa program linear adalah teknik untuk optimasi fungsi tujuan linear,
mengikuti aturan persamaan linear dan kendala pertidaksamaan linear. Sedangkan menurut
Rao, S (2011), program linear adalah teknik matematika sebagai alokasi optimum terhadap
sumber daya seperti tenaga kerja, material, modal, energi, dan lain sebagainya.
Berdasarkan BNSP (2006), Materi program linear diajarkan di kelas XII. Materi ini
merupakan aplikasi aljabar yang sangat penting untuk dipahami sebagai prasyarat untuk
dapat memahami materi lanjut. Pentingnya pemahaman tentang materi ini karena materi ini
selalu diujikan dalam ujian nasional dan tes masuk ke perguruan tinggi. Menurut Supranto
(2005), materi program linear merupakan cabang matematika yang salah satunya sering
dipakai dalam kehidupan sehari-hari yaitu : bidang ekonomi, perindustrian, dan
perdagangan. Sehingga dengan mempelajari materi ini, siswa dapat mempelajari bagaimana
cara mendapatkan keuntungan maksimal ataupun modal minimum menggunakan sumber
daya yang terbatas.
Mengingat pentingnya materi program linear untuk dipelajari siswa dan melihat data
Puspendik (2014) laporan hasil Ujian Nasional matematika SMA program IPS yang
memperlihatkan terjadinya penurunan daya serap pada kompetensi fungsi persamaan dan
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
96 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
pertidaksamaan yang didalamnya terdapat materi program linear. Hal tersebut dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 1. Daya Serap Matematika IPS tahun 2012, 2013, dan 2014
KOMPETENSI 2012 2013 2014
LogikaMatematika 81.61 64.78 54.16
BarisandanDeret 83.48 59.87 56.42
Eksponen, Barisan, danDeret 84.24 65.38 62.08
FungsiPersamaandanPertidaksamaan 81.86 60.89 55.20
Matriks 81.30 65.85 59.14
Kalkulus 71.58 59.72 59.50
StatistikadanPeluang 72.11 52.84 43.38
Sumber : Pusat Penilaian Pendidikan (2014), Laporan Hasil Ujian Nasional 2014
Menurunnya hasil Ujian Nasional matematika SMA program IPS pada kompetensi fungsi
persamaan dan pertidaksamaan yang memuat materi program linear sejalan dengan yang
dikatakan oleh Stebens & Palocsay (2004) “In recent years, student continue no have great
difficulty with the process of constructing a linear programming model” bahwa dalam
beberapa tahun terakhir siswa terus memiliki kesulitan besar dalam merumuskan model dari
permasalahan program linear. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, menurut
penelitian Afgani, Darmawijoyo, & Purwoko (2008) menyatakan bahwa masih banyak
kesalahan yang dilakukan siswa dalam memecahkan masalah program linear, masih banyak
siswa yang salah dalam menentukan daerah himpunan penyelesaian, hal ini dikarenakan
siswa tidak memahami perkataan „biaya serendah-rendahnya atau untung sebesar-besarnya‟.
Asih (2011) juga mengatakan bahwa beberapa kesalahan lain yang dilakukan siswa adalah
kesalahan menuliskan apa yang diketahui dan ditanyakan soal, kesalahan membuat model
matematika, kesalahan menuliskan tanda pertidaksamaan , kesalahan memanipulasi aljabar,
kesalahan dalam perhitungan dan juga kesalahan pada penarikan kesimpulan. Sedangkan
Hidayat & Zanaton (2014) mengatakan bahwa kesalahan siswa yang paling dominan adalah
akibat dari kesulitan siswa memahami soal cerita terkait masalah sehari-hari sehingga terjadi
kesalahan konsep dalam pemecahan masalah program linear.
Permasalahan diatas terjadi juga pada siswa kelas XII IPS SMA N 2 Talang Ubi ketika
belajar materi program linear. Kesulitan memahami program linear terutama memahami
kalimat matematika, seperti merubah soal cerita menjadi model matematika. Problematika
pembelajaran program linear di SMA terutama kelas XII IPS adalah sebagian besar siswa
merasa kesulitan memahami program linear terutama dalam memahami kalimat
matematikanya. Hal ini sangat dimungkinkan karena program linear berkaitan dengan sistem
pertidaksamaan. Sistem pertidaksamaan merupakan langkah awal merumuskan model
matematika.
Menurut Siswanto (2007), Sallan, Lordan, Fernandez (2015), hal terpenting untuk
merumuskan model matematika dari masalah program linear adalah menentukan empat
unsur utamanya yaitu : (1) variabel keputusan, yaitu variabel yang mempengaruhi nilai
tujuan yang hendak dicapai, (2) fungsi tujuan, yaitu fungsi yang harus berbentuk linear.
Fungsi tujuan adalah fungsi yang akan di optimumkan, (3) fungsi kendala, adalah pembatas
terhadap variabel keputusan yang dibuat , (4) fungsi non negative yaitu fungsi yang
menyatakan bahwa setiap variabel dari program linear tidaklah negative.
Sudah banyak metode pengajaran program linear yang dikembangkan untuk dapat
merumuskan model matematika dan menyelesaikannya. Nurmalia, Hartono, Putri (2013)
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 97
mendesain bahan ajar program linear menggunakan konteks makanan tradisional Palembang
yaitu pembuatan srikaya dan kojo. Dengan menggunakan konteks pembuatan srikaya dan
kojo tersebut siswa dapat menemukan cara merumuskan model matematika dan menemukan
penyelesainnya. Powers, Kalder (2006) mengajarkan program linear dengan menggunakan
permasalahan dunia nyata melalui pembelajaran kooperatif. Stevens & Paloscay (2004)
menggunakan pendekatan terjemahan untuk pengajaran program linear yaitu bagaimana
menterjemahkan masalah dunia nyata kedalam bahasa matematika melalui langkah-langkah
yang terdefinisi dengan baik, dari langkah-langkah menterjemahkan tersebut siswa mampu
membuat model matematika dan menyelesaikannya.
Berdasarkan penelitian-penelitian diatas, maka salah satu usaha untuk membuat
pembelajaran program linear lebih bermakna dan siswa tertarik untuk belajar program
linear, dapat menggunakan salah satu pendekatan pembelajaran yang menggunakan dunia
nyata sebagai konteks pembelajaran yaitu pendekatan matematika realistik. Di Indonesia
lebih dikenal dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI).
Gavemeijer (1994) menyatakan bahwa dengan matematika relistik dapat membantu guru dan
siswa dalam proses pembelajaran dikelas mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan.
Hal ini sesuai dengan prinsip utama dari PMRI, yaitu : (1) guided reinvention and
progressive mathematizing, penemuan kembali dengan bimbingan dan matematika progresif,
(2) didactical phenomology, fenomenaa didaktik, (3) self developed models, pengembangan
model sendiri.
Dengan mengaitkan pembelajaran ke dunia nyata, siswa diharapkan akan tertarik untuk
mempelajarai materi yang diajarkan. Salah satu konteks yang bisa dilihat siswa dalam
kehidupan sehari-hari adalah rencana pembuatan pagar. Dalam penelitian ini konteks
rencana pembuatan pagar yang dipakai adalah rencana pembuatan pagar sekolah. Konteks
pembuatan pagar tersebut dispesifikan lagi bahwa rencana pembuatan pagar sekolah adalah
dengan membuat kombinasi dua jenis pagar yaitu pagar teralis dan pagar benton, dengan
batasan anggaran pembelian bahan dan anggaran upah pasang tukang. Luas masing-masing
pagar yang akan dibuat sudah ditentukan. Dari permasalahan tersebut, siswa mempelajari
materi program linear.
Terdapat tiga kompetensi dasar pada program linear untuk kurikulum KTSP yaitu, (1)
Menyelesaikan sistem pertidaksamaan linear dua variabel, (2) Merancang model matematika
dari masalah program linear, (3) Menyelesaikan model matematika dari masalah program
linear dan penafsirannya.
Gaspersz (2004) mengatakan bahwa Linear Programming (LP) merupakan teknik riset
operasi yang telah dipergunakan secara luas dalam berbagai jenis masalah manajemen
perencanaan. Hilier & Lieberman (2001) mengatakan bahwa pemograman linear adalah
suatu model matematis untuk menggambarkan masalah yang dihadapi. Kata sifat „linear‟
bahwa semua fungsi matematis dalam model ini merupakan fungsi linear, sedangkan kata
„pemrograman‟ adalah sinonim dari perencanaan. Perencanaan yang dimaksud umumnya
adalah perencanaan aktifitas kegiatan ekonomi. Sehingga rencana pembuatan pagar sekolah
dapat dijadikan konteks pembelajaran materi program linear.
Pada pembuatan pagar sekolah, siswa membuat perencanaan untuk pembuatan dua jenis
pagar yaitu pagar teralis dan pagar beton. Anggaran untuk pembelian bahan dan upah pasang
tukang diketahui. Luas masing-masing pagar yang akan dibuat sudah ditentukan. Melalui
tahapan pemodelan siswa dapat menentukan biaya minimum yang akan dikeluarkan sekolah.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
98 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Pembelajaran program linear dengan konteks pembuatan pagar sekolah bertujuan untuk
membuat pembelajaran lebih menarik dan bermakna untuk siswa dan berhubungan dengan
kehidupan nyata sehingga bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Penelitian ini bertujuan untuk mendesain pembelajaran materi program linear dalam aspek
merancang model matematika dan menyelesaikannya dengan menggunakan konteks
pembuatan pagar sekolah. Kegiatan pembelajaran terdiri dari beberapa aktifitas berdasarkan
tahap-tahap pemodelan matematika sampai penyelesaiannya. Dari tahapan tersebut, siswa
akan berdiskusi menyelesaikan permasalahan dan mencari biaya minimum yang dikeluarkan
sebagai solusi dari permasalahan program linear. Peneliti mengangkat judul “Desain
Pembelajaran Materi Merancang Model Matematika dari Masalah Program Linear di
Sekolah Menengah Atas “
Dari uraian diatas, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana
masalah pembuatan pagar sekolah dengan pendekatan PMRI dapat membantu siswa
mempresentasikan model matematika dari masalah program linear ? dan
bagaimana lintasan belajar merancang model matematika dari masalah program linear
dengan konteks pembuatan pagar sekolah dengan pendekatan PMRI di Sekolah Menengah
Atas ?
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah siswa dapat
mempresentasikan model matematika dari masalah program linear yaitu pembuatan pagar
sekolah dengan pendekatan PMRI dan Merencanakan lintasan belajar merancang model
matematika dari masalah program linear dengan konteks pembuatan pagar sekolah pada
pendekatan PMRI di Sekolah Menengah Atas.
Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi : (1) siswa, siswa menjadi lebih
termotivasi dalam memecahkan masalah program linear karena didesain dengan menarik dan
bermakna. (2) guru, dapat dijadikan sebagai bahan tambahan informasi dalam inovasi
pembelajaran dan meningkatkan profesionalisme guru dalam strategi pengajaran bagi
pembelajaran matematika materi program linear dengan pendekatan PMRI dalam
pembelajaran. (3) peneliti lainnya, sebagai masukan untuk meneliti dan mengembangkan
pembelajaran matematika materi program linear.
B. Subjek, Tempat dan Waktu Penelitian
Seperti sudah dikemukakan sebelumnya bahwa kompetensi yang akan dicapai siswa adalah
merancang model matematika dari masalah program linear dengan menggunakan objek-
objek yang tertera dalam kurikulum sekolah menengah atas (SMA) maka subjek dalam
penelitian ini adalah siswa kelas XII SMA. Jumlah subjek adalah 34 dimana 6 siswa
berpartisipasi dalam preliminary desigrn dan 28 siswa berpartisipasi dalam teaching
experiment. Preliminary design dan teaching experiment akan dijelaskan pada bagian
selanjutnya. Penelitian ini dilakukan di semester genap tahun ajaran 2016/2017 di SMAN 2
Talang Ubi Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, Sumatera Selatan.
C. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan untuk menciptakan lintasan belajar yang empiris dalam pada
materi program linear serta kontribusinya dalam mendukung kemampuan pemecahan
masalah siswa. Oleh karenanya, Design Research dipilih sebagai pendekatan penelitian ini
karena sejalan dengan tujuan penelitian.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 99
Terdapat tiga fase utama dalam penelitian ini. Dalam proses penelitian ini, peneliti mengikuti
tiga fase penelitian (Gravemeijer dan Cobb, 2006). Penjelasan tahapan penelitian tersebut
seperti berikut ini:
tahap 1 : Preliminary Design
Sebelum mendesain berbagai aktivitas dalam penelitian, peneliti memperoleh ide awal dari
berbagai kajian literatur. Informasi yang diperoleh melalui observasi kelas digunakan untuk
merancang serangkaian kegiatan pembelajaran yang berisi dugaan strategi pemikiran siswa.
Selanjutnya peneliti akan menjelaskannya dalam 3 bagian, yaitu :
a. Kajian Literatur
Pada tahap ini dilakukan kajian literatur mengenai materi pembelajaran yaitu program linear,
bagaimana membangun topik tersebut agar dapat meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah siswa, PMRI, dan desain riset sebagai dasar perumusan dugaan strategi awal siswa
dalam pembelajaran .
b. Observasi Kelas dan Wawancara dengan Guru
Peneliti melakukan pengamatan terhadap kegiatan belajar siswa di kelas. Tujuan diadakan
pengamatan kelas adalah untuk mengetahui kondisi siswa, kondisi kelas, norma yang
berlaku di kelas. Hal ini meliputi jumlah siswa, kebiasaan kelas, aktivitas guru dan siswa di
kelas, interaksi guru dengan siswa dan interaksi antar-siswa, proses pembelajaran di kelas.
Wawancara kepada guru memberikan informasi mengenai guru mengajar. Tujuannya adalah
agar kegiatan pembelajaran yang dibuat sesuai dengan guru. Daftar pertanyaan dalam
wawancara diarahkan untuk menggali informasi mengenai latar belakang guru,
pengalamannya dalam mengajar, pengetahuannya tentang PMRI, pengetahuan tentang
pengajaran(managemen kelas, pendekatan pembelajaran, dan penilaian) dan konsep guru
dalam mengajarkan program linear.
c. Mendesain Hypothetical Learning Trajectory (HLT)
Sebelum pelaksanaan penelitian, serangkaian aktivitas pembelajaran yang berisi dugaan
tentang strategi siswa dan perkembangan cara berpikir siswa dari tahap formal ke informal
dirancang. Pendesainan HLT bersifat dinamis dan dapat direvisi sewaktu-waktu serta dapat
disesuaikan saat penelitian sedang berlangsung (teaching experiment).
Tahap II: Teaching Experiment
a. Pilot Experiment - Siklus 1
Pilot Experiment bertujuan untuk mengujicobakan HLT yang telah didesain guna
mengumpulkan data untuk menyesuaikan dan merevisi (jika diperlukan) HLT awal pada
tahap teaching experiment nantinya. Dalam penelitian percobaan ini dilakukan diskusi
dengan guru model agar HLT tersebut dapat mencapai sasaran dari tujuan pembelajaran.
Adanya saran dari guru model sangat membantu peneliti dalam penyesuaian pendesainan
HLT awal karena guru lebih mengetahui kondisi siswa yang menjadi sampel pada penelitian.
b. Teaching Experiment - Siklus 2
Tahap teaching experiment merupakan tahap inti dari Desain Riset karena pada tahap ini
HLT yang telah didesain dan diperbaiki pada tahap sebelumnya diujicobakan di kelas
sesungguhnya yang menjadi subjek penelitian. Hasil penelitian dari tahap ini adalah untuk
menjawab pertanyaan penelitian. Guru bertindak sebagai pengajar sedangkan peneliti
mengobservasi setiap aktivitas belajar siswa. Sebelum kegiatan pembelajaran (teaching
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
100 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
experiment) dimulai, peneliti dan guru model berdiskusi tentang kegiatan pembelajaran pada
hari tersebut. Selama proses pembelajaran berlangsung, ide-ide dan dugaan-dugaan dapat
dimodifikasi sebagai revisi untuk aktivitas berikutnya. Selanjutnya, setelah aktivitas
pembelajaran selesai, peneliti dan guru model melakukan pencerminan dari kegiatan
pembelajaran yang telah dilakukan guna perbaikan pada pembelajaran berikutnya. Dalam
pelaksanaan teaching experiment, peneliti melakukan pengumpulan data dengan cara
mendokumentasikan kegiatan belajar siswa melalui rekaman video dan foto, serta
mengumpulkan hasil kerja siswa, dan memilih beberapa siswa untuk diwawancarai.
Tahap III: Retrospective Analysis
Data yang diperoleh dari tahap teaching experiment dianalisis pada tahap ini kemudian hasil
analisa tersebut digunakan untuk mengembangkan desain pada aktivitas pembelajaran
berikutnya. HLT dibandingkan dengan aktivitas pembelajaran siswa yang sesungguhnya
untuk menjawab rumusan masalah penelitian. Tujuan dari retrospective analysis secara
umum adalah untuk mengembangkan Lintasan Belajar. Oleh karena itu, feedback dari guru
sangatlah bermanfaat guna memberikan informasi kepada peneliti mengenai perbedaan cara
mengajar yang secara teori dapat disesuaikan pada berbagai macam keadaan di kelas.
Dengan demikian diperoleh desain pembelajaran yang lebih baik.
D. Teknik Pengumpulan Data Selama melakukan penelitian, berbagai data mulai dari data tertulis, hasil kerja siswa, foto,
rekaman video dan sebagainya dikumpulkan dan dianalisis untuk memperbaiki HLT yang
telah didesain. Berikut akan dijelaskan beberapa teknik pengumpulan data yang dilakukan
pada setiap tahap dalam penelitian ini.
E. Teknik Analisis Data Pada penelitian ini, analisis data dilakukan untuk membandingkan aktivitas siswa selama
proses teaching experiment (siklus 2) dan HLT yang telah didesain pada tahap preliminary
design (desain pendahuluan). Doorman dalam Wijaya (2008) menyatakan bahwa hasil dari
sebuah penelitian desain adalah bukan desain yang bekerja tetapi prinsip-prinsip dasar yang
menjelaskan bagaimana dan mengapa desain tersebut bekerja. Oleh karena itu, dalam tahap
retrospective analysis HLT yang telah dirancang dibandingkan dengan pembelajaran siswa
di kelas untuk menyelidiki dan menjelaskan bagaimana siswa dapat merancang model
matematika dari masalah program linear yang berada di sekitar siswa.
F. Hypothetical Learning Trajectory (HLT)
Sebagai bagian terpenting dalam design research, peneliti mengembangkan desain
pembelajaran yang di dalamnya terdapat HLT. Simon (1995) memberikan syarat tentang
pengertian HLT bahwa guru harus membayangkan cara-cara di mana siswa mungkin terlibat
ketika mereka berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran tertentu, dan kemudian mencatat
potensi siswa dalam berargumentasi dimana mereka dianggap mewakili karakter komunitas
kelas, terkait dengan tujuan pembelajaran yang dipilih. Dalam pengertian ini, HLT berperan
penting sebagai cara untuk menjelaskan aspek pokok perencanaan pelajaran matematika
yang mengutamakan pengembangan konsep-konsep matematika baru siswa, dan mendukung
pengajaran matematika untuk pemahaman.
Selain itu, Simon memperkenalkan deskripsi HLT meliputi tujuan pembelajaran, deskripsi
aktifitas pembelajaran, dugaan lintasan belajar (Simon, & Tzur, 2004). Seperti dijelaskan
sebelumnya, HLT adalah suatu wahana untuk perencanaan belajar siswa khususnya konsep-
konsep matematika. Simon (1995) menjelaskan bahwa istilah "hipotesis" adalah didasarkan
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 101
pada kenyataan bahwa lintasan pembelajaran yang sebenarnya belum menjadi pengetahuan
siswa. Itu berarti bahwa guru tidak pernah bisa yakin apa yang siswa akan pikirkan dan
melakukan atau apa dan bagaimana mereka akan membangun interpretasi baru, ide-ide dan
strategi sampai mereka benar-benar bekerja pada masalah (Fosnot & Dolk, 2001). Dalam
pengertian ini, desainer harus membayangkan lintasan belajar di mana siswa mungkin
terlibat dengan tujuan matematika tertentu dalam pikiran. Selain itu, istilah "lintasan"
mungkin juga memiliki konotasi linear (Bakker, 2004). Meskipun kami bertujuan untuk arah
tertentu, lintasan pembelajaran bukanlah struktur yang kaku dan tidak harus linear. Para
siswa dapat bebas ke berbagai arah seperti mereka mengeksplorasi, memahami, dan
menafsirkan dunia secara matematis (Fosnot & Dolk, 2001).
Seperti yang dinyatakan sebelumnya, tujuan dari penelitian ini adalah mendorong siswa
mahir dalam merancang model matematika untuk memacahkan masalah materi program
linear . Rancangan kegiatan pembelajaran dalam penelitian ini meliputi pengembangan
Lembar Aktifitas Siswa , Panduan guru, dan solusi Rencana Pembelajaran. Pertama mereka
dapat mengembangkan pemahamannya tentang permasalahan program linear dan dapat
merancang model matematikanya. Kedua, Siswa dapat meningkatkan kemampuan
pemecahaan masalahnya dari bagaimana tahap-tahap siswa tersebuat merancang model
matematika dari permasalahan program linear yang ada.
HLT ini dilaksanakan selama fase percobaan mengajar di kelas dua belas sekolah menengah
atas di kabupaten PALI, Indonesia. HLT ini berisi dua aktivitas pembelajaran dalam
periode dua minggu pengajaran yang dirancang untuk mencapai tujuan studi ini. Dalam
setiap pelajaran, kita menggambarkan pemahaman awal siswa, tujuan pembelajaran,
kegiatan matematika, dan dugaan berpikir siswa dan penalaran. HLT dirancang untuk
mempelajari kemampuan pemecahan masalah pada materi program linear yang tertanam
dalam kegiatan pembelajaran yang dijelaskan dalam bab selanjutnya.
G. Penutup
Pembelajaran akan menjadi lebih bermakna apabila guru mampu mempersiapkan
pembelajaran sedemikian rupa agar siswa mau dan bersemangat untuk mengikuti proses
pembelajaran. Hal ini dapat terjadi apabila guru mampu mendesain pembelajaran dengan
menggunakan hal-hal yang dianggap baru bagi siswa dan membawaa manfaat untuk siswa.
Pendekatan pembelajaran yang masih baru dan membawa manfaat bagi siswa adalah PMRI.
Hal itu terjadi karena PMRI menggunakan konteks dunia nyata yang familiar dengan siswa.
Ini sejalan dengan materi program linear yang umumnya berkaitan dengan masalah sehari-
hari siswa dalam hal perencanaan kegiatan ekonomi, perdagangan dll.
Daftar Pustaka
Afgani, M. W., Darmawijoyo, & Purwoko. (2008). Pengembangan Media Website
Pembelajaran Materi Program Linear untuk Siswa Sekolah
Asih, I. M. (2011). Peningkatan Kemampuan Siswa SMAN 8 Denpasar dalam
Menyelesaikan Soal Cerita Pokok Bahasan Program Linear Mata Pelajaran
Matematika. Jurnal Udayana Mengabdi , 67-71.
Bakker, A. (2004). Design Research in Statistics Education:on Symbolizing and Computer
Tools.Utrect,The Netherlands:Freudenthal Institute.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
102 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
BSNP. (2006). Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar SMA/MA. Jakarta: Badan Standar Nasional
Pendidikan.
Cobb,dkk. (2003). Desaign Experiments and Educational Research. American Educational
Research Association, 32-9.
Cooney, T.J. (1994). Research and Teacher Education : In Seacrh of Command Ground.
Journal for Research in Mathematics Education, 25(6), 608-636.
Dantzig, G.B. (1963). Linear Programming and Extension. RAND Corporation.
Depdiknas, (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Edelson, D.C. (2006). Balancing Innovation and Risk: Asessing Design Research Propsals,
in : Van Den Akker,J. Gravenmeijer,K, Meckenney,S. Nieveen, N. (Eds). (2006).
Educational Design Research. London : Routledge,100-106.
Eddy. (2008). Manajemen Operasi. Edisi Ketiga. Jakarta. Grasindo
Frudenthal, H. (1991). Revisting Mathematics Education. Dordrecht. Kluwer Academic
Publishers.
Gaspersz, Vincent. 2005. Total Quality Management. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Gravenmeijer & van Erde. (2009).Desaign Research as a Means for Building a Knowladge
Base for Theacher and Teaching in Mathematics Educations.The Elementry School
Journal, 109-5.
Hidayat, R., & Zanaton. (2014). Misconception of Linear Programming in Senior High
School. Malaysia: Universiti Kebangsaan Malaysia.
Hillier & Lieberman. (2001). Introduction to Operations Research.The McGraw-Hill
Companies.
Hudoyo. (1979). Perkembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di Depan
Kelas.Malang : Grasindo.
Johanes Suoranto. (2005). Ekonometrika Buku I. Bogor : Ghalia Indonesia.
Nieveen, N., McKenney, S., van den Akker (2006). “Educational Design Research”
dalamEducationalDesign Research.New York : Routledge
Nurmalia, Hartono, Putri. (2013).Pendesaian Pembelajaran Materi Program Linear SMK
Menggunakan Konteks Makanan Tradisional Palembang.Palembang. Universitas
Sriwijaya.
Panhuizen, M. V. (2000). The Didactical use of Models in Realistic Mathematics
Educations: An Example from A Longitudinal Trajectory on Percentage. Journal
Educational Studies in Mathematics , 9-35.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 103
Plomp. (2007). " Educational Design Research :An Introduction", dalam An Introduction tp
Educational Research. Enschede, Netherland : National Institute for Curriculum
Development.
Plomp & Nieveen. (2007). An Introduction to Educational Design Research : Prossiding of
the Seminar Conducted at The East China NormalUniversity, Shanghai : PR China,
23-26.
Puspendik.2014. Laporan Hasil Ujian Nasional tahun 2014. Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan. Jakarta
Putri, R.I.I. 2011.Improving Mathematics Comunication Ability Of StudentsIn Grade 2
Through PMRI Approach. International Seminar and the Fourth National
Conference on Mathematics Education. Department of Mathematics Education,
Yogyakarta State University.
Putri, R.I.I 2011. Propesional Development of Mathematics Primary School Teachers in
Indonesia Using Lesson Study and Realistic Mathematics Education
Approach.Proceeding of the International Conggress for School Effectiveness and
Improvement (ICSEI), Limassol, Cyprus.
Sallan, Lordan, Fernandez. 2015. Modeling and Solving Linear Programming With R.
Catalunya: Omnia Science.
Stevens & Palocsay.2004. A Translation Appriach To Teaching Linear Program
Formulation. Journal INFORMS Transactions on Education.Maryland : USA, 38-
54.
Siswanto. 2007. Pengantar Manajemen. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Wijaya, A. (2012). Pendidikan Matematika Raealistik: Suatu Alternatif Pendekatan
Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Zulkardi. (2002). Developing a Learning Environment on Realistic Mathematics Education
for Indonesian Student Teachers. Enschede: University of Twente.
Zulkardi dan Putri, R.I.I. (2010). Pengembangan Blog Support untuk Membantu Siswa dan
Guru Matematika Indonesia Belajar Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
(PMRI). Jurnal Inovasi Perekayasa Pendidikan (JIPP). 2(1). 1 – 24.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
104 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN
DISKURSIFUNTUK MENGEMBANGKAN PEMBUKTIAN
MATEMATIS DAN HABITS OF MIND MAHASISWA
Elsa Komala
Universitas Suryakancana
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menelaah pengaruh
pembelajaran dengan pendekatan diskursif terhadap kemampuan pembuktian
matematis dan kebiasaan berpikir (habits of mind) mahasiswa. Desain penelitian ini
adalah The Nonequivalent Posttest-Only Control Group Design. Kelompok
eksperimen memperoleh pembelajaran dengan pendekatan diskursifdan kelompok
kontrol memperoleh pembelajaran konvensional.Populasi penelitian ini adalah seluruh
mahasiswa jurusan pendidikan matematika FKIP UNSUR Cianjur, dengan sampel dua
kelas pada mahasiswa semester II dipilih dengan teknik purposive sampling. Untuk
mendapatkan data hasil penelitian digunakan instrumen berupa tes kemampuan
mengenai pembuktian matematis dan angket untuk mengetahu habits of mind
mahasiswa. Berdasarkan analisis data, hasil penelitian menunjukkan bahwa
kemampuan pembuktian matematis mahasiswa yang memperoleh pembelajaran
dengan pendekatan diskursif lebih baik daripada kemampuan pembuktian matematis
mahasiswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Kebiasaan berpikir (habit
of mind) mahasiswa yang belajar dengan pendekatan diskursif dengan pembelajaran
konvensional tidak bisa dibedakan secara signifikan.
Kata Kunci: Pendekatan Diskursif, Pembuktian Matematik, Habit of Mind.
1. Pendahuluan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Suryakancana (UNSUR)
Cianjur merupakan salah satu pencetak calon dosen matematika di provinsi Jawa Barat.
Berdasarkan hasil pengamatan di kelas diperoleh fakta bahwa mahasiswa jurusan Pendidikan
UNSUR khususnya tingkat I, cendrung masih pasif dalam proses pembelajaran. Mahasiswa
masih menjadi pendengar dan menerima apa yang disampaikan oleh dosen-dosennya. Tanpa
mereka melakukan klarifikasi atau mendalami apa yang diajarkan. Mahasiswa yang
bertanyapun masih sangat jarang. Selain itu hal-hal yang masih menjadi kendala dalam
proses pembelajaran adalah masih kurangnya kemandirian belajar, bekerjasama dalam
kelompok untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Bahkan sampai setelah dilaksanakan
Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir Semester hasilnya masih belum mencapai harapan
berdasarkan data yang peneliti miliki berdasarkan semester sebelumnya.
Sejalan dengan Umar (2013: 12) menyatakan bahwa kemampuan yang harus dikembangkan
dalam pembelajaran matematika tidak hanya mencakup kemampuan kognitif tetapi juga
kemampuan afektif, harus dimiliki oleh setiap mahasiswa.Orientasi dari pembelajaran selain
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan mahasiswa, yaitu mengembangkan
sikap.Sikap merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perilaku atau aksi seseorang
dalam menghadapi tugas, termasuk tugas akademik. Ini berarti bahwa dalam proses
pembelajaran matematika, ranah sikap perlu dan terus ditumbuh kembangkan secara optimal
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 105
pada diri mahasiswa. Hal ini dikarenakan dalam belajar matematika dan menjalani
kehidupan sehari-hari, mahasiswa selalu berhadapan dengan multi persoalan.
Tugas seorang dosen adalah membantu mahasiswanya mendapatkan informasi, ide-ide,
keterampilan-keterampilan, nilai-nilai, dan cara -cara berpikir serta mengemukakan
pendapat. Namun, tugas dosen yang paling penting dan menentukan adalah membimbing
para mahasiswa tentang bagaimana menumbuhkembangkan kbiasaan berpikir (habits of
mind) matematis. Karena itu, tujuan jangka panjang pembelajaran adalah untuk
meningkatkan kemampuan para mahasiswa agar ketika mereka sudah meninggalkan bangku
sekolah, mereka akan mampu mengembangkan diri mereka sendiri dan mampu
menyelesaikan masalah yang muncul.
Costa dan Kallick (2012) menyebutkan bahwa kebiasaan bukanlah perilaku yang kita
gunakan atau letakkan secara seenaknya atau semaunya kita.Kebiasaan ialah perilaku yang
kita tunjukkan dengan baik disaat-saat yang tepat dan bekerja begitu saja tanpa kita repot-
repot berusaha. Pada akhirnya pembiasaan pengaturan proses berpikir ialah sebuah cara
untuk membuka ruang pikiran sebagai tempat proses tersebut berlangsung. Memandang
pernyataan Costa dan Kallick sebelumnya, habits of mind mahasiswa benar-benar menjadi
landasan mahasiswa dalam berlangsungnya sebuah pembelajaran.
Salah satu alternatif pemecahannya diperlukan suatu proses pembelajaran matematika yang
membantu mahasiswa dalam mengembangkan dan meningkatkan kompetensi strategis
mereka, proses pembelajaran harus berpusat pada mahasiswa, mahasiswa harus mengalami
dan mengkonstruksi sendiri ilmu pengetahuan, sehingga proses pembelajaran akan lebih
bermakna. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan pembelajaran yang dapat meningkatkan
partisipasi mahasiswa dalam proses pembelajaran sehingga diharapkan mahasiswa tersebut
tidak hanya memiliki pengetahuan saja tetapi mampunyai kemandirian, mampu
memunculkan gagasan, ide kreatif dan mampu menghadapi tantangan dan mengatasinya dan
tentunya cakap dalam menyelesaikan permasalahan matematika terutama pembuktian
matematik.
Pendekatan diskursif dirancang sedemikian rupa sehingga mahasiswa akan terpacu dengan
berbagai aktivitas, seperti pengajuan pertanyaan, mendengarkan ide orang lain, menulis,
maupun melakukan percakapan berbagai arah untuk sampai pada pemahaman matematika.
Aktivitas tersebut dilakukan mahasiswa ketika menyusun rencana dalam menyelesaikan
masalah matematis yang sedang dimiliki mahasiswa sehingga bisa menyelesaiakan nya baik.
Demikian pula pembelajaran dengan pendekataan diskursif di kelas, dilakukan dengan
melakukan berbagai kegiatan seperti intervensi dosen, pengambilan keputusan pengaturan
kelas dan pembelajaran dengan tujuan tercapai kualitas lingkungan yang memadai, mampu
membuat mahasiswa berpartisipasi aktif, mendorong mengembangkan intelektual mahasiswa
serta bisa membantu menjawab permasalahan yang dihadapi mahasiswa, sehingga hal
tersebut dapat meningkatkan kemampuan pembuktian matematis. Masalah yang diberikan
ini digunakan untuk mengikat mahasiswa pada rasa ingin tahu pada pembelajaran yang
dimaksud.Hal ini tentunya membutuhkan pengembangan kebiasaan berpikir (habits of mind)
mahasiswa.
Costa dan Kallick (2012) menyebutkan bahwa kebiasaan bukanlah perilaku yang kita
gunakan atau letakkan secara seenaknya atau semau kita.Kebiasaan ialah perilaku yang kita
tunjukkan dengan baik disaat-saat yang tepat dan bekerja begitu saja tanpa kita repot-repot
berusaha. Pada akhirnya pembiasaan pengaturan proses berpikir ialah sebuah cara untuk
membuka ruang pikiran sebagai tempat proses tersebut berlangsung. Memandang pernyataan
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
106 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Costa dan Kallick sebelumnya, habits of mind mahasiswa benar-benar menjadi landasan
mahasiswa dalam berlangsungnya sebuah pembelajaran dan bisa menyelesaikan
permasalahanya terutama dalam pembuktian matematik. mahasiswa perlu memiliki
kebiasaan berpikir yang baik agar mampu merespon setiap masalah yang muncul dalam
pembelajaran. Kebiasaan berpikir mahasiswa pada saat pembelajaran menjadi hal yang
fundamental ketika mereka mendapat sekelumit permasalahan dan mereka harus mencari
solusi penyelesaiannya seperti apa. Habits of mind juga sangatmendukung penampilan
mahasiswa dalam kehidupan sehari-hari.Kebiasaan berpikir (habits of mind) merupakan akar
kekuatan mahasiswa dalam melatih kemampuan mereka dalam menentukan solusi
penyelesaian dalam suatu permasalahan.
Kelas merupakan sebuah kondisi atau lingkungan yang mereka tempati pada saat mereka
belajar. Oleh karena itu, dosen benar-benar harus bisa melihat kebiasaan berpikir mahasiswa
tersebut ketika terjadi proses pembelajaran dan dosen memiliki peranan penting minimal
untuk mengingatkan mahasiswa akan pentingnya kebiasaan berpikir, sehingga mereka
terbantu dalam menyelesaikan berbagai tugas termasuk dalam pembuktian matematis.
Berdasarkan pemaparan mengenaipembelajaran dengan pendekatan diskursif, penelitian
difokuskan pada pembelajaran dengan pendekatan diskursif untuk mengembangkan
pembuktian matematik dan habis of mind mahasiswa. Adapun tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui: 1) Apakah kemampuan pembuktian matematis mahasiswa yang belajar
dengan pendekatan diskursif lebih baik daripada mahasiswa yang belajar dengan
konvensional; 2) Kebiasaan berpikir (habit of mind) mahasiswa yang belajar dengan
diskursif lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa yang belajar dengan konvensional.
Pendekatan Diskursif
Menurut Sierpinska (2003: 4), pendekatan diskursif berfokus pada komunikasi berupa debat,
alasan-alasan logis secara tertulis, dan komunikasi matematis sehingga pendekatan ini
memandang mahasiswa dalam kelas sebagai masyarakat belajar yang berinteraksi satu sama
lain.
Pendekatan diskursif dirancang sedemikian rupa sehingga mahasiswa akan terpacu dengan
berbagai aktivitas, seperti pengajuan pertanyaan, mendengarkan ide orang lain, menulis,
maupun melakukan percakapan berbagai arah untuk sampai pada pemahaman matematika.
Aktivitas tersebut dilakukan mahasiswa ketika menyusun rencana dalam membuktikan
matematis yang sedang dilakukan mahasiswa sehingga bisa menyelesaiakan pembuktian
matematis dengan baik. Demikian pula pembelajaran dengan pendekataan diskursif di kelas,
dilakukan dengan melakukan berbagai kegiatan seperti intervensi dosen, pengambilan
keputusan pengaturan kelas dan pembelajaran dengan tujuan tercapai kualitas lingkungan
yang memadai, mampu membuat mahasiswa berpartisipasi aktif, mendorong
mengembangkan intelektual mahasiswa serta bisa membantu menjawab permasalahan yang
dihadapi mahasiswa, sehingga hal tersebut dapat mengembangkan kemampuan pembuktian
matematis mahasiswa.
Kemampuan Membuktikan Matematis Hanna dan Barbeau (dalam Van Spronsen, 2008) menyatakan bahwa bukti adalah langkah-
langkah yang bersifat logis dari apa yang diketahui untuk mencapai suatu kesimpulan
dengan menggunakan aturan inferensia yang dapat diterima. Secara tradisional, peran bukti
adalah untuk memverifikasi kebenaran pernyataan matematika.Bukti ini digunakan untuk
menghilangkan ketidakpastian tentang proposisi matematika dan meyakinkan suatu
pernyataan.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 107
Menurut Mason (dalam Sumarmo, 2011), tiga level verifikasi dalam berpikir matematis
tingkat lanjut yaitu: 1) Meyakinkan diri sendiri (convice yourself): meyakinkan mengapa
suatu pernyataan bernilai benar; 2) Meyakinkan teman (convice a friend): meyakinkan orang
lain disertai dengan argumen yang terorganisasi secara koheren; 3) Meyakinkan lawan
(convice an enemy): meyakinkan orang lain disertai dengan argumen yang terorganisasi
secara koheren, dianalisis dan diperhalus sehingga siap untuk dikritisi. Indikator kemampuan
pembuktian matematis yang diukur dalam penelitian ini yaitu: 1) membaca pembuktian
matematis; 2) melakukan pembuktian matematissecara langsung, tak langsung, atau dengan
induksi matematis; dan 3) mengkritik pembuktian denganmenambah, mengurangi atau
menyusun kembali suatu pembuktian matematis.
Kebiasaan Berpikir (Habits of Mind)
Menurut Aristotle (Canfields & Watkins, 2008), kesuksesan individu sangat ditentukan oleh
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukannya.Terdapat beberapa kebiasaan yang dilakukan oleh
individu sukses dan kreatif sehingga membedakannya dengan individu-individu pada
umumnya. Kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus akan semakin kuat dan menetap
pada diri individu sehingga sulit diubah.
Dalam hal ini kebiasaan tersebut telah membudaya pada diri individu.Salah satu jenis
kebiasaan yang dipandang sangat mempengaruhi kesuksesan individu adalah kebiasaan
berpikir (habit of mind).Habits of mind mengisyratkan bahwa perilaku membutuhkan suatu
kedisiplinan pikiran yang dilatih sedemikian rupa, sehingga menjadi kebiasaan untuk
berusaha terus melakukan tindakan yang lebih bijak dan cerdas.Hal ini dapat dipahami
karena segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh seorang individu merupakan konsekuensi
dari kebiasaan berpikirnya.
Costa dan Kallick (2008) mendefinisikan kebiasaan berpikir sebagai kecenderungan untuk
berperilaku secara intelektual atau cerdas ketika menghadapi masalah, khususnya masalah
yang tidak dengan segera diketahui solusinya.Ketika menghadapi masalah, mahasiswa
cenderung membentuk pola perilaku intelektual tertentu yang dapat mendorong kesuksesan
individu dalammenyelesaikan masalah tersebut.
Kemudian, Costa dan Kallick (2008) mengidentifikasi enambelas karakteristik kebiasaan
berpikir tersebut yaitu sebagai berikut: 1) Bertahan atau pantang menyerah; 2) Mengatur kata
hati. Individu yang dapat mengatur kata hatinya akan berpikir reflektif dan berhati-hati; 3)
Mendengarkan pendapat orang lain dengan rasa empati; 4) Berpikir luwes; 5) Berpikir
metakognitif; 6) Berusaha bekerja teliti dan tepat; 7) Bertanya dan mengajukan masalah
secara efektif; 8) Memanfaatkan pengalaman lama untuk membentuk pengetahuan baru; 9)
Berpikir dan berkomunikasi secara jelas dan tepat; 10) Memanfaatkan indera dalam
mengumpulkan dan mengolah data; 11) Mencipta, berkayal, dan berinovasi; 12)
Bersemangat dalam merespons; 13) Berani bertanggung jawab dan menghadapi resiko; 14)
Humoris; 15) Merasa saling bergantung/ membutuhkan; 16) Belajar berkelanjutan
2. Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen. Populasi penelitian ini adalah
mahasiswa pendidikan matematika UNSUR, dengan sampel dua kelas mahasiswa tingkat II
pada mata kuliah teori bilangan tahun ajaran 2015/ 2016 dengan penentuan sampel dilakukan
dengan menggunakan teknik “Purposive Sampling”, satu kelas eksperimen yang terdiri dari
26 mahasiswa yang memperoleh pendekatan diskursif dan satu kelas kontrol yang terdiri dari
32 mahasiswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
108 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Untuk mengukur kemampuan pembuktian matematis digunkana tes yang terdiri dari 5 soal
tes tertulis dalam bentuk uraian yang dilakukan pada saat Ujian Akhir Semester. Angket
diberikan kepada mahaiswa di kelas eksperimen dan kelas kontrol pada akhir kegiatan
bertujuan untuk mengetahui habits of mind mahasiswa dalam pembelajaran. Angket
menggunakan skala Likert dengan pilihan jawaban, yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S),
Tidak Tentu (TT), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS) dengan skor 4, 3, 2, 1 dan 0
untuk pernyataan positif, untuk pernyataan negatif skor merupakan kebalikannya.
3. Hasil Dan Pembahasan Kemampuan pembuktian matematis dalam penelitian ini dilihat dari nilai UAS
mahasiswa.Berdasarkan Tabel 1 ditemukan bahwa rerata nilai kelas eksperimen lebih tinggi
daripada rerata kelas kontrol.
Tabel 1. Statistik Deskriptif Kemampuan Pembuktian Matematis
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Eksperimen 26 60.00 100.00 82.31 12.92
Kontrol 32 60.00 98.00 75.94 11.45
Pengujian kemampuan pembuktian matematis yang belajar dengan pendekatan diskursif
lebih baik dari pada mahasiswa yang belajar dengan konvensional menggunakan uji-
t.Sebelum melakukan uji-t terlebih dahulu dilakukan pengujian normalitas data kedua kelas
dengan menggunakan Shapiro-Wilk.Berdasarkan tabel 2. Hasil uji nomalitas adalah nilai
kemampuan pembuktian matematis mahasiswa kelas eksperimen dan kelas kontrol masing-
masing berasal dari populasi yang berdistribusi yang tidak normal dengan nilai Sig berturut-
turut adalah 0,014 dan 0,046. Karena kedua data tidak berdistribusi normal untuk
mengetahui signifikansi perbedaan rerata kedua kelas data digunakan uji statistik dengan
Mmann Tithneyyang disajikan pada tabel 3, diperoleh sig(2-tailed) = 0,055. Nilai sig(1-
tailed) = ½ sig(2-tailed) berarti sig(1-tailed) = ½ (0,055) = 0,028 (Widhiarso, 2008).
Selanjutnya dipearoleh sig(1-tailed) < 0,05. Dengan demikian terdapat perbedaan signifikan
pada kedua kelas.Berarti, kemampuan pembuktian matematis mahasiswa kelas eksperimen
lebih baik daripada kemampuan pembuktian matematis mahasiswa kelas kontrol.
Tabel 2. Tests of Normality Kemampuan Pembuktian Matematis
Kelompok
Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig.
Nilai Eksperimen .898 26 .014
Kontrol .933 32 .046
Tabel 3. Test Statisticsa Kemampuan Pembuktian Matematis
Nilai
Mann-Whitney U 293.500
Wilcoxon W 821.500
Z -1.917
Asymp. Sig. (2-tailed) .055
Skor habits of mind mahasiswa diperoleh dengan cara mengasumsi data ordinal ke dalam
data interval. Pengujian habits of mind mahsiswa yang belajar dengan pendekatan diskursif
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 109
lebih baik daripada habits of mind mahaiswa yang belajar dengan konvensional
menggunakan uji-t. Sebelum melakukan uji-t terlebih dahulu dilakukan pengujian normalitas
data kedua kelas dengan menggunakan Shapiro-Wilk. Hasil uji nomalitas adalah skor habits
of mind mahasiswa kedua kelas masing-masing berasal dari populasi yang berdistribusi
normal dengan nilai Sig berturut-turut adalah 0,181 dan 0,142. Sealanjutnya, pada uji
kesamaan varians dengan Levene sebesar 0,567 dengan sig = 0,454. Nilai sig tersebut lebih
besar 0,05 berarti dinyatakan bahwa varians populasi kedua kelas adalah homogen.
Berdasarlkan tabel 4. untuk mengetahui signifikansi perbedaan rerata kedua kelas data
digunakan uji statistik, untuk pasangan data yang homogen digunakan uji-t dengan asumsi
varians sama (Equal variances assumed) dan diperoleh thitung = 5,280 dengan df = 56 dan
sig(2-tailed) = 0,759. Selanjutnya dipearoleh sig(1-tailed) = 0,3759 > 0,05. Dengan demikian
habits of mindmahasiswa yang menunjukkan bahwa H0 diterima, artinya kebiasaan berpikir
(habit of mind) mahasiswa yang belajar dengan pendekatan diskursif tidak lebih baik
dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.
Belum berkembangnya habits of mind mahasiswa pada kelas ekeperimen disebabkan oleh
penelitian yang relatif singkat, padahal habits of mind mahasiswa tidak dapat dikembangkan
hanya dalam waktu yang relatif singkat dan dengan pengaruh dari proses pembelajaran di
kampus saja, melainkan dibutuhkan tanggung jawab bersama untuk mengembangkan habits
of mind mahasiswa.Hal ini sejalan dengan penelitian Safitri (2013) yang menyatakan bahwa
tidak terdapat berbeda secara signifikan antara siswa kelas ekperimen dengan siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional.Ini sesuai dengan yang pendapat oleh Costa dan
Kallick (2012) yaitu pengajaran “kebiasan berpikir” merupakan tugas kelompok.Karena
kebiasaan-kebiasaan yang ada pada pendekatan diskursif ini membutuhkan banyak latihan
dalam waktu yang lama. Jika kebiasaan-kebiasaan ini terus diterapkan mahasiswa dalam
aktivitas sehari-hari, habits of mind akan menjadi modal dasar dalam membentuk
kepribadian yang sangat baik. Dan tentunya akan bermanfaat untuk kehidupan selanjutnya.
Sehingga kebiasaan-kebiasaan itu menjadi guide yang memandu dan mengarahkan
mahasiswa untuk berperilaku efektif, tegas, dan kooperatif.
4. Simpulan Dari hasil penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa: 1) Kemampuan pembuktian matematis
mahasiswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan diskursif lebih baik daripada
mahasiswa yang memperoleh pembelajaran konvensional; 2) kebiasaan berpikir (habits of
mind) mahasiswa yang belajar dengan pendekatan diskursif tidak lebih baik dibandingkan
dengan pembelajaran konvensional.
Tabel 4. Independent Samples Test Habits of Mind
t-test for Equality of Means
T df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Differenc
e
Std. Error
Differenc
e
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper
Habits of
mind
Equal
variances
assumed
-.309 56 .759 - .556 1.797 -4.207 3.096
Equal
variances
not
assumed
-.309 33.919 .759 - .556 1.797 -4.207 3.096
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
110 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Daftar Pustaka
Canfield, Jack & Watkins, D.D. 2008.The Secrets Law of Attraction.Panduan Sederhana
untuk Menciptakan Kehidupan yang Anda Impikan Agar Orang Lain Mau
Membantu Hidup Anda. Bandung: Jabal
Costa, A. & Kallick, B. 2008.Describing 16 Habits of Mind.[Online]. Tersedia:
http://www.habits-of-mind.net/pdf/16HOM2.pdf. [17 April 2013].
Costa & Kallick. 2012. Belajar dan Memimpin dengan Kebiasaan Pikiran. Jakarta: Indeks.
Safitri, Prahesti T. 2013. Pembelajaran Quick on The Draw Untuk Meningkatkan
Kemampuan Penalaran Matematis dan Habits of Mind Siswa Sekolah Menengah
Pertama. Skropsi UPI: tidak diterbitkan.
Sierpinska, A. 2002. Language and Communication in Mathematics Education. “Discursing
Mathematcial Away”. Talk at lula Tecniska Universitet.
Sumarmo, U. 2011. Pembinaan Budaya dan Karakter serta Pengembangan Kemampuan
Disposisi Matematik: Pengertian dan Implementasinya dalam Pembelajaran.
Makalah disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika, pada tanggal 15
Oktober 2011.UNSIL Tasikmalaya.
Umar, W. 2013.Pengembangan MathematicalThinking Berorientasi pada Gaya Kognitif dan
Budaya Siswa.Makalah diterbitkan pada jurnal pendidikan Matematika UM.
Malang.
Van Spronsen, H. D. 2008. Proof Processes of Novice Mathematics Proof Writers. Disertasi.
Missoula: Tidak dipublikasikan.
Widhiarso, W. 2008.Perbandingan Ketepatan Estimasi antar Koefisien Reliabilitas
Multidimensi. Jurnal Psikologi INSAN
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 111
PENERAPAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME GUNA
MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMPETENSI STRATEGIS
SISWA SMP
Eva Dwi Minarti
Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data apakah kemampuan dan
peningkatan kompetensi strategis siswa SMP yang menggunakan pendekatan
konstruktivisme lebih baik dibandingkan dengan yang menggunakan
pembelajaran biasa, Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuasi
eksperimen. Pengumpul data menggunakan teknik tes kemampuan kompetensi
strategis siswa yang sebelumnya dihitung telebih dahulu validitas, reliabilitas,
indeks kesukaran dan daya pembeda. Analisis data dilakukan dengan uji t dan
uji gain ternormalisasi. Berdasarkan analisis hasil penelitian diperoleh
kesimpulan sebagai berikut: (1) Kemampuan kompetensi strategis siswa yang
menggunakan pendekatan konstruktivisme lebih baik dibandingkan siswa
SMP yang mendapatkan pembelajaran biasa; (2) Peningkatan kemampuan
kompetensi strategis siswa SMP yang menggunakan pendekatan
konstruktivisme lebih baik dibandingkan siswa yang mendapatkan
pembelajaran biasa.
Kata Kunci: pendekatan konstruktivisme, kompetensi strategis
1. Latar Belakang
Salah satu kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki siswa dalam pembelajaran
matematika adalah kemampuan dalam memecahkan masalah. Hal tersebut sejalan dengan
Posamentir dan Stepelmen (Irvansyah, 2005: 5) bahwa kemampuan serta keterampilan dalam
memecahkan suatu masalah akan bermanfaat dalam menghadapi permasalahan keseharian
serta dalam situasi-situasi pengambilan keputusan yang akan selalu dialami seluruh
kehidupan individu.
Wahyudin (1999) mengemukakan kelemahan yang dimiliki oleh para siswa dalam atau
menyelesaikan persoalan matematik, diantaranya: (1)kurang memahami dan kurang
menggunakan kaidah-kaidah atau aturan-aturan matematika dengan tepat dan semestinya;
(2)kurang memiliki kemampuan berfikir deduktif yang baik, sehingga jika diberikan
persoalan matematika bertemakan buktikan, tunjukkan, perlihatkan, maka mereka kesulitan
untuk menuliskan langkah-langkahnya; (3)kurang memiliki kemampuan dalam
menyelesaikan soal dengan memakai prosedur atau langkah-langkah yang logis, sehingga
yang terpikirkan oleh mereka hanyalah hasil akhir yang diperoleh, tidak peduli apapun
langkah ataupun prosedurnya; dan (4)jarang sekali memeriksa atau menyimak kembali
sebuah jawaban yang diperoleh (apakah jawaban itu mungkin atau tidak).
Untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah perlu dikembangkan keterampilan
dalam merumuskan permasalahan, mempresentasikan, dan menyelesaikannya. Kemampuan
semacam ini dikenal sebagai kompetensi strategis (strategic competence) (Klipatrick et al,
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
112 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
2001: 124). Kemampuan tersebut dapat dikembangkan dengan menggunakan berbagai
pendekatan dan model pengajaran yang tepat dan menekankan pada proses berfikir siswa.
Pendekatan yang dapat digunakan adalah pendekatan konstruktivisme.
Nurhadi (2003:33) mengemukakan, pendekatan konstruktivisme merupakan suatu
pendekatan yang berkenaan dengan peserta didik harus mampu menemukan dan
mentransformasikan suatu infomasi komplek ke situasi lain, apabila dikehendaki informasi
itu menjadi milik mereka sendiri. Peserta didik membangun sendiri pengetahuan mereka
melalui keterlibatan aktif dalam proses pembelajarannya dan peserta didik menjadi pusat
kegiatan pembelajaran. Konstruktivisme memandang pengetahuan bukanlah seperangkat
fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus
mengonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Peserta didik
perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi
dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Pendekatan kostruktivisme adalah pendekatan yang
bersifat membangun pengetahuan dengan mengaitkan ilmu yang sudah ada sehingga peserta
didik dapat mengkolaborasikannya dengan ilmu baru yang didapat.
Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk meneliti, Penerapan Pendekatan
Konstruktivisme guna meningkatkan kemampuan kompetensi Strategis siswa SMP.
2. Rumusan Masalah Berdasarkan paparan latar belakang di atas maka dirumuskan permasalah yang dikaji sebagai
berikut:
a. Apakah kemampuan kompetensi strategis siswa SMP yang menggunakan
pendekatankonstruktivisme lebih baik dari pembelajaran biasa?
b. Apakah peningkatan kemampuan kompetensi strategis siswa SMP yang
menggunakan konstruktivisme lebih baik dari pembelajaran biasa?
3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk:
a. Menelaah kemampuan kompetensi strategis siswa SMP yang menggunakan
pendekatankonstruktivisme dan pembelajaran biasa.
b. Menelaah peningkatan kemampuan kompetensi strategis siswa SMP yang
menggunakan konstruktivisme dan pembelajaran biasa.
4. Definisi Operasional a. Kemampuan kompetensi strategis siswa adalah kemampuan siswa untuk
merumuskan, menyajikan, serta menyelesaikan permasalahan matematika.
b. Pendekatan Konstruktivisme adalah suatu pendekatan yang mendorong: (1)peserta
didik membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada, (2)dalam
konteks pembelajaran, peserta didik seharusnya membina sendiri pengetahuan
mereka; (3)pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri
melalui proses saling memengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan
pembelajaran terbaru; (4) membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara
membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
5. Hipotesis Penelitian a. Kemampuan kompetensi strategis siswa SMP yang menggunakan
pendekatankonstruktivisme lebih baik dari pembelajaran biasa.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 113
b. Peningkatan kemampuan kompetensi strategis siswa SMP yang menggunakan
konstruktivisme lebih baik dari pembelajaran biasa.
6. Metode dan Desain Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen karena adanya keterbatasan hal
mengkontrol factor-faktor yang kemungkinan dapat mengintervensi situasi pembelajaran
yang dilakukan. Disain eksperimen yang digunakan adalah disain kelompok kontrol non-
ekuivalen sebagai berikut:
O X O
O O … (Ruseffendi, 1994)
Keterangan:
O = Pretes = Postes
X = Pendekatan kontruktivisme
7. Subjek Penelitian Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII salah satu SMP di kota Bandung.
Sampel penelitian ini sebanyak dua kelas yaitu kelas VIII-B sebagai kelas eksperimen dan
VIII-E sebagai kelas kontrol.
8. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari enam jenis instrumen
yaitu soal tes tertulis mengenai kompetensi strategis matematis yang dibuat dalam bentuk
uraian, dan berupa bahan ajar yang menggunakan pendekatan konstruktivisme dan
pembelajaran biasa.
9. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui tes, data yang berkaitan dengan kompetensi
strategis matematis siswa dikumpulkan melalui tes (pretes dan postes). Teknik analisis
melituti, data hasil penelitian diolah, terlebih dahulu dipersiapkan beberapa hal sebagai
berikut:
a. Memberikan skor jawaban siswa sesuai dengan kunci jawaban dan sistem
penskoran yang digunakan.
b. Menghitung Peningkatan kompetensi yang terjadi sebelum dan sesudah
pembelajaran yang dihitung dengan rumus gain ternormalisasi (N-Gain), yaitu:
Hasil perhitungan gain kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi sebagai
berikut:
c. Menyajikan statistik deskriptif skor pretes, skor postes, dan skor N-Gain yang
meliputi skor terendah (Xmin), skor tertinggi (Xmaks), rata-rata , dan simpangan
baku (S).
d. Melakukan uji normalitas pada data pretes dan N-Gain kompetensi strategis
matematis.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
114 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
e. Menguji homogenitas varians data skor pretes dan N-Gain kompetensi strategis
matematis.
10. Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil penelitian dan pembahasan diperoleh dalam setiap tahap penelitian yang telah
dilakukan. Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data kuantitatif . Data kuantitatif
diperoleh dari hasil pretes dan postes kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pengolahan data
kuantitatif dilakukan dengan menggunakan bantuan software SPSS 23 for Windows.
Berdasarkan data yang diperoleh, yaitu data pretes, postes, dan N-gain kemampuan
kompetensi strategis matematis secara deskriptif tampak pada tabel di bawah ini:
Tabel 2
Deskriptif Statistik Kemampuan Kompetensi Strategis Matematis Siswa
Variabel Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
Pretes Postes N-gain Pretes Postes N-gain
Kemampuan
Kompetensi
Strategis
Matematis
N 36 36 36 35 35 35
xmaks 34 96 0,94 33 79 0,76
xmin 7 58 0,42 7 65 0,28
20,89 80,06 0,75 21,20 64,97 0,55
S 7,86 9,84 0,13 7,31 8,67 0,11
SMI=100
Tampak bahwa rerata kemampuan awal siswa pada kemapuan kompetensi strategis siswa
relatif sama. Tetapi nampak pada kemampuan akhir reratanya lebih besar kelas yang
mendapatkan pendekatan konstruktivisme dibanding dengan kelas yang mendapat
pembelajaran biasa. Rata-rata peningkatan lebih besar kelas yang mendapatkan pendekatan
konstruktivisme dibanding dengan kelas yang mendapat pembelajaran biasa. Simpangan
baku setiap data baik pretes, postes, maupun n-gain pada kedua kelas relatif tidak jauh
berbeda.
Selanjutnya akan dilakukan uji statistik untuk mengetahui kemampuan awal siswa kelas
eksperimen dan siswa kelas kontrol memiliki rataan yang sama. Kemudian akan dilanjutkan
dengan menganalisis gain ternormalisasi kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk
memastikan apakah peningkatan kemampuan kompetensi strategis matematis kedua kelas
tersebut berbeda secara signifikan atau tidak. Untuk melihat uji rataan, terlebih dahulu
dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas, dengan derajat signifikansi setiap uji sebesar
0,05 atau tingkat kepercayaan sebesar 95%.
Dibawah ini merupakan hasil uji nomalitas, homogenitas dan rerata pretes, postes dan n-gain
kemampuan kompetensi strategis siswa, hasil perhitungan dengan menggunakan SPSS.
Hipotesis untuk uji normalitas:
H0 : sampel berasal dari populasi berdistribusi normal
H1 : sampel berasal dari populasi tidak berdistribusi normal
Kriteria pengujian, jika p value (sig.) lebih dari sama dengan α maka H0 diterima dan jika p
value (sig.) kurang dari α maka H0 ditolak, dengan taraf signifikan sebesar α = 0,05
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 115
Tabel 3
Uji Normalitas Kemampuan Kompetensi Strategis Matematis Siswa
Kelas Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Pretes Eksperimen ,144 36 ,057 ,952 36 ,118
Kontrol ,120 35 ,200* ,959 35 ,214
Postes Eksperimen ,096 36 ,200* ,966 36 ,330
Kontrol ,136 35 ,099 ,968 35 ,385
Gain Eksperimen ,104 36 ,200* ,955 36 ,154
Kontrol ,131 35 ,133 ,947 35 ,090
Baik dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov maupun Shapiro-Wilk data pretes, postes
maupun n-gain di kedua kelas tidak berdistribusi normal, sehingga untuk menghitung
reratanya, digunakan uji non parametrik.
Adapun hipotesis statistik untuk data pretes kemampuan kompetensi strategis matematis
siswa sebagai berikut:
H0 :
H1 :
Keterangan :
H0 : Tidak terdapat perbedaan kemampuan kompetensi strategis matematis siswa kelas
eksperimen dan kelas kontrol.
H1 : Terdapat perbedaan kemampuan kompetensi strategis matematis matematis siswa
kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Hipotesis statistik untuk uji data postes sebagai berikut:
H0 : Kemampuan kompetensi strategis matematis siswa kelas eksperimen tidak lebih baik
dari kelas kontrol.
H1 : Kemampuan kompetensi strategis matematis siswa kelas eksperimen lebih baik dari
kelas kontrol.
Hipotesis statistik untuk uji data n-gain sebagai berikut:
H0 : Peningkatan kemampuan kompetensi strategis matematis siswa kelas eksperimen
tidak lebih baik dari kelas kontrol.
H1 : Pemampuan kompetensi strategis matematis siswa kelas eksperimen lebih baik dari
kelas kontrol.
Kriteria pengujian, jika p value (sig.) lebih dari sama dengan α maka H0 diterima dan jika p
value (sig.) kurang dari α maka H0 ditolak, dengan taraf signifikan sebesar α = 0,05
Tabel 4
Uji Rerata Kemampuan Kompetensi Strategis Matematis
Pretes Postes Gain
Mann-Whitney U 623,000 162,000 157,50
0
Wilcoxon W 1289,00
0
792,000 787,50
0
Z -,081 -5,387 -5,435
Asymp. Sig. (2-tailed) ,936 ,000 ,000
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
116 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Monte Carlo Sig. (2-
tailed)
Sig. ,915b ,000
b ,000
b
95%
Confidence
Interval
Lower Bound ,851 ,000 ,000
Upper Bound ,980 ,041 ,041
Monte Carlo Sig. (1-
tailed)
Sig. ,451b ,000
b ,000
b
95%
Confidence
Interval
Lower Bound ,335 ,000 ,000
Upper Bound ,566 ,041 ,041
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai signifikansi dengan Mann-Whitney U adalah 0,936
lebih dari 0,05 untuk data pretes, maka H0 diterima, sehingga tidak terdapat perbedaan secara
signifikan kemampuan kompetensi strategis matematis siswa dari kedua kelas tersebut.
Dengan kata lain antara kelas eksperimen maupun kelas kontrol tidak terdapat perbedaan
kemampuan awal.
Sedangkan untuk data postes dihitung dengan uji sig. 1 tailed dan didapatkan signifikasi
reratanya adalah 0,000 dengan kata lain H0 di tolak, artinya kemampuan kompetensi strategis
siswa yang menggunakan pendekatan konstruktivisme lebih baik dari pada siswa yang
menggunakan pembelajaran biasa.
Perhitungan untuk gain ternormalisasipun sama, menggunakan uji signifikansi satu pihak
dan didapatkan signifikasi reratanya adalah 0,000 dengan kata lain H0 di tolak, artinya
peningkatan kemampuan kompetensi strategis siswa menggunakan pendekatan
konstruktivisme lebih baik dari pada siswa yang menggunakan pembelajaran biasa.
Hasil analisis data tersebut didukung dengan pendapat ahli bahwa belajar adalah suatu
aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor interen pada diri pebelajar dengan
faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku. Belajar
merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait
bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Wheatley (1991: 12) mengemukakan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori
belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi
secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan
membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum yang menyebabkan
seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis seperti:
1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling
memengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara
aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah
ada.
5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini
berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau
sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman
pelajar untuk menarik miknat pelajar.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 117
Tytler (1996: 20) mengemukakan rancangan pembelajaran dalam mengimplementasikan
teori belajar konstruktivisme, sebagai berikut: (1)memberi kesempatan kepada siswa untuk
mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri; (2)memberi kesempatan kepada siswa
untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif:
(3)memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru: (4)memberi
pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa; (5)mendorong
siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka: dan (6)menciptakan lingkungan belajar
yang kondusif. Hal-hal tersebut di atas mendorong kelas yang menggunakan pendekatan
konstruktivisme lebih aktif dalam pembelajaran dibandingkan kelas yang menggunakan
pembelajaran biasa.
Pembelajaran biasa dalam penelitian ini berupa pembelajaran kovensional, yang memiliki
kekhasan lebih mengutamakan hafalan daripada pengertian, menekankan pada keterampilan
berhitung, mengutamakan hasil daripada proses, dan pengajaran berpusat pada guru
(Ruseffendi, 2006: 294). Langkah-langkah dalam model pembelajaran konvensional
Ruseffendi (2006: 351) antara lain: (1)guru menerangkan suatu konsep; (2)guru memberikan
contoh soal dan penyelesaiannya; (3)guru memberikan soal latihan; (4)siswa menyimak,
mencatat, dan mengerjakan tugas-tugas serta ulangan atau tes yang diberikan guru.
Secara umum pelaksanaan pembelajaran dengan pembelajaran dengan pendekatan
konstruktivisme dan pembelajaran biasa berjalan sesuai dengan tujuan yang telah
direncanakan dan tidak mengalami hambatan yang berarti. Aktivitas guru pada tiap
pertemuan selalu ada peruabahan ke arah yang lebih baik. Begitu juga dengan aktivitas
siswa, semakin menunjukkan aktivitas positif yang relevan dengan pembelajaran yang
sedang berlangsung. Namun hasil yang didapat kemampuan akhir dan peningkatan
kemampuan kompetensi strategis siswa SMP yang pembelajarannya menggunakan
pendekatan konstruktivisme lebih baik dibandingkan pembelajaran biasa.
11. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang dikemukakandi atas, dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berkut:
(1) Kemampuan kompetensi strategis siswa SMP yang menggunakan pendekatan
konstruktivisme lebih baik dari pembelajaran biasa.
(2) Peningkatan kemampuan kompetensi strategis siswa SMP yang menggunakan
konstruktivisme lebih baik dari pembelajaran biasa.
Berdasarkan hasil penelitian, adapun saran berhubungan dengan penelitian ini, adalah
sampel penelitian yang diambil hanya dua kelas sehingga hasil penelitian ini belum tentu
sesuai dengan sekolah atau daerah lain yang memiliki karakteristik dan psikologi siswa yang
berbeda. Diharapkan kepada peneliti lainnya agar bisa menggunakan sampel yang lebih
besar, dengan tujuan memperkecil kesalahan dan mendapatkan generalisasi yang lebih
akurat.
Datar Pustaka
Hake R, Richard. (1999). Analyzing Change/Gain Score. American Educational Research
Association‟s Division Measurement and Research Methodology.
Hudoyo, H. (1998). Pembelajaran Matematioka Menurut Pandangan Konstruktivistik.
Makalah Disajikan dalam Seminar Nasional Upaya Meningkatkan Peran Pendidikan
Matematika dalam Menghadapi Era Globaliasasi. PPS IKIP Malang: Tidak Diterbitkan
.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
118 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Irvansyah. (2005). Pembelajaran Matematika melalui Pendekatan Open-Ended untuk
Meningkatkan Kompetensi Strategis Siswa SMA. Laporan Penelitian UPI. Bandung.
Tidak diterbitkan.
Klipatrick, J., Wafford, J., dan Findell, B. (2001). Andding It Up: Helping Childern Learn
Mathematics. Washington, DS: National Academy Press.
Meltzer,D.E. (2002). The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual
Learning Gain in Physics: A Possible “Hidden Variable” in Diagnostics Pretest Scores.
American Journal of Physics. Vol. 70 (12) 1259 - 1268. Tersedia:
http://www.physics.iastate. edu/per /docs/AJP-Dec-2002-Vol.70-1259-1268.pdf
Nuhadi, dkk. (2003). Pembelajaran Kontekstual (Cooperative Learningdi Ruang
Kelas).Jakarta: Gramedia Widiasarana.
Ruseffendi, E.T.(1994). Dasar-dasar Penelitian dan Pendidikan Bidang Non Eksakta
Lainnya. Cetakan Pertama.Semarang. IKIP Semarang Press.
.(2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung:
Tarsito.
Tytler, R. (1996). Constructivism and Conceptual Change View of Learning in Science.
Majalah Pendidikan IPA: Khasanah Pengajaran IPA. Bandung: IMAPIPA.
Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa
dalam Pelajaran Matematika (Disertasi). Bandung: IKIP Bandung.
Wheatley, G. H. (1991). Constructivist Perspective on Science and Mathematics Learning.
Journal of Research in Science Teaching. New York: John Wiley & Sons, Inc. 35 (1)
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 119
TABEL RASIO DAN GRAFIK DALAM DESAIN
PEMBELAJARAN BERBASIS PMRI UNTUK
MENGEMBANGKAN PENALARAN PERBANDINGAN
(PROPORTIONAL REASONING)
Haniful Muttaqin1, Ratu Ilma Indra Putri
2
1Yayasan Subulussalam OKU Timur
[email protected] 2Universitas Sriwijaya
ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh beberapa hasil penelitian yang menunjukkan
bahwa siswa mengalami kesulitan dalam memahami materi perbandingan,dimana
salah satu faktor penyebabnya adalah rendahnya kemampuan penalaran
perbandingan (proportional reasoning). Tujuan penelitian ini adalah untuk
membantu siswa mengembangkan kemampuan penalaran perbandingan. Strategi
solusi dalam penelitian ini adalah tabel rasio dan grafikmenggunakan pendekatan
PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia) konteks OKU Timur. Penelitian
ini dilaksanakan di MTs Subulussalam 2 Sriwangi Ulu OKU Timur. Metode
penelitian yang digunakan adalahdesign research dengan tiga tahapan, yaitu
preliminary experiment, design experiment, dan retrospective analysis. Pada tahap
preliminary experiment, peniliti mendesain hipotesis lintasan pembelajaran atau
Hypothetical Learning Trajectory(HLT).Pada tahap design experiment, HLT diuji
cobakan pada siswa untuk mengembangkan pengetahuan informal menjadi
pengetahuan formal matematika melalui aktivitas. Hasil uji coba dianalisis pada
tahap retrospective analysis sehingga dihasilkan lintasan belajar atau Learning
Trajectory (LT).
Kata kunci: Tabel rasio dan grafik, PMRI, penalaran perbandingan (proportional
reasoning).
1. Pendahuluan
Masalah perbandingan merupakan salah satu masalah yang sering dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari. Oleh karena itu, materi perbandingan sangat penting untuk dipelajari. Dalam
matematika, sebagai contoh pemecahan masalah dan perhitungan yang melibatkan skala,
peluang, persen, tarif dasar, trigonometri, kesebangunan, pengukuran, geometri dan aljabar,
dapat dibantu melalui pengetahuan tentang perbandingan (Dole, Wright, Clarke & Campus,
2009).
Sebuah penelitian di Australia menunjukkan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam
penerapan rasio dan perbandingan (ratio and proportion) (Livy &Vale, 2011). Studi terbaru
di Palembang Indonesia, seperti penelitian yang dilakukan Rahmawati (2015), Utari (2015),
dan Ningsih (2016) juga menunjukkan masih terdapat kesulitan siswa dalam memahami
konsep perbandingan. Kesulitan siswa memahami konsep perbandingan disebabkan
beberapa faktor, di antaranya kemampuan penalaran perbandingan (proportional reasoning)
yang rendah. Siswa sulit bernalar dalam menggunakan perkalian untuk menyelesaikan
masalah matematika dari situasi perbandingan (Singh, 2000; Dole Wright, Clarke &
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
120 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Campus, 2009). Kesulitan anak dengan ciri tersendiri penalaran perbandingan mungkin
terlalu berat aturan dalam perbandingan (Mix, Levine, & Huttenlocher, 1999; Wynn, 1997
dalam Boyer et al, 2008).
Menyelesaikan masalah perbandingan dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya
berdasarkan harga satuan,berdasarkan nilai perbandingan, dengan cara langsung, dan dengan
menggunakan pola kelipatan (Nurharini & Wahyuni, 2008; Manik, 2009; Hardi, Hudiono, &
Mirza, 2010). Dalam NCTM (2013) dijelaskan bahwa ada lima cara/strategi yang dapat
digunakan untuk menyelesaikan masalah perbandingan, yaitu (1) dengan menemukan harga
satuan (unit rate) kemudian dikalikan atau dibagi untuk menemukan jawaban; (2) dengan
menuliskan masalah ke dalam tabel rasio (ratio table); (3) dengan menggunakan sebuah
metode yang disebut diagram pita (tape diagram); (4) dengan menyusun perbandingan
sebagai persamaan dua rasio (equality between two ratios) kemudian menyelesaikannya
dengan perkalian silang (cross-multiplication); dan (5) dengan membuat grafik (graphing).
Dalam penelitian ini, strategi solusi yang digunakan adalah tabel rasio dan grafik,
menggunakanpendekatanPMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia).Dengan
strategi table rasio dan grafik dan pendekatan PMRI, peniliti akan mendesain hipotesis
lintasan pembelajaran atau Hypothetical Learning Trajectory(HLT) yang disusun
berdasarkan pengetahuan informal dan pengetahuan awal yang dimiliki siswa kemudian
berkembang menjadi suatu pengetahuan formal matematika melalui suatu proses pemodelan.
HLT ini dicobakan pada siswa selama penelitian kemudian direvisi sehingga menghasilkan
lintasan belajar atau Learning Trajectory(LT).
2. Tinjauan Pustaka
2.1. Perbandingan(Ratio and Proportion)
Perbandingan istilah ilmiah adalah rasio dan proporsi (ratio and proportion). Rasio adalah
perbandingan dua atau lebih kuantitas dari jenis yang sama (Shelley, Dole, Malcolm,
&Shield, 2002). Sedangkan perbandingan dua atau lebih kuantitas dari jenis yang berbeda
disebut rate. Rasio dapat ditulis sebagai a : b, atau sebagai pecahan , atau sebagai
persentase. Algortima standar untuk situasi perbandingan adalah representasi dari persamaan
rasio, yaitu = (Karplus, Pulos, & Stage,1983; Langrall dan Swafford, 2000; Silvestre &
da Ponte, 2012; dan Touriniare & Pulos, 1985).
Proporsidalam arti perbandingan menyatakan kesamaan dua rasio. Proporsi ditulis = atau
a : b = c : d (Kershaw, 2014). Prosedur solusi standar untuk menyelesaikan persamaan
perbandingan adalah “perkalian silang” (Lesh, Post, & Behr, 1988). Dalam proporsi = , b
dan c disebut means, sedangkan a dan d disebut extremes.
Gambar 1. Diagram Means dan Extremes pada Perkalian Silang (Kershaw, 2014)
Menurut Cramer & Post (1993), menggunakan algoritma perkalian silang dalam
menyelesaikan persamaan perbandingan adalah efisien, akan tetapi sedikit bermakna bagi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 121
siswa. Cara mengajarkan perbandingan dengan memberikan perkalian silang tidak berarti
bagi siswa (Sumarto, van Galen, Zulkardi, Darmawijoyo, 2014). Menurut Van de Walle
(2008), untuk memahami masalah perbandingan hendaknya siswa fokus pada pengembangan
kemampuan penalaran perbandingan (proportional reasoning).
2.2. Penalaran Perbandingan (Proportional Reasoning)
Kemampuan penalaran perbandingan (proportional reasoning) merupakan kemampuan yang
penting untuk membangun pondasi matematika tingkatan selanjutnya dan kemampuan
bernalar dalam aljabar (Langrall, Cynthia,& Swafford, 2000). Proportional reasoning telah
dirujuk sebagai pecapaian utama dari kurikulum dan fondasi dari aljabar dan pengetahuan
sesudahnya (Lesh, Post, & Behr, 1988).
Menurut Shannon (2003) “Proportional reasoning is the ability to compare ratios or the
ability to make statements ofequality between ratios. Sedangkan menurut Tabart, Skalicky,
& Watson, (2005) “proportional reasoning is a challenging yet central concept for students
in the middle grades, and lays an important foundation for the mathematics that is studied
later in high school”. Karplus, Pulos, & Stage (1983) mendefinisikan penalaran
perbandingan sebagai sebuah istilah yang menunjukkan penalaran dalam sistem dua variabel
antara hubungan fungsi linier. Penalaran perbandingan dapat juga didefinisikan sebagai
sebuah kemampuan untuk memahami bentuk matematika yang multiplikatif dalam
perbandingan.
Menurut Van de Walle (2008) untuk mengembangkan kemampuan penalaran perbandingan,
guru dapat melakukan hal-hal berikut: (1) menyediakan tugas-tugas rasio dan perbandingan
dalam konteks luas, salah satunya mencakup situasi yang melibatkan penentuan harga; (2)
mendorong siswa untuk melakukan diskusi dan percobaan dalam memprediksi dan
membandingkan rasio; (3) membantu siswa menghubungkan penalaran perbandingan
dengan proses-proses yang sudah ada.
2.3. Tabel rasio dan Grafik
Menurut Aprianti (2011), siswa mengalami beberapa hambatan dalam proses pembelajaran
perbandingan. Ada tiga macam hambatan epistemologi, yaitu terkait: (1) variasi bentuk soal
dan informasi yang tersedia dalam soal; (2) kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal
perbandingan yang disajikan dalam bentuk grafik; dan (3) koneksi pemahaman konsep
perbandingan dengan konsep matematika yang lain.
Utami (2012) menyatakan bahwa materi perbandingan dapat dimulai dari pembelajaran
melihat pola. Tabel rasio dapat menunjukkan pola perbandingan. Sedangkan grafik
perbandingan berbentuk garis lurus/linier yang melalui pusat koordinat. Dalam aljabar, ini
dinyatakan dengan formula y = mx (Cetin & Ertekin, 2011).Sumarto (2014) mengatakan
“tabel rasio bersama dengan konteks dapat membantu siswa mengembangkan penalaran
perbandingan sekaligus strategi pemecahan masalah perbandingan, baik missing value
problem maupun comparison problem”. Hancock (2014) menyatakan bahwa penggunaan
tabel rasio dan grafik dapat membantu siswa untuk mengembangkan penalaran
perbandingan.
Ada hubungan antara tabel rasio dan grafik perbandingan. Pola-pola dalam tabel ditemukan
untuk mendapatkan sebuah hubungan untuk pola titik pada grafik Semua situasi
perbandingan dapat dinyatakan dengan persamaan linier y = mx, dimana m menunjukkan
kemiringan garis (Tabart, Skalicky, & Watson, 2005). Dan dasar yang kuat dalam penalaran
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
122 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
perbandingan dapat membantu pemahaman siswa dalam memahami fungsi dan persamaan
linier dalam bentuk y = mx dan y = mx + c (NCTM, 2013).Guru dapat menaikkan kapasitas
kemampuan penalaran perbandingan siswa dengan menyeimbangkan kemampuan dan
konsep, dan dengan menunda mengajarkan perkalian silang sampai siswa memperoleh
pengalaman dengan membentuk rasio dan pemahaman perbandingan sebagai persamaan
rasio (NCTM, 2013).
2.4. PMRI
PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia)adalah salah satu inovasi dalam
pembelajaran matematika yang dikembangkan di Indonesia sejak tahun 2001 (Zulkardi &
Ilma, 2010). PMRI adalah suatu pendekatan pembelajaran matematika yang bertitik tolak
dari hal-hal yang bersifat„real‟bagi siswa. PMRI dilaksanakan dengan menggunakan konteks
dunia nyata, model-model, produksi dan konstruksi, interaktif, dan
keterkaitan(intertwinment) (Fauzan, Slettenhaar, dan Plomp, 2002). Penggunaan konteks
dunia nyata memungkinkan siswa memanfaatkan pengalamannya untuk penguasaandan
penjelajahan pengalaman baru.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa PMRI dapat meningkatkan kemampuan siswa
menyelesaikan soal-soal perbandingan (Sudarman, 2006); memiliki pengaruh yang
cenderung besar terhadap memori siswa pada sub materi perbandingan (Atiqa dan Kusrini,
2000); meningkatkan kemempuan komunikasi siswa pada pokok bahasan perbandingan
(Askin dan Junaedi, 2013); membantu siswa menyelesaikan masalah perbandingan dengan
strategi dan pemisalan yang dibuat siswa sendiri (Ningsih, 2013 dan Ningsih, 2016);
mendukung kemampuan bernalar siswa (Utari, 2015); dan meningkatkan pemahaman siswa
terhadap pembelajaran perbandingan senilai (Rahmawati, 2015).
Menurut Freudental dalam Zulkardi (2005) ada tiga prinsip PMRI yang dapat dijadikan
sebagai acuan oleh peneliti dalam pendesainan perangkat pembelajaran baik itu materi
maupun produk pendidikan lainnya. Ketiga prinsip tersebut dijelaskan seperti berikut:
a) Penemuan terbimbing melalui matematisasi (guided reinvention through
mathematization).
b) Fenomena mendidik (didacitical phenomenology).
c) Model-model siswa sendiri (self-develoved models).
Adapun karakteristik PMRI sebagaimana yang dikemukakan Zulkardi (2002) yaitu:
a) Penggunaan konteks atau ekploration phenomenology
Konteks dapat diartikan dengan situasi atau fenomena/kejadian alam yang terkait dengan
konsep matematika yang sedang dipelajari. Atau masalah yang dapat dibayangkan
(imagineable) atau nyata (real) dalam pikiran siswa (Wijaya, 2012).
Gambar 2. Konsep Matematika (Zulkardi, 2002)
b) Penggunaan model yang menjembatani dengan instrumen vertikal
Empat tingkat model pembelajaran dan mengajar dalam PMRI:
1) Tingkat Situasional. Penggunaan situasi atau konteks real bagi siswa;
MatematisasidanRefleksi
Real BagiSiswa
AbstraksidanFormalisasi
MatematisasidalamAplikasi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 123
2) Tingkat Referensial atau Model-of (model dari situasi). Siswa membuat model untuk
menggambarkan situasi atau konteks;
3) Tingkat General/umum atau model-for (model untuk penyelesaian masalah). Siswa
melakukan generalisasi terhadap sekumpulan model dan strategi/solusi yang didapat;
4) Tingkat Formal. Siswa bekerja dengan prosedur konvensional, menggunakan
notasi/simbol, dan representasi matematis.
Gambar 3. Representasi Matematis (Zulkardi, 2002)
c) Adanya kreasi dan konstribusi siswa
Siswa harus diminta membuat hal-hal konkret dengan membuat “produksi bebas”, atau siswa
dipaksa merefleksikan proses belajar mereka.
d) Interaktivitas
Interaksi antar siswa dan antara siswa dan guru merupakan bagian penting dalam proses
instruksional.Siswa terlibat menjelaskan, membenarkan, setuju, tidak setuju,
mempertanyakan alternatif atau refleksi.
e) Keterkaitan dengan berbagai topik matematika
Hal ini sering disebut pendekatan holistik, yang menggabungkan aplikasi (animasi), dan
menyiratkan bahwa unit belajar tidak harus ditangani dengan entitas yang terpisah dan
berbeda. Sebaliknya jalinan berbagai topik belajar Matematika dimanfaatkan dalam
memecahkan masalah kehidupan nyata.
2.5. Hypotethical Learning Trajectory (HLT)
Menurut Gravemeijer dan Cobb (2006), HLT merupakan suatu hipotesa atau dugaan
pemikiran dan strategi siswa yang berkembang dari sutu konteks menuju pengetahuan formal
pada aktivitas pembelajaran.HLT terdiri dari tiga komponen, yaitu tujuan pembelajaran,
aktivitas pembelajaran, dan hipotesis proses belajar siswa. Bagian-bagian tersebut dimuat
dalam suatu jalur yang diharapkan terlaksana sehingga terlihat dengan jelas dan baik untuk
mengemukaan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diajukan.
3. Metodologi Penelitian
3.1. Metode Penelitian
Metode penelitian dalam penelitian ini adalahdesign research. Menurut Cobb. et. al
(2003),design researchmerupakan bagian dari penelitian pengembangan (development
research) karena berkaitan dengan pengembangan materi pembelajaran dan/ataubahan ajar.
Barab dan Squire (2004) mendefinisikan design researchsebagai serangkaian pendekatan
dengan maksud untuk menghasilkan teori-teori baru, artefak, dan model praktis yang
menjelaskan dan berpotensi berdampak pada pembelajaran dengan pengaturan yang alami
(naturalistic). Sementara menurut Plomp & Nieveen (2007) design research adalah suatu
kajian sistematis tentang merancang, mengembangkan dan mengevaluasi intervensi
pendidikan (seperti program, stategi dan bahan pembelajaran, produk, dan sistem) sebagai
solusi untuk memecahkan masalah yang kompleks dalam praktik pendidikan, yang juga
Situasional
Referensial
General
Formal
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
124 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
bertujuan untuk memajukan pengetahuan tentangkarakteristik dan intervensi tersebut serta
proses perancangan dan pengembangannya.
Karakteristik design research menurut Cobb et al. (2003) danvan den Akker (2006),
a) Interventionist: penelitian bertujuan untuk merancang suatu intervensi dalam dunia nyata;
b) Iterative: penelitian menggabungkan pendekatan siklikal (daur) yang meliputi
perancangan, evaluasi dan revisi;
c) Process Oriented: model kontak hitam pada pengukuran input-output diabaikan, tetapi
difokuskan pada pemahaman dan pengembangan model intervensi;
d) Utility oriented: keunggulan dari racangan diukur untuk bisa digunakan secara praktis
oleh pengguna;
e) Theory oriented: rancangan yang dibangun didasarkan pada preposisi teoritis kemudian
dilakukan pengujian lapangan untuk memberikan konstribusi pada teori.
Ada tiga motif atau tujuan penggunaan design research (Van den Akker, 2006), yaitu:
a) Meningkatkan relevansi penelitian;
b) Mengembangkan landasan teori secara empiris;
c) Meningkatkan kekokohan penerapan rancangan.
Design research dalam penelitian ini dilakukan dengan mendesain pembelajaran
perbandingan senilai menggunakan pendekatan PMRI.Pelaksanaan penelitian dipandu oleh
suatu instrumen yang disebut Hypothetical Learning Trajectory (HLT). Ketika pembelajaran
yang dilakukan tidak sesuai dengan desain yang dirancang, maka perlu dilakukan
pendesainan kembali (thought experiment) kemudian dilakukan pengujian kembali terhadap
HLT tersebut. Inti dari design research adalah proses siklik (cyclic process) dari kegiatan
mendesain atau mengujikan serangkaian aktivitas pembelajaran dan aspek-aspek lain.
Menurut Fruedental dalam Ilma(2012) disebutkan bahwa siklik proses dalam design
research terdiri dari eksperimen gagasan atau ide (thought experiment) dan eksperimen
pembelajaran (instruction experiment) seperti yang ditunjukan oleh gambar di bawah ini:
Gambar 4. Cyclic Prosess (Gravemeijer dan Cobb, 2006)
3.2. Prosedur Penelitian Penelitian ini terdiri dari tiga tahap yang dilakukan secara berulang-ulang sampai
ditemukannya teori baru yang merupakan hasil revisi dari teori pembelajaran yang dicobakan
(Charitas, Zulkardi, & Hartono, 2012).
Ada tiga tahap dalam design research (Gravemeijer dan Cobb, 2006) yaitu:
a. Tahap 1 :Preliminary Experiment
Pada tahap ini, sederetan aktivitas yang memuat konjektur pemikiran siswa dikembangkan
oleh peneliti melalui hypothetical learning trajectory (HLT).
b. Tahap II : Design Eksperiment
1)Siklus 1: Pilot experiment
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 125
Pilot experiment dilakukan untuk menguji cobakan HLT. Uji coba pada tahap ini dilakukan
terhadap enam orang siswa yang tidak berasal dari kelas yang akan dilakukan teaching
experiment. Dari hasil tahapini peneliti memperoleh gambaran mengenai kondisi dan
kemampuan siswa sebagai subyek penelitian.
2)Siklus 2: Teaching Experiment
Teaching experiment bertujuan untuk menguji coba HLT yang telah direvisi setelah diuji
coba pada siklus 1. Pada tahap ini, HLT merupakan pedoman utama yang menjadi fokus
dalam proses pembelajaran. Data yang dikumpulkan pada tahap ini dianalisis untuk
menjawab pertanyaan penelitian dan rumusan masalah.
c. Tahap III : Restrospective Analysis
Restrospective analysis adalah analisis data yang diperoleh pada setiap tahapnya, mulai dari
pre-test, pilot experiment, teaching experiment, dan post-test.Hasil analisis setiap tahap
tersebut digunakan untuk merancang aktivitas pada pembelajaran dan tahap berikutnya.
Analisis pada tahap ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana siswa dapat
menggeneralisasikan aktivitas-aktivitas yang telah dirancang.
3.3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Berdasarkan metode dan prosedur penelitian yang digunakan, maka teknik pengumpulan
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Foto dan Rekaman Video
b. Wawancara
c. Tes awal (pre-test)
d. Tes akhir (post-test)
Data hasil penelitian dianalisis setiap tahapnya secara retrospektif.Analisis data dilakukan
dengan mengacupada HLT. Secara kualitatif,analisis data dilakukan dengan dua cara yaitu:
a. Triangulasi Data
Triangulasi data adalah teknik yang digunakan untuk melihat keterkaitan yang diperoleh dari
sumber data berupa catatan lapangan, lembar observasi, dan rekaman video terhadap HLT
yang menjadi panduan pelaksanaan penelitian.
b. Interpretasi Silang
Interpretasi silang digunakan untuk meminta petimbangan pembimbing untuk memberi saran
mengenai data yang diperoleh seperti lembar observasi dan rekaman video. Interpretasi
silang dilakukan untuk mengurangi subjektivitas peneliti dalam menginterpretasikan
datahasil penelitian yang diperoleh di lapangan.
3.4. Subjek, Tempat, dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada November 2016. Subjek penelitian adalah siswa kelas VII
MTs Subulussalam 2 Sriwangi Ulu OKU Timur yang berjumlah 62 (32 VIIA + 30 VIIB)
siswa.
4. Hasil dan Pembahasan
Penelitian ini dilakukan pada dua siklus, yaitu siklus pertama pilot experiment dan siklus
kedua teaching experiment. Pada siklus pertama, penelitian dilakukan pada 6 siswa dengan
kemampuan berbeda (2 siswa berkemampuan tinggi, 2 siswa berkemampuan sedang, dan 2
siswa berkemampuan rendah) yang diambil dari kelas 30 siswa VII B. Mereka dibagi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
126 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
menjadi 2 kelompok kecil (small group). Pada siklus pertama ini guru menguji coba HLT
yang telah disusun sebelumnya. Hasil pada siklus pertama digunakan sebagai dasar untuk
merevisi HLT yang kemudian HLT hasil revisi diujicobakan pada siklus kedua.
Pada siklus kedua, penelitian dilakukan pada kelas besar yaitu kelas VII A yang berjumlah
32 siswa. Pada awal pertemuan, guru memberikan pre-test kepada setiap siswa. Kemudian
guru membentuk siswa menjadi beberapa kelompok secara acak, dimana setiap kelompok
terdiri dari 3-4 siswa, sehingga terbentuk8 kelompok dengan anggota 3 siswa dan 2
kelompok dengan anggota 4 siswa.
Dalam setiap siklus, siswa melakukan 4 aktivitas dimana setiap aktivitas dipandu oleh
lembar aktivitas siswa (LAS). Pada aktivitas pertama, siswa mengidentifikasi masalah
perbandingan senilai, membuat tabel rasio dan menemukan definisi perbandingan senilai dan
faktor pengali. Pada aktivitas kedua, siswa menemukan perbandingan sebagai persamaan
rasio. Pada aktivitas ketiga, siswa membuat grafik perbandingan senilai. Pada aktivitas ini
siswa menemukan bahwa grafik perbandingan senilai berbentuk garis lurus atau linier
melalui pusat koordinat dengan persamaan y = mx. Pada aktivitas keempat siswa
menyelesaikan dua jenis masalah perbandingan senilai, yaitu missing value problem dan
comparison problem.
Kemudian setelah siswa melalukan 4 aktivitas, guru memberikan post-testyang terdiri dari 3
soal pada setiap siswa.Dari data hasil post-testyang diperoleh, guru melalukan analisis
retrospektif yang dijabarkan sebagai berikut:
Soal yang pertama:
Buku Matematika tebalnya 124 halaman. Sedangkan Buku Bahasa Indonesia tebalnya 96
halaman.
a. Berapakah rasio tebal sebuah buku matematika dengan tebal sebuah buku Bahasa
Indonesia?
b. Berapakah rasio tebal 7 buah buku Matematika dengan tebal 7 buah buku Bahasa
Indonesia?
Jawaban Siswa:
Gambar 5. Jawaban Siswa pada Soal Pertama Post-test
Hasil penyelesaiannya32 siswa,28siswa benar, 3 siswa kurang tepat dan hanya ada 1 yang
salah. Dilihat dari cara menyelesaikan ada 28siswa yang jawabannya benar, mereka sudah
bisa menulis rasio kedalam bentuk perbandingan dan pecahan, bisa menyederhanakan.
Sementara 3 siswa yang jawabannya kurang tepat karena mereka lemah atau kesulitan dalam
menyederhanakan rasio atau pecahan.
Soal yang kedua:
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 127
Perbandingan umur Dono dan Dini adalah 4 : 5. Jika Umur Dono 40 tahun. Berapakah
umur Dini?
Jawaban Siswa:
Gambar 6. Jawaban siswa Soal Kedua Post-test
Hasil penyelesaiannya32 siswa semuanya benar. Dilihat dari cara penyelesaiannya, ada yang
menggunakan perkalian silang ada juga yang langsung mengalikan 5 dengan 10 dengan
alasan karena 40 dibagi 4 sama dengan 10.
Soal yang ketiga:
Diketahui rasio dua besaran adalah 2 : 3. Lengkapi tabel rasio berikut dan buatlah
grafiknya!
Tabel rasio
x y (x, y)
2 3 (2, 3)
... 6 ...
6 ... ...
8 ... ...
... 15 ...
Jawaban Siswa:
Gambar 7. Jawaban Siswa pada Soal Ketiga Post-test
Dilihat dari hasil penyelesaian 32 siswa, 30 siswa jawabannya benar, 1 siswa jawabannya
kurang tepat dan 1siswa menjawab salah. 30 siswa yang jawabannya benar bisa mengisi
tabel rasio dengan tepat dan mereka sudah mampu melihat tabel rasio sebagai pola kelipatan.
Mereka juga sudah bisa membuat grafik dengan tepat, berupa garis lurus dengan persamaany
= mx. 1 siswa yang jawabannya salah adalah karena kelemahan dalam menginterpretasikan
tabel ke dalam grafik.
5. Penutup
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan
bahwa siswa mampu menyelesaikan soal post-test dengan baik menggunakan
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
128 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
cara/metode/strategi mereka sendiri setelah mereka melakukan aktivitas-aktivitas dalam
pembelajaran dengan pendekatan PMRI.Ini menunjukkan bahwa kemampuan penalaran
perbandingan (proportional reasoning) mereka telah berkembang. Dengan aktivitas-
aktivitas, pembelajaran perbandingan senilai menjadi lebih bermakna bagi siswa.
5.2. Saran
Peneliti berharap penerapan PMRI pada materi pembelajaran perbandingan senilai dapat
digunakan sebagai salah satu model pembelajaran pada materi perbandingan dan dapat
menggembangkan penerapan PMRI pada materi pembelajaran.
Daftar Pustaka
Aprianti, E.N. 2011. Identifikasi Learning Obstacles pada Topik Perbandingan. Makalah
pada Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung.
Atiqa, Y & Kusrini. 2000. Pengaruh Pembelajaran Matematika Realistik terhadap Mmeori
Siswa pada Sub Materi Perbandingan Senilai dan Berbalik Nilai di Kelas VII SMPN 5
Tuban. Jurnal Matematika FMIPA Universitas Negeri Surabaya.
Barab, S. & Squire, K. 2004. Design-Based Research: Putting a Stake in the Ground. The
Journal of the Learning Sciences, 13(1), 1-14. Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Boyer, et. al.2008. Development of Proportional Reasoning: Where Young Children Go
Wrong. Vol. 44, No. 5. 1478-1490.
Cetin, H., Ertekin, E. 2011. The Relationshp Between Eighth Grade Primary School
Students‟ Proportional Reasoning Skills and Success in Solving Equations.
International Journal of Instruction e-ISSN: 1308-1470. Turkey: Selcuk University
Charits, R.; Zulkardi; Hartono, Y. 2012. Learning Multiplication Using Indonesian Game in
Third Grade. IndoMS. J.M.E Vol. 3 No. 2
Cobb, P. et. al. 2003. Design Experiment in Education Research. Journal of Educational
Researcher.
Cramer, K. & Post, T. 1993. Making Connection: A Case for Proportionality. The
Arithmatics Teachers, 342-346
Dole, S., Wright, T., Clarke, D., & Campus, P. 2009. Proportional Reasoning: Making
Connections in Science and Mathematics (MCSAM), 1-18. The University of
Queensland: Australia.
Gravemeijer, K., & Cobb, P. 2006. Design Research from a Learning Design Perspective. In
J. V. D Akker, K.P.E. Gravemeijer, S. McKenney, N. Nieven (Eds), Educational
Design Research (pp. 17-51). London : Routledge
Hardi, J., Hudiono, B., & Mirza, A. 2010. Deskripsi Pemahaman Siswa pada Permasalahan
Perbandingan dan Strategi Solusi dalam Menyelesaikannya. Jurnal Pendidikan
Matematika FKIP Universitas Tanjungpura Pontianak.
Hancock, M.J. 2014. Common Core State Standars for Mathematics: Flip Book Grade 7.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 129
Ilma, R. 2012. Pendisainan Hypohtetical Learning Trajectory (HLT) Cerita Malinkundang
pada Pembelajaran Matematika. Dalam Prosiding Seminar Nasional Matematika dan
Pendidikan Matematika, Yogyakarta, tanggal 10 November 2012. Universitas Negeri
Yogyakarta
Karplus, R., Pulos, S., & Stage, E.K. 1983. Early Adolescents‟ Proportional Reasoning on
„Rate‟ Problems. Educational Studies in Mathematics, 14, 219-233.
Kershaw, J. 2014. CK-12 Middle School Math – Grade 7. US : Flexbook.
Langrall, Cynthia W & Swafford, J. 2000. Three Balloons for Two Dollars: Developing
Proportional Reasoning. Mathematics Teaching in The Middle School, 6(4), 254-261
Lesh, R., Post, T., & Behr, M. 1988. Proportional Reasoning. In A. Kelly & R. Lesh (Eds).
Number Concept and Operations in The Middle Grades (pp.93-118). Hillsdale, NJ:
Lawrence Eelbaum, and Reston, VA: National Council of Teacher Mathematics, NY:
State University of New York Press.
Livy, S. and Vale, C. 2011. First Year Pre-service Teachers‟ Mathematical Content
Knowledge: Methodes of Solution for a Ratio Question. Vol. 13.2, 22-43. Mathematics
Teacher Education and Development: Victoria University.
Manik, D.R. 2009. Penunjang Belajar Matematika untuk Kelas VII (BSE). Jakarta: Pusat
Perbukuan Depdiknas
NCTM (National Council of Teachers of Mathematics). 2013.Teaching Ratio and
Proportion in The Middle Grades. Ratio and Proportion Research Brief. Nedherland:
Enchede.
Ningsih, P.R. 2013. Penerapan Metode Realistic Mathematic Education (RME) pada Pokok
Bahasab Perbandingan Senilai dan Berbalik Nilai di Kelas VII E SMP IPIEMS
Surabaya. Jurnal Pendidikan Matematika Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum
Jombang. Gamatika Vol. III
Ningsih, R.P. 2016. Desain Pembelajaran Perbandingan Senilai Berbasis Pendekatan
Matematika Realistik Indonesia (PMRI) di Kelas VII Sekolah Menengah Pertama.
Tesis Magister Pendidikan Matematika FKIP Unsri.
Nurharini, D. & Wahyuni, T. 2008. Matematika Konsep dan Aplikasinya (BSE). Jakarta:
Pusat Perbukuan Depdiknas
Plomp, & Nieveen. 2007. An Introduction to Educational Design Research. Netherlands :
Enschede.
Rahmawati. 2005. Desain Pembelajaran Perbandingan dengan Menggunakan Kertas
Berpetak di Kelas VII. Tesis Magister Pendidikan Matematika FKIP Universitas
Sriwaijaya.
Shannon, M. 2003. Effect of Modeling Instruction on Development of Proportional
Reasoning II: Theoretical Background. Permission to copy or disseminate all or part of
this material is grantedprovided that the copies are not made or distributed for
commercial advantage, and the copyright and its date appear.To disseminate otherwise,
to republish, or to place at another website (instead of linking
to<http://modeling.asu.edu/modeling-HS.html>) requires written permission.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
130 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Shelley, Dole, Malcolm, Shield. 2002. Investigating Texbook Presentations of Ratio and
Proportion: Proceedings Mathematics in The South Pasific. The 25th Annual
Conference of The Mathematics Education Research Group of Australasia, pages pp.
608-615, University of Aucland.
Silvestre, A.I., & Da Ponte, J.P. 2012. Missing Value and Comparison Problems: What
Pupils Know before The Teaching of Proportion. PNA, 6(3), 73-83.
Singh, P. 2000. Understanding the Concepts of Proportion and Ratio Constructed by Two
Grade Six Students. Educational Studies in Mathematics, 271-292.
Sudarman. 2006. Meningkatkan Kemampuan Siswa Menyelesaikan Soal Perbandingan
dengan Pembelajaran Matematika Realistik Siswa SMPN 4 Palu. Jurnal Pendidikan
Matematika FKIP Universitas Tadulako Palu. ISSN: 0216-3144
Sumarto, S.N., van Galen, F., Zulkardi, Darmawijoyo. 2014. Proportional Reasoning: How
to the 4th Grades Use Their Intuitive Understanding. Canadian Center of Science and
Education.
Tabart, P., Skalicky, J., Watson, J. 2005. Modelling Proportional Thinking with Threes and
Twos. APMC
Tourniaire, F. & Steven, P. 1985.Proportional Reasoning: A Review of The Literature
Educational Studies in Mathematics, 16,181-204. California: Group in Science and
Mathematics Education, Lawrence Hall of Science, University of California.
Utami, T.H. 2012. Pembelajaran Konsep Perbandingan. J-TEQIP Tahun III Nomor I:
Universitas Malang.
Utari, R.S. 2015. Desain Pembelajaran Materi Perbandingan Menggunakan Konteks Khas
Palembang untuk Mendukung Kemampuan Bernlar Siswa SMP. Tesis Magister
Pendidikan Matematika FKIP Universias Sriwijaya.
Van de Walle, J.A. 2008. Matematika Sekolah Dasar dan Menengah: Pengembangan
Pengajaran. Jilid Kedua. Jakarta: Erlangga.
Van den Akker, Jan et al.2006.Educational Design Research. Routledge: London and New
York.
Wijaya, A. 2012. Pendidikan Matematika Realistik : Suatu Alternatif Pendekatan
Pembelajaran Matematika. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Zulkardi. 2002. Developing a Learning Environment on Realistic Mathematics Education for
Indonesian Student Teachers. Doctoral Dissertation. Enschede: University of Twente.
Zulkardi. 2005. Developing a „rich‟ Learning Environment on Realistic Mathematics
Education (RME) for Student Teachers in Indonesia. FKIP Unsri.
Zulkardi & Ilma, R. 2010. Pengembangan Blog Support untuk Membantu Siswa dan Guru
Matematika Indonesia Belajar Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI).
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 131
Pengembangan Instrumen untuk Meningkatkan Kemampuan
Berpikir Reflektif Matematis Siswa SMA dengan Pendekatan
Scientific Disertai Strategi What If Not NOT
Harry Dwi Putra
Pendidikan Matematika, STKIP Siliwangi
ABSTRAK
Kemampuan berpikir reflektif matematis merupakan salah satu kompetensi berpikir
tingkat tinggi yang juga sangat penting dikembangkan pada siswa, karena mereka
akan cenderung untuk mencari kebenaran, berpikir terbuka dan toleran terhadap
ide-ide baru, dapat menganalisis masalah dengan baik, berpikir secara sistematis,
penuh rasa ingin tahu, dewasa dalam berpikir, serta dapat berpikir kritis secara
mandiri. Pendekatan scientific merupakan pendekatan yang memfasilitasi siswa agar
memperoleh pengetahuan dan keterampilan berdasarkan metode ilmiah, yaitu
mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan membentuk jejaring (menyimpulkan,
menyajikan, serta mengkomunikasikan). Melalui strategi what if not terjadi proses
berpikir siswa dalam menganalisis masalah, mempertentangkan kondisi pada masalah,
dan memeriksa kebenaran penyelesaian. Oleh karena itu, diperlukan instrumen untuk
meningkatkan kemampuan berpikir reflektif matematis melalui pendekatan scientific
disertai strategi what if not. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang
akan menghasilkan produk berupa instrumen. Metode penelitian terdiri dari tahap-
tahap, yaitu: pendahuluan (studi pustaka, observasi, dan wawancara), pengembangan
produk (instrumen), validitas dari tim ahli, dan uji coba terbatas pada siswa kelas XI
di SMA Negeri Cimahi dengan kriteria sekolah tinggi, sedang, dan rendah.
Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa instrumen yang dikembangkan
meliputi silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan tes kemampuan
berpikir reflektif matematis. Silabus mengenai materi aturan pencacahan. RPP disusun
sesuai dengan pendekatan scientific disertai strategi what if not. Tes disusun sesuai
dengan indikator kemampuan berpikir reflektif matematis. Setelah dilakukan uji coba
terbatas, diperoleh instrumen yang valid.
KataKunci: Instrumen,Kemampuan Berpikir Reflektif Matematis, Pendekatan
Scientific, StrategiWhatIfNot.
1. Pendahuluan
1.1. Latar belakang
Kemampuan berpikir matematis menjadi fokus dalam pembelajaran matematika di sekolah.
Guru mestinya memfasilitasi siswa agar dapat melatih kemampuan berpikir matematis
tingkat tinggi siswa, salah satunya adalah kemampuan berpikir reflektif matematis. Garrison,
et al (2004) menyatakan bahwa apabila kemampuan berpikir reflektif dikembangkan pada
siswa, mereka akan cenderung untuk mencari kebenaran, berpikir terbuka, toleran terhadap
ide-ide baru, dapat menganalisis masalah dengan baik, berpikir secara sistematis, penuh rasa
ingin tahu, dewasa dalam berpikir, dan berpikir secara mandiri.
Namun, hasil penelitian Nindiasari (2011) pada siswa di Sekolah Menengah Atas (SMA) di
Kabupaten Tangerang menunjukkan bahwa hampir 60% siswa belum memberikan hasil
memuaskan dalam mengerjakan soal-soal yang memuat indikator proses berpikir reflektif
matematis. Ini menunjukkan bahwa tes kemampuan berpikir reflektif matematis jarang
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
132 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
dilatihkan guru pada siswa. Menurut Herman (2012) bahwa tugas matematika yang
diberikan kepada siswa harus dapat membuat siswa melakukan aktivitas mengamati dan
mengeksplorasi fenomena-fenomena matematika sehingga menuntut siswa berpikir secara
optimal sesuai kemampuannya.
Dalam kurikulum 2013 yang diterapkan saat ini menekankan guru menggunakan pendekatan
scientific dalam pembelajaran. Dalam pendekatan scientific terdapat aktivitas mengamati,
menanya, mencoba, menalar, dan menyimpulkan (Kemdikbud, 2013). Berdasarkan
wawancara dengan tiga guru di SMAN Cimahi, siswa kesulitan dalam mengajukan
pertanyaan terhadap permasalahan yang dihadapi. Untuk mengatasi hal ini, dapat digunakan
strategi what if not dengan cara mengubah informasi atau data, menambah informasi pada
data, mengubah nilai data yang ada dengan pertanyaan yang sama, dan mengubah
pertanyaan dengan data yang sama.
Melalui strategi ini siswa dapat membuat pertanyaan berdasarkan permasalahan yang mereka
hadapi dan melakukan refleksi untuk memeriksa kebenaran dari jawaban atas pertanyaan
tersebut. Mengingat begitu pentingnya kemampuan berpikir reflektif untuk dilatihkan pada
siswa, perlu disusun instrumen untuk meningkatkan kemampuan berpikir reflektif matematis
siswa SMA melalui pendekatan scientific disertai strategi what if not.
1.2. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana mengembangkan instrumen
kemampuan berpikir reflektif matematis pada siswa SMA dengan pendekatan scientific
disertai strategi what if not?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan tersusunnya instrumen kemampuan berpikir reflektif
matematis siswa SMA dengan pendekatan scientific disertai strategi what if not..
1.4. Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi guru dan pihak yang terkait untuk
menggunakan instrumen ini dalam mengukur kemampuan berpikir reflektif matematis siswa
sekolah menengah pada materi aturan pencacahan. Selain itu, siswa menjadi berkembang
kemampuan berpikir matematis tingkat tingginya dalam menyelesaikan tes kemampuan
berpikir reflektif matematis.
2. Metode Penelitian
2.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang menghasilkan instrumen untuk
meningkatkan kemampuan berpikir reflektif matematis siswa. Instrumen yang disusun
divalidasi oleh tim ahli. Instrumen yang telah valid diujicobakan di tiga sekolah menengah
dengan peringkat tinggi, sedang, dan rendah, yaitu SMAN 2, 3, dan 4 Cimahi.
2.2. Subjek Penelitian Subjek pada penelitian ini adalah dua orang tim ahli yang akan memvalidasi instrumen, tiga
guru yang mengajar matematika di masing-masing sekolah menengah untuk diwawancara,
dan sepuluh siswa kelas XII yang telah mempelajari materi aturan pencacahan untuk uji coba
instrumen.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 133
2.3. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu studi pendahuluan, pengembangan
instrumen, serta uji ahli dan terbatas. Studi pendahuluan bertujuan untuk menelaah teori
tentang kemampuan berpikir reflektif matematis, pendekatan scientific, dan strategi what if
not. Pada tahap pengembangan tersusun instrumen yang sesuai dengan kajian teori yang
dirujuk.
2.4. Instrumen Penelitian Instrumen yang dihasilkan dari penelitian ini terdiri dari silabus mengenai materi aturan
pencacahan, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dengan pendekatan scientific disertai
strategi what if not, dan tes kemampuan berpikir reflektif matematis. Untuk memperoleh
seperangkat instrumen yang valid digunakan pedoman wawancara, catatan lapangan, dan
lembar penilaian. Pedoman wawancara untuk mewawancarai guru dalam memperoleh
masukan terhadap instrumen. Catatan lapangan untuk mencatat masukan dari guru dan siswa
terhadap instrumen yang digunakan. Lembar penilaian untuk memperoleh nilai dari dua
orang tim ahli sebagai validator terhadap layak atau tidaknya instrumen yang dipakai. Tes
digunakan untuk melihat validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan tingkat kesukaran dari
kelima butir soal.
2.5. Teknik Analisis Data
2.5.1. Data Pedoman Wawancara dan Catatan Lapangan..
Dianalisis dengan memisahkan data yang penting dan tidak penting serta menyusun data
untuk diinterpretasikan sebagai pedoman melakukan perbaikan instrumen
.
2.5.2. Lembar penilaian.
Dianalisis dengan mengklasifikasi pilihan kedua validator pada masing-masing butir
penilaian untuk melihat layak atau tidaknya instrumen. Rumus yang digunakan untuk
menentukan kelayakan instrumen (Purwanto, 2010), yaitu:
100% k
NNk
Keterangan:
N : Persentase aspek
k : Jumlah nilai dari aspek
Nk : Jumlahnilai yang harus dicapai
Kriteria kelayakan ditetapkan, sebagai berikut:
Sangat layak : 83,5% - 100%
Layak : 64% - 83%
Cukup layak : 44,5% - 63%
Tidak layak : 25% - 44%
2.5.3. Tes Kemampuan Berpikir Reflektif Matematis.
Tes yang telah diujicobakan pada siswa dihitung validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan
tingkat kesukaran denganrumus (Ruseffendi, 2005). Untuk menentukan validitas butir soal
digunakan rumus, sebagai berikut:
2 22 2
xy
N XY X Yr
N X X N Y Y
Keterangan:
X : Nilai rata-rata soal-soal tes pertama perorangan
ΣX : Jumlah nilai-nilai X
ΣX² : Jumlah kuadrat nilai-nilai X
Y : Nilai rata-rata soal-soal tes kedua perorangan
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
134 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
ΣY : Jumlah nilai-nilaiY
ΣY² : Jumlah kuadrat nilai-nilai Y
XY : Perkalian nilai-nilai X dan Y perorangan
ΣXY : Jumlah perkalian nilai X dan Y
N : Banyaknya pasangan nilai
Kriteria validitas butir soal ditetapkan, sebagai berikut:
Sangattinggi : 0,90 1,00xyr
Tinggi : 0,70 0,90xyr
Sedang : 0,40 0,70xyr
Rendah : 0,20 0,40xyr
Sangatrendah : 0,00 0,20xyr
Untuk menentukan reliabilitas tes digunakan rumus, sebagai berikut: 2 2
21
j i
p
j
DB DBbr x
b DB
dengan
222 i ii
X XDB
N N
dan
222
j
Y YDB
N N
Keterangan:
: Koefisien reliabilitas tes
b : Banyaksoal
: Variansi skor seluruh soal menurut skor siswa perorangan
: Variansi skor soal tertentu (soal ke-i)
∑ : Jumlah variansi skor seluruh soal menurut skor soal tertentu
Kriteria reliabilitas tes ditetapkan, sebagai berikut:
Sangattinggi : 0,90 1,00pr
Tinggi : 0,70 0,90pr
Sedang : 0,40 0,70pr
Rendah : 0,20 0,40pr
Sangatrendah : 0,00 0,20pr
Untuk menentukan daya pembeda butir soal digunakan rumus, sebagai berikut:
A Bp
A
JB JBD
JS SMI
Keterangan:
Dp : Indeks daya pembeda
: Jumlah skor kelas atas
: Jumlah skor kelas bawah
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 135
JSA : Jumlah skor kelas atas atau bawah(25% dari jumlah seluruh peserta tes)
SMI : Skor maksimal ideal
Kriteria daya pembeda butir soal ditetapkan, sebagai berikut:
Sangatbaik : 0,70 1,00pD
Baik : 0,40 0,70pD
Sedang : 0,20 0,40pD
Kurangbaik : 0,00 0,40pD
Tidakbaik : 0,00pD
Untuk menentukan tingkat kesukaran butir soal digunakan rumus, sebagai berikut:
Keterangan:
IK : Indeks kesukaran
: Banyaknya jawaban benar kelompok atas
: Banyaknya jawaban benar kelompok bawah
JSA : Jumlah skor kelas atas atau bawah(25% dari jumlah seluruh peserta tes)
SMI : Skor maksimal ideal
Kriteria tingkat kesukaran butir soal ditetapkan, sebagai berikut:
TerlaluSukar : 0,00kI
Sukar : 0,00 0,30kI
Sedang : 0,30 0,70kI
Mudah : 0,70 1,00kI
TerlaluMudah : 1,00kI
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
3.1. Hasil Penelitian
Berikut ini disampaikan hasil penelitian yang telah dilakukan.
3.1.1. Studi Pustaka.
Pada kegiatan ini, dilakukan kajian teori mengenai penyusunan silabus dan RPP berdasarkan
Kurikulum 2013 pada materi aturan pencacahan menggunakan pendekatan scientific disertai
strategi what if not. Menentukan indikator kemampuan berpikir reflektif matematis yang
diadaptasi dari indikator berpikir kritis (Sumarmo, 2010). Indikator dari kemampuan berpikir
reflektif matematis yang telah ditetapkan, yaitu membedakan data relevan dan tidak relevan
mengenai aturan perkalian; menganalisis dan mengklarifikasi jawaban mengenai aturan
perkalian; menggeneralisasi dan menganalisis generalisasi mengenai permutasi dan
kombinasi; menginterpretasikan suatu kasus berdasarkan konsep peluang; memeriksa
kebenaran suatu argumen mengenai peluang; serta menarik analogi dari dua kasus peluang
yang serupa.
3.1.2. Observasi ke Lapangan.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan guru di SMAN 2, 3, dan 4 Cimahi,
diperoleh bahwa soal tes kemampuan berpikir reflektif matematis masih jarang dilatihkan
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
136 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
kepada siswa. Guru biasanya menggunakan soal-soal pada buku pegangan siswa sebagai
latihan. Soal yang terdapat pada buku tersebut hanya bersifat soal pemecahan masalah biasa,
belum melatih siswa dalam mengembangkan kemampuan berpikir reflektif mereka.
Dalam pelaksanaan pembelajaran, guru di tiga sekolah tersebut telah menerapkan
pendekatan scientific meliputi aktivitas mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan
menyimpulkan. Pada aktivitas menanya, siswa sedikit yang aktif mengemukakan
pendapatnya. Mereka bingung dalam menyusun pertanyaan. Untuk mengatasi ini, pada
aktivitas menanya dapat menggunakan strategi what if not dengan merubah data, menambah
data, mengubah data tetapi pertanyaan sama, atau mengubah pertanyaan dengan data yang
sama.
3.1.3. Penyusunan Instrumen.
Berdasarkan studi pustaka dan hasil wawancara selanjutnya dapat disusun silabus, RPP, dan
kisi-kisi tes kemampuan berpikir reflektif. Silabus berkenaan dengan materi aturan
pencacahan, terdiri dari aturan perkalian, faktorial, permutasi, kombinasi, binomial newton,
dan peluang. RPP disesuaikan dengan langkah-langkah pendekatan scientific disertai dengan
strategi what if not. Penyusunan kisi-kisi dan tes berdasarkan indikator kemampuan berpikir
reflektif matematis yang terdiri dari 5 butir soal.
3.1.4. Validasi Tim Ahli
Berikut ini disajikan hasil validasi dari dua dosen pembimbing mengenai soal tes
kemampuan berpikir reflektif matematis yang telah disusun.Kriteria penilaian butir soal
terdiri dari isi, penyajian, dan kebahasaan.
Tabel 1.Hasil Uji Kelayakan Instrumen Tes Berpikir Reflektif
No. Ahli Kriteria Kelayakan Soal (%)
1 2 3 4 5
1. Validator 1 62,50 60,42 56,25 62,40 58,33
2. Validator 2 58,33 56,25 64,58 62,50 56,25
Rerata 60,42 58,33 62,50 61,46 57,29
Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa rerata persentase kelayakan soal berada di antara
44,50% 83,00% berarti bahwa tes kemampuan berpikir reflektif cukup layak (valid)
untuk diujicobakan pada siswa..
3.1.5. Uji Coba Tes Kemampuan Berpikir Reflektif Matematis.
Pada Tabel 2 di bawah ini disajikan rekapitulasi hasil uji coba terbatas tes kemampuan
berpikir reflektif matematis yang diberikan kepada 10 siswa kelas XII yang telah memahami
materi aturan pencacahan. Tes terdiri dari 5 soal dengan skor maksmimum ideal adalah 14.
Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Uji Coba Tes Kemampuan Berpikir Reflektif Matematis
Soal Validitas Kriteria Reliabilitas Kriteria DP Kriteria IK Kriteria
1. 0.53 Sedang
0.54 Sedang
0.22 Cukup 0.44 Sedang
2. 0.45 Sedang 0.33 Cukup 0.50 Sedang
3. 1.07 Sangat Tinggi 0.67 Baik 0.67 Sedang
4. 0.64 Sedang 0.67 Baik 0.67 Sedang
5. 0.97 Sangat Tinggi 0.33 Cukup 0.61 Sedang
Skor maksimum ideal dari kelima soal kemampuan berpikir reflektif matematis adalah 14.
Apabila siswa menjawab dengan benar pada soal pertama bernilai 2, soal kedua bernilai 2,
soal ketiga bernilai 2, soal keempat bernilai 4, dan soal kelima bernilai 4. Pada soal pertama,
sebanyak 40% siswa memperoleh skor 2 dan sebanyak 60% siswa memperoleh skor 1. Pada
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 137
soal kedua, sebanyak 50% siswa memperoleh skor 2, sebanyak 40% siswa memperoleh skor
1, dan sebanyak 10% siswa memperoleh skor 0 karena tidak memberikan jawaban.
Pada soal ketiga, sebanyak 50% siswa memperoleh skor 2, sebanyak 40% siswa memperoleh
skor 1, dan sebanyak 10% siswa memperoleh skor 0 karena jawaban yang diberikan salah.
Pada soal keempat, sebanyak 30% siswa memperoleh skor 3, sebanyak 30% siswa
memperoleh skor 2, sebanyak 30% siswa memperoleh skor 1, dan sebanyak 10% siswa
memperoleh skor 0 karena jawaban yang diberikan salah. Pada soal kelima, sebanyak 10%
siswa memperoleh skor 3, sebanyak 80% siswa memperoleh skor 2, sebanyak 10% siswa
memperoleh skor 0 karena jawaban yang diberikan salah.
Pada Tabel 2 di atas, terlihat bahwa soal nomor 3 dan 5 memiliki validitas sangat tinggi,
sedangkan soal nomor 1, 2, dan 4 memiliki validitas sedang. Kelima soal tersebut memiliki
reliabilitas sedang. Daya pembeda pada dua soal (nomor 3 dan 4) sudah baik, sedangkan tiga
soal (nomor 1, 2, dan 5) memiliki daya pembeda cukup baik. Tingkat kesukaran soal adalah
sedang. Dapat disimpulkan bahwa tes kemampuan berpikir reflektif matematis sudah valid
dan dapat digunakan pada siswa kelas XI di SMA Negeri 2, 3, dan 4 Cimahi untuk
mengetahui peningkatan kemampuan berpikir reflektif matematis mereka sebelum dan
setelah pembelajaran. Pada Tabel 3 berikut ini disajikan data pretest, posttest, dan
peningkatan kemampuan berpikir reflektif matematis siswa.
Tabel 3. Hasil Pretest dan Posttest Kemampuan Mathematical Problem Posing
Kelas Jumlah Pretest Posttest N-gain Kriteria
XI MIPA 2 SMA 2 31 4,83 11.15 0,69 Sedang
XI MIPA 1 SMA 3 35 4,73 10,68 0,64 Sedang
XI MIPA 4 SMA 4 37 4,76 10,51 0,62 Sedang
Pada Tabel 3 di atas terlihat bahwa peningkatan kemampuan berpikir reflektif siswa berada
pada 0,30 0,70 yang berarti peningkatan kemampuan berpikir reflektif siswa berada pada
kriteria sedang. Siswa belum terbiasa menjawab soal yang berkaitan dengan memeriksa data
relevan atau tidak terhadap informasi dari soal, memeriksa kebenaran pernyataan berkaitan
dengan soal, serta menganalisis generalisasi dan analogi dari suatu permasalahan yang
diberikan.
3.2. Pembahasan
Instrumen yang telah disusun diberikan kepada tim ahli untuk memberikan masukan
terhadap perbaikan instrumen. Menurut tim ahli, silabus mengenai aturan pencacahan sudah
sesuai dengan panduan kurikulum 2013. Dalam RPP sudah memuat langkah-langkah
pendekatan scientific dengan strategi what if not pada aktivitas menanya. Pada aktivitas
pembelajaran dalam RPP mesti siswa yang dominan, jangan terlalu sering menuliskan
aktivitas guru. Soal kemampuan berpikir reflektif yang terdiri dari 5 soal sudah memenuhi
indikator yang ditetapkan.
Kalimat pada soal ada yang mesti diperbaiki agar tidak membuat siswa bingung dalam
memahami informasi dari soal. Misalnya: kalimat pada soal “Dari kota Padalarang ke kota
Cimahi dilalui 4 jenis angkot”. Bagi siswa yang tidak pernah ke Padalarang dan Cimahi akan
membuat mereka menjadi bingung. Untuk itu nama kota disimbolkan saja dengan Kota P
dan Kota C, sehingga soal diperbaiki menjadi “Dari kota P ke kota C dilalui oleh 4 jenis
angkot”.
Penilaian dari reviewer menunjukkan bahwa instrumen tes kemampuan berpikir reflektif
matematis cukup layak digunakan. Dalam membuat soal berpikir reflektif matematis
memang tidak mudah. Indikator dalam kemampuan berpikir ini mengharuskan untuk
membuat soal mengenai memeriksa data relevan atau tidak, memeriksa kebenaran, serta
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
138 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
menganalisis generalisasi dan analogi dari suatu permasalahan. Soal dengan indikator ini
dapat melatih siswa mengembangkan kemampuan berpikir reflektif.
Peningkatan kemampuan berpikir reflektif siswa berada pada kriteria sedang. Siswa yang
berada pada sekolah dengan peringkat tinggi memiliki peningkatan kemampuan yang lebih
besar daripada siswa dengan peringkat sekolah sedang. Begitu pula, siswa dengan peringkat
sekolah sedang juga memiliki peningkatan kemampuan yang lebih besar daripada siswa
dengan peringkat sekolah rendah. Ini menunjukkan bahwa siswa yang memiliki pemahaman
konsep yang baik memiliki kemampuan berpikir reflektif matematis yang juga baik.
Instrumen yang telah disusun dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa dengan cukup
baik.
4. Simpulan dan Saran
4.1. Simpulan
Instrumen yang dikembangkan meliputi silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP),
dan Tes. Silabus mengenai materi aturan pencacahan. RPP disusun sesuai dengan
pendekatan scientific disertai strategi what if not. Tes disusun sesuai dengan indikator
kemampuan berpikir reflektif matematis. Setelah dilakukan uji coba terbatas, diperoleh
instrumen yang valid.
4.2. Saran
Dalam menyusun instrumen berupa tes mesti memenuhi indikator yang telah ditentukan.
Soal-soal pada tes mesti dapat mengembangkan kemampuan yang diinginkan, sehingga
ketika diujicobakan tes tersebut memiliki validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan indeks
kesukaran yang baik, yaitu diantara sedang dan tinggi. Selain itu, perlu dikembangkan
instrumen berpikir reflektif untuk materi lain dan tingkat sekolah yang lain agar kemampuan
berpikir reflektif siswa dapat terus ditingkatkan.
Referensi
Garrison, D. R., Anderson, T., dan Archer, W. (2004). Critical Thinking, Cognitive
Presence, Computer Conferencing in Distance Learning. [Online]. Tersedia di:
http://communityofinquiry.com/files/CogPres_Final.pdf. Diakses 23 Maret 2015.
Herman, T. (2012). Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah untuk Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. [Online]. Tersedia di:
http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/1962101119101
1-TATANG-HERMAN/Artikel. Diakses 2 November 2014.
Kemdikbud. (2013). Pendekatan Scientific (Ilmiah) dalam Pembelajaran. Jakarta:
Pusbangprodik.
Nindiasari, H. (2011). Pengembangan Bahan Ajar dan Instrumen untuk Meningkatkan
Berpikir Reflektif Matematis Berbasis Pendekatan Metakognitif pada Siswa
Sekolah Menengah Atas (SMA). Dalam: Prosiding Seminar Nasional Matematika dan
Pendidikan Matematika UNY. Yogyakarta, UNY Press: 251-263.
Purwanto (2010). Evaluasi Hasil belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ruseffendi, E. T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Eksakta
Lainnya. Bandung: Tarsito.
Sumarmo, U. (2010). Pengembangan Berpikir dan Disposisi Krititis, Kreatif pada Peserta
Didik dalam Pembelajaran Matematika. (Makalah). Sekolah Pascasarjana, Universitas
Pendidikan Indonesia, Bandung.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 139
PEMBELAJARAN PERKALIAN PECAHAN MENGGUNAKAN
PLASTIK MIKA DI KELAS V
Helni Indrayati1, Ratu Ilma Indra Putri
2, Somakim
3
STKIP Muhammadiyah Pagaralam1,
Dosen Universitas Sriwijaya 2.
Dosen Universitas Sriwijaya3.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penggunaan plastik mika dalam membantu
siswa untuk menemukan konsep perkalian pecahan dengan menggunakan pendekatan
PMRI. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian studi desain validasi, yang terdiri
dari tiga tahap; persiapan untuk penelitian (Preparing for the Experiment) dan desain
pendahuluan (Preliminary design), fase desain percobaan (The design experiment)
desain yang terdiridari Pilot experiment dan Teaching experiment, dan analisis
retrospektif. Apa yang akan dibahas dalam makalah ini hanya bagian dari
mempersiapkan percobaan terdiri dari desain awal yang merancang Hypothetical
learning trajectory (HLT) dan Pilot experiment. Subjek dalam penelitian ini adalah
siswa kelas V SD N 55 Pagaralam sebesar 6 siswa dengan kemampuan yang berbeda,
ada dua siswa dalam kemampuan tinggi, dua siswa dalam kemampuan sedang dan dua
siswa dalam kemampuan rendah. Penelitian ini menghasilkan pembelajaran lintasan
yang mencakup serangkaian proses pembelajaran dengan menggunakan plastik mika
dalam empat kegiatan. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan video,
observasi, testertulis, dokumentasi dan catatan selama kegiatan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa peran plastik mika dengan menggunakan pendekatan PMRI
diproduksi lintasan pembelajaran yang dapat membantu siswa untuk memahami
konsep perkalian pecahan.
Kata Kunci:Pendekatan PMRI, Perkalian Pecahan, Plastik Mika
1. Pendahuluan
Perkalian pecahan adalah salah satu operasi hitung pada pecahan, untuk menyelesaikan
perkalian pecahan perlu mengingat kembali bahwa penyebut merupakan sebuah pembagian
yang memungkinkan kita menemukan bagian-bagian factor lainnya (Walle, 2010:58).
Menurut Rey (2007) menjelaskan bahwa penyelesaian hasil perkalian dari dua pecahan
tampaknya mudah untuk diajarkan dan dipelajari, karena kita hanya perlu mengalikan
pembilang dengan pembilang untuk mendapatkan hasil dari pembilang yang baru, dan
dengan menggalikan penyebut dengan penyebut untuk mendapatkan hasil penyebut yang
baru. Selanjutnya Walle (2010; 73) menjelaskan bahwa untuk menyelesaikan perkalian
pecahan dapat menggunakan rectangle multiplication. Rectangle multiplication merupakan
perkalian persegi atau persegi panjang, menunjukkan model area untuk perkalian dari dua
sembarang dua pecahan.
Konsep pecahan dianggap salah satu konsep yang sulit dijelaskan oleh guru dan sulit
dipahami oleh siswa. Konsep bilangan pecahan dan operasinya lebih sulit diajarkan kepada
siswa disbanding konsep bilangan bulat dan operasinya, atau bilangan cacah dan operasinya.
Salah satu konsep dalam pecahanya itu tentang perkalian pecahan. Mereka cenderung untuk
berpikir bahwa perkalian itu menghasilkan bilangan yang lebih besar, sedangkan dalam
perkalian pecahan dengan pecahan, hasilnya dapat berupa bilangan yang lebih besar atau
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
140 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
lebih kecil. (Khairunnisak, 2012). Sementara itu, jika siswa belajar untuk melakukan operasi
ini hanya menggunakan aturan, mereka mungkin akan mengerti sangat sedikit tentang makna
dibalik operasi hitung tersebut. Siswa mungkin tahu bagaimana untuk memperbanyak
pecahan dengan jumlah keseluruhan sebagai 2/3 x 1/2 atau 1/2 x 2/3 juga mereka memiliki
mempelajari aturan, tapi masih tidak bias menginterprestasikan ide di dunia nyata sebagai
dasar untuk memecahkan masalah (copeland, 1976). Namun, setelah mereka melupakan
aturan, siswa tidak dapat memecahkan masalah tentang perkalian pecahan dengan jumlah
keseluruhan (Kennedy, 1980).
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) (2006) dalam kurikulum KTSP pembelajaran
matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi
(contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara
bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Salah satu pendekatan
pembelajaran yang berkaitan dengan dunia nyata siswa dengan Pendekatan Pendidikan
Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
(PMRI) adalah salah satu pendekatan pembelajaran yang diterapkan di Indonesia yang juga
dikenal dengan Realistic Mathematics Education (RME) untuk diluar Indonesia. PMRI
mengacu pada konsep Freudenthal dalam Realistic Mathematics Education (RME). Dua
pandangan yang penting dari freudenthal adalah (1) mathematics must be connected to
reality; and (2) mathematics as human activity”(Zulkardi & Putri, 2010). Pertama,
matematika seharusnya dekat dengan siswadan berkaitan dengan kehidupan sehari-hari
siswa. Kedua, ditekankan bahwa matematika sebagai aktivitas manusia sehingga siswa
seharusnya diberikan kesempatan untuk melakukan aktivitas pembelajaran disetiap topik
dalam matematika ( Putri, 2011).
Putri (2011) menjelaskan bahwa PMRI adalah salah satu pendekatan pembelajaran yang
akan menggiring siswa memahami konsep matematika dengan mengkonstruksi sendiri
melalui pengetahuan sebelumnya yang berhubungan dengan kehidupan sehari-harinya,
dengan menemukan sendiri konsep tersebut, maka diharapkan belajar siswa menjadi
bermakna. Dalam menemukan konsep tersebut dapat dilaksanakan dalam suatu konteks.
Menurut Wijaya (2012:21), konteks tidak harus berupa masalah dunia nyata namun bisa
dalam bentuk permainan, penggunaan alat peraga, atau situasi lain selama hal tersebut
bermakna dan bisadibayangkan dalam pikiran siswa. Ullya, Zulkardi dan Putri (2010) Proses
pembelajaran siswa dengan menggunakan bahan ajar penjumlahan pecahan berbasis PMRI
sangat menuntun siswa untuk mengembangakan ide-ide dan menumbuhkan kreativitas siswa
dalam menyelesakan masalah, dilihat dari proses yang dilakukan oleh siswa dalam
menyelesaikan masalah. Khairunnisak, Maghfirotun, Juniati, dan Haan (2012) mendukung
siswa memperluas pemahaman mereka tentang makna perkalian pecahan dengan bilangan
bulat. Tasman, Hertog, Zulkardi, dan Hartono (2011) kemampuan siswa untuk penataan
situasi dan kemampuan siswa untuk menyatakan jumlah objek pada model persegi panjang
ke kalimat perkalian menggiring siswa kepada penjumlahan berulang dan mendorong
mereka untuk mengubahnya menjadi kalimat perkalian.
Dari uraian di atas maka, peneliti akan mendesain dan mengembangkan Local Instructional
Theory (LIT) dengan menerapkan teori Rectangle Multiplication menggunakan plastik mika
mengambil judul “Pembelajaran perkalian pecahan menggunakan plastik mika di kelas V”.
2. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian desain pembelajaran (design research) yang
merupakan suatu cara yang tepat untuk menjawab pertanyaan peneliti dan mencapai tujuan
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 141
dari penelitian. Menurut Bakker (2004), tujuan utama dari design research adalah untuk
mengembangkan teori-teori bersama-sama dengan bahan ajar. Dalam penelitian ini hanya
akan dibahas siklus satu yaitu tahap pilot eksperimen yang terdiri atas 4 aktivitas dan subjek
dalam penelitian ini adalah siswa kelas IV SD N 55 Pagaralam yang berjumlah 6 orang.
3. Hasil Dan Pembahasan
Preliminary Design
Tahap ini telah menghasilkan suatu HLT yang diujicobakan pada tahap Preliminary
Teaching Experiment (siklus 1). HLT yang didesain terdiri dari empat aktivitas yang masing-
masing aktivitas memuat jenis aktivitas, pemikiran awal, tujuan yang akan dicapai, deskripsi
aktivitas dan konjektur pemikiran siswa. Keempat aktivitas tersebut adalah a) mengamati
video pemotongan tahu; b) mengambar persegi panjang pada plastik mika untuk memahami
teori rectangle multiplication (perkalian persegi panjang); c) menggambarka perkalian
persegi panjang pada kertas untuk memahami konsep perkalian pecahan; d) Menyelesaikan
masalah soal cerita berkaitan dengan perkalian pecahan. Berikut ini disajikan aktivitas-
aktivitas HLT 1 yang diujikan pada Preliminary Teaching Experiment.
Preliminary teaching Experiment (Siklus 1)
Pada tahap ini peneliti mengujikan HLT pertama pada small group yang dilaksanakan di SD
N 55 Pagaralam, terdiri dari 6 orang siswa. Dimana enam orang siswa tersebut memiliki
kemampuan yang berbedada – beda yaitu 2 orang siswa berkemampuan tinggi, 2 orang siswa
berkemampuan sedang dan 2 orang siswa berkemampuan rendah. Peneliti berperan sebagai
guru pada siklus I. Dalam pembelajaran siswa dibagi menjadi 2 kelompok masing – masing
kelompok terdiri dari 3 orang siswa dengan kemampuan berbeda. Observasi beserta analisis
tentang segala sesuatu yang terjadi selama Preliminary teaching Experiment (Siklus 1)dibuat
dan konjektur yang ada di aktivitas pembelajaran dievaluasi berdasarkan temuan untuk
memperbaiki HLT.
Siklus 1 terdiri dari empat aktivitas yaitu adalahadalah a) mengamati video pemotongan
tahu; b) mengambar persegi panjang pada plastik mika untuk memahami teori rectangle
multiplication (perkalian persegi panjang); c) menggambarkan perkalian persegi panjang
pada kertas untuk memahami konsep perkalian pecahan; d) Menyelesaikan masalah .soal
cerita berkaitan dengan perkalian pecahan. Sebelum mengadakan peneliti mengadakan tes
awal untuk mengetahui kemampuan awal siswa tentangmateri Perkalian Pecahan, dari hasil
tes awal diperoleh data dari 3 soal yang diberikan untuk soal pertama 3 orang menjawab
benar dan tiga orang menjawab salah, soal kedua dua orang menjawab dengan benar , 4
orang menjawab salah sedangkan soal ketiga belum ada siswa yang menjawab benar tetapi
ada beberapa yang hampir benar. Selanjutnya, berikut uraian aktivitas-aktivitas selama siklus
1.
Aktifitas 1 : Mengamati Video Pemotongan Tahu
Pada aktivitas ini masing – masing kelompok diminta untuk mengamati video pemotongan
tahu telah disediakan, kemudian setelah selesai mengamati video tersebut dengan baik,
kemudian selanjutnya masing – masing kelompok diminta untuk dapat menyimpulkan hasil
darivideo yang telah mereka amati.
Aktifitas 2 : Mengambar persegi panjang pada plastik mika untuk memahami teori
rectangle multiplication (perkalian persegi panjang)
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
142 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Pada aktivitas ini masing – masing kelompok diminta untuk mengambar persegi panjang
pada 2 plastik mika yang telah disediakan, kemudian setelah selesai mengambarpersegi
panjang tersebut dengan benar sesuai dengan gambar yang diinginkan, maka selanjutnya
masing – masing kelompok diminta untuk menyelesaikan lembar aktivitas 2.
Pada soal aktivitas 2 masing – masing kelompok sudah bisa menentukan bentuk dari gambar
yang mereka susun tadi, seperti terlihat pada gambar 1 berikut ini.
Gambar. 1
Retrospective Analysis Aktifitas 2
Pada aktivitas kedua, siswa sudah bisa menyelesaikan soal – soal tersebut dengan benar,
walaupun ada beberapa soal yang perlu bimbingan guru. Dari aktivitas – aktivitas tersebut
terlihat siswa masih ada yang belum bisa menarik kesimpulannya.
Aktifitas 3 : Menggambarkan perkalian persegi panjang pada kertas untuk memahami
konsep perkalian pecahan
Pada aktivitas ini masing – masing kelompok diminta untuk membuat gambar persegi
panjang sesuai dengan soal pada lembar aktivitas 2 yang telah diberikan. Pada soal pertama,
mereka sudah bisa menentukan gambar yang akan dibuat pada kertas tersebut, seperti terlihat
pada gambar 2.
Gambar. 2
Pada soal kedua masing – masing kelompok sudah bisa menentukan gambar dan jawaban
dari soal tersebut, sepeti pada gambar 3 berikut ini.
Gambar. 3
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 143
Pada penyelesaian soal kedua, siswa juga dapat menjawab soal tersebut dengan benar.
Pada soal terakhir ada kelompok yang belum bisa menarik kesimpulan soal pada aktivitas
tersebut
Retrospective Analysis Aktifitas 3
Pada saat menyelesaikan aktivitas 3 setiap kelompok sudah bisa menyelesaikan soal tersebut
dan dapat menyimpulkan hasil dari soal yang mereka kerjakan.
Aktifitas 4 : Menyelesaikan soal cerita yang berkaitan dengan Perkalian Pecahan
Pada aktivitas ini masing – masing kelompok diberikan 2 permasalahan yang terdapat pada
aktivitas 4, setelah masing – masing kelompok diberikan lembar aktivitas kemudian masing
– masing kelompok mulai menyelesaikan permasalahan pada aktivitas tersebut.
Pada soal no 1 masing – masing kelompok sudah bisa menyelesaikan permasalahan tersebut,
tanpa menggunakan persegi panjang untuk mengambarkan soal yang mereka kerjakan
tersebut. Seperti pada gambar 4 berikut ini.
Gambar 4.
Sedangkan pada soal no 2 masing – masing kelompok sudah bisa menyelesaikan
permasalahan tersebut, dan tidak menggunakan lagi gambar persegi panjang pada saat
menjawab soal tersebut, seperti pada gambar 5 berikut ini.
Gambar 5.
Retrospective Analysis Aktifitas 4
Pada aktivitas keempat, masing – masing kelompok sudah bisa menyelesaikan permasalahan
– permasalan pada aktivitas 4. Namun ada salah satu kelompok yaitu kelompok 2 yang pada
awalnya tidak membuat kesimpulan dengan lengkap namun setelah mendapat arahan dari
guru mereka bisa menyelesaikan soal tersebut sampai kesimpulan.
4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas terlihat bahwa plastik mika dapat
membantu siswa dalam menemukan konsep perkalian pecahan, dari beberapa aktivitas yang
dilakukan siswa ada beberapa kesulitan yang dihadapi siswa. Seperti pada aktivitas 1 siswa
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
144 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
kesulitan menjelaskan video yang telah mereka perhatikan, namun setelah diarahkan mereka
bisa menjelaskan. Sedangkan pada aktivitas kedua siswa sudah bisa menyelesaikan soal
tersebut namun masih ada yang belum bisa menarik kesimpulan pada aktivitas tersebut. Pada
aktivitas ketigasiswa sudah bisa menyelesaikan soal tersebut sampai pada kesimpulan.
Terakhir diaktivitas ke 4 ada salah satu kelompok yang menyelesaikan permasalahan pada
aktivitas mereka belum lengkap dalam membuat kesimpulannya, namun setelah diarahkan
mereka bisa menyelesikannya.
Berdasarkan hasil penelitian dan pemabahasan maka dapt disimpulkan bahwa penggunaan
jigsaw puzzles berperan penting dalam menemukan konsep FPB.
Daftar Pustaka
Bakker, A. (2004). Design research in statistics education on symbolizing and
computertools. Amersfoort: Wilco Press.
Kershaw, J. (2014). CK-12 Middle School Math-Grade 6. U.S: FlexBook.
Kershaw, J. (2014). CK-12 Middle School Math-Grade 6 Concept Collection. U.S:
FlexBook.
Putri, R.I.I. (2011).Improving Mathematics Comunication Ability Of StudentsIn Grade 2
Through PMRI Approach. International Seminar and the Fourth National
Conference on Mathematics Education. Department of Mathematics Education,
Yogyakarta State University.
Putri, R.I.I (2011). Propesional Development of Mathematics Primary School Teachers in
Indonesia Using Lesson Study and Realistic Mathematics Education
Approach.Proceeding of the International Conggress for School Effectiveness and
Improvement (ICSEI), Limassol, Cyprus.
Walle, J. A. (2010). Matematika Sekolah Dasar dan Menengah Jilid 2 "Pengembangan
Pengajaran" (Vol. VI). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Wijaya, A. (2012). Pendidikan Matematika Realistik : Suatu Alternatif Pendekatan
Pembelajaran Matematika. Yogyakarta : Graha Ilmu
Zulkardi dan Putri, R.I.I. (2010). Pengembangan Blog Support untuk Membantu Siswa dan
Guru Matematika Indonesia Belajar Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
(PMRI). Jurnal Inovasi Perekayasa Pendidikan (JIPP).2(1). 1 – 24
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 145
PENGEMBANGAN SOAL OPEN-ENDED PADA POKOK
BAHASAN LUAS PERMUKAAN DAN VOLUME BALOK
Henry Kurniawan1, Ratu Ilma Indra Putri
2, Yusuf Hartono
2
1Mahasiswa Program Magister Pendidikan Matematika Universitas Sriwijaya
2Dosen Program Magister Pendidikan Matematika Universitas Sriwijaya
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian Design Research tipe Develompent Studyyang
bertujuan untuk menghasilkan soal-soal open-ended yang valid dan praktis.
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan analisis data walk through dan
analisis dokumen. Berdasarkan hasil analisis data disimpulkan bahwa penelitian ini
telah menghasilkan suatu produk soal open-ended yang valid dan praktis. Kevalidan
dilihat dari hasil penilaian validator, yaitu validator telah menyatakan bahwa konten,
konstruk, dan bahasa soal sudah baik. Selain itu kevalidan soal tergambar setelah
dilakukan analisis validasi butir soal pada siswa sebanyak 36 orang non subjek
penelitian. Praktis tergambar dari hasil uji coba small group dimana sebagian besar
siswa dapat menyelesaikan soal open-ended yang diberikan.
Kata Kunci: Design Research, Develompent Study, SoalOpen-Ended, Balok
I. Pendahuluan
I.1 Latar Belakang
Salah satu materi dalam pelajaran matematika yang berperan penting dalam kehidupan
sehari-hari adalah luas permukaan dan volume balok. Oleh karena itu, siswa perlumemahami
konsep luas permukaan dan volume balok(Purwatiningsi, 2013). Namun dalam
kenyataannya, siswa tidak dapat memahami keterkaitan antar konsep volume dan luas
permukaan yang merupakan bekal dalam memecahkan permasalahan sehari-hari(Nurlatifah,
2013).
Kesulitan siswa dalam proses belajar diperkirakan berkaitan dengan cara guru mengajukan
pertanyaan atau memberikan latihan soal di kelas yang kurang bervariasi, sebagian besar
guru matematika jarang memberikan soal-soal matematika kepada siswanya dalam bentuk
non-rutin. Dengan demikian, perlu adanya standar soal-soal yang dapat melatih pemahaman
tingkat tinggi sehingga siswa dapat berpikir kritis dan kreatif (Tandilling, 2012). Sementara
itu, menurut Emilya (2010) masalah-masalah matematikaterbuka (open problems) sendiri
jarang disentuhpada saat penyajian soal-soal dalam prosespembelajaran matematika di
sekolah. Akibatnyabila ada soal atau permasalahan itu dianggap “salah soal” atau soal yang
tidak lengkap.
Di dalam KTSP disebutkan bahwa fokus dalam pembelajaran matematika hendaknya
menggunakan pendekatan pemecahan masalah yang mencakup masalah tertutup solusi
tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak tunggal dan masalah dengan berbagai macam
penyelesaian (permendiknas, 2006). Ada 5 Standar Proses didalam KTSP yaitu pemecahan
masalah, penalaran dan pembuktian, komunikasi, koneksi, dan representasi. Hal tersebut
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
146 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
sesuai dengan Permendiknas no. 14 tahun 2007 (BNSP, 2007) tentang tujuan mata pelajaran
matematika yaitu memahami konsep matematika, menggunakan penalaran matematika,
memecahkan masalah matematika, mengkomunikasikan gagasan, memiliki sikap
menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu,
perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dan
pemecahan masalah. Namun pada kenyataannya tidak sejalan dengan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP). Hal tersebut dapat dilihat dari hasil studi TIMMS dan PISA
yang menunjukkan bahwa kemampuan siswa SMP khususnya dalam bidang matematika
masih dibawah standar internasional. Hasil terbaru TIMSS 2011 menempatkan Indonesia di
peringkat ke-38 dari 42 negara (HSRC & IEA, 2012) dan yang lebih memprihatinkan lagi
hasil terbaru PISA 2012 yang menempatkan Indonesia pada peringkat ke-64 dari 65 negara
(OECD, 2013).
Maka dari itu untuk memaksimalkan pembelajaran matematika, penggunaan soal terbuka
perlu dibudayakan dalam pembelajaran karena soal terbuka mempunyai potensi yang kaya
untuk meningkatkan kualitas pembelajaran (Mahmudi, 2008). Shimada (1997) mengatakan
dengan memberikan permasalahan terbuka (open-ended problems) diharapkan pula dapat
membawa siswa untuk menjawab permasalahan dengan banyak cara, sehingga mengundang
potensi intelektual dan pengalaman siswa dalam proses menemukan sesuatu yang baru. Dan
supaya matematika dapat disenangi dan dipelajari oleh semua siswa, maka permasalahan
tertutup (closed problem) yang menuntut satu jawaban yang benar hendaknya diganti dengan
permasalahan terbuka (open-ended problems). Dengan demikian pembelajaran akan
mengembangkan kemampuan memecahkan masalah matematika.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
“Pengembangan Soal Open-Ended Pada Pokok Bahasan Luas Permukaan Dan Volume
Balok”.
I.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana karakteristik soal open-ended
pada pokok bahasan luas permukaan dan volume balok yang valid dan praktis?”
I.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan soal open-ended pada pokok bahasan
luas permukaan dan volume balok yang valid dan praktis.
I.4 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :
1. Siswa, memberikan pengalaman pada siswa dalam mengerjakan soal open-ended, dan
dapat membantu siswa untuk meningkatkan kemampuan matematikanya.
2. Guru, menambah pengetahuan tentang pengembangan soal, khususnya soal open-ended
dan mampu menerapkannya di kelas.
II. Metode Penelitan
Penelitian ini adalah development research(pengembangan) yang bertujuan untuk
menghasilkan soal open-ended pada pokok bahasan luas permukaan dan volume balok yang
valid dan praktis. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 147
Metode dalam penelitian ini menggunakan metode pengembangan atau development
research tipe formative research (Tessmer, 1993). Pengembangan ini dilakukan dalam dua
tahapan utama yaitu preliminary study dan formative evaluation. Tahap preliminary study
meliputi analisis (analisis siswa, analisis kurikulum, dan analisis materi) dan pendesaian
(prototyping). Sedangkan tahap formative evaluation meliputi tahap seperti gambar berikut:
Gambar 1. Alur desain formative evauation (Tessmer, 1993)
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu pengumpulan data Walk through dan
pengumpulan data melalui dokumen. Walkthroughmerupakan validasi data yang melibatkan
seorang ahli atau lebih untuk keperluan pengecekan atau pembanding sebagai dasar untuk
merevisi prototipe.Dokumen adalah data yang mendukung dalam penelitian yang dapat
berupa instrumen, komentar/saran dalam validasi dengan pakar ataupun pada saat one-to-one
dan small group, dan juga foto dan video dalam penelitian tersebut. Dokumen digunakan
untuk memperoleh data keefektifan yaitu dengan menganalisis hasil soal-soal yang diberikan
kepada siswa. Analisis dokumen ini digunakan untuk mengetahui kemampuan matematika
siswa pada materi luas permukaan dan volume balok, yang dalam hal ini menggunakan soal-
soal open-ended.
III Hasil dan Pembahasan
Tahappreliminary dibagi menjadi 2 bagian, yaitu tahap analisis dan desain. Pada tahap
analisis, siswa yang menjadi subjek penelitian yaitu siswa kelas VIII.2 sebanyak 35 anak.
Dari hasil wawancara dengan guru bidang studi matematika di kelas menyatakan bahwa
terdapat kurang lebih 40% siswa berkemampuan tinggi, 30% sedang, dan 30%
rendah.Selanjutnya pada tahappendesainan, peneliti merancang soal-soal open-ended
sebanyak 10 butir soal esai materi luas permukaan dan volume balok dengan satu tipe soal
yaitu satu cara banyak jawaban. Peneliti juga membuatkisi-kisi, kartu soal,dan rubrik
penskoran dari soal-soalopen-endedyang telah dibuat.Pada tahap preliminary ini diperoleh
prototype awal berupa soal-soal open ended sebanyak 10 soal.
Selanjutnya adalah tahap formative evaluation yang terdiri dari 2 tahapan yaitu self
evaluation dan prototyping.Pada tahap self evaluation, peneliti menelaah kembali soal dan
instrumen yang telah dibuat.Pada tahapan ini tidak terdapat perubahan pada soal open ended
yang dibuat. Hasil dari self evaluation ini merupakan soal-soal open endedprototype awal.
Kemudian peneliti memasuki tahap berikutnya yaitu tahap prototyping(expert review, one-
to-onedan small group).
Tahap expert review dan one to one dilakukan secara bersamaan. Pada tahap expert review,
prototype awal divalidasikan kepada seorang pakar yaitu Dr. Rahmah Johar, M.Pd. dari
Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Berdasarkan komentar pakar, secara konten soal open
Small Group
Revise Field Test
Revise Self
Evaluation
Expert
Review
Revise
One to one
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
148 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
ended ini telah sesuai dengan standar kompetensi (SK), Kompetensi Dasar (KD), pencapaian
kompetensi pada KTSP dan telah sesuai dengan level kompetensi siswa siswa kelas VIII.
Secara konstruk, ada perbaikan yang harus dilakukan pada soal-soal open ended diantaranya
beberapa rumusan kalimat pada soal perlu disesuaikan dengan karakteristik soal open ended
dan dituntut untuk lebih banyak penyelesaiannya. Saran tersebut sesuai dengan Shimada
(1997) yang menyatakan bahwa dengan memberikan permasalahan terbuka (open-ended
problems) diharapkan pula dapat membawa siswa untuk menjawab permasalahan dengan
banyak cara, sehingga mengundang potensi intelektual dan pengalaman siswa dalam proses
menemukan sesuatu yang baru. Secara bahasa, ada beberapa perbaikan yang harus dilakukan
pada soal-soal open ended diantaranya penghilangan kata yang kurang sesuai, susunan
kalimat diperbaiki, penggunaan tanda baca yang benar. Dan pada tahap one to one, peneliti
memberikan soal dari prototype awal kepada 3 orang siswa dengan kemampuan tinggi,
sedang, dan rendah. Berdasarkan tahapan ini, semua siswa tidak mengalami kesulitan untuk
memahami maksud soal. Permasalahan mereka terdapat pada kemampuan masing-masing
siswa untuk mengerjakan soal tersebut. Menurut ketiga siswa tersebut, soal-soal open ended
ini menarik dan merupakan hal baru bagi mereka.
Kemudian peneliti melakukan analisis butir pada Prototype awal iniuntuk menguji validitas
soal dan reliabilitas soal secara kuantitatif. Sebagai subjek penelitian adalah siswa kelas
VIII.4 SMP Negeri 55 Palembang sebanyak 36 siswa (r tabel = 0,329). Uji Validitas
menggunakan rumus korelasi Product Moment Pearson dan reliabilitas menggunakan rumus
Cronbach Alpha. Perhitungan validitas butir soal dan reliabilitas soal dilakukan dengan
menggunakan bantuan soft ware microsoft excel. Data dan hasil perhitungan validitas butir
soal dan reliabilitas ditunjukkan tabel berikut.
Tabel 1. Data hasil perhitungan validitas butir soal
Butir
Soal rhitung
Keterangan
(valid jika rhitung>rtabel)
1 0,781 Valid
2 0,053 Tidak Valid
3 0,657 Valid
4 0,497 Valid
5 0,308 Tidak Valid
6 0,438 Valid
7 0,596 Valid
8 0,436 Valid
9 0,445 Valid
10 0,590 Valid
Berdasarkan uji reliabilitas didapatkan r11 sebesar 1,104574. Menurut sudjiono (2011), soal
memiliki reliabelitas tinggi jika r11 sama dengan atau lebih besar daripada 0,70. Jadi dapat
disimpulkan bahwa soal ini memiliki reliabilitas yang tinggi karena 1,104574> 0,70.
Setelah ituprototype awal ini direvisi berdasarkan saran dan komentar pada tahap expert
review, one to one, dan pertimbangan dari hasil perhitungan validitas butir soal. Pada
tahapan ini, peneliti menghapus 2 buah soal yaitu soal nomor 2 dan 10, dan memasukkan
sebuah soal baru yang diambil dari saran pakar. Soal nomor dua dihapus karena soal tersebut
hampir sama dengan soal nomor 4. Sedangkan soal nomor 10 dianggap kurang menantang
bagi siswa SMP. Gambar 2 berikut merupakan soal yang diganti.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 149
sebelum revisi
setelah revisi
Gambar 2. Soal yang diganti
Soal open ended yang telah direvisi berdasarkan saran dan komentar yang diperoleh pada
tahap expert review dan one to one evaluation selanjutnya disebut dengan prototype 1.
Pada tahap small group, peneliti memberikan prototype 1soal-soal open-ended yang terdiri
dari 9 soal kepada enam orang siswa SMP Negeri 1 Belitang III dengan 2 orang siswa
kemampuan tinggi, 2 orang siswa kemampuan sedang, dan 2 orang siswa kemampuan
rendah.Dalam hal ini, keenam siswa tersebut diminta untuk menjawab soal-soal tersebut
secara bersama-sama dan berdiskusi. Siswa yang berkemampuan tinggi menjelaskan kepada
siswa yang belum mengerti maksud dari soal yang diberikan.
Setelah mereka selesai menjawab soal, peneliti meminta keenam siswa tersebut untuk
memberikan komentar terhadap soal-soal yang telah mereka kerjakan tersebut. Berikut
beberapa komentar siswa.
Gambar 3. komentar siswa small group
Setelah siswa menjawab soal dan memberikan komentarnya, kemudian peneliti menganalisis
dan merevisi soal yang dianggap bermasalah.
Berdasarkan komentar siswa pada saat mengerjakan soal open ended yang diberikan,
beberapa siswa mengeluhkan mengenai maksud dari soal. Salahs atu soal yang kurang bisa
dipahami siswa adalah soal nomor 9. Soal nomor 9 merupakan soal yang beorientasi pada
kemampuan siswa dalam merancang sesutau. Dalam hal ini siswa diminta untuk merancang
sebuah akuarium dengan ukuran tertentu. Berikut ini soal yang megalami revisi pada
susunan kalimatnya agar lebih udah dipahami siswa.
Sebelum revisi
Setelah revisi
Gambar 4. Sebelum dan setelah revisi soal 9
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
150 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Dapat dilihat pada Gambar 4 diatas, perubahan pada soal nomor 9 yaitu peneliti memperjelas
arah soal yang bertujuan agar siswa menjawabnya dengan satu cara saja.
IV Kesimpulan dan Saran
Penelitian ini mengembangkan soal-soal open ended menggunakan alur formative evaluation
dengan tahapan preliminary dan prototyping yang menghasilkan soal-soal open ended yang
valid dan praktis. Berdasarkan hasil dari tahapan self evaluation, expert review, one to one
evaluation dan uji reliabilitas, diperoleh bahwa soal open ended ini telah valid secara konten,
konstruk dan bahasa. Secara konten soal open ende telah sesuai dengan standar kompetensi
(SK), Kompetensi Dasar (KD), pencapaian kompetensi pada KTSP dan telah sesuai dengan
level kompetensi siswa siswa kelas VIII. Secara konstruk, rumusan kalimat telah disesuaikan
dengan karakteristik soal open ended, menuntut banyak penyelesaian dan memiliki arahan
yang jelas dalam pengerjaan soalnya. Sedangkan secara bahasa, soal open ended telah
menggunakan bahasa yang sesuai dengan EYD, kalimatnya mudah dimengerti dan tidak
ambigu. Sedangkan berdasarkan hasil tahapan small group, diperoleh karakteristik
kepraktisan soal-soal open ended yang menarik bagi siswa dan mudah digunakan untuk
mengetahui kemampuan siswa dalam mengerjakan soal.
Adapun beberapa saran dari peneliti antara lain: 1) untuk guru, disarankan untuk
menggunakan soal-soal open ended sebagai bahan pengayaan bagi siswa. 2) untuk peneliti
lain, jika ingin mengembangkan soal sebaiknya menyesuaikan jumlah soal dengan waktu
yang tersedia untuk siswa dalam mengerjakan soal tersebut.
Daftar Pustaka
BNSP. (2007). Permendiknas No. 14 Tahun 2007. Dipetik 10 15, 2014, dari BNSP
Indonesia: http://bsnp-indonesia.org/id/
Depdiknas. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Direktorat
Jendral Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
Emilya, D. (2010). Pengembangan Soal-Soal Open Ended Materi lingkaran untuk
Meningkatkan Penalaran Matematika Siswa Kelas VIII Sekoolah Menengah Pertama
Negeri 10 Palembang. Palembang: Program Studi Pendidikan Matematika PPs Unsri.
Mahmudi, A. (2008). Mengembangkan Soal Terbuka (Open-Ended Problem) dalam
Pembelajaran Matematika. Seminar Nasional Matematika. Yogyakarta: UNY.
OECD. (2013). Indonesia Students Performance (PISA 2012). Dipetik 5 11, 2015, dari
gpseducation: http://gpseducation.oecd.org
Purwatiningsi, S. (2013). Penerapan Metode Penemuan Terbimbing Untuk Meningkatkan
Hasil Belajar Siswa Pada Materi Luas Permukaan Dan Volume Balok. Jurnal
Elektronik Pendidikan Matematika Tadulako .
Shimada, S., & Becker, J. (1997). The open-ended approach : A new Proposal for Teaching
Mathematics. Virginia: National Caucil of Teachers of Mathematics.
Sudjiono, A. (2011). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 151
Tandilling, E. (2012). Pengembangan Instrumen Untuk Mengukur Kemampuan Matematik,
Pemahaman Matematik, Dan Self-Regulated Learning Siswa Dalam Pembelajaran
Matematika Di Sekolah Menengah Atas. Jurnal Penelitian Pendidikan Universitas
Tanjungpura .
Tessmer, M. (1993). Planning and Conducting Formative Evaluation. London: Kogan Page
Limited.
TIMSS, H. &. (2012). Highlight from TIMMS 2011, The South African Perspective. Dipetik
5 12, 2015, dari hsrc: http://www.hsrc.ac.za/
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
152 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
PENGGUNAAN LENGHT MODELSDAN METODE BALANCING
PADA PEMBELAJARAN PERSAMAAN LINEAR SATU
VARIABEL
Hermaini1
Mahasiswa Magister Pendidikan Matematika
PPS Universitas Sriwijaya
Ratu Ilma 2, Darmawijoyo
3
Dosen Universitas Sriwijaya 2,3
[email protected] , [email protected]
3
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana lenght models yang
dikombinasikan dengan metode balancing dapat mendukung pemahaman siswa
tentangPersamaan Linear Satu Variabel (PLSV). Metode yang digunakan adalah
design research yang melaui tiga tahap, preparing for the experiment, design
experiment, dan retrospective analysis. Penelitian ini dilaksanakan dilaksanakan
dikelas VII 5 SMP Negeri 22 Palembang yang terdiri atas 6 siswa pada tahap pilot.
PMRI mendasari desain konteks dan aktivitas pada penelitian ini. Pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara, rekaman video, mengumpulkan hasil kerja siswa, pre-
test dan post-test. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh lintasan belajar (HLT)yang
dapat mendukung konsep persamaan linear satu variabel yaitu makna “sama dengan”
dan variabel pada persamaan, menggunakan metode balancing untuk menentukan
bentuk setara serta penggunaan lenght models yang merupakan alat representasi yang
mendukung models of ke model forpada pendekatan PMRI. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa melalui serangkaian aktivitas yang telah dilakukan dapat
mendukung pemahaman siswa untuk menemukan solusi formaldaripersamaan linear
satu variabel
Kata kunci:PLSV,lenght models, metode balancing, desain research, PMRI, HLT
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Persamaan linier satu variabel dapat digunakan untuk memahami pembelajaran dan
pemikiran siswa sebagai transisi dari aritmatika ke dalam bentuk aljabar (Jupri, Drijevers &
Heuvel Panhuizen, 2014). Namun Proses transisi inilah yang dapat menimbulkan banyak
masalah, dikarenakan isi dari aljabar yang berbeda dengan aritmatika yang sering ditemukan
oleh siswa, seperti yang dijelaskan oleh Tall, D (1992) bahwa“Approaching algebra as
generalised arithmetic through patterns has a number of difficulties”. Siswa biasanya
mengabungkan konstanta dan variabel (Huntley, M., Marcus, R., Kahan, J., & Miller, J. L,
2007).
Selanjutnya menurut Jupri, Drijevers & Heuvel Panhuizen (2014) bahwa siswa kesulitan
memahami arti yang berbeda dari tanda sama (=), pada aritmatika, simbol sama dengan (=)
sering ditemukan sebagai hasil dari perhitungan atau jawaban, sedangkan dalam aljabar,
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 153
simbol sama dengan (=) mengarah pada bentuk setara (equivalen), misalnya 2 + 3 = 5
sebagai penjumlahan 2 dan 3 untuk mendapatkan jawaban 5, sedangkan dalam aljabar,
simbol sama dengan (=) mengarah pada bentuk setara, misalnya x + 2 = 3x + 4 setara
dengan x = 3x + 2, 5) siswa kesulitan membuat model matematika untuk menyelesaikan
masalah persamaan linier satu variabel karena siswa di Indonesia kurang terlatih dalam
menyelesaikan soal-soal kontekstual, yang menuntut penalaran, argumentasi dan kreativitas
dalam menyelesaikannya.
Pembelajaran yang sesuai untuk membantu siswa memahami soal-soal kontekstual tersebut
adalah PMRI. Pernyataan tersebut didukung oleh Putri (2011), bahwa PMRI merupakan
pendekatan pembelajaran yang akan menggiring siswa memahami konsep matematika
dengan mengkonstruksi pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.
Selain tahapan situasi yang “real”. PMRI juga memiliki beberapa tahapan yaitu model of dan
model for, pada tahapan ini dibutuhkan alat representasi yang baik yang dapat mendukung
pergeseran menuju tahap formal (Gravemeijer, 1994). Alat representasi yang dipilih oleh
peneliti adalah lenght models.
Lenght models adalah salah satu alat manipulative yang dapat digunakan untuk mendukung
pembelajaran aljabar berupa garis batang dan garis bilangan (McClung, 1998). Menurut
Dickinson & Eade (2004) bahwa garis bilangan tidak hanya memungkinkan siswa untuk
mengekspresikan solusi matematika mereka tetapi juga memfasilitasi solusi mereka, dengan
prosedur seperti menandai langkah-langkah pada garis bilangan, ini menunjukkan operasi
penyelesaian yang akan dilakukan, garis bilangan juga dapat mendukung pergeseran
bertahap dari model of ke model for dan garis bilangan mendukung makna “sama dengan
(=)” yang memenuhi sifat kesetaraan pada persamaan linear satu variabel.
Selain itu peneliti juga menggunakan metode balancing. Menurut Merzbach & Boyer (2011)
bahwa metode balancingdigunakan untuk menghilangkan suku-suku pada sisi-sisi yang
berlawanan pada persamaan. Sehingga diharapkan dengan menggunakan metode tersebut,
siswa dapat mengetahui nilai yang tidak diketahui (variabel) pada persamaan linear satu
variabel. Sehingga berdasarkan deskripsi diatas maka peneliti tertarik untuk merancang
desain pembelajaran persamaan linier satu variabel dengan pendekatan PMRI yang
dikolaborasikan menggunakan lenght models dan metode balancing sehingga diharapkan
menjadi pembelajaran matematika yang bermakna serta dapat digunakan untuk mengetahui
perkembangan pemahaman siswa terhadap materi tersebut mulai aktivitas informal menuju
aktivitas formal.
Ada banyak metode pembelajaran aljabar yang telah dikembangkan, diantaranya adalah
Saraswati, S., Putri, R.I.I & Somakim (2016) menggunakan pendekatan PMRI yang
didukung dengan alat manipulative berupa algebra tiles untuk membantu siswa memahami
dan menyelesaikan persamaan linear satu variabel dinilai cukup berhasil. Selanjutnya
Khuluq, M.H., Zulkardi &Darmawijoyo (2015)juga meneliti tentang persamaan linear satu
variabel dengan kegiatan menyeimbangkan, kegiatan ini berhasil membantu siswa untuk
lebih luwes dalam menerapkan strategi pemecahan masalah aljabar.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki bagaimana lenght models dan metode
balancing dapat mendukung pemahaman siswa dalam memecahkan persamaan linear satu
variabel. Oleh karena itu peneliti merumuskan masalah penelitian yaitu bagaimana lenght
models dan metode balancing dapat mendukung pemahaman siswa dalam memecahkan
persamaan linear satu variabel di kelas VII SMP?
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
154 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan banyak manfaat diantaranya guru dapat
menerapkan desain pembelajaran dengan pendekatan PMRI sebagai strating point dalam
pembelajaran matematika di kelas VII SMP serta siswa dapat meningkatkan kemampuan
penalaran, mengembangkan strategi penyelesaian dan mengemukkan ide melalui
penggunaan lenght models yang difokuskan pada garis bilangan dan metode balancing.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 22 Palembang dikelas VII. Metode penelitian yang
digunakan adalah Design Research (Penelitian Desain), yaitu mendesain pembelajaran
persamaan linier satu variabel dengan pendekatan PMRI menggunakan garis bilangan.
Menurut Akker, Gravemeijer, McKenney, Nieveen (2006) desain riset bertujuan untuk
mengembangkan lintasan pembelajaran atau HLT.Bakker (2004), Gravemeijer & Cobb
(2006), Gravemeijer & Eerde, (2009) menyatakan bahwadesign researchdapat terdiri dari
beberapa tahap yaitu preparing for the experiment, (2) teaching experiment in the classroom,
dan (3) conducting retrospective analysis.
Tahap pertama yaitu Preparing for the experiment. Peneliti membuat kajian literatur dengan
melakukan diskusi dengan guru kelas mengenai kondisi kelas, keperluan penelitian, memilih
observer, menyesuaikan jadwal dan cara pelaksanaan penelitian dengan guru yang
bersangkutan. Selanjutnya meneliti kemampuan awal siswa dengan melakukan wawancara
dengan beberapa siswa untuk dijadikan informasi mengenai sejauh mana pemahaman siswa
yang berkaitan dengan materi prasyarat pembelajaran. Hasil tersebut akan digunakan peneliti
sebagai bahan dalam mendesain aktivitas untuk siswa dan mendesain HLT.
Tahap kedua yaitu Teaching experiment in the classroom. Peneliti mengimplementasikan
desain pembelajaran yang telah didesain pada tahap pertama dengan tujuan untuk
mengeksplorasi, mengetahui strategi dan pemikiran siswa dalam mempelajari konsep-konsep
persamaan linear satu variabel. Ada 2 siklus pada tahap ini yaitu pilot experiment (siklus 1)
dan teaching experiment (siklus 2) dengan masing-masing siklus terdiri dari 4 aktivitas yang
dilakukan.
Tahap ketiga, Retrospective Analysis. Data yang telah diperoleh pada tahap kedua dianalisis
dan hasil analisis ini digunakan untuk merencanakan kegiatan dan mengembangkan
rancangan kegiatan pada pembelajaran berikutnya. Tujuan dari retrosprective analysis secara
umum adalah untuk mengembangkan local instructional theory. Pengumpulan data
dilakukan melalui rekaman video, lembar aktivitas siswa dan wawancara kemudian
dianalisis untuk memperbaiki HLT yang telah didesain. Data dianalisis secara retrospektif
dengan HLT sebagai acuan. Untuk analisis data, peneliti melakukan diskusi dengan
pembimbing dan guru model untuk meningkatkan reliabilitas dan validitas pada penelitian
ini.
Selama melakukan penelitian, beberapa teknik pengumpulan data seperti pre-test dan post-
test, observasi, wawancara, dokumentasi dan catatan lapangan dikumpulkan dan dianalisis
untuk memperbaiki dan merevisi HLT yang telah didesain. Design research merupakan
penelitian kualitatif sehingga analisis data dilakukan secara kualitatif. Analisis data
dilakukan oleh peneliti dan bekerjasama dengan pembimbing untuk meningkatkan kalibrasi
penelitian ini mulai tahap preliminary design, pilot experiment(siklus 1), dan teaching
experiment(siklus 2).
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 155
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
PembelajaraninimenghasilkanlintasanbelajarpadaPembelajaranPersamaan Linear Satu
Variabel(PLSV) di kelas VII.PembelajaranPLSV menggunakanlenght models dan metode
balancing dengan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)
dapatmembantusiswamemahamimateriPLSV. Terdapat4aktivitasyaitu aktivitas pertama
siswa menggunakan karton warna pink, biru, dan kuning untuk mengukur karton putih yang
bertujuan untuk memahami makna variabel dan tanda “sama dengan (=)” pada persamaan.
Aktivitas kedua siswa diminta menyelesaikan soal kontekstual menggunakan metode
balancing untuk menemukan bentuk seimbang dari kedua sisi persamaan. Aktivitas ketiga
siswa mengkalaborasikan metode balancing dengan lenght models dan aktivitas keempat
siswa memodelkan dan menyelesaikan beberapa soal yang berkaitan dengan PLSV. Semua
aktivitas dilakukan secara berkelompok dengan setiap kelompok terdiridari 3 siswa. Setiap
kelompok memiliki kemampuan akademik yang heterogen.
Aktivitas pertama, pembelajarandimulaidenganmemberikanapersepsimengenaikalimat
terbuka yang merupakan materi prasyarat sebelum memahami PLSV karena persamaan
merupakan kalimat terbuka yang memuat variabel dan tanda “sama dengan (=)”. Siswa
diminta untuk berdiskusi dengan masing-masing kelompok untuk menyelesaikan dan
melakukan aktivita ssesuai Lembar Aktivitas Siswa (LAS) yang telah dibagikan. Siswa
melakukan kegiatan mengukur panjang karton putih sesuai dengan perintah pada LAS 1,
siswa menempelkan beberapa karton biru, pink dan kuning untuk menutupi karton putih
seperti pada gambar berikut ini:
Gambar 1. Kelompok 1dan kelompok 2 melakukan kegiatan pada LAS 1
Pada saat siswa melakukan kegiatan pengukuran, guru menjelaskan bahwa siswa boleh
menggunakan berbagai karton warna sesuai dengan strategi masing-masing kelompok.
Kemudiansiswa menganalisis hasil pengukuran tersebut dan menjawab beberapa soal pada
LAS 1. Guru membantu siswa memahami soal-soal yang diberikan. Guru mengamati dan
memberikan arahan kepada siswa yang mengalami kesulitan. Selanjutnya siswa diarahkan
untuk menyimpulkan kegiatan yang dilakukan pada LAS 1, yaitu memahami penggunaan
variabel, dan makna “sama dengan (=)”. Berikut dialog percakapan guru dengan siswa dalam
melakukan aktivitas.
Dialog memahami penggunaan variabel sebagai berikut:
1. Guru : Sekarang coba, tau ngak panjangnya karton ini (sambil
menunjukan satu karton warna pink)
2. Bela, Agung: Tidak tau & Nathasa
3. Guru : Nah, makanya tadikalau tidak tau, diapakan?
4. Nathasa : Disimbolkan dengan variabel
5. Guru : Iya disimbolkan
6. Bela : Jadi variabel adalah ukuran yang tidak diketahui
Dialog memahami makna “sama dengan (=)” sebagai berikut :
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
156 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
7. Guru : Dari kegiatan kalian tadi apa? Artinya “sama dengan”.
8. Agung : “Sama dengan” adalah
9. Bela : O.. sama dengan adalah bahwa kedua karton memiliki panjang
yang sama
10. Guru : Cubo maksudnya cagmano?
11. Bela : Nah.. cak keduo karton ini kan panjangnya samowalaupun
menggunakan kombinasi warna yang berbeda(sambil
menunjukkan 2 karton putih yang telah ditempel dengan beberapa
karton warna)
Pada pertemuan kedua guru memberikan apersepsi dengan mengulangi makna “sama dengan
(=)‟ pada persamaan. Menjelaskan tujuan pembelajaran yaitu untuk menyelesaikan PLSV
dapat digunakan menggunakan metode balancing. Pada awalnya siswa kebingungan karena
kata balancing merupakan hal baru bagi mereka, selanjutnya guru menjelaskan bahwa
metode balancing adalah metode menyeimbangkan atau menyetarakan kedua sisi yang
berbeda, seperti pada timbangan. Pertemuan kedua ini konteks yang digunakan adalah
menyetarakan kedua susunan tripleks untuk menyesuaikan ukuran panjang teras rumah.
Selanjutnya siswa dibagi menjadi 2 kelompok seperti pada pertemuan sebelumnya. Guru
membagikan LAS 2. Siswa bekerja secara berkelompok dan berdiskusi untuk menyelesaikan
permasalahan pada LAS 2.
Gambar 2. Siswa berdiskusi untuk menyelesaikan permasalahan pada LAS 2
Selama kegiatan berlangsung,guru mengamati, memberi arahan dan membantu siswa jika
mengalami kesulitan. Kegiatan balancing ini digunakan sebagai pengetahuan dasar bagi
siswa untuk menentukan bentuk seimbang atau setara pada persamaan dan menjadi langkah
awal untuk menyelesaikan persamaan linear satu variabel. Pada kegiatan ini terlihat siswa
memahami makna seimbang bahwa kedua ruas (dalam konteks susunan tripleks) harus sama-
sama dikurangi dengan jumlah tripleks yang sama banyak agar tetap memiliki susunan
tripleks yang sama panjang.
Berikut dialog percakapan siswa yang berdiskusi dalam melakukan aktivitas LAS 2
12. Bela : Ya sama, kan samo-samo dipotong cak tadi
13. Nathasa : Hmmm...(sambil berfikir)
14. Bela : Nah.. inikan dikurang 1 (menunjukkan susunan 1 dan susunan 2
tripleks pada soal). Samo-samo dikurang 1.
15. Nathasa : Kalau misalnya?
16. Agung : Kalau misalnya ini dikurang 1 (menunjuk soal)
17. Bela&Agung : Iyo tetap samo
18. Nathasa : iya (mengangguk)
Selain strategi mengurangi siswa menemukan strategi menyeimbangkan (balancing) pada
kedua susunan tripleksyang lain seperti dialog dibawah ini:
19. Guru : Ada lagi ngak?
20. Bela : Dikurang juga bisa (mengulangi strategi yang sudah ada)
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 157
21. Agung : Dibagi..
22. Guru : Dibagi dengan apa misalnya?
23. Nathasa : Dibagi 2..hehhe..
24. Guru : Dibagi 2 (meyakinkan siswa), nah cubo kalau dibagi 2?
25. Bela : Kalau dibagi 2, batas sini (menunjuk batasan yang akan dibagi
menggunakan jari pada kedua susunan tripleks), samo-
samo dibagi 2.
26. Guru : Selain dibagi, diapain lagi
27. Nathasa : Dikali misalnya
28. Guru : Misalnya susunan 1 dikaliin?
29. Bela : Dikali 2, bearti ditambah sepanjang ini (menunjukkan susunan
tripleks)
30. Guru : iya..sipp
Setelah memahami strategi yang dapat digunakan untuk menyetarakan kedua susunan
tripleks tersebut, maka pertemuan ketiga siswa diperkenalkan dengan lenght models yaitu
alat representasi yang menggunaka garis batang dan garis bilangan. Penggunaan lenght
models ini diharapkan dapat membantu siswa untuk menyelesaikan soal-soal yang berkaitan
dengan PLSV. Pada LAS 3, siswa diberikan masalah kontekstual. Masalah 1 yaitu mengenai
panjang jembatan gantung yang rusak dengan cara melihat 2 kemungkinan susunan yang
ada. Langkah pertama siswa mengelompokkan susunan kayu yang memiliki permukaan
berbentuk persegi dan persegi panjang, selanjutnya siswa diminta menghitung panjang kayu
persegi panjang jika panjang kayu persegi adalah 1 meter. Pada gambar berikut ini siswa
menunjukkan bahwa panjang kayu persegi panjang adalah 3 meter, karena 1 kayu persegi
panjang mewakili 3 kayu persegi. Jawaban tersebut didapat siswa dengan cara metode
balancingpada pertemuan sebelumnya yaitu kedua susunan sama-sama dikurang 3 kayu
persegi dan 1 kayu persegi panjang. Sehingga didapatlah panjang jembatan gantung tersebut
adalah 15 meter. Secara keseluruhan siswa tidak mengalami kesulitan untuk memahami
masalah 1.
Gambar 3. Jawaban siswa pada LAS 3
Selanjutnya siswa diberikan masalah 2 dengan menggunakan konteks lompatan kelinci
(penggunaan garis bilangan). Namun ketika siswa menyelesaikan masalah 2, siswa
kelompok 2 mengalami kesulitan, karena kesalahan memahami soal. Pada soal diberikan
informasi bahwa dua kelinci (Lala dan Pow) akan disergap oleh seekor ular, sehingga kedua
kelinci harus menghindar. Pada lompatan pertama Lala melompat sejauh 90 cm selanjutnya
melompat 6 kali sedangkan Pow pada lompatan pertama melompat sejauh 60 cm dan
kemudian melompat tujuh kali, pertanyaannya berapakah jarak 1 lompatan. Permasalahan
tersebut menjadi pemahaman yang ganda bagi siswa. Siswa menggangap bahwa untuk
lompatan kedua dan lompatan selanjutnya, siswa menambahkan 6 cm setelah lompatan
pertama Lala, sehingga lompatan keduanya menjadi 101 cm dan lompatan kedua pada Pow
menjadi 67 cm.
Berikut dialog percakapan siswa yang mengalami kesulitan memahami soal pada LAS 3:
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
158 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
31. Guru : Nah ini (menunjuk hasil jawaban siswa) kenapa 101 nak?
32. Oksi : 95 ditambah 6. 6 kali lompatan Lala tadi.
Sehingga untuk tahapan selanjutnya peneliti menganti soal dengan menambahkan kata
“sebanyak 6 lompatan” dan “sebanyak 7 lompatan”
Gambar 4. Lembar jawaban siswa pada LAS 3
Guru memberikan arahan kepada siswa untuk memahami selanjutnya siswa dapat
menyelesaikan LAS 3 dengan menjawab bahwa setiap lompatan memiliki jarak 35 cm.
Jawaban tersebut didapat dari hasil pengamatan pada diagram garis bilangan yang telah
diberikan oleh guru.
Pada pertemuan keempat guru membagikan LAS 4. Siswa diminta memodelkan dan
menyelesaikan permasalahan kontekstual yang berkaitan dengan PLSV. Pada kegiatan ini
peneliti menemukan permasalahan baru. Siswa mengalami kesulitan ketika membuat
persamaan pada permasalahan yang diberikan. Hal ini dikarena pertanyaan pada soal kurang
dimengerti, sehingga siswa menjawab soal no 1 dan no 2dengan menggunakan penyelesaian
langsung (menggunakan garis bilangan) tanpa membuat persamaan terlebih dahulu.
Gambar 5. Siswa berdiskusi untuk menjawab permasalahan pada LAS 4
Pada soal no 3, siswa tidak diminta membuat persamaan tetapi siswa dapat menyelesaikan
PLSV menggunakan garis bilangan. Siswa mengamati dan menganalisa soal dengan cara
berdiskusi bersama kelompoknya. Berikut jawaban siswa pada kelompok 1 dan kelompok 2.
Gambar 6. Jawaban kelompok 1 pada soal no 3 LAS 4
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 159
Gambar 7. Jawaban kelompok 2 pada soal no 3 LAS 4
Dari jawaban kedua kelompok tersebut, siswa memiliki jawaban yang hampir sama. Kedua
kelompok tersebut menggunakan metode balancingyang telah diperkenalkan pada
pertemuan sebelumnya namun siswa lebih terbiasa menggunakan kata “dipotong”
dibandingan kata “dikurang”. Maka untuk perbaikannya peneliti akan mengajak siswa untuk
lebih sering menggunakan kata dikurang walaupun kata dipotong memiliki makna yang
sama. Sehingga secara keseluruhan siswa sudah bisa memahami penggunaan garis bilangan
sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan PLSV.
4. Kesimpulan dan Saran
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan proses pembelajaran yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa siswa
dapat menggunakan lenght modelsyang dibantu dengan metode balancinguntuk
menyelesaikan persamaan linear satu variabel dengan cara formal serta penggunaan lenght
modelsdapat meminimalkan kesalahan umum yang terjadi ketika memecahkan persamaan
linear dengan satu variabel. Pemahaman siswa dikembangkan dari informal tingkat formal.
4.2 Saran
Guru dapat menggunakan metode balancing dan lenght models dibantu dengan masalah
kontekstual yang dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa untuk mendukung pemahaman
siswa memecahkan persamaan linear dengan satu variabel, Bahkan, melalui
penggunaanlenght models dan metode balancing, siswa dapat meningkatkan kemampuan
penalaran, mengembangkan strategi penyelesaian dan mengemukkan ide sertadapat
membuat proses belajar menjadi bermakna.
Daftar Pustaka
Akker, J.V.D., Gravemeijer, K., McKenney, S., & Nieveen, N. (2006). Educational design
research. London dan New York : Routledge Taylor and Francis Group.
Bakker, A. (2004). Design Research in Statistics Education on Symbolizing and Computer
Tools. Amersfoort: Wilco Press.
Dickinson, P. & Eade, F. (2004). Using The Number Line to Investigate The Solving of
Linear Equations. For the Learning of Mathematics.FLM Publishing Association,
Kingston, Ontario, Canada. 24 (2): 41-47.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
160 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Gravemeijer, K. (2004). Creating Opportunities For Students To Reinvent Mathematics.
ICME. Regular Lecture.
Gravemeijer, K., & Cobb, P. (2006). Design research from a learning design perspective. In
J. V. Akker, K. Gravemeijer, S. McKenny, & N. Nieveen, Educational Design
Research (pp. 17-51). London and New York: Routledge Taylor & Francis Group.
Gravemeijer, K., & van Eerde, D. (2009). Design Research as a Means for Building a
Knowledge Base for Teaching in Mathematics Education. The Elementary School
Journal, 109 (5).
Huntley, M., Marcus, R., Kahan, J., & Miller, J. L. (2007). Investigating high school
students‟ reasoning strategies when they solve linear equations. Journal of
Mathematical Behavior. 26(2): 115-139. Retrieved from the ScienceDirect database.
Jupri, A., Drijvers, P., & Van Den Heuvel Panhuizen, M. (2014). Difficulties in Initial
Algebra Learning in Indonesia.Mathematics Education Research Journal, 1-28. DOI
: 10.1007/S13394-013-0097-0.
Khuluq, M.H., Zulkardi & Darmawijoyo. (2015). Enhancing Student‟s Strategies to Solve
Linear Equations with One Variable Through Balancing Activities. Proceeding the
3rd SEA-DR International conference (pp.1-10), Sriwijaya University, Palembang.
McClung, Lewis W. (1998). A Study on the Use of Manipulatives and Their Effect on
Student Achievement in a High School Algebra I Class.University Salem Teikyo.A
ThesisPresentedtoThe Faculty of the Graduate SchoolSalemTeikyo University.
Merzbach, U.C., & Boyer, C.B. (2010). A History of Mathematics. John Wiley & Sons, Inc.
Hoboken. New Jersey.
Putri, R. I. I. (2011). Professional Development of Mathematics Primary School Teacher in
Indonesia Using Lesson Study and Realistic Mathematics Education
Approach.Lymasol, Cyprus: Proceeding of International Congress for school
Effectiveness and Improvement (ICSEI).
Saraswati, S., Putri, R.I.I.& Somakim. (2016). Supporting Students‟ Understanding of Linear
Equations with One Variable Using Algebra Tiles. Jurnal IndoMS. J.M.E, 7(1), 19-
30.
Tall, D. (1992). The Transition from Arithmetic to Algebra:Number Patterns, or Proceptual
Programming?. Published in New Directions in Algebra Education, Queensland
University of Technology, Brisbane, 213–231
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 161
PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THE POWER
OF TWO UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR
KRITIS MATEMATIS MAHASISWA
Ika Wahyu Anita
Program Studi Pendidikan Matematika, STKIP Siliwangi Bandung
ABSTRAK
Studi ini dilatarbelakangi oleh kurangnya kemampuan berpikir kritis matematis
mahasiswa calon guru saat menghadapi mata kuliah analisis, sehingga perlu
dikembangkan sebuah pembelajaran yang diharapkan mampu mendorong mahasiswa
aktif dan kooperatif dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya. Studi ini
berbentuk penelitian tindakan kelas ini disusun dalam tiap lima kali pertemuan untuk
setiap siklusnya.Sampel diambil pada mahasiswa calon guru pendidikan matematika
yang menempuh mata kuliah Struktur Aljabar di STKIP Siliwangi Bandung.
Instrumen penelitian berupa tes berbentuk uraian dan angket tertutup. Studi ini
menunjukkan bahwa pembelajaran Kooperatif tipe The Power of Twoberhasil
memunculkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa, serta menunjukkan antusiasme
mahasiswa dalam berpatner mempelajari mata kuliah.
Kata kunci: The power of two, Berpikir Kritis Matematis
1. Pendahuluan
Efek berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sudah makin dirasakan saat ini.
Tantangan yang dihadapi masyarakat Indonesia dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi makin nyata, terutama oleh para lulusan perguruan tinggi. Seseorang akan survive
bersaing dengan tenaga ahli dari dalam dan luar negeri, apabila ia menguasai tidak hanya
ilmu pengetahuan secara teoritis. Penguasaan terhadap skilldan pengalaman sangat
dibutuhkan, selain itu kematangan pola pikir yang akan berpengaruh pada bagaimana
seseorang mengambil keputusan dan berprilaku. Hal ini yang melatarbelakangi Perpres RI
no.8 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang menyatakan
bahwa kualitas lulusan yang dihasilkan harus sesuai dengan pencapaian pembelajaran
lulusan.Setiap universitas dan sekolah tinggi harus membekali mahasiswa lulusannya tidak
hanya dengan ilmu secara teoritis, namun juga ketrampilan, konsep pola pikir yang matang
dan penguasaan lapangan Menyesuaikan dengan arahan KKNI, program studi pendidikan
matematika STKIP Siliwangi Bandung menyusun misi yaitu menyelenggarakan pendidikan
dan pengajaran untuk menghasilkan tenaga pengajar yang memiliki kompetensi, berdaya
saing nasional, mampu mengembangkan diri, tanggap dan dapat mengikuti dan
menyesuaikan diri terhadap perubahan dan kemajuan IPTEK khususnya yang menyangkut
pendidikan matematika (Tim SPMI, 2014). Misi ini yang harus senantiasa dijadikan patokan
bagi dosen untuk mengajar. Perkuliahan harus diarahkan salah satunya untuk membentuk
pola pikir mahasiswa sehingga berpengaruh pada kemampuan untuk menjadi problem solve
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
162 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Setiap mata kuliah yang diajarkan seyogyanya mahasiswa terus didorong untuk mampu
mengembangkan pola pikirnya hingga pada tahap berpikir tingkat tinggi (High Order
Thinking). Mata kuliah Struktur Aljabar adalah salah satu mata kuliah yang menuntut
mahasiswa untuk mampu menganalisis dan menemukan pembuktian dan penyelesaian
merujuk pada konsep-konsep berupa definisi, aksioma, dan teorema, bukan sekedar
penggunaan rumus dan melakukan perhitungan operasional, sehingga perlu penajaman
proses berpikir kritis matematis. Hal ini sejalan dengan yang tertuang dalam tujuan
pembelajaran BSNP bahwa matematika digunakan sebagai cara bernalar (berpikir logis,
analitis, sistematis, kritis, kreatif, dan kemampuan bekerja sama) (Hidayat, 2012).
Konsep berpikir kritis yang diambil pada penelitian ini sejalan dengan pendapat Sumarmo
(2012) bahwa berpikir kritis adalah berpikir evaluatif yang melibatkan kriteria yang relevan
dalam mengakses informasi disertai dengan ketepatan, relevansi, kepercayaan, konsistensi
dan konsep bias. Berpikir kritis ini dimungkinkan akan efektif jika dilakukan dengan
pembelajaran dalam kelompok kecil. Selanjutnya Sumarmo pada tulisan yang sama juga
menyebutkan indikator kemampuan berpikir kritis yaitu: 1) memusatkan pada suatu
pertanyaan, 2) menganalisa argumen, 3) bertanya dan menjawab untuk klarifikasi, 4)
menggunakan sumber yang terpercaya, 4) menggunakan sumber terpercaya, 5) mengamati
dengan kriteria, 6) deduksi da induksi, 7) membuat pertimbangan, 8) bertanya secara jelas
dan beralasan, 9) berusaha memahami dengan baik, 10) menilai sesuatu secara menyeluruh,
11) tetap relevan ke masalah pokok, 12) berusaha mencari alternatif.
Pembelajaran Kooperatif tipe The Power of Two merupakan pembelajaran yang
menunjukkan manfaat bersinergi bersama. Pembelajaran ini menitikberatkan pada belajar
bersama dalam kelompok sangat kecil berjumlah dua orang. Pembelajaran ini bertujuan
untuk menumbuhkan kerjasama secara maksimal melalui kegiatan pembelajaran oleh teman
sendiri untuk mencapai kompetensi (Mafatih, 2007). Dari hasil penelitian yang dilakukan
Asmawati tahun 2012 dan Suprihatin tahun 2013pada siswa di sekolah, menunjukkan
pembelajaran ini dapat meningkatkan hasil belajar dan pencapaian siswa.
Pembelajaran dengan konsep The Power of Two membagi peserta didik belajar bersama
dalam kelompok kecil secara heterogen baik kemampuan, ras, jenis kelamin, dan satu sama
lain saling membantu (Trianto, 2007). Hal ini dimungkinkan untuk mahasiswa berdiskusi
dengan lebih efektif. Dosen memberi stimulasi berupa permasalahan yang harus dianalisis
dan disusun pembuktian-pembuktian dan penyelesaiannya. Sehingga judul penelitian ini
yaitu “Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe The Power of Two Untuk Mengembangkan
Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Mahasiswa”.
Tujuan dari penelitian ini yaitu: untuk mengetahui dan menelaah perkembangan kemampuan
berpikir kritis matematis mahasiswa melalui penerapan pembelajaran Kooperatif tipe The
Power of Two.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini berupa penelitian tindakan kelas untuk mencari formula terbaik melalui
pembelajaran berulang yang terus menerus dan berkesinambungan. Penelitian ini terdiri dari
dua siklus pembelajaran dimana setiap siklus terdapat rantai kegiatan yang berulang, yaitu
rencana, tindakan, observasi/ pengamatan dan refleksi. Tidak ada pembatasan banyaknya
siklus pembelajaran, sehingga dosen dapat menghentikan siklus jika dirasa tujuan telah
tercapai.Penelitian yang direncanakan yaitu lima kali pertemuan untuk setiap siklus. Model
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 163
tindakan kelas diambil dari model Kemmis dan Mc. Taggart (Hendriana dan Afrilianto,
2014) seperti gambar berikut:
Gambar 1
Model Kemmis dan Taggart
Sampel penelitian adalah mahasiswa calon guru matematika program studi pendidikan
matematika di STKIP Siliwangi Bandung berjumlah 39 orang yang menempuh mata kuliah
Struktur Aljabar pada tahun ajaran 2016/2017.
Sesuai dengan tipe siklus yang dipilih, tahap perencanaan dilakukan
denganmenyiapkanseluruh perangkat pembelajaran dan instrumen. Tahap pelaksanaan
tindakan yaitu pembentukan kelompok kecil berjumlah dua orang dengan pola pembagian
acak, dimana dosen membagi patner belajar tanpa dasar tertentu. Kemudian dosen memberi
stimulus berupa penjelasan mengenai konsep yang dipalajari, setelah itu beberapa
permasalahan diberikan yang harus dipecahkan bersama. Pada tahap ini juga dilakukan
tahap observasi, dimana dosen berkeliling untuk melihat bagaimana mahasiswa beradaptasi
dengan patnernya untuk merumuskan penyelesaian dari permasalahan yang diberikan.
Tahap refleksi berisi kegiatan presentasi dari beberapa kelompok yang memiliki
penyelesaian yang berbeda dengan kelompok lain dilanjutkan dengan pengambilan
keputusan penyelesaian mana yang paling tepat, paling sesuai dan paling mudah dipahami
seluruh mahasiswa. Kegiatan evaluasidilakukan dosen berdasar proses kerja selama waktu
diskusi dan presentasi,serta tugas.
Instrumen berupa lembar observasi keaktifan dan sikap mhasiswa selama proses
perkuliahan berlangsung dengan jawaban ya atau tidak. Dimana jawaban “ya” diberi skor 1
dan jawaban “tidak” diberi skor 0. Analisis observasi dilakukan dengan deskriptif
kuantitatif. Kedua data hasil observasi dan hasil tes tertulis dipersentase kemudian dilihat
pengelompokan berdasar kriteria yang telah ditetapkan.
Tabel 1
Pedoman Kualifikasi Hasil Observasi
Persentase (p) Kriteria
0% ≤ x ≤ 25% Kurang baik
26% ≤ x ≤ 50% Cukup
51% ≤ x ≤ 75% Baik
76% ≤ x ≤ 100% Sangat baik
(Barbara dan Hariastuti, 2011)
Siklus 1
Rencana
Tindakan
Observasi
Refleksi
Siklus 2
Rencana
Tindakan
Observasi
Refleksi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
164 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Soal tes terdiri dari dua jenis, yaitu soal mengukur kemampuan awal mahaasiswa terhadap
materi prasyarat dan soal kemampuan berpikir kritis matematis. Tes kemampuan berpikir
kritis matematis diberikan pada setiap akhir siklus dengan skor maksimal 4.
Tabel 2
Kriteria Tes Kemampuan Matematis (%)
Persentase (x) Kriteria
0% ≤ x ≤ 33,32% Rendah
33,33% ≤ x ≤ 66,65% Sedang
66,66% ≤ x ≤ 100% Tinggi
(Rofiah dalam Pramesti et all, 2014)
3. Hasil Penelitian
Sebelum pelaksanaan siklus tindakan kelas pada pertemuan pertama, dosen menjelaskan
model pembelajaran yang akan dilaksanakan selama perkuliahan. Dosen mengajak
mahasiswa untuk membuat peraturan bersama dalam perkuliahan. Kemudian dosen
mengingatkan kembali tentang beberapa materi prasyarat pada mata kuliah ini. Di akhir,
dosen melakukan tes awal untuk mengukur penguasaan mahasiswa terhadap materi
prasyarat. Dosen berusaha untuk menekankan pada mahasiswa untuk dapat berperan aktif
dalam pembelajaran jika ingin berhasil pada mata kuliah Struktur Aljabar.
Tes awal menunjukkan bahwa kemampuan awal mahasiswa dengan kriteria tinggi sebesar
19,11%, kriteria sedang sebesar 35,23% dan kriteria rendah sebesar 45,66% dengan rata-rata
nilai tes yang dicapai yaitu 15,5. Sedangkan pada pra siklus kualifikasi hasil observasi hanya
sebesar 19,02% artinya bahwa respon mahasiswa kurang baik terhadap pembelajaran. Hasil
tinjauan kegiatan pra siklus ini menunjukkan mahasiswa kurang termotivasi dan
menganggap bahwa pembelajaran kurang menyenangkan. Dosen diharap terus memotivasi
dan memberi penguatan positif pada mahasiswa untuk berusaha lebih baik lagi selama
pembelajaran.
Siklus pertama dilakukan dalam lima kali pertemuan. Pertemuan pertama materi yang
disampaikan adalah teori himpunan, pertemuan kedua membahas operasi biner dan sifat-
sifatnya, pertemuan ketiga membahas tentang relasi, fungsi, pemetaan dan relasi ekuivalen,
pertemuan keempat membahas grup dan subgrup. Selama empat pertemuan, dosen memberi
penugasan dirumah. Hal ini dilakukan agar setiap mahasiswa makin terbiasa dengan
patnernya masing-masing. Pertemuan kelima dilakukan tes kemampuan berpikir kritis
matematis.
Analisis data dan hasil observasi pada siklus pertama menunjukkan bahwa kriteria tinggi
sebesar 29,01%, kriteria sedang sebesar 40,65% dan kriteria rendah sebesar 30,34% dengan
rata-rata nilai tes yang dicapai yaitu 18,5. Sedangkan kualifikasi hasil observasi sebesar
40,39%. Hasil observasi menunjukkan peningkatan aktifitas mahasiswa yang cukup besar
dibanding dengan hasil observasi pra siklus.
Siklus kedua juga dilakukan dalam 5 kali pertemuan. Perencanaan dan tindakan yang
disusun hampir sama dengan pelaksanaan pada siklus pertama, namun dilakukan beberapa
perbaikan dan penambahan waktu diskusi. Dosen memberi kesempatan lebih banyak pada
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 165
mahasiswa untuk berinteraksi baik dengan dosen maupun antar kelompok. Dosen juga
mendorong untuk setiap mahasiswa lebih banyak berinteraksi dan berdiskusi dengan teman
sekelompoknya, salah satu cara yang diambil adalah dengan memberi banyak tugas yang
harus diselesaikan bersama. Pada pertemuan pertama pada siklus kedua ini materi yang
dibahas adalah grup abelian dan sifat-sifatnya, pertemuan kedua membahas grup permutasi,
pertemuan ketiga membahas subgrup permutasi, sedangkan pertemuan keempat membahas
grup siklik dan pertemuan kelima dilakukan tes kemampuan berpikir kritis matematis
mahasiswa yang kedua.
Analisis data pada siklus kedua menunjukkan bahwa 41,27% dengan kriteria tinggi, 44,06%
kriteria sedang dan 14,67% mahasiswa dengan kriteria rendah dengan rata-rata nilai tes
25,75. Sedangkan kualifikasi hasil observasi meningkat sebesar 50,09%. Dari hasil
perbandingan antara pra siklus, siklus pertama dan siklus kedua menunjukkan adanya
peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa. hal ini menunjukkan bahwa
pola pikir kritis mahasiswa sudah mulai berkembang walau masih perlu dikembangkan lebih
lanjut.Dapat dilihat bahwa mahasiswa secara keseluruhan berada pada kategori sedang, ini
dimungkinkan untuk melakukan studi lebih lanjut untuk lebih meningkatkan tingkat
perkembangan pola pikir kritis mahasiswa.
Hasil observasi menunjukkan keaktifan dan aktivitas mahasiswa cenderung meningkat, hal
ini menunjukkan bahwa pembelajaran Kooperatif tipe The Power of Two ini dapat
meningkatkan keterlibatan dan keaktifan belajar. Hal ini juga menunjukkan bahwa belajar
bersama akan lebih efektif daripada belajar secara individu. Studi ini dapat dijadikan rujukan
oleh mahasiswa untuk lebih meningkatkan hubungan dengan teman sejawatnya dalam
belajar sehingga dapat saling memberi semangat dan motivasi dan saling memberi engaruh
yang positif satu sama lain.
4. Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh yaitu:
1) Perkuliahan dengan pembelajaran Kooperatif tipe The Power of Two yang dilaksanakan
berjalan dengan cukup baik;
2) Pembelajaran Kooperatif tipe The Power of Twodapat mengembangkan kemampuan
berpikir kritis matematis mahasiswa;
3) Pembelajaran Kooperatif tipe The Power of Twodapat meningkatkan keterlibatan serta
keaktifan mahasiswa dikelas serta menjadikan hubungan antar mahasiswa terjalin
dengan lebih baik, sehingga pada akhirnya akan mendukung pencapaian pembelajaran
yang lebih merata karena adanya saling kerjasama yang positif.
Daftar Pustaka
Barbara, F.Y. & Hariastuti, R. T. (2011). Meningkatkan Partisipasi Siswa Mengikuti
Layanan Informasi Melalui Penggunaan Media Permainan. Jurnal Psikologi
Pendidikandan Bimbingan, 12 (2), 1-13.
Hendriana, H. & Afrilianto, M. (2014). Panduan bagi Guru, Penelitian Tindakan Kelas
Suatu Karya Tulis Ilmiah. Bandung: Refika Aditama
Hidayat, W. (2012). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik Siswa
SMA Melalui Pembelajaran Kooperatif Think-Talk-Write (TTW). Makalah pada
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA. UNY
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
166 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Mafatih, A. B. H. (2007). Makalah Strategi Belajar dengan Cara Kooperatif (Bidang Studi
IPS). Tersedia di http://media.diknas.go-id. Diakses pada tanggal 01 Desember
2016.
Pramesti, G. et all. (2014). Pengembangan Media Game Intraktif Bilingual Berbasis
Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah Menengah Atas.
Infinity, Vol.3, no.1, 1-17.
Sumarmo, U. (2012). Bahan Belajar Mata Kuliah Proses berpikir Matematika Program S2
Pendidikan Matematika. STKIP Siliwangi Bandung.
Tim SPMI. (2014). Profil STKIP Siliwangi Bandung. Bandung: STKIP
Trianto. (2007). Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik.
Surabaya: Prestasi Pustaka
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 167
PENGARUH VISUAL BASIC APPLICATION FOR EXCEL
TERHADAP KEMAMPUAN KREATIF MAHASISWA TENTANG
DEFINISI DAN TEOREMA MATEMATIKA
Martin Bernard
Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Abstrak
Microsoft Excel merupakan software pengolahan data berupa angka yang sering
digunakan orang pada umumnya, dan software tersebut sangat mudah ditemui. Karena
berhubungan dengan angka sebenarnya dapat dibuat menjadi alat bantu untuk
mengajarkan mata kuliah matematika terutama membantu untuk menjelaskan tentang
definisi dan teorema matematika yang merupakan hambatan yang sulit dipelajari oleh
kebanyakan mahasiswa. Beberapa kunci yang mereka haru menguasai definisi dan
teorema matematika yaitu pertama memahami langkah-langkah algoritma bahasa
program Visual Basic, bisa dikatakan bahwa bahasa tersebut mudah dimengerti
dibandingkan bahasa program lainnya dan bahasa tersebut sudah tersedia di dalam
program Microsoft Excel itu sendiri, kedua menulis dan merencakan semua
keterangan tentang definisi atau teorema secara teliti setelah itu memasukan ke dalam
bahasa program untuk memproses hasil yang akan di tampilkan ke dalam layar pada
Microsoft Excel dan ketiga dibutuhkan kreatif mahasiswa untuk menyusun bahasa
program dari masing-masingnya untuk menciptakan suatu karya dengan hasil sesuai
dengan definisi dan teorema matematika dan tujuannya untuk melihat pengaruh
kemampuan kreatif mahasiswa untuk memberikan contoh dari definisi dan
membuktikan teorema.
Kata Kunci : Microsoft Excel, Visual Basic, Kemampuan Kreatif
A. Pendahuluan
Pada umumnya pelajaran matematika merupakan pelajaran yang dikatakan cukup sulit karena
mahasiswa pada awalnya belum mengerti sesungguhnya kegunaan dari matematika yang
diaplikasikan kedalam aktivitas sehari-hari dan kebanyakan dari mereka bahwa matematika
hanya dihubungkan dengan angka dan rumus saja. Oleh sebab itu saat ditanyakan tentang
definisi keterkaitan dengan mata kuliah mereka masih belum bisa mengerti dan butuh
diberikan beberapa contoh secara lisan atau tertulis tetapi mahasiswa membutuhkan banyak
bukti yang lebih, apalagi membuktikan tentang teorema yang dikaitkan dengan definisi dan
teorema lain yang sudah dibuktikan dengan tepat, pastinya dibutuhkan untuk memunculkan
kemampuan kreatif mahasiswa.
Untuk memunculkan kemampuan kreatif, mahasiswa dibutuhkan adanya contoh berupa
media pembelajaran yang mampu dapat menyampaikan kepada mahasiswa tentang definisi
dan pembuktian matematika, salah satu media tersebut adalah berbasis TIK dengan
menggunakan software Microsort Excel yaitu software yang banyak menggunakan
pengolahan data, dengan fungsi-fungsi khusus untuk membuat hasil secara automatis. Oleh
sebab itu fungsi-fungsi Microsoft Excel dapat dimanfaatkan dengan beberapa banyak cara
penjelasan mengenai pembuktian teorema dan memahami definisi matematika.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
168 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Agar media pembelajaran tentang pembuktian teorema dan memahami definisi matematika
lebih menarik dan interaktif maka dibutuhkan software yang membantu untuk langkah-
langkah sampai terbuktinya hasil yang sesuai dengan perintah apakah teorema tersebut dapat
dibuktikan atau tidak. Sehingga memunculkan ide dan gagasan baru untuk memecahkan
masalah pada teorema-teorema lain dengan menngunakan bahasa program dengan berbagai
cara pada tujuan yang dicapai.
B. Kajian Pustaka
1. Kemampuan Kreatif Mahasiswa
Berpikir kreatif mahasiswa merupakan proses berpikir mahasiswa untuk memunculkan ide
atau gagasan yang baru untuk menyelasaikan suatu masalah yang diberikan. Johnson
(Riyanto, 2007:214-215) mengatakan, “Berpikir kreatif adalah sebuah kebiasaan dari pikiran
yang dilatih dengan memperhatikan intuisi, menghidupkan imajinasi, mengungkapkan
kemungkinan-kemungkinan baru, membuka sudut pandang yang menakjubkan, dan
membangkitkan ide-ide yang tidak terduga”.
Indikator berpikir kreatif, menurutMunandar (Anisa, 2012:9) yaitu,
a. Berpikir Lancar (Fluency),
b. Berpikir Luwes (Flexibility),
c. Berpikir Orisinal (Originality),
d. Berpikir Elaboratif (Elaboration).
2. Visual Basic For ExcelPembelajara Matematika
Visual Basic for Application for Exceladalah suatu program yang dirancang untuk kebutuhan
aplikasi Microsoft Office (Birnbaum, 2004:1). Tujuannya yaitu untuk mempermudah
pengerjaan yang yang hubungannya dengan pengolahan data, mempercapat akses dari
microsoft ke program lain, merancang program menjadi lebih interaktif. Sebenarnya VBA
untuk Microsoft Excel dibuat untuk mempermudah pengolahan data angka, tetapi sekarang
VBA tersebut dapat dimanipulasikan kebentuk lain seperti membuat animasi dalam
pembelajaran matematika supaya lebih interaktif. Alasan kuat bahwa mengapa sofware
Microsoft Excel lebih cocok dalam bidang pendidikan Matematika, alasannya, kebanyakan
pembelajaran matematika lebih banyak teori dan rumus-rumus yang diajarkan belum dapat
dipahami hanya cukup dihafalkan dan belum memahami cara bagaimana
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari apalagi jika disuruh membuktikan soal
matematika yang dihadapi mahasiswa terlalu sulit untuk cara merancang strategi yang tepat,
maka cocok sekali jika gambaran tersebut dapat dituangkan ke dalam bentuk gambar atau
tampilan yang lebih interaktif serta tidak memakan waktu yang banyak untuk menjelaskan
dibandingkan dengan pembelajaran cara biasa. Dan tidak perlu khawatir untuk mencari
mencari banyak software karena software tersebut lebih banyak ditemukan di dalam program
komputer (Jacobson, 2012:93)
C. Pembahasan
Ada beberapa contoh langkah-langkah untuk membuat definisi dan pembuktian teorema yaitu
bagaimana menjelaskan tentang definisi tentang bilangan prima. Pertama definisi bilangan
prima (Burton, 2011,39) adalah seatu bilangan bulat jika dan hanya jika pembagi
positif adalah 1 dan p. Dan suatu bilangan bulat lebih besar 1 bukan prima adalah Komposit.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 169
Jika dilihat dari definisi bahwa bilangan prima merupakan bagian dari bilangan asli, sekarang
buat algoritma bahasa program untuk bilangan Asli.
Gambar 1. Membuat Tampilan Bilangan Asli
Perhatikan pada gambar 1, harus disesuaikan bahwa bilangan Asli merupakan himpunan
bagia dari bilangan bulat positif yang dimulai dari 1. Maka kita deklarasikan terlebih
dahulu a dan b merupakan bilangan bulat dimana Dim a,b As Integer merupakan fungsi
untuk menjelaskan a dan b adalah bilangan bulat dimana a merupakan nilai terakhir
bilangan asli atau batasannya sedangkan b berfungsi untuk menambah satu-satu dimulai
dari angka 1 sampai 100 fungsi untuk menkonter adalah
For b = 1 To a
Range("A" & 1 + b) = b
Next b
Fungsi range adalah menampilkan angka di jendela Microsoft Excel. Setelah itu pilih
diantara bilangan asli yang merupakan bilangan prima lalu ber warna untuk melihat
perbedaan. Yang perlu dibutuhkan sebelum membuat tampilan bilangan prima,terlebih
dahulu mahasiswa merancang definisi bilangan prima sehingga bisa ditampilkan ke
dalam jendela Microsoft Excel.
Gambar2. Diagram Definisi Bilangan Prima
Setelah membuat rancangan bilangan prima baru masukan ke dalam bahasa program
Visual Basic Application for Excel.
Klik 2 kali
Masukan kode VBA
Bilangan Prima
Bilangan Bulat Bilangan lebih
besar dari 1
Bilangan yang bisa
dibagi 1 dan bilangan
itu sendiri
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
170 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Gambar 3. Menampilkan Bilangan Prima
Private Sub CommandButton2_Click()
Dim a, b, c As Integer
a = Range("C2")
Range("A3").Interior.Color = vbRed
For b = 1 To a
c = Range("A" & 1 + b)
For d = 2 To b - 1
e = c Mod d
If e = 0 And d <> b - 1 Then
Range("A" & 1 + b).Interior.Color = vbGreen
Exit For
Else
If e <> 0 And d = b - 1 Then
Range("A" & 1 + b).Interior.Color = vbRed
Exit For
End If
End If
Next d
Next b
End Sub
Membuktikan Teorema Sisa Bagi (Chinese Reminder)
Gambar 4. Memberikan contoh Soal
Klik 2 kali
Masukan kode VBA
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 171
Mahasiswa diberikan salah satu contoh soal dari teori bilangan yaitu tentang soal sisa bagi
dan dari pernyataan diatas mahasiswa diperintahkan untuk mencari berapa banyak nilai yang
munkin diperoleh.
Gambar 5. Hasil Diskusi dari ide Mahasiswa
Mahasiswa membuat ide atau gagasan baru yang dituangkan ke dalam tulisan di
Whiteboard sebagai gambaran beberapa kemungkinan cara.
Gambar 6. Memasukan langkah-langkah ke Kode VBA
Membuat rancangan dengan menggunakan tabel dimana ide-ide tersebut dihubungkan
dengan bahasa program Visaul Basic, dalam bentuk tulisan di dalam Whiteboard.
Tujuannya agar mahasiswa memahami hubungan definisi matematika ke fungsi Visual
Basic.
Gambar 7. Membuat Rancangan ke Tampilan Excel
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
172 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Berdiskusi dengan mahasiswa jika ada beberapa kesalahan-kesalahan atau ide tambahan lagi
asalakan tidak mengurangi aturan yang sesuai dengan definisi-definisi dan teorema-teorema
matematika yang sudah disepakati. Dari sini mahasiswa akan memunculkan ide-ide baru dari
banyak pendapat mahasiswa.
Gambar 8. Membuat VBA dengan ide lain
Setelah selesai membuat tulisan bahasa program di Whiteboard, mahasiswa mencoba
memasukan tulisan tersebut ke dalam Visual Basic for Excel untuk melihat tampilan hasil di
Microsoft Excel
Gambar 8. Hasil dari Mahasiswa
Hasil pengerjaan dapat dilihat saat program tersebut dijalankan, hal ini mahasiswa
memahami dan dapat memberikan kesimpulan cara langkah-langkah untuk menemukan
bilangan dari sisa bagi dengan bantuan Microsoft Excel. Hasil Visal Basic untuk Excel dapat
dilihat di bawah ini.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 173
D. Kesimpulan
Gambar 10. Hasil Tampilan dari Mahasiswa
Private Sub CommandButton1_Click()
On Error Resume Next
Dim a As Integer
Dim b As Integer
Dim c As Integer
Dim d As Integer
Dim e As Integer
Dim f As Integer
Dim g As Integer
Range("H2") = Range("H2") + 1
a = Range("H2")
Range("D" & 2 + a) = Range("A3") * a + Range("B3")
b = Range("D" & 2 + a) Mod Range("A4")
If b = Range("B4") Then
Range("I2") = Range("I2") + 1
c = Range("I2")
Range("E" & 2 + c) = Range("D" & 2 + a)
d = Range("E" & 2 + c) Mod Range("A5")
If d = Range("B5") Then
Range("J2") = Range("J2") + 1
e = Range("J2")
Range("F" & 2 + e) = Range("E" & 2 + c)
f = Range("F" & 2 + e) Mod Range("A6")
If f = Range("B6") Then
Range("K2") = Range("K2") + 1
g = Range("K2")
Range("G" & 2 + g) = Range("F" & 2 + e)
End If
End If
End If
End Sub
Klik 2 kali
Masukan kode VBA
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
174 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Private Sub CommandButton2_Click()
Dim a As Integer
a = Range("H2")
For i = 0 To a
Range("D3:G" & 2 + Range("H2")) = ""
Next i
Range("H2:K2") = 0
End Sub
D. Hasil MahasiswaSetelah Pembelajaran dan Pembuktian Matematika dengan
menggunakan Visual Basic Application for Excel
Gambar 11. Hasil Buatan Mahasiswa untuk membuat Projek
Setelah memahami cara bagaimana penerapan Visual Basic untuk Microsoft Excel dari
berbagai contoh, mahasiswa disuruh membuat projek yang dapat bermanfaat dalam
pembelajaran matematika yang berkaitan dengan definisi-definisi dan teori-teori matematika
dalam mata kuliah Aplikasi TIK dalam Pembelajaran Inovatif Matematika.
E. Kesimpulan
Visual Basic For Excel merupakan software yang pengolahan angka yang dapat
dimanipulasikan kedalam bentuk pembelajaran matematika untuk membantu mahasiswa
memahami langkah-langkah untuk mencari hasil yang dinginkan dari teorema-teorema
matematika yang bagi mahasiswa sulit dipecahkan. Selai itu juga membantu mahasiswa
dapat memunculkan ide-ide dan gagasan baru yang bisa membuat aplikasi dalam
pembelajaran matematika.
Referensi
Anisa, Y. (2012). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa dengan Metode
Improve.STKIP Siliwangi. Cimahi: Tidak diterbitkan.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 175
Birnbaum, D. (2005). Microsoft Excel VBA Programming for the Absolute Biginner Second
Edition. Thomson Course Technology PTR. Boston
Burton, M. D. (2011). Elementary Number Theory. McGrawHill Companies Inc. University
of New Hampshire. New Hampshire
Jacobson, R (2007). Step by Step Office Excel 2007 Visual Basic for Applications. Online
Training Solution inc. Washington
Riyanto, Y. (2007). Contextual Teaching and Learning. Bandung: Mizan Learning Center
(MLC)
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
176 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
ANALISA TERHADAP KECEMASAN MAHASISWA CALON
GURU MATEMATIKA
Masta Hutajulu
STKIP Siliwangi Bandung
ABSTRAK
Kecemasan adalah bagian hidup manusia. Penelitian ini mengamati kecemasan
mahasiswa calon guru matematika yang akan menyelesaikan perkuliahannya. Prestasi
para calon guru selama berkuliah dan keaktifan mereka berorganisasi semasa kuliah,
tidak menjadikan mereka manusia yang tidak memiliki kecemasan. Masalah
keuangan, berubahan status dari mahasiswa menjadi guru, tanggung jawab, hidup
jauh dari keluarga, dan yang lainnya; adalah hal-hal yang dicemaskan para calon guru.
Kata Kunci: Kecemasan, Mahasiswa Calon Guru Matematika.
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pembentukan dan
pengembangan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menghadapi era globalisasi.
Sumber daya manusia yang dimaksudkan perlu memiliki keterampilan yang meliputi
berpikir kritis, sistematis, logis, dan mampu bekerja sama, serta mengembangkan kreativitas
dan inovasi serta kemampuan untuk berargumentasi atau mengemukakan ide-ide untuk
memecahkan masalah yang terjadi dalam kehidupan. Untuk itu, pendidikan di Indonesia
harus ditingkatkan supaya tercipta sumber daya manusia yang memiliki keterampilan-
keterampilan tersebut.
Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia adalah dengan
mencetak para pendidik yang berkualitas. Guru sebagai pendidik yang akan memfasilitasi
siswa dalam menemukan pengetahuan haruslah memiliki kualitas yang memadai. Para calon
pendidik ini ditempa dalam suatu pendidikan untuk calon guru, yang pada saat ini banyak
terdapat di Indonesia.
Tuntutan perkuliahan dan tantangan dunia kerja setelah menyelesaikan perkuliahan menjadi
tantangan tersendiri bagi setiap mahasiswa calon guru. Menyelesaikan perkuliahan tepat
waktu dan memasuki dunia kerja adalah suatu hal yang ditunggu setiap mahasiswa. Bukan
hanya para mahasiswa yang telah berjuang dalam perkuliahan yang menantikan hal ini,
orang tua dan keluarga juga mengharapkan hal tersebut segera terwujud. Tantangan yang
dihadapi beragam oleh masing-masing individu. Tidak jarang dalam menghadapi
kesemuanya itu terdapat rasa cemas. Menurut Wilson (Makur, 2015: 2), kecemasan
matematika pada calon guru merupakan isu penting karena berpengaruh sangat penting pada
persiapannya menjadi guru kelak. Demikian pula, Uusimaki dan Nason (Makur, 2015: 2)
menjelaskan bahwa kecemasan matematika mahasiswa calon guru matematika jika dibiarkan
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 177
akan ditularkan kepada siswanya nanti dan tentunya akan berakibat pada kecemasan
matematika yang tidak berujung.
Mahasiswa setelah menyelesaikan kuliah akan menghadapi tahapan baru dalam
kehidupannya. Mahasiswa diharapkan memiliki tanggung jawab yang lebih dalam tahapan
hidupnya yang baru, setelah ia tamat kuliah. Hal yang sama berlaku bagi mahasiswa calon
guru, hanya kelebihannya adalah seorang mahasiswa calon guru atau mahasiswa fakultas
pendidikan telah dibekali dengan pengalaman mengajar, setidaknya selama satu semester
pada waktu ia mengikuti PPL(Program Pelatihan Lapangan). Hal ini tentu merupakan
pengalaman yang berharga baginya sehingga ia sudah memiliki sedikit pengalaman tentang
apa yang akan dihadapinya di dunia kerja.
Penelitian menunjukkan bahwa terdapat kecemasan dari para mahasiswa senior untuk
memulai tahap yang baru dalam hidupnya (Rockler-Gladen, 2008), dan ada juga kecemasan
guru dalam menghadapi perubahan-perubahan yang cepat dalam pendidikan (Sunarto,2008).
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik mengadakan penelitian untuk menganalisis
kecemasan yang dihadapi oleh mahasiswa calon guru matematika, dengan judul “Analisa
Terhadap Kecemasan Mahasiswa Calon Guru Matematika”
a. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diajukan
peneliti adalah
1. Bagaimanakah prestasi dari para mahasiswa calon guru ?
2. Apakah para mahasiswa calon guru matematika mengalami kecemasan?
3. Apakah mahasiswa calon guru yang berprestasi baik mengalami kecemasan?
b. Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini untuk :
1. Mengetahui prestasi belajar mahasiswa calon guru
2. Menggali hal-hal yang mencemaskan mahasiswa calon guru matematika.
3. Menggali kecemasan mahasiswa calon guru yang berprestasi
2. Definisi operasional 1. Mahasiswa calon guru Matematika adalah mahasiswa yang kuliah di fakultas
pendidikan program studi matematika
2. Kecemasan adalah suatu emosi yang tidak menyenangkan berkenaan dengan rasa
takut atau khawatir akan sesuatu yang menyebabkan kenaikan detak jantung,
keringat dingin ataupun gemetar.
1.2 Mahasiswa Calon Guru Matematika
Mahasiswa calon guru Matematika adalah mahasiswa yang kuliah di fakultas pendidikan
program studi matematika. Mereka adalah calon tenaga pendidikan seperti yang dimaksud
dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang system
Pendidikan Nasional, yang menyatakan :
Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk
menunjang penyelenggaraan pendidikan, yang tugasnya adalah (1) melaksanakan
administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk
menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan, (2) sebagai tenaga profesional yang
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
178 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
1.3 Kecemasan
Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya “anxiety” berasal dari Bahasa Latin “angustus”
yang berarti kaku, dan “ango, anci” yang berarti mencekik. Kecemasan sebagai keadaan
mental yang tidak enak berkenaan dengan dengan sakit yang mengancam atau yang
dibayangkan, yang ditandai dengan kekhawatiran, ketidakenakan dan perasaan yang tidak
baik, yang tidak dapat dihindari oleh seseorang.
Kecemasan merupakan kondisi emosional yang tidak menyenangkan dan ditandai dengan
aktifnya sistem saraf pusat (Post, 1978). Freud (Syamsu, 2006) mengatakan bahwa
kecemasan sebagai suatu perasaan yang tidak menyenangkan, yang diikuti oleh reaksi
psikologis tertentu seperti perubahan detak jantung dan pernafasan, dengan kata lain
kecemasan adalah reaksi atas situasi yang dianggap berbahaya. Kecemasan adalah suatu
keadaan yang ditandai dengan perasaan ketakutan yang disertai dengan tanda kognitif,
motorik, afektif, dan somatik utamanya yang menyebabkan terjadinya hiperaktifitas sistem
saraf otonom (Tresna, 2011).
Menurut Taylor (2006), kecemasan merupakan suatu pengalaman subjektif mengenai
ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dan ketidakmampuan
menghadapi masalah atau adanya rasa tidak aman. Perasaan yang tidak menyenangkan
umumnya menimbulkan gejala-gejala fisiologis (seperti gemetar, berkeringat, detak jantung
meningkat, dan lain-lain) dan gejala psikologis (seperti panik, tegang, bingung, tak dapat
berkonsentrasi, dan sebagainya). Menurut Atkinson (1996) kecemasan adalah emosi yang
tidak menyenangkan yang ditandai dengan istilah-istilah seperti kekhawatiran, keprihatinan,
dan rasa takut yang kadang-kadang dialami individu dalam tingkatan yang berbeda-beda.
Chaplin (2001) menjelaskan bahwa pada dasarnya kecemasan akan menyertai di setiap
kehidupan manusia terutama bila dihadapkan pada hal-hal yang baru maupun adanya sebuah
konflik.
Menurut beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah suatu
emosi yang tidak menyenangkan berkenaan dengan rasa takut atau khawatir akan sesuatu
yang menyebabkan kenaikan detak jantung, keringat dingin ataupun gemetar.
II. Metodologi Penelitian
A. Metode dan Desain Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif eksploratif, yang bertujuan untuk menggali
informasi sebanyak-banyaknya kemudian menggambarkan keadaan dan mengungkapkan
fakta yang ada dari informasi yang diperoleh dan selanjutnya menjelaskan secara deskriptif
tentang fakta yang bersangkutan. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang
menggambarkan prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau
melukiskan keadaan subyek ataupun obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-
fakta yang nampak dan sebagaimana adanya, yang meliputi interpretasi data-data dengan
analisis data (Nawawi, 2000:63).
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 179
B. Tempat dan Sampel Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan STKIP Siliwangi Bandung. Subjek penelitian adalah 6 orang
Semester 3 program studi pendidikan matematika.
C. Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian ini adalah :
a) Pedoman observasi
Pedoman observasi berupa aspek-aspek yang akan diamati selama kuliah matematika
berlangsung. Observasi yang dilakukan yaitu melalui cara pengamatan yang tidak berperan
serta. Observasi dilakukan untuk mengetahui lebih dekat prestasi dan aktivitas para
partisipan.
b) Angket
Angket berupa butir-butir pernyataan yang akan diajukan kepada calon guru matematika.
Sebelum membuat pedoman angket, peneliti terlebih dulu membuat kisi-kisi pedoman
angket yang dikaitkan dengan karakteristik kecemasan apa saja yang dihadapi para calon
guru matematika.
c) Pedoman wawancara
Pedoman wawancara dalam penelitian ini berisi daftar pertanyaan-pertanyaan yang akan
ditanyakan secara lisan oleh peneliti. Dalam wawancara ini peneliti melakukan wawancara
dengan menggunakan instrumen wawancara yang terarah, dan hasil wawancara direkam
menggunakan tape-recorder. Sesudahnya dilakukan klarifikasi.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menggunakan metode observasi,
metode angket, metode wawancara dan dokumentasi.
a) Observasi
Observasi adalah suatu teknik yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan secara
teliti serta pencatatan secara sistematis. Observasi yang dilakukan yaitu melalui cara
pengamatan yang tidak berperan serta. Observasi dilakukan untuk mengetahui lebih dekat
prestasi dan aktivitas para partisipan. Observasi ini dipandu dengan pedoman observasi yang
telah dibuat.
b) Angket
Angket dalam penelitian ini diberikan kepada siswa untuk mengidentifikasi kecemasan
mahasiswa calon guru matematika. Angket digunakan untuk melengkapi dan memperkuat
data yang telah diperoleh dari instrumen lain. Angket dalam penelitian ini adalah angket
tertutup, yaitu butir-butir angket yang disajikan sudah tersedia alternatif jawaban sehingga
mahasiswa calon guru tinggal memilih jawaban yang sesuai.
c) Wawancara
Wawancara dilakukan berdasarkan pedoman wawancara yang telah disusun. Wawancara
digunakan untuk mengungkap tentang pemikiran atau gagasan guru tentang usaha-usaha
yang dilakukan guru dalam mengatasi kesulitan siswa guna melengkapi serta untuk
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
180 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
melakukan crosscheck data yang telah diperoleh dari observasi. Wawancara juga dilakukan
kepada mahasiswa calon guru yang mangalami kecemasan.
d) Dokumentasi
Dokumentasi adalah cara memperoleh data dengan melihat dan meneliti dokumen atau
catatan yang berupa foto atau tulisan. Dalam penelitian ini studi dokumentasi dilakukan
terhadap transkrip partisipan, atau data hasil belajar para partisipan. Dilakukan untuk
mengetahui prestasi belajar mereka.
III. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Berdasarkan hasil observasi selama peneliti berada bersama-sama para partisipan dan studi
dokumentasi yang dilakukan didapati beberapa hal yang menjadi data diri partisipan sebagai
berikut:
Tabel 4.1. Data diri partisipan
NO NAMA PARTISIPAN IPK BERORGANISASI DAERAH TUJUAN
MENGAJAR
1 Mahasiswa 1 3,56 Sangat Aktif Kabupaten Bandung
Barat
2 Mahasiswa 2 3,47 Sangat Aktif Cimahi dan Sekitarnya
3 Mahasiswa 3 3,33 Aktif Kabupaten Bandung
Barat
4 Mahasiswa 4 3,23 Aktif Cimahi dan Sekitarnya
5 Mahasiswa 5 3,17 Aktif Bandung dan Sekitarnya
6 Mahasiswa 6 3,03 Tidak Aktif Kabupaten Bandung
Barat
Berdasarkan hasil wawancara dan angket didapati bahwa para mahasiswa calon guru ini
tidak cemas tentang bagaimana mereka akan mendapat pekerjaan, hal ini disebabkan karena
mereka yakin ada banyak sekolah di daerahnya masing-masing dan akan segera bias
mengajar di sekolah setelah mereka menyelesaikan perkuliahannya. Tetapi untuk hal-hal
lainnya yang berhubungan dengan kehidupan seorang guru, mereka memiliki kecemasan
yang tidak sama menghadapinya. Berikut adalah beberapa hal yang mereka cemaskan.
1. Partisipan mencemaskan hal dimana siswa-siswa yang akan mereka ajar akan memiliki
sedikit saja ketertarikan dalam belajar. Mungkin karena banyaknya faktor lain
yang lebih menarik perhatian mereka, mungkin karena sifat siswa yang
tidak suka belajar, atau mungkin karena mereka sekolah hanya karena disuruh oleh
orang-tuanya, hal sering terjadi pada siswa di daerah pedalaman. (Semua
partisipan yang mencemaskan hal ini )
2. Partisipan mencemaskan lingkungan baru yang akan mereka hadapai, orang- orang atau
guru-guru yang lebih dewasa atau bahkan yang sudah tua; yang mungkin sulit bagi
mereka untuk beradaptasi karena selama ini mereka lebih sering bergaul dengan orang-
orang muda seusia mereka. (Ada 4 partisipan yang mencemaskan hal ini)
3. Partisipan kuatir tidak dapat dengan sempurna atau mantap dalam menjalankan
tanggung jawab yang diberikan pertama kali pada mereka. Khususnya jika diminta
mengajar pada level siswa yang berbeda dengan siswa yang mereka ajar waktu
mengikuti PPL, yang berarti suatu pengalaman baru bagi mereka. (Semua partisipan
sedikit banyak mencemaskan hal ini )
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 181
4. Partisipan mencemaskan hal keuangan, sanggupkah mereka mengatur
penggunaannya agar mencukupi kebutuhan mereka? Hal ini mengingat selama ini
mereka tidak pernah bermasalah dengan masalah uang sekolah dimana mereka
tidak membayarnya sendiri, dan juga mereka selalu dibantu oleh orang tua
mereka dalam pemenuhan kebutuhan mereka. (Ada 3 partisipan yang
mencemaskan hal ini)
5. Partisipan mencemaskan kemonoton-an dalam pekerjaan mereka sebagai guru,
dimana mereka harus mengajar setiap hari . (Ada 3 partisipan yang mencemaskan
hal ini)
6. Partisipan mencemaskan jika harus mengajar bersama guru lain secara bergantian
pada kelas yang sama, yang memungkinkan terjadinya ketidak-cocokan atau
persaingan (Semua partisipan mencemaskan hal ini)
7. Karena kurangnya guru di tujuan mereka, partisipan mencemaskan jika kepada
mereka diberikan kepercayaan menjadi guru tunggal, misalnya di SMP atau SMA
kelas 1,2,3. Khususnya jika harus mengajar siswa kelas 3 yang akan menghadapi
UN; atau diberikan banyak tanggung jawab. (Ada 3 partisipan mencemaskan hal
ini)
8. Partisipan mencemaskan kondisi jauh dari rumah akan membuat mereka rindu pada
keluarga dan tidak dapat berbagi permasalahan dengan keluarga. (Dua partisipan
yang semasa kuliahnya tinggal dekat dengan keluarganya mencemaskan hal ini)
Diskusi dan Kesimpulan
Prestasi para mahasiswa calon guru dalam penelitian ini dan keaktifan mereka berorganisasi
tidak menjadikan mereka manusia yang tidak memiliki kecemasan. Mereka menyadari
keterbatasan mereka selaku orang-orang muda yang belum berpengalaman, yang masih perlu
banyak belajar untuk dapat menjadi guru yang baik.
Kecemasan mereka tentang keuangan, berubahan status dari mahasiswa menjadi guru,
tanggung jawab, dan hidup jauh dari keluarga, semuanya tercakup juga dalam penelitian
yang dilakukan oleh Rokler-Gladen (2008) yang berjudul College Senior Year Graduation
Blues. Pada penelitian ini Rokler-Gladen menjelaskan tentang bagaimana mahasiswa yang
tidak gembira di hari wisudanya karena cemas memikirkan tentang masalah-masalah
keuangan, identitas mereka yang baru, kurikulum, nilai akademik, mencari pekerjaan,
kerinduan pada rumah, perubahan status, dan tanggung jawab, yang akan mereka hadapi.
Walau mengungkapkan berbagai kecemasan seperti yang telah dinyatakan diatas, para
mahasiswa calon guru dalam penelitian ini menyatakan juga bahwa menjadi guru yang baik
memerlukan suatu proses dan mereka menyatakan siap untuk menghadapi tantangan dari
tugas mereka menjadi guru di waktu mendatang.
Daftar Pustaka
Atkinson dkk. (1996). Pengantar Psikologi.Jilid Kedua. Edisi Kedelapan, Jakarta: Erlangga.
Chaplin,J.F. (2001). Kamus Lengkap Psikologi, Terjemahan. Jakarta: Rajawali.
Diknas (2003) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang system
Pendidikan Nasional
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
182 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Makur, A.P & Prahmana, R.C.I. (2015). Penyebab Kecemasan Matematika Mahasiswa
Calon Guru Asal Papua. Jurnal Elemen, Vol 1. No. 1. Hal 1-12.
Nawawi, H. (2000). Penelitian terapan. Yogyakarta : Gajah Mada University.
Post. (1978). Definisi Kecemasan.(online). Tersedia:
http//www.definisikecemasan//pengertian.com.
Rokler-Gladen (2008) College Senior Year Graduation Blues. Tersedia :
http://campuslife.suite101.com/article.cfm/senior_year_graduation_blues#ixzz0EbxS
z2Pe&B
Sunarto (2008) Membangun Kompetensi Guru Efektif . Tersedia :
http://www.google.co.id/search?q=kecemasan+calon+guru&ie=utf-8&oe=utf-
8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a
Syamsu,Yusuf,L.N. (2006). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Taylor,S.E. (2006). Health Psychology. Singapore: Mc.Graw Hill. Inc.
Tresna. (2011). Efektivitas Konseling Behavioral dengan Teknik Desensitisasi Sistematis
untuk Mereduksi Kecemasan Menghadapi Ujian.Edisi khusus 1 Agustus 2011:90-
104
Wahyudin (2009) Metodologi penelitian Pendidikan. Bandung : UPI
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 183
PENERAPAN PENDEKATAN INDUKTIF TERHADAP HASIL
BELAJAR MAHASISWA
Maya Siti Rohmah
STKIP Siliwangi
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pembelajaran induktif terhadap
hasil belajar mahasiswa pada mata kuliah aljabar umum. Penelitian kuasi eksperimen
ini mengambil populasi mahasiswa STKIP Siliwangi semester I tahun ajaran
2015/2016, dengan sampel 2 kelas. Satu kelas menggunakan pembelajaran dengan
pendekatan induktif, dan satu kelas lainnya dengan pembelajaran konvensional. Hasil
penelitianmenunjukkan bahwa hasil belajar mahasiswa yang menggunakan
pembelajaran induktif lebih baik daripada hasil belajar yang menggunakan
pembelajaran konvensional.
Kata Kunci:Pendekatan Induktif, hasil belajar
1. Pendahuluan
Pendidikan matematika, sebagai bagian dari pendidikan nasional dipelajari di setiap tingkat
pendidikan. Terlebih pada tingkat perguruan tinggi yang menjuruskan mahasiswanya untuk
mempelajari matematika. Program studi pendidikan matematika STKIP Siliwangi adalah
salah satunya. Mahasiswa yang melanjutkan pendidikan di program studi pendidikan
matematika STKIP Siliwangi sangatlah beragam dengan tujuan untuk menghasilkan calon-
calon pendidik yang memiliki kualitas yang baik sebagai salah satu upaya untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Berangkat dari tujuan di atas, kemampuan dasar matematika haruslah baik. Salah satu mata
kuliah yang mengajarkan kemampuan dasar matematika adalah aljabar umum. Dalam mata
kuliah ini, mahasiswa dilatih untuk menguasai dasar-dasar aljabar, seperti logaritma, fungsi,
dan deret. Mengingat keberagaman latar belakang mahasiswa, perlu dilakukan suatu
pembelajaran yang dapat melatih kemampuan berfikir. Banyak model pembelajaran yang
dapat dilakukan untuk mata kuliah ini, salah satunya model pembelajaran induktif.
Model pembelajaran induktif merupakan model pembelajaran dari khusus ke umum. Pada
model pembelajaran ini, bahan-bahan yang diajarkan dimulai dari hal yang konkrit atau
contoh-contoh nyata, kemudian secara perlahan mahasiswa diarahkan dan dihadapkan
menuju materi yang kompleks dan sukar.
Model pembelajaran induktif dapat meningkatkan kemampuan berfikir, ini berarti model ini
juga dapat mempengaruhi hasil belajar mahasiswa. Model ini pertama kali oleh Taba.
Asumsi yang mendasari model ini adalah proses berfikir dapat dipelajari, proses berfikir
adalah suatu transaksi aktif antara individu dan data, dan mengembangkan proses berfikir
dengan urutan yang “sah menurut aturan”. (Joyce, et all, 2000).
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
184 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Berdasarkan pemaparan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: apakah hasil
belajar mahasiswa yang pembelajarannya menggunakan model induktif lebih baik daripada
mahasiswa yang pembelajarannya konvensional?.
Adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui apakah hasil belajar mahasiswa yang
pembelajarannya menggunakan model induktif lebih baik daripada mahasiswa yang
pembelajarannya konvensional?. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan alternatif
dalam pemilihan pendekatan pembelajaran di kelas.
2. Metode Penelitian 2.1 Desain Penelitian
Penelitian merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan desain posttest only control group
design. (Ruseffendi, 2010) sebagai berikut:
X O
O
Keterangan:
X : Perlakuan menggunakan pendekatan induktif
O : Tes hasil belajar
2.2 Populasi dan Instrumen
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa STKIP Siliwangi semester I tahun
ajaran 2015/2016 dengan sampel dua kelas, kelas A2 sebagai kelas eksperimen dan kelas A1
sebagai kelas kontrol. Adapun instrumen yang digunakan adalah seperangkat soal tes hasil
belajar yang berupa soal uraian.
2.3 Pengolahan Data
Data yang diperoleh merupakan data kuantitatif dan diolah dengan menggunakan SPSS 22.
Normalitas rerata dihitung dengan menggunakan uji Kolmogorof-Smirnov dan uji perbedaan
rerata dihitung dengan menggunakan uji Mann-Whitney.
3. Hasil dan Pembahasan
Tabel 1. Tes Hasil Belajar
Pembelajaran N Hasil Tes
S
Induktif 45 48,6889 14,5161
Konvensional 35 34,8 21,472
Keterangan :Skor Ideal Tes = 100
Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa rerata nilai hasil belajar mahasiswa yang menggunakan
model pembelajaran induktif lebih baik daripada rerata nilai hasil belajar mahasiswa yang
menggunakan pembelajaran konvensional.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 185
Hasil perolehan di atas selanjutnya diuji dengan menggunakan uji perbedaan rerata untuk
mendukung dekripsi hasil belajar.
3.1 Uji Normalitas Rerata N-gain Hasil perhitungan uji normalitas dengan menggunakan SPSS 22 terhadap rerata data N-gain,
dengan taraf kepercayaan 95% disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Data Uji Normalitas Rerata Hasil Belajar
Pembelajaran Kolmogorov-Smirnov
Kesimpulan N Sig. Ket.
Hasil Belajar Induktif 39 0,011 Ho Ditolak Tidak Normal
Konvensional 35 0,188 Ho Diterima Normal
Ho : data sampel berasal dari populasi berdistribusi normal
Tabel 2 menunjukkan kedua data tidak berdistribusi normal. Oleh karena itu pengujian
perbedaan dua rerata dilakukan dengan menggunakan uji Mann-Whitney.
3.2 Uji Perbedaan Rerata Hasil Belajar
21: oH
21: aH Kriteria pengujian : jika sig.> 0,05 maka diterima
Adapun hasil perhitungan disajikan dalam Tabel 3 di bawah ini:
Tabel 3. Data Uji Perbedaan Rerata Hasil Belajar
Pembelajaran
Sig.
Mann-Whitney
(2-pihak)
Sig.
Mann-Whitney
(1-pihak)
Ket. Kesimpulan
Hasil
Belajar
Induktif 0,001 0,0005 Ho Ditolak Ha Diterima
Konvensional
Hasil perhitungan uji perbedaan rerata pada Tabel 3 menunjukkan signifikansi (2-pihak)
hasil perhitungan uji Mann-Whitney dari data N-gain adalah 0,001. Sehingga dapat dihitung
sig. (1-pihak) = 0,001 = 0,0005. Nilai signifikansi ini lebih kecil dari 0,05, maka Ho
ditolak. Artinya, hasil belajar mahasiswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan
induktif secara signifikan lebih baik daripada hasil belajar mahasiswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional.
3.3 Pembahasan
Rerata skor hasil belajar mahasiswa di kelas dengan pendekatan induktif berbeda cukup jauh
dengan rerata skor hasil belajar mahasiswa di kelas konvensional. Setelah diuji dengan
menggunakan uji perbedaan rerata, ternyata hasil belajar mahasiswa di kelas dengan
pendekatan induktif lebih baik daripada hasil belajar siswa di kelas konvensional. Hal ini
dapat dilihat dari nilai sig.< 0,05.
Menurut Yamin (2011 : 97) belajar merupakan proses peserta didik membangun gagasan/
pemahaman sendiri, maka kegiatan pembelajaran hendaknya mampu memberikan
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
186 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
kesempatan seluas-luasnya kepada peserta didik untuk berbuat, berpikir, berinteraksi sendiri
secara lancar dan termotivasi tanpa hambatan pembelajar. Joyce, et.al (2009:114)
mengemukakan bahwa model berpikir induktif meyakini bahwa siswa sebagai peserta didik
merupakan konseptor ilmiah. Oleh karena itu, penggunaan pendekatan induktif di kelas
dapat membuat hasil belajar menjadi lebih baik.
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan sebelumnya, diperoleh kesimpulan hasil
belajar mahasiswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan induktif secara
signifikan lebih baik daripada hasil belajar mahasiswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional.
Daftar Pustaka
Joyce, et all.(2000). Models of Teaching. Amerika: A. Pearson Education Copmpany.
Joyce, et all. (2009). Models of Teaching. (Edisi Kedelapan) (Achmad Fawaid & Ateilla
Mirza, penterjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ruseffendi, E. T. (2010). Dasar-DasarPenelitianPendidikandanBidang Non-
EksaktaLainnya.EdisiCetakPertama. Bandung.:Tarsito.
Yamin M,. (2011). Paradigma Baru Dalam Pembelajaran. Jakarta : Gaung Persada
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 187
PENINGKATAN KEMANDIRIAN BELAJAR MAHASISWA
MELALUI PEMBELAJARAN PERSONALIZED SYSTEM OF
INSTRUCTION
Ratni Purwasih
STKIP Siliwangi
ABSTRAK
Penelitian ini dilatar belakangi karena kemandirian belajar mahasiswa masih rendah
dan penulis mempunyai gagasan untuk menciptakan kemandirian belajar mahasiswa
dan hasil belajar meningkat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan hasil
sebelum dan sesudah kemandirian belajar mahasiswa melalui pembelajaran
personalized system of instruction. Model Pembelajaran Personalized System of
Instruction (PSI) adalah model pengajaran individual atau model pembelajaran
personal dan pembelajaran tuntas (mastery learning) yang lebih menekankan pada
interaksi siswa dengan materi/objek belajar, serta siswa dibantu oleh seorang tutor
yang dapat berupa guru atau teman satu kelasnya untuk mencapai ketuntasan
belajarnya sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Dalam penelitian ini,
penulis menggunakan metode penelitian tindakan kelas untuk mengetahui seberapa
meningkat kemandirian belajar mahasiswa dengan menggunakan Pembelajaran
Personalized System of Instruction. Sampel penelitian ini adalah mahasiswa kelas A1
angkatan 2016. Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat kemandirian/ belajar
mahasiswa pra siklus adalah 52,91% tingkat rendah. Sedangkan hasil siklsus I dan II
berturut turut sebesar 51.92% tingakt sedang dan sebesar 55,76% level tinggi. Hal ini
berarti dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Personalized System of Instruction
mampu meningkatkan kemandirina belajar mahasiswa kelas A1 angkatan 2016.
Kata Kunci: Personalized System of Instruction, Kemandirian Belajar
A. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Dalam era informasi sekarang dan suasana bersaing yang semakin ketat, dalam upaya
memiliki kemampuan, keterampilan, dan perilaku positif dalam matematika, siswa perlu
memiliki kemandirian belajar. Menurut Hargis dan Kerlin (Sumarmo, 2014:338)
mengemukakan bahwa kemandirian belajar (self regulated learning) merupakan proses
perancangan dan pemantauan diri yang seksama terhadap proses kognitif dan afektif dalam
menyelesaikan suatu tugas akademik, serta siswa yang memiliki kemandirian belajar yang
tinggi cenderung lebih baik dalam pengawasannya sendiri, mampu memantau,
mengevaluasi, dan mengatur belajarnya secara efektif; menghemat waktu dalam
menyelesaikan tugasnya; dan mengatur belajar dan waktu secara efisien.
Berdasarkan uraian diatas, terdapat tiga langkah utama dalam kemandirian belajar
(Sumarmo, 2014:338, yaitu: 1) merancang belajarnya sendiri sesuai dengan tujuannya, 2)
memilih strategi dan melaksanakan rancangan belajarnya: dan 3) memantau kemajuan
belajarnya sendiri, mengevaluasi hasil belajarnya dan dibandingkan dengan standar tertentu.
Selain cara mengajar guru, rendahnya hasil belajar siswa juga disebabkan lemahnya siswa
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
188 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
dalam kemampuan dasar matematika lainnya serta sikap belajar siswa yang kurang baik.
Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seorang guru kepada siswanya.
Siswa sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan. Apalagi pada mahasiswa,
dalam dunia kerja mereka dituntut untuk bisa lebih meningkatkan kemandirian kerja sesuai
aturan dan sistem yang berlaku. Untuk itulah harus diupayakan sebuah metode atau model
pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan situasi siswa saat ini. Pembelajaran Personalized
of System Instruction sebagai solusi permasalahan yang telah dikemukakan di atas. Menurut
Majid (2013:167) bahwa Personalized System of Instruction (PSI) merupakan model
pembelajaran yang dikembangkan oleh Freds Keller yang pada awalnya lebih dikenal
dengan nama The Keller Plan, yang lebih menekankan pada interaksi antara siswa dengan
materi atau objek belajar. Personalized System of Instruction (PSI) ini termasuk jenis
pengajaran individual dan pembelajaran tuntas (mastery learning). Model pembelajaran PSI
ini berisi tujuan instruksional khusus tentang unit yang dipelajari dan bertindak sebagai
penghubung antara buku teks (materi buku) dengan pertanyaan-pertanyaan (Ruseffendi,
2006:372). Model pembelajaran ini memberi kesempatan kepada siswa untuk memilih jalur
unit yang akan dipelajarinya serta siswa diberi keleluasaan untuk belajar sesuai dengan
kecepatannya (Ruseffendi, 2006:372). Sebagai suatu metode yang menerapkan sistem
ketuntasan belajar, PSI sangat mementingkan perhatian terhadap perbedaan individu dalam
menguasai materi yang dipelajari. Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran
PSI ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan komunikasi dan penalaran matematik
siswa, karena dengan model pembelajaran Personalized System of Instruction ini guru dapat
mempertinggi rata-rata prestasi peserta didik dalam belajar dengan memberikan kualitas
pembelajaran yang lebih sesuai, bantuan, serta perhatian khusus bagi siswa yang lambat agar
menguasai standar kompetensi atau kompetensi dasar.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu diteliti sejauh mana meningkatkan kemandirian
belajar mahasiswa melalui model pembelajaran personalized system of Instruction.
1.2. Rumusan Masalah
Apakah penggunaan model pembelajaran Personalized System of Instruction pada mata
kuliah Metode Pembelajaran Matematika SD akan meningkatkan kemandirian belajar
mahasiswa kelas A1 2016 Pendidikan Matematika?
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk menelaah peningkatkan kemandirian belajar dan hasil belajar mahasiswa kelas A1
2016 Pendidikan Matematika melalui penggunaan model pembelajaran Personalized System
of Instruction pada mata kuliah Metode Pembelajaran Matematika SD.
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Memperluas wawasan guru tentang startegi pembelajaran matematika untuk
menambah hasil belajar siswanya.
b. Meningkatkan kreatifitas guru menciptakan pembelajaran yang menarik
c. Memperkaya pengalaman guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran
matematika sesuai dengan kemampuan matematis yang akan dikembangkan.
1.5. Definisi Operasional
a. Kemandirian Belajar Siswa Kemandirian belajar (self regulated learning) merupakan proses perancangan dan
pemantauan diri yang seksama terhadap proses kognitif dan afektif dalam menyelesaikan
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 189
suatu tugas akademik. Indikator atau tiga langkah utama dalam (self regulated learning) atau
kemandirian belajar yaitu:
a. merancang belajarnya sendiri sesuai dengan tujuannya.
b. memilih strategi dan melaksanakan rancangan belajarnya.
c. memantau kemajuan belajarnya sendiri, mengevaluasi hasil belajarnya dan
d. dibandingkan dengan standar tertentu.
b. Model Pembelajaran Personalized System of Instruction
Model Pembelajaran Personalized System of Instruction adalah model pengajaran individual
atau model pembelajaran personal dan pembelajaran tuntas (mastery learning) yang lebih
menekankan pada interaksi siswa dengan materi/objek belajar, serta siswa dibantu oleh
seorang tutor yang dapat berupa guru atau teman satu kelasnya untuk mencapai ketuntasan
belajarnya sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Adapun Langkah-langkah
pembelajaran PSI (Personalized System of Instruction):
a. Sebelum KBM, siswa ditugasi untuk memahami materi pelajaran dan soal-
soalnya, yang tidak dipahami dicatat untuk diajukan pada proses KBM.
b. Posisi duduk siswa berkelompok empat orang, mengawali pembelajaran dengan
apersepsi untuk membangkitkan minat siswa dari masalah yang dimiliki siswa.
c. Siswa memperagakan konsep awal untuk mendapat kesepakatan.
d. Pemberian masalah untuk didiskusikan dan dipecahkan bersama kelompok.
e. Presentasi hasil kerja kelompok.
f. Evaluasi dan refleksi.
g. Siswa yang belum memenuhi ketuntasan minimal harus ditindak lanjuti oleh guru
dan diakhiri remedial, begitu seterusnya.
B. Kajian Teoritis
2.1. Kemandirian Belajar
Kemandirian belajar memiliki kesamaan karakteristik arti dengan beberapa istilah diranah
kognitif lainnya. Istilah tersebut antara lain diantaranya self regulated learning, self regulated
thinking, self directed learning, self efficacy, dan self-esteem. Kemandirian belajar menurut
ahli psikologi memiliki pengertian yang beragam, yang pertama Menurut Montalvo dan
Torres (Sugandi, 2010:31) memberikan pengertian kemandirian belajar sebagai gabungan
antara keterampilan dan kemauan. Kemudian Wolters, Pintrich, dan Karabenick (Sugandi,
2010:31) menegaskan bahwa kemandirian belajar adalah suatu proses konstruktif dan aktif
dimana siswa menentukan tujuan dalam belajar, dan perilaku dengan dibimbing dan dibatasi
oleh tujuan dan karakteristik kontekstual dalam lingkungan.
Demikian pula menurut Hargis dan Kerlin (Sumarmo, 2014:110) SRL (self regulated
learning) didefinisikan sebagai upaya memperdalam dan memanipulasi jaringan asosiatif
dalam suatu bidang tertentu, dan memantau serta meningkatkan proses pendalaman yang
bersangkutan. Definisi tersebut menunjukkan bahwa SRL merupakan proses perancangan
dan pemantauan diri yang seksama terhadap proses kognitif dan afektif dalam menyelesaikan
suatu tugas akademik. Dalam hal ini SRL bukan merupakan kemampuan mental atau
kemampuan akademik tertentu seperti kefasihan membaca, namun merupakan proses
pengarahan diri dalam mentransformasi kemampuan mental ke dalam keterampilan
akademik.
Selanjutnya Bandura (Sumarmo, 2014:110) mendefinisikan SRL (self regulated learning)
sebagai kemampuan memantau perilaku sendiri dan merupakan kerja-keras personality
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
190 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
manusia. Hampir serupa dengan Bandura, Schunk dan Zimmerman (1998) mendefinisikan
SRL (self regulated learning) sebagai proses belajar yang terjadi karena pengaruh dari
pemikiran, perasaan, strategi, dan perilaku sendiri yang berorientasi pada pencapaian tujuan.
Menurut Sumarmo (2014:113) dari berbagai karakterisitik yang telah dipaparkan oleh para
pakar di atas dirumuskan tiga karakteristik yang serupa yang termuat dalam pengertian SRL,
adalah: 1) Individu merancang belajarnya sendiri sesuai dengan keperluan atau tujuan
individu yang bersangkutan; 2) Individu memilih strategi dan melaksanakan rancangan
belajarnya: kemudian 3) Individu memantau kemajuan belajarnya sendiri, mengevaluasi
hasil belajarnya dan dibandingkan dengan standar tertentu.
Paris dan Winograd (Sumarmo, 2014:109) mengemukakan karakteristik lain yang termuat
dalam SRL (self regulated learning) dan SRT (self regulated thinking) yaitu: kesadaran
akan berpikir, penggunaan strategi, dan motivasi yang berkelanjutan. SRL tidak hanya
berpikir tentang berpikir, namun membantu individu menggunakan berpikirnya dalam
menyusun rancangan, memilih strategi belajar, dan menginterpretasi penampilannya
sehingga individu dapat menyelesaikan masalahnya secara efektif. Rochester Institute of
Techonology (2000), mengidentifikasi beberapa karakteristik lain dalam SRL (self regulated
learning) yaitu:
a. Memilih tujuan belajar;
b. Memandang kesulitan sebagai tantangan;
c. Memilih dan menggunakan sumber yang tersedia;
d. Bekerjasama dengan individu lain;
e. Membangun makna;
f. Memahami pencapaian keberhasilan tidak cukup hanya dengan usaha dan
g. kemampuan saja namun harus disertai dengan kontrol diri.
Istilah lain yang berelasi dengan SRL, dikemukakan oleh Lowry (Sumarmo, 2014:110)
yaitu self directed learning (SDL) yang didefinisikan sebagai suatu proses dimana individu:
berinisiatif belajar dengan atau tanpa bantuan orang lain; mendiagnosa kebutuhan belajarnya
sendiri, merumuskan tujuan belajar; mengidentifikasi sumber belajar yang dapat
digunakannya; memilih dan menerapkan strategi belajar, dan mengevaluasi hasil belajarnya.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa kemandirian dalam belajar
adalah perubahan dalam diri seseorang dalam proses belajar secara mandiri tanpa tergantung
pada orang lain untuk memecahkan suatu permasalahan. Berdasarkan pendapat para ahli di
atas tentang indikator/karakteristik dari kemandirian belajar, dapat disimpulkan bahwa
indikator kemandirian belajar menurut Sumarmo (2015) adalah:
a. Berinisiatif belajar dengan atau tanpa bantuan orang lain;
b. Mendiagnosa kebutuhan belajarnya sendiri;
c. Merumuskan/memilih tujuan/target belajar;
d. Memilih dan menggunakan sumber;
e. Memilih strategi belajar, dan mengevaluasi hasil belajarnya;
f. Bekerjasama dengan orang lain;
g. Membangun makna; dan
h. Mengontrol diri.
Adapun indikator yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Berinisiatif belajar atau merancang belajarnya sendiri sesuai dengan tujuannya;
b. Memilih strategi dan melaksanakan rancangan belajarnya; dan
c. Memantau kemajuan belajarnya sendiri, mengevaluasi hasil belajarnya dan
d. dibandingkan dengan standar tertentu.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 191
2.2. Model Pembelajaran Personalized System of Instruction
Freds Keller (Majid, 2013:167) mengatakan bahwa Personalized System of Instruction (PSI)
merupakan model pembelajaranyang lebih menekankan pada interaksi antara siswa dengan
materi atau objek belajar. Pembelajaran tuntas (mastery learning)dan pembelajaran personal
atau individual merupakan sistem pengajaran pada model pembelajaran Personalization
System of Instruction (PSI). Tipe ini memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk memilih
jalur unit yang akan dipelajarinya serta siswa diberi keleluasaan untuk belajar sesuai dengan
kecepatannya dan siswa dapat meminta soal tes bila ia sudah siap untuk menempuhnya. Bila
hasil ulangannya tidak memuaskan ia dapat mengulanginya. Model pembelajaran
Personalized System of Instruction (PSI) ini berisi tujuan instruksional khusus tentang unit
yang dipelajari dan bertindak sebagai penghubung antara buku teks (materi buku) dengan
pertanyaan-pertanyaan (Nurpratama, 2014:13). Langkah-langkah pembelajaran PSI
(Personalized System of Instruction) menurut (Susilawati, 2012:195):
a. Sebelum KBM, siswa ditugasi untuk memahami materi pelajaran dan soal-
soalnya, yang tidak dipahami dicatat untuk diajukan pada proses KBM.
b. Posisi duduk siswa berkelompok empat orang, mengawali pembelajaran
dengan apersepsi untuk membangkitkan minat siswa dari masalah yang
dimiliki siswa.
c. Siswa memperagakan konsep awal untuk mendapat kesepakatan.
d. Pemberian masalah untuk didiskusikan dan dipecahkan bersama kelompok.
e. Presentasi hasil kerja kelompok.
f. Evaluasi dan refleksi.
g. Siswa yang belum memenuhi ketuntasan minimal harus ditindak lanjuti oleh guru
dan diakhiri remedial, begitu seterusnya.
Ciri-ciri pembelajaran PSI (Personalized System Instruction) menurut Sukarto (Nurpratama,
2014:22) yaitu:
a. Memungkinkan siswa maju menurut kemampuan masing-masing;
b. Adanya persyaratan penguasaan yang sempurna bagi setiap unit pembelajaran
c. sebelum maju ke unit pelajaran berikutnya;
d. Menggunakan ceramah dan demonstrasi sebagai alat untuk memberikan
e. motivasi kepada siswa;
f. Komunikasi guru siswa ditekankan pada penggunaan materi-materi
g. pembelajaran tertulis dalam bentuk program;
h. Menggunakan system proctor, yaitu pemberian tes secara berulang-ulang untuk
memberikan penilaian secara cepat dan sebagai umpan balik bagi pemberian bantuan
kepada siswa yang membutuhkan;
i. Menggunakan siswa tutor, yaitu siswa yang pandai memberi bimbingan belajar
kepada siswa yang kurang atau lemah;
j. Memungkinkan adanya aspek personal dan sosial dalam proses pendidikan.
Prosedur Pelaksanaan Personalized System Instruction menurut Sukarto (Nurpratama,
2014:22) yaitu:
a. Merumuskan sejumlah tujuan pembelajaran yang akan dicapai oleh siswa;
b. Menentukan patokan penguasaan atau materi pembelajaran yang akan dipelajari;
c. Merumuskan satuan pelajaran yang merupakan pokok - pokok bahasa yang
akan dipelajari dalam rangka mencapai tujuan;
d. Pokok-pokok bahasa itu dipecah ke dalam bagian bagian lebih kecil sehingga dapat
dipelajari secara tuntas;
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
192 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
e. Prosedur pembelajaran ditentukan untuk dilakukan siswa dalam rangka mencapai
tujuan.
Salah satu keberhasilan pembelajaran personalized system of instructiondapat dilihat dari
prestasi akademik yang dicapai oleh mahasiswa. Nilai mahasiswa dinyatakan dalam bentuk
huruf A, B, C, D, dan E. Nilai matakuliah Dalam Daftar Nilai Ujian terdapat informasi
tentang IPK yang merupakan rata- rata nilai yang diperoleh dalam setiap semester.
3. Metode Penelitian
3.1 Desain Penelitian Desain penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas (action research) yang terdiri
dari 2 (dua) siklus dengan 6 minggu efektif pada setiap siklusnya.
3.2 Populasi dan Sampel Penelitian
Subyek penelitian adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika kelas A1 STKIP
Siliwangi yang menempuh mata kuliah metode pembelajaran matematika SD pada semester
ganjil tahun ajaran 2016/2017.
3.3 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini adalah (1) Tes prestasi belajar,
untuk mengukur kemampuan mahasiswa dalam penguasaan materi perkuliahan, (2) Angket
kemandirian belajar mahasiswa, untuk mengukur apakah model pembelajaran yang
diberikan dapat meningkatkan kemandirian belajar mahasiswa, dan (3) Angket tanggapan
mahasiswa, untuk mengukur keterlaksanaan pembelajaran personalized system of intruction.
3.4 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas dari Kemmis dan Targgart yang terdiri
atas empat tahap yaitu perencanaan (plan), pelaksanaan tindakan (act), pengamatan
(observe) dan kemudian refleksi (reflect).
1. Tahap Perencanaan
Pada tahap perencanaan, peneliti mempersiapkan materi-materi perkuliahan Metode
Penelitian Matematika SD yang akan disajikan melalui pembelajaran personalized system of
instruction dengan kompetensi dasar yang harus dicapai mahasiswa, instrumen penelitian,
dan rencana tindakan.
2. Tahap Pelaksanaan
Penelitian ini terdiri dari siklus–siklus, kegiatan setiap siklusnya adalah Pada pembelajaran
personalized system of instruction awal siklus pertama, dosen menjelaskan dan
mendiskusikan rencana perkuliahan meliputi gambaran pelaksanaan perkuliahan, sistem
penilaian, metode pembelajaran, dan hal–hal teknis seperti bagaimana mahasiswa dapat
mengikuti perkuliahan di kelas melalui pembelajaran personalized system of intruction,
mengumpulkan tugas, berdiskusi dan bertanya dalam kelas dengan teman sebaya maupun
dengan dosen selama satu semester.
Adapun langkah pembelajaran personalized system of intructionsebagai berikut ini:
a. Sebelum KBM, mahasiswa ditugasi untuk memahami materi pelajaran dan soal-
soalnya, yang tidak dipahami dicatat untuk diajukan pada proses KBM.
b. Posisi duduk siswa berkelompok empat orang, mengawali pembelajaran dengan
apersepsi untuk membangkitkan minat siswa dari masalah yang dimiliki siswa.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 193
c. Siswa memperagakan konsep awal untuk mendapat kesepakatan.
d. Pemberian masalah untuk didiskusikan dan dipecahkan bersama kelompok.
e. Presentasi hasil kerja kelompok.
f. Evaluasi dan refleksi.
g. Siswa yang belum memenuhi ketuntasan minimal harus ditindak lanjuti oleh
guru dan diakhiri remedial, begitu seterusnya.
3. Tahap Pengamatan
Pengamatan dilakukan terhadap proses tindakan, bagaimana perkulihan berlangsung,
kesulitan apa saja yang dihadapi mahasiswa selama proses perkuliahan. Pengaruh tindakan
terhadap peningkatan kemandirian dan hasil belajar juga diamati serta pengamatan terhadap
hasil tindakan yang dilakukan, dan seberapa jauh tindakan membantu pencapaian tujuan
penelitian. Pengamatan dilakukan oleh observer. Diskusi antara peneliti dengan observer
dilakukan setelah akhir pembelajaran dan digunakan untuk pembelajaran berikutnya.
4. Tahap Refleksi
Setelah siklus I berakhir, dilakukan refleksi oleh peneliti dan observer. Refleksi dilakukan
berdasarkan seluruh hasil pengamatan, tugas, ujian sisipan mahasiswa dan angket
kemandirian mahasiswa. Hasil dari refleksi tersebut menjadi salah satu dasar dalam
penyusunan rencana tindakan pada siklus II. Apabila evaluasi pada siklus II terdapat
peningkatan kemandirian dan hasil belajar mahasiswa maka siklus dihentikan. Namun
apabila terjadi perkembangan sehingga peneliti memandang perlu diberikan tambahan
tindakan untuk mengoptimalkan tercapainya tujuan penelitian maka diberikan tindakan
berikutnya pada siklus III.
3.5 Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Untuk mendekripsikan tanggapan
mahasiswa terhadap model pembelajaran persoanlized system of instruction, digunakan
angket yang diberikan kapada mahasiswa. Hasil angket dianalisis dengan cara sebagai
berikut mahasiswa dikatakan mempunyai tanggapan yang positif terhadap model
pembelajaran persoanlized system of instructionjika jumlah persentase mahasiswa yang
memilih kategori sangat setuju dan sangat setuju lebih besar dari jumlah persentase
mahasiswa yang memilih kategori ragu–ragu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Dari
penjumlahan seluruh skor dari items angket kemandirian masing-masing mahasiswa, guna
memberi interpretasi skor dilakukan kategorisasi mahasiswa yaitu mahasiswa dengan
kemandirian belajar tinggi, sedang, dan rendah. Mahasiswa dikategorikan mempunyai self
regulated learning yang tinggi jika melakukan strategi–strategi self regulated learning.
Analisis deskriptif persentase digunakan untuk menggambarkan fenomena penelitian yaitu
motivasi belajar dan kemadirian belajar mahasiswa.
Rumus yang digunakan adalah:
P =
Keterangan:
P = Persentase nilai yang diperoleh
n = Jumlah skor yang diperoleh
N = Jumlah seluruh nilai ideal, dicari dengan cara jumlah aitem dikalikan nilai ideal tiap
item (Ali 1993).
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
194 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Hasil kuantitatif dari perhitungan dengan rumus tersebut selanjutnya diubah dan ditafsirkan
dengan kalimat yang bersifat kualitatif. Variabel kemadirian belajar mahasiswa ditafsirkan
secara kualitatif ke dalam lima kriteria. Menurut Hendrayana, dkk (2014) adapun langkah-
langkah untuk menentukan jenjang kriteria tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Menetapkan persentase maksimal yaitu (5 : 5) x 100% = 100%
b. Menetapkan persentase minimal yaitu (1 : 5) x 100% = 20%
c. Menetapkan rentang persentase, Rentang persentase diperoleh dengan cara
mengurangi persentase tertinggi (100%) dengan persentase terendah (20%) yaitu 80%
d. Menetapkan panjang kelas interval persentase
Panjang kelas interval persentase diperoleh dengan cara membagi rentang persentase
dengan banyaknya kriteria. Banyaknya kriteria yang dipakai adalah sejumlah lima
kriteria yakni sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, sangat rendah sehingga panjang
kelas interval persentasenya adalah 80% : 5 = 16%.
e. Menetapkan jenjang kriteria
Berdasarkan hasil perhitungan dengan tahapan-tahapan tersebut, maka jenjang kriteria
penilaian tingkat motivasi belajar dan kemandirian belajar dapat dilihat pada Tabel 1 .
Tabel 1
Kriteria Penilaian Kemandirian Belajar
Interval Kriteria
85%-100% Sangat Tinggi
69%-84% Tinggi
53%-68% Sedang
37%-52% Rendah
20%-36% Sangat Rendah
Kriteria penilaian kemandirian belajar pada Tabel 1, dapat mempermudah peneliti dalam
menentukan gambaran tingkat motivasi belajar dan kemandirian belajar mahasiswa.
3. Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis, diperoleh tingkat motivasi belajar dan kemandirian belajar
mahasiswa kelas A1 mata kuliah Metode Pembelajaran Matematika SD yang disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2
Hasil Evaluasi Pra Siklus
KrKriteria Kemandirian Belajar
Jumlah Presentase
Sangat Tinggi 3 5,77
Tinggi 10 19,23
Sedang 12 23,08
Rendah 27 51,92
Sangat Rendah 0 0
Berdasarkan Tabel 2penelitian tentang kemandirian belajar mahasiswa menunjukkan bahwa
rata- rata tingkat kemandirian mahasiswa termasuk dalam kriteria rendah dengan persentase
51,92%. Banyak faktor yang mempengaruhi kontribusi terhadap pencapaian nilai rata- rata
mahasiswa, salah satunya motivasi belajar. Motivasi belajar sangat penting dalam proses
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 195
pembelajaran karena proses belajar membutuhkan interaksi dan partisipasi aktif dari peserta
didik untuk berhasil. Tingkat motivasi belajar mahasiswa termasuk dalam faktor yang
mendukung dalam diri mereka untuk berprestasi.
Dari hasil tersebut, dapat diketahui bahwa mahasiswa dengan tingkat kemandirian belajar
yang berada di kriteria yang rendah harus dilakukan siklus I untuk perbaikan melaksanakan
pembelajaran dengan menekankan belajar mandiri dalam proses pembelajaran. Kesiapan dari
individu yang mau dan mampu untuk belajar dengan inisiatif sendirinya masih kurang.
Adapun hasil dari siklsu I adalah sebagai berikut ini:
Tabel 3
Hasil Evaluasi Siklus I
KrKriteria Kemandirian Belajar
Jumlah Presentase
Sangat Tinggi 7 13,46
Tinggi 18 34,61
Sedang 27 51,92
Rendah 0 0
Sangat Rendah 0 0
Adapun hasil dari siklus II adalah sebagai berikut ini:
Tabel 4
Hasil Evaluasi Siklus II
KrKriteria Kemandirian Belajar
Jumlah Presentase
Sangat Tinggi 8 15,38
Tinggi 29 55,76
Sedang 15 28,86
Rendah 0 0
Sangat Rendah 0 0
Uraian tabel 1 dan 2 menunjukan bahwa tingkat kemandirian belajar mahasiswa setelah
pembelajaran personalized system of intruction memperlihatkan ada peningkatan yang
signifikan. Hal ini berarti penggunaan pembelajaran personalized system of intruction dapat
meningkatkan kemandirian belajar mahasiswa A1 2016 STKIP Siliwangi tahun ajaran
2016/2017.
5. Kesimpulan dan Saran
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah pembelajaran personalized system of intruction dapat
meningkatkan kemandirian belajar mahasiswa kelas A1 2016 STKIP Siliwangi tahun ajaran
2016/2017.
5.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang dapat dikemukakan yaitu Pembelajaran
matematika dengan personalized system of intructidapat dijadikan salah satu alternatif
pembelajaran matematika di sekolah.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
196 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Daftar Pustaka
Ali M. (1993). Strategi penelitian pendidikan. Bandung: Angkasa.
Hendrayana, A. S., Thaib, D., Rosnenty,R. (2014). Motivasi Belajar, Kemandirian Belajar
dan Prestasi Belajar Mahasiswa BeasiswaBidikmisi dI UPBJJ UT Bandung.
Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Volume 15, Nomor 2, September
2014.
Majid, A. (2013). Strategi Pembelajaran. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Nurpratama, A.S. (2014). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematik Siswa SMK
melalui Model Pembelajaran Personalized System of Instruction. Skripsi STKIP
Siliwangi Bandung. Bandung : Tidak dipublikasikan.
Ruseffendi, E.T. (1993). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek
Pembinaan Tenaga Kependidikan Pendidikan Tinggi.Bandung.Tarsito.
Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar Kepada Guru Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA.
Bandung : Tarsito.
Ruseffendi, E.T. (2010). Dasar – dasar penelitian pendidikan dan bidang non-eksekta
lainnya. Bandung : Tarsito.
Sudijono, A. (2013). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Rajawali Pers.
Sugandi, A.I. (2010). Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah Dengan Setting Kooperatif
Tipe Jigsaw Terhadap Pencapaian Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi
dan Kemandirian Belajar Siswa SMA. Disertasi UPI. Bandung : Tidak
dipublikasikan.
Suherman, E. dan Sukjaya, Y. (1990). Petunjuk Praktis untuk melaksanakan Evaluasi
Pendidikan Matematika. Bandung : Wijayakusumah.
Suherman, E. (2003). Desain Pembelajaran Kewirausahaan. Bandung : Alfabeta.
Susilawati, W. (2012). Belajar dan Pembelajaran Matematika. Bandung : CV. Insan
Mandiri.
Sumarmo, U. (2004). Kemandirian Belajar : Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan
pada Peserta Didik. Laporan Penelitian Hibah Pascasarjana UPI. Bandung : Tidak
dipublikasikan.
Sumarmo, U. (2014). Kumpulan Makalah Berpikir dan Disposisi Matematik serta
Pembelajarannya.FPMIPA UPI. Bandung : Tidak dipublikasikan.
Sumarmo, U. dan Hendriana, H. (2014). Penilaian Pembelajaran Matematika. Bandung :
PT. Refika Aditama.
Sumarmo, U. (2015). Hand Out Mata Kuliah Evaluasi Pembelajaran Matematika. Pasca
Sarjana STKIP Siliwangi Bandung. Bandung : Tidak dipublikasikan
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 197
PENGGUNAAN ALAT PERAGA TULANG NAPIER UNTUK
MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN OPERASI
PERKALIANSISWA SEKOLAH DASAR
Siti Chotimah
Pendidikan Matematika, STKIP Siliwangi Bandung
ABSTRAK
Latarbelakang kajian ini yaitu ingin mengembangkan kemampuan pemahaman
matematik siswa tentang operasi perkalian dengan menggunakan alat peraga tulang
napier. Walaupun ada alat peraga lain tapi saya terinspirasi ingin menggunakan tulang
napier sebagai medianya. Keterampilan siswa dalam perkalian mampu mendukung
pemahaman siswa terhadap ilmu lain dalam matematika seperti ilmu menghitung,
mengukur, dan lain-lain. Namun kenyataannya, operasi perkalian merupakan salah
satu pokok bahasan yang kebanyakan tidak disukai oleh siswa sekolah
dasar.Kemampuan pemahaman matematik merupakan salah satu kemampuan yang
diperlukan dalam memahami operasi perkalian. Tulang napier adalah salah satu alat
peraga yang dapat menyajikan suatu konsep matematika. Dengan bantuan media atau
alat peraga tulang napier diharapkan siswa mampu menghitung operasi perkalian
dengan cepat dan mudah serta paham cara menggunakan tulang napier.Alat peraga
Tulang Napier diharapkan dapat membantu pemahaman siswa dalam belajar
matematika khususnya siswa Sekolah Dasar, sehingga tidak memandang matematika
itu menakutkan dan membosankan.
Kata kunci: kemampuan pemahaman, operasi perkalian, tulang napier
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Masalah
Pendidikan di Sekolah Dasar merupakan awal dari seorang anak mengenyam dunia
pendidikan formal. Dimana seorang anak dalam usia dini memiliki kemampuan daya ingat
kognitif yang tinggi. Pada anak usia sekolah dasarantara 7 tahun sampai 12 tahun, tahap
berpikir mereka cenderung ingin tahu dan mencoba-coba. Hal ini yang mendasari, bahwa di
sekolah dasar merupakan pusat dinamika pendidikan yang utama. Anak usia sekolah dasar
lebih peka dan tajam dalam menyerap segala pengetahuannya.
Matematika merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.
Menurut Sundayana (2014), matematika merupakan salah satu komponen dari serangkaian
mata pelajaran yang mempunyai peranan penting dalam pendidikan, matematika merupakan
salah satu bidang studi yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Namun sampai saat ini masih banyak siswa yang merasa matematika sebagai mata pelajaran
yang sulit, tidak menyenangkan, bahkan momok yang menakutkan. Hal ini dikarenakan
masih banyak siswa yang mengalami kesulitan-kesulitan dalam mengerjakan soal-soal
matematika.
Johnson dan Myklebust (Sundayana, 2014) mengemukakan bahwa Matematika merupakan
bahasa simbolis yang mempunyai fungsi praktis untuk mengekspresikan hubungan-hubungan
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
198 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
kuantitatif dan keruangan. Sedangkan fungsi teoritisnya untuk memudahkan berpikir.
Dengan kata lain, matematika adalah bekal bagi peserta didik untuk berpikir logis, analitis,
sistematis, kritis, dan kreatif. Sebagai bahasa simbolis, ciri utama matematika ialah penalaran
secara deduktif namun tidak mengabaikan cara penalaran induktif. Selain sebagai bahasa
simbolis, matematika juga merupakan ilmu yang kajian obyeknya bersifat abstrak.
Perkalian merupakan salah satu kosep dalam matematika yang mulai diperkenalkan di kelas
III SD dengan teknik penyampaiannya masih sangat rendah. Teknik berhitung perkalian yang
masih sering diajarkan dikelas adalah cara menghafal tabel perkalian 1 sampai 10.
Sedangkan untuk bilangan yang besarnya diatas 10 masih menggunakan teknik perkalian
bersusun.
Dalam NCTM (2000: 60) menjelaskan bahwa, pembelajaran matematika harus memberi
kesempatan kepada siswa untuk: 1) mengorganisasi dan mengkonsolidasikan pemikiran dan
ide matematika dengan cara mengkomunikasikanya; 2) mengkomunikasikan pemikiran
matematika mereka secara logis dan jelas kepada teman, guru dan orang lain; 3)
menganalisis dan mengevaluasi pemikiran matematika orang lain; 4) menggunakan bahasa
matematika untuk menyatakan ide-ide mereka dengan tepat.
Menurut Markaban (2006), “tingkat pemahaman matematika seorang siswa lebih
dipengaruhi oleh pengalaman siswa itu sendiri.” Hal ini berarti pemahaman seorang siswa
dalam belajar diperoleh dari apa yang ia alami dalam pembelajaran tersebut. Selanjutnya,
Bruner (Markaban, 2006) menyatakan, pembelajaran matematika merupakan usaha untuk
membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan melalui proses, karena mengetahui
adalah suatu proses, bukan suatu produk. Hal ini sejalan dengan Vygotsky (Marhaeni, 2007)
yang menyatakan bahwa, konstruksi pengetahuan terjadi melalui proses interaksi sosial
bersama orang lain yang lebih mengerti dan paham akan pengetahuan tersebut. Proses
tersebut dimulai dari pengalaman, sehingga siswa harus diberi kesempatan seluas-luasnya
untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang harus dimilikinya. Dari beberapa pendapat
ini dapat diambil kesimpulan bahwa suatu pemahaman diperoleh oleh siswa melalui suatu 19
rangkaian proses yang dilalui oleh siswa saat belajar dan interaksi yang terjadi saat belajar
bersama orang lain, sehingga siswa dapat membentuk pengetahuan dan pemahaman dari apa
yang dialaminya.
Semua kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki oleh siswa tidak serta merta dapat
terwujud hanya dengan mengandalkan proses pembelajaran yang selama ini terbiasa ada di
sekolah kita, dengan urutan-urutan langkah seperti, diajarkan teori/definisi/teorema,
diberikan contoh-contoh dan diberikan latihan soal (Soejadi, 2000). Proses belajar seperti ini
tidak membuat anak didik berkembang dan memiliki kemampuan bernalar berdasarkan
pemikirannya, tapi justru lebih menerima ilmu secara pasif. Dengan demikian, langkah
langkah dan proses pembelajaran yang selama ini umumnya dilakukan oleh para guru di
sekolah adalah kurang tepat, karena justru akan membuat anak didik menjadi pribadi yang
pasif.
2. Landasan Teori
2.1. Kemampuan Pemahaman Matematik
Bloom (Ruseffendi, 2006:221) mengklasifikasikan pemahaman menjadi tiga bagian,
1) Pengubahan (translation), mengubah konsepsi abstrak menjadi suatu model;
2) Pemberian arti (interpretation), kemampuan untuk mengenal dan memahami ide;
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 199
3) Pembuatan ekstrapolasi (extrapolation), menerjemahkan dan menafsirkan, menuntut
kemampuan intelektual yang lebih tinggi. Dalam matematika misalnya mampu
mengubah (translation) soal-soal ke dalam simbol dan sebaliknya, mampu
mengartikan (interpretation) suatu kesamaan, mampu memperkirakan (ekstrapolasi)
suatu kecenderungan dari diagram.
Sedangkan menurut Skemp (Sumarmo, 2012:6-7), kemampuan pemahaman digolongkan
dalam dua tingkat,
1) Pemahaman instrumental: hafal konsep/prinsip tanpa kaitan dengan yang lainnya,
dapat menerapkan rumus dalam perhitungan sederhana, dan mengerjakan perhitungan
secara algoritmik. Kemampuan ini tergolong pada kemampuan tingkat rendah.
2) Pemahaman relasional: mengkaitkan satu konsep/prinsip dengan konsep/prinsip
lainnya. Kemampuan ini tergolong pada kemampuan tingkat tinggi
2.2. Media dan Alat Peraga Tulang Napier
Dalam dunia pendidikan media sangat diperlukan pembelajaran, hal ini bertujuan untuk
mempermudah proses pembelajaran khususnya untuk pembelajaran matematika. National
Education Association(Sadiman, dkk., 1986) mengatakan, media sebagai bentuk-bentuk
komunikasi baik terletak maupun audio-visual dan peralatannya. Sedangkan Gagne dan
Briggs (Arsyad, 2002) secara emplisit mengemukakan bahwa media pembelajaran meliputi
alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi pengajaran antara lain buku,
tape-recorder, kaset, video camera, film, slide (gambar bingkai), foto gambar, grafik,
televise, dan computer. Media mengandung arti sebagai komponen sumber belajar yang
mengandung materi instruksional di lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk
belajar.
Menurut Ali (1989), Alat peraga adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk
menyatakan pesan merangsang pikiran, perasaan, dan perhatian dan kemauan siswa sehingga
dapat mendorong proses belajar. Sedangkan Ruseffendi (1990) mendefinisikan alat peraga
adalah alat untuk menerangkan atau mewujudkan konsep matematika.
Pada dasarnya anak dalam belajar melalui hal yang kongkrit. Menurut Ruseffendi (1990),
untuk memahami konsep abtrak anak memerlukan benda-benda kongkrit (real) sebagai
perantara visualisasinya. Selanjutnya Ruseffendi (1990) mengatakan, konsep abstrak yang
baru dipahaminya itu akan mengendap, melekat, dan tahan lama bila ia belajar melalui
berbuat dan pengertian, bukan melalui mengingat-ingat fakta. Alat peraga sangat diperlukan
dalam pembelajaran matematika terutama untuk sekolah dasar, diantara manfaatnya adalah
proses belajar mengajar termotivasi, konsep abstrak matematika yang tersajikan dalam
bentuk konkret yang mudah dipahami.
Menurut Ruseffendi (1990), kriteri alat peraga yang baik adalah: 1) tahan lama; 2) bentuk
dan warnanya menarik; 3) sederhana dan mudah dikelola; 4) ukurannya sesuai (seimbang)
dengan ukuran pisik anak; 5) dapat menyajikan konsep matematika; 6) sesuai dengan
konsep; 7) dapat menunjukkan konsep matematika dengan jelas; 8) peragaan itu supaya
merupakan dasar bagi tumbuhnya konsep abstrak; 9) menjadikan siswa belajar aktif dan
mandiri dengan memanipulasi alat peraga; 10) bila mungkin berfaedah lipat (banyak).
Salah satu alat peraga yang akan saya paparkan dalam makalah ini adalah tulang napier. Alat
peraga tulang ditemukan oleh John Napier. Dia seorang ahli matematika dari Skotlandia.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
200 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
John Napier menemukan set batang yang kemudian disebut Bones, karena terbuat dari
tulang. Dia seorang ahli matematika yang menemukan logaritma, membuat alat yang
membatu mencari hasil kali suatu bilangan. Alat ini pertama kali diperuntukkan bagi
perkalian dalam sistem desimal. Tulang Napier ini terdiri atas sepuluh angka yaitu: 0, 1, 2, 3,
4, 5, 6, 7, 8, 9.
Perhatikan cara kerja tulang napier, pada gambar berikut!
Berikut contohmenghitungperkalian
Berikut contoh menghitung perkalian
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 201
3.1. Kesimpulan
Alat peraga Tulang Napier merupakan alat bantu hitung untuk menyelesaikan permasalahan
yang berkaitan dengan operasi perkalian dan menjumlahkan angka-angka pada setiap petak
menurut diagonalnya.Alat peraga Tulang Napier diharapkan dapat membantu pemahaman
siswa dalam belajar matematika khususnya siswa Sekolah Dasar, sehingga tidak memandang
matematika itu menakutkan dan membosankan. Kekurangan dari sistem perkalian ini tidak
bisa mengoperasikan penjumlahan dan pembagian dengan menggunakan alat hitung tulang-
tulang napier. Penulis menyarankan sepertinya menarik jika sistem perkalian tulang-tulang
napier ini dikembangkan untuk sistem penjumlahan dan pembagian.
Daftar Pustaka
Arsyad, A. (2002). Media Pembelajaran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Marhaeni, I. (2007). Pembelajaran Inovatif dan Asesmen Otentik dalam Rangka
Menciptakan Pembelajaran yang Efektif dan Produktif. Makalah dalam
Penyusunan Kurikulum dan Pembelajaran Inovatif di Universitas Udayana.
Markaban (2006). Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Penemuan
Terbimbing.Yogyakarta: PPPG Matematika
NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA:NCTM.
Ruseffendi, E.T. (1990). Pengajaran Matematika Modern dan Masa Kini untuk Guru dan
PGSD D2. Bandung: Tarsito.
Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA.
Bandung: Tarsito.
Soedjadi, R. (2000). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia; Konstatasi Keadaan Masa
Kini Menuju Harapan Masa Depan. Jakarta: Dirjen Dikti. Depdiknas
Soemarmo, U. (2012). Bahan Belajar Matakuliah Proses Berfikir Matematik. Bandung:
Tidak diterbitkan.
Sundayana, R. (2014). Media dan Alat Peraga dalam Pembelajaran Matematika.
Bandung:`Alfabeta
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
202 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
OPTIMALISASI KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP
MATEMATIKA MENGGUNAKAN MODEL
PEMBELAJARAN AUDITORY INTELLECTUALLY
REPETITION (AIR)
Sukasno, Drajat Friansah, & Intiana Hijrah Yumanif
STKIP-PGRI Lubuklinggau
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengoptimalkan kemampuan pemahaman konsep
matematika Siswa Kelas XI IPS SMA Xaverius Lubuklnggau, serta untuk melihat
respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran menggunakan model Auditory
I ntellectually Repetition (AIR). Populasinya seluruh siswa kelas XI IPS SMA
Xaverius Lubuklinggau dan sebagai sampelnya kelas XI IPS-1 yang diambil secara
acak. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik tes dan angket respon. Data yang
terkumpul dianalisis menggunakan uji-t satu sampel pada taraf kepercayaan
. Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa Kemampuan
akhir pemahaman konsep matematika siswa kelas kelas XI IPS SMA Xaverius
Lubuklinggau setelah mengikuti pembelajaran matematika menggunakan model AIR
termasuk dalam kategori “Sangat Baik” dengan skor rata-rata sebesar 33,43 dan siswa
memberikan respon yang baik terhadap kegiatan pembelajaran menggunakan model
AIR.
Kata Kunci : Pemahaman Konsep, Auditory I ntellectually Repetition
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Pembelajaran matematika di sekolah dijelaskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional RI No 22 Tahun 2006 agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut: a)
memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan
konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah; b)
menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam
membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan
matematika; c) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang
diperoleh; d) mengomunisasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah; e) memiliki sikap menghargai kegunaan
matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat
dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Sejalan dengan hal di atas Lerner (dalam Abdurrahman, 2012: 204) mengemukakan bahwa
kurikulum bidang studi matematika hendaknya mencakup tiga elemen yaitu : 1) konsep, 2)
keterampilan dan 3) pemecahan masalah. Jika dicermati, salah satu tujuan tersebut
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 203
menekankan pada kemampuan pemahaman konsep matematika. Hal ini cukup beralasan
mengingat jika pemahaman konsep matematika tidak sesuai dengan yang semestinya hal ini
akan berpengaruh kepada aplikasi dan pemecahan masalah matematika ataupun aplikasi
dan pemecahan ilmu lainnya.
Berdasarkan hasil wawancara kepada salah satu guru mata pelajaran matematika kelas XI
IPS di SMA Xaverius Lubuklinggau, diperoleh informasi bahwa siswa kurang menyukai
materi pada pelajaran matematika yang memiliki banyak rumus dalam setiap
pembahasannya. Melalui data hasil ulangan harian siswa kelas XI IPS untuk pelajaran
matematika guru harus mengadakan remidial secara klasikal karena 80% siswa memperoleh
nilai di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan sekolah yaitu 75.
Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti melalu hasil tes soal pemahaman konsep
matematika dengan memberikan 4 soal kepada siswa-siswa kelas XI IPS SMA Xaverius
Lubuklinggau, dari 24 siswa hanya 5 siswa yang mampu menyelesaikan 1 soal dari 4 soal
yang diberikan oleh peneliti secara tepat, sedangkan untuk 3 soal lainnnya tidak terdapat
siswa yang menjawab secara tepat untuk memenuhi indikator pemahaman konsep yang
diinginkan, dilihat dari indikator pemahaman konsep matematika masih banyak siswa
merasa bingung sehingga keliru dalam menyelesaikan soal padahal sebelumnya guru telah
memberikan penjelasan tentang materi tersebut. Kenyataan ini mengisyaratkan bahwa siswa
masih sulit untuk menyelesaikan soal karena kurang paham terhadap konsep materi yang
diberikan.
Untuk mengatasi masalah tersebut peneliti memilih model pembelajaran Auditory
Intellectually Repetition (AIR). Ainia, dkk (2012:711) menyatakan bahwa model
pembelajaran AIR adalah salah satu model pembelajaran yang menekankan pada tiga aspek
yaitu auditory (mendengar), intellectually (berpikir), repetition (pengulangan), yang
bermakna pendalaman, perluasan, pemantapan dengan cara pemberian tugas atau kuis.
Auditory berarti belajar dengan berbicara dan mendengarkan. Rose (dalam Hamzah,
2014:26) mengungkapkan bahwa dengan memberikan tekanan auditory pada suatu bahan
yang sedang dipelajari akan membantu melekatkannya pada pikiran dalam jangka waktu
yang cukup panjang. Sehingga auditory bermakna bahwa belajar haruslah dengan melalui
mendengarkan, menyimak, berbicara, presentasi, argumentasi, mengemukakan pendapat,
dan menanggapi yang dapat membantu melekatkan bahan pembelajaran pada pikiran dalam
jangka waktu yang cukup panjang. Intellectually yang bermakna bahwa belajar haruslah
menggunakan kemampuan berpikir (minds-on), belajar haruslah dengan konsentrasi pikiran
dan berlatih menggunakannya melalui bernalar, menyelidiki, mengidentifikasi, menemukan,
mencipta, mengkonstruksi, memecahkan masalah, dan menerapkan (Ngalimun, 2014:166).
Repetition adalah mengulang suatu perbuatan berkali-kali. Burhan, dkk (2014:7) menyatakan
bahwa pengulangan diperlukan dalam pembelajaran agar pemahaman lebih mendalam dan
luas. Oleh karena itu dengan adanya repetition diharapkan informasi tersebut ditransfer ke
dalam memori jangka panjang.
Menurut Shoimin (2014:30) keunggulan model pembelajaran AIR adalah: 1) siswa
berpartisipasi aktif dalam pembelajaran dan sering mengemukakan pendapatnya; 2) peserta
didik memiliki kesempatan lebih banyak dalam memanfaatkan pengetahuan dan
keterampilan secara baik; 3) peserta didik dengan kemampuan rendah dapat merespon
permasalahan dengan cara mereka sendiri; 4) peserta didik dari dalam dirinya termotivasi
untuk memberikan bukti atau penjelasan; 5) peserta didik memilki pengetahuan banyak
untuk menemukan sesuatu dalam menjawab permasalahan
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
204 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan maka yang menjadi rumusan masalah
pada penelitian ini yaitu: 1) Apakah kemampuan pemahaman konsep matematika siswa
kelas XI IPS SMA Xaverius Lubuklinggau setelah mengikuti pembelajaran menggunakan
Auditory Intellectually Repetition (AIR) termasuk kategori baik?; 2) Bagaimana respon
siswa terhadap kegiatan pembelajaran menggunakan model Auditory Intellectually
Repetition (AIR)?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengoptimalkan kemampuan pemahaman konsep matematika
Siswa Kelas XI IPS SMA Xaverius Lubuklnggau, serta untuk melihat respon siswa terhadap
kegiatan pembelajaran menggunakan model Auditory I ntellectually Repetition (AIR).
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Siswa, dapat mengoptimalkan kemampuan pemahaman konsep matematika sesuai
dengan indikator-indikator pemahaman konsep matematika yang diharapkan dan
minimal dalam kriteria baik.
2) Guru, sebagai tambahan informasi dan sebagai alternatif dalam pembelajaran
matematika dengan penggunaan model Auditory I ntellectually Repetition (AIR)
merupakan solusi pembelajaran dalam upaya mengoptimalkan kemampuan pemahaman
konsep.
3) Sekolah, sebagai masukan untuk meningkatkan mutu pendidikan menjadi lebih baik.
2. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen semu dengan desain
eksperimen berbentuk pre-test and post-test group desain yang memiliki pola:
O1 X O2
Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI IPS SMA Xaverius Lubuklinggau
tahun pelajaran 2016/2017 yang berjumlah 71 orang. Sedangkan sebagai sampel adalah
kelas XI IPS-1 SMA Xaverius Lubuklinggau yang diambil secara acak. Pengumpulan data
dilakukan dengan teknik tes dan teknik angket. Teknik tes digunakan untuk mengumpulkan
data tentang kemampuan pemahaman konsep matematika siswa. Tes yang digunakan dalam
penelitian ini berbentuk uraian (essay) sebanyak enam soal dengan materi pokok Statistika.
Angket digunakan untuk mengumpulkan data tentang respon siswa terhadap proses
pembelajaran matematika dengan menggunakan model Auditory Intellectually Repetition
(AIR). Angket tersebut berbentuk checklist dan berisi pernyataan atau pertanyaan tertulis
untuk menjaring informasi dari responden.
Teknik analisis data untuk menguji hipotesis menggunakan uji-t satu sampel pada taraf
kepercayaan α = 0,05. Teknik analisis data hasil angket respon siswa terhadap
pembelajaran matematika dengan menggunakan model Auditory Intellectually Repetition
(AIR) dilakukan dengan menggunakan percentages correction. Adapun pedoman
penelitian untuk menentukan tinggi rendahnya persentase data angket respon siswa bisa
dilihat pada tabel 1:
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 205
Tabel 1
Pedoman Penilaian Angket
Persentase Data Angket Predikat
82 – 100 Sangat Baik
63 – 81 Baik
44 – 62 Cukup Baik
25 - 43 Kurang Baik
Sumber: dimodifikasi dari Khabibah (dalam Sukinah, 2013:10)
Adapun klasifikasi nilai kemampuan pemahaman konsep matematika siswa (modifikasi
Nizarwati, 2009:64) yaitu:
75% < x 100% : sangat baik
50% < x 75% : baik
25% < x 50% : cukup
0% < x 25% : kurang baik
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
3.1. Hasil Penelitian
Kemampuan Awal
Pre-test dilaksanakan untuk mengetahui kemampuan awal siswa tentang pemahaman konsep
matematika sebelum dilaksanakan pembelajaran dengan materi statistika. Berdasarkan hasil
perhitungan data pre-test menunjukkan bahwa dari 23 siswa yang mengikuti pre-test dengan
perolehan skor tertinggi yaitu 18 dan skor terendah yaitu 2. Kemudian terdapat 6 dari 23
siswa atau 26% siswa mempunyai kemampuan pemahaman konsep dengan kategori
“Cukup” dan selebihnya 17 siswa atau 74% siswa mempunyai kemampuan pemahaman
konsep dengan kategori “Kurang”. Adapun rata-rata skor kemampuan pemhaman konsep
matematika yaitu 6,87 (kategori kurang baik).
Kemampuan Akhir
Berdasarkan hasil perhitungan data postes dapat dijabarkan bahwa rata-rata skor pemahaman
konsep matematika 33,43 (79,6%) dengan perolehan skor tertinggi 41 dan skor terendah 20.
Kemudian terdapat 17 siswa (74%) mempunyai kemampuan pemahaman konsep matematika
dikategorikan “Sangat Baik”, 5 siswa (22%) dikategorikan “Baik” sedangkan sisanya 1 siswa
(4%) termasuk dalam kategori “Cukup”. Adapun rata-rata skor kemampuan pemahaman
konsep matematika dalam kategori “Sangat Baik”. Berdasarkan hasil pengujian statistik data
postes pada taraf kepercayaan dapat disimpulkan bahwa Kemampuan
pemahaman konsep matematika siswa kelas XI IPS SMA Xaverius Lubuklinggau setelah
mengikuti pembelajaran menggunakan Auditory Intellectually Repetition (AIR) termasuk
kategori baik.
Berdasarkan hasil analisis data angket respon siswa, sikap siswa terhadap pelajaran
matematika menunjukan minat yang baik, begitupun respon siswa terhadap cara guru
mengajar mereka sangat antusias dan menghargai serta memberikan sikap yang begitu
positif terhadap pembelajaran matematika menggunakan model Auditory Intellectually
Repetition (AIR). Setelah seluruh indikator penilaian dijumlahkan maka rata-rata persentase
respon siswa terhadap pembelajaran matematika dengan model AIR sebesar 70%, sehingga
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
206 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
dapat disimpulkan bahwa secara umum siswa memberikan respon yang baik terhadap
pembelajaran matematika dengan menggunakan model Auditory Intellectually Repetition
(AIR).
3.2. Pembahasan
Kegiatan penelitian dilaksanakan sebanyak lima kali pertemuan, dengan rincian satu
pertemuan untuk pretes, tiga pertemuan pemberian perlakuan pembelajaran, dan satu
pertemuan untuk postes. Sebelum diberikan perlakuan, peneliti membagi siswa menjadi
lima kelompok heterogen berdasarkan hasil pretest. Tujuan peneliti membentuk kelompok
pada saat pembelajaran agar pelaksanaan kegiatan efektif dan efisien. Berdasarkan aktivitas-
aktivitas auditory dan intellectually yang akan dilaksanakan pada proses pembelajaran, maka
akan lebih efisien jika pembelajaran dilakukan secara berkelompok sehingga peniliti lebih
mudah membimbing siswa untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan dari pada jika
siswa belajar individu. Menurut Huda (2013:290) siswa yang auditories lebih mudah
belajar dengan cara berdiskusi dengan orang lain.
Pada perlakuan pertama diisi dengan kegiatan penjelasan materi mengenai tabel distribusi
frekuensi oleh peneliti dan pemberian permasalahan kepada setiap kelompok. Pada proses
auditory terdapat dua kelompok yang mampu menyampaikan maksud permasalahan
dengan cukup baik kepada anggotanya. Setelah itu melalui proses intellectually dan disertai
auditory mereka bekerjasama dalam menyelesaikan permasalahan tentang cara menyusun
tabel distribusi frekuensi dan unsur-unsurnya. Setiap kelompok masih terlihat kebingungan
menyelesaikan soal tentang pemahaman konsep materi ajar tersebut dan peneliti
memfasilitasi bagi kelompok-kelompok yang belum begitu paham. Hasil dari diskusi
tersebut dituangkan ke dalam bahasa yang lebih mudah dipahami dan prosedur yang
mereka pilih dan bersiap untuk dipresentasikan di kelas. Pada saat maju untuk presentasi,
masih terdapat anggota kelompok yang belum percaya diri untuk maju menjelaskan hasil
diskusinya.
Untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman siswa terhadap materi yang telah disampaikan,
pada 10 menit terakhir peneliti memberikan kuis. Pemberian kuis dan pekerjaan rumah
merupakan proses pengulangan (repetition) dalam pembelajaran, namun masih terdapat
siswa yang keliru dalam menafsirkan maksud soal sehingga masih kurang tepat dalam
pencapaian konsepnya. Hal ini merupakan penyesuaian karena model Auditory Intellectually
Repetition (AIR) merupakan model pembelajaran baru bagi mereka sehingga perlu adaptasi
terlebih dahulu.
Pada pertemuan kedua membahas materi ajar tentang penyajian data dalam bentuk
histogram, polygon dan ogif. Pada kesempatan ini setiap siswa diberikan permasalahan
untuk menyajikan data dalam bentuk histogram, polygon dan ogif secara berkelompok. Pada
saat proses presentasi untuk kelompok pembicara dan kelompok pendengar, setiap kelompok
antusias untuk maju mempresentasikan hasil diskusinya kedepan kelas. Pada saat kelompok
menyajikan data dalam bentuk histogram beberapa anggota lain berdebat karena terdapat
kekeliruan dalam penggunaan nilai frekuensi dan frekuensi kumulatif. Para anggota
kelompok telah mampu mengembangkan syarat perlu dalam penyajian data yang merupakan
salah satu indikator dalam pemahaman konsep matematika.
Kemudian pada perlakuan terakhir, siswa sudah terbiasa belajar dalam bentuk tim.
Peneliti menjelaskan materi ajar mengenai ukuran pemusatan data tunggal. Kegiatan
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 207
selanjutnya setiap kelompok diberikan permasalahan dengan masalah sehari-hari yang
mereka biasa temui dan dituntut untuk bekerjasama seperti biasa dan mempresentasikan
hasil diskusinya ke kelas. Secara umum mereka telah paham mengenai konsep pemusatan
data tunggal, mengerti simbol dan rumus yang ada dan prosedur penyelesaian soal yang
diaplikasikan ke dalam permasalahan matematika. Hal ini ditandai dengan tidak terlalu
banyak perbedaan pendapat saat kelompok pembicara menyampaikan hasil diskusinya.
Sebagian besar siswa mampu menjelaskan dan memberi contoh sesuai dengan pembentukan
pemahaman yang mereka miliki dengan tetap mengikuti indikator kemampuan pemahaman
konsep yang ditentukan.
Rata-rata skor total dari postes untuk setiap indikator mengalami peningkatan ketika
dibandingkan dengan hasil pretes. Peningkatan ketercapaian pemahaman konsep
matematika sesuai dengan indikatornya dapat dilihat dalam tabel 2.
Tabel 2
Peningkatan Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika
No Indikator Peningkatan
1. Kemampuan menyatakan ulang sebuah konsep 5,52
2. Mengklasifikasi objek menurut sifat tertentu sesuai
dengan konsepnya
4,83
3. Memberi contoh dan non contoh dari konsep 2,57
4. Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk
representasi matematika
5,17
5. Kemampuan mengembangkan syarat perlu atau
syarat cukup dari suatu konsep
4,13
6. Kemampuan menggunakan, memanfaatkan dan
memilih prosedur tertentu
2,39
7. Kemampuan mengaplikasikan konsep/algoritma ke
pemecahan masalah matematika
1,96
Peningkatan skor kemampuan pemahaman konsep matematika paling rendah terletak pada
indikator kemampuan siswa dalam mengaplikasikan konsep/algoritma ke pemecahan masalah.
Hal ini terjadi karena indikator tersebut membutuhkan kemampuan berpikir yang tinggi,
yaitu kemampuan siswa dalam melakukan pemecahan masalah. Sedangkan peningkatan
tertinggi pada indikator kemampuan menyatakan ulang sebuah konsep, dimana indikator ini
menginginkan kemampuan mengingat kembali konsep yang sudah dipelajari. Pengulangan
memiliki peran yang besar untuk melatih ingatan dan pemahaman siswa, karena dengan
adanya repetition diharapkan informasi tersebut ditransfer ke dalam memori jangka panjang.
Pengulangan yang dilakukan tidak berarti dengan bentuk pertanyaan atau informasi yang
sama, melainkan dalam bentuk informasi yang bervariatif sehingga tidak membosankan.
Dengan pemberian soal dan tugas siswa akan mengingat informasi-informasi yang
diterimanya dan terbiasa dalam permasalahan-permasalahan matematis (Burhan, 2014:7).
Secara keseluruhan berdasarkan rekapitulasi data angkat respon siswa dapat disimpulkan
bahwa rata-rata respon siswa terhadap pembelajaran dengan menggunakan model Auditory
Intellectually Repetition (AIR) adalah 70,2% yang artinya respon siswa terhadap
pembelajaran matematika dengan menggunakan model Auditory Intellectually Repetition
(AIR) dikategorikan baik. Berdasarkan rekapitulasi hasil analisis angket respon siswa
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
208 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
diperoleh 90,3% siswa berminat untuk mengikuti kegiatan belajar berikutnya dengan
menggunakan model Auditory Intellectually Repetition (AIR).
4. Simpulan dan Saran
4.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa kemampuan akhir
pemahaman konsep matematika siswa kelas kelas XI IPS SMA Xaverius Lubuklinggau
setelah mengikuti pembelajaran matematika menggunakan model Auditory Intellectually
Repetition (AIR) termasuk dalam kategori “Sangat Baik” dengan skor rata-rata sebesar
33,43 (79,6%) dikategorikan “Sangat Baik”. Siswa memberikan respon yang baik
terhadap kegiatan pembelajaran menggunakan model Auditory Intellectually Repetition
(AIR) dengan skor rata-rata sebesar 70,2% dan sebesar 90,3% siswa berminat untuk
mengikuti kegiatan belajar berikutnya dengan menggunakan model AIR
4.2. Saran
Melalui hasil penelitian dan kesimpulan di atas, maka peneliti menyampaikan saran-
saran sebagai berikut: 1) Bagi pembaca, hendaknya mencari referensi yang lebih mendalam
mengenai model pembelajaran Auditory Intellectually Repetition (AIR) sehingga tidak
mengalami kesulitan pada saat penerapannya di kelas; 2) Bagi pendidik,
diharapkan model pembelajaran Auditory Intellectually Repetition (AIR) dapat menjadi
alternatif model pembelajaran yang dilaksanakan di kelas sebagai upaya meningkatkan
kemampuan pemahaman konsep matematika siswa sehingga hal tersebut akan berpengaruh
terhadap mutu pendidikan yang ada di sekolah; 3) Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan
memperbanyak referensi tentang model Auditory Intellectually Repetition (AIR), ketika
merencanakan pembelajaran menggunakan model Auditory Intellectually Repetition
(AIR) mampu menyiapkan permasalahan yang dekat dengan kehidupan siswa serta
menghindari kegiatan- kegiatan yang jarang ditemui oleh siswa sedangkan untuk menyikapi
siswa yang berkemampuan akademik tinggi maka siasati dengan memberikan mereka
peranan lebih banyak dalam kelompok diskusi dengan membimbing anggota kelompok
lainnya sehingga dapat menghindari kebosanan akibat pengulangan.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Mulyono. 2012. Anak Berkesulitan Belajar Teori, Diagnosis, dan
Remediasinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Ainia, Qurotuh, dkk. 2012. Eksperimentasi Model Pembelajaan Auditory Intellectually
Repetition (AIR) terhadap Prestasi Belajar Matematka ditinjau dari Karakter
Belajar Siswa Kelas VII SMPN se-kecamatan Kaligesing tahun 2011/2012.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika FMIPA
UNY, hal.709-716.
Burhan, Arini Viola, dkk. 2014. Penerapan Model AIR Pada Pembelajaran Matematika
Siswa Kelas VII SMPN 18 Padang. Jurnal Pendidikan Matematika. Part 1 Vol. 3
No.1 (6-11).
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 209
Hamzah, Nur., dkk. 2014. Penerapan Model Pembelajaran Auditory Intellectully Repetition
(AIR) untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa dalam Pembelajaran Fisika
Kelas X IPA 3 SMA Negeri 3 Purworejo tahun Pelajaran 2013/2014. Jurnal UMY
Purworejo. Vol.4 No.1 (26-27).
Huda, Miftahul. 2013. Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Ngalimun. 2014. Strategi dan Model Pembelajaran. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
Nizarwati, dkk. 2009. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berorientasi Konstruktivisme
untuk Mengajarkan Konsep Perbandingan Trigonometri Siswa Kelas X SMA.
Jurnal PendidikanMatematika. Vol.3 No.2 (57-72)
Shoimin, Aris. 2014. 68 Model Pembelajaran Inovatif dalam Kurikulum 2013.
Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
Sukinah. 2013. Meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa kelas VIII-D SMP Negeri 33
Surabaya dalam pelajaran Matematika melalui media berbantuan komputer. E-
jurnal Pendidikan Kota Surabaya. ISSN:2337-3253, 3, 1-16
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
210 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR GEOMETRI RUANG
MELALUIPROBLEM BASED LERNING (PBL) BERBANTUAN
GEOGEBRA 5.0 UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN
VISUAL-SPATIAL THINKING MAHASISWA
Sumarni 1)
, Anggar Titis Prayitno2)
Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Kuningan
[email protected], [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk Penelitian ini bertujuan untuk: (1) memperolehbahan
ajar Geometri Ruang berbantuan GeoGebra 5.0 yang sesuai dengan prinsip Problem
Based Learning (PBL), (2) memperoleh bahan ajar Geomteri Ruang melalui PBL
berbantuan GeoGebra 5.0 yang dikembangkan memenuhi kriteria valid dan praktis,
(3) memperoleh bahan ajar Geometri Ruang melalui PBL berbantuan GeoGebra 5.0
yang dapat meningkatkan kemampuan visual-spatial thinking mahasiswa. Keluaran
penelitian ini berupa draft laporan penelitian, publikasi ilmiah, bahan ajar untuk
mahasiswa, dan instrumen untuk mengukur kemampuan visual-spatial
thinking.Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah research and
development. Draft awal bahan ajar dan draft awal instrumen visual-spatial thinking
yang telah dikembangkan selanjutnya divalidasi oleh ahli, serta diujicobakan pada
kelompok terbatas (skala kecil) sehingga diperoleh bahan ajar dan instrumen yang
valid dan praktis, yang sesuai dengan prinsip PBL dan dapat meningkatkan
kemampuan visual-spatial thinking.Pengumpul data menggunakan teknik wawancara,
validasi ahli, validasi empirik, dan penerapan/uji coba bahan ajar.Analisis data secara
deskriptif kualitatif dilakukan terhadap hasil wawancara, observasi, catatan lapangan
(video record), analisis dokumen lembar validasi.Serta analisis kuantitatif (statistik)
hasil pretes dan postes kemampuan visual-spatial thinking mahasiswa yang
menggunakan bahan ajar LKM geometri ruang berbantuan GeoGebar 5.0 melalui
pendekatan PBL. Berdasarkan analisis hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai
berikut: (1) Berdasarkan penilaian validator, bahan ajar geometri ruang berbasis PBL
berbantuan GeoGebra 5.0 yang dikembangkan sesuai dengan prinsip PBL; (2)
Berdasarkan hasil validasi teoritik oleh validator bahan ajar geometri ruang berbasis
PBL berbantuan GeoGebra 5.0 dalam kategori baik dengan presentase keidealan 79,15
%; (3) Hasil uji coba lapangan, bahan ajar geometri ruang berbasis PBL berbantuan
GeoGebra 5.0 Perhitungan secara rata-rata klasikal diperoleh nilai Normalitas gain (g)
sebesar 0,38 yang berarti tafsiran peningkatan kemampuan Visual-Spatial Thinking
termasuk dalam kategori sedang.
Kata Kunci: Pendekatan Problem Based Learning(PBL), GeoGebra 5.0, Kemampuan
Visual-Spatial Thinking
A. Pendahuluan
Geometri adalah salah satu cabang matematika yang diajarkan di bangku sekolah, dari
sekolah dasar, sekolah menengah hingga perguruan tinggi.Geometri juga merupakan bidang
penting dari matematika.Menurut Schwartz (2010) geometri merupakan sebuah konsep yang
menghubungkan berbagai bidang dalam matematika.National Academy Science (2006)
berpendapat bahwa setelah melaksanakan pembelajaran geometri, peserta didik harus
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 211
mempunyai 4 kemampuan yaitu: (1) menganalisis karakteristik dan sifat-sifat bentuk
geometri dua dan tiga dimensi dan mengembangkan argumen-argumen matematika tentang
hubungan geometri itu; (2) menetapkan lokasi dan menjelaskan hubungan spasial
menggunakan koordinat geometri dan sistem representasi lainnya; (3) memakai transformasi
dan menggunakan simetri untuk menganalisis situasi matematika; (4) menggunakan
visualisasi, penalaran spasial, dan model geometri untuk memecahkan masalah.
Berdasarkan penjelasan tersebut, setidaknya kemampuan yang harus dimiliki oleh peserta
didik dalam pembelajaran geomerti adalah kemampuan visualisasi dan spasial. Giaquinto
(2007) menyatakan bahwa “Visual imagination seems to play an important role in extending
geometrical knowledge.” Artinya imajinasi visual memiliki peran penting dalam memperluas
pengetahuan geometri.Menurut Sword (2005), ada tiga cara berpikir, yaitu: berpikir audio
(audiotory thinking), berpikir visual (visual thinking), dan berpikir kinestetik (kinesthetic
thinking).Visualisasi merupakan bagian dari berpikir visual (visual thinking).Ismi dan
Hidayatulloh (2011), berpendapat bahwa visual thinking memegang peran penting dalam
keberhasilan pembelajaran geometri sebab peserta didik yang belajar tanpa menggunakan
kemampuan visual thinking rawan mengalami miskonsepsi, kemampuan visual thinking
berperan untuk memecahkan masalah dari soal-soal yang membutuhkan penalaran tingkat
tinggi.Jika kemampuan untuk memecahkan masalah adalah jantung dari matematika, maka
visualisasi merupakan inti pemecahan masalah matematika.Selain kemampuan visual
thinking, kemampuan spasial juga dibutuhkan dalam mempelajari geometri. Menurut Black
(2005), kemampuan spasial adalah suatu kemampuan dalam merepresentasikan,
mentransformasi, membangun, dan memanggil kembali informasi simbolik tidak dalam
bentuk bahasa.
Geometri dianggap sebagai bidang kajian matematika yang sulit.Kariadinata (2010)
mengemukakan bahwa banyak persoalan geometri yang sulit diselesaikan dan pada
umumnya dalam mengkonstruksi bangun ruang geometri.Gumilar (2012) menyatakan hal
yang serupa bahwa masih banyak peserta didik yang mengalami kesulitan dalam memahami
geometri, terutama geometri ruang yang merupakan materi matematika yang tidak disukai
oleh peserta didik.
Fakta-fakta tersebut menjelaskan bahwa masih banyak peserta didik yang mengalami
kesulitan dalam bidang kajian geometri terlebih geometri ruang/dimensi tiga.Kesulitan-
kesulitan tersebut berkaitan erat dengan rendahnya kemampuan visual-spatial thinking yang
merupakan syarat untuk dapat memahami keabstrakan geometri.Yuliardi (2010) yang
menjelaskan bahwa penghambat pembelajaran geometri ruang (akibat rendahnya
kemampuan visual-spatial thinking) di antaranya terdapat 2 alasan utama.Pertama, pendidik
seringkali dihadapkan pada materi yang membutuhkan daya visualisasi dan imajinasi yang
tinggi dari peserta didik, benda aslinya sulit diperlihatkan dan dieksplorasi oleh peserta didik
langsung.Alasan yang kedua berkaitan keefektifan waktu.Jika pendidik mencoba
menerangkan konsep geometri melalui metode pembelajaran konvensional maka pendidik
menggambarkan bangun ruang di papan tulis, lalu menguraikan bagian-bagiannya. Hal ini
jelas akan banyak menyita waktu, sedangkan jam pelajaran terbatas. Sehingga apabila
ditinjau dari segi keefektivitasan waktu, metode pembelajaran konvensional saja tidaklah
cukup untuk meraih hasil yang optimal dalam tujuan pembelajaran yang ingin
dicapai.Selanjutnya menurut Hidayati (2010), salah satu penyebab kesulitan peserta didik
memahami konsep geometri adalah faktor eksternal.Faktor eksternal yang dimaksud adalah
alat peraga yang tidak membantu peserta didik untuk membayangkan objek geometri yang
abstrak. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu alat bantu untuk memahami geometri ruang.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
212 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Alternatif solusi untuk meningkatkan rendahnya kemampuan tersebut salah satunya adalah
penggunaan bahan ajar yang memfasilitasi peserta didik mengembangkan kemampuan
visual-spatial thinkingdan menciptakan lingkungan belajar yang melibatkan peran peserta
didik dalam menghadapi masalah baru yang ditemukan dalam kehidupan nyata, menurut
Smaldino et al. (2012), pembelajaran seperti ini disebut problem based learning (PBL).
Kemudian Smaldino et al. (2012) menambahkan teknologi dapat menjadi “rekan intelektual”
karena teknologi melibatkan dan mendukung peserta didik dalam pembelajaran.Teknologi
merupakan lingkungan yang melibatkan peserta didik untuk menggunakan strategi belajar
kognitif dan kemampuan berpikir kritis.
GeoGebra 5.0 adalah salah satu perangkat lunak dinamis-geometri yang dapat digunakan
untuk membantu peserta didik dan pendidik untuk mengatasi beberapa kesulitan dan
membuat belajar geometri dimensi tiga (geometri ruang) menjadi lebih mudah dan menarik.
Keunggulan yang dimiliki GeoGebra 5.0adalah terdapat fasilitas/menu tampilan grafik 3D
diperkirakan dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik, yaitu dengan objek geometri
pada GeoGebra 5.0 yang dapat diubah kedudukannya sehingga membantu peserta didik
menentukan kedudukan objek geometri dalam ruang.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang
berjudul: Pengembangan Bahan Ajar Geometri Ruang Melalui Problem Based Learning
(PBL) Berbantuan GeoGebra 5.0 untuk Meningkatkan Kemampuan Visual-Spatial
Thinking.penelitian ini bertujuan untuk (1) Mempreolehbahan ajar Geometri Ruang
berbantuan GeoGebra 5.0 yang dikembangkan sesuai dengan prinsip PBL; (2) Memperoleh
bahan ajar Geometri Ruang melalui PBL berbantuan GeoGebra 5.0 yang dikembangkan
memenuhi kriteria valid dan praktis; (3) Memperoleh bahan ajar PBL berbantuan GeoGebra
5.0 yang dikembangkan dapat meningkatkan visual-spatial thinking mahasiswa.
B. Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Research and Development.Penelitian
ini berfokus pada pengembangan bahan ajar Geometri Ruang melalui Pendekatan Problem
Based Learning (PBL) berbantuan GeoGebra 5.0 dan pengembangan instrument untuk
mengukur visual-spatial thinking.
Prosedur penelitian yang dilakukan adalah analisis kebutuhan; pengembangan produk (bahan
ajar); validasi ahli dan revisi produk; dan uji Coba lapangan skala kecil.Pengumpulan data
menggunakan teknik wawancara, validasi ahli, validasi empirik, dan penerapan bahan
ajar.Teknik wawancara digunakan dalam tahap analisis kebutuhan.Validasi ahli digunakan
pada tahap validasi ahli dan revisi produk bahan ajar dan instrumen yang telah
dikembangkan.Penerapan bahan ajar ini merupakan pengumpulan data untuk tahap uji coba
bahan ajar, untuk melihat kepraktisan dan pengaruh dari penerapan bahan ajar geoetri ruang
berbantuan GeoGebra 5.0 melalui pendekatan PBL terhadap peningkatan kemampuan
visual-spatial thinking mahasiswa.Analisis data secara deskriptif kualitatif dilakukan
terhadap hasil wawancara, observasi, catatan lapangan (video record), analisis dokumen
lembar validasi.Serta analisis kuantitatif (statistik) hasil pretes dan postes kemampuan
visual-spatial thinking mahasiswa yang menggunakan bahan ajar LKM geometri ruang
berbantuan GeoGebar 5.0 melalui pendekatan PBL.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 213
C. Hasil dan Pembahasan
Hasil Penelitian
Berikut dipaparkan hasil penelitian Pengembangan bahan ajar Geometri Ruang melalui
Pendekatan Problem Based Learning (PBL) Berbantuan GeoGebra 5.0 untuk Meningkatkan
kemampuan Visual-Spatial Thinking Mahasiswa.
1. Tahap Analisis Kebutuhan
Berdasarkan hasil pengamatan awal dilakukan dengan menganalisiskebutuhan mahasiswa
peneliti memperoleh informasi sebagai berikut: 1) mahasiswa masih kurang aktif dalam
pembelajaran di kelas, hal ini menyebabkan dosen lebih banyak memberikan informasi di
depan kelas, menulis dan menjelaskan materi menggunakan metode ceramah dan pemberian
contoh-contoh soal, sementara itu mahasiswa mencatat materi yang dosen tulis di papan
tulis; 2) pembelajaran tidak didukung dengan bahan ajar yang memadai. Umumnya
mahasiswa tidak memiliki buku pegangan sebagai sumber belajar, mahasiswa hanya
mengandalkan materi yang diberikan oleh dosen pada saat proses pembelajaran. Sehingga
mahasiswa tidak memiliki gambaran tentang materi yang akan dipelajari sebelum proses
pembelajaran berlangsung. 3) nilai mahasiswa pada mata kuliah geometri ruang masih
tergolong rendah, dikarenakan mahasiswa masih mengalami kesulitan dalam memahami
konsep geometri.
2. Tahap Pengembangan Produk (Bahan Ajar)
Pada tahap ini dikembangkan bahan ajar Geometri Ruang berbantuan Software GeoGebra
5.0 untuk meningkatkan kemampuan visual-spatial thinking mahasiswa sesuai dengan
tahapan problem based learning. Bahan ajar yang dikembangkan berupa lembar kerja
mahasiswa untuk membimbing dan mengarahkan mahasiswa dalam mengkonstruksi konsep
geometri ruang dengan berbantuan Software GeoGebra. Bahan ajar yang dikembangkan
terdiri lima lembar kegiatan mahasiswa (LKM) yang memfasilitasi mahasiswa dalam
pembelajaran Geometri ruang. LKM 1 (Garis Tegak Lurus dan Proyeksi (1)) ; LKM 2 (Garis
Tegak Lurus dan Proyeksi (2)) ; LKM 3 (Jarak Titik, Garis dan Bidang (1)); LKM 4 (Jarak
Titik, Garis dan Bidang (2)); dan LKM 5 (Sudut antara Garis dan Bidang). Selain
pengembangan bahan ajar Geometri Ruang berbantuan GeoGebra 5.0, dalam penelitian ini
juga dikembangkan instrument kemampuan Visual-Spatial Thinking mahasiswa.Struktur
bahan ajar LKM yang dikembangkan dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1.Struktur Bahan Ajar Geometri Ruang Berbantuan Software GeoGebra
5.0.
No Bagian Isi
1 Judul Lembar Kegiatan
Mahasiswa
Judul Materi yang dipelajari, tujuan pembelajaran,
kolom identitas mahasiswa, petunjuk pengisian
lembar kegiatan mahasiswa
2 Permasalahan dan tugas –
tugas
Permasalahan kontekstual (konsep) sesuai dengan
materi dan tujuan pembelajaran, tugas-tugas berupa
pertanyaan yang menuntun mahasiswa
mengkonstruksi konsep sesuai tujuan pembelajaran
dengan menggunakan tool pada GeoGebra 5.0
3 Ayo Berlatih Soal-soal susuai materi yang dipelajari dan soal untuk
meningkatkan kemampuan visual-spatial thinking
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
214 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
3. Validasi Ahli dan Revisi Produk
Secara umum hasil validasi para ahli terhadap instrument penelitian diperoleh sebagai
berikut.
1) Draft bahan ajar (LKM) dengan kriteria baik sehingga dapat digunakan dengan sedikit
revisi
2) Soal tes kemampuan visual-spatial thinking dengan kriteria baik sehingga dapat
digunakan dengan sedikit revisi
Berdasarkan validator, nilai rata-rata validasi kualitas bahan ajar yang dikembangkan
termasuk pada kategori baik.Berdasarkan indikator validasi bahan ajar maka bahan ajar yang
dikembangkan dikatakan valid.Sehingga bahan ajar yang dikembangkan dapat diuji coba di
lapangan.Rekapitulasi nilai validasi bahan ajar oleh validator disajikan pada tabel berikut.
Table 2. Rekapitulasi Nilai Validasi Bahan Ajar oleh Validator
N
No
Komponen
Bahan Ajar
Validator Jumlah Prosentase Krieteia
I I
I
III
1
1
Komponen
Kelakayakan Isi
52 40 39 131 72,78 Baik
2
2
Komponen
Kebahasaan
62 60 58 180 80,00 Baik
2
3
Komponen
Penyajian
45 42 40 127 84,67 Baik
Rata-rata 79,15 Baik
Penilaian validator terhadap bahan ajar didasarkan pada indikator-indikator yang termuat
dalam validasi bahan ajar.Penjelasan lebih lengkap tentang revisi yang dilakukan terhadap
bahan ajar dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 3.Revisi Bahan Ajar Berdasarkan masukan Validator N
No. Sebelum direvisi Setelah direvisi
1
.
Masih terdapat kesalahan dalam
pengetikan.
Kesalahan pengetikan sudah diperbaik
2
.
Belum menggunakan icon-icon tool
GeoGebra saat memberikan petunjuk
dalam mengkonstruksi gambar
GeoGebra
Sudah memberikan icon-icon tool
GeoGebra saat memberikan petunjuk
dalam mengkonstruksi gambar GeoGebra
3
.
Belum memberikan informasi tentang
tool apa saja yang digunakan dalam
mengkonstruksi sebuah gambar
Sudah memberikan informasi tentang tool
apa saja yang digunakan dalam
mengkonstruksi sebuah gambar
4. Belum meminta mahasiswa untuk
menentukan ukuran garis ortogonal,
bidang frontal, sudut surut yang
digunakan dalam menggambar secara
manual.
Sudah meminta mahasiswa untuk
menentukan ukuran garis ortogonal,
bidang frontal, sudut surut yang digunakan
dalam menggambar secara manual.
5. LKM belum dilengkapi dengan
konteks/situasi realistik untuk setiap
konsep sebelum masuk ke dalam
konsep matematisnya.
LKM sudah dilengkapi dengan
konteks/situasi realistik untuk setiap
konsep sebelum masuk ke dalam konsep
matematisnya.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 215
5. Uji Coba Lapangan Skala Kecil Berikut pemaparan terkait kegiatan uji coba bahan ajar dalam skala kecil.
1) Uji Kepraktisan Bahan Ajar
Bahan Ajar Geometri ruang melalui PBL Berbantuan Software GeoGebra 5.0 yang
dikembangkan yang melaui tahap validasi teoritik oleh tiga ahli dan validasi empirik,
selanjutnya diujicobakan sebagai bahan ajar pada mahasiswa prodi pendidikan matematika
tingkat 2 tahun ajaran 2016-2017 Universitas Kuningan. Kegiatan uji coba lapangan ini
dilakukan sebanyak tujuh kali pertemuan (satu kali pertemuan pemberian pretes
menggunakan soal tes kemampuan visual-spatial thinking yang dikembangkan, lima kali
pertemuan pembelajaran menggunakan LKM geometri ruang berbantuan GeoGebra 5.0
melalui pendekatan PBL yang telah dikembangkan dan satu kali pertemuan pemberian
postes menggunakan soal tes kemampuan visual-spatial thinkingyang dikembangkan).
2) Peningkatan Kemampuan Visual-Spatial Thinking Mahasiswa
Berdasarkan hasil uji coba bahan ajar yang telah dikembangkan dalam skala kecil dianalisis
dengan melihat peningkatan kemampuan visual-spatial thinking mahasiswa menggunakan
uji gain ternormalisasi berdasarkan hasil pretes dan postes mahasiswa.Berikut ini merupakan
deskripsi data kemampuan visual-spatial thinking mahasiswa sebelum dan sesudah
pembelajaran menggunakan bahan ajar geometri ruang berbantuan GeoGebra 5.0 melalui
pendekatan PBL.
Tabel 4.Statistik Deskriptif Hasil Tes Kemampuan Visual-Spatial Thinking
Mahasiswa
Kemampuan
Visual-Spatial
Thinking
Skor Ideal
Postes
SD xmin xmaks
Sebelum 60 17,033 6,900 3 35
Sesudah 60 33,333 8,801 12 52
Berdasarkan deskripsi di atas, dapat dilihat bahwa rerata kemampuan visual-spatial thinking
mahasiswa siswa secara keseluruhan, sebelum pembelajaran dan sesudah pembelajaran
mengalami peningkatan.
Rata-rata klasikal skor Normalitas Gain (g) dapat ditentukan berdasarkan rata-rata skor
kemampuan Visual-Spatial Thinking mahasiswa yang diukur berdasarkan skor motivasi
belajar mahasiswa sebelum dan sesudah pembelajaran menggunakan bahan ajar geometri
ruang berbantuan GeoGebra 5.0 melalui pendekatan PBL. Berdasarkan data skor
kemampuan Visual-Spatial Thinking mahasiswa sebelum dan sesudah pembelajaran
menggunakan bahan ajar geometri ruang berbantuan GeoGebra 5.0 melalui pendekatan PBL,
maka rata-rata klasikal skor normalitas gain (g) adalah:
Jadi secara rata-rata klasikal diperoleh nilai Normalitas gain (g) sebesar 0,38 yang berarti
tafsiran peningkatan kemampuan Visual-Spatial Thinking termasuk dalam kategori sedang.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
216 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
3) Uji Beda Skor Pretes dan Postes
Uji beda skor pretes dan postes digunakan untuk mengetahui perbedaan kemampuan visual-
spatial thinking mahasiswa sebelum belajar menggunakan bahan ajar geometri ruang yang
dikembangkan berbantuan GeoGebra 5.0 melalui pendekatan PBL dan kemampuan visual-
spatial thinking mahasiswa sesudah belajar menggunakan bahan ajar geometri ruang yang
dikembangkan berbantuan GeoGebra 5.0 melalui pendekatan PBL.
Adapun rumusan hipotesisnya adalah sebagai berikut.
Ho : η 1= η2, Tidak terdapat perbedaan skor pretes dan postes kemampuan visual-spatial
thinking secara signifikan.
Ha : η 1≠ η2, Terdapat perbedaan skor pretes dan postes kemampuan visual-spatial
thinking secara signifikan.
Berikut rangkuman hasil uji perbedaan rataan skor pretes.
Tabel 4.Uji Perbedaan Rataan Skor Pretes Kemampuan Visual-Spatial Thinking
Statistik Keterangan
Mann-Whitney U Z Asymp. Sig. (2-tailed)
59,500 -5,778 0,000 Ho Ditolak
Dari hasil uji Mann-Whitney U di atas, diperoleh nilai p-valueatau Sig. (2-tailed) yaitu 0,000
< ( = 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa Ho ditolak, artinya terdapat perbedaan yang
signifikan antara skor pretes dan skor postes kemampuan visual-spatial thinkingmahasiswa
kelas yang menggunakan bahan ajar geometri ruang berbasis PBL berbantuan GeoGebra 5.0.
Pembahasan
Berikut pemaparan pembahasan berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan
sebelumnya.
1. Keseuaian Bahan Ajar Geometri Ruang Berbantuan GeoGebra 5.0 yang
Dikembangkan dengan Prinsip PBL
Prinsip-prinsip PBL yang dikemukakan olehSanjaya (2010) bahwa PBL merupakan
pendekatan pembelajaran yang mempunyai ciri menggunakan masalah nyata sebagai konteks
bagi peserta didik untuk belajar berpikir kritis, keterampilan pemecahan masalah, dan
memperoleh pengetahuan mengenai esensi materi pembelajaran. Sehingga peserta didik
dituntut aktif menemukan konsepnya sendiri. Berikut pemaparan tentang kesesuaian bahan
ajar geometri ruang berbantuang geogebra 5.0 yang dikembangkan dengan prinsip PBL:
LKM yang dikembangkan menggunakan masalah nyata sebagai konteks bagi peserta didik
untuk belajar berpikir kritis.Pada bagian awal LKM disajikan masalah terkait konsep yang
akan dipelajari. Mahasiswa mendiskusikan masalah yang diberikan dalam kelompok.
Mereka mengklarifikasi fakta, mendefinisikan apa masalahnya. Menggali gagasan
berdasarkan pengetahuan sebelumnya. Menemu-kenali apa yang mesti diketahui (dipelajari)
untuk memecahkan masalah itu (isu belajar terletak di sini). Bernalar melalui masalah dan
menentukan apa tindakan atas masalah tersebut.Dalam hal ini bahan ajar (LKM) yang
dikembangkan disusun untuk kegiatan belajar kelompok, setiap kelompok terdapat 4-5
mahasiswa.Tugas tugas yang diberikan juga menuntut untuk menggali gagasan berdasarkan
pengetahuan sebelumnya. Bernalar melalui masalah dan menentukan apa tindkan atas
masalah yang diberikan.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 217
2. Validitas dan Kepraktisan dari Bahan Ajar Geometri Ruang melalui PBL
berbantuan GeoGebra 5.0
Bahan ajar geometri ruang berbasis PBL berbantuan GeoGebra 5.0 yang dikembangkan
divalidasi baik validasi secara teoritis. Validasi teoritis dilakukan oleh tiga validator,
persentase rata-rata penilaian terhadap bahan ajar yang dikembangkan sebesar 79,15 dengan
krtiteria baik. Penilaian validator terhadap bahan ajar didasarkan pada indikator-indikator
yang termuat dalam validasi bahan ajar yaitu komponen kelayakan isi, komponen
kebahasaan, dan komponen penyajian.Berdasarkan kesimpulan dan masukan validator,
selanjutnya dilakukan revisi terhadap bahan ajar. 1) Kesalahan pengetikan; 2) Penggunaan
icon-icon tool GeoGebra saat memberikan petunjuk dalam mengkonstruksi gambar
GeoGebra; 3) Pemberian informasi tentang tool apa saja yang digunakan dalam
mengkonstruksi sebuah gambar; 4) meminta mahasiswa untuk menentukan ukuran garis
ortogonal, bidang frontal, sudut surut yang digunakan dalam menggambar secara manual; 5)
LKM harus dilengkapi dengan konteks/situasi realistik untuk setiap konsep sebelum masuk
ke dalam konsep matematisnya.
Hasil penilaian terhadap LKM yang dikembangkan bahwa LKM memfasilitasi kemampuan
visual-spatial thinking melalui karena LKM mampu 1) Mengembangkan kemampuan
mahasiswa dalam mengubah informasi menjadi objek geometri; 2) Mengembangkan
kemampuan mahasiswa dalam membayangkan posisi suatu obyek geometri sesudah obyek
tersebut mengalami rotasi, refleksi, atau dilatasi; 3) Mengembangkan kemampuan
mahasiswa dalam membandingkan kaitan hubungan logis dari unsur-unsur suatu bangun
ruang; 4) Mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam menduga secara akurat bentuk
suatu obyek dipandang dari sudut pandang tertentu; 5) Mengembangkan kemampuan
mahasiswa dalam menentukan obyek yang cocok pada posisi tertentu dari sederetan obyek
bangun geometri ruang atau mengenal pola; 6) Mengembangkan kemampuan mahasiswa
dalam merepresentasikan model-model bangun geometri yang digambarkan pada bidang
datar; dan 7) Mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam menemukan informasi dari
visual berupa obyek sederhana dalam konteks keruangan yang kompleks. Sedangkan untuk
cakupan materi, akurasi materi termasuk dalam kriteria baik, untuk komponen kebahasaan
termasuk dalam kriteria baik. Begitu juga komponen penyajian sudah sesuai dengan prinsip-
prinsip PBL.
Pada pertemuan pertama dosen memberikan pretes kepada mahasiswa subjek peneltian hal
ini bertujuan untuk memperoleh data kemampuan awal visual-spatial thinking mahasiswa.
Pada pertemuan kedua dosen memberikan instruksi kepada mahasiswa untuk duduk sesuai
kelompok yang telah diinformasikan pada pertemuan sebelumnya. Mahasiswa dibagi ke
dalam 7 kelompok, sehingga terdapat lima kelompok yang beranggotakan 4 mahasiswa dan
dua kelompok yang beranggotakan 5 mahasiswa.
Pada pertemuan kedua terlihat mahasiswa masih beradaptasi untuk belajar secara
berkelompok dan sekaligus menyelesaikan masalah dengan bantuan GeoGebra 5.0.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada siswa pada akhir pembelajaran siswa
mengaku bahwa mereka jarang sekali melaksanakan pembelajaran secara berkelompok
untuk mata kuliah ilmu matematika dengan menggunakan LKM sehingga kesulitan
berinteraksi dalam kelompok. Mahaiswa juga belum pernah terlibat dalam pembelajaran
matematika yang menggunakan bantuan program komputer.Namun mahasiswa terlihat
antusias untuk belajar geometri ruang.Mereka tertarik dengan penggunaan GeoGebra 5.0.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
218 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Selanjutnya pada pertemuan ketiga mahasiswa mulai beradaptasi dengan aktivitas
pembelajaran berbasis masalah berbantuan GeoGebra 5.0.adaptasi ini terus terjadi pada
pertemuan-pertemuan berikutnya. Siswa tetap bersemangat dan semakin terbiasa melakukan
pembelajaran dengan LKM dan menggunakan GeoGebra 5.0. Komunikasi dengan rekan
dalam kelompok dan komunikasi dengan dosen sebagai fasilitator juga berjalan dengan baik.
Kondisi ini membuktikan kebenaran pendapat Xiuping (Pitriani, 2014) yang menyatakan
bahwa beberapa karakteristik PBL di antaranya masalah-masalah yang disajikan justru akan
memotivasi belajar siswa dan juga mampu membawa siswa untuk fokus pada proses belajar
itu sendiri sebab siswa diminta untuk melakukan refleksi. Selain itu mahasiswa juga lebih
memahami konsep geometri ruang.Hal ini sejalan dengan temuan dari penelitian-penelitian
penerapan teknologi yang menyatakan bahwa pembelajaran dengan bantuan komputer dapat
menjadi suatu metode yang efektif bagi para siswa dan berpengaruh positif terhadap
pembelajaran matematika mereka (Li dan Edmonds, 2005).Selanjutnya pada pertemuan
terakhir (pertemuan ketujuh) adalah pemberian postes kemampuan visual-spatial thinking.
Hal ini bertujuan untuk melihat kemampuan visual-spatial thinking mahasiswa setelah
belajar menggunakan bahan ajar geometri ruang berbantuan GeoGebra 5.0 melalui PBL.
Secara keseluruhan mahasiswa menunjukkan perhatian dan ketertarikan yang lebih dalam
proses pembelajaran menggunakan bahan ajar yang dikembangkan, karena mahasiswa tidak
hanya mencatat dan berlatih soal – soal yang diberikan oleh dosen. Mahsiswa sangat
antusias karena proses pembelajaran menggunakan kemajuan teknologi dalam hal ini
penggunaan software geogebra 5.0 untuk mengkonstruksi konsep-konsep dalam geometri
ruang. Dengan beragam fasiltasi yang dimiliki, GeoGebra 5.0 dapat dimanfaatkan sebagai
media pembelajaran, mahasiswa dapat mendemonstrasikan atau memvisualisasikan konsep-
konsep matematis serta sebagai alat bantu untuk mengkonstruksi konsep-konsep geometri
ruang. Software GeoGebra 5.0 berfungsi sebagai media gambar yang dinamis sehingga
mahsiswa dapatmelakukan geseran titik, garis dan bidang serta membuat garis tegak lurus
untuk membuat proyeksi baik titik terhadap garis maupun titik terhadap bidang ataupun
melakukan pengukuran ruas garis dan besar sudut yang terbentuk.
Mahsiswa melalui LKM geometri ruang berbantuan GeoGebra 5.0 melalui pendekatan
PBLmendapat pengalaman langsung dalam belajar, selain itu melalui pemberian masalah
dan pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam LKM berbantuan GeoGebra 5.0 melalui
pendekatan PBLmendukung kegiatan penemuan konsep dan dapat meningkatkan
kemampuan Visual-Spatial Thinking mahsiswa dalam belajar Geometri ruang.
3. Peningkatan Kemampuan Visual-Spatial Thinking Mahasiswa
Setelah dilakukan penelitian, yaitu berupa uji coba skala kecil terhadap bahan ajar geometri
ruang berbasis PBL berbantuan GeoGebra 5.0 terhadap mahasiswa tingkat 1 semester 2
tahun ajaran 2015/2016 prodi pendidikan matematika Universitas Kuningan sebagai subjek
penelitian, kemudian dilakukan analisis data hasil penelitian yaitu terhadap hasil tes
kemampuan visual-spatial thinking.
Peneliti juga melakukan uji beda skor pretes dan postes untuk melihat peningkatan
kemampuan visual-spatial thinking mahasiswayang menggunakan bahan ajar gemoetri ruang
berbantuan GeoGebra 5.0 melalui PBL. Hasil uji beda menunjukkanpenggunaan bahan ajar
gemoetri ruang berbantuan GeoGebra 5.0 melalui PBL berpengaruh pada peningkatan
kemampuan visual-spatial thinking mahasiswa. Hal ini berdampak padakemampuan
pemahaman konsep bangun ruang mahasiswa.Seperti pendapat Accascina dan Rogora
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 219
(2006), yang menyatakan kesalahan mahasiswadalam memahami bentuk dimensi tiga dapat
menyebabkan kesalahan dalampenyelesaian soal yang diberikan.
Gambar 1. Aktivitas Diskusidan Presentasi Kelompok Pembelajaran Geometri Ruang
berbantuan GeoGebra melalui PBL
Kegiatan diskusi dan presentasi mahasiswa dalam kegiatan pembelajaran berbasis masalah
berbantuan GeoGebra 5.0dapat meningkatkan interaksi antar mahasiswa, yangsecara tidak
langsung dan efektif dalam membangun lingkungan belajar yangberpikir.Seperti pendapat
Sabandar (2008), yang menyatakan bahwa diperlukan upaya pendidik secara sengaja agar
terwujud dan tercipta suatu kelas yang berpikiryaitu mengembangkan kemampuan berpikir
matematika peserta didik.Kemampuan berpikir di sini salah satunya adalah kemampuan
visual-spatial thinking sehingga berdasarkan penjelasan di atas jelaslah alasan peningkatan
kemampuan kemampuan visual-spatial thinking siswa di kelas yang pembelajarannya
menggunakan bahan ajar geometri ruang berbantuan GeoGebra 5.0 melalui PBL.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan penelitian pengembangan ini adalah telah
dikembangkan bahan ajar geometri ruang berbantuan GeoGebra 5.0 melalui pendekatan PBL
melalui tahapan: 1) analisis kebutuhan; 2) pengembangan produk (bahan ajar); 3) validasi
ahli dan revisi produk; 4) uji Coba lapangan skala kecil. Melalui langkah-langkah tersebut
maka dihasilkan bahan ajar geometri ruang berbasis PBL berbantuan GeoGebra 5.0
Berkaitan dengan kualitas bahan ajar berdasarkan penilaian validator dan uji coba lapangan,
maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
a. Berdasarkan penilaian validator, bahan ajar geometri ruang berbasis PBL berbantuan
GeoGebra 5.0 yang dikembangkan sesuai dengan prinsip PBL
b. Berdasarkan hasil validasi teoritik oleh validator bahan ajar geometri ruang berbasis
PBL berbantuan GeoGebra 5.0 dalam kategori baik dengan presentase keidealan 79,15
%.
c. Hasil uji coba lapangan, bahan ajar geometri ruang berbasis PBL berbantuan GeoGebra
5.0 Perhitungan secara rata-rata klasikal diperoleh nilai Normalitas gain (g) sebesar
0,38 yang berarti tafsiran peningkatan kemampuan Visual-Spatial Thinking termasuk
dalam kategori sedang.
Saran Peneliti menyarankan agar bahan ajar geometri ruang berbantuan GeoGebra 5.0 melalui PBL
yang dikembangkan:
a. Di ujicobakan kembali di beberapa kelas untuk mendapatkan hasil yang lebih beragam
sehingga bahan ajar yang dikembangkan lebih baik lagi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
220 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
b. Digunakankan dalam pembelajaran mata kuliah geometri ruang.
Daftar Rujukan
Black, A. A. (2005). Spatial Ability and Earth Science Conceptual
Understanding.Springfield: Missouri State University. [Online]. Tersedia:
http://www.redorbit.com/news/science/268601/spatial_ability_and_earth_science_con
ceptual_understanding/ [25 Oktober 2013].
Giaquinto, M. (2007).Visual Thinking in Mathematics An Epistemological Study. United
States: Oxford University Press Inc., New York.
Gumilar.(2012). Pembelajaran Geometri dengan Wingeom untuk Meningkatkan
Kemampuan Spasial dan Penalaran Matematis Siswa.Tesis pada SPs UPI.Tidak
diterbitkan.
Hidayati, F. (2010).Kajian Kesulitan Belajar Siswa Kelas VII SMP Negeri 16 Yogyakarta
dalam Mempelajari Aljabar.Skripsi Pendidikan Matematika UNY Yogyakarta.Tidak
diterbitkan.
Ismi, I. N. & Hidayatulloh, B. (2012).Pentingnya Visual Thinking dalam Pembelajaran
Geometri SMP.[Online]. Tersedia: http://ohmymath.wordpress.com/category/jurnal-
dan-artikel/ [19 Oktober 2013].
Kariadinata, R. (2010). Aplikasi Berbasis Komputer dalam
PembelajaranMatematika.Disertasi Jurusan Pendidikan Matematika SPs UPI
Bandung.Tidak diterbitkan.
Li, Q. & Edmonds, K. A. (2005). Mathematics and At-Risk Adult Learners: Would
Technology Help? Journal of Research on Technology in Education Vol. 38 No. 2.
National Academy of Science (2006).Learning to Think Spatially. Washington DC: The
National Academics Press.
Sabandar, J. (2008). Thinking Classroom dalam Pembelajaran Matematika di
Sekolah.Makalah Pada Seminar Matematika. Bandung.
Sanjaya, W. (2010).Strategi Pembelajarran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Schwartz, J.E. (2010). Why Learn Geometry? [Online] Update on Jul 20, 2010. Tersedia:
http://www.education.com/reference/article/why-learn-geometry-mathematics/ [3 Juni
2014].
Smaldino, S. E., Lowther, D. L., & Russel, J. D. (2012). Instructional Technology & Media
for Learning. Jakarta: Kencana.
Sword, L. K. (2005).The Power of Visual Thinking.[Online].
Tersedia:http://www.tempinformationsheets.apduk.org.uk/HTMLobj-
210/Power_of_Visual_Thinking.pdf [20 Oktober 2013].
Yuliardi, R. (2010). Pengaruh Model Pembelajaran Matematika Interaktif Berbasis
Komputer Tipe Drill untuk Meningkatkan Kemampuan Spatial Sense Siswa SMP
dalam Materi Bangun Ruang Sisi Lengkung.Skripsi FPMIP UPI Bandung.Tidak
diterbitkan
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 221
PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA BERBASIS
PENDEKATAN SAINTIFIK PADA MATERI VOLUME KUBUS
UNTUK SISWA SMP
Tarsudin1, Zulkardi
2, Darmawijoyo
2
1Mahasiswa Program Magister PendidikanMatematikaUniversitasSriwijaya
2Dosen Program Magister PendidikanMatematikaUniversitasSriwijaya
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan lembar kerja siswa dengan pendekatan
saintifik yang valid dan praktis. Jenis penelitian ini adalah Design Research tipe
development study dengan metode penelitian yang digunakan adalah formative
evaluation. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap preliminary (tahap
persiapan dan tahap desain) dan tahap formatif evaluation (tahap expert reviews, one-
to-one, small group, dan field test). Penelitian ini melibatkan siswa kelas VIII SMP
Negeri 55 Palembang sebagai subjek uji coba one-to-one dan small group. Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah walk through dan dokumentasi.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa LKS yang
dikembangkan memenuhi karakteristik kevalidan dan kepraktisan.
Kata kunci : LKS, Pendekatan Saintifik, Volume Kubus
1. Pendahuluan
Dalam standar isi pendidikan dasar dan menengah, salah satu materi matematika yang
diajarkan pada siswa SMP adalah geometri yang didalamnya termasuk bangun ruang
(Permendikbud, 2016) . Salah satu indikator yang ada dalam materi bangun adalah
menentukan volume. Hasil penelitian (Rostika, 2008) tentang pembelajaran volume bangun
ruang menunjukan bahwa siswa mengalami kejenuhan karena pembelajaran yang kurang
menarik, guru kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif memanipulasi
benda-benda secara langsung, sehingga sebagian besar siswa suka rmemahami setiap konsep
yang diajarkan. Selain itu, (Heruman, 2008) juga menyatakan bahwa siswa jarang sekali
diajak untuk mencari dan menemukan sendiri rumus dari volume bangun ruang. Padahal,
jika saja siswa diarahkan untuk bisa menemukan sendiri rumus tersebut, pengajaran topik itu
akan lebih bermakna dan membuat siswa lebih mengerti.
Salah satu solusi yang bisadilakukan oleh guru adalah dengan menerapkan pembelajaran
yang bisa menciptakan keaktifan siswa, baik untuk menemukan konsep dari materi
pembelajaran, memecahkan persoalan, serta menerapkan apa yang telah dipelajari untuk
menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, siswa akan
merasakan suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan pembelajaran akan lebih
bermakna. Dalam menerapkan pembelajaran aktif, guru bisa memilih salah satu pendekatan
pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum 2013 yaitu pendekatan saintifik. Pendekatan
saintifik dipilih karena pembelajaran dengan pendekatan saintifik berpusat pada siswa, serta
pembelajaran membentuk students‟ self concept (Kemdikbud, 2013).
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
222 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Dalam menerapkan pembelajaran dengan pendekatan saintifik, maka guru memerlukan
bahan ajar. Salah satu bahan ajar yang bisa digunakan untuk menerapkan pembelajaran
saintifik adalah lembar kerja siswa (LKS). Guru harus mengembangkan LKS yang sesuai
dengan pendekatan saintifik sehingga pembelajaran aktif yang diharapkan bisa tercapai.
Menurut (Risnawati, Mardianita, & Rahmawati, 2015) bahwa penggunaan LKS membuat
siswa aktif dalam belajar, ditandai dengan saling berdiskusi dalam kelompoknya membahas
soal-soal LKS, bertanya kepada guru jika ada yang belum jelas, mengerjakan dengan tepat
waktu, adanya perhatian penuh dari seluruh siswa pada saat siswa lain presentasi.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul
“Pengembangan Lembar Kerja Siswa Berbasis Pendekatan Saintifik pada Materi Volume
Kubus untuk Siswa SMP”.
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah “Bagaimana karakteristik lembar kerja
siswa berbasis pendekatan saintifik yang valid dan praktis pada materi volume kubus untuk
siswa SMP kelas VIII?”. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah
untuk menghasilkan lembar kerja siswa berbasis pendekatan saintifik yang valid dan praktis
pada materi volume kubus untuk siswa SMP.
2. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah design research tipe development study. Metode penelitian yang
digunakan dalam pengembangan LKS ini adalah yaitu formative evaluation. Penelitian ini
dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap preliminary (tahap persiapan dan tahap desain) dan
tahap formatif evaluation (tahap self evaluation, expert reviews, one-to-one, small group,
dan field test) (Tessmer, 1993 ; Zulkardi, 2002). Alurdesain formative evaluation dapat
dilihat beriku tini.
Gambar 1. Alurdesain formative evaluation (Tessmer, 1993; Zulkardi, 2002)
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah walk through
dan dokumentasi. Walk through berupa lembar validasi dan lembar komentar dan saran
expert, sedangkan dokumentasi berupa lembar komentar atau saran siswa pada tahap uji coba
one-to-one dan small group.
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan LKS berbasis pendekatan saintifik yang valid
dan praktis pada materi volume kubus untuk siswa SMP. Proses pengembangan bahan ajar
ini yang terdiri dari dua tahap, yaitu tahap preliminary dan tahap formative evaluation.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 223
Tahap preliminary terdiri dari 2 tahap yaitu tahap persiapan dan tahap pendesainan.Tahap
persiapan yang dilakukan oleh peneliti meliputi analisis siswa, analisis kurikulum, analisis
materi, serta berkolaborasi dengan guru dalam rangka persiapan penelitian. Setelah
melakukan analisis, selanjutnya peneliti mendesain LKS yang difokuskan pada konten,
konstruk, dan bahasa.
Setelah LKS didesain, selanjutnya peneliti mengevaluasi sendiri (self evaluation) LKS yang
telah dibuat. Pada tahap ini peneliti juga mengkonsultasikan LKS kepada dosen
pembimbing. Peneliti mendapatkan masukan dari dosen pembimbing dan kemudian merevisi
LKS. Hasil yang diperoleh dari tahap ini adalah LKS prototype pertama. Selanjutnya LKS
prototype pertama dievaluasi melalui empat tahap yaitu taha pexpert review, one-to-one,
small group, dan field test.
Prototype pertama yang telah dihasilkan dari tahap self evaluation kemudian dikirimkan
pada 2 orang expert untuk divalidasi. Expert memberikan penilaian terhadap LKS dari segi
konten, konstruk, dan bahasa. Dari segi konten, LKS yang telah dikembangkan telah sesuai
indikator materi pembelajaran, sesuai konten dengan tujuan pembelajaran. Dari segi
konstruk, LKS telah sesuai dengan level siswa kelas VIII, dan sesuai dengan langkah-
langkah pendekatan saintifik. Dari segi bahasa, ketepatan bahasa telah sesuai dengan EYD,
dan penggunaan rumusan kalimat yang tepat sehingga tidak menimbulkan makna ganda atau
salah pengertian. Selain memberikan penilaian dari segi konten, konstruk, dan bahasa,
Expert juga memberikan komentar dan saran terhadap LKS yang dikembangkan.
Bersamaan dengan proses validasi, LKS juga diuji cobakan pada one-to-one. Uji coba one-
to-one dilakukan pada 3 orang siswa kelas VIII SMP Negeri 55 Palembang yang
berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Siswa diminta untuk membaca kalimat pada LKS
serta menyelesaikan permasalahan pada LKS. Selanjutnya siswa diminta untuk memberikan
komentar dan saran terutama mengenai kalimat yang kurang dimengerti dan gambar kurang
jelas.
Setelah melalui taha pexpert reviews dan one-to-one, selanjutnya peneliti merevisi LKS
berdasarkan komentar dan saran yang diberikan. LKS yang telah direvisi disebut dengan
prototype kedua dan LKS kedua ini dapat dikatakan sebagai LKS yang valid. Valid dilihat
dari hasil penilaian expert, dimana 2 orang expert menyatakan baik berdasarkan konten,
konstruk, danbahasa, serta hasil uji coba one-to-one.
Selanjutnya bahan ajar prototype kedua di uji cobakan pada small group yang terdiridari 6
orang siswa kelas VIII SMP Negeri 55 Palembang yang masing-masing terdiri dari 2 orang
siswa berkemampuan akademik tinggi, sedang, dan rendah. Siswa pada tahap small group ini
berasal dari kelas yang berbeda dengan siswa pada tahap one-to-one. Secara berkelompok,
siswa menyelesaikan permasalahan pada LKS dimulai dari permasalahan yang ada pada
langkah mengamati, menanya, mencoba, mengasosiasi, hingga mengkomunikasikan. Setelah
menyelesaikan permasalahan pada LKS, kemudian siswa diminta untuk memberikan
komentar dan saran. Selanjutnya peneliti merevisi LKS berdasarkan komentar dan saran
siswa dari tahap small group ini. LKS yang telah direvisi disebut dengan LKS prototype
ketiga. LKS prototype ketiga merupakan LKS yang praktis. Hal ini dilihat dari keterpakaian
dan kemudahan siswa dalam menggunakan LKS yang dikembangkan saat uji coba small
group. Siswa secara aktif mengerjakan LKS yang telah dikembangkan dengan baik dan
mandiri tanpa ada bantuan yang berarti dari peneliti.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
224 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
4. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian ini
telah menghasilkan LKS berbasis pendekatan saintifik yang valid dan praktis pada materi
volume kubus untuk siswa SMP. Kevalidan LKS dilihat dari segi konten, konstruk, dan
bahasa. Sedangkan kepraktisan LKS dilihat dari keterpakaian dan kemudahan siswa dalam
menggunakan LKS yang dikembangkan.
Daftar Pustaka
Heruman. (2008). Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Kemdikbud. (2013). Pelatihan Pendampingan Kurikulum 2013 Pendekatan Saintifik.
Jakarta: Kemdikbud
Permendikbud. (2016). Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor
21 Tahun 2016 Tentang Standar Isi Pendidikan Dasar Dan Menengah. Jakarta:
Kemdikbud
Risnawati, Mardianita, W., & Rahmawati, R. (2015). Pengembangan Bahan Ajar Dimensi
Tiga Menggunakan Pendekatan Open-Ended di Kelas VIII MTs. Suska Journal of
Mathematics Education , 51.
Rostika, D. (2008). Pembelajaran Volume Bangun Ruang Melalui Pendekatan
Konstruktivisme untuk Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Dasar , 9 - April
2008.
Zulkardi. 2002. Developing A Learning Environment on RME for Indonesian Student
Teachers. Doctoral Dissertation. Enschede: University of twente. Tersedia
di:http://projects.edte.utwente.nl/cascade/imei/dissertation/disertasi.html.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 225
OPTIMALISASI PENGGUNAAN VIDEO DALAM
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Usman Aripin
STKIP Siliwangi Bandung
ABSTRAK
Artikel ini dilatar belakangi oleh kesulitan-kesulitan siswa dalam memahami
matapelajaran Matematika.Kesulitan siswa tersebut terjadi karena kurangnya motivasi
dalam belajar matematika.Banyak faktor yang menyebabkan motivasi belajarnya
kurang salah satu diantaranya karena kurangnya kemampuan awal siswa, situasi
pembelajara kurang menarik dan pengaruh penggunaan Gadget.Dalam mengatasi
permasalahan tersebut maka secara teoritik penggunaan video merupakan salahsatu
solusinya.Melalui video pembelajaran siswa dapat belajar kapanpun dan dimanapun
dengan memanfaatkan gadget dan media sosial yang mereka miliki.Pembelajaran
menggunakan video sangat bersinergi dengan situasi saat ini bahwasaannya gadget
dan media sosial bisa dimanfaatkan untuk belajar. Artikel ini merupkan hasil kajian
teori.Adapun rumusan masalahnya apakah pembelajan matematika menggunakan
video lebih optimal?Tujuan penulisan ini adalah untuk mengkaji secara teoritis
optimalisasi penggunaan video dalam pembelajaran matematika.Manfaat yang
diharapkan dari artikel ini adalah memberikan pemahaman kepada guru dalam hal
penggunaan video dalam pembelajaran matematika.Hasil kajian teori disimpulkan
bahwa penggunaan video dapat membantu siswa dalam memahami pembelajaran
matematika.Hasil kajian teori ini diharapkan menjadi perhatian bagi guru untuk
memanfaatkan gadget dan media sosial dalam pembelajaran matematika.
Kata kunci : Penggunaan Video, Pembelajaran Matematika
1. Pendahuluan
Matematika merupakan salah satu matapelajaran yang dianggap sulit bagi kebanyakan siswa
bahkan diaanggap matapelajaran menakutkan karena tak jarang rata-rata yang nilainya
paling kecil diantara matapelajaran lain adalah matematika. Olehkarena itu matematika
dianggap salahsatu matapelajaran yang sulit.Namun bagi sebagian kecil orang justru
sebaliknya matematika merupakan pelajaran yang menyenagkan, menantang dan penuh teka-
teki.Sebagian siswa yang menyukai matematika karena siswa tersebut memahami dan
menguasai matematika.Bagi sebagian siswa yang menganggap sulit itu karena tidak
menguasai suatu pokok bahasan di matematika.Oleh karena itu perlu sebuah situasi
pembelajaran yang dapat meningkan hasil belajar matematik siswa. Ketika hasil belajar
siswa mengalami peningkatan akan berimplikasi pada minat siswa belajar matematika.
Pembelajaran Matematika saat ini menghadapi tantangan yang sangat besar karena rangking
Indonesia selama 10 tahun terkahir ini masih belum memuaskan.Berdasarkan hasil studi
Program for International Student Assessment(PISA) tahun 2015 yang menunjukkan
Indonesia baru bisa menduduki peringkat 69 dari 76 negara (Sarnapi, 2016). Kemudian hasil
TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study), menurut Ruri (Sarnapi,
2016) menunjukkan siswa Indonesia berada pada ranking 36 dari 49 negara dalam hal
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
226 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
melakukan prosedur ilmiah.Hal ini menunjukan masih perlu peningkatan kwalitas
pembelajaran.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut salah satu alternatif solusinya adalah pembelajaran
dengan menggunakan video.Menurut (Hiebert & Lefevre, 1986) matematika mempunyai dua
komponen penting yaitu pengetahuan konsep yang berisi hubungan atau jaringan ide dan
pengetahuan prosedur itu pengetahuan tentang aturan atau cara yang digunakan untuk
menyelesaikan masalah matematika. Seorang siswa untuk memahami matematika haruslah
memahami konsepnya terlebih dulu kemudian menjalankan prosedur dengan benar.Pada
tahap pemahaman konsep pencapaiannya bervariasi ada yang sangat cepat, sedang, dan
lambat memahami suatu konsep.Melalui video siswa bisa mengulang-ulang berapakali untuk
melihat dan memahami suatu konsep matematika.
Perkembangan teknologi saat ini sangatlah berkembang cepat oleh karena itu pembelajaran
matematika haruslah mempunyai inovasi untuk menghadapai tantangan perkembangan saat
ini. Saat ini penggunaan smartphonesudah menjadi kebiasaan dan menjadi gaya hidup.
Menurut Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (2016) “Pengguna
smartphone Indonesia juga bertumbuh dengan pesat. Lembaga riset digital marketing
Emarketer memperkirakan pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih
dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan
pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika”.
Sering berkemabngnya teknologi saat ini salah satu inovasi pembelajaran saat ini melalui
pembelajaran dengan video.Dengan memanfaatkan smartphone dan media sosial yang
dimiliki siswa seorang guru dapat membagikan video yang berisi materi pembelajaran
sebelum pembelajaran dimulai.Kemudian siswa dapat melihat materi yang ada divideo
tersebut kapan pun dan dimanapun video itu dapat dilihat artinya siswa dapat belajar
fleksibel tidak hanya disekolah dan kelebihannya apabila siswa tidak mengerti materinya
siswa dapat mengulang-ulang videonya supaya lebih paham tentang materi yang
disampaikan.Kemudian ketika pertemuan dikelas guru bisa merefleksi apakah ada bagian
yang tidak dimengerti dan dapat memberikan soal-soal yang levelnya lebih tinggi.Melalui
pembelajaran menggunakan video ini diharpakan hasil belajar matematika lebih optimal.
Berdasarkan uraian diatas maka permasalahannya di rumuskan apakah pembelajaran
matematika menggunakan video lebih optimal?Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk
mengkaji secara teoritis optimalisasi penggunaan video dalam pembelajaran
matematika.Manfaat yang diharapkan dari artikel ini adalah memberikan pemahaman kepada
guru dalam hal penggunaan video dalam pembelajaran matematika.
2. Pembahasan
2.1 Pengertian Media Video
Media merpukan suatu bentuk ataupun saluran yang digunakan untuk mempermudah
tercapinya suatu tujuan. Kata media berasal dari kata latin, merupakan bentuk jamak dari
kata “medium”. Secara harfiah kata tersebut mempunyai arti "perantara" atau "pengantar",
yaitu perantara sumber pesan (a source) dengan penerima pesan (a receiver). Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia media adalah alat, sarana komnuikasi.
Hamidjojo dan Latuheru (Azhar Arsyad, 2011: 4) mengemukakan bahwa media sebagai
bentuk perantara yang digunakan oleh manusia untuk menyampaikan atau menyebar ide,
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 227
gagasan, atau pendapat sehingga ide, gagasan atau pendapat yang dikemukakan itu sampai
pada penerima yang dituju. Berdasarkan beberapa pengertian tenatng media diatas dapat
disimpulkan bahwa media adalah suatu alat sarana untuk menyambung, menyalurkan atau
menyampaikan sebuah pesan atau informasi.
Video menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bagian yang memancarkan gambar
pada pesawat televisi atau rekaman gambar hidup atau program televisi untuk ditayangkan
lewat pesawat televisi.Video berasal dari bahasa Latin, video-vidi-visum yang artinya
melihat (mempunyai daya penglihatan) dapat melihat (K.Prent, 1969: 926). Azhar Arsyad
(2011 : 49) menyatakan bahwa video merupakan gambar-gambar dalam frame, di mana
frame demi frame diproyeksikan melalui lensa proyektor secara mekanis sehingga pada layar
terlihat gambar hidup. Jadi pada kesimpulannya video merupakan rekaman gambar hidup
yang tervisualisasikan melalui sebuah alat elektronik.
2.2 Karakteristik Video dalam Pembelajaran
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi sebuah video dapat digunakan
sebagai media pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar
siswa.Menggunakan video juga dapat menjadi daya tarik seorang guru agar dapat
memotivasi siswa supaya lebih antusias dalam belajar.Menurut Riyana (2007:8-11) untuk
menghasilkan video pembelajaran yang mampu meningkatkan motivasi dan efektivitas
penggunanya maka pengembangan video pembelajaran harus memperhatikan karakteristik
dan kriterianya. Karakteristik video pembelajaran yaitu:
a. Clarity of Massage (kejalasan pesan)
Dengan media video siswa dapat memahami pesan pembelajaran secara lebih bermakna dan
informasi dapat diterima secara utuh sehingga dengan sendirinya informasi akan tersimpan
dalam memori jangka panjang dan bersifat retensi.
b. Stand Alone (berdiri sendiri).
Video yang dikembangkan tidak bergantung pada bahan ajar lain atau tidak harus digunakan
bersama-sama dengan bahan ajar lain.
c. User Friendly (bersahabat/akrab dengan pemakainya).
Media video menggunakan bahasa yang sedehana, mudah dimengerti, dan menggunakan
bahasa yang umum.Paparan informasi yang tampil.bersifat membantu dan bersahabat dengan
pemakainya, termasuk kemudahan pemakai dalam merespon, mengakses sesuai dengan
keinginan.
d. Representasi Isi
Materi harus benar-benar representatif, misalnya materi simulasi atau demonstrasi.Pada
dasarnya materi pelajaran baik sosial maupun sain dapat dibuat menjadi media video.
e. Visualisasi dengan media
Materi dikemas secara multimedia terdapat didalamnya teks, animasi, sound, dan video
sesuai tuntutan materi.Materi-materi yang digunakan bersifat aplikatif, berproses, sulit
terjangkau berbahaya apabila langsung dipraktikkan, memiliki tingkat keakurasian tinggi.
f. Menggunakan kualitas resolusi yang tinggi
Tampilan berupa grafis media video dibuat dengan teknologi rakayasa digital dengan
resolusi tinggi tetapi support untuk setiap spech system komputer.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
228 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
g. Dapat digunakan secara klasikal atau individual
Video pembelajaran dapat digunakan oleh para siswa secara individual, tidak hanya dalam
setting sekolah, tetapi juga dirumah.Dapat pula digunakan secara klasikal dengan jumlah
siswa maksimal 50 orang bisa dapat dipandu oleh guru atau cukup mendengarkan uraian
narasi dari narator yang telah tersedia dalam program.
Adapun tujuan penggunaan media video dalam pembelajaran menurut Anderson (1987: 104)
yaitu sebagi berikut :
a. Tujuan Kognitif
Dapat mengembangkan kemampuan kognitif yang menyangkut kemampuan mengenal
kembali dan kemampuan memberikan rangsangan berupa gerak dan sensasi.Kemudian
mempertunjukan serangkaian gambar diam tanpa suara sebagaimana media foto dan
film bingkai meskipun kurang ekonomis. Selain itu video digunakan untuk menunjukan
contoh cara bersikap atau berbuat dalam suatu penampilan khususnya meyangkut
interaksi manusiawi.
b. Tujuan Afektif
Menggunakan efek dan teknik, video dapat menjadi sarana yang sangat baik dalam
mempengaruhi sikap dan emosi
c. Tujuan Psikomotorik
Video merupakan media yang tepat untuk memperlihatkan contoh keterampilan yang
menyangkut gerak.Melalui video siswa langsungmendapat umpan balik secara visual
terhadap kemampuan mereka sehingga mampu mencoba keterampilan yang menyakut
gerak.
Setiap memunculkan sebuah inovasi tentunya mesti ada kelebihannya maupun
kekuranganya.Menurut Daryanto (2011: 79), mengemukakan beberapa kelebihan
penggunaan media video, antara lain :
a. Video menambah suatu dimensi baru di dalam pembelajaran, video menyajikan gambar
bergerak kepada siswa disamping suara yang menyertainya.
b. Video dapat menampilkan suatu fenomena yang sulit untuk dilihat secara nyata.
Sedangkan kekurangannya, antara lain :
1) Opposition
Pengambilan yang kurang tepat dapat menyebabkan timbulnya keraguan penonton dalam
menafsirkan gambar yang dilihatnya.
2) Material pendukung
Video membutuhkan alat proyeksi untuk dapat menampilkan gambar yang ada di dalamnya.
3) Budget
Membuat video membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Selain itu menurut Anderson (1987: 105) media video memiliki kelebihan,antara lain :
a. Dengan menggunakan video (disertai suara atau tidak), kita dapat menunjukkan kembali
gerakan tertentu.
b. Dengan menggunakan efek tertentu dapat diperkokoh baik proses belajar maupun nilai
hiburan dari penyajian itu.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 229
c. Dengan video, informasi dapat disajikan secara serentak pada waktu yang sama di lokasi
(kelas) yang berbeda dan dengan jumlah penonton atau peserta yang tak terbatas dengan
jalan menempatkan monitor di setiap kelas.
d. Dengan video siswa dapat belajar secara mandiri.
Dimana ada keuntungan pasti ada kerugian. Penggunaan video mempunyai keterbatasan
diantaranyasebagai berikut :
a. Biaya produksi video sangat tinggi dan hanya sedikit orang yang mampu
mengerjakannya.
b. Layar monitor yang kecil akan membatasi jumlah penonton, kecuali jaringan monitor
dan sistem proyeksi video diperbanyak.
c. Ketika akan digunakan, peralatan video harus sudah tersedia di tempat penggunaan.
d. Sifat komunikasinya bersifat satu arah dan harus diimbangi dengan pencarian bentuk
umpan balik yang lain.
Berdasarkan paparan diatas bahwa pembelajaran menggunakan media video mempunyai
kelebihan diantaranya sebagai berikut
a. Menarik perhatian siswa
b. Waktu yang digunakan lebih efisien dalam memaksimalkan tujuan pebelajaran.
c. Distribusi video lebih mudah karena banyak yang menggunakan smartphonemelalui
media sosial yang mereka miliki.
d. Sangat bersinergi dengan kondisi saat ini dimana pengguna smartphone di Indonesia
sangatlah banyak karena Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif
smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.
e. Siswa dapat belajar mandiri dan dapat berdiskusi dengan teman sekelasnya didalam
ataupun diluar sekolah
f. Video dapat diberikan sebelum pembelajaran dimulai akibatnya siswa dapat belajar
kapanpun dan dimanapun.
g. Menjadi aktif mengerjakan latihan-latihan soal
h. Dapat diulang-ulang sampai beberapakalipun. Artinya ketika siswa tidak mngerti sekali
menonton video siswa tersebut dapat memutar kembali supaya lebih paham akan materi
yang diajarkan oleh guru.
i. Guru dapat membahas soal yang lebih tinggi pemahamanya ketika dikelas
Adapun kelemahanya sebagai berikut :
1. Membutuhkan biaya untuk membeli alat-alat yang digunakan dalam pembuatan video
2. Terlalu sering diberikan video akan mengakibatkan kejenuhan
3. Tidak dapat melihat siswa saat belajar dengan video tersebut apakah sungguh-sungguh
dalam belajanya ataupun tidak.
2.3 Pengunaan Video dalam Pembelajaran Matematika
Dalam pembelajaran menggunakan video ini mempunyai beberapa langkah yang harus
dilakukan agar pembelajaran lebih optimal. Adapun langkah-langkah penggunaanya sebagai
berikut :
a. Distribusikan Video
Video di distribusikan tentunya sebelum atau sesuadah pembelajaran dapat dilakukan.Cara
mendistribusikanya yaitu dengan bantuan akun media sosial yang siswa gunakan.Selanjutnya
guru mengupload video yang berisikan materi pembelajaran yang akan dipelajari pada
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
230 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
pertemuan selanjutnya dan beberapa soal latihan untuk dikerjakan siswa. Kemudian
mengecek kehadiran siswa dengan cara mengkomentari video yang didistribusikan.
Gambar 1. Contoh Pendistribusian Video Pembelajaran
Tahap selanjutnya siswa dapat melihat video dan mempelajari materi yang terdapat di video
tersebut dan mengerjakan beberapa soal latihan. Siswa dapat melihat video itu kapanpun,
dimanapun dan berpakalipun video itu diputar. Dengan ini siswa akan lebih memahami
materi karena dapat berualng-ulang dilihat sampai siswa paham materi tersebut.
b. Refleksi dan Pendalaman Materidikelas
Setelah video di distribusikan tahap selanjutnya yaitu refleksi materi yang terdapat di video
didalam kelas. Guru mengecek apakah materi yang terdapat divideo dapat dipahami atau
tidaknya. Setelah video distribusikan ada tiga kemungkinan yaitu siswa paham materi dan
dapat mengerjakan soal, paham materi namun ada beberapa soal tidak dapat diselesaikan dan
ada yang mungkin sama sekali memahami materi yang terdapat dalam video pembelajaran.
Pada tahap ini tugas guru dikelas menguatkan kembali materi supaya siwa lebih memahami
materi pembelajaran.Tugas guru dalam mengajar menjadi lebih ringan karena siswa sudah
memiliki pemahaman saat melihat video yang sebelumya didistrisbusikan. Adapun untuk
siswa yang belum memahami materi guru dapat mengulangi materi untuk menguatkan
pemahaman siswa. Walapun masih ada siswa yang belum paham saat melihat video,
mengajar seperti ini akan lebih baik daripada siswa tidak samasekali belum mengetahui
materi karena sedikitnya siswa sudah membaca materi itu artinya sedikitnya sudah ada
memliki dasar.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 231
Apabila materi sudah tersampaikan dan terkuasai dengan baik guru dapat melakukan
pendalaman materi atau memberikan materi pengayaan dikelas. Pembelajaran menggunakan
video akan dapat mengoptimalkan kegiatan pembelajaran karena materi dapat dibahas
mendalam dan lebih efisien dalam mengejar materi. Setelah pembelajaran dikelas selesai
tahap selanjutnya adala guru membuat lagi video untuk pertemuan selanjutnya.
3. Metode Penulisan
Artikel ini merupakan hasil kajian teori yang di kumpulkan dari beberapa referensi yang
berkaitan dengan karakteristik pembelajaran matematika menggunakan video.Selain itu
artikel ini mengkaji optimasilasi penggunaan video pembelajaran dalam pembelajaran
matematika.
4. Kesimpulan dan Saran
Menurut (Hiebert & Lefevre, 1986) matematika mempunyai dua komponen penting yaitu
pengetahuan konsep yang berisi hubungan atau jaringan ide dan pengetahuan prosedur itu
pengetahuan tentang aturan atau cara yang digunakan untuk menyelesaikan masalah
matematika. Berlandaskan teori tersebut secara konsep dan prosedur dalam matematika
penggunaan video dapat mengoptimalkan pemahaman konsep dan prosedur menyelesaikan
masalah matematika karena siswa dapat mengulang-ulang materi sampai siwa tersebut
memaham materi yang disampaikan. Walapun terdapat siswa yang belum memahami
setelah video di distribusikan guru dapat menguatkan pemahaman siswa pada saat
pembelajaran dikelas.Dapat disimpulkan bahwa penggunaan video dapat membantu siswa
dalam memahami pembelajaran matematika.
Hasil kajian teori ini diharapkan menjadi perhatian bagi guru untuk memanfaatkan gadget
dan media sosial dalam pembelajaran matematika karena sangat bersinergi dengan kondisi
saat ini dimana pengguna smartphone di Indonesia yang semakin banyak.
Daftar Pustaka
Anderson, R.H. 1987. Pemilihan dan Pengembangan Media untuk Pembelajaran.Jakarta :
CV Rajawali.
Arsyad, Azhar. (2011). Media Pembelajaran.Jakarta : Rajawali Pers
Daryanto (2011).Media Pembelajaran.Bandung : Nurani Sejahtera
Hiebert, J & Lefevre, P. (1986).Conseptual and Procedural knowledge in Mathematics : An
Introductory Analisis. Hillsdalem NJ. & London: Erlbaum
K.Prent dkk.1969, Kamus Latin-Indonesia. Semarang: Jajaran Kanisius.
Kominfo (2016).Indonesia Raksasa Teknologi Digital Asia. [online]. Tersedia
:https://kominfo.go.id/content/detail/6095/indonesia-raksasa-teknologi-digital-
asia/0/sorotan_media
Riyana, C. 2007. Pedoman Pengembangan Media Video. Jakarta: P3AI UPI.
Sarnapi (2016). Peringkat Pendidikan Indonesia Masih Rendah.[online]. Tersedia
:http://www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/2016/06/18/peringkat-pendidikan-
indonesia-masih-rendah-372187
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
232 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
PENERAPAN METODE CONNECTING ORGANIZING
REFLECTING EXTENDING TERHADAP DISPOSISI
MATEMATIK SISWA SMP
Wahyu Setiawan
STKIP Siliwangi Bandung
ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya disposisi matematik di tingkat SMP
yang belum tertangani dengan baik.Oleh karena itu, guru harus menentukan metode
pembelajaran yang tepat sehingga dapat mempermudah siswa mengembangkan
disposisi matematiknya.Salah satu metode yang dapat dilakukan adalah dengan
menerapkan metode CORE.Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen
dengan desain yang digunakan adalah “kelompok kontrol postes”.Sampel dalam
penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP di salah satu SMP di kota Cimahi dengan
satu kelas kelompok eksperimen dan satu kelas kelompok kontrol. kelompok
eksperimen diberi perlakuan pembelajaran metode CORE, dan kelompok kontrol
mendapatkan pembelajaran biasa (konvensional). Setelah dilakukan pembelajaran
pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol selama enam kali pertemuan,
dilanjutkan dengan pengumpulan data.Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan
data penelitian ini adalah tes berupa angket untuk mengetahui respon siswa mengenai
metode CORE.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran matematika dengan
metode CORE dapat mencapai disposisi matematik siswa SMP.Pembelajaran
matematika dengan metode CORE menunjukkan respon yang positif terhadap
pembelajaran yang telah dilakukan.Hal ini ditunjukkan melalui angket skala disposisi.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka pembelajaran matematika dengan metode
CORE dapat dijadikan sebagai alternatif metode pembelajaran yang dapat diterapkan
dalam upaya meningkatkan disposisi matematik..
Kata kunci:Metode CORE, Disposisi Matematik Siswa.
A. Pendahuluan
Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagiperkembangan dan
perwujudan diri individu, terutama bagi pembangunan bangsadan negara.Oleh karena itu,
perubahan atau perkembangan pendidikan adalah halyang memang seharusnya terjadi
sejalan dengan perubahan budaya kehidupan.Perubahan dalam arti perbaikan pendidikan
pada semua tingkat perlu terusmenerusdilakukan sebagai antisipasi kepentingan masa depan.
Seperti yang dikemukakan Trianto (2010:2) yangmenyatakan bahwa : “Pendidikan yang
mampu mendukung pembangunan di masa mendatangadalah pendidikan yang mampu
mengembangkan potensi peserta didik,sehingga yang bersangkutan mampu menghadapi dan
memecahkanproblema kehidupan yang dihadapinya.”
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang mendudukiperanan penting dalam
pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari alokasi waktu matapelajaran matematika di sekolah
lebih banyak dibandingkan mata pelajaran lain.Mata pelajaran Matematika perlu diberikan
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 233
untuk membekali peserta didik dengankemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis,
kreatif, serta kemampuanbekerjasama.Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik
dapat memilikikemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi
untukbertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan
kompetitif.Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Syaban (2009) menyimpulkan
bahwa saat ini, daya dan disposisi matematik siswa belum tercapai sepenuhnya. Hal ini
terlihat dari temuan yaitu adanya indikasi akan rendahnya disposisi matematik siswa.
Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan oleh Kesumawati (2009) menemukan bahwa
dari 297 siswa SMP sebagai sampel penelitiannya diperoleh 58% yang digolongkan
memiliki disposisi matematik yang rendah.Untuk mengoptimalkan kemampuan pemahaman,
koneksi dan disposisi matematik siswa khususnya pada siswa kelas VIII SMPN 4 Cimahi,
perlu untuk dicarikan solusi. Solusinya adalah dengan menggunakan metode pembelajaran
CORE.CORE (Connecting, Organizing, Reflecting and Extending) diterapkan dalam
pembelajaran untuk menghubungkan, mengorganisasikan, menggambarkan dan
menyampaikan pengetahuan yang ada dalam pikiran siswa serta memperluas pengetahuan
mereka dengan melakukan diskusi pada saat proses belajar mengajar berlangsung. Dengan
Connecting, siswa diajak untuk dapat menghubungkan pengetahuan baru yang akan
dipelajari dengan pengetahuannya terdahulu. Organizingmembawa siswa untuk dapat
mengorganisasikan pengetahuannya.Kemudian dengan Reflecting, siswa dilatih untuk dapat
menjelaskan kembali informasi yang telah mereka peroleh dan Extending, siswa dapat
memperluas pengetahuan mereka pada saat diskusi berlangsung.
Dalam metodeCORE siswa berdiskusi untuk menghubungkan pengetahuan yang baru
dengan apa yang telah mereka ketahui, mengkonstruksi pengetahuan, meningkatkan
kemampuan berpikir dan membantu memperluas pengetahuan mereka. Sejalan dengan hal
tersebut, Calfee et al., (Jacob, 2005) mengatakan bahwa ada empat hal yang dibahas dalam
pembelajaran dengan metodeCORE yaitu: Pertama, diskusi menentukan koneksi untuk
belajar. Kedua, diskusi membantu mengorganisasikan pengetahuan.Ketiga, diskusi yang baik
dapat meningkatkan berpikir reflektif dan Keempat, diskusi membantu memperluas
pengetahuan siswa. Hal ini, akan menimbulkan motivasi dan pengetahuan yang akan
menghasilkan pemaknaan dan pemahaman dalam pembelajaran. Dengan demikian
pembelajaran dengan metodeCORE ini diduga dapat bermanfaat bagi usaha-usaha perbaikan
proses pembelajaran matematika dalam upaya meningkatkan disposisi matematik siswa
SMP. Berdasarkan latar belakang masalah, permasalahan dalam penelitian ini diidentifikasi
dan dirumuskan sebagai berikut: “Apakah disposisi matematik siswa SMP yang
pembelajarannya menggunakan metode pembelajaran CORE lebih baik daripada siswa SMP
yang pembelajarannya menggunakan metode biasa.
Disposisi matematik menunjukkan: rasa percaya diri, ekspektasi dan metakognisi, gairah dan
perhatian serius dalam belajar matematika, kegigihan dalam menghadapi dan menyelesaikan
masalah, rasa ingin tahu yang tinggi, serta kemampuan berbagi pendapat dengan orang lain
dengan indikator yang sebagai berikut :(1) Menunjukkan gairah/antusias dalam belajar
matematika. (2) Menunjukkan perhatian yang serius dalam belajar matematika. (3)
Menunjukkan kegigihan dalam menghadapi permasalahan. (4) Menunjukkan rasa percaya
diri dalam belajar dan menyelesaikan masalah.(5) Menunjukkan rasa ingin tahu yang tinggi.
(6) Menujukkan kemampuan untuk berbagi dengan orang lain.Metode pembelajaran CORE
dalam pembelajaran matematika adalah metode pembelajaran yang mencakup empat aspek
kegiatan yaitu connecting, organizing, reflecting, dan extending. Adapun keempat aspek
tersebut adalah :Connecting (C) Merupakan kegiatan mengoneksikan informasi lama dan
informasi baru dan antar konsep. Organizing (O) Merupakan kegiatan mengorganisasikan
ide-ide untuk memahami materi. Reflecting (R) Merupakan kegiatan memikirkan kembali,
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
234 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
mendalami dan menggali informasi yang sudah didapat. Extending (E) Merupakan kegiatan
untuk mengembangkan, memperluas, menggunakan, dan menemukan.
B. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilaksanakan adalah kuasi eksperimen.Penggunaandesain dilakukan
dengan pertimbangan bahwa kelas yang ada telah terbentuksebelumnya sehingga tidak
dilakukan lagi pengelompokan secara acak.Kuasieksperimen adalah metode yang tidak
memungkinkan peneliti melakukanpengontrolan penuh terhadap variabel dan kondisi
eksperimen. Subjekdikelompokkan secara acak, tetapi peneliti menerima keadaan subjek apa
adanya(Ruseffendi, 2005). Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Desain
Kelompok Kontrol Postes (Ruseffendi, 2010:50).Penelitian ini dilakukan pada 2 (dua)
kelasyang dipilih yaitu kelas pertama dijadikan kelas kontrol ataukelompok kontrol, kelas
kedua dijadikan kelas eksperimen yang diberikanperlakuan yaitu menggunakan
pembelajaran dengan Metode COREdalam kegiatan belajar di kelas, sedangkan kelompok
kontrol tidak diberikanperlakuan. Pemilihan desain ini bertujuan untuk melihat pengaruh
pembelajaranmetode terhadap kelas eksperimen. Adapun desain penelitiannya adalah
sebagaiberikut:
X O
O
O = Postes angket disposisi matematik
X = Perlakuan berupa pembelajaran dengan metodeCORE
= subjek tidak dikelompokan secara acak
Penelitian ini menggunakan instrumenjenis non-tes adalah skala disposisi
matematiksiswa.Skala sikap yang digunakan untuk mengetahui sikap siswa
terhadappembelajaran matematika dengan metodepembelajaran CORE, sikap siswa terhadap
soal-soalkemampuan pemahaman dan koneksi matematik. Pada penelitian ini,skala sikap
disusun dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang terdiri dari 24 butirdengan rincinan 12
butir pernyataan positif dan 12 butir pernyataan negatif. Metode skala sikap yang digunakan
adalah metode skala sikap Likert. Siswadiharapkan dapat memberikan jawaban yang
sesungguhnya, karena skala sikapdiberikan pada siswa kelas eksperimen yang telah
mengalami proses pembelajaran Skala sikap yang digunakan pada penelitian ini, diberikan
pada saat postes. Skala yang dipakai adalah skala Likert dengan pilihan jawaban Sangat
Sering (SS), Sering (Sr), jarang (J), dan Tidak Pernah (TP). Skala sikap ini bertujuan untuk
mengetahui disposisi matematik siswa terhadap proses pembelajaran yang menggunakan
metodeCORE.Skala sikap disposisi matematik yang disusun dalam penelitian ini memuat
enam indikator, yaitu; 1).Rasa percaya diri; 2).fleksibel dalam pembelajaran; 3). Gigih dan
ulet; 4).Rasa ingin tahu yang tinggi; 5). Refleksi terhadap cara berpikir; 6). Menghargai
aplikasi matematika dalam bidang lain dan kehidupan sehari-hari.
Langkah-langkah Pelaksanaan Eksperimen dalam penelitian ini adalah:
a. Kedua kelas diberikan pembelajaran dengan menggunakan metode CORE pada kelas
eksperimen dan pembelajaran biasa pada kelas kontrol.
b. Memberikan angket disposisi matematik pada siswa di kedua kelas, untuk mengetahui
sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan metode CORE dan pembelajaran
biasa.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 235
c. Mengolah dan menganalisis data yang diperoleh setelah penelitian berakhir.
C. Hasil Penelitian
Untuk mengetahui respon dan sikap siswa terhadap pencapaian kemampuan pemahaman
dan koneksimatematik baik siswa dengan menggunakan metode pembelajaran CORE dan
pembelajaran biasa, peneliti menganalisis skala disposisi yang diberikan terhadap kedua
kelas tersebut untuk melihat perbedaan disposisi matematik antara siswa yang menerima
perlakuan pembelajaran CORE dan pembelajaran biasa.
Angket tersebut diberikan setelah seluruh pembelajaran selesai diajarkan (postes) pada
kedua kelas. Indikator skala disposisi yang di ukur antara lain : a. antusias, b. perhatian yang
serius, c. gigih, d. percaya diri, e.rasa ingin tahu yang tinggi, f. kemampuan berbagi dengan
orang lain. Pernyataan-pernyataan tersebut terdiri atas pernyataan positif dan pernyataan
negatif. Skala yang digunakan yaitu skala likert, yang terdiri atas jawaban Selalu (SL),
Sering (SR), Jarang (J), Tidak Pernah (TP).
Deskripsi statistik untuk disposisi matematik meliputi, rata-rata, standar deviasi, nilai
maksimum dan minimum serta jumlah siswa dapat dilihat pada Tabel. 1.
Tabel. 1
Hasil Tes Skala Likert Disposisi Matematik
Berdasarkan Tabel 1 di atas didapat bahwa perbedaan nilai rata-rata disposisi matematik
kelas eksperimen dan kelas kontrol 9,77, dan juga didapatkan standar deviasi disposisi
matematik kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol, hal ini berarti bahwa
nilai kelas kontrol lebih bervariasi dibandingkan kelas eksperimen. Sebelum data diproses
lebih lanjut, distribusi datanya diuji terlebih dahulu kenormalannya dan diperiksa
homogenitas variansinya
.
a. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah skor skala disposisiyang diperoleh dari
kelas eksperimen dan kelas kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau
tidak. Di samping itu, uji normalitas dilakukan untuk keperluan analisis data selanjutnya
yaitu menggunakan statistik parametrik atau non-parametrik, dengan bentuk hipotesis
sebagai berikut:
: Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal
: Sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal
Kelas Jumlah siswa(n)
SD
Eksp 30 74,30 8,80
Kontrol 30 65,23 5,09
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
236 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Karena ukuran sampel masing-masing lebih kecil atau sama dengan 40 maka uji statistik
yang digunakan adalah uji Kolmogorov-Smirnov (Ruseffendi, 1993) dengan mengambil taraf
signifikansi (α) sebesar 0,05. Sedangkan untuk kriteria penerimaan hipotesisnya adalah:
Jika P – value < α, maka ditolak
Jika P – value ≥ α, maka diterima
Setelah dianalisis dengan menggunakan SPSS 21 diperoleh hasil pada Tabel.2 dibawah ini.
Tabel. 2
Uji Normalitas Skala Disposisi Matematik
Kelas dengan Model
Pembelajaran
Statistik N Sig. Interpretasi
CORE 0.210 30 0.002 H0 ditolak
Biasa 0.104 30 0.200 H0 diterima
Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa kelas yang menggunakan metode pembelajaran CORE
memiliki signifikansi < 0,05, yang artinya sampel berasal dari populasi yang tidak
terdistribusi normal, sedangkan kelas yang menggunakan metode pembelajaran biasa
memiliki signifikansi > 0,05. Karena data dari salah satu kelas tidak normal, maka dilakukan
uji rata-rata kedua kelas dengan uji non parametrik yaitu Uji Mann - Whitney.
b. Uji Rata-rata Disposisi Matematik
Berdasarkan hasil uji normalitas didapatkan bahwa salah satu kelas mempunyai data yang
tidak berdistribusi normal, selanjutnya akan dilakukan uji non parametrik disposisi
matematik. bentuk hipotesisnya adalah sebagai berikut:
H0 : µA= µB (Disposisi matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan metode
CORE tidak lebih baik dari pada yang menggunakan pembelajaran biasa).
: (Disposisi matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan metode
CORE lebih baik daripada yang menggunakan pembelajaran biasa).
Dengan mengambil taraf signifikansi (α) sebesar 0,05, maka kriteria penerimaan hipotesis
adalah: Tolak jika nilai signifikansi α, Terima jika nilai signifikansi α
Setelah dianalisis dengan menggunakan SPSS 21 diperoleh hasil pada Tabel. 4.11 dibawah
ini
Tabel 4.11
Uji Rata-rata Non Parametrik DisposisiMatematik
Disposisi
Matematis
Interpretasi
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed
196.000
661.000
-3.762
.000
H0 ditolak
Berdasarkan Tabel 4.11 didapat bahwa sig hitung adalah 0,000 untuk 2 pihak, sehingga nilai
signifikansinya harus dibagi menjadi dua, menjadi Sehingga didapatkan sig
hitung < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa H1 diterima dan H0 ditolak, artinya rata-rata
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 237
disposisi matematik kelas kontrol dan kelas eksperimen terdapat perbedaan. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa disposisi matematik kelas eksperimen lebih baik daripada disposisi
matematik kelas kontrol.
D. Pembahasan
1. Proses Pembelajaran
Pada proses belajar mengajar selama 6 kali pertemuan, langkah-langkah metode
pembelajaran CORE,dirasakan oleh siswa ini merupakan sesuatu yang baru dikenal, karena
selama ini yang dikenal oleh siswa hanyalah metode ekspositori saja. Beberapa siswa
mengalami perubahan kemampuan pemahaman dan koneksi matematika, tetapi beberapa
siswa lainnya masih belum nampak perubahannya.Proses adaptasi yang cukup lama sedikit
menghambat proses belajar. Proses connecting yang seharusnya berlangsung kurang lebih 15
menit, pada kenyataannya berlangsung lebih dari 30 menit, sehingga untuk melanjutkan ke
tahap berikutnya waktu yang tersedia tidak cukup lama untuk melanjutkan ke proses-proses
berikutnya. Tetapi hal itu hanya berlangsung selama dua kali pertemuan, untuk pertemuan
ketiga dan seterusnya proses yang membutuhkan waktu lama hanya ada pada tahap
reflecting dan extending.
Hambatan selanjutnya yang muncul pada metode CORE ini, adalah materi bangun ruang sisi
datar yang cukup padat harus disesuaikan dengan enam kali pertemuan.Untuk itu peneliti
mencoba mengelompokan materi-materi tersebut untuk dibahas pada kelompok yang
berbeda, ada satu kelompok yang membahas luas kubus, kelompok satu lagi membahas
tentang luas balok, hal ini dilakukan supaya seluruh materi bisa dibahas oleh semua siswa.
Ada beberapa siswa yang tidak mengikuti kegiatan ini dengan baik misal ngobrol saat
kelompok lain menerangkan, kurang aktifnya beberapa siswa dalam diskusi dan tidak
terbiasanya mereka melakukan proses presentasi di depan dirasa cukup menghambat proses
belajar mengajar yang menggunakan metode CORE ini.
2. Disposisi Matematik
Respon dan sikap siswa terhadap kemampuan pemahaman dan koneksi matematik siswa
dengan menggunakan metode CORE cukup baik, hal ini terlihat dari uji signifikansi
kemampuan disposisi matematik siswa yang kurang dari 0,041, sehingga mengakibatkan
adanya perbedaan kemampuan disposisi matematik siswa antara siswa yang mendapatkan
pembelajaran dengan metode CORE dan pembelajaran biasa.
Walaupun metode pembelajaran CORE lebih baik digunakan pada kelas eksperimen, guru
masih perlu memberikan perhatian, arahan dan bimbingan yang lebih bagi siswa secara
keseluruhan.Siswa terbiasa dengan penjelasan guru untuk penerapan konsep, dan soal-soal
sesuai contoh yang diberikan guru. Sehingga ketika proses tahapan pembelajaran CORE
diterapkan mereka belum bisa mengikuti secara optimal tahapan pembelajaran CORE yang
dilakukan. Kegiatan yang disajikan dalam LKS dan diskusi kelompok pun bagi siswa dengan
kategori rendah masih kurang optimal, karena hanya siswa yang memiliki kemampuan
dengan kategori tinggi dan sedang saja yang bisa mengikuti proses pembelajaran CORE.
Sehingga soal-soal kemampuan pemahaman dan koneksi yang diberikan terhadap siswa
tidak dapat berkembang bagi siswa dengan kemampuan kategori rendah.Berdasarkan hasil
pengamatan pembelajaran matematika dengan menggunakan metode CORE, didapatkan
adanya peningkatan hasil belajar siswa selama enam kali pertemuan. Peningkatan juga
terlihat pada aktivitas siswa secara kelompok jika dibandingkan dengan aktivitas siswa
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
238 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
secara individual. Hal tersebut membuktikan bahwa siswa cenderung lebih menyukai
pembelajaran matematika yang dilakukan secara kelompok. Karena dengan cara
berkelompok, siswa dapat berdiskusi dan saling bertukar fikiran, ide atau gagasan dengan
teman yang lainnya tentang cara dan strategi penyelesaian masalah dalam mengerjakansoal,
Lembar Kerja Siswa (LKS) yang diberikan oleh guru.
Dalam proses pembelajaran dengan metodeCORE ini, guru memiliki peranuntuk
memberikan berbagai motivasi kepada siswa agar siswa mau berinteraksi baikdengan guru
maupun dengan teman-temannya, guru senantiasa mendorong supaya siswamau bekerja
secara aktif dan kreatif dalam setiap penyelesaian masalah, kemudianbeberapa anggota
kelompok menyajikan jawaban dengan menjelaskan danmengkomunikasikan alasan serta
bukti dari setiap jawaban yang disampaikan. Adapunkelompok yang lain diarahkan agar
menyimak kelompok yang sedang mempresentasikanjawabannya, kemudian kelompok
tersebut memberikan tanggapan atas jawaban darikelompok lainnya. Berdasarkan hasil
penelitian menunjukkan bahwa sikap siswa pada awalpembelajaran masih kurang begitu
tertarik, dengan menunjukkan sikap kurang responsive terhadap masalah yang dibahas, pada
saat bekerja secara kelompok mereka kurangberusaha mencari tahu pada setiap penyelesaian
jawaban yang diajukan oleh kelompoklain apabila jawaban yang disajikan tidak sesuai
dengan jawaban yang ditampilkanolehkelompoknya. Hal itu jelas menunjukkan bahwa,
respon secara lisan kurang berhasil.Tetapi pada pertemuan selanjutnya mulai terlihat adanya
ketertarikan terhadap materiyang diberikan. Sedangkan hasil penelitian pada pertemuan
terakhir telah menunjukkanadanya sikap yang baik dan responsif dari siswa. Sehingga
pembelajaran dapat dinilaipositif dan mengalami peningkatan.
E. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan pada keseluruhan tahap penelitian, diperoleh
kesimpulan bahwa:Disposisi Matematik siswa SMP yang mendapatkan metode
pembelajaran CORE lebih baik daripada siswa yang mendapatkan metode pembelajaran
biasa
Dari hasil penelitian dan keterbatasan penelitian, maka dapat disarankan beberapa hal
sebagai berikut:
a. Dalam implementasi metodepembelajaran CORE sebaiknya sejak awal dipersiapkan
sebaik mungkin lembar aktivitas siswa yang sesuai dengan indikator, penggunaan
bahasa, dan efektivitas waktu perlu menjadi pertimbangan yang serius, mengingat pada
pelaksanaannya pembelajaran terkadang tidak sesuai dengan apa yang telah
direncanakan.
b. Sebelum melakukan penelitian lebih baik peneliti mengetahui terlebih dahulu
bagaimana kemampuan awal dari kedua kelas yang akan diteliti. Hal ini sangat penting
untuk mengetahui bagaimana sebenarnya kemampuan awal dari kelas yang akan diteliti.
c. Untuk materi-materi yang berhubungan dengan prinsip atau materi yang memerlukan
aplikasi matematika, untuk membantu pengenalan konsep awal secara abstrak,
metodepembelajaran CORE bisa dijadikan sebagai metode pembelajaran yang
membantu siswa.
d. Dalam penelitian ini materi yang digunakan adalah materi Bangun Ruang Sisi Datar.
Maka penulis menyarankan bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian
yang serupa untuk memilih materi pelajaran yang berbeda dengan kemampuan
matematika dan tingkatan sekolah yang berbeda pula.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 239
Daftar Pustaka
Ansari, Bansu Irianto. (2009). Menumbuhkembangkan Kemampuan Pemahaman Dan
Komunikasi Matematik Siswa SMU Melalui Strategi Think-Talk-Write. Disertasi PPS
UPI Bandung:tidak diterbitkan.
Crockcroft, W. (1981).Mathematics Count: Report Into The Teaching of Mathematics in
School under The Chairmanship of W. H. Crockcroft. London, UK: HMSO.
NCTM.(1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics.
Reston, V.A: Author.
NCTM (2000).Principles and Standards for School Mathematics. USA: NCTM.
Rusefendi, E. T. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khususnya dalam
Pengajaran Matematika.Bandung: Tidak diterbitkan.
Ruseffendi, E.T. (1993). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek
Pembinaan Tenaga Kependidikan Pendidikan Tinggi
Ruseffendi, E.T.(2005). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan & Bidang Non-
EksaktaLainnya. Bandung: Tarsito
Ruseffendi, E. T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangakan
Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan Cara Belajar
Siswa Aktif (CBSA). Bandung: Tarsito.
Ruseffendi, E.T. (2010). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta
Lainnya. Bandung: PT. Tarsito Bandung
Suherman, et al. (2003).Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.JICA FPMIPA
UPI.
Suherman, et al. (2003).Evaluasi Pembelajaran matematika. Bandung: JICA-UPI
Sugiono. (2012), Metodologi Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D. Bandung: Alfabeta.
Sumarmo U. (2003).Daya dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa dan Bagaimana
Dikembangkan pada Siswa Sekolah Dasar dan Menengah. Makalah disajikan pada
Seminar Sehari di Jurusan Matematika ITB, Oktober
2003.(http://educare.efkipunla.net/index.php?option=com_content&task=view&id=6
2 Jurnal Pendidikan dan budaya).
Syahban,M. 2008. Menggunakan open ended untuk memotivasi berpikir matematika..
Tersedia pada: http://educare.efkipunla.net/index.php?option=com_
Syaban, M. (2009).Menumbuhkembangkan Daya Matematik Siswa. Bandung: UPI Press.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
240 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Trianto.(2010). Metode-Metode Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik.
Jakarta: prestasi pustaka.
Wahyudin.Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa dalam Mata
Pelajaran Matematika. Disertasi. UPI: Tidak diterbitkan
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 241
DESAIN PEMBELAJARAN MATERI SISTEM
PERSAMAAN LINEAR TIGA VARIABEL DENGAN
PENDEKATAN PMRI DI SEKOLAH MENENGAH
ATAS
Yuliarti Effendy1)
, Ratu Ilma Indra Putri2)
, Ely Susanti3)
SMA N 1 Tanjung Raja1)
Dosen FKIP, Universitas Sriwijaya2)
Dosen FKIP, Universitas Sriwijaya3)
ABSTRAK
Belajar aljabar bukanlah sekedar menentukan nilai x dan y, tetapi merupakan cara
berpikir dengan mengontruksi sebaik mungkin pemahaman aljabar yang tidak hanya
fokus kepada menghafal prosedur penyelesaian. Penelitian ini bertujuan mendesain
pembelajaran sistem persamaan linear tiga variabel menggunakan pendekatan PMRI
dengan konteks toko sepeda, membantu siswa merepresentasikan sistem persamaan
linear tiga variabel, membuat lintasan belajar (LIT). Sebelum proses pembelajaran
terlebih dahulu mendesain perangkat pembelajaran yaitu berupa HLT (lintasan
belajar), Ice berg, silabus, RPP, LKS. Pembelajaran pemodelan sistem persamaan
linear tiga variabel ini menggunakan empat aktivitas yaitu, mengidentifikasi masalah
nyata, merumuskan model matematika, menentukan penyelesaian dari model
matematika dengan metode eliminasi dan substitusi, menyelesaikan model
matematika dengan metode determinan. Dari hasil pembelajaran menunjukkan bahwa
dengan menggunakan gambar sepeda roda dua, sepeda roda tiga dan sepeda tandem
dan langkah-langkah sistem persamaan linear tiga variabel mudah dipahami dan
dimengerti siswa serta mampu menjelaskan kebermaknaan dari nilai variabel yang
didapat.
Kata kunci: SPLTV, toko sepeda, eliminasi dan substitusi, determinan
1. Pendahuluan
Belajar aljabar bukanlah sekedar menentukan nilai x dan y, tetapi merupakan cara berpikir
dengan mengontruksi sebaik mungkin pemahaman aljabar yang tidak hanya fokus kepada
menghafal prosedur penyelesaian (Husna, Zulkardi, Somakim, 2014). Kemudian
Mengajarkan sistem persamaan linear banyak menemui kendala. Penyelesaian sistem
persamaan linear adalah kesalahan yang sering dibuat siswa dalam menggunakan metode
substitusi dan eliminasi karena ketidakpahaman tahap-tahap penyelesaian (Husna, Zulkardi,
Somakim, 2014). Kemudian juga melalui hasil TIMSS 2007, Jupri & Djivers (2014a)
menyatakan bahwa siswa Indonesia mengalami kesulitan belajar aljabar yang terdiri dari
kesulitan penggunaan operasi aritmatika, pemahaman dalam penyimbolan, pemahaman
ekspresi aljabar, pemahaman tentang tanda penghubung, dan matematisasi.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
242 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Beberapa penelitian sebelumnya telah menyajikan solusi untuk mengajarkan sistem
persamaan linear tiga variabel yaitu, Gharib (2015) menyatakan bahwa sistem persamaan
linear tiga variabel dapat diselesaikan dengan metode Gauss Jordan dan teori
matrik.Selanjutnya Prince & Angelo (2015) menyatakan bahwa untuk membuat sistem
persamaan linear tiga variabel lebih menarik perlu diajarkan salah satu aplikasi dari sistem
persamaan linear yang menyangkut sebuah model matematika alami dari berbagai variasi
aplikasi dunia nyata. Bluman (2004) juga menyatakan bahwa “when you solve an algebra
word problem, you must first be able to translate the conditions of the problem into an
equation involving algebraic expressions”.
Berdasarkan penjelasan di atas, hendaknya siswa diberikan pembelajaran yang bermakna
yaitu, tidak langsung dihadapkan kepada prosedur-prosedur formal (Husna, Zulkardi,
Somakim, 2014). Pemahaman siswa berkenaan dengan penyelesaian aljabar dapat
dikontruksi dengan memberikan permasalahan dan meminta siswa untuk menyelesaikan
permasalahan dengan caranya sendiri terlebih dahulu. Walcott (2011) menggunakan the
cycle shop untuk mengajarkan sistem persamaan linear pada siswa tingkat menengah pada
aktivitas pembelajaran.
Penelitian yang membahas pembelajaran sistem persamaan linear telah dilaksanakan oleh
Ogbuehi (2006), Firiani (2013), Husna, Zulkardi, Somakim (2014), danKhuluq, Zulkardi,
Darmawijoyo (2015). Dengan demikian peneliti akan mengangkat penelitian sistem
persamaan linear tiga variabel dengan konteks toko sepeda di sekolah menengah atas. Pada
toko sepeda tersebut peneliti menyajikan beberapa gambar sepeda roda dua, sepeda roda
tiga, dan sepeda tandem untuk meminta siswa mengamati dan mengidentifikasi unsur-unsur
sistem persamaan linear tiga variabel serta mengontruksi model matematika yang akan
diselesaikan dengan metode gabungan dan determinan matrik pada kurikulum 2013 di kelas
X SMA.
Sepeda-sepeda tersebut dituangkan pada aktivitas-aktivitas pembelajaran yang didesain
sedemikian hingga pada lembar aktivitas siswa menggunakan pendekatan PMRI. Judul dari
penelitian ini adalah “Desain Pembelajaran Materi Sistem Persamaan Linear Tiga Variabel
dengan Pendekatan PMRI Di Sekolah Menengah Atas”
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, peneliti mengajukan rumusan
masalah sebagai berikut:
Rumusan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah,
1. Bagaimana konteks toko sepeda dengan pendekatan PMRI dapat membantu siswa
merepresentasikan penyelesaian sistem persamaan linear tiga variabel di Sekolah
Menengah Atas?
2. Bagaimana lintasan belajar Sistem Persamaan Linear Tiga Variabel dengan konteks toko
sepeda pada pendekatan PMRI di Sekolah Menengah Atas?
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka penelitian ini bertujuan:
1. Membangun pemahaman siswa dari konteks toko sepeda pada Sistem Persamaan Linear
Tiga Variabel dengan pendekatan PMRI di Sekolah Menengah Atas,
2. Merancang lintasan belajar Sistem Persamaan Linear Tiga Variabel dengan konteks toko
sepeda pada pendekatan PMRI di Sekolah Menengah Atas.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 243
2. Kajian Literatur
2.1.Pendekatan PMRI
PMRI mengacu pada konsep fundamental dalam Realistic mathematics Educations (RME).
Dua pandangan yang penting dari fundamental adalah (1) mathematics must be conected to
reality; and (2) mathematics as human activity (dalam Zulkardi, 2010). Ide utama dari
pendekatan matematika realistik adalah peserta dididk harus diberi kesempatan untuk
menemukan kembali (re-invention) ide dan konsep matematika melalui penjelajahan
berbagai situasi dan persoalan dunia nyata atau real world dengan bimbingan orang dewasa
dan secara bertahap berkembang menuju kepemahaman matematika.
Pada perancangan sistematika intruksional kegiatan pembelajaran ini, guru berpedoman pada
ide pendidikan matematika realistik. Rangkaian kegiatannya yaitu kegiatan pembelajaran
diawali dengan situasi nyata untuk siswa diantaranya pengenalan informasi mengenai toko
sepeda, dan jenis-jenis sepeda.. Tujuan digunakannya situasi kontekstual ini yaitu supaya
siswa mampu membawa pengetahuan informal mereka dari situasi yang diberikan guru. Dari
rangkaian kegiatan tersebut diharapkan mampu menjembatani siswa dari pengetahuan yang
bersifat nyata menuju tahap yang lebih formal dalam penggunaan model dan simbol.
Pada kegiatan tersebut siswa diberi keleluasaan untuk berdiskusi mengenai strategi
pemecahan masalah. Oleh karena itu, Design Research dipilih sebagai jenis penelitian yang
tepat dalam rangka memenuhi tujuan yang akan dicapai guru.
Ada tiga fase yang dilaksanakan dalam design research, yaitu: preliminari design, teaching
eksperiment, dan retrospective analysis.
2.2.Sistem Persamaan Linear
Persamaan linear adalah bentuk kalimat terbuka yang memuat variabel dengan derajat
tertinggi adalah satu. Sedangkan sistem persamaan linear adalah beberapa persamaan linear
yang mempunyai hubungan satu sama lainnya dalam nilai-nilai variabelnya. Anton (1991)
menyatakan bahwa sistem persamaan linear adalah sebuah himpunan berhingga dari
persamaan-persamaan linear dalam peubah .
Bentuk umum persamaan linear adalah
dengan
Dengan
dinamakan koefisien
dinamakan peubah
b dinamakan suku konstan
Perhatikan bahwa pangkat dari peubah hanya satu, tidak ada perkalian antar peubah dan
peubah tidak muncul sebagai argumen untuk fungsi trigonometrik, fungsi logaritmik, atau
untuk fungsi ekponensial (Anton, 1991). Penyelesaian sistem persamaan linear adalah
sehimpunan bilangan terurut yang jika disubstitusikan kedalam persamaan linear akan
menjadi valid.
Sistem persamaan linear (SPL) adalah sehimpunan persamaan linear yang menjadi satu
kesatuan, antar persamaan linear saling terikat.
Bentuk umum sistem persamaan linear (disingkatSPL) yang terdiri dari m persamaan dan n
variable x1,x2,…,xn dapat ditulis sebagai:
a11 x1+ a12x2+…+a1nxn=b1
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
244 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
a21x1+ a22x2+…+a2nxn=b2
:
am1x1+ am2x2+…+amnxn=bm,
Sistem persamaan linear diatas mempunyai n peubah dan m persamaan.
Metode dasar untuk memecahkan sebuah sistem persamaan-persamaan linear adalah untuk
mengganti sistem yang diberikan dengan sebuah sistem baru yang mempunyai himpunan
pemecahan yang sama, tetapi lebih mudah untuk memecahkannya. Sistem tersebut bisa
diselesaikan menggunakan matriks.
Cara menyelesaikan SPLTV dengan cara determinan yaitu sebagai berikut: Sistem
persamaan :
r iz hy gx
q fz ey dx
p cz by ax
diubah menjadi bentuk susunan bilangan sebagai berikut dan diberi notasi : D, Dx, Dy, dan
Dz.
D =
ihg
fed
cba
Dx =
ihr
feq
cbp
Dy =
irg
fqd
cpa
Dz =
rhg
qed
pba
x = D
Dx y =
D
D y z =
D
Dz
1) Determinan cara sarrus
- - -
D =
ihg
fed
cba
hg
ed
ba
= aei + bfg + cdh – gec – hfa – idb
2) Determinan cara cramer
D =
ihg
fed
cba
= aih
fe - b
ig
fd + c
hg
ed
= a(ei-fh) – b(di-fg) + c(dh-eg)
= aie – afh – bdi + bfg + cdh – ceg
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 245
3. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan desain riset (design
research). Subjek yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah guru dan 30 siswa kelas X IIS
3 SMA N 1 Tanjung Raja, Kab. Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Indonesia. Penelitian
dilaksanakan pada semseter ganjil tahun akademik 2016/2017. Berdasarkan metode dan
tahapan penelitian yang telah dijelaskan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini untuk setiap tahap akan diuraikan sebagai berikut:
1. Preliminary Design
a. Observasi Kelas
b. Wawancara dengan Guru
2. Penelitian Pendahuluan (Pilot Experiment)
a. Tes
b. Observasi
c. Wawancara
d. Dokumentasi
3. Teaching Experiment
Teknik Analisis Data Pada penelitian ini, analisis data dilakukan untuk membandingkan aktivitas siswa selama
proses teaching experiment dan HLT yang telah didesain pada tahap preliminary design
(desain pendahuluan).
4. Pembahasan Penelitian ini menghasilkan desain pembelajaran materi sistem persamaan linier tiga variable
dengan menggunakan konteks toko sepeda. Pada bab ini akan diuraikan mengenai hasil dari
penelitian. Dimana pada saat penelitian ini dilakukan melewati beberapa tahap, tahapan
pertama dalam penelitian ini adalah desain pendahuluan (preliminary design), tahapan kedua
yaitu percobaan pembelajaran (the design exsperiment), dan tahapan ketiga yaitu analisis
retrospektif (retrospective analysis).
Tahap Premilinary Design
Pada tahap pendahuluan (premliminary design)kegiatan yang dilakukan oleh peneliti terdiri
atas:
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
246 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
a. Kajian Literatur
Peneliti mengkaji literatur tentang materi sistem persamaan linier tiga variabel, pendekatan
PMRI, dan design research yang digunakan sebagai metode penelitian. Selain itu, peneliti
juga mengobservasi siswa untuk melaksanakan pilot experiment dan bekerjasama dengan
guru matematika yang akan dijadikan model sehingga didapatkan enam orang siswa dengan
masing-masing dua siswa berkemampuan rendah, dua siswa berkemampuan sedang dan dua
siswa berkemampuan tinggi.
Sebelum pilot experiment, peneliti juga mengumpulkan data untuk subjek penelitian
sehingga didapatkan satu kelas untuk teaching experiment. Adapun data yang dikumpulkan
berupa jadwal pelajaran dan diskusi bersama guru model.
b. Pendesainan HLT
Di dalam HLT terdapat tujuan pembelajaran bagi siswa, aktivitas terencana, dan dugaan
berkembang pada siswa selama aktivitas proses pembelajaran berlangsung. Selain HLT
sebagai panduan dalam menjawab pertanyaan penelitian pada tahap retrospective analysis,
peneliti juga merancang perangkat pembelajaran berupa pre-test dan post-test, lembar
aktivitas siswa (LAS), RPP, dan petunjuk guru.
Selanjutnya HLT didesain menjadi empat aktivitas yakni 1) Menyusun konsep system
persamaan linier tiga variable, 2) Menemukan syarat sistem persamaan linier tiga variable.
3) Menyelesaikan masalah kontextual sistem persamaan linier tiga variable dengan
menggunakan metode eliminasi dan substitusi, 4) Menyelesaikan masalah kontextual system
persamaan linier tiga variable dengan menggunakan metode determinan. Keempat aktivitas
tersebut menggunakan konteks toko sepeda. Setiap aktivitas diuraikan pengetahuan awal
siswa, tujuan yang ingin dicapai, deskripsi aktivitas, dan konjektur berfikir siswa yang
kesemuanya agar siswa dapat menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan materi sistem
persamaan linier tiga variabel.
Proses Pembelajaran
1. Aktivitas pertama
Pada aktifitas ini siswa secara berkelompok diberikan LAS 1 yang berisi masalah awal
dengan konteks gambar sepeda roda dua, sepeda roda tiga dan sepeda tandem. Siswa
diminta untuk mengidentifikasi jumlah komponen-komponen penyusun sepeda tersebut.
Gambar 1. Macam-macam Sepeda
Gambar 2. Jawaban siswa Aktivitas 1
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 247
Gambar tersebut merupakan jawaban siswa pada aktivitas 1. Siswa mengidentifikasi gambar
dan menjawab pertanyaan
2. Aktivitas kedua
Pada aktifitas ini siswa diminta untuk merumuskan model matematika dari jumlah
komponen-komponen tiap gambar yang tersedia. Siswa menentukan sendiri variabel apa
yang dipakai.
Gambar 3. Soal aktivitas 2
Gambar 3. Jawaban siswa aktivitas 2
3. Aktivitas ketiga
Pada aktifitas ini siswa berdiskusi dalam kelompoknya menentukan penyelesaian yang akan
digunakan untuk mendapatkan nilai dari variabel yang belum diketahui dengan metode
eliminasi dan substitusi.
Gambar 5. Jawaban siswa aktivitas 3
Pada gambar di atas siswa mengalami kesulitan membuat model matematika, setelah
mendapat pengarahan guru siswa mengerti dan bisa membuat model matematika dan
menyelesaikannya dengan metode eliminasi dan substitusi.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
248 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
4. Aktivitas keempat
Pada aktivitas ini, siswa menyelesaikan model sistem persamaan linear tiga variabel
dengan metode determinan matrik. Dengan penyelesaian tersebut siswa mengetahui
jumlah sepeda yang tersedia di toko.
Gambar 6. Jawaban siswa aktivitas 4
Pada Gambar 6. Di atas merupakan jawaban siswa menyelesaikan sistem persamaan linear
tiga variabel menggunakan metode determinan.
5. Kesimpulan
Dengan menggunakan pendekatan PMRI dan metode Design Research pembelajaran sistem
persamaan linear tiga variabel dengan konteks toko sepeda yang terdiri dari sepeda roda dua,
sepeda roda tiga, dan sepeda tandem diasumsikan pembelajaran yang menarik. Sebelum
proses pembelajaran terlebih dahulu mendesain perangkat pembelajaran yaitu berupa HLT
(lintasan belajar), Ice berg, silabus, RPP, LKS. Dari hasil pembelajaran menunjukkan bahwa
dengan tahap-tahap pemodelan matematika pembelajaran sistem persamaan linear tiga
variabel lebih bermakna dan dapat diaplikasikan pada masalah kehidupan sehari-hari.
Daftar Pustaka
Akker, J. V., Gravemeijer, K., McKenney, S., &Nieveen, N. (2006).Educational Design
Research. London: Routledge.
Anton, H. (1991). Aljabar Linear Elementer. Jakarta: Erlangga.
Ayyers, Schmidt. (2004). Matematika Universitas Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga
Bakker, A. (2004). Design Research in Statistics Education on Symbolizing and Computer
Tools. Amersfoort: Wilco Press.
Bluman, A. G. (2004). Math Word Problems Demystified. USA: McGrow-Hill Professional
Publishing.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 249
Burrill, J. (1999). Teaching Algebra Concepts in The Early Grades. Journal Fruedenthal
Institute.
Fatoni, Putri, Hartono. (2014). Desain Pembelajaran Konsep Pengukuran Panjang
Menggunakan Permainan Tradisional Batok Kelapa di Kelas II Sekolah Dasar. Tesis
PPS Pendidikan Matematika: UNSRI.
Freudenthal. (1991). Revisiting Mathematics Education: China Lectures. Dordrecht, the
Netherlands: Kluwer Academic Publisers.
Gharib et al. (2015). System of Linear Equations, Guassian Elimination. Journal of computer
science and technology. Vol:15. ISSN: 0975-4350.
Gravemeijer, K. & Cobb, P. (2006). Design research from the learning design perspective.
Educational Design Research (pp. 17-51). London:Routledge.
Husna, Zulkardi, Somakim. (2014). Desain Pembelajaran Materi Sistem Persamaan Linear
Dua Variabel Menggunakan Pendekatan Ilmiah di Kelas VIII SMP. Tesis PPS
Pendidikan Matematika: UNSRI.
Imrona. (2009). Aljabar Linear Dasar. Jakarta: Erlangga.
Kalman, D. (2004). Elementary Math Models: College Algebra Topics and a Liberals Arts
Apporoach. Article Ideas and Project That Work Par:t 1
Kaino, L.M. (2005). Teaching Linear Equations using matematica at senior secondary high
school. Journal faculty of educations university Bostwana.
Kaur, B. (1997). Difficulties With Problem Solving In Mathematics. Journal The
Mathematics Educator Vol.2, No. 1: 93-112.
Kemdikbud.(2011). Survei International PISA. Diaksesdari
http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/survei-internasional-pisa pada 19
November 2015
Kemdikbud (2012).Bahan Uji Publik Kurikulum 2012. Diaksesdari
http://118.98.166.62/application/media/file/Laman%202012/Bahan%20Uji%20Publi
k%20Kurikulum%202013.pdf pada 6 November 2015
Kemdikbud. (2013). Salinan Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 69 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah
Menengah Atas/Madrasah Aliyah. Jakarta.
Khuluq, M., Zulkardi, Darmawijoyo. (2015). Develoving Stunetds‟ Understanding of Linear
Equation with One Variable Trough Balancing Activities. Tesis PPS Pendidikan
Matematika: UNSRI.
Krathwohl, D. R. (2002). A Revision of Bloom's Taxonomy: An Overview. Journal The Ohio
State University Vol. 41, No.4.
Mursita. D. (2010). Aljabar Linear. Bandung: Rekayasa Sains.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
250 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Prince & Angulo. (2015). Aplication OF Linear Equations And Gauss Jordan Eliminations
To Environmental Science In Class Room Setting. Journal of Sop Transactions on
Apllied Mathematics. Vol: 2. ISSN: 2373-8480.
Sutojo, et al. (2010). Teori dan Aplikasi Aljabar Linear dan Matriks. Yogyakarta: CV Andi
Offset.
Xin, Y. (2012). Conceptual Model Based Problem Solving. Netherlands: Sense publisher
Zulkardi. (2002). Developing A Learning Environment on Realistic Mathematics Education
For Indonesian Student Teachers. Doctoral Thesis of Twente University. Enschede:
Twente University.
Zulkardi & Putri. (2006). Mendesain Sendiri Soal Kontekstual Matematika. Prosiding
KNMI3. Semarang: Indonesia.
Zulkardi & Putri (2010). Pengembangan Blog Support Untuk Membantu Siswa dan Guru
Matematika Indonesia Belajar Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI).
Tersedia online:
http://eprint.unsri.ac.id/540/1/Prof.Dr.Zulkardi_Dr.Ratuilma_di_JIPP-Balitbang.pdf
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 251
PENERAPAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN
MATEMATIKA REALISTIK UNTUK MENINGKATKAN
KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIK SISWA SMP
Gida Kadarisma STKIP Siliwangi Bandung
ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya kemampuan pemahaman matematika
siswa SMP di Kab. Sumedangi, hal ini berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti
lakukan sebelumnya. Peneliti mengajukan Pendekatan Matematika Realistik sebagai
alternatif dalam memecahkan masalah tersebut. Tujuan Penelitian ini untuk
mengetahui peningkatan pemahman matematika siswa SMP yang pembelajarannya
menggunakan PMR dengan yang menggunakan pembelajaran biasa Sampel dari
penelitian ini adalah dua kelas dari salah satu SMP di Kab. Sumedang yang dipilih
secara acak, kelas pertama mendapatkan pembelajaran dengan PMR sedangkan kelas
kedua sebagai kelas kontrol. Instrumen dalam penelitian ini berupa soal uraian
sebanyak 7 soal. Hasil dari penelitian ini menunjukan peningkatan pemahaman
matematika siswa yang menggunkan pendekatan matematika realistik lebih baik dari
yang menggunaka pembelajaran biasa.
Kata Kunci:Pemahaman Matematik, Pendekatan Matematika Realistik.
1. PENDAHULUAN
Belajar matematika salah satunya adalah untuk melatih pola berpikir yang deduktif
sebaimana Ruseffendi (2010) menyatakan Hakekat matematika itu bisa berupa studi
deduktif, ratunya ilmu, bahasa, seni, pelayan ilmu, dan aktivitas manusia. Alasan utama
mengapa matematika dijarkan di sekolah ialah karena kegunaannya untuk berkomunikasi di
antara manusia-manusia itu sendiri (Ruseffendi, 2002).
Menurut Bloom (Armiza, 2007) Pada dasarnya belajar matematika merupakan belajar
konsep. Konsep-konsep pada matematika menjadi kesatuan yang bulat dan
berkesinambungan. Agar dapat memahami suatu konsep siswa harus membentuk konsep
sesuai dengan stimulus yang diterimanya dari lingkungan atau sesuai dengan pengalaman
yang diperoleh semasa hidupnya. Pengalaman-pengalaman yang harus dilalui oleh siswa
merupakan serangkaian kegiatan pembelajaran yang dapat menunjang terbentuknya konsep-
konsep tersebut. Dalam pemahaman konsep siswa tidak sebatas hanya mengenal tetapi siswa
harus dapat menghubungkan antara satu konsep dan konsep lainnya .
Pemahaman matematis merupakan landasan penting untuk berfikir dalam menyelesaikan
permasalahan-permasalahan matematika maupun permasalahan-permasalahan dalam
kehidupan sehari-hari. Seseorang yang telah paham tentang suatu permasalahan matematika
akan lebih mudah menyelesaikan permasalahan tersebut daripada orang yang belum
memahaminya
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
252 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Pemahaman matematik juga dipengaruhi oleh aktivitas matematisasi dalam belajar
matematika. Freudenthal (dalam Panhuizen, 1985) menyebutkan dua jenis matematisasi
yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Matematisasi horisontal menyangkut proses
transformasi masalah nyata/ sehari-hari ke dalam bentuk simbol. Sedangkan matematisasi
vertikal merupakan proses yang terjadi dalam lingkup simbol matematika itu sendiri.
Mengacu kepada dua jenis kegiatan matematisasi di atas terdapat empat pendekatan yang
dipakai dalam mengajarkan matematika, yaitu pendekatan mekanistik (tidak vertikal dan
tidak horizontal), empiristik (hanya horizontal saja), strukturalistik (hanya vertikal saja) dan
realistik (vertikal dan horizontal).
Di Indonesia Pemahaman matematik siswa tingkat tinggi masih rendah, Kondisi ini secara kasat
mata ditunjukkan oleh hasil survey internasionalThe Third International Mathematicsand Science
Study (TIMSS) bahwa kemampuan siswa SMP kelas dua Indonesia dalam menyelesaikan soal-soal tidak
rutins angat lemah, namun relatif baik dalam menyelesaikan soal-soal tentang fakta dan prosedur
(Mullis, Martin, Gonzales, Gregory, Garden,O‟Connor, Krostowski, & Smith, 2000)
Rendahnya pemahaman matematik siswa tingkat tinggi tersebut mungkin dikarenakan pendekatan yang
digunakan di Indonesia semula adalah pendekatan mekanistik (konvensional) kemudian matematika modern
dan akhirnya Cara Belajar Siwa Aktif (CBSA). Tetapi terlihat guru-guru seperti kembali kepada metode yang
lama yaitu pengajaran konvensional. Berbeda dengan Belanda yang sebelum menerapkan RME mereka itu
sepenuhnya menganut pendekatan mekanistik.
Pemilihan metode mengajar yang tepat adalah salah satu faktor utama untuk meningkatkan pemahaman dan
kreativitas siswa. Tetapi metode mengajar yang diterapkan itu harus efektif dan efesien. Ruseffendi ( 2006)
mengatakan, metode mengajar dikatakan efektif bila menghasilkan sesuatu sesuai dengan yang diharapkan.
Dengan kata lain, tujuannya tercapai.
Jadi kelihatannya yang dapat meningkatkan pemahaman matematik dan kreativitas siswa ialah caranya yang
harus menjadi budaya mereka dan guru. Caranya yang bisa seperti itu antara lain adalah pendekatan Pendidikan
Matematika Realistik (PMR).
Pendidikan Matematika Realistik menghubungkan pengetahuan informal matematika yang
diperoleh siswa dari kehidupan sehari-hari dengan konsep formal matematika. Realistik tidak
hanya bermakna keterkaitan dengan fakta atau kenyataan tetapi juga berarti permasalahan
kontekstual yang dipakai harus bermakna bagi siswa. Seperti yang telah diuraikan
sebelumnya bahwa dalam pendekatan realistik terkandung matematis vertikal dan horizontal.
Berdasar hal ini tampak bahwa jika dibandingkan dengan pendekatan yang lain pembelajaran
matematika dengan pendekatan realistik memberi perhatian yang cukup besar, baik pada
kegiatan matematisasi horisontal maupun vertikal.
Selain itu peneliti sudah melakukan observasi pembelajaran dengan PMRI di MIN Cicendo
dengan pokok bahasan jaring-jaring kubus. Peneliti dapat melihat secara langsung
bagaimana penerapan kontekstual dengan terlebih dahulu guru menghubungkan topik
dengan benda-benda di dalam kelas yang berbentuk kubus dan balok. Bahan ajar yang dibuat
yaitu model kubus dari karton kemudian kontribusi siswa dapat dilihat ketika siswa berkreasi
membentuk jaring-jaring dari kertas persegi warna-warni; berbagai bentuk jaring-jaring
tercipta dari kreativitas mereka. Siswa aktif dan interaktif mengeluarkan pendapatnya. Disini
guru pun dituntut untuk kreatif mengembangkan bahan ajar. Setelah pembelajaran selesai
mereka mengaku lebih memahami jaring-jaring kubus dengan baik.
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 253
Karena itu peneliti ingin memecahkan permasalahan rendahnya pemahaman dan siswa SMP
dengan PendekatanPendidikan Matematika Realistik.
2 Metode Penelitian
2.1 Metode dan Desain Penelitian
Metode dalam penelitian ini adalah metode eksperimen, karena ada pemanipulasian
perlakuan, dimana kelas yang pertama memperoleh pembelajaran dengan pendekatan
matematika realistik dan kelas yang kedua memperoleh pembelajaran biasa. Pada awal dan
akhir pembelajaran kedua kelas diberi tes. Sehingga desain penelitiannya adalah sbb :
A O X O
A O O
Dimana
A : Pengambilan sampel secara acak menurut kelas
O : Pre tes = post tes
X : Perlakuan dengan pembelajaran PMR
2.2 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMP di Kab. Sumedang, sedangkan sampel
dipilih dua kelas dari sekolah yang dipilih acak (dilotre)
2.3 Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian ini adalah soal uraian (essay) sebanyak 7 soal yang telah diuji
coba terlebih dahulu dan dikonsultasikan kepada ahlinya. Peneliti memilih istrumen berupa
soal uraian agar dapat melihat sejauh mana siswa memahami materi melalui proses yang
terlihat dari jawaban siswa.
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
3.1 Hasil Penelitian
Setelah peneliti melakukan eksperimen kepada kedua kelas sebanyak 7 kali pertemuan
termasuk pretes dan postes, berikut statistika deskriptifnya :
Tabel 3.1 Statistika Deskriptif Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen
Kelas Eksperimen Kontrol
SB Min Max n
SB Min Max N
Pretes 41,48 11,58 20 60 27 38,03 13,07 20 65 28
Postes 54,44 15,33 30 80 43,39 16,10 20 80
Gain 0,23 0,16 0,00 0,54 0,09 0,11 0,00 0,44
Dari tabel 3.1 kita dapat menganalisIS pretes eksperimen lebih besar daripada kelas kontrol
walaupun perbedaannya tidak terlalu signifikan. Kemudian pada tes akhir atau postes rata-
rata kelas eksperimen 54,44 lebih besar daripada kelas kontrol yaitu 43,39, yang menjadi
fokus dalam penelitian ini adalah gain atau peningkatan dari kedua kelas, pada kelas
ekspeimen peningkatan sebesar 0,23 sedangkan pada kelas kontrol 0,09. Uji perbedaan rata-
rata dilakukan untuk melihat sejauh mana perbedaan rata-rata peningkatan kedua kelas,
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
254 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
sebelumnya telah diuji normalitas dan homogenitasnya dan didapat kedua data berdistribusi
normal dan homogen. Berikut hasil pengolahan data dengan menggunakan SPSS
Dari Tabel 3.2 dapat dilihat Sig (2-tailed) sebesar 0.001, maka Sig (1-tailed) sebesar 0.0005,
ini lebih kecil dari alpha 0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya peningkatan
kemampuan pemahaman matematik siswa SMP yang menggunakan PMR lebih baik dari
yang menggunakan pembelajaran biasa.
3.2 Pembahasan
Penelitian dilakukan untuk melihat peningkatan pembelajaran antara yang menggunakan
PMR dengan yang menggunakan pembelajaran biasa. Pada awal pembelajaran siswa masih
belum bisa beradaptasi dengan pendekatan pembelajaran yang baru yaitu PMR, namun
setelah beberapa kali pertemuan siswa malah merasa antusias mengikuti pembelajaran,
sayangnya peneliti tidak fokus kepada bagaimana sikap siswa pada saat pembelajaran,
mungkin akan menjadi fokus pada penelitian berikutnya. Pada pembelajaran dengan
pendekatan matematika realistik siswa berfikir dari informal kepada yang formal, sehingga
pengetahuan tidak begitu saja siswa dapatkan melainkan melalui proses berpikir yang
sedimikan rupa yang terjadi pada diri siswa. Peneliti jelas mengutamakan kepada 3 prinsip
dari PMR yaitu, Guided reinvention and progresive mathematizing (penemuan terbimbing
dan matematika progresf). Prinsip ini sesuai dengan konstruktivisme yang menghendaki
bahwa dalam Pembelajaran Matematika realistik, guru tidak hanya sekedar transfer ilmu
kepada siswa saja seperti menuangkan air ke gelas kosong dari masalah konstektual yang
diberikan oleh guru diawal pembelajaran, kemudian dalam menyelasaikan masalah siswa
diarahkan dan diberi bimbingan terbatas, sehingga siswa mengalami proses menemukan
kembali konsep, prinsip, sifat – sifat dan rumus – rumus matematika sebagaimana ketika
konsep, prinsip, sifat – sifat dan rumus – rumus itu ditemukan.
Prinsip yang kedua yaitu Didactical phennomenology (fenomena didaktik). Prinsip ini terkait
dengan suatu gagasan fenomena pembelajaran, yang menghendaki bahwa di dalam
menentukan masalah konstektual untuk digunakan dalam pembelajaran dengan pendekatan
metode pembelajaran matematika realistik didasarkan atas dua alasan.Prinsip yang ketiga
adalah Self development models ( Diri sendiriyang membangun model), dalam prinsip ini,
model – model yang dibangun berfungsi sebagai jembatan pengetahuan informal dan formal
matematika. Dalam pemecahan konstektual siswa diberi kebebasan untuk menemukan
sendiri model matematika terkait dengan masalah kontekstual yang dipecahkan. Sebagai
Tabel 3.2Uji Perbedaan Dua Rata-rata Peningkatan Pemahaman Matematik
t-test for Equality of Means
95% Confidence
Interval of the
Difference
t Df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Std.
Error
Differe
nce Lower Upper
Gain Equal variances
assumed
3.572 53 .001 .13516 .03784 .05926 .21106
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 255
konsekuensinya sangat dimungkinkan mucul berbagai model matematika yang dibangun
siswa. Berbagai model tersebut pada mulanya mungkin masih mirip dengan masalah
kontekstualnya. Ini merupakan langkah lanjutan dari penemuan ulang dan sekaligus
menunjukan bahwa sifat bottom up(dari bawah ke atas) mulai terjadi. Dengan adanya model-
model yang dilibatkan dalam pembelajaran siswa akan sampai kepada tahap berpikir formal
4. Kesimpulan
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah peningkatan kemampuan pemahaman matematim
siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan matematika realistik lebih baik
daripada yang menggunakan pembelajaran biasa
Daftar Pustaka
Armiza (2007). Model Siklus Belajar Abduktif Empiris untuk Meningkatkan
Pemahaman Konsep dan Keterampilan Berfikir Kritis Siswa SMP pada Materi
Pemantulan Cahaya. Tesis pada PPS UPI. Bandung : tidak diterbitkan.
Mullis, dkk. T.A. (2000).TIMSS 1999: International Mathematics Report. Boston: ISC
Ruseffendi E.T. (2002). Dasar-Dasar Matematika Modern dan Komputer untuk Guru. Edisi
5. Bandung : Tarsito.
Ruseffendi E.T.(2006). Pengantar Kepada Membantu Guru mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung :
Tarsito
Ruseffendi E.T. (2010). Perkembangan Pendidikan Matematika. Jakarta : Universitas
Terbuka.
Van den Heuvel – Panhuizen, M. (1985). Assesment and Realistic Mathematics Education.
Freudenthal Institute. Utrecht University
Top Related