MINGGU,iai-jateng.org/wp-content/uploads/2018/08/20180610_hal...Korea seperti : naga biru, naga...

Post on 09-Feb-2019

236 views 0 download

Transcript of MINGGU,iai-jateng.org/wp-content/uploads/2018/08/20180610_hal...Korea seperti : naga biru, naga...

MINGGU, 10 JUNI 2018

Seiring perkembangan zaman, pro-ses memodifikasi atau mengubahsesuatu untuk mengganti

fungsinya dengan fungsi yang barudengan meninggalkan fungsi lamanyamulai kembali digaungkan sebagai salahsatu upaya konservasi menyesuaikanfungsi baru bangunan. Sekitar dua abadlampau konsep ini sebenarnya sudahmulai diterapkan oleh kerajaan di Koreapada sebuah kompleks istananya yangbernama istana Deoksu (Deoksugung)yang terletak di pusat kota Seoul.

Pada awalnya istana yang bernamaGyeongungung ini hanya merupakankediaman pangeran Wolsan, kakak dariRaja Seongjeong yang bertahta padatahun 1469-1494. Pangeran Wolsanbukan merupakn raja maupun puteramahkota sehingga tidak terdapat fasilitasutama kerajaan. Akan tetapi sejak invasi

Jepangpada1592,

Raja Sonjo memindahkan sementara istana kerajaannya kekompleks ini hingga tahun 1615. Pada periode ini mulai terjadiperubahan tata letak dari kediaman pangeran menjadi istana ker-ajaan.

Puncaknya adalah ketika raja Gojong dari dinasti Joseonmemproklamirkan dirinya menjadi kaisar dari kekaisaran Koreayang merdeka pada 1897 dan kembali menjadikan kompleks inimenjadi istana kekaisaran Korea. Pada era ini areaGyeongungung menjadi 4 kali lebih luas dari yang sekarang dangerbangnya yang berjulukan Daehanmun berubah menye-suaikan dengan statusnya sebagai istana kekaisaran.Perpindahan gerbang ini juga menuntut perubahan tataletak istana dan terjadi tidak hanya sekali.Pertambahan luas area istana juga disertaidengan penambahan fasilitas istanakekaisaran, seperti : paviliunsinggasana kekaisaranJeokjodang yang akhirnyadipindah ke paviliunJunghwajeon lengkap denganJunghwamun sebagai gerbangsinggasana dan Haenggak,tempat tinggal abdi istana, pavil-iun Hamnyeongjeon sebagaibangunanperistirahatan keluar-ga raja dengan pemisahan areasayap timur untuk raja sedang-

kan barat untuk per-

maisurinya. Pada penjajahan Jepang ukuran kompleks istana kembali

berubah seiring kebutuhan jalan raya yang meningkatIstana iniresmi menyandang nama istana Deoksu setelah raja Gojongturun tahta dan banyak bangunan kekaisaran yang dihilangkanmenjadi lanskap pertamanan.

Istana Deoksu memiliki massa bangunan yang memilikilanggam arsitektur beragam karena pergantian fungsi dari kom-pleks ini. Istana ini masih memiliki gerbang utama daehanmunsebagai istana kekaisaran yang berciri Korea meskipun beberapakali terjadi relokasi. Perubahan tidak hanya terjadi pada letak tetapi

juga detil arsitektural bangunannya seperti : Paviliun altarsinggasana Junghwajeon yang menjadi tempat peno-

batan kaisar Gojong mengalami penyederhanaanbentuk atap setelah tidak menjadi altar

utama, penambahan cerobong asappaviliun Hamnyeongjeon setelahtidak menjadi tempat istirahatkeluarga raja.Pemulasaraan Jenazah

Pada masa penjajahanJepang, beberapa bangunandihancurkan dan beberapa diba-ngun kembali seperti Ham-nyeongjeon yang akhirnya men-jadi tempat pemulasaraanjenazah raja lengkap dengan

lanskapnya. Pada salah satusudut istana

terdapat paviliun bergaya Korea-Baratuntuk perjamuan kerajaan yang didesainoleh arsitek Rusia AI Sabatin sekitar tahun1900 sebagai bukti hubungan baik antarakekaisaran Korea dan Rusia saat itu.Paviliun ini menggunakan batu imitasisebagai penutup bagian luar pondasi danmemiliki beranda pada ke empat sisinya.Pada elemen dekoratif di antara kolom ter-dapat ukiran dengan motif tradisionalKorea seperti : naga biru, naga emas,kelelawar dan bunga.

Keunikan istana ini bertambah kuatdengan keberadaan Seokjojeon yangmurni gaya barat neoklasik dengan strukturbangunan batu tiga lantai dan lanskapEropa karya G.R. Harding dari kekaisaranInggris Raya. Hal yang cukup signifikanadalah perubahan lanskap istana denganpembangunan kolam dengan air mancurperunggu yang diletakan tepat di areadepan paviliun berbeda dengan tata lan-skap Korea yang meletakan elemen air dibelakang bangunan.

Pavilion ini sekarang menjadi art muse-um setelah kontraktor Jepang Okura mem-bangun Yiwangga Art Museum yang jauhlebih besarpada masa penjajahan Jepangbagian sayap barat-nya. (53)

Teladan tak terelak-kan datang daritetenger I amster-dam di Museumpleindi belakang

Rijksmuseum Amsterdam yangdibangun tahun 2005. Sepuluhtahun kemudian, popularitas Iamsterdam dan persamaan ”am”mengilhami PTKereta ApiIndonesia untuk memasangtetenger I ambarawa di halamanrumput Museum Kereta ApiAmbarawa. Dengan harapan, IAmbarawa akan menjadi tempatterbaik bagi para pengunjungberswafoto.

I amsterdam. Tetenger IAmsterdam awalnya adalah alatpemasaran daerah tujuan wisata(DTW). Para pemasar DTWmemanfaatkan kekuatanpemasaran C2C (consumer-to-consumer), seiring perkembang-an ponsel pintar dan media sosialvisual. I amsterdam bukanlahsekedar nama, tetapi sloganmasyarakat Amsterdam yangmenyatu dengan citra kota itusendiri. Saat ini, I Amsterdammenjadi tetenger yang palingbanyak diabadikan. I am (saya),berpose bersama balok-balokaksara merah putih ikonikberlatar belakang gugusanbangunan tua. Ya, saya sedangberada di Amsterdam.Kebanggaan pada sebuah kota,dan hampir pasti langsung diung-gah ke media sosial.

Berinteraksi dengan citrakota menjadi sesuatu yangmenyenangkan. Slogan citrakota yang biasanya sangatabstrak dan tak berwujud, kinidapat disentuh, dipanjat, sekali-gus diabadikan. Aksara raksasapun menambah nilai citra pribadibukan hanya karena menan-dakan tempat, melainkan jugakarena ada permainan kata-kata.

Para wisatawan takkeberatan citra pribadimereka terkait denganatribut yang cerdas lagimenyenangkan. Semakinelok pesan citra kota,semakin besar kemung-kinan akan diterima.Hingga hari ini, ada empatset aksara tersebut disekitar kota Amsterdam.

Sejumlah DTW lainpun meniru konseppencitraan I ams-terdam.Contohnya ada-lah kampanyecitra kotaDallas.Diluncurkanpada bulanMaret 2013oleh BiroKonvensidanPengunjungDallasdenganmengajakketerlibatanwargamemamerkankota besar Dallas.Blok aksara rak-sasa ”B” dan ”G”ditempatkan secarabergiliran di segenapkawasan kota dan masya-rakat diundang untuk berposedi tengah membentuk ejaan BIG,kata yang paling mengena seba-gai dasar kampanye. Big D ada-lah julukan bagi Dallas. WalikotaDallas Mike Rawlings termasuksalah satu di antara ribuan wargayang berpose jenaka di antara”B” dan ”G” sebagai bagian darikampanye ”Big Things HappenHere.”

Apa yang dapat diambil daricontoh-contoh di atas adalah

bahwaparapemasar DTW berupa-ya menemukan solusi kreatifdengan melibatkan masyarakatke dalam proses pemasaran.Dalam hal ini, Amsterdam adalahperintis sekaligus contoh hebatsoal kekuatan pemasaran C2C.Dengan catatan, tidak ada

kesen-jangan yang

terlalu lebar antarapesan citra dan kisah nyata kota.Idealnya, nilai-nilai inti dan karak-teristik kota harus mampu ditun-jukkan terlebih dulu sebelumdikomunikasikan.

Seperti halnya I ambarawa,tetenger aksara raksasa

Simpang Lima di sisiSelatan LapanganPancasila tak lebih dari-pada penandatempat.Simpang Lima adalahkawasan budaya yangperencanaannya meli-batkan arsitek sekaligusfigur pendidik tulenAgustinus Sidharta (1929-2007), sebagai penggantialun-alun Kanjenganyang bersejarah. Saat iniSimpang Lima justruseolah tak memiliki lagikepercayaan diri ataskarakter yang telah dimi-likinya, karena harusdibantu tambahan foto-genik tersebut.

Meskipun SimpangLima memang telah lamamenjelma menjadi ka-wasan perdagangan danjasa, yang dikelolaswasta, tetapi Masjid

Raya Baiturrahman,SMK Negeri 7, dan

Lapangan Pan-casila sendirimasih menjadipengingat visualtata guna sertawujud peren-canaan masalalu. Sehinggaada maupuntidak aksaraSimpangLima, tempatini tetaplahkawasan alun-alun dengan

lima persimpan-gan yang tak per-

nah sepi darikegiatan warga

maupun pendatang. Tak jauh dari

Simpang Lima, berdirianggun tetenger TRI

LOMBAJUANG di mukalapangan olah raga ëMugasí.Melihat fungsi tempatnya,aksara TRI LOMBAJUANG lebihmengena apabila berwujuddesain kreatif yang kokoh untukdiinjak dan dipanjat, relevandengan kegiatan olah raga.Bandingkan dengan instalasi tigaaksara BUS di Baltimore,Amerika Serikat, yang desainnyaterbuat dari material khas perabotjalan: kayu dan baja. Masing-masing aksaranya cukup besar

untuk diduduki, bermain-maingaya sembari menunggu bus.

Sementara di sisi lain, penan-da serta penunjuk jalan yangsemestinya penting justru taktersedia. Pada perbukitan Mugasini terdapat Makam Kyai AgengPandanaran, pendiri sekaligusbupati pertama Semarang. Saatini, informasi arah menuju peti-lasan hanyalah sebuah papansederhana yang dipakukan dipohon, tersembunyi hanya seki-an puluh langkah dari Tri LombaJuang. Padahal setiap tahunnyaribuan pengunjung peziarah daridalam dan luar Semarang meng-hadiri kegiatan haul dan peringat-an Hari Jadi Semarang.

Jika slogan merupakan ele-men lunak, maka bangunantetenger adalah elemen keraspembangun citra kota.Mengapabangunan seperti Lawang Sewudari waktu ke waktu diabadikandan diunggah ke media sosial?Jawabannya adalah karenaLawang Sewu menandakan tem-pat. Foto pengunjung dengan latarbelakang Lawang Sewu tanpabantuan kata-kata telah menyam-paikan pesan: ”Saya berada diSemarang.” Pada dasarnyafotografi digunakan untukmengabadikan kisah dan kenan-gan di suatu tempat. PengunjungLawang Sewu berperan sebagaiduta citra dan agen promosiKotaSemarang. Jika demikian halnya,tidak sepantasnya kita sia-siakankenangan fisik yang sudah ada,karena semakin berharga setelahmelalui ruang waktu, danberpotensi sebagai DTW.

Memadukan desain grafis danarsitektur lansekap membuktikanhubungan jenis baru yang bisa dib-ina dengan bijak pada ruang kha-layak. Dengan kamera ponsel pin-tar yang senantiasa dalamgenggaman, kota seharusnyamenyajikan layanan tata lansekapyang mendukung fotografimenandai sebuah tempat sekali-gus menambah nilai citra pribadi.Meskipun saat ini, aksara raksasaagaknya dianggap sebagai carapaling efektif menyampaikan intidari kebanyakan pesan di mediasosial: ”Saya berada di sini.” (53)

— Ratri Septina Saraswati IStaf Pengajar Program Studi

Arsitektur FakultasTeknikUniversitas PGRI Semarang

Bagi warga Semarang, mengeja aksara raksasa di ruang khalayak ternama seperti

Simpang Lima hanyalah soal waktu.Kehadiran tetenger aksara raksasa di ruang

khalayak adalah bagian dari kecenderungan global.

Oleh Ratri Septina Saraswati

Oleh Bangun IRH

Divisi Sinfar IAI Jawa Tengah danstaf pengajar arsitektur

di Universitas Diponegoro