Post on 30-Jan-2016
description
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut World Health Organization (WHO) penurunan AKI masih terlalu
lambat untuk mencapai tujuan target Milenium (millenium development goals
5/MDGs 5) dalam rangka mengurangi tiga per empat jumlah perempuan yang
meninggal akibat hamil, bersalin dan nifas pada tahun 2015. Salah satu tujuan
pembangunan millennium (MDGs) 2015 adalah perbaikan kesehatan maternal.
Kematian maternal dijadikan ukuran keberhasilan terhadap pencapaian targed
MDGs- 5, adalah penurunan 75% rasio kematian maternal.
Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia menyatakan
bahwa dari 5 juta kelahiran yang terjadi setiap tahunnya, diperkirakan 20.000 ibu
meninggal akibat komplikasi kehamilan dan persalinan. Salah satu penyebabnya
dapat dikarenakan akibat anemia dan hematoma vulva.
Tingginya prevalensi anemia gizi pada kehamilan melatar belakangi
kematian ibu sewaktu hamil, bersalin atau nifas sebagai akibat komplikasi
kehamilan atau komplikasi penangananya. Anemia berat menyebabkan kegagalan
jantung atau kematian pada saat menjelang atau sewaktu bersalin.Perdarahan pada
saat atau sehabis melahirkan yang bagi ibu sehat tidak membahayakan,bagi ibu
hamil dengan anemia akan menimbulkan terjadinya kematian (Prawirohardjo,
2008).
Anemia pada seorang ibu sering dijumpai pada masa kehamilan maupun
masa post partum. Hal ini terjadi akibat asupan gizi yang tidak adekuat maupun
terjadinya perdarahan pada saat proses melahirkan. Anemia terjadi jika kadar
hemoglobin dalam darah lebih rendah dari kadar normalnya. Anemia yang parah,
kadar hemoglobin dalam darah bisa berkurang dibawah 30%.
Anemia pada wanita post partum memiliki dampak yang dapat
mengganggu kesehatan ibu dan meningkatkan risiko terjadinya depresi post
1
partum. Anemia defisiensi besi merupakan penyebab paling sering dari anemia
post partum yang di sebabkan oleh intake zat besi yang tidak cukup serta
kehilangan darah selama kehamilan dan persalinan.
Hematoma pada kasus obstetrik diakibatkan oleh cedera pembuluh darah
baik oleh karena distensi akut saat fetus melewati jalan lahir atau penggunaan alat
saat proses kelahiran. Hematoma vulva yang terbentuk saat proses kelahiran
pervaginam bervariasi kejadiannya dan merupakan kasus yang jarang ditemukan
dengan kejadian 1 dari 300 hingga 1 dari 1500 pada proses kelahiran serta
berpotensial menyebabkan komplikasi mengancam nyawa bayi (2002). Dalam
sebuah penelitian di Universitas Carolina Utara dilaporkan terdapat 29 kasus
dengan hematoma vulva sejak tahun 1975 hingga 1991 (Cunningham, 2005).
Dilaporkan oleh Ghulam Nabi Sheikh, sejak tahun 1958 – 1969 terdapat 40 pasien
dengan hematoma genital dari 37.042 kelahiran di Inggris atau sama dengan 1 :
926 kelahiran (Nelson, 2012).
Hematoma vulva melibatkan cedera dari cabang arteri pudendus (arteri
rektum inferior, arteri labialis posterior, arteri vestibulis, arteri uretra, dan arteri
klitoris dorsalis). Hematoma vulva dapat menimbulkan nyeri hebat akibat
penekanan jaringan hingga mengalami iskemik bahkan nekrosis. Terbentuknya
hematoma dapat di fasia anterior (di bawah diafragma pelvis) atau meluas pada
posterior pelvis. Estimasi kehilangan darah cukup sulit untuk diketahui secara
pasti dikarenakan ruang anterior perineal berhubungan dengan ruang subfasial
abdomen dibawah ligamentum inguinal (Cunningham, 2005).
Pemeriksaan yang tepat dibutuhkan utamanya dalam mendiagnosis disertai
penatalaksanaan melalui pendekatan konservatif hingga dalam mengenali tanda
syok bila telah terjadi kehilangan darah banyak akibat perluasan hematoma yang
membutuhkan tindakan pembedahan (Dash, 2006).
1.2 Rumusan masalah
1. Apa itu anemia dan hematoma vulva yang merupakan komplikasi pada masa
nifas ?
2. Bagaimanakah patofisiologi terjadinya anemia dan hematoma vulva pada
nifas?
2
3. Bagaimanakah peran bidan dalam menghadapi komplikasi pada masa nifas
apabila terjadi anemia dan hematoma vulva?
1.3 Tujuan
Selesai melakukan asuhan kebidanan pada ibu nifas dengan anemia hematoma
vulva, penulis berharap mendapatkan gambaran umum, menerapkan asuhan
kebidanan dan mampu mendeteksi sedini mungkin masalah atau kompilkasi yang
mungkin terjadi pada ibu nifas terutama terkait dengan anemia dan hematoma
vulva serta pernulis berharap agar dapat mengembangkan kemampuan berfikir
dalam menemukan masalah dan mencari pemecahan masalah tersebut.
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Bagi Penulis
1.4.1.1 Penulis mendapatkan pengetahuan tentang penulisan laporan dan
pengetahuan tentang asuhan kebidanan pada Ibu nifas yang
mengalami anemia dan hematoma vulva.
1.4.1.2 Sebagai media bagi penulis dalam menerapkan pendidikan dan
teori yang telah didapatkan di bangku perkuliahan serta dapat
menambah wawasan penulis dalam mempersiapkan,
mengumpulkan, mengolah, menganalisis dan menginformasikan
apa yang ditemukan.
1.4.2 Manfaat Bagi klien
1.4.2.1 Mengingatkan kesadaran terhadap perlunya pengetahuan mengenai
tanda-tanda bahaya dan usaha penanggulangan sehingga
diharapkan dapat di cegah secara dini.
1.4.2.2 Klien mendapatkan asuhan kebidanan yang baik.
3
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Hematoma vulva
2.1.1 Pengertian Hematoma
Hematoma adalah pengumpulan setempat ekstravasasi darah,
biasanya membeku, di dalam organ, ruang, atau jaringan (Dorland,
2008).
Hematoma adalah jaringan lemak yang membentuk sebagian besar
dari volume labium, disuplai dengan suatu pleksus vena yng akibat
cedera, dan dapat pecah (Leveno, 2003).
Hematoma adalah pecahnya pembuluh darah vena yang
menyebabkan perdarahan dapat terjadi pada saat kehamilan berlansung
atau yang lebih sering pada saat persalinan (Manuaba, 1998).
2.1.2 Hematoma Vulva
Hematoma vulva merupakan hematoma yang dapat berukuran
besar, disertai bekuan darah bahkan perdarahan yang masih aktif
(Manuaba, 1998).
Hematoma vulva merupakan kumpulan pembuluh darah yang
cedera pada cabang arteri pundenda (rectal rendah, perineum, posterior
labial, dan uretra arteri, arteri dari ruang depan, dan arteri dalam dan
dorsal clitoris) yang terjadi selama episiotomi atau atau dari laserasi
perineum (Hong, 2014).
2.1.3 Patofiologi dan Etiologi Hematoma Vulva
Cedera pembuluh darah superfisial ligamentum dapat
menyebabkan hematoma vulva. Jaringan vulva dan paravaginal
merupakan jaringan ikat longgar sehingga sejumlah besar kehilangan
darah pada hematoma dapat terjadi meskipun belum memberikan gejala.
Jika cedera pembuluh darah terjadi lebih dalam hematoma vaginal atau
4
subperitoneal dapat terjadi. Pada hematoma subperitoneal dapat terlibat
cabang arteri uterina. Ekstravasasi subperitoneal (di bawah peritoneal)
dapat masif dan berakibat fatal (Cunningham, 2005)
Trauma benda tumpul seperti pada straddle injury menyebabkan
peregangan yang cepat pada jaringan yang terkait dalam derajat dan
tingkatan tertentu dimana tingkat elastisitas jaringan tidak mampu
mengakomodasi peregangan jaringan sehingga terjadi robekan jaringan.
Tingkat kerusakan jaringan bergantung pada jenis trauma yang dialami,
lokasi trauma dan elastisitas jaringan terkait. Pada vulva utamanya pada
jaringan erektil labia mayora kaya akan anastomosis dari percabangan
arteri eksternal yakni arteri labialis posterior dan arteri pudendal
eksternal serta vena-vena yang memiliki banyak hubungan dengan sistem
vena pelvis yang tidak memiliki katup. Oleh karena itu pada cedera yang
meskipun tidak menghasilkan laserasi pada epitel, dapat menimbulkan
kerusakan jaringan internal yang signifikan termasuk di dalamnya
pembentukan hematoma (Metz, 2012)
Terbentuknya hematoma saat proses kelahiran atau setelah
persalinan disebabkan oleh distensi akut saat fetus melewati jalan lahir
sehingga pembuluh darah cedera spontan atau karena dilakukannya
tindakan episiotomi atau pertolongan persalinan menggunakan forsep.
Faktor resiko obstetri yakni pada nulipara dengan taksiran berat janin >
4000 gram, preeklampsia, kala II memanjang, kehamilan ganda, varises
vulva, atau memiliki gangguan pembekuan darah (Cunningham, 2005).
2.1.4 Tanda dan Gejala Hematoma Vulva
Hematoma tidak selalu tampak dan bahkan bisa terletak di antara jahitan,
tapi tanda atau gejala biasanya seperti berikut :
a. Nyeri berat pada vagina atau vulva atau rectal
b. Tekanan pada vagina atau vulva atau rectal tak henti-henti
c. Tampak masa yang membuat deviasi vagina dan rectum
d. Pemeriksaan internal mungkin tidak bisa ditoleransi karena
menyebabkan nyeri yang tidak tertahan bagi ibu, yang dengan
sendirinya membantu mendiagnosis hematoma
5
e. Tanda lain meliputi : pembengkakan yang berubah warna dan terisi
darah, jaringan edema, tanda syok hipovolemik (Chapman, 2006 )
f. Tekanan pada perineum, vagina, uretra, kandung kemih dan rectum
g. Tegang, bengkak yang berfluktuasi
h. Perubahan warna dari biru sampai biru kehitaman
i. Ligamen Yang meluas
j. Nyeri pada uterus bagian lateral, sensitive pada palpasi
k. Nyeri pada panggul
l. Terasa menonjol pada pemeriksaan rectum bagian atas
m. Distensi abdomen
n. Daerah jaringan yang teraba secara lateral berada diatas tepi panggul
(Varney, 2002 ).
2.1.5 Prognosis dan Komplikasi Hematoma Vulva
Hematoma pada genitalia setelah proses kelahiran maupun akibat
trauma dapat dengan mudah dikenali namun dapat sulit untuk
ditatalaksana. Bila hematoma yang terbentuk tidak berukuran besar dapat
sembuh dengan baik walau hanya dengan penatalaksanaan konservatif.
Kesulitan penatalaksanaan berkaitan bila perdarahan pembuluh darah
yang cedera terjadi secara akut, dan kesulitan mengenali bila telah terjadi
hematoma subperitoneal (Sheikh, 1971).
Jumlah kehilangan darah pada perdarahan/hematoma traktus
genitalia biasanya lebih banyak dari perhitungan klinis yang didapatkan.
Oleh karena itu hipovolemia dan anemia berat dapat terjadi sehingga
harus dicegah dengan pemantauan/pemeriksaan serial, persiapan
penggantian darah (transfusi) yang adekuat. Pada hematoma vulva yang
membutuhkan tindakan operatif, 50% kasus membutuhkan dilakukannya
transfuse (Cunningham, 2005).
Pada pasien yang menjalani terapi pembedahan perlu diwaspadai
terhadap resiko infeksi sehingga pemberian antibiotik profilaksis dapat
menurunkan insiden infeksi. Perlu diberikian edukasi yang baik pada
pasien untuk menjaga higienitas area vulva, dan pengenalan tanda-tanda
awal infeksi bila terjadi agar segera dideteksi dan ditangani (Metz, 2012).
6
2.1.6 Diagnosis Hematoma Vulva
Penegakan diagnosis dilakukan melalui anamnesis yang tepat,
pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis dapat
diketahui riwayat yang merupakan resiko terbentuknya hematoma vulva
yakni resiko non-obstetri seperti riwayat cedera saat melakukan
aktivitas/olahraga, jatuh saat mengenakan sepeda (seperti straddle
injury), trauma benda asing pada wanita yang mengalami penganiayaan
seksual. Sedangkan resiko obstetri yakni pada nulipara dengan taksiran
berat janin > 4000 gram, preeklampsia, kala II memanjang, kehamilan
ganda, varises vulva, atau memiliki gangguan pembekuan darah (Kiefer,
2012).
Pasien mengeluhkan nyeri dan bengkak pada perineum derajat
ringan hingga berat dan biasanya disertai pembesaran vulva dengan
ukuran yang bervariasi, kulit tegang, fluktuatif, dan perubahan warna
(Cunningham, 2005).
Pemeriksaan tanda vital, derajat kesadaran dilakukan disertai
pemeriksaan fisis. Tekanan darah yang rendah disertai konjungtiva pucat
merupakan tanda hipovolemia. Pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam
vagina dilakukan juga dilakukan dalam menentukan perluasan hematoma
hingga ke vaginal. Adanya fraktur dapat disesuaikan dengan riwayat
trauma yang telah dialami. Jika hematoma meluas ke atas dapat
dilakukan pemeriksaan vaginal dan palpasi abdominal untuk mencurigai
adanya hematoma subperitoneal (Singhal, 2010)
Dikutip dari kepustakaan Dash S. Vergeshe, 2006
7
Pemeriksaan darah rutin (kadar hemoglobin dan hematokrit) perlu
dilakukan utamanya bila berkaitan dengan perdarahan yang banyak (saat
proses kelahiran). Kehilangan darah akut dapat dilihat dari penurunan
kadar hemoglobin dan hematokrit yang signifikan (Metz, 2012).
Pemeriksaan urin rutin dilakukan utamanya bila dicurigai pasien
mengalami cedera organ dalam saat trauma (hematuria) dan mengetahui
produksi urin (Metz, 2012).
Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan pada pasien dengan riwayat
trauma untuk memastikan adanya fraktur tulang dengan foto polos pelvis,
CT Scan pelvis. Bila dicurigai telah terjadi perluasan hematoma
subperitoneal hingga intraperitoneal dapat dilakukan pemeriksaan foto
polos abdomen atau ultrasonografi transabdominal yang akan
memperlihatkan adanya cairan bebas di kavum peritoneum. Bila pasien
dapat mentoleransi nyeri yang dialaminya, pemeriksaan ultrasonografi
transvaginal dapat dilakukan dan cukup spesifik untuk menentukan
adanya cairan bebas di pelvis dan abnormalitas genitalia internal (Metz,
2012).
2.1.7 Penatalaksanaan Hematoma Vulva
Hematoma yang kecil dapat dibiarkan karena segera direasobsi.
Hematoma yang atau disertai perdarahan aktif, perlu dibuka dan dicari
sumber perdarahannya untuk ligasi. Tempat hematoma dibersihkan dan
dilakukan drainase seshingga tidak memberikan peluang menjadi
kantongan yang mengandung darah (Manuaba, 1993).
Hematoma yang besar harus diinsisi untuk mengeluarkan bekuan
darah dan mengikat pembuluh darah yang pecah. Bidan yang dalam
pertolongan persalinan menghadapi hematoma sebaiknya mengirimkan
penderita ke tempat yang dapat memberikan pertolongan yang adekuat.
(Manuaba, 1998).
Hematoma vulva yang lebih kecil dapat diobati dengan kompres
es. Hematoma yang luas atau meluas dibuka lebar melalui mukosa
vagina. Darah dan bekuan darah dikeluarkan. Setelah pembuluh darah-
pembuluh yang berdarah diligasi, bila memungkinkan dilakukan
8
perbaikan primer. Tampon vagina yang ketat dimasukkan untuk
menimbulkan hemostatik tambahan dan diangkat setelah 24 jam. Untuk
mencegah retensio urin, sebuat kateter yang dibiarkan ditempat
dimasukkan ke dalam kadung kemih. Pergantian darah dan obat-obat
analgesik sering dibutuhkan. Biasanya diberikan antibiotik profilaksis.
Imunisasi tetanus juga diberikan bila hematoma terjadi akibat trauma
eksterna. Hematoma yang trinfeksi dievakuasi dan didrainase. Setelah
biakan diperoleh, diberikan antibiotika (Taber, 1994).
Hematoma terjadi karena kompresi yang kuat disepanjang traktus
genitalia, dan tampak sebagai warna ungu pad amukosa vagina atau
perineum yang akimotik. Hematom yang kecil diatas dengan es analgesik
dan pemantauan yang terus menerus. Biasanya hematoma ini dapat
diserap kembali secara alami (Wiknjosastro, 2005).
2.2 Anemia
2.2.1 Pengertian Anemia
Anemia adalah penyakit kurang darah yang ditandai dengan kadar
hemoglobin (Hb) dan sel darah merah (eritrosit) lebih rendah
dibandingkan normal (Soebroto, 2010). Anemia adalah keadaan
menurunnya kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah sel darah merah
dibawah nilai normal yang dipatok untuk perorangan (Arisman, 2007).
2.2.2 Fisiologi Haemoglobin
Berwarna merah, merupakan pigmen pembawa oksigen dalam sel
darah merah. Hemoglobin merupakan protein dengan berat molekul
64.450. Haemoglobin terdiri dari 4 subunit. Tiap subunit mengandung
heme yang berikatan dengan konyugat polipeptida. Heme mengandung
besi yang merupakan derivat porvirin. Sedangkan polipeptida disebut
dengan globin (Ganong, 2003).
Ada dua bagian polipeptida tiap molekul hemoglobin. Pada orang
dewasa normal (hemoglobin A), terdapat 2 tipe polipeptida yang disebut
dengan rantai α yang mengandung 141 asam amino residu dan rantai β
yang mengandung 146 asam amino residu. Kemudian hemoglobin A
9
disebut juga α2β2, tidak semua hemoglobin pada darah normal orang
dewasa adalah hemoglobin A. sekitar 2,5% hemoglobin merupakan
hemoglobin A2, dimana rantai β digantikan dengan rantai δ (α2δ2). Rantai
δ juga mengandung 146 asam amino residu, tetapi 10 residu tunggal
berbeda dengan asam amino pada rantai β (Ganong, 2003).
Hemoglobin membawa oksigen dalam bentuk oxihemoglobin,
oksigen berikatan dengan Fe2+ di dalam heme. Afinitas hemoglobin
terhadap O2 dipengaruhi oleh pH, suhu, dan konsentrasi 2,3
diphosphogliserat (2,3 DPG). 2,3 DPG dan H+ bersaing dengan O2 untuk
membentuk deoxihemoglobin, dengan menurunkan afinitas hemoglobin
terhadap O2 dengan menempati tempatnya pada ke empat rantai (Ganong,
2003).
Ketika darah terpapar dengan obat-obatan dan agen oksidasi
lainnya baik secara invitro maupun invivo, Fe2+ yang merupakan molekul
normal di konversi menjadi Fe3+ membentuk methemoglobin.
Methemoglobin berwarna gelap, dan ketika kadarnya dalam darah
meningkat, hal ini menyebabkan kulit berwarna kehitam-hitaman yang
disebut dengan sianosis. Beberapa oksidasi hemoglobin menjadi
methemoglobin terjadi secara normal, karena sistem enzim sel darah
merah, yaitu sistem NADH-methemoglobin reduktase, mengubah
methemoglobin kembali menjadi hemoglobin. Kelainan kongenital
dimana tidak adanya sistem enzim ini menyebabkan kelainan herediter
methemoglobinemia (Ganong, 2003).
Karbon monoksida bereaksi dengan hemoglobin membentuk
monoxihemoglobin (carboxihemoglobin). Afinitas hemoglobin terhadap
O2 jauh lebih rendah dibandingkan dengan CO, dengan dampak
digantikannya O2 yang berikatan dengan hemoglobin, sehingga terjadi
penurunan kapasitas pembawa oksigen oleh darah (Ganong, 2003).
Rata-rata kandungan hemoglobin normal dalam darah adalah 16
g/dl pada laki-laki dan 14 g/dl pada wanita. Pada tubuh laki-laki dengan
berat badan 70 kg, terdapat sekitar 900 g hemoglobin dan 0,3 g globin
10
dihancurkan dan disintesis kembali tiap jam. Heme dari hemoglobin
disintesis dari glycine dan succinyl-CoA(Ganong, 2003).
Ketika sel darah merah dihancurkan oleh jaringan sistem
makropage. Globin dari molekul hemoglobin dihancurkan dan heme
diubah menjadi biliverdin. Biliverdin kemudian dikonversi menjadi
bilirubin dan diekskresikan melalui empedu. Besi yang berasal dari heme
digunakan kembali untuk sintesis hemoglobin. Besi merupakan zat
esensial untuk sintesis hemoglobin, jika tubuh kehilangan darah dan
defisiensi besi tidak dikoreksi, akan terjadi anemia defisiensi besi
(Ganong, 2003).
2.2.3 Etiologi
Anemia defisiensi besi merupakan penyebab paling sering dari
anemia postpartum yang disebabkan oleh intake zat besi yang tidak
cukup serta kehilangan darah selama kehamilan dan persalinan. Anemia
postpartum berhubungan dengan lamanya perawatan di rumah sakit,
depresi, kecemasan, dan pertumbuhan janin terhambat (Seid,2010).
Kehilangan darah adalah penyebab yang lain dari anemia.
Kehilangan darah yang signifikan setelah melahirkan dapat
meningkatkan risiko terjadinya anemia postpartum. Banyaknya cadangan
hemoglobin dan besi selama persalinan dapat menurunkan risiko
terjadinya anemia berat dan mempercepat pemulihan (Caughlan, 2010).
2.2.4 Kategori Anemia
Berikut ini kategori tingkat keparahan pada anemia (Soebroto, 2010) :
a. Kadar Hb 10 gr - 8 gr disebut anemia ringan
b. Kadar Hb 8 gr – 5 gr disebut anemia sedang
c. Kadar Hb kurang dari 5 gr disebut anemia berat
Kategori tingkat keparahan pada anemia (Waryana, 2010) yang
bersumber dari WHO adalah sebagai berikut:
a. Kadar Hb 11 gr% tidak anemia
b. Kadar Hb 9-10 gr % anemia ringan
c. Kadar Hb 7-8 gr% anemia sedang
11
d. Kadar Hb < 7 gr% anemia berat\
Kategori tingkat keparahan anemia (Nugraheny E, 2009) adalah sebagai
berikut:
a. Kadar Hb < 10 gr% disebut anemia ringan
b. Kadar Hb 7-8 gr% disebut anemia sedang
c. Kadar Hb < 6gr% disebut anemia berat
d. Kadar Hb normal pada ibu nifas adalah 11-12 gr %
Pada penelitian ini menggunakan standart kementrian kesehatan yang
bersumber dari WHO.
2.2.5 Jenis-Jenis Anemia
a. Anemia Defisiensi Zat Besi
Anemia akibat kekurangan zat besi. Zat besi merupakan bagian dari
molekul hemoglobin. Kurangnya zat besi dalam tubuh bias
disebabkan karena banyak hal. Kurangnya zat besi pada orang dewasa
hampir selalu disebabkan karena perdarahan menahun, berulang-ulang
yang bisa berasal dari semua bagian tubuh (Soebroto, 2010).
b. Anemia Defisiensi Vitamin C
Anemia yang disebabkan karena kekurangan vitamin C yang berat
dalam jangka waktu lama. Penyebab kekurangan vitamin C adalah
kurangnya asupan vitamin C dalam makanan sehari-hari. Vitamin C
banyak ditemukan pada cabai hijau, jeruk, lemon, strawberry, tomat,
brokoli, lobak hijau, dan sayuran hijau lainnya, serta semangka. Salah
satu fungsi vitamin C adalah membantu penyerapan zat besi, sehingga
jika terjadi kekurangan vitamin C, maka jumlah zat besi yang diserap
akan berkurang dan bisa terjadi anemia (Soebroto, 2010).
c. Anemia Makrositik
Anemia yang disebabkan karena kekurangan vitamin B12 atau asam
folat yang diperlukan dalam proses pembentukan dan pematangan sel
darah merah, granulosit, dan platelet. Kekurangan vitamin B12 dapat
terjadi karena berbagai hal, salah satunya adalah karena kegagalan
usus untuk menyerap vitamin B12 dengan optimal (Soebroto, 2010).
d. Anemia Hemolitik
12
Anemia hemolitik terjadi apabila sel darah merah dihancurkan lebih
cepat dari normal. Penyebabnya kemungkinan karena keturunan atau
karena salah satu dari beberapa penyakit, termasuk leukemia dan
kanker lainnya, fungsi limpa yang tidak normal, gangguan kekebalan,
dan hipertensi berat (Soebroto, 2010).
e. Anemia Sel Sabit
Yaitu suatu penyakit keturunan yang ditandai dengan sel darah merah
yang berbentuk sabit, kaku, dan anemia hemolitik kronik (Soebroto,
2010). Anemia sel sabit merupakan penyakit genetik yang resesif,
artinya seseorang harus mewarisi dua gen pembawa penyakit ini dari
kedua orang tuanya. Gejala utama penderita anemia sel sabit adalah:
1) Kurang energi dan sesak nafas
2) Mengalami penyakit kuning (kulit dan mata berwarna kuning)
3) Serangan sakit akut pada tulang dada atau daerah perut akibat
tersumbatnya pembuluh darah kapiler.
f. Anemia Aplastik
Terjadi apabila sumsum tulang terganggu, dimana sumsum merupakan
tempat pembuatan sel darah merah (eritrosit), sel darah putih
(leukosit), maupun trombosit (Soebroto, 2010).
2.2.6 Gejala Anemia
Gejala yang seringkali muncul pada penderita anemia diantaranya
(Soebroto, 2010):
a. Lemah, letih, lesu, mudah lelah, dan lunglai.
b. Wajah tampak pucat.
c. Mata berkunang-kunang.
d. Nafsu makan berkurang.
e. Sulit berkonsentrasi dan mudah lupa.
f. Sering sakit.
Anemia dapat menimbulkan manifestasi klinis yang luas, bergantung
pada (Soebroto, 2010):
a. Kecepatan timbulnya anemia
b. Usia individu
13
c. Mekanisme kompensasi
d. Tingkat aktivitasnya
e. Keadaan penyakit yang mendasarinya
f. Beratnya anemia
Salah satu dari tanda yang paling sering dikaitkan dengan anemia
adalah pucat. Keadaan ini umumnya diakibatkan dari berkurangnya
volume darah, berkurangnya hemoglobin, dan vasokonstriksi untuk
memaksimalkan pengiriman O2 ke organ-organ vital. Warna kulit bukan
merupakan indeks yang dapat dipercaya untuk pucat karena dipengaruhi
pigmentasi kulit, suhu, dan keadaan serta distribusi bantalan kapiler.
Bantalan kuku, telapak tangan dan membrane mukosa mulut serta
konjungtiva merupakan indikator yang lebih baik untuk menilai pucat.
Pada anemia berat, gagal jantung kongestif dapat terjadi karena
otot jantung yang anoksik tidak dapat beradaptasi terhadap beban kerja
jantung yang meningkat. Pada anemia berat dapat juga timbul gejala-
gejala saluran cerna seperti anoreksia, mual, konstipasi atau diare, dan
stomatitis (nyeri pada lidah dan membrane mukosa mulut), gejala-gejala
umumnya disebabkan oleh keadaan defisiensi, seperti defisiensi zat besi
(Price, 2005).
2.2.7 Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya Anemia
Penyebab utama anemia pada wanita adalah kurang memadahinya
asupan makanan sumber Fe, meningkatnya kebutuhan Fe saat hamil dan
menyusui (perubahan fisiologi), dan kehilangan banyak darah. Anemia
yang disebabkan oleh ketiga faktor itu terjadi secara cepat saat cadangan
Fe tidak mencukupi peningkatan kebutuhan Fe. Wanita usia subur
(WUS) adalah salah satu kelompok resiko tinggi terpapar anemia karena
mereka tidak memiliki asupan atau cadangan Fe yang cukup terhadap
kebutuhan dan kehilangan Fe. Dari kelompok WUS tersebut yang paling
tinggi beresiko menderita anemia adalah wanita hamil, wanita nifas, dan
wanita yang banyak kehilangan darah saat menstruasi. Pada wanita yang
mengalami menopause dengan defisiensi Fe, yang menjadi penyebabnya
14
adalah perdarahan gastrointestinal (Departemen Gizi dan Kesehatan
Masyarakat, 2008).
Penyebab tersering anemia adalah kekurangan zat gizi yang
diperlukan untuk sintesis eritrosit, terutama besi, vitamin B12 dan asam
folat. Selebihnya merupakan akibat dari beragam kondisi seperti
perdarahan, kelainan genetik, dan penyakit kronik (Nugraheny E, 2009).
Secara garis besar penyebab terjadinya anemia gizi dikelompokkan
dalam sebab langsung, tidak langsung dan sebab mendasar sebagai
berikut:
1. Sebab langsung
a. Ketidak cukupan makanan
Kurangnya zat besi di dalam tubuh dapat disebabkan oleh
kurang makan sumber makanan yang mengandung zat besi, makanan
cukup namun yang dimakan biovailabilitas besinya rendah sehingga
jumlah zat besi yang diserap kurang dan makanan yang dimakan
mengandung zat penghambat penyerapan besi. Inhibitor (penghambat)
utama penyerapan Fe adalah fitat dan polifenol. Fitat terutama
ditemukan pada biji-bijian sereal, kacang, dan beberapa sayuran
seperti bayam. Polifenol dijumpai dalam minuman kopi, teh, sayuran,
dan kacangkacangan. Enhancer (mepercepat penyerapan) Fe antara
lain asam askorbat atau vitamin C dan protein hewani dalam daging
sapi, ayam, ikan karena mengandung asam amino pengikat Fe untuk
meningkatkan absorpsi Fe. Alkohol dan asam laktat kurang mampu
meningkatkan penyerapan Fe (Departemen Gizi dan Kesehatan
Masyarakat, 2008).
Apabila makanan yang dikonsumsi setiap hari tidak cukup
mengandung zat besi atau absorpsinya rendah, maka ketersediaan zat
besi untuk tubuh tidak cukup memenuhi kebutuhan akan zat besi. Hal
ini terutama dapat terjadi pada orang-orang yang mengkonsumsi
makanan kurang beragam, seperti menu makanan yang hanya terdiri
dari nasi dan kacang-kacangan. Tetapi apabila di dalam menu terdapat
pula bahan - bahan makanan yang meninggikan absorpsi zat besi
15
seperti daging, ayam, ikan, dan vitamin C, maka ketersediaan zat besi
yang ada dalam makanan dapat ditingkatkan sehingga kebutuhan akan
zat besi dapat terpenuhi.
b. Infeksi penyakit
Beberapa infeksi penyakit memperbesar resiko menderita
anemia. Infeksi itu umumnya adalah kecacingan dan malaria.
Kecacingan jarang sekali menyebabkan kematian secara langsung,
namun sangat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Infeksi
cacing akan menyebabkan malnutrisi dan dapat mengakibatkan
anemia defisiensi besi.
Infeksi malaria dapat menyebabkan anemia. Beberapa fakta
menunjukkan bahwa parasitemia yang persisten atau rekuren
mengakibatkan anemia defisiensi besi, walaupun mekanismenya
belum diketahui dengan pasti. Pada malaria fase akut terjadi
penurunan absorpsi besi, kadar heptoglobin yang rendah, sebagai
akibat dari hemolisis intravaskuler, akan menurunkan pembentukan
kompleks haptoglobin hemoglobin, yang dikeluarkan dari sirkulasi
oleh hepar, berakibat penurunan availabilitas besi.
2. Sebab tidak langsung
Beberapa penyebab tidak langsung anemia diantaranya adalah:
kualitas dan kuantitas diet makanan tidak adekuat, sanitasi lingkungan
dan makanan yang buruk, layanan kesehatan yang buruk dan
perdarahan akibat menstruasi, kelahiran, malaria, parasit : cacing
tambang dan schistosomiasis, serta trauma. Diet yang tidak berkualitas
dan ketersediaan biologis besinya rendah merupakan faktor penting
yang berperan dalam anemia defisiensi besi.
Pola menu makanan yang hanya terdiri dari sumber karbohidrat,
seperti nasi dan umbi-umbian, atau kacang-kacangan, tergolong menu
rendah (penyerapan zat besi 5%). Pola menu ini sangat jarang atau
sedikit sekali mengandung daging, ikan, dan sumber vitamin C.
Terdapat lebih banyak bahan makanan yang mengandung zat
penghambat zat absorpsi besi, seperti fitat, serat, tannin, dan fostat
16
dalam meni makanan ini (Departemen Gizi dan Kesehatan
Masyarakat, 2008).
Adanya kepercayaan yang merugikan seperti permasalahan
pemenuhan nutrisi pada ibu nifas yang masih sering dijumpai yaitu
banyaknya yang berpantang terhadap makanan selama masa nifas,
misalnya makan daging, telur, ikan, kacang-kacangan dll, yang
beranggapan bahwa dengan makan makanan tersebut dapat
menghambat proses penyembuhan luka setelah melahirkan juga dapat
menimbulkan anemia. Layanan kesehatan yang buruk dan hygiene
sanitasi yang kurang akan mempermudah terjadinya penyakit infeksi.
Infeksi mengganggu masukan makanan, penyerapan, penyimpanan
serta penggunaan berbagai zat gizi, termasuk besi. Pada banyak
masyarakat pedesaan dan daerah urban yang kumuh dimana sanitasi
lingkungan buruk, angka kesakitan akibat infeksi, virus dan bakteri
tinggi. Dalam masyarakat tersebut, makanan yang dimakan
mengandung sangat sedikit energy. Kalau keseimbangan zat besi
terganggu, episode infeksi yang berulang-ulang dapat menyebabkan
terjadinya anemia.
3. Sebab mendasar
a. Pendidikan yang rendah
Anemia gizi lebih sering terjadi pada kelompok penduduk yang
berpendidikan rendah. Kelompok ini umumnya kurang memahami
kaitan anemia dengan faktor lainnya, kurang mempunyai akses
mengenai informasi anemia dan penanggulangannya, kurang dapat
memilih bahan makanan yang bergizi khususnya yang mengandung
zat besi relatif tinggi dan kurang dapat menggunakan pelayanan
kesehatan yang tersedia.
b. Ekonomi yang rendah
Anemia gizi juga lebih sering terjadi pada golongan ekonomi
yang rendah, karena kelompok penduduk ekonomi rendah kurang
mampu untuk membeli makanan sumber zat besi tinggi yang harganya
relative mahal. Pada keluarga-keluarga berpenghasilan rendah tidak
17
mampu mengusahakan bahan makanan hewani dan hanya
mengkonsumsi menu makanan dengan sumber zat besi yang rendah.
2.3 Anemia Postpartum
2.3.1 Pengertian Anemia Postpartum
Anemia post partum didefinisikan sebagai kadar hemoglobin
kurang dari 10 g/dl, hal ini merupakan masalah yang umum dalam
bidang obstetric. Meskipun wanita hamil dengan kadar besi yang
terjamin, konsentrasi haemoglobin biasanya berkisar 11-12 g/dl
sebelum melahirkan. Hal ini diperburuk dengan kehilangan darah saat
melahirkan dan pada masa nifas. Menurut analisa terbaru, kehilanngan
darah pada saat postpartum diatas 500 ml masih merupakan suatu
masalah meskipun pada obstetri modern (Huch, 1992).
2.3.2 Faktor Resiko Anemia Postpartum
Menurut Prawirohardjo (2005), faktor yang mempengaruhi anemia
pada masa nifas adalah persalinan dengan perdarahan, ibu hamil dengan
anemia, nutrisi yang kurang, penyakit virus dan bakteri. Anemia dalam
masa nifas merupakan lanjutan daripada anemia yang diderita saat
kehamilan, yang menyebabkan banyak keluhan bagi ibu dan
mengurangi presentasi kerja, baik dalam pekerjaan rumah sehari-hari
maupun dalam merawat bayi (Wijanarko, 2010).
Pengaruh anemia pada masa nifas adalah terjadinya subvolusi uteri
yang dapat menimbulkan perdarahan post partum, memudahkan infeksi
puerperium, pengeluaran ASI berkurang dan mudah terjadi infeksi
mamae (Prawirohardjo, 2005). Praktik ASI tidak eksklusif diperkirakan
menjadi salah satu prediktor kejadian anemia setelah melahirkan
(Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2008). Pengeluaran ASI
berkurang, terjadinya dekompensasi kordis mendadak setelah
persalinan dan mudah terjadi infeksi mamae. Di masa nifas anemia bisa
menyebabkan rahim susah berkontraksi, ini dikarenakan darah tidak
cukup untuk memberikan oksigen ke rahim.
2.3.3 Gejala Klinis
18
Tergantung dari derajat berat atau tidaknya anemia, hal ini dapat
berdampak negative bagi ibu selama masa nifas, kemampuan untuk
menyusui, masa perawatan di rumah sakit bertambah, dan perasaan
sehat dari ibu. Masalah yang muncul kemudian seperti pusing, lemas,
tidak mampu merawat dan menjaga bayinya selama masa nifas
umumnya terjadi (Huch, 1992).
Penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan anemia postpartum
memiliki gejala yang dapat mengganggu kondisi kesehatan ibu dan
meningkatkan risiko terjadinya depresi postpartum jika dibandingkan
dengan ibu yang tidak anemia. Dampak buruk dari perubahan emosi
dan perilaku ibu sangat mengkhawatirkan karena interaksi ibu dan bayi
akan terganggu selama periode ini dan akhirnya berdampak negatif
terhadap perkembangan bayinya (Lew, 2008).
Kebanyakan penelitian untuk mengetahui hubungan antara
defisiensi besi dan kognitif yang difokuskan pada bayi dan anak-anak,
dimana ditemukan fakta yang kuat bahwa defisiensi besi berisiko
terjadinya gangguan perkembangan kognitif sekarang dan yang akan
datang. Namun, data terbaru menunujukkan defisiensi besi juaga
berdampak buruk pada otak orang dewasa. Berbeda dengan penurunan
hemoglobin, defisiensi besi berpengaruh pada kognitif melalui
penurunan aktivitas enzim yang mengandung besi di otak. Hal ini
kemudian mempengaruhi fungsi neurotransmitter,sel, dan proses
oksidatif, juga metabolisme hormon tiroid (Bodnar, 2005).
Para ibu yang masih menderita kekurangan zat besi sepuluh
minggu setelah melahirkan kurang responsif dalam mengasuh bayinya
sehingga berdampak pada keterlambatan perkembangan bayi yang
dapat bersifat ireversibel. Untungnya, anemia postpartum bersifat dapat
diobati dan dapat dicegah (Lew, 2008).
Defisiensi besi dapat menurunkan jumlah limfosit, netrofil, dan
fungsi makrofag. Hal ini kemudian akan meningkatkan kemungkinan
terjadinya infeksi yang merupakan akibat fungsional defisiensi besi.
Memperbaiki status besi tubuh dengan adekuat akan memperbaiki
19
sistem imun. Meskipun demikian, keseimbangan besi tubuh penting.
Meskipun besi yang dibutuhkan untuk respon imun yang efektif, jika
suplai besi terlalu banyak daripada yang dibutuhkan , invasi mikroba
dapat terjadi karena mikroba dapat menggunakan besi untuk tumbuh
dan menyebabkan eksaserbasi infeksi (Bodnar, 2005).
2.3.4 Diagnosis
Besi merupakan salah satu komponen kunci dari hemoglobin, oleh
karena itu tubuh yang kekurangan besi akan berdampak pada sistem
transportasi oksigen yang akan mengakibatkan gejala seperti napas
pendek dan lemas yang merupakan 2 gejala klasik dari anemia (Huch,
1992).
Normal kadar hemoglobin sampai hari keempat postpartum adalah
lebih dari 10 g/dl dengan kadar eritrosit paling sedikit 3,5 juta/ ml.
Ketika kadar hemoglobin di bawah 10 g/dl dan kadar eritrosit kurang
dari 3,5 juta/ ml maka dapat didiagnosis anemia, jika kadar hemoglobin
di atas 8 g/dl disebut anemia ringan dan jika berada pada level
dibawahnya maka disebut anemia berat.
2.3.5 Penatalaksanaan
Pengobatan terhadap anemia postpartum tergantung dari derajat
anemia dan faktor risiko maternal atau faktor komorbiditas. Wanita
muda yang sehat dapat mengkompensasi kehilangan darah yang banyak
lebih baik dibandingkan wanita nifas dengan gangguan jantung
meskipun dengan kehilangan darah yang tidak terlalu banyak
(Breymann. 2006).
Sebagai tambahan, kehilangan darah perlu dilihat dalam
hubungannya dengan IMT dan estimasi total blood volume (TBV).
Pertimbangan yang lain yaitu kesalahan yang dilakukan ketika
melakukan estimasi jumlah kehilangan darah. Kehilangan darah selalu
sulit untuk diprediksi, yang mana bisa dibuktikan dengan
membandingkan Hb pre-partum dan Hb postpartum (Breymann. 2006).
20
Pengobatan terhadap anemia meliputi pemberian preparat besi
secara oral, besi parenteral, transfusi darah, dan pilihan lain yaitu
rHuEPO (rekombinan human erythropoietin) (Breymann. 2006).
Prinsip penatalaksanaan anemia adalah jika di dapatkan
hemoglobin kurang dari 10 pertimbangkan adanya defisiensi zat
pembentuk hemoglobin, periksa sepintas apakah ada hemoglobinopati
sebelum disingkirkan. Pemberian preparat besi oral sebagai pengobatan
lini pertama untuk anemia akibat defisiensi besi. Besi parenteral
diindikasikan jika preparat besi oral tidak dapat ditolerransi, gangguan
absorbsi, dan kebutuhan besi pasien tidak dapat terpenuhi dengan
preparat besi oral (Rege, 2008).
Penggunaan terapi parenteral biasanya lebih cepat mendapatkan
respon dibandingkan dengan terapi oral. Namun, bagaimanapun hal ini
bersifat lebih invasive dan lebih mahal. Rekombinan Human
Eritropoietin (rHuEPO) paling banyak digunakan untuk anemia dengan
penyakit gagal ginjal kronis. Namun rHuEPO tetap dapat diberikan
pada anemia dalam kehamilan maupun postpartum tanpa adanya
penyakit gagal ginjal kronis tanpa ada efek samping pada maternal,
fetal ataupun neonates (Rege, 2008).
Anemia yang terjadi bukan karena defisiensi (misalnya akibat
hemoglobinopati dan sindrom kegagalan sum-sum tulang) harus diatasi
dengan transfusi darah secara tepat dan bekerja sama dengan seorang
ahli hematologi (Rege, 2008).
a. Preparat besi oral
Zat besi merupakan komponen penting dari hemoglobin,
mioglobin dan banyak enzim untuk metabolisme energi. Besi
berperan terhadap transportasi dan penyimpanan oksigen dan
metabolisme oksidatif, juga pertumbuhan dan proliferasi sel.
Kebanyakan besi dalam plasma diperuntukkan untuk proses
eritropoiesis dalam sum-sum tulang. Absorsi besi dalam duodenum
mengalami proses yang kompleks yang dikontrol beberapa protein,
21
dipengaruhi kebutuhan zat besi tubuh, konsentrasi zat besi dalam
usus, dan integritas dinding sel (Kaplinsky, 2008).
Pemberian preparat besi secara oral harus dilanjutkan sampai
beberapa bulan, sehingga tidak hanya menormalkan kadar Hb tetapi
juga menormalkan kadar besi dalam darah. Pada salah satu
penelitian, kita dapat melihat wanita postpartum dengan defisiensi
besi namun tanpa anemia yang kadar besinya dapat dikembalikan
hanya dengan suplemen besi (Breymann. 2006).
Wanita postpartum yang mengalami defisiensi besi dan anemia
memerlukan suplemen zat besi. Zat besi biasanya diberikan sampai 6
bulan. Pada kebanyakan kasus, pemberian preparat besi secara oral
tidak cukup untuk mengobatai anemia berat, jika cadangan besi
endogen juga habis dan tidak cukup besi tersedia untuk menjamin
proses eritropoiesis. Penjelasan pertama untuk hal ini adalah
kurangnya absorbsi, tidak terpenuhi pada dosis tinggi akibat efek
yang merugikan, dan kurangnya konsentrasi transferin plasma, yang
memastikan terjadinya defisiensi besi secara fungsional. Sebagai
tambahan, reaksi dapat terjadi, terutama pada operasi persalinan dan
secsio caesaria, terjadi penumpukan besi dalam makropage dan
penurunan absorbsi usus, sehingga besi tidak dapat digunakan untuk
proses hemopoiesis (Breymann. 2006).
b. Transfusi Darah
Pada dekade sebelumnya, terjadi perubahan metode terapi
terhadap transfusi darah, kecuali pada kondisi kritis, karena pasien
kurang dapat menerima. Transfusi jarang diberikan dan indikasi
transfusi sangat dibatasi (Huch, 1992).
Jika Hb kurang dari 7-8 g/dl pada periode postpartum, dimana
sudah tidak ada lagi perdarahan, keputusan untuk melakukan
transfusi harus diambil tergantung keadaan individu tersebut. Pada
wanita yang sehat, dan tidak ada gejala, pemberian transfusi darah
kurang bermanfaat (Rege, 2008).
c. Rekombinan Human Erythropoietin (rHuEPO)
22
Suatu terapi alternative baru yang menjanjikan yaitu dengan
peningkatan proses eritropoiesis melalui penggunaan human
erythropoietin (rHuEPO). Eritropietin, sebuah hormon glikoprotein,
yang merupakan salah satu regulator humoral utama dari proses
eritropoiesis. Pada orang dewasa, hormon ini terutama diproduksi di
sel intersisiel peritubular dari parenkim ginjal. Setelah penyaringan
dan identifikasi dari asam amino pembentuk eritropoietin, gen
manusia di klon dan diisolasi, agar dapat memproduksi rHuEPO
dalam jumlah besar dengan teknik mesin genetik. Laporan pertama
kali tentang aplikasi terapi ini pada tahun 1986. Sejak saat itu terjadi
peningkatan percobaan klinis dengan rHuEPO untuk koreksi anemia.
Pada banyak kasus, terapi ini memiliki efek samping yang minimal
(Huch, 1992).
Pada pasien tanpa defisiensi produksi eritropoietin, eritropoiesis
yang normal, atau anemia akibat penyebab lainnya tetap dapat
diobati dengan rHuEPO. Sebelumnya telah dilaporkan dengan hasil
yang positif lima wanita postpartum yang diobati dengan rHuEPO
jangka pendek (Huch, 1992).
Karena kontradiksi hasil yang telah dilaporkan terhadap transfer
plasenta pada hewan percobaan dan belum ada penelitian sistematis
pada manusia, penggunaan rHuEPO masih terbatas untuk anemia
postpartum (Huch, 1992).
d. Besi Intravena
Saat ini secara internasional telah terjadi pergeseran mode terapi
untuk anemia dari transfusi darah kepada besi intravena. Transfusi
darah secara logis akan segera mengatasi kekurangan darah terutama
akibat perdarahan yang sifatnya akut, namun efek samping transfusi
yang dahulu tidak terlalu diperhitungkan kini makin menjadi
perhatian penting seiring dengan perkembangan konsep baru di
dunia kedokteran yakni patient safety (Bachnas, 2009).
Risiko transfusi darah yang tinggi diantaranya reaksi transfusi,
berupa: reaksi alergi; urtikaria; demam; dan lain sebagainya,
23
penularan berbagai jenis penyakit infeksius, semisal: hepatitis B;
hepatitis C; HIV; CMV; toxoplasma; malaria; dan lain sebagainya,
ketidakcocokan darah (ABO-Rh mismatch), hemolisis baik tipe
cepat maupun lambat, alloimunisasi, hingga transfusion related acute
lung injury (TRALI) yang dapat berakibat pada kematian. Dengan
meningkatnya kekhawatiran ini maka beralihlah mode terapi
transfusi darah menjadi terapi besi intravena (Bachnas, 2009).
Kegagalan terapi sering terjadi dengan penggunaan preparat besi
oral. Kondisi ini terjadi ketika intake besi sudah adekuat tetapi
bermasalah pada proses absorbsi, dan distribusi besi ke sumsum
tulang untuk pembentukan hemoglobin. Untuk pasien seperti ini
pemberian besi intravena merupakan terapi yang lebih disukai
(Kaplinsky, 2008).
Kini telah ditemukan pembawa baru besi intravena yakni
sukrosa. Dengan pemberian besi sukrosa intravena kadar
hemoglobin akan meningkat pesat dalam hitungan hari. Efek
samping pun sangat minimal. Reaksi alergi minor dilaporkan pada
0,05% kasus, sementara reaksi alergi berat seperti anakfilakasis
belum dilaporkan. Sehingga besi sukrosa intravena dengan cepat
mendapat respon yang baik di seluruh dunia untuk kemudian secara
internasional menjadi terapi pilihan pertama pada anemia (Bachnas,
2009).
Dalam pertemuan Network for Advancement of Transfusion
Alternatives (NATA) April 2005, penggunaan besi sukrosa intravena
direkomendasikan untuk berbagai macam kondisi anemia,
diantaranya anemia pada kehamilan serta anemia post partum
(Bachnas, 2009).
Selain besi sukrosa, besi intravena lain yaitu besi
carboxymaltose. Besi carboximaltose merupakan preparat besi
intravena non-dextran yang dibuat untuk pemberian besi intravena
dosis tinggi. Pemberian besi carboxymaltose IV dosis tinggi terbukti
efektif untuk mengatasi anemia postpartum. Jika dibandingkan
24
dengan SF, besi carboximaltose IV lebih dapat ditoleransi, respon
peningkatan Hb lebih cepat, korekasi terhadap anemia lebih dapat
diaandalkan (Wyck, 2007).
Contoh-contoh preparat besi intravena (Brugnara, 2009):
High molecular weight iron dextran, dulu bertahun-tahun
digunakan sebagai preparat besi intravena. Kelebihannya
memungkinkan pemberian besi dengan dosis penuh.
Bagaimanapun, karena sifat antigenitas dari makromolekul dextran
yang menyebabkan reaksi alergi yang berat, para klinisi membatasi
penggunaannya.
Low molecular weight iron dextran,merupakan besi intravena
dengan risiko terjadinya alergi jarang. Pada beberapa penelitian
pada wanita hamil dan gagal ginjal kronis menunjukkan
keberhasilan dan keamanan penggunaannya.
Iron sucrose, merupakan preparat besi intravena yang paling
populer khususnya untuk mengobati anemia ginjal. Hal ini juga
diteliti dalam bidang ginekologi, khususnya untuk anemia
postpartum, anemia dengan inflammatory bowel disease, dan pada
operasi elektif orthopedi. Pemberiannya dengan dosis 5-300
mg/perfusi dengan dosis maksimum 900 mg/ minggu (=3x300mg).
besi ini diencerkan dalam 1 ml NaCl 0,9% per mg besi dan
diberikan secara infuse 15-45 menit. Produk ini sangat aman, dan
reaksi alergi kurang dari 1/100.000 infus.
Ferric gluconate merupakan besi intravena yang lain yang
digunakan untuk pasien-pasien hemodialisa, anemia akibat kanker,
dan pasien anemia yang dirawat di ICU. Karena stabilitas
molekulnya, hanya membutuhkan sedikit yang diinfuskan tanpa
risiko efek yang serius
Ferric carboxymaltose, merupakan besi intravena yang paling
banyak beredar di Eropa. Percobaan klinis pada gagal ginjal kronis,
pengobatan anemia postpartum dan inflammatory bowel disease
memperlihatkan keberhasilan dan keamanannya. Yang paling
25
penting pada pemberian preparat ini adalah dapat diberikan sampai
1000 mg besi, dengan hampir tidak ada risiko efek samping dengan
waktu pemberian yang singkat (15 menit).
Ferumoxytol merupakan besi oksida nanopartikel yang dilapisi
polyglucose sorbitol carboxymethylether untuk meminimalkan
sensitivitas imun sehingga dapat diberikan dosis tinggi. Percobaan
menunjukkan keberhasilan dari obat baru ini untuk anemia dengan
gagal ginjal kronis.
Penanganan anemia dalam nifas secara umum adalah sebagai
berikut:
1) Lakukan pemeriksaan Hb post partum, sebaiknya 3-4 hari
setelah anak lahir. Karena hemodialisis lengkap setelah
perdarahan memerlukan waktu 2-3 hari.
2) Tranfusi darah sangat diperlukan apabila banyak terjadi
perdarahan pada waktu persalinan sehingga menimbulkan
penurunan kadar Hb < 5 gr (anemia pasca perdarahan).
3) Anjurkan ibu makan makanan yang mengandung banyak protein
dan zat besi seperti telur, ikan, dan sayuran.
2.2.6 Pencegahan
Center for Disease Control and Prevention merekomendasikan
untuk melakukan skrining anemia terhadap wanita 4-6 minggu
postpartum, dengan perdarahan yang banyak sewaktu melahirkan, dan
pada kelahiran kembar (Bornard, 2002).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian suplemen besi
pada masa kehamilan memberikan hasil kadar hemoglobin ibu lebih
tinggi sampai 2 bulan postpartum dan konsentrasi serum feritin lebih
tinggi sampai 6 bulan postpartum. Level feritin memberikan gambaran
jumlah cadangan besi dalam tubuh (Caughlan, 2009).
Selama kehamilan, absorbsi besi lebih efisien. Hal ini
menguntungkan bagi wanita hamil yang membutuhkan peningkatan
kadar zat besi dalam tubuh. Mengingat kebutuhan kalori tidak
meningkat sebanyak itu (hanya membutuhkan 300 tambahan kalori),
26
untuk mendapatkan kebutuhan zat besi diperlukan tambahan sebesar
3000 kalori sehari. Hal ini kemudian menyebabkan suplemen besi lebih
banyak dipilih. Besi bukan hanya satu-satunya yang mampu
mempertahankan kadar hemoglobin. Banyak dari perempuan yang
mengalami anemia tidak responsif hanya dengan pemberian preparat
besi saja. Asam folat, B12 dan protein semuanya mempunyai peran
pada struktur hemoglobin. Vitamin A dan C juga memberikan
kontribusi dalam absorbsi besi (Bornard, 2002).
Prinsip pencegahan terjadinya anemia postpartum adalah
perdarahan selama persalinan harus diminimalkan dengan
penatalaksanaan aktif pada kala tiga. Wanita dengan risiko tinggi
mengalami perdarahan harus dianjurkan untuk melahirkan di rumah
sakit. Kontrol yang ketat terhadap wanita yang berobat dengan
antikoagulan seperti low-molecular-weight-heparin (LMWH) akan
meminimalisir kehilangan banyak darah (Rege, 2008).
Berdasarkan fakta yang didukung dengan berbagai hasil penelitian,
menejemen aktif kala tiga merupakan suatu metode yang terbukti untuk
menurunkan jumlah kehilangan darah postpartum. Hb sebelum
persalinan harus dioptimalkan untuk mencegah terjadinya anemia
(Rege, 2008).
27
D. Pathway
28
Proses persalinan
Bayi melewati jalan lahir
Distensi akut
Robekan pembuluh darah Tindakan episotomi
Kegagalan proses hemoestatis pada luka robekan
Pembuluh darah tidak terikat sempurna
HEMATOMA VULVA
Perawatan luka yang buruk
Ruptur hematoma
Perdarahan
Fx predisposisi : makrosomia, gemelli,
distosia
Blood less
ANEMIA
Fx predisposisi : riwayat anemia
saat hamil, multiparitas, psikososial
Aliran darah k e perifer ↓
Transport O2 ke jaringan ↓
Metabolisme aerob ↓
Kelelahan, keletihan
Nutrisi ↓
Defisiensi vit. C
Absorbsi Fe terganggu
Hipoksia, pucat
Hb ↓
Hb + O2 → HbO2
(terganggu)
Kompresi jaringan
Nadi ↑ RR ↑
BAB III
KERANGKA KONSEP ASUHAN
3.1. Teori Asuhan Kebidanan
Manajemen kebidanan adalah pendekatan yang digunakan oleh bidan
dalam menerapkan metode pemecahan masalah secara sistematis, mulai dari
pengkajian, analisa data, diagnosa kebidanan, perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi (Varney, 2004).
I. Pengkajian data
Pengkajian data adalah pengumpulan semua data yang dibutuhkan untuk
mengevaluasi keadaan pasien. Pengkajian data merupakan langkah pertama
mengumpulkan semua informasi yang akurat dari semua sumber yang
berkaitan dengan kondisi pasien (Varney, 2004).
1) Data subyektif
Data subyektif yaitu data yang didapat klien sebagai suatu pendapat
terhadap suatu situasi dan kejadian (Nursalam, 2001). Data subyektif yang
meliputi :
a) Identitas
Menurut Ambarwati (2010), identitas untuk mengetahui status klien
secara lengkap sehingga sesuai dengan sasaran, meliputi :
Nama : nama jelas dan lengkap, bila perlu namapanggilan
seharihari agar tidak keliru dalam pemberian pelayanan
Umur : dicatat dalam tahun untuk mengetahui adanya
risiko seperti kurang dari 20 tahun, alat-alat reproduksi belum
matang, mental dan psikisnya belum siap, apabila umur lebih dari
35 tahun rentan sekali untuk terjadi perdarahan dalam masa nifas
Suku bangsa : berpengaruh pada adat-istiadat atau kebiasaan
sehari-hari.
Agama : untuk memberikan motivasi kepada pasien sesuai
dengan agama yang dianut.29
Pendidikan : berpengaruh dalam tindakan kebidanan dan untuk
mengetahui sejauh mana tingakat intelektualnya, sehingga bidan
dapat memberikan konseling sesuai dengan pendidikannya.
Pekerjaan : untuk mengetahui dan mengukur tingkat sosial
ekonominya
Alamat : ditanyakan untuk mempermudah kunjungan rumah
bila diperlukan
b) Keluhan utama
Untuk mengetahui masalah yang dihadapi pasien yang berkaitan dengan
maa nifas (Ambarwati, 2010). Keluhan-keluhan yang dirasakan pada ibu
nifas dengan anemia sedang adalah pasien merasa pusing, lelah, dan
badan terasa lemas (Manuaba, 2001).
c) Riwayat penyakit
Riwayat penyakit sekarang
Data ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya
penyakit yang dideritaa pada saat ini yang ada hubungannya dengan
masa nifas danbayinya (Ambarwati, 2010).
Riwayat penyakit sistemik
data ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinaan adanya riwayat
penyakit akut, kronis seperti : jantung, DM, hipertensi, aasma yang
dapat mempengaruhi masa nifas (Retna, 2008).
Riwayat kesehatan keluarga
Data ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya
pengaruh penyakit keluarga terhadap gangguan kesehatan pasien
dan bayinya, yaitu apabila ada penyakit yang menyertai (Retna,
2008).
Riwayat keturunan kembar
Data ini diperlukan untuk menegetahui kemungkinan adanya
riwayat keturunan kembar (Wiknjosastro, 2006).
Riwayat operasi
Dikaji untuk mengetahui apakah ibu pernah melakukan operasi apa
tidak (Farrer, 2001).
30
d) Riwayat menstruasi
Dikaji untuk mengetahui tentang menarche umur berapa, siklus berapa
hari, lama, banyaknya darah, teratur atau tidak, sifat darah dan
disminorhoe atau tidak (Prawirohardjo, 2006).
e) Riwayat KB
Untuk mengetahui apakah pasien pernah ikut KB dengan kontrasepsi
jenis apa, berapa lama, apakah ada keluhan selama menggunakan alat
kontrasepsi serta rencana KB setelah masa nifas ini dan beralih ke
kontrasepsi apa (Ambarwati, 2010).
f) Riwayat perkawinan
Untuk mengetahui berapa kalai menikah, satus pernikahan syah atau
tidak, karena bila melahirkan tanpa status yang jelas akan berkaitan
dengan psikologinya sehingga akan mempengaruhi proses nifas
(Ambarwati, 2010).
g) Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu
Untuk mengetahui riwayat kehamilan yang lalu apakah aa penyulit yang
menyertai kehamilan, mengetahui apakah usia kehamilan aterm atau
premature dan normal atau tidak, untuk mengetahui nifas yang lalu
normal atau aada komplikasi dan bagaimana laktasinya (Retna, 2010).
h) Riwayat kehamilan ini
Untuk mengetahui HPHT, HPL, keluhan yang dirasakan pada trimester
I, II, III, ANC berapa kali, teratur atau tidak, penyuluhan yang pernah
didapat, berapa kali imunisasi TT selama hamil, dan pergerakan janin
dirasakan sejak mulai usia kehamilan berapa bulan (Retna, 2010)
i) Riwayat persalinan sekarang
Untuk mengetahui tanggal persalinan, jenis persalinan, jenis kelamin
anak, keadaan bayi meliputi panjang badan, berat badan, penolong
persalinan. Hal ini perludikaji untuk mengetahui apakah proses
persalinan mengalami kelainan atau tidak yang bisa berpengaruh pada
masa nifas saat ini (Ambarwati, 2010).
j) Pola kebiasaan sehari-hari
31
Nutrisi
Dikaji untuk mengetahui tentang pola makan dan minum, frekuensi,
banyaknya, jenis makanan, dan makanan pantangan (Ambarwati,
2010).
Eliminasi
Menggambarkan pola fungsi sekresi yaitu buang air besar meliputi
frekuensi, jumlah, konsistensi dan bau serta kebiasaan buang air
kecil meliputi frekuensi, warna dan jumlah (Retna, 2008).
Saat masa nifas ibu harus sudah dapat buang air kecil sendiri setiap
3-4 jam (Ambarwati, 2010).
Pola istirahat
Menggambarkan pola istirahat dan tidur pasien, berapa jumlah jam
tidur, kebiasaan sebelum tidur, istirahat sangat penting bagi ibu ifas
karena dengan istirahat yang cukup dapat mempercepat
penyembuhan (Ambarwati, 2010).
Data psikososial
Untuk mengetahui respon ibu dan keluarga terhadap bayinya misal
wanita banyak mengalami banyak perubahan emosi atau psikologis
selama mas nifas sementara ia menyesuaikan diri menjadi seorang
ibu (Ambarwati, 2010.
Kebiasaan sosial budaya
Untuk mengetahui pasien dan keluarga yang menganut adat istiadat
yang akan menguntungkan atau merugikan pasien khususnya pada
masa nifas misalnya pada kebiasaan pantangan makanan
(Ambarwati, 2010).
Personal hygiene
Saat masa nifas dikaji untuk mengetahui apakah ibu selalu menjaga
kebersihan tubuh terutama pada daerah genetalia, karena pada mas
nifas masih mengeluarkan lochea dan beritahu ibu tentang jumlah,
warna, dan bau lochea sehingga apabila ada kelainan dapat
diketahui secar dini, untuk mengetahui keadaan perinium yang
32
meliputi oedema, hematoma, bekas luka episiotomi, heating dan
mengetahui keadaan luka pada jalan lahir (Ambarwati, 2010).
Aktifitas
Menggambarkan pola aktifitas pasien seharihari, pada pola ini perlu
dikaji untuk mengetahui pengaruh aktifitas terhadap kesehatannya
(Ambarwati, 2010). Saat masa nifas mobilisasi sedini mungkin
seperti latihan miring kanan, miring kiri dan berjalan-jalan dapat
mempercepat proses pengembalian alatalat reproduksi (Suberni,
2008).
2) Data obyektif
Data obyektif yaitu data yang dapat diobservasi dan diukur (Nursalam,
2001). Anatara lain :
a) Pemeriksaan umum
Keadaan umum : untuk mengetahui keadan umum ibu
apakah baik, sedang, buruk (Alimul, 2006). Keadaan umum pada
masa nifas dengan anemia sedang adalah baik (Notobroto, 2007).
Kesadaran : adalah ukuran dari kesadaran dan respon
seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan. Kesadaran
dibedakan menjadi komposmentis, apatis, delirium, somnolen,
sopora, koma (Shanty, 2011). Pada masa nifas kesadaran adalah
dimana keadaan ibu setelah melahirkan dalam keadaan baik tidak
mengarah pada tanda-tanda yang abnormal (Mariana, 2006). Ibu
nifas dengan anemia sedang kesadarannya adalah composmentis
(Notobroto, 2007).
Tanda vital
Tekanan darah : untuk mengetahui tekanan darah normal
atau tidak, tekanan darah normal yaitu 120/80 – 140/90 mmHg
(Saifuddin, 2002).
Suhu : suhu normal berkisar antara 36,5° C –
37,5° C tergantung pada usia (Retna, 2008). Peningkatan suhu
badan mencapai pada 24 jam pertama masa nifas pada umumnya
disebabkan karena dehidrasi, yang disebabkan oleh keluarnya
33
cairan pada waktu melahirkan, selain itu bisa disebabkan karena
istirahatdan tidur diperpanjang selama awal pesalinan, pada
umumnya setelah 12 jam post partum suhu tubuh kembali
normal. Kenaikan suhu yang mencapai > 38°C adalah mengarah
ke tanda-tanda infeksi (Ambarwati, 2010).
Nadi : nadi normal berkisar antara 60-80x/menit,
denyut nadi diatas 100x/menit pada masa nifas adalah
mengindikasikan adanya suatu infeksi, hal ini salah satunya bisa
diakibatkan oleh proses persalinan sulit atau karena kehilangan
darah yang berlebihan, denyut nadi dihitung selama 1 menit
penuh (Ambarwati, 2010).
Respirasi : beberapa ibu postpartum kadang-kadang
mengalami brakikardi puerperal, yang denyut nadinya mencapai
serendah-rendahnya 40 – 50x/menit. Pernafasan harus berada
dalam rentang yang normal, yaitu sekitar 20-30x/menit dihitung
selama 1 menit penuh (Theresa, 2008).
Berat badan : untuk mengetahui adanya kenaikan berat
badan selama kehamilan, penambahan berat badan rata-rata 0,3-
0,5 kg/minggu, tetapi nilai normal untuk penambahan berat
badan selama kehamilan 9-12 kg (Theresa, 2008).
Tinggi badan : untuk mengetahui tinggi badan pasien
kurang dari 140 cm atau tidak, termasuk risiko tinggi atau tidak
(Alimul, 2004).
b) Pemeriksaan sistematis
Pemeriksaan sistematis yaitu pemeriksaan dengan melihat klien dari
ujung rambut sampai ujung kaki.
Kepala rambut : untuk mengetahui apakah rambut bersih, tidak
rontok, tidak ada ketombe (Alimul, 2004).
Muka : keadaan muka pucat atau tidak, adakah kelainan,
adakah oedema (Arita, 2008). Keadaan ibu nifas dengan anemia
sedang yaitu pucat (Admin, 2009).
34
Mata : untuk mengetahui conjunctiva berwarna
kemerahan atau tidak, sklera berwarna putih atau tidak (Alimul,
2004). Ibu ifas dengan anemia sedang terlihat pucat, konjuctiva
tidak berwarna kemerahan, dan sklera berwarna putih (Admin,
2009).
Hidung : untuk mengetahu ada benjolan atau tidak (Alimul,
2004).
Telinga : bagaimanakah keadaan telinga, ada serumen atau
tidak, simetris atau tidak (Admin, 2009).
Mulut dan gigi : untuk mengetahui bersih atau kotor, ada stomatitis
atau tudak, ada carie gigi atau tidak (Alimun, 2004).
Leher : ada pembesaran kelenjar tyrois atau tidak, ada
pembesaran kelenjar limfe atau tidak, ada tumor atau benjolan apa
tidak (Arita, 2008).
Dada dan axila
Dada
Dikaji untuk mengetahu simetris apa tidak, ada retraksi dinding
dada apa tidak (Sulistyawati, 2009).
Mammae
Untuk mengetahui simetris atau tidak, konsistensi, ada
pembengkakan atau tidak, puting menonjol atau tidak, lecet
atau tidak (Ambarwati, 2010).
Pada masa nifas pemeriksaan mammae dikaji untuk mengetahui
ASI sudah keluar atau belum (Ambarwati, 2010).
Axilla
Adakah benjolan atau tidak, ada pembengkakan atau tidak, ada
nyeri tekan atau tidak (Retna, 2008).
Eketremitas
Untuk mengetahui ada oedema atau tidak, ada varices atau tidak,
reflek patella positif atau tidak (Arita, 2008).
Pada masa nifas Hofman sign dikaji unuk mengetahui ada
tromboflebitis atau tidak, kaki oedema atau tidak (Retna, 2010).
35
Genetalia
Perineum utuh atau terjadi rupture.Dilihat tiap 8 jam untuk
mengetahui : Tanda-tanda infeksi dan Luka jahitan perineum baik/
terbuka
Lochea
Lochea rubra = hari 1-3, berwarna kekuningan.
Lochea sanguinolenta = hari 3-7, berwarna merah dan hitam.
Loche serosa = hari 7-14, berwarna kekuningan.
Lochea alba = setelah 14, hari berwarna putih.(Manuaba, 1998 :
93).
II. Intepretasi Data
Intepretasi data adalah penyimpulan singkat yang didapat dari hasil
melakukan pengkajian data secara subjektif dan objektif. Nantinya dari
intepretasi inilah dapat diketahui tindakan apa yang harus dilakukan. Pada
intepretasi data biasanya berisi diagnose kebidanan sesuai nomenklatur bidan
dengan data dasar dari subjektif yang telah disebutkan ibu dan objektif dari
hasil pemeriksaan bidan sendiri. Beberapa disertai masalah penyerta kondisi
ibu. Contoh intepretasi data adalah sebagai berikut:
Diagnosa : P...,....jika post partum, keadaan umum ...., jenis persalinan.........,
laktasi lancar/ tidak involusi baik/tidak, TFU........, kontraksi ........, perineum
ruptur/tidak perdarahan dengan……… diisi sesuai nomenklatur kebidanan
Masalah: - Anemis
- Cemas karena perdarahan yang terus menerus (Rustam, 1998 : 302)
III. Diagnosa Masalah Potensial dan Antisipasi
Identifikasi masalah atau diagnosa potensial ditegakkan berdasarkan
diagnosa atau masalah yang telah ditentukan. Dari diagnosa yang telah ada,
jika tidak segera teratasi maka bisa menjadi suatu masalah baru. Masalah baru
inilah yang disebut dengan diagnosa potensial. Sebagai kata lain adalah
prognosa dari diagnose kebidanan yang ditegakkan sebelumnya.
IV. Identifikasi Kebutuhan Akan Tindakan Segera Atau Kolaborasi
36
Langkah ini dilaksanakan oleh bidan dengan rencana yang telah
ditetapkan saat menemui masalah potensial. Pada langkah ini bidan
melakukannya secara mandiri, tapi bila terjadi kegawatan perlu dilakukan
kegiatan kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain jika perlu dilakukan rujukan
tergantung wilayah kerja apakah di Praktik Mandiri atau Rumah Sakit.
Pelaksanaan tindakan selalu diupayakan dalam waktu yang singkat, efektif,
hemat dan berkualitas. (Depkes RI, 1995 : 11)
V. Rencana Asuhan
Rencana Asuhan berisi tujuan, criteria hasil dan intervensi. Tujuan
itu sendiri merupakan harapan yang diinginkan oleh bidan setelah klien atau
pasien diberi asuhan kebidanan sesuai masalah yang dialami. Sebagai
contohnya adalah, kondisi ibu menjadi baik dalam 40 menit setelah mendapat
penanganan atau bisa juga ibu bersedia dirujuk jika tindakan gagal.
Kriteria Hasil, tolak ukur yang dapat diukur dengan pasti sebagai
upaya mencapai tujuan yang diinginkan. Contohnya sebagai berikut:
- Gejala kardinal dalam batas normal :
T : 100/70-130/90 mmHg
S : 36,5oC-37,5oC
N : 70-100x/menit
Rr : 16-20x/menit
- Hb dalam batas normal (10-14 mg %)
- Ibu tidak pucat dan kelihatan anemis
- Perdarahan normal tanpa stolsel
- Fundus teraba bulat dan keras
Intevensi, merupakan inti dari rencana asuhan apa yang akan
diberikan bidan terhadap klien atau pasien. Setelah mengetahui diagnosa bidan
harus tahu tindakan atau asuhan apa yang akan diberikan. Dalam intervensi
disertai dengan rasionalisasi sebagai alasan masuk akal yang melatar belakangi
mengapa tindakan tersebut harus dilakukan. Supaya tindakan tersebut
berlandaskan dan tidak sekedarnya. Sebagai contoh intervensi dalam masalah
anemia postpartum adalah sebagai berikut:
1. Berikan penjelasan tentang kondisi ibu!
37
R/ Dengan memberi penjelasan tentang kondisinya, ibu mengerti dan
kooperatif terhadap tindakan yang akan dilakukan.
2. Ukur haemoglobin ibu!
R/ Dengan mengukur haemoglobin ibu pemeriksa mengetahui separah apa
tingkat anemia yang dialami ibu juga untuk membantu dalam menentukan
jumlah kehilangan darah, selain itu sebagai bentuk follow-up dari tindak
lanjut masalah yang dialami. Apakah sudah membai atau semakin parah.
3. Observasi keadaan umum, TTV, involusi, lochea, laktasi, dan konsistensi
rahim!
R/ Dengan mengobservasi keadaan umum, TTV, involusi uterus, lochea,
laktasi dapat menegakkan deteksi dini adanya kelainan sehingga dapat
segera dilakukan tindakan. Selain itu, masalah anemia juga didapati dari
nadi dan pernafasan yang meningkat serta suhu dan tekanan yang menurun
sebagai kompensasi akibat kehilangan darah berlebih, keadaan umum pucat
dan hipoksia karena tidak ada oksigen yang dibawa oleh darah untuk
memberi makan jaringan, involusi uterus lochea dan laktasi merupakan
evaluasi apakah anemia tersebut mengganggu involusi dan apakah
penyebab anemia karena ibu yang tidak menyusui.
4. Pasang infus 1 atau 2 line intravena dari cairan isotonik/elektrolit dengan
kateter 18G atau melalui jalur vena sentral!
R/ Dengan memasang infus 1 atau 2 line intravena dari cairan
isotonic/elektrolit dengan kateter 18G atau melalui vena sentral dapat
mempercepat absorbsi cairan atau produk darah untuk meningkatkan
volume sirkulasi dan mencegah pembekuan serta mencegah dehidrasi
akibat kehilangan darah. (Doenges, 2001 : 493)
5. Lakukan tirah baring dengan kaki ditinggikan 20-30o dan tubuh horizontal!
R/ Dengan melakukan tirah baring dan kaki ditinggikan 20-30o dengan
posisi tubuh horizontal dapat meningkatkan aliran baik vena, menjamin
persediaan darah ke otak dan organ vital lainnya lebih besar.
6. Pantau input dan output cairan dalam tubuh ibu!
R/ Dengan memantau input dan output cairan dalam tubuh ibu maka
diketahui dengan pasti bagaimana alur pemasukan dan pengeluaran cairan,
38
selain menjaga kondisi ibu tetap stabil juga mencegah ibu dari dehidrasi
karena banyak kehilangan darah dan cairan.
7. Beri suplemen zat besi sesuai etiologi anemia!
R/ Dengan memberi suplemen besi dapat mengatasi anemia defisiensi besi
yag terjadi pada ibu sebab anemia sering menyertai infeksi, memperlambat
dan merusak sistem imun. (Doenges, 2001 : 496)
8. Anjurkan ibu untuk mengkonsumsi makanan yang bergizi dan bervariasi!
R/ Dengan menganjurkan ibu mengkonsumsi makanan bergizi dan
bervariasi dapat membantu mencegah malnutri yang mengakibatkan
anemia defisiensi nutrisi, juga dapat mempelancar involusio.
VI. Implementasi
Pada langkah ini, rencana asuhan menyeluruh yang telah disusun
dilaksanakan secara efisien dan aman. Tindakan yang dilakukan dalam
memberikan asuhan kepada ibu nifas normal sesuai dengan rencana yang telah
disusun berdasarkan diagnosa dan masalah yang telah timbul. Di dalam tahap
ini, bidan melakukan observasi sesuai kriteria evaluasi yang direncanakan.
Beberapa hal yang mendapat perhatian dalam tahap pelaksanaan adalah :
1. Intervensi yang dilakukan harus berdasarkan prosedur tetap yang lazim
diakukan.
2. Pengamatan yang telah dilakukan secara cermat dan tepat sesuai dengan
kriteria dan evaluasi yang telah ditetapkan.
3. Pengendalian kepala klien/pasien, sehingga secara berangsur-angsur
mencapai kondisi yang diharapkan.(Pusdiknakes, 1994 : 5-6).
VII. Evaluasi
Setelah dilakukan implementasi dilanjutkan dengan langkah evaluasi.
Evaluasi adalah tindakan pengukuran antara keberhasilan dari rencana. Jadi
tujuan evaluasi didalam manajemen kebidanan adalah untuk mengetahui sejauh
mana keberhasilan tindakan kebidanan yang dulakukan dengan metode SOAP :
S : Subyektif
Data yang merupakan informasi keluhan yang diperoleh dari hasil
wawancara langsung dengan pasien atau keluarga maupun tenaga
kesehatan lain.
39
O : Obyektif
Pemeriksaan yang merupakan pemeriksaan fisik, laboratorium sederhana.
A : Assesment
Kesimpulan dari data subyektif dan obyektif.
P : Planning
Rencana lanjutan dari tindangan yang telah dilakukan dengan berpedoman
pada tingkap keberhasilan yang dicapai dan masalah baru yang
teridentifikasi (Depkes RI, 1995 : 9).
40
BAB IV
ASUHAN KEBIDANAN
4.1 Kasus
Ny. D dirujuk oleh bidan dari praktik mandiri pada 27 September 2015
pukul 11.00 WIB. Ny D berusia 22 tahun merasakan kenceng-kenceng dan
mengeluarkan lendir bercampur darah pada pukul 02.00 WIB. Periksa ke Bidan
dan dilakukan observasi dan pemeriksaan sampai persalinan. Pukul 04.10 WIB
ingin mengejan dan tidak bisa ditahan dan jam 04.30 bayi lahir hidup, spontan,
perempuan, dengan BB 3100 gram dan PB 50 cm langsung menangis keras, tidak
ada kelainan, placenta lahir spontan 5 menit kemudian. Pukul 05.20 WIB tiba-tiba
ibu mengatakan pusing, keluar darah banyak dari jalan lahir dan tubuh terasa
lemas. Ibu distabilisasi dengan infus RL lalu segera dirujuk ke RSUD Caruban.
Hasil pemeriksaan didapati Tekanan Darah 90/70 mmHg, Nadi 100x/menit, suhu
37oC dan Respirasi 26x/menit. Hb 7,2 gr% dengan conjunctiva pucat, wajah dan
bibir pucat, lidah putih tetapi tidak kotor ataupun pecah-pecah, ekstrimitas dingin
dan sianosis, terdapat perdarahan dari jalan lahir.
41
Asuhan Kebidanan
Pada Ny”D” P1001 Post Partum 2 Jam Dengan Anemia Berat.
Tanggal : 27-09-2015 No. RM : 096337
Tempat : Ruang Pinang RSUD Caruban
Jam : 11.30 WIB
1. PENGKAJIAN DATA
A. Data Subyektif
1) Biodata
Istri Suami
Nama : Ny. “D” Tn “J”
Umur : 22 tahun 24 tahun
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia Jawa/Indonesia
Agama : Islam Islam
Pendidikan : SD SMP
Pekerjaan : Tani Tani
Alamat : Ds. Monang RT 31 Kare
2) Keluhan Utama
Ibu mengatakan badannya lemas setelah melahirkan anak pertamanya
3) Riwayat Penyakit
a) Riwayat penyakit ibu
Ibu mengatakan tidak pernah dan tidak sedang menderita penyakit misalnya
dengan gejala seperti batuk darah (TBC), sesak nafas (Asma), jantung berdebar-
debar (jantung koroner), sering makan, minum, kencing (Diabetes Melitus),
penyakit seluruh tubuh kuning (hepatitis), tekanan darah tinggi (hipertensi) dan
tidak sedang menderita penyakit menular maupun penyakit keturunan lainnya
tetapi ibu mengeluhkan sering lemah, letih dan pusing tiba-tiba apalagi saat
menstruasi (anemia)
b) Riwayat penyakit keluarga
Ibu mengatakan di dalam keluarga tidak ada yang menderita penyakit dengan
gejala seperti batuk darah (TBC), sesak nafas (Asma), jantung berdebar-debar
42
(jantung koroner), sering makan, minum, kencing (Diabetes Melitus), penyakit
seluruh tubuh kuning (hepatitis), tekanan darah tinggi (hipertensi) dan tidak
sedang menderita penyakit menular maupun penyakit keturunan lainnya. Di dalam
keluarga juga tidak mempunyai riwayat anak kembar.
c) Riwayat Operasi
Ibu mengatakan tidak pernah masuk rumah sakit dan tidak pernah menjalani
operasi apapun.
4) Riwayat Menstruasi
Menarche : 14 tahun
Siklus : 28 hari. Teratur
Lamanya : 7 hari
Banyaknya : hari ke 1-3 ganti pembalut 3-4x/hari
hari ke 4- hari terakhir ganti pembalut 2x/hari
Konsistensi : encer, tidak ada gumpalan
Warna : merah segar
Bau : anyir
Keluhan : tidak ada keluhan (dysminorhea)
5) Riwayat KB
Ibu belum pernah menggunakan alat kontrasepsi apapun. Rencananya ibu ingin
menggunakan KB tetapi tidak tahu metode apa yang akan dipilih.
6) Riwayat Perkawinan
Lama kawin : 1 Tahun
Pernikahan ke : 1
Usia ibu saat kawin : 21 Tahun
Usia bapak saat kawin: 23 Tahun
7) Riwayat Kehamilan, Persalinan dan Nifas yang lalu
Ibu mengatakan ini adalah pengalaman pertamanya memiliki anak.
8) Riwayat Kehamilan Sekarang
Ibu hamil 9 bulan periksa ke bidan 7x dan mendapat TT 2x pada usia kehamilan 3
bulan dan 4 bulan. Ibu mendapat tablet Fe, Calc dan vitamin C dan iodium 1
tablet. Ibu juga mendapat penyuluhan tentang nutrisi, personal hygiene, perawatan
43
payudara. Ibu mengatakan telah berusaha mengikuti anjuran bidan dengan
harapan bayinya dapat lahir sehat.
9) Riwayat Persalinan Sekarang
Tanggal 27 September pukul 02.00 WIB. Ibu merasakan kenceng-kenceng dan
mengeluarkan lendir bercampur darah. Periksa ke Bidan dan dilakukan observasi
dan pemeriksaan sampai persalinan. Pukul 04.10 WIB ingin mengejan dan tidak
bisa ditahan dan jam 04.30 bayi lahir hidup, spontan, perempuan, dengan BB
3100 gram dan PB 50 cm langsung menangis keras, tidak ada kelainan, placenta
lahir spontan 5 menit kemudian. Pukul 05.20 WIB tiba-tiba ibu mengatakan
pusing, keluar darah banyak dari jalan lahir dan tubuh terasa lemas.
Perdarahan tersebut disebabkan ada robekan pada perineum dan dilakukan
penjahitan, oleh Bidan ibu dipasang infus dan langsung dirujuk ke Ruang Bersalin
RSUD Caruban. Hasilnya. Setelah itu ibu dikirim ke Ruang Pinang.
10) Riwayat Nifas Sekarang
Ibu mengatakan badannya lemas, ganti pembalut 1x, pengeluaran pervaginam
berwarna merah tua. ASI keluar lancar dan ingin menyusui bayinya secara
ekslusif.
11) Pola kebiasaan sehari-hari
a) Nutrisi
Selama nifas : Ibu makan makanan dari bagian Gizi RS dengan menu nasi ½
piring, lauk telur dan tempe, sayur sop, air teh manis dan air putih 1 gelas.
b) Eliminasi
Selama nifas : Ibu BAK sudah 3x tapi belum BAB
c) Istirahat tidur
Selama nifas : Ibu tidak dapat istirahat karena badan terasa lemas dan sering
terbangun karena lelah setelah persalinan.
d) Aktifitas
Selama nifas : Ibu tidak melakukan aktifitas apapun hanya tidur ditempat tidur
karena badan lemas pasca persalinan.
e) Pola seksual
Selama nifas : Ibu tidak berhubungan seksual
f) Personal hygiene
44
Selama nifas : Setelah nifas, ibu belum mandi hanya disibin, ganti pembalut
1x, ganti baju 1x.
g) Psikososial dan spiritual
Ibu mengatakan sangat lega anak pertamanya dapat lahir dengan selamat.
Hubungan keluarga harmonis. Sejak merasakan pusing, badan terasa lemas, ibu
cemas, takut terjadi kelainan nifas yang menimpanya sambil memejamkan mata
ibu berdoa agar semuanya berjalan dengan lancar.
h) Kebiasaan sosial budaya
Ibu tidak menganut kebudayaan seperti pantang terhadap suatu jenis makanan,
pijat perut setelah melahirkan dan minum jamu.
B. Data obyektif
1) Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : lemah T : 90/70 mmHg
Kesadaran : composmentis N : 100x/menit
BB : 65 kg S : 37oC
TB : 155 cm Rr : 26x/menit
2) Pemeriksaan fisik
Kepala : Rambut bersih, penyebaran merata, tidak ada ketombe
Muka : Pucat, sembab, ekspresi lemas dan menyeringai menahan nyeri.
Mata : Simetris, sklera putih, conjungtiva palpebra pucat, fungsi
penglihatan baik
Hidung : Simetris, selaput lendir bersih fungsi pembauan baik.
Telinga : Simetris, tidak ada serumen dan fungsi pendengaran baik.
Mulut : Bibir pucat, pecah-pecah, kering, mukosa lembab, tidak ada caries,
gusi tidak bengkak, tidak ada stomatitis, lidah agak pucat.
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tyroid maupun kelenjar lymfe, tidak
ada pembendungan vena jugularis.
Dada : Simetris, gerakan nafas cepat, tidak ada ronchi/wheezing, irama
jantung cepat,
45
Payudara : Simetris, hyperpigmentasi areola mammae, puting susu menonjol
bersih, colostrum +/+. Tidak ada benjolan abnormal, tidak nyeri
tekan
Abdomen : Ada linea nigra, tidak ada luka bekas operasi. TFU 2 jari bawah
pusat, kontraksi uterus keras, kandung kemih kosong
Genetalia : Kotor karena perdarahan, tidak ada oedema/varices vulva, tidak ada
pembengkakan kelenjar skene, maupun bartholini, tidak ada
condiloma acuminata yang tampak perdarahan warna merah tua
(lochea rubra), tampak jahitan perineum subcutis.
Anus : Tidak ada haemorrhoid
Ekstremitas : Tidak ada oedema dan varices pada tungkai ekstremitas atas
maupun ekstremitas bawah kulit teraba dingin dan sedikit pucat.
3) Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
a) Hb : 7,2 gr%
b) HbsAg : (-)
c) Gol Darah : O
2. INTERPRETASI DATA
Dx : Ny “D” P1001 post partum 2 jam dengan anemia berat
Ds : Ibu mengatakan setelah bayinya lahir ibu mengalami perdarahan banyak
dari jalan lahir dan dirujuk oleh Bidan ke RS, sekarang ibu merasa lemas
Do : - Bayi lahir spontan jam 05.30 WIB dengan BB 3100 gram PB 50
cm, tidak ada kelainan. Placenta lahir lengkap 5 menit setelah bayi
lahir.
- Perdarahan ± 100cc
- Keadaan umum lemah, TFU 2 jari bawah pusat CU keras, lochea
rubra, colostrum belum keluar, perdarahan bau anyir.
- Terpasang infus RL
- Hb : 6,9 gr%
- Tanda-tanda vital
T :100/70 mmHg S : 37oC
46
N :98x/menit Rr : 26x/menit
3. DIAGNOSA MASALAH POTENSIAL DAN ANTISIPASI
Syok Hipovolemik
4. KEBUTUHAN AKAN TINDAKAN SEGERA DAN KOLABORASI
- Kolaborasi dengan Obgyn untuk memberikan medikamentosa berupa:
1. Ferrosulfat 3x200mg/hari per oral setelah makan
2. Ferroglukonat 3x200mg/hari per oral setelah makan
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk memberikan pengaturan menu makan yang
baik bagi ibu anemia postpartum.
5. RENCANA ASUHAN
Tanggal 27-09-2015 Jam : 11.40 WIB
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan kebidanan ibu dapat melalui masa nifas
dengan baik tanpa komplikasi
Kriteria Hasil :
- Tanda-tanda vital baik, dengan rentang
T : 110/70-130/90 mmHg
N : 60-80x/menit
S : 365oC-375oC
Rr : 16-20x/menit
- Perdarahan tidak lebih dari 200cc
- Tidak terjadi syok
- TFU turun dari hari ke hari sesuai dengan proses involusi sehinga pada hari ke
10 post partum tidak teraba lagi.
- Perdarahan normal, lochea tidak berbau.
- Ibu dapat melakukan perawatan diri dari bayinya.
- Ibu tampak lebih tenang
- Muka tidak pucat
- Konjungtiva palpebra tidak pucat
- Ekstremitas tidak pucat dan hangat
47
Intervensi :
1. Berikan penjelasan tentang kondisi ibu!
R: Dengan memberi penjelasan tentang kondisinya, ibu mengerti dan
kooperatif terhadap tindakan yang akan dilakukan.
2. Ukur haemoglobin ibu!
R: Dengan mengukur haemoglobin ibu pemeriksa mengetahui separah apa
tingkat anemia yang dialami ibu juga untuk membantu dalam menentukan
jumlah kehilangan darah, selain itu sebagai bentuk follow-up dari tindak
lanjut masalah yang dialami. Apakah sudah membai atau semakin parah.
3. Observasi keadaan umum, TTV, involusi, lochea, laktasi, dan konsistensi
rahim saat ini dan setiap 6 jam!
R: Dengan mengobservasi keadaan umum, TTV, involusi uterus, lochea,
laktasi dapat menegakkan deteksi dini adanya kelainan sehingga dapat segera
dilakukan tindakan. Selain itu, masalah anemia juga didapati dari nadi dan
pernafasan yang meningkat serta suhu dan tekanan yang menurun sebagai
kompensasi akibat kehilangan darah berlebih, keadaan umum pucat dan
hipoksia karena tidak ada oksigen yang dibawa oleh darah untuk memberi
makan jaringan, involusi uterus lochea dan laktasi merupakan evaluasi
apakah anemia tersebut mengganggu involusi dan apakah penyebab anemia
karena ibu yang tidak menyusui.
4. Lakukan tirah baring dengan kaki ditinggikan 20-30o dan tubuh horizontal!
R: Dengan melakukan tirah baring dan kaki ditinggikan 20-30o dengan posisi
tubuh horizontal dapat meningkatkan aliran baik vena, menjamin persediaan
darah ke otak dan organ vital lainnya lebih besar.
5. Pantau input dan output cairan dalam tubuh ibu!
R: Dengan memantau input dan output cairan dalam tubuh ibu maka
diketahui dengan pasti bagaimana alur pemasukan dan pengeluaran cairan,
selain menjaga kondisi ibu tetap stabil juga mencegah ibu dari dehidrasi
karena banyak kehilangan darah dan cairan.
6. Beri medikamentosa sesuai saran dokter dan suplemen zat besi sesuai
etiologi anemia!
48
R: Dengan memberi suplemen besi dapat mengatasi anemia defisiensi besi
yag terjadi pada ibu sebab anemia sering menyertai infeksi, memperlambat
dan merusak sistem imun. (Doenges, 2001 : 496)
7. Lakukan transfusi darah!
R: Dengan melakukan transfusi darah dapat mengganti darah yang hilang
dan menambah volume darah karena ibu memiliki riwayat anemia ringan
sebelum kehamilan dan dikhawatirkan kondisinya bisa memburuk sewaktu-
waktu.
8. Anjurkan ibu untuk mengkonsumsi makanan yang bergizi dan bervariasi!
R: Dengan menganjurkan ibu mengkonsumsi makanan bergizi dan bervariasi
dapat membantu mencegah malnutrisi yang mengakibatkan anemia
defisiensi nutrisi, juga dapat mempelancar involusio.
6. IMPLEMENTASI
Tanggal 27-09-2015 Jam :11.50 WIB
Implementasi :
1. Menjelaskan kepada ibu hasil pemeriksaan bahwa kondisi ibu saat ini
mengalami anemia karena kehilangan darah setelah persalinan akibat
robekan perineum tetapi ibu akan mendapat perawatan yang baik dan tepat
sehingga kondisinya segera membaik.
2. Mengukur Hb ibu untuk mengetahui tingkat keparahan anemia yang
ditimbulkan dari perdarahan. Sealin itu juga bisa dijadikan sebagai catatan
perkembangan adakah kemajuan sehingga terjadi peningkatan Hb
3. Mengobservasi KU , TTV, involusi, laktasi, lochea:
Hasilnya :
T : 100/70 mmHg
S : 37oC
N : 96x/menit
Rr : 24x/menit
- Laktasi belum lancar
- TFU 2 jari bawah pusat
- Perdarahan ± 100cc
49
- Konjungtiva palpebra pucat.
4. Melakukan tirah baring dengan kaki ditinggikan 20-30o dan tubuh horizontal
supaya otak dan organ vital di bagian atas tidak kekurangan oksigen dan
supply darah.
5. Memantau input dan output cairan dalam tubuh ibu. Ibu sudah menerima
infuse RL sebanyak 3 flash. Untuk pengeluaran, ibu mengeluarkan urin
sebanyak 100cc.
6. Memberi medikamentosa sesuai saran dokter dan suplemen zat besi sesuai
etiologi anemia. Anemia yang dialami ibu ini adalah anemia defisiensi besi.
Hal ini sudah dialami ibu sejak sebelum hamil. Selain itu, kehilangan darah
yang banyak saat persalinan dan terjadi robekan perineum memperparah
anemia yang ibu alami. Ibu diberi supplemen zat besi dan obat-obat untuk
menambah darah sesuai advice dokter yaitu pemberian Ferrosulfat
3x200mg/hari dan Ferroglukonat 3x200mg/hari per oral setelah makan.
7. Transfusi sudah dilakukan, ibu mulai menerima 1 kantung darah.
8. Menganjurkan ibu mengkonsumsi makanan yang bergizi dan bervariasi
untuk memenuhi kebutuhan nutrisi serta dapat digunakan dalam pemulihan
kondisi tubuh dan proses laktasi. Serta makanan yang tinggi kalori dan tinggi
protein seperti telur, tempe, daging, keju, kacang-kacangan, Mengkonsumsi
makanan sebanyak 3000 kalori tiap hari. Minum sedikitnya 3 liter air setiap
hari (anjurka ibu unuk minum setiap kali menyusui).
7. EVALUASI
Tanggal 27-09-2015 Jam : 13.40 WIB
S : Ibu mengatakan sudah merasa lebih baik tetapi masih agak lemas
O : - Keadaan Umum : cukup
- Perdarahan normal
- Tanda-tanda vital
TD : 90/70 mmHg
S : 37oC
N : 100x/menit
50
Rr : 26x/menit
- TFU 2 jari bawah pusat, muka agak pucat, konjungtiva palpebra agak
pucat.
- CU baik, teraba keras dan bundar.
- Perdarahan normal tidak ada stolsel.
- Ekstremitas hangat dan tidak pucat.
A : Ny”D” P1001 post partum 2 jam dengan anemia berat.
P : - Lakukan observasi TTV, CU, perdarahan, keadaan umum setiap 6 jam
- Laksanakan kolaborasi dengan Dokter Obgyn untuk memberikan
terapi obat
- Hasil Observasi
TD : 100/70 mmHg
S : 36,8oC
N : 94x/menit
Rr : 22x/menit
Kontraksi uterus keras
Keadaan umum baik
Malang, 27 September 2015
Bidan Saptya Wulan
51
DATA PERKEMBANGAN I
Tanggal 27 September 2015 Waktu : Pukul 19.00 WIB
S : ibu mengatakan masih lemas
Ibu mengatakan masih sedikit pusing
Ibu mengatakan masih perdarahan
Ibu mengatakan telah meminum obat yang diberikan oleh petugas kesehatan
O : KU : cukup, ibu tampak anemis
Kesadaran : composmentis
TTV : TD : 100/80 mmHg Conjungtiva : pucat
N : 92 x/menit
R : 22 x/menit S : 370C
PPV : Sedikit, ± 30 cc
Kontraksi uterus : keras
Post transfusi colf I WB
Terpasang infus RL 500 cc dengan tetesan 30x/menit.
A : Ny. D P1001 12 jam post partum dengan anemia berat.
P :
1. Memberitahu ibu dan keluarga keadaan ibu.
Ibu dan keluarga sudah tahu keadaan ibu.
2. Mengobservasi KU, perdarahan dan vital sign.
KU : Cukup, PPV : sedikit, TD : 100/80mmHg, N : 92x/menit, S : 370C, R :
22x/menit.
3. Memberikan transfusi darah Colf WB ke II pada pukul 19.00 WIB.
Transfusi darah colf WB ke II telah diberikan.
4. Mengingatkan ibu untuk tetap meminum obat Ferrosulfat 3x200mg/hari
dan Ferroglukonat 3x200mg/hari per oral setelah makan.
Ibu bersedia mengikuti anjuran dari petugas kesehatan.
5. Memonitor reaksi alergi dari pemberian transfusi darah colf WB ke II
52
Tidak ada reaksi alergi.
6. Menganjurkan ibu untuk istirahat cukup dan makan makanan yang
mengandung zat gizi besi seperti sayuran hijau, hati, dan daging yang
berwarna merah.
Ibu bersedia mengikuti anjuran
7. Menganjurkan ibu untuk mobilisasi seperti jalan.
Ibu bersedia mengikuti anjuran.
Malang, 27 September 2015
Bidan Saptya Wulan
53
DATA PERKEMBANGAN II
Tanggal : 28 September 2015 Waktu : Pukul 07.35 WIB
S : Ibu mengatakan masih perdarahan sedikit.
Ibu mengatakan sudah tidak begitu lemas.
Ibu mengatakan telah meminum obat yang diberikan oleh petugas kesehatan.
Ibu mengatakan ASI keluar.
Ibu mengatakan telah makan makanan sesuai menu yang dianjurkan petugas
kesehatan
Ibu mengatakan akan mencoba latihan mobilisasi setelah ini.
O : KU : Cukup, Ibu tampak anemis Kesadaran : Composmentis
TTV :
- TD : 110/90mmHg - N : 84x/menitnj
- R : 22x/menit - S : 36,50C
- PPV : sedikit, ± 30 cc - Conjungtiva : merah muda
- Kontraksi : keras
A : Ny. D P1001 1 hari post partum dengan anemia ringan.
P :
1. Memberitahu ibu dan keluarga hasil pemeriksaan, bahwa keadaan ibu
sudah membaik, dengan hasil TD : 110/90mmHg, N : 84x/menit, R :
22x/menit, S : 36,50C.
Ibu dan keluarga sudah mengetahui tentang hasil pemeriksaan.
2. Menganjurkan ibu untuk tetap makan makanan yang mengandung zat gizi
besi.
Ibu bersedia mengikuti anjuran.
3. Mengingatkan ibu untuk tetap meminum obat Ferrosulfat 3x200mg/hari
dan Ferroglukonat 3x200mg/hari per oral setelah makan.
Ibu bersedia mengikuti anjuran dari petugas kesehatan.
4. Menganjurkan pada ibu untuk memberikan ASI pada bayinya.
54
Ibu bersedia memberikan ASI pada bayinya.
Malang, 28 September 2015
Bidan Saptya Wulan
55
DATA PERKEMBANGAN III
Tanggal : 1 Oktober 2015 Waktu : Pukul 09. 30 WIB
S : Ibu mengatakan sudah tidak pusing dan tidak lemas.
Ibu mengatakan perdarahan hanya flek.
Ibu mengatakan telah makan makanan sesuai dengan menu yang dianjurkan
oleh petugas kesehatan.
Ibu mengatakan sudah memberikan ASI pada bayinya.
Ibu mengatakan sudah bisa berjalan-jalan di sekitar rumah sakit.
O : KU : Baik, kesadaran : composmentis, TD: 120/80, N: 78x/menit, Rr:
20x/menit, S: 36,5 0C. Conjungtiva : merah muda. PPV : Lokia
sanguinolenta, jumlah 20cc.
A : Ny. D P1001 4 hari post partum dengan anemia ringan.
P :
1. Melakukan kolaborasi dengan Institusi Laborat untuk memeriksa Hb ulang
post transfusi II colf WB.
Hasil pemeriksaan cek Hb ulang 9,7 gr%
2. Mengingatkan ibu untuk tetap makan makanan yang mengandung zat gizi
besi seperti daging, sayuran hijau (mis: bayam), telur, hati ayam, buah-
buahan, susu.
Ibu bersedia mengikuti anjuran.
3. Mengingatkan ibu untuk tetap meminum obat Ferrosulfat 3x200mg/hari
dan Ferroglukonat 3x200mg/hari per oral setelah makan.
Ibu bersedia mengikuti anjuran dari petugas kesehatan.
4. Menganjurkan pada ibu untuk tetap memberikan ASI pada bayinya.
Ibu bersedia memberikan ASI pada bayinya.
5. Menjelaskan pada ibu bahwa dirinya hari ini sudah boleh pulang,
menganjurkan pada ibu untuk kontrol 1 minggu lagi pada tanggal 8
Oktober 2015.
56
Ibu sudah mengerti dan bersedia untuk kontrol 1 minggu lagi pada tanggal
8 Oktober 2015.
Malang, 01 Oktober 2015
Bidan Saptya Wulan
57
BAB V
PEMBAHASAN
Di dalam asuhan kebidanan yang disampaikan merupakan asuhan
kebidanan pada ibu dengan nifas normal dalam 6 jam post partum yang memiliki
masalah anemia Ditinjau dari konsep dasar asuhan yang ada, asuhan kebidanan
yang telah dibuat sudah sesuai dengan apa yang seharusnya dikaji, berikut adalah
analisisnya:
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan, ibu didiagnosis dengan anemia
postpartum karena perdarahan yang terjadi akibat robekan perineum. Hal ini
diperkuat dengan data anamnesis yaitu, ibu mengatakan dirujuk oleh bidan ke
rumah sakit karena perdarahan dan merasakan lemas. Dari hasil pemeriksaan juga
didapatkan ibu terlihat lemas, TTV : TD : 100/70 mmHg, Suhu : 370C, Nadi :
98x/menit, Respirasi : 26x/menit, conjunctiva pucat, wajah dan bibir terlihat
pucat, lidah putih, ekstrimitas dingin dan sianosis. Kondisi fisik ibu yang
tercermin pada hasil pemeriksaan fisik menggambarkan bahwa secara umum ibu
mengalami anemia karena banyak kehilangan darah. Keadaan ibu yang lemas
dapat mengindikasikan adanya kehilangan cairan tubuh pada ibu karena
kehilangan darah ini. Nadi yang semakin cepat juga menggambarkan tubuh ibu
berusaha untuk mengkompensasi kehilangan darah yang dialaminya dengan
meningkatkan sirkulasi yang selanjutnya berakibat pada peningkatan cardiac
output dan denyut nadi.
Untuk penatalaksanaannya, sebelum melakukan penatalaksanaan pada
anemia, dilakukan rehidrasi untuk stabilisasi cairan dalam tubuh ibu dengan
menggunakan cairan Ringer Laktat. Selanjutnya, ibu diberikan transfusi darah
untuk mengkompensasi kadar Hb ibu yang hanya 6.9 gr%. Pada observasi
lanjutan saat malam hari kondisi ibu mulai membaik, tidak lagi muncul tanda pre
syok, tanda-tanda vital berangsur-angsur membaik. Pada hari berikutnya kondisi
ibu sudah tidak lagi lemah dan Hb nya pun meningkat menjadi 10,7 gr%
meskipun terbilang masih anemia, tetapi kondisi ini sudah jauh lebih baik apalagi
ibu juga memiliki riwayat anemia sebelum hamil.
58
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Hematoma adalah pecahnya pembuluh darah vena yang menyebabkan
perdarahan dapat terjadi pada saat kehamilan berlansung atau yang lebih
sering pada saat persalinan
2. Hematoma terjadi karena kompresi yang kuat disepanjang traktus
genitalia, dan tampak sebagai warna ungu pad amukosa vagina atau
perineum yang akimotik. Hematom yang kecil diatas dengan es analgesik
dan pemantauan yang terus menerus. Biasanya hematoma ini dapat
diserap kembali secara alami
3. Anemia post partum didefinisikan sebagai kadar hemoglobin kurang dari
10 g/dl
4. Pengobatan terhadap anemia postpartum tergantung dari derajat anemia
dan faktor risiko maternal atau faktor komorbiditas
5. Bidan diharuskan dapat menegakan diagnosa melalui anamnesa yang
tepat, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang tepat pula.
6.2 Saran
1. Mampu mendeteksi dini adanya komplikasi dalam masa nifas dan
memberikan asuhan yang tepat.
2. Memberikan KIE dengan benar mengenai masa nifas dan perawatan yang
harus dilakukan jika terjadi komplikasi.
3. Mampu memberikan dukungan psikologis bagi ibu maupun keluarga ibu
berkaitan dengan kondisi kesehatannya selama masa nifas.
4. Mampu memberikan pendampingan terhadap ibu saat melewati masa
nifasnya.
59
DAFTAR PUSTAKA
Admin. 2009. Perawatan Payudara. Diakses tanggal 11 Oktober 2015 dari
http://www.skripsistikes.com
Alimul, Aziz. 2004. Pengantar Konsep Dasar Keperawtan. Jakarta: EGC
Ambarwati, Eny Retna. 2009. Asuhan Kebidanan Nifas. Jakarta: Mitra Cendekia
Arita, Murwani. 2008. Perawatan paien Penyakit Dalam. Yogyakarta: Mitra
Cendekia
B D, Wyck V, G M. Intravenous Ferric Carboxymaltose Compared With Oral
Iron in the Treatment of Postpartum Anemia A Randomized Controlled
Trial. OBSTETRICS & GYNECOLOGY. 2007;110:267-78.
Bornard LM, et a. Who Should Be Screened for Postpartum Anemia? An
Evaluation of Current Recommendations. American Journal of
Epidemiology. 2002;156:903-12.
Caughlan S. Post-Partum Anemia: Can Prenatal Supplements Prevent It? 2009
[cited 16th November 2010]; Available from:
http://www.motherandchildhealth.com/Prenatal/prenatal.htm.
Chapman, Vicky. 2006. Asuhan Kebidanan Persalinan dan Kelahiran. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC
Cunningham F.G, Hauth J. C, Leveno K. J, Gilstrap L, Bloom S.L, dan Wenstrom
K.D. Williams obstetrics. Ed. 22nd. 2005. p.470-2
Dash S, Verghese J, Nizami DJ, Awasthi RT, Jaishi S, dan Sunil M. Severe
Hematoma of the vulva : A report of two cases and a clinical review.
Kathmandu University Medical Journal. 2006 : Vol. 4 No. 2. p. 228-31
Depkes RI. (2002). Keputusan Menkes RI No. 228/MENKES/SK/III/2002 tentang
Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit yang Wajib
Dilaksanakan Daerah.
Departemen Kesehatan RI. (2008). Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi
Buruk. Jakarta : Direktorat Bina Gizi Masyarakat.60
Dorland, Newman. 2008. Kamus Saku Kedokteran Dorland, Ed 28. Jakarta: EGC.
Ganong WF. Reviw Of Medical Physiology 21th ed. California: Lange Medical
Books/McGraw-Hill 2003.
Huch A, Eichhorn K-H, Danko J, Lauener P-A, Huch R. Recombinant Human
Erythropoietin in The Treatment of Postpartum Anemia. Obstetrics &
Gynecologic. 1992;80:127-31.
Hong, Hye Ri, et al. 2014. A Case Of Vulvar Hematoma With Rupture Of
Pseudoneurysm Of Pudendal Artery. Korea: Obstetrics & Gynecoloy
Science.
Kiefer D, dan Roman A.S. Management of hematomas incurred as a result of
obstetrical delivery. (Abstract) (online) [cited August 27th 2012] available
in URL : http://www.uptodate.com/home/institution/m anagement-of-
hematomas.html
Leveno, Kenneth et al. 2003. Williams Manual Of Obstetri, 21ST Ed. Jakarta: EGC
Lew I. Women & Anemia: Childbirth and Postpartum Anemia. NACC (National
Anemia Action Council); 2008 [cited 16th November 2010].
Manuaba, Ida BG. 1993. Penuntun Diskusi Obstetri dan Ginekologi. Jakart: EGC.
Manuaba, Ida BG. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan & Keluarga
Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.
Metz A.S. Vulvar vaginal reconstruction. (online) [cited August 27th 2012]
available in URL : http://emedicine.medscape.com/article/270286.
Nikilah, Okti. 2009. Paritas vs Perdarahan Post Partum. Diakses
(http://oktinikilah.blogspot.com/2009/03/paritas-vs-perdarahanpostpartum-
1.html) 11 Oktober 2015, 13.00 WIB)
Nugraheny, E. 2010. Asuhan Kebidanan Patologi. Yogyakarta: Pustaka Rihama.
Prawirohardjo,S., 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
61
Seid, Derman. Research Revews : Treating Postpartum Anemia with Intravenous
Ferric Carboxymaltose. National Anemia Action Council; 2008 [cited
16thNovember 2010]; Available from: http://www.anemia.org/.
Sheikh G.N. Perinatal genital hematomas. Obstet Gynecol 1971. Vol. 38. p.571
Singhal VP, Neelam, Harjit K. Ankur, Pradeep K, dan Nidhi K. Traumatic
Massive vulval hematomas : Case report. Int J of Gynae Plastic Surg.
2010 : Vol. II. p. 35-7
Soebroto,I., 2009. Cara mudah mengatasi problem Anemia. Yogyakarta: Bangkit
Taber, Benzion. 1994. Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri dan Ginekologi.
Jakarta: EGC
Varney, Helen. 2002. Buku Saku Bidan. Jakarta: EGC
Waryana, 2010. Gizi Reproduksi. Yogyakarta: Pustaka Rihama
Wiknjosastro, H. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
Wolf JR, Rosner MA. Postpartum Anemia. Obstetrics & Gynocology.
1953;1:387-93.
62