R E D A K S I
Penanggung Jawab Direktur Jenderal Multilateral
Redaktur
Sesditjen Multilateral Direktur HAM & Kemanusiaan
Direktur KIPS Direktur PELH Direktur PPIH
Direktur Sosbud OINB
Penyunting Wakil-wakil dari:
Setditjen Multilateral Direktorat HAM & Kemanusiaan
Direktorat KIPS Direktorat PELH Direktorat PPIH
Direktorat Sosbud OINB
Alamat Redaksi: Setditjen Multilateral
Kementerian Luar Negeri Gedung Eks BP-7 Lt. 9
Jl. Taman Pejambon 6, Jakarta 10110
Telp. +6221-3848464 Fax. +6221-3849411
Email: [email protected]
D A F T A R I S I
Sapa Redaksi ......................................................................... 1
Artikel:
Wajah Diplomasi Multilateral Indonesia ....................................... 2
Menuju Dunia Tanpa Kemiskinan Ekstrem:
Catatan Proses HLP Post-2015 Development Agenda ................ 7
KTT ke-12 OKI: OKI Harus Jadi Net Contributor
Perdamaian dan Pembangunan Global ...................................... 12
Bali Process: Upaya Regional Mengatasi Kejahatan
Lintas Batas ................................................................................ 15
The Rise of Social Media in Diplomacy:
Indonesia’s Response ................................................................. 20
Kerja Sama Internasional Penangangan Narkoba:
Kritik atas Laporan INCB Tahun 2012 ........................................ 29
Peran Indonesia dalam Proses Perdamaian di
Filipina Selatan ........................................................................... 33
Pengarusutamaan Gender di Indonesia ..................................... 36
Sri Suryawati dan Upaya Global Pengawasan Narkotik ............. 39
Sekilas Info Multilateral ........................................................ 41
Agenda Diplomasi Multilateral ............................................... 44
Isi tulisan dalam Buletin ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mencerminkan pendapat institusi. Penggandaan atau pengutipan isi tulisan untuk keperluan penelitian atau pengajaran diizinkan dengan mengutip sumber dengan jelas. Penggandaan dan pengutipan untuk tujuan lain harus dengan izin.
Volume II No. 2 Tahun 2013 │ 1
Diplomasi Multilateral
S A P A R E D A K S I
Pembaca yang budiman,
Kami kembali menyapa dengan edisi terbaru Buletin Diplomasi Multilateral, Volume II No. 2
Tahun 2013. Selama beberapa bulan terakhir, diplomasi multilateral Indonesia disibukkan
dengan beberapa agenda, yang paling menonjol di antaranya adalah pertemuan High Level
Panel of Eminent Persons of the Post-2015 Development Agenda (HLP).
Setelah pertemuan sebelumnya di New York dan London pada tahun 2012, tahun ini per-
temuan HLP diselenggarakan di Monrovia (Liberia), Bali, dan terakhir New York disertai
penyerahan laporan akhir HLP oleh Presiden SBY kepada Sekjen PBB. Dalam edisi ini, kami
menyajikan ulasan mengenai hasil keseluruhan proses pertemuan HLP dengan judul “Me-
nuju Dunia Tanpa Kemiskinan Ekstrem.”
Selain itu ada juga beberapa agenda lain seperti KTT ke-12 OKI di Mesir, pertemuan Bali
Process ke-5, dan agenda rutin pengiriman Tim Pengamat Indonesia (TPI) untuk memoni-
tor proses perdamaian di Filipina Selatan. Tulisan-tulisan dalam edisi kali ini merefleksikan
beberapa kegiatan tersebut.
Secara umum, diplomasi multilateral Indonesia menorehkan catatan semakin diperhitung-
kannya Indonesia di kancah internasional. Kita layak berbangga, sekaligus terus berupaya
bersama-sama supaya catatan itu tetap terjaga dan terus membaik.
Selanjutnya, voila, kami ucapkan selamat membaca.
Salam,
Redaksi
2 │ Volume II No. 2 Tahun 2013
Diplomasi Multilateral
Wajah Diplomasi Multilateral Indonesia Ary Raharjo dan Shohib Masykur
ejak bergulirnya reformasi pada ta-
hun 2008, Indonesia terus melaku-
kan pembenahan di dalam negeri.
Perekonomian terus membaik. Demokrasi
semakin matang. Hal ini berimplikasi pada
semakin meningkatnya profil Indonesia di
mata dunia internasional. Akibatnya, Indo-
nesia semakin diperhitungkan di berbagai
forum multilateral. Modal tersebut menye-
diakan ruang bagi Indonesia untuk berpe-
ran secara lebih aktif dan memberikan kon-
tribusi yang lebih signifikan dalam upaya
penetapan norma-norma (norms setting)
internasional, baik di berbagai badan dan
forum PBB maupun di berbagai organisasi
internasional lain di luar PBB.
Peran tersebut antara lain dapat digambar-
kan dari terpilihnya Indonesia sebagai ang-
gota badan/dewan eksekutif atau ketua di
berbagai forum multilateral penting di du-
nia, baik sebagai negara maupun individu.
Misalnya, Indonesia berhasil terpilih seba-
gai anggota Dewan Keamanan PBB periode
2007-2008. Hal ini merupakan bentuk
pengakuan dunia internasional atas peran
Indonesia dalam mengupayakan perda-
maian dunia. Indonesia juga terus terpilih
sebagai anggota Dewan HAM PBB sejak
tahun 2006 hingga kini. Ini adalah pertanda
adanya pengakuan internasional atas peran
Indonesia dalam pemajuan dan
perlindungan HAM. Selain itu, Indonesia
juga menduduki jabatan di sederet organi-
sasi internasional lainnya, seperti Economic
and Social Council (ECOSOC), International
Maritime Organization (IMO), International
Telecomunication Union (ITU), Universal
Postal Union (UPU), Food and Agriculture
Organization (FAO), United Nations Indus-
trial Development Organization (UNIDO),
dan lain-lain. Individu-individu Indonesia
juga dipercaya untuk memimpin atau men-
duduki jabatan-jabatan penting di organi-
sasi internasional, seperti di International
Law Commission (ILC), International Nar-
cotics Control Board ( INCB), World Meteo-
rological Organization (WMO), dan lain-lain.
Bidang Politik dan Keamanan Internasional
Komitmen atas amanat UUD 1945 untuk
ikut melaksanakan ketertiban dunia di-
wujudkan melalui kontribusi aktif Indonesia
pada misi-misi pemeliharaan perdamaian
PBB di berbagai belahan dunia. Peran ini
semakin menguat dari tahun ke tahun, tidak
hanya dari sisi jumlah namun juga dari segi
kualitas personel yang dikirim. Per akhir
Mei 2013, Indonesia berpartisipasi pada 7
misi pemeliharaan perdamaian PBB dengan
jumlah kontingen 1.826 personel, menem-
patkan Indonesia pada peringkat 13 negara
dunia pengirim pasukan terbanyak.
S
Volume II No. 2 Tahun 2013 │ 3
Diplomasi Multilateral
Untuk meningkatkan peran dan kapasitas
personelnya yang ikut dalam misi pemeli-
haraan perdamaian tersebut, Indonesia
membentuk Indonesia Peace and Security
Center (IPSC) di Sentul, Jawa Barat. Seba-
gai apresiasi atas upaya ini, dan atas ke-
mampuan dan profesionalisme pasukan
Indonesia yang bertugas dalam berbagai
misi pemeliharaan perdamaian, Sekjen PBB
Ban Ki-moon berkunjung ke IPSC pada bu-
lan Maret 2012. Selain itu, Indonesia juga
berupaya memperkuat koordinasi dalam
pengiriman pasukan pemeliharaan perda-
maian dengan membentuk Tim Koordinasi
Misi Pemelihara Perdamaian (TKMPP) yang
juga bermarkas di Sentul.
Perlucutan senjata dan non-proliferasi me-
rupakan isu yang menjadi perhatian serius
Indonesia. Sebagai salah satu bentuk ko-
mitmennya untuk mewujudkan dunia yang
damai tanpa senjata nuklir, Indonesia telah
meratifikasi Traktat Pelarangan Menyeluruh
Uji-Coba Nuklir (Comprehensive Nuclear-
Test-Ban Treaty/CTBT). Selain itu, komit-
men Indonesia juga ditunjukkan dengan
peran aktif Indonesia sebagai Koordinator
Kelompok Kerja Perlucutan Senjata Gera-
kan Non-Blok.
Isu lain yang menjadi perhatian adalah te-
rorisme. Keberhasilan Indonesia dalam
memerangi terorisme memperoleh penga-
kuan dari dunia internasional, salah sa-
tunya ditunjukkan dengan keanggotaan
Indonesia pada Global Counter Terrorism
Forum (GCTF). Keberhasilan itu juga sema-
kin diakui dengan dibentuknya Jakarta
Center for Law Enforcement Cooperation
(JCLEC) di Semarang, Jawa Tengah.
Indonesia juga terus berperan aktif dalam
upaya mencegah penyelundupan manusia
dan perdagangan orang dengan bernisiatif
membentuk mekanisme intra-regional ber-
sama dengan Australia dan menggagas
penyelenggaraan Bali Regional Ministerial
Conference on People Smuggling, Traffick-
ing in Person and Related Transnational
Crime (BRMC) secara berkala. Forum terse-
but merupakan satu-satunya forum yang
mempertemukan antara negara pengirim,
negara transit, dan negara tujuan para imi-
gran internasional. Hingga kini, BRMC telah
diselenggarakan sebanyak lima kali.
Dalam rangka meningkatkan relevansi,
transparansi, dan keterwakilan seluruh
bangsa di dunia dalam PBB, Indonesia kon-
sisten mendukung upaya reformasi PBB,
khususnya Dewan Keamanan. Pengaruh
Indonesia antara lain ditunjukkan dengan
diterimanya sejumlah usulan Indonesia
pada berbagai pembahasan mengenai re-
formasi PBB. Indonesia juga berperan da-
lam upaya mengatasi berbagai konflik yang
timbul di berbagai belahan dunia. Dalam
konflik di Suriah, misalnya, Indonesia men-
dorong diterapkannya tiga elemen penting,
yaitu penghentian kekerasan, terbukanya
akses bantuan kemanusiaan, dan penyele-
saian konflik melalui proses politik.
4 │ Volume II No. 2 Tahun 2013
Diplomasi Multilateral
Bidang Ekonomi Pembangunan dan Ling-
kungan Hidup
Indonesia juga terus memanfaatkan forum-
forum multilateral untuk mencapai kepen-
tingan nasional di bidang ekonomi dan me-
ningkatkan pembangunan. Di World Trade
Organization (WTO), misalnya, Indonesia
berupaya mendorong fair trade dan penye-
lesaian Putaran Doha melalui partisipasi
aktif di berbagai grouping, seperti G-33 dan
Cairns Group. Peran aktif ini diakui dunia
internasional dengan dipilihnya Indonesia
sebagai tuan rumah KTM ke-9 WTO pada
bulan Desember 2013 mendatang.
Indonesia juga berkomitmen untuk men-
capai target Millennium Development Goals
(MDGs) sesuai tenggat waktu tahun 2015
dengan menyelaraskannya ke dalam Ren-
cana Pembangunan Jangka Panjang Na-
sional (RPJPN) 2005-2025. Kesungguhan
Indonesia ini diapresiasi oleh dunia inter-
nasional, yang antara lain ditunjukkan
dengan terpilihnya Presiden Susilo Bam-
bang Yudhoyono sebagai satu dari tiga co-
chairs High-Level Panel of Eminent Persons
on Post-2015 Development Agenda (HLP)
– sebuah panel yang dibentuk oleh Sekjen
PBB untuk memberikan rekomendasi
mengenai agenda pembangunan pasca-
2015.
Indonesia juga mendorong upaya mening-
katkan ketahanan pangan global dengan
berpedoman pada tiga aspek, yakni availa-
bility, accessibility, dan affordability. Seba-
gai wujud komitmen Indonesia, Presiden
SBY telah mengirimkan surat kepada Sek-
jen PBB pada bulan Maret 2008 guna me-
nyarankan segera dimulainya upaya global
mengatasi masalah ketahanan pangan dan
energi – sebuah saran yang ditanggapi po-
sitif oleh Sekjen PBB.
Peningkatan perekonomian Indonesia yang
berkelanjutan juga diakui oleh dunia inter-
nasional sehingga menempatkan Indonesia
sebagai anggota G20 – satu-satunya wakil
dari ASEAN. Indonesia juga diundang untuk
meningkatkan kemitraannya dengan OECD
dalam program Enhanced Engagement.
Meski telah masuk ke dalam jajaran nega-
ra-negara penting G20, Indonesia tetap
tidak melupakan kerja sama dengan nega-
ra-negara berkembang. Hal ini tercermin
antara lain dari peran serta aktif Indonesia
di Developing Eight (D-8), yang pernah di-
ketuai oleh Indonesia pada periode 2006-
2008, juga dalam kerja sama negara ber-
kembang lainnya, seperti OKI dan GNB.
Sementara dalam isu lingkungan hidup,
Indonesia menyadari betul pentingnya in-
tegrasi antara social inclusion dan envi-
ronmental protection. Dalam konteks ini,
diplomasi Indonesia diarahkan untuk men-
dorong komitmen global terhadap upaya-
upaya penanggulangan perubahan iklim.
Secara konkret, peran Indonesia ditunjuk-
kan dengan menjadi tuan rumah Confe-
rence of Parties (COP) ke-13 di Bali pada
Volume II No. 2 Tahun 2013 │ 5
Diplomasi Multilateral
tahun 2007 yang menghasilkan terobosan
berupa dorongan untuk terciptanya kese-
pakatan global dalam penanganan peruba-
han iklim. Selain itu, sejak 2009 Indonesia
berkomitmen untuk menurunkan gas rumah
kacanya pada tahun 2020 hingga 26 per-
sen dari tingkat business as usual dan
hingga 41 persen apabila disertai bantuan
internasional. Komitmen suka rela ini meru-
pakan upaya Indonesia untuk memberi
contoh kepada negara lain, khususnya ne-
gara maju, agar mempunyai komitmen
yang sama.
Masih dalam kaitan perubahan iklim, Indo-
nesia sebagai pemilik hutan tropis terbesar
ketiga dunia berinisiatif membentuk forum
Forest Eleven (F-11) pada tahun 2007. F-
11 merupakan koalisi sebelas negara pemi-
lik hutan tropis yang bertujuan untuk
mengedepankan pengelolaan hutan yang
lestari guna mendukung tercapainya per-
tumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,
mengurangi kemiskinan, serta mengurangi
dampak buruk dari perubahan iklim.
Bidang HAM dan Sosial Budaya
Sebagai negara demokratis yang menjun-
jung tinggi pemajuan dan perlindungan
HAM, citra Indonesia di bidang HAM sema-
kin positif. Hal ini terlihat saat Indonesia
menjalani Universal Periodic Review (UPR)
di Dewan HAM PBB untuk kedua kalinya
pada tahun 2012. Ketika itu, Indonesia di-
akui telah mengalami kemajuan pesat da-
lam pemajuan dan perlindungan HAM. Ko-
mitmen Indonesia dalam pemajuan dan
perlindungan HAM itu antara lain ditunjuk-
kan dengan meratifikasi berbagai instru-
men HAM internasional–delapan dari sem-
bilan instrumen HAM internasional utama
saat ini. Satu instrumen yang belum adalah
Konvensi untuk Perlindungan Semua Orang
dari Penghilangan Paksa (International
Convention for the Protection of All Per-
sons from Enforced Disappearance/CPED)
yang saat ini tengah dibahas di DPR. Se-
bagai bentuk pengakuan internasional se-
kaligus wujud komitmen Indonesia, sejak
tahun 2004 hingga sekarang Indonesia se-
cara konsisten terus terpilih menjadi ang-
gota Dewan HAM PBB.
Keaktifan Indonesia dalam mendorong pe-
majuan dan perlindungan HAM juga dilaku-
kan di forum non-PBB dengan cara mengi-
nisiasi pembentukan Komisi HAM Perma-
nen dan Independen (Independent and
Permanent Human Rights Commis-
sion/IPHRC) OKI. Indonesia bertindak sela-
ku tuan rumah Pertemuan Pertama IPHRC
OKI di Jakarta pada bulan Februari 2012
dan wakil dari Indonesia terpilih sebagai
Ketua Komisi. Masih dalam konteks pema-
juan dan perlindungan HAM, Indonesia dan
Timor-Leste membentuk Komisi Kebenaran
dan Persahabatan (KKP)/Commission of
Truth and Friendship pada bulan Agustus
2005 untuk menyelesaikan masalah-
masalah residual antara kedua negara. Se-
lain untuk meng-address isu HAM, KKP
6 │ Volume II No. 2 Tahun 2013
Diplomasi Multilateral
juga berperan meningkatkan hubungan
bilateral kedua negara.
Sebagai negara rawan bencana, Indonesia
berperan aktif di forum multilateral untuk
mendorong upaya pengurangan risiko ben-
cana (disaster risk reduction) dan mening-
katkan ketahanan (resilience) terhadap
bencana. Keberhasilan Indonesia
menangani bencana alam telah mengantar-
kan Presiden SBY meraih penghargaan
Global Champion for Disaster Risk Reduc-
tion dari PBB pada bulan Mei 2011.
Sementara itu, di bidang kesehatan Indone-
sia aktif mendorong dijadikannya keseha-
tan sebagai aspek penting dalam politik
luar negeri melalui pembentukan Foreign
Policy and Global Health (FPGH) pada ta-
hun 2006. Dalam kerangka WHO, Indonesia
berhasil mendorong dicapainya kesepaka-
tan dalam dalam hal pengaturan yang adil
menyangkut access and virus sharing.
Dalam rangka memajukan budaya nasional
Indonesia sebagai bagian dari budaya du-
nia, diplomasi aktif Indonesia di UNESCO.
telah berhasil memasukkan delapan situs
warisan budaya dan alam ke dalam daftar
warisan dunia (world heritage), antara lain
wayang (2008), keris (2008), batik (2009),
angklung (2010), dan Tari Saman (2011).
Saat ini, Indonesia merupakan salah satu
anggota Komite antar-pemerintah untuk
perlindungan warisan budaya takbenda
UNESCO periode 2010-2014.
Kesimpulan
Catatan di atas merupakan gambaran
umum dari diplomasi multilateral yang di-
lakukan Indonesia. Melihat tren yang ber-
kembang, tampak bahwa peran Indonesia
di kancah internasional semakin diperhi-
tungkan. Jika dapat menjaga stabilitas tren
ini dan memanfaatkan momentum yang
ada, besar harapan ke depan Indonesia
akan menjadi negara yang semakin ber-
pengaruh di dunia internasional.
Ary Raharjo adalah Kepala Sub-bagian pada Sekreta-riat Direktorat Jenderal Multilateral
Shohib Masykur adalah staf pada Sekretariat Di-rektorat Jenderal Multila-teral
Volume II No. 2 Tahun 2013 │ 7
Diplomasi Multilateral
Menuju Dunia Tanpa Kemiskinan Ekstrem:
Catatan Proses HLP Post-2015 Development Agenda
Judha Nugraha dan Shohib Masykur
“Our vision and our responsibility are to end extreme poverty in all its forms in
the context of sustainable development and to have in place the building blocks
of sustained prosperity for all.”
alimat di atas adalah visi yang di-
ajukan High-Level Panel of Eminent
Persons on the Post-2015
Development Agenda (HLP) dalam laporan
yang berjudul “A New Global Partnership:
Eradicating Poverty and Transform Econo-
mies Through Sustainable Development”.
Visi ini merefleksikan perlunya agenda
pembangunan pasca-2015 yang bold and
ambitious but practical and achievable,
sebuah visi yang berani dan ambisius na-
mun praktis dan dapat dicapai.
HLP dibentuk berdasarkan mandat Resolusi
Majelis Umum PBB tahun 2010 dengan
tugas memberikan masukan mengenai
agenda pembangunan pasca-2015 dalam
bentuk laporan yang harus disampaikan
kepada Sekjen PBB paling lambat akhir Mei
2013. HLP diketuai bersama oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, Perdana Men-
teri David Cameron (Inggris), dan Presiden
Ellen Johnson Sirleaf (Liberia), dengan
anggota Panel terdiri dari 23 orang. Pada
tanggal 30 Mei 2013 lalu, Presiden SBY
telah menyerahkan laporan HLP kepada
Sekjen PBB Ban Ki-moon di New York, AS.
Dalam rangka menyusun masukan, Panel
berpijak dari pengalaman yang telah ada
sebelumnya, yaitu Millenium Development
Goals (MDGs). Proses yang berawal sejak
Millennium Declaration tahun 2000 ini telah
berhasil mencapai target memotong
setengah jumlah kemiskinan ekstrem dari
tingkat tahun 1990, bahkan target ini ter-
capai lima tahun lebih awal dari tenggat
waktu tahun 2015. Oleh karena itu, visi
Panel untuk menghapuskan kemiskinan
ekstrem dari muka bumi pada tahun 2030
dipandang sebagai visi agenda pembangu-
nan mendatang yang inspiratif.
MDGs memang masih menyimpan keku-
rangan. Meskipun tingkat penurunan ke-
miskinan dalam 13 tahun terakhir tercatat
sebagai yang tercepat dalam sejarah umat
manusia, namun MDGs masih mengguna-
kan silos approach dan tidak mengintegra-
sikan aspek ekonomi, sosial, dan
lingkungan dalam pembangunan berkelan-
jutan. MDGs juga tidak menyentuh aspek
tata kelola (governance) sebagai kondisi
kondusif untuk merealisasikan agenda
pembangunan. Dari sisi proses, meskipun
K
8 │ Volume II No. 2 Tahun 2013
Diplomasi Multilateral
MDGs didasarkan pada Millennium Decla-
ration, namun penyusunan delapan goals
dilakukan secara tertutup oleh Sekretariat
PBB dan tidak melibatkan pembahasan
yang inklusif dengan berbagai pemangku
kepentingan. Maka, beranjak dari kesada-
ran akan kelemahan-kelemahan MDGs itu,
Panel dihadapkan pada tiga pertanyaan
berikut: Apa yang harus tetap dipertahan-
kan? Apa yang perlu diubah? Apa yang per-
lu ditambahkan? Dipertahankan karena
terdapat beberapa target MDGs yang belum
tercapai dan memerlukan kesinambungan
dalam penanganannya. Perubahan dan
penambahan karena tantangan pembangu-
nan pasca 2015 akan lebih kompleks dan
bersifat cross-cutting.
Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut, pertemuan demi pertemuan dige-
lar mulai dari pertemuan di New York (Sep-
tember 2012), London (November 2012),
Monrovia (Februari 2013), Bali (Maret
2013), hingga kembali ke New York (Mei
2013). Berbagai kalangan juga dilibatkan
agar dapat menghasilkan masukan yang
matang, inklusif, dan komprehensif: dari
kalangan pemerintah, parlemen, organisasi
masyarakat sipil, komunitas lokal, perem-
puan, orang muda, migran, para ahli, dan
kalangan bisnis. Secara keseluruhan, rang-
kaian pertemuan itu melibatkan lebih dari
5.000 organisasi dari 120 negara. Lebih
dari 850 komentar dan masukan tertulis
diterima oleh Panel.
5 Perubahan Transformatif
Laporan Panel menggarisbawahi bahwa
untuk merealisasikan agenda pembangu-
nan mendatang, kita tidak dapat lagi meng-
gunakan pendekatan business as usual,
melainkan diperlukan sebuah perubahan
transformatif. Dalam hal ini, Panel menga-
jukan lima perubahan transformatif (five
big transformative shifts) agar masyarakat
dunia dapat mengakhiri kemiskinan dan
mendorong pembangunan berkelanjutan.
Kelima perubahan transformatif tersebut
adalah sebagai berikut:
Pertama: Leave no one behind
Janji MDGs untuk mengakhiri kemiskinan
ekstrem harus tetap dijaga dan semua
orang tanpa terkecuali harus memperoleh
hak asasinya sebagai manusia dan menda-
patkan kesempatan ekonomi secara adil.
Karena itu, kelompok-kelompok yang sela-
ma ini terpinggirkan harus diberi perhatian.
Kedua: Put sustainable development at the
core
Pembangunan berkelanjutan harus diuta-
makan. Perubahan iklim dan kerusakan
lingkungan yang terjadi dengan cepat me-
nuntut umat manusia untuk bertindak se-
karang juga sebelum terlambat. Dalam hal
ini, negara maju memiliki peran khusus
untuk mengembangkan teknologi baru dan
Volume II No. 2 Tahun 2013 │ 9
Diplomasi Multilateral
mengurangi konsumsi yang tidak berkelan-
jutan.
Ketiga: Transform economies for jobs and
inclusive growth
Untuk mengakhiri kemiskinan ekstrem dan
meningkatkan taraf hidup, diperlukan lom-
patan kuantum transformasi ekonomi. Se-
luruh negara memiliki tantangan untuk
memastikan ketersediaan pekerjaan yang
layak, dan pada saat yang sama bergerak
menuju pola hidup dan pekerjaan yang ber-
kelanjutan. Ini sangat penting mengingat
sumber daya alam bersifat terbatas.
Keempat: Build peace and effective, open
and accountable institutions for all
Bebas dari rasa takut, konflik, dan kekera-
san adalah hak manusia yang paling asasi.
Karena itu, perdamaian dan good gover-
nance harus diperlakukan sebagai elemen
pokok, bukan elemen tambahan. Pemerin-
tah yang jujur, akuntabel, dan responsif
terhadap kebutuhan rakyat adalah sebuah
keharusan.
Kelima: Forge a new global partnership
Barangkali ini adalah perubahan yang pal-
ing penting: menuju semangat solidaritas,
kerja sama, dan rasa saling bertanggung
jawab. Kemitraan global yang baru harus
bersandar pada pemahaman bersama ten-
tang kemanusiaan dan rasa saling meng-
hormati. Kemitraan itu harus melibatkan
tidak saja pemerintah tetapi juga orang-
orang miskin, penyandang cacat, perem-
puan, masyarakat sipil, komunitas lokal,
kelompok marjinal, lembaga multilateral,
kalangan bisnis, akademisi, dan kalangan
swasta lainnya.
Empat perubahan pertama lebih banyak
dilaksanakan di tataran nasional, sementa-
ra perubahan kelima mensyaratkan kolabo-
rasi global. Seluruh negara perlu terlibat
dalam implementasi kelima perubahan ter-
sebut sesuai dengan kapasitas dan ke-
mampuannya masing-masing. Dengan kata
lain, meskipun memiliki keterbatasan, se-
tiap negara perlu menunjukkan kontribu-
sinya sebagai bentuk rasa tanggung jawab
bersama. Di satu sisi, negara maju perlu
memberikan contoh dan kepemimpinan,
sedangkan di sisi lain, negara berkembang
perlu memberikan kontribusi yang nyata.
Di era globalisasi yang ditandai peningka-
tan peran aktor-aktor non-negara, kemi-
traan global perlu melibatkan bukan hanya
negara melainkan juga masyarakat dari
berbagai kalangan. Setiap dari kita me-
mainkan peranan. Pemerintah nasional,
misalnya, berperan sentral dan memiliki
tanggung jawab atas pembangunan di ne-
gara masing-masing serta memastikan
terjaminnya hak asasi manusia. Merekalah
yang menentukan target nasional, pajak,
kebijakan, perencanaan, dan peraturan
yang akan menjadi penerjemahan praktis
10 │ Volume II No. 2 Tahun 2013
Diplomasi Multilateral
dari visi dan tujuan agenda pasca-2015.
Sementara kalangan bisnis merupakan mi-
tra pemerintah dalam mendorong pertum-
buhan ekonomi. Organisasi masyarakat
sipil memainkan peran dalam menyuarakan
orang-orang yang hidup dalam kemiskinan
dan mereka yang termarjinalkan. Begitu
juga dengan sektor-sektor lain yang me-
mainkan peran sesuai bidangnya masing-
masing.
2030: 12 Tujuan 54 Target
Panel menyepakati bahwa agenda pem-
bangunan pasca berakhirnya MDGs mem-
punyai rentang waktu antara tahun 2015
sampai tahun 2030. Jangka waktu 15 ta-
hun dirasa tepat karena jangka yang lebih
panjang akan kehilangan urgensinya men-
gingat perubahan dunia yang cepat, se-
mentara jangka yang lebih pendek akan
menyulitkan terjadinya perubahan trans-
formatif.
Melanjutkan kesuksesan MDGs yang
menggunakan pendekatan tujuan (goals)
dan target, dalam laporan akhirnya Panel
memberikan ilustrasi mengenai tujuan dan
target yang perlu diperhatikan dalam agen-
da pembangunan mendatang yang berjum-
lah 12 tujuan dan 54 target (sebagai cata-
tan, MDGs mencakup 8 tujuan dan 21 tar-
get). Tujuan tersebut bersifat SMART: spe-
cific, measurable, attainable, relevant, dan
time-bound.
Kedua belas tujuan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Mengakhiri kemiskinan
2. Memberdayakan perempuan dan anak
perempuan serta mewujudkan keseta-
raan gender
3. Menyediakan pendidikan yang berkua-
litas dan pembelajaran sepanjang
hayat
4. Memastikan kehidupan yang sehat
5. Memastikan ketahanan pangan dan
nutrisi yang bagus
6. Mewujudkan akses universal atas air
dan sanitasi
7. Mengamankan keberlanjutan energi
8. Menciptakan lapangan kerja, penghi-
dupan yang berkelanjutan, dan per-
tumbuhan yang adil
9. Mengelola aset sumber daya alam se-
cara berkelanjutan
10. Memastikan kepemerintahan yang baik
dan institusi yang efektif
11. Memastikan masyarakat yang stabil
dan damai
12. Menciptakan lingkungan global yang
mendukung dan membangkitkan keua-
ngan jangka panjang
What’s Next?
Sesuai mandatnya, Laporan HLP akan
menjadi masukan bagi Sekjen PBB dalam
mendorong pembahasan agenda
pembangunan pasca-2015. Perlu disadari
bahwa HLP bukan merupakan satu-satunya
proses yang membahas agenda
Volume II No. 2 Tahun 2013 │11
Diplomasi Multilateral
pembangunan pasca 2015. Terdapat ber-
bagai proses lainnya yang signifikan, anta-
ra lain adalah Open Working Group on Sus-
tainable Development Goals (OWG on
SDGs) yang dibentuk sebagai realisasi
mandat KTT Rio+20. Tantangan ke depan
adalah bagaimana mengerucutkan semua
proses pembahasan tersebut sehingga da-
pat berujung pada single and coherent
post-2015 development agenda.
Mencapai konsensus global mengenai
agenda pembangunan pasca-2015 meru-
pakan tantangan yang nyata. Proses yang
terbuka, transparan, dan inklusif sebagai
koreksi dari proses penyusunan MDGs ter-
dahulu bukan tanpa resiko. Menyatukan
pandangan seluruh negara anggota PBB
dapat menjadi proses yang panjang dan
berlarut-larut. Sebagai hasil kompromi,
intergovernmental process juga sulit
menghasilkan produk yang ambisius.
Di sinilah laporan Panel dapat memainkan
peran yang strategis. Tanpa mendikte, La-
poran ini diharapkan dapat menginspirasi
negara anggota PBB mengenai agenda
pembangunan yang bold and ambitious.
Sebagai sebuah rujukan, Laporan Panel
dapat menyingkat proses pembahasan se-
hingga intergovernmental process tidak
memulai pembahasannya dari nol.
Apakah substansi laporan Panel akan men-
jadi rujukan dalam intergovernmental
process mendatang untuk menghasilkan
agenda pembangunan pasca 2015 yang
definitif? Ataukah laporan ini akan bernasib
sama seperti Laporan Global Sustainability
Panel yang gagal menjadi rujukan proses
KTT Rio+20? Hal ini tentunya masih akan
kita tunggu.
Jika peta jalan proses pembahasan agenda
pembangunan pasca 2015 dapat disepakati
pada Special Event on MDGs bulan Sep-
tember 2013 mendatang, sedikit banyak
hal ini akan mempengaruhi dampak laporan
Panel. Jika peta jalan menyepakati intergo-
vernmental process dimulai September
tahun 2014 pasca OWG on SDGs menyam-
paikan laporannya, maka tantangan ke de-
pan adalah bagaimana kita dapat memper-
tahankan momentum yang telah diciptakan
laporan panel sehingga gaungnya tetap
hidup dan relevan sampai satu tahun ke
depan.
Judha Nugraha adalah
Kepala Seksi pada Direk-
torat Pembangunan, Eko-
nomi, dan Lingkungan
Hidup
Shohib Masykur adalah
staf pada Sekretariat Di-
rektorat Jenderal Multila-
teral
12 │ Volume II No. 2 Tahun 2013
Diplomasi Multilateral
KTT ke-12 OKI:
OKI Harus Jadi Net Contributor Perdamaian dan Pembangunan Global Mia Virnalisi
rganisasi Kerja Sama Islam (OKI)
yang memiliki 57 anggota, atau le-
bih dari seperempat jumlah negara
di dunia, perlu memainkan peran lebih be-
sar di dunia internasional. Agar tetap rele-
van dengan perkembangan zaman, organi-
sasi ini harus mampu mengonversi berba-
gai keunggulan yang dimilikinya menjadi
keuntungan nyata yang dapat dirasakan
oleh banyak pihak, baik di dalam maupun di
luar OKI. Itulah inti pesan yang disampai-
kan Presiden RI dalam pidatonya pada Kon-
ferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-12 OKI
yang digelar di Kairo, Mesir, Februari 2013,
dengan tema The Muslim World: New Chal-
lenges and Expanding Opportunities.
Peran yang dapat dimainkan OKI, pertama,
adalah menjadi net contributor bagi perda-
maian dan keamanan global. Dalam kon-
teks itu, OKI harus berperan dalam menye-
lesaikan berbagai konflik yang melanda
negara-negara anggotanya, seperti di ka-
wasan Timur Tengah. OKI yang merupakan
organisasi internasional terbesar kedua
setelah PBB ini mewakili 1,5 miliar pendu-
duk muslim dunia. Apabila OKI mampu
membantu penyelesaian konflik di negara-
negara anggotanya, itu sama artinya den-
gan OKI membantu penyelesaian konflik
dunia dan menciptakan perdamaian global.
Peran kedua adalah OKI harus bisa menjadi
net contributor bagi pembangunan ekonomi
dan kesejahteraan global. Total GDP nega-
ra-negara OKI mencapai lebih dari 9 triliun
dolar, atau lebih dari 8 persen total GDP
dunia. Namun sayangnya, perdagangan
antar-negara OKI baru sekitar 600 miliar
dolar atau kurang dari 10 persen. Banyak
penduduk muslim yang hidup di bawah
garis kemiskinan. Oleh karena itu, OKI ha-
rus mampu meningkatkan kerja sama eko-
nomi antar-sesama anggota agar menda-
tangkan kesejahteraan bagi penduduknya.
Ketiga, OKI juga harus mampu menjadi net
contributor bagi wacana tentang demokrasi
dan pemajuan serta perlindungan HAM
yang sekarang sedang berkembang. Kebe-
radaan Komisi Permanen dan Independen
Hak Asasi Manusia OKI harus terus diopti-
malkan sebagai wadah berbagi pengala-
man dan pembelajaran negara anggota
OKI. Di tingkat global, OKI juga harus ber-
peran lebih dalam mendorong dialog dan
toleransi antar-agama.
Isu Palestina
Isu Palestina menjadi perhatian khusus
pada KTT ke-12 OKI dengan diselenggara-
kannya sesi khusus yang membahas isu
O
Volume II No. 2 Tahun 2013 │13
Diplomasi Multilateral
settlements di wilayah Palestina. Dalam
sejarahnya, OKI yang semula bernama Or-
ganisasi Konferensi Islam ini memang didi-
rikan sebagai reaksi atas adanya aksi pem-
bakaran Mesjid Al Aqsa di Jerusalem. Oleh
karena itu, isu Palestina selalu menjadi
perhatian utama negara anggota dalam
setiap pertemuan OKI.
Pada tanggal 6 Februari 2013, para Kepala
Negara/Pemerintahan menyampaikan pan-
dangannya khusus terkait isu settlements
di wilayah Palestina. Sesi ini diselenggara-
kan guna membahas rencana Israel mem-
bangun lebih dari 3600 pemukiman di Je-
rusalem Timur yang merupakan pelangga-
ran terhadap hukum internasional. Tinda-
kan ini dinilai akan menghambat proses
perdamaian kedua pihak dan melanggar
hak rakyat Palestina untuk self-
determination dan merdeka.
Dalam pembahasan ini, Indonesia kembali
menggarisbawahi pentingnya langkah
konkret OKI dalam membantu Palestina.
Berbagai upaya, baik dalam kerangka dip-
lomatik, legal, maupun ekonomi, harus di-
lakukan. OKI juga harus terus berupaya
mempertahankan dan meningkatkan kon-
sensus global melawan pembangunan set-
tlements guna menghindari ekspansi Israel
yang lebih luas. Selain itu, perlu dijajaki
kemungkinan merujuk isu settlements ini
ke badan legal internasional yang sesuai.
Adalah penting untuk memastikan bahwa
pihak Israel tidak mendapat keuntungan
secara finansial dan ekonomi dari
pembangunan settlements ini dan memas-
tikan bahwa Palestina tidak dirugikan seca-
ra finansial. Sehubungan dengan penaha-
nan pendapatan dari pajak oleh pihak Israel
sebesar USD 100 juta/bulan, Indonesia
mengajak negara anggota OKI lainnya un-
tuk mengambil langkah guna membantu
Palestina dalam mengatasi masalah ini.
Untuk itu, Indonesia menyambut baik pem-
bentukan Islamic financial safety net dan
menyatakan pledge dukungan finansial
Indonesia untuk Palestina.
KTT yang merupakan pertemuan tiga tahu-
nan ini adalah forum tertinggi OKI guna
membahas beragam isu yang menjadi per-
hatian negara-negara anggota. KTT ke-12
di Mesir kali ini menghasilkan Cairo Final
Communique sebagai dokumen hasil utama
yang menjadi pembahasan dan dasar inter-
vensi seluruh negara yang hadir. Dokumen
tersebut memuat isu politik negara OKI,
komunitas dan minoritas muslim di negara
14 │ Volume II No. 2 Tahun 2013
Diplomasi Multilateral
Profil: International Civil Aviation Organization (ICAO)
ICAO merupakan badan khusus PBB yang menjadi forum bagi para anggotanya untuk membahas hal-hal yang berhubungan dengan penerbangan sipil. Melalui forum tersebut, negara dan kalangan industri penerbangan membicarakan tentang priori-tas strategis, mengembangkan kebijakan dan standar pener-bangan, mengoordinasikan pengawasan, analisis, dan pelapo-ran global, serta memberikan asistensi dan pembangunan ka-pasitas.
ICAO didirikan pada tanggal 4 April 1947 dan bermarkas di Montreal, Quebec, Kanada. Pada saat ber-
diri, anggotanya hanya berjumlah 26 negara. Kini, 66 tahun sejak didirikan, keanggotaan ICAO telah
bertambah hingga 191 negara. Struktur organisasi ICAO terdiri dari Governing Body, mencakup As-
sembly (Majelis), Council (Dewan), dan Sekretariat. Indonesia merupakan anggota Dewan ICAO dari
tahun 1962 hingga 1998. Saat ini, Indonesia kembali mencalonkan diri untuk periode 2013-2016 yang
pemilihannya akan berlangsung bulan September 2013 di Montreal, Kanada.
ICAO perlu dibedakan dengan organisasi lain yang agak mirip dan bermarkas di kota yang sama, yakni
International Air Transport Association (IATA). IATA merupakan organisasi perdagangan yang mewa-
kili industri penerbangan dengan total anggota 240 masakai penerbangan. Baik ICAO maupun IATA
sama-sama memberikan kode untuk bandara dan maskapai. Namun pada umumnya, kode IATA lebih
banyak dipakai. Misalnya, kode ICAO untuk Bandara Soekarno-Hatta adalah WIII, sedangkan kode
IATA adalah CGK. Kode ICAO untuk Garuda Indonesia adalah GIA, sedangkan kode IATA adalah GA.
non-OKI, HAM, terorisme, disarmament,
islamofobia, voting di forum internasional,
kemanusiaan, kerja sama ekonomi, kerja
sama di bidang sosial-budaya, iptek, pen-
didikan, kesehatan, lingkungan, dan peru-
bahan iklim.
Selain Cairo Final Communique, KTT terse-
but juga menyepakati Resolusi mengenai
Palestina dan Al Quds-Al Sharif sebagai
hasil dari sesi khusus mengenai pemuki-
man di wilayah Palestina dan Deklarasi
mengenai Situasi di Mali. Di samping itu,
juga dilaksanakan pengesahan Turki seba-
gai tuan rumah KTT ke-13 OKI dan tawaran
Gambia sebagai tuan rumah KTT ke-14
OKI. KTT tersebut juga telah mengesahkan
Mr. Iyad Ameen Madani dari Arab Saudi
sebagai Sekretaris Jenderal baru OKI yang
akan menjabat mulai 1 Januari 2014.
Mia Virnalisi adalah Kepa-
la Seksi pada Direktorat
Sosial Budaya dan Orga-
nisasi Internasional Nega-
ra Berkembang
Volume II No. 2 Tahun 2013 │15
Diplomasi Multilateral
Bali Process: Upaya Regional Mengatasi Kejahatan Lintas Batas Dody Harendro
ermasalahan irregular migration,
arus people smuggling, dan
trafficking in persons di kawasan
Asia-Pasifik yang tidak dapat ditangani
secara parsial telah mendorong Indonesia
dan Australia untuk menginisiasi meka-
nisme intra-regional guna mengatasinya.
Selanjutnya pada tahun 2002, dibentuklah
apa yang dinamakan Bali Regional Minis-
terial Conference on People Smuggling,
Trafficking in Persons, and Related Trans-
national Crime (BRMC), yang kemudian
lebih dikenal dengan Bali Process. Forum
ini merupakan Regional Consultative
Process (RCP) yang bersifat inklusif dan
tidak mengikat dengan tujuan mening-
katkan kerja sama antarnegara dalam
mengurangi irregular movement di kawa-
san. Sejak pertama kali bergulir, forum ini
telah berhasil menyeragamkam pemaha-
man dan membangun saling pengertian di
antara negara-negara anggotanya.
Sebagai sebuah RCP, Bali Process memiliki
keunikan yang menjadi keunggulan diban-
dingkan forum-forum serupa lainnya, yaitu
sebagai satu-satunya forum yang memper-
temukan negara asal, negara transit, dan
negara tujuan irregular migration. Bali
Process membangun fondasi krusial beru-
pa rasa confidence di antara negara anggo-
ta untuk tidak lagi saling menyudutkan satu
sama lain, tetapi duduk bersama membica-
rakan permasalahan irregular migration
secara konstruktif dan tanpa paksaan. Fo-
rum tersebut terdiri dari 43 negara, 2 yuris-
diksi, dan 3 organisasi internasional seba-
gai anggota, 18 negara sebagai partisipan,
dan 10 organisasi internasional sebagai
observer. Forum ini dipercaya efektif untuk
memformulasi kebijakan, mendiseminasi
informasi, melakukan transfer teknologi,
dan pembangunan kapasitas di antara se-
sama anggotanya.
Pembentukan RSO
Pada bulan April 2013, Pertemuan Tingkat
Menteri (PTM) Bali Process diselenggara-
kan untuk kelima kalinya. BRMC V ini me-
neruskan konkretisasi hasil PTM sebelum-
nya yang merumuskan regional coopera-
tion framework (RCF) dengan beberapa
prinsip, yaitu: (1) memberantas irregular
migration yang difasilitasi oleh sindikat
penyelundup, dan seluruh negara anggota
diwajibkan mendorong praktik migrasi se-
cara teratur; (2) setiap pencari suaka diha-
rapkan memperoleh akses yang sama ter-
hadap assessment process di seluruh ka-
wasan; (3) mereka yang terbukti sebagai
pengungsi harus diberi solusi yang
P
16 │ Volume II No. 2 Tahun 2013
Diplomasi Multilateral
berkelanjutan, yaitu voluntary repatriation,
resettlement, atau in country solution; (4)
mereka yang tidak terbukti sebagai pen-
gungsi harus dikembalikan, terutama atas
asas kesukarelaan; (5) peningkatkan
jaringan pengamanan perbatasan, penega-
kan hukum dan disincentives bagi para
pencari suaka yang memanfaatkan sindikat
penyelundup.
www.antaranews.com
Kerangka kerja tersebut mengerucut men-
jadi sebuah Regional Support Office (RSO)
yang dikukuhkan dalam BRMC V. RSO yang
berlokasi di Bangkok, Thailand, ini berfung-
si sebagai institusional memory untuk selu-
ruh kegiatan Bali Process yang diselengga-
rakan dalam kerangka RCF, serta mengon-
disikannya untuk semakin terarah, terstruk-
tur, dan berkesinambungan, walaupun tidak
akan mengubah Bali Process sebagai RCP
yang bersifat voluntary dan non binding.
RSO ini tidak dimaksudkan untuk menjadi
Regional Processing Center atau sebuah
pusat untuk menangani Refugee Status
Determination (RSD) dalam lingkup kawa-
san.
Jika telah berfungsi secara optimal, RSO
dapat menjadi titik pusat information
sharing dalam perlindungan pengungsi
maupun migrasi internasional di kawasan.
Kerja sama antara RSO dan Jakarta Center
for Law Enforcement Cooperation (JCLEC)
juga berpotensi menjadi pusat pertukaran
best practices dan pusat sumber daya tek-
nis di kawasan, yang konkret dan berman-
faat bagi anggota Bali Process. RSO juga
diharapkan dapat menjadi pusat koordinasi
harian antarnegara anggota dalam penye-
diaan bantuan logistik, administrasi, dan
operasional penanganan isu penyelundu-
pan manusia dan perlindungan pengungsi
yang dikembangkan dalam kerangka kerja
sama regional.
Membangun Rasa Saling Percaya
Peringatan 10 tahun Bali Process pada No-
vember 2012 memberikan harapan positif
bagi penanganan permasalahan people
smuggling dan kejahatan lintas negara
terorganisir lainnya. Tetap bertahan dan
aktifnya forum ini sendiri merupakan indi-
kator positif bagi upaya diplomasi di kawa-
san. Selain itu, rasa saling percaya dan
menghormati dari masing-masing negara
untuk tidak saling menyalahkan dan ko-
mitmen untuk terus mengatasi permasala-
Volume II No. 2 Tahun 2013 │17
Diplomasi Multilateral
han secara bersama-sama menjadi aset
berharga Bali Process. Baik negara asal,
negara transit, maupun negara tujuan me-
miliki keinginan yang semakin kuat dalam
berbagi beban (burden sharing) dalam ling-
kup kawasan. Secara lebih konkret, pertu-
karan data dan informasi di antara negara
anggota telah terbina dan telah mampu
mencegah atau bahkan menyelesaikan ka-
sus per kasus permasalahan people
smuggling.
Rasa saling menghargai ini salah satunya
tercermin ketika Bali Process membahas
masalah irregular migrants yang berasal
dari Myanmar, dalam hal ini etnis Rohingya.
Diskusi Bali Process tidak diarahkan untuk
mengecam atau menekan Myanmar seba-
gai negara asal, namun dibicarakan dalam
konteks tanggung jawab negara asal, nega-
ra transit dan negara tujuan, termasuk ad-
dressing root causes. Myanmar sebagai
negara asal tidak merasa dihakimi oleh
rekomendasi yang dihasilkan forum terse-
but karena mereka juga dilibatkan sebagai
bagian dari solusi.
Bali Process memungkinkan Myanmar un-
tuk duduk bersama dalam satu kesempatan
dengan Bangladesh, India, Malaysia,
Thailand, dan Republik Rakyat Tiongkok
serta Indonesia sebagai negara-negara
yang terkait dengan isu Rohingya, sehingga
dapat menghasilkan solusi komprehensif
yang dapat diterima oleh semua pihak.
Terbangunnya rasa kepercayaan di antara
negara-negara anggota dan pihak-pihak
terkait menipiskan ‘lack of trust’ di antara
berbagai negara dan institusi-institusi ter-
kait isu kejahatan lintas negara terorganisir,
khususnya penyelundupan manusia.
Sementara itu, respons cepat pada level
pejabat setingkat Menteri untuk dapat ber-
kumpul bersama dan menghasilkan kepu-
tusan politik dengan bobot yang tinggi me-
rupakan hal yang positif. Bali Process tidak
hanya bergerak di level menteri, tetapi juga
pada High Level Officials dan praktisi serta
ahli untuk sharing best practices dan men-
gembangkan kapasitas bersama. Bali
Process juga bergerak pada level opera-
sional yang ditunjukkan dengan kerja sama
Regional Immigration Liaison Officer Net-
work (RILON), tempat negara anggota da-
pat secara cepat bertukar informasi se-
hingga dapat mengantisipasi segala anca-
man dan resiko yang berpotensi muncul.
Penanganan Pengungsi di Indonesia
Dengan letak geografis yang strategis dan
luas wilayah yang besar, Indonesia cende-
rung menjadi negara transit penyelundupan
manusia. Namun seiring dengan perkem-
bangan politik kawasan, Indonesia juga
telah menjadi negara tujuan pencari suaka.
Etnis Rohingya adalah salah satu kelompok
pencari suaka yang menjadikan Indonesia
sebagai tujuan. Pelarian tidak hanya karena
kedekatan secara geografis, namun juga
karena sentimen persamaan agama.
18 │ Volume II No. 2 Tahun 2013
Diplomasi Multilateral
Pada tanggal 5 April 2013, delapan pencari
suaka asal Myanmar tewas dalam insiden
dengan etnis Rohingya di Rumah Detensi
Imigrasi (Rudenim) Myanmar, Medan, Su-
matera Utara. Tak lama setelah itu, terjadi
tragedi lain yang menimbulkan jumlah kor-
ban yang lebih memprihatinkan, yaitu teng-
gelamnya kapal yang bermuatan 72 pencari
suaka dari Afghanistan. Hanya 14 orang
yang berhasil diselamatkan penduduk se-
tempat bersama Tim SAR.
Kejadian-kejadian tersebut menambah
panjang daftar insiden terkait irregular mi-
gration di Indonesia. Data resmi tahun
2012 mencatat terdapat 7.218 pencari su-
aka yang terdaftar berada dalam wilayah
yurisdiksi Indonesia, sementara jumlah
resettlement dan voluntary return semakin
menurun. Hal ini menimbulkan perhatian
dari banyak pihak sehingga muncul doron-
gan agar Indonesia mengaksesi Konvensi
Pengungsi 1951 sebagai solusi, setidaknya
secara domestik.
Meski Indonesia telah meratifikasi Konven-
si PBB menentang Transnational Organized
Crime (UNTOC) dengan UU Nomor 6 tahun
2011, namun Indonesia belum meratifikasi
Konvensi Pengungsi (Refugee Convention
1951). Aturan hukum mengenai merchants
of misery memang sudah jelas, namun atu-
ran mengenai pencari suaka dan mereka
yang sudah memiliki status pengungsi dari
United Nation High Commissioner for Refu-
gee (UNHCR) belum jelas.
Dari sudut pandang hukum, untuk meratifi-
kasi sebuah konvensi internasional, peme-
rintah wajib menerapkan asas 4 aman, yai-
tu aman secara politis, national security,
yuridis, dan teknis. Aman secara politis
berarti instrumen hukum internasional di-
maksud tidak bertentangan dengan politik
luar negeri dan kebijakan hubungan luar
negeri. Aman dari sudut pandang national
security berarti tidak mengganggu atau
mengancam stabilitas dan keamanan da-
lam negeri. Aman secara yuridis berarti
tidak ada pertentangan dengan hukum na-
sional dan perjanjian internasional lainnya
yang mana Indonesia menjadi negara pi-
hak. Sementara, aman secara teknis berarti
seluruh instansi pemerintah terkait dapat
melaksanakan segala kewajiban yang tim-
bul dari ratifikasi tersebut dan tidak dijum-
pai kendala teknis yang menyulitkan.
Dalam sejarahnya, Indonesia mengakomo-
dasi keberadaan pengungsi di wilayah yu-
risdiksinya dan memperlakukannya secara
manusiawi. Hal ini terlihat antara lain den-
gan didirikannya Pusat Pemrosesan Pen-
gungsi di Pulau Galang pada tahun 1979
(ditutup pada tahun 1996). Ruang gerak
para pengungsi di Indonesia tidak pernah
dibatasi. Indonesia termasuk ke dalam ka-
tegori ‘safe third country’ yang dirumuskan
dalam Michigan Guidelines on Protection
Elsewhere. Selain itu Indonesia juga telah
meratifikasi dan comply terhadap kewaji-
ban beberapa traktat Hak Asasi Manusia
internasional. Hal ini berarti Indonesia telah
Volume II No. 2 Tahun 2013 │19
Diplomasi Multilateral
terbukti memiliki ‘good faith’ dalam
penanganan pengungsi. Maka secara hu-
kum, Indonesia memenuhi syarat sebagai
negara yang dapat ditinggali oleh pengung-
si.
Indonesia dan Bali Process
Bagi Indonesia yang bertindak selaku ketua
bersama, baik pada Bali Process maupun
pada koordinasi antara RSO dan JCLEC,
terdapat peluang besar untuk berperan
penting dalam menentukan arah kerja sama
Bali Process. Indonesia juga dapat mendo-
rong peningkatan kerja sama dan linkage
antara RSO dengan berbagai kepentingan
nasional dalam memberantas kejahatan
terorganisir lintas negara dan memberikan
solusi yang lebih baik bagi pencari suaka
maupun pengungsi yang tinggal di Indone-
sia.
Partisipasi aktif dan kepemimpinan Indone-
sia pada Bali Process akan memberikan
manfaat langsung dalam menghadapi ma-
salah dan ancaman yang dimunculkan oleh
penyelundupan manusia dan juga perda-
gangan orang, yaitu terutama melalui per-
tukaran informasi, pengembangan jejaring
dan kerja sama internal maupun eksternal
antar lembaga negara. Selain itu, segala
kegiatan di dalam Bali Process akan sema-
kin memperkuat upaya Indonesia dalam
meningkatkan kesadaran masyarakat pesi-
sir di Indonesia sehingga mereka terhindar
dari jerat kejahatan penyelundupan manu-
sia dan perdagangan orang.
Dody Harendro adalah staf
pada Direktorat Keamanan
Internasional dan Perlucu-
tan Senjata
Referensi:
The State of The World’s Refugees, UNHCR
Office, 2012.
Adrianus Meliala, Pemantapan Legalitas
dan Kebijakan Menyangkut Penyelundupan
Manusia, FISIP UI 2011.
Tempo English, Swimming with Sharks,
June 11-17, 2012.
www.baliprocess.net; www.unodc.org;
www.unhcr.org; www.imigrasi.go.id
20 │ Volume II No. 2 Tahun 2013
Diplomasi Multilateral
The Rise of Social Media in Diplomacy: Indonesia’s Response Indah Nuria Savitri
s the robust advance of information
and communication technologies
(ICT) continue to enable and facili-
tate people around the globe to connect
and to interact directly with one another,
social media outlets have stolen the atten-
tions of many bureaucrats for their major
role in voicing peoples’ aspirations and
shaping public policies in many areas.
Along with the exponential growth of social
media around the world, many government
officials, including diplomats, have utilized
this channel to conduct and expand their
public diplomacy.
Although many argue that the advance ICT
in the form of social media only add a new
dimension in foreign policies’ business, it is
widely accepted that the wider use of social
media outlets, such as Facebook and Twit-
ter, do create and bring significant impacts
on the ground. As a wide range of opinions,
political views and interests, and even mo-
bilization of activities are widely and easily
shared, peoples-driven transformation
process are more likely to take place. The
Arab Spring is indeed one of the illustrious
examples of this phenomenon, lauded the
role of social media and even coined the
term “Twitter Revolution”. While security
and political issues are still considered
sensitive and tend to be handled in more
traditional ways, many foreign ministries
expand their public diplomacy efforts fo-
cusing on social, economy and cultural ex-
changes through social media. Rigorous
dissemination of information of one coun-
try’s values and cultures has been aggres-
sively conducted in these platforms.
Nevertheless, as this new technological
revolution is bearing down on foreign min-
istries, it proves to be difficult for many.
The slow pace of adaption in digital diplo-
macy by many foreign ministries suggests
that there is a degree of uncertainty over
this novel concept. Perhaps, two of the big-
gest questions here are what digital diplo-
macy is and what it can be used for. In ad-
dition, how to effectively formulate and
implement communication strategies using
these new platforms continues to be de-
bated.
The Changing Nature of Diplomacy
As public diplomacy and strategic commu-
nications experts continue to explore the
potential of the relatively new social media,
one cannot deny the changing nature of the
world of diplomacy. The marvel of informa-
tion and communication technology has
significantly impacted the conduct of
diplomacy, which traditionally centered on
government officials and took place behind
A
Volume II No. 2 Tahun 2013 │21
Diplomasi Multilateral
the close doors. Along with the develop-
ment of new communication means and
tools, we have seen novel approaches in-
volving information and communication
technologies introduced and implemented
in the conduct of diplomacy. Websites, so-
cial media outlets, and live-chats are now
among the common platforms used by
ministries and government agencies.
At the same time, those approaches and
mediums enable government officials to
seek and invite new partners and counter-
parts, which might include bloggers, artists
and musicians. Many argue that the “21st
century statecraft” can no longer be con-
ducted exclusively between governments,
but it must be government-to-people and
people-to-people.1 Perhaps, it is also cru-
cial to agree that interconnectedness is
undeniably one of the significant characters
of the 21st century. So is in the business of
diplomacy. With connectivity as a crucial
element in diplomacy, this is where ICT
plays significant roles. Thanks to the expo-
nential grow of the Internet, ensuring con-
nectivity among states and peoples is not
expensive nor complicated as it used to be.
At this juncture, e-Diplomacy, or some
might say, digital diplomacy, was born.
In the networked age where transparency
and accountability are highly demanded,
the growing desire of governments all over
the world to have "two-way-dialogue" with
their constituencies, whether it is at
national, regional as well as international
level, can be catered by social media. In
conjunction with that, networking sites
such as Twitter, Facebook, YouTube, and
even local social media services like chi-
na’s micro blogging site, Sina Weibo, are
now common platforms used by govern-
ments to interact with public. As expected,
the U.S. is a leading player in this field, as
the State Department has spawned
approximately 301 Twitter accounts and
408 Facebook pages with millions of “fol-
lowers” from every corner of the world.
Meanwhile, most other countries still lag
behind although they have embraced or
even implemented similar strategies to
conquer digital diplomacy world. United
Kingdom, which ranks number four on most
active Twitter user and number six for most
active Facebook members, now has around
20 of its ambassadors as active Twitter
users, following William Hague, their
tweeting foreign minister. At individual lev-
el, no less than the late Hugo Chavez, the
President of Venezuela, managed his Twit-
ter account actively with approximately 3.7
million followers. Dmitry Medvedev, Rus-
sia’s prime minister, has 1.5 million
followers, while Barack Obama’s twitter
account has nearly 20 million followers.
Similarly, Dilma Rousseff, Brazil’s Pesident
and Carl Bildt, Sweden’s Foreign Minister,
add to this extensive list. In the case of In-
donesia, two striking examples are Dino
Patti Djalal, Indonesian Ambassador to the
22 │ Volume II No. 2 Tahun 2013
Diplomasi Multilateral
U.S., with 119.138 followers and 2,440
tweets; and Hazairin Pohan, the Head of
Center for Eduation and Training as well as
Indonesian Ambassador to Poland from
2006 - 2011, with 17,421 tweets and 1,743
followers, in times of writing.
If we analyze further, there are three main
reasons why social media has been suc-
cessfully chosen as the new frontier of
diplomacy. Firstly, social media enables us
to directly engage with citizens around the
world. With millions of subscribers from
almost every corner of the world, social
media can facilitate the network expansion
and make public diplomacy effective.
Second, sharing information in real-time
and on global scale can be easily done.
User-friendly technologies and down-to-
earth approach used in social media make
the dissemination process easier, faster,
and farther. Third, intensive communication
with extensive networks in social media
enables us to understand people and
events more deeply, giving us a more com-
prehensive picture of public’s aspirations
and perspectives. Therefore, further analy-
sis on the information received through
social media will be the best use of it.
However, there are some limitations as
well. We cannot deny that the slow pace
adaptation to digital diplomacy by many
foreign ministries suggest that there is a
degree of uncertainty over what digital dip-
lomacy is and its potentials. It can be a
rude awakening for governments as digital
diplomacy requires transparency, where
some countries still restrict the internet
connection for their citizens. At some point,
loss of control due to public demands is the
risks governments must be willing to take.
In additions, the use of social media outlets
do not always yield benefits, as people do
have illicit and ill-fated purposes while
using them. E-culture among people also
varies, resulting in different level of accep-
tability and responsiveness towards con-
tents distributed through social media out-
lets.
It is also important to note that digital
diplomacy is not, and is never meant to be,
a replacement of face-to-face diplomacy.
It, in fact, builds on traditional statecraft,
incorporating the new technologies, demo-
graphics and networks of the modern era.
Social media is just a new means, new
instrument, for advancing the same end
which is built on the traditional govern-
ment-to-government connections. It is in-
deed too naïve to believe that meaningful
relationships with and among people can
be built through social networking media
only. Therefore, virtual interactions need to
move forward in order to get real substan-
tive gains in diplomacy.
Indonesia’s Diplomacy in the Digital Era
With new information and communication
technologies being rigorously used in vari-
Volume II No. 2 Tahun 2013 │23
Diplomasi Multilateral
ous aspect of life, including diplomacy, the
Ministry of Foreign Affairs of Indonesia,-
hereinafter refer to as Kemlu, has joined the
crowd as well.
As public diplomacy continues to be one of
the missions of Kemlu, policies and pro-
grams which create and support Indone-
sia’s positive image will persistently be
strengthened. Moreover, economic diplo-
macy, which is generally referred to as the
conduct of diplomacy using economic leve-
rages, policies and measures to achieve
national goals, and cultural diplomacy,
where “exchange of ideas, information, val-
ues, systems, traditions, beliefs, and other
aspects of culture, with the intention of
fostering mutual understanding,“2 should
ideally be supported by all elements and
venues of diplomacy, including through
social media outlets.
Along with the internal institutional reform
taking place since 2001, Kemlu has estab-
lished two prominent directorates in this
case, Public Diplomacy as well as Informa-
tion and Media Directorates, under the aus-
pices of the Directorate General of Informa-
tion and Public Diplomacy (previously
known as Directorate General of Informa-
tion, Public Diplomacy and International
Treaties). As stipulated in the Minister for
Foreign Affairs Regulation Number 7/2011,
Public Diplomacy Directorate is in charge of
harnessing public support at home as well
as abroad towards the implementation of
Indonesia’s foreign policies in the area of
political, security, economic, development,
social and cultural, as well as other
strategic and emerging issues. It is
equipped with five relevant sub-
directorates, namely political and security;
economics and development; social
cultural; current and strategic issues; as
well administrative division.3
Moreover, Information and Media Directo-
rate is responsible for taking necessary
measures in the field of information and
media, particularly regarding news, multi-
media, data, media facilitation, audiovisual,
and publishing, which will establish Indo-
nesian positive image and shape positive
public opinion supporting Indonesian na-
tional interests abroad. It has six sub-
directorates, namely news; multimedia;
media data; mass media facilitation;
audiovisual and publishing; and adminis-
tration. In this connection, multimedia sub-
directorate is carrying out multimedia in-
formation management and development
of Kemlu’s website, including, among
others, in preparing, coordinating, and im-
plementing policies and programs in this
field. Formulation of standards, norms,
guidelines, criteria and procedures in the
field of information and media also falls
under this sub-directorate. With this
mandate, Information and Media Directo-
rate is indeed one of the spearheads of
Kemlu’s digital diplomacy.4
24 │ Volume II No. 2 Tahun 2013
Diplomasi Multilateral
In addition to traditional ways and media in
conducting public diplomacy, various novel
information and communication channels
have been utilized by Kemlu, including offi-
cial websites, Facebook and Twitter ac-
counts. The official website of Kemlu, for
example, has been established since 2002.
Beside better displays and more user-
friendly menu, further improvement is con-
tinuously conducted, including by
integrating websites of Indonesia’s 131
missions abroad, which consist of 95 em-
bassies, 3 permanent missions, 30 consu-
late generals and 3 consulates.5 New menu,
such as diplomatic blogs, has been added
since October 9, 2009. Displaying 33 notes
until the time of this writing, a wide range
of topics from political to social cultural
issues as well as ASEAN dynamics to pro-
tection of Indonesian citizens abroad have
been expressed through creative writings.
Success stories of Indonesian citizens and
related stakeholders abroad are also exhi-
bited, and updated information on career
and scholarships, including on internships
in Kemlu, job vacancies in international
organizations, are also available. Further-
more, online public services such as visa
and consular service, diplomatic facilities
and media services, are also available on
the website.
Despite the fact that formal policies on the
use of social media in conducting diploma-
cy are yet to be developed, Kemlu has ma-
naged to create its official Facebook ac-
count and page since June 2010. Until the
time of writing (November 2012), 5,995
individuals ‘like’ it, while 66 has ‘talked’
about it. Many issues, in the forms of sta-
tus, links, and photos, have been raised on
this page, including the latest Bali
Democracy Forum, ASEAN Summit and
Senior Official Meeting, as well as other
events and meetings like various bilateral
meetings of Foreign Minister Natalegawa
with his counterparts.
On Twitter, Kemlu has established also an
official account, @Portal_Kemlu_RI. Until
the time of writing, there are 2,580
followers from many parts of Indonesia and
the world. 1,732 tweets (as of November
18, 2012 at 10.45 am) have been broad-
cast, almost all in the forms of direct links
of headlines from Kemlu’s website. The
English version account,
@MoFA_Indonesia, has 221 tweets and 150
followers so far.6 Policies as well as infor-
mation regarding high-profile issues, such
as protection of Indonesian citizens, have
been tweeted frequently. Moreover, in line
with Kemlu’s priorities, economic diploma-
cy is also highlighted, as business meetings
and trade fairs, the visit of business sectors
from various countries, and the signing of
various trade agreements are among the
feeds being tweeted. Getting more specifi-
cally on cultural diplomacy, efforts empha-
sizing people-to-people contacts and so-
cial cultural events, such as art and cultural
scholarships, student exchanges, technical
Volume II No. 2 Tahun 2013 │25
Diplomasi Multilateral
cooperation, cultural performances, Indo-
nesian nights and many more, are also ac-
tively disseminated through Twitter.7 Be-
sides, many Indonesian missions and em-
bassies around the world manage their own
Facebook or Twitter accounts. Statistics
show that Indonesian Embassies in Am-
man, Beijing, Bern, Bucharest, Cairo, Can-
berra, Den Haag, London, Kuala Lumpur,
Manila, Moscow, Singapore, Ottawa, Port
Moresby, Washington D.C., and Yangon,
among others, have actively engaged in
these networking sites.
Nevertheless, it is important to note that
dissemination of information is just one
dimensional way of communicating with
constituents. Two-way dialogues are in-
creasingly needed, if not demanded, by
public, as part of the increasing global cul-
ture of transparency and accountability. At
this point, Kemlu still has to further develop
the 2.0 aspect of this communication, the
interactive nature between Kemlu and
public. The establishment of interactive
dialogues with public is still limited and we
cannot deny that public complaints are still
lodged to this institution for not being ‘res-
ponsive’. For simple examples, in some of
the feeds in Facebook, users were frequent-
ly asking about the result of a competition
held by Kemlu as well as updated informa-
tion about scholarships which were not
swiftly responded by the administrator.
Moreover, most of the “followers” or
“friends” are Indonesian diasporas or Kem-
lu’s big family. Although it is important to
engage with Indonesian constituents, out-
reach programs focusing on foreign citi-
zens can be further strengthened.
Amidst the challenges and difficulties faced
in embracing social media, Kemlu’s increa-
singly active engagement with public
through social media outlets shows that the
Ministry is aware of the power of digital
diplomacy in strengthening the outreach
programs which will eventually advance
Indonesia’s national interests. Therefore,
clearer policies on the use of social media,
coupled with specific targets and strate-
gies, will help enhancing the conduct of
Indonesian diplomacy through these chan-
nels.
Maximizing Social Media for Indonesian
Diplomacy
With more foreign ministries, including In-
donesia, lining up to embrace and integrate
social media sites in their communication
and public diplomacy, the question now is
what measures Kemlu has to take in order
to maximize the benefits derived from ef-
fective use of social media in enhancing
economic and cultural diplomacy. Undoub-
tedly, there are several strengths that Kem-
lu has in relations to the use of social me-
dia in enhancing Indonesian diplomacy.
First, many Indonesian diplomats are very
26 │ Volume II No. 2 Tahun 2013
Diplomasi Multilateral
familiar with social media. ‘Digital divide’ in
terms of level of familiarity with these in-
teractive platforms might be present, but
the majority of diplomats have their ac-
counts in at least one of the popular net-
working sites. Second, dedicated directo-
rates dealing with information and media,
including multimedia, and public diplomacy
have been established, along with the inter-
nal institutional reform within Kemlu. Fur-
ther empowerment has to be conducted,
nevertheless. Third, well-established infra-
structures in Kemlu enable diplomats and
other staffs to enjoy good internet connec-
tions at the office, thus facilitating them in
using social media for official use.
However, some weaknesses have also been
identified, which, among others, include the
absence of clear and formal policies re-
garding the use of social media in the con-
duct of diplomacy poses a certain level of
uncertainty for those who want to utilize
these outlets. Limited human resources
who are in charge of Kemlu’s engagement
in social media also hamper its active par-
ticipation and swift responses, particularly
with numerous accounts, pages and sites
to manage. Moreover, insufficient budget
allocation for further development and ac-
tive engagement of Kemlu through social
media hinders its ability to introduce inno-
vative approach and adapt to the dynamics
of this digital diplomacy.
As previously mentioned, the opportunities
present that can be utilized is that social
media sites provide spontaneous and direct
interaction with friends, families, col-
leagues and even strangers. Despite time
differences and vast geographical space,
they enable people to get in touch with a
large number of people instantly, as long as
both parties have access to internet con-
nections. This will help Kemlu build exten-
sive networks and expand its public diplo-
macy effectively. Social media helps
spreading information easier, faster and
farther, as showcased by Twitter and
Facebook which reach a global audience in
real-time. Social media can be used as one
of the analytical tools to get better and
deeper understanding towards people from
different cultures and backgrounds. Their
Volume II No. 2 Tahun 2013 │27
Diplomasi Multilateral
perspectives and aspirations will help
shaping the relevant policies and programs.
Nevertheless, there are external factors that
might hinder this process further, particu-
larly as social media outlets are open plat-
forms, engagement with them has the po-
tential to be negative. Ill-fated users might
divert or even destruct the outreach and
interaction process between Kemlu and
other users, as they post detrimental com-
ments or inputs. Different level of participa-
tion and engagement, whether as an insti-
tution or on personal basis, might create
confusions to users while communicating
with Kemlu or Indonesian diplomats. The
risks of ‘losing control’ over certain issues
and/or policies are imminent as public’s
responses can be unpredictable. Open dis-
cussions towards particular topics should
ideally support the targeted goals set by
Kemlu. Different landscape of information
societies and e-culture in various countries
significantly impact the level of respon-
siveness and acceptability of people to-
wards information disseminated through
social media.
From the deliberations given above, it is
safe to conclude that digital diplomacy has
indeed brought fundamental change in the
way governments interact with public, and
social media as one of the marvels of the
advance of ITC is regarded as one of the
effective tools in disseminating ideas, poli-
cies, ideologies, and even political influence
to a wide sphere of mass public. But the
use of social media is not, and cannot be, a
substitute of traditional face-to-face
diplomacy. It is also argued that while so-
cial media has not changed the objectives
of foreign policy, it has somehow changed
what people expect from the government.
Opportunities to engage people directly and
to have dialogue with them do, in fact, exist
to social media. The ability to carefully
manage and maintain responsiveness to
users’ interests is crucial. Therefore,
strategies for using social media as part of
public diplomacy efforts should focus on
creating engagement that will encourage
interaction and foster interests in long-term
period.
The great potentials of the use of social
media is yet to be optimized in promoting
Indonesia’s economy and cultural diploma-
cy. As social media’s greatest contribution
to public diplomacy occurs when it creates
potential for continued engagement and
dialogue, the need for understanding target
audiences and conveying information in a
long–lasting and user-friendly ways is im-
perative. Diplomats can definitely play
more active roles in promoting economy
and cultural diplomacy through social me-
dia. Be it on personal level or in a formal
setting, experiences show that many Indo-
nesian diplomats depicting their personal
passions and commitments towards Indo-
nesian cultures, values and economic po-
28 │ Volume II No. 2 Tahun 2013
Diplomasi Multilateral
tentials, have positively attracted the atten-
tions of public.
For Kemlu, ignoring the exponential impact
of social media is no longer an option. Like
it or not, we have to admit that social media
outlets do contribute to the conduct of
foreign policies and approaches used by
government officials, including diplomats,
in connecting with people. Therefore, crea-
tive model of public diplomacy which utilize
social media should be developed and im-
plemented.
If managed well, the benefits of engaging
these new media outlets can outweigh the
costs, as well as the challenges and risks
emerged from this interaction. For rather
‘soft’ or neutral issues such as those re-
lated to economy and cultural diplomacy,
active engagement through social media
will help promoting the ideas, policies, and
events related to the issues at hand.
Clearly, our own ‘21st century statecraft’ is
a work in progress. Even though ICT has yet
to be fully embedded into the conduct of
Indonesian diplomacy, but it is indeed a
viable tool diplomats could use to further
promote Indonesian economy and cultural
diplomacy. Larger conceptual shift may be
required with regard to the use of social
media, but small steps involving formula-
tion and implementation of effective
strategies on embracing and integrating
social media in the conduct of diplomacy
will be a good start.
Indah Nuria Savitri is
Head of Section at the
Directorate for Human
Rights and Humanitarian
Affairs.
The original version of this article was
submitted as final paper of the Mid-Career
Diplomatic Course, 2012.
End Notes: 1
Owen Henry, ““Twitter Diplomacy” Engagement
Through Social Media in 21st
Century Statecraft,”
(Accessed 15 October 2012), 2
The American political scientist and author, Dr.
Milton C. Cummings, offers this profound defini-
tion of cultural diplomacy, as cited by the Insti-
tute of Cultural Diplomacy, available at
http://www.culturaldiplomacy.org/index.php?en
_culturaldiplomacy 3
Minister for Foreign Affairs Regulation Number 7
Year 2011 on the Organization and Procedures
in the Ministry of Foreign Affairs, Articles 680-
699, available in
http://pih.deplu.go.id/smd/php/vis_doc_file.php
?id= 408 4
Minister for Foreign Affairs. Ibid. Articles 656-
679. 5
Hartyo Harkomoyo, Assistant Deputy Director for
Information Management on Multilateral Issues,
November 10 and 17, 2012, telephone interviews 6
@MoFA_Indonesia is an official account of the
Ministry of Foreign Affairs on Indonesia which
uses English.
https://twitter.com/MoFA_Indonesia/ 7
Kemlu RI, @Portal_Kemlu_RI, available at
https://twitter.com/Portal_Kemlu_RI, accessed
on October 15, November 10 – 18, 2012.
Volume II No. 2 Tahun 2013 │29
Diplomasi Multilateral
Kerja Sama Internasional Penangangan Narkoba:
Kritik atas Laporan INCB Tahun 2012
Dody Harendro
nternational Narcotics Control Board
(INCB) adalah badan pengawasan inde-
penden dan quasi-judicial yang bertu-
gas melakukan pengawasan obat-obatan di
tingkat global dalam rangka mengimple-
mentasikan berbagai konvensi PBB
mengenai obat-obatan. Badan ini dibentuk
pada tahun 1968 sebagai mandat dari Kon-
vensi Tunggal tentang Narkoba (Single
Convention on Narcotic Drugs) tahun 1961.
Meski secara resmi berdiri tahun 1968,
namun INCB telah memiliki akar organisasi
sejak era Liga Bangsa-Bangsa. Dalam
beroperasi, INCB tidak hanya merujuk pada
UN Single Convention on Narc-otics Drugs
(1961), tetapi juga UN Convention on Psy-
chotropic Substances (1971), dan UN Con-
vention against Illicit Traffic in Narcotic
Drugs and Psychotropic Substances
(1988). Ketiga konvensi tersebut melarang
penggunaan narkoba jenis kokain, opium,
dan ganja di luar tujuan medis atau peneli-
tian.
Kritik atas Laporan INCB Tahun 2012
Setiap tahun, INCB menerbitkan laporan
yang menjadi referensi bagi pemerintah
negara-negara pihak Konvensi dalam
mengambil kebijakan terkait narkoba, baik
di kawasan maupun secara global. Laporan
ini merupakan intisari dari laporan resmi
negara-negara pihak mengenai tren lalu-
lintas maupun penyalahgunaan narkoba di
wilayah masing-masing. Dalam menyusun
laporan tersebut, INCB melakukan
kunjungan atau country mission ke negara-
negara pihak guna melihat implementasi
dan kepatuhan negara-negara tersebut
kepada Konvensi.
Laporan tahun 2012
diterbitkan pada bu-
lan Maret 2013. La-
poran ini mengun-
dang kritik dari ber-
bagai kalangan, khu-
susnya mereka yang
mengadvokasi penggunaan obat-obatan
secara legal untuk mengurangi dampak
buruk penyalahgunaan narkoba atau lebih
dikenal dengan harm reduction. Para pen-
dukung kebijakan harm reduction meman-
dang INCB cenderung mengarah kepada
pendekatan total abstinence yang tidak
bertoleransi terhadap penyalahgunaan nar-
koba. Jika dipandang dari sisi Pemerintah
suatu negara, tidak ada yang benar-benar
rigid pada posisi harm reduction ataupun
abstinence. Kombinasi di antara keduanya-
lah yang secara resmi menjadi posisi nega-
ra-negara pada sidang-sidang
internasional. Namun dari sisi
I
30 │ Volume II No. 2 Tahun 2013
Diplomasi Multilateral
kecenderungan, fair jika dikategorikan
bahwa Belanda dan Swedia merupakan
motor pendekatan harm reduction, semen-
tara Amerika Serikat dan Singapura menja-
di pengusung utama yang condong ke arah
abstinence.
Tulisan ini akan membahas kritik dari pen-
dekatan harm reduction terhadap laporan
INCB 2012 yang dipandang bias dan terda-
pat banyak kelalaian sehingga dapat mele-
mahkan upaya perang terhadap penyalah-
gunaan narkoba. Laporan tersebut juga
dinilai memberikan penekanan yang terlalu
berat pada sisi penghukuman.
Salah satu kritik tajam pendekatan harm
reduction adalah mengenai ekspor ilegal
methadone dari Latvia ke Rusia yang men-
jadi subjek sorotan INCB pada laporannya.
Kritik yang muncul adalah INCB melupakan
bahwa walaupun methadone dan buprenor-
phine adalah zat yang terlarang di Rusia,
namun telah terjadi epidemi AIDS yang ter-
konsentrasi di antara para pengguna nar-
koba terutama di Moscow dan kota-kota
besar lainnya. WHO telah menyatakan
bahwa kedua zat tersebut merupakan zat
yang esensial untuk mengurangi metode
suntik heroin dan mengobati HIV. Para ahli,
termasuk yang bertugas di UN Office on
Drugs and Crime (UNODC), sepakat bahwa
kedua zat tersebut sangat dibutuhkan un-
tuk menyembuhkan pecandu heroin. INCB
selaku institusi internasional independen
seharusnya juga mengarahkan kritiknya
kepada Rusia dan tidak hanya berhenti ke-
pada Latvia.
Kritik juga ditujukan atas laporan INCB
mengenai China, di mana terdapat 220.000
orang yang tengah menjalani proses reha-
bilitasi di compulsory treatment centers.
Dalam laporannya, INCB tidak menying-
gung mengenai kondisi para penghuni pu-
sat rehabilitas tersebut. Hal ini sangat
mengherankan mengingat UNODC dan be-
berapa LSM internasional telah mereko-
mendasikan agar tempat-tempat tersebut
ditutup karena kondisinya yang tidak layak.
Pusat-pusat rehabilitasi tersebut dinilai
lebih menyerupai tempat penyekapan dan
tidak dapat menjalankan fungsi rehabilitasi
secara efektif. Selain itu, diindikasikan ter-
jadi pelanggaran HAM atas para penghu-
ninya, yakni berupa kerja paksa dan pe-
nyiksaan yang dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran hukum internasional.
Dalam laporan lainnya terkait dengan Peru,
kritik juga ditujukan karena INCB tidak me-
nyebutkan mengenai tragedi tewasnya 14
pecandu narkoba di sebuah pusat rehabili-
tasi yang terkunci. Padahal kejadian terse-
but berlangsung hanya beberapa bulan se-
belum kunjungan tim ahli INCB. Prosedur
standar internasional sebenarnya telah di-
tetapkan bagi pusat-pusat rehabilitasi yang
tidak perlu dikunci dari luar, namun hal ini
tidak menjadi pokok pembahasan pada
laporan mengenai Peru. Anehnya lagi, INCB
juga tidak menyinggung mengenai peristi-
Volume II No. 2 Tahun 2013 │31
Diplomasi Multilateral
wa kebakaran di ‘religious therapeutic
community’, suatu komunitas rehabilitasi
yang menggunakan pendekatan religius.
Kebakaran yang terjadi hanya beberapa
hari setelah kunjungan tim ahli INCB ke
Peru tersebut menewaskan sejumlah warga
Peru. Selain memiliki standar klinis yang
buruk, komunitas rehabilitasi tersebut juga
diindikasikan telah melakukan pelanggaran
HAM.
LSM internasional yang bergerak di bidang
HAM dan mereka yang anti terhadap huku-
man mati juga melancarkan kritik terhadap
laporan INCB 2012. Kritik mereka diarah-
kan pada laporan kunjungan ke Arab Saudi
pada tahun 2012, yaitu INCB hanya memuji
komitmen Pemerintah Raja Abdullah dalam
memerangi penyalahgunaan narkoba dan
tidak memberi catatan mengenai pember-
lakuan hukuman mati terhadap 16 penya-
lahguna narkoba, yang beberapa di anta-
ranya termasuk dalam kategori ringan. Pa-
dahal, Komite HAM PBB telah mengecam
pemberlakuan hukuman mati bagi penya-
lahguna narkoba yang nota bene merupa-
kan strategi yang salah dalam perang me-
lawan narkoba.
Kritikus juga menganggap laporan INCB
tahun 2012 kurang berbobot dibandingkan
laporan serupa yang dibuat oleh Special
Rapporteur on Torture yang dipublikasikan
pada minggu yang sama. Dalam laporan
dimaksud, Dewan HAM mencatat bahwa
pusat-pusat rehabilitasi di beberapa negara
telah bertanggung jawab atas perlakuan
yang kejam, sangat merendahkan, dan ti-
dak berperikemanusiaan. Dalam laporan itu
juga disinggung pelarangan atau ilegalisasi
methadone dan buprenorphine yang diang-
gap tidak berperikemanusiaan, suatu posisi
yang belum diambil oleh INCB.
Selain itu, dalam laporan kunjungan (mis-
sion) ke berbagai negara selama tahun
2012 INCB juga kurang menghasilkan
inovasi yang mampu meningkatkan res-
pons negara-negara tersebut dalam men-
gurangi penyalahgunaan narkoba dan me-
nangani mantan pecandu narkoba. Salah
satu contohnya adalah laporan mission ke
Kanada. INCB mengkritik keras kebijakan
pemerintah Kanada dalam menangani
penggunaan marijuana. Kanada memang
telah melegalkan penggunaan marijuana
dengan resep yang digunakan untuk
mengurangi efek rasa sakit selain untuk
meningkatkan nafsu makan. Namun, kritik
keras INCB ini tidak dilengkapi dengan ha-
sil-hasil studi kasus ataupun bentuk-
bentuk catatan kaki lainnya yang dapat
memperkuat argumen mereka. Dalam hal
ini, bagi Indonesia yang akan menjadi sub-
jek mission INCB di tahun 2013, Pemerin-
tah harus memastikan bahwa catatan-
catatan yang akan dibuat INCB nantinya
telah mendapatkan informasi sejelas-
jelasnya dan analisis-analisis yang objektif
yang tidak sekedar estimasi ataupun lapo-
ran-laporan yang bersifat ‘yang penting
ada’.
32 │ Volume II No. 2 Tahun 2013
Diplomasi Multilateral
Laporan-laporan INCB adalah laporan res-
mi setiap negara yang diperoleh melalui
kuesioner periodik dan kunjungan oleh 13
Pakarnya sebagai anggota Dewan, yang
saat ini salah satunya adalah Prof. Surya-
wati dari Indonesia. Bagaimanapun, pende-
katan INCB dalam menangani persoalan
narkoba memang lebih soft, baik bagi pen-
gusung harm reduction maupun pendeka-
tan abstinence. Namun, hal ini telah sesuai
dengan mandat dari Konvensi. INCB sendiri
memandang bahwa pendekatan yang soft
tersebut lebih efektif dalam menjalankan
tugasnya sebagai dewan pengawas narko-
tika internasional.
Dody Harendro adalah staf
pada Direktorat Keamanan
Internasional dan Perlucu-
tan Senjata
Referensi:
1. Report of the International Narcotics Control
Board for 2012
2. Daniel Wolfe, Is the INCB Dangerous to Your
Health? 3 April 2013, The Huffington Post.
3. Open Society Institute, Closed to Reason: The
International Narcotics Control Board and
HIV/AIDS.
4. www.incb.org; www.bnn.go.id;
www.depkes.go.id.
Profil: World Tourism Organization (UNWTO)
UNWTO merupakan Badan PBB yang bertugas mendo-rong terciptanya pariwisata yang bertanggung jawab, berkelanjutan, dan terakses secara universal. Organisasi ini didirikan pada tahun 1974 dan saat ini beranggota-kan 156 negara, 6 associate member, dan lebih dari 400 affiliate member yang mewakili sektor swasta, lembaga pendidikan, asosiasi pariwisata, dan otoritas pariwisata daerah.
UNWTO menempatkan pariwisata sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi, pembangunan yang
inklusif, dan keberlanjutan lingkungan. Kode Etik Pariwisata Global menjadi pegangan untuk mengop-
timalkan kontribusi sosial dan ekonomi pariwisata dengan meminimalisir dampak negatifnya. UNW-
TO juga berkomitmen untuk menjadikan pariwisata sebagai instrumen untuk mencapai MDGs, khu-
susnya dalam konteks pengurangan kemiskinan dan pemajuan pembangunan berkelanjutan.
Dalam melaksanakan tugasnya, UNWTO melakukan banyak hal, antara lain mendorong kebijakan
pariwisata yang kompetitif dan beerkelanjutan, mengadakan pendidikan dan pelatihan, dan memberi-
kan bantuan teknis kepada lebih dari 100 negara.
Struktur organisasi yang bermarkas di Madrid, Spanyol, ini terdiri dari Majelis Umum, Komisi Regio-
nal, Dewan Eksekutif, Komite, dan Sekretariat. Sejak tahun 2012, Indonesia merupakan anggota De-
wan Eksekutif UNWTO hingga akhir periode pada tahun 2015.
Volume II No. 2 Tahun 2013 │33
Diplomasi Multilateral
Peran Indonesia dalam Proses Perdamaian di Filipina Selatan Muhammad Yusuf dan Tolhah Ubaidi
Proses perdamaian di Filipina Selatan anta-
ra Pemerintah Filipina (GPH) dan Moro Is-
lamic Liberation Front (MILF) telah berlang-
sung sejak ditandatanganinya Perjanjian
Damai antara keduanya pada tahun 2001 di
Tripoli, Libya. Pada bagian akhir perjanjian
damai tersebut, selain kepada Libya dan
Malaysia yang memfasilitasi, GPH-MILF
juga menyampaikan apresiasinya kepada
Presiden RI Abdurrahman Wahid atas du-
kungan yang diberikan. “Collective appreci-
ation and gratitude .....to H.E. Abdurrahman
Wahid, President of the Republic of Indone-
sia, for their full and continuing support,”
demikian bunyinya.
Dalam rangka mengawal implementasi per-
janjian tersebut, GPH dan MILF mengun-
dang negara-negara lain selaku pengawas
dalam International Monitoring Team (IMT).
IMT terdiri dari pengamat militer dan sipil
yang berasal dari Malaysia, Brunei Darus-
salam, Jepang, Libya, Norwegia, Uni Eropa,
dan Indonesia. Misi utama IMT adalah me-
mantau pelaksanaan perjanjian damai an-
tara GPH dengan MILF dan tindak lanjut
pelaksanaan pedoman aspek-aspek kea-
manan, kemanusiaan, rehabilitasi dan
pembangunan, serta bantuan sosio-
ekonomi dan perlindungan sipil. Ada empat
perjanjian damai GPH-MILF yang diawasi
pelaksanaannya, yaitu:
1. Agreement on Peace between GPH-
MILF (22 Juni 2001)
2. Implementing Guidelines on Security
Aspect (7 Agustus 2001)
3. Implementing Guidelines on the Huma-
nitarian, Rehabilitation and Aspects (7
Mei 2002)
4. Agreement on the Civilian Protection
Component IMT (27 Oktober 2009)
IMT saat ini terdiri dari enam negara den-
gan kekuatan 55 personel, dengan kompo-
sisi Malaysia (19 orang), Indonesia (15
orang), Brunei (15 orang), Uni Eropa (2
orang), Jepang (2 orang), dan Norwegia (2
orang). Kehadiran tim ini telah memberikan
kontribusi signifikan bagi meredanya kon-
flik senjata antara GPH-MILF. Sebelum ke-
hadiran IMT tahun 2002, konflik senjata
terjadi sebanyak 698 kali. Setahun kemu-
dian, jumlah itu turun menjadi 559 kali, lalu
di tahun 2004 turun lagi menjadi sebanyak
15 kali, tahun 2005 sebanyak 10 kali, tahun
2006 sebanyak 13 kali, dan tahun 2007
sebanyak 18 kali. Pada tahun 2008, dengan
adanya penarikan misi IMT, jumlah konflik
bersenjata mengalami kenaikan menjadi
sebanyak 118 kali. Setahun kemudian jum-
lah itu masih cukup tinggi, yakni 115 kali.
Kehadiran kembali misi IMT pada tahun
2010 lagi-lagi memberikan dampak positif,
yang terbukti dengan menurunnya jumlah
34 │ Volume II No. 2 Tahun 2013
Diplomasi Multilateral
15 personel Tim Pengamat Indonesia pada IMT II di KBRI Manila (2/07) - www.kemlu.go.id
konflik bersenjata menjadi hanya 10 kali.
Pada tahun 2011, jumlah itu kembali turun
menjadi sebanyak 4 kali, dan pada tahun
2012 tidak ada insiden sama sekali.
Keterlibatan Indonesia pada Misi IMT
Indonesia bergabung ke dalam IMT pada
tahun 2012 atas permintaan GPH dan MILF
yang disampaikan pada tanggal 9 Desem-
ber 2009. Pada kunjungan Presiden Filipina
Benigno Aquino ke Indonesia bulan Maret
2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyo-
no menyampaikan kesediaan Indonesia
untuk berpartisipasi dalam tim tersebut.
Sebagai dasar hukum, dibuatlah Peraturan
Presiden Nomor 47 tahun 2012 tanggal 24
April 2012 tentang Tim Pengamat Indone-
sia (TPI) dalam IMT di Filipina Selatan dan
Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 6
tahun 2012 tanggal 18 Desember 2012
tentang Pedoman, Penyiapan, Pengiriman,
Penarikan, dan Pengawasan TPI-IMT di
Filipina Selatan.
Sesuai dengan permintaan GPH dan MILF,
TPI terdiri dari 10 personel militer serta
lima orang sipil dengan masa tugas satu
tahun yang dapat diperpanjang sesuai ke-
butuhan. Tim Sipil akan dirotasi setiap
enam bulan.
Partisipasi Indonesia dalam IMT ini diha-
rapkan dapat memberikan wawasan yang
lebih komprehensif dan jelas atas permasa-
lahan yang sesungguhnya terjadi di Filipina
Selatan. Peran Indonesia dalam IMT me-
nunjukkan komitmen Indonesia untuk
membantu menciptakan perdamaian seca-
ra menyeluruh di Filipina Selatan. Hal itu
juga menunjukkan partisipasi aktif Indone-
sia dalam mendorong perdamaian di kawa-
san, khususnya yang berbatasan langsung
dengan wilayah Indonesia. Ini sejalan de-
Volume II No. 2 Tahun 2013 │35
Diplomasi Multilateral
ngan komitmen Indonesia sebagai salah
satu negara anggota ASEAN, yaitu mewu-
judkan keamanan yang komprehensif da-
lam ASEAN Political Security Community
(APSC) pada tahun 2015. Sebagai catatan,
pada tahun 2005, Filipina menyambut baik
undangan Indonesia untuk turut berpartisi-
pasi di dalam Aceh Monitoring Mission
(AMM) sebagai pihak yang memonitor im-
plementasi perjanjian damai Pemri dengan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh
sampai dengan Desember 2006. Dengan
demikian, keterlibatan Indonesia di IMT
juga bisa dimaknai sebagai bentuk balas
budi Indonesia atas Filipina.
Tolhah Ubaidi adalah Ke-pala Seksi pada Direktorat Sosial Budaya dan Orga-nisasi Internasional Nega-ra Berkembang
Muhammad Yusuf adalah Kepala Seksi pada Direk-torat Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Negara Berkembang
36 │ Volume II No. 2 Tahun 2013
Diplomasi Multilateral
Pengarusutamaan Gender di Indonesia Anisa Farida
Konsep pengarusutamaan gender (gender
mainstreaming) atau biasa disingkat PUG
mulai dibahas secara formal di tataran in-
ternasional pada Third World Conference
on Women tahun 1985 di Nairobi, Kenya.
Oleh Economic and Social Council (ECO-
SOC), PUG didefinisikan sebagai proses
untuk menilai implikasi dampak rencana
tindakan, perundang-undangan, kebijakan
ataupun program terhadap laki-laki dan
perempuan di segala bidang dan tingkatan.
PUG sendiri menjadi semacam strategi atau
alat untuk mengintegrasikan kebutuhan
maupun pengalaman laki-laki dan perem-
puan dalam perancangan, implementasi,
pengawasan dan evaluasi kebijakan dan
program dalam semua tataran politik, eko-
nomi dan sosial agar laki-laki dan perem-
puan dapat memperoleh manfaat yang sa-
ma guna tercapainya kesetaraan gender.
Indonesia memiliki komitmen yang kuat
untuk mengarusutamakan gender dalam
pembangunan di segala bidang, baik di
tingkat nasional, regional, maupun global.
Komitmen tersebut antara lain diwujudkan
melalui ratifikasi Konvensi Penghapusan
Diskriminasi terhadap Perempuan (Conven-
tion on the Elimination of Discrimination
Against Women/CEDAW) tahun 1984 serta
berbagai Instrumen HAM internasional ter-
kait lainnya. Selain itu, Indonesia juga
mengikatkan diri pada berbagai kesepaka-
tan internasional seperti Beijing Declaration
and Platform for Action tahun 1995, hasil-
hasil Sesi Khusus ke-23 SMU PBB tahun
2000, dan MDGs.
Pada tataran nasional, pengakuan terhadap
hak-hak perempuan dan anak perempuan
terefleksikan dalam Undang-Undang No-
mor 39 tahun 1999 tentang HAM. Berbagai
upaya juga telah dilakukan dalam mewu-
judkan kesetaraan gender secara keseluru-
han di berbagai tataran, di antaranya mela-
lui Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000
tentang PUG, yang mengamanatkan pem-
berian kesempatan yang sama antara laki-
laki dan perempuan terhadap akses infor-
masi dan pemanfaatan hasil-hasil pem-
bangunan di segala bidang yang perlu di-
dukung oleh masing-masing kementerian
dan lembaga dalam rangka peningkatan
dan penguatan kelembagaan PUG. Isu ke-
setaraan gender juga merupakan salah satu
dari tiga isu yang diarusutamakan sesuai
yang mandat Peraturan Presiden Nomor 5
tahun 2010 tentang Rencana Pembangu-
nan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2010-2014, yang terdiri atas: (i)
pengarusutamaan pembangunan berkelan-
jutan; (ii) pengarusutamaan good gover-
nance; dan (iii) pengarusutamaan gender.
Sebagai tindak lanjut dari Inpres No.
9/2000 dan Perpres No. 5/2010, diter-
Volume II No. 2 Tahun 2013 │37
Diplomasi Multilateral
bitkanlah Peraturan Menteri Keuangan No-
mor 109 tahun 2009, Nomor 104 tahun
2010 dan Nomor 93 tahun 2011 tentang
Petunjuk Penyusunan dan Rencana Kerja
dan Anggaran Kementerian/Lembaga yang
Responsif Gender. Hal ini menimbulkan
konsekuensi perencanaan anggaran bagi
setiap program dan kegiatan terkait berda-
sarkan analisa dampak gender untuk men-
capai keadilan dan kesetaraan gender. Da-
lam penerapannya, 28 Kementerian telah
memiliki kelompok kerja dan focal point isu
gender untuk mengarusutamakan isu
gender dalam kebijakan dan programnya.
Saat ini, Pemerintah bersama DPR tengah
membahas RUU Kesetaraan Gender seba-
gai payung hukum upaya pengarusutamaan
gender di Indonesia. RUU ini diharapkan
dapat memperkuat dukungan dari lembaga
eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta
partisipasi masyarakat dan sektor swasta
dalam pengarusutamaan gender.
Di lingkungan Kementerian Luar Negeri, isu
gender telah menjadi bagian dalam pelak-
sanaan tugasnya selama ini. Namun,
proses formalnya baru bergulir sejak tahun
2005 dengan adanya Seminar 60 Tahun
Perempuan dalam Diplomasi Indonesia.
Sebagai tindak lanjut, dibentuklah Kelom-
pok Kerja PUG pada tahun 2006 untuk me-
ningkatkan kesadaran atas isu kesetaraan
gender di lingkungan Kemlu sehingga dapat
diimplementasikan dalam program atau
kegiatan yang lebih konkret.
Dalam pelaksanaan tugas kerja di Kemlu,
isu gender merupakan bagian penting dan
rutin dalam pembahasan di sejumlah forum
internasional dan bilateral. Dalam forum
PBB, isu gender dibahas antara lain di Ko-
mite 3, Committee on the Status of Women
(CSW), Commission for Social Development
(CSocD), Commission on Population and
Development (CPD), maupun pada saat
pelaksanaan kewajiban Indonesia sebagai
negara pihak CEDAW dan instrumen HAM
lainnya di Dewan HAM. Selain itu, isu
gender juga menjadi bagian penting dalam
pembahasan isu-isu lainnya, seperti pen-
capaian MDGs, upaya pemajuan dan perlin-
dungan pekerja migran, serta kesetaraan
gender dalam isu kesehatan maupun isu
keamanan dan perdamaian internasional.
Forum internasional lain, seperti OKI dan
GNB, juga memberi perhatian khusus ter-
hadap isu gender, dan bahkan memiliki
satu forum tingkat menteri yang khusus
membahas isu ini. Indonesia pernah men-
jadi tuan rumah KTM OKI mengenai Peran
Perempuan dalam Pembangunan pada bu-
lan Desember 2012 lalu. Di tingkat kawa-
san, isu gender juga dibahas antara lain
dalam kerangka kerja sama ASEAN melalui
pilar Sosial Budaya maupun dalam sectoral
bodies ASEAN seperti Committee on Wo-
men (ACW) dan pembentukan ASEAN
Commission on the Promotion and Protec-
tion of the Rights of Women and Children
(ACWC) sebagai mekanisme regional bi-
dang HAM.
38 │ Volume II No. 2 Tahun 2013
Diplomasi Multilateral
Karena sifatnya yang intersektoral dan mul-
tidimensional, dalam pelaksanaan tugas di
Kemlu isu gender kerap muncul dan diba-
has oleh berbagai satuan kerja. Kemlu me-
mandang perlu untuk melakukan stockta-
king dan pemetaan terhadap berbagai hal
yang telah dilaksanakan Indonesia di bi-
dang kesetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan di tingkat bilateral, regional,
dan multilateral. Sebagai tindak lanjut, Dit-
jen Multilateral mengadakan Rapat Koordi-
nasi Pemetaan Isu Kesetaraan Gender dan
Pemberdayaan Perempuan dalam Politik
Luar Negeri pada bulan April 2013, yang
bertujuan untuk mengkaji ulang serta me-
ngembangkan dan menyusun arah kebija-
kan dan polugri Indonesia di bidang keseta-
raan gender dan pemberdayaan perempuan
yang lebih strategis, terarah, komprehensif,
serta merefleksikan kepentingan nasional
Indonesia untuk menjadi acuan tunggal
pelaksanakan diplomasi di semua lini.
Dari hasil Rakor tersebut, didapati secara
umum bahwa upaya pengarusutamaan
gender dan pemberdayaan perempuan di
Kemlu telah dilaksanakan dalam aspek
normatif, koordinasi, kerja sama teknis,
riset dan pengembangan, maupun admini-
stratif. Isu kesetaraan gender dan pember-
dayaan perempuan juga telah diangkat se-
bagai elemen dalam pembahasan berbagai
isu di bidang lain, baik pada tingkat bilater-
al, regional, multilateral, maupun dalam
internal Kemlu.
Walaupun saat ini berbagai kementerian
dan lembaga (K/L) telah mulai mengarus-
utamakan perspektif kesetaraan gender
dalam perencanaan dan penganggarannya,
namun menurut Kementerian Pember-
dayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(KPP-PA) sebagai focal point nasional di
bidang perempuan saat ini masih belum
ada inisiatif untuk mengidentifikasi isu-isu
substansi K/L yang dapat dikaitkan dengan
prioritas nasional di bidang kesetaraan
gender dan pemberdayaan perempuan,
seperti yang tengah diupayakan Kemlu.
Dalam hal ini, Kemlu diharapkan menjadi
leading agent dalam mengidentifikasi dan
mengintegrasikan gender ke dalam semua
lini dan menjadi contoh bagi K/L lainnya.
Saat ini, masukan yang terkumpul tengah
disarikan menjadi cetak biru bagi panduan
pelaksanaan kebijakan polugri Indonesia
terkait kesetaraan gender dan pember-
dayaan perempuan. Selain itu, pemajuan
kesetaraan gender dan pemberdayaan pe-
rempuan nasional dapat menjadi modal
soft diplomacy Indonesia dalam mening-
katkan peran dan kontribusi Indonesia, te-
rutama di bidang pemajuan HAM, demokra-
si, dan pembangungan yang inklusif pada
tataran bilateral, kawasan dan global.
Anisa Farida adalah staf pada Direktorat Hak Asasi Manusia dan Kemanu-siaan.
Volume II No. 2 Tahun 2013 │39
Diplomasi Multilateral
Sri Suryawati dan Upaya Global Pengawasan Narkotik Dody Harendro
Indonesia patut berbangga karena salah
seorang putri terbaiknya, Sri Suryawati,
terpilih sebagai anggota International Nar-
cotics Control Board (INCB). Keanggotaan
pada badan tersebut tidak didasarkan pada
keterwakilan negara, melainkan lebih kepa-
da kapasitas pribadi seorang individu yang
dinilai memiliki kompetensi. Dengan pero-
lehan 42 suara dari total 54 negara anggota
Economic and Social Council (ECOSOC),
Suryawati berhasil menyisihkan dua pe-
saingnya dari Estonia dan Suriah dalam
pemilihan yang berlangsung tertutup di
Markas Besar PBB, New York, 25 April
2013.
Suryawati menggantikan anggota INCB dari
Iran, Hamid Ghodse, yang meninggal dunia
pada bulan Desember 2012. Sesuai aturan
pasal 10 paragraf 5 dari Konvensi Tunggal
tentang Narkoba (Single Convention on
Narcotics Drugs) tahun 1961, anggota yang
meninggal akan digantikan melalui pemili-
han dalam sesi khusus (special session).
Jabatan itu akan diembannya hingga 1 Ma-
ret 2017 mendatang.
Anggota INCB yang berjumlah 13 orang
saat ini adalah para pakar yang diseleksi
dan dipilih sendiri oleh ECOSOC. Tiga dian-
taranya, termasuk Sri Suryawati, merupa-
kan pakar yang dipilih khusus karena keah-
liannya di bidang medis, farmakologi, dan
farmasi melalui rekomendasi dan nominasi
dari World Health Organization (WHO).
Suryawati yang memperoleh gelar Guru
Besar dari Universitas Gadjah Mada adalah
seorang ahli farmakologi dengan spesiali-
sasi di bidang clinical pharmacokinetics.
Saat ini, ia dipercaya untuk mengepalai
Pusat Studi Farmakologi Klinis dan Kebija-
kan Obat pada Fakultas Kedokteran UGM.
Terpilihnya Suryawati pada INCB tak terle-
40 │ Volume II No. 2 Tahun 2013
Diplomasi Multilateral
pas dari track record pengalamannya di
dunia internasional. Sejak tahun 1999, ia
aktif sebagai WHO Advisory Panel on Medi-
cine Policy and Management; Dewan Ekse-
kutif pada International Network for Ra-
tional Use of Drugs (INRUD) sejak 2005;
dan juga Wakil Presiden INCB sekaligus
Ketua Standing Committee on Estimates
INCB tahun 2010.
“Terpilihnya Profesor Suryawati tidak hanya
menunjukkan pengakuan atas kepakaran
beliau pada isu kerja sama internasional
dalam pengawasan narkotika, namun juga
mencerminkan kepercayaan masyarakat
internasional terhadap peran dan kontribusi
Indonesia di berbagai kerja sama interna-
sional dalam kerangka PBB,” demikian per-
nyataan Wakil Tetap RI untuk PBB Duta
Besar Desra Percaya.
Selain membawa nama Indonesia, Surya-
wati juga mendapatkan tugas berat yang
merupakan pekerjaan rumah peninggalan
masa lalu, yaitu mengembalikan citra posi-
tif INCB yang tengah didera berbagai kriti-
kan atas kinerjanya pada tahun 2012. Dia
diharapkan dapat memegang teguh man-
datnya dengan bersikap imparsial dan be-
bas dari tekanan politik negara atau kelom-
pok lobi tertentu. Sejumlah negara berha-
rap duduknya wakil Indonesia pada INCB ini
akan memajukan kerja sama penanganan
pengawasan obat-obatan narkotik di ting-
kat internasional.
Selamat bertugas dan semoga sukses Prof.
Suryawati!
Dody Harendro adalah staf
pada Direktorat Keamanan
Internasional dan Perlucu-
tan Senjata
Volume II No. 2 Tahun 2013 │41
Diplomasi Multilateral
Sekilas Info Multilateral
April-Juni 2013
Indonesia Terpilih Kembali sebagai Anggota SIAP
Pertemuan UNESCAP 69th Session diselenggarakan di Bangkok, 25 April-1 Mei 2013, de-
ngan tema utama “Building Resilience to Natural Disasters and Major Economic Crises”.
Pada sidang ini Indonesia terpilih kembali menjadi anggota Governing Council Statistical
Institute for Asia Pacific (SIAP) untuk periode tahun 2013-2016, serta menjadi sponsor
dari tiga resolusi mengenai pembangunan ketahanan terhadap bencana alam, pengelolaan
sumber daya air, dan statistik. Selain itu, Indonesia ditetapkan sebagai salah satu anggota
yang mewakili kawasan Asia Tenggara pada Working Group on the Asian and Pacific De-
cade of Persons with Disabilities 2013-2017 (Periode I).
Penanganan Bahan Kimia Berbahaya
Rangkaian pertemuan Conferences of the Parties (COPs) dan Extraordinary Conferences of
the Parties (ExCOPs) diselenggarakan di Jenewa, Swiss, 28 April-10 Mei 2013. Tujuan
pertemuan tersebut adalah mengupayakan sinergi antara Konvensi Stockholm (produksi
dan penggunaan bahan kimia), Konvensi Rotterdam (prior informed consent perdagangan
bahan kimia) dan Konvensi Basel (pergerakan lintas batas limbah berbahaya dan
pembuangannya). Masing-masing pertemuan COP serta pertemuan ExCOP menghasilkan
berbagai decisions terkait pengaturan lintas batas, produksi dan penggunaan bahan kimia
dan limbah, sementara High-Level Segment mengeluarkan Geneva Statement on the
Sound Management of Chemicals and Waste yang turut difasilitasi oleh Indonesia.
Peningkatan Kerja Sama RI-Timor Leste
Pertemuan Tingkat Pejabat Senior (Senior Official Meeting/SOM) ke-6 Implementasi Re-
komendasi Komisi Kebenaran dan Persahatan (KKP) Indonesia – Timor-Leste diselengga-
rakan di Bali pada tanggal 6-7 Mei 2013. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan untuk
meningkatkan kemitraan kedua negara yang didasari atas semangat rekonsiliatif dan for-
ward looking. Berbagai kesepakatan telah dicapai dalam pertemuan ini, antara lain pengu-
sulan pembentukan Forum Persahabatan Indonesia-Timor Leste sebagai suatu forum non-
pemerintah yang muncul dari, oleh, dan untuk masyarakat kedua negara; kelanjutan kerja
sama di bidang administrasi, pendidikan, sosial budaya dan kerjasama lainnya; dan peres-
mian tiga titik lintas batas dan penerapan Pas Lintas Batas (PLB) yang belum dibuka.
42 │ Volume II No. 2 Tahun 2013
Diplomasi Multilateral
Kerja Sama Penanganan Bencana
Pada tanggal 19-23 Mei 2013, Indonesia menghadiri forum global dua-tahunan tentang
pengurangan resiko bencana, 4th Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) di
Jenewa. Pada kesempatan terebut, Indonesia menegaskan kembali Jogjakarta Declaration
sebagai landasan kerja semua pemangku kepentingan di negara-negara Asia-Pasifik da-
lam usaha pengurangan risiko bencana. Indonesia juga menyampaikan komitmennya un-
tuk memberikan kontribusi konstruktif bagi kerangka DRR global pasca-Hyogo Framework
for Action (HFA). Lebih lanjut, Indonesia akan mendukung dan berpartisipasi aktif dalam
usaha pengintegrasian DRR dalam agenda pembangunan pasca-2015.
Kunjungan Pelapor Khusus PBB mengenai Hak atas Perumahan yang Layak
Atas undangan Pemerintah Indonesia, Special Rapporteur (SR) PBB on adequate housing
as a component of the right to and adequate standard of living, and on the right to non-
discrimination in this context (Pelapor Khusus PBB mengenai Hak atas Perumahan
Layak/SR) Mrs. Raquel Rolnik telah melakukan kunjungan di Indonesia mulai tanggal 30
Mei hingga 11 Juni 2013. Kunjungan ini bertujuan untuk memperoleh informasi melalui
dialog dengan pemangku kepentingan terkait mengenai upaya pemajuan hak atas peruma-
han yang layak, keamanan atas kepemilikan, pendanaan perumahan, penataan daerah ku-
muh, serta dampak perubahan iklim dan bencana alam, termasuk upaya pemulihan dan
rekonstruksinya.
Pertemuan ICECS ke-36
Pertemuan ke-36 Islamic Commission for Economic, Cultural and Social Affairs (ICECS)
berlangsung di Jeddah, Arab Saudi, tanggal 30 Juni-2 Juli 2013. Pertemuan ini membahas
progress report atas implementasi Organization of the Islamic Conference – Ten Year Pro-
gramme of Action (OIC-TYPOA) dan draft resolusi yang meliputi bidang ekonomi, ilmu
pengetahuan dan teknologi, kesehatan dan lingkungan, dakwah, sosial dan budaya. Draft
resolusi ini akan diadopsi pada Konferensi Tingkat Menteri ke-40 OKI yang akan diseleng-
garakan di Conakry, Guinea, tanggal 4-6 November 2013.
Perubahan Iklim
Bonn Climate Change Conference diselenggarakan di Bonn, Jerman pada tanggal 3-14
Juni 2013. Konferensi ini merupakan pertemuan Sesi-38 Badan Subsider Permanen
UNFCCC dan Sesi ke-2 Badan Subsider Adhoc mengenai 2015 agreement dan peningkatan
ambisi penurunan emisi gas rumah kaca pra-2020. Dalam konteks perubahan iklim,
Indonesia berpandangan pentingnya melihat upaya peningkatan aksi antara pra dan pas-
Volume II No. 2 Tahun 2013 │43
Diplomasi Multilateral
ca-2020 sebagai upaya yang berlanjut dan tidak terpisahkan, serta perlunya dukungan dan
kepemimpinan negara maju.
Pengiriman Tim Pengamat Indonesia ke Filipina Selatan
Pada tanggal 1 Juli 2013, telah diselenggarakan seremoni lepas-sambut Tim Pengamat
Indonesia (TPI) pada International Monitoring Team (IMT) di Filipina Selatan. Misi utama
TPI adalah memantau implementasi perjanjian damai antara Pemerintah Filipina dan MILF
dan menindaklanjuti pelaksanaan pedoman aspek-aspek keamanan, kemanusiaan, rehabi-
litasi dan pembangunan, bantuan sosio-ekonomi, dan komponen perlindungan sipil.
Pertemuan Dirjen Multilateral dengan Utusan Khusus Sekjen OKI
Pada tanggal 5 Juli 2013, Dirjen Multilateral telah menemui Utusun Khusus Sekjen OKI,
Duta Besar Sayed Kassem El-Masry terkait rencana pelaksanaan Tripartite V antara Peme-
rintah Filipina dengan MNLF. Pertemuan dengan Dubes El-Masry cukup penting mengingat
Pemerintah Filipina telah menyampaikan keinginan untuk mengakhiri Tripartite Implemen-
tation Review (TIR) antara Organization of Islamic Cooperation-Peace Committee for
Southern Philippines (OIC-PCSP), Pemerintah Filipina dan Moro National Liberation Front
(MNLF) atas Perjanjian Damai 1996. Tahun 2013 direncanakan sebagai tahun terakhir ma-
sa keketuaan Indonesia dalam OIC-PCSP.
Kunjungan Sekjen D-8
Pada tanggal 20-22 Mei 2013, Sekretaris Jenderal Developing-Eight (D-8), Dr. Seyed Ali
Mousavi, melakukan kunjungan kehormatan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dan serangkaian pertemuan dengan Menteri Pertanian, Menteri Perhubungan, Menteri Per-
dagangan, dan Menteri Sekretaris Kabinet, serta memberikan kuliah umum kepada para
peserta Sekdilu di Pusdiklat Kemlu. Selain itu, Sekjen D-8 juga mengadakan pertemuan
dengan Dirjen Multilateral selaku Commissioner D-8 untuk Indonesia dan bertukar pan-
dangan dalam perumusan strategi dan program-program kerja sama D-8 agar lebih fokus
dan konkret.
44 │ Volume II No. 2 Tahun 2013
Diplomasi Multilateral
Agenda Diplomasi Multilateral
Juli-September 2013
Sidang ECOSOC Substantive Session, Jenewa, Swiss, 1-26 Juli 2013
Rangkaian persidangan Economic and Social Council (ECOSOC) Substantive Session
diselenggarakan di Jenewa, Swiss, tanggal 1-26 Juli 2013. Tema utamanya adalah
mengenai peran science, technology and innovation (STI) serta budaya dalam
meningkatkan akses terhadap pengetahuan, peningkatan produktivitas, industrialisasi
pertumbuhan ekonomi dan pembukaan lapangan kerja, termasuk peranan STI dan budaya
sebagai pendorong penting pencapaian MDGs dan mewujudkan pembangunan
berkelanjutan.
Pembahasan Laporan Inisial dan Periodik pertama Indonesia terhadap ICCPR, Jenewa,
Swiss, 10-11 Juli 2013
Pada bulan Januari 2012, Pemerintah Indonesia telah menyerahkan Laporan Pendahuluan
dan Laporan Periodik Pertama mengenai berbagai upaya Pemerintah dalam memajukan
dan melindungi hak sipil dan politik di Indonesia. Laporan tersebut selanjutnya akan
dibahas pada Sidang Sesi ke-108 Komite HAM yang akan berlangsung di Jenewa, Swiss,
pada tanggal 10-11 Juli 2013. Indonesia wajib menyerahkan laporan tersebut karena telah
menjadi Negara Pihak untuk Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik
(International Covenant on Civil and Political Rights) dengan disahkannya UU No. 12 tahun
2005.
The 11th Meeting of the Cartagena Dialogue, Ghana, 18-20 Juli 2013
11th Meeting of the Cartagena Dialogue akan diselenggarakan di Ghana pada tanggal 18-
20 Juli 2013. Pertemuan tersebut merupakan forum untuk diskusi dan tukar pandangan
antara negara maju dan negara berkembang guna mencari jalan tengah dalam proses
perundingan internasional pengendalian perubahan iklim di bawah UNFCCC.
Special Conference on Irregular Movement of Persons, Jakarta, 20 Agustus 2013
Special Conference on Irregular Movement of Persons akan diselenggarkan di Jakarta pada
tanggal 20 Agustus 2013. Konferensi akan difokuskan pada upaya untuk mengidentifikasi
langkah nyata dan konkret yang bersifat operasional di lapangan untuk mengatasi perma-
salahan penyelundupan manusia dan perdagangan orang.
Volume II No. 2 Tahun 2013 │45
Diplomasi Multilateral
Seminar Nasional "Kemitraan Pemerintah dan Swasta dalam Upaya Pencegahan dan Pem-
berantasan Korupsi sesuai dengan UNCAC," Jakarta, 21 Agustus 2013
Seminar Nasional bertema "Kemitraan Pemerintah dan Swasta dalam Upaya Pencegahan
dan Pemberantasan Korupsi sesuai dengan UNCAC" akan diselenggarakan di Jakarta pada
tanggal 21 Agustus 2013. Seminar tersebut diharapkan dapat menghasilkan inisiatif-
inisiatif baru dalam rangka membangun kemitraan antara pemerintah dan swasta dalam
memberantas praktik-praktik korupsi yang melibatkan pemerintah dan swasta sesuai de-
ngan ketentuan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
Special Programme on an Integrated Financing for the Chemicals and Waste Cluster,
Bangkok, Thailand, 27-28 Agustus 2013
Special Programme on an Integrated Financing for the Chemicals and Waste Cluster akan
diselenggarakan di Bangkok, Thailand, tanggal 27-30 Agustus 2013. Pertemuan tersebut
bertujuan menyusun terms of reference pembentukan program khusus pendanaan demi
mendukung implementasi Konvensi Basel, Rotterdam dan Stockholm, Konvensi Minamata,
serta Strategic Approach to International Chemicals Management (SAICM) secara
integrated dan berdasarkan kontribusi sukarela.
Jakarta Conference, 29-30 Agustus 2013
Jakarta Conference akan diselenggarakan pada tanggal 29-30 Agustus 2013 dengan tema
“Regional Mechanisms and Cooperation on International Migration, Mobility of People and
Best Practices on Migration and Development in South East Asia”. Pertemuan ini
merupakan kelanjutan dari Manila Conference on Migration and Development: Taking
Stock of the Situation in South East Asian Countries yang merupakan inisiatif kegiatan
diskusi untuk membahas isu migrasi dan pembangunan di kawasan Asia Pasifik yang
diselenggarakan oleh Commission on Filipino Overseas (CFO) dan International Center for
Migration Policy Development (ICMPD), dengan pendanaan penuh dari Uni Eropa (UE).
COP-11 United Nations Convention to Combat Desertification, Windhoek, Namibia, 16-27
September 2013
Pertemuan COP-11 United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD) akan
diselenggarakan di Windhoek, Namibia, tanggal 16-27 September 2013. Pertemuan itu
akan membahas tema utama mengenai penanganan desertifikasi, pengurangan
kemiskinan, serta memastikan keberlanjutan lingkungan hidup.
46 │ Volume II No. 2 Tahun 2013
Diplomasi Multilateral
High-Level Meeting of the General Assembly on Disability, New York, AS, 23 September
2013
High-level meeting of the General Assembly on Disability (HLMD) dengan tema “The way
forward: a disability inclusive development agenda towards 2015 and beyond” akan
diselenggarakan pada tanggal 23 September 2013, di New York, AS. Pertemuan yang diha-
diri oleh Kepala Negara atau pejabat setingkat Menteri itu akan menghasilkan outcome
document yang berisi tentang usulan dimasukkannya isu disabilitas dalam post-2015 de-
velopment agenda.
Pembukaan Sidang Majelis Umum (SMU) PBB ke-68
Sidang Majelis Umum (SMU) PBB akan dibuka secara resmi di New York, Amerika Serikat,
pada tanggal 17 September 2013. Tema pada sidang umum kali ini adalah “Post-2015
Development Agenda: Setting the Stage”.