Post on 21-Dec-2015
KAJIAN PENAPISAN PENGOBATAN TRADISIONAL PATAH TULANG DI PROPINSI SUMATERA SELATAN
HASIL PENELITIAN
Tim Peneliti SP3T Sumsel :
Ir. Ernila Rizar, MMdr. Yuliarni, M.Kes
Yeni Agustin, S.Si.M.KesIche Andriyani Liberty, SKM, M.Kes
SP3T PROVINSI SUMATERA SELATAN
TAHUN 2014
1
LEMBAR PENGESAHAN
1. Judul : Kajian Pengobatan Tradisional Patah Tulang Di Provinsi
Sumatera Selatan.
2. Peneliti Utama
a. Nama lengkap dengan gelar
: Ir. Hj. Ernila Rizar, MM.
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. NIP : 1962 0906 199103 2001
d. Pangkat/Golongane. Jabatan Fungsional
::
Pembina Tingkat I/IV.b-
f. Jabatan Struktural : Kepala Bidang Pengkajian Pemerintahan dan Sosial Budaya Badan Litbang dan Inovasi Daerah Provinsi Sumatera Selatan
g. Jurusan/Fakultas : -
h. Pusat Penelitian : SP3T SUMSEL
Alamat : Jl. Demang Lebar Daun 4864 Palembang
i. Telepon/Faks : 0711-374456/0711-350077
j. Alamat Rumah : Perumahan Bukit Sejahtera Blok BW 03 Palembang
k. Telepon/Faks/E-mail : 0711-440524/ernilarizar@yahoo.com
3. Usul jangka Waktu Penelitian
: 6 Bulan
4 Tim Peneliti
No
NamaTim
PenelitiBidang Keahlian
1. dr. Yuliarni, M.Kes Anggota Kedokteran
2.Iche Liberty, SKM., M.Kes
Anggota Kesehatan Masyarakat
3.Yeni Agustin, SSi., M.Kes
Anggota Farmakologi
5. Pembiayaan
Usul Biaya
Biaya dari Instansi Lain
:
:
Rp. 83.328.000,-
Tidak ada
MengetahuiKetua Sentra Pengembangan dan
Palembang, April 2014
Ketua Peneliti
2
Penerapan Pengobatan Tradisional (Sentra P3T) Provinsi SUMSEL
Prof.Dr.dr.M.T. Kamaluddin, M.Sc.SpFKNIP. 195209301982011001
Ir. Hj. Ernila Rizar, MM.
NIP. 196209061991032001
KATA PENGANTAR
3
Puji syukur kehadirat Allah SWT, dengan ridho dan ijinNya kami dapat
menyelesaikan laporan hasil penelitian yang berjudul Kajian Penapisan Batra Patah Tulang di
Provinsi Sumatera Selatan. Laporan hasil penelitian ini menyajikan tentang keragaman
pengobatan tradisional yang dilakukan oleh batra Patah Tulang di 5 kabupaten/kota Provinsi
Sumatera Selatan. Kearifan lokal yang dimiliki oleh batra meliputi kekuatan spiritual dan
supranatural serta ramuan yang digunakan dalam uapay pengobatan patah tulang.
Pada kesempatan ini peneliti melakukan pelaporan penelitian dalam bentuk hasil
pengolahan kuantitatif diperkuat dengan hasil wawancara mendalam dan observasi sebagai
hasil kualitatif. Hasil ini diharapkan dapat menjadi dasar penelitian lanjutan yang lebih luas
dan dalam, guna menghasilkan suatu masukan dan kajian ilmiah yang sistematis tentang
pengobatan dan pengobat tradisional patah tulang khas Indonesia.
Besar harapan kami penelitian ini dapat memperkaya khasanah pengetahuan,
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang terintegrasi dalam program pemerintah
khususnya pada pembinaan pengobat tradisional di indonesia.
Perkenankan kami mengucapkan terima kasih atas segala partisipasi semua
responden, dinas kesehatan, puskemas, dan masyarakat di 5 kabupaten/kota Provinsi
Sumatera Selatan. Kami berharap hasil penelitian ini dapat dilanjutkan dengan publikasi
ilmiah di berbagai jurnal kesehatan sehingga memberikan kontribusi penyebaran pengetahuan
yang lebih luas bagi masyarakat indonesia pada umumnya.
Palembang, 20 November 2014
Peneliti
RINGKASAN EKSEKUTIF
4
Ernila Rizar, Yuliarni, Yeni Agustin, Iche Liberty
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan pengkajian terhadap pelayanan
kesehatan tradisional dari segi manfaat dan keamanannya, sehingga dapat memberikan rasa
aman dan perlindungan bagi masyarakat pengguna jasa pelayanan pengobatan tradisional.
Saat ini pengobatan tradisional semakin berkembang seirama dengan perkembangan ilmu dan
teknologi. Belum adanya data profil batra patah tulang yang memenuhi standar Kepmenkes
nomor 1076 tahun 2003 menjadi dasar untuk dilakukan pengkajian pengobatan tradisonal
patah tulang di Provinsi Sumatera Selatan.
Pengobatan alternatif tradisional masih digunakan oleh sebagian besar masyarakat
bukan hanya karena kekurangan fasilitas pelayanan kesehatan formal yang terjangkau oleh
masyarakat, tetapi lebih disebabkan oleh faktor-faktor sosial budaya dari masyarakat tersebut.
Ia memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat yang dilayani. Perkembangan pelayanan
kesehatan tradisional khususnya ketrampilan patah tulang ini masih diminati oleh masyarakat
di Provinsi Sumatera Selatan, dimana ada beberapa wilayah yang memiliki Battra
ketrampilan urut patah tulang yang sudah sangat dikenal oleh masyarakat. Hal in merupakan
salah satu pengobatan tradisional “local wisdom” yang perlu dikaji manfaat dan
keamanannya demi memberikan perlindungan bagi masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data profil Batra di Provinsi Sumatera
Selatan khususnya batra patah tulang. Selanjutnya untuk mengetahui keamanan pengobatan
yang dilakukan ditinjau dari aspek Reliability, Responsiveness, Assurance, Empathy,
Tangible dan secara mendalam untuk mengetahui metode/ teknik perawatan patah tulang oleh
batra patah tulang di Provinsi Sumatera Selatan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik batra Patah Tulang di 5
Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Selatan adalah latar belakang pendidikan yang bervariasi 5
muali dari SD sampai Perguruan tinggi, berjenis kelamin laki-laki, usia 39-98 tahun, suku
Melayu, pekerjaan utama yaitu sebagai dukun patah tulang, dengan lama berpraktek lebih
dari 10 tahun, keahlian mengobati diperoleh secara turun temurun. Karakteristik pelayanan
yang diberikan meliputi lama pelayanan sebagian besar lebih dari 12 jam, menyertakan jampi
dan doa, dengan jumlah pasien berkisar 1-30 orang setiap bulannya, dan sebagian besar batra
tidak memberikan obat penyerta secara langsung. Penggunaan alat bantu seperti bidai
digunakan oleh sebagian besar batra patah tulang dan para batra sebagian besar belum
memahami teknik reposisi dan immobilassi tulang yang benar sesuai standar medis.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah batra patah tulang di 5 kabupaten/kota Provinsi
Sumatera Selatan, memiliki potensi dalam upaya kesehatan khususnya pemberian pelayanan
secara langsung terhadap pasien yang percaya akan eksistensinya, namun aplikasinya masih
belum sepenuhnya sesuai dengan aturan yang dituangkan dalam Kepmenkes nomor 1076
tahun 2003. Kearifan lokal yang dimiliki oleh batra meliputi kekuatan spiritual dan
supranatural serta ramuan yang digunakan dalam upaya pengobatan patah tulang. Guna
meningkatkan kualitas pelayanan batra patah tulang tersebut, pemerintah khususnya Dinas
Kesehatan Provinsi maupun Kabupaten/Kota diharapkan dapat melakukan upaya pembinaan
terutama penggunaan bidai yang efektif dan tepat. Hal ini dapat dijadikan kebijakan dengan
cara pelatihan penggunaan bidai dalam rangka immobilisasi yang mendukung percepatan
penyembuhan tulang.
ABSTRAK
6
Pengobatan alternatif yaitu secara tradisional saat ini banyak digunakan oleh sebagian besar masyarakat, bukan karena kekurangan fasilitas pelayanan kesehatan formal tetapi disebabkan oleh faktor-faktor sosial budaya. Pengobatan alternatif meliputi pengobatan patah tulang yang dilakukan oleh batra patah tulang. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui keamanan terhadap pengobatan yang dilakukan oleh batra ditinjau dari aspek Reliability, Responsiveness, Assurance, Empathy, Tangible dan secara mendalam untuk mengetahui metode/ teknik perawatan patah tulang pada Battra patah tulang di Provinsi Sumatera Selatan.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan juga kualitatif yaitu ekploratif terutama mengenai metode pengurutan baik berkenaan dengan jenis urutan, sistematika pengurutan, jenis dan cara pengolahan ramuan serta pengalaman batra maupun pasien yang dilakukan pengurutan, dilakukan metode observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap responden.
Tempat penelitian di Kota Palembang, Kota Prabumulih, Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten Banyuasin dan Kabupten Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan dari bulan Juni – November 2014, dengan jumlah responden 10 orang Battra berdasarkan purposif sampling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa profil batra patah tulang tidak memiliki dasar pendidikan kesehatan, tingkat pendidikan yang bervariasi mulai dari SD sampai dengan Perguruan Tinggi, berjenis kelamin laki-laki, usia 39-98 tahun, suku Melayu, pekerjaan utama sebagai dukun patah tulang, dengan lama berpraktek lebih dari 10 tahun, memperoleh keahlian pengobatan diperoleh secara turun temurun. Karakteristik pelayanan yang diberikan meliputi lama pelayanan sebagian besar lebih dari 12 jam, menyertakan jampi dan doa, dengan jumlah pasien berkisar 1 sampai 30 orang setiap bulannya, dan sebagian besar batra tidak memberikan obat penyerta secara langsung. Penggunaan alat bantu seperti bidai digunakan oleh sebagian besar batra patah tulang dan para batra sebagian besar belum memahami teknik reposisi tulang. Dari segi persyaratan administrasi, belum ada batra patah tulang yang mempunyai STPT.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah batra patah tulang di 5 kabupaten/kota Provinsi Sumatera Selatan, memiliki potensi dalam upaya kesehatan khususnya pemberian pelayanan secara langsung terhadap pasien yang percaya akan eksistensinya, namun aplikasinya masih belum sepenuhnya sesuai dengan aturan yang dituangkan dalam Kepmenkes nomor 1076 tahun 2003. Kearifan lokal yang dimiliki oleh batra meliputi kekuatan spiritual dan supranatural serta ramuan yang digunakan dalam upaya pengobatan patah tulang. Guna meningkatkan kualitas pelayanan batra patah tulang tersebut, pemerintah khususnya Dinas Kesehatan Provinsi maupun Kabupaten/Kota diharapkan dapat melakukan upaya pembinaan terutama penggunaan bidai yang efektif dan tepat. Hal ini dapat dijadikan kebijakan dengan cara pelatihan penggunaan bidai dalam rangka immobilisasi yang mendukung percepatan penyembuhan tulang.
7
DAFTAR ISI
1. Judul penelitian…………………………………………………........... 1
2. Identitas Pengusul Penelitian…………………………………………..
3. Kata Pengantar…………………………………………………………
4. Ringkasan Eksekutif…………………………………………………..
5. Abstrak…………………………………………………………………
2
4
5
7
6. Daftar Isi……………………………………………………………….. 8
7. Latar Belakang…………………………………………………………. 10
4.1. Perumusan Masalah Penelitian……………………………………… 14
4.2.. Pertanyaan Penelitian………………………………………………. 14
8. Tujuan Penelitian………………………………………………………. 15
5.1 Tujuan Umum……………………………………………………… 15
5.2 Tujuan Khusus…………………………………………………….. 16
9. Manfaat Penelitian…………………………………………………….. 16
10. Metode Penelitian……………………………………………………… 17
7.1. Kerangka Konsep…………………………………………………. 17
7.2. Definisi Operasional………………………………………………. 18
7.3. Desain Penelitian………………………………………………… 21
7.4. Populasi dan Sampel (Purposif sampling)………………………… 21
7.5. Kiteria Inklusi dam Eksklusi……………………………………….
7.6. Teknik Pengumpulan Data…………………………………………
22
22
11. Alur penelitian………………………………………………………….. 23
12. Pertimbangan Etik Penelitian …………………………………………..
13. Hasil Penelitian dan Pembahasan ………………………………………
10.1. Profil Batra………………………………………………………..
23
24
25
8
10.2. Proses Pengobatan…………………………………………….....
10.3. Dimensi Pasien……………………………………………………
37
63
14. Simpulan dan Saran…………………………………………………….
15. Daftar Kepustakaan…………………………………………………….
61
63
16. Susunan Tim Peneliti………………………………………………….. 64
17. Jadwal Penelitian……………………………………………………… 66
18. Rincian Rencana Anggaran…………………………………………….. 67
19. Biodata Ketua Pelaksana dan Peneliti…………………………………. 69
20. Lampiran Kuesioner……………………………………………………
21. Gambar penelitian ……………………………………………………...
71
80
4. LATAR BELAKANG
9
Tujuan pembangunan kesehatan yang tertera dalam GBHN adalah
meningkatkan kemampuan untuk hidup sehat dan mampu mengatasi masalah
kesehatan sederhana terutama melalui upaya pencegahan dan peningkatan kualitas
kesehatan individu. Selain itu upaya pemerataan pelayanan kesehatan agar terjangkau
oleh masyarakat sampai kepelosok pedesaan perlu diperluas selain dari upaya
pelayanan secara konvensional yang disiapkan oleh pemerintah, maka upaya
pengobatan tradisional merupakan suatu alternatif yang tepat sebagai pendamping
pengobatan konvensional.
Pengobatan tradisional adalah ilmu dan seni pengobatan berdasarkan
himpunan dari pengetahuan dan pengalaman praktek, baik yang dapat diterangkan
secara ilmiah ataupun tidak, dalam melakukan diagnosis, prevensi dan pengobatan
terhadap ketidakseimbangan fisik, mental, dan sosial (WHO, 1978). Data Riskesdas
tahun 2013 menunjukkan bahwa yankestrad terdiri dari 4 jenis, yaitu yankestrad
ramuan, keterampilan dengan alat, keterampilan tanpa alat, dan keterampilan dengan
pikiran, 30,4% RT (89.753 dari 294.962) di Indonesia memanfaatkan yankestrad
dalam 1 tahun terakhir. Proporsi RT yang memanfaatkan yankestrad tertinggi adalah
di Kalimantan Selatan (63,1%) dan terendah di Papua Barat (5,9%). Jenis yankestrad
terbanyak yang dimanfaatkan oleh RT adalah keterampilan tanpa alat (77,8%) dan
ramuan (49,0%). Alasan utama RT memanfaatkan yankestrad terbanyak secara umum
adalah untuk menjaga kesehatan/kebugaran, kecuali yankestrad keterampilan dengan
pikiran alasan pemanfaatannya berdasarkan tradisi/kepercayaan. Hasil ini
menunjukkan bahwa pemanfaatan yankestrad perlu diteliti dan dikembangkan lebih
mendalam agar yankestrad jenis ini dapat diterapkan menyeluruh di seluruh nusantara
(masih cukup banyak).
10
Perkembangan di bidang informasi dewasa ini juga telah mempermudah akses
masyarakat terhadap informasi tentang pengobatan tradisional. Pengobatan tradisional
tidak hanya diminati oleh sekelompok masyarakat desa atau mereka yang
pendidikannya rendah tetapi juga mereka yang berpendidikan tinggi. Di masyarakat
banyak pengobatan tradisional yang belum dikembangkan sebagai aset daerah,
pengobatan tradisional (Batantra) melalui pengobat tradisional (Battra) khususnya
yang menggunakan ramuan perlu mendapat pembinaan.
Saat ini kasus patah tulang menjadi masalah yang banyak dijumpai karena
makin pesatnya kemajuan lalu lintas dari segi jumlah pemakai jalan, jumlah
kendaraan, jumlah pemakai jasa angkutan dan kecepatan kendaraan. Efek langsung
dari kemajuan ini adalah terjadinya insiden kecelakaan yang disertai dengan patah
tulang atau fraktur. Fraktur yang artinya hilangnya kontinuitas dari tulang, tulang
rawan sendi, tulang rawan epifisis baik yang bersifat total maupun parsial (sebagian),
sebagian besar fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan
membengkok, memutar dan tarikan (Muhammad, 2009).
Menurut Sjarwani (2010), tindakan masyarakat dalam menangani
cedera/trauma seperti patah tulang, terkilir, dan cidera engkel, rata- rata 85% masih
banyak yang keliru yang lebih memilih ke pengobatan alternatif atau sangkal putung
dari pada memprioritaskan terapi secara medis. Hal ini menunjukkan sekalipun
pelayanan kesehatan modern telah berkembang di Indonesia, namun sejumlah
masyarakat masih memilih pengobatan tradisional. Untuk dapat dimanfaatkannya
pengobatan tradisional dalam pelayanan kesehatan, banyak yang harus diperhatikan.
Salah satu diantaranya yang dinilai mempunyai peranan yang sangat penting adalah
upaya standarisasi. Diharapkan, dengan adanya standarisasi ini bukan saja mutu
pengobatan tradisional akan dapat ditingkatkan, tapi yang penting lagi munculnya
11
berbagai efek samping yang tidak dapat dipertanggung jawabkan, akan dapat
dihindari. Pengertian standarisasi adalah keadaan ideal atau tingkat pencapaian
tertinggi dan sempurna, yang dipakai sebagai batas penerimaan minimal (Clinical
Practice Guideline, 1990).
Patah tulang menurut ilmu kedokteran adalah suatu patahan kontinuitas
(fragmentasi) struktur tulang yang biasanya disebabkan oleh adanya kekerasan yang
mendadak. Patahan tadi mungkin lebih dari suatu retakan, suatu pengisutan atau
perimpilan bagian tipis dari luar tulang, biasanya patahan itu lengkap dan fragmennya
bergeser dari posisinya. Kalau kulit diatasnya robek atau berhubungan dengan bagian
tulang yang patah disebut patah tulang terbuka yang cenderung mengalami infeksi
(Hasan, 2003). Patah tulang pada dasarnya ada dua jenis, yang pertama patah tulang
tertutup (tidak sampai mencuat keluar menembus jaringan kulit) dan kedua patah
tulang terbuka (tulang menembus jaringan kulit, sehingga tulang yang patah tersebut
terlihat) (Machfoedz, 2005). Jenis-Jenis Patah Tulang terbagi atas: (1) patah tulang
terbuka, (2) patah tulang tertutup, (3) patah tulang karena tergilas, (4) patah tulang
kompres, (5) patah tulang avulsi, dan (6) patah tulang patologis.
Tujuan dari penanganan patah tulang (fraktur) adalah mengusahakan
penyembuhan tulang dalam posisi dimana tidak ada kelainan fungsional, dan patah
tulang umumnya akan sembuh bila dilakukan reposisi yang adekuat dan fiksasi yang
memadai. Cara pengobatan yang diberikan adalah mengusahakan reposisi dengan cara
“mengurut” dan fiksasi dengan karton atau kayu (Mangunsudirdjo, 1992).
Menurut Saleh (1988) pada penanggulangan dan pengobatan patah tulang
secara tradisional ada beberapa prinsip yang sama dengan pengobatan konvensional
(mutakhir) yang dapat diterima secara logika antara lain:
12
a. Prinsip penarikan traksi bagian tubuh yang patah untuk mengembalikan posisi
tulang seperti semula
b. Pemberian bidai dari anyaman kelapa, anyaman alang-alang, baluran daun
sereh. Prinsipnya sebagai fiksasi tulang yang patah setelah dikembalikan pada
posisi semula. Dalam hal ini ada beberapa kekurangan dalam fiksasi secara
tradisional karena mempergunakan bahan yang lunak dan fiksasinya tidak
melewati dua atau tiga persendian sehingga tulang yang patah dapat bergerak
dari posisi yang diharapkan.
c. Adanya kompres dengan daun-daun segar yang diharapkan dapat
memperlancar aliran darah sehingga dapat mengurangi pembengkakan.
d. Adanya pemijatan/urut-urut yang dilakukan dalam penanggulangan patah
tulang disertai dengan olesan berupa minyak-minyak kelapa yang mungkin
bertujuan sebagai fisioterapi disertai minyak yang menghangatkan bagian
tubuh yang patah sehingga memperlancar aliran darah, akhirnya mempercepat
penyembuhan.
Memahami konsep yang dimiliki oleh pengobatan tradisional dalam praktek
pengobatan tradisional khususnya batra patah tulang, sangat penting, dengan
diketahuinya konsep tersebut diharapkan dapat diikuti jalan pikiran serta alasan
dilakukannya suatu tindakan yang dilakukan (penyembuhan alamiah atau
penyembuhan akibat kekuatan tertentu) oleh pengobatan tradisional ketika
menghadapi penderita yang datang meminta pertolongan. Konsep yang dimaksud
disini adalah seperti konsep sehat dan sakit menurut pengobat dan pasien, penyebab
penyakit serta kepercayaan sakit.
Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan tahun 2013, belum
semua kabupaten kota mempunyai data tentang jumlah kasus dan tingkat kesembuhan
13
kasus patah tulang). Oleh karena itu penelitian ini perlu dilakukan dalam rangka untuk
mengevaluasi dan melakukan penataan menyeluruh dan bertahap, agar pelayanan
pengobatan tradisional patah tulang dapat dilakukan secara bermutu, bermanfaat, dan
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dalam rangka memberikan rasa aman
bagi masyarakat) sekaligus mengangkat citra yankestradkom pada fasilitas pelayanan
yang disiapkan oleh pemerintah. Oleh sebab itu perlu dilakukan kajian penapisan
pengobatan tradisional patah tulang di provinsi Sumatera Selatan, untuk mendapatkan
data dan informasi sebagai dasar pengembangan pelayanan pengobatan tradisional.
4.1. Perumusan Masalah Penelitian
lndonesia kaya akan keanekaragaman pengobatan tradisionat yang juga
merupakan kekayaan budaya bangsa. Masing-masing daerah memiliki ciri khas
kearifan lokal (local wisdom) yang dilakukan oleh dan untuk masyarakat dalam
mengatasi setiap masalah kesehatan yang dihadapi sehari-hari. Untuk menggali local
wisdom yang berkembang di masyarakat Sumatera Selatan dilakukanlah identifikasi
dan inventarisasi serta kajian ilmiah dilaksanakan oleh Sentra P3T. Pengkajian yang
dilakukan oleh Sentra P3T ini bertujuan untuk pengembangan ketersediaan pelayanan
kesehatan tradisional dengan meneliti local wisdom yang hidup dan berkembang di
masyarakat.
14
Karena itu disusunlah rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana profil pengobatan tradisonal (battra) patah tulang di Provinsi
Sumatera Selatan ditinjau dari kompetensi, pendidikan, pengetahuan dan
keyakinan serta kriteria untuk memberikan pelayanan pada pasien-pasien dengan
patah tulang?
2. Bagaimana mutu dan keamanan pengobatan tradisional patah tulang yang
dilakukan ditinjau dari Reliability, Responsiveness, Assurance, Empathy,
Tangible, sehingga dapat direkomendasikan sebagai batra yang aman untuk
pelayanan kesehatan masyarakat?
3. Bagaimana teknik/cara melakukan pengobatan semua kasus patah tulang oleh
battra, tanpa alat atau dengan alat, menggunakan ramuan atau tidak, berapa kali
kunjungan (follow-up) atau cukup dengan pola pengobatan jarak jauh, serta
berapa lama teknik pengobatan dilakukan per-pasien.
4. Bagaimana tingkat kesembuhan setelah dilakukan pengobatan menurut persepsi
pasien.
4.2. PERTANYAAN PENELITIAN
Bagaimanakah profil pengobatan tradisional terkait sisi keamanan, manfaat
dan mutu dari battra patah tulang yang ada di provinsi Sumatera Selatan?
5. TUJUAN PENELITIAN
5.1. Tujuan Umum
Mengetahui profil dan manfaat Pengobatan Tradisional (Batra) Patah Tulang di
Provinsi Sumatera Selatan agar dapat diterapkan ke dalam yankestrad secara
nasional.
15
5.2. Tujuan khusus
1. Mengetahui profil pengobatan tradisional patah tulang di Provinsi Sumatera
Selatan.
2. Mengetahui keamanan pengobatan patah tulang di Provinsi Sumatera Selatan
ditinjau dari aspek filosofi, sosial, medik dan ekonomi.
3. Mengetahui, metode pengobatan tradisional patah tulang di Provinsi Sumatera
Selatan.
4. Mengetahui jenis ramuan dan modalitas tambahan yang digunakan oleh batra
patah tulang di Provinsi Sumatera Selatan.
6. MANFAAT PENELITIAN
1. Sebagai dasar/masukan bagi pemerintah (Kemenkes RI) dalam melakukan
pembinaan, pengawasan dan pengembangan battra patah tulang ke dalam
yankestradkom baik di provinsi Sumatera Selatan dan atau nasional.
2. Untuk memperoleh informasi ilmiah tentang konsep, pendalaman dan penerapan
pengobatan tradisional patah tulang yang usdah berkembang lama di masyarakat.
3. Memberikan perlindungan kepada masyarakat pengguna pengobatan tradisional
masyarakat.
16
7. METODE PENELITIAN
7.1. Kerangka Konsep
8. ENELITIAN
8.1. Kerangka Konsep
H
17
Profil Pengobatan TradisionalPatah Tulang
Keamanan Pengobatan Urut Tradisional:aspek Filosofi sosialAspek MedikAspek Ekonomi
Proses pengurutan:Metode perawatan yang diterapkan
Kriteria memberi layanan urut
Efek samping yang terjadi:InfeksiBengkak membiru/nyeri
Pengetahuan Pengurut:Pemahaman tentang sehat /sakitPemahaman cara kerja urut patah tulang
Profil Pengurut:PendidikanPekerjaan lainLama menjadi pengurutCara Memperoleh KeahlianLama pelayanan dalam sehariMenyertakan Jampi-jampi/ramuanJumlah pasien patah sebulan
Obat/ramuan yang diberikan:Jenis Ramuan Yang digunakan menyertai urut
Obat penyerta yang diberikan
Alat/bahan bantu yang digunakan
Kriteria memberi layanan urut
Dimensi Mutu Pelayanan Batra Reliability Responsiveness Assurance Empathy Tangible
Hasil pengobatan patah tulang
7.2. Definisi Operasional
1. Karakteristik Pemijat Tradisional Patah Tulang
Definisi : data dari identitas pemijat patah tulang berdasarkan informasi umum
mengenai status sosial, pengetahuan dan pengalaman pelayanan
pasien patah tulang .
Cara ukur : Wawancara langsung dan observasi dengan responden
Hasil ukur : Data primer karakteristik responden mengenai :
Usia, Jenis Kelamin
Pendidikan, Pekerjaan lain
Cara memperoleh ilmu
Pengetahuan tentang konsep sehat sakit
Imbalan, tarif, stratanya
Lama praktek dalam sehari
Jumlah pasien dalam sebulan
Register pelayanan
Pelatihan/pembinaan/pengetahuan terkait kesehatan secara formal
maupun informal
Surat Tanda Pengobat Tradisional (STPT)
Standar higienis Ruangan praktek
2. Proses Pelayanan Pijat Patah Tulang
Definisi : suatu tata cara, mekanisme, metode perawatan dan teknik penanganan
yang dilaksanakan oleh pemijat patah tulang, dalam mengobati pasien
patah tulang.
Cara ukur : Wawancara langsung dan observasi dengan responden
18
Hasil ukur : Data primer karakteristik responden mengenai :
Cara mendiagnosa: supranatural atau pakai rontgen
Sarana dan prasarana yang digunakan untuk diagnosa dan proses
pengobatan
Ramuan yang digunakan, gunanya untuk apa
Tehnik pengurutan/pemijatan
Cara reposisi dan fiksasi, bahan utk fiksasi
Bagaimana menentukan sembuh berapa lama pengobatan sampai
sembuh
Efek samping selama pengobatan
Jenis patah tulang yang ditangani
Menyertakan Mantra/jampi/doa-doa
Menyertakan obat medis
Pantangan2 selama pengobatan
Apa tindakan kalau pasien pingsan
Upaya untuk menghilangkan rasa sakit
Kerjasama dengan medis, seperti apa
Higinitas pelayanan
3. Karakteristik Pasien Patah Tulang
Definisi : identitas pasien yang memanfaatkan jasa pelayanan pemijat tradisional
patah tulang di lingkungannya.
Cara ukur : Wawancara langsung dengan pasien patah tulang.
Hasil ukur : Data primer penelitian mengenai :
Motivasi atau alasan berobatnya
Tingkat Kesembuhannya
19
7.3. Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yaitu penelitian
yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi.
Kemudian melakukan analisis dinamika dengan menggunakan distrubusi frekuensi
dari masing masing variabel yang akan ditampilkan dalam bentuk tabel, grafik atau
gambar. Guna memperoleh data yang lebih dalam digunakan desain penelitian
kualitatif ekploratif terutama mengenai metode pengurutan baik berkenaan dengan
jenis urutan, sistematika pengurutan, jenis dan cara pengolahan ramuan serta
pengalaman batra maupun pasien yang dilakukan pengurutan, dilakukan metode
observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap beberapa
responden.
7.4. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian dilakukan pada 5 wilayah kabupaten/kota di
Provinsi Sumatera Selatan, yaitu Kota Palembang, Kota Prabumulih,
Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten Musi Banyuasin dan Kabupaten Banyuasin.
7.5. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua dukun urut patah tulang
yang berada di wilayah Provinsi Sumsel tahun 2013.
Sampel dalam penelitian ini adalah batra patah tulang yang berada
pada 5 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan yang diambil secara
purposive sampling.
20
7.6. Kiteria Inklusi dam Eksklusi
Kriteria Inklusi
a. Pengobat :
1. Bersedia untuk dijadikan responden dan diwawancarai (informed
consernt)
2. Bertempat tinggal menetap di tempat penelitian
3. Pengobat (battra) sudah melakukan pengobatan paling tidak 1 tahun
terakhir
4. Merupakan penduduk etnis yang berasal dari Propinsi Sumatera
Selatan.
b. Pasien/Pendamping Pasien :
1. Berusia 17 tahun keatas (mengapa tidak anak-anak juga)
2. Bersedia untuk dijadikan responden dan diwawancarai
3. Bertempat tinggal menetap di tempat penelitian
4. Berobat dengan kasus patah tulang
Kriteria eksklusi yaitu responden yang tidak mampu berkomunikasi secara
aktif.
7.7. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah pengobatan urut tradisonal patah
tulang sebagai variabel dependent dan profil pengurut, obat/ramuan yang
diberikan, pengetahuan pengurut, keamanan pengobatan urut tradisional, dan
efek samping sebagai variabel independent.
21
7.8. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data
Instrumen dalam penelitian ini adalah memakai kuesioner dan lembar
observasi. Cara pengumpulan data dilakukan dengan pengisian kuesioner,
lembar observasi dan wawancara mendalam. Untuk teknik pengobatan
dilakukan pengamatan langsung, tetapi bila saat kunjungan tidak ada pasien
maka teknik pengobatan diminta untuk diperagakan oleh batra. Dokumentasi
dilakukan dalam bentuk foto dan video.
7.9. Pengawasan Kualitas Data
Pengawasan kualitas data dilakukan dengan cara mengumpulkan
semua interviuwer sebelum turun mengumpulkan data dengan maksud agar
setiap pertanyaan dalam kuesioner dapat dipahami dengan sama. Kemudian
dalam hal penelitian dilakukan oleh peneliti sendiri yang secara langsung
mewancarai dan mengobservasi pengobat patah tulang yang berada di 5
kabupaten/kota Provinsi Sumatera Selatan. Setelah selesai wawancara, data
dikumpulkan, ditabulasi dan dianalisis.
7.10. Manajemen dan Analisis Data
Data yang telah ditabulasi dan diolah selanjutnya dianalisis secara
deskriptif. Hasil analisis data dijabarkan dengan uraian yang sistematis sesuai
dengan tujuan penelitian sehingga maknanya dapat dipahami dengan lebih
mudah oleh pihak yang berkepentingan terkait pengobatan ketrampilan/cara
dukun urut patah tulang /pengobat patah tulang dalam merawat pasien patah
tulang tradisional, cara penggunaan dan khasiatnya. Hasil wawancara
mendalam akan ditranskripsikan dan hasil observasi akan didokumentasikan
baik dalam bentuk rekaman maupun observasi langsung secara narasi.
22
8. Langkah-langkah Penelitian
Langkah langkah dalam penelitian ini adalah diawali dengan membuat proposal
dan protokol, setelah disetujui oleh tim pembahas di tingkat Pusat, dilanjutkan dengan
pendataan/pengambilan data ke batra patah tulang di 5 tempat yaitu wilayah Kota
Palembang, Kota Prabumulih, Kabupaten Ogan Ilir, Musi Banyuasin dan Kabupaten
Banyuasin. Setelah selesai pengumpulan data dilanjutkan dengan menganalisis data.
9. Pertimbangan Etik Penelitian
Ethical clearance dikeluarkan oleh Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya, Palembang, dan ditampilkan di halaman lampiran.
23
10. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian deskriptif kualitatif dengan judul “Kajian Penapisan Pengobatan
Tradisional Patah Tulang di Provinsi Sumatera Selatan” telah dilakukan sejak bulan
Agustus sampai dengan Oktober tahun 2014. Penelitian ini dilakukan dengan metode
survei yang meliputi wawancara dan observasi terhadap pelayanan kesehatan
tradisional patah tulang di Provinsi Sumatera Selatan dan untuk menggali informasi
ilmiah tentang hal-hal yang terkait pengobatan patah tulang.
Observasi dan wawancara terhadap pengobatan tradisonal patah tulang
dilakukan dengan melibatkan 10 orang batra patah tulang yang tersebar dalam 5
wilayah kabupaten kota di Provinsi Sumatera Selatan. Adapun kabupaten/kota yang
terpilih setelah dilakukan sampling adalah kota Palembang, kota Prabumulih,
Kabupaten Musi Banyuasin (MUBA), kabupaten Banyuasin, Kabupaten Ogan Ilir
(OI). Laporan hasil penelitian ini dilengkapi dengan video yang memperlihatkan
peragaan cara batra dalam melakukan pengobatan patah tulang.
Selain terhadap batra patah tulang, wawancara juga dilakukan terhadap pasien
yang ditemui oleh peneliti pada saat di lapangan. Wawancara terhadap pasien
dilakukan dengan harapan untuk mendapatkan informasi secara langsung hasil dan
manfaat yang dirasakan oleh pasien termasuk motivasi berobat ke batra dan persepsi
kesembuhan menurut pasien dan pengobat tradisional.
24
10.1. Profil Batra
a. Nama, Jenis Kelamin, Alamat dan Usia Batra
Menurut Kepmenkes nomer 1076 tahun 2003, yang dimaksud dengan
Pengobatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara, obat dan
pengobatnya yang mengacu kepada pengalaman, keterampilan turun temurun,
dan/atau pendidikan/pelatihan, dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku
dalam masyarakat. Sementara Pengobat tradisional (Batra) adalah orang yang
melakukan pengobatan Tradisional (alternatif). Karakteristik umur dan jenis kelamin
batra patah tulang yang ada di Provinsi Sumatera Selatan, ditampilkan pada tabel 1
berikut ini.
Tabel 1 Profil Karakteristik Umur Batra Patah Tulang di 5 Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Selatan
Karakteristik Frekuensi (f) Persentase (%)
Usia
> Kurang dari 50 tahun
> 50 – 60 tahun
> Lebih dari 60 tahun
1
5
4
10
35
55
Total 10 100
Sumber : Data Primer Penelitian, 2014
Berdasarkan tabel 1 diatas, diperoleh informasi bahwa dari 5 kabupaten/kota
yang disurvei di provinsi Sumatera Selatan yakni Ogan Ilir, Prabumulih, Palembang,
Musi Banyuasin dan Banyuasin, mayoritas batra berjenis kelamin laki-laki dan
berusia diatas 50 tahun, dan hanya 1 orang yang masih berusia 39 tahun. Hal ini
menggambarkan bahwa rata-rata batra patah tulang yang ada pada 5 kabupaten kota di
provinsi Sumatera Selatan sudah berumur lanjut.
25
b. Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan Utama, Sampingan Batra
Berdasarkan hasil wawancara, pendidikan terakhir batra bervariasi mulai dari
hanya tamat SD sampai Sarjana. Sedangkan berdasarkan pekerjaan, mayoritas
pekerjaan utama batra adalah sebagai dukun patah tulang. Profil batra patah tulang
terkait pendidikan dan pekerjaan dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini.
Tabel 2 Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan Batra di 5 Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Selatan
Karakteristik Frekuensi (f)(10)
Persentase (100%)
PendidikanTidak Tamat SDTamat SD Tamat SMPTamat SMATamat PTLainnya
141112
104010101020
Pekerjaan lain Tidak AdaPetaniWiraswastaPNS/Pensiunan
6202
6020020
Sumber : Data Primer Penelitian, 2014
Dari tabel 2 digambarkan tentang riwayat pendidikan terakhir batra bervariasi
mulai dari hanya tamat SD sampai Sarjana. Dari latar belakang pendidikan batra Hal ini
menimbulkan pertanyaan bagi peneliti. Sebagaimana diketahui bahwa pengobatan patah
tulang bukanlah hal yang sederhana, pengobatan patah tulang adalah hal yang sulit,
namun batra patah tulang yang ada di wilayah 5 kabupaten di Provinsi Sumatera
Selatan, mampu melakukannya. Ini menjadi hal yang menarik, karena dilapangan
ternyata pendidikan batra patah tulang tidak berhubungan secara langsung dengan
kemampuan pengobatan patah tulang yang dijalani oleh batra tersebut. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Mulyono (2001), dimana tingkat
26
pendidikan batra patah tulang di beberapa kota di Indonesia juga bervariasi, dari yang
tidak tamat sekolah sampai lulusan Perguruan tinggi.
Dari wawancara mendalam didapatkan informasi bahwa keahlian batra dalam
mengobati patah tulang dilakukan dengan bantuan supranatural. Hal ini juga diperkuat
oleh pernyataan batra yang menegaskan bahwa ilmu ini tidak bisa diajarkan atau
diwariskan kepada sembarang orang, ada syarat-syarat tertentu yang harus diikuti.
Sedangkan berdasarkan pekerjaan, mayoritas pekerjaan utama batra adalah
sebagai dukun patah tulang. Hal ini menunjukkan keseriusan mereka dalam melakukan
perannya sebagai pengobat. Mungkin hal ini juga disebabkan karena kehadiran mereka
dibutuhkan oleh masyarakat. Karena sesuatu hal, mereka tidak boleh menolak siapapun
yang datang meminta bantuan mereka. Bahkan sebagian besar dari batra patah tulang
yang diwawancara, mereka menerima masyarakat yang membutuhkan bantuan
pengobatan tanpa memandang waktu. Hanya ada 2 orang batra yang menetapkan jam
praktek. Hal ini disebabkan karena batra yang bersangkutan pernah sakit karena terlalu
lelah mengobati dan tanpa waktu istirahat yang cukup. Namun ada juga beberapa batra
yang mempunyai pekerjaan sampingan selain pekerjaan dukun patah tulang. Ada
diantara mereka yang masih bekerja sebagai petani kebun. Namun sebagian besar
diantara mereka hanya melakukan pekerjaan sebagai dukun patah tulang.
c. Cara Memperoleh Keahlian, Lama Menjadi Batra, dan Jampi-jampi
Cara memperoleh keahlian, lama melakukan praktek pengobatan, dan
penggunaan jampi-jampi oleh batra patah tulang yang ada di 5 wilayah kabupaten/kota
Provinsi Sumatera Selatan, ditampilkan pada tabel 3 berikut ini.
27
Tabel 3 Profil Cara Memperoleh Ilmu Pengobatan Patah Tulang di 5 Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Selatan
Distribusi (n = 10)
Karakteristik Frekuensi (f) Persentase (%)
Cara Memperoleh IlmuTurun TemurunBelajar MandiriBerguruPengalaman/Mimpi
6121
60102010
Lama Praktik< 5 tahun 5-10 tahun > 10 tahun
0010
00
100Penyertaan Jampi/DoaTidak AdaAda
010
0100
Sumber : Data Primer Penelitian, 2014
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas batra memperoleh keahlian dalam
mengobati kasus patah tulang adalah dari keturunan sebelumnya, baik dari nenek
maupun orangtua batra, hanya 20% yang memperoleh keahlian dari berguru, dan 10%
lagi autodidak yakni IS batra di Kota Palembang, beliau adalah pensiunan TNI.
Awalnya IS biasa diminta bantu untuk memijat oleh orang-orang yang ada di sekitar
tempat tinggalnya dan mereka pun merasa cocok/puas dengan hasil pengobatan IS.
Berdasarkan lamanya menjadi batra, batra yang terlibat dalam penelitian ini rata-rata
sudah 20-58 tahun menjalankan profesinya sebagai batra. Dalam melakukan
pengobatan, rata-rata batra menggunakan doa, namun ada juga yang menggunakan
jampi-jampi dalam memberikan pengobatan kepada pasiennya.
Batra R di kota Palembang memperoleh ilmu ini melalui sakit yang dialaminya
saat ia masih berumur 13 tahun. Memperoleh ilmu ini dari ayahnya. Setelah ia sembuh
dari sakit, ia sering diajak oleh ayahnya untuk melakukan pengobatan bersama. Dari
ayahnya ia banyak belajar, sampai ia benar benar mandiri setelah ayahnya meninggal.
28
Sementara batra di kota Prabumulih menyatakan ilmunya ini didapat dari
neneknya melalui mimpi. Dalam mimpi beliau melihat ada tulang tulang yang
menyusun tubuh manusia, ada gambar aliran darah dan urat-urat. Dalam mimpi itu
beliau diberi pesan bahwa bila ada kasus patah tulang yang datang meminta
bantuannya, maka beliau harus mengobatinya dengan membaca ayat-ayat tertentu.
Dalam mimpi itu beliau disuruh menyambungkan dahan pohon yang patah. Dan setelah
seminggu setelah mimpi datanglah orang yang mengalami patah tulang, maka beliaupun
mengobatinya. Tiga hari kemudian datang lagi pasien yang lain. Sehingga mulai
tersebar dari mulut ke mulut.
Ada dukun patah tulang di kabupaten Musi Banyuasin yang mengalami hal aneh
saat memperoleh ilmu ini. Batra yang bersangkutan mengalami proses hilang yang
menurut keluarganya yang bersangkutan hilang selama 3 bulan, namun menurut
penuturannya, hanya hilang selama beberapa jam saja. Dan ditempat yang didatanginya,
ia melihat bahwa orang orang menggoreng ikan dan membalikkan ikan di
penggorengan menggunakan tangan. Hal ini adalah sesuatu yang sulit diterima akal,
namun itulah yang terjadi. Selama proses hilang ini yang bersangkutan diajarkan
bagaimana cara melakukan pengobatan. Seolah-olah ada yang memberitahu tentang
kondisi pasien yang datang menemuinya.
Tetapi bila pada saat yang datang bukanlah pasien yang membutuhkan
bantuannya, bapak ini tidak bisa menjelaskan cara bagaimana tehniknya melakukan
pengobatan. Dan dalam melakukan pengobatannya, ada ketentuan yang harus dipenuhi,
batra patah tulang ini tidak boleh menawarkan bantuannya kepada orang tidak meminta
bantuannya. Dan jeritan orang yang sakit ini justru menjadi faktor yang membantu
kesembuhan pasien.
29
Dalam melakukan pengobatan, rata-rata batra menggunakan doa, namun ada juga
yang menggunakan jampi-jampi dalam memberikan pengobatan kepada pasiennya.
Doa-doa yang digunakan semuanya bersumber dari ayat-ayat Al-Quran, seperti surat
Al-Fatihah, Ayat Kursi, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Naas, dan surat-surat lainnya.
Memberikan doa-doa ke pasien menurut batra berfungsi untuk menetralkan titik-titik
saraf yang sakit dan mengurangi rasa sakit agar proses pengobatan berjalan cepat. Pada
saat mengurut pasien, kedua tangan dukun spontan melakukannya pada urat-urat tubuh
orang yang diobati. Tujuannya untuk melancarkan peredaran darah sekaligus
melonggarkan urat-urat pasien yang kaku atau tegang. Selain itu, komunikasi dengan
dukun juga terkesan santai, informal, dan bersifat kekeluargaan, dan hal inilah yang
disenangi oleh sebagian orang. Saat mengobati pasien, yang terlihat adalah suasana
kekeluargaan. Terlebih, semua keluarga pasien boleh mendampingi atau berada di
dekat pasien, sehingga pasien merasa nyaman.
Sedangkan berdasarkan pekerjaan, mayoritas pekerjaan utama batra adalah
sebagai dukun patah tulang. Hal ini menunjukkan keseriusan mereka dalam melakukan
perannya sebagai pengobat. Mungkin hal ini juga disebabkan karena kehadiran mereka
dibutuhkan oleh masyarakat. Karena sesuatu hal, mereka tidak boleh menolak siapapun
yang datang meminta bantuan mereka. Bahkan sebagian besar dari batra patah tulang
yang diwawancara, mereka menerima masyarakat yang membutuhkan bantuan
pengobatan tanpa memandang waktu. Hanya ada 2 orang batra yang menetapkan jam
praktek. Hal ini disebabkan karena batra yang bersangkutan pernah sakit karena terlalu
lelah mengobati dan tanpa waktu istirahat yang cukup. Namun ada juga beberapa batra
yang mempunyai pekerjaan sampingan selain pekerjaan dukun patah tulang. Ada
diantara mereka yang masih bekerja sebagai petani kebun. Namun sebagian besar
diantara mereka hanya melakukan pekerjaan sebagai dukun patah tulang.
30
d. Imbalan dan Jumlah Pasien Patah Sebulan
Informasi mengenai imbalan dan jumlah pasien yang dilayani oleh batra patah
tulang di 5 kabupaten/kota Provinsi Sumatera Selatan, ditampilkan pada tabel 4 berikut
ini.
Tabel 4 Imbalan dan Jumlah Pasien Batra Patah Tulang di 5 Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Selatan
Distribusi (n = 20)
Karakteristik Frekuensi (f) Persentase (%)
Tarif Layanan Patah TulangTidak Ada Tarif KhususAda Tarif Khusus
100
1000
Jumlah Pasien dalam Sebulan< 10 pasien 10-30 pasien > 30 pasien
0100
01000
Sumber : Data Primer Penelitian, 2014
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara selama penelitian,
semua batra yang menjadi responden dalam penelitian ini tidak menentukan tarif dalam
memberikan pengobatan kepada pasien, berapapun yang diberikan pasien mereka
terima atas dasar sukarela. Jumlah pasien yang biasa datang untuk berobat dengan kasus
patah tulang sangat bervariasi, rata-rata 1-10 orang.
Secara umum batra patah tulang menyatakan imbalan yang diterima bersifat
sukarela, bahkan ada batra di kabupaten Ogan Ilir yang menyatakan bahwa beliau
pernah dibayar dengan amplop kosong dan pernah juga dengan amplop yang berisi
uang seribu rupiah. Ini merupakan hal yang aneh, namun mungkin saja ini merupakan
ujian dari yang memberikan ilmu ini. Dan bila suatu waktu beliau menerima imbalan
dalam jumlah besar, maka sebagian imbalan itu beliau sedekahkan ke mesjid yang ada
didekat rumah batra.
31
Sementara dukun patah tulang (AD) di Kabupaten Banyuasin, menyatakan,
imbalan tetap harus diberikan, kalaupun benar-benar tidak ada uang, maka si pasien
diharuskan membawa 3 butir merica, dua merica harus diberikan untuk batra dan satu
butir harus dimakan oleh pasien. Karena bila hal ini tidak dilakukan maka akibatnya
akan ditanggung oleh batra yang bersangkutan, berupa patah tulang yang dialaminya
sendiri ataupun anggota keluarganya. Inilah resiko yang harus ditanggung oleh batra
dukun patah tulang bila mereka tidak diberi imbalan oleh orang yang ditolongnya.
Demikian juga dengan dukun patah tulang (AR) di kabupaten Banyuasin,
walaupun tidak ada tarif resmi untuk pengobatan patah tulang, namun beliau
memberikan obat herbal (ramuan Cina) yang harus dikonsumsi pasien untuk
mempercepat penyembuhan. Dan obat ini harus ditebus oleh pasien dengan harga lima
ratus ribu perbotol isi 30 kapsul. Dan diakhir masa perawatan, pasien diminta untuk
membawa ayam hitam dan segala pernak perniknya sebagai tanda bahwa perawatannya
telah selesai dan pasien dinyatakan sembuh. Dan persyaratan inipun bisa digantikan
dengan sejumlah uang.
Sementara batra di Musi Banyuasin menyatakan kalau untuk kasus patah tulang
terbuka, pasien harus membayar “DAM’ sebesar 1- 2 juta rupiah. Namun untuk kasus
patah tulang tertutup mereka tidak menentukan tarif khusus. Namun ada juga batra yang
memanfaatkan kesempatan ini dengan menyediakan alat atau bahan yang diperlukan
untuk pengobatan patah tulang seperti verban elastis, atau ramuan obat yang akan
diberikan, dan untuk ini pasien harus membayar dengan harga tertentu.
Batra patah tulang (IS) di kota Palembang, karena sudah memiliki ruang khusus
untuk melakukan praktek pengobatan ini, walaupun menyatakan sukarela, namun pada
kenyataannya tidaklah selamanya sukarela, tetap ada biaya yang harus dikeluarkan oleh
32
pasien, berkisar sekitar lima ratusan ribu, diluar bahan atau alat lain yang dibutuhkan
untuk pengobatan patah tulang.
Demikian juga dengan batra (MR) kota Palembang, juga menegaskan bahwa
imbalan itu merupakan suatu keharusan, meskipun pasien benar-benar tidak mampu,
imbalan bisa diberikan dalam bentuk 1 batang rokok.
Sementara Batra patah tulang yang di kota Prabumulih menyatakan, bahwa
mereka tidak boleh mengeluh terhadap bayaran yang mereka terima, karena bila hal ini
terjadi, maka malamnya batra yang bersangkutan akan mengalami sakit seluruh
badannya, seakan-akan dipukul oleh orang.
e. Pembinaan, buku register dan STPT
Seperti aturan yang tertulis pada Kepmenkes nomor 1076 tahun 2003, STPT
adalah bukti tertulis yang diberikan kepada pengobat tradisonal yang telah
melaksanakan pendaftaran. Semua pengobat tradisional yang menjalankan pekerjaan
pengobatan tradidional wajib mendaftarkan diri kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat untuk memperoleh STPT. Informasi mengenai persyaratan
administrasi batra patah tulang di 5 kabupaten/kota di provinsi Sumatera Selatan
disampaikan dalam tabel 5.
Tabel 5. Persyaratan Administrasi Batra di 5 Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera
Selatan
Distribusi (n = 10)Karakteristik Frekuensi (f) Persentase (%)
PembinaanTidak AdaAda (Non formal)
82
8020
Surat Tanda Pengobat TradisionalTidak AdaAda
100
1000
Buku RegisterTidak AdaAda
100
1000
33
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi di lapangan, dari kesepuluh batra yang
diwawancarai 100% tidak memiliki STPT dan pencetatan yang baik seperti buku
register. Buku register (pencatatan pasien) sangat diperlukan sebagai informasi mutu
pelayanan pengobatan tradisional yang diberikan oleh batra patah tulang.
Belajar non-formal yang dilakukan oleh sebagian batra patah tulang dimaksudkan
adalah belajar dengan cara bertanya kepada beberapa teman mereka yang memahami
masalah kesehatan. Karena menurut keterangan yang disampaikan oleh batra, mereka
juga pernah dipanggil oleh keluarga pasien untuk mengobati walaupun pasien tersebut
dirawat di rumah sakit.
Menurut Kepmenkes nomor 1076 tahun 2003, STPT adalah bukti tertulis yang
diberikan kepada pengobat tradisonal yang telah melaksanakan pendaftaran. Semua
pengobat tradisional yang menjalankan pekerjaan pengobatan tradidional wajib
mendaftarkan diri kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat untuk
memperoleh STPT. Dan Pengobat tradisional dengan cara supranatural harus mendapat
rekomendasi terlebih dahulu dari Kejaksaan Kabupaten/Kota setempat.
Untuk itu sangatlah dibutuhkan pembinaan terhadap batra patah tulang dari pihak
Dinas Kesehatan Kabupaten Kota dan jajarannya, sehingga pengobatan yang diberikan
oleh batra tidak membahayakan jiwa dan keselamatan masyarakat pengguna jasa
mereka.
f. Ruang Praktek yang Memenuhi Ketentuan Berlaku
Para pengobat patah tulang yang ada pada 5 kabupaten kota di Provinsi Sumatera
Selatan rata-rata berpraktek secara sederhana, hanya menggunakan ruang tamu. Mereka
pada umumnya tidak memiliki ruangan khusus sehingga privacy pasien kurang terjaga.
Namun ada juga diantara mereka yang sudah menyiapkan ruang khusus untuk 34
pengobatan walau sederhana. Selain mengobati dirumah, para batra juga siap bila
dipanggil ke rumah pasien. Hasil observasi terhadap tempat praktek batra ditampilkan
secara lengkap dalam tabel 6 berikut ini.
Tabel 6. Kondisi Ruang Praktek Batra Patah Tulang di Provinsi Sumatera Selatan.
Distribusi (n = 10)
Karakteristik Frekuensi (f) Persentase (%)
Ruang PraktekTidak AdaAda
82
8020
KerbersihanTidak BersihBersih
010
0100
Sumber : Data Primer Penelitian, 2014
Walaupun mereka tidak memiliki ruang khusus untuk melakukan praktek
pengobatan, namun secara umum ruangan yang digunakan terlihat bersih dan udara
dapat masuk dengan bebas karena memiliki ventilasi yang cukup. Namun tidak terlihat
tempat sampah yang memenuhi ketentuan kesehatan, dimana seharusnya ada tempat
sampah yang tertutup dan perlengkapan sarana prasarana yang digunakan untuk
pengobatan seharusnya juga disimpan secara rapi. Fakta dilapangan, sarana dan
prasarana yang dipergunakan untuk pengobatan tidak tersimpan rapi dalam lemari
tertutup, hanya diletakkan begitu saja. Sebagaimana ditetapkan dalam peraturan
kesehatan, seharusnya praktek pengobatan dilakukan dalam ruang khusu yang bersih
dan memperhatikan tata letak tempat sampah dan lemari perlengkapan, sehingga
higinitasnya terjamin. Untuk itu dibutuhkan pembinaan lebih lanjut dari instansi terkait.
35
Menurut Kepmenkes nomor 1076 tahun 2007, dalam melakukan praktek
pengobatan tradisional berkewajiban menyediakan:
ruang kerja dengan ukuran minimal 2x 2,5 m2,
mempunyai ruang tunggu,
memasang nama pengobat tradisional dengan mencantumkan surat terdaftar
(STPT),
kamar kecil yang terpisah dari ruang pengobatan
Penerangan yang baik sehingga dapat membedakan warna dengan jelas
Sarana dan prasarana yang memenuhi persyaratan hygiene dan sanitasi.
Ramuan/obat tradisional yang memenuhi persyaratan
Pencatatan sesuai kebutuhan.
Dengan demikian, pembinaan terhadap pengobat tradisional patah tulang
sangatlah dibutuhkan agar mutu pelayanan pengobatan tradisional Indonesia, khususnya
pengobatan tradisonal patah tulang ini dapat memberinkan rasa aman bagi masyarakat,
sesuai dengan amanah yang dituangkan dalam Kepmenkes nomor 1076 tahu 2003.
36
g. Pemahaman Batra terkait Konsep Sehat dan Sakit
Tabel 7. Pengetahuan Batra di 5 Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Selatan
Distribusi (n = 20)
Karakteristik Frekuensi (f) Persentase (%)
Pengetahuan Batra Belum MemahamiTidak Memahami
91
9010
Sumber : Data Primer Penelitian, 2014
Berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi bahwa, mayoritas batra
memahami konsep sakit sebagai suatu masalah dengan tubuh yang membuat tidak
bisa beraktivitas seperti biasanya. Dan konsep sehat, sebagai upaya untuk melakukan
aktivitas kerja dengan baik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kesembuhan
dari patah tulang (sehat) dilihat dari kembalinya fungsi tulang yang cidera dan
berkurangnya rasa sakit. Sehingga faktor estetika dan adanya cacat yang mungkin
timbul belum menjadi pertimbangan.
Sedangkan konsep cara kerja urut hanya 1 batra yang memahaminya dengan
baik, dan lainnya belum memahami dengan baik dengan baik, posisi saat melakukan
manipulasi reposisi tidak sesuai posisi anatomi, dan fiksasi hanya dilakukan sekitar
area yang patah, tidak menfiksasi dua sendi yang terlibat. Hal ini terlihat jelas pada
pasien yang ditemui peneliti pada saat penelitian. Kesembuhan yang dialami dalam
hal ini adalah penyambungan tulang tidak terjadi secara sempurna, masih ada bagian
yang menonjol tepat pada sambungan patahan tulang. Masyarakat pengguna jasa
dukun patah tulang ini merasa, bila bagian tubuhnya yang sakit telah dapat
dipergunakan untuk melakukan aktivitas, maka menurut mereka, itu sudah sehat,
mereka tidak mempertanyakan sisi estetika penyembuhan patah tulang.
37
10. 2. PROSES PENGOBATAN
a. Cara mendiagnosa
Tabel 8. Cara Penegakan diagnosa oleh Batra Patah Tulang di Provinsi Sumatera Selatan
No Karakteristik Pelayanan Jumlah (n) Prosentase (%)1 Cara Diagnosis Patah Tulang
Menggunakan foto RontgenSecara SupranaturalMemeriksa Kelainan Fisik
037
03070
1 Lama Pelayanan (jam):8 – 12> 12
28
2080
2 Menyertakan Jampi-jampi atau Do’a:YaTidak
10 0
1000
3 Jumlah Pasien Per Bulan:10 – 30> 30
100
1000
4 Sarana dan Prasarana PengobatanBatang Kayu/BambuBenda LogamKarton/Kardus
802
80020
5 Menyertakan ObatObat penghilang nyeri Obat mencegah infeksiObat mempercepat penyembuhan tulangObat lainyaTidak Menyertakan
31033
301003030
6 Pemahaman Reposisi Tulang:YaTidak
19
1090
7 Metode Perawatan:Dipindai dengan bambu/triplekDipindai dengan kartonTidak dipindai
730
100300
Sumber : Data Primer Penelitian, 2014
Dalam hal penegakan diagnosa, umumnya batra patah tulang tidak mengandalkan
foto rontgen. Sebagian mengandalkan bisikan dari kekuatan supranatural, dan
sebagian lagi menentukan berdasarkan pengalaman selama berpuluh tahun mengobati
38
patah tulang. Menurut Rasjad (2009), hal yang harus diperhatikan saat melakukan
pemeriksaan terhadap pasien dengan kasus patah tulang adalah sebagai berikut:
- Bandingkan dengan bagian yang sehat
- Perhatikan posisi anggota gerak
- Keadaan umum penderita secara keseluruhan
- Ekspresi wajah karena nyeri
- Lidah kering atau basah
- Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan
- Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan fraktur
tertutup atau terbuka
- Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa hari
- Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan
- Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organ lain
- Perhatikan kondisi mental penderita
- Keadaan vaskularisasi
Palpasi (Feel)
Hal-hal yang perlu diperhatikan
- Temperatur setempat yang meningkat
- Nyeri tekan, nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh
kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
- Krepitasi dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-
hati
- Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis,
arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang
terkena
39
- Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal daerah
trauma, temperatur kulit.
- Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya
perbedaan panjang tungkai.
Pergerakan (Move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakan secara aktif dan pasif
sendi proximal dan distal dari daerah yang mengalami trauma. Pada penderita dengan
fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak
boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada
jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.
Dalam hal ini, tidak seluruhnya diterapkan oleh batra, namun ada hal- hal yang
secara prinsip telah mereka lakukan seperti:
- Bandingkan dengan bagian yang sehat
- Perhatikan posisi anggota gerak
- Keadaan umum penderita secara keseluruhan
- Ekspresi wajah karena nyeri
- Apakah terdapat luka pada kulit
- Krepitasi dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-
hati
- Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya
perbedaan panjang tungkai (hal ini telah diterapkan oleh batra AZ yang ada di
kabupaten Ogan Ilir).
Batra patah tulang tidak mengandalkan penegakan diagnosa ataupun pengobatan
yang mereka lakukan pada foto rontgen, mereka mengandalkan keahliannya pada
pengalaman, dan bisikan yang mereka terima saat melakukan pengobatan. Namun bila
40
ada pasien yang ingin melakukan foto rontgen, batra tidak melarang, mereka meminta
pasien berkonsultasi dengan dokter di Rumah sakit. Bahkan ada juga batra di
kabupaten Ogan Ilir (SF) yang sudah bekerjasama dengan tenaga medis. Mereka
saling membantu, terutama untu kasus patah tulang terbuka. Batra akan meminta
pasien ke rumah sakit atau Puskesmas setempat untuk mendapatkan pertolongan
seperti menghentikan pendarahan, baru kemudian dilanjutkan dengan proses
penyambungan tulang yang patah.
Ada yang menarik pada batra di Kota Prabumulih saat ditanya bagaimana cara
mereka menentukan diagosa patah tulang atau bukan. Beliau menyebutkan, jarinya
meraba, kemudian berhenti sendiri seperti ada yang memerintahkan dan membisikkan
ini patah, atau tidak patah. Sementara batra (AZ) dari kabupaten Ogan Ilir,
menentukan adanya tulang yang patah dengan cara meraba dan kemudian merasakan
suara krek-krek didaerah tulang yang patah.
Berdasarkan Kepmenkes nomor 1076 tahun 2003 Pengobat tradisional harus
memberikan informasi yang jelas dan tepat kepada pasien tentang tindakan
pengobatan yang dilakukan. Praktek pengobatan tradisional hanya dapat dilakukan
apabila tidak membahayakan jiwa atau melanggar susila dan kaidah agama, ama
bermanfaat bagi kesehatan, dan tidak bertentangan dengan upaya peningkatan derajat
kesehatan masyarakat.
Dalam hal sarana prasarana yang digunakan oleh batra patah tulang di wilayah
5 kabupaten/kota Provinsi Sumatera Selatan, sangatlah bervariasi, terutama sarana
yang digunakan dalam pengobatan patah tulang. Masih ada batra yang menggunakan
bahan kardus atau karton untuk melakukan fiksasi, walaupun ada yang sudah
menggunakan bamboo dan triplek tipis yang sudah dipotong-potong.. Hal ini juga
merupakan perlu mendapat arahan dari para ahli dalam pembinaan kedepan. Karena
41
fiksasi yang dilakukan dengan menggunakan bahan karton atau kardus tidaklah
memberikan hasil pengobatan yang baik. Sementara sarana prasarana yang digunakan
untuk penegakan diagnosa tidaklah diwajibkan untuk melakukan pemeriksaan foto
rontgen, karena batra lebih mengandalkan pada kemampuan supranaturalnya dan
pengalaman praktek selama bertahun-tahun.
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke
posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan
patah tulang (imobilisasi). Untuk mengurangi nyeri tersebut, dapat dilakukan
imobilisasi, (tidak menggerakkan daerah fraktur) dan dapat diberikan obat penghilang
nyeri. Teknik imobilisasi dapat dilakukan dengan pembidaian atau gips. Bidai dan
gips tidak dapat pempertahankan posisi dalam waktu yang lama. Untuk itu diperlukan
teknik seperti pemasangan traksi kontinu, fiksasi eksteral, atau fiksasi internal (Helmi,
2011). Imobilisasi yang lama akan menyebabkan mengecilnya otot dan kakunya
sendi. Oleh karena itu diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin.
b. Ramuan yang digunakan dan Manfaatnya
Dalam proses pengobatan, selain tehnik pijat, batra juga memberikan ramuan
obat tertentu. Ramuan yang digunakan oleh batra dalam pelayanan pengobatan patah
tulang sangat bervariasi. Ada yang menggunakan ramuan obat tradisional untuk
diminum, ada juga yang digunakan untuk dibalur dibagian yang sakit. Kasus patah
tulang biasanya disertai dengan rasa sakit. Dalam melakukan pelayanan pengobatan
patah tulang, batra berusaha menenangkan pasien yang mengeluh kesakitan dengan
jampi/doa. Ada juga yang melakukan upaya dengan bantuan obat medis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas batra menggunakan ramuan
dalam mengobati pasien patah tulang. Ramuan yang digunakan bervariasi, namun ada
42
kesamaan dari para batra yakni menggunakan ramuan yg berusumber dari tumbuh-
tumbuhan. Sedangkan Obat yang diberikan oleh batra kepada pasien patah tulang antara
lain analgesik dan antibiotik, namun hanya 2 batra yang memberikan obat tambahan
kepada pasiennya. Alat/bahan bantu yang biasa digunakan batra juga bervariasi, namun
fungsinya sama yakni sebagai bidai, alat yang digunakan batra antara lain seperti tiplek,
bambu, dan kardus. Namun batra SF (OI) menggunakan air ludah dan kardus sebagai
bahan dan alat penunjang dalam mengobati pasien, hal ini yang perlu mendpat
perhatian. Alasan batra menggunakan air ludah adalah pada air ludah itulah letak
kesembuhan pengobatan yang dilakukannya. Namu air ludah ini hanya sedikit dan
ditiupkan saja ke tangan pengobat, tangan pengobat ini kemudian baru menyentuh
tempat yang sakit atau bagian yang patah. Batra ini juga menggunakan kemiri yang
telah dijampi dengan bacaan doa sebagai obat untuk dioleskan dibagian yang sakit.
Pada umumnya ramuan yang digunakan cukup rasional, karena menggunakan
tanaman obat yang memang secara empiris digunakan untuk mengobati patah tulang,
hanya ukurannya saja yang bervariasi dosisnya karena tidak menggunakan ukuran
timbangan, volume dosis diukur sesuai perasaan pengobatan tradisional saja, sementara
daya tahan tubuh seseorang juga sangat bervariasi, hal ini tentunya akan berdampak
dalam proses absorbsinya di kulit, karena ramuan tersebut digunakan dengan cara dioles
dan dikompres pada bagian yang cidera. Kemungkinan munculnya dampak alergi juga
perlu diperhatikan.
c. Jenis Patah Tulang yang diobati oleh Batra Patah Tulang di Provinsi Sumatera Selatan
Dalam melaksanakan pengobatan patah tulang umumnya batra tidak memilih jenis
kasus patah tulang terbuka atau tertutup. Namun dalam pelaksaannya di lapangan
43
untuk kasus patah tulang terbuka mereka meminta kepada pasien untuk melakukan
penjahitan luka terlebih dahulu di fasiltas kesehatan, mereka hanya menangani
reposisi tulang saja.
Patah tulang menurut ilmu kedokteran adalah suatu patahan kontinuitas
struktur tulang yang biasanya disebabkan oleh adanya kekerasan yang mendadak.
Patahan tadi mungkin lebih dari suatu retakan, suatu pengisutan atau perimpilan
bagian tipis dari luar tulang, biasanya patahan itu lengkap dan fragmennya bergeser
dari posisinya. Kalau kulit di atasnya robek atau berhubungan dengan bagian tulang
yang patah disebut patah tulang terbuka yang cenderung mengalami infeksi (Hasan,
2003). Patah tulang pada dasarnya ada dua jenis, yang pertama patah tulang tertutup
(tidak sampai mencuat keluar menembus jaringan kulit) dan kedua patah tulang
terbuka (tulang menembus) (Machfoedz, 2005).
Gambar 1. Patah tulang terbuka Gambar 2. Patah tulang tertutup
d. Tehnik Pengurutan/Pemijatan, Cara Reposisi dan Immobilisasi
Pada saat melakukan pengobatan patah tulang, ada batra yang mengawalinya
dengan tehnik pemijatan. Tehnik pemijatan dilakukan sebagai upaya relaksasi
sehingga pasien merasa tenang. Tehnik yang digunakan batra dalam pengobatan patah
tulang terangkum dalam tabel 9.
44
Tabel 9. Teknik Pijat dan Reposisi Patah Tulang Batra di 5 Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Selatan
Distribusi (n = 20)
Karakteristik Frekuensi (f) Persentase (%)
Tehnik Pemijatan/PengurutanStrokingEffleuragePetrissage (wringing)Tidak ada penjelasan
9991
90909010
Arah PemijatanProksimal-DistalDistal-Proksimal
91
9010
Pemahaman Reposisi TulangYaTidak
19
1090
Metode ImmobilisasiDipindai Tidak dipindai
100
1000
Bahan Untuk Fiksasi/ImmobilisasiBatang tanamanKayu/ bambu/triplekKarton
082
08020
Cara Menentukan KesembuhanMelihat gejala klinisMemeriksa keadaan pasien
91
9010
Lama Pengobatan sampai sembuhKurang dari 14 hariLebih dari 14 hari
0100
0100
Efek Samping Selama PengobatanBengkakInfeksiTidak ada
118
101080
Pantangan Selama PengobatanAda pantangan khususTidak ada pantangan khusus
82
8020
Sumber : Data Primer Penelitian, 2014
Berdasarkan hasil penelitian, teknik urutan patah tulang yang dilakukan batra
bervariasi menggunakan teknik kombinasi dan manipulasi. Sedangkan berdasarkan
arah gerakan adalah Proksimal-Distal, kekuatan tekanan rata-rata sedang dan durasi
45
rata-rata 30-60 menit. Adanya pemijatan/urut-urut yang dilakukan dalam
penanggulangan patah tulang disertai dengan olesan berupa minyak-minyak kelapa
yang mungkin bertujuan sebagai fisioterapi disertai minyak yang menghangatkan
bagian tubuh yang patah sehingga memperlancar aliran darah, akhirnya mempercepat
penyembuhan (Saleh, 1988).
Tehnik pijat yang diaplikasikan oleh batra patah tulang tidaklah dominan,
namun ada tehnik pijat yang mereka lakukan seperti stroking, yaitu sejenis
usapan/membelai dengan lembut, ringan, dan arahnya tidak menentu yg tujuannya
membuat prakondisi agar pasien/klien dlm keadaan relaks tidak tegang. Biasanya
dilakukan sambil meratakan bahan pelicin utk massage.
Sebagian besar batra patah tulang, menerapkan tehnik pijat effleurage yaitu
gosokan/urut yg lebih mantab, cukup keras dan dalam yang tujuannya utk
memperlancar aliran vena dan lymphe. Oleh karena itu arahnya tertentu dari distal ke
proximal atau dari insertio ke origo suatu otot (searah dg serabut otot). Namun ada
juga batra (AR) di kota Palembang yang menerapkan tehnik effleurage dengan arah
yang berbeda, yaitu dari proksimal ke arah distal, karena alasan keyakinan (filosofi)
bahwa penyakit itu harus dibuang, jadi arah pijatnya dari proksimal ke distal.
Pada saat melakukan reposisi, batra patah tulang menggunakan tehnik yang
disebut Wringing (Petrissage) yaitu mendorong dan menarik jaringan dengan dua
tangan dari samping sisi yang berlawanan sehingga terjadi saling dorong dan tarik
pada jaringan. Cara dan tehnik reposisi ini diperagakan oleh batra, karena pada saat
dilakukan observasi, sedang dalam kondisi tidak ada pasien dan didokumentasikan
dalam bentuk video. Namun ada batra yang pada saat dikunjungi, memang sedang
memberikan pelayanan pengobatan sehingga dapat disaksikan bagaimana cara batra
melakukan pengobatan.
46
Untuk tehnik patah tulang yang berhimpitan, tehnik yang dilakukan adalah
dengan cara menarik bagian tulang yang patah secara berlawanan arah baru kemudian
disambungkan. Pada saat penyambungan ini dibacakan doa-doa tertentu seperti ayat
kursi, surat al ikhlas, dan surat al fatihah. Khusus untuk patah tulang terbuka yang
banyak mengeluakan darah, surat yang dibaca adalah surat Al Lahab.
Setelah disambungkan baru kemudian dilakukan fiksasi. Dari semua batra
yang dikunjungi, hanya batra (AZ) yang di kabupaten Ogan Ilir yang melakukan
fiksasi dengan cara yang benar. Sementara batra yang lain melakukan fiksasi hanya
sekedarnya saja, dan setiap empat hari diperiksa ulang, apakah sambungan tulangnya
kembali bergeser atau sudah berada pada posisi yang benar.
Setelah melakukan pengobatan secara langsung, ada juga batra patah tulang
yang menerapkan pengobatan jarak jauh, hal ini dilakukan terutama saat malam hari
dengan cara melakukan pemijatan baik pada media kayu atau media anggota gerak
batra, disesuaikan dengan lokasi patah yang dialami pasien. Pada saat ini batra
melakukan pembacaan doa-doa tertentu untuk kesembuhan pasien. Namun tidak
semua batra menerapkan hal ini, hanya batra AZ (Ogan Ilir) dan SA (Prabumulih)
yang menerapkan cara pengobatan jarak jauh seperti ini.
Sebenarnya prinsip penanganan pada patah tulang adalah mengembalikan
posisi patahan ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi tersebut selama
masa penyembuhan patah tulang (imobilisasi). Cara imobilisasi dengan pin, sekrup,
plat, atau alat lain (osteosintesis) merupakan langkah yang ditempuh bila cara non
operatif seperti reposisi dengan gips, traksi (tarikan), dan manipulasi lainnya dirasa
kurang memuaskan atau tidak memungkinkan untuk dilakukan. Perlu diketahui,
bahwa tidak semua dislokasi (posisi tulang yang bergeser dari tempat seharusnya)
memerlukan reposisi untuk mencapai keadaan seperti sebelumnya karena tulang pun
47
mempunyai mekanisme sendiri untuk menyesuaikan bentuknya agar kembali seperti
bentuk semula (remodeling).
Fiksasi dapat berupa fiksasi luar, fiksasi dalam, penggantian dengan protesis
dan lain-lain. Contoh fiksasi luar adalah penggunaan pin baja yang ditusukkan pada
fragmen tulang untuk kemudian disatukan dengan batangan logam di luar kulit.
Sedangkan fiksasi interna yang biasa dipakai pen dalam sumsum tulang panjang atau
plat dengan sekrup dipermukaan tulang. Keuntungan cara ini adalah terjadi reposisi
sempurna, tidak perlu dipasang gips serta bisa bergerak lebih segera. Sedangkan
risiko dari cara ini adalah terjadinya infeksi tulang.
Reposisi tertutup dapat dilakukan dengan cara manipulasi, traksi kulit (skin
traction) atau traksi skeletal. Indikasi tindakan operasi bila :
Reposisi tertutup gagal
Terjadi fraktur avulse atau distraksi
Non-union
Hasil reposisi perlu dipertahankan dengan cara imobilisasi
Imobilisasi dapat dengan cara :
- Fiksasi luar : bidai, gips, external fixator.
- Fiksasi dalam : penggunaan implant.
Bidai ( Splint) dengan mengunci 2 buah sendi yaitu pada bagian proksimal dan distal
tulang yang fraktur, sehingga dapat diharapkan :
- Nyeri berkurang
- Pendarahan dapat dihentikan
- Kerusaan lebih lanjut dapat dicegah
- Memudahkan untuk transportasi
48
Syarat pemasangannya yaitu dengan mengunci 2 buah sendi, bagian proksimal
dan bagian distal fraktur kecuali apabila dapat dibuat dengan baik agar tidak ada
pergerakan yang berarti pada daerah fraktur. Rehabilitasi berarti upaya
mengembalikan kemampuan anggota yang cedera atau alat gerak yang sakit agar
dapat berfungsi kembali.
Dalam hal ini, pembinaan terhadap patah tulang selayaknya menjadi suatu hal
prioritas, mengingat apa yang telah dilakukan oleh batra masih banyak yang harus
diperbaiki demi memberikan perlindungan kepada masyarakat pengguna jasa
pengobatan tradisonal patah tulang.
Konsep sembuh menurut batra patah tulang agak berbeda dengan konsep
sembuh menurut ilmu kedokteran. Cara menentukan kesembuhan dan lama
pengobatan patah tulang oleh batra di 5 Kabupaten kota Provinsi Sumatera Selatan
dapat dilihat pada tabel 9 diatas.
Menurut persepsi batra, secara umum untuk menentukan kesembuhan patah
tulang dilihat dari kemampuan anggota tubuh yang sakit untuk beraktifitas kembali
atau untuk melakukan gerakan seperti biasa. Dimana si pasien sudah merasakan
adanya perbaikan. Batra tidak mempermasalahkan apakah keadaan tulang yang
diobati kembali normal sebagaimana mestinya atau tidak yang penting penderita dapat
kemballi menjalankan peran sosialnya secara normal.
Sementara konsep sembuh menurut ilmu kedokteran selain kondisi tulang
yang cedera dapat digerakan kembali tanpa rasa sakit juga memperhatikan faktor
estetika dari proses penyembuhan. Hal ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Mulyono (2001).
49
Gambar 3. Fase penyembuhan Fraktur (Rasjad, 2009)
Terkait lama pengobatan yang dilakukan oleh batra patah tulang pada 5
kabupaten kota di provinsi Sumatera Selatan sangatlah bervariasi sesuai dengan berat
ringannya kasus patah tulang yang dihadapi. Namun secara umum lama pengobatan
berkisar antara 1 sampai 4 bulan. Biasanya setelah kunjungan pertama pasien diminta
kembali lagi 4 hari setelahnya. Saat kunjungan kedua yang diperhatikan adalah
proses penyambungan tulang sudah sesuai atau masih harus di reposisi kembali. Hal
ini sangat dimungkinkan karena masih ada batra yang melakukan fiksasi
menggunakan karton. Apabila kondisi pasien tidak memungkin untuk dibawa
ketempat batra maka batra yang datang berkunjung. Waktu penyembuhanfraktur
berkisar antara 3 minggu sampai 4 bulan. Waktu penyembuhan pada anak secara
kasar ½ waktu penyembuhan daripada orang dewasa.
50
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata proses pengurutan yang dilakukan oleh
batra tidak menimbulkan efek samping seperti infeksi/ bengkak membiru/nyeri. Yang
pernah terjadi efek samping proses pengobatan batra adalah membiru. Jika terjadi
efek samping membiru batra AZ (OI) mengambil tindakan yakni dikompres air panas
kuku. Sedangkan batra MR (PLG) jika terjadi efek samping membiru mengambil
tindakan yakni dioles minyak, dan jika terjadi infeksi ditusuk jarum yang telah
dipanaskan ke kunyit atau disuruh ke dokter. Tindakan ini tentu saja tidak tepat.
Untuk itulah para batra yang melakukan pengobatan, seharusnya mendapat
pembinaan dari Dinas Kesehatan setempat. Sehingga apa yang dilakukan tidak akan
membahayakan ataupun merugikan masyarakat pengguna jasa mereka.
Dalam menjalani praktek pengobatan patah tulang sebagian besar batra
menyatakan bahwa ada persyaratan khusus atau pantangan yang tidak boleh dilakukan
agar hasil pengobatannya memberikan hasil yang baik (manjur) diantaranya ilmu
yang dimiliki tidak boleh dikomersilkan dengan cara promosi yang berlebihan dan
memasang tarif tertentu. Hal ini berbeda dengan batra IS (PLG) dan AD (MB),
51
Perkiraan Penyembuhan Fraktur pada Dewasa (Rasjad, 2009)
Falang/metacarpal/metatarsal/kosta : 3-6 minggu
Distal radius : 6 minggu
Diafisis ulna dan radius : 12 minggu
Humerus : 10-12 minggu
Klavikula : 6 minggu
Panggul : 10-12 minggu
Femur : 12-16 minggu
Kondilus femur/tibia : 8-10 minggu
Tibia/fibula : 12-16 minggu
Vertebrae : 12 minggu
mereka tidak menyebutkan adanya pantangan tertentu untuk menjaga kemanjuran
pengobatannya. Selain ada pantangan tersebut, seorang batra patah tulang harus bisa
menjaga kualitas ibadah seperti harus menjaga wudhu, harus mendoakan pasien, harus
melakukan tirakat, mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, tidak boleh menjanjikan
kesembuhan kepada pasien serta menjaga perasaannya agar tidak tergoda nafsu birahi
pada saat melakukan pengobata pada pasien wanita. Bahkan batra AR (BA)
kemanjuran pengobatannya sudah mulai berkurang sejak beliau menikah lagi untuk
yang kedua kalinya. Hal ini tidak jauh berbeda dari hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh Mulyono (2001).
e. Penggunaan Obat Medis
Ada beberapa batra yang melakukan pemberian obat medis dalam melaukan
praktek pengobatan patah tulang dengan maksud mengurangi rasa sakit dan mengatasi
infeksi serta membantu proses penyembuhan. Penggunaan obat tersebut antara lain
asam mefenamat, ponstan dan antibiotik. Namun dalam pelaksanaannya batra
biasanya meminta pasien untuk membeli obat tersebut diluar atau mendatangi petugas
kesehatan. Penggunaan obat medis oleh batra patah tulang ditampilkan pada tabel 9
diatas.
Berdasarkan Kepmenkes nomor 1076 tahun 2003, pengobat tradisional
diperbolehkan menggunakan obat tradisional yang diproduksi oleh industri obat
tradisional yang sudah terdaftar serta memiliki nomr pendaftaran, atau obat tradisional
racikan. Namun pengobat tradisional dilarang memberikan dan/atau menggunakan obat
modern (obat medis), juga tidak diperbolehkan menggunakan obat tradisional pabrikan
yang tidak terdaftar dan obat tradisional racikan yang bahan bakunya tidak memenuhi
persyaratan kesehatan.
52
f. Tindakan batra bila pasien yang ditangani mengalami pingsan
Bagaimana tindakan yang dilakukan batra apabila ada pasien yang mengalami
pingsan atau hilang kesadaran, tidak ditanyakan dalam kuesioner, karena dari
wawancara, batra menyatakan belum pernah ada pasien yang pingsan saat diobati oleh
batra.
g. Usaha Batra untuk menghilangkan rasa nyeri pada pasien patah tulang
Kasus patah tulang biasanya selalu menyebabkan rasa sakit yang dirasakan oleh
pasien. Dalam melakukan pelayanan pengobatan patah tulang, batra berusaha
menenangkan pasien yang mengeluh kesakitan dengan jampi/doa. Ada juga yang
melakukan upaya dengan bantuan obat medis dan ada yang memberikan ramuan
tradisional. Ramuan atau obat yang digunakan oleh batra untuk mengurangi rasa nyeri
telah dijelaskan pada tabel 9 di atas.
h. Kerjasama dengan medis
Dalam melakukan pengobatan patah tulang terutama untuk kasus patah tulang
terbuka, ada beberapa batra yang telah bekerjasama dengan petugas kesehatan,
baik dengan Puskesmas setempat maupun secara pribadi berhubungan langsung
dengan perawat atau dokter yang dikenal oleh batra.
Hal ini sudah sesuai dengan Kepmenkes nomor 1076 tahun 2003, dimana
apabila pengobat tradisisonal yang tidak mampu mengobati pasiennya atau pasiennya
dalam keadaan gawat darurat harus merujuk pasiennya ke sarana pelayanan kesehatan
terdekat.
53
11. Dimensi Pasien
1. Motivasi Pasien Berobat Ke Batra
Pada saat dilakukan wawncara dengan batra, tidak banyak pasien yang bisa
ditemui pada saat yang sama. Namun beberapa pasien yang ditemui saat
wawancara, semuanya menyebutkan alasan mereka berobat ke batra patah tulang
karena mereka takut dioperasi bila berobat kedokter, dan rumitnya masalah
administrasi yang harus dipenuhi. Sehingga mereka lebih mendengar keterangan
tetangga atau saudara yang memiliki pengalaman berobat dengan batra patah
tulang.
2. Penilaian Kesembuhan Menurut Pasien
Persepsi sembuh menurut pasien sangatlah sederhana, mereka menganggap
mereka telah sembuh apabila sudah bisa melakukan aktivitas, dan hanya
membandingkan dengan saat pertamakali mereka datang berobat ke batra.
Masalah estetika bagian tubuh yang terkena trauma tidak begitu penting. Yang
paling penting adalah anggota gerak yang mengalami trauma dapat melakukan
gerakan secara bebas, itu sudah cukup.
3. Penilaian Kualitas Pelayanan Batra Menurut Pasien
Penilaian kualitas pelayanan batra menurut pasien dan hasil pengamatan yang
dilakukan peneliti saat di lapangan dan dinilai berdasarkan lima dimensi
karakteristik yakni bukti fisik, kehandalan, ketanggapan, jaminan, dan empati. Pasien
diberikan beberapa pertanyaan yang merupakan indikator dari masing-masing dimesi
kualitas tersebut. Jawaban pasien terhadap 5 pertanyaan untuk masing-masing
indikator antara lain : Sangat baik :5,Baik :4, Cukup Baik :3, Kurang baik : 2,
Tidak baik : 1. Secara lebih rinci ditampilkan dalam bentuk tabel berikut ini.
54
LEMBAR DIMENSI KUALITAS PELAYANAN BATRA PATAH TULANG
Parameter OI PB PLG MB BATotal
AZ SF SA AB MR IS SY AD AM AR
Tangibility (Bukti Fisik)
Papan nama mencantumkan nama
pengobat tradisional dan nomor
STPT
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10
Ruang pengobatan tertata rapi dan
bersih
2 2 2 3 2 3 2 2 2 2 22
Penampilan pengobat bersih dan
rapi
3 2 3 2 3 3 3 3 3 1 26
Tempat pasien diobati telah
disiapkan dalam keadaan rapi,
bersih dan siap pakai.
1 1 1 2 1 2 1 1 1 2 13
Pencatatan pasien 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10
Total 8 7 8 9 8 10 8 8 8 7
Reliability (Handal)
Pasien dilayani secara cepat 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 40
Pasien dilayani tidak berbelit-belit 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 40
Pelayanan pengobatan tepat 3 2 2 2 2 2 2 3 2 2 22
Kesiapan pengobat melayani
pasien
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 30
Masa buka dan tutup tempat
pengobatan
3 3 3 2 3 2 3 3 3 3 28
Total 17 16 16 15 16 15 16 17 16 1655
Responsiveness (tanggap)
Pengobat selalu menanyakan
keluhan pasien
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 30
Pengobat memberikan kesempatan
bertanya kepada pasien
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 30
Pengobat memberi penjelasan
tentang penyakit
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 30
Pengobat bersikap sopan 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 30
Pengobat bersikap ramah 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 30
Total 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
Assurance (Jaminan)
Pengobat memiliki kemampuan
dalam menetapkan kasus
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20
Pengobat memberi jaminan akan
kesembuhan pasien
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 40
Keramahan, kesopanan dan
persahabatan dari pengobat
terhadap pasien.
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 30
Perilaku pengobat menimbulkan
rasa aman
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 30
Mutu ramuan atau alat yang
digunakan pengobat
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20
Total 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14
56
Empaty (Perhatian)Pengobat berusaha menenangkan
rasa cemas pasien terhadap
penyakit yang diderita
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 30
Pengobat memberikan dorongan
kepada pasien supaya cepat
sembuh
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 30
Pemberian informasi pengobat
mengenai penyakit dan perobatan
kepada pasien
3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 30
Pengobat memenuhi keinginan
pasien
3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 30
Kesesuaian pelayanan dengan
harapan pasien
3 2 2 2 2 2 2 3 2 2 22
Total 15 14 14 14 14 14 14 15 14 12
Keterangan:
Sangat baik : 5
Baik : 4
Cukup Baik : 3
Kurang baik : 2
Tidak baik : 1
57
Hasil observasi dan wawancara berdasarkan parameter dimensi kualitas pelayanan
menurut Parasuraman, Zeithmal dan Berry dalam Lupiyoadi (2001) adalah sebagai berikut:
1. Bukti fisik (Tangibles) yaitu kemampuan suatu unit pelayanan dalam menunjukkan
eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan
prasarana fisik dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan
yang diberikan oleh pemberi jasa. Yang meliputi fasilitas fisik (gedung, gudang, dan
sebagainya), perlengkapan dan peralatan yang dipergunakan (teknologi) serta
penampilan pegawainya. Berdasarkan hasil observasi diperoleh nilai bahwa IS batra
di Kota Palembang yang mempunyai nilai tertinggi, hal ini menunjukkan bahwa batra
IS memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan batra lainnya. Menurut masing-
masing indikator bukti fisik, penampilan pengobat yang bersih dan rapi yang
memiliki nilai paling tinggi. Sedangkan indikator adanya papan nama mencantumkan
nama pengobat tradisional dan nomor STPT, serta pencatatan pasien merupakan
indikator yang memiliki nilai paling rendah. Hal ini menunjukkan bahwa, kualitas
berdasarkan dimensi bukti fisik tersebut yang sangat perlu ditingkatkan.
2. Keandalan (Reliability) yaitu kemampuan suatu unit pelayanan untuk memberikan
pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus
sesuai dengan harapan pasien yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama
untuk semua pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang simpatik, dan dengan akurasi
yang tinggi. Berdasarkan hasil observasi diperoleh nilai bahwa AZ batra di Kota
Ogan Ilir dan AD batra di Musi Banyuasin yang mempunyai nilai tertinggi, hal ini
menunjukkan bahwa kedua batra tersebut memiliki kualitas yang lebih baik
dibandingkan batra lainnya. Menurut masing-masing indikator bukti fisik, Pasien
58
dilayani tidak berbelit-belit dan cepat yang memiliki nilai paling tinggi. Sedangkan
indikator pelayanan pengobatan tepat merupakan indikator yang memiliki nilai paling
rendah. Hal ini menunjukkan bahwa, kualitas berdasarkan dimensi keandalan tersebut
yang sangat perlu ditingkatkan.
3. Ketanggapan (Responsiveness) yaitu suatu kemauan untuk membantu dan
memberikan pelayanan yang cepat (responsif) dan tepat kepada pasien dengan
penyampaian informasi yang jelas. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara
semua batra di Provinsi Sumatera Selatan yang menjad responden penelitian memiliki
ketanggapan yang cukup baik dalam memberikan pelayanan kepada pasien patah
tulang.
4. Jaminan (Assurance) yaitu pengetahuan, komponen antara lain komunikasi
(communication), kredibilitas (credibility), keamanan (security), kompetensi
(competence) dan sopan santun (courtesy). Berdasarkan hasil observasi, menurut
masing-masing indikator jaminan, batra patah tulang tidak memberikan jaminan akan
kesembuhan kepada pasien, semua batra menyatakan kami hanya berusaha, masalah
hasil kita pasrahkan sama Yang Maha Kuasa. Hal ini merupakan indikator yang
memiliki nilai paling tinggi, karena dinilai sudah benar, batra tidak boleh memberikan
jaminan kesembuhan bagi pasien yang dirawatnya. Namun disis lain, mutu ramuan
atau alat yang digunakan pengobat merupakan indikator yang memiliki nilai paling
rendah. Hal ini menunjukkan bahwa, kualitas berdasarkan dimensi jaminan tersebut
yang perlu ditingkatkan. Hal ini dimungkinkan karena ramuan yang digunakan batra
59
pada umumnya belum memenuhi Cara Pembuatan Obat Tradisonal yang Baik.
Begitupun dengan alat yang digunakan untuk fiksasi masih sangat sederhana, tidak
cukup kuat untuk memfiksasi tulang yang patah.
5. Perhatian (emphaty) yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual
atau pribadi yang diberikan kepada para pasien dengan berupaya memahami
keinginan pasien. Dimana suatu unit pelayanan diharapkan memiliki pengertian dan
pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik,
serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman. Berdasarkan hasil observasi
diperoleh nilai bahwa AR batra di Banyuasin yang mempunyai nilai terendah, hal ini
menunjukkan bahwa batra AR memiliki kualitas yang kurang baik dibandingkan
batra lainnya. Menurut masing-masing indikator emphaty, kesesuaian pelayanan
dengan harapan pasien merupakan indikator yang memiliki nilai paling rendah. Hal
ini menunjukkan bahwa, kualitas berdasarkan dimensi emphaty tersebut yang sangat
perlu ditingkatkan.
60
11. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Profil batra patah tulang pada 5 kabupaten/kota Propinsi Sumatera Selatan, semua
berjenis kelamin laki-laki, berusia 39-98 tahun dan sudah melakukan praktek
pengobatan selama puluhan tahun, ilmu pengobatan patah tulang diperoleh secara
turun temurun, dan semuanya belum memiliki STPT (Surat Terdaftar Sebagai
Pengobat Tradisional).
2. Ditinjau dari segi ekonomi dan sosial, pengobatan tradisional patah tulang secara
umum dapat diterima karena tidak memberatkan masyarakat, namun dari segi
medik masih perlu mendapat pembinaan dari instansi terkait, karena masih ada hal-
hal yang tidak sesuai dengan ketentuan Permekes nomor 1076 tahun 2003.
3. Umumnya batra patah tulang di 5 kabupaten/kota Provinsi Sumatera Selatan
melakukan pengobatan dengan bantuan ilmu supranatural, dalam melakukan
reposisi dan fiksasi umumnya masih belum tepat, karena reposisi tidak dilakukan
sesuai dengan posisi anatomi dan fiksasi hanya dilakukan disekitar area tulang yang
patah, tidak memfiksasi dua sendi yang terlibat.
4. Tidak semua batra patah tulang pada 5 kabupaten/kota Provinsi Sumatera Selatan
menggunakan ramuan dalam pengobatannya, batra di Kota Prabumulih
menggunakan param yang terbuat dari tepung beras yang dicampur dengan kencur
dan cengkeh, di Kabupaten Ogan Ilir menggunakan kemiri yang sudah dijampi dan
kabupaten Banyuasin menggunakan minyak yang dibuat dari minyak kelapa hijau.
61
B. SARAN
1. Hasil Penelitian ini perlu ditindaklanjuti dengan upaya pembinaan berupa pelatihan
batra patah tulang dengan melibatkan Loka Kesehatan Tradisional Masyarakat,
Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten Kota, Puskesmas, dan
dokter ahli Ortopedi.
2. Penelitian ini perlu dilanjutkan dengan tambahan variabel lain seperti karakteristik
responden, pengetahun, sikap responden terhadap pelayanan batra dengan jumlah
sampel pasien yang lebih besar.
3. Perlu penelitiaan terpisah terhadap klien/pasien untuk mengevaluasi efektivitas
hasil pengobatan dalam hal kesembuhan total dengan/tanpa komplikasi, evaluasi
dan efisiensi dari sisi biaya perngobatan, serta survei sikap masyarakat terhadap
batra patah tulang karena masyarakat saat ini pada umumnya masih mengharapkan
keberadaannya walaupun perlu sekali pembenahan administratif seperti harus
terergistrasi dan terbina secara berkala.
62
12. Daftar Kepustakaan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, (2013), Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2010), Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Gaspersz, V., 2005, Total Quality Management, edisi perdana, Penerbit PT. Gramedia Utama, Jakarta.
Helmi ZN. 2011. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.
Lupiyoadi, Rambat. 2001. Manajemen Pemasaran Jasa. Salemba Empat. Jakarta.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2003. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1076/MENKES/SK/VII/2003 Tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional.
Mulyono N., Agus S.,J.M.Umboh, Razak T., 2001. Review Penelitian Pengobatan Tradisional Patah Tulang. Media Litbang Kesehatan Volume XI Nomor 4 Tahun 2001.
Rasjad, Chairuddin. 2009. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi Cetakan keenam. Jakarta : Penerbit PT. Yarsif Watampone.
Ratna, W. (2010). Sosiologi dan Antropologi Kesehatan Dalam Perspektif Ilmu Keperawatan. (cetakan Pertama). Yogyakarta: Pustaka Rihama.
Saleh, Ansari, M. 1998. Bentuk-bentuk Pengobatan tradisional di Sulawesi Sealatan. Lokakarya Tentang Praktek Pengobatan Tradisional , Ciawi.
Zeithaml, valarie, A and Bitner M.J. Seervice Quality, Profitability, and the economic worth customer, Journal of Academy of Marketing Sciences. Vol 28 (1).
Zulkifli, 2004, Pengobatan Tradisional Sebagai Pengobatan Alternatif Harus Dilestarikan, USU digital library, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
.
63
13. Susunan Tim Peneliti
No. NamaKedudukan dalam tim
Keahlian Tugas
1. Prof.Dr.dr.M.T.Kamaluddin, M.Sc.SpFK
Koordinator Kedokteran Mengkoordinir dan Bertanggungjawab memantau kegiatan mulai perencanaan, pelaksanaan di lapangan sampai pelaporan.
2. Ir. Ernila rizar, MM. Ketua Tim Peneliti
Litbang Bertanggungjawab melaksanakan kegiatan mulai perencanaan, pelaksanaan di lapangan sampai pelaporan.
3. dr.Yuliarni, M.Kes Anggota Tim Peneliti
Kedokteran Membantu pembuatan proposal, penyusunan kuisioner, melakukan survey, analisis data dan pelaporan.
4. Iche Andriyani Liberty, SKM, M.Kes
Anggota Tim Peneliti
Kesehatan Masyarakat
Membantu pembuatan proposal, penyusunan kuisioner, melakukan survey, analisis data dan pelaporan.
5. Yeni Agustin, S.Si.M.Kes Anggota Tim Peneliti
Farmakologi Membantu pembuatan proposal, penyusunan kuisioner, melakukan survey, analisis data dan pelaporan.
64
14. Biodata Tim Peneliti:
1. Nama : Ir. Ernila Rizar, MM
NIP : 1962 0906 199103 2001
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 6 September 1962
Kualifikasi : PNS, Kepala Bidang Pengkajian Pemerintahan dan
Sosial Budaya Balitbangnovda Sumatera Selatan
Minat : - Penelitian dan Pengembangan obat tradisional
- Penelitian dan Pengembangan pengobatan
alternatif-komplementer
Penelitian : Nara Sumber pada Kajian Mutu Pelayanan
Kesehatan dan Pengembangan Standar
Operasional Prosedur (SOP) Program Kesehatan
Gratis
3. Nama : dr. Yuliarni, M.Kes
NIP : 197004022002122002
Tempat/Tanggal Lahir : Bireuen, 02 April 1970
Kualifikasi : PNS, Pimpinan Puskesmas Kampus Palembang
Minat : - Penelitian dan Pengembangan obat tradisional
- Penelitian dan Pengembangan pengobatan alternatif-
komplementer
Penelitian : Efek Antiinflamasi Fraksi Daun Burung
(Rhinacanthus nasutus) pada Tikus putih Jantan yang
diinduksi dengan Karagenin
Observasi Bekam Kering pada pasien hipertensi
dibandingkan dengan Bekam Basah
65
4. Nama : Yeni Agustin, S.Si, M.Kes
Tempat/Tanggal Lahir : Palembang, 03 Agustus 1982
Kualifikasi : Staf Bagian Farmakologi UNSRI
Minat : Penelitian dan Pengembangan Obat Tradisional
Penelitian : Efek Hipoglikemik Ekstrak Daun Gaharu pada Tikus
Putih Jantan yang Diinduksi dengan Aloksan
5. Nama : Iche Andriyani Liberty, SKM, M.Kes
Tempat/Tanggal Lahir : Tugumulyo, 07 Februari 1990
Kualifikasi : Dosen Luar Biasa FKM Universitas Sriwijaya
Minat : Farmakoepidemiologi
Penelitian : Potensi Efek Hipoglikemik Ekstrak Biji Duku pada
Tikus Putih Diabetes Mellitus.
66
15. Jadwal Penelitian
KegiatanTahun 2014
Mei Juni Juli Agt Sep Okt Nov Des
Rapat Koordinasi SP3T
Penyusunan proposal
Pembahasan oleh Reviewer
Persiapan penelitian
Pengumpulan data
Analisa data
Penyusunan laporan
67
16. Rincian Rencana Anggaran
ANGGARAN PENELITIAN
YANKESTRAD PATAH TULANG DI SUMATERA SELATAN
No. Uraian Kegiatan VolumeHarga
satuan (Rp.)Jumlah (Rp.)
1. Belanja BahanA. Rapat Persiapan
- ATK- Foto copy- Konsumsi (15 org x 2)
B. Pelaksanaan Penapisan- Pembelian BHP Utk Penapisan
1 pt1 pt30 pt
500.000382.00050.000
14.982.0002.382.000
500.000382.000
1.500.000
12.600.00012.600.000
2. Honor Output Kegiatan - Honor peneliti (non fungsional
peneliti) (1 org x 3 jam x 90)- Honor pembantu peneliti (2 OR x 3
jam x 90 hr)- Honor koordinator peneliti (1 OR x 6
bln)- Honor sekretarian penliti (1 OR x 6
bln)- Honor pengolah data (1 OR x 1 pt)
270 OJ
540 OJ
6 OB
6 OB
1 pt
29.000
20.000
420.000
300.000
1.540.000
24.490.0007.830.000
10.800.000
2.520.000
1.800.000
1.540.0003. Belanja Sewa
- Sewa alat atau ruang pelaksanaan penapisan 1 pt 15.000.000
15.000.000
15.000.0004. Belanja Jasa lainnya
- Belanja Komisi Etik Kedokteran 1 pt 3.500.0003.500.0003.500.000
5. Belanja Perjalanan Biasa
Kab. Ogan Ilir
- Transport (2 OR x 1 TR x 1 KL)
- Uang Harian (2 OR x 2 HR x 1 KL)
Kab. Musi Banyuasin
- Transport (2 OR x 1 TR x 1 KL)
- Uang Harian (2 OR x 3 HR x 1 KL)
- Penginapan ( 2 OR x 2 HR x 1 KL)
2 OT
4 OH
2 OT
6 OH
4 OH
100.000
360.000
150.000
360.000
250.000
12.840.000
1.640.000
200.000
1.440.000
3.460.000
300.000
2.160.000
1.000.000
68
Kota Prabumulih
- Transport (2 OR x 1 TR x 1 KL)
- Uang Harian (2 OR x 3 HR x 1 KL)
- Penginapan ( 2 OR x 2 HR x 1 KL)
Kab. Banyuasin
- Transport (2 OR x 1 TR x 1 KL)
- Uang Harian (2 OR x 3 HR x 1 KL)
- Penginapan ( 2 OR x 2 HR x 1 KL)
Kab. Palembang
- Transport (2 OR x 2 HR x 1 KL)
2 OT
6 OH
4 OH
2 OT
6 OH
4 OH
4 OT
250.000
360.000
250.000
240.000
360.000
250.000
110.000
3.660.000
500.000
2.160.000
1.000.000
3.640.000
480.000
2.160.000
1.000.000
440.000
440.000
6. Belanja Perjalanan Dinas Dalam Kota
- Transport responden ( 4 OR x 5 KAB/KOTA)
20 OT 110.000
2.200.000
2.200.000
7. Konsultasi Ke Pusat
Belanja Perjalanan Biasa
- Transport ( 1 OR x 1 TR x 2 KL)
- Uang Harian ( 1 OR x 3 HR x 2 KL)
- Penginapan ( 1 OR x 2 HR x 2 KL)
2 OT
6 OH
4 OH
2.268.000
530.000
650.000
10.316.000
10.316.000
4.536.000
3.180.000
2.600.000
8. TOTAL 83.328.000
69
LAMPIRAN KUESIONER
KUESIONER PENELITIAN YANKESTRAD (KAJIAN PENAPISAN PENGOBATAN TRADISIONAL)PATAH TULANG DI PROPINSI SUMATERA SELATAN
1. Karakteristik Responden Pengobat (battra):
Nama :
Umur :
Jenis kelamin :
Pendidikan terakhir :
Pekerjaan :
Alamat :
2. Profil Pengobat (battra)
No. Pertanyaan Deskripsi Jawaban
1 Sejak kapan melaksanakan
praktek sebagai batra patah
tulang?
2 Keahlian mengobati patah
tulang didapat dari siapa?
3 Apakah anda senang
melakukan pekerjaan ini?
Atau ada alasan lain...
4 Dalam sehari, berapa pasien
yang Saudara layani?
5 Apakah praktik pengobatan
ini telah mendapatkan izin
dari Pemerintah ?
6 Apakah anda pernah
mengikuti pelatihan terkait
70
pengobatan tradisional ? Jika
Ya, Siapa
penyelenggaranya ? Berapa
lama ?
7 Apakah pekerjaan mengobati
ini merupakan pekerjaan
utama atau sambilan?
8 Apakah ada pekerjaan lain
selain urut patah tulang ?
3. Proses dan Pola Pengobatan
No. Pertanyaan Deskripsi Jawaban
9 Bagaimana cara Saudara
menentukan kasus patah tulang
yang diderita oleh orang yang
berobat kepada saudara?
10 Kriteria atau jenis patah tulang
seperti apa yang dapat saudara
obati?
11 Adakah pasien/klien patah tulang
yang ditolak? Apakah jenis
kelamin dan umur pasien
dibedakan cara pengobatnnya?
12 Modalitas apa saja yang dipakai
dalam pengobatan ?
Menggunakan alat?
Menggunakan jampi?
Menggunakan ramuan?
13 Kalau pakai ramuan terdiri dari
apa saja ?
71
14 Kalau menggunakan doa atau
jampi, doanya bagaimana
15 Imbalan yang Bapak/ibu terima
apakah telah ditentukan? /berapa
jumlahnya /apakah ditentukan
sendiri oleh pasien/klien ?
16 Kalau tidak ditentukan, pernakah
imbalan berbentuk barang?
17 Apakah pernah ada pasien yang
mengalami efek samping misalnya
infeksi ?
Kalau ada, apa tindakan bapak/Ibu
battra?
18 Apakah pernah pasien mengalami
biru-2 di tempat luka ?
Kalau ada, apa tindakan bapak/Ibu
battra?
19 Apakah untuk mengatasi rasa
nyeri akibat patah tulang
dikombinasi dengan obat
kesehatan yang lain?
72
4. Lembar Wawancara Mendalam & Observasi Teknik Urutan Patah Tulang
No. Komponen Teknik* Deskripsi Hasil
1. Tehnik Pengurutan yang
digunakan
1. Stroking2. Effleurage3. Petrissage4. Tapotemen5. Vibrasi6. Mobilisasi
2. Arah gerakan 1. Distal – Proksimal
2. Proksimal - distal
3. Kekuatan tekanan a. Ringan
b. Sedang
c. Kuat
4. Irama Gerakan
5. Durasi dan frekuensi
6. Posisi
6. Konsentrasi
7. Manipulasi
*Beberapa proses pijat urut akan direkam dalam bentuk film berdurasi singkat.
73
Pengetahuan Responden (battra)
No. Pertanyaan Deskripsi Jawaban
1 Jelaskan apa yang dimaksud
dengan sehat
2 Jelaskan apa yang dimaksud
dengan sakit
3 pengetahuan apa yang harus
dimiliki seorang pengobat
patah tulang ?
4 Bagaimana penanganan kasus
patah tulang yang baik
menurut saudara ?
74
KUESIONER TERHADAP PASIEN/PENDAMPING PADA PENELITIAN YANKESTRADKOM PATAH TULANG DI PROPINSI SUMATERA SELATAN
5. Karakteristik Responden Pasien:
Nama :
Umur :
Jenis kelamin :
Pendidikan terakhir :
Pekerjaan :
Alamat :
6. Pengetahuan Responden
No. Pertanyaan Deskripsi Jawaban
1 Menurut saudara apa yang dimaksud
dengan sehat ?
2 Menurut saudara apa yang dimaksud
dengan sakit ?
3 Dari mana Anda mengetahui
pengobat (battra patah tulang) ini?
4 Sudah berapa kali Anda berobat
pengobat ini ? Untuk berobat apa ?
5 Mengapa anda memilih berobat ke
pengobat tradisional ini?
6 Untuk kasus (penyakit) yang
sekarang, apakah ini penanganan
pertama atau setelah dari pengobatan
medis ?
7 Jelaskan bagaimana teknik
pengobatan yg dilakukan pengobat?
75
(pakai alat, minyak, jampi (doa),
ramuan, cara pijat, berapa lama, dst)
8 Apakah anda pernah mengalami efek
yang tidak diinginkan dari
pengobatan disini ?
9 Apakah anda merasa betul-betul
sembuh?
Apakah tulang yang patah menurut
anda perlu di foto Rontgen?
10 Apakah kekuatan tulang yg patah
dan telah diobati berfungsi seperti
sebelum kejadian patah tulang?
76
LEMBAR DIMENSI KUALITAS PELAYANAN BATRA PATAH TULANG
Parameter
(√)
Sangat
Baik
Baik Sedang Kurang
Baik
Tidak
Baik
Tangibility (Bukti Fisik)
Papan nama mencantumkan nama pengobat tradisional dan
nomor STPT
Ruang pengobatan tertata rapi dan bersih
Penampilan pengobat bersih dan rapi
Tempat pasien diobati telah disiapkan dalam keadaan rapi,
bersih dan siap pakai.
Pencatatan pasien
Reliability (Handal)
Pasien dilayani secara cepat
Pasien dilayani tidak berbelit-belit
Pelayanan pengobatan tepat
Kesiapan pengobat melayani pasien
Masa buka dan tutup tempat pengobatan
Responsiveness (tanggap)
Pengobat selalu menanyakan keluhan pasien
Pengobat memberikan kesempatan bertanya kepada pasien
Pengobat memberi penjelasan tentang penyakit
Pengobat bersikap sopan
Pengobat bersikap ramah
Assurance (Jaminan)
Pengobat memiliki kemampuan dalam menetapkan kasus
Pengobat memberi jaminan akan kesembuhan pasien
Keramahan, kesopanan dan persahabatan dari pengobat
terhadap pasien.
Perilaku pengobat menimbulkan rasa aman
Mutu ramuan atau alat yang digunakan pengobat
Empaty (Perhatian)
77
Pengobat berusaha menenangkan rasa cemas pasien
terhadap penyakit yang diderita
Pengobat memberikan dorongan kepada pasien supaya
cepat sembuh
Pemberian informasi pengobat mengenai penyakit dan
perobatan kepada pasien
Pengobat memenuhi keinginan pasien
Kesesuaian pelayanan dengan harapan pasien
78
Dirumah batra patah tulang Kota Prabumulih
Dirumah Batra Patah Tulang Kabupaten Musi Banyuasin, Bersam Ketua SP3T Sumsel, Kabid Yankes Kabupaten Musi Banyuasin, staf dan Pimpinan Puskesmas setempat.
79
Di kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Musi Banyuasin bersama Ketua SP3T
Kondisi dirumah batra patah tulang di kota Prabumulih
80
Hasil pengobatan batra patah tulang, segi estetik masih belum menjadi parameter keberhasilan pengobatan oleh batra patah tulang
81
Wawancara dengan batra patah tulang di kabupaten Banyuasin
Minyak kelapa hijau yang dibuat oleh batra untuk pengobatan patah tulang.
82
Salah satu obat yang digunakan oleh batra patah tulang di Kabupaten Banyuasin.
83
Fiksasi yang dilakukan oleh Batra patah tulang di Kabupaten Banyuasin
84
Traksi tradisional menggunakan pemberat dari batu yang dilakukan batra patah tulang di Kabupaten Musi Banyuasin.
85