Bab 2 TAKLIK TALAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.radenfatah.ac.id/6603/3/BAB 2 cc.pdfuntuk...
Transcript of Bab 2 TAKLIK TALAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.radenfatah.ac.id/6603/3/BAB 2 cc.pdfuntuk...
1
Bab 2
TAKLIK TALAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Rumusan Tentang Taklik Talak
Sebelum mengemukakan taklik talak dalam perspektif hukum Islam, maka akan
dijelaskan pengertian umum taklik talak terlebih dahulu. Secara etimologis “taklik
talak” terdiri dari dua unsur kata yaitu taklik (تعلق) dan talak ( الطلق). Kata taklik beakar
dari kata “allaqa - yu’alliqu - ta’liqan” ( علق- يعلق - تعلق ) yang artinya bergantung.
Sementara itu kata berarti الطلق melepaskan atau meninggalkan. Kata Thalaq
(Arab) telah diserap dalam bahasa Indonesia yang berarti cerai atau
perceraian. Penyerapan kata taklik talak dalam bahasa Indonesia, terdapat dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi terbaru, yang diterbitkan di Jakarta oleh
Tim Pustaka, Cet ke-4 pada tahun 2009, oleh Penerbit Media Pustaka, bahwa taklik
dalam tulisan dengan bacaan “ta’lik” yang memiliki arti perjanjian kawin; kemudian
kata bertaklik berarti mengucapkan pernyataan; mengucapkan janji, dan kata talak
berarti cerai; perceraian menurut Islam dari pihak laki-laki kepada istrinya, sehingga
taklik talak memiliki arti bahwa pernyataan jatuhnya talak atau cerai, sesuai dengan
janji yang telah diucapkan (karena melanggar janji pernikahan). Artinya sesuatu itu
(perjanjian) disusun atau dibuat dan disepakati pada waktu pelaksanaan akad nikah
sehingga pelanggaran terhadap apa yang disepakati ini menjadi dasar terjadinya
perceraian atau perpisahan jika salah satu pihak tidak rela atas pelanggaran yang
diperjanjikan tersebut.
Disamping istilah yang disebutkan di atas Sayyid Sabiq menyebutnya dalam
bukunya Fiqh Sunnah Jilid VIII (1983, hlm. 223), bahwa taklik talak memiliki
makna melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan yang
2
jatuhnya digantungkan kepada suatu syarat.
Secara terminologis, disebutkan oleh Moch. Anwar dalam bukunya Dasar-
Dasar Hukum Islam dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama, yang
dimaksud dengan taklik talak ialah menyandarkan jatuhnya talaq kepada sesuatu
perkara, baik kepada ucapan, perbuatan maupun waktu tertentu. Hal ini dengan tujuan
untuk menjaga perbuatan sewenang-wenang dari pihak suami. Dalam hal ini taklik
talak ini dilakukan setelah akad nikah, baik langsung waktu itu maupun di waktu lain.
(Moch. Anwar 1991, hlm. 68).
Selanjutnya dalam buku Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang
Perkawinan, dijelaskan bahwa pengertian taklik talak adalah suatu talak yang
digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu
perjanjian yang telah diperjanjikan lebih dahulu (Soemiyati 2004, hlm. 115).
Jumhur ulama berpendapat bahwa apabila seseorang telah mentaklikkan
talaknya yang dalam wewenangnya dan telah terpenuhi syarat-syaratnya sesuai dengan
yang dikehendaki oleh mereka masing-masing, maka taklik itu dianggap sah untuk
semua bentuk taklik, baik taklik itu mengandung sumpah (qasamy) atau mengandung
syarat biasa. Karena orang yang mentaklikkan talaknya itu tidak menjatuhkan talaknya
pada saat orang itu mengucapkannya, akan tetapi orang itu menggantungkan talak
kepada telah terpenuhinya syarat yang terkandung dalam ucapannya. (Mahmoud
Syaltout 1978, hlm. 227).
Pendapat jumhur inilah yang dianut oleh Pemerintah Hindia Belanda di
Indonesia, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Staatblad 1882 No. 152,
bahwa Raad Agama berwenang untuk memeriksa bahwa syarat taklik telah berlaku.
Hingga sampailah pada saat setelah Indnesia Merdeka rumusan sighat taklik talak
ditentukan oleh Departemen Agama dengan maksud untuk membatasi agar bentuk
sighat taklik talak tidak secara bebas begitu saja diucapkan oleh suami, juga bertujuan
3
agar terdapat keseimbangan antara hak talak yang diberikan secara mutlak kepada
suami dengan perlindungan terhadap isteri dari perbuatan kesewenang-wenangan suami.
Perubahan mengenai kualitas syarat taklik talak yang berlaku di Indonesia sejak
sebelum merdeka (19400 hingga setelah merdeka, yakni yang ditentukan oleh
Departemen Agama, masing-masing pada tahun 1947, 1950, 1956 dan tahun 1975
semakin menunjukkan kualitas yang lebih sesuai dengan asas syari’i, yakni
mempersukar terjadinya perceraian dan sekaligus melindungi isteri dari perbuatan
sewenang-wenang suami. (Mohd. Idris Ramulyo 1996, hlm. 119 ).
Perlunya pengaturan sighat taklik secara formal oleh Menteri Agama adalah
dimaksudkan agar relevan dengan asas-asas syar’i tentang perceraian, demikian pula
agar relevan dengan asas-asas yang terkandung dengan UU Perkawinan khususnya yang
berkaitan dengan alasan perceraian. Oleh karena itu rumusan sighat taklik talak
sebagaimana yang terakhir ditetapkan dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun
1990 juncto sesuai dengan yang dimaksudkan dalam Pasal 46 ayat (2) KHI yang
dianggap telah memadai dan relevan dengan asas-asas tersebut. Dengan kata lain semua
bentuk taklik talak selain (di luar) yang ditentukan oleh Departemen Agama/Menteri
Agama seharusnya dianggap tidak pernah terjadi.
Berdasarkan ketentuan umum rumusan taklik talak pada Kompilasi Hukum
Islam, yang terbit berdasarkan Intruksi Presiden RI Nomor I Tahun 1991, pasal I point
(e) mengenai yang dimaksudkan dengan taklik talak ialah perjanjian yang diucapkan
calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalan Kutipan Akta Nikah
berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin
terjadi di masa yang akan datang. Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa
talak yang jatuhnya digantungkan pada suatu perkara dan berdasarkan substansi yang
pada prinsipnya berdasakan perjanjian perkawinan yang dapat menjadi dasar dan alasan
terjadinya perpisahan / perceraian antara suami dan istri merupakan pokok taklik talak.
4
Sejarah Taklik Talak di Indonesia
Menurut catatan sejarah, pelembagaan taklik talak mulai dari masa kerajaan di
Nusantara yakni pada masa perintah Sultan Agung Hanyakrakususma, Raja Mataram
Jawa (1554-1630 Masehi). Hal ini bermula dalam upaya memberi kemudahan bagi
wanita untuk melepaskan ikatan perkawinan dari suami yang meninggalkan pergi dalam
jangka waktu tertentu, disamping jaminan bagi suami bila berpergian itu adalah dalam
tugas negara. Taklik itu disebut Takluk Janji Dalem, atau “taklek janjining ratu”
artinya taklik dalam kaitan dengan tugas negara. Pada masa itu taklik tidak dibaca
oleh pengantin pria, tetapi diucapkan oleh penghulu Naib dan cukup dengan dijawab
dengan Hinggih sendika (Saya bersedia). Salah bentuk penerapan itu dulu berlaku di
daerah tanah jawa diantaranya daerah Surakarta sampai masa menjelang kemerdekaan
(Adnan 1984, hlm. 70).
Dalam suasana pemerintahan Hindia Belanda, sejak Daendels mengeluarkan
Instruksi bagi Bupati tahun 1808, kemudian ditegaskan dalam Stb. 1835 Nomor 58
untuk mengawasi tugas para penghulu, Stb. 1882 Nomor 152 tentang pembentukan
Raad Agama dimana penghulu juga menjadi ketuanya, kemudian keluar Ordonansi
Pencatatan Perkawinan Stb. 1895 Nomor 198 jis Stb. 1929 Nomor 348 dan Stb. 1931
Nomor 348, Stb. 1933 Nomor 98 untuk Solo dan Jogya, maka timbul gagasan para
Penghulu dan Ulama dengan persetujuan Bupati, untuk melembagakan taklik talak
sebagai sarana pendidikan bagi para suami agar lebih mengerti kewajibannya terhadap
istri, yaitu dengan tambahan rumusan sighat tentang kewajiban nafkah dan tentang
penganiayaan suami. Sehingga dengan dirumuskanya bentuk taklik talak di Jawa itu
sangat bermanfaat dalam menyelesaikan perselisihan suami istri, maka banyak penguasa
daerah di luar Jawa dan Madura memberlakukannya di daerah masing-masing.
Kemudian ini menjadi lebih merata dengan berlakunya Ordonansi Pencatatan Nikah
5
untuk luar Jawa dan Madura, yakni Stb. 1932 Nomor 482. Hal ini berkembang sekitar
tahun 1925 sudah berlaku taklik talak di daerah Minangkabau, bahkan di Muara
Tembusi sudah sejak 1910, begitu juga pula di Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan
Selatan serta Sulawesi Selatan (Noeh 1997, hlm. 66).
Adapun pada masa perjuangan Indonesia setelah merdeka, perkembangan
hukum Islam tentang taklik talak dengan berlakunya Undang- Undang Nomor 2 Tahun
1946 Jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1952, maka ketentuan tentang sighat
taklik talak diberlakukan seragam diseluruh Indonesia, dengan pola saran Sidang
Khusus Birpro Peradilan Agama pada Konferensi Kerja Kementerian Agama di Tretes,
Malang tahun 1856. (Buku Laporan Kementerian Agama 1956, hlm. 322), dan
perkembangan terakhir setelah Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
dengan bunyi sighat taklik talak yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Agama
Nomor 2 Tahun 1990 :
Sesudah akad nikah saya.........bin.........berjanji dengan sesungguh hati,bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akansaya pergauli istri saya bernama ........ binti....... dengan baik (mu’asyarah bilma’ruf) menurut ajaran syariat Agama Islam.Selanjutnya saya mengucapkan sighat taklik atas istri saya itu sebagaiberikut:Sewaktu-waktu saya:1) Meningalkan istri saya tersebut enam bulan berturut-turut;2) Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya;3) Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya itu;4) Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya itu enam bulan
lamanya:Kemudian istri saya itu tidak ridha dan mengadukan halnya kepada
Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurusi pengaduan itu, danpengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut,dan istri saya membayar uang sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah)sebagai ‘iwadl (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satukepadanya.
Kepada Pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untukmenerima uang ‘iwadl (pengganti) itu dan kemudian menyerahkannya kepada
6
Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Pusat, untuk keperluan ibadah sosial(Mimbar Hukum 1995, hlm. 70).
Apa yang dicatat tersebut di atas adalah sighat taklik Indonesia. Isi dalam
sighat tersebut adalah perjanjian perkawinan antara suami dan isteri. Janji tersebut
diucapakan sebagai suatu hal untuk menunjukkan penekanan, bahwa pada prinsipnya
dalam taklik talak adalah perjanjian perkawinan. Apabila perjanjian tersebut
dilanggar dapat menjadi alasan terjadinya perceraian antara suami dan isteri. Dengan
demikian, menjadi semakin jelas bahwa taklik talak pada prinsipnya sama dengan
perjanjian perkawinan. Dalam hal ini taklik talak merupakan bagian dari perjanjian
perkawinan. Dengan ungkapan lain, perjanjian perkawinan dapat dalam bentuk taklik
talak dan dapat pula dalam bentuk lain di luar taklik talak.
Sejalan dengan isi sighat taklik tersebut, dalam perundang-undangan
perkawinan Indonesia taklik talak masuk pada pasal perjanjian perkawinan, yang
tercantum pada Bab V, Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan. Demikian juga perjanjian perkawinan dicantumkan dalam Kompilasi
Hukum Islam Indonesia (KHI), yang diatur dalam Bab VII: Perjanjian Perkawinan (KHI
Pasal 45 sampai dengan Pasal 52).
Untuk mengetahui sejarah perkembangan taklik talak sedikit lebih rinci di
Indonesia dapat dijelaskan bahwa pelembagaan taklik talak di mulai dari perintah
Sultan Agung Hanyakrakusuma, Raja Mataram (1554 Jawa/1630 Masehi) dalam upaya
memberi kemudahan bagi wanita untuk melepaskan ikatan perkawinan dari suami yang
meninggalkan pergi dalam jangka waktu tertentu, disamping jaminan bagi suami bila
kepergian itu adalah dalam rangka tugas Negara. Taklik itu disebut Taklek Janji Dalem
atau taklek janjiningratu. Artinya taklik talak dalam kaitan dengan tugas negara, yang
aslinya berbunyi :
7
“Mas Penganten, pekenira tompo Taklek Jangji Dalem, samongsopekanira nambang (ninggal) rabi pakenira ....... lawase pitung sasi lakondaratan, hutawa nyabrang sagara rong tahun, saliyane ngelakoni hayahandalem, tan terimane rabi pakenira nganti darbe hatur rapak (sowan) hingpangadilan hukum, sawuse terang papriksane runtuh talak pakanira sawijiâ”.Arti Bahasa Indonesianya adalah “Wahai penganten, dikau memperoleh Ta’liqJanji Dalem, sewaktu-waktu dikau menambang (meninggalkan) isterimubernama ....... selama tujuh bulan perjalanan darat, atau menyeberang lautandua tahun, kecuali dalam menjalankan tugas Negara, dan isterimu tidak relasehingga mengajukan rapak (menghadap) ke pengadilan hukum, setelah jelasdalam pemeriksaannya, maka jatuhlah talaqmu satu”.Taklik ini tidak dibacaoleh penganten pria, tetapi diucapkan oleh Penghulu Naib dan cukup dengandijawab: Hinggih sendika (iya saya bersedia) (Noeh 1997, hlm. 64-65).Menurut Zaini Ahmad Noeh, dalam bukunya Kepustakaan Jawa Sebagai
Sumber Sejarah Perkembangan Hukum Islam, kemudian juga menurut Amrullah
Ahmad, dalam Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional
di Indonesia (1994, hlm. 317), dijelasakan mengenai pelembagaan taklik talak dan
gono-gini yang terjadi pada masa kerajaan Mataram merupakan pengembangan dari
pemikiran dan pemahaman ulama terhadap hukum Islam, terutama yang berkaitan
dengan masalah talak atau perpisahan antara suami dan isteri.
Setelah Belanda datang ke Indonesia didapati kenyataan bahwa taklik talak
telah hidup dalam masyarakat. Yang pertama kali menemukan taklik talak yang dalam
bahasa Belanda disebut voorwaardelijke verstoting di Indonesia adalah Snouck
Hurgronje ketika membahas masalah hukum adat. Dalam rangka memuluskan missinya
ke Indonesia, yakni misi dagang dan missi penjajahan, Belanda mengambil sikap netral
terhadap hukum Islam sebagai hukum yang telah berkembang dalam masyarakat.
Kebijakan tersebut diambil Belanda, menurut Belanda sebagaimana dikutip (Gunaryo
t.t., hlm. 65), didasarkan pada sikap kontradiktif antara rasa takut dan harapan yang
berlebihan. Sebagai penjajah, Belanda memiliki keinginan yang besar untuk
memperkuat kekuasaannya. Sebaliknya setiap usaha untuk melakukan konsolidasi
kekuatan akan berpotensi mendapatkan perlawanan dari umat Islam. Dalam pandangan
8
penjajah sentimen keagamaan bisa jadi potensi yang cukup dahsyat untuk mengusir
penjajah, karena dalam keyakinan mereka mengusir penjajah kafir dari tanah air adalah
bagian dari keimanan yang termasuk ketagori jihad. Potensi inilah yang manjadi
kekhawatiran Belanda untuk mencampuri persoalan-persoalan keagamaan penduduk
pribumi. Sedangkan Untuk mendukung missinya tersebut keluarlah kebijakan Gubernur
Jenderal yang pada intinya melarang mencampuri persoalan agama penduduk pribumi.
Kebijakan ini ditujukan kepada para Bupati di Jawa dan Madura. Kebijakan tersebut
tertuang dalam penetapan Gubernur Jenderal (Bt. 19 Mei 1820 Nomor 1). Kebijakan
kedua tertuang dalam pasal 119 Undang-undang Hindia Belanda (Regeering Reglement
1854) yang ditujukan kepada semua orang setiap individu untuk memberikan kebebasan
melaksanakan agamanya. Kemudian sebagai bentuk pengakuan Kolonial Belanda
terhadap hukum Islam di Indonesia pada tahun 1882 berdasarkan Staatsblad 1882
Nomor 152 dibentuklah Peradilan Agama yang diberi nama Priesterraden atau disebut
Raad Agama atau Rapat Agama atau Pengadilan Agama. Dinyatakan berlaku sejak
tanggal 1 Agustus 1 882 yang dimuat dalam Staatsblad 1882 Nomor 153.
Untuk pemberlakuan taklik talak maka keluarlah Ordonansi Pencatatan Perkawinan Stb.
1895 Nomor 198 jis Stb 1929 No. 348 dan Stb. 1931 No. 348, Stb. 1933 Nomor 98
yang berlaku untuk Solo dan Yogyakarta ( Noeh 1997, hlm. 65-66).
Sejak keluarnya Ordonansi tersebut maka timbullah gagasan para ulama
dengan persetujuan Bupati untuk melembagakan taklik talak sebagai sarana pendidkan
bagi para suami agar lebih mengerti kewajiban terhadap isteri, dengan beberapa
tambahan rumusan sighat, termasuk kewajiban nafkah dan tentang penganiayaan
jasmani. Selanjutnya sighat taklik talak tidak lagi diucapkan oleh Pegawai Pencatat
Nikah, tetapi dibaca atau diucapkan sendiri oleh suami. Melihat bahwa bentuk taklik
talak di Jawa bermanfaat dalam menyelesaikan perselisihan suami isteri, maka banyak
penguasa daerah luar Jawa dan Madura memberlakukannya di daerah masing masing.
9
Sehingga setelah berlakunya Ordonansi Pencatatan Nikah untuk luar Jawa dan Madura,
Stb. 1932 No. 482, maka pemberlakuan taklik talak lebih merata di daerah luar Jawa
dan Madura. Pada tahun 1925 taklik talak sudah berlaku di daerah Minangkabau,
sementara di Muara Tembusai berlaku sejak 1910, begitu juga di Sumatera Selatan,
Kalimantan Barat dan Selatan serta Sulawesi Selatan (Noeh 1997, hlm. 66).
Dalam perkembangan selanjutnya rumusan taklik talak semakin
disempurnakan, terutama dalam hal melindungi kepentingan isteri. Agar taklik talak
tersebut tidak bisa dirujuk suami setelah terjadinya perceraian di depan Pengadilan,
maka rumusannya ditambah ketentuan tentang ‘iwadl, yakni uang pengganti. Dengan
adanya ‘iwadl atau uang pengganti maka jatuhnya talak karena taklik menjadi
talak khulu’ atau talak bain. Mantan suami tidak dapat merujuk isterinya kecuali
dengan akad nikah baru. Dengan pemberlakuan ‘iwadl ini upaya isteri untuk keluar
dari penderitaan yang diakibatkan dari ketidakharmonisan hubungan suami istri akan
semakin terjamin. Penambahan tentang ketentuan iwadl pertama kali dipelopori ulama
di daerah Banten, selanjutnya menjadi perbincangan yang ramai di Sumatera Selatan
pada tahun 1930-an.
Seiring perkembangan masyarakat di Indonesia, rumusan mengenai taklik talak
juga mengalami perubahan, baik dari aspek unsur-unsur maupun dari redaksionalnya.
Pada saat sighat taklik talak diberlakukan pertama kali di Kerajaan Mataram, unsur-
unsurnya ada empat macam yakni Pertama, suami pergi meninggalkan, Kedua, Isteri
tidak rela; Ketiga, Isteri mengadu ke Pengadilan; Keempat, Pengaduannya diterima
Pengadilan. Hal ini terlihat dari rumusan sighat taklik talak sebagaimana dikutip di
atas. Dari keempat unsur di atas, dapat disimpulkan bahwa hanya “unsur pergi
meninggalkan” yang dijadikan dasar isteri untuk mengadu ke Pengadilan. Lamanya
10
waktu meninggalkan tersebut adalah tujuh bulan untuk kepergian suami menggunakan
perjalanan darat, dua tahun untuk kepergian suami menyeberangi lautan.
Pada tahun 1931, taklik talak diberlakukan di sekitar Jakarta dan Tangerang,
rumusan mengenai sighat taklik talak tersebut mengalami beberapa penambahan :
1. Tiap-tiap saya tinggalkan isteri saya dengan semata-mata tinggal jalan darattiga bulan atau jalan laut dalam masa enam bulan lamanya;
2. Atau saya tidak kasih nafkah yang wajib pada saya dalam masa satu bulanlamanya;
3. Atau saya pukul akan dia dengan pukulan yang menyakiti padanya;4. Maka jika isteri saya itu tidak suka akan salah satu yang tersebut di atas itu, ia
boleh pergi sendiri atau wakilnya mengadukan halnya kepada Raad Agama,serta ia minta bercerai dan manakala isteri saya yang tersebut itu membayarpada saya uang banyaknya f 0,10 (sepuluh Cent) serta sabit dakwaannya,tertalaklah isteri saya yang tersebut satu talak dan dari uang ‘iwadl khulu’iyang tersebut saya wakilkan kepada Raad Agama buat kasih sedekah kepadafakir miskin ( Noeh 1997, hlm. 67).
Dari rumusan tersebut nampak jelas terjadi penambahan dari aspek unsur-
unsurnya yaitu : Pertama, tidak memberi nafkah; Kedua, memukul isteri yang bersifat
menyakiti; Ketiga, membayar uang ‘iwadl. Dari unsur intensitas waktunya juga
mengalami perubahan dari 7 (tujuh) bulan menjadi 3 (tiga) bulan jalan darat, dari 2
(dua) tahun menjadi 6 (enam) bulan jalan laut. Setelah Indonesia merdeka, rumusan
sighat taklik talak ditentukan sendiri oleh Departemen Agama Republik Indonesia. Hal
ini dimaksudkan agar penggunaan rumusan sighat taklik talak tidak disalahgunakan
secara bebas yang mengakibatkan kerugian bagi pihak suami atau isteri, atau bahkan
bertentangan dengan tujuan hukum syara’ (Manan 2000, hlm. 249).
Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 juncto Undang-
undang Nomor 32 Tahun 1952, maka ketentuan tentang sighat taklik talak diberlakukan
seragam di seluruh Indonesia (Noeh 1997, hlm. 67). Sejak rumusannya diambil alih
Departemen Agama, sighat taklik talak mengalami beberapa kali perubahan.
Perubahan tersebut tidak hanya mengenai unsur-unsur pokoknya, tetapi juga mengenai
11
kualitas syarat taklik yang bersangkutan dan besarnya ‘iwadl. Perubahan tersebut
tidak lepas dari missi awal pelembagaan sighat taklik talak, yakni dalam rangka
melindungi isteri dari kesewenang-wenangan suami. Disamping itu, perubahan
dimaksudkan agar lebih mendekati kepada doktrin kebenaran hukum Islam. Adapun
unsur-unsur yang mengalami perubahan adalah seperti rumusan ayat (3) sighat taklik
talak, pada tahun 1950 disebutkan (atau saya menyakiti isteri saya itu dengan
memukul), dimana pengertian memukul disini hanya terbatas pada memukul saja.
Sehingga tahun 1956 pengertian memukul diperluas sampai kepada segala perbuatan
suami yang dapat dikatagorikan menyakiti badan jasmani, seperti menendang,
mendorong sampai jatuh, menjambak rambut, membenturkan kepala ke tembok dan
sebagainya. Dari sudut rentang waktu juga mengalami perubahan, seperti rumusan ayat
(1) sighat taklik talak tentang lamanya pergi meninggalkan isteri, pada tahun 1950,
1956 dan 1969 ditetapkan menjadi 2 (dua) tahun. Sedang ayat (4) sighat taklik talak
tentang lamanya membiarkan atau tidak memperdulikan isteri, pada tahun 1950
ditetapkan selama 3 (tiga) bulan, pada rumusan tahun 1956 menjadi 6 (enam) bulan.
Perubahan jangka waktu ini dimaksudkan untuk mempersulit terpenuhi syarat sighat
taklik talak, sekaligus memperkecil terjadinya perceraian (Manan 2005, hlm. 250).
Adapun rumusan terakhir sighat taklik talak adalah rumusan yang ditetapkan
berdasarkan Peraturan Menteri Agama RI Nomor 2 Tahun 1990. Dari rumusan tersebut
ada 10 unsur-unsur pokok sighat taklik talak yakni: 1. Suami meninggalkan isteri,
atau; 2. Suami tidak memberi nafkah kepada isteri, atau; 3. Suami menyakiti isteri, atau;
4. Suami membiarkan tidak (memperdulikan) isteri; 5. Isteri tidak rela; 6. Isteri
mengadu ke Pengadilan; 7. Pengaduan isteri diterima oleh Pengadilan; 8. Isteri
membayar uang ‘iwadl; 9. Jatuhnya talak satu suami kepada isteri; 10. Uang ‘iwadl
12
oleh suami diterimakan kepada Pengadilan untuk selanjutnya diserahkan kepada pihak
ketiga untuk kepentingan ibadah sosial.
Beberapa pendapat muncul kemudian mengenai masalah mengucapkan
sighat taklik talak selepas akad nikah dipersoalkan oleh masyarakat Indonesia.
Akhirnya dengan Keputusan MUI pada tanggal 23 Rabiul Akhir 1417 H., bahwa
mengucapkan sighat taklik talak tidak diperlukan lagi. Alasan keputusan ini dapat
digambarkan sebagai berikut: Pertama, bahwa meteri sighat taklik talak pada dasarnya
telah dipenuhi dan tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Kedua, menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), perjanjian taklik talak bukan
merupakan keharusan dalam setiap perkawinan (KHI Pasal 46 ayat 3). Ketiga, bahwa
konteks mengucapkan sighat taklik talak menurut sejarahnya adalah untuk melindungi
hak-hak wanita, dimana waktu itu taklik talak belum ada dalam peraturan perundang-
undangan perkawinan. Karena itu, setelah adanya aturan tentang itu dalam peraturan
perundang-undangan perkawinan, maka mengucapkan sighat taklik talak tidak
diperlukan lagi (Tim MUI 1997, hlm. 119).
Perbedaan Pendapat tentang taklik talak
Pembahasan mengenai taklik talak sebagai alasan perceraian telah dibahas para
ulama fiqih dalam berbagai kitab fiqih. Dalam pembahasan mengenai hal ini mereka
ikhtilaf. Ada pendapat yang membolehkan dan ada pula yang menolaknya, ada yang pro
dan ada pula yang kontra. Perbedaan tersebut sampai sekarang mewarnai perkembangan
Hukum Islam. Dijelaskan bahwa terdapat berbagai pendapat mengenai taklik talak ini,
terutama dalam kalangan fuqaha’, seperti menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh
Sunnah Jilid 8 halaman 38-39 bahwa terdapat pemikiran Ibnu Hazm mengenai dua jenis
ta’liq talaq yakni ta’liq qasami dan ta’liq syarthi, yakni keduanya tidak sah dan
13
ucapannya tidak mengandung akibat apa-apa, dengan alasan bahwa Allah telah mengatur
secara jelas mengenai talak dalam Surat An-Nisa’ [4] ayat 128. Sedangkan penjelasan
lainya berdasarkan pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim bahwa taklik talak tidak
ada tuntunannya dalam Al Qur’an maupun dalam As-Sunah hal ini yakni taklik talak
yang berarti janji dipandang tidak berlaku sedang orang yang mengucapkannya wajib
membayar kafarat dengan memberi makan sepuluh orang miskin atau memberi
pakaian kepada mereka dan jika tidak, maka ia wajib berpuasa selama tiga hari.
Mengenai talak bersyarat keduanya berpendapat bahwa talak bersyarat dianggap sah,
apabila yang dijadikan persyaratan telah terpenuhi. Diantara yang membolehkan tersebut
terdapat dua pendapat, yakni ada yang membolehkan secara mutlak dan ada yang
membolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Dengan adanya perbedaan faham yang
membolehkan tersebut, pada dasarnya terletak pada bentuk sifat dan sighat taklik talak
yang bersangkutan. Pada akahirnya yang membolehkan secara mutlak, mereka
membolehkan semua bentuk sighat taklik, baik yang
bersifat syarthi maupun qasami, yang bersifat umum maupun yang dikaitkan dengan
sesuatu. Sedangkan yang membolehkan ialah sighat taklik yang bersifat syarthi, dan
sesuai dengan maksud tujuan hukum syar’i (Syaltut 1978, hlm. 218-219).
Alasan perceraian sebagaimana fakta yuridis tersebut dalam Pasal 39 ayat (2)
UU Perkawinan beserta penjelasannya, maupun dalam Pasal 19 Peratura Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975, tidak disinggung mengenai taklik talak sebagai alasan perceraian.
Pembuat undang-undang menganggap bahwa perceraian berdasarkan penjelasan Pasal
39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan juncto Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975 telah cukup memadai, sesuai dengan undang-undang tersebut yang antara
lain menganut asas mempersukar terjadinya perceraian, sehingga tidak perlu lagi
ditambah atau diperluas.
14
Dalam buku Tinjauan Masalah Perceraian di Indonesia, Muhammad Yahya
mengatakan bahwa Undang-Undang Perkawinan tidak menutup adanya perceraian.
Pada saat yang bersamaan undang-undang juga tidak membuka lebar-lebar pintu
perceraian. Karena itu, jumlah perceraian harus dibatasi. Adapun yang diatur dalam
aturan perundang-undangan dianggap cukup memadai dan mensejajarkan kebutuhan
masyarakat. Apalagi jika dilihat dari Pasal 19 (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975, dan dikaitkan dengan perluasan alasan “melalaikan kewajiban” sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Perkawinan. Alasan perceraian yang kita
miliki lebih dari cukup. Tidak perlu ditambah, dan memang alasan perceraian telah
ditetapkan oleh undang-undang secara limitatif, sehingga di luar itu tidak ada alasan
yang dapat dipergunakan.
Apabila dicermati saat ini, nampak jelas bahwa perkara cerai gugat dengan
alasan taklik talak yang diterima oleh Pengadilan Agama mencapai jumlah yang tidak
sedikit, mencapai puluhan ribu setiap tahunnya sehingga muncullah sikap Pengadilan
Agama yang tampaknya telah membenarkan alasan perceraian di luar undang-undang
yang dirumuskan dalam beberapa hal : Pertama, taklik talak dari segi esensinya sebagai
perjanjian yang digantungkan kepada syarat dengan tujuan utamanya; Kedua,
Melindungi istri dari kemudharatan karena tindakan sewenang-wenang suami,
mempunyai landasan hukum yang kuat, yaitu dalil-dalil dari kitab suci Alquran dan
Hadis. Ketiga, taklik talak sebagai alasan perceraian telah melembaga dalam Hukum
Islam sejak lama. Sebagian besar ulama sepakat tentang sahnya dan sampai sekarang
diamalkan oleh kaum muslimin di berbagai penjuru dunia, khususnya di Malaysia dan
Indonesia. Keempat, Substansi taklik talak yang telah ditetapkan oleh Menteri Agama
RI, dipandang telah cukup memadai, dipandang dari asas Hukum Islam ataupun maksud
Undang-Undang Perkawinan. Kelima, Di Indonesia lembaga taklik talak secara yuridis
formal telah berlaku sejak zaman penjajahan Belanda, berdasarkan Staatblaad 1882
15
Nomor 152 sampai sekarang setelah merdeka menjelang diundangkannya Undang-
Undang Perkawinan bahkan sampai menjelang diundangkannya Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989. Sekalipun Staatblad 1882 Nomor 152 yang memberi landasan
yuridis berlakunya hukum taklik talak telah dicabut dengan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 pada saat sekarang ini dengan diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam
melalui Inpres Nomor 1 Tahun 1991 yang antara lain mengatur juga mengenai taklik
talak maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai hukum tertulis.
Dalam praktik di Pengadilan Agama perkara taklik talak, baik sebagai
perjanjian ataupun alasan perceraian, maka hakim secara tegas mempertimbangkannya
dalam putusannya. Sehingga hakim mempertajam upaya dalam mengkonstatir,
mengkualifisir maupun mengkonstituir perkaranya, agar adanya kecenderungan untuk
menggiring atau mengarahkan perkara cerai gugat menjadi perkara taklik talak dapat
diminimalisir adanya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kiranya ketentuan-ketentuan mengenai
hukum acara dapat dilaksanakan dengan benar, dan ketentuan sebagaimana dikehendaki
oleh Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 bahwa “Segala Penetapan
dan Putusan Pengadilan, setelah memuat alasan-alasan atau dasar-dasarnya, juga harus
memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan, dapat
terpenuhi”. Atas dasar inilah bahwa taklik talak sebagai alasan perceraian relevan dan
dapat dibenarkan menurut hukum. Terutama apabila mengacu pada Pasal 116 (g) Bab
VI dalam Kompilasi Hukum Islam dikatakan bahwa alasan perceraian adalah suami
melanggar taklik talak (Ramulyo 1996, hlm. 153)
Jenis-Jenis Taklik Talak
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa para ahli hukum Islam berbeda pendapat dalam
pembahasan mengenai taklik talak. Ibnu Hazm berpendapat bahwa dari dua macam
16
bentuk taklik talak, yaitu ta’liq qasamy dan ta’liq syarthi, keduanya tidak sah dan
ucapannya tidak mempunyai akibat apa-apa. Alasannya karena Allah telah mengatur
secara jelas mengenai talak, sedangkan taklik talak tidak ada tuntunannya dalam
Alquran dan hadis (Sabiq 1983, hlm. 223).
Berdasarkan pendapat Sayyid Sabiq yang mengungkapkan ada dua jenis taklik
talak yaitu ta’liq qasamy; merupakan taklik yang dimaksudkan seperti janji yang
mengandung pengertian melakukan pekerjaan atau meninggalkan suatu perbuatan atau
menguatkan suatu kabar untuk suatu tujuan; dan ta’liq syarthi; yaitu taklik yang
dimaksudkan untuk menjatuhkan talak jika telah terpenuhi syarat-syarat tersebut.
Adapun syarat tersebut ada tiga hal yaitu Perkaranya belum ada tetapi mungkin terjadi di
kemudian hari; hendaknya istri ketika lahirnya akad talak dapat dijatuhi talak; dan
ketika terjadinya perkara yang ditaklikkan istri berada dalam pemeliharan suami.
Perkara yang mungkin terjadi kemudian adalah perkara yang tidak terjadi ketika
taklik talak diucapkan, serta bukan suatu perkara yang mustahil terjadi. Jika perkara
yang ditaklikkan itu hal mustahil terjadi maka hanya dipandang main-main. Demikian
halnya saat pengucapan taklik talak dan ketika perkara yang ditaklikkan terjadi istri ada
dalam pemeliharaan suami. Dalam arti talak hanya berlaku bagi mereka yang memiliki
ikatan perkawinan tidak dibenarkan seorang laki-laki mengucapkan talak kepada
perempuan yang bukan istrinya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa apabila seseorang telah mentaklikkan
talaknya dalam wewenangnya dan telah terpenuhi syarat-syaratnya sesuai dengan yang
dikehendaki oleh mereka masing-masing, maka taklik itu dianggap sah untuk semua
bentuk taklik, baik taklik itu mengandung sumpah (qasamy) atau mengandung
syarat biasa. Karena orang yang mentaklikkan talaknya itu tidak menjatuhkan talaknya
pada saat orang itu mengucapkannya, akan tetapi orang itu menggantungkan talak
17
kepada telah terpenuhinya syarat yang terkandung dalam ucapannya (Syaltut 1978,
hlm. 227).
Pendapat jumhur inilah yang dianut oleh Pemerintah Hindia Belanda di
Indonesia, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Staatblad 1882 Nomor
152, bahwa Raad Agama berwenang untuk memeriksa bahwa syarat taklik telah
berlaku. Namun setelah Indonesia merdeka rumusan sighat taklik talak ditentukan
oleh Departemen Agama. Tidak lain maksudnya adalah untuk membatasi agar bentuk
sighat taklik talak tidak secara bebas begitu saja diucapkan oleh suami, juga bertujuan
agar terdapat keseimbangan antara hak talak yang diberikan secara mutlak kepada
suami dengan perlindungan terhadap isteri dari perbuatan kesewenang-wenangan
suami. Sehingga berdasarkan fakta yuridis dapat diketahui bahwa sejak tahun 1940
sampai sekarang, rumusan sighat taklik talak telah mengalami beberapa kali
perubahan. Perubahan itu bila diamati, tidak mengenai unsur-unsur pokoknya, tetapi
mengenai volume / kualitas dari syarat taklik yang bersangkutan serta mengenai
besarnya ‘iwadl. Unsur-unsur dimaksud ialah Suami meninggalkan isteri; Suami tidak
memberi nafkah kepada isteri; Suami menyakiti isteri, atau Suami membiarkan (tidak
memperdulikan isteri); Isteri tidak ridha; Isteri mengadukan halnya ke Pengadilan;
Pengaduan istri diterima oleh Pengadilan; Istri membayar uang ‘iwadl;. Jatuhnya
talak suami satu kepada isteri dan Uang ‘iwadl oleh suami diterimakan kepada
Pengadilan untuk diserahkan kepada pihak ketiga untuk kepentingan ibadah sosial
(Sastroadmodjo 1981, hlm. 91).
Perubahan mengenai kualitas syarat taklik talak yang berlaku di Indonesia sejak
sebelum merdeka tahun 1940 hingga setelah merdeka, yakni yang ditentukan oleh
Departemen Agama, masing-masing pada tahun 1947, 1950, 1956 dan tahun 1975
semakin menunjukkan kualitas yang lebih sesuai dengan asas syar’i, yakni
18
mempersukar terjadinya perceraian dan sekaligus melindungi isteri dari perbuatan
sewenang-wenang suami (Ramulyo 1996, hlm. 119).
Perlunya pengaturan sighat taklik secara formal oleh Menteri Agama adalah
dimaksudkan agar relevan dengan asas-asas syar’i tentang perceraian, demikian pula
agar relevan dengan asas-asas yang terkandung dengan UU Perkawinan khususnya yang
berkaitan dengan alasan perceraian. Oleh karena itu, rumusan sighat taklik talak
sebagaimana yang terakhir ditetapkan dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun
1990 juncto sesuai dengan yang dimaksudkan dalam Pasal 46 ayat (2) KHI dianggap
telah memadai dan relevan dengan asas-asas tersebut. Dengan kata lain (mafhum
mukhalafah-nya) maka semua bentuk taklik talak selain (di luar) yang ditentukan
oleh Departemen Agama/Menteri Agama seharusnya dianggap tidak pernah terjadi.
Dasar Hukum Taklik Talak
Dalam mengkaji dasar hukum taklik talak, maka akan diketahui dari rujukan utama dari
Alquran dan sumber lainya yang sinergi diantaranya yaitu:
a. Alquran surat An Nisa’ [4] :
�ن �يهم�ا أ �اح� ع�ل � جن اضا ف�لا �و إعر� �عله�ا نشوزا أ �ة خ�اف�ت من ب أ �و�إن امر
ح و�إن �نفس الش ت الأ �ير و�أحضر ��هم�ا صلحا و�الصلح خ �ين ا ب �يصلح
بيرا ��عم�لون� خ �ان� بم�ا ت قوا ف�إن الله� ك �ت )٤:١٢٨ ( النساء/تحسنوا و�ت
”Dan jika seorang perempuan khawatir suami akan nusyuz atau bersikap tidakacuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, danperdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnyakikir. Dan jika kamu memperbaiki (pergaulan dengan isterimu) dan memeliharadirimu (dari nusyuz dan sikap acuh tak acuh), maka sungguh Allah adalahMahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. An Nisaa’ [4] : 128)(Kementerian Agama RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah, 2009, hlm. 99).
Dalam ayat di atas yang dimaksud dengan nusyuz yaitu meninggalkan
kewajiban bersuami istri. Adapun nusyuz dari pihak istri seperti meninggalkan rumah
19
tanpa izin suaminya, sedangkan nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras terhadap
istrinya, tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya. Oleh karena itu,
perbuatan seperti ini maksudnya ialah istri bersedia beberapa haknya dikurangi asalkan
suaminya mau baik kembali untuk melaksanakan hak dan kewajibanya dalam rumah
tangga.
b. Alquran surat Bani Israil/al-Isra’ (17): 34:
�ان� م�سؤولا( �وفوا بالع�هد إن الع�هد� ك )٣٤_١٧الإسراء:و�أ
“dan penuhilah janji, karena janji itu pasti diminta pertanggung jawaban”(Q.S. Al-Isra’ [17] : 34) (Kementerian Agama RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah,2009, hlm. 285).
Dari ayat di atas tujuannya terletak pada penggunaannya yakni dalam praktek
taklik talak yang terjadinya talak (perceraian) atau perpisahan antara suami dan isteri
yang digantungkan kepada sesuatu, dan sesuatu ini dibuat dan disepakati pada waktu
dilakukan akad nikah. Maka pelanggaran terhadap apa yang disepakati inilah yang
menjadi dasar terjadinya perceraian (talaq) atau perpisahan. Berdasarkan substansi
inilah menjadi dasar untuk mengatakan bahwa taklik talak pada prinsipnya sama dengan
perjanjian perkawinan yang dapat menjadi dasar dan alasan terjadinya perceraian atau
perpisahann antara suami dan isteri. Misalnya dalam kutipan akta nikah di Indonesia,
sighat taklik, berisi perjanjian perkawinan. Bahkan di awal sighat ini juga diawali
dengan ayat Alquran yang memerintahkan untuk menepati janji, yakni Surah Bani Israil/
al-Isra’ (17) ayat 34 tersebut.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 45 dan 116
Dalam Kompilasi hukum islam (KHI) Pasal 45 menyebutkan mengenai taklik talak
yaitu kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian dalam bentuk taklik talak dan
perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam, sehingga penjelasan
tersebut dilanjutkan pada pasal 46 mengenai bahwa Isi taklik talak tidak boleh
20
bertentangan dengan hukum Islam; kemudian Apabila keadaaan yang disyaratkan dalam
taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya
talaq sungguh-sungguh jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan
Agama; dan Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap
perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut
kembali (Pasal 46 KHI)
Dengan adanya perjanjian taklik talak akan memiliki dasar utama sehingga
timbulnya perkara pelanggaran taklik talak tersebut, diantara alasan-alasan tersebut
sebagaima disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, danlain sebagainya yang sulit disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turuttanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luarkemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukumanyang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yangmembahayakan pihak lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidakdapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkarandan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
Sedangkan alasan-alasan yang disebutkan diatas dimasukan juga dalamKompilasi Hukum Islam Pasal 116, namun ada tambahan yaitu pada huruf gdan h yaitu
g. Suami melanggar taklik talak;h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga (Prawirohamidjojo 1986, hlm. 128).
Dari uraian di atas, apabila dalam perkawinan itu salah satu Suami melanggar
taklik talak, maka tujuan perkawinan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah warahmah tidak tercapai sebab pandangan hidup suami
isteri itu berbeda. Kehidupan rumah tangga yang semula bahagia, dengan pelanggaran
21
taklik talak oleh salah satu pihak yaitu suami, sehingga menyebabkan ketidakrukunan
dalam rumah tangga dan berakhir dengan perceraian. Adapun perselisihan antara suami
isteri ini dalam hukum Islam disebut syiqaq (Syarifuddin 2006, hlm. 194).
Dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 76
menegaskan bahwa Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq maka
untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang
berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan dengan suami isteri; dan
Pengadilan Agama setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan
antara suami isteri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing
pihak atau orang lain untuk menjadi hakam. Mengenai hal ketentuan untuk mengangkat
hakam dari keluarga masing-masing pihak suami isteri ini sesuai dengan Alquran Surat
An-Nisa ayat 35.
Apabila disebutkan mengenai alasan syiqaq merupakan tingkat terakhir dari
perselisihan antara suami isteri, sebelum sampai syiqaq terlebih dulu harus ada usaha
dari suami isteri untuk memperbaiki hubungan mereka dalam hidup perkawinan, maka
akhirnya akan dapat diperoleh ketentuan bahwa perceraian jangan sampai terjadi
sebelum sampai syiqaq yang akan diselesaikan melalui pengangkatan hakam oleh
ulul amri atau pengadilan. Untuk memperoleh kepastian hukum, sehingga yang
diputuskan oleh hakam akan dikuatkan oleh Pengadilan Agama (Basyir 1994, hlm. 64).
Dengan adanya perceraian yang dilakukan di muka pengadilan lebih menjamin
persesuaiannya dengan pedoman Islam tentang perceraian, sebab sebelum ada
keputusan terlebih dulu diadakan penelitian tentang apakah alasan-alasannya cukup kuat
untuk terjadi perceraian antara suami isteri, kecuali itu dimungkinkan pula pengadilan
bertindak sebagai hakam sebelum mengambil keputusan bercerai antara kedua belah
pihak tersebut (suami isteri), selanjutnya Hakam dapat mempertimbangkan untuk
22
mengabulkan perceraian apabila perselisihan antara suami isteri jika berakhir dengan
perceraian akan menyelamatkan suami isteri dari penderitaan-penderitaan lahir dan
batin yang tidak menguntungkan dalam hubungan perkawninan mereka.
Dari uraian di atas telah jelas bahwasanya dalam hukum Islam mengenai dasar
taklik talak yang dirumuskankan dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 116,
sehingga mengenai hal-hal Perceraian itu dapat dijatuhkan atau dapat terjadi karena
sesuatu alasan atau alasan-alasan yang berkaitan dengan hal tersebut.
Taklik Talak Dalam Tinjauan Perundang-undangan
Taklik Talak Menurut UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Dalam Undang Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak ditemukan pasal yang
secara khusus menyebutkan serta mengatur tentang ta’liq talaq dalam kapasitasnya
sebagai besar perjanjian perkawinan maupun sebagai alasan perceraian pada Pasal 29
Undang-undang Perkawinan hanya menyebutkan bahwa dibolehkannya bagi kedua
mempelai untuk mengadakan perjanjian tertulis sebelum melangsungkan perkawinan.
Dalam penjelasannya pada pasal (29) ditekankan bahwa perjanjian perkawinan yang
dimaksud tidak termasuk taklik talak di dalamnya. Adapun bunyi pasal (29) yaitu Pada
waktu sebelum perkawinan dilangsungkan kedua pihak atas persetujuan bersama dapat
mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan.
Sebagaimana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
tersangkut; Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan; Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan
dilangsungkan; Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah,
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga; kemudian, Antara suami dan istri terus menerus terjadi
perselisian dan pertengkaran dan tidak ada harapan rukun lagi dalam rumah tangga
23
(Undang-undang Perkawinan Indonesia).
Taklik Talak menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 mengatur tentang pelaksanaan dari
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Sebagaimana Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1974, Undang-undang ini juga tidak memuat taklik talak sebagai perjanjian perkawinan
maupun sebagai alasan perceraian. Undang-undang ini tidak memuat tentang perjanjian
perkawinan, yakni mengenai alasan perceraian termuat dalam pasal 19 yang isinya sama
persis dengan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang isinya yaitu: Pertama, Salah
satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya dan
sukar disembuhkan; Kedua, Salah satu pihak meninggalkan yang lain dua tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal di luar
kemauannya; Ketiga, Salah satu pihak mendapat hukuman lima tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; Keempat, Salah satu pihak melakukan
kekejaman atau penganiyaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
Kelima, Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri; Keenam, Antara suami dan istri terus
menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan rukun lagi dalam
rumah tangga.
Adapun mengenai tentang gugatan perceraian dalam buku Hukum Perkawinan
Islam dan Undang-undang Perkawinan (2004 hlm. 117) adalah Gugatan perceraian
diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman tergugat; Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau
tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap gugatan perceraian
diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman penggugat; Dalam hal tergugat
bertempat kediaman di luar negeri gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan di
tempat kediaman penggugat Ketua pengadilan menyampaikan permohonan tersebut
24
kepada tergugat melalui perwakilan republik setempat.
Taklik Talak Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Taklik talak dan perjanjian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam yang diatur
dalam pasal 45 dan 46 secara khusus pada pasal 51 disebutkan bahwa pelanggaran
perjanjian tersebut memberi hak pada istri untuk meminta pembatalan nikah dan
mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke pengadilan Agama. Berkenaan
dengan perceraian Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa taklik talak dapat
digunakan sebagai alasan bagi seorang istri untuk mengajukan gugatan perceraian
kepada Pengadilan Agama. Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan beberapa
alasan yang digunakan untuk melakukan perceraian. Alasan yang disebutkan dalam
Kompilasi Hukum Islam poin (a) hingga (f) sama persis dengan alasan pada kedua
Undang-undang tersebut. Nilai berbeda antara Kompilasi Hukum Islam itu terletak pada
penambahan pada poin g (suami melanggar taklik talak) dan h (peralihan agama atau
murtad yang menyebabkan ketidak rukunan dalam rumah tangga).
Kaitannya dengan perjanjian perkawinan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
memuat tentang perjanjian perkawinan namun masih bersifat umum dan tidak
menyebutkan tentang taklik talak. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tidak
disebutkan mengenai taklik talak maupun perjanjian perkawinan yang lain. Sedangkan
pada Kompilasi Hukum Islam disebutkan tentang taklik talak dan perjanjian perkawinan
yang lain mengenai harta pribadi dan harta bersama. Tentang alasan perceraian ketiga
undang-undang ini mengemukakan alasan yang sama untuk terwujudnya perceraian,
hanya saja pada KHI ada penambahan poin yaitu poin g (suami melanggar taklik talak)
dan Poin h (peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidak-rukunan dalam
rumah tangga. Demikian halnya berkenaan dengan gugatan perceraian Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta Kompilasi
Hukum Islam menjelaskannya secara rinci yang muatannya secara umum juga sama.
25
Perbedaannya adalah pada Kompilasi Hukum Islam pengaju gugatan adalah istri,
sedangkan menurut dua Undang-undang sebelumnya gugatan dapat dilakukan oleh
suami atau istri.
Prosedur dan Proses Memutuskan Perkara di Pengadilan Agama
Salah satu maksud diundangkanya Undang-Undang Perkawinan adalah untuk
mempersukar terjadinya perceraian. Dalam Undang-undang Perkawinan disebutkan
bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang
bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk
mempersukar terjadinya suatu perpisahan ataupun perceraian yang disebabkan oleh
apapun itu. Untuk itulah dalam Undang-undang perkawinan dinyatakan bahwa
perceraian itu harus dialakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 Pasal 65).
Sebelum sebuah perkara diputuskan ada beberapa hal yang harus dilaksanakan
baik oleh penggugat, tergugat ataupun Pengadilan Agama, hal tersebut diantaranya,
pengajuan gugatan oleh penggugat, pemeriksaan berkas gugatan oleh pihak pengadilan
untuk menentukan diterima tidaknya sebuah gugatan, persidangan dan pemanggilan
pihak-pihak terkait oleh pengadilan dalam hal ini dilakukan oleh pihak yang ditunjuk dan
dipercayakan untuk melaksanakan tugas tersebut. Hal ini antara lain adalah :
1. Gugatan
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengajukan gugatan diantaranya adalah
berkenaan dengan kewenangan pengadilan jenis apa yang berhak mengadili
(kewenangan mutlak) dan kewenangan pengadilan wilayah mana yang berhak
mengadili (kewenangan relatif). Pada Pasal 132 dalam Kompilasi Hukum Islam
menyebutkan bahwa gugatan pecerian diajukan oleh istri atau kuasanya pada
26
Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat
kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami. (Undang-
undang Perkawinan Di Indonesia, hlm. 221). Hal-hal lain yang tidak kalah penting:
a. Gugatan diajukan dengan surat permintaan yang ditanda-tangani oleh penggugatatau wakilnya;
b. Surat gugat harus bertanggal, mencantumkan identitas penggugat dan tergugatsecara lengkap;
c. Surat gugatan didaftarkan ke kepaniteraan Pengadilan negeri yang bersangkutan;d. Gugatan memuat dasar gugatan secara jelas;e. Surat gugatan harus dilengkapi petitum lengkap dan jelas, yaitu hal yang
diinginkan oleh penggugat untuk diputuskan, ditetapkan atau diperintahkan olehhakim (Sutantio 1997, hlm. 16-17)
Dalam kasus tergugat buta huruf gugatan dapat diajukan secara lisan ke
pengadilan yang bersangkutan untuk selanjutnya Ketua Pengadilan membuat atau
menyuruh membuat gugatan yang dimaksud. Adapun wakil penggugat adalah orang
yang diberi kuasa oleh penggugat berdasarkan surat kuasa. Jadi syarat tersebut di atas
harus diperiksa secara seksama baru apabila kesemua syarat terpenuhi putusan
perstek dijatuhkan dengan mengabulkan gugatan. Jadi tidak selamanya putusan
perstek mengabulkan gugatan, sebab adakalanya putusan tersebut berupa penolakan
gugatan jika petitum melawan hak atau ketika petitum tidak beralasan.
2. Pemeriksaan
Setiap kali diadakan sidang Pengadilan Agama yang memeriksa gugatan perceraian,
baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri
sidang tersebut. Panggilan untuk menghadiri sidang dilakukan oleh petugas yang
ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama. Panggilan disampaikan kepada pribadi yang
bersangkutan atau jika yang bersangkutan tidak dapat dijumpa panggilan
disampaikan melalui lurah atau yang sederajad. Panggilan tersebut disampaikan
secara patut dan sudah diterima oleh tergugat atau kuasa mereka selambat-lambatnya
3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan
27
lampiran surat gugatan (KHI Pasal 138). Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan
oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas atau
surat gugatan perceraian (KHI pasal 141 ayat 1). Hakim sebelum memeriksa perkara
perdata tersebut, harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak, usaha
tersebut dapat dilakukan sepanjang proses berjalan, ataupun ketika taraf banding oleh
pengadilan tinggi. Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat
dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan (KHI pasal 143 ayat 2).
Adapun Peranan hakam dalam usaha menyelesaikan perkara secara damai
sangatlah penting. Putusan perdamaian memiliki beberapa keutamaan bagi
masyarakat secara umum dan para pencari keadilan secara khusus, karena
penyelesaiannya jauh lebih cepat sehingga dapat menghemat biaya selain itu dapat
mengurangi permusuhan antara kedua belah pihak. Demikian dalam kasus gugat
perceraian hakim akan berusaha untuk gugat pada umumnya dicabut.
Sebagaimana pasal 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa hakim
harus berusaha untuk mendamaikan keduabelah pihak yang terkait. Sebelum tergugat
menjawab pokok perkara secara lisan atau tertulis, tergugat dapat menyampaikan
eksepsi berkenaan dengan kekuasaan relatif dan kekuasaan absolut. Apabila eksepsi
diterima maka pengadilan tersebut menyatakan perkara tersebut selesai pada tingkat
pertama. Apabila eksepsi ditolak maka dijatuhkan putusan sela dan dalam putusan
tersebut diperintahkan untuk melanjutkan perkara dan pokok perkara memasuki tahap
pemeriksaan. Jawaban tergugat mengenai pokok perkara hendaknya dibuat dengan
jelas pendek dan berisi dengan mengemukakan alasan yang berdasar.
3. Pembuktian
Membuktikan dalam arti yuridis berarti memberi dasar-dasar yang cukup kapada
hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang
kebenaran peristiwa yang diajukan. Tujuannya adalah putusan hakim yang
28
didasarkan atas pembuktian tersebut. Dalam proses perdata salah satu tugas hakim
adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang mendasari gugatan
benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti
apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu perkara (Mertokusumo
2005, hlm. 28).
Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalil yang menjadi dasar
gugatannya maka gugatannya akan ditolak, sebaliknya jika penggugat dapat
membuktikan dalil yang menjadi dasar gugatannya maka gugatan tersebut akan
diterima. Oleh karena itu, tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus
dibuktikan kebenarannya, sebab dalil yang tidak disangkal bahkan diakui sepenuhnya
oleh pihak lawan tidak perlu dibuktikan lagi. Pembuktian tidak selalu dibebankan
kepada pihak penggugat, namun dapat juga dibebankan kepada pihak tergugat. Dalam
hal ini hakimlah yang menentukan pihak penggugat atau tergugat yang harus memikul
beban pembuktian.
a. Bukti surat
Hukum acara perdata mengenal 3 macam surat : (1) surat biasa yaitu surat yang
dibuat tidak dengan maksud untuk dijadikan bukti. (2) Akta otentik yaitu surat yang
dibuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa membuatnya, atau surat
yang sejak semula dengan sengaja secara resmi dibuat untuk pembuktian semisal
surat putusan hakim, akta perkawinan dan surat panggilan jurusita (3) Akta di bawah
tangan yaitu surat menyurat yang tidak dibuat sebagaimana akta otentik atau akta
yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang
pejabat misalnya surat perjanjian hutang piutang, surat perjanjian sewa menyewa,
kwitansi dan yang lainnya (Mertokusumo 2005, hlm. 145).
b. Bukti saksi-saksi
Pembuktian dengan saksi dalam praktek biasa disebut dengan kesaksian, yaitu
29
kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang
dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan tentang peristiwa yang
dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan perkara, yang dipanggil di persidangan
yang dapat diterangkan oleh saksi hanyalah apa yang dilihat, didengar, atau dirasakan
sendiri, dan tiap-tiap kesaksian harus disertai alasan-alasan apa sebabnya bagaimana
ia bisa mengetahui hal-hal yang diterangkan olehnya Perasaan atau sangka yang
istimewa yang terjadi karena akal, tidak dipandang sebagai penyaksian
(Pasal 171 ayat 2). Kemudian Seorang saksi dilarang untuk menarik suatu kesimpulan
karena hal ini merupakan tugas hakim. Saksi yang akan diperiksa sebelumnya harus
bersumpah menurut cara agamanya atau berjanji, bahwa ia akan menerangkan yang
sebenarnya. Setelah disumpah saksi wajib memberi keterangan yang benar, apabila ia
dengan sengaja memberi keterangan palsu saksi dapat dituntut dan di hukum untuk
sumpah palsunya tersebut.
c. Persangkaan-persangkaan
Apabila dalam suatu pemeriksaan perkara perdata sukar untuk mendapatkan saksi
yang melihat, mendengar, atau merasakan sendiri maka peristiwa hukum yang harus
dibuktikannya dengan persangkaan persangkaan. Digunakan kata persangkaan-
persangkaan karena satu persangkaan saja tidak cukup untuk membuktikan sesuatu,
harus banyak persangkaan-persangkaan yang satu sama lain saling menutupi
berhubungan, sehingga peristiwa atau dalil yang disangkal itu dapat dibuktikan.
Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap
terbukti, atau peristiwa yang dikenal ke arah suatu peristiwa yang belum terbukti.
Persangkaaan hakim juga digunakan sehubungan dengan gugatan perceraian yang
didasarkan atas perzinahan. Dalam kasus ini sulit sekali menemukan saksi yang
melihat sendiri waktu terjadinya perzinahan tersebut. Oleh sebab itu, sudah menjadi
yurisprudensi tetap bahwa apabila dua orang pria dan wanita dewasa yang bukan
30
suami istri tidur bersama dalam suatu kamar yang hanya mempunyai satu tempat
tidur, maka untuk perbuatan perzinahan telah terdapat satu persangkaan hakim.
Persangkaan hakim sebagai alat bukti mempunyai kekuatan bukti bebas dengan kata
lain tergantung pada penilaian hakim yang bersangkutan. Pada umumnya persangkaan
tersebut harus didukung dengan persangkaan-persangkaan lain yang saling
berhubungan, barulah dapat dijadikan sebagai bukti lengkap.
d. Pengakuan
Menganai pengakuan ini terdapat dua macam yang dikenal dalam hukum acara
perdata yaitu pengakuan yang dilakukan didepan sidang dan pengakuan yang
dilakukan diluar sidang. Kedua macam pengakuan tersebut memiliki nilai pembuktian
yang berbeda satu sama lainya. Dalam paasal 174 HIR, bahwasanya pengakuan yang
dilakukan dihadapan hakim menjadi bukti yang cukup untuk memberatkan orang
yang mengaku itu, baik pengakuan yang diucapakan sendiri maupun oleh orang
istimewa yang dikuasakan untuk melakukan hal tersebut.
Selanjutnya pasal 175 yang menyebutkan bahwa pengakuan yang dilakukan
diluar sidang diserahkan kepada pertimbangan hakim yang akan menentukan
kekuatanya. Pengakuan diluar sidang yang dilakukan secara tertulis atau lisan
merupakan bukti bebas. Perbedaaanya terletak bahwa pengakuan diluar sidang secara
tertulis, tidak perlu dibuktikan lagi, sedangkan pengakuan secara lisan yang dilakukan
di luar sidang harus dibuktikan lagi dengan saksi atau alat bukti lainya.
e. Bukti sumpah
Sumpah adalah suatu pernyataan khidmat yang diberikan atau diucapkan pada
waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat Maha Kuasa
daripada Tuhan dan percaya bahwa apa yang memberi keterangan atau janji yang
tidak benar akan dihukum oleh-Nya. Yang disumpah adalah salah satu pihak
penggugat atau tergugat. Oleh karena itu, yang menjadi alat bukti adalah keterangan
31
salah satu pihak yang dikuatkan dengan sumpah dan bukannya sumpah itu sendiri.
Mengenai sumpah ini terdapat dua macam yaitu sumpah yang dibebankan oleh hakim
dan sumpah yang dikuatkan oleh sumpah yang dianggap sebagai keterangan yang
benar oleh karena itu apabila ia memberikan keterangan yang bohong ia akan
dihukum oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Rasa takut akan hukuman inilah yang
dianggap oleh hukum bahwa seseorang tidak akan memberikan keterangan yang tidak
benar di bawah sumpahnya. Dalam Pasal 177 HIR menyatakan bahwa apabila
sumpah telah diucapkan, hakim tidak diperkanankan lagi untuk meminta bukti
tambahan dari orang yang disumpah itu, yaitu perihal dalil yang dikuatkan dengan
sumpah termaksud akan menentukan kekuatanya. Pengakuan diluar sidang yang
dilakukan secara tertulis atau lisan merupakan sukti bebas. Perbedaanya terletak
bahwa pengakuan diluar sidang secara tertulis tidak perlu dibuktikan lagi, sedang
pengakuan secara lisan yang dilakukan diluar sidang harus dibuktikan lagi dengan
saksi atau alat bukti lainnya
f. Putusan Hakim
Putusan mengenai perceraian dilakukan dalam sidang terbuka, suatu perceraian
dianggap terjadi dengan segala akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan
Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. (KHI Pasal 146). Hal-hal
yang harus dimuat dalam surat putusan hakim menurut pasal 184, diantaranya adalah
Ringkasan yang jelas tentang gugatan dan jawaban; Alasan-alasan yang dipakai
sebagai dasar dari putusan hakim; Putusan tentang besarnya biaya perkara; Putusan
memuat keterangan apakah kedua belah pihak hadir atau tidak pada waktu putusan
dijatuhkan; Apabila putusan didasarkan kepada peraturan Undang-undang yang pasti,
maka peraturan tersebut harus disebutkan (Sutantio dkk. 2004, hlm. 114).
Adapun Susunan putusan hakim terdiri dari 4 bagian yaitu Pertama Kepala
32
putusan; Kepala putusan adalah bagian yang berbunyi: “Demi Keadilan berdasarkan
ke-Tuhanan Yang Maha Esa”.. Kedua, Identitas para pihak, yaitu identitas pihak
penggugat dan tergugat; Ketiga, Pertimbangan; adalah pertimbangan tentang duduk
perkaranya dan pertimbangan tentang hukumnya sebagai wujud pertanggung jawaban
hakim kepada masyarakat terhadap keputusan yang diambil sehingga keputusan
tersebut bersifat obyektif; Keempat, Amar; merupakan jawaban/tanggapan terhadap
petitum dari gugatan atau biasa disebut juga dictum. Jadi tidak semua hal yang terjadi
di persidangan termuat dalam putusan hakim, karena hal yang demikian termuat
dalam berita acara. Adapun mengenai prosedur gugatan adalah sebagai berikut:
1. Penggugat atau kuasanya datang ke kantor kelurahan untuk memperolehketerangan tempat tinggal dari Lurah;
2. Penggugat atau kuasanya dengan membawa surat keterangan Lurah, datangke Pengadilan Agama untuk mengajukan gugatan tertulis atau lisan kepadapanitera dan untuk membayar admistrasi biaya perkara;
3. Penggugat dan tergugat atau masing-masing kuasanya menghadiri sidangpengadilan Agama berdasarkan surat panggilan panitera;
4. Majelis hakim memeriksa perkara dengan tahap-tahap sidang sebagaiberikut: membaca surat gugatan oleh penggugat tergugat, replik penggugatduplik tergugat, pemeriksaan alat-alat bukti penggugat dan tergugat,kesimpulan penggugat dan tergugat dan putusan hakim;
5. Putusan Pengadilan Agama (vonis). Dalam hal perkara taklik talak atauperkara tidak diterima atau ditolak atau digugurkan oleh Majelis hakim ataudicabut dalam persidangan. Pengadilan Agama mengeluarkan penetapan;
6. Penggugat wajib membuktikan kebenaran dari isi gugatannya berdasarkanalat-alat bukti: surat-surat, saksi-saksi, pengakuan salah satu pihak,persangkaan hakim, dan sumpah salah satu pihak;
7. Kepada penggugat dan tergugat diberikan salinan putusan Pengadilanagama;
8. Kepada penggugat dan tergugat diberikan surat keterangan bahwa putusanpengadilan agama telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
9. Untuk perkara perceraian Pengadilan Agama minta pengukuhan kepadaPengadilan Negeri atas putusaya yang telah mempunyai kekuatan hukumtetap;
10. Pihak yang menang perkara yang ada hubungannya dengan hak kebendaandengan bantuan Pengadilan Agama dapat meminta executoir verklaringkepada Pengadilan Negeri, apabila putusan itu tidak dijalankan secarasukarela (Ramulyo 1999, hlm. 206).
33
Adapun dalam prosedur berperkara pada Pengadilan Agama Sekayu, secara
garis besar terdiri dari beberapa bagian antara lain sebagai berikut:
1. Prosedur pengajuan permohonan Cerai Talak
1.1. Permohon atau kuasanya mendatangi pengadilan, mengajukan permohonan
kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.
Permohonan dimaksud diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman Termohon kecuali apabila Termohon dengan
sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin
pemohon; dalam hal Termohon bertempat tinggal di luar negeri permohonan
diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman Pemmohon. Dalam hal Pemohon dan Termohon bertempat
kediaman di luar negeri maka pemohon diajukan kepada Pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat perkawianan mereka dilangsungkan atau
kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat. (Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989, Pasal 66 dan 67).
Ada beberapa hal yang harus dilakukan dalam hal ini yaitu:
a. Mengajukan permohonan tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama
disertai alasan untuk melakukan perceraian, sebagaimana ditentukan dalam
pasal 39 ayat dua (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 19
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 bahwa suami istri itu tidak akan
dapat hidup rukun sebagai suami isteri dengan sebab sebagai berikut:
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, pejudi danlain sebagainya yang sukar disembuhkan; Salah satu pihak meninggalkanpihak yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dantanpa alasan yang sah atau karena lain di luar kemampuanya; Salah satu
34
pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yanglebih berat setelah perkawinan berlangsung; Salah pihak melakukankekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yanglain;Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibattidak dapat menjalankan kewajiban kewajibanya sebagai suami-istri; Antarasuami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidakada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; Suami melanggartaklik talak;Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinyaketidak-rukunan dalam rumah tangga. (Pasal 14-19 PP Nomor 9 Tahun 1975dan Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, tentang Kompilasi HukumIslam, Pasal 116).
b. Membayar uang muka/panjar biaya perkawinan via Bank yang ditunjuk;
1.2. Pemohon atau kuasanya menghadiri sidang di Pengadilan, berdasarkan
surat pengadilan Jurusita / Jurusita Pengganti;
1.3. Pemohon atau kuasanya harus membuktikan dalil-dalil (kebenaran dari
isi) yang menjadi dasar permohonan di muka sidang Pengadilan,
berdasarkan alat-alat bukti: Surat-surat, Saksi-saksi, Pengakuan salah satu
pihak, persangkaan hakim dan sumpah salah satu pihak. (HIR, Pasal 164 dan
R.Bg. Pasal 184);
1.4. Pengadilan mengeluarkan produk Pengadilan berupa Putusan/Penetapan;
1.5. Apabila Pemohon dan Termohon hadir dipersidangkan dan tidak
memerlukan salinan putusan. “kepada yang bersangkutan tidak perlu
diberikan salinan putusanya dan apabiala tidak hadir cukup diberikan isi
putusanya”. (HIR, Pasal 179 dan R.Bg. Pasal 190);
1.6. Jika putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (BHT), maka atas
perintah majelis hakim Pemohon dan Termohon dipanggil oleh Jurusita/
Jurusita Pengganti untuk hadir dalam sidang pengucapan ikrar talak;
Setelah itu Panitera Pengadilan, menerbitkan akata cerai, sebagai bukti tela
terjadinya perceraian (Undang-Udang Nomor Setelah itu Panitera
Pengadilan, menerbitkan akta cerai, sebagai bukti telah terjadinya perceraian
35
(Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, pasal 84 ayat (4). dan buku contoh
formulir laporan dan register perkara Pengadilan Agama, hlm. 19).
2. Prosedur Peengajuan permohonan gugatan (Cerai gugat)
2.1.Penggugat atau kuasanya mendatangi Pengadilan Agama, yaitu:
Gugatan/ cerai gugat diajukan oleh istri atau kuasa hukum kepada pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat, kecuali apabila
Penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa
izin Tergugat. Dalam hal Penggugat berkediaman di luar negeri; gugatan
diajukan kepada Pengadilan meliputi tempat kediaman Tergugat. Dalam hal
Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri maka gugatan
diajukan kepada pengadilan pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka
berlangsung atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat. (Pasal 73 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989)
Beberapa hal yang harus dilakukan di sini adalah Mengajukan gugatan secara
tertulis, atau lisan kepada Pengadilan; dan Membayar uang muka/panjar
biaya perkara via bank yang ditunjuk.
2.2.Penggugat dan Tergugat secara pribadi atau masing-masing kuasanya harus
datang untuk menghadiri sidang pengadilan berdasarkan surat panggilan
Jurusita/Jurusita Pengganti.
2.3.Pengadilan Agama dapat melakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atau permohonan Penggugat
atau Tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin
ditimbulkan, pengadilan dapat mengizinkan supaya istri tersebut untuk
tidak tinggal dalam satu rumah;
36
b. Selama berlagsungnya gugatan perceraian atau permohonan Penggugat,
pengadilan dapat: Menentukan nafkah yang ditanggung suami;
Menentukan hal-hal yang perlu untuk pemeliharaan dan pendidikan anak;
dan Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya
barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi
hak istri.
2.4. Penggugat dan Tergugat secara pribadi atau masing-masing kuasanya wajib
membuktikan dalil-dalil gugatan atau tuntutanya di muka sidang pengadilan
berdasarkan alat-alat bukti: surat-surat; saksi-saksi; pengakuan salah satu
pihak; persangkaan hakim; dan sumpah salah satu pihak.
2.5. Pengggugat dan Tergugat secara pribadi atau masing-masing menerima
salinan putusan, jika yang bersangkutan memerlukannya;
2.6. Penggugat dan Tergugat menerima akta cerai dari Pengadilan Agama, setelah
putusan berkekuatan hukum tetap (BHT). (Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 Pasal 77-78).
Dalam proses pemeriksaan gugatan atau perkara perceraian di depan sidang
dilakukan melalui tahapan-tahapan dalam hukum acara perdata, setelah hakim
terlebih dahulu berusaha dan tidak berhasil mendamaikan para pihak yang
bersengketa. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut diawali dari
Pembacaan gugatan; Pada tahap pembacaan gugatan ini terdapat beberapa
kemungkinan dari penggugat/pemohon yaitu mencabut gugatan, mengubah gugatan-
dan mempertahankan gugatan dan jika Penggugat/Pemohon tetap mempertahankan
gugatannya maka sidang dilanjutkan ke tahap berikutnya. Kemudian tahapan
selanjutnya adalah Jawaban Tergugat yakni setelah gugatan dibacakan dan isinya
tetap dipertahankan oleh penggugat kemudian tergugat diberi kesempatan untuk
37
mengajukan jawabannya, baik dalam sidang itu juga atau dalam sidang berikutnya.
Hal ini menurut Pasal 121 ayat (2) HIR/ Pasal 145 ayat (2) R.Bg. Jo. Pasal
132 ayat (1) HIR/Pasal 158 (1) R.Bg. dijelaskan bahwa Tergugat dapat mengajukan
jawaban secara tertulis atau lisan. Di dalam mengajukan jawaban tersebut tergugat
harus hadir secara pribadi dalam sidang atau diwakilkan oleh kuasa hukumnya,
apabila tergugat/kuasa hukumnya hadir tidak hadir dalam sidang meskipun
mengirimkan surat jawabanya, tetapi dinilai tidak hadir dan jawabanya itu tidak perlu
diperhatikan, kecuali dalam hal jawaban yang berupa eksepsi atau tangkisan bahwa
pengadilan yang bersangkutan tidak berwenang mengadili perkara itu. Pada tahap
jawaban ini ada beberapa kemungkinan dari tergugat yakni eksepsi; mengaku bulat-
bulat; mungkir mutlak (membatah); mengaku dengan klausula; referte (jawaban
berbelit-belit); atau menyerahkan kepada kebijaksanaan Hakim; atau tidak
membantah dan tidak pula membenarkan gugatan.
1. Replik Penggugat; Setelah tergugat menyampaikan jawabanya, kemudian si-
penggugat diberi kesempatan untuk menanggapinya sesuai dengan
pendapatnya. Dalam tahap ini mungkin penggugat tetap mempertahankan
gugatanya dan menambah keterangan yang dianggap perlu untuk memperjelas
dalil-dalilnya, atau mungkin juga pengggugat merubah sikap dengan
membenarkan jawaban/bantahan tergugat.
2. Duplik Tergugat; Setelah penggugat menyampaikan replikanya, kemudian
tergugat diberi kesempatan untuk menanggapi pula. Dalam tahap ini mungkin
tergugat bersikap seperti pengggugat dalam repliknya tersebut. Acara replik
dan duplik (jawab-menjawab) ini dapat diulangi sampai ada titik temu antara
penggugat dan tergugat, ada/atau dianggap cukup oleh hakim. Apabila acara
38
jawab-menjawab ini dianggap telah cukup namun masih ada hal-hal yang
tidak disepakati oleh penggugat dan tergugat sehingga perlu dibuktikan
kebenarannya, maka acara dilanjutkan ketahap pembuktian.
3. Pembuktian; pada tahap ini baik pengggugat maupun tergugat, diberikan
kesempatan yang sama untuk mengajukan bukti-bukti baik berupa saksi-saksi,
alat bukti surat maupun alat bukti lainnya secara bergantian yang diatur oleh
Hakim.
4. Konklusi/ Kesimpulan; pada tahap ini, baik penggugat maupun tergugat
diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan pendapat akhir yang
merupakan kesimpulan hasil pemeriksaan selama sidang berlangsung, menurut
pandangan masing-masing.
5. Putusan Hakim; pada tahap ini Hakim merumuskan duduk perkaranya dan
pertimbangan hukum (pendapat Hakim) mengenai perkara tersebut disertai
alasan-alasan dan dasar-dasar hukumnya, yang diakhiri dengan putusan Hakim
mengenai perkara yang diperiksa tersebut.
Dalam hal perkara gugatan tersebut terdapat inisiatif perdamaian yang dapat
timbul dari hakim, penggugat ataupun tergugat, sehingga Hakim harus secara
aktif dan berperan sungguh-sungguh untuk mendamaikan para pihak yang
terlibat itu, sehingga setiap perkara wajib untuk dimediasi. (Peraturan
Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008).
Atas dasar inilah pengajuan gugatan perkara pada Peradilan Agama yang
ditetapkan dalam beberapa tahapan-tahapan proses pemeriksaan hingga di meja
persidangan, terdapat prosedur tetap sejak dari awal pengajuan perkara hingga akhir
penetapan putusan perkara oleh hakim dengan dasar tidak memihak, mendamaikan
dan dilakukan pendekatan mediasi terlebih dahulu.