Post on 03-Mar-2019
23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Perkembangan Embrio Ikan Nilem
Hasil pengamatan embriogenesis ikan nilem, setelah pencampuran sel sperma
dan telur kemudian telur mengalami perkembangan serta terjadi fase pembelah sel
(cleavage), morula, blastula, gastrula dan organogenesis (Gambar 3 dan Lampiran
1).
a
b
c
d
e
f
Keterangan:
a: Cleavage (Pembelahan sel); b: Morula; c: Blastula;
d: Gastrula; e: Gastrula Akhir; f: Organogenesis
Gambar 3. Fase Embriogenesis Telur Ikan Nilem
Pada gambar di atas (Gambar 3.a) fase cleavage dicirikan dengan
pembentukan blastodisk pada kutub anima. Pembentukan blastodisk sempurna
terjadi 60 menit setelah pembuahan. Blastodisk inilah yang nantinya akan
membelah menjadi banyak sel. Hasil penelitian Olivia (2011) menunjukkan
pembelahan satu sel berlangsung pada jam ke- 1 lewat 10 menit setelah
pembuahan. Kemudian blastodisk ini akan membelah dengan membentuk 2 sel, 4
sel, 8 sel, 16 sel dan 32 sel (Gambar 4).
24
a
b
c
d e
Keterangan:
a: 2 sel; b: 4 sel; c: 8 sel; d: 16 sel; e: 32 sel
Gambar 4. Fase Pembelahan Telur Ikan Nilem
Pada Gambar 4 terlihat bahwa kuning telur tidak ikut membelah, yang membelah
hanya sel-sel blastodisk yang semakin mengecil seiring dengan pertambahan
waktu. Menurut Effendie (1995) pada telur telolechital kuning telur tidak ikut
membelah, yang mengalami pembelahan hanyalah keping protoplasmanya saja
yang terdapat di kutub anima. Berdasarkan uraian tersebut telur ikan nilem
termasuk telolechital sehingga pembelahannya dinamakan meroblastik.
Pembelahan sel pertamanya (Gambar 4.a) secara meridian, diikuti oleh
pembelahan kedua tegak lurus pada bidang pembelahan pertama (Gambar 4.b).
Pembelahan ketiga (Gambar 4.c) memotong bidang pembelahan kedua sebelah
kiri dan kanan bidang pembelahan pertama dengan pembelahan kedua-duanya
yang sejajar dengan bidang pembelahan pertama. Pembelahan berikutnya
(Gambar 4.d) terdiri dari dua pembelahan yang berjalan bersama-sama, sejajar
dan terletak di kiri dan kanan bidang pembelahan kedua. Pembelahan kelima
empat buah sel yang terletak di tengah-tengah membelah sejajar pada permukaan.
Pembelahan kelima (Gambar 4.e) merupakan fase awal morula.
25
ruang perivitelin kutub anima
32 blastomer
yolk
Gambar 5. Fase Morula Telur Ikan Nilem
Fase morula (Gambar 5) menurut Effendie (1995) fase morula dimulai ketika
telah mencapai 32 sel. Hasil pengamatan fase morula awal terjadi 3 jam setelah
pembuahan, sedangkan menurut Olivia (2011) pembelahan kelima (32 sel) terjadi
3 jam 50 menit setelah pembuahan pada suhu 29°C. Dari gambar 5 terlihat ukuran
sel blastodisk sudah mulai beragam. Sel membelah secara melintang dan mulai
terbentuk formasi lapisan kedua secara samar pada kutub anima. Fase morula
berakhir apabila pembelahan sel sudah menghasilkan blastomer yang ukuran sama
tetapi lebih kecil. Sel tersebut memadat untuk menjadi blastodisk kecil
membentuk dua lapis sel.
yolk blastoderma
periblast
Gambar 6. Fase Blastula Telur Ikan Nilem
Fase blastula (Gambar 6) terjadi 4 jam setelah pembuahan. Hasil penelitian
Olivia (2011) menyebutkan fase blastula telur ikan nilem terjadi 4 jam 50 menit
setelah pembuahan pada suhu 29°C. Pada akhir fase blastula, sel-sel blastoderma
akan terdiri dari neural, epidermal, notochordal, mesodermal serta endodermal
yang merupakan bakal pembentuk organ-organ.
26
perisai embrio
yolk
korion blastopor
Gambar 7. Fase Gastrula Telur Ikan Nilem
Setelah fase blastula kemudian dilanjutkan fase gastrula (Gambar 7), dimana
pada awal fase ini blastoderma menutupi hampir seluruh kuning telur. Bagian
yang tidak menutupi kuning telur dinamakan blastopor. Jaringan luar embrio terus
berkembang mengelilingi kuning telur. Setelah jaringan menutupi seluruh kuning
telur terbentuklah perisai embrio pada kutub anima. Perisai embrio yang berada
pada kutub anima akan berkembang menjadi tulang belakang. Fase gastrula
terjadi 5 jam setelah pembuahan. Akhir dari proses gastrulasi apabila kuning telur
sudah tertutup lapisan sel (perisai embrio). Bersamaan dengan selesainya proses
gastrulasi sebenarnya sudah dimulai awal pembentukan organ-organ.
notochord
korion
yolk
kepala
ekor
bakal mata
Gambar 8. Fase Organogenesis Telur Ikan Nilem
Fase organogenesis (Gambar 8) merupakan tahap pembentukan organ pada
embrio. Dalam fase organogenesis terbentuk berturut-turut bakal organ yaitu
syaraf, notochord, mata, somit, rongga kuffer, kantong alfaktori, rongga ginjal,
usus, tulang subnotochord, linealateralis, jantung, aorta, insang, infundibullum,
27
dan lipatan-lipatan sirip. Pembentukan semua organ tubuh hampir sempurna
ketika telur akan menetas (Tang dan Ridwan 2004). Setelah fase organogenesis 4
jam kemudian larva akan menetas yang di sebabkan korion melunak akibat
aktifitas pergerakan larva dan juga oleh kinerja enzim chorionase.
Penetasan larva ikan nilem terjadi setelah 24 jam dari pembuahan dengan
larva yang dihasilkan normal. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Olivia (2011)
yang menyatakan penetasan ikan nilem pada kisaran suhu 27°C-29°C
menghasilkan larva ikan yang normal serta derajat penetasan yang tinggi.
4.2 Laju Penyerapan Kuning Telur Larva Ikan Nilem
Larva ikan pada fase endogenous feeding (Gambar 9 dan Lampiran 2)
merupakan bentuk kehidupan peralihan yang berkembang dari telur kemudian
melalui berbagai tahap embrio, dengan kuning telur sampai akhirnya menetas
menjadi larva yang mampu menangkap dan mencerna organisme mangsa.
Gambar 9. Larva Ikan Nilem Fase Endogenous Feeding
Kuning telur pada fase ini digunakan sebagai nutrisi dan energi yang digunakan
untuk tumbuh serta aktivitas metabolisme sampai larva menetas (Kamler 1992).
Pengamatan fase endogenous feeding pada tiap suhu media pemeliharaan
menunjukkan perbedaan dalam waktu penyerapan kuning telur (Tabel 2).
Tabel 2. Waktu Fase Endogenous Feeding Larva Ikan Nilem
Perlakuan Waktu (jam)
A (25°C) 42
B (27°C) 36
C (29°C) 33
D (31°C) 30
28
Suhu media pemeliharaan perlakuan A (25°C) memiliki waktu fase endogenous
feeding lebih lama yaitu 42 jam dari pada suhu media pemeliharaan lainnya yang
lebih tinggi. Waktu fase endogenous feeding paling cepat adalah pada suhu media
pemeliharaan perlakuan D (31°C) yaitu 30 jam. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Olivia (2011) yang menyebutkan bahwa waktu menetas telur ikan nilem
dipengaruhi oleh suhu, karena pada suhu rendah (25°C) waktu menetas telur ikan
nilem lebih lama yaitu 24 jam 40 menit, sedangkan suhu yang lebih tinggi (31°C)
yaitu 22 jam.
Waktu fase endogenous feeding yang lama pada suhu rendah dan cepat pada
suhu yang tinggi disebabkan oleh aktivitas metabolisme. Kuning telur dalam fase
ini digunakan sebagai nutrisi untuk memenuhi kebutuhan energi pada larva.
Energi tersebut digunakan dalam proses metabolisme. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Fujaya (2004) bahwa aktivitas metabolisme sangat dipengaruhi oleh
suhu dan oksigen, sedangkan Kamler (1992) menyatakan bahwa laju
perkembangan sangat dekat hubungannya dengan suhu; jika perkembangannya
lambat berarti suhu yang digunakan rendah dan peningkatan akan meningkat
seiring dengan penambahan suhu. Pengaruh suhu dalam perkembangan dapat
dinyatakan oleh perubahan waktu dari pembuahan sampai perkembangan fase
selanjutnya.
Peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan proses metabolisme dalam
tubuh larva. Hal ini dicirikan dari penyusutan volume kuning telur (Gambar 10).
Gambar 10. Kurva Penyusutan Volume Kuning Telur Larva Ikan Nilem Perwaktu
Pengamatan
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
0.80
0.90
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45
Vo
lum
e K
un
ing
Tel
ur (
mm
3)
Waktu Pengamatan (jam)
A (25°C)
B (27°C)
C (29°C)
D (31°C)
29
Volume kuning telur larva ikan nilem pada Gambar 6 lebih cepat menurun pada
suhu yang lebih tinggi daripada suhu yang rendah. Penelitian Pramono dan Sri
(2009) volume kuning telur larva ikan senggaringan semakin menurun seiring
dengan pertambahan waktu. Penyusutan volume kuning telur tersebut dikarenakan
kuning telur digunakan sebagai nutrisi pada fase endogenous feeding dan juga
terdapat faktor lain yang mempengaruhinya seperti faktor lingkungan yaitu
kualitas air. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kamler (1992) bahwa pengurangan
jumlah volume kuning telur tersebut disebabkan oleh beberapa faktor salah
satunya adalah suhu. Woynarovich dan Horvarth (1980) menyatakan bahwa suhu
air yang rendah dapat menghalangi perkembangan dan produksi enzim, Sehingga
menyebabkan lamanya proses metabolisme. Walaupun larva dapat mentolerir air
dingin akan tetapi larva tidak dapat menetas karena produksi enzim terhambat.
Hasil pengamatan laju penyerapan kuning telur berdasarkan volume kuning
telur serta waktu kuning telur habis terserap menunjukkan terdapat perbedaan laju
penyerapan kuning telur antara waktu pengamatan (Gambar 11).
Gambar 11. Kurva Laju Penyerapan Kuning Telur Larva Ikan Nilem Perwaktu
Pengamatan
Laju penyerapan kuning telur larva ikan nilem pada Gambar 11 saat fase awal
menetas lambat, kemudian cepat dan lambat lagi hingga kuning telur habis
terserap. Sesuai dengan pernyataan Hemming dan Buddington (1988) bahwa laju
penyerapan kuning telur berlangsung secara eksponensial. Penyerapan lambat
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45
La
ju P
eny
era
pa
n K
un
ing
Tel
ur
(%)
Waktu Pengamatan (jam)
A (25°C)
B (27°C)
C (29°C)
D (31°C)
30
menjelang kuning telur habis terserap diduga disebabkan oleh berkurangnya luas
permukaan sejalan dengan penyusutan kantung kuning telur dan perubahan
komposisi telur.
Laju penyerapan kuning telur ikan nilem pada Gambar 12 terlihat bahwa
seiring peningkatan suhu media pemeliharaan laju penyerapan kuning telur juga
semakin meningkat, tapi kemudian menurun pada suhu media pemeliharaan
paling tinggi. Pada ikan Oncorhynchus tshawytschat laju penyerapan kuning telur
juga mengalami peningkatan mulai dari suhu 6°C sampai suhu 10°C dan
kemudian mengalami penurunan pada suhu 12°C (Kamler 1992). Penurunan laju
penyerapan kuning telur pada suhu tinggi di karenakan telah melewati batas
optimum serta aktivitas metabolisme yang berjalan lambat. Sesuai dengan
pernyataan Heming dan Buddington (1990) dalam Shafrudin (1997) mengatakan
bahwa kecepatan laju penyerapan kuning telur meningkat dengan meningkatnya
suhu dan akan menurun pada saat mendekati batas atas toleransi.
Gambar 12. Laju Penyerapan Kuning Telur Larva Ikan Nilem Tiap Perlakuan
Hasil dari analisis sidik ragam (Lampiran 8) menyatakan suhu media
pemeliharaan tidak berpengaruh nyata terhadap laju penyerapan kuning telur larva
ikan nilem. Tidak berbeda nyata perlakuan yang diberikan, bukan berarti tidak ada
suhu yang terbaik untuk laju penyerapan kuning telur. Suhu yang terbaik untuk
laju penyerapan kuning telur dapat di lihat dari nilai tertinggi yang diberikan. Laju
5.701a 5.885a 5.919a
4.897a
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
25 27 29 31
La
ju P
eny
era
pa
n K
un
ing
Tel
ur
(%)
Suhu Media Pemeliharaan (°C)
31
penyerapan kuning telur tertinggi terdapat pada perlakuan C (29°C) sebesar
5,919%. Perlakuan C (29°C) merupakan suhu media pemeliharaan terbaik untuk
laju peyerapan kuning telur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Woynarovich dan
Horvarth (1980) bahwa laju penyerapan kuning telur yang lebih tinggi
memungkinkan tersedianya energi yang tinggi.
Perlakuan A dengan menggunakan suhu 25°C memberikan hasil terendah
sebesar 5,858% untuk laju penyerapan kuning telur. Penelitian Budiardi et al.
(2005) pada ikan maanfish yang menyatakan bahwa laju penyerapan kuning telur
ikan maanfish pada suhu rendah (25°C) memberikan hasil yang terendah sebesar
2,41%. Laju penyerapan kuning telur yang rendah dikarenakan penggunaan suhu
rendah yang menyebabkan aktivitas metabolisme lambat atau terganggu. Ini
sesuai dengan pernyataan Shafrudin (1997) bahwa terjadinya penurunan
penyerapan kuning telur disebabkan oleh suatu kegagalan proses metabolisme
normal. Kegagalan dalam proses metabolisme ini dicirikan dengan perkembangan
larva yang abnormal dan kematian.
4.3 Laju Pertumbuhan Panjang Larva Ikan Nilem
Hasil laju pertumbuhan panjang larva ikan nilem pada awal pengamatan jam
0 berjalan lambat kemudian meningkat pada pengamatan 3 jam kemudian turun,
meningkat dan kembali turun sampai kuning telur habis terserap (Gambar 13).
Kurva laju pertumbuhan panjang yang naik turun disebabkan adanya perbedaan
penyerapan energi dari kuning telur untuk pertumbuhan.
Gambar 13. Kurva Pertumbuhan Panjang Larva Ikan Nilem Perwaktu Pengamatan
0.000
0.005
0.010
0.015
0.020
0.025
0.030
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45
La
ju P
ertu
mb
uh
an
Pa
nja
ng
(%)
Waktu Pengamatan (jam)
A (25°C)
B (27°C)
C (29°C)
D (31°C)
32
Menurut Effendie (1995) hubungan pertambahan ukuran dengan waktu bila
digambarkan dalam suatu sistem koordinat menghasilkan suatu diagram yang
disebut kurva pertumbuhan. Pertumbuhan ikan yang diplotkan selama masa
hidupnya akan mendapatkan kurva sigmoid. Bentuk kurva demikian disebabkan
pertumbuhan autokatalitik dari ikan secara alamiah dimana pertumbuhan pada
fase awal dari hidupnya mula-mula lambat kemudian cepat dan lambat lagi pada
umur tua.
Hasil analisis sidik ragam laju pertumbuhan panjang larva ikan nilem
menunjukkan bahwa perlakuan suhu memberikan perbedaan nyata (Lampiran 9).
Berdasarkan hasil uji Duncan laju pertumbuhan larva pada perlakuan A (25°C)
berbeda nyata dengan perlakuan B (27°C) dan D (29°C). Perlakuan B (27°C)
berbeda nyata dengan perlakuan C (29°C). Perlakuan D (31°C) tidak berbeda
nyata dengan perlakuan A (25°C). Karena suhu media pemeliharaan 29°C
(perlakuan C) tidak diikuti dengan huruf yang sama, maka suhu media
pemeliharaan 29°C merupakan suhu media pemeliharaan terbaik bagi laju
pertumbuhan larva ikan nilem.
Laju pertumbuhan ikan nilem pada Gambar 14 menunjukkan dengan
meningkatnya suhu media pemeliharaan dari 25°C (perlakuan A) sampai suhu
media pemeliharaan 29°C (perlakuan B), nilai laju pertumbuhan larva ikan nilem
terus meningkat dan kemudian menurun pada suhu 31°C (perlakuan D).
Peningkatan nilai laju pertumbuhan dikarenakan aktivitas penyerapan kuning telur
yang digunakan untuk proses pertumbuhan dipengaruhi oleh suhu, sehingga
semakin meningkat suhu yang digunakan maka laju pertumbuhan juga semakin
meningkat. Ini sesuai dengan pernyataan Handajani dan Wahyu (2010) yang
menyatakan bahwa suhu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan kehidupan
ikan. Secara umum laju pertumbuham meningkat sejalan dengan kenaikan suhu
sampai batas tertentu yang dapat menekan kehidupan ikan dan bahkan
menyebabkan kematian.
33
Gambar 14. Laju Pertumbuhan Panjang Larva Ikan Nilem
Perbedaan nilai laju pertumbuhan panjang larva ikan nilem disebabkan
aktivitas metabolisme yang dipengaruhi oleh suhu. Ini sesuai dengan pernyataan
Wiegand et al. (1988) dalam Efendi (2006) bahwa suhu mempengaruhi laju
metabolisme hewan yang bersifat poikilotermal karena kecepatan biokimia dalam
jaringan tubuh ikan berubah sesuai dengan lingkungan. Pertumbuhan bagi
organisme dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu genetik, hormon serta
lingkungan. Meskipun secara umum faktor lingkungan memegang peranan sangat
penting seperti zat hara dan suhu (Fujaya, 2008).
Laju pertumbuhan larva ikan nilem terendah terdapat pada perlakuan A
(25°C) sebesar 0,6169%, ini dikarenakan proses penyerapan kuning telur berjalan
lambat pada suhu rendah. Penyerapan kuning telur yang lambat sebagai sumber
energi mengakibatkan proses metabolisme serta pertumbuhan larva ikan nilem
berjalan lambat. Perlakuan C (29°C) memiliki nilai laju pertumbuhan yang tinggi
dari suhu media pemeliharaan lainnya. Ini dikarenakan pada perlakuan C (29°C)
laju penyerapan kuning telur lebih tinggi yaitu 5,919%. Apabila laju penyerapan
kuning telur tinggi maka menghasilkan energi yang tinggi pula. Energi tersebut
dapat digunakan untuk proses metabolisme, pemeliharaan dan pertumbuhan.
Pada suhu 31°C (Perlakuan D) terjadi penurunan laju pertumbuhan panjang.
Penurunan terjadi karena pada suhu tersebut penyerapan kuning telur berjalan
cepat sehingga energi yang digunakan untuk proses metabolisme berjalan cepat,
0.6169a 0.6755b
0.8001c
0.6169a
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
0.80
0.90
25 27 29 31
La
ju P
ertu
mb
uh
an
Pa
nja
ng
(%
)
Suhu Media Pemeliharaan (°C)
34
tapi proses metabolisme yang terlalu cepat menyebabkan tidak sempurna
penyerapan nutrisi bagi larva. Akibat dari suhu terlalu tinggi tersebut
menghasilkan penurunan pertumbuhan larva ikan nilem. Walaupun menurut
hokum Van’t Hoff dalam Kelabora (2010) yang menyatakan bahwa untuk setiap
perubahan kimiawi, kecepatan reaksinya naik 2-3 kali lipat setiap kenaikan suhu
sebesar 10°C. Namun untuk pertumbuhan larva kenaikan suhu tersebut malah
menurunkan pertumbuhan, dikarenakan larva ikan mempunyai batas toleransi
suhu.
4.4 Efisiensi Pemanfaatan Kuning Telur
Efisiensi dari kuning telur merupakan kunig telur yang ditransformasikan
untuk jaringan tubuh dan terdapat pengaruh lingkungan yang mempengaruhinya
(Shukla 2009). Hasil pengamatan efisiensi pemanfaatan kuning telur larva ikan
nilem terdapat perbedaan pada waktu pengamatan (Gambar 15).
Gambar 15. Kurva Efisiensi Pemanfaatan Kuning Telur Larva Ikan Nilem
Perwaktu Pengamatan
Gambar 15 menunjukkan nilai efisiensi pemanfaatan kuning telur mengalami
penurunan sampai kuning telur habis terserap. Penurunan nilai efisiensi
pemanfaatan kuning telur terhadap perubahan waktu karena nilai laju
pertumbuhan lebih rendah dari pada laju penyerapan kuning telur serta volume
kuning telur yang digunakan sebagai energi dalam proses pertumbuhan,
perkembangan dan metabolisme semakin berkurang seiring pertambahan umur
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45
Efi
sien
si P
ema
nfa
ata
n K
un
ing
Tel
ur
(%)
Waktu Pengamatan (jam)
A (25°C)
B (27°C)
C (29°C)
D (31°C)
35
larva ikan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Shukla (2009) bahwa nilai
efisiensi tinggi dihasilkan dari aktvitas yang rendah, proporsi yang tinggi dari
kuning telur yang digunakan untuk pertumbuhan. Efisiensi kumulatif harus jelas
menurun sebagai hasil peningkatan pertumbuhan dan persyaratan pemeliharaan.
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 10) untuk efisiensi pemanfaatan kuning
telur pada larva ikan nilem bahwa suhu berbeda nyata dengan nilai efisiensi
pemanfaatan kuning telur. Berdasarkan hasil uji Duncan suhu media pemeliharaan
25°C (perlakuan A) tidak berbeda nyata dengan suhu 27°C (perlakuan B) dan
31°C (Perlakuan D). Suhu media pemeliharaan 29°C (perlakuan C) tidak berbeda
nyata dengan suhu 31°C (perlakuan D). Walaupun efisiensi pemanfaatan tidak
berbeda nyata dengan suhu media pemeliharaan, tapi dari hasil yang ditunjukkan
suhu 29°C (perlakuan C) merupakan suhu terbaik dalam efisiensi pemanfaatan
kuning telur larva ikan nilem karena memiliki nilai yang tertinggi sebesar 13,5%.
Gambar 16. Efisiensi Pemanfaatan Kuning Telur Larva Ikan Nilem
Efisiensi pemanfaatan kuning telur pada Gambar 16 meningkat dengan
penambahan suhu media pemeliharaan dan menurun pada suhu yang paling
tinggi. Peningkatan efisiensi pemanfaatan larva ikan nilem dipengaruhi oleh laju
penyerapan kuning telur dan laju pertumbuhan yang meningkat.
Efisiensi pemanfaatan kuning telur terendah terdapat pada suhu media
pemeliharaan 25°C (perlakuan A) sebesar 10,981%. Nilai efisiensi yang rendah
10.981a 11.510a
13.500b 12.736ab
0
2
4
6
8
10
12
14
16
25 27 29 31
Efi
sien
si P
em
an
faa
tan
Ku
nin
g T
elu
r
(%)
Suhu Media Pemeliharaan (°C)
36
ini dapat diartikan bahwa penggunaan kuning telur untuk pertumbuhan larva
rendah. Ini sesuai dengan nilai laju penyerapan kuning telur dan laju pertumbuhan
yang dihasilkan bahwa pada suhu media pemeliharaan 25°C (perlakuan A)
rendah juga (Lampiran 7).
Suhu media pemeliharaan 29°C (perlakuan C) merupakan suhu dengan nilai
efisiensi pemanfaatan kuning telur larva ikan nilem paling tinggi dari suhu media
pemeliharaan lainnya sebesar 13,627%. Nilai efisiensi yang tinggi dapat diartikan
bahwa penggunaan kuning telur sebagai energi dalam proses pertumbuhan tinggi.
Ini sesuai dengan nilai laju penyerapan kuning telur dan laju pertumbuhan yang
dihasilkan pada suhu media pemeliharaan 29°C (perlakuan C) yang tinggi
daripada suhu media pemeliharaan lainnya (Lampira 7).
Suhu 31°C (perlakuan D) merupakan perlakuan dengan suhu yang paling
tinggi dalam penelitian ini, tapi pada Gambar 12 efisiensi pemanfaatan kuning
telur lebih kecil dibandingkan dengan suhu media pemeliharaan 29°C (perlakuan
C). Penurunan tersebut disebabkan karena larva ikan nilem telah melewati batas
maksimum untuk suhu yang digunakan sehingga menghasilkan nilai efisiensi
pemanfaatan kuning telur yang rendah. Hal tersebut juga sejalan dengan nilai laju
penyerapan kuning telur dan laju pertumbuhan larva yang menurun pada suhu
media pemeliharaan 31°C (perlakuan D) (Lampiran 7).
Hasil analisis regresi (Lampiran 11) diketahui bahwa terdapat pengaruh
antara suhu dengan efisiensi pemanfaatan kuning telur larva ikan nilem
menunjukkan model regresi linear (Gambar 17) dengan persamaan Y= 2,02361 +
0,3628X (R2= 0.2726). Secara matematis suhu optimum untuk efisiensi
pemanfaatan kuning telur larva ikan nilem terjadi pada suhu 30,241°C dengan
efisiensi pemanfaatan kuning telur optimum sebesar 12,9837%.
37
Gambar 17. Efisiensi Regresi Linear Suhu Terhadap Efisiensi Pemanfaatan
Kuning Telur Larva Ikan Nilem
4.5 Kelangsungan Hidup Larva Ikan Nilem
4.5.1 Kelangsungan Hidup Larva Ikan Nilem Pada Fase Endogenous
Feeding
Hasil pengamatan kelangsungan hidup larva ikan nilem fase endogenous
feeding pada suhu 25°C (perlakuan A) memberikan hasil yang paling rendah
(Gambar 18). Pada suhu 25°C (perlakuan A) pengamatan ke 42 jam larva ikan
nilem mengalami kematian masal sebelum kuning telur habis terserap (Lampiran
3). Kematian larva pada suhu 25°C (perlakuan A) karena laju penyerapan kuning
telur yang lambat sehingga nutrisi yang dibutuhkan untuk larva tidak tercukupi
dengan baik terlihat dari nilai efisiensi pemafaatan kuning telur bahwa pada suhu
25°C (perlakuan A) juga paling rendah serta ketidakmampuan larva beradaptasi
dengan baik pada suhu air yang berfluktuatif. Ini sesuai dengan pernyataan
Effendie (1995) bahwa kelangsungan hidup larva ikan sangat dipengaruhi oleh
faktor lingkungan, karena larva sangat sensitif pada perubahan lingkungan yang
cepat terjadi dan juga pada fase larva belum memiliki organ tubuh yang lengkap
seperti ikan dewasa. Air dengan suhu berfluktuatif dapat mengakibatkan ikan
stress dan kematian. Sehingga dapat diasumsikan suhu 25°C (perlakuan A)
merupakan suhu letal bagi larva ikan nilem.
y = 0.3628x + 2.0236 R² = 0.2726
0
2
4
6
8
10
12
14
16
25 27 29 31 33
Efis
ien
si P
em
anfa
atan
Ku
nin
g Te
lur
(%)
Suhu Media Pemeliharaan (°C)
38
Gambar 18. Kelangsungan Hidup Larva Ikan Nilem Fase Endogenous Feeding
Suhu media pemeliharaan 27°C (perlakuan B), 29°C (perlakuan C), 31°C
(perlakuan D) persentase kelangsungan hidupnya hampir sama karena menurut
Woynarovich dan Hovarth (1980) suhu 27°C-29°C merupakan suhu terbaik dalam
penetasan telur ikan. Sedangkan menurut penelitian Kelabora dan Dominggas
(2012) kelangsungan hidup larva ikan mas yang berumur 7 hari tidak berbeda
nyata pada suhu perlakuan 28-30°C.
Hasil analisis sidik ragam kelangsungan ikan nilem fase endogenous feeding
(Lampiran 13) menunjukkan tidak ada perbedaan kelangsungan hidup antara suhu
media pemeliharaan 27°C (perlakuan B), 29°C (perlakuan C), 31°C (perlakuan
D). Tidak ada perbedaan kelangsungan hidup dikarenakan perlakuan tersebut
masih bisa ditoleransi dengan larva ikan nilem. Ini sesuai dengan pernyataan Hoar
(1962) dalam Kelabora dan Dominggas (2010) bahwa secara ilmiah setiap
organisme mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan-
perubahan yang terjadi di lingkungannnya dalam batas-batas tertentu atau disebut
juga tingkat toleransi.
0
99a 98a 98a
0
20
40
60
80
100
120
25 27 29 31
Kel
an
gsu
ng
an
Hid
up
(%
)
Suhu Media Pemeliharaan (°C)
39
4.5.1 Kelangsungan Hidup Larva Ikan Nilem Pada Fase Exogenous Feeding
Fase exogenous feeding (Gambar 19) merupakan fase dimana nutrisi yang
diperoleh dari larva ikan tidak lagi berasal dari kuning telur tetapi telah
memanfaatkan pakan dari luar atau lingkungannya (Effendie, 1995).
Gambar 19. Larva Ikan Nilem Fase Exogenous Feeding
Kelangsungan hidup larva ikan nilem fase exogenous feeding berbeda dengan
fase endogenous feeding (Lampiran 8). Jika pada fase endogenous feeding suhu
media pemeliharaan 27°C (perlakuan B), 29°C (perlakuan C), 31°C (perlakuan D)
masih dapat ditoleransi untuk kelangsungan hidup, tapi untuk kelangsungan hidup
larva ikan nilem fase exogenous feeding tidak demikian. Di lihat dari Gambar 15
kelangsungan hidup ikan nilem meningkat sejalan dengan meningkatnya suhu
media pemeliharaan, tapi menurun pada suhu media pemeliharaan yang tinggi
yaitu 31°C (Perlakuan D).
Suhu media pemeliharaan 31°C (perlakuan D) memiliki tingkat
kelangsungan hidup paling rendah sebesar 47,321% (Gambar 20). Karena pada
fase exogenous feeding suhu 31°C (perlakuan D) proses penyerapan kuning telur
sebagai sumber energi untuk aktivitas metabolisme terganggu. Aktivitas
metabolisme yang terganggu mengakibatkann pembentukan organ-organ larva
menjadi lambat sehingga kelangsungan hidup larva menjadi rendah. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Effendi (1997) bahwa penyempurnaan organ pada fase larva
merupakan upaya untuk meningkatkan kelangsungan hidup larva.
40
Gambar 20. Kelangsungan Hidup Larva Ikan Nilem Fase Exogenous Feeding
Hasil analisis sidik ragam terdapat perbedaan yang nyata tiap perlakuan suhu
media pemeliharaan yang digunakan terhadap kelangsungan hidup larva ikan
nilem fase exogenous feeding (Lampiran 14). Berdasarkan hasil uji Duncan
kelangsungan hidup pada suhu media pemeliharaan 31°C (perlakuan B) berbeda
nyata dengan suhu media pemeliharaan 29°C (perlakuan C) dan 27°C (perlakuan
B). Suhu media pemeliharaan 29°C (perlakuan C) tidak berbeda nyata dengan
suhu 27°C (perlakuan B). Walaupun tidak berbeda nyata antara suhu 27°C
(perlakuan B) dan 29°C (perlakuan C), tapi nilai kelangsungan hidup 29°C
(perlakuan C) lebih tinggi dari pada suhu 27°C (perlakuan B) yaitu sebesar
83,036%. Dapat disimpulkan bahwa suhu media pemeliharaan 29°C (perlakuan
C) merupakan suhu terbaik untuk kelangsungan hidup larva ikan nilem fase
exogenous feeding. Hasil analisis sidik ragam pada kelangsungan hidup fase
exogenous feeding tidak mencantumkan suhu media pemeliharaan 25°C
(perlakuan A) dikarenakan tidak ada yang hidup sampai post larva.
Kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada suhu media pemeliharaan 29°C
(perlakuan C). Ini dikarenakan nilai efisiensi pemanfaatan kuning telur yang
tinggi pada suhu tersebut, sehingga mengakibatkan konversi penyerapan kuning
telur untuk pembentukan organ lebih baik dari pada suhu lainnya. Pernyataan
tersebut sesuai dengan pendapat Shukla (2009) bahwa efisiensi pemanfaatan yang
0
78bc 83.036c
47.321a
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
25 27 29 31
Kel
an
gsu
ng
an
Hid
up
(%
)
Suhu Media Pemeliharaan (°C)
41
tinggi akan menghasilkan larva yang lebih besar, kuat dan rentan terhadap
kerusakan yang dapat mengakibatkan kematian.
Kelangsungan hidup yang rendah pada suhu media pemeliharaan 31°C
(perlakuan D) disebabkan oleh penyerapan kuning telur yang terlalu cepat
(Lampiran 6) dari pada perlakuan lainnya yang menyebabkan nutrisi dari kuning
telur belum digunakan secara sempurna untuk perkembangan larva ikan nilem.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Sembiring (2011) mengatakan bahwa proses
penyerapan kuning telur yang kurang optimal menyebabkan keterlambatan
perkembangan bukaan mulut larva sehingga pada saat kuning telur habis dan larva
memerlukan pakan dari luar, larva tersebut tidak memanfaatkan pakan tersebut
dengan baik. Effendie (1995) mengatakan pada fase masa kritis larva terletak pada
saat sebelum dan sesudah penghisapan kuning telur dan masa transisi mulai
mengambil makanan dari luar.