BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangrepository.radenfatah.ac.id/6950/1/Skripsi BAB I.pdf1 BAB I...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangrepository.radenfatah.ac.id/6950/1/Skripsi BAB I.pdf1 BAB I...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masa remaja merupakan masa peralihan dimana
seorang remaja nantinya akan menginjak masa dewasa.
Menurut bapak studi ilmiah, Hall ahli psikologi dan
pendidikan (dalam Yusuf 2017) yang merupakan salah
seorang “father of adolesence”. Ia meyakini melalui
mekanisme evolusi, remaja dapat memperoleh sifat-sifat
tertentu melalui pengalaman hidupnya yang kritis. Hall
menyimpulkan bahwa remaja adalah masa antara usia 12
sampai 23 tahun yang penuh dengan topan dan tekanan.
Topan dan tekanan adalah konsep Hall tentang remaja
sebagai masa goncangan yang ditandai dengan konflik
serta perubahan suasana hati.
Menurut Hall (dalam Yusuf 2017) pikiran, perasaan
dan tindakan remaja berubah-ubah antara kesombongan
dan kerendahan hati, baik dari godaan, kebahagiaan serta
kesedihan. Ada saat tertentu remaja mungkin bersifat
sangat jahat, tetapi ada saat tertentu juga remaja tersebut
bersikap sangat baik. Ataupun terdapat remaja yang ingin
berada sendirian pada satu waktu tetapi beberapa waktu
kemudian mencari teman untuk menemani kesendiriannya
(Santrock, 2007).
Hall berpendapat (dalam Yusuf 2017) bahwa remaja
merupakan masa “strum and drang” yaitu sebagai periode
yang berada dalam dua situasi. Antara kegoncangan,
penderitaan, asmara dan pemberontakan dengan otoritas
orang dewasa. Selanjutnya, dia mengemukakan bahwa
pengalaman sosial selama remaja dapat mengarahkannya
1
2
untuk menginternalisasi sifat-sifat yang diwariskan oleh
generasi sebelumnya.
Sedangkan menurut Konopka (dalam Yusuf 2017)
masa remaja meliputi (a) remaja awal: 12-15 tahun (b)
remaja madya: 15-18 tahun dan (c) remaja akhir: 19-22
tahun. Remaja merupakan masa dimana ia berada dalam
masa peralihan, dalam masa peralihan itulah remaja
sedang mencari identitasnya. Dalam proses perkembangan
yang serba sulit dan masa-masa membingungkan bagi
dirinya.
Pada pendekatan teori perkembangan, menjelaskan
bahwa intelegensi seseorang dipusatkan pada masalah
perkembangan intelegensi secara kualitatif dalam kaitannya
dengan tahap-tahap perkembangan biologis individu.
Berbeda dengan pendekatan psikometris yang bersifat
kuantitatif, pendekatan teori perkembangan lebih bersifat
kualitatif.
Sebagai contoh, Piaget Ginsburg, Opper &
Hergenhahn (dalam Azwar 2017) mengawali konsepsi
mengenai test intelegensi dengan melihat pada respon-
respon yang salah dilakukan seseorang dalam tes
intelegensi. Tampak oleh Piaget bahwa terdapat pola
respon tertentu yang ada kaitannya dengan tingkatan usia
tententu pula. Studi selanjutnya meyakinkannya bahwa
memang terdapat perbedaan kualitatif dalam cara berfikir
seseorang pada masing-masing kelompok usia (Azwar,
2017).
Hal tersebut berkaitan antara tingkatan usia dengan
respon-respon yang akan dilakukan seseorang, termasuk
pada usia remaja. Masa remaja biasanya sangat
membutuhkan pengertian dan bantuan orang yang dicintai
3
dan dekat dengannya terutama orang tua atau
keluarganya. Karena keluarga sangatlah berperan dalam
membentuk kualitas diri pada seorang remaja.
Adapun fungsi keluarga adalah memberikan
pengayoman sehingga menjamin rasa aman. Oleh karena
itu, dalam masa kritisnya remaja sangat membutuhkan
realisasi fungsi tersebut yaitu fungsi orang tua ataupun
keutuhan keluarga. Yang dimaksud dengan keutuhan
keluarga ialah bahwa di dalam keluarga itu adanya ayah
disamping adanya ibu dan anak-anaknya. Apabila tidak ada
ayahnya atau ibunya atau kedua-duanya, maka struktur
keluarga sudah tidak utuh lagi (Gerungan, 1988). Sebab,
dalam masa kritis biasanya seseorang kehilangan pegangan
yang memadai dan membutuhkan pedoman dalam
hidupnya. Masa kritis ini pun biasanya diwarnai oleh
konflik-konflik internal, pemikiran kritis, perasaan mudah
tersinggung, cita-cita dan kemauan yang tinggi tetapi sulit
dikerjakan. Sehingga remaja biasanya mengalami putus
asa dan lain sebagainya.
D.Stoddard (dalam Azwar 2017) menyebutkan
bentuk kemampuan untuk memahami masalah-masalah
yang bercirikan (a) mengandung kesukaran (b) kompleks,
yaitu mengandung bermacam jenis tugas yang harus dapat
diatasi dengan baik dalam arti bahwa individu yang
intelegen mampu menyerap kemampuan baru dan
memadukannya dengan kemampuan yang sudah dimiliki
untuk kemudian digunakan dalam menghadapi masalah (c)
abstrak, yaitu mengandung simbol-simbol yang
memerlukan analisis dan interpretasi (d) ekonomis, yaitu
dapat diselesaikan dengan menggunakan proses mental
yang efisien dari segi penggunaan waktu (e) diarahkan
4
pada suatu arah atau terget yang jelas (f) mempunyai nilai
sosial yaitu cara dan hasil pemecahan masalah dapat
diterima oleh nilai dan norma sosial (g) berasal dari
sumbernya yaitu pola pikir yang membangkitkan kreativitas
untuk menciptakan sesuatu yang baru.
Walters dan Gardner (dalam Azwar 2017)
mendefinisikan bahwa seseorang dikatakan memiliki tingkat
intelegensi yang baik apabila memiliki suatu kemampuan
atau serangkaian kemampuan-kemampuan yang
memungkinkan individu memecahkan masalah atau produk
sebagai konsekuensi eksistensi suatu budaya tertentu.
Stenberg, Frensch & Flyn (dalam Azwar 2017)
mendefinisikan intelegensi sebagai kemampuan untuk
berfikir secara abstrak dan kesiapan untuk belajar dari
pengalaman.
Maka dari itu remaja sangat memerlukan orang tua
ataupun keluarga saat berada pada masalah ataupun
dalam masa-masa sulitnya. Ki Hajar Dewantara sebagai
tokoh pendidikan berpendapat bahwa keluarga adalah
kumpulan beberapa orang yang karena terikat oleh satu
turunan lalu mengerti dan merasa berdiri sebagai satu
gabungan yang hakiki, esensial, enak dan berkehendak
bersama-sama memperteguh gabungan itu untuk
memuliakan masing-masing anggotanya (Boty, 2016).
Namun apa jadinya jikalau masa remaja yang
dimana remaja ini menginjak masa kritis malah tidak
mendapatkan peran dari orang tua ataupun keluarga ?
Yaitu karena kematian kedua orang tua, tidak hanya salah
satu namun benar-benar kehilangan kedua-duanya, hal
tersebutlah yang membuat remaja sangat kehilangan peran
kedua orang tua, pastinya sangat kehilangan arah untuk
5
bangkit dan melangkah kedepan, padahal masa remaja
adalah masa dimana remaja sangat membutuhkan orang
tua untuk mengayomi dirinya dalam melangkahkan
perjalanan kehidupan selanjutnya.
Orang tua merupakan orang yang paling dekat
dengan anak, kebahagiaan sebuah keluarga akan membuat
kedekatan yang terjalin antara anak dengan orang tua
terjalin harmonis. Kedekatan itu akan membuat anak
merasa aman dan nyaman. Ketika remaja dihadapkan pada
suatu peristiwa yang tidak diinginkan dalam hidupnya,
maka remaja tersebut pasti akan merasa berat
menerimanya. Seperti peristiwa kematian, yang dapat
memisahkan hubungan komunikasi antara anak dengan
orang tua. Peristiwa ini akan sulit untuk diterima oleh
siapapun karena tidak ada satu orang pun yang benar-
benar siap ketika harus kehilangan orang yang disayang
dan dicintainya.
Peristiwa kematian juga dapat mempengaruhi proses
perkembangan, hal ini dikarenakan kematian itu dapat
menimbulkan duka yang mendalam bagi remaja dan rasa
duka itu pun juga menimbulkan rasa penolakan, tidak
mampu menerima kenyataan, perasaan putus asa,
menangis, resah, marah, perasaan bersalah, merasa
kehilangan, perasaan rindu dan perasaan tidak rela.
Adapun beberapa faktor yang menyebabkan rasa duka
yang dialami subjek yaitu hubungan individu dengan kedua
orang tua saat kedua orang tuanya masih ada, proses
kematian, latar belakang keluarga, peran kedua orang tua
sebelum meninggal dan dukungan sosial dari kedua orang
tua sebelumnya.
6
Peristiwa tersebut selain akan membuat seorang
remaja yang mengalaminya menjadi shock dan terpukul,
mereka akan benar-benar mengalami kehilangan seseorang
yang sangat berarti dalam kehidupannya. Saat mengalami
kehilangan orang-orang yang dicintai, maka setiap orang
akan memberikan reaksi terhadap kehilangan tersebut
dengan berbagai cara. Tidak ada keabadian di dunia bagi
makhluk hidup, khususnya manusia, semuanya bersifat
fana. Kehidupan itu sendiri berjalan ibarat roda besar yang
menggelinding setiap saat, ada kalanya berada diatas, ada
kala nya di bawah (Yap, 2017).
Remaja berduka dengan cara yang biasanya hampir
sama dengan orang dewasa. Namun kerena pada tingkat
pertumbuhan ini remaja sering merasakan emosi yang naik
turun, mereka bisa menderita depresi karenanya. Remaja
bisa merasakan dampak yang sangat besar akibat
kesedihan yang mereka rasakan setelah putus hubungan,
perpisahan dengan orang tua atau bahkan kematian
seseorang yang dekat dengan mereka.
Remaja yang kehilangan ibu, jauh lebih merusak
dari pada kehilangan ayah. Alasannya, bahwa pengasuh
anak dalam hal ini harus dialihkan kepada sanak saudara
atau pengasuh lainnya dan lain-lain. Cara mendidik pun
mungkin berbeda dari yang digunakan ibu, mereka jarang
memberikan anak perhatian dan kasih sayang yang
sebelumnya ia peroleh dari seorang ibu.
Ibu adalah sosok yang sangat berperan penting
dalam kehidupan, selalu memberikan support dan nasihat-
nasihatnya terutama bagi seorang anak perempuan, karena
akan adanya rasa kekhawatiran pada dirinya jika sudah
menikah nanti ia harus lebih mandiri lagi. Sedangkan
7
dengan bertambahnya usia, kehilangan seorang ayah akan
lebih menyakitkan dari pada kehilangan seorang ibu,
terutama bagi anak laki-laki.
Bagi anak laki-laki kehilangan seorang ayah bukan
hanya kehilangan kepala keluarga melainkan juga
kehilangan seseorang yang memberikan perlindungan, rasa
aman serta kehilangan seseorang yang selama ini
memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Kematian salah
satu bahkan kedua orang tua pasti menyisakan luka yang
mendalam bagi remaja.
Apalagi ketika remaja harus kehilangan kedua-
duanya, yaitu sosok ibu dan ayah. Tak heran jika remaja
mengalami shock dan sangat terpukul. Krisis yang
ditimbulkan akibat kehilangan orang tua memiliki dampak
yang sangat serius pada tahap perkembangan remaja.
Masa remaja yang merupakan tonggak penting dalam
pembentukan identitas tentunya sangat membutuhkan
dukungan dari orang-orang yang dicintainya, dalam hal ini
adalah orang tua. Orang tua yang memberikan dan
menanamkan nilai-nilai dasar, menyediakan dan
memberikan kasih sayang, memberikan dukungan baik
berupa moril maupun materil, serta menjadi sosok yang
dapat dibanggakan bagi anaknya.
Kehilangan orang tua bagi kelompok usia remaja
merupakan salah satu contoh dari situasi yang sangat
buruk, sehingga dapat menimbulkan keputus-asaan dan
tampak tidak memiliki harapan hidup. Frankl mengatakan
bahwa kehidupan manusia dapat mengandung arti sampai
momen kehidupannya yang terakhir. Jika hidup benar-
benar memiliki makna, maka harus ada makna di dalam
penderitaan, karena penderitaan merupakan bagian tak
8
terpisahkan dari kehidupan manusia, meskipun penderitaan
itu merupakan nasib dan dalam bentuk kematian, tanpa
penderitaan dan kematian, hidup manusia tidak sempurna
(Frankl, 2017).
Namun penderitaan tersebut memiliki makna ganda,
yaitu membentuk karakter sekaligus membentuk kekuatan
atau ketahanan diri. Bagaimana individu harus menjaga
dirinya agar tidak menyerah ataupun berpangku tangan
pada orang lain. Kondisi individu yang terkadang mudah
menyerah dan terlalu dini untuk menerima suatu keadaan
buruk sebagai takdir, ini disebabkan oleh tidak jelasnya
makna hidup dan visi kehidupan individu yang
bersangkutan.
Proses perjalanan hidup tentu saja tidak luput dari
berbagai masalah, sejak kita lahir, seorang bayi pun sudah
dihadapkan pada masalah untuk menyesuaikan diri dengan
dunia di luar rahim ibundanya, menyesuaikan dengan rasa
dingin, rasa panas, lapar dan sebagainya. ketika beranjak
remaja, remaja menjadi masa untuk mempersiapkan diri
menjadi manusia dewasa.
Dalam prosesnya ada remaja yang sukses melalui
masalah-masalah namun adapula beberapa diantaranya
kesulitan dalam mentukan identitas dirinya. Masalah-
masalah yang dialami tentu saja tidak terhindarkan dan
perlu penerimaan yang besar ketika banyak hal tidak
tercapai sesuai dengan harapan (Pratiwi, 2017).
Cara untuk menghadapi hal tersebut adalah
perlunya visi yang baik tentang tujuan hidup, tujuan hidup
bisa dicapai apabila sejak dini individu menekankan pada
makna hidup yang baik. Makna hidup yang akan membuat
individu itu memiliki keinginan untuk menjadi orang yang
9
berguna bagi orang lain maupun diri sendiri. Makna hidup
yang akan membuat individu itu mampu bertahan dalam
penderitaan hidupnya. dengan adanya makna hidup,
individu diajak untuk terus berjuang dalam penderitaan
hidup.
Pada umumnya, individu-individu yang depresif-
histeris akan cenderung pada anomali atau kelainan
suasana hati yang depresif, orang-orang yang cenderung
menjadi depresif itu biasnya sangat bergantung pada kasih
sayang dan penghargaan orang lain. Sehingga apabila
mereka itu merasa ditinggalkan oleh orang-orang yang
dicintai, maka munculah kemarahan-kemarahan primitif
yang hebat (Kartono, 1986).
Remaja biasanya bisa sampai menutup diri, tertekan
dan mudah marah dalam situasi-situasi yang seperti ini.
Mereka mungkin dahulunya lebih suka mendapatkan
dukungan dan menghabiskan waktu bersama teman-
teman, dari pada dengan keluarga. Namun setelah remaja
benar-benar merasakan kehilangan orang tua, remaja akan
merasakan perubahan yang sangat berbeda dan biasanya
akan menimbulkan dampak terhadap perkembangannya,
remaja yang mampu memahami kehilangan sebagai suatu
hal yang positif maka akan melaksanakan tugas
perkembangannya dengan baik, seperti mampu mencapai
perilaku sosial yang bertanggung jawab dan mencapai
kemandirian emosional.
Sebaliknya, remaja yang tidak mampu memahami
kehilangan sebagai suatu hal yang positif maka akan
mengalami masalah dalam perkembangannya. Adapun
masalah yang paling mendasar pada remaja yaitu
kurangnya kasih sayang yang seharusnya diperoleh remaja.
10
Remaja yang tidak mendapatkan kasih sayang akan
berusaha mendapatkan apa yang seharusnya diperoleh.
Kasih sayang adalah hal mutlak yang harus diperoleh setiap
individu, khususnya remaja.
Karena masa remaja adalah masa yang rentan,
ketika remaja kehilangan figur yang seharusnya dapat
memberikan kasih sayang sebagaimana yang mereka
inginkan, maka mereka akan melampiaskannya misalnya
dengan menunjukkan kesedihan dengan bertingkah marah
untuk menutupi apa yang mereka rasakan di dasar hati
mereka, namun ada juga remaja yang pada akhirnnya
melakukan hal-hal berbahaya untuk melampiaskan
kesedihannya. Maka dari itu remaja memerlukan motivasi
utama guna meraih taraf kehidupan yang bermakna “the
meaning of life” (Bastaman, 2007).
Makna hidup (the meaning of life) merupakan
sesuatu hal yang sangat berharga, dianggap sangat
penting serta memberikan nilai khusus bagi seseorang,
kemudian layak dijadikan tujuan dalam hidup (the purpose
in life), (Bastaman 2007). Makna hidup menurut Frankl
adalah suatu usaha pemenuhan diri dan aktualisasi diri
dengan tidak berfokus pada diri melainkan dengan cara
mengkhayati kualitas dan tujuan hidup. Makna hidup
sangatlah khas dan unik bagi setiap individu, dapat
dikemukakan dalam semua situasi termasuk penderitaan
dan kematian. Meski tanpa adanya orang-orang tersayang
menemani langkah dalam perjalanan hidup, maka makna
hiduplah yang kemudian akan menjadi sesuatu yang khas
dan unik bagi setiap individu.
Makna hidup dan sumber makna hidup dapat
ditemukan dalam kehidupan itu sendiri, khususnya pada
11
pekerjaan ataupun aktivitas yang dilakukan, dalam
keyakinan dan harapan serta iman pada diri. Bila hal
tersebut berhasil dipenuhi maka akan membuat seseorang
merasakan hidupnya berarti dan pada akhirnya akan
menimbulkan perasaan bahagia (happiness).
Kebahagiaan bukanlah suatu tujuan tetapi
kebahagiaan merupakan efek samping dari makna hidup
yang telah manusia raih. Kebahagiaan tidak dapat dikejar
dan ditangkap melainkan ia timbul secara spontan dari
pemenuhan arti pencapaian diluar diri. Makna hidup
mengandung sebuah pengertian yang menunjukkan
bahwa dalam makna hidup terkandung juga banyak tujuan
hidup yakni hal-hal yang perlu dicapai dan dipenuhi,
mengingat antara makna hidup dan tujuan hidup tak dapat
terpisahkan maka untuk keperluan praktis pengertian
“makna hidup” dan “tujuan hidup” itu disamakan. Hal yang
paling utama dalam hidup adalah bertanggung jawab untuk
menemukan jawaban-jawaban yang tepat dari semua
permasalahan hidup dan menyelesaikan tugas-tugas yang
terus menerus disodorkan oleh hidup kepada masing-
masing individu (Frankl, 2017).
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa
makna hidup adalah proses penemuan dan pencarian
makna pada diri dan merupakan alasan mendasar yang
datang dari dalam diri individu (intrinsik) untuk meraih
tujuan, melanjutkan kehidupan dan menjadi individu yang
lebih baik lagi agar kemudian merasakan hidup bermakna
dan berharga yang pada akhirnya akan menimbulkan
perasaan bahagia. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa
kehidupan terkadang baru memiliki makna yang nyata
setelah individu yang bersangkutan dihadapkan pada
12
situasi yang penuh penderitaan. Dalam keadaan yang
demikian, beberapa remaja yang tidak memiliki orang tua
hidup sebatangkara mengalami krisis, baik krisis
kepercayaan, krisis diri dan lain-lain.
Oleh karena itu remaja idealnya memerlukan
dukungan dan peran dari keluarga serta orang-orang
terdekat sebagai penyemangat dalam hidup, pemberi
dukungan ataupun teman yang bersedia mendengarkan
mereka, remaja yang tidak lagi memiliki orang tua,
keluarga ataupun saudara dan tidak mendapatkan lagi
perhatian serta kasih sayang dari keluarga maka akan sulit
untuk bertahan dan melanjutkan hidupnya. Tentu hal ini
bertentangan dengan fenomena yang ada dalam
masyarakat, biasanya menganggap mustahil bagi seorang
remaja apabila mampu bertahan tanpa kedua orangtua,
saudara ataupun keluarga.
Namun faktanya, terdapat beberapa remaja yang
hidup sebatangkara, orangtua telah meninggal dunia,
remaja merupakan anak tunggal, tidak memiliki saudara
ataupun keluarga, benar-benar menjalani hidup sendirian
tetapi masih mampu bertahan melanjutkan hidup dengan
penuh semangat tanpa terlihat beban dalam hidupnya. Hal
ini menyebabkan remaja berjuang sendirian dalam
mempertahankan hidup dan berusaha menemukan makna
dalam hidupnya.
Dari beberapa observasi yang dilakukan peneliti,
terdapat beberapa remaja yang hidup sebatangkara, tidak
memiliki kedua orangtua, remaja merupakan anak tunggal,
tidak memiliki saudara dan benar-benar menjalani hidup
sendirian. Hal ini menyebabkan remaja berjuang sendirian
dalam mempertahankan hidup. Selaras dengan hasil
13
wawancara awal pada subjek pertama berinisial BAA
(perempuan) usia 21 tahun bertempat tinggal di
maskarebet km 10 pada senin, 1 juni 2019 pukul 13.00
WIB. Subjek pertama menunjukkan tentang bagaimana
bertahan hidup dan mensyukuri hidup setelah ia ditinggal
kedua orang tua. Berikut petikan wawancara terhadap
subjek berinisial BAA :
“Dari kelas limo SD aku lah ditinggal ibuk aku pegi,
masok SMP bapak aku nikah lagi, banyak nian duka
yang sudah aku rasoi ini kareno harus nerimo
kehadiran sosok ibuk baru. Nah pas aku lah lolos
sekolah, awal masok kuliah nian di semester satu,
lah bapak aku pulok meninggal. Mano aku ni jugo
anak tunggal, katek saudara, ditambah lagi dak lamo
itu ibuk tiri aku melepaske tanggung jawab, dak nak
ngerawat aku lagi. Sudah, pasrah bae inilah takdir
aku yang harus ngejalanke edop dewekan
sebatangkara, tapi dak papo aku bakal buktike kalo
aku kuat jalanke edop mak ini, aku yaken edop aku
kedepannyo bakal lebih baek. Allah ngasih cobaan
mak ini kareno Allah tau kalo aku bakal sanggop
ngejalankenyo”
Berdasarkan petikan wawancara di atas, selaras
dengan salah satu aspek makna hidup, yaitu pemahaman
diri (self insight). Meningkatnya kesadaran atas buruknya
kondisi diri pada saat ini dan keinginan kuat untuk
melakukan perubahan-perubahan ke arah kondisi yang
lebih baik. Individu memiliki kemampuan untuk mengambil
sikap yang tepat terhadap segala peristiwa, baik yang
14
bersikap tragis maupun yang sempurna. (Bastaman 2007).
Selanjutnya observasi dan wawancara yang dilakukan pada
subjek kedua berinisial IA (laki-laki) usia 17 tahun
bertempat tinggal di jalan Lantana IV kecamatan alang-
alang lebar. Pada senin, 1 juli 2019 pukul 15.00 WIB.
Berikut petikan wawancara dengan subjek berinisial IA :
“Awalnyo aku galak betanyo-tanyo ngapolah edop
aku cak ini, idak cak wong di luar sano punyo wong
tuo lengkap, punyo ayuk punyo kakak punyo adek
sedangke aku cuma dewekan, edop cak dak adil
bagi aku. Tapi aku jugo bepeker, kalo aku cak inilah,
galak ngeluh, pasti naseb aku dak bakal berubah,
itulah sekarang aku nak fokus bejuang ke gawean
aku yang sekarang, begawe nyari duet, ado
kesibukan jugo kan, kalu bae allah kagek pacak
ngangkat derajat aku”
Berdasarkan petikan wawancara di atas, selaras
dengan aspek makna hidup yakni pengubahan sikap
(changing attitude). Pengubahan sikap dari semula
bersikap negatif dan tidak tepat menjadi mampu bersikap
positif dan lebih tepat menghadapi masalah, kondisi hidup
dan musibah yang tak terelakkan. Karena seringkali bukan
peristiwa yang membuat individu merasa sedih dan terluka
namun karena sikap negatif menghadapi peristiwa tersebut
(Bastaman 2007). Selanjutnya observasi dan wawancara
yang dilakukan pada subjek kedua di akhir bulan juli pada
rabu, 31 juli 2019 pukul 15.30 WIB. Berikut petikan
wawancara dengan subjek berinisial IA :
15
“Mak inilah kenyataan edop yg harus ku jalanke,
edop masih panjang, aku sampai sekarang selalu
ingat pesan bapak dan mamak waktu aku maseh
kecik pas mereka beduo masih ado, nyuruh aku
supayo kagek pacak jadi wong sukses, itulah sampai
sekarang aku nak bejuang bener-bener, begawe
ngumpulke duet kareno pengen kuliah, supayo
kagek pacak wujudke pesan dari mamak dengan
bapak aku dulu, pacak jadi wong sukses. Walaupun
aku dak bakal pacak ketemu lagi dengan bak mak
lagi seidaknyo aku lah berusaha nak wujudke pesan
bak samo mamak ku dulu, walaupun dak mudah
bejuang dewekan”
Berdasarkan petikan wawancara di atas, selaras
dengan aspek makna hidup yakni keikatan diri dan
kegiatan terarah. Yaitu komitmen individu terhadap makna
hidup yang ditemukan dan tujuan hidup yang ditetapkan,
komitmen yang kuat akan membawa individu pada
pencapaian makna hidup yang lebih mendalam dan
kegiatan terarah merupakan upaya-upaya yang dilakukan
secara sengaja dan sadar berupa pengembangan potensi-
potensi maupun kegiatan positif lainnya haruslah terarah.
Dapat disimpulkan bahwa fenomena yang terjadi di
masyarakat bertolak belakang dengan fakta di lapangan.
Fenomena yang biasanya terjadi bahwa remaja yang tidak
lagi memiliki orang tua, keluarga ataupun saudara dan
tidak mendapatkan perhatian serta kasih sayang dari
keluarga maka akan sulit untuk bertahan dan melanjutkan
hidupnya. Namun, dari fakta yang ditemukan bahwa ada
remaja yang sampai saat ini pun ia menjalani hari-hari nya
16
hanya seorang diri, tanpa saudara, tanpa ibu dan ayah,
namun masih bisa melanjutkan kuliah, tetap berjuang dan
bertahan melanjutkan hidup, walau hidup sebatangkara
dan penuh penderitaan dalam hidupnya namun ia tetap
terlihat bahagia, berusaha untuk selalu tersenyum melewati
hari-hari yang sepi tanpa kedua orang tua, saudara
ataupun keluarga, berusaha tegar, tidak mengeluh dengan
keadaan dan terus melanjutkan hidup dengan harapan
bahwa tujuan hidupnya harus tercapai.
Fokus penelitian ini yaitu mengenai gambaran
makna hidup pada remaja sebatangkara, menjalani
kehidupan sehari-harinya tanpa kedua orang tua, saudara
ataupun keluarga, benar-benar menjalani hidup hanya
seorang diri. Dari fakta yang sangat jarang ditemukan
tersebut maka penelitian ini layak untuk diteliti sehingga
harus dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai “Makna
Hidup Pada Remaja Sebatangkara Di Kota Palembang”.
1.2 Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan pada penelitian ini adalah bagaimana
gambaran makna hidup pada remaja sebatangkara
di kota Palembang ?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana gambaran makna hidup pada remaja
sebatangkara di kota Palembang
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
17
Diharapkan dalam penelitian ini dapat memberikan
tambahan ilmu pengetahuan dalam bidang psikologi
umum, psikologi perkembangan, psikologi
kepribadian, psikologi intelegensi, psikologi sosial
dan ilmu lainnya. Terutama memberikan
pengetahuan mengenai bagaimana gambaran
makna hidup pada remaja sebatangkara.
2. Manfaat Praktis
Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat
memberikan pemikiran, acuan ataupun pemahaman
mengenai bagaimana menemukan makna hidup
agar tercapai tujuan hidup kepada :
a. Remaja
Memberikan pemahaman kepada remaja untuk
dapat terus menjalani kehidupan serta berusaha
menemukan makna dalam hidupnya. Walaupun
sedang dalam situasi dan kondisi yang sangat sulit,
tetaplah hadapi dan jalani, karena setiap manusia
pasti mengalami tekanan dan masalah hidupnya
masing-masing, yang membedakan hanyalah cara
bagaimana seseorang tersebut mampu bertahan dan
bangkit disituasi serta kondisi apapun itu, maka
dengan adanya pengetahuan tersebut seorang
remaja punya cara untuk bangkit lalu menemukan
jalan keluar dari suatu keterpurukan yang dialami.
b. Orang Tua
Memberikan bekal ilmu kepada orang tua agar dapat
mengajak anak-anak nya untuk tetap menjalani
kehidupan dengan sebaik-baiknya, apapun situasi
dan kondisi yang dihadapi, tetaplah jalani untuk
benar-benar menemukan makna hidup yang
18
sebenarnya. Karena sang anak tidak akan selamanya
selalu bersama orang tua, dengan adanya
pengetahuan tersebut, orang tua dapat memberikan
bekal kepada anak, jikalau nanti datang pada masa
dimana orang tua dan anak tak dibersamakan lagi.
1.5 Keaslian Penelitian
Penelitian terdahulu yang berhubungan dengan
makna hidup pada remaja sebatangkara, yakni remaja
tidak memiliki kedua orang tua lagi. Penelitian sudah
pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian
tersebut antara lain : Makna Kematian Orang tua Bagi
Remaja (studi fenomenologi pada remaja pasca kematian
orang tua) yang dilakukan oleh Nurhidayati, Lisya Chairani
(2014). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna
kematian orang tua bagi remaja. Pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan kualitatif. Adapun
pendekatan kualitatif digunakan untuk mengeksplorasi dan
memahami proses atau kejadian suatu fenomena maupun
konsep yang terlalu kompleks untuk diuraikan variabel-
variabel yang menyertainya.
Responden atau subjek pada penelitian ini
berjumlah sepuluh orang dengan karakteristik sebagai
berikut : (1) Remaja laki-laki dan perempuan yang
meninggal salah satu dari orang tuanya (2) Berusia antara
14-20 tahun, karena sudah mampu mendeskripsikan
tentang kematian (3) Remaja yang sudah meninggal salah
satu maupun kedua orang tua nya. Pengumpulan data
dilakukan dengan menggunakan metode wawancara
bersifat retrospektif mengingat peristiwa yang dialami
responden adalah peristiwa yang telah lama terjadi.
19
Wawancara dilakukan beberapa kali bersama responden
dan informan tambahan yaitu pengasuh atau saudara
responden.
Analisis data dilakukan dengan koding terbuka pada
hasil verbatim yang diperoleh. Selanjutnya hasil koding
dikelompokkan sesuai dengan tema yang dimunculkan dari
verbatim. Keabsahan data pada penelitian ini dilakukan
dengan member checking (melakukan pengecekan hasil
verbatim kepada responden terkait kesesuaian data dengan
apa yang telah disampaikan kepada peneliti).
Suzanna (2018) dengan judul : Makna Kehilangan
Orang Tua Bagi Remaja Di Panti Sosial Bina Remaja
Indralaya Sumatera Selata Studi Fenomenologi. Penellitian
ini bertujuan untuk mengetahui makna kehilangan orang
tua bagi remaja di Indralaya Sumatera Selatan. Penelitian
ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif dengan
pendekatan naturalistik untuk mencari dan menemukan
pengertian atau pemahaman tentang fenomena mengenai
apa yang dialami oleh subjek penelitian dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa dalam suatu
latar yang berkonteks khusus dan alamiah. Adapun jumlah
infofman yang telah mengalami saturasi data sebanyak 6
informan. Penelitian ini dilakukan pada 10-28 april 2017 di
Panti Sosial Bina Remaja Sumatera Selatan Indralaya km
33 Ogan Ilir. Pengumpulan data dalam penelitian ini
dilakukan dengan wawancara mendalam (indepth
interview) dan catatan lapangan (field notes).
Teknik wawancara mendalam digunakan untuk
mengeksplorasi makna kehilangan dengan 10 pertanyaan
sebagai panduan wawancara yang berdasarkan pada fase
kehilangan menurut Kubler Rose. Setelah di dapatkan
20
jawaban dari informan dalam bentuk pertanyaan lagi
dilanjutkan dengan analisa kualitatif. Dengan tahapan
analisa data kualitatif sebagai berikut: Memberi gambaran
pengalaman personal terhadap fenomena yang diteliti,
peneliti mulai dengan mendengarkan deskripsi verbal
partisipan, membaca dan membaca ulang deskriptif
tersebut. Membuat daftar pertanyaan yang signifikan.
Peneliti menemukan pertanyaan-pertanyaan tentang
bagaimana para partisipasinya mengalami berbagai
pengalaman mereka yang dibuat dalam suatu daftar
pertanyaan-pertanyaan yang signifikan. Mengelompokkan
pertanyaan yang signifikan tersebut dikumpul dalam suatu
unit data atau informasi yang lebih besar, yang disebut
“unit meaning” atau tema-tema. Menuliskan deskriptif atau
interpretasi apa yang dialami para partisipan terkait
fenomena yang diteliti. Yang disebut suatu deskriptif
terstruktural tentang suatu pengalaman, apa yang dialami
dan dilengkapi contoh-contoh verbatim para partisipan.
Menuliskan bagaimana pengalaman yang dialami
partisipan. Ini disebut dengan deskriptif struktural dan
peneliti merefleksikan pada setting atau fenomena yang
diteliti dialami oleh partisipan. Menuliskan deskripsi
gabungan (interpretasi data) yaitu dengan menggabungkan
deskripsi tekstural dan struktural. Ini yang disebut intisari
(essence) dari pengalaman para partisipan dan
mempresentasikan aspek inti dari studi fenomenologi yang
dituliskan peneliti melalui data. Pengambilan data ini
menghasilkan beberapa tema yaitu : (1) Kesedihan yang
mendalam dalam rentang berbeda (2) Hilangnya figur
orang tua (3) Kasih sayang yang berkurang (4) Tiada lagi
tempat berbagi (5) Kondisi keluarga yang tidak lagi utuh.
21
Dari beberapa penelitian di atas, ada yang memiliki
persamaan judul maupun pembahasan yang dibahas dalam
skripsi peneliti. Namun persamaan itu hanya terdapat pada
variabel makna hidup pada remaja. Dan remaja yang tidak
memiliki salah satu orang tua saja, berbeda dengan
penelitian yang dilakukan peneliti, penelitian ini
memfokuskan pada remaja yang benar-benar tidak
memiliki kedua orang tua dan benar-benar hidup
sebatangkara.
Dalam beberapa penelitian tersebut tidak ada yang
membahas mengenai makna hidup pada remaja
sebatangkara di kota Palembang. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa belum ada penelitian yang membahas
kajian yang akan diteliti oleh peneliti.