Post on 03-Apr-2018
7/28/2019 subdurahemorage
http://slidepdf.com/reader/full/subdurahemorage 1/12
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan syaraf yang terdapat pada otak
bagian sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Letak dari
ekstrapimidal adalah terutama di formatio retikularis dari pons dan medulla, dan di
target saraf di medulla spinalis yang mengatur refleks, gerakan-gerakan yang
kompleks, dan kontur bentuk tubuh.
Terapi antipsikotik, antiemetik dapat memberikan efek samping pengobatan,
utamanya penggunaan dalam jangka waktu yang panjang. Antipsikotik golongan
tipikal yang memiliki potensial tinggi dan pemberian dalam dosis tinggi paling
sering memberikan efek samping pada pasien karena memiliki afinitas yng kuat pada
reseptor muskarinik. Pendekatan farmakologi pada manifestasi psikosis ini terpusat
pada neurotransmitter yang mengontrol respon neuron-neuron terhadap rangsangan.
Sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang
ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik
golongan tipikal. Obat antipsikotik tipikal yang paling sering memberikan efek
samping gejala ekstrapiramidal yakni Haloperidol, Trifluoperazine, Pherpenazine,
Fluphenazine, dan dapat pula oleh Chlorpromazine. Gejala bermanifestasikan
sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigiditas, tetapi gejala-gejala tersebut di luar
kendali traktus kortikospinal (piramidal)
1.2 Tujuan
1. Memberikan gambaran obat antimuntah dapat menyebabkan gejala
ekstrapiramidal
2. Memberikan pengetahuan tentang gejala ekstrapiramidal
7/28/2019 subdurahemorage
http://slidepdf.com/reader/full/subdurahemorage 2/12
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Sindrom ekstrapiramidal merupakan suatu gejala atau reaksi yang
ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau jangka panjang dari
medikasi antipsikotik golongan tipikal dikarenakan terjadinya inhibisi
transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Adanya gangguan transmisi di
korpus striatum yan mengandung banyak reseptor D1 dan D2 dopamin
menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga bermanifestasi sebagai sindrom
ekstrapiramidal
2.2 Laporan Kasus
Seorang wanita 25 tahun didiagnosa penyakit hepatitis A. Karena
mual yang persisten/ terus menerus, kemudian di resepi obat metoclopramide
3x10 mg (iv). Setelah 2 hari pasien merasa leher menjadi kaku disertai nyeri,
kelopak mata berkedip terus, dan kesulitan berbicara. Saat terjadi episode
pasien masih dalam keadaan sadar. Setelah relaksasi dan beristirahat sebentar,
kepala dan mata kembali seperti semula. Gejala menghilang setelah di beri
biperidin 2 mg (iv). Tidak ada episode serangan setelah penggunaan
metoclopramid dihentikan. Gejala diatas merupakan karakteristik dari krisis
oculogiric (reaksi spesifik distonik).
2.3 Diskusi
Sindrom ekstrapiramidal yang terdiri dari reaksi distonia akut,akhatisia, dan sindrom parkinsonism umumnya terjadi akibat penggunaan obat-
obat antipsikotik maupun antiemetik. Lebih banyak diakibatkan oleh
antipsikotik tipikal terutama yang mempunyai potensi tinggi.
Reaksi distonia akut terjadi pada kira-kira 10% pasien, biasanya pada pria
7/28/2019 subdurahemorage
http://slidepdf.com/reader/full/subdurahemorage 3/12
3
muda. Tardive dyskinesia berupa gerakan involunter otot seperti mulut, rahang,
umumnya terjadi akibat penggunaan antipsikotik golongan tipikal jangka
panjang. Sekitar 20-30% pasien telah menggunakan antipsikotik tipikal dalam
kurun waktu 6 bulan atau lebih, berkembang menjadi tardive dyskinesia.
Sindrom parkinson umumnya timbul 1-3 minggu setelah pengobatan awal,
lebih sering pada dewasa muda, dengan perbandingan perempuan : laki-laki =
2:1.
a. Etiologi
Sindrom ekstrapiramidal terjadi akibat pemberian obat antipsikotik yang
menyebabkan adanya gangguan keseimbangan antara transmisi asetilkolin
dan dopamine pusat. Obat antispikotik dengan efek samping gejala
ekstrapiramidalnya sebagai berikut:
Tabel 1. Obat-Obat Antipsikotik dan Efek Samping Gejala Ekstrapiramidalnya
Obat antipsikotik Dosis (mg/hr) Gejala ekstrapiramidal
Chlorpromazine 150-1600 ++
Thioridazine 100-900 +
Perphenazine 8-48 +++
Trifluoperazine 5-60 +++
Fluphenazine 5-60 +++
Haloperidol 2-100 ++++
PATOFISIOLOGI
Susunan Piramidal
Semua neuron yang menyalurkan impuls motorik secara langsung ke lower motor
neuron (LMN) atau melalui interneuronnya, tergolong dalam kelompok upper motor
neuron (UMN). Neuron-neuron tersebut merupakan penghuni girus presentralis .
Oleh karena itu, maka girus tersebut dinamakan korteks motorik. Mereka berada
dilapisan ke-V dan masing-masing memiliki hubungan dengan gerak otok tertentu.
Melalui aksonnya neuron korteks motorik menghubungi motoneuron yang
membentuk inti motorik saraf kranial dan motoneuron dikornu anterius
7/28/2019 subdurahemorage
http://slidepdf.com/reader/full/subdurahemorage 4/12
4
medulaspinalis. Akson-akson tersebut menyusun jaras kortikobulbar dan
kortikospinal. Sebagai berkas saraf yang kompak mereka turun dari korteks motorik
dan ditingkat thalamus dan ganglia basalia mereka terdapat diantara kedua bangunan
yang dikenal sebagai kapsula interna.Sepanjang batang otak, serabut-serabut kortikobulbar meninggalkan kawasan mereka
untuk menyilang garis tengah dan berakhir secara langsung di motorneuron saraf
kranial motorik atau interneuronnya disisi kontralateral. Sebagian dari serabut
kortikobulbar berakhir di inti-inti saraf kranial motorik sisi ipsilateral juga.
Diperbatasan antara medulla oblongata dan medulla spinalis, serabut-serabut
kortikospinal sebagian besar menyilang dan membentuk jaras kortikospinal lateral
yang berjalan di funikulus posterolateral kontralateralis. Sebagian dari mereka tidak
menyilang tapi melanjutkan perjalanan ke medula spinalis di funikulus ventralis
ipsilateralis dan dikenal sebagai jaras kortikospinal ventral atau traktus piramidalis
ventralis.
Susunan Ekstrapiramidal
Susunan ekstrapiramidal terdiri atas korpus striatum, globus palidus, inti-inti talamik,
nukleus subtalamikus, subtansia nigra, formatio retikularis batang otak,serebelum
berikut dengan korteks motorik tambahan, yaitu area 4, area 6 dan area 8.
komponen-komponen tersebut dihubungkan satu dengan yang lain oleh akson
masing-masing komponen itu. Dengan demikian terdapat lintasan yang melingkar yang dikenal sebagai sirkuit. Oleh karena korpus striatum merupakan penerima
tunggal dari serabut-serabut segenap neokorteks, maka lintasan sirkuit tersebut
dinamakan sirkuit striatal yang terdiri dari sirkuit striatal utama (principal) dan 3
sirkuit striatal penunjang (aksesori). Sirkuit striatal prinsipal tersusun dari tiga mata
rantai, yaitu (a) hubungan segenap neokorteks dengan korpus striatum serta globus
palidus, (b) hubungan korpus striatum/globus palidus dengan thalamus dan (c)
hubungan thalamus dengan korteks area 4 dan 6. Data yang tiba diseluruh neokorteks
seolah-olah diserahkan kepada korpus striatum/globus paidus/thalamus untuk
diproses dan hasil pengolahan itu merupakan bahan feedback bagi korteks motorik
dan korteks motorik tambahan. Oleh karena komponen-komponen susunan
ekstrapiramidal lainnya menyusun sirkuit yang pada hakekatnya mengumpani sirkuit
striata utama, maka sirkuit-sirkuit itu disebut sirkuit striatal asesorik.
Sirkuit striatal asesorik ke-1 merupakan sirkuit yang menghubungkan stratum-globus
7/28/2019 subdurahemorage
http://slidepdf.com/reader/full/subdurahemorage 5/12
5
palidus-talamus-striatum. Sirkuit-striatal asesorik ke-2 adalah lintasan yang
melingkari globus palidus-korpus subtalamikum-globus palidus. Dan akhirnya
sirkuit asesorik ke-3, yang dibentuk oleh hubungan yang melingkari striatum-
subtansia nigra-striatum. Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapaderajat disfungsi ekstrapiramidal dikarenakan inhibisi transmisi dopaminergik di
ganglia basalis. Pada pasien skizofrenia dan pasien dengan gangguan psikotik
lainnya terjadi disfungsi pada sistem dopamin sehingga antipsikotik tipikal berfungsi
untuk menghambat transmisi dopamin di jaras ekstrapiramidal dengan berperan
sebagai inhibisi dopaminergi yakni antagonis reseptor D2 dopamin. Namun
penggunaan zat-zat tersebut menyebabkan gangguan transmisi di korpus striatum
yang mengandung banyak reseptor D1 dan D2 dopamin. Gangguan jalur striatonigral
dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga bermanifestasi sebagai
sindrom ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik tipikal (seperti haloperidol,
fluphenazine) merupakan inhibitor dopamin ganglia basalis yang lebih poten,
menyebabkan efek samping gejala ekstrapiramidal yang lebih menonjol.
GEJALA KLINIS
Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia,
tardive dyskinesia, akatisia, dan Sindrom Parkinson.
Reaksi Distonia akut
Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet yangtimbul beberapa menit dan dapat pula berlangsung lama, biasanya menyebabkan
gerakan atau postur yang abnormal. Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah
otot wajah, leher, lidah atau otot ekstraokuler, bermanifestasi sebagai tortikolis,
disastria bicara, krisis okulogirik dan sikap badan yang tidak biasa hingga
opistotonus (melibatkan seluruh otot tubuh). Hal ini akan menggangu pasien, dapat
menimbulkan nyeri hingga mengancam nyawa seperti distonia laring atau
diafragmatik. Reaksi distonia akut sering terjadi dalam satu atau dua hari setelah
pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Distonia lebih banyak
diakibatkan oleh psikotik tipikal terutama yang mempunyai potensi tinggi dan dosis
tinggi seperti haloperidol, trifluoroperazin dan fluphenazine. Terjadi pada kira-kira
10% pasien, lebih lazim pada pria muda. Otot-otot yang sering mengalami spasme
adalah otot leher (torticolis dan retrocolis), otot rahang (trismus, gaping, grimacing),
lidah (protrusionaI, memuntir) atau spasme pada seluruh otot tubuh (opistotonus).
7/28/2019 subdurahemorage
http://slidepdf.com/reader/full/subdurahemorage 6/12
6
Pada mata terjadi krisis okulogirik. Distonia glosofaringeal yang menyebabkan
disartri, disfagia, kesulitan bernafas hingga sianosis bahkan kematian. Spasme otot
dan postur yang abnormal, umumnya yang dipengaruhi adalah otot-otot di daerah
kepala dan leher tetapi terkadang juga daerah batang tubuh dan ekstremitas bawah.Kriteria diagnostik dan riset untuk distonia akut akibat neuroleptik menurut
DSM-IV adalah sebagai berikut:
Posisi abnormal atau spasme otot kepala, leher, anggota gerak, atau batang tubuh
yang berkembang dalam beberapa hari setelah memulai atau menaikkan dosis
medikasi neuroleptik (atau setelah menurunkan medikasi yang digunakan untuk
mengobati gejala ekstrapiramidal).
Posisi Abnormal pada Pasien yang Mengalami Distonia
a. Satu (atau lebih) tanda atau gejala berikut yang berkembang berhubungan dengan
medikasi neuroleptik:
1. Posisi abnormal kepala dan leher dalam hubungannya dengan tubuh (misalnya
tortikolis)
2. Spasme otot rahang (trismus, menganga, seringai)
3. Gangguan menelan (disfagia), bicara, atau bernafas (spasme laring-faring,
disfonia)
4. Penebalan atau bicara cadel karena lidah hipertonik atau membesar (disartria,
makroglosia)5. Penonjolan lidah atau disfungsi lidah
6. Mata deviasi ke atas, ke bawah, ke arah samping (krisis okulorigik)
7. Posisi abnormal anggota gerak distal atau batang tubuh.
b. Tanda atau gejala dalam kriteria A berkembang dalam tujuh hari setelah memulai
atau dengan cepat menaikkan dosis medikasi neuroleptik, atau menurunkan medikasi
yang digunakan untuk mengobati (atau mencegah) gejala ekstrapiramidal akut
(misalnya obat antikolinergik).
c. Gejala dalam kriteria A tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan mental
(misalnya gejala katatonik pada skizofrenia). Tanda-tanda bahwa gejala lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental dapat berupa berikut : gejala mendahului
pemaparan dengan medikasi neuroleptik atau tidak sesuai dengan pola intervensi
farmakologis (misalnya tidak ada perbaikan setelah menurunkan neuroleptik atau
pemberian antikolinergik).
7/28/2019 subdurahemorage
http://slidepdf.com/reader/full/subdurahemorage 7/12
7
d. Gejala dalam kriteria A bukan karena zat nonneuroleptik atau kondisi neurologis
atau medis umum. Tanda-tanda bahwa gejala adalah karena kondisi medis umum
dapat berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik,
terdapat tanda neurologis fokal yang tidak dapat diterangkan, atau gejala berkembang tanpa adanya perubahan medikasi.
Akatisia
Manifestasi berupa keadaan gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap
bergerak, atau rasa gatal pada otot. Manifestasi klinis berupa perasaan subjektif
kegelisahan (restlessness) yang panjang, dengan gerakan yang gelisah, umumnya
kaki yang tidak bisa tenang. Penderita dengan akatisia berat tidak mampu untuk
duduk tenang, perasaannya menjadi cemas atau iritabel. Akatisia sering sulit dinilai
dan sering salah diagnosis dengan anxietas atau agitasi dari pasien psikotik, yang
disebabkan dosis antipsikotik yang kurang. Pasien dapat mengeluh karena anxietas
atau kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai gejala psikotik yang
memburuk. Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik yang
memburuk. Sebaliknya akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik
akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim. Agitasi, pemacuan yang nyata, atau
manifesatsi fisik lain dari akatisia hanya dapat ditemukan pada kasus yang berat.
Sindrom Parkinson
Faktor risiko antipsikotik menginduksi parkinsonism adalah peningkatan usia, dosis
obat, riwayat parkinsonism sebelumnya, dan kerusakan ganglia basalis. Terdiri dari
akinesia, tremor, dan bradikinesia. Akinesia meliputi wajah topeng, jedaan dari
gerakan spontan, penurunan ayunan lengan saat berjalan, penurunan kedipan, dan
penurunan mengunyah yang dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada suatu
bentuk yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu status perilaku
dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk memulai
aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala skizofrenia negatif.
Tremor dapat ditemukan pada saat istirahat dan dapat pula mengenai rahang. Gaya
berjalan dengan langkah kecil dan menyeret kaki diakibatkan karena kekakuan otot.
7/28/2019 subdurahemorage
http://slidepdf.com/reader/full/subdurahemorage 8/12
8
Tardive Dyskinesia
Disebabkan oleh defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif
reseptor dopamin di puntamen kaudatus. Merupakan manifestasi gerakan ototabnormal, involunter, menghentak, balistik, atau seperti tik mempengaruhi gaya
berjalan, berbicara, bernafas, dan makan pasien dan kadang mengganggu. Faktor
predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan
berdosis tinggi atau jangka panjang. Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang timbul
dengan berjalannya waktu dan umumnya memburuk dengan penarikan neuroleptik.
Diagnosis banding jika dipertimbangkan diskinesia tardive meliputi penyakit
Hutington, Khorea Sindenham, diskinesia spontan, tik dan diskinesia yang
ditimbulkan obat seperti Levodova, stimulant, dan lain-lain.
Gerakan Involunter pada Tardive Dyskinesia
Perlu dicatat bahwa tardive diskinesia yang diduga disebabkan oleh
kesupersensitivitasan reseptor dopamin pasca sinaptik akibat blockade kronik dapat
ditemukan bersama dengan sindrom parkinson yang diduga disebabkan karena
aktifitas dopaminergik yang tidak mencukupi. Pengenalan awal perlu karena kasus
lanjut sulit diobati. Banyak terapi yang diajukan tetapi evaluasinya sulit karena
perjalanan penyakit sangat beragam dan kadang-kadang terbatas. Diskinesia tardive
dini atau ringan mudah terlewatkan dan beberapa merasa bahwa evaluasi sistemik,Skala Gerakan Involunter Abnormal (AIMS) harus dicatat setiap enam bulan untuk
pasien yang mendapatkan pengobatan neuroleptik jangka panjang.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan umum untuk sindrom ekstrapiramidal yakni dengan mulai
menurunkan dosis antipsikotik, kemudian pasien diterapi dengan antihistamin seperti
difenhidramine, sulfas atropine atau antikolinergik seperti trihexyphenidil ((THP), 4-
6mg per hari selama 4-6 minggu. Setelah itu dosis diturunkan secara perlahan-lahan,
yaitu 2 mg setiap minggu, untuk melihat apakah pasien telah mengembangkan suatu
toleransi terhadap efek samping sindrom ekstrapiramidal ini. Dosis antipsikotik
diturunkan hingga mencapai dosis minimal yang efektif. Antihistamin yang dapat
digunakan seperti difenhidramin pada pasien yang mengalami distonia. Selain itu
epinefrin dan norepinefrin juga memberikan efek menurunkan konsentrasi
7/28/2019 subdurahemorage
http://slidepdf.com/reader/full/subdurahemorage 9/12
9
antipsikotik dalam plasma sehingga absorbsi reseptor dopamin berkurang dan efek
gejala ekstrapiramidal dari antipsikotik dapat berkurang.
Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga dianjurkan untuk
memberikan terapi profilaktik. Gejala ini penting terutama pada pasien denganriwayat pernah mengalami sindrom ekstrapiramidal sbelumnya atau pada pasien
yang mendapat neuroleptik poten dosis tinggi. Umumnya disarankan bahwa suatu
usaha dilakukan setiap enam bulan untuk menarik medikasi anti-ekstrapiramidal
sindrom pasien dengan pengawasan seksama terhadap kembalinya gejala.1
Pasien yang mengalami reaksi distonia akut harus segera ditangani. Penghentian
obat-obatan psikotik yang sangat dicurigai sebagai penyebab reaksi harus dilakukan
sesegera mungkin. Pemberian terapi antikolinergik merupakan terapi primer yang
diberikan. Bila reaksi distonia akut berat harus mendapatkan penanganan cepat dan
agresif. Umumnya lebih praktis untuk memberikan difenhidramin 50 mg IM atau
bila obat ini tidak tersedia gunakan benztropin 2 mg IM.1,2
Penatalaksanaan akatisia dengan memberikan anti kolinergik dan amanditin, dan
pemberian proanolol dan benzodiazepine seperti klonazepam dan lorazepam.
Untuk sindrom parkinson diberikan agen antikolinergik. Sementara untuk tardive
dyskinesia ditangani dengan pemakaian obat neuroleptik secara bijaksana untuk
dosis medikasinya. Levadopa yang dipakai untuk pengobatan penyakitan Parkinson
idiopatik umumnya untuk tidak efektif akibat efek sampingnya yang berat. Namun
penggunaan golongan Benzodiazepin dapat mengurangi gerakan involunter pada banyak pasien.
DIAGNOSIS BANDING
Sindrom ekstrapiramidal dapat didiagnosis banding sebagai berikut:1,2
1. Sindroma putus obat
2. Parkinson disease
3. Tetanus
4. Gangguan gerak ekstrapiramidal primer
5. Distonia primer
Pada pasien dengan tardive diskinesia dapat pula didiagnosis banding meliputi
penyakit Hutington, Khorea Sindenham.
7/28/2019 subdurahemorage
http://slidepdf.com/reader/full/subdurahemorage 10/12
10
PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang akut akan lebih baik
bila gejala langsung dikenali dan ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada pasiendengan sindrom ekstrapiramidal yang kronik lebih buruk, pasien dengan tardive
distonia hingga distonia laring dapat menyebabkan kematian bila tidak diatasi
dengan cepat. Sekali terkena, kondisi ini biasanya menetap pada pasien yang
mendapat pengobatan neuroleptik selama lebih dari 10 tahun.
KOMPLIKASI
Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu sehingga
menurunkan kualitas penderita dalam beraktivitas dan gaangguan gerak saat berjalan
dapat menyebabkan penderita terjatuh dan mengalami fraktur. Pada distonia laring
dapat menyebabkan asfiksia dan kematian. Medikasi anti-EPS mempunyai efek
sampingnya sendiri yang dapat menyebabkan komplikasi yang buruk. Anti
kolinergik umumnya menyebabkan mulut kering, penglihatan kabur, gangguan
ingatan, konstipasi dan retensi urine. Amantadine dapat mengeksaserbasi gejala
psikotik.
7/28/2019 subdurahemorage
http://slidepdf.com/reader/full/subdurahemorage 11/12
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sindrom ekstrapiramidal merupakan kumpulan gejala yang dapat
diakibatkan oleh penggunaan antipsikotik. Antipsikotik yang menghambat
transmisi dopamine di jalur striatonigral juga memberikan inhibisi transmisi
dopaminergik di ganglia basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus striatum
menyebabkan depresi fungsi motorik. Umumnya terjadi pada pemakaian jangka
panjang antipsikotik tipikal dan penggunaan dosis tinggi.
Manifestasi sindrom ini dapat berupa reaksi distonia, sindrom
parkinsonisme, dan tardive dyskinesia. Gejala ekstrapiramidal dapat sangat
menekan sehingga dianjurkan memberikan terapi profilaktik. Sindrom
ekstrapiramidal ditangani dengan mulai menurunkan dosis antipsikotik,
kemudian pasien diterapi dengan antihistamin dan antikolinergik seperti
trihexyphenidil (THP) dan difenhidrami. Bila reaksi distonia akut berat harus
mendapatkan penanganan cepat umumnya diberikan Beztropin secara IV atau
difenhidramin secara IM. Untuk akatisia diberikan antikolinergik dan
amantadin, dan pemberian proanolol dan benzodiazepine seperti klonazepam
dan lorazepam.
Pengenalan gejala dengan cepat dan penatalaksanaan yang baik dapat
memperbaiki prognosis. Namun penangan yang terlambat dapat memberikankomplikasi mulai dari gejala yang irreversibel hingga kematian
.
7/28/2019 subdurahemorage
http://slidepdf.com/reader/full/subdurahemorage 12/12
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Miller LG, Jankovic J. Metoclopramide-induced movement disorders.Clinical
findings with a review of the literature. Arch Intern Med 1989; 149: 2486-92.2. Rang, HP, Dale MM, Ritter JM, et al. Pharmacology (5th ed.). Edinburgh:
Churchill Livingstone. ISBN 0-443-07145-4, 2003
3. Guala A, Mittino D, Ghini T, Quazza G. Are metoclopramide dystonias
familial? Pediatr Med Chir 1992; 14: 617-8.
4. Geyer HL, Bressman SB. The diagnosis of dystonia. Lancet Neurol 2006; 5:
780-90.
5. Bressman SB. Dystonia genotypes, phenotypes, and classification. Adv
Neurol 2004; 94: 101-7.
6. Herrstedt J. Development of antiemetic therapy in cancer patients. Acta
Oncol 1995; 34: 637-40.
7. Albibi R, McCallum RW. Metoclopramide: pharmacology and clinical
application. Ann Intern Med 1983; 98: 86-95.
8. DiPalma JR. Metoclopramide: a dopamine receptor antagonist. Am Fam
Physician 1990; 41: 919-24.. Halac G, Ergunes M, Kocael P.
Metoclopramide induced acute dystonic reaction: a case report. Parkinson
Hast Hareket Boz Der 2009; 12: 35-8.